Pendekar Satu Jurus 1

Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Bagian 1


" PENDEKAR SATU JURUS
Diceritakan Oleh : GAN K L
Jilid 1 " 4
Awan bergerak, angin menderu.
Sudah akhir tahun, cuaca di kota Po-Ting jauh lebih dingin daripada
biasanya, sampai2 sungai pelindung kota yang mengitari benteng kota
juga membeku menjadi selapis es yang tebal, begitu tebal lapisan es itu
sehingga kereta kuda dapat berlari diatasnya.
Salju sudah berhenti, namun cuaca malam semakin menambah
dinginnya bumi raya ini. Di langit tentu saja tiada bintang, apalagi
bulan. Sebab itulah bumi ini terasa makin kelam, sampai salju juga
kelihatan ke kelabuannya.
Didalam kota orang yang berlalu lalang tentu saja jauh berkurang
daripada biasanya, kecuali tandu berlapis selimut tebal yang berisi
kaum pembesar dan hartawan, siapa yang mau berkeliaran di jalanan yang dingin membeku itu.
Seumpama ada beberapa buah kereta penumpang, kebanyakan juga rapat ditutup oleh tirai kain,
hanya saisnya menggigil kedinginan ditempat kusir sambil berkeluh-kesah atas cuaca buruk ini.
Dalam suasana demikian pada jalanan yang menjurus ke pintu kota selatan tiba2 muncul seekor
kuda tangkas berwarna hitam mulus, penunggangnya adalah seorang lelaki setengah baya dengan
kumis kecil menghias bibirnya, ia memakai topi kulit yang biasanya dipakai oleh penduduk Kwangwa
(di luar tembok besar), topi rapat dan panjang, sampai daun telinga juga tertutup.
Sebab itulah hakekatnya tak kelihatan bagaimana wajah, hanya terasa di bawah cuaca yang dingin
ini dia masih tetap berduduk tegak di kudanya, seolah2 tidak menghiraukan hawa dingin yang
merasuk tulang ini.
Di tepi jalan sana ada sebuah rumah makan yang tidak terlalu besar, saat itu hampir seluruh
mejanya sudah dipenuhi tetamu. Ada seorang lelaki pendek kecil tapi kelihatan gesit mendadak
melangkah keluar dari dalam rumah makan itu, karena ditiup angin yang kencang di luar ia
menggigil kedinginan dan menggerutu.
"Uhhh, dingin!"
Dia menyurut mundur ke dalam pintu hanya kepalanya yang melongok keluar dan meludah. Waktu
menengadah, kebetulan dilihatnya lelaki penunggang kuda yang aneh tadi ia berkerut kening dan
diam2 berguman.
"Aneh, mengapa dia berada di sini?"
Cepat ia menarik kepala dan menyelinap masuk lagi ke dalam. Lelaki penunggang kuda tadi
melarikan kudanya dengan perlahan2 seakan2 tidak melihat orang melongok tadi, ia menarik
topinya sehingga mukanya tertutup lebih rapat lagi.
Bau arak yang keluar dari rumah makan itu membuat si penunggang kuda menelan air liur,
tampaknya sedapatnya ia menahan hasratnya minum arak dan tetap melarikan kudanya ke depan.
Derap tapal kuda pada salju beku itu menimbulkan suara nyaring, suara khas bila barang logam
berbentur. Penunggangnya gagah, kudanya bagus menimbulkan semacam rasa perkasa bagi yang
memandangnya. Akhirnya suara denting nyaring tapal kuda itu makin menjauh. Setelah membelok ke benteng
Bunbio akan sampailah pintu gerbang selatan. Seorang prajurit bertombak berjaga di sudut pintu
yang terhindar dari tiupan angin, melihat kuda dan penunggangnya yang gagah itu, tanpa terasa ia
bergumam memuji " Hebat benar orang ini"
Setelah berada di luar kota kuda itu dilarikan agak cepat menyusuri jalan raya yang lenggang dan
akhirnya berhenti di bawah suatu pohon tua. Penunggang kuda itu seperti sedang menantikan
sesuatu, mukanya dingin dan kelam.
Tunggu punya tunggu yang ditunggu belum muncul wajahnya mulai terlintas perasaan gelisah, ia
mempermainkan cambuk kuda, sambil bergumam " Heran, kenapa belum dating?"
