Pendekar Sadis 5

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


itu, maka pertanyaan yang lebih langsung dan terbuka dari ibu angkatnya ini tidak mengejutkan hatinya. Akan tetapi ada perasaan malu-malu menyelinap di dalam hati sehingga tanpa disadarinya sendiri, biarpun sikapnya tenang, akan tetapi kedua pipinya yang berkulit halus putih seperti pipi wanita itu menjadi kemerahan! Sejenak dia menatap wajah ibu angkatnya, kemudian dia menunduk dan mengangguk.
"Benar, ibu," jawabnya lirih.
Sin Liong dan Bi Cu saling pandang. Mereka sebetulnya tidak suka mencampuri urusan cinta antara seorang pemuda dan seorang gadis, apalagi kalau pemuda itu anak angkat mereka sendiri. Akan tetapi terdapat ketidakwajaran dalam hubungan, terpaksa Sin Liong mengeraskan hatinya dan suaranya terdengar tegas ketika dia bicara lagi.
"Thian Sin, tahukah engkau bahwa Bhe Cu Ing sejak kecil sudah dijodohkan dengan orang lain dan menjadi calon isteri pria lain?"
Thian Sin terbelalak, mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya... saya tidak tahu sama sekali tentang hal itu, ayah."
"Bagus!" Sin Liong mengangguk-angguk dan memang hatinya terasa lapang. Orang yang tidak tahu berarti tidak sengaja dan perbuatan yang dilakukan tanpa kesengajaan tak dapat dibilang bersalah atau melanggar. "Nah, kalau engkau tidak tahu, sekarang ketahuilah bahwa Bhe Cu Ing adalah calon isteri orang lain, sudah ditunangkan sejak kecil dan oleh karena itu, mulai saat ini juga engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia!"
Thian Sin terkejut, memandang pendekar itu. "Akan tetapi, ayah..."
"Seorang pendekar tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar susila!" bentak Sin Liong dan pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat.
"Thian Sin, engkau tidak ingin menjadi seorang pengacau urusan keluarga lain orang, bukan?" Bi Cu berkata halus. "Cu Ing sudah bertunangan, berarti dia telah mempunyai jodoh yang sah, dia tidak bebas lagi."
"Seorang pendekar harus selalu tertib menjaga perbuatannya sendiri, harus selalu mempunyai garis kebijaksanaan, tidak akan melanggar peraturan dan akan menjaga namanya dengan taruhan nyawa. Kalau engkau mendekati wanita yang sudah mempunyai calon suami, berarti engkau telah melakukan suatu hal yang busuk dan namamu akan terseret ke dalam lumpur kehinaan. Mengertikah engkau, Thian Sin?"
Thian Sin tidak mampu bicara lagi, hanya mengangguk-angguk dan dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Setelah menerima peringatan dan nasihat-nasihat, dia lalu, meninggalkan suami isteri itu dengan tubuh terasa lemah lunglai, diikuti pandang mata suami isteri itu yang merasa kasihan kepadanya.
Thian Sin menjadi sedih dan bingung. Apalagi ketika pada keesokan harinya dia mendengar dari para muda di dusun tempat tinggal Cu Ing bahwa gadis itu telah diajak pergi meninggalkan dusun oleh keluarganya, dan kabarnya akan melangsungkan pernikahan dengan tunangannya di dusun sebelah selatan. Thian Sin merasa hatinya hancur. Patah hati!
Peristiwa ini merupukan pukulan batin ke dua bagi pemuda ini. Pertama, ketika dia melihat ayah bundanya terbunuh, dan ketika dia menangis di depan peti-peti mati dan kuburan ayah bundanya. Rasa duka yang mengandung dendam ini menggores kalbunya, akan tetapi setelah dia mempelajari ilmu kepada Hong San Hwesio, perasaan duka dan dendam itu dapat ditekannya dengan pelajaran-pelajaran kebatinan yang diterimanya dari hwesio itu sehingga hampir tak pernah terasa lagi. Akan tetapi, sekarang, setelah dia menerima pukulan batin untuk ke dua kalinya yang cukup mendatangkan rasa nyeri dan memperbesar perasaan iba diri, maka luka lama itupun berdarah kembali! Dan diapun tak dapat menahan guncangan batin ini dan jatuh sakit!
Sin Liong dan Bi Cu mengerti akan keadaan anak angkat ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa membiarkan anak itu beristirahat dengan tenang akan menyembuhkannya, karena sesungguhnya jasmaninya tidak menderita sakit sesuatu, hanya terpengaruh oleh tekanan batin dan kekecewaan belaka. Akan tetapi, Han Tiong merasa khawatir sekali dan pemuda ini boleh dibilang siang malam menjaga adik angkatnya, merawatnya dengan penuh perhatian dan sikap kakak angkat ini, sikap yang tidak dibuat-buat melainkan yang keluar dari kasih sayang murni, merupakan obat dan penghibur yang manjur bagi Thian Sin karena pemuda ini dapat melihat bahwa ada orang lain yang masih benar-benar amat menyayangnya, yaitu Han Tiong!
Betapa menyedihkan melihat bahwa yang kita sebut-sebut cinta itu hampir selalu, atau sebagian besar, berakhir dengan kedukaan! Kalau ada seorang muda dan seorang mudi saling jatuh cinta, terdapat suatu daya tarik yang amat kuat di antara mereka. Daya tarik ini antara lain diciptakan oleh kecocokan selera, akan kecantikan atau ketampanan wajah, kecocokan watak masing-masing, lalu dipupuk dan diperkuat oleh pergaulan yang semakin akrab. Semua ini menciptakan daya tarik yang mendorong mereka untuk selalu saling berdekatan karena kehadiran masing-masing merupakan hal yang menyenangkan. Tentu saja semua itu didasari lebih dulu oleh daya tarik antar kelamin yang sudah terbawa semenjak lahir. Kemudian, mereka merasa saling jatuh cinta! Sayangnya, rasa cinta ini selalu ditunggangi oleh nafsu ingin menyenangkan diri belaka sehingga timbullah nafsu ingin menguasai, ingin memiliki, dan yang paling kuat adalah nafsu sex. Setelah demikian, mulailah bermunculan perangkap-perangkap yang akan menjebak kita ke dalam kedukaan, melalui hubungan cinta kasih yang sebenarnya amat suci itu.
Dua orang muda-mudi saling mencinta dan penunggangan nafsu ingin menguasai, itulah yang menimbulkan duka kalau mereka berdua berhalangan menjadi suami isteri, atau kalau yang disebut "cinta" mereka itu "gagal" di tengah jalan. Cinta gagal ini, atau lebih jelas hubungan yang terputus ini mendatangkan patah hati yang berarti kedukaan dan kesengsaraan. Apakah kalau mereka sampai dapat menjadi suami isteri lalu cinta mereka itu menjadi kekal dan apakah hal itu dapat mendatangkan kebahagiaan" Dapat kita lihat kepahitan yang nyata di sekeliling kita! Betapa banyaknya terjadi perceraian antara suami isteri yang katanya dulu sangat saling mencinta, bahkan yang sudah mempunyai anak-anak! Perceraian yang timbul karena cemburu, karena penyelewengan, karena percekcokan, pendeknya karena KEKECEWAAN masing-masing dalam hubungan antara mereka itu. Lalu ke manakah larinya "cinta" yang mereka ikrarkan bersama dahulu" Lalu ke mana lenyapnya sumpah di antara mereka ketika mereka masih saling "mencinta?" Seolah-olah cinta hanyalah sesuatu yang bersifat sementara saja! Yang bersifat sementara ini sesungguhnya hanyalah KESENANGAN. Hanya mereka yang menikah atas dasar "mengejar kesenangan" sajalah yang akan gagal dalam pernikahan mereka, karena kesenangan yang dikejar itu selalu akan jalan bersama dengan kesusahan, kepuasan dengan kekecewaan. Mengejar kesenangan berarti ingin selalu memperoleh kesenangan, sehingga kalau dalam pernikahan itu muncul hal yang tidak menyenangkan, maka pernikahan itupun gagal. Dan itu masih kita beri kedok yang kita namakam "cinta"! Betapa menyedihkan dan betapa pahit kenyataan hidup ini.
Han Tiong bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Sungguhpun dia pendiam dan tidak ingin mencampuri urusan pribadi adik angkatnya yang disayangnya, namun diapun dapat melihat kenyataan dan tahulah dia bahwa adiknya ini sakit karena duka dan kecewa mendengar Cu Ing dibawa pergi dari dusunnya untuk dikawinkan dengan orang lain, yaitu dengan tunangannya semenjak kecil. Ketika melihat keadaan adiknya sudah mendingan, pada suatu malam dia menemani adiknya itu dan dengan halus dia bertanya sambil lalu.
"Sin-te, kuharap engkau sekarang sudah kuat dan dapat mengatasi perasaan kecewamu karena urusan itu."
Thian Sin tidak mengira bahwa Han Tiong tahu urusan hatinya, maka dia memandang kakak angkatnya itu dan bertanya. "Urusan apa yang kaumaksudkan Tiong-ko?"
"Urusan apalagi kalau bukan yang membuatmu jatuh sakit ini?"
"Ahhh...!" Thian Sin diam saja dan menunduk, termenung.
"Sin-te, aku percaya bahwa engkau sungguh-sungguh mencinta gadis itu, bukan?"
Thian Sin memandang kepada wajah kakak angkatnya, penuh pertanyaan, kemudian dia menjawab, "Tentu saja, Tiong-ko. Aku sangat... cinta padanya."
"Sin-te, aku sendiri pun tidak mengerti tentang cinta, akan tetapi kalau engkau mencinta orang, bukankah engkau ingin melihat dia itu berbahagia?"
"Tentu saja."
"Dan menurut wejangan paman Hong San Hwesio, kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh melalui kebenaran."
"Betul."
"Nah, gadis kekasihmu itu telah bertunangan dengan orang lain sejak kecil, maka kalau dia meninggalkan calon suaminya, berarti dia melakukan hal yang tidak benar. Kalau dia sekarang pergi menikah dengan tunangannya, berarti dia benar dan tentu akan berbahagia. Dan kalau engkau memang cinta kepadanya, Sin-te, bukankah engkaupun akan ikut merasa senang melihat atau mendengar dia hidup berbahagia?"
Thian Sin sendiri adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam urusan cinta, maka mendengar pendapat ini diapun termenung dan bingung. Akhirnya dia hanya menarik napas panjang dan menjawab, "Aku sendiri tidak mengerti, Tiong-ko. Hanya saja, perpisahan dengannya mendatangkan duka dan aku merasa kehilangan, merasa sunyi dan sedih sekali."
Akan tetapi, duka seperti juga suka, hanyalah merupakan permainan pikiran belaka dan sifatnya hanya sementara. Suka maupun duka yang timbul dari kepuasan maupun kekecewaan sebagai akibat tercapainya atau tidak tercapainya hal yang diingin-inginkan, akan lenyap ditelan waktu. Demikian pula dengan kedukaan yang menyerang hati Thian Sin. Beberapa bulan lamanya dia nampak murung dan pendiam, akan tetapi lambat laun rasa duka itu pun makin menipis dan akhirnya seperti lenyap tak berbekas dan dia menjadi seorang pemuda yang riang kembali, selalu berpakaian bersih dan cermat, rapi dan agak pesolek, selalu bersikap ramah dan periang terhadap siapapun juga. Melihat hal ini, hal yang sudah diduganya, diam-diam Sin Liong dan isterinya menjadi gembira kembali. Juga Han Tiong merasa lega melihat adiknya sudah sembuh kembali lahir batin.
Akan tetapi, segala sesuatu yang menggores batin akan bertumpuk di bawah sadar, dan biarpun nampaknya dua peristiwa hebat itu, kematian orang tuanya dan kehilangan gadis pertama yang dicintanya, sudah lewat dan tidak berbekas, namun sakit hati dan dendam itu mengeram dan menyelinap di dalam tumpukan bawah sadar.
*** Sang waktu berjalan cepat sekali seperti meluncurnya anak panah. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda yang berusia delapan belas tahun, sedangkan Thian Sin telah berusia tujuh belas tahun. Han Tiong nampak semakin matang dan memang dia seorang pemuda yang serius, pendiam, tenang dan penuh kesabaran, welas asih, dengan perasaan yang amat halus dan peka, mudah sekali merasa iba kepada siapapun juga. Adapun Thian Sin juga menjadi seorang pemuda yang gerak-geriknya halus dan kini ketampanan wajahnya semakin menonjol. Dia masih merupakan seorang pemuda yang riang, akan tetapi halus dan ramah. Dan biarpun semua wanita muda di dusun-dusun sekeliling Lembah Naga semakin tergila-gila kepada pemuda yang mulai dewasa dan yang amat ganteng ini, namun agaknya pengalamannya dengan Bhe Cu Ing membuat Thian Sin merasa jera untuk berdekatan dengan wanita lagi. Namun hal ini bukan berarti bahwa di lubuk hatinya tidak ada rasa suka terhadap wanita. Sama sekali bukan begitu karena pemuda ini makin besar makin tertarik kepada wanita dan biarpun dia tidak lagi mau berhubungan dengan wanita, namun diam-diam dia sering melirik dan memandang penuh perhatian dan terpesona. Mungkin hanya karena tidak ada yang dianggapnya secantik atau semanis Cu Ing sajalah maka sampai sedemikian lamanya Thian Sin belum mendekati wanita lain.
Dalam hal ilmu silat, keduanya sudah memperoleh kemajuan pesat sekali. Sin Liong telah mengajarkan Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, juga Cin-ling-kun-hoat yang diciptakan okh mendiang Cia Keng Hong pendiri Cin-ling-pai bahkan mulai menurunkan ilmu Thian-te Sin-ciang yang amat hebatnya itu. Memang pendekar ini belum mengajarkan Thi-khi-i-beng dan juga ilmu mujijat yang didapatnya dari kitab Bu Beng Hud-couw karena kedua ilmu ini dianggap terlalu berbahaya untuk diturunkan secara ceroboh saja. Dia ingin agar dua orang muda itu memperoleh kematangan lebih dulu dalam ilmu-ilmu yang telah diajarkannya, terutama memperoleh inti dari tenaga sakti Thian-te Sin-ciang, baru dia akan memutuskan siapa yang akan pantas mempelajari Thi-khi-i-beng dan Hok-mo Cap-sha-ciang.
