Pendekar Sadis 20

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


itu. Dia tidak menyesal telah mengaku tadi karena kalau dia tidak mau mengaku, tentu sekarang telah menjadi babi panggang setengah matang, dibakar hidup-hidup oleh pendekar yang ternyata amat kejam dan sadis itu. Si Codet itu berpikir apakah pernah dia melihat orang yang lebih sadis daripada tindakan Pendekar Sadis ini. Dia sendiripun sudah biasa bertindak kejam, juga teman-temannya, akan tetapi kekejaman mereka itu berbeda dengan kekejaman Pendekar Sadis, yang melakukan semua itu dengan sikap yang demikian halus dan tenang dan dingin, seperti sikap iblis di neraka yang melakukan tugasnya menyiksa orang berdosa saja!
Setelah menimbunkan semua tanah yang digalinya tadi di atas tubuh Si Jenggot yang rebah terlentang di dalam tanah sehingga tanah itu bergunduk merupakan sebuah kuburan baru. Thian Sin lalu meninggalkannya ke dalam gubuk.
"A-ciang...!" Si Codet berseru memanggil ke arah gundukan tanah sambil memandang dengan mata melotot. "A-ciang...! Apakah engkau bisa mendengarku?" Si Codet bertanya dengan hati ngeri. Ingin dia memberi tahu dan membujuk temannya itu agar mengaku saja. Dia lupa bahwa andaikata temannya dapat mendengarnya sekalipun, tentu teman itu tidak mampu menjawab karena kalau menjawab tentu mulutnya kemasukan tanah dan mencekiknya.
Si Codet tidak memanggil lagi ketika Thian Sin sudah mendatangi dari gubuk sambil menyeret tubuh orang pertama yang menjadi pemimpin dari rombongan tiga orang itu. Orang ini memiliki kepandaian yang tertinggi di antara mereka dan merupakan suheng dari kedua temannya. Hidungnya pesek dan mulutnya lebar sehingga muka itu mirip dengan muka seekor monyet. Ketika Thian Sin melempar tubuhnya di dekat kuburan itu, Si Muka Monyet ini memandang dengan mata terbelalak, memandang ke arah Si Codet yang tergantung jungkir balik itu. Dia terbelalak dan nampak ketakutan.
"Pendekar Sadis, apa yang kaulakukan terhadap dua orang temanku ini?" tanyanya.
Thian Sin tidak menjawab, melainkan melepaskan sabuk orang ke tiga ini. Si Muka Monyet ini semakin ketakutan dan memandang kepada Si Codet yang masih tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia melihat bekas api unggun yang masih mengepulkan asap di bawah sutenya itu dan dia bergidik, maklum bahwa sutenya tadi tentu telah dibakar hidup-hidup. Akan tetapi, sutenya itu belum mati, maka dia bertanya "Tauw-sute, di mana Ciang-sute?"
Yang ditanya hanya memandang ke arah kuburan, dan tiba-tiba mata A-tauw itu terbelalak seperti orang yang ketakutan. Si Muka Monyet menoleh, memandang ke arah kuburan baru itu dan diapun terbelalak melihat betapa tanah kuburan itu bergoyang dan tiba-tiba nampak sebuah lengan tersembul keluar dari gundukan tanah, lalu tiba-tiba orang yang tadinya dikubur hidup-hidup itu bangkit duduk, kepala yang penuh tanah itu kini keluar, matanya berkedip-kedip karena kemasukan tanah, mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh karena kemasukan tanah pula. Kiranya Si Jenggot Panjang ini merupakan orang yang cukup kuat sehingga dia belum mati dan ketika ditimbun tanah itu, agaknya totokan pada tubuhnya menjadi punah dan dia mampu mengerahkan tenaganya untuk membobol tanah yang menimbuninya.
Thian Sin menghampiri, lalu bertanya, "Kau mau mengaku."
Akan tetapi Si Jenggot Panjang itu memaki dengan suara seperti orang yang dicekik lehernya, "Jahanam kau!" Dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang kepada Thian Sin. Keadaannya sungguh menyeramkan, seperti mayat yang baru bangkit dari kuburan. Akan tetapi, terjangannya yang disertai gerengan seperti harimau itu tentu saja dengan mudah dapat dihindarkan Thian Sin dengan tangkisan, bahkan sekali dorong saja tubuh Si Jenggot Panjang itu sudah masuk lagi ke dalam lubang yang terbuka, lalu Thian Sin menimbuninya dengan tanah dan menginjak-injak timbunan tanah itu sampai padat! Sekali ini Si Jenggot Panjang tidak lagi mampu bergerak. Melihat ini, Si Codet dan temannya menggigil.
"Kalian datang untuk menangkapku dengan mengancam untuk menyiksa temanku itu" Baiklah, mungkin aku terlambat dan temanku akan mati, akan tetapi See-thian-ong dan seluruh anak buahnyapun akan kusiksa sampai mati semua. Dan kalian memperoleh giliran pertama!" kata Thian Sin kepada Si Muka Monyet yang sudah pucat sekali itu. "Beri saja tanda dengan tanganmu kalau engkau mau memberi tahu di mana adanya temanku yang ditahan itu." Berkata demikian, tiba-tiba leher Si Muka Mohyet itu telah dibelit sabuknya sendiri dan sekali saja menggerakkan kedua tangannya, Thian Sin telah melemparkan orang itu ke atas cabang pohon di mana Si Muka Monyet tergantung pada lehernya! Ketika melontarkan tubuh orang ini, Thian Sin membebaskan totokannya, sehingga tubuh itu dapat meronta-ronta. Sebentar saja muka itu menjadi merah dan agak membiru, lidahnya terjulur keluar dan tiba-tiba Si Muka Monyet menggerak-gerakkan kedua tangannya.
Thian Sin melepaskan ujung sabuk dan tubuh itu terbanting jatuh ke atas tanah, akan tetapi lehernya terbebas dari lilitan sabuk. Si Muka Monyet megap-megap seperti ikan dilempar ke darat, dan untuk beberapa lamanya tidak mampu bicara, hanya memegangi lehernya seperti hendak mencekik leher sendiri. Thian Sin duduk menanti dengan tenang.
"Nah, apa yang hendak kaukatakan?" katanya kemudian.
"Gadis itu... ia... ditawan... di pondok merah... dekat Telaga Ching-hai..."
Kini Thian Sin merasa yakin bahwa keterangan yang didapatnya itu memang benar. Kalau dua orang memberi keterangan yang sama, sudah pasti tidak membohong. Tiba-tiba dia menggerakkan golok rampasan. Sinar berkelebat dan dua orang itu tidak sempat memekik lagi karena sinar golok itu sudah menyambar ke arah leher mereka dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu mereka tewas dengan leher putus, yang seorang menggeletak di atas tanah, yang seorang lagi dengan tubuh masih tergantung pada kakinya!
Thian Sin membuang golok itu, lalu mengambil pedangnya, kipas dan sulingnya yang tadi mereka rampas, kemudian mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya untuk lari menuju ke Telaga Ching-hai!
*** Ketika Kim Hong membuka kedua matanya, ia mengeluh. Seluruh tubuhnya merasa nyeri dan ketika ia hendak menggerakkan kedua tangannya yang terasa paling nyeri, ternyata kedua tangan itu berada di belakang tubuhnya, terbelenggu oleh sesuatu yang selain amat kuat, juga runcing dan menusuk kedua pergelangan tangannya! Seketika ia menjadi sadar betul dan membuka matanya lebar-lebar. Teringatlah ia bahwa ia telah terjebak, lalu diserang dengan asap pembius.
Dengan tenang Kim Hong memutar pandang matanya. Ia harus tenang dan tidak panik, itulah syarat utama menghadapi keadaan seperti sekarang ini. Ia tahu bahwa ia berada di tangan musuh, akan tetapi satu hal yang sudah pasti dan menimbulkan harapan adalah kenyataan bahwa ia masih hidup sampai saat ini. Dan itu berarti bahwa fihak musuh belum menghendaki kematiannya dan mempunyai suatu rencana mengapa ia masih dibiarkan hidup. Dan selama ia masih bernapas, berarti masih ada kesempatan untuk lolos dan masih ada harapan.
Pandang matanya menyatakan bahwa ia berada di dalam sebuah kamar yang agaknya terbuat dari tembok tebal yang amat kokoh kuat. Ada sebuah pintu saja di situ, pintu besi yang di atasnya terdapat jeruji besi yang kuat pula. Ia tidak akan kehabisan hawa yang tentu masuk dari jeruji besi itu. Kamar itu kosong, hanya ada sebuah dipan besi di mana ia rebah miring. Kedua kakinya bebas, akan tetapi kedua lengannya dibelenggu ke belakang. Jari-jari tangannya bergerak dan meraba-raba, dan tahulah ia bahwa kedua lengannya itu diikat dengan kawat berduri, dan bahwa duri-duri besi telah melukai kedua pergelangan tangannya. Sinar lampu yang masuk melalui celah-celah jeruji menunjukkan bahwa waktu itu masih malam. Dia mengingat-ingat. Thian Sin menerima surat seorang wanita, bekas sahabatnya, murid See-thian-ong yang mengajaknya mengadakan pertemuan. Begitu Thian Sin pergi, ia dipancing dan dijebak. Padahal, See-thian-ong tidak pernah mengenalnya, apalagi bermusuhan. Jelaslah bahwa ia ditawan itu tentu ada hubungannya dengan Thian Sin. Otaknya yang cerdik itu diputarnya dan Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ia ditawan untuk dijadikan umpan memancing Thian Sin. Dan ia tahu bahwa Thian Sin sudah pasti akan mencarinya dan berusaha sedapatnya untuk menolongnya, dan agaknya hal ini yang dikehendaki oleh pihak musuh yaitu memancing datangnya Thian Sin. Ini berarti bahwa ia sendiri sudah tertawan, dan dengan adanya kenyataan bahwa pihak musuh tidak atau belum membunuhnya, berarti bahwa ia sendiri untuk sementara waktu ini belum terancam bahaya maut, akan tetapi Thian Sinlah yang terancam. Ia harus dapat lolos untuk memperingatkan Thian Sin!
Dengan hati-hati Kim Hong lalu bangkit, duduk di tepi pembaringan. Pertama-tama, ia harus dapat membebaskan kawat berduri yang membelenggu ke pergelangan tangannya. Dengan kedua kakinya yang tidak terbelenggu, ia masih akan mampu menjaga dan melindungi dirinya. Agaknya pihak musuh terlalu memandang rendah dirinya sehingga hanya kedua tangannya saja yang dibelenggu, akan tetapi kedua kakinya dibiarkan bebas. Betapapun juga, ia harus hati-hati karena maklum bahwa pihak musuh, selain lihai, juga mempunyai banyak kaki tangan dan juga licin. Ia harus melepaskan belenggu kawat berduri itu.