Selang sejenak pula ia tidak sabar lagi kudanya hendak dilarikan tapi setelah memandang jauh ke
depan, ketika dilihatnya hanya tanah datar terbentang tanpa jejak seorangpun ia berpikir sejenak dan
membatalkan niatnya untuk beranjak. Malam sunyi dan mengerikan, hanya bunyi ranting pohon
yang terhembus angin menerbitkan suara gemerisik, suara inilah satu2nya suara yang terdengar di
tengah malam yang gelap dan dingin.
Penunggang kuda itu makin tak sabar. Ia lompat turun dari kudanya, mendekam di tanah dan
menempelkan telinganya di permukaan salju, sesaat kemudian mukanya tampak berseri, ia
melompat bangun, walau bunga salju menodai wajahnya ia tak perdulikan dan tidak merasa
kedinginan, ia menyekanya dengan tangan.
Dikeluarkan sepotong saputangan besar dan berwarna putih, warna yang kontras dengan bajunya,
saputangan digunakan untuk menutupi wajahnya, hanya kedua mata yang bersinar tajam mencorong
di balik saputangan, dia mengawasi kejauhan dengan penuh perhatian.
Tak lama kemudian dari depan muncul suara derap kaki kuda, bagi jago kawakan dari suara derap
kaki kuda itu dapat diketahui bahwa jumlahnya tidak hanya satu, kuda2 itu dilarikan dengan
kecepatan tinggi. Derap kaki kuda kian dekat, dengan suatu gerakan yang gesit laki2 berkedok itu
melompat ke atas kudanya dan menarik tali kendali ke kiri sehingga kudanya tepat mengalangi jalan
raya tersebut. Dua ekor kuda tangkas muncul dari depan ditengah udara yang dingin, uap panas mengepul di atas
kepala kuda, kedua penunggang kuda itu berbaju warna hijau dan bermantel, dandanan kaum
pelancong yang biasa dijumpai dan tiada sesuatu yang istimewa tapi lantaran muak mereka
kelihatan cerdas dan matanya bersinar siapapun akan tahu bahwa mereka bukan orang biasa.
Dan kejauhan kedua penunggang kuda itu melihat seekor kuda-kuda yang menghalang di tengah
jalan salah seorang yang berjenggot dan usianya lebih tua berkerut kening dan berkata " coba lihat
agaknya di depan itulah yang dimaksudkan" logat suaranya adalah orang Holam asli. "Kurangi
kecepatan kuda kita " sahut yang lain. Tapi karena sayang pada kudanya, mereka membiarkan
kudanya lari sekian jauh lagi baru menarik tali kendali. Dengan begitu ketika kedua ekor kuda itu
benar2 terhenti, jaraknya dengan penunggang berkedok itu sudah tak seberapa jauh lagi.
Agak berubah air muka laki2 yang berusia lebih tua itu demi melihat penunggang kuda berkedok
itu, jantungnya berdebar keras, tapi sebagai seorang jago kawakan dan biasa hidup di ujung golok,
ia tetap bersikap tenang. "Maaf sudilah memberi jalan lewat bagi kami" katanya dengan halus.
Penunggang kuda berkedok itu membungkam tiada jawaban yang terdengar kecuali tatapan tajam
dan tak berkedip, seketika suasana menjadi beku.
Kemudian mendadak orang berkedok itu terbahak2, gelak tawanya melengking nyaring, membuat
bunga salju yang tertimbun di atas dahan pohon sama berguguran. Kedua penunggang tadi tertegun
dengan jeri dan bingung mereka pandang orang berkedok itu. Gelak tertawa si penunggang kuda
berkedok berhenti lalu dengan nada kaku dan dingin ia berkata " Bukankah kalian ini kedua saudara
dari keluarga Hui yang tersohor di Holam dan Hopek sebagai ciang-kiam-bu-sek (ombak dan
pedang tanpa tandingan)?" - sikap waktu berucap penuh mengandung nada ejekan dan tantangan.
Laki2 yang lebih tua itu tak menjawab, ia termenung dan baru saja mau menjawab pertanyaan itu
tiba2 laki2 yang lebih muda telah menyahut " Tajam amat pandanganmu sobat besar. Aku inilah
Koa-heng-kiam (si pedang melengkung) Hui Goan, sedang dia ini kakakku Kou-lian-ciang (si
tombak arit) Hui Yang."