Kedua orang pemuda itu sama-sama tekun mempelajari ilmu silat dan ternyata keduanya memiliki kelebihannya sendiri-sendiri, sungguhpun keduanya tidak dapat dikatakan kurang atau lemah dalam suatu hal. Thian Sin amat maju dalam ilmu sastera, pandai sekali bersajak dan mengutip ayat-ayat kuno, tulisannya indah sekali dan juga suaranya merdu kalau dia membaca sajak. Selain kelebihan dalam hal sastera, juga dalam hal gerakan ilmu silat, dia lebih cekatan dan lebih indah, lebih mudah menguasai perkembangan suatu gerakan dibandingkan dengan kakak angkatnya. Di lain fihak, Han Tiong memiliki keunggulan dalam hal ketenangan, kematangan dasar gerakan silat, juga di samping ini dia memiliki dasar sin-kang yang lebih kuat dan hal ini berkat ketekunan dan ketenangannya.
Dengan kelebihan masing-masing, kalau mereka bertatih silat dan saling serang dalam latihan, Han Tiong kadang-kadang kewalahan menghadapi perubahan-perubahan gerakan adik angkatnya yang selain cepat juga amat bervariasi dan penuh gerak tipu itu, sedangan Thian Sin sendiri kewalahan kalau harus mengadu tenaga dengan lengan kakaknya yang terisi penuh getaran hawa sakti yang amat kuatnya.
Pada suatu hari, keluarga Istana Lembah Naga itu mendengar berita yang amat mengejutkan, yaitu bahwa di sebuah dusun tetangga, di ujung lembah yang termasuk daerah Lembah Naga, sejauh kurang lebih tiga puluh li dari Istana Lembah Naga, terjadilah perampokan semalam! Harta benda yang tidak banyak dari penduduk dusun itu dirampok, beberapa orang laki-laki dilukai dan lima orang gadis muda dilarikan perampok. Peristiwa seperti ini sebetulnya tidaklah aneh terjadi di dusun-dusun pada jaman itu, akan tetapi yang amat mengejutkan hati para penghuni Istana Lembah Naga adalah terjadi di daerah itu! Padahal, selama mereka menjadi penghuni istana itu, tidak pernah mereka terjadi kejahatan apa pun juga, dan semua orang kang-ouw tahu belaka siapa penghuni Istana Lembah Naga. Sekarang perampok dari manakah berani main gila dan mengganggu daerah yang termasuk daerah kekuasaan Pendekar Lembah Naga dan keluarganya" Sungguh hal ini amat mengejutkan dan dianggap oleh Sin Liong bukan sebagai perampok biasa, melainkan sebuah tantangan untuknya!
"Ayah, biarkan aku dan Sin-te mengejar mereka!" Han Tiong berkata dengan sikap tenang.
Sin Liong mengerutkan alisnya. Diam-diam dia mengukur kepandaian dua orang puteranya itu dan yakin bahwa kalau hanya menghadapi perampok-perampok saja, sudah dapat dipastikan Han Tiong dan Thian Sin dapat mengatasi mereka, betapapun lihainya para perampok itu. Apalagi dia amat percaya akan ketenangan Han Tiong yang selalu waspada dan tidak ceroboh. Di samping kepercayaannya yang penuh kepada puteranya dan putera angkatnya, juga inilah kesempatan yang amat baik bagi dua orang muda itu untuk mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari siang malam dengan penuh ketekunan.
"Baiklah, kalian berangkat dan selamatkan lima orang wanita yang diculik itu. Tidak usah kalian membawa senjata untuk menghadapi perampok-perampok itu. Akan tetapi ingat, kalian tidak boleh sembarangan membunuh orang. Ada dua kemungkinan pada para perampok itu. Mereka adalah perampok-perampok kecil yang memang belum mendengar nama keluarga kita di sini atau memang mereka itu sengaja memancing-mancing permusuhan. Maka, waspadalah kalian. Nah, berangkatlah sebelum mereka pergi jauh!"
Han Tiong dan Thian Sin lalu berangkat. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke dusun di sebelah selatan itu, di ujung lembah atau di kaki gunung. Thian Sin kelihatan gembira bukan main dan dia mengerahkan ilmunya berlari cepat sampai Han Tiong menegurnya.
"Hati-hati, Sin-te, jangan menghamburkan terlalu banyak tenaga untuk berlari. Kita masih amat membutuhkan tenaga kalau sudah berhadapan dengan mereka."
"Akan kuhajar mereka! Akan kuhajar bedebah-bedebah itu!" kata Thian Sin dan sepasang matanya bersinar aneh, dingin dan membuat Han Tiong merasa kaget dan khawatir. Belum pernah dia melihat sepasang mata adik angkatnya bersinar seperti itu selama ini, kecuali ketika adiknya ini sakit karena patah hati setahun lebih yang lalu.
Karena dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga ini mempergunakan ilmu berlari cepat, maka tidaklah sukar bagi mereka untuk menyusul gerombolan perampok yang melarikan diri ke sebuah bukit yang penuh hutan itu. Lewat tengah hari, Han Tiong dan Thian Sin sudah menyelinap ke dalam hutan lebat itu dan menemukan jejak gerombolan yang memasuki hutan. Akhirnya di tengah-tengah hutan itu, mereka melihat belasan orang pria yang bersikap kasar berada di luar sebuah pondok yang agaknya memang menjadi tempat perhentian atau persembunyian para gerombolan itu. Orang-orang itu kelihatan lelah, ada yang tertidur pulas di bawah pohon, ada pula yang duduk bersandar batang pohon, ada yang bercakap-cakap.
Han Tiong memberi isyarat kepada adiknya agar jangan sembrono turun tangan sebelum tahu jelas bahwa mereka adalah gerombolan perampok yang mereka kejar, maka dengan hati-hati, mengandalkan gin-kang mereka yang membuat tubuh mereka amat ringan, keduanya meloncat ke atas pohon dan dari sini berloncatan sampai ke atas wuwungan pondok dan mereka mengintai dan mendengarkan ke sebelah dalam.
Pondok itu cukup luas dan di bagian belakang atau dalam, di mana terdapat sebuah kamar yang besar, nampak ada lima orang gadis dusun yang berlutut di sudut, berhimpitan saling rangkul, kelihatan ketakutan seperti sekelompok kelinci terkurung. Akan tetapi yang menarik perhatian dua orang pendekar muda itu adalah seorang dara yang berdiri tegak menghadapi seorang laki-laki setengah tua tinggi besar dan agaknya terjadi pertengaran antara mereka berdua.
"Tidak, pendeknya, selama ada aku di sini, aku tidak mau melihat mereka diganggu oleh siapapun juga!" demikian dara itu berkata, suaranya lantang dan nyaring, penuh kemarahan dan tantangan.
Han Tiong dan Thian Sin memandang dengan penuh perhatian kepada dua orang yang berdiri berhadapan dan bertengkar itu. Dara itu masih amat muda. Paling banyak tujuh belas tahun usianya, berpakaian serba hijau, pakaian yang kasar dan ringkas, yang ketat menutupi tuhuhnya yang padat dan langsing. Tubuh yang membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajahnya manis, dengan dagu meruncing dan hidung kecil mancung. Biarpun pada saat itu dia sedang marah, namun kemanisan wajahnya tidak berkurang, bahkan nampak gagah dengan sepasang mata bersinar sinar itu.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek yang gagangnya dihias ronce biru. Rambutnya disanggul sederhana ke atas, diikat dengan ikatan rambut sutera merah. Pendeknya, dara itu nampak gagah dan manis sekali. Sedangkan pria itu, yang usianya mendekati lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu nampak tegap kuat dan menyeramkan. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang-orang yang berada di luar pondok, agak lebih rapi dan bersih, dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Agaknya pria ini setengah mabuk karena tangan kirinya masih membawa sebuah guci arak yang tinggal sedikit isinya, sepasang matanya yang lebar agak kemerahan dan diapun memandang kepada dara itu dengan alis berkerut dan sikap marah.
"Leng-ji, lupakah engkau dengan siapa kau berhadapan?" terdengar laki-laki itu membentak marah, suaranya parau dan lantang.
"Aku berhadapan dengan ayah," jawab dara itu, sikapnya tetap menentang.
"Hemm, kau masih ingat aku ayahmu, dan bukan itu saja, bahkan aku juga gurumu! Dan sekarang kau berani menentangku?"
"Ayah, ingatlah akan apa yang ayah katakan dan janjikan kepadaku! Ayah melakukan kekacauan di dusun itu, lalu menawan wanita-wanita itu hanya sebagai memenuhi tugas ayah sebagai anggauta Jeng-hwa-pang saja untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga. Bukankah begitu" Akan tetapi di dusun itu ayah telah melakukan pembunuhan-pembunuhan..."
"Bukan aku yang melakukannya!"
"Benar, anak buah ayah, akan tetapi mengapa ayah tidak melarang mereka" Kemudian penawanan lima orang wanita ini yang ayah katakan sebagai memancing pendekar itu keluar dari istananya, akan tetapi mengapa sekarang ayah... ayah hendak... melakukan kekejian...?"
"Ah, kau anak kecil tahu apa! Kau keluarlah dan tinggalkan aku bersama mereka!"
Akan tetapi dara itu dengan sikap tegas menggeleng kepalanya dan matanya memancarkan sinar penuh kemarahan. "Tidak! Aku adalah seorang wanita, dan merekapun wanita! Kalau mereka dihina di depanku, sama saja dengan aku yang terhina. Aku akan melindungi mereka dari gangguan siapapun juga, ayah. Kalau perlu aku rela mengorbankan nyawaku. Yang kubela bukanlah perorangan, melainkan kehormatan wanita!"
"Ehh..." Kau berani..." Leng-ji, sudahlah. Aku tidak mau membiarkan hatiku marah kepadamu. Biarlah aku mengalah, kauberikan seorang saja di antara mereka kepadaku, yang mana saja."
"Jangan, ayah. Pula, mengapa ayah menjadi begini" Mengapa Ayah mau melakukan hal yang jahat itu?" Di dalam suare dara itu terkandung isak dan kedukaan.
"Hemm, kau anak tolol. Semenjak ibumu tiada, aku menderita. Berikanlah seorang saja di antara mereka untuk menghibur hati ayahmu yang kesepian ini."
"Tidak akan kuberikan kepada siapapun juga selama aku masih hidup dan berada di sini!"
"Apa" Kau berani menentang ayahmu, gurumu?"
"Apa boleh buat! Biar ayah, atau guru, kalau tidak benar, harus ditentang!" Ucapan ini terdengar gagah sekali dan membikin kagum dua orang muda yang berada di atas pondok sehingga mereka tertarik dan menjadi lengah.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di bawah pondok. "Mata-mata di atas pondok!"
"Musuh datang...!"
"Kepung! Tangkap!"
Han Tiong dan Thian Sin terkejut sekali dan ketika mereka memutar tubuh dan memandang, ternyata pondok itu telah terkepung oleh kurang lebih dua puluh orang, bahkan tak lama kemudian kepala perampok yang tadinya ribut-ribut mulut dengan gadisnya itupun sudah berada di luar pondok dan memandang ke atas.
"Sin-te, kita ketahuan. Mari hajar mereka, akan tetapi jangan kau menurunkan tangan kejam, jangan membunuh orang."
"Baik, Tiong-ko!" Baru saja menjawab demikian, tubuh Thian Sin sudah melayang turun ke bawah, tepat di tengah-tengah gerombolan itu dan pemuda inipun mulai mengamuk dengan hebatnya. Han Tiong juga cepat meloncat turun dan menyerbu para pengeroyok itu, selalu berusaha agar dia berdekatan dengan adiknya dan dapat mengamati sepak terjang adiknya itu. Dan apa yang dilihatnya sungguh membuat dia terkejut. Thian Sin mengamuk seperti seekor naga, gerakannya cepat dan kuat dan dalam beberapa gebrakan saja dia telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan hantaman keras sehingga yang seorang roboh dengan tulang pundak remuk-remuk dan yang seorang lagi dengan tulang lutut hancur! Sungguh ganas sekali bekas tangan pemuda ini dan wajahnya kelihatan beringas dengan sinar mata berkilat sungguhpun mulutnya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan.
"Sin-te, jangan bunuh orang...!" Han Tiong merobohkan seorang perampok dan pemuda ini membatasi tenaganya sehingga orang yang dirobohkannya itu tidak sampai terluka parah, mendekati adiknya.
Akan tetapi karena para pengeroyok itu menjadi marah melihat robohnya teman-teman mereka dan menggeroyok lebih ketat, kakak beradik ini terpisah lagi dan terpaksa Hen Tiong mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri sendiri. Dua orang muda itu tidak bersenjata, akan tetapi pengeroyokan belasan orang bersenjata itu sama sekali tidak membuat mereka repot karena para pengeroyoknya itu adalah orang-orang kasar yang kebanyakan hanya mengandalkan kekuatan tenaga kasar den keras atau tajamnya senjata di tangen saja, biarpun mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat dua orang pendekar muda itu.
Sementara itu, kepala gerombolan yang tadi bertengkar dengan anaknya den kini sudah keluar dari pondok, ketika melihat kehebatan dua orang muda yang mengamuk dan merobohkan beberapa orang anak buahnya, menjadi marah sekali. Dia mencabut golok besarnya dan membentak nyaring. "Dua bocah setan dari mana berani mengacau di sini?"
"Tiong-ko, biar kuhadapi dia!" kata Thian Sin dan pemuda ini sudah meloncat dan menyambut kepala gerombolan itu. Melihat seorang di antara dua pemuda itu melompat ke depan, kepala gerombolan itu menyambut dengan bacokan golok yang menyambar ke arah leher Thian Sin dengan cepat sekali, membentuk sinar dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Namun dengan mudah Thian Sin mengelak dengan menundukkan kepala den berbareng kakinya menyambar ke bawah mengarah pusar lawan.
"Ehhh...!" Kepala gerombolan itu terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang karena tendangan itu luar biasa cepat datangnya. "Siapa kau?" bentaknya sambil melintangkan golok besarnya yang mengkilap, matanya menatap Thian Sin dengan pandang mata terbelalak menyeramkan. Sementara itu Han Tiong masih terus menghadapi pengeroyokan banyak orang.
"Perampok busuk! Engkau memancing penghuni Istana Lembah Naga untuk keluar" Nah, kami sudah datang!" kata Thian Sin dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menerjang dengan pukulan-pukulan yang amat kuat dan cepat, membuat kepala gerombolan itu cepat memutar golok untuk membabat lengan lawan dan balas menyerang.
"Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak kepala gerombolan dan kembali mereka terpecah menjadi dua kelompok, sebagian kecil membantu kepala gerombolan mengeroyok Thian Sin dan sebagian besar yang lain mengeroyok Han Tiong.
Terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi dua orang pendekar muda dari Istana Lembah Naga itu telah memiliki ilmu silat yang hebat, jauh terlampau tinggi bagi para pengeroyoknya. Jangankan baru dikeroyok belasan orang-orang kasar itu, biar ditambah dua kali lipat lagipun mereka takkan mungkin dapat mengalahkan murid-murid atau putera-putera Pendekar Lembah Naga ini. Kalau saja mereka berdua tidak menjaga kaki tangan agar jangan sampai membunuh lawan, tentu pertempuran itu berakhir dengan cepat saja.
Mereka berdua merobohkan lawan, akan tetapi menjaga jangan sampai membunuh. Sebenarnya Han Tiong sajalah yang sungguh melakukan ini, karena yang roboh oleh tamparan atau pukulan atau tendangan Thian Sin, biarpun tidak tewas akan tetapi sudah setengah mati dan terluka parah. Melihat betapa kepala gerombolan yang memainkan goloknya itu cukup tangguh dibandingkan dengan anak buahnya, dan tidak roboh ketika terkena tamparan pada pangkal lengan kirinya, Thian Sin menjadi penasaran. Dia merobohkan dua orang pengeroyok dan menyambar ke depan, ke arah kepala gerombolan itu. Si kepala gerombolan ini menyambut dengan goloknya, membacok kepala. Ketika Thian Sin mengelak sambil miringkan tubuh, golok itu menyambar lagi dengan tusukan ke arah dadanya.
"Mampuslah!" bentak Kepala Gerombolan itu.
"Hemmm...!" Thian Sin mendengus dan cepat sekali kakinya bergeser, tubuhnya mengelak dan golok yang ditusukkan dengan kuat-kuat itu meluncur lewat bersama lengan yang memegang gagang golok. Thian Sin tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, cepat jari tangannya menyambar, menangkap pergelangan tangan kanan lawan, mengetuk urat besar di siku membuat lengan itu seperti lumpuh dan secepat kilat dia membalikkan lengan itu sehingga goloknya menyambar ke arah tubuh pemegangnya sendiri! Si Tinggi Besar ini terkejut dan berusaha menahan dengan lengan kirinya, namun golok itu malah menyambar lengan kirinya, tak tertahankan lagi.
"Crokkkk! Aughhhh...!" Kepala rombongan itu menjerit, darah muncrat-muncrat dari lengan kirinya yang buntung di bawah sikunya!
Melihat ini, para anak buah gerombolan menjadi gentar, apalagi dua orang muda itu mengamuk lebih hebat. Tanpa ada yang menyuruh lagi, mereka lalu melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka.
Thian Sin sudah berdiri di dekat tubuh kepala gerombolan yang rebah miring dan menginjakkan kakinya ke dada orang itu sambil membentak. "Hayo katakan siapa yang menyuruhmu!"
Kepala gerombolan mencoba menjawab, akan tetapi yang keluar hanya "Ti... tidak, tidak...!"
"Apa kau ingin kuinjak hancur dadamu?" Thian Sin membentak lagi dan menekan sedikit dengan kakinya.
"Aughhh... aduhh... ampun... kami disuruh... Jeng-hwa-pang..."
"Dan kau telah membunuhi orang dusun, menculik wanita-wanita" Kaki layak mampus!"
"Sin-te, jangan!" Tiba-tiba Han Tiong telah tiba di situ karena semua penjahat telah melarikan diri. "Lepaskan dia!"
Thian Sin memandang kakaknya, lalu mengangguk dan melepaskan injakan kakinya. Kepala gerombolan yang ditinggal pergi sisa anak buahnya itu bangkit dan merangkak bangun, terengah-engah dan tangan kanannya memegangi lengan kiri yang buntung.
"Nah, katakan kepada ketua Jeng-hwa-pang agar tidak main-main lagi di Lembah Naga. Kami keluarga Istana Lembah Naga bukanlah orang-orang yang mencari permusuhan, akan tetapi juga tidak akan tinggal diam kalau melihat orang-orang melakukan kekacauan dan kejahatan seperti yang kalian lakukan. Pergilah!" bentak Han Tiong dan kepala gerombolan itu lalu pergi terhuyung-huyung.
Dua orang pemuda itu lalu memasuki pondok, akan tetapi Thian Sin yang masuk lebih dulu itu disambut dengan sambaran pedang.
"Singgg...!"
"Hemm...!" Dia cepat mengelak dan sekali tangannya bergerak, dia telah menampar lengan kecil itu.
"Plak...! Aihh...!" Dara itu menjerit kecil dan pedangnya terlepas dari pegangan, lalu pedang yang melayang itu disambar oleh tangan Thian Sin. Sambil menatap wajah yang manis dan yang terbelalak keheranan itu, Thian Sin memegang pedang dengan dua tangan, kemudian dengan gerakan enak saja dia mematahkan pedang itu seperti mematah-matahkan ranting yang kecil saja.
"Krekkk!" Pedang patah di tengah-tengah dan Thian Sin melemparkan pedang itu ke atas lantai.
"Ohhh...!" Dara itu mengeluh dan sepasang mata yang indah itu memandang penuh kagum kepada pemuda tampan yang mematahkan pedangnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja itu. Tadi dia sudah mengintai melalui celah-celah pintu dan menyaksikan betapa ada dua orang muda gagah perkasa yang mengaku datang dari Istana Lembah Naga mengamuk dan merobohkan semua anggauta gerombolan, bahkan telah membuntungi lengan kiri ayahnya dengan golok ayahnya sendiri. Hal itu saja tadi sudah membuat dia terheran-heran penuh kagum, akan tetapi ketika dua orang pemuda itu memasuki pondok, teringat bahwa mereka itu adalah musuh-musuh, dia lalu menyerang dengan pedangnya dan akibatnya, bukan saja serangan itu sia-sia belaka, bahkan pedangnya dipatahkan.
"Nona, kami bukan musuhmu, biarpun engkau puteri kepala gerombolan itu, akan tetapi kami melihat betapa dengan gagah engkau melindungi tawanan-tawanan ini dari gangguan kepala gerombolan," kata Han Tiong dengan suara halus.
"Hemm, sungguh mengherankan sekali. Engkau gagah perkasa dan baik, nona, akan tetapi ayahmu itu orang jahat..." kata Thian Sin.
"Dia bukan ayahku!" Dara itu berkata dengan suara lantang.
"Eh, bukan" Bagus sekali kalau begitu!" kata Thian Sin tersenyum. "Akan tetapi kami mendengar nona menyebutnya ayah."
Dara itu menarik napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bengku dengan tubuh lemas. "Memang dia bukan ayahku, bukan ayah kandungku. Ayah tiri yang kubenci sekali! Dia... ketika aku berusia sepuluh tahun, dia membunuh ayah dan melarikan ibu dan aku. Ibu lalu menjadi isterinya. Dia memang baik kepadaku, mengajarku ilmu silat, memperlakukan aku sebagai anak sendiri. Akan tetapi aku benci padanya! Aku menaruh dendam atas kematian ayahku dan atas kekejamannya terhadap ibu yang kini telah meninggal dunia pula. Dan tadi, melihat dia hendak memperkosa tawanan ini, aku semakin benci padanya!"
Kakak beradik itu saling lirik dan mereka merasa terharu. Kiranya demikian persoalannya dan mereka merasa kasihan kepada dara ini. Apalagi Thian Sin. Dia merasa kasihan dan juga amat tertarik. Dara ini telah yatim piatu, sama dengan dia! Hal ini saja sudah membuat dia merasa amat suka dan merasa senasib dengan dara itu.
"Nona tadi mengatakan bahwa semua perampokan ini hanya merupakan pancingan saja terhadap Pendekar Lembah Naga... bagaimanakah sesungguhnya persoalannya, nona?"
"Ayah tiriku itu adalah seorang anggauta Jeng-hwa-pang dan dia diperintahkan oleh Jeng-hwa-pang untuk memancing keluar Pendekar Lembah Naga dengan jalan mengganggu dusun itu. Ayah mengumpulkan kawan-kawannya dan akupun ikut serta, bukan untuk ikut melakukan pekerjaan itu, melainkan untuk mengamati perbuatan ayah. Dan aku kecewa dan menyesal bukan main melihat watak ayah tiriku yang sesungguhnya. Dia ganas dan kejam, bersama kawan-kawannya melakukan perampokan bukan hanya untuk pancingan, melainkan dengan penuh nafsu dan memang pekerjaan itu agaknya merupakan kesenangan mereka. Agar tidak dicurigai bahwa diam-diam aku menentang mereka, maka aku menawarkan diri untuk menjadi penjaga lima orang gadis ini. Dan melihat niat ayah yang kejam, aku menentangnya. Ayah sedang mabuk, kalau tidak, biasanya dia tidak berani atau enggan untuk berbantah dengan aku. Agaknya... agaknya dia memang benar-benar sayang kepadaku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak sudi! Aku tidak sudi punya ayah macam dia! Aku tidak akan kembali kepadanya..." Dan sepasang mata yang jernih itu menjadi basah.
Thian Sin merasa terharu sekali dan hampir dia ikut menitikkan air mata. Dengan halus dia lalu bertanya, "Kalau sudah begini, lalu apa yang akan kaulakukan selanjutnya, nona?"
Dara itu memandang kepada Thian Sin sambil mengusap beberapa butir air mata yang tergenang di pelupuk matanya. "Aku akan mengantar kembali lima orang gadis ini ke dusun mereka..."
"Sesudah itu...?" Thian Sin mendesak.
"Sesudah itu... aku tidak tahu, pendeknya aku tidak sudi kembali kepadanya!"
"Apakah... apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang lain, nona?"
Gadis itu menggeleng kepala. "Tidak, aku seorang diri saja di dunia ini..."
Tiba-tiba seorang diantara lima gadis dusun itu menghampirinya dan memeluknya. "Adik yang baik, engkau telah menyelamatkan kami, marilah ikut dan tinggal bersama kami saja, kami akan menganggapmu sebagai saudara kami, sebagai penolong, dan pelindung kami..." Empat orang gadis yang lain menyetujui dan membujuk-bujuk dara itu.
"Bagus sekali! Memang usul mereka itu baik sekali, nona, dan aku mendukungnya! Ketahuilah, nona, kami datang dari Istana Lembah Naga. Dia ini kakak angkatku, Cia Han Tiong, dan aku sendiri bernama Ceng Thian Sin. Kalau kau mau tinggal di dusun itu... kita akan berdekatan dan dapat saling mengunjungi sebagai sahabat."
Han Tiong memandang kepada adik angkatnya itu dan diam-diam dia merasa geli sendiri. Adiknya ini benar-benar agaknya sudah jatuh hati lagi kepada gadis ini, pikirnya. Hatinya lega karena hal itu menandakan bahwa Thian Sin sudah melupakan peristiwa patah hati dahulu itu bersama Bhe Cu Ing.
Dara itu bangkit dan nampak terkejut, lalu menjura ke arah dua orang pemuda gagah perkasa itu. "Ah, maafkan, karena tidak tahu maka saya bersikap kurang hormat. Aih, betapa tololnya ayah tiriku itu, berani mengganggu naga yang sedang tidur! Ji-wi amat gagah perkasa dan baik, dan saya Loa Hwi Leng merasa kagum dan berterima kasih bahwa ji-wi tidak menganggap saya sebagai anggauta gerombolan pengacau."
Karena bujukan lima orang gadis itu, akhirnya Hwi Leng menyetujui untuk tinggal di dusun mereka. Para orang tua lima orang gadis itu tentu saja merasa gembira sekali melihat puteri-puteri mereka selamat, dan berterima kasih kepada Hwi Leng. Semua orang dusun menghormati gadis ini dan menganggapnya sebagai pelindung dusun mulai saat itu.
Cia Sin Liong dan isterinya merasa gembira den bangga mendengar penuturan dua orang muda itu tentang hasil tugas mereka mengejar gerombolan pengacau, akan tetapi Sin Liong mengerutkan alisnya ketika mendengar betapa kepala gerombolan itu putus sebelah lengannya.
"Memang dia seorang jahat yang patut dihukum, akan tetapi engkau agak keterlaluan kalau membikin putus lengannya, Thian Sin. Sebetulnya cukup dengan mematahkan tulang lengannya saja."
"Maaf, ayah, saya merasa dalam keadaan marah dan mata gelap ketika dia menyerang saya dengan golok, den mengingat betapa dia telah membunuh orang dusun, menculik wanita, maka..."
"Sudahlah, mungkin perbuatanmu itu ada baiknya, membikin jera kepadanya. Den yang amat menggemaskan adalah Jeng-hwa-pang. Apa pula maksud mereka memancingku keluar dari sini" Mengapa mereka masih terus hendak mencari permusuhan denganku?"
"Ayah, apakah Jeng-hwa-pang itu dan mengapa memusuhi ayah?" tanya Han Tiong.
"Aku tahu siapa Jeng-hwa-pang itu! Perkumpulan jahat yang ikut membunuh ayah bundaku!" tiba-tiba Thian Sin berkata dengan suara mengandung kemarahan dan dendam sehingga Sin Liong menjadi terkejut dan cepat memandang kepada anak angkatnya itu. Sejenak dua pasang mata bertemu dan Thian Sin menundukkan mukanya, sadar bahwa kembali dia membiarkan dirinya dikuasai nafsu dendam yang amat hebat. Dan Sin Liong diam-diam merasa khawatir karena mendapatkan kenyataan bahwa sesungguhnya api dendam yang hebat itu masih selalu membara di dalam hati Thian Sin.
"Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan besar di perbatasan, dan mereka memusuhi kami, yaitu aku dan mendiang ayah Thian Sin, karena urusan lama sekali. Tak kusangka sampai sekarang mereka masih menaruh dendam. Betapapun juga, mudah-mudahan setelah menerima hajaran kalian, mereka tidak berani lagi mengacau."