Akan tetapi, hal ini jauh lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Dengan pengerahan sin-kang, mungkin saja ia akan dapat melepaskan kedua lengannya, akan tetapi untuk itu ia akan melukai pergelangan kedua lengannya. Dan kalau sampai urat besarnya yang terluka, dapat berbahaya juga. Apalagi ketika ia mencoba tenaganya untuk mengukur kekuatan kawat berduri, ia memperoleh kenyataan bahwa kawat itu amat kuat, tidak mungkin dapat dipatahkan begitu saja tanpa bantuan senjata tajam. Atau setidaknya harus ada tangan orang lain yang membukanya. Kim Hong bangkit dan memandang ke arah kaki dipan. Itulah satu-satunya benda keras yang terdapat di dalam kamar, yang terbuat dari besi. Maka diapun lalu menjatuhkan diri berlutut, dan mendorongkan kedua lengan yang terbelenggu di belakang itu ke dekat kaki dipan, dan mulailah ia menggosok-gosokkan kawat itu pada kaki dipan meraba-raba dengan ujung jarinya untuk mencari sambungan kawat.
Lebih dari dua jam ia bekerja, mengerahkan tenaga, dan hasilnya baru sedikit saja, baru mulai dapat merenggangkan sambungan kawat. Ia merasa lelah dan juga amat lapar. Obat bius itu dan bekerja keras ini membuatnya lapar. Untuk ketegangan yang dihadapinya dan untuk berusaha melepaskan belenggu, sungguh memakan banyak sekali tenaga dalam badan.
Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi arah pintu kamar tahanan. Pendengarannya yang tajam dapat menangkapnya dan Kim Hong cepat bangkit dan merebahkan dirinya lagi, miring seperti tadi.
Yang masuk adalah tiga orang laki-laki yang kesemuanya memegang pedang. Dari gerakan mereka, tahulah Kim Hong bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau saja ia tidak mengkhawatirkan Thian Sin yang akan dipancing dan dijebak, tentu ia akan nekad, menyerang mereka dengan kedua kakinya. Akan tetapi ia menahan dirinya. Ia merasa yakin bahwa Thian Sin pasti dipancing dan akan dijebak setelah tadi ia melihat betapa sebelah celananya robek di bagian bawah. Robekan itu hilang! Kalau mereka itu hendak kurang ajar atau berbuat cabul, tentu bukan ujung celananya yang dirobek. Maka Kim Hong bersikap waspada dan pura-pura baru siuman ketika mereka memasuki kamar. Ia mengeluh, pura-pura bingung ketika menarik-narik lengannya, kemudian dengan susah payah ia bangkit, duduk, memandang kepada tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Si Jangkung yang menjebaknya tadi.
Kim Hong bangkit dan pura-pura terhuyung. Tiga orang itu siap menyerangnya, karena Si Jangkung ini sudah maklum bahwa gadis yang ditawannya memiliki kepandaian yang cukup hebat. Dia adalah murid See-thian-ong pula, walaupun tingkatnya belum setinggi tingkat para suhengnya, yaitu Ching-hai Ngo-liong, namun dia dan dua orang sutenya yang bertugas menjaga di situ memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan dan mereka merupakan pembantu-pembantu Ching-hai Ngo-liong. Si Jangkung tersenyum mengejek ketika melihat gadis itu agaknya hendak melawan namun tidak berdaya dan dia melihat darah segar yang baru menitik dari luka-luka di pergelangan lengannya.
"Tak perlu engkau melawan, karena melawan berarti hanya akan menyiksa dirimu. Nona, siapakah namamu?"
"Persetan dengan kalian!" bentaknya. "Kenapa engkau menjebakku di tempat ini" Kalian mau apa?"
Si Jangkung tersenyum dan mengelus jenggotnya yang hanya beberapa helai itu.
"Nona manis, simpanlah kegalakanmu. Engkau sekarang telah menjadi tawanan dari Locianpwe See-thian-ong."
"Ahhhhh...!" Dengan sengaja Kim Hong memperlihatkan kekagetannya dan juga memperlihatkan rasa takut.
Tiga orang itu tertawa dan Si Jangkung juga senang melihat betapa gadis itu terkejut dan nampak takut. "Ha-ha-ha-ha, karena itu, jangan mencoba untuk melawan, nona. Dan sekarang, mari ikut dengan kami, suhu See-thian-ong hendak bertemu denganmu."
Kim Hong masih memperlihatkan sikapnya yang ketakutan dan iapun mengangguk seperti orang yang terpaksa sekali. "Baiklah, siapa berani menentang See-thian-ong?"
Ia disuruh berjalan di muka dan tiga orang itu mengikutinya dari belakang sambil menodongkan pedang. Biarpun demikian, seandainya dia mau, Kim Hong merasa yakin bahwa dengan kedua kakinya saja, ia akan mampu merobohkan tiga orang ini. Akan tetapi hal ini tidak ia lakukan. Sebelum kedua tangannya bebas, ia tidak akan mau bertindak sembrono karena ia akan gagal kalau harus berhadapan dengan See-thian-ong dengan kedua tangan terbelenggu. Dalam keadaan yang sudah mutlak berada dalam kekuasaan lawan tangguh, dan dalam keadaan tidak berdaya ini ia harus mempergunakan kecerdikan, tidak hanya melakukan kekerasan dengan nekad.
Ruangan itu luas dan See-thian-ong duduk di kursinya sambil memandang tawanan wanita itu. Diam-diam ia merasa kagum karena wanita ini memang cantik sekali, akan tetapi mengingat bahwa wanita ini adalah sahabat baik, mungkin kekasih atau malah isteri Ceng Thian Sin, dia memandang marah.
"Duduk!" bentak Si Jangkung sambil mendorong tubuh Kim Hong ke atas lantai. Gadis itu jatuh berlutut, akan tetapi ia menegakkan kepalanya memandang kepada See-thian-ong, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut kini. Baru sekarang ia melihat kakek yang usianya hampir enam puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar dan berkulit hitam ini. Selama ia menjadi Lam-sin, ia baru mendengar nama saja dari "rekan" ini, akan tetapi belum pernah saling berjumpa.
"Nona, engkau ini apanya Ceng Thian Sin?" Tiba-tiba See-thian-ong bertanya.
Kim Hong tidak segera menjawab, hanya memandang ke sekelilingnya. Di dekat kakek itu duduk seorang wanita cantik yang manis yang berpakaian mewah dan pesolek, sedangkan di sebelah wanita muda cantik itu duduk pula seorang laki-laki tinggi kurus bermuka pucat dengan mata sipit, pakaiannya berwarna kuning sederhana. Ia dapat menduga bahwa tentu wanita ini murid See-thian-ong bernama So Cian Ling seperti yang pernah diceritakan oleh Thian Sin, dan tentu laki-laki tinggi kurus itu murid kepala yang bernama Ciang Gu Sik. Lima orang laki-laki tua lain yang duduk di sebelah kiri See-thian-ong dan nampak gagah perkasa itu sama sekali tidak dikenalnya dan tidak dapat diduganya siapa karena Thian Sin tidak pernah menyebut-nyebutnya. Ia tidak tahu bahwa lima orang itu adalah Ching-hai Ngo-liong murid See-thian-ong yang lihai.
Melihat So Cian Ling berada di situ, Kim Hong yang tadinya tidak ingin menjawab, kini menjawab dengan suara lantang, "Aku adalah kekasihnya. Apakah engkau yang berjuluk See-thian-ong?"
See-thian-ong tertawa dan minum araknya dari guci besar. Tokoh ini memang suka sekali minum arak dan kekuatan minumnya amat luar biasa. Tak pernah dia kelihatan mabuk, betapapun banyaknya arak memasuki perutnya.
"Ha-ha, engkau memang pantas menjadi kekasih Pendekar Sadis! Engkau cukup berani. Dan engkaupun cukup manis. Siapakah namamu, nona?"
"Namaku Kim Hong!" jawab Kim Hong singkat tanpa menyebutkan shenya. She Toan adalah she yang terkenal sebagal she ketuarga kaisar, maka ia tidak mau menyebutnya. Dengan menyebutkan nama Kim Hong, tentu orang akan menyangka ia she Kim dan bernama Hong.
"Nama yang manis seperti orangnya," kata See-thian-ong dengan jujur, bukan untuk merayu. "Akan tetapi sayang, Nona Kim. Nyawamu berada dalam tangan Pendekar Sadis."
"Apa maksudmu?" tanya Kim Hong dan memandang tajam kepada kakek itu.
"Cian Ling, katakan kepadanya apa yang akan terjadi dengan dirinya kalau Pendekar Sadis tidak muncul ke sini," See-thian-ong berkata kepada muridnya, tahu dari pandang mata Cian Ling betapa muridnya itu merasa cemburu dan membenci nona cantik itu.
Dan memang sesungguhnyalah. Melihat Kim Hong yang cantik jelita itu, diam-diam Cian Ling merasa cemburu sekali dan membencinya. Ia sendiri harus hidup di situ sebagai isteri suhengnya yang sama sekali tidak dicintanya. Sebaliknya wanita ini selalu berdampingan dengan Ceng Thian Sin sebagai kekasihnya. Tentu saja ia merasa iri sekali.
"Perempuan rendah," kata So Cian Ling. "dengarlah baik-baik. Kami telah mengutus orang untuk memanggil Ceng Thian Sin ke sini menghadap suhu. Kalau sampai besok pagi setelah matahari terbit dia belum juga ke sini bersama utusan kami, maka engkaulah yang akan mengalami siksaan sampai mati. Pertama-tama, engkau akan diserahkan kepada dua puluh orang yang telah menang undian, engkau akan mereka perkosa sampai mereka itu semua merasa puas. Dan kalau engkau belum mampus, engkau akan dijemur di tepi telaga sampai burung-burung pemakan bangkai datang mengeroyokmu dan makan habis dagingmu!"
Kim Hong tersenyum dan berkata dengan nada suara mengejek, "Dan aku mati, habislah. Tapi engkau masih terus hidup, setiap hari dalam pelukan laki-laki yang tidak kau cinta sedangkan hatimu selalu merindukan Ceng Thian Sin, sampai engkau menjadi nenek-nenek keriputan yang menderita rindu. Hi-hik, Cian Ling, agaknya nasibku jauh lebih baik daripada nasibmu."
"Perempuan rendah!" Cian Ling bangkit dan sikapnya hendak menyerang.
"Cian Ling, jangan!" terdengar See-thian-ong berkata sambil tertawa dan muridnya itu tentu saja tidak berani melanggar. Kakek tinggi besar itu kembali minum araknya, lalu mengangguk-angguk. "Memang engkau cukup tabah, nona Kim. Aku kagum akan keberanianmu dan engkau pantas diberi makan minum agar engkau melihat bahwa kami bukanlah orang-orang kejam terhadap tawanan. Ha-ha-ha! Berikan roti dan daging untuknya!" perintahnya kepada seorang murid, dan di antara murid-muridnya yang mengurung tempat itu segera maju dan membawa sebuah piring terisi roti dan daging panggang yang sudah dipotong kecil-kecil.
"Letakkan piring itu di depannya," perintah See-thian-ong dan muridnya mentaati perintah ini.
KIM Hong dalam keadaan berlutut dan kedua lengannya dibelenggu ke belakang, dan kini piring roti dan daging itu berada di atas lantai, di depannya. Tentu saja ia tidak dapat makan seperti orang biasa, karena ia tidak mampu menggerakkan kedua tangannya. Roti dan daging itu nampak begitu lezat dan perutnya amat lapar. Ia tahu bahwa pihak musuh hendak menghinanya. Kalau menuruti hatinya, tentu saja ia lebih baik memilih mati daripada menerima penghinaan itu. Akan tetapi Kim Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Ia dapat menduga bahwa mereka ini, kecuali Cian Ling mungkin, amat membenci Thian Sin, karena itupun tentu saja membencinya sebagai kekasih pemuda itu. Mereka ingin melihat ia terhina, dan ingin melihat Thian Sin tersiksa lahir batinnya dan kemudian melihat pemuda itu tewas. Kalau ia menolak suguhan ini, berarti ia mengecewakan mereka dan siapa tahu mereka itu akan mencari akal penyiksaan atau penghinaan yang lebih merugikan lagi. Selain dari itu, makanan di depannya ini amat bermanfaat baginya, dapat menambah tenaga badannya. Kalau sampai ia kelaparan, ia akan lemas dan ilmu silatnyapun takkan mampu menolong tubuh yang kelaparan. Maka, Kim Hong lalu mendiamkan pikirannya sehingga segala macam pikiran tentang penghinaan tidak lagi terasa, dan iapun lalu menekuk tubuhnya ke depan.
"Ha-ha, makanlah, nona manis, makanlah!" kata See-thian-ong, suaranya penuh dengan kegembiraan melihat betapa kekasih musuh besarnya akan makan seperti seekor anjing makan.
Dan Kim Hong lalu mengambil daging yang dipotong kecil-kecil itu dengan mulutnya, makan seperti seekor anjing! Mulutnya menggigit potongan daging dan roti itu dari atas piring dan perbuatannya ini memancing suara ketawa dari para murid See-thian-ong. Juga Cian Ling tersenyum dan merasa girang melihat wanita yang membuatnya cemburu itu ternyata hanya merupakan seorang wanita lemah yang mau menerima penghinaan seperti itu!
Biarpun agak sukar, piring itu kadang-kadang terdorong ke depan dan terpaksa Kim Hong harus mendekat dengan mempergunakan kedua lututnya merangkak, akhirnya roti dan daging itu habis juga dimakannya. Badannya terasa lebih segar, akan tetapi kerongkongannya kering dan ia ingin sekali minum.
"See-thian-ong, aku ingin minum," katanya terus terang, mencegah mulutnya yang ingin sekali melanjutkan kata-kata itu dengan sebuah kata lagi di akhirnya, yaitu "darahmu"!
"Ha-ha, berilah dia minum, di piringnya itu!" kata See-thian-ong yang merasa gembira sekali. Dia seperti melihat Thian Sin sendiri yang mengalami penghinaan itu dan sakit hatinya agak terobati. Seorang murid lalu mengucurkan air teh ke dalam piring dan Kim Hong, seperti seekor anjing, menjilati air teh itu dari piring, karena tidak ada cara lain lagi untuk membasahi tenggorokannya dengan air itu. Semua orang mentertawakan melihat lidahnya terjulur menjilati air dari piring itu.
Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, seorang laki-laki melihat semua itu dari atas genteng. Orang ini bukan lain adalah Thian Sin! Dia telah berhasil memperoleh keterangan tentang di mana ditahannya Kim Hong, dari tiga orang anak buah See-thian-ong yang kemudian dibunuhnya itu dan dengan cepat seperti terbang saja dia lalu pergi ke Telaga Ching-hai dan mencari apa yang disebut pondok merah itu. Tidak sukar menemukan pondok itu di antara rumah-rumah indah milik hartawan-hartawan yang sengaja membangun pondok-pondok bagus di sekitar telaga yang indah itu. Melihat betapa rumah itu dijaga ketat, Thian Sin tidak mau sembrono dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya, dia memasuki pekarangan belakang pondok itu dari tembok tinggi yang mengelilingi pondok. Dengan perlindungan bayang-bayang pohon besar, dia berhasil meloncat masuk, kemudian, menggunakan kesempatan selagi para murid See-thian-ong menikmati penghinaan yang dilakukan oleh datuk itu kepada Kim Hong. Dengan amat hati-hati Thian Sin lalu meloncat naik ke atas genteng setelah merasa yakin bahwa di situ tidak terdapat penjaganya, dan dia berhasil mengintai ke dalam ruangan dan melihat betapa kekasihnya dihina orang. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin Thian Sin menyerbu ke dalam dan mengamuk. Akan tetapi, diapun bukan orang yang biasa menurutkan perasaannya saja. Dia dapat melihat betapa kedua pergelangan Kim Hong dibelenggu dengan kawat berduri, dan melihat luka-luka yang diakibatkan belenggu itu, dia dapat menduga bahwa tidaklah mudah bagi Kim Hong untuk melepaskan dirinya. Selama Kim Hong masih terbelenggu dan terancam, tentu saja dia tidak boleh secara ceroboh turun tangan mengamuk, dia harus lebih dahulu menyelamatkan Kim Hong. Ketika dia melihat betapa Kim Hong makan dan minum seperti anjing, ingin dia tertawa. Dia mengerti mengapa Kim Hong, yang pernah menjadi Lam-sin selama bertahun-tahun, mau saja dihina seperti itu. Dia ingin mentertawakan kebodohan See-thian-ong. Kalau saja See-thian-ong tahu bahwa dara cantik itu adalah Lam-sin, tentu dia akan kaget setengah mati! Kalau See-thian-ong cerdik, tentu akan dibunuhnya Kim Hong seketika itu juga, tidak mempermainkan dan menghinanya seperti itu. Dan diapun mengerti bahwa Kim Hong sengaja membiarkan diri dihina agar tidak mengalami penyiksaan atau penghinaan yang lebih hebat lagi, dan makanan serta minuman itu memang perlu bagi gadis yang tertawan itu. Maka Thian Sin hanya menonton saja.
Benarlah dugaannya, seperti yang juga dikehendaki oleh See-thian-ong, melihat Kim Hong mau saja dihina seperti itu, padamlah nafsu para penghinanya untuk menghinanya lebih jauh lagi.
"Bawa ia kembali ke kamar tahanan," kata See-thian-ong, tidak tertawa karena dianggapnya wanita ini tidak berharga menjadi lawan yang ditakuti. "Biarkan perempuan lemah ini tidur agar jangan ia mati sebelum Thian Sin tiba!"
Maka terhindariah Kim Hong dari penyiksaan atau penghinaan lebih jauh, sungguhpun penghinaan yang lebih hebat masih menantinya. Ia maklum bahwa ancaman kepadanya tadi, bahwa ia akan diperkosa oleh dua puluh orang apabila Thian Sin tidak muncul, justeru merupakan pertanda bahwa kalau Thian Sin muncul dan tertawan, maka hukuman atau penyiksaan itu akan dideritanya di depan mata Thian Sin. Kalau Thian Sin tidak muncul, belum tentu ia akan mengalami siksaan seperti yang diancamkan kepadanya tadi. Tiada alasan bagi See-thian-ong untuk memperlakukan ia seperti itu. Akan tetapi kalau Thian Sin terkena pancingan dan datang, dikeroyok dan ditangkap, jelaslah bahwa mereka akan menyiksa Thian Sin, pertama-tama menyiksa batinnya dengan membiarkan pemuda itu menyaksikan ia diperkosa oleh banyak orang di depan matanya. Hal ini ia yakin benar! Itu pulalah sebabnya See-thian-ong tidak mau menyiksanya sekarang, dan membiarkan ia makan minum agar keadaan tubuhnya sehat ketika ia kelak "dibantai" oleh dua puluh orang di depan Thian Sin! Diam-diam wanita ini bergidik ngeri.
Sementara itu, Thian Sin mengikuti dengan pandang matanya ke mana kekasihnya dibawa pergi. Ke belakang! Maka diapun dengan cepat dan hati-hati sekali menuju ke wuwungan bagian belakang, dan mengintai. Dari sini dia dapat melihat Kim Hong digiring oleh tiga orang yang dipimpin oleh orang jangkung berjenggot jarang, menuju ke sebuah kamar tahanan. Ketika mereka hendak memasukkan kembali gadis itu ke dalam kamar tahanan, dua orang teman Si Jangkung itu menghampiri Kim Hong. Yang bermuka bopeng segera mencium tengkuk yang berkulit kuning mulus terhias anak rambut halus melingkar-lingkar itu, sedangkan orang ke dua yang matanya sipit menggunakan tangannya menggerayangi buah dada gadis itu.
"Manis, ingatlah, kami berdua adalah dua di antara dua puluh orang yang bernasib mujur untuk melayanimu bermain cinta besok," bisik Si Muka Bopeng. Tentu saja Kim Hong merasa muak dan marah, akan tetapi ditahannya dan ia bergegas memasuki kamar tahanan itu.
"Nanti dulu," kata Si Jangkung sambil mengejar dan menghampiri Kim Hong. Gadis ini mengira bahwa Si Jangkung tentu juga akan bertindak kurang ajar seperti kedua orang temannya. Akan tetapi ternyata tidak, Si Jangkung ini hanya melihat bahwa kawat berduri pembelenggu kedua pergelangan tangan agak mengendur, maka dia kini mempereratnya. Ada duri kawat yang kembali menusuk kulit lengan Kim Hong dan gadis ini menggigit bibirnya. Sakit sekali rasa hatinya. Sudah bersusah payah diusahakannya untuk melepaskan kawat berduri. Dua jam lebih ia berusaha menggosok-gosok kawat itu di kaki dipan dan setelah ada sedikit hasilnya, kini dipererat lagi oleh Si Jangkung. Sungguh perbuatan Si Jangkung ini lebih merugikan dan menyakitkan daripada kekurangajaran dua orang temannya.
"Awas kau kubunuh kau lebih dulu nanti...!" kata suara hati Kim Hong ketika Si Jangkung mendorongnya dan keluar dari kamar itu, lalu duduk di luar pintu kamar bercakap-cakap dengan dua orang temannya.
Thian Sin melihat ini semua. Tangannyapun sudah gatal-gatal untuk turun tangan menghajar dua orang yang kurang ajar kepada kekasihnya tadi. Akan tetapi dia menahan diri dan tidak mau gagal. Kalau dia menuruti hatinya dan menyerbu, kemudian seorang di antara mereka sempat berteriak memanggil teman-temannya, tentu usahanya menolong Kim Hong akan menjadi gagal. Diapun lalu meneliti keadaan kamar itu. Kamar itu memang kuat sekali dan lubang satu-satunya hanyalah pintu besi yang berjeruji atasnya. Untuk memasuki dari pintu tidak mungkin. Maka diapun lalu menyelidiki atapnya. Langit-langitnya kamar itu amat tinggi, sehingga akan sukarlah bagi Kim Hong kalau hendak meloncat ke atas, apalagi langit-langitnya tertutup oleh papan tebal. Dia lalu membuka genteng, tepat di atas kamar tahanan. Tangannya meraba-raba dan akhirnya dia dapat menemukan paku-paku yang memaku papan langit-langit. Dengan ujung pedangnya dia mengorek papan pinggir di sekeliling paku sehingga nampak paku itu, kemudian dengan menjepit paku dengan kedua jari telunjuk dan ibu jari, dia mengerahkan tenaganya dan mencabuti paku-paku itu satu demi satu. Akhirnya, berhasillah dia membongkar papan persegi selebar satu meter itu dan mengangkatnya perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, sedikit saja suara itu sudah cukup bagi Kim Hong untuk mengetahui bahwa di atas kamar tahanan itu ada suatu gerakan.
Dengan hati-hati Thian Sin menggeser papan langit-langit di sudut itu dan Kim Hong yang sudah menduga dengan hati girang kini dapat melihat wajah kekasihnya! Ia cepat memberi isyarat kepada Thian Sin untuk berdiam diri, lalu gadis ini berjalan, berjingkat ke pintu, mengintai dari jeruji pintu. Dilihatnya betapa tiga orang penjaganya itu duduk bermain kartu dengan asyiknya, maka iapun baru memberi isyarat kepada Thian Sin bahwa keadaan "aman". Pendekar itu lalu menggeser papan dan tak lama kemudian dia sudah meloncat turun ke dalam kamar itu tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa bicara mereka berdua sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Thian Sin memegang dagu itu dan mencium bibir Kim Hong, kemudian diapun sudah melepaskan kawat berduri yang membelenggu kedua lengan kekasihnya. Kim Hong menggosok-gosok kedua pergelangan lengannya yang luka-luka berdarah itu.
"Mereka sedang bermain kartu..." bisiknya.
"Hanya bertiga itu?" bisik Thian Sin kembali. Kim Hong mengangguk.
"Kita pancing mereka masuk," kata Thian Sin.
Kim Hong mengangguk. "Aku pura-pura hendak bunuh diri. Kau bersembunyi di belakang dipan yang kubalikkan. Aku akan merobohkan yang terdekat, dan kau menjaga agar mereka tidak mengeluarkan suara," bisik gadis itu dengan sikap tenang. Diam-diam Thian Sin kagum. Tidak percuma gadis ini pernah menjadi Lam-sin, karena memang sikapnya bukan seperti seorang gadis muda, melainkan seorang datuk yang sudah berpengalaman dan tenang sekali.
See-thian-ong terkejut dan marah bukan main. Tidak disangkanya bahwa Ceng Thian Sin dapat turun tangan seperti itu. Dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itulah yang melakukan semua ini, membebaskan gadis tawanan dan melakukan pembakaran. Dia memaki-maki para muridnya yang dianggapnya tolol dan lengah sehingga ada musuh masuk tanpa ada yang melihatnya. Kemudian, diikuti oleh Ching-hai Ngo-liong, Ciang Gu Sik, dan So Cian Ling, juga belasan orang murid lain, dia melakukan pengejaran, sedangkan anak buah yang lain sibuk memadamkan api yang mengamuk dari dua jurusan itu.
See-thian-ong tidak perlu mengejar atau mencari terlalu lama karena kehadiran Thian Sin dan Kim Hong di lapangan rumput sebelah belakang pondok merah itu segera diketahui. Di bawah sinar api yang menerangi cuaca hampir pagi yang masih remang-remang itu, See-thian-ong segera menghadapi mereka bersama murid-muridnya, dan kedua orang muda itu dikepung.
Thian Sin menyambut datangnya See-thian-ong dengan senyum, juga Kim Hong tersenyum mengejek.
"Hemm, kiranya See-thian-ong yang katanya datuk dunia barat itu bukan lain hanya seorang pengecut hina yang beraninya menggunakan kecurangan, jebakan rahasia, dan mengandalkan pengeroyokan banyak anak buahnya. Sungguh tak tahu malu...!" kata Kim Hong.
"Tidak perlu kau heran, Kim Hong, karena memang dari dulu dia itu hanyalah seorang pengecut tua bangka!" Thian Sin menambahkan.
Tentu saja ucapan dua orang muda itu membuat wajah See-thian-ong yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam. Kedua matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan bulat-bulat kedua orang muda itu.
"Dua bocah setan, kematianmu sudah di depan mata dan kalian masih bicara sombong sekali!" bentaknya.
"Wah, betulkah" Apakah ada yang bisa mengantarku ke kematian" Hemm, ingin aku melihat siapa yang dapat membuat aku mati!" Kim Hong melangkah maju tanpa mencabut dua batang pedang rampasan yang masih berada di punggungnya. Sikapnya menantang dan tenang sekali.
Akan tetapi, biarpun dia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian silat, namun tentu saja See-thian-ong memandang rendah kepadanya. Maka diapun lalu menoleh kepada belasan orang muridnya yang tingkatnya lebih rendah setingkat dibandingkan dengan Ching-hai Ngo-liong, dan setingkat dengan tiga orang penjaga yang tewas di kamar tahanan itu. Mereka ini adalah orang-orang yang tadinya sudah dipersiapkan untuk memperkosa Kim Hong di depan Thian Sin!
"Siapa di antara kalian yang dapat menangkapnya, boleh memilikinya!"
Ucapan See-thian-ong ini tentu saja disambut dengan girang oleh belasan orang itu. Dan See-thian-ong sendiri sudah siap-siap untuk menerjang Thian Sin kalau-kalau pemuda ini hendak membantu Kim Hong. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum dan enak-enak saja berdiri menonton, seolah-olah melihat gadis cantik itu dikurung empat belas orang merupakan pertunjukan yang menarik sekali.
Melihat gadis cantik itu berdiri sambil tersenyum mengejek, tidak memegang senjata, belasan orang itu menjadi berani. Mereka seperti berlumba dan lima orang sudah menubruk ke depan, dua orang dari belakang hendak memegang pundak, dua orang dari kanan kiri menangkap lengan dan seorang dari depan hendak merangkul pinggang! Mereka bukan menyerang, melainkan hendak menangkap gadis itu yang semalam telah membuat mereka tidak dapat tidur karena mereka telah membayangkan gadis itu sebagai korban mereka!
Kim Hong tidak menjadi gugup, bahkan ia sempat membiarkan dua orang dari kanan kiri menangkap kedua lengannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan ketawa, kedua kakinya bergerak seperti kilat cepatnya, dengan beruntun ujung sepatu kedua kakinya telah menendang ke bagian anggauta rahasia dua orang di kanan kiri itu, dan pada saat yang sama, kepalanya digerakkan dan sinar hitam dari kuncir rambutnya yang terlepas dari sanggul menyambar ke arah ubun-ubun kepala orang yang berada di depan. Hanya terdengar suara "tokk!" dan seperti dua orang yang tertendang itu, orang yang terpukul ujung kuncir itu roboh berkelojotan! Secepat kilat Kim Hong sudah memutar tubuhnya dan kedua tangannya menampar. Hanya terdengar suara "Plak-plak!" dan dua orang itupun roboh dengan kepala retak. Lima orang itupun hanya dapat berkelojotan sebentar saja dan semua tewas seketika!
Semua yang melihat peristiwa ini, juga See-thian-ong, terbelalak dan kaget bukan main. Dia dapat menduga bahwa gadis cantik itu lihai, akan tetapi tidak selihai itu! Dan sembilan orang muridnya yang melihat betapa lima orang saudara mereka itu tewas dalam segebrakan saja, menjadi marah dan mereka telah mencabut senjata masing-masing. Ada yang memegang pedang, golok, rantai, akan tetapi sebagian besar sudah menyambar tongkat mereka, senjata istimewa mereka karena guru atau ketua mereka, See-thian-ong juga terkenal lihai sekali dengan permainan tongkat Giam-lo-pang-hoat (Ilmu Tongkat Maut). Dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Kim Hong, bukan lagi untuk menangkap seperti yang diperintahkan tadi, melainkan untuk membunuhnya, untuk membalas kematian kawan-kawan mereka.
Kembali terdengar gadis itu tertawa merdu dan begitu ia bergerak, semua orang terkejut karena tubuhnya lenyap dan sebagai gantinya nampak dua sinar bergulung-gulung, disusul teriakan-teriakan mengerikan, darah-darah muncrat di sana-sini dan sembilan orang pengeroyok itu roboh malang melintang. Ketika dua sinar itu berhenti bergerak, nampak Kim Hong berdiri dengan senyum dan sembilan orang pengeroyok itu telah tewas semua menjadi mangsa sepasang pedang rampasannya!
See-thian-ong melihat gerakan sepasang pedang itu. Dia terkejut, mengerutkan alisnya dan membentak, "Bukankah itu Ilmu Pedang Hok-mo-kiam" Nona, engkau tentu murid Lam-sin! Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?" bentakan ini disusul dengan gerakan kaki maju menghampiri, sikapnya marah dan mengancam. Betapapun juga, Lam-sin dapat dibilang masih "rekan", sama-sama datuk kaum sesat, maka kalau sekarang ada muridnya yang memusuhinya, sungguh hal ini membuat dia penasaran sekali.
"Heii, See-thian-ong, apakah matamu yang tua itu sudah menjadi lamur" Siapakah kiranya yang kauhadapi itu?" kata Thian Sin mengejek.
See-thian-ong terbelalak, akan tetapi masih belum mengerti benar, atau kalaupun dia mengerti, dia sama sekali tidak percaya. "Tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, rekan kami, bukan musuh...!" katanya.
"See-thian-ong, Nenek Lam-sin sudah tidak ada lagi, yang ada hanya Toan Kim Hong dan engkau telah menghinaku. Ingatkah betapa engkau memperlakukan sebagai anjing semalam?"
Wajah See"thian"ong menjadi pucat. Jadi benarkah bahwa Lam-sin yang kabarnya seorang nenek yang amat sakti itu adalah dara ini" Dan dia telah menghinanya sedemikian rupa. Akan tetapi dia masih belum mau percaya dan menduga bahwa tentu Thian Sin mempermainkannya, atau sengaja mempergunakan nama Lam-sin untuk membuatnya bingung dan gentar.
"Siapapun adanya engkau, jangan menjual lagak di sini!" katanya dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan kiri terbuka, tubuhnya agak merendah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar dan Kim Hong cepat mengerahkan sin-kang untuk menyambutnya, dengan pengerahan Ilmu Bian-kun (Tangan Kapas). Tenaga sin-kang yang amat kuat menjadi tenaga lemas yang membuat tangannya lunak seperti kapas sehingga tangan ini mampu menyambut senjata tajam sekalipun tanpa terluka.
"Plakk!" See-thian-ong terkejut sekali ketika merasa betapa tenaganya yang amat kuat seperti amblas. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar hebat dan diapun meloncat lagi ke belakang karena ada sinar hitam menyambar dahsyat, yaitu rambut Kim Hong yang sudah menyambar ganas.
"Benarkah... engkau... Lam-sin...?" See-thian-ong berseru, kaget bukan main karena diapun pernah mendengar tentang Ilmu Bian-kun dan ilmu mempergunakan rambut dari Lam-sin.
"Tak perlu banyak ribut, See-thian-ong, kalau engkau berkepandaian, majulah!"
"Nona, jawablab, siapakah engkau sebenarnya?" Tiba-tiba di dalam suara See-thian-ong terkandung getaran mujijat yang membuat tubuh Kim Hong menggigil! Nona ini terkejut dan maklum bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Maka dengan cepat iapun menundukkan matanya agar tidak sampai dipengaruhi.
"Aku... aku..."
"See-thian-ong, manusia curang!" Tiba-tiba Thian Sin membentak dan menepuk pundak Kim Hong. "Mundurlah, Kim Hong. Tua bangka ini lawanku!" Kim Hong yang tadi hampir saja dapat dipengaruhi dan hampir menjawab, terkejut dan melangkah mundur, membiarkan Thian Sin menghadapi kakek itu.
"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghajar perempuan ini!" Tiba-tiba Ching-hai Ngo-liong berseru.
See-thian-ong mengangguk dan Lima Naga Dari Ching-hai itu segera mengepung Kim Hong sambil mencabut senjata mereka yang mengerikan, yaitu golok besar di tangan kanan dan rantai baja di tangan kiri. Akan tetapi Kim Hong tersenyum dan memandang rendah. Dengan tenang ia berdiri mengikuti gerak-gerik mereka dengan sudut kerling matanya, tanpa mengeluarkan sepasang pedang yang tadi sudah disimpannya di balik punggung lagi setelah ia merobohkan semua pengeroyok.
Sementara itu, See-thian-ong yang berhadapan dengan Thian Sin, diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, mulutnya berkemak-kemik, kemudian tiba-tiba dia membentak dengan suara mengguntur, "Ceng Thian Sin, engkau takkan kuat melawanku. Menyerahlah engkau!" Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dikembangkan ke depan, dengan jari-jari menunjuk ke arah pemuda itu. Dari jari-jari tangan ini keluar getaran yang amat kuatnya, mempunyai daya sihir yang berpengaruh sekali. Akan tetapi, betapa kagetnya hati See-thian-ong, ketika melihat pemuda itu bertolak pinggang dan tertawa!
"Ha-ha-ha, See-thian-ong, simpanlah kembali permainan sulapmu itu! Aku bukan anak kecil yang mudah kautipu dengan permainan sulap tukang jual obat itu, dan marilah kita bertanding sebagai laki-laki sejati!"
Kakek itu maklum bahwa musuhnya ternyata kini telah memiliki ilmu untuk melawan kekuatan sihirnya, maka diapun tidak mau membuang waktu lagi dan segera menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, "Bocah sombong mampuslah!"
Begitu menyerang, See-thian-ong telah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, tubuhnya merendah dan tubuh itu menjadi besar, terutama di bagian perutnya seperti seekor katak membengkak dan ketika kedua tangannya menyambar, maka angin pukulan yang dahsyat menerjang dahsyat ke arah Thian Sin. Ketika Thian Sin merasa betapa sambaran angin dahsyat itu mengandung hawa dingin, tahulah dia bahwa ternyata kakek inipun selama ini telah memperdalam ilmunya. Pukulan ini jauh lebih ampuh dibandingkan dengan dulu. Ternyata Ilmu Hoa-mo-kang dari kakek itu kalau dahulu hanya merupakan pukulan jarak jauh yang amat kuat, kini ditambah lagi dengan mengandung hawa dingin dan beracun! Tentu saja keampuhannya menjadi berlipat ganda dan juga menjadi amat berbahaya. Namun, Thian Sin sekarang bukanlah Thian Sin dahulu ketika dia pernah mengalahkan See-thian-ong. Bukan saja pemuda ini telah memiliki ilmu yang menandingi kekuatan sihir dari datuk dunia barat ini, juga dalam hal ilmu silat, pemuda ini telah mewarisi ilmu peninggalan dari ayah kandungnya. Maka, menghadapi Ilmu Hoa-mo-kang dari lawan, dia sama sekah tidak merasa gentar dan menandinginya dengan Ilmu Silat Hok-liong-sin-ciang sambil mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang.
Di lain fihak, Kim Hong telah dikeroyok oleh lima orang Ching-hai Ngo-liong. Tadinya Kim Hong memang memandang rendah, bahkan tidak mempergunakan pedang rampasannya ketika mereka mulai mengepung. Akan tetapi setelah mereka menyerang dengan bertubi-tubi dengan cara yang amat teratur, saling bantu dan dengan pengerahan tenaga disatukan, Kim Hong terkejut juga dan maklumlah ia bahwa lima orang ini kalau maju satu demi satu memang bukan lawan yang berat baginya. Akan tetapi ternyata mereka itu dapat maju bersama sebagai barisan yang amat kuat, kadang-kadang mirip dengan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) dan kadang-kadang berubah pula dengan barisan yang bernama Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai). Dan segera ia memperoleh kenyataan bahwa barisan mereka itu sungguh amat berbahaya, maka terpaksa Kim Hong lalu mengeluarkan sepasang pedang rampasan itu dan melawan dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, di satu pihak pertandingan antara Thian Sin dan See-thian-ong, dan di lain pihak adalah Kim Hong yang dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong.
Betapapun lihainya Ching-hai Ngo-liong menghadapi Kim Hong mereka segera terdesak hebat sekali. Pengepungan mereka kadang-kadang demikian kacaunya sehingga mereka tidak dapat bekerja sama lagi dan beberapa kali nyaris ada di antara mereka yang binasa kalau saja tidak cepat mereka saling melindungi lagi. Sepasang pedang di tangan Kim Hong, ditambah lagi dengan rambutnya, sungguh amat berbahaya. Kalau saja senjata-senjata rahasia jarum merah gadis ini tidak dirampas musuh semalamt tentu sejak tadi sudah ada di antara mereka berlima yang roboh oleh jarum merahnya yang beracun itu.
Sementara itu, Ciang Gu Sik dan So Cian Ling masih berdiri menonton. Kedua orang ini menjadi bingung juga. Cian Ling maklum bahwa ternyata wanita yang menjadi kekasih baru Thian Sin itu lihai bukan main. Ia merasa bahwa ia kini tidak berdaya lagi, setelah kedua pergelangan tangannya cacat, sehingga menghadapi lawan-lawan berat itu, bantuannya boleh dibilang tidak ada artinya lagi. Tentu saja ia tidak suka mengeroyok Thian Sin dan untuk maju mengeroyok Kim Hongpun ia merasa bahwa tenaganya terlalu lemah. Sedangkan Ciang Gu Sik sendiri juga bingung. Ingin dia membantu gurunya, akan tetapi mengingat akan watak gurunya, dia takut kalau-kalau hal itu akan membuat gurunya marah. Membantu gurunya sama saja mengaku bahwa gurunya kalah kuat oleh lawan, dan hal ini dapat dianggap merendahkan gurunya.
Akan tetapi, perkelahian antara See-thian-ong melawan Ceng Thian Sin mulai nampak berat sebelah. Terjadi perubahan yang menampakkan gejala terdesaknya kakek datuk barat itu. Setelah kedua orang sakti ini berkelahi lebih dari seratus jurus, See-thian-ong harus mengakui bahwa lawannya kini sungguh amat tangguh, jauh lebih lihai daripada satu setengah tahun yang lalu. Yang membuat dia bingung adalah ilmu-ilmu peninggalan Ceng Han Houw yang sungguh amat luar biasa gerakannya. Kalau saja datuk barat ini belum pernah mempelajari tiga buah kitab milik Thian Sin, agaknya dia tidak begitu bingung. Lebih baik menghadapi ilmu-ilmu itu dengan asing sama sekali dan mengandalkan kepandaiannya sendiri daripada seperti dia itu yang pernah meminjam kitab-kitab itu selama tiga bulan dan telah mempelajari isi kitab-kitab itu dengan ketekunan luar biasa, siang malam. Dia tahu bahwa kitab-kitab itu menyesatkan, mengandung rahasia-rahasia dan dia telah mempelajari secara yang salah tanpa mengetahui rahasianya. Dia telah menghentikan latihan-latihannya berdasarkan kitab itu, tahu bahwa kalau dilanjutkan dia malah akan celaka sendiri. Akan tetapi, setelah sekarang menghadapi lawan yang mempergunakan ilmu-ilmu seperti Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun, mau tidak mau, dia teringat akan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya itu dan mau tidak mau kadang-kadang dia tanpa disengaja teringat dan mempergunakan jurus-jurus yang sebenarnya palsu itu. Inilah yang membuat dia bingung dan sudah dua kali dia terkena tendangan kaki Thian Sin yang membuatnya terhuyung dan lambung serta pahanya terasa nyeri walaupun tidak sampai terluka oleh tendangan kilat itu.