Ia tertawa dingin lalu menambahkan " Sobat, ditengah malam buta kau tunggu kedatangan kami di
sini, apakah ada sesuatu petunjuk untuk kami berdua."
"Hahaha, kudengar orang bilang, Hui-jihiap bersifat terus terang, setelah bertemu sekarang terbukti
nyata bahwa kabar itu memang benar." Kata penunggang kuda berkedok sambil tertawa nyaring.
Begitu tertawanya berhenti segera sikapnya berubah dingin pula meski tak nampak bagaimana
muka airnya dibalik saputangan tersebut tapi dari pancaran sinar matanya yang tajam, dapat
dirasakan betapa seram dan mengerikan.
Ia berkata pula" Kalau begitu, rasanya akupun tak perlu menahan rahasia lagi, kedatanganku kemari
tiada maksud lain kecuali ingin minta sebuah benda kalian."
"Oh, ingin minta sesuatu barang dari kami" jengek Koan-heng-kiam Hui Goan sambil tertawa
dingin. "Hehehe, boleh saja asal sobat unjuk sedikit saja kemahiranmu. Ketahuilah barang kami
tidak sembarangan diberikan kepada orang lain dengan begitu saja."
Jawabannya makin dan tidak sungkan2 seolah sudah tau bahwa orang bukan saja bermaksud jelek
kepadanya, bahkan mempunyai rencana busuk tertentu.
Meski ucapannya itu bernada keras dan tak sungkan2, namun tidak menyebabkan berkobarnya
kemarahan si penunggang kuda berkedok itu. "Bukan benda lain yang kuinginkan," demikian ia
berkata sambil tertawa ditariknya ke atas sedikit sapu-tangannya yang menutupi wajahnya itu, ia
melanjutkan "Aku cuma ingin mendapatkan batok kepala kalian serta mainan yang berada didalam
baju kalian."
Saking gusarnya Koan-heng-kiam Hui goan berbalik tertawa keras, suaranya nyaring menggema
angkasa, dari sini dapat diketahui tenaga dalamnya yang sempurna, bahkan sudah mencapai
puncaknya. "Hui-jihiap, persoalan apa yang membuat kau tertawa"' tegur orang berkedok itu sambil menatap
tajam tawanya. "Huh, sudah puluhan tahun kami bersaudara dari keluarga Hui berkecimpung di
dunia persilatan tapi belum pernah ada orang berani mengucapkan kata2 sepedas ini di hadapan
kami. Sobat apa ynag kau andalkan sehingga berani bicara takabur kepada kami" Hehehe,
memangnya kau sudah bosan hidup."
Kou-lian-ciang Hui yang lebih pendiam dan sabar tidak urung panas juga hatinya sekarang ikut
membentak " Sobat tak ada gunanya banyak bicara, lebih baik kita bereskan persoalan ini dengan
kungfu masing."
"Hahaha, bagus... bagus, dua bersaudara keluarga Hui memang lelaki sejati, bila siaute tak
memenuhi harapanmu ini, biarlah namaku tercoret dari dunia persilatan."
Koan-heng-kiam Hui Goan mendengus " hehehe, kalau cecunguk yang beraninya menyembunyikan
muka macam kaupun mempunyai nama, maka dunia persilatan ini tentu penuh sesak sebangsa
'tokoh" macam kau ini."
Sinar mata yang bengis mencorong keluar dari balik kedok orang itu tanpa mengucapkan katapun ia
menjalankan kudanya perlahan2 ke tempat yang lebih sepi dijalan. Kemudian berpaling dan berkata
" silahkan ikut ke sini! Tempat yang paling cocok bagi persemayaman kalian".