Sin Liong merasa tidak enak untuk banyak bercerita tentang diri Ceng Han Houw dan dua orang muda itupun tidak banyak mendesak lagi. Pengalaman itu membuat mereka kini semakin giat berlatih ilmu silat, dan juga Sin Liong tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu silat rahasia kepada mereka, yaitu Ilmu Thi-khi-i-beng kepada Thian Sin dan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong! Dia menurunkan Ilmu Cap-sha-ciang kepada Han Tiong dan tidak kepada Thian Sin karena dia tahu akan dahsyatnya ilmu ini. Kalau sampai dipergunakan secara liar oleh Thian Sin yang wataknya mudah berubah itu, sungguh akan menimbulkan geger di dunia persilatan! Sebaliknya, Thi-khi-i-beng adalah ilmu yang mengandung kelemasan dan ilmu itu diharapkannya akan dapat mengendalikan Thian Sin, memberinya watak yang lebih lemas, tidak kaku dan keras. Maka, berlatihlah dua orang muda itu dengan amat tekunnya, dan sesuai dengan pesan Sin Liong, mereka merahasiakan ilmu masing-masing karena kedua macam ilmu itu tidak boleh diajarkan kepada dua orang, melainkan hanya boleh diturunkan kepada satu orang saja.
Akan tetapi di samping menurunkan dua macam ilmu silat yang luar biasa itu kepada masing-masing, diam-diam Sin Liong juga mengajarkan cara untuk melindungi diri terhadap Thi-khi-i-beng kepade Han Tiong. Hal ini dilakukan bukan karena die pilih kasih, melainkan karena dia percaya penuh akan watak putera kandungnya ini dan merasa perlu adanya orang yang dapat mengamati dan kalau perlu mengendalikan keliaran Thian Sin kelak. Ilmu ini adalah ilmu totok jalan darah yang memang diciptakannya sendiri khusus untuk melindungi diri terhadap penyedotan hawa Thi-khi-i-beng, yang diberi nama It-sin-ci (Jari Tunggal Sakti).
Mudah sekali diduga semenjak terjadinya pengacauan di dusun itu, Thian Sin sering kali berkunjung ke dusun dan mengadakan pertemuan dengan dara yang bernama Loa Hwi Leng itu. Mereka bersahabat akrab dan hubungan mereka makin lama makin erat, dan mudah diduga bahwa Hwi Lengpun tidak dapat menguasai hatinya lagi ketika berkenalan dengan pemuda tampan yang pandai membawa diri ini sehingga diapun jatuh cinta! Dan karena dia tidak bertepuk tangan sebelah, maka keduanya nampak akrab sekali dan sering kali mereka berdua berjalan-jalan di luar dusun, di antara sawah ladang dan kadang-kadang ke dalam hutan di dekat dusun. Di tempat yang sunyi itu, keduanya dengan leluasa saling menumpahkan rindu hati mereka dan kasih sayang mereka dengan bercumbu, namun selalu Thian Sin dapat mempertahankan nafsu berahinya sehingga hubungan mereka hanya terbatas kepada cumbu-cumbuan den peluk cium belaka, tidak melebihi batas yang akan menghanyutkan mereka ke dalam perjinaan hubungan kelamin.
Terobatlah sakit hati Thian Sin kehilangan pacarnya yang pertama, yaitu Cu Ing dan kini seluruh orang muda di dusun-dusun sekitar Lembah Naga tahu belaka bahwa Ceng-kongcu yang tampan itu telah mempunyai seorang pacar baru, yaitu Hwi Leng gadis perkasa yang namanya terkenal sebagai pendekar wanita yang dengan berani mati melindungi lima orang gadis yang ditawan gerombolan perampok. Sekali ini, tidak ada gadis-gadis yang dapat melapor kepada siapapun, karena Hwi Leng adalah seorang gadis yatim piatu yang berdiri sendiri di dunia ini. Pula, untuk menyatakan rasa iri dan cemburu secara berterang tentu saja tidak ada yang berani karena gadis itu terkenal sebagai seorang yang lihai!
Han Tiong juga melihat perkembangan ini dan Han Tiong inilah yang membisikkan nasihat kepada adik angkatnya agar adik angkatnya itu selalu dapat menahan nafsunya. "Ingat, adikku yang baik. Sekali engkau tidak dapat menahan nafsu dan melakukan pelanggaran, hal itu akan merusak nama baikmu dan nama baik gadis yang kaucinta. Hati-hatilah engkau."
Thian Sin tersenyum dan mukanya berubah merah. "Jangan khawatir, Tiong-ko. Aku selalu dapat menahan diri. Aku cinta padanya, dan aku tidak ingin mempermainkan cinta kami dengan pelanggaran nafsu berahi."
Hemm, begitu mudah patah hati dan begitu mudah mendapat gantinya, bisik hati Han Tiong akan tetapi dia tidak ingin menyinggung perasaan adiknya. "Kalau begitu, apakah ada niat di hatimu untuk menikah dengan Hwi Leng, Sin-te?"
Ditanya demikian, Thian Sin kelihatan terkejut dan sejenak dia menatap wajah kakak angkatnya seperti orang bodoh. Kemudian dia menggeleng-geleng kepala seperti orang bingung dan berkata, "Menikah" Ah, itu... itu... entahlah, Tiong-ko, sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku."
"Aihhh, kau ini bagaimana, Sin-te" Habis untuk apa engkau berpacaran dengan Hwi Leng kalau tidak ada niatmu untuk menjadi suaminya kelak?"
Kini sepasang mata yang tajam itu menatap Han Tiong dan suaranya tegas ketika dia bertanya, "Tiong-ko, apakah cinta harus selalu diakhiri dengan pernikahan?"
"Cinta antara sahabat, antara saudara, tentu saja tidak. Akan tetapi cinta antara pria dan wanita yang sudah berpacaran, apalagi kalau tidak diakhiri dengan pernikahan?"
"Apakah tidak bisa kita hidup dengan cinta di hati tanpa diikat pernikahan, Tiong-ko?"
"Ah, pertanyaanmu aneh sekali, adikku, Mana mungkin dalam kebudayaan dan kesopanan kita itu ada cinta antara pria dan wanita yang tidak disudahi dengan pernikahan?"
"Aku ingin ada cinta tanpa ikatan pernikahan, Tiong-ko."
"Hemm, kalau memang kedua fihak menghendaki, tentu saja hal itu bisa terjadi. Akan tetapi wanita manakah yang mau dijadikan kekasih selamanya tanpa dinikahi" Mereka semua tentu ingin dinikahi secara resmi, menjadi isteri, menjadi ibu, terjamin dan terikat erat-erat!"
SEMENJAK percakapan itu, Thian Sin nampak sering kali termenung dan menarik napas panjang dan dia mulai agak mengurangi kunjungannya kepada Hwi Leng karena setiap kali dia berdekatan dengan Hwi Leng, maka bayangan pernikahan selalu muncul dan menghantuinya. Dia tidak ingin terikat sebagai suami, sebagai ayah, dia masih ingin bebas, ingin memasuki dunia yang luas ini, ingin bertualang, merantau meluaskan pengetahuan, akan tetapi diapun senang sekali berdekatan dengan wanita cantik seperti Hwi Leng.
*** Petani tua itu datang dengan waiah pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Keluarga Istana Lembah Naga pagi itu sedang duduk di serambi depan, lengkap Cia Sin Liong, isterinya dan dua orang puteranya. Mereka berada dalam suasana gembira dan sepagi itu mereka telah menghadapi hidangan-hidangan lezat karena pagi itu mereka merayakan hari ulang tahun Cia Sin Liong yang ke empat puluh! Perayaan keluarga yang sederhana, tanpa dihadiri orang luar. Dan inipun bukan kehendak pendekar itu yang tidak ingin diadakan pesta apapun untuk peringatan genap usia empat puluh tahun saja, melainkan kehendak isterinya. Bi Cu sejak pagi sekali telah bangun dan dibantu pelayan telah masak-masak, maka pagi itu mereka sudah menghadapi sarapan besar dengan gembira.
Kedatangan petani tua itu tentu saja mengherankan mereka semua. Sin Liong dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka petani itu nampak demikian ketakutan. Dengan halus dia lalu mempersilakan orang itu duduk dan bertanya apakah keperluannya datang pagi-pagi dengan sikap seperti itu.
"Celaka, taihiap... dusun kami semalam didatangi lagi penjahat-penjahat!" kata petani itu dengan suara gemetar.
Keluarga itu terkejut, terutama sekali Thian Sin yang menatap tajam dengan mata terbelalak.
"Ah, mereka masih berani datang lagi?" seru Han Tiong.
"Jahanam-jahanam itu menjemukan!" Thian Sin juga berseru.
"Lalu apa yang mereka lakukan" Perampokan dan pembunuhan lagi?" Cia Sin Liong bertanya penuh kekhawatiran.
"Hanya satu pembunuhan, taihiap... Nona Hwi Leng mereka bunuh..."
"Ahhh...!" Thian Sin mengeluarkan teriakan nyaring dan di lain saat dia telah meloncat dan lari dari situ.
"Sin-te...!" Han Tiong berteriak, akan tetapi ayahnya mencegahnya dan malah berkata.
"Tiong-ji, biarkan dia. Akan tetapi kau cepat kejar dan susul dia, jangan sampai adikmu melakukan hal-hal yang tidak semestinya."
"Baik, ayah." Dan pemuda inipun lalu meloncat dan berlari cepat mengejar adiknya yang lari menuju ke arah dusun di mana tinggal Loa Hwi Leng itu.
"Sekarang harap kauceritakan apa yang telah terjadi di dusunmu semalam, paman," kata Sin Liong kepada kakek petani yang mukanya keriputan itu.
Kakek itu dengan suara gemetar bercerita. Semalam di dusun mereka, menjelang tengah malam terdengar derap kaki yang banyak. Karena sudah pernah mengalami gangguan para perampok, penduduk dusun itu menjadi penakut dan mendengar derap kaki banyak kuda ini, mereka tidak berani keluar pondok, menutupkan pintu, memadamkan lampu dan mengintai keluar dari rumah-rumah yang gelap, bahkan ada yang sama sekali tidak berani mengintai, hanya berjubel dengan ketakutan di dalam kamar masing-masing.
"Saya memberanikan diri mengintai keluar dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah di mana Nona Hwi Leng tinggal." kata kakek itu melanjutkan. "Saya melihat Nona Leng keluar dari rumah itu, dengan pedang di tangan dan dengan berani dia menegur para penunggang kuda yang jumlahnya belasan orang itu." Dia berhenti dan kelihatan bingung dan ketakutan, sebentar-sebentar menoleh ke kanan kiri seolah-olah dia takut kalau-kalau di tempat itu sewaktu-waktu akan muncul perampok-perampok.
"Lalu bagaimana, paman" Jangan takut, di sini aman," kata Sin Liong.
"Terjadi pertempuran, akan tetapi hanya sebentar dan tahu-tahu Nona Leng telah ditawan oleh mereka. Kemudian... kemudian..." Kakek itu tak dapat melanjutkan ceritanya dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, seolah-olah hendak menghindar dari penglihatan yang masih membayang di depan matanya.
Sir, Liong dan Bi Cu sudah dapat menduga. "Mereka itu membunuhnya?" tanya Sin Liong kepada petani itu.
"Bukan hanya dibunub. Dia disiksa... saya tidak berani lagi melihatnya... dan kami semua tidak berani keluar biarpun kaki kuda mereka itu sudah meninggalkan dusun. Baru pada keesokan harinya kami berani keluar dan melihat... mayat Nona Leng tergantung di pohon tanpa pakaian, tubuhnya hancur disayat-sayat..."
"Keparat jahanam!" Bi Cu membentak dan bangkit berdiri, kedua tangannya dikepal karena nyonya ini sudah menjadi marah bukan main.
Sin Liong memegang lengan isterinya dan dengan pandang matanya dia menenangkan isterinya. Bi Cu yang mukanya menjadi merah sekali itu menarik napas panjang menenangkan diri lalu duduk kembali.
"Paman, apakah paman mendengar apa yang diucapkan oleh para penjahat itu?"
"Mereka itu orang-orang kasar dan tertawa-tawa ketika menyiksa Nona Leng. Saya hanya mendengar suara Nona Leng merintih, akan tetapi ada yang bersuara, besar dan berkata : Engkau berani mengkhianati Jeng-hwa-pang" Hanya itulah yang saya dengar..."
"Hemm, Jeng-hwa-pang lagi...!" Sin Liong berkata. "terima kasih atas laporanmu, paman."
Setelah petani tua itu pergi, Sin Liong lalu berkata kepada isterinya, "Jeng-hwa-pang tak boleh dipandang ringan. Sebaiknya kalau aku melihat keadaan anak-anak kita."
Bi Cu mengangguk. Sebenarnya nyonya ini ingin sekali ikut untuk dapat mengamuk dan memberi hajaran kepada Jeng-hwa-pang, akan tetapi karena kedua orang puteranya itu kini sudah memiliki kepandaian tinggi, lebih lihai daripada dia sendiri, dan lebih lagi karena suaminya juga menyusul mereka, maka sebaiknya bagi dia untuk menjaga dan menanti di rumah. Maka pergilah Sin Liong dengan cepat untuk menyusul dua orang puteranya.
Ketika Thian Sin yang berlari secepat terbang itu tiba di rumah yang ditinggali kekasihnya dan melihat peti mati dengan hio mengepul di depan pintu bagaikan orang gila dia segera menjerit. "Hwi Leng...!" Dan dia segera menghampiri peti mati. Semua orang terkejut, terharu dan juga takut melihat pemuda yang biasanya ramah dan tersenyum-senyum itu kini kelihatan berwajah beringas dan pucat, matanya merah.
"Brakkk!" Sekali renggut, tutup peti mati itupun terbuka. Nampak wajah Hwi Leng yang pucat dan putih, namun masih nampak cantik biarpun muka itu penuh luka tersayat-sayat kulitnya. Dari pipi sampai ke dagu dan leher pehuh dengan goresan senjata tajam dan tanpa membuka pakaiannya Thian Sin dapat menduga bahwa seluruh tubuh itu tentu penuh dengan luka-luka goresan pedang.
"Hwi Leng...!" Dia menjerit, kemudian tubuhnya membalik dan matanya liar mencari-cari, kemudian dia memekik mengerikan. "Bedebah kalian semua! Mampuslah orang-orang Jeng-hwa-pang!" Dan dia pun melesat dan lari cepat sekali dari tempat itu.
Kurang lebih setengah jam kemudian Han Tiong tiba di rumah duka itu. Mendengar bahwa adiknya telah tiba di situ dan sudah pergi dalam keadaan marah mengejar orang-orang Jeng-hwa-pang, Han Tiong merasa khawatir sekali, diapun tidak lama berada di situ dan cepat dia pergi mengejar adiknya. Sekali ini Han Tiong berlari cepat sekali, mengikuti jejak rombongan kuda orang Jeng-hwa-pang yang menuju ke selatan keluar dari daerah itu. Dia merasa yakin bahwa adiknya tentu juga melakukan pengejaran mengikuti jejak itu.
Menjelang tengah hari, tibalah dia di sebuah lereng yang sunyi dan di atas padang rumput itu dia melihat bahwa kekhawatirannya berbukti. Sampai di situlah jejak rombongan berkuda itu dan tak lama kemudian dia berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, di mana terdapat mayat-mayat dua belas orang berserakan. Dua belas orang itu tewas semua, dalam keadaan mengerikan dan kepala mereka pecah-pecah. Han Tiong dapat melihat bekas pukulan Thian-te Sin-ciang adiknya dan wajahnya menjadi pucat, perasaannya diliputi kesedihan dan perutnya terasa mual menyaksikan belasan orang yang tewas oleh tangan adiknya itu!
"Thian Sin...!" dia mengeluh dan dengan punggung tangan dia mengusap kedua matanya yang basah. Dia merasa menyesal sekali mengapa dia tidak dapat menyusul lebih cepat sehingga dia dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Thian Sin.
Han Tiong lalu menggali lubang besar, hanya mempergunakan golok yang banyak terdapat di tempat itu. Golok, pedang dan tombak malang melintang dan patah-patah. Dapat dibayangkannya betapa adiknya telah mengamuk bagaikan seekor naga di tempat itu tadi. Belum lama terjadinya, karena darah yang membanjiri tempat itu masih basah. Ingin dia cepat-cepat menyusul adiknya, akan tetapi mayat-mayat itu harus dikubur dulu. Tidak mungkin dia membiarkan saja mayat-mayat itu, apalagi mayat-mayat yang terbunuh di tangan adiknya. Dengan khidmat dia lalu mengangkat semua mayat dan memasukkannya ke dalam lubang besar yang dibuatnya, di lubuk hatinya dia menganggap bahwa sikapnya ini setidaknya akan meringankan kekejaman adiknya, sebagai sekedar penebusan dosa yang dilakukan adiknya. Kemudian dia menimbuni kuburan itu dengan tanah dan secepatnya dia melanjutkan pengejarannya.
Thian Sin melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Dia telah membunuh semua anggauta Jeng-hwa-pang. Ada sedikit kepuasan di hatinya kalau dia mengingat akan apa yang telah dilakukannya tadi. Dengan kepandaiannya dia telah membikin terpental semua senjata belasan orang itu, dan hanya ada dua tiga orang yang melakukan perlawanan agak keras karena kepandaian mereka yang lumayan. Akan tetapi akhirnya mereka semua roboh dan dia menjambak rambut mereka satu demi satu, dengan wajah merah dan mata melotot menyeramkan dia membentak, "Siapa yang menyiksa dan membunuh Hwi Leng?"
Akan tetapi mereka semua tidak mau mengaku dan satu demi satu dipukulnya kepala mereka itu dengan tamparan Thian-te Sin-ciang sehingga mereka roboh dengan kepala pecah dan tewas seketika, dan setiap kali melakukan tamparan maut itu, mulutnya selalu berkata. "Ini untuk Hwi Leng!" dan.... "prak!" sekali tampar saja kepala itu tentu pecah!
Thian Sin berlari terus, kadang-kadang tersenyum kalau dia teringat betapa kini nyawa belasan orang itu berlutut di depan nyawa Hwi Leng! Akan tetapi dia belum puas! Sama sekali belum. Belasan orang yang dibunuhnya itu memang benar merupakan penyiksa-penyiksa dan pembunuh Hwi Leng, akan tetapi mereka itu hanyalah utusan-utusan belaka. Biang keladinya berada di Jeng-hwa-pang! Dan kini dia harus pergi ke sana, harus mengobrak-abrik Jeng-hwa-pang, membunuh mereka semua terutama para pimpinannya. Bukan hanya untuk Hwi Leng, melainkan juga untuk ayah bundanya! Mengingat ini, membayangkan betapa dia akan menghancurleburkan Jeng-hwa-pang, wajah Thian Sin yang agak pucat itu berseri dan mulutnya tersenyum, hatinya terasa ringan dan senang sekali. Baru sekarang dia tahu bahwa sebetulnya itulah keinginannya yang selalu terpendam, yaitu menghancurkan Jeng-hwa-pang, membalas kematian ayah bundanya, membasmi semua penjahat di dunia ini! Tiba-tiba muncul dalam benaknya wajah Hong San Hwesio dan terngiang di telinganya semua nasihat hwesio itu. Terdengar pula olehnya, suara ayah angkatnya yang menasihatkan betapa buruknya dendam disimpan di hati.
"Tidak, aku tidak akan menyimpannya lagi, aku akan melaksanakannya!" demikian bibirnya bergerak dan dia mencari alasan untuk membela diri dan mempertahankan keinginan hatinya. "Aku adalah anak pendekar, sejak kecil dididik menjadi pendekar. Aku adalah pembasmi penjahat-penjahat! Bukan hanya Jeng-hwa-pang, bukan hanya musuh-musuh ayah bundaku, melainkan seluruh penjahat di permukaan bumi ini! Selama masih ada penjahat di permukaan bumi, selama itu pula aku akan berusaha membasmi mereka."
Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat tak mengenal lelah, akhirnya pada suatu senja tiga hari kemudian tibalah Thian Sin di sarang Jeng-hwa-pang yang berada di dekat dan di luar Tembok Besar. Dia bertindak hati-hati sekali, teringat akan cerita ayah angkatnya tentang perkumpulan ini.
Menurut penuturan ayah angkatnya, Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat, dan para anggautanya adalah ahli-ahli racun yang lihai dan berbahaya. Dahulu sekali, Jeng-hwa-pang ini mengalami masa jaya sebagai perkumpulan yang ditakuti dan disegani. Pendirinya adalah mendiang Jeng-hwa Sian-jin, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang kenamaan dan berilmu tinggi. Nama Jeng-hwa-pang diambil dari racun jeng-hwa (bunga hijau) dan sarang mereka berada di daerah Tembok Besar. Ketuanya, belasan tahun yang lalu adalah Gak Song Kam, murid Jeng-hwa Sian-jin yang saking lihainya dan pandainya tentang racun memakai julukan Tok-ong (Raja Racun). Akan tetapi Tok-ong Gak Song Kam ini tewas di tangan mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Oleh karena itu terdapat dendam yang besar pada perkumpulan itu terhadap Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong. Dan Thian Sin sudah mengerti mengapa Jeng-hwa-pang ikut menyerbu ayah bundanya, dan kini diapun tahu bahwa semua kekacauan yang dilakukan Jeng-hwa-pang di dusun-dusun itu adalah untuk membalas dendam mereka terhadap Cia Sin Liong. Maka sekali ini tugasnya selain membalaskan kematian ayah bundanya, membalaskan kematian Hwi Leng. juga untuk membasmi musuh ayah angkatnya. Dia akan bertindak dengan waspada, tidak ceroboh menghadapi lawan yang dia tahu kuat dan berbahaya itu.
Akan tetapi Thian Sin tidak tahu bahwa sudah terjadi perubahan besar pada perkumptilan itu. Kini perkumpulan itu dihidupkan kembali oleh seorang murid Jeng-hwa Sian-jin yang lebih lihai dibandingkan dengan Gak Song Kam yang tewas di tangan ayah kandung dan ayah angkatnya. Tokoh ini adalah murid utama Jeng-hwa Sian-jin yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Dari julukannya, yaitu Tok-ciang (Tangan Beracun) sudah dapat dimengerti bahwa diapun merupakan seorang ahli racun yang berbahaya. Dan bukan hanya tokoh ini yang kini memimpin Jeng-hwa-pang, juga dia dibantu oleh dua orang sahabatnya yang lihai sekali, yaitu dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memakai nama julukan Kim Thian Seng-cui dan Gin Thian Seng-cu, dua orang kakek berpakaian dan berambut seperti model tosu, nampaknya seperti pendeta-pendeta alim dan memiliki kepandaian yang hanya sedikit selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam sendiri! Dan mungkin karena Ciu Hek Lam sendiri adalah murid seorang tokoh Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang pembantunya itu juga merupakan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, maka kini agaknya Jeng-hwa-pang condong kepada urusan politik seperti halnya Pek-lian-kauw, diam-diam mengadakan persekutuan dengan Raja Agahai di utara.
Thian Sin tidak mau sembarangan menyerbu ke dalam dan malam itu dia bersembunyi di dalam gua sebuah bukit tak jauh dari sarang Jeng-hwa-pang itu. Baru pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk dia berlatih siulian untuk mengumpulan hawa murni, dia berjalan dengan langkah lebar menuju ke pintu gerbang perkampungan Jeng-hwa-pang itu. Udara pagi itu cerah, hawanya sejuk segar dan pemuda yang berusia tujuh belas tahun ini berjalan dengan langkah bebas, dadanya terasa lapang dan dia menghirup hawa udara yang bersih itu sampai sepenuh paru-parunya. Rasa lapar perutnya sudah lenyap oleh sarapan pagi berupa daging burung yang dijatuhkannya dengan sambitan batu kemudian dipanggang dagingnya di dalam gua. Hatinya dan pikirannya dingin dan tidak sepanas kemarin sebelum dia membunuhi semua penjahat yang dapat disusulnya di tengah jalan. Kini dia dapat berpikir dengan jernih dan tidak terdorong oleh perasaan marah. Dia akan membalas dendam kematian ayah bundanya, kematian Hwi Leng, dan membasmi musuh-musuh ayah angkatnya dengan pikiran jernih dan dingin, dengan perhitungan matang. Dia menghadapi lawan tangguh dan banyak, maka dia harus menggunakan kecerdikan dan tidak hanya menuruti perasaan dendam belaka.
Maka para penjaga pintu gerbang juga tidak menaruh curiga, hanya memandang heran ketika melihat munculnya seorang pemuda remaja yang amat tampan, gagah dan sopan pada pagi hari itu di depan pintu gerbang. Tentu saja para penjaga sudah menghadangnya dan memandang dengan penuh perhatian.
"Heiii, orang muda, siapakah engkau dan mau apa engkau berkeliaran sampai ke tempat ini?" tanya kepala jaga sambil memandang heran. Dari pakaiannya, dia tahu bahwa pemuda remaja ini tentulah seorang berbangsa Han, dan dari pakaian dan sikap itu pula dia tahu bahwa pemuda ini bukanlah seorang penghuni dusun biasa, melainkan lebih patut kalau dia seorang pelajar yang halus budi.
Wajah yang ramah dan tampan itu tersenyum dan Thian Sin menjura dengan sikap hormat dan lemah lembut, sikap seorang pelajar tulen. "Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya memang sengaja datang untuk bertemu dengan yang terhormat para pimpinan Jeng-hwa-pang. Bukankah di sini merupakan markas perkumpulan Jeng-hwa-pang yang terkenal dan besar?"
"Benar, akan tetapi mau apa engkau hendak bertemu dengan para pimpinan" Siapakah engkau?" Kepala jaga dan kawan-kawannya mulai memandang dengan sinar mata curiga.. "Nama saya Thian Sin dan saya perlu bertemu dengan para pimpinan Jeng-hwa-pang yang terhormat karena ada sesuatu yang perlu saya sampaikan kepada mereka. Sudah lama sekali saya mendengar akan nama besar Jeng-hwa-pang, dan sudah lama saya amat mengagumi Jeng-hwa-pang. Sekarang, dengan girang saya berhasil tiba di markas Jeng-hwa-pang, maka saya harap cu-wi suka memberi kesempatan kepada saya untuk menghadap para pimpinan Jeng-hwa-pang untuk menyampaikan hal yang amat penting itu."
Para penjaga itu berkurang kecurigaan mereka dan kepala jaga memandang kepada pemuda remaja itu sambil tersenyum. "Orang muda, memang Jeng-hwa-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar sekali dan kuat. Akan tetapi tidaklah mudah bagimu untuk minta bertemu dengan para pimpinan. Kalau ada urusan, sampaikan kepada kami dan kami akan melaporkan kepada pimpinan kami. Nah, katakanlah, urusan apa yang ingin kausampaikan kepada pimpinan Jeng-hwa-pang?"
Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, twako. Urusan ini menyangkut dia pribadi para pimpinan Jeng-hwa-pang dan saya hanya dapat mengatakannya kepada mereka sendiri. Urusan yang amat penting sekali."
Para penjaga itu merasa penasaran akan tetapi juga semakin tertarik. Mereka tidak dapat marah karena sikap Thian Sin yang sopan dan baik serta ramah itu, apalagi karena pemuda remaja ini mengaku datang membawa berita yang amat penting untuk disampaikan sendiri kepada para pimpinan mereka. Mereka tidak berani bersikap lancang atau ceroboh, karena siapa tahu pemuda ini benar-benar mempunyai urusan yang amat penting, maka, kalau benar demikian, tentu mereka akan menerima hukuman berat dari para pemimpin mereka kalau mereka mengganggu pemuda ini.
"Baiklah," akhirnya kepala jaga berkata. "Kau tunggulah di sini dulu, biar kami melaporkannya kepada pimpinan. Siapakah namamu tadi?"
"Nama saya Thian Sin..." Thian Sin tidak mau memperkenalkan she-nya yang sesungguhnya karena she Ceng tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka berhubung dengan nama Ceng Han Houw, ayah kandungnya, yang amat dikenal oleh mereka. Biarlah mereka mengira aku she Thian, pikirnya. Dia harus hati-hati, karena kalau dia memperkenalkan diri begitu saja lalu dikeroyok, tipis harapannya untuk dapat membalaskan dendamnya terhadap para pimpinan Jeng-hwa-pang. Dia harus dapat membunuh para pimpinannya lebih dulu, karena untuk menghadapi anak buahnya amatlah mudah.
Sementara itu, Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, tokoh Jeng-hwa-pang yang kini dapat dikatakan menjadi ketua Jeng-hwa-pang karena dialah yang membangun kembali Jeng-hwa-pang yang telah dibasmi oleh mendiang Ceng Han Houw dan Cia Sin Liong itu, tengah duduk menghadapi sarapan pagi bersama dua orang pembantunya yang diandalkan, yaitu Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu. Mereka sedang membicarakan pasukan Jeng-hwa-pang yang mereka utus ke dusun di daerah Lembah Naga untuk menjatuhkan hukuman kepada Loa Hwi Leng. Ketika ketua Jeng-hwa-pang ini mendengar laporan Loa Song, kepala pasukan yang diperintahkannya untuk mengacau dusun dan yang pulang dengan lengan kiri buntung itu tentang dihajarnya pasukan itu oleh dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga, dan mendengar tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh puteri Loa Song yang bernama Loa Hwi Leng, dia menjadi marah sekali.
Pasukan itu, ditambah oleh beberapa orang yang menjadi muridnya dan yang memiliki kepandaian cukup tinggi, lalu diutusnya untuk kembali ke dusun itu dan membunuh Loa Hwi Leng sebagai hukuman, juga dengan perbuatan itu pasukan itu diharapkan akan memancing datangnya Pendekar Lembah Naga, musuh besarnya, ke markas Jeng-hwa-pang.
Pagi hari itu, dia bersama dua orang pembantunya sarapan pagi, sambil membicarakan pasukan yang mereka utus itu, karena menurut perhitungan, hari ini pasukan itu tentu tiba kembali.
Ketika datang laporan bahwa di luar ada seorang tamu, seorang pemuda "pelajar" yang ramah dan sopan bernama Thian Sin hendak menyampaikan berita penting sekali kepada para pimpinan Jeng-hwa-pang, ketua Jeng-hwa-pang itu saling pandang dengan dua orang pembantunya. Sebagai orang-orang kang-ouw yang banyak pengalaman, tentu saja mereka tidak memandang rendah kepada laporan adanya "pemuda pelajar" itu dan mereka merasa curiga. Akan tetapi dengan tenang Ciu Hek Lam lalu memberi perintah agar menyuruh pemuda itu masuk saja ke ruangan itu di mana dia melanjutkan sarapan paginya bersama dua orang pembantunya. Membiarkan tamu masuk ke dalam jauh lebih menguntungkan daripada menemui tamu di luar. Apalagi tamunya hanya seorang pemuda remaja, yang tidak cukup pantas kiranya untuk disambut di luar.
Tak lama kemudian, masuklah Thian Sin diantar oleh dua orang penjaga ke ruangan itu. Melihat tiga orang kakek duduk menghadapi meja santapan dan memandang kepadanya penuh perhatian, Thian Sin segera melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.
"Harap sam-wi locianpwe sudi memaafkan kalau saya datang mengganggu sam-wi," katanya dengan ramah dan sikap sopan sehingga begitu melihat wajah tampan dan ramah ini tiga orang kakek itu sudah merasa tertarik dan senang. Diam-diam Thian Sin menyapu tiga orang kakek itu dengan pandang matanya. Dia melihat kakek yang duduk di kepala meja adalah seorang kakek yang usianya sudah tua, tentu ada tujuh puluh tahun, seorang kakek tinggi kurus yang mukanya pucat seperti tak berdarah, matanya sipit sekali dan jubahnya berwarna kuning. Dia menduga bahwa agaknya kakek inilah ketua Jeng-hwa-pang dan dugaannya memang benar karena kakek itu adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Kemudian dia juga memandang kepada dua orang tosu yang duduk di samping kakek pertama itu. Kim Thian Seng-cu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun, kurus dan mukanya hitam, sedangkan Gin Thian Seng-cu, sutenya, berusia dua tiga tahun lebih muda, gemuk dan bermuka kuning, wajahnya berseri.
Karena tamunya hanya seorang pemuda belasan tahun, maka tentu saja Tok-ciang Sian-jin tidak bangkit dari tempat duduknya, melainkan tersenyum dan berkata, "Orang muda, menurut laporan penjaga, engkau bernama Thian Sin dan datang ingin bertemu dengan pimpinan Jeng-hwa-pang! Nah, sekarang engkau telah berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang, katakan, apakah yang hendak kausampaikan kepada kami?"
Thian Sin merasa jantungnya berdebar tegang, akan tetapi wajahnya masih tersenyum manis ketika dia bertanya. "Apakah saya berhadapan dengan pimpinan Jeng-hwa-pang" Bolehkah saya mengetahui nama sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah) yang terhormat?"
Karena pemuda itu memiliki wajah yang amat tampan dan sikapnya juga amat sopan menyenangkan, Tok-ciang Sian-jin mengelus jenggotnya dan menjawab sambil tersenyum.
"Orang muda yang baik, ketahuilah bahwa aku adalah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, ketua Jeng-hwa-pang. Dan mereka ini adalah pembantu-pembantuku."
"Pinto adalah Kim Thian Seng-cu."
"Pinto Gin Thian Seng-cu."
Dua orang tosu itu juga amat tertarik dan suka kepada Thian Sin maka merekapun masing-masing memperkenalkan diri.
"Sekarang katakanlah, apa keperluanmu ingin bertemu dengan kami," Tok-ciang Sian-jin bertanya mendesak.
"Sam-wi Locianpwe, sudah lama sekali saya mendengar nama besar dan kehebatan Jeng-hwa-pang sehingga saya merasa kagum bukan main dan baru hari ini saya berkesempatan untuk menyaksikan dengan mata sendiri kebesaran Jeng-hwa-pang. Terus terang saja, saya datang untuk mencari guru!"
"Ha-ha-ha, engkau mencari guru" Maksudmu guru silat atau guru sastera?" Gin Thian Seng-cu bertanya sambil tertawa. "Kalau mau belajar silat, tentu kau boleh masuk menjadi anggauta Jeng-hwa-pang, akan tetapi kalau ingin belajar sastera... wah, siapa bisa mengajarmu?"
"Orang muda, apakah engkau ingin belajar silat?" Ketua Jeng-hwa-pang itu pun bertanya sambil tersenyum karena dia merasa suka sekali kalau dapat mempunyai murid setampan ini.
"Memang benar, saya ingin mencari guru silat dan kabarnya Jeng-hwa-pang adalah gudangnya jago silat yang lihai, maka saya mencari ke sini."
"Ha-ha, kalau begitu benar seperti yang dikatakan oleh Gin Thian Seng-cu tadi, engkau boleh menjadi anggauta Jeng-hwa-pang dan aku sendiri yang akan melatihmu," kata Tok-ciang Sian-jin sambil mengelus jenggotnya. Bagi seorang kakek seperti dia kini sudah agak jauh dari wanita dan dia akan lebih senang berdekatan dengan seorang pemuda yang setampan dan sehalus itu.
"Terima kasih atas kebaikan locianpwe, akan tetapi saya telah mengambil keputusan untuk berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya dalam ilmu silat."
Muka tiga orang kakek yang tadinya tersenyum-senyum itu tiba-tiba berubah dan mereka saling pandang karena timbul lagi kecurigaan hati mereka.
"Orang muda, apakah engkau pernah belajar silat?" tanya Tok-ciang Sian-jin atau Dewa Bertangan Racun itu.
"Saya sudah belajar dari banyak guru silat, akan tetapi akhir-akhir ini banyak guru yang menipu, hanya ingin mencari uang saja tanpa mempunyai ilmu yang tulen. Oleh karena itu, saya tidak mau dikecewakan lagi, dan saya hanya akan berguru kepada orang yang dapat mengalahkan saya."
Ketua Jeng-hwa-pang itu mengangguk-angguk. "Bagus, memang engkau cerdik sekali. Biarlah kami juga ingin melihat sampai di mana tingkatmu sehingga lebih mudah untuk membimbingmu kalau ergkau belajar di sini." Tok-ciang itu lalu bertepuk tangan memanggil.
Pengawal-pengawal datang dan dia lalu menyuruh panggil seorang murid tingkat empat dari Jeng-hwa-pang. Seorang murid datang, dan dia ini seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan nampak kuat, gerak-geriknya gesit. Memang demikianlah, makin tinggi ilmu silat seseorang, makin tidak kentara nampak pada dirinya, sebaliknya yang tingkat ilmunya masih rendah selalu ingin menonjolkan dan memperlihatkan diri dengan bermacam lagak, baik melalui
langkah-langkahnya yang dibikin cepat dan gesit, maupun melalui tonjolan-tonjolan uratnya dan sebagainya. Sekali pandang saja maklumlah Thian Sin bahwa orang ini hanya mempunyai kekuatan otot saja dan tidak atau belum memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Nah, Thian Sin, coba engkau hadapi murid Jeng-hwa-pang tingkat empat ini," kata Tok-ciang sambil tersenyum dan cara dia memanggil nama itu seolah-olah dia memanggil seorang murid saja.
Diam-diam Thian Sin girang karena dia ternyata telah dapat memperoleh kepercayaan ketua Jeng-hwa-pang ini sekarang dia akan dapat menghadapi mereka secara halus, dengan bertanding satu lawan satu sehingga akan lebih mudah baginya untuk dapat merobohkan tiga orang ini tanpa harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang.
"Baik, locianpwe," katanya dan diapun melangkah ke tengah ruangan yang cukup luas itu.
"Kau boleh robohkan dia, akan tetapi jangan menggunakan pukulan maut," pesan Tok-ciang kepada murid Jeng-hwa-pang itu. Kemudian sambil tersenyum dia berkata kepada Thian Sin. "Orang muda she Thian, kalau engkau sampai kalah, engkau tidak harus mengangkat dia menjadi guru, melainkan engkau akan menjadi muridku kalau memang kulihat engkau berbakat. Nah, mulailah kalian!"
Murid Jeng-hwa-pang itu telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah sekali, dengan kedua kakinya memasang kuda-kuda terpentang setengah berjongkok, tangan kanan di depan pusar dan tangan kiri di depan dada. Otot-otot lengannya menonjol dan sepasang matanya memandang ke arah Thian Sin dengan sinar mata merendahkan. Melihat ini, Thian Sin maklum bahwa sekali gebrakan saja dia akan mampu merobohkan bahkan membunuh lawannya, akan tetapi dia berpura-pura gentar dan memasang kuda-kuda biasa saja, kuda-kuda dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, kuda-kuda seorang yang baru belajar silat.
Murid Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan bentakan nyaring. "Haiiiiittt...!" dan tubuhnya sudah menyerang seperti seekor singa mengamuk. Dengan tenaga otot yang keras dia mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah tubuh Thian Sin dan pemuda remaja ini pura-pura kewalahan dan terdesak, namun dia dapat mengelak ke sana-sini, membuat kakinya agak kacau dan terhuyung, namun tak pernah pukulan lawan dapat mengenainya. Diapun sambil mengelak balas memukul sembarangan saja dan tentu saja pukulan-pukulannya dapat ditangkis atau dielakkan oleh lawannya. Terjadilah pertandingan yang seru karena agaknya kedua fihak sama kuat. Ketika ketua Jeng-hwa-pang melihat pemuda remaja itu sanggup menghadapi murid ke empat dari Jeng-hwa-pang, biarpun kedudukan kakinya masih kurang kuat dan gerakan-gerakannya masih kaku, hati ketua ini cukup puas. Pemuda itu bukan seorang lemah dan dapat menjadi murid Jeng-hwa-pang yang baik, pikirnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Thian Sin merasa cukup. Apalagi dia mulai tidak kuat menahan bau keringat lawannya sungguh melebihi bau cuka yang paling keras dan kalau dia tidak bertahan, tentu dia sudah terbangkis-bangkis. Maka, ketika lawannya kembali menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia siap sedia untuk mengakhiri pertandingan itu.
"Haiiii... ekkk!" Bentakan orang tinggi tegap itu terhenti di tengah jalan karena perutnya kena disodok pukulan Thian Sin, sedangkan pemuda itu membiarkan pukulan lawan menyerempet pundaknya, membuat dia terdorong mundur sampai lima langkah akan tetapi lawannya sudah berjongkok sambil mmyeringai kesakitan, menekan-nekan perutnya yang menjadi mulas!
Terdengar Gin Thian Seng-cu tertawa. Tosu ini memang berwatak gembira dan melihat murid tingkat empat itu menekan-nekan perut sambil menyeringai, dia tidak dapat menahan geli hatinya dan diapun berkata, "Wah, usus buntumu terkena agaknya. Sudah, pergi sana, kau sudah kalah!" Murid itu bangkit berdiri dengan kedua tangan masib menekan perut, lalu mundur dengan muka penuh keringat dingin.
"Bagus! Kau telah menang, kau boleh menjadi murid Jeng-hwa-pang, Thian Sin!" kata Tok-ciang dengan girang. Biarpun gerakan pemuda itu masih kaku, namun jelas dia masih menang sedikit dibandingkan dengan murid tingkat ke empat tadi.
"Akan tetapi, locianpwe. Saya sudah mengambil keputusan untuk berguru kalau saya sudah dikalahkan," kata Thian Sin dengan sikap bandel, seperti sikap seorang pemuda yang masih hijau dan bodoh.
"Hemm, mengapa engkau berkeras harus dikalahkan dulu" Bukankah dikalahkan itu tidak enak dan menyakitkan" Melawan murid tingkat ke empat tadipun engkau nyaris kalah dan hanya dengan susah payah dapat menang. Kalau kami datangkan murid tingkat ke tiga, tentu engkau akan kalah."
"Biarlah saya kalah, karena hanya kalau sudah kalah saya mau mengangkat guru," jawab Thian Sin.
"Panggil saja murid tingkat ke tiga," Kim Thian Seng-cu memberi usul.
"Jangan," kata Tong-ciang "Murid tingkat tiga biarpun dapat menang, akan tetapi tentu tidak mudah dan hal itu berbahaya bagi pemuda ini, mungkin dapat celaka kalau terkena pukulan terlalu kuat baginya. Sebaiknya suruh Lim Seng saja maju dan kalahkan dia dengan mudah agar Thian Sin yakin bahwa kepandaiannya masih jauh dan dia perlu berguru di tempat ini."
Yang disebut Lim Seng adalah murid kelas pertama dari Jeng-hwa-pang, yang tentu saja memiliki kepandaian yang tinggi karena dia adalah murid dari ketua sendiri, dan kedudukannya hanya di bawah dua orang tosu pembantu itu. Lim Seng dipanggil dan seorang kakek berusia hampir lima puluh tahun tiba di tempat itu.
"Lim Seng, anak itu adalah calon muridku. Kau boleh mengujinya, dan boleh merobohkannya, akan tetapi jangan sampai dia terluka parah apalagi tewas. Ingat, dia ini calon sutemu yang termuda," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu kepada muridnya. Lim Seng yang bertubuh tinggi kurus itu memandang kepada Thian Sin dan alisnya berkerut. Mengapa gurunya menerima seorang murid baru secara langsung seperti ini" Akan tetapi melihat betapa pemuda remaja itu amat tampan, dengan kulit halus putih seperti kulit wanita, dengan wajah yang berseri dan ramah, mengertilah dia dan diapun tidak mau banyak cerewet lagi.
"Baik, suhu," Dan dia pun menghampiri Thian Sin yang sudah berada di tengah ruangan itu. "Orang muda, kaujagalah dirimu baik-baik dan lihat, aku sudah mulai menyerangmu!" Berkata demikian, Lim Seng sudah melangkah maju dan tangannya menampar dari kiri, dan tamparan ini mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat, maka tahulah Thian Sin bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang "berisi", bukan pemamer otot seperti lawannya yang tadi. Cepat diapun mengelak sambil melangkah mundur dan balas memukul ke arah dada lawan agar tampak bahwa diapun melawan dengan "sungguh-sungguh". Padahal, tentu saja diapun seperti tadi hanya main-main saja, mengatur agar perlawanannya terhadap murid Jeng-hwa-pang itu kelihatan seimbang!
Para murid Jeng-hwa-pang, semenjak paling rendah, sudah mulai mempelajari racun yang merupakan keistimewaan dari perkumpulan itu, terutama racun bunga hijau. Akan tetapi, mereka itu hanya mulai mempelajari cara mempergunakan racun-racun itu, seperti dalam mencampurkannya dengan makanan, minuman, sebagai asap beracun atau bubuk beracun, atau cara merendam senjata dengan racun. Bahkan sampai murid tingkat duapun baru mempelajari penggunaan luar ini karena tingkat sin-kang mereka dianggap belum cukup untuk mempelajari ilmu pukulan beracun dengan jalan merendam den melatih tangan dalam racun sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan serangan dengan pukulan yang mengandung hawa beracun. Akan tetapi Lim Seng, sebagai murid tingkat pertama, atau boleh dibilang murid kepala dari Jeng-hwa-pang, tentu saja diapun sudah mempelajari ilmu pukulan beracun yang oleh ketuanya dinamakan Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau). Ilmu pukulan ini lihai sekali, karena kedua tangan sudah dilatih secara bertahun-tahun direndam dalam sari racun bunga hijau. Jangankan sampai tangan itu mengenai sasaran tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah mampu meracuni lawan!
Dilihat dari tingkatnya ini, sesungguhnya Lim Seng sudah merupakan tokoh yang amat lihai, dan karena dia dipesan oleh suhunya agar merobohkan pemuda tampan ini tanpa melukainya sampai parah apalagi menewaskannya, maka dia bersilat dengan hati-hati den tentu saja tidak mengeluarkan ilmu pukulan Jeng-hwa-ciang itu.
Betapapqn lihainya Lim Seng, dia bukanlah tandingan Thian Sin. Apalagi dia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Andaikata dia mengeluarkan seluruh kelihaiannya sekalipun, mana mungkin dia melawan murid tersayang dari pendekar sakti Cia Sin Liong yang terkenal sebagai Pendekar Lembah Naga"
"Hyaaaat!" Tiba-tiba Lim Seng membentak dengan nyaring, kedua tangannya sudah menyerang dengan cepat sekali, tangan kanan menyambar ke arah telinga kiri lawan sedangkan tangan kiri mencengkeram ke arah pusar. Serangan ini memang hebat dan cepat sekali, akan tetapi Thian Sin mengerti bahwa serangan yang hebat itu hanyalah gertakan belaka dan maklum bahwa serangan susulanlah yang menjadi inti serangan lawan. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu akan hal itu dan melihat serangan kedua tangan lawan itu, cepat dia mengelak dengan melangkah ke belakang persis seperti yang dikehendaki oleh Lim Seng. Melihat pemuda itu mengelak dengan kaget, Lim Seng tersenyum dan tiba-tiba saja kaki kanannya sudah menyambut dengan sapuan keras dan cepat. Sapuan kakinya itu tepat mengenai kedua kaki Thian Sin dan pemuda remaja inipun terpetanting. Sebelumnya Lim Seng sudah dapat membayangkan betapa pemuda itu akan roboh terguling dan dia akan memperoleh kemenangan mudah, akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa tubuh yang terpelanting itu dapat berjungkir balik membuat salto dua kali dan turun lagi ke atas tanah dengan ringan, bahkan lalu mengirim tendangan berantai kepadanya, membuat dia terhuyung dan berusaha menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu dengan mengelak dan berloncatan ke belakang. Dengan demikian, bukan Thian Sin yang roboh kalah, melainkan Lim Seng yang kena didesak!
Melihat ini, Tok-ciang Sian-jin girang bukan main, dan juga kagum. Bocah yang hendak menjadi muridnya itu ternyata hebat dan lincah sekali! Tahulah dia sekarang bahwa dia telah memperoleh seorang calon murid yang baik sekali, bukan hanya masih muda remaja dan amat tampan seperti wanita cantik, akan tetapi juga memiliki bakat yang amat menonjol dalam ilmu silat!
"Bagus...!" dia memuji kagum ketika melihat betapa sebuah tendangan kaki kiri pemuda itu berhasil mencium pangkal paha sebelah kiri Lim Seng, membuat murid pertama dari Jeng-hwa-pang itu terhuyung. Pujian ini mengingatkan Thian Sin, maka dia pun menahan diri dan membiarkan lawan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi sehingga dialah kini yang didesak. Dia teringat bahwa dia harus tidak tergesa-gesa memenangkan pertandingan ini agar dia tidak dicurigai dan akhirnya dia dapat berhadapan dengan musuh-musuh besarnya itu secara leluasa, melalui pertandingan.
Terkena tendangan itu, biarpun tidak membuatnya menderita terlalu nyeri, akan tetapi membuat Lim Seng penasaran sekali. Belum ada sepuluh jurus dan dia sudah terkena tendangan balasan sebagai hasilnya menyapu kaki tadi! Dengan demikian, keadaan mereka berdua masih sama kuatnya, belum ada yang roboh akan tetapi juga keduanya telah berhasil mengenai lawan masing-masing satu kali! Kalau dia tidak ingat pesan gurunya, tentu sudah dikeluarkan ilmu pukulannya yang beracun.
Agaknya Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi semakin tertarik ketika lewat tiga puluh jurus, pemuda remaja itu ternyata masih saja mampu menandingi murid kepala itu! Saking pandainya Thian Sin membawa diri, ketua Jeng-hwa-pang ini sampai tidak ingat betapa anehnya melihat pemuda yang tadinya hanya mampu mengalahkan murid ke empat dengan selisih sedikit saja itu kini mampu menandingi murid utama sampai begitu lamanya! Begitu gembira dia sampai dia lalu berseru kepada Lim Seng, menganjurkan murid pertama ini untuk mempergunakan ilmu silat paling tinggi yang pernah diajarkannya kepada murid ini, "Lim Seng, pergunakan jurus-jurus Hui-liong Sin-kun!" Ilmu sliat ini adalah ciptaan Ciu Hek Lam sendiri dan melihat namanya saja Hui-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Terbang) dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini! Dan hati Lim Seng girang sekali mendengarkan ucapan suhunya karena tadinya dia merasa ragu-ragu untuk mempergunakan ilmu simpanan itu, apalagi karena ilmu itu mengandung daya serangan yang amat dahsyat, padahal dia takut untuk melukai murid baru yang agaknya disayang oleh gurunya itu. Akan tetapi kini gurunya sendiri yang memerintahkan, maka andaikata sampai bocah itu terkena pukulan dahsyat dan terluka, gurunya tidak dapat menyalahkan dia!
"Baik, suhu!" jawabnya dan tanpa membuang waktu lagi, diapun lalu merubah gerakannya dan kini dia melakukan penyerangan yang amat keras dan dahsyat sehingga setiap kali lengannya bergerak memukul, didahului oleh angin pukulan yang berdesir dahsyat, sedangkan tubuhnya berloncatan ke atas seperti seekor naga yang hendak terbang ke langit!
Melihat ini, Thian Sin sengaja mengeluarkan seruan-seruan kaget dan membiarkan dirinya terdesak hebat, bahkan dia membiarkan dirinya terhuyung-huyung, seolah-olah gerakan lawan membingungkannya. Ciu Hek Lam memandang dengan mata terbelalak. Dia memang menyuruhnya menggunakan ilmu itu, bukan ingin mencelakai Thian Sin, melainkan dia sendiri juga merasa penasaran dan kagum, maka dia ingin tahu sampai di mana tingkat murid baru itu. Selain itu diam-diam diapun merasa heran dan penasaran sekali mengapa sampai sekarang dia belum juga mampu mengenal dasar ilmu silat yang dimainkan oleh pemuda remaja itu!
Kini pertandingan itu menjadi semakin hebat dan seru karena makin cepat Lim Seng bergerak makin cepat pula Thian Sin mengimbanginya, dan anehnya, hal ini hanya terasa oleh Lim Seng, betapa makin besar dia mempergunakah tenaga, ternyata semakin besar pula tenaga bocah itu ketika menangkisnya! Dan dengan ilmu yang amat diandalkannya ini, yaitu dengan Hui-liong Sin-kun, setelah lewat dua puluh jurus lagi, tetap saja dia belum mampu mengalahkan Thian Sin! Sementara itu, melihat bahwa sudah cukup lama dia mempermainkan lawannya, Thian Sin mulai mencari kesempatan untuk keluar sebagai pemenang. Setelah dia tadi menghadapi serangan-serangan Lim Seng, dia tahu bahwa kalau dia menghendaki, dalam beberapa jurus saja dia tentu dapat merobohkan lawan! Dan dia mempergunakan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang sengaja dia campur-campur dengan gerakan lain untuk menyembunyikan keaselian ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau ketua Jeng-hwa-pang itu tidak mengenal ilmu silatnya. Andaikata dia terang-terangan mainkan Thai-kek Sin-kun sekalipun, belum tentu Tok-ciang mengenal ilmu itu, apalagi kalau dicampur-campur seperti itu!
"Plak!" Pipi kanan Lim Seng ditampar oleh tangan Thian Sin, cukup keras sehingga terasa panas dan pipi itu menjadi merah kehitaman. Tentu saja Lim Seng menjadi marah dan malu sedangkan Tok-ciang dan dua orang pembantunya terbelalak keheranan. Murid kepala itu kena ditampar! Dan melihat betapa yang ditampar itu tidak roboh, dapat diketahui bahwa tenaga tamparan itu tidak besar, akan tetapi yang membuat mereka terheran, mengapa Lim Seng sampai kena ditampar" Padahal melihat gerakan-gerakannya, jelas bahwa Lim Sang masih menang cepat dan menang kuat!
"Plakk!" Kembali tamparan Thian Sin mengenai pipi Lim Seng sehingga kedua pipi orang itu kini menjadi merah den bengkak! Bukan tamparan Thian-te Sin-ciang tentu saja, karena kalau Thian Sin menggunakan ilmu pukulan itu, sekali tamparan saja tentu kepala itu akan pecah! Betapapun juga, tamparan itu cukup memanaskan, terutama sekali memanaskan hati dan inilah yang dikehendaki oleh Thian Sin. Lawannya menjadi marah bukan main. Dengan suara menggereng hebat, Lim Seng memandang kepada lawan dengan mata melotot. Dia merasa malu sekali, apalagi karena kini secara diam-diam tempat itu ternyata telah penuh oleh murid-murid Jeng-hwa-pang yang merasa tertarik untuk menonton pertandingan itu. Dia dihina di depan gurunya juga di depan banyak murid Jeng-hwa-pang! Maka dengan kemarahan meluap-luap, dia mehubruk ke depan dan menyerang Thian Sin dengan pukulan Jeng-hwa-ciang! Nama pukulan ini indah, yaitu Jeng-hwa-ciang (Tangan Bunga Hijau) akan tetapi sesungguhnya amat keji karena kedua tangan itu mengandung racun bunga hijau yang amat jahat. Kedua tangannya berubah menjadi hijau warnanya dan begitu tangan menyambar, tercium bau harum bercampur amis menyambar ke arah kepala Thian Sin!
"Lim Seng, jangan bunuh dia!" Tok-ciang Sian-jin berseru kaget melihat muridnya itu menggunakan pukulan beracun. Akan tetapi seruannya itu terlambat sudah karena pukulan telah dilakukan dengan amat dahsyatnya. Semua orang menduga bahwa Thian Sin akan terkena pukulan itu akan roboh dan terluka hebat yang akan dapat disembuhkan oleh ketua Jeng-hwa-pang kalau belum mati oleh pukulan itu.
"Desssss...!" Pemuda remaja itu terhuyung ke belakang, akan tetapi Lim Seng sendiri terlempar ke belakang lalu terbanting keras, mencoba untuk bangkit akan tetapi roboh lagi dan hanya dapat bangkit duduk dan mengeluh panjang pendek sambil memegangi lengan kanannya yang ternyata menjadi salah urat dan menggembung pada pergelangan tangannya. Agaknya keselio. Semua orang menjadi bengong, juga Tok-ciang terbelalak. Mana mungkin ini" Jelas bahwa muridnya menggunakan pukulan Jeng-hwa-ciang, akan tetapi mengapa sekali tangkis saja muridnya malah terlempar dan pergelangan tangannya terkelir atau terlepas sambungan tulangnya" Ilmu apa yang dipergunakan oleh pemuda remaja itu dan mengapa pemuda remaja itu sama sekali tidak nampak terluka oleh hawa beracun dari Jeng-hwa-ciang" Selagi dia terheran-heran, lima orang pria berusia sekitar tiga puluh lima tahun sudah berloncatan ke depan dan melihat gerakan mereka yang sama dan teratur, dapat diduga bahwa mereka itu merupakan orang-orang yang berilmu tinggi. Dan mereka itu memang merupakan adik-adik seperguruan Lim Seng dan tingkat kepandaian mereka walaupun tidak setinggi Lim Seng namun tidak berselisih banyak dan mereka berlima itu terkenal dengan ilmu silat bersama yang dinamakan Ngo-heng-tin, yaitu semacam ilmu silat berlima yang teratur dengan amat baiknya.
"Suhu, biarkanlah teecu berlima menghadapinya!" kata orang pertama deri mereka.
Tok-ciang Sian-jin memandang kepada Thian Sin dan bertanya, "Thian Sin, apakah engkau tidak terluka?"


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Sin melangkah maju dan menjura dengan hormatnya. "Saudara Lim tadi memang hebat dan sungguh baik hati sekali suka mengalah."
"Thian Sin, engkau hebat dan aku suka menerimamu menjadi murid. Sudahlah, tidak perlu diadakan percobaan lagi," kata Ketua Jeng-hwa-pang itu, diam-diam merasa kagum sekali.
Thian Sin menggeleng kepala. "Maaf, locianpwe. Saya tidak biasa menarik kembali keputusan atau janji saya. Saya tidak akan berguru kalau belum dikalahkan."
"Hemm, jadi kalau aku ingin mengambilmu sebagai murid, aku harus lebih dulu mengalahkanmu?" Ketua Jeng-hwa-pang itu memandang tajam dan mengerutkan alisnya.
"Kalau locianpwe sudah mengalahkan saya, tentu dengan sepenuh hati saya tunduk kepada locianpwe dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengangkat locianpwe sebagai guru."
"Heemm, engkau berhati baja. Bagaimana kalau aku kesalahan tangan dan dalam pertandingan membunuhmu?"
"Kalau sudah begitu, apa yang perlu disesalkan" Barangkali nasib saya saja yang buruk."
Sementara itu, Lim Seng sudah dapat berdiri lagi dan dengan muka yang masih merah agak bengkak oleh tamparan-tamparan tadi, dan ia masih memegangi pergelangan tangannya yang salah urat dia berkata, "Suhu, dia itu mencurigakan sekali!"
Akan tetapi Tok-ciang Sian-jin yang sudah merasa suka kepada Thian Sin menghardiknya, "Masuklah dan obati tanganmu!"
"Suhu, biarlah teecu berlima mencobanya sebelum suhu sendiri turun tangan!" kata pula pimpinan dari Ngo-heng-tin.
Mendengar ini Tok-ciang Sian-jin tersenyum dan mendapat pikiran baik. Dia masih belum percaya benar bahwa Thian Sin mampu mengalahkan Lim Seng karena menang tinggi ilmunya. Mungkin saja hanya karena kebetulan atau karena Lim Seng keliru mempergunakan tenaganya. Ngo-heng-tin adalah ilmu yang amat kuat, apalagi dimainkan oleh lima orang. Jauh lebih kuat dibandingkan dengan kepandaian Lim Seng. Sedangkan dia sendiri kalau melatih mereka dan harus menghadapi Ngo-heng-tin yang diciptakannya sendiri itu, tidak begitu mudah untuk melumpuhkan tin atau barisan itu. Maka dia yakin bahwa kalau Ngo-heng-tin maju, tentu seorang pemuda remaja seperti Thian Sin akan tidak berdaya dan sekali terkurung, tidak akan mampu melepaskan diri lagi tentu dapat diringkus dan dikalahkan.
"Thian Sin, sebelum menghadapi aku sendiri, coba kauhadapi Ngo-heng-tin dari lima orang muridku ini. Beranikah engkau?"
"Kalau locianpwe menghendaki, mengapa tidak berani" Saya datang untuk mencari guru yang pandai dan meyakinkan."
Tok-ciang mengangguk-angguk lalu memberi isyarat dengan gerakan kepalanya menyuruh lima orang murid itu maju menghadapi Thian Sin. Pemuda ini tahu bahwa menghadapi pengeroyokan lima orang bukah hal yang boleh dipandang ringan, maka sudah mengambil keputusan untuk memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itupun sudah berloncatan ke depan dan dengan gerakan kaki lincah mereka sudah berdiri mengurung Thian Sin dalam bentuk segi lima. Karena namanya juga Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) maka mereka berlima itu mewakili kedudukan Air, Api, Angin, Kayu dan Logam dan mereka itu dapat bergerak serentak dan saling membantu dan melindungi dengan baik sekali. Sesuai dengan isarat yang diberikan Tok-ciang, mereka berlima tidak mengeluarkan senjata dan hanya mempergunakan tangan kosong untuk mengalahkan pemuda remaja ini.
Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu tidak membuang banyak waktu lagi, setelah mereka mengurung, mereka lalu mulai melakukan penyerangan yang bertubi-tubi dan saling susul, saling bantu dengan kecepatan yang hebat! Thian Sin terkejut juga.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun dia kurang pengalaman sehingga mengalami pengeroyokan teratur dalam bentuk tin ini, dia menjadi terkejut dan merasa repot juga. Dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, mencoba untuk menerobos keluar, akan tetapi ke manapun dia meloncat, tetap saja lima orang itu terus-menerus membentuk segi lima yang mengurungnya dan terus menyerangnya dari segala jurusan.
Selagi Thian Sin hendak mengeluarkan kepandaiannya untuk balas menyerang, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang,
"Benar dialah itu! Dia adalah seorang di antara dua pemuda dari Istana Lembah Naga! Dialah yang membuntungi lenganku!"
Yang berteriak ini adalah Loa Song, anggauta Jeng-hwa-pang yang pernah memimpin orang-orang untuk membuat kekacauan di dusun daerah Lembah Naga. Ayah tiri Hwe Leng dan yang telah buntung lengan kirinya ketika melawan Thian Sin itu! Semua anak buahnya telah ikut dengan rombongan baru yang pergi menyiksa dan membunuh Hwi Leng dan Loa Song ini karena buntung lengannya dan masih dalam perawatan, maka dia tidak ikut. Seperti kita ketahui, seluruh rombongan yang membunuh Hwi Leng itu dapat disusul oleh Thian Sin dan semuanya dibunuh oleh pemuda ini. Karena tidak ikut dalam rombongan itulah maka Loa Song tidak ikut terbunuh. Tadi dia masih berada dalam kamarnya karena buntungnya lengan itu tidak hanya membuatnya merasa sakit badannya, akan tetapi juga membuatnya berduka sekali. Ketika dia mendengar ribut-ribut bahwa ada seorang pemuda yang sedang dicoba oleh ketua Jeng-hwa-pang dan bahwa pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan Lim Seng, dia merasa curiga dan tertarik, lalu menahan rasa sakit, dia keluar dari kamarnya untuk ikut nonton. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya ketika dia mengenal pemuda itu maka diapun lalu berteriak.
Di lain fihak, ketika Thian Sin melihat siapa adanya orang yang berteriak itu, kemarahan membuat mukanya berubah merah. Inilah ayah tiri Hwi Leng yang jahat itu dan orang inilah yang menjerumuskan Hwi Leng sampai dara itu tewas.
"Ha-ha, babi buntung, sekarang aku tidak dapat mengampunimu lagi!" Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah terlepas dari kurungan lima orang anggauta Ngo-heng-tin yang tidak dapat berbuat apa-apa karena pemuda itu sekali berkelebat telah lenyap! Dan terdengarlah teriakan dan orang hanya melihat betapa tubub Loa Song telah terlempar ke atas dan kedua kakinya tahu-tahu telah dipegang oleh Thian Sin! Orang yang buntung lengan kirinya ini berteriak-teriak minta tolong! Sedangkan Ngo-heng-tin cepat mencabut senjata masing-masing ketika ketua mereka sudah bangkit berdiri dan berteriak marah.
"Bunuh dia!" Tok-ciang marah sekali karena sama sekali dia tidak menyangka bahwa pemuda remaja yang amat disuka dan dikaguminya itu ternyata adalah musuh besar, pemuda dari Istana Lembah Naga. Dia kecewa sekali dan menjadi marah!
Akan tetapi Thian Sin yang sudah marah itu kini tidak mau berpura-pura lagi, dengan tubuh Loa Song sebagai "senjata" dia menyerbu, memutarkan tubuh yang dia pegang kedua kakinya itu menyambut Ngo-heng-tin!
Terdengar bunyi "prak-prak!" berkali-kali dan orang-orang di situ tidak tahu bagaimana terjadinya, akan tetapi tubuh lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut terpelanting roboh, dengan kepala pecah! Kemudian Thian Sin melemparkan pula tubuh Loa Song yang sudah menjadi mayat dengan kepala tidak karuan rupanya karena kepala Loa Song tadi telah dipakai oleh Thian Sin untuk menghantam kepala lima orang Ngo-heng-tin itu berturut-turut. Kalau lima orang itu roboh dengan kepala retak, tentu saja Loa Song tewas dengan kepala yang remuk-remuk karena lima kali diadu dengan kepala lima orang!
Thian Sin kini berdiri di tengah ruangan, berdiri tegak dan mengangkat kepalanya dengan sikap angkuh. Suasana menjadi sunyi karena semua orang masih terkejut dan ngeri menyaksikan sepak terjangnya tadi.
"Jeng-hwa-pang, dengarlah baik-baik! Aku memang datang dari Istana Lembah Naga dan ketahuilah bahwa namaku adalah Ceng Thian Sin! Aku datang bukan hanya atas nama Lembah Naga, melainkan juga untuk membalaskan kematiah ayahku, Pangeran Ceng Han Houw dan ibuku!"
Mendengar ini, seketika wajah Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam menjadi pucat. Juga kedua pembantunya, Kim Thian Seng-cu dan Gin Thian Seng-cu sudah berdiri. "Bunuh dia! Kepung, jangan sampai lolos!" bentak Ketua Jeng-hwa-pang itu.
Akan tetapi Thian Sin sudah mendahuluinya, meloncat dengan terjangan seperti seekor harimau muda kelaparan, menerjang dan menyerangnya dengan hebat, mempergunakan tamparan Thian-te Sin-ciang.
Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam tadi menangkis sambil mengerahkan tenaganya, menggunakan hawa beracun dari tangannya, akan tetapi begitu bertemu dengan pukulan Thian-te Sin-ciang, tubuhnya terlempar ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik dia dapat menyelamatkan diri dari bantingan keras. Diam-diam dia terkejut bukan main. Pemuda remaja itu ternyata memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Untung Tok-ciang bahwa dari kanan dan kirinya, kedua orang tosu Pek-lian-kauw yang menjadi pembantu-pembantunya telah menubruk ke depan dan menyerang Thian Sin. Kim Thian Seng-cu telah menyerang dengan pedangnya, sedangan Gin Thian Seng-cu menyerang dengan kebutan bajanya yang ampuh. Melihat serangan-serangan ini, Thian Sin meloncat ke belakang dan karena di belakangnya telah datang murid-murid Jeng-hwa-pang yang membawa bermacam-macam senjata, dia mengamuk. Kilatan-kilatan senjata yang seperti hujan menimpanya, dielakkannya dengan cekatan, dan setiap serangan yang dielakkannya itu tentu disambut dengan tamparan atau tendangan.
Demikian cepatnya gerakannya, demikian kuatnya sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, tentu tubuh seorang pengeroyok terlempar dan tak dapat bangun lagi! Kadang-kadang, dengan tangan telanjang saja dia menangkis golok atau pedang, lengan bajunya robek-robek dan hancur, akan tetapi berkat Ilmu Thian-te Sin-ciang, kulit lengannya menjadi kebal dan bukan kulit lengannya yang terluka, sebaliknya pedang dan golok itu yang patah atau terlempar jauh!
Melihat kelihaian pemuda itu, Tok-ciang lalu mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu pecut baja. Terdengar bunyi ledakan-ledakan ketika dia menggerakkan pecut bajanya dan ketua Jeng-hwa-pang ini menyerang dengan dahsyatnya. Pecut baja itu meledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Thian Sin. Pemuda ini maklum akan bahaya maut ini, maka diapun mengelak dan berusaha menangkap ujung pecut. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Tok-ciang menarik kembali pecutnya dan dengan satu ujung pecut baja itu kini meluncur ke depan dan menotok ke arah jalan darah di ulu hati Thian Sin. Pada saat yang hampir berbareng, Kim Thian Seng-cu sudah menyerang pula dengan pedangnya dan disusul Gin Thian Seng-cu menyerang pula dengan kebutan bajanya. Melihat betapa tiga orang pemimpin Jeng-hwa-pang maju, tentu saja para murid Jeng-hwa-pang segera mundur dan membentuk lingkaran mengepung dan menjaga agar pemuda remaja itu tidak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu.
Dikeroyok tiga oleh ketua Jeng-hwa-pang dan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, repot juga Thian Sin harus menghindarkan pengejaran tiga macam senjata itu. Ilmu silatnya memang sudah hebat sekali, akan tetapi dia masih belum berpengalaman, dan apalagi pada saat itu dia bertangan kosong harus menghadapi tiga macam senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan ahli. Betapapun juga, dia tidak merasa gentar dan dia tetap tersenyum, senyum yang menyeramkan karena di baliknya terbayang kebencian yang hebat.
SEPASANG matanya yang bagus itu mengeluarkan sinar dingin, dan tiga orang kakek itu merasa ngeri melihat kenyataan betapa kedua lengan pemuda remaja itu mampu menangkis tiga macam senjata itu tanpa terluka sedikitpun! Dan biarpun dia diserang secara bergantian dan didesak, Thian Sin kini mulai dapat melakukan serangan balasan yang cukup hebat! Dia mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan kaki dalam ilmu silat ini dia mampu menghindarkan diri dari semua serangan, dan sebagai pembalasan, dia menggunakan pukulan atau tamparan Thian-te Sin-ciang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan tiga macam senjata tiga orang kakek yang menjadi lawannya.
Karena dikeroyok tiga, untuk menghindarkan senjata lawan yang panjang dan yang menyerang bagian lemah dari tubuhnya, kadang-kadang Thian Sin harus meloncat ke pinggir dan dia sudah disambut oleh tusukan atau bacokan dari para murid Jeng-hwa-pang yang mengepung tempat itu. Akan tetapi, dengan tangkisan yang dilanjutkan tamparan, dia merobohkan satu dua orang dalam waktu cepat, untuk kemudian membalik untuk menghadapi desakan tiga orang kakek itu lagi! Melihat ini, Tok-ciang menjadi penasaran dan marah sekali. Pemuda remaja itu dalam waktu singkat telah membunuh belasan orang anak muridnya.
"Kurung dia dengan api!" teriaknya dan kini para murid Jeng-hwa-pang itu menyalakan obor dan tiap kali Thian Sin meloncat ke pinggir, dia tidak lagi disambut dengan senjata melainkan dengan obor menyala! Tentu saja Thian Sin tidak berani menyambut api karena dia tidak kebal terhadap api, maka terpaksa dia mendesak lagi ke tengah dan menyambut tiga orang kakek itu dengan mati-matian.
"Mampuslah!" Tiba-tiba pecut baja itu berubah menjadi kaku seperti tombak dan menusuk ke ar
Golok Halilintar 6 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 9
^