See-thian-ong menjadi marah bukan main, juga merasa penasaran. Selama ini, sejak dikalahkan oleh Thian Sin, kakek ini tidak pernah berhenti melatih diri dan memperdalam ilmu-ilmunya. Akan tetapi setelah kini bertanding lagi menghadapi musuh lama itu, yang betapapun juga hanya seorang pemuda, kembali dia terdesak hebat!
"Singgg...!" Demikian kuatnya dia menyambar dan menggerakkan toya atau tongkat itu sehingga mengeluarkan suara mendesing. Sinar tongkatnya bergulung-gulung ketika kakek itu menyerang. Thian Sin tersenyum mengejek, akan tetapi pemuda inipun maklum akan hebatnya tongkat itu dan Ilmu Giam-lo-pang-hoat, maka biarpun tersenyum mengejek, terpaksa dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat menghindarkan diri dengan cara mengelak ke sana-sini secepat kilat, atau kalau sudah tidak ada kesempatan mengelak lagi, menggunakan kedua lengannya itu dengan tenaga Thian-te Sin-ciang. Dalam kegembiraannya karena melihat kenyataan, bahwa dia mampu menggungguli See-thian-ong dengan mudahnya, Thian Sin sengaja tidak mau mengeluarkan senjatanya dan menghadapi tongkat itu dengan tangan kosong saja! Dia hendak memperlihatkan kepada datuk ini bahwa dengan tangan kosongpun dia mampu menaklukkan See-thian-ong yang mempergunakan senjata andalannya! Maka kini perkelahian itu dilanjutkan dengan lebih seru lagi, masing-masing berusaha untuk merobohkan lawan dengan serangan-serangan maut.
Sementara itu, pertempuran antara Kim Hong melawan lima orang Ching-hai Ngo-liong juga memperlihatkan keunggulan gadis itu. Ching-hai Ngo-liong sibuk sekali dan pertahanan mereka bobol, barisan mereka kocar-kocir. Melihat ini, Cian Ling tidak dapat tinggal diam saja. Biarpun cacat pada kedua pergelangan tangannya membuat ia kehilangan banyak tenaga, namun dalam hal ilmu silat, ia masih setingkat lebih lihai daripada masing-masing dari Ching-hai Ngo-liong itu. Ia tahu bahwa lima orang itu hanya bisa diandalkan kalau bekerja sama, kini kerja sama mereka kocar-kacir, maka tentu saja mereka terdesak hebat. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Cian Ling menerjang dan memutar pedangnya. Melihat cara gadis ini menyerang dan menggerakkan pedang, tahulah Kim Hong bahwa gadis murid See-thian-ong ini memang cukup lihai, maka iapun menyambut dengan tangkisan pedangnya. Akan tetapi Cian Ling tidak berani mengadu tenaga, dan menarik kembali pedangnya lalu mengirim tusukan. Bantuan Cian Ling ini cukup berarti bagi Ching-hai Ngo-liong karena mereka memperoleh kesempatan untuk menyusun kembali barisan mereka yang tadi hampir berantakan itu. Kemudian mereka menyerang lagi dengan kekuatan baru karena mereka sudah dapat menyusun barisan. Kim Hong cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan yang datangnya seperti hujan itu. Ternyata bantuan Cian Ling menguntungkan lima orang pengeroyok itu.
Melihat isterinya yang juga sumoinya itu telah terjun ke dalam medan perkelahian membantu Ching-hai Ngo-liong, diam-diam Ciang Gu Sik lalu mencari kesempatan untuk membantu gurunya. Dia melihat dengan jelas betapa gurunya terdesak hebat tadi, dan kini setelah gurunya mempergunakan tongkat sebagai senjata, masih saja gurunya tidak dapat menandingi Pendekar Sadis yang amat lihai itu, Ciang Gu Sik lalu mempersiapkan senjatanya, yaitu joan-pian emas yang amat ampuh itu. Dia tidak mengeluarkan joan-pian itu, melainkan hanya bersiap sedia sambil mendekati dua orang yang sedang berkelahi mati-matian itu.
See-thian-ong kini mulai merasa bingung. Dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih dan dia mulai merasa lelah sekali. Maklumlah datuk ini bahwa memang lawan yang masih amat muda ini benar-benar lebih unggul dari padanya dan diapun maklum bahwa sekali ini, kalau dia sampai kalah, bukan hanya namanya yang akan jatuh, akan tetapi dia sendiripun agaknya takkan keluar dalam keadaan hidup dari medan perkelahian itu. Hal ini membuatnya menjadi nekat. Maka, setelah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang, diapun lalu mengeluarkan bentakan keras sekali dan menubruk ke depan, tongkatnya menyambar-nyambar ganas, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyerang tanpa mempedulikan segi pertahanan karena dia sudah mengerahkan tenaga Hoa-mo-kang yang membuat tubuhnya menggembung seperti balon ditiup keras.
Thian Sin cepat mengelak dan menangkis tongkat, kemudian secepat kilat tangan kirinva memukul ke arah dada lawan yang terbuka. Dan pada saat itu, Ciang Gu Sik menubruk dan senjata Kim-joan-pian itu berubah menjadi gulungan sinar emas menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Dukkk...!" Dada See-thian-ong terkena pukulan Thian Sin membuat tubuh kakek itu terjengkang dan terguling-guling, akan tetapi karena tubuhnya terisi penuh tenaga Hoa-mo-kang, pukulan itu tidak melukainya.
"Desss...!" Pada detik berikutnya, pundak Thian Sin disambar ujung joan-pian, membuat bajunya robek dan juga kulit dan sebagian dagingnya robek oleh senjata itu! Untung bagi pemuda itu bahwa dia masih melihat menyambarnya sinar emas pada saat dia memukul See-thian-ong tadi, sinar emas yang menyambar ke arah kepalanya, dan dia cepat miringkan kepala sehingga ujung joan-pian itu mengenai pundaknya. Ciang Gu Sik memang cerdik sekali, dia menyerang tepat pada saat Thian Sin menghantam gurunya. Tepat pada saat pukulan Thian Sin mengenai dada suhunya yang sudah melindungi diri dengan Hoa-mo-kang, Gu Sik menyerang. Detik setelah pukulan itu dilakukan oleh Thian Sin yang mengerahkan tenaga, tentu saja merupakan detik yang kosong di mana tubuh pemuda itu ditinggalkan kekuatan sin-kang karena baru saja tenaga itu dikerahkan untuk memukul, maka Thian Sin tidak dapat melindungi pundaknya yang terjuka oleh senjata itu.
Begitu pundaknya terluka, Thian Sin membalik dan menyerang dahsyat ke arah Ciang Gu Sik, akan tetapi murid See-thian-ong yang cerdik ini sudah meloncat jauh ke belakang sehingga terbebas dari serangan Thian Sin. Sementara itu, See-thian-ong tertawa girang dan dia sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya, menghantam dengan tongkatnya sehingga terpaksa Thian Sin meninggalkan Gu Sik untuk menghadapi kakek itu. Pundaknya yang terluka tidak berbahaya, akan tetapi cukup nyeri dan membuat dia marah.
Seperti kita ketahui, Cian Ling tadi ikut membantu Ching-hai Ngo-liong mengeroyok Kim Hong dan ketika melihat betapa Thian Sin kena dihantam oleh suaminya atau juga suhengnya, wanita ini menjadi khawatir sekali. Betapapun juga, diam-diam Cian Ling masih mencinta Thian Sin, dan melihat betapa pundak Thian Sin terluka oleh joan-pian dan berdarah, hatinya gelisah dan berduka. Disangkanya bahwa Thian Sin tentu akan celaka dan tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan See-thian-ong dan Ciang Gu Sik. Kini, melihat betapa Thian Sin masih bertanding melawan See-thian-ong sedangkan suaminya itu masih siap dengan joan-pian di tangan, tentu sedang menanti saat seperti tadi, Cian Ling menjadi marah dengan tiba-tiba. Dugaannya memang benar karena pada saat Thian Sin dan See-thian-ong sedang saling serang dengan hebat, tiba-tiba Gu Sik sudah menerjang lagi dari belakang.
Tanpa banyak cakap, Cian Ling meninggalkan Kim Hong yang masih dikeroyok oleh Ching-hai Ngo-liong yang telah dapat mengatur kembali barisannya itu, dan Cian Ling lalu menyerbu ke dalam medan perkelahlan yang lain itu bukan untuk mengeroyok dan menyerang Thian Sin, melainkan untuk menggunakan pedangnya menusuk ke arah lambung suaminya dari samping! Ciang Gu Sik sama sekali tidak mengira bahwa gerakan pedang isterinya itu untuk menyerang dirinya, maka dia tak dapat menghindarkan diri sama sekali dan tahu-tahu pedang isterinya itu menusuk dan menembus lambungnya di bawah iga, dari kanan ke kiri! Ciang Gu Sik berteriak lalu terbelalak memandang kepada isterinya, joan-pian emas itu terlepas dari pegangannya, kedua tangannya menekan kedua lambungnya dan dia terhuyung ke belakang, pedang isterinya masih terbawa oleh tubuhnya.
Peristiwa yang tak disangka-sangka ini membuat See-thian-ong dan Thian Sin terkejut, sehingga keduanya undur ke belakang memandang kepada Ciang Gu Sik dan Cian Ling. Tiba-tiba See-thian-ong menubruk ke depan dan memukul Cian Ling dengan Ilmu Hoa-mo-kang! Thian Sin yang masih terheran itu tidak sempat mencegahnya. Cian Ling kena terpukul dadanya dan wanita ini menjerit lalu terbanting roboh! Semua itu terjadi sedemikian cepatnya! Melihat isterinya roboh, Ciang Gu Sik terhuyung menghampiri dan diapun terguling roboh tak jauh dari isterinya.
"Cian Ling... kenapa kau... kau membunuhku...?"
"Suheng... maaf... aku cinta padanya..."
Hanya itulah yang terdengar oleh Thian Sin dan tiba-tiba pemuda ini mengamuk. Dengan cepat dia mencabut kipas dan pedang Gin-hwa-kiam dan diserangnya See-thian-ong dengan hebatnya. Datuk ini menangkis dengan tongkatnya dan membalas sehingga dalam detik-detik berikutnya dua orang ini sudah bertanding lagi dengan seru dan mati-matian.
Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Kalau gadis ini menghendaki, sebetulnya sudah sejak tadi ia mampu merobohkan para pengeroyoknya. Akan tetapi gadis ini memang sengaja hendak mempelajari ilmu barisan mereka yang dianggapnya cukup hebat itu, dan pula, ia tadi melihat bahwa kekasihnya tidak memerlukan bantuannya. Melihat betapa Thian Sin belum juga mengeluarkan senjata, iapun maklum bahwa kekasihnya itu merasa yakin akan keunggulannya. Akan tetapi, tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa Thian Sin akan terkena serangan mendadak dari Gu Sik sehingga terluka pundaknya. Maka Kim Hong segera mempercepat gerakan sepasang pedang itu dan lima orang pengeroyoknya kembali kocar-kacir. Apalagi sekarang Cian Ling tidak membantu mereka. Hanya belasan jurus kemudian, sepasang pedang gadis yang pernah menjadi datuk selatan itu merobohkan dua orang pengeroyok yang tewas seketika. Tiga orang saudaranya terkejut dan marah, melawan mati-matian, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak merupakan lawan yang berat lagi bagi Kim Hong. Ia terus mempercepat gerakannya dan berturut-turut tiga orang dari Ching-hai Ngo-liong itupun roboh dengan jantung tertembus pedang! Ketika orang ke lima roboh, Kim Hong melihat bahwa sepasang pedang tipisnya tersembunyi di balik jubah orang itu. Ia menjadi girang sekali dan cepat melempar pedang rampasannya dan mengambil kembali sepasang pedangnya. Di pinggang orang ke dua ia menemukan kantong jarum merahnya, maka iapun mengambil senjata rahasia ini.
Setelah memperoleh kembali senjata-senjatanya, Kim Hong menoleh ke arah perkelahian antara dua orang itu. Alisnya berkerut. Ia melihat bahwa kekasihnya memang lebih unggul dan kakek itu telah terluka di sana-sini, bajunya berlumuran darah, kulit dadanya tergurat pedang dan pahanya juga terluka, akan tetapi kakek itu masih dapat melawan dengan tidak kurang kuatnya daripada tadi.
"Thian Sin, mengasolah dan biarkan aku mencoba kelihaian tua bangka ini!" kata Kim Hong dengan suara gembira. Thian Sin meloncat ke belakang. Tentu saja kalau dilanjutkan, akhirnya dia yang akan menang. Akan tetapi dia tahu betapa inginnya hati kekasihnya yang pernah berjuluk Lam-sin dan terkenal sebagai datuk selatan itu ingin sekali mencoba kepandaian datuk barat!
"Maju dan cobalah macan tua ompong ini!" katanya.
Kim Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut terjangan See-thian-ong. Terdengar bunyi berdencing beberapa kali dan keduanya terkejut, maklum bahwa tenaga mereka berimbang.
See-thian-ong menjadi semakin gentar melihat betapa semua muridnya telah tewas. Tak disangkanya wanita muda ini sedemikian lihainya sehingga Ching-hai Ngo-liong juga sampai tewas semua di tangannya. Mulailah dia meragu dan mulai percaya akan keterangan tadi yang menimbulkan dugaan bahwa gadis ini adalah Lam-sin!
"Tranggg!" See-thian-ong menahan pedang Kim Hong, lalu membentak, "Benarkah engkau Lam-sin?"
Kim Hong tersenyum tanpa memandang mata kakek itu. "Lam-sin sudah tidak ada, yang ada aku Toan Kim Hong!" katanya sambil menyerang lagi. Akan tetapi See-thian-ong meloncat ke belakang dan berkata.
"Tahan dulu! Kalau engkau benar Lam-sin, atau engkau yang menyamar sebagai nenek dan memakai nama Lam-sin, berarti kita masih segolongan! Lam-sin sebagai datuk dunia selatan tidak akan memusuhi See-thian-ong, datuk barat!"
"Hi-hik, kakek pikun. Ketika aku masih menjadi Nenek Lam-sin, tentu saja aku tidak akan memusuhimu. Akan tetapi engkau lupa, aku sekarang bukan lagi Lam-sin, melainkan gadis biasa saja Toan Kim Hong yang ingin mencoba sampai di mana kelihaian orang yang berani berjuluk datuk dunia barat!"
"Bagus, bocah sombong mampuslah!" Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Dia tidak percaya bahwa gadis ini akan sekuat Thian Sin, maka biarpun nanti dia akan kalah, kalau dia sudah dapat morobohkan dan membunuh gadis ini, puaslah hatinya. Setidaknya dia akan dapat membalas kematian murid-muridnya dan juga dapat membuat berduka hati Thian Sin yang kematian kekasihnya. Inilah sebabnya mengapa kakek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menerjang Kim Hong sebelum Thian Sin sempat membantunya.
Thian Sin kini menghampiri Cian Ling dan memeriksa keadaan gadis itu. Dia terkcjut sekali melihat bahwa gadis itu telah menderita luka yang amat hebat, tulang-tulang dadanya remuk oleh See-thian-ong tadi. Akan tetapi pada saat itu Cian Ling sadar dan melihat Thian Sin berlutut di dekatnya, ia tersenyum.
"Cian Ling...!" Thian Sin berkata dengan terharu. Dia tahu bahwa gadis ini tewas karena mencoba untuk menolongnya. "Kenapa engkau ceroboh sekali, mencoba membantuku?"
"Thian Sin... aku... aku cinta padamu... aku tidak tahan melihat engkau terancam... dan aku... tidak dapat hidup... tanpa engkau..."
Thian Sin menarik napas panjang dan dia merasa kasihan kepada gadis ini. Bagaimanapun juga, dia tidak mencinta gadis ini, sungguhpun dia suka sekali kepadanya. Siapa yang tidak suka kepada seorang gadis semanis Cian Ling"
"Ciang Ling..." Thian Sin menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Lalu dia menoleh dan melihat betapa perkelahian antara See-thian-ong dan Kim Hong terjadi amat hebatnya. Ketika dilihatnya bahwa See-thian-ong benar-benar mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan Kim Hong, diapun maklum bahwa agaknya kakek itu berusaha mati-matian untuk membunuh Kim Hong, tentu saja dengan maksud membalas kematian murid-muridnya.
Maka timbul kekhawatirannya dan diapun bangkit berdiri.
"Thian Sin..."
Dia berjongkok lagi mendengar suara Cian Ling ini.
"Kau... kau cinta padanya...?"
Thian Sin maklum apa yang dimaksudkan oleh gadis ini dan diapun mengangguk. Memang, pada saat itu dia berani mengaku bahwa dia mencinta Kim Hong, walaupun dia sendiri tidak yakin apakah perasaannya terhadap Kim Hong itu yang dinamakan cinta, ataukah sama saja dengan perasaannya ketika dia sedang tergila-gila kepada para gadis lain yang pernah dicintanya, seperti Cian Ling.
"Ah... ia... ia bahagia... aku... aku... iri kepadanya..."
Napas gadis itu tinggal satu-satu dan Thian Sin memandang dengan hati kasihan. "Tenangkanlah hatimu, Cian Ling. Seorang gagah tidak takut mati!" Dia membesarkan hati gadis itu.
Cian Ling menggerakkan lehernya seolah-olah hendak mengangguk. "Thian Sin... maukah engkau mengantar kematianku dengan sebuah ciuman..."
Mendengar permintaan ini, Thian Sin merasa semakin iba dan diapun merangkul dan mengangkat tubuh bagian atas gadis itu. Cian Ling menyeringai kesakitan, dan kedua lengannya merangkul ketika Thian Sin menciumnya. Pada saat itu Thian Sin merasa betapa tubuh itu menegang lalu terkulai dan tahulah dia bahwa gadis itu menghembuskan napas terakhir pada saat dia menciumnya, maka dengan perlahan dia lalu merebahkan kembali tubuh itu ke atas tanah.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar angin dahsyat dari belakangnya. Dia menengok dan terkejut bukan main melihat Kim Hong menerjang dan menendangnya. Dia tidak sempat mengelak, maka dia menangkis dan "desss...!" Tubuhnya terlempar sampai beberapa meter jauhnya.
"Eh... kau sudah gila...?"
"Engkau yang gila, bukan aku!" bentak Kim Hong dan gadis ini sekarang menyerang Thian Sin dengan sepasang pedangnya! Thian Sin menangkis beberapa kali, lalu meloncat dan mengejar See-thian-ong yang mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri! Juga Kim Hong berlari cepat dan ternyata gin-kang dari gadis ini yang paling hebat dan dia yang lebih dulu menghadang dan menyerang See-thian-ong! Kini See-thian-ong diserang oleh dua orang! Tentu saja dia menjadi sibuk sekali, mengelak ke sana ke mari dan menangkis, akan tetapi tiba-tiba terdengar dia menjerit ketika sebatang pedang dari Kim Hong yang marah-marah itu membabat putus lengannya sebatas bawah siku! Akan tetapi, kakek ini masih terus melawan, bahkan mendesak Thian Sin dengan tongkatnya. Thian Sin menangkis lalu menghantamkan tangan kirinya sambil tubuhnya melayang ke depan. Dia telah menggunakan jurus Hok-te Sin-kun yang ampuh. See-thian-ong yang sudah buntung lengan kirinya itu tidak berhasil menghindarkan dirinya dan dadanya kena dipukul.
"Desss...!" Bukan main hebatnya pukulan ini dan kalau bukan See-thian-ong tentu sudah roboh dan tewas. Akan tetapi pukulan itu hanya membuat tubuh See-thian-ong terbanting keras ke belakang dan diapun bergulingan sampai jauh. Ketika dia meloncat berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, wajahnya pucat dan darah bercucuran dari lengan kirinya. Sementara itu, Kim Hong memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata berkilat.
"Engkau telah menghinaku!" bentak Kim Hong kepada pemuda itu.
Thian Sin masih belum mengerti mengapa Kim Hong marah-marah kepadanya dan tadi bahkan nyaris membunuhnya. "Eh, kenapakah...?" Lalu dia teringat dan dia tersenyum. "Eh, apakah engkau... marah dan cemburu melihat aku mencium Cian Ling tadi" Kau tahu, ia... ia minta aku mengantarkan kematiannya dengan ciuman, ia sudah mati, harap kau tidak cemburu!"
"Siapa cemburu" Cih, engkau mau menciumi wanita lain sampai mampuspun aku tidak peduli, akan tetapi kalau engkau melakukan di depan mataku, berarti bahwa engkau tidak memandang aku dan berarti engkau menghinaku! Kalau memang engkau ingin mencumbu wanita lain, pergilah dan jangan melakukannya di depanku!"
Thian Sin melongo. Sungguh dia tidak mengerti watak wanita, terutama Kim Hong yang aneh ini. Akan tetapi tiba-tiba See-thian-ong melompat dan lari lagi, maka diapun tidak menjawab dan sudah mengejar, disusul oleh Kim Hong yang kembali mendahuluinya dan sudah menghadang See-thian-ong!