Ucapan ini benar2 suatu ejekan yang brutal seakan2 kedua tokoh she Hui sama sekali tiada
harganya, bahkan menganggapnya sudah tiada harapan lagi untuk menangkan pertarungan mereka
nanti. Kedua bersaudara keluarga Hui bukanlah manusia sembarangan, mereka sudah lama terjun ke dunia
persilatan, pengalaman cukup luas, meski gusar kedua orang itu tidak gegabah dan sembarangan
turun tangan, melihat lawan begitu yakin akan mengalahkan mereka, jantung tanpa terasa berdetak
keras. Kedua orang itu saling berpandangan sekejap mereka tingkatkan kewaspadaan masing2 kudapun
dijalankan perlahan mengikut di belakang musuh. Suasana sunyi senyap, masing2 tak dapat melihat
perubahan wajah lawannya, udara sangat dingin, membuat ketiga ekor kuda itu gelisah dan
mendepak2kan kakinya sambil meringkik perlahan.
Dengan suatu gerakan orang itu memang hebat sebab siapapun tak dapat melihat jelas dengan
gerakan apakah orang itu melayang turun dari pelana kudanya, tampaknya orang itu masih duduk di
punggung kudanya, tapi dalam sekejap sudah berdiri di tanah. Tiba2 Kou-lian-ciang berkata.
"Sobat, kepandaianmu memang hebat, selama puluhan tahun kami berkecimpung di dunia
persilatan belum pernah menjumpai orang sehebat engkau, dari sini dapat diketahui sobat pasti jago
kenamaan. Ya, kalau sobat sudah tahu tentang barang yang kami kawal sekarang, tentunya kaupun
tahu asal-usul benda tersebut, maka aku orang she Hui sungguh berani memikul tanggung
jawabnya. Bila sobat menghargai kami, sebutlah namamu, selama gunung masih hijau dan air tetap
mengalir, di kemudian hari aku orang she Hui pasti akan membalas kebaikan sobat!"
Dari nada ucapannya dengan jelas menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap lawannya, ini bukan
berarti ia adalah seorang laki2 lemah atau pengecut, sebab siapakah di dunia ini yang bersedia
mempertaruhkan jiwanya untuk bertanding dengan seseorang tanpa alasan yang jelas apalagi
menurut peraturan dunia persilatan sebelum pertarungan berlangsung kedua pihak harus
menyebutkan namanya.
Tapi orang berkedok itu seakan2 tidak mengerti peraturan segala, kedua kakinya berdiri dalam gaya
seperti "T" dan mirip "V", tegak dan kuat tampaknya dan tak tergoyahkan. Sikapnya yang congkak
itu seketika membuat Koan-heng-kiam Hui goan yang dasarnya berwatak berangasan menjadi habis
sabarnya, ia membentak keras: "Toako, apa gunanya kita banyak omong dengan bangsa cecunguk
macam dia."
Dengan cepat ia loncat turun dari kudanya lalu mengulapkan tangannya kuda itu perlahan lantas
menyingkir ke samping dan berdiri dengan tenangnya di sana, dari sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa kuda itu sudah terlatih. Diam2 Kou-cian-liang Hui yang menghela napas panjang, ia sadar
keselamatan segenap keluarga bergantung dari hasil pertarungan ini bila beruntung pertarungan ini
dapat menang, siapa nama lawannya saja tak diketahui, sebaliknya bila kalah, maka nyawa mereka
berdua akan terkubur di jalan raya Po-ting ini.
Peristiwa ini tidak adil, tapi tiada pilihan lain bagi mereka, tentu saja dengan kedudukan dan nama
baik Hu-si-siang-kiat, mereka tak dapat melarikan diri dengan begitu saja, apalagi juga belum tentu
mereka bisa lolos. Akhirnya iapun turun dari kudanya, mereka bertiga berdiri dalam posisi segi tiga
masing2 siap siaga, siapapun tak berani lengah dan gegabah.
Selama pengembaraan di dunia persilatan, Hui yang selalu bertindak waspada dan hati2 dalam
keadaan seperti ini tentu saja ia tak mau turun tangan lebih dahulu, pula diam2 mereka berdua telah
ada sepakat, mereka takkan memperdulikan soal tata cara dan peraturan persilatan lagi, sekali pihak
lawan turun tangan serentak mereka akan mengerubutinya bersama. Orang berkedok itu mengerling
sekejap, lalu tertawa dingin ujarnya: "Kukira lebih baik kalian maju bersama saja daripada aku
repot menyelesaikan kalian satu demi satu."
"Tentu saja kami maju bersama" sahut Koan-heng-Kiam Hui goan sambil tertawa dingin: "Kami tