Pendekar Sadis 21

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


ah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu."
Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.
Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.
Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. "Kong Liang, pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki."
Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.
Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.
Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau kaum pendekar, dikirimi undangan.
Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja. Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.
Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seeker harimau.
Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahung juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik.
Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas.
Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata.
Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.
Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.
Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.
Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu.
"Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya."
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.
"Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!" Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.
Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.
Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkatat "Mulai saat ini, Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami."
Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar.
Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan suaranya mengatasi semua kegaduhan, "Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!"
Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. "Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!"
Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur" Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk inipun mengundurkan diri.
Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, "Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?"
Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.
"Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami," kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!
"Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang." Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.
"Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapapun juga."
"Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!"
Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.
Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.
"Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona." Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi.
Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.
"Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona."
"Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut" Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindarkan Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjedi seorang penakut?"
Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan" Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan" Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit.
"Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas, apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa."
Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.
"Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani, katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!"
Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?" Dan nampak sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itut menahan serangan puterinya.
"ANAKKU, hari ini adalah hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji," kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.
"Hemm, anaknya jauh lebih gagah daripada ayahnya!" Kirn Hong sengaja mengejek dan ia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.
Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.
"Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!"
Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tidak gentar menghadapi wanita itu walaupun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya mantunya yang dia tahu amat lihai, apalagi di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar dan diapun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, "Harap engkau berhati-hati." Lalu diapun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.
Kini Cia Kong Liang berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis iapun berkata, "Ah, kiranya inikah yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To dan putera ketua Cin-ling-pai" Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih mantu!" katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu bicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja.
Cia Kong Liang tidak mau banyak bicara dengan wanita cantik itu. "Engkat tadi mengatakan bahwa Pendekar Sadis sudah muncul untuk mengacau di sini. Nah, akulah lawannya karena aku mewakili tuan rumah, Locianpwe Bin Mo To untuk menghadapi Pendekar Sadis. Sudah lama aku mendengar tentang kekejamannya dan hari ini aku ingin sekali untuk merasakan sampai di mana sebenarnya kelihaian orang kejam itu!"
Kim Hong tersenyum dan menjadi semakin kagum akan kegagahan sikap pemuda ini. "Hemm, kau tentu she Cia, bukan" Aku mendengar bahwa keluarga Cia, ketua dari Cin-ling-pai merupakan pendekar-pendekar sakti yang berilmu tinggi sekali. Akan tetapi, munculnya Pendekar Sadis di sini adalah untuk menandingi Tung-hai-sian, bukan lain orang. Kalau lain orang yang maju, maka akulah lawannya!"
Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. "Engkau seorang wanita yang sombong sekali. Aku tidak peduli siapa yang akan maju, Pendekar Sadis atau antek-anteknya, pendeknya siapapun yang hendak mengacaukan perayaan hari ini, biarlah dia boleh berhadapan dengan aku!" Sambil berkata demikian, Kong Liang sudah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik, mengeluarkan sinar kebiruan tanda bahwa pedang itu amat tajam dan kuat. Dengan pedang melintang di depan dadanya, Kong Liang menanti, sikapnya siap untuk bertanding.
Kim Hong memandang kagum. Sungguh seorang pemuda yang pilihan, pikirya. Tampan, ganteng, dan gagah perkasa. Pantas menjadi putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal kesaktiannya itu. Maka timbullah kegembiraannya dan ingin ia mencoba kepandaian pemuda ganteng itu. Pula, iapun mengerti bahwa Thian Sin akan merasa sungkan untuk melawan pemuda ini yang menurut penuturan kekasihnya itu, masih terhitung paman sendiri.
"Bagus! Cia-taihiap, mari kita main-main sebentar!" katanya dengan manis dan iapun sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam mengerikan. Sikap Kim Hong seperti menghadapi suatu permainan atau pertunjukkan yang amat menarik saja, sama sekali tidak nampak tegang atau khawatir, seolah-olah ia tidak tahu bahwa ia telah menantang putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Kong Liang sendiri merasa mendongkol bukan main. Perempuan sombong ini memang perlu dihajar, pikirnya. Kalau tidak, maka tentu nama baik calon mertuanya akan tercemar.
"Ingat, nona, engkau sendiri yang datang mencari keributan, bukan kami!" kata Kong Liang sambil memutar pedangnya ke atas kepala sehingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar kebiruan.
"Hi-hik, jangan khawatir. Memang aku datang untuk membikin ribut!" tantang Kim Hong yang juga sudah bergerak, memasang kuda-kuda yang manis sekali, kaki kanan diangkat dan ditekuk, tubuhnya tegak lurus. Pedang kanan menuding ke atas dada, mulutnya tersenyum dan matanya mengerling ke arah lawan karena mukanya menghadap ke kiri.
"Lihat serangan!" Kong Liang yang bagaimanapun juga merasa tidak enak harus melawan seorang dara muda, membentak dan mulai dengan membuka serangan pertama. Kim Hong menangkis dengan pedang kiri sambil mengerahkan tenaga karena ia melihat betapa serangan lawan itu mengandung sin-kang yang kuat.
"Cringgg...!" Kong Liang yang tadi hanya mengeluarkan separuh tenaganya, terkejut karena pedangnya tergetar hebat. Tahulah dia bahwa lawannya itu, walaupun hanya merupakan seorang wanita muda, namun memiliki sin-kang yang kuat. Maka diapun menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya.
Kim Hong yang agaknya hendak mengukur tenaga lawan, kembali menangkis.
"Tranggg...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dengan amat kerasnya dua batang pedang itu bertemu dan pedang kanan Kim Hong sudah meluncur ke depan dengan cepatnya menuju ke tenggorokah Kong Liang!
Pemuda ini terkejut. Pertemuan pedang tadi, yang digerakkan dengan sepenuh tenaga, ternyata ditangkis oleh tenaga yang tidak kalah kuatnya, bahkan pada saat berikutnya, pedang ke dua dari lawannya sudah menusuk ke arah tenggorokannya. Cepat dia miringkan kepala, memutar kaki dan membalas dengar sabetan pedang dari samping. Kembali Kim Hong menangkis.
"Bagus!" Kong Liang memuji dengar sejujurnya dan mulailah dia menggerakkan pedangnya dengan jurus-jurus Siang-bhok Kiam-sut yang hebat. Ilmu Pedang Kayu Harum ini adalah ilmu inti dari Cin-ling-pai. Maka kehebatannya bukar main. Aselinya dimainkan oleh pedang kayu, akan tetapi untuk mencapai tingkat ini bukanlah mudah sehingga Kong Liang sendiripun tidak mampu kalau harus menggunakan pedang kayu, maka sebagai gantinya dia mainkan ilmu itu dengan pedang baja. Biarpun tidak sehebat kalau ayahnya bermain pedang kayu, namun ilmu pedang pemuda ini sudah hebat bukan main.
Melihat gerakan-gerakan aneh dan indah sekali ini, Kim Hong sendiri terkejut dan kagum. Ia amat tertarik dan untuk belasan jurus lamanya ia hanya mengelak dan menangkis sambil memperhatikan gerakan lawan.
"Bagus sekali! Inikah Siang-bhok Kiam-sut dari Cin-ling-pai" Hebat... hebat... hebat...!" Ia menangkis lagi dan mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Sepasang pedangnya telah membentuk dua gulungan sinar hitam yang melingkar-lingkar seperti dua ekor naga hitam yang menyambar-nyambar. Iapun segera mainkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Menaklukan Iblis) dan karena ia memiliki gin-kang yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan Kong Liang maka gerakannya amat cepat dan cukup membuat Kong Liang menjadi bingung. Pemuda ini cepat mengubah permainan pedangnya dan mempergunakan gerakan Thai-kek Sin-kun untuk melindungi dirinya. Memang hanya ilmu inilah yang dapat dipergunakan untuk melindungi dirinya terhadap desakan lawan yang lihai. Akan tetapi, karena mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga untuk melindungi diri, dengan sendirinya Kong Liang tidak dapat membalas dan mulailah dia terdesak dengan hebat. Kim Hong yang merasa gembira sekali itu sudah mergerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, maka tentu saja Kong Liang menjadi repot karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaian Kim Hong yang pernah menjadi Lam-sin datuk selatan itu masih lebih tinggi dari tingkatnya!
Semua orang, termasuk juga Bin Mo To, dan bahkan Cia Bun Houw dan Yap In Hong, terkejut bukan main melihat kenyataan yang pahit ini. Tak pernah ada yang mengira bahwa gadis muda yang sama sekali tidak terkenal itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya sehingga putera ketua Cin-ling-pai yang lihai itupun menjadi kewalahan! Yap In Hong yang melihat puteranya terdesak, sudah hendak bangkit, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan iapun teringat bahwa kalau sampai ia bangkit membantu puteranya, maka tentu saja hal itu akan mencemarkan nama besar Cin-ling-pai. Mana mungkin keluarga Cin-ling-pai main keroyok! Akan tetapi pandang mata Cia Bun Houw lebih tajam lagi. Dia memang dapat melihat bahwa dara itu bukan orang sembarangan, dan terutama sekali dalam hal gin-kang, wanita itu jauh mengatasi puteranya. Puteranya akan kalah, akan tetapi betapapun juga Kong Liang telah memiliki dasar yang amat kokoh kuat maka tidak mungkin dapat celaka begitu saja dan di samping itu, agaknya wanita itupun tidak bermaksud jahat kerhadap puteranya. Maka pendekar inipun hanya menonton saja dengan hati tegang akan tetapi wajah tetap tenang. Juga Tung-hai-sian yang berilmu tinggi, melihat kenyataan ini diam-diam dia terheran-heran mengapa dapat muncul seorang dara yang demikian lihainya. Apalagi ketika dia terlihat sepasang pedang hitam itu, dan gerakan-gerakan yang mengingatkan dia akan ilmu-ilmu dari Lam-sin, rekannya, yaitu datuk selatan dia menjadi semakin heran. Apakah dara ini murid Lam-sin, pikirnya. Akan tetapi kalau muridnya begini lihai luar biasa, tentu Lam-sin sekarang telah menjadi orang yang sukar dicari bandingnya lagi di dunia ini. Akan tetapi kalau benar murid Lam-sin, bagaimana bisa bersahabat dengan Pendekar Sadis" Bukankah Lam-sin lenyap karena datangnya Pendekar Sadis dan mungkin sekali juga sudah terbunuh oleh pendekar itu"
Para tamu terbelalak keheranan, terutama sekali para tokoh kang-ouw yang hadir. Mereka semua tidak mengenal siapa adanya wanita ini, akan tetapi semua takjub menyaksikan kelihaiannya. Maka keadaan menjadi berisik, semua tamu saling bertanya siapa adanya wanita yang mengaku bernama Toan Kim Hong ini.
Kini perkelahian itu mencapai puncaknya. Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga tubuh kedua orang itu sudah lenyap terbungkus gulungan sinar biru itu makin mengecil sedangkan dua gulungan sinar hitam makin menghimpit. Akhirmya, terdengar suara keras dari beradunya pedang, gulungan sinar pedang terhenti dan tubuh Kong Liang terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan keringatnya membasahi dahi dan leher. Sebaliknya, Kim Hong berdiri tegak dengan kedua pedang bersilang di depan dada, mulutnya tersenyum. Dalam jurus terakhir, biarpun ia tidak berhasil merobohkan Kong Liang karena memang pemuda itu memiliki dasar ilmu yang tinggi dan kokoh, namun ia sudah mendesaknya dan membuat Kong Liang terhuyung. Pemuda inipun maklum bahwa kalau saat dia terhuyung tadi lawannya mendesak, bukan tidak mungkin tidak akan celaka dan dirobohkan. Akan tetapi Kim Hong tidak menghendaki hal itu terjadi, tidak mau ia merobohkan paman dari kekasihnya.
"Kim Hong, jangan kurang ajar engkau!" Tiba-tiba nampak tubuh Thian Sin berkelebat dan sudah berada di atas panggung, menegur Kim Hong yang hanya tersenyum-senyum. Thian Sin lalu menjura kepada Kong Liang dengan hati tidak enak sekali.
"Paman, maafkanlah kelancangan nona ini..." Thian Sin memberi hormat dan menyambung, "biarkanlah aku yang mintakan maaf, paman."
Cia Kong Liang berdiri dengan muka pucat, lalu menarik napas panjang dan menyimpan pedangnya, sejenak memandang tajam kepada Thian Sin tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali ke tempat duduknya. Wajah Thian Sin berubah merah sekali. Dia maklum betapa pamannya itu, putera dari adik neneknya, memandang rendah kepadanya, bahkan agaknya tidak mau mengenalnya lagi. Dia memandang marah kepada Kim Hong dan berbisik, "Kau mencari gara-gara!"
Kim Hong tersenyum. "Hi-hik, bukankah aku membuka jalan bagimu" Sekarang kauhadapi sendiri!" Gadis itupun melayang turun dan duduk di sudut menjauhi para tamu lain. Para tamu memperhatikan wanita ini, namun Kim Hong bersikap tak acuh dan memandang ke panggung karena pemuda tampan yang baru muncul itu sudah berkata dengan suara lantang. Apalagi karena semua orang sudah menduga bahwa tentu pemuda itulah yang berjuluk Pendekar Sadis, yang amat ditakuti oleh orang-orang dunia hitam. Dan di antara mereka yang pernah melihat Thian Sin, sudah menjadi pucat mukanya karena memang benar bahwa yang kini berdiri di atas panggung itu adalah sang pendekar yang ditakuti itu.
"Seperti sudah dikatakan oleh temanku, Nona Toan Kim Hong tadi, kedatanganku ini adalah untuk menantang Tung-hai-sian Bin Mo To untuk mengadu ilmu! Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan Tung-hai-sian dan sepanjang pendengaranku, biarpun dia seorang datuk kaum sesat, namun tindakan Tung-hai-sian tidak sewenang-wenang. Hanya karena aku sudah pernah bersumpah dan bertekad untuk mengalahkan empat datuk di dunia, maka sekarang aku datang untuk menantang kepada Tung-hai-sian untuk mengadu ilmu dan menentukan siapa di antara kami berdua yang lebih unggul. Tung-hai-sian Bin Mo To harap suka keluar den jangan melibatkan orang lain. Mari kita mulai, disaksikan oleh banyak tokoh segala kalangan."
Tung-hai-sian yang kini sudah melepaskan julukan itu menjadi Bin Mo To biasa, melangkah maju dengan tindakan tenang menghadapi Thian Sin. Dia menjura dan berkata, "Sebagai tuan rumah kami mengucapkan selamat datang kepada Pendekar Sadis yang sudah lama kami dengar namanya. Bukan hanya mendengar sebagai Pendekar Sadis, akan tetapi juga sebagai putera mendiang Pangeran Ceng Hen Houw yang amat terkenal. Orang muda, sudah kukatakan tadi bahwa Tung-hai-sian kini sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah pedagang Bin Mo To yang tidak mau mencampuri urusan kang-ouw, tidak mau lagi aku mempergunakan kekerasan dan buktinya adalah ini!" Kakek itu mengambil pedang samurainya dengan gerakan yang amat cepatnya sehingga nampak kilat menyambar dan mengejutkan hati Thian Sin yang sudah bersiap-siap. Memang gerakan Bin Mo To mencabut pedang samurai tadi amat cepat sekali. Akan tetapi, terdengar bunyi "trak" dan pedang samurai itu patah menjadi dua potong di tangan kakek itu. Dan kini nampak ada dua butir air mata di bawah mata pendekar Jepang itu ketika dia memegangi potongan samurai, menarik napas panjang dan berkata lagi.
"Orang muda, entah sudah berapa banyaknya nyawa melayang dan darah mengalir oleh samurai ini. Dan sekarang, seperti juga patahnya samurai ini, sudah patah semangat saya untuk mempergunakan kekerasan. Biarlah aku mengaku kalah darimu, dan kalau engkau masih belum puas, dan hendak menyerang dan hendak membunuhku, silakan!" Kakek pendek itu membusungkan dada seperti menantang Thian Sin untuk memukul dan membunuhnya. "Tapi yang kau bunuh bukan Tung-hai-sian Si Datuk Timur, melainkan Bin Mo To saudagar biasa!"
Thian Sin menjadi ragu-ragu dan bingung bagaimana harus bicara atau bertindak menghadapi sikap seperti itu.
"Orang muda, maafkan kalau aku yang tua memberi peringatan kepadamu. Sudah puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia kang-ouw dan aku tahu benar bahwa nama besar hanyalah kosong belaka, hanya mengundang datangnya orang yang merasa iri hati dan musuh-musuh yang ingin melihat kita terjungkal. Mengapa engkau yang muda, yang gagah perkasa, mencari permusuhan secara berlebihan seperti ini" Ingatlah bahwa makin tinggi kedudukan seseorang, makin terkenal namanya, akan makin menyakitkan apabila sekali waktu dia terjungkal dari kedudukannya. Mengapa engkau yang masih begini muda hendak memaksa kedudukan tinggi dengan kekerasan" Seingatku, tidak ada orang yang terkenal di dunia ini dan sekali waktu akan bertemu dengan yang lebih pandai dan yang akan merobohkannya."
"Wah-wah-wah, sekali menanggalkan julukannya, Tung-hai-sian berubah menjadi tukang kibul!" tiba-tiba Kim Hong berseru dan dara ini sudah meloncat lagi naik ke atas panggung, tak sempat dicegah oleh Thian Sin. "Tua bangka, tidak perlu banyak cakap. Kalau engkau memang jerih dan takut melawan Pendekar Sadis, hayo lawanlah aku, hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian orang yang berani mengangkat dirinya menjadi datuk timur?"
"Nona muda, aku tidak mengenalmu, mengapa engkau sengaja hendak menghina orang tua?" kata Tung-hai-sian dengan sabar. "Kulihat sepasang pedang dan ilmumu dan aku yakin bahwa engkau masih mempunyai hubungan dengan Lam-sin, datuk selatan itu. Kenapa engkau tiba-tiba memusuhiku?"
"Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanya Toan Kim Hong dan kalau engkau tidak berani menghadapi Pendekar Sadis, biarlah kauhadapi aku saja yang menantangmu!"
"Bocah bermulut lancang dan bersikap sombong!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Yap In Hong telah berdiri di situ. Nenek yang usianya hampir enam puluh tahun ini masih gesit sekali dan kini mukanya merah, sepasang matanya berkilat dan jelas bahwa ia marah sekali. Ia memandang kepada Thian Sin dan menudingkan telunjuknya kepada pemuda itu.
"Ceng Thian Sin! Bagus sekali, engkau telah menjadi seorang manusla keji berjuluk Pendekar Sadis! Engkau agaknya mewarisi ambisi ayah kandungmu, akan tetapi engkau memalukan mereka yang menjadi nenek moyangmu.
Hayo, majulah dan tandingi aku! Aku ingin sekali melihat sampai di mana kesadisanmu!" Nenek ini menantang-nantang dengan penuh kemarahan.
"Ahh... tidak... tidak...!" Thian Sin mundur-mundur menjauhi nenek itu dengan bingung.
Kini Yap In Hong menghampiri Kim Hong. "Dan engkau, engkau bocah perempuan tak tahu malu, sombong dan tak tahu aturan! Engkau mencari musuh" Mari, mari kauhadapi aku. Jangan panggil aku Yap In Hong kalau aku mundur setapak menghadapimu. Mari kita bertanding sampai salah seorang dari kita mampus di tempat ini!"
Kim Hong terkejut melihat nenek yang amat galak luar biasa ini. Namun diam-diam ia merasa kagum sekali. Biarpun sudah tua, nenek ini tetap cantik dan penuh semangat dan jelaslah bahwa dahulu tentu merupakan seorang pendekar wanita yang hebat. Dan mendengar namanya, yaitu Yap In Hong, tahulah ia bahwa memang nenek ini seorang pendekar wanita yang luar biasa, yaitu isteri dari ketua Cin-lin-pai. Akan tetapi tentu saja ia tidak bisa digertak seperti Thian Sin karena ia tidak mengenal nenek ini dan juga bukan apa-apanya. Maka ia tersenyum mengejek.
"Wah, galak-galak amat kau, nenek tua!"
"Keparat, terimalah seranganku!" bentak Yap In Hong dan wanita ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Begitu menerjang maju, ia sudah mempergunakan Ilmu Thian-te Sin-ciang yang ampuh itu. Melihat datangnya pukulan yang membawa angin berdesir dahsyat, Kim Hong juga cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Duk! Dukkk!" Dua kali kedua lengan wanita itu bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang. Tentu saja Kim Hong terkejut bukan main. Benar dugaannya, nenek ini merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Maka iapun mengeluarkan bentakan marah dan membalas serangan itu yang dapat ditangkis pula oleh Yap In Hong.
"Kim Hong, jangan melawan! Jangan kurang ajar!" Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong tidak mau mempedulikannya dan ia memang sudah saling gempur dengan nenek itu, saling pukul dengan marah seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan seekor domba.
Tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar bentakan, "Tahan!" Dan pada saat itu, Kim Hong sedang menyerang lawannya, akan tetapi tangannya bertemu dengan tangan yang luar biasa kuatnya, yang membuat ia terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Ia terkejut sekali dan melihat bahwa di depannya telah berdiri seorang kakek yang gagah perkasa, yang matanya mencorong seperti mata naga sakti dan tahulah ia bahwa di depannya itu berdiri ketua Cin-ling-pai! Maka, diam-diam Kim Hong merasa kagum bukan main. Keluarga Cia ini memang hebat dan ia sungguh ragu-ragu apakah ia akan mampu menandingi ketua Cin-ling-pai ini.
Sementara itu, Thian Sin sudah melangkah maju menghalang di depan Kim Hong lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Cia Bun Houw. "Mohon maaf... mohon maaf sebesar-besarnya. Saya sungguh tidak mengira bahwa Locianpwe Tung-hai-sian telah berbesan tengan keluarga Cia... maka harap sudi memberi ampun dan sayapun menghaturkan selamat atas perjodohan Paman Cia Kong Liang dengan Nona Bin Biauw. Sekali lagi maaf!" Setelah memberi hormat, diapun lalu bangkit berdiri, memegang tangan Kim Hong dan menariknya dengan paksa meninggalkan tempat itu. Dengan beberapa kali lancatan saja, kedua orang muda itupun lenyap dari tempat itu.
"Bukan main...!" Terdengar Bin Mo To berseru kagum. "Dia benar-benar seorang pendekar yang masih muda dan hebat! Dan wanita itu... ah, benarkah ia murid Lam-sin?"
Pesta perayaan dilanjutkan dan munculnya Pendekar Sadis itu tentu saja menjadi bahan percakapan dari para tamu sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan agak terlambat berhubung dengan adanya gangguan yang tidak tersangka-sangka tadi.
Sementara itu, Kim Hong yang ditarik dan diajak pergi setengah paksa oleh Thian Sin, tiada hentinya mengomel panjang pendek.
"Engkau memang seorang manusia yang tak berjantung!" Akhirnya Kim Hong berkata marah dan berhenti, mogok berjalan.
"Eh" Tak berjantung?" Thian Sin memandang heran.
"Ya, tak berjantung, tak mengenal budi!"
"Apa maksudmu, Kim Hong?"
"Aku mati-matian membelamu, membantumu, engkau tidak berterima kasih, sebaliknya engkau malah membikin malu padaku! Engkau mengalah, engkau mundur teratur, bukankah itu memalukan aku yang sudah terlanjur menantang-nantang?"
"Ah, engkau tentu mengerti bahwa tidak mungkin aku menghadapi ketua Cin-ling-pai sebagai lawan, Kim Hong."
"Huh! Engkau takut" Kalau engkau ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia, kenapa takut melawan ketua Cin-ling-pai?" Kim Hong mencela.
"Kim Hong, cita-citaku hanya ingin menundukkan dan mengalahkan seluruh tokoh kaum sesat di dunia hitam saja, sama sekali bukan ingin mengalahkan seluruh pendekar. Tak mungkin aku melawan keluarga Cia, karena kalau begitu aku tentu akan berhadapan dengan ayah angkatku sendiri, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong. Itu sungguh tak mungkin, Kim Hong. Dan sekarang setelah Tung-hai-sian menjadi besan keluarga Cia di Cin-ling-pai, berarti keluarganya juga sudah menjadi keluargaku, bukan orang lain. Mana mungkin aku memusuhinya" Apa lagi, engkau melihat sendiri tadi, sekarang Tung-hai-sian sudah tidak ada, datuk timur sudah tidak ada dan Bin Mo To menjadi seorang saudagar biasa."
"Huhh!" Kim Hong masih merajuk. Thian Sin tersenyum dan merangkulnya, lalu menciumnya dengan mesra sambil berbisik.
"Betapapun, aku berterima kasih kepadamu, sayang, atas semua bantuanmu."
"Hemm, hanya cukup dengan terima kasih saja?"
"Habis, engkau mau apa lagi" Katakanlah, aku tentu akan mau membantumu, biar bertaruh nyawa sekalipun!" kata Thian Sin sungguh-sungguh.
Thian Sin mempererat pelukannya dan hendak mencium. Akan tetapi Kim Hong melepaskan diri dan berkata, "Nanti dulu, benarkah engkau mau membantuku dengan taruhan nyawa?"
"Tentu saja... asal engkau tidak minta aku memusuhi keluarga para pendekar Cin-ling-pai atau keluarga Cia..."
"Tidak, akan tetapi untuk menghadapi seorang lain yang mungkin belum kaukenal."
"Siapakah dia" Dan kenapa engkau harus menghadapinya sebagai lawan?"
"Dia adalah musuh ayah... atau orang yang membuat ayah terpaksa harus bersembunyi di pulau kosong sampai matinya. Nah, sejak dahulu aku bercita-cita untuk menghadapi orang itu dan membalas dendam ayah."
"Kenapa sampai sekarang belum juga kaulakukan" Bukankah dengan kepandaianmu..."
"Aku takkan dapat menang melawannya. Ayah sendiripun dulu sampai jerih karena orang itu amat lihai, kepandaiannya melebihi ayah. Kalau engkau membantu, nah, kita berdua tentu akan mampu mengalahkannya. Dan engkau sudah berjanji untuk membunuhku tadi."
"Ceritakanlah, siapa dia dan bagaimana dia bermusuhan dengan mendiang ayahmu."
Kim Hong lalu bercerita. Toan Su Ong, ayah Kim Hong, adalah seorang pangeran yang suka memberontak dan menentang kebijaksanaan kaisar yang dianggapnya tidak bijaksana. Dia dianggap pemberontak dan pangeran inipun melarikan diri dari kota raja sebagai seorang buronan dan pemberontak. Pangeran Toan Su Ong tidak takut menghadapi pengejaran kaisar, akan tetapi ada seorang yang ditakuti, yaitu seorang suhengnya yang setelah gurunya meninggal dunia boleh dibilang menjadi wakil gurunya pula. Suhengnya itu memiliki ilmu silat yang hanya setingkat lebih tinggi daripadanya, dan ketika Toan Su Ong sudah menikah dengan pendekar wanita Ouwyang Ci, dengan kepandaian mereka berdua, tentu mereka akan dapat mengalahkan suheng itu. Akan tetapi suhengnya memiliki sebuah bendera pusaka peninggalan suhu mereka dan sebagai seorang murid yang berbakti, Toan Su Ong tidak berani melawan bendera ini.
Pada waktu itu, hal seperti ini tidak aneh. Seorang murid paling takut terhadap gurunya, dan pesan seorang guru akan ditaati sampai selama hidupnya. Maka Toan Su Ong juga tidak berani melawan suhengnya yang memegang bendera pusaka itu, seolah-olah suhengnya itu menjadi gurunya yang telah tiada. Karena rasa takutnya terhadap suhengnya membantu kaisar untuk mengejarnya, maka Toan Su Ong hidup terlunta-lunta dan akhirnya bersembunyi di pulau kosong, yaitu Pulau Teratai Merah, sampai tiba ajalnya ketika dia tewas di tangan isterinya sendiri karena cekcok. Hal ini diketahui oleh Kim Hong karena ia mendengar penuturan ibunya.
Mendengar penuturan ini, Thian Sin mengangguk-angguk. Memang, bagaimanapun juga, mendiang ayah Kim Hong terlunta-lunta karena suhengnya itulah, atau supek (Uwa Guru) dari Kim Hong. Dianggapnya sebagai hal yang sepantasnya kalau Kim Hong menaruh dendam dan hendak membalas sakit hati ayahnya karena ayahnya sendiri dahulu tidak berani melawannya.
"Akan tetapi, apakah supekmu itu masih hidup sekarang" Siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"
"Ketika aku masih menjadi Lam-sin, hal itu kusuruh anak buahku menyelidiki dan telah kutemukan di mana adanya musuh besar ayahku itu. Akan tetapi, aku tahu bahwa aku bukanlah tandingannya, maka aku menahan sabar sampai aku bertemu dengan engkau. Dia kini telah mengasingkan diri setelah menerima pahala dari kaisar sebagai seorang pendekar yang berjasa besar untuk negara! Namanya dijunjung tinggi oleh semua orang! Padahal, bagiku dia adalah pengkhianat yang mencelakakan ayahku, adik seperguruannya sendiri. Aku harus menandinginya, baik engkau mau membantuku atau tidak!" Gadis itu mengepal tinju.
"Tenanglah, Kim Hong. Aku pasti membantumu. Teruskan ceritamu. Siapa namanya dan di mana dia kini berada."
"Dahulu ketika dia masih menjadi penjilat kaisar, namanya adalah Gouw Gwat Leng. Akan tetapi menurut hasil penyelidikan anak buahku ketika itu, kini dia telah menjadi seorang tosu dan berjuluk Jit Goat Tosu dan bertapa di dalam kuil para tosu Kun-lun-pai..."
"Ah! Di Kun-lun-pai?"
Kim Hong mengangguk. "Dia bertapa di dalam kuil dan kadang-kadang di dalam gua di daerah Pegunungan Kun-lun-san yang masih termasuk daerah Kun-lun-pai."
Thian Sin mengerutkan alisnya. "Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?"
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Bukan. Perguruan mendiang Ayah bukanlah Kun-lun-pai, melainken perguruan yang tidak mempunyai partai karena ilmu yang diwarisi oleh ayah dan suhengnya adalah ilmu keluarga. Akan tetapi setelah tua, agaknya suheng dari mendiang ayah itu tertarik oleh Agama To dan masuk menjadi tosu dan mungkin karena bersahabat dengan para tosu Kun-lun-pai maka dia menggabungkan diri atau mempelajari tentang agama di kuil Kun-lun-pai itu?"
Thian Sin menarik napas panjang dengan hati lapang. "Masih baik kalau dia bukan tokoh Kun-lun-pai, Kim Hong."
"Andaikati dia anggauta Kun-lun-pai, engkau menjadi jerih dan takut dan tidak berani membantuku?"
"Bukan jerih bukan takut, melainkan khawatir sekali. Engkau tentu tahu bahwa di antara para tokoh dunia persilatan, yang paling terkenal adalah tokoh-tokoh dari partai persilatan besar di antaranya adalah Kun-lun-pai. Kalau sampai engkau menanam permusuhan dengan Kun-lun-pai, sungguh sama artinya dengan bermusuhan melawan seluruh pendekar persilatan. Akan tetapi, musuhmu itu bukan murid dan bukan tokoh Kun-lun-pai, maka legalah hatiku."
"Kau mau membantuku mencarinya ke Kun-lun-pai?"
"Tentu saja aku mau!"
"Kalau perlu dengan taruhan nyawa?"
Thian Sin mengangguk dan tiba-tiba Kim Hong menubruk dan merangkul, menciuminya sampai dia hampir terjengkang. Thian Sin tertawa dan tenggelam dalam kemesraan yang terdorong oleh rasa girang dan terima kasih gadis itu.
*** Kun-lun-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan terbesar di seluruh Tiongkok. Kalau Siauw-lim-pai sejak pertama dipimpin oleh para tokoh beragama Buddha, maka Kun-lun-pai pada beberapa abad terakhir ini dipimpin oleh para tokoh beragama To yang berilmu tinggi. Seperti juga Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai mempunyai banyak sekali murid-murid yang lihai, bahkan kalau Siauw-lim-pai agak ketat mengambil murid yang bukan hwesio, Kun-lun-pai mempunyai banyak murid yang menjadi anggauta Agama To atau To-kauw. Memang dalam hal tertib keagamaan, Agama To-kauw agak lebih bebas daripada Agama Hud-kauw (Buddhis). Namun, mengenai tertib pelajaran ilmu silat Kun-lun-pai juga ketat menjaga murid-muridnya dan baru membiarkan atau memperbolehkan seorang murid Kun-lun-pai "turun gunung" kalau ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi dan sudah lulus dari ujian. Hal ini dilakukan oleh partai-partai persilatan besar untuk menjaga nama mereka, sehingga para murid itu kelak tidak akan memalukan nama partai kalau sampai bergerak di dunia ramai. Agaknya karena peraturan yang keras inilah maka nama partai-partai seperti Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai menjadi semakin terkenal, karena setiap murid kedua partai ini selain dapat mengangkat nama besar perkumpulan dengan sepak terjang mereka yang gagah dan juga lihai.
Yang menjadi pimpinan dari Kun-lun-pai pada waktu itu adalah Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu, dua orang tosu yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, dan tentu saja selain kedua orang yang tingkatnya tertinggi di Kun-lun-pai ini, masih ada beberapa orang sute mereka yang menjadi pembantu-pembantu mereka dalam mengurus perkumpulan yang mempunyai banyak anggauta itu. Kui Im Tosu merupakan ketuanya dan tosu, ini lebih banyak berdiam di kuil, bertapa atau mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan kepada para murid dan kalaupun dia mengajarkan ilmu silat, maka yang diajarkan hanyalah murid-murid tingkat tinggi saja. Yang bertugas keluar adalah wakilnya, yaitu sutenya yang bernama Kui Yang Tosu. Oleh karena itu, yang lebih banyak dikenal oleh dunia luar terutama di dunia persilatan, adalah Kui Yang Tosu. Jaranglah kedua orang tosu ini memperlibatkan ilmu kepandaian mereka. Akan tetapi melihat sepak terjang para murid mereka, yaitu jagoan-jagoan atau pendekar-pendekar Kun-lun-pai yang demikian lihai dan gagah, mudah diduga bahwa kedua orang tosu ini telah mencapai tingkat yang tinggi dalam ilmu silat.
Murid-murid Kun-lun-pai tersebar luas di seluruh pelosok, dan yang tinggal di dalam kuil hanyalah belasan orang tosu sebagai penghuni tetap dan ada dua puluh lebih murid-murid yang belum lulus dari tempat penggemblengan jiwa raga itu. Perumahan untuk para penghuni kuil dan para murid ini dikurung pagar tembok yang tingginya ada tiga meter, di lereng Pegunungan Kun-lun-san. Di dalam daerah yang cukup luas ini terdapat sebuah kuil besar dan di belakang kuil inilah tempat para murid yang tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun untuk mereka, merupakan bangunan panjang. Daerah ini luas sekali, ada tamannya, ada kebun di mana mereka menanam sayur-sayur dan berladang, ada pula kebun yang penuh pohon-pohon berbuah. Bahkan ada pula bagian bukit yang berbatu-batu yang mempunyai banyak gua-gua buatan alam di mana sering dipergunakan oleh para murid Kun-lun-pai untuk bersamadhi untuk menggembleng batin.
Karena tempat itu memang amat sunyi dan jarang sekali didatangi orang luar, maka para murid Kun-lun-pai dapat melatih diri tanpa ada gangguan dan dapat mencurahkan perhatian mereka baik terhadap pelajaran silat maupun pelajaran agama sebagai penggemblengan mental. Semua perguruan silat yang tinggi, juga para guru silat yang benar-benar baik, tidak pernah melupakan penggemblengan mental ini, karena mereka semua tahu betul betapa berbahayanya kalau orang muda dibiarkan belajar ilmu silat tanpa disertai penggemblengan watak dan batin ini. Ilmu silat sama dengan senjata yang ampuh dan berbahaya, maka kalau sampai terjatuh ke tangan orang yang tidak kuat batinnya, tentu saja dengan mudah disalahgunakan, diambil manfaatnya untuk keuntungan diri sendiri sehingga muncullah perbuatan-perbuatan sewenang-wenang mengandalkan ilmu silat.
Sebaliknya, kalau ilmu silat dikuasai orang yang memiliki batin yang kuat, maka ilmu itu akan berguna sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, karena ahli silat yang bermoral tinggi tentu akan mempergunakannya untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang yang lalim dan membela yang lemah.
Biarpun tempat itu merupakan pegunungan yang sunyi dan aman, namun para murid Kun-lun-pai tidak pernah lengah melakukan penjagaan secara bergilir. Mereka tidak memusuhi orang-orang tertentu, akan tetapi mereka tahu bahwa Kun-lun-pai banyak dimusuhi orang-orang dari golongan hitam, karena mereka yang tergolong penjahat-penjahat dan yang pernah ditentang oleh para murid Kun-lun-pai sebagai musuh. Pula, selain untuk menjaga segala kemungkinan buruk, juga penjagaan itu merupakan pelaksanaan ketertiban yang dilaksanakan dengan ketat, yaitu para murid yang sedang digembleng di asrama itu tidak diperkenankan keluar tanpa ijin dari guru mereka.
Kui Im Tosu dan Kui Yang Tosu memimpin Kun-lun"pai dengan bijaksana sehingga nama partai persilatan itu menjadi semakin terkenal. Digalangnya persatuan dan persahabatan yang makin erat dengan partai-partai bersih lainnya, maka nama Kun-lun-pai dibicarakan dengan rasa hormat dan segan.
Hal ini dimengerti benar oleh Thian Sin dan juga Kim Hong yang melakukan perjalanan jauh menuju ke Pegunungan Kun-lun-san itu. Mereka telah melakukan penyelidikan dan mendengar betapa angkernya nama Kun-lun-pai sehingga mereka sudah bersepakat untuk bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menghindarkan bentrokan atau kesalahpahaman dengan fihak Kun-lun-pai. Karena nama besar Kun-lun-pai itulah maka biarpun pada suatu senja mereka telah tiba di daerah Kun-lun-pai, mereka tidak mau mengunjungi asrama itu di waktu malam karena hal itu dianggap kurang sopan. Juga mereka membuang niat mereka untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, yaitu mempergunakan kepandaian untuk malam-malam memasuki asrama secara menyelundup. Mereka bersikap hati-hati, karena memasuki Kun-lun-pai sebagai maling adalah amat berbahaya dan sukar, juga kalau sampai mereka ketahuan, hal itu tentu akan menimbulkan permusuhan dan akan mempersulit maksud mereka berurusan dengan Jit Goat Tosu tanpa melibatkan Kun-lun-pai. Mereka bermalam di sebuah gua batu yang banyak terdapat tak jauh dari asrama Kun-lun-pai itu dan baru pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, setelah mereka membersihkan diri di sumber air dan sarapan pagi daging ayam hutan panggang, mereka berdua pergi mengunjungi asrama Kun-lun-pai.
Kuil Kun-lun-pai bukanlah kuil umum di mana umum suka datang bersembahyang, melainkan kuil yapg khusus dipergunakan belajar agama oleh para murid Kun-lun-pai. Oleh karena itu, tidak ada orang luar datang bersembahyang dan ketika Thian Sin dan Kim Hong tiba di pintu gerbang asrama di mana terpancang sebuah papan nama dengan huruf-huruf besar yang berbunyi KUN LUN PAI, beberapa orang tosu dan beberapa orang murid Kun-lun-pai yang bertugas jaga segera menyambut mereka dengan pandang mata heran dan juga bercuriga.
"Ji-wi (anda berdua) siapakah dan ada keperluan apakah mengunjungi tempat kami?" tanya seorang di antara para murid yang bertugas jaga, tanpa menyembunyikan kekaguman terhadap Kim Hong, kekaguman yang jujur, tidak mengandung berahi atau sikap kurang ajar.
"Kami mohon bertemu dengan ketua Kun-lun-pai," kata Thian Sin, sikapnya hormat dan bicara singkat, setelah dia dan Kim Hong memberi hormat dan dibalas oleh mereka.
"Maaf," kata seorang di antara para tosu, "akan tetapi sungguh tidak mudah untuk menghadap para pimpinan kami. Ketua kami sibuk dengan pekerjaan beliau atau sedang siulian (samadhi), sedangkan wakil ketua kami juga lebib banyak lagi pekerjaannya. Kalau tidak ada keperluan penting sekali, kami sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau berdua."
"Totiang," kata Kim Hong. "Kalau tidak ada keperluan penting, untuk apa kami jauh-jauh datang ke tempat sunyi seperti ini" Terus terang saja, yang mempunyai kepentingan adalah aku, dan kawanku ini hanya menemaniku saja. Nah, sekarang bagaimana caranya kalau kami hendak menghadap para pimpinan?"
"Caranya hanya satu, yaitu nona memperkenalkan nama dan memberitahukan kepentingan nona agar dapat kami laporkan kepada pimpinan. Itupun belum dapat kami menanggung bahwa nona akan pasti diterima menghadap, namun setidaknya kedatangan nona akan kami sampaikan sebagai laporan."
"Baiklah, katakan bahwa aku Toan Kim Hong bersama temannya minta dapat menghadap pimpinan Kun-lun-pai karena ada urusan yang amat penting."
"Maaf, Nona Toan. Kami minta agar urusan itu disebutkan sehingga kalau pimpinan kami menanyakan, kami dapat menjawab dan tidak akan mendapat teguran. Kami tidak ingin permintaan nona ditolak hanya karena nona tidak memberitahukan kepentingan nona."
Kim Hong mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, permintaan tosu ini masuk di akal dan pantas, maka terpaksa iapun harus mengaku terus terang. "Aku minta menghadap pimpinan Kun-lun-pai untuk minta perkenan mereka agar aku diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di daerah Kun-lun-pai."
Tosu itu nampak terkejut. "Siancai..." katanya lirih penuh keheranan karena sesungguhnya dia sendiri sudah hampir lupa kepada seorang kakek yang telah bertahun-tahun bertapa di dalam gua di sebelah belakang ladang Kun-lun-pai di belakang perumahan itu. Seorang kakek yang penuh rahasia dan yang menurut pimpinan Kun-lun-pai, amat sakti dan tidak boleh diganggu sama sekali.
"Ada apa, totiang" Aku sudah berterus terang, masih kurang apa lagi?"
"Ah, tidak apa-apa, nona. Baik kami akan segera melaporkan ke dalam dan harap ji-wi sudi menanti sebentar di luar." Dan pintu gerbang itu lalu ditutup dari dalam! Kim Hong saling pandang dengan Thian Sin dan pemuda ini hampir tertawa melihat wajah yang muram dan jengkel itu.
"Tenang dan sabar sajalah. Tiada gunanya jengkel."
"Kalau para tosu itu mempersulit, jangan salahkan aku kalau aku mencari sendiri tanpa seijin mereka!" Gadis itu mengancam dengan hati mengkal dan melihat keadaan gadis itu, Thian Sin merasa lebih aman untuk berdiam diri saja.
Tak lama kemudian, daun pintu itu terbuka lagi, kini terbuka kedua-duanya sehingga nampaklah sebelah dalam pekarangan depan yang luas itu. Para penjaga kini nampak berbaris rapi, dan selain para tosu yang tadi, kini nampak tiga orang tosu yang lain yang lebih tua dan melihat sikap mereka dapat diduga bahwa tentu tingkat mereka lebih tinggi daripada para tosu pertama. Seorang di antara mereka, yang memiliki tahi lalat di dagunya, dengan pandang mata penuh selidik memandang kepada kedua orang tamunya, terutama kepada gadis yang katanya hendak bertemu dengan Jit Goat Tosu itu.
"Siancai... Nona yang masih begini muda berkeras hendak bicara dengan pimpinan kami. Akan tetapi pimpinan kami amat sibuk dan tentu saja tidak mempunyai waktu untuk melayani segala macam orang, terkecuali orang-orang istimewa yang mempunyai keperluan istimewa lagi."
"Hemm, totiang, tidak perlu bicara seperti teka-teki. Katakanlah, macam yang bagaimanakah orang istimewa itu?" tanya Kim Hong, menahan kemarahannya dan masih tersenyum, walaupun ia merasa dipandang rendah.
"Melihat sikap nona, tentu nona adalah seorang yang biasa berkelana di dunia kang-ouw, maka ucapan pinto tadi kiranya sudah cukup jelas. Hanya tokoh kang-ouw yang berkepandaian sajalah yang kiranya berharga untuk berhadapan dengan pimpinan kami, sedangkan tokoh kang-ouw biasa, cukuplah berurusan dengan kami, anak murid Kun-lun-pai. Tidak tahu apakah nona termasuk golongan pertama ataukah ke dua."
Hati Kim Hong mulai menjadi panas. "Totiang, apakah yang harus kulakukan untuk membuktikan kepada kalian di sini golongan mana aku termasuk?"
"Maaf nona. Akan tetapi setiap perkumpulan mempunyai peraturan masing-masing dan Kun-lun-pai juga tidak terkecuali. Kami di sini mempunyai peraturan yang telah ditentukan sejak dahulu. Di antara para tamu kami bagi menjadi tiga golongan. Golongan paling rendah adalah mereka yang tidak dapat melewati kami dan golongan ini cukup membicarakan keperluannya dengan kami saja. Adapun golongan ke dua adalah golongan tamu yang biarpun mampu melewati kami namun tidak mampu melewati para suheng kami di ruangan tengah dan golongan itupun cukup disambut dan dilayani oleh para suheng kami itu. Adapun golongan pertama haruslah dapat melewati kami dan kemudian melewati pula para suheng kami di ruangan tengah. Barulah dia berhak untuk bicara dengan pimpinan kami."
"Begitukah" Kenapa tidak sejak tadi kalian memberitahu kepadaku" Nah, susunlah barisanmu, totiang hendak kulihat sampai di mana kehebatan barisan Kun-lun-pai!" Kim Hong menantang dan dibisikkannya kepada Thian Sin. "Kau jangan mencampuri yang ini." Thian Sin tersenyum dan mengangguk. Tentu saja dia tidak mau mencampuri karena diapun hanya hendak membantu kekasihnya kalau menghadapi musuh besarnya, Si Pertapa itu. Dia tidak mau bermusuhan dengan Kun-lun-pai dan diapun tidak ingin kalau Kim Hong bermusuhan dengan partai besar itu.
"Ingat, jangan lukai orang," bisiknya dan Kim Hong mengangguk.
Sementara itu, tiga orang tosu yang baru datang telah mengatur lima orang tosu dan sembilan orang murid Kun-lun-pai yang berpakaian biasa untuk mengatur barisan. Sembilan orang murid itu membentuk setengah lingkaran menghadang di depan, dan di belakangnya berdiri lima orang tosu yang memegang sebatang pedang. Adapun sembilan orang murid terendah dari Kun-lun-pai itu bertangan kosong karena tugas mereka hanya mempergunakan tenaga mencegah wanita itu maju.
"Nona Toan Kim Hong, kami sudah siap, silakan melewati kami kalau kau mampu!" tiba-tiba tosu yang bertahi lalat dagunya berteriak.
Kim Hong tersenyum lalu ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba sembilan orang itu bergerak menghadangnya dan ke manapun ia melangkah, ia selalu bertemu dengan mereka yang terus membuat gerakan menghadang. "Kenapa menghadang di jalan" Aku mau lewat!" kata Kim Hong dan ia melangkah maju terus. Tentu saja ia tabrakan dengan seorang di antara mereka yang menghadang di jalan dan dengan gerakan sikunya, orang itupun terjengkang. Melihat ini, empat orang sudah menangkap kedua lengan dara itu, dua di kanan dan dua di kiri. Kedua lengannya dipegang kuat-kuat oleh empat orang laki-laki muda yang kokoh kuat dan terlatih. Kim Hong masih tersenyum dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua lengannya dan terdengarlah teriakan-teriakan ketika empat orang murid Kun-lun-pai itu terpelanting ke kanan dan ke kiri sampai beberapa meter jauhnya! Empat orang murid lain yang belum jatuh, cepat menubruk dari kanan dan kiri. Akan tetapi Kim Hong menggerakkan kakinya yang kanan dan kiri bergantian dengan kecepatan yang luar biasa dan tahu-tahu empat orang itupun sudah roboh semua. Mereka tidak terluka, akan tetapi mengaduh-aduh karena bekas tendangan dan bekas terbanting itu cukup mendatangkan rasa nyeri, sementara itu dara yang mereka halangi sudah lewat!
Kim Hong melangkah ke depan menghadapi lima orang tosu yang memalangkan toya mereka dan begitu Kim Hong mendekat, mereka sudah mengurung dengan toya di tangan. Sementara itu, Thian Sin tersenyum melihat sembilan orang murid Kun-lun-pai berpelantingan tadi dan dengan lenggang seenaknya diapun masuk mengikuti Kim Hong. Dia tidak mau campur tangan, hanya menonton saja.
Kim Hong sudah dikurung oleh lima orang tosu yang melihat gerakannya, tentu tidaklah selemah sembilan orang pertama tadi. Dan memang benarlah. Lima orang tosu ini adalah murid-murid tingkat tiga dan sudah memiliki dasar ilmu silat Kun-lun-pai yang kokoh kuat dan latihan yang cukup matang walaupun mereka belum mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari partai besar itu. Namun ilmu toya mereka cukup hebat karena pada waktu itu, Kui Im Tosu telah mengembangkan Ilmu Toya Kim-kauw-pang-hoat, yaitu ilmu tongkat yang sumbernya dari ilmu tongkat tokoh dongeng Si Raja Monyet Sun Go Kong, dan ilmu tongkat ini diajarkan kepada murid-murid tingkat tiga. Apalagi mereka berlima juga membentuk barisan Ngo-heng-tin maka mereka dapat bekerja sama dan seolah-olah tenaga lima orang digabung menjadi satu!
Kim Hong yang dikepung itu masih tersenyum tenang saja. "Benarkah kalian tidak mau memberi jalan kepada seorang muda seperti aku?" tanyanya. Ditanya begini, lima orang tosu itu sejenak bingung. Menurut pantas memang nampaknya janggal kalau lima orang pendeta seperti mereka tidak mau mengalah terhadap seorang wanita muda yang mau lewat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke depan. Akan tetapi dua batang tongkat sudah memotong jalan menghadang dua tongkat lain mengancam ke atas kepala dan tongkat ke lima dari belakang siap menyambar kakinya!
"Hebat!" katanya memuji karena memang gerakan refleks lima orang tosu itu sedemikian hebatnya. Akan tetapi ia tidak menghentikan gerakannya dan cepat ia memegang dua tongkat di depannya, dengan gerakan tiba-tiba menarik dua tongkat itu ke atas sambil mengerahkan sin-kangnya kemudian tubuhnya meloncat untuk membiarkan tongkat yang menyambar kaki itu lewat.
"Trak! Trak!" Dua tongkat yang dipegangnya itu menangkis tongkat yang menghantam dari atas dan selain dapat meloloskan diri dari serangan lima orang itu, juga dalam segebrakan ini Kim Hong sudah berhasil mengacaukan mereka. Namun dengan gerakan sigap sekali lima orang tosu itu sudah dapat mengepungnya lagi sebelum ia mampu lewat!
Kim Hong tersenyum. "Bagus, Ngo-heng-tin yang hebat!" katanya memuji dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas! Melihat ini, lima orang tosu itu cepat menggerakkan toya mereka menyerang dan juga mereka berlompatan. Akan tetapi, tubuh nona itu sudah berjungkir balik dan begitu kepalanya digerakkan, rambutnya berkelebat seperti ular dan melibat lima ulung tongkat itu, kemudian tubuhnya membalik lagi dan kedua kakinya bergerak menendang ke arah lima tangan yang memegang tongkat. Lima orang tosu itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tongkat mereka tidak dapat mereka tarik kembali, sudah terbelit dengan amat kuatnya oleh rambut wanita itu dan menghadapi tendangan kedua kaki di udara yang mengarah tangan mereka itu, mereka tidak dapat menghindarkan diri lagi. Tangan mereka seketika lumpuh dan tahu-tahu tongkat mereka telah terampas dan sekali Kim Hong menggerakkan kepalanya, tongkat-tongkat itu meluncur ke bawah dan menancap di atas tanah sampai setengahnya! Sebelum lima orang tosu itu sempat menahan lagi, Kim Hong sudah berjungkir balik dan turun di sebelah dalam, telah melewati lima orang tosu itu yang hanya mampu saling pandang, kemudian menarik tongkat masing-masing dari tanah.
Tiga orang tosu yang berada di sebelah dalam, memandang penuh kagum. Mereka merasa kagum karena maklum bahwa dara muda ini selain lihai bukan main, juga tidak mempunyai niat buruk sehingga kini telah mengalahkan barisan pertama dari sembulan orang dan barisan ke dua dari lima orang tanpa melukai mereka sama sekali!
Mereka ini adalah murid-murid tingkat tingkat dua yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Melihat gerakan Kim Hong tadi, sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka sudah maklum bahwa Kim Hong adalah seorang wanita yang lihai bukan main, yang agaknya mewarisi ilmu silat dari seorang sakti. Kelihaian dan sikap Kim Hong yang tidak mau melukai lawan itu sebetulnya sudah mendatangkan rasa simpati dalam hati mereka dan menurutkan hati mereka, agaknya mereka akan suka membiarkan Kim Hong lolos untuk menemui ketua mereka. Akan tetapi, mereka adalah tosu-tosu yang berdisiplin, maka mereka tidak berani melanggar peraturan dan tata tertib. Sambil menjura, tosu yang bertahi lalat di dagunya itu berkata.
"Ah, kiranya nona sungguh memiliki kepandaian yang luar biasa. Akan tetapi nona masih harus dapat melewati kami bertiga sebelum memasuki ruangan sebelah dalam." Mereka bertiga lalu bergerak membentuk barisan segi tiga dengan pedang mereka.
Kim Hong menggerakkan kepala untuk memindahkan kuncir rambutnya ke belakang. Manis sekali gerakan ini dan iapun tersenyum. "Ah, aku tidak percaya bahwa para tosu Kun-lun-pai yang bijaksana dan baik budi akan mau mencelakakan seorang tamu wanita muda yang hanya ingin menghadap ketuanya." Setelah berkata demikian, dara ini lalu menerjang ke depan, menerjang di antara dua batang pedang yang membuat pertahanan dan membentuk dua daun pintu. Akan tetapi dua batang pedang itu bergerak cepat dan nampaklah gulungan sinar pedang yang menghadang di depannya. Adapun pedang ke tiga juga sudah siap menggantikan teman dengan berputar-putar di atas kepalanya. Tahulah Kim Hong. Tiga orang tosu ini yang tingkatnya sudah lebih tinggi tidak akan menyerangnya seperti para penghadang pertama dan kedua tadi, melainkan membentuk sinar pedang untuk menghalangnya dan kalau ia menerjangnya dan sampai terluka oleh sinar pedang, hal itu berarti bahwa ia yang salah sendiri menerjang pedang, bukan pedang yang sengaja menyerangnya! Maka iapun tersenyum dan tentu saja ia tidak tega untuk melukai tosu-tosu yang begini sungkan dan baik kepadanya. Maka ia hendak memaksa agar tiga orang tosu itu memperlihatkan kepandaiannya dan tidak sungkan-sungkan lagi kepadanya, karena bukankah perasaan sungkan itu berarti sudah menyeleweng daripada tugas mereka" Ia tidak ingin mereka itu ditegur atasan mereka sebagai penjaga-penjaga yang kurang ketat.
"Sam-wi totiang harap jangan bersikap sungkan lagi!" katanya dan tiba-tiba saja ia menggerakkan tangannya, bukannya dengan maksud menerobos ke dalam, melainkan menggunakan tangan untuk menyerang mereka! Serangan tangannya tentu saja hebat sekali, didahului oleh hawa pukulan yang amat kuat dan mengeluarkan angin berdesir. Dua orang tosu itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa tamu ini malah berbalik menyerangnya demikian dahsyatnya. Cepat mereka memutar pedang untuk menangkis, akan tetapi kekagetan mereka bertambah ketika gadis itu berani mempergunakan tangan kosong untuk menyambar pedang mereka! Dengan tangan dimiringkan, gadis itu begitu saja menangkis pedang dan mereka merasa betapa tangan mereka bergetar hebat ketika pedang bertemu dengan tangan!
Tahulah kini tiga orang tosu itu bahwa lawannya benar-benar amat tangguh dan merekapun tidak bersikap sungkan lagi. Kalau bersikap sungkan dan mengalah terhadap lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi, hal itu sungguh lucu dan sama dengan menyerah kalah.
Maka kini merekapun mengubah gerakan mereka, dan Sam-ciok-tin (Barisan Segi Tiga) mereka benar-benar dipergunakan, dengan jurus-jurus serangan dari tiga penjuru sehingga sebentar saja tubuh Kim Hong sudah dijatuhi dan dihujani serangan bertubi-tubi.
"Bagus! Kun-lun Kiam-sut memang hebat!" Kim Hong memuji, bukan hanya untuk menyenangkan lawan melainkan memang ia dapat merasakan hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dalam barisan segi tiga ini. Serangan mereka demikian mantap dan kuat, penjagaan mereka demikian ketat sehingga ia menghadapi lawan yang tangguh dan hal ini menimbulkan kegembiraannya. Sementara itu lima orang tosu dan sembilan orang anak murid Kun-lun-pai sudah berdiri menonton dan merekapun merasa kagum bukan main. Tahulah mereka bahwa gadis muda itu tadi bersikap lunak sekali terhadap mereka.
Setelah mencoba ilmu pedang tiga orang tosu tingkat dua itu selama hampir lima puluh jurus, puaslah hati Kim Hong. Ia sudah memperlihatkan kecepatan gerakannya sehingga tiga batang pedang itu tidak pernah dapat menyentuhnya, dan yang terlalu dekat dapat ditangkis dengan tangan terbuka. Sebaliknya, iapun membalas setiap serangan dengan totokan-totokan yang tidak kalah hebatnya dan setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba ia berseru, "Maaf sam-wi totiang, aku mau lewat!"
Tiba-tiba saja tiga orang tosu itu merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang menjadi lemas dan lumpuh untuk beberapa detik lamanya dan kesempatan ini sudah cukup bagi Kim Hong untuk meloncat ke sebelah dalam melewati mereka! Tiga orang itu hanya dapat memutar tubuh dan memandang bengong. Mereka tadi hanya melihat berkelebatnya sinar hitam disertai bau harum dan tahulah mereka kini bahwa wanita tadi telah menotok pundak mereka dengan ujung rambut kunciran itu!
Diam-diam ketiganya bergidik karena kalau wanita itu menghendaki tentu bukan tempat itu yang ditotok, melainkan jalan darah yang lebih berbahaya lagi, misalnya di leher yang dapat membuat mereka roboh atau bahkan tewas! Maka mereka bertiga lalu menjura dengan hormat kepada gadis itu dan berkata, "Nona telah lulus dan dapat melewati kami, silakan masuk."
"Terima kasih, akan tetapi biarkan temanku lewat juga," katanya sambil menanti Thian Sin yang berjalan menghampirinya dari luar.
"Akan tetapi, yang dapat melewati kami hanya nona seorang. Dia belum memperkenalkan diri dan..."
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menghadap pimpinan Kun-lun-pai bersama seorang kawanku" Totiang, akulah yang bertanggung jawab atas dirinya!" kata Kim Hong. Tosu bertahi lalat di dagunya itu mengerutkan alisnya akan tetapi dia menarik napas panjang, lalu menggerakkan pundaknya.
"Siancai... kami telah kalah, tidak perlu banyak cakap lagi. Akan tetapi mungkin sekali para suheng kami yang di dalam akan berpikiran lain. Harap nona berhati-hati karena para suheng kami tidak boleh disamakan dengan kami yang masih bodoh."
Kim Hong menjura ke arah mereka dan tersenyum. "Terima kasih, totiang sekalian sungguh baik sekali!" Dan iapun melangkah masuk bersama Thian Sin, meninggalkan para penjaga di luar yang tentu saja merasa kagum dan tiada hentinya membicarakan nona cantik jelita yang berilmu tinggi itu.
Kim Hong dan Thian Sin melangkah maju terus, melalui lorong yang panjang. Mereka berjalan dengan penuh kewasdaan, siap menghadapi segala macam rintangan. Akan tetapi, lorong itu ternyata tidak mengandung jebakan-jebakan atau rintangan-rintangan apapun. Setelah lorong itu habis, tibalah mereka di sebuah ruangan yang amat luas dan mereka melihat dua orang tosu yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, keduanya tinggi kurus dan wajah mereka membayangkan kehalusan budi akan tetapi sikap mereka berwibawa.
Thian Sin menahan kakinya dan membiarkan Kim Hong yang maju sendiri menghadapi dua orang tosu itu. Mereka itu adalah murid-murid kepala dari Kun-lun-pai, yang menerima pendidikan langsung dari ketua dan wakil ketua Kun-lun-pai. Hanya ada lima orang murid kepala dan pada waktu itu, yang berada di dalam asrama hanya dua orang inilah.
"Maaf, ji-wi totiang. Aku mohon lewat untuk menghadap ketua Kun-lun-pai," kata Kim Hong dengan sikap biasa dan tenang sekali sambil menghampiri mereka.
"Siancai... Nona Toan Kim Hong dapat melewati penjagaan pertama, sungguh lihai sekali dan pinto berdua menyatakan kagum bukan main!" kata seorang di antara mereka yang mukanya pucat dan matanya sipit seperti terpejam. Setelah berkata demikian, tosu ini mengangkat kedua tangan dikepal di depan dada dan memberi hormat sambil melangkah maju ke arah Kim Hong. Angin pukulan menyambar dahsyat dari kedua tangan itu ke arah dada Kim Hong!
Maklumlah dara ini bahwa tosu bermuka pucat itu adalah ahli lwee-keh yang memiliki tenaga sakti kuat, maka mukanya selalu pucat seperti itu, mungkin disebabkan latihan yang terlalu terpaksa sehingga berakibat seperti itu. Maka iapun cepat mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan itu sambil berkata, "Ah, totiang terlalu memuji. Mana aku berani menerimanya?"
Dari kedua tangan nona inipun menyambar tenaga sin-kang yang merupakan angin berkesiur menyambut serangan lawan. Tosu itu nampak terkejut ketika merasa ada hawa dingin menolak tenaganya, maka diapun membuka kedua kepalan tangannya dan kini mengulurkan kedua lengannya itu, dengan kedua telapak tangan terbuka mendorong dengan terang-terangan untuk memperkuat daya serangannya tadi. Melihat lawannya menyerang secara terbuka, Kim Hong juga mengulurkan kedua lengannya menyambut dan kini dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan dari situ mengalir keluar kekuatan sin-kang yang sama dahsyatnya! Adu sin-kang terjadi dan biarpun keduanya hanya berdiri tegak dengar kedua lengan dilonjorkan, kedua tangan terbuka dan saling sentuh, namun bagi Thian Sin dan tosu ke dua merupakan saat menegangkan di mana dua orang yang memiliki sin-kang kuat saling menguji tenaga sinkang mereka!
UNTUK beberapa saat lamanya Kim Hong mengerahkan sin-kangnya dari sedikit dan setelah ia mengerahkan sampai tiga perempat bagian, barulah ia dapat mengimbangi tenaga lawan. Diam-diam ia kagum juga. Murid kepala Kun-lun-pai telah memiliki sin-kang sekuat ini! Akan tetapi, setelah mengukur kekuatan lawan, ia tidak ingin mencelakai lawannya itu, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring dan tosu itu kaget setengah mati. Mendadak saja dia merasa betapa telapak tangan nona itu menjadi lunak sekali dan dia merasa tenaganya seperti terjun ke tempat tanpa dasar dan diapun terjerumus ke depan. Pada saat itu, Kim Hong sudah meloncat ke atas, melalui kepalanya dan melewatinya, tiba di belakangnya sedangkan tosu pucat ini terhuyung ke depan dan nyaris terjelungkup. Dia membalikkan tubuh, mukanya penuh keringat dan napasnya agak memburu, lalu dia menjura. "Terima kasih atas petunjuk nona yang lihai sekali!"
Tosu ke dua, yang mukanya ramah dan jenggotnya panjang, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh luar biasa sekali. Di dunia ini telah bermunculan orang muda yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Sungguh membuat pinto merasa seperti seekor katak dalam tempurung! Nona Toan, kalau saudaraku tadi menguji sin-kangmu, maka sekarang tiba giliranku untuk menguji ketinggian gin-kangmu. Nah, aku akan mencegah engkau masuk, dan cobalah engkau melewati aku dengan menggunakan kecepatan gerakanmu!" Setelah berkata demikian, tosu itu berdiri di atas ujung jari kakinya, berjingkat dan mengembangkan kedua lengannya.
Kim Hong tersenyum dan hatinya girang. Tosu Kun-lun-pai ternyata bukanlah orang-orang yang suka mempergunakan kekerasan, walaupun murid-murid mereka di dunia kang-ouw terkenal gagah perkasa dan gigih menentang kejahatan.
"Baik, totiang. Nah kauhalangilah aku!" Tiba-tiba Kim Hong berkelebat lari ke sebelah kiri tosu itu, akan tetapi tosu itupun sudah mcloncat ke sana sehingga jalan bagi Kim Hong terhalang. Nona itu meloncat tinggi ke atas, berjungkir balik sampai tiga kali sehingga ia mencapai langit-langit, akan tetapi tosu itupun mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya juga sudah mencelat ke atas menghadang di atas! Kim Hong turun lagi diikuti oleh tosu itu dan selanjutnya dua orang itu seperti sedang bermain kejar-kejaran seperti anak kecil. Tubuh mereka tidak nampak lagi saking cepatnya gerakan mereka. Yang nampak hanya bayangan yang berkelebatan dan memang tosu yang seorang ini memiliki gerakan cepat bukan main. Akan tetapi, kini dia bertemu dengan gadis yang pernah menjadi Lam-sin, yang terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat-hebat, di antaranya kecepatan gerakannya. Demikianlah, setelah mengajak tosu itu berkelebatan dengan cepat di mana tosu itu selalu dapat memotong jalan masuk, tiba-tiba Kim Hong mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya dan tubuhnya berpusingan cepat seperti gasing! Tentu saja tosu itu terkejut sekali dan tidak tahu harus berbuat apa. Untuk ikut berpusing seperti itu, dia tidak sanggup dan tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu dara itu telah melesat di sampingnya tanpa dia mampu mencegahnya, saking cepatnya gerakan itu. Tahulah tosu itu bahwa kalau tadi-tadi nona itu mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tidak akan mampu mencegahnya.
"Hebat, hebat... pinto mengaku kalah!" katanya sambil tertawa dan menghapus keringatnya.
Tosu yang matanya sipit tadi kembali menjura. "Nona telah memperlihatkan ketinggian ilmu silat, kekuatan sin-kang dan ketinggian gin-kang. Nona adalah seorang tamu yang sudah sepatutnya minta berjumpa dengan wakil ketua kami. Akan tetapi, orang muda itu tidak boleh masuk. Dia hanya teman nona, dan dia tidak melalui ujian masuk."
"Totiang bersikap kurang adil sekali."
Dua orang tosu itu saling pandang dan yang bermata sipit kembali menghadapi Kim Hong. "Siancai...! Kalau ada kesalahan kami, harap kautunjukkan, nona. Sikap kami yang manakah yang kurang adil menurut pendepatmu?"
"Setiap orang mempunyai peraturan masing-masing. Kun-lun-pai mempunyai peraturan bahwa siapa hendak menghadap ketuanya harus melalui ujian barisan murid-murid Kun-lun-pai. Aku menghormati peraturan tuan rumah dan sudah memenuhi syarat. Sebaliknya, sebagai tamu akupun mempunyai peraturan, peraturan kepantasan yang kiranya dapat dimengerti oleh para tokoh Kun-lun-pai. Aku adalah seorang wanita muda, dan menurut patut, kalau aku menghadap seorang pria, aku harus membawa teman. Karena itulah maka untuk menghadap ketua Kun-lun-pai aku membawa temanku, apakah sudah dianggap tepat oleh ketua Kun-lun-pai untuk menerima tamu wanita muda berdua saja tanpa ada orang lain?"
Wajah kedua orang tosu itu menjadi merah dan mereka merasa bingung, saling pandang karena mereka menganggap alasan nona ini cukup kuat. Memang, dari sudut kesusilaan, amatlah tidak pantas kalau menolak orang yang menemani nona ini menghadap ketua Kun-lun-pai, dan amatlah memalukan dan mendatangkan dugaan yang bukan-bukan kalau ketua atau wakil ketua Kun-lun-pai menerima kunjungan seorang wanita muda cantik jelita yang bukan murid dan bukan keluarga sendiri saja!
Akan tetapi, tosu berjenggot panjang yang ramah itu cerdik. Tiba-tiba dia bertanya, "Nona, apamukah orang muda yang hendak mengantarmu menjumpai wakil ketua kami?"
"Dia adalah kekasihku, tunanganku!" Kim Hong berkata dengan lantang dan terus terang sehingga Thian Sin sendiri menjadi terkejut dan mukanya berubah merah. Akan tetapi diapun lantas dapat menangkap bahwa memang jawaban terus terang itulah yang paling tepat, karena kalau bukan saudara bukan tunangan, melakukan perjalanan berdua saja tentu sudah melanggar kepantasan pula!
Selagi dua orang tosu itu termangu-mangu, tiba-tiba terdengar suara dari balik daun pintu di sebelah dalam, suara yang halus dan ramah, "Siancai... seorang muda yang penuh semangat! Persilakan Nona Toan dan temannya masuk...!"
Dua orang tosu itu nampak lega dan menjura ke arah Kim Hong dan Thian Sin. "Wakil ketua kami, Kui Yang Tosu, mengundang ji-wi untuk datang menghadap. Silakan!" Mereka lalu membuka daun pintu yang besar itu. Kim Hong dan Thian Sin membalas penghormatan mereka lalu melangkah, memasuki ambang pintu memasuki sebuah ruangan lain yang terang. Ternyata kamar itu adalah sebuah kamar buku karena di sudut berdiri rak penuh dengan buku-buku tua, juga merangkap kamar tamu karena di situ terdapat meja kursi dan di atas dipan berkasur duduk bersila seorang tosu yang wajahnya ramah dan tosu itu duduk sambil tersenyum gembira, memandang kepada mereka.
Thian Sin dan Kim Hong juga mengangkat muka memandang kepada tosu tua yang duduk bersila di atas dipan itu. Seorang tosu yang usianya mendekati tujuh puluh tahun, tinggi kurus, wajahnya dihias senyum gembira dan sepasang matanya membayangkan keramahan dan kehalusan budi. Di sudut duduk pula tiga orang tosu lain yang usianya lebih muda, kurang lebih enam puluh tahun, dari sikap mereka diam menanti, tanda bahwa mereka ini kalah tinggi tingkatnya dengan tosu tua itu. Diam-diam Thian Sin merasa seperti pernah mengenal tosu tua itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi di mana.
Dan memanglah, dia pernah melihat tosti itu bukan lain adalah Kui Yang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang pernah datang mencarinya bersama tokoh-tokoh pendekar lain ketika dia membunuh Pangeran Toan Ong! Dan tiga orang tokoh lain adalah para sutenya, pembantu-pembantunya yang tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada dua orang murid kepala tadi.
Sementara itu, ketika dia memandang kepada wajah Thian Sin dan bertemu pandang dengan sepasang mata pemuda yang mencorong tajam itu, jantung tosu itu terguncang dan senyumnya lenyap seketika, alisnya yang putih berkerut dan sekali meloncat diapun sudah bangkit berdiri menghadapi dua orang muda itu.
"Pendekar Sadis!" teriaknya mengejutkan tiga orang sutenya yang juga segera bangkit ketika mendengar sebutan ini.
"Pendekar Sadis! Kiranya engkau berhasil menyelundup ke sini" Apakah engkau kini mulai dan hendak menyebar maut di Kun-lun-pai?"
Ketika Thian Sin melihat tosu itu mengeluarkan tasbehnya dari saku jubahnya yang lebar, diapun teringatlah kepada tosu ini. Sambil tersenyum pahit Thian Sin menggelengkan kepalanya dan berkata, "Maaf, totiang. Sekali ini aku hanya menemani Nona Toan saja, dan sama sekali tidak ada urusan dengan pihak Kun-lun-pai."
"Siancai...!" Tosu itu nampak lega mendengar ini, akan tetapi kini pandangannya terhadap Kim Hong menjadi lain, tidak seramah tadi. "Maaf, nona. Kalau pinto tidak salah dengar, namamu adalah Toan Kim Hong. Nama keluarga Toan tidak banyak di dunia ini, apakah nona masih ada hubungan keluarga dengan mendiang Pangeran Toan Ong?"
Kim Hong tersenyum. "Tidak ada salahnya menjawab pertanyaan itu, locianpwe, walaupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kunjunganku ke sini. Memang benar ada hubungan keluarga, karena Pangeran Toan Ong itu adalah pamanku sendiri."
"Ahh...!" Tosu itu terkejut. "Apakah Toan-siocia sudah tahu siapa yang membunuh Pangeran Toan?"
Nona itu mengangguk dan mengerling ke arah Thian Sin. "Aku sudah tahu, locianpwe, pembunuhan karena salah paham dan karena fitnah orang. Pembunuhnya adalah temanku inilah..."
"Tapi mengapa...?"
"Sudahlah, locianpwe. Kedatanganku bukan untuk urusan itu, melainkan untuk urusan yang lain sama sekali."
Kui Yang Tosu menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Benar, memang demikianlah. Nah, katakanlah, apa perlunya nona berkeras hendak bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai?"
"Kedatanganku ini ingin minta perkenan locianpwe agar aku diperbolehkan bertemu dengan Jit Goat Tosu yang sedang bertapa di asrama Kun-lun-pai."
Tosu itu mengangguk-angguk. "Permintaan nona itu sudah pinto dengar tadi, akan tetapi pinto masih ragu-ragu karena permintaan itu sungguh amat aneh. Kehadiran Jit Coat Tosu di sini adalah suatu rahasia dan sudah bertahun-tahun tidak ada yang tahu, bagaimana nona bisa mengetahuinya" Dan bolehkah pinto mengetahui apa urusan nona dengan Jit Goat Tosu?"
"Hemm, aku cukup menghormati Kun-lun-pai, locianpwe, sehingga untuk menemuinya, aku lebih dulu menghadapi pemimpin Kun-lun-pai dan minta ijin, bukannya langsung mencarinya sampai dapat kutemukan. Aku tidak ingin melibatkan Kun-lun-pai dengan urusan kami, maka pertanyaan itu tidak dapat kujawab karena tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai."
"Siancai...! Jangan Nona Toan berpendapat demikian. Ketahuilah bahwa Jit Goat Tosu bukanlah orang lain bagi kami. Dia adalah saudara angkat kami, maka tentu saja kami ingin tahu apa yang menjadi sebabnya maka nona datang untuk mencarinya di sini."
Kim Hong mengerutkan alisnya. Ah, urusan menjadi sulit kalau begini. Tak disangkanya bahwa supeknya itu kini selain menjadi tosu dan mondok di asrama Kun-lun-pai, malah telah mengangkat saudara dengan para pimpinan Kun-lun-pai! Kalau begini, agaknya tak dapat dihindarkan lagi keterlibatan Kun-lun-pai!
"Locianpwe, urusanku dengan dia adalah urusan pribadi, urusan antara seorang murid keponakan dengan supeknya. Apakah locianpwe masih hendak mencampurinya?"
Mendengar ini terkejutlah kakek itu. "Siancai... siancai... kiranya nona adalah puteri mendiang Toan Su Ong...?"
"Benar sekali, locianpwe."
"Ah, kalau begitu... tentu saja pinto tidak berhak mencampuri urusan pribadi nona dengan supek nona." Lalu Kui Yang Tosu menoleh kepada tiga orang tosu itu. "Thian-sute, harap kauantarkan Nona Toan menghadap Jit Goat Tosu. Karena beliau sedang bertapa, maka antar saja sampai di depan gua dan tinggalkan di situ. Terserah kepada yang berkepentingan mau menemui atau tidak."
"Baik, suheng," jawab seorang di antara tiga tosu itu. "Marilah, nona."
Kim Hong dan juga Thian Sin mengikuti tosu itu dan Kui Yang Tosu tidak berani mencegah ketika Thian Sin juga ikut, walaupun hatinya merasa tidak enak dengan munculnya Pendekar Sadis di tempat itu. Maka setelah sutenya pergi mengantarkan dua orang muda itu ke arah belakang asrama, dia sendiri lalu bergegas masuk ke dalam untuk menemui suhengnya, yaitu Kui Im Tosu untuk membicarakan urusan itu.
Ternyata daerah markas Kun-lun-pai itu luas bukan main. Melalui sebuah pintu rahasia yang kecil, mereka keluar dari pagar tembok dan mendaki bukit atau puncak pegunungan di belakang dan setelah melalui daerah berbatu, akhirnya tibalah mereka pada dinding puncak yang penuh dengan gua-gua besar. Tosu itu membawa mereka ke sebuah gua besar yang gelap, berhenti di depan gua sambil berkata, "Nah, di sinilah tempat Jit Goat Tosu bertapa, nona." Setelah berkata demikian, tosu itu lalu membalikkan badan dan meninggalkan dua orang muda itu termangu-mangu di depan gua.
Thian Sin dan Kim Hong memandang ke sekeliling. Tempat itu tentu saja sudah berada di luar pagar tembok Kun-lun-pai, akan tetapi masih termasuk daerah Kun-lun-pai. Tempatnya amat sunyi, di dekat sebuah puncak dan kalau saja mereka tidak diantar oleh seorang tosu Kun-lun, agaknya tidak mungkin mereka akan dapat menemukan tempat pertapaan Jit Goat Tosu. Di situ terdapat banyak sekali gua-gua besar berjajar seperti pintu-pintu hitam atau seperti mulut-mulut raksasa, ada puluhan banyaknya. Mereka tentu akan mempergunakan banyak waktu untuk menyelidikinya satu demi satu! Tidak nampak seorang manusia lain, bahkan agaknya tidak ada binatang hutan di pegunungan batu ini. Hanya ada beberapa ekor burung yang beterbangan di puncak, agaknya mempunyai sarang di sana, semacam burung pemakan bangkai.
Thian Sin memberi isyarat kepada Kim Hong untuk membuka suara. Dara itu mengangguk, lalu ia berseru dengan suara yang mengandung tenaga khi-kang sehingga getaran suaranya itu terdengar sampai jauh dan tentu akan sampai ke dasar gua di depannya, "Jit Goat Tosu, keluarlah! Aku Toan Kim Hong datang untuk bicara denganmu!"
Dari dalam gua itu terdengar gema suara Kim Hong, terdengar mengaung menyeramkan seolah-olah ada suara iblis yang menjawabnya. Akan tetapi hanya gaung suara yang memantul itu saja yang terdengar, tidak ada suara lain. Beberapa kali Toan Kim Hong mengulangi seruannya tedi, namun sia-sia. Tidak ada suara menjawabnya.
"Sialan tosu-tosu Kun-lun-pai itu. Aku ditipu, tempat ini kosong agaknya!" gerutu Kim Hong.
Thian Sin menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin dia membohong."
"Kalau begitu orangnya berada di dalam, sengaja tidak mau menjawab. Sebaiknya kumasuki saja dan kalau memang berada di dalam, kuseret dia keluar!" Akan tetapi Thian Sin memegang lengannya dan menggeleng kepala. Kim Hong teringat dan bergidik. Bagaimana ia bisa lupa bahwa supeknya itu memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih lihai daripada mendiang ayahnya" Karena ia tidak merasa mampu melawan maka ia minta bantuan Thian Sin, bagaimana kini secara lancang hendak memasuki gua gelap itu" Sungguh ceroboh karena hal itu akan berbahaya sekali.
"Tentu dia tidak mengenalmu, coba sebut nama ayahmu," bisik Thian Sin.
Kim Hong teringat. Betul juga, pikirnya. Supeknya itu belum pernah melihatnya, belum pernah pula mendengar tentang dirinya, tentu saja tidak ada artinya memperkenalkan nama. Maka ia lalu berteriak lagi, ditujukan ke dalam gua, dengan mengerahkan khi-kangnya.
"Supek Jit Goat Tosu! Supek Gouw Gwat Leng! Keluarlah, aku Toan Kim Hong puteri tunggal dari Toan Su Ong datang hendak bicara dengan supek!"
Baru saja gema suara itu menghilang, terdengarlah suara yang halus dari dalam gua itu, suara yang agak menggetar penuh perasaan, "Siancai... siancai... siancai...!" Dan tak lama kemudian keluarlah seorang kakek dari dalam gua itu. Seorang kakek yang amat kurus kecil dan mukanya pucat seperti mayat, mungkin karena terlalu lama tidak pernah terkena sinar matahari. Melihat munculnya kakek yang kelihatan amat lemah dan sudah mendekati liang kubur ini, hati Kim Hong merasa kecewa sekali. Beginikah macamnya orang yang selama ini dicari-carinya dengan hati penuh dendam kebencian" Hanya seorang kakek tua renta yang sudah hampir mati, tertiup angin kencang saja agaknya tentu akan roboh!
Kakek itu berdiri agak bongkok di depan gua, sepasang matanya yang lemah itu berkedip-kedip, agaknya silau oleh sinar matahari yang sudah lama sekali tidak dilihatnya. Tangan kirinya dipergunakan melindungi matanya dari sinar matahari sedangkan tangan kanannya memegang sebuah bendera kecil yang sudah lapuk. Bendera itu berwarna kuning dan sudah tidak nampak jelas lagi apa gambarnya, hanya bendera itu pinggirnya sudah robek-robek seperti biasanya pada bendera kuno yang sudah terlalu lama dan dimakan usia. Gagang bendera itu ternyata merupakan sebatang anak panah terbuat dari perak.
"Mana ia puteri Toan Su Ong?" tanya kakek itu dengan suara gemetar.
Kim Hong hampir tidak dapat menerima kenyataan itu. Tidak percaya bahwa mendiang ayahnya ketakutan terhadap orang lemah macam ini! Ia meragu dan dengan hati kecewa ia bertanya, "Mungkinkah engkau ini yang bernama Gouw Gwat Leng atau Jit Goat Tosu?"
Kakek itu memandang kepada Kim Hong, lalu terkekeh lirih, "Heh-heh, benar... matamu seperti mata ayahmu. Engkau tentu anak sute Toan Su Ong, tidak salah lagi... heh-heh, anak baik, boleh jadi engkau meragukan diriku sebagai supekmu Gouw Gwat Leng, tetapi ayahmu tentu pernah bercerita tentang bendera pusaka kita ini, peninggalan kakek gurumu..."
Melihat bendera tua itu, hati Kim Hong menjadi panas rasanya. Bendera itulah yang membuat ayahnya selalu tunduk terhadap suhengnya ini. "Bendera sialan!" bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah berkelebat meloncat ke arah kakek itu dan tangannya menjangkau untuk merampas bendera itu. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tangannya hanya menangkap angin saja! Entah bagaimana caranya, kakek yang kelihatan lemah itu telah dapat mengelakkan bendera itu dari jangkauan tangan Kim Hong yang amat cepat tadi.
"Siancai... tidak seorangpun di dunia ini boleh merampas bendera pusaka ini dari tanganku..." Kakek itu terkekeh.
Tentu saja Kim Hong merasa penasaran sekali. Kembali ia menubruk, kini mempergunakan kedua tangannya untuk merampas. Akan tetapi, dua kali bendera kecil itu berkelebat dan tak dapat ditangkap oleh tangan Kim Hong. Marahlah gadis itu dan kini pandangannya terhadap kakek itu berubah. Biarpun nampaknya lemah, kiranya kakek ini memiliki kepandaian tinggi.


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan merampas bendera itu!" bentaknya dan kini ia menerjang, tangan kirinya menyerang dengan tusukan jari tangan ke arah lambung, kepalanya bergerak dan kuncir rambutnya menotok ke arah ulu hati dan tangan kanannya mencengkeram untuk merampas bendera! Hebat bukan main jurus serangan yang dilakukan oleh Kim Hong ini dan jarang ada orang yang akan dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti itu yang selain dilakukan amat cepat, juga dengan tenaga dahsyat dan terutama sekali penggunaan rambut sebagai senjata itu sukar diduga.
"Plak-plak-plakkk!"
Tubuh Kim Hong terbuyung ke belakang! Kiranya kakek yang kelihatan lemah itu telah mampu menangkis semua serangannya, bukan hanya menangkis, malah juga membalas dengan dorongan yang membuat gadis itu terhuyung! Melihat ini, Thian Sin sendiri memandang kaget dan kagum. Gerakan kakek itu kelihatan lambat, namun begitu tepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali.
"Hemm, kiranya engkau pemberontak seperti ayahmu?" Kakek itu menegur, suaranya berwibawa, biarpun suara itu masih saja agak menggetar dan agak kaku, mungkin karena lamanya dia bertapa dan selama itu tidak pernah mengeluarkan suara. Kim Hong sendiri terkejut dan maklum bahwa yang membuat ia sampai kena terdorong adalah bendera itu. Bendera itu ketika tadi Si Kakek menangkis, berkelebat di depan matanya dan membuatnya lengah sehingga kena didorong. Kiranya bendera itu bukan hanya merupakan bendera pusaka, akan tetapi juga merupakan sebuah senjata aneh yang agaknya ampuh sekali walaupun belum dipergunakan sepenuhnya oleh kakek itu.
"Bocah she Toan, kau sebagai puteri Toan Su Ong merupakan satu-satunya keturunan yang seharusnya mewarisi bendera ini dan menghormati bendera ini sampai mati. Akan tetapi kini engkau malah menghinanya dan hendak merampasnya. Katakan, apa perlunya engkau datang untuk menemuiku?"
"Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku sampai hidup terlunta-lunta, menjadi buronan dan selama hidupnya bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau" Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Ayah boleh jadi terlalu bodoh untuk merasa jerih menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian dan menebus kesengsaraan ayah kepadamu, dan menghancurkan bendera terkutuk itu!"
"Siancai... akhirnya tiba juga saat yang kunanti-nantikan! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku" Sungguh engkau telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supekmu!"
"Tak u Istana Pulau Es 6 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 8
^