"Hemm, kalian tidak mau melepaskan aku, ya" Kalian menghendaki kematianku" Baiklah, aku akan mati di depanmu!" Dan tiba-tiba saja See-thian-ong menggerakkan tongkatnya dan... terdengar suara keras disusul robohnya tubuh yang tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah dihantam tongkatnya sendiri tadi! Kiranya See-thian-ong sudah putus asa, maklum bahwa dia tidak dapat menang melawan dua orang muda itu, juga tidak dapat melarikan diri. Maka, daripada disiksa oleh Pendekar Sadis dan mati di tangan musuh, dia memilih mati di tangan sendiri!
Thian Sin mendekatinya dan setelah mendapat kenyataan bahwa musuh besarnya ini telah tewas, dia menarik napas panjang. Akan tetapi ketika dia menengok, dia tidak melihat lagi Kim Hong di situ. Ternyata gadis itu telah pergi tanpa pamit, meninggalkannya.
"Kim Hong...!" Dia memanggil dan mencari ke sana-sini sambil memanggil-manggil nama gadis itu. Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka, Kim Hong lenyap tanpa meninggalkah bekas. Akhirnya Thian Sin terpaksa kembali ke pondok merah yang tadinya menjadi sarang See-thian-ong dan anak buahnya. Akan tetapi tempat itu telah menjadi sunyi sekali. Kebakaran telah dipadamkan orang dan hanya tinggal bekasnya saja, asap di sana-sini. Akan tetapi mayat-mayat para murid See-thian-ong telah lenyap dan tidak seorangpun berada di tempat itu. Juga ketika dia memasuki pondok besar yang kebakaran itu, tidak nampak seorangpun manusia. Agaknya sisa anak buah See-thian-ong telah melarikan diri sambil membawa mereka yang tewas. Dan pondok-pondok lain yang berada di sekitar tempat itu, agaknya tidak ada yang membuka pintu karena penghuninya ketakutan. Maka Thian Sin meninggalkan tempat itu untuk mencari Kim Hong.
Apa yang dilakukan oleh Thian Sin dan Kim Hong di tepi Telaga Ching-hai itu merupakan peristiwa yang menggemparkan sekali. Terutama dunia kang-ouw segera mendengar berita yang dibawa oleh sisa anak buah See-thian-ong bahwa datuk barat itu tewas di tangan Pendekar Sadis, demikian pula semua murid-murid datuk itu. Sungguh hal ini merupakan berita yang mengejutkan hati para tokoh dunia kaum sesat. Semua orang memang sudah tahu bahwa kemunculan Pendekar Sadis menggegerkan dunia persilatan, bukan hanya karena kejamnya melainkan juga karena kelihaiannya yang dikabarkan amat luar biasa itu. Akan tetapi belum pernah sebelumnya ada yang menduga bahwa Pendekar Sadis akan mampu mengalahkan See-thian-ong bahkan mengobrak-abrik kaki tangan datuk itu, membunuh Si Datuk dan semua muridnya yang terpandai. Maklumlah para tokoh dunia hitam bahwa Pendekar Sadis merupakan ancaman bahaya yang besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Hasil yang amat baik dari penyerbuannya yang bukan hanya dapat menyelamatkan Kim Hong, bahkan akhirnya dapat mengalahkan See-thian-ong, membunuhnya dan para muridnya itu mestinya amat menggirangkan hati Thian Sin. Akan tetapi, ternyata tidak demikian. Dia sama sekali tidak merasa puas atau girang, bahkan merasa gelisah dan bingung. Semua ini, dia tahu, disebabkan oleh perginya Kim Hong tanpa pamit.
Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini. Merasa gelisah, kesepian dan kehilangan kegembiraan, bahkan kehilangan gairah hidup. Apakah ini disebabkan karena perginya Kim Hong" Mengapa sebelum dia bertemu dan berkumpul dengan Kim Hong dia tidak pernah merasakan kesepian yang menghimpit ini" Apakah ini berarti bahwa dia telah benar-benar jatuh cinta kepada gadis itu"
Thian Sin mengeraskan hatinya. Kalau Kim Hong tidak mau melanjutkan hubungan dengan dia, diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak ada ikatan apa-apa di antara mereka, bahkan Kim Hong sudah menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada ikatan apapun! Hubungan mereka adalah atas dasar suka sama suka, demikian kata Kim Hong. Jadi, kalau seorang di antara mereka sudah tidak suka melanjutkan hubungan itupun putus sampai di situ saja! Dan agaknya Kim Hong tidak hendak melanjutkan, maka gadis itu pergi tanpa pamit. Dan sebabnya, menurut dugaannya, dan biarpun dibantah oleh Kim Hong, adalah rasa cemburu.
Thian Sin merasa tidak berdaya. Seorang wanita seperti Kim Hong tidaklah mudah untuk dapat dicarinya begitu saja kalau Kim Hong tidak ingin bertemu dengannya. Wanita itu amat lihai, dan keras hati, percaya kepada diri sendiri dan yang lebih dari kesemuanya itu, Kim Hong memiliki gin-kang yang lebih tinggi daripada dia sehingga andaikata ia dapat mencarinya juga, kalau wanita itu melarikan diri dia tidak akan mampu mengejar dan menyusulnya.
Dalam perjalanannya sekali ini, Thian Sin benar-benar merasa bingung dan kesepian. Dia tidak tahu ke mana harus mencari Kim Hong dan maklum bahwa kalau gadis itu sendiri tidak ingin bertemu dengannya, maka tidaklah ada harapan baginya untuk dapat mencari Kim Hong. Oleh karena itu, diapun lalu pergi menuju ke Tai-goan. Dia telah berhasil menundukkan dua di antara empat datuk kaum sesat. Pertama, Lam-sin telah ditundukkan, dan ke dua, See-thian-ong telah berhasil ditewaskannya. Kini tiba giliran Pak-san-kui! Datuk itupun merupakan musuhnya, dan sekali ini dia harus dapat menghancurkan Pak-san-kui seperti yang telah dilakukannya terhadap See-thian-ong.
SETELAH membiarkan Kim Hong menghadapi dan "merasakan" kelihaian datuk utara itu selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Thian Sin lalu melompat, meninggalkan empat orang pengeroyoknya dan menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong. "Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!"
Kim Hong tertawa dan gadis inipun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka diapun menjadi marah sekali.
"Perempuan hina, rasakan pembalasanku!" Yang-kimnya menyerang ganas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!
Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yang-kim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, iapun mengerahkan semua tenaganya.
"Trakkk!" Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, yang-kimnya pecah ujungnya terbabat pedang hitam! Dan Kim Hong terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali ia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat cmpat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat. Apalagi Siangkoan Wi Hong sudah mengalami kekagetan karena yang-kimnya patah ujungnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya mesra itu ternyata memiliki kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiripun tidak mampu mengalahkannya.
Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin melawan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perobahan. Kini Thian Sin mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan sinar lampu di depan pondok itu biarpun hanya suram saja masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Thian Sin terus mendesaknya, dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.
"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata itu bertemu dan sekali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui sudah menggerakkan lengan kirinya yang dapat memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu telah menangkap kaki kanan Thian Sin. Pemuda ini mernang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak marnpu mempertahankan dan diapun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang telah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.
"Crokk! Aughhhhh...!" Pak-san-kui meloncat berdiri dan terhuyung ke belakang, akan tetapi lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku! Akan tetapi, tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia terus menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.
"Trang! Tranggg...!" Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada saat kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, kini mempergunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin. Pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan tiba-tiba Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng!
"Ahhh...!" Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki ilmu Thi-khi"i"beng yang mujijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangkanya bahwa pemuda itu akan mempergunakannya pada saat itu. Kini huncwenya melekat pada tangan pemuda itu dan pada saat dia mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot, pemuda itu mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sin-kang yang tersalur lewat tangan kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dan menghentikan pengerahan sin-kangnya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lwee-kangnya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba merenggut lepas huncwenya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.
"Prakkk!" Huncwe itu remuk, pecah berantakan, tetapi tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!
Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu dan meloncat mendekati untuk memeriksa apakah lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang setelah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.
"Cusss...!" Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Disangkanya bahkan kakek itu mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi! Kiranya setelah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruknya tadi, kakek itu telah tewas! Tenaganya yang terakhir dipergunakan dalam tendangan tadi dan setelah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.
Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Diapun tidak membantu, hanya menonton sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia semakin kagum kepada Kim Hong. Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Namun, jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangah seenaknya, dan dengan gin-kangnya yang luar biasa ia seperti beterbangan ke sana ke mari, seperti seekor kupu-kupu lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara berdesing-desing dan yang membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Bahkan barisan Sha-kak-tin itupun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong ikut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dengan segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biarpun dasar ilmu silat mereka dari satu sumber, akan tetapi kehadiran Siangkoan Wi Hong ini tidak memungkinkan lagi mereka memainkan Sha-kak-tin dengan sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan merekapun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Akibatnya malah mereka sendiri yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!
Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum.
"Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!" Dan gerakan pedangnyapun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.
Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu!
Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi.
"Prokk!" Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.
Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.
"Kim Hong..."
"Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga." Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya.
"Kim Hong," kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah hendak mengajaknya berlumba. "Sekarang aku minta penjelasan darimu."
Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya, kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.
"Penjelasan apa lagi?" tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.
Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.
"Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit" Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya" Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku" Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?"
Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.
"Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu mengalahkannya" Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang kautunggu-tunggu?"
Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak. "Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kaumaafkan aku!"
Bibir bawah yang lunak itu mencibir, "Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna."
"Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri" Sungguh aku tidak mengerti."
"Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?" Kim Hong mengejek.
"Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong."
Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. "Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu" Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya! Nah, aku sudah memberi penjelasan!" Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.
Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, "Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong."
Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.
"Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah, ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu."
Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan.
"Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?" Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.
Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, "Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?"
Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang. Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.
"Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?"
Kim Hong meniatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. "Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari" Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?"
"Kim Hong..."
Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.
Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.
Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula.
Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu hal yang "kotor" untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya" Mengapa" Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si "aku?"
Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang "berbudaya", yang "sopan" yang "bersusila?" Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya" Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya"
Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin "makan" lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama, kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.
Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak.
Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.
Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia.
Cabul" Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang" Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang" Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si "aku" yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.
Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.
*** "Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?" Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. "Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
"Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?" puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.
"Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan."
"Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!" Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, "Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?"
"Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaahmu."
Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kauingat akan hal ini."
Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya" Ia tahu benar akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.
"Pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat."
Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. "Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta."
Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya. Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. "Percayalah, ibu, aku selama ini banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang kaya."
Ibunya tersenyum. "Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!"
"Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!" Kong Liang berseru. "Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!"
Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, "Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!" Mereka bertiga tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali.
Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. "Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja," kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. "Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ay
Hikmah Pedang Hijau 3 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es 13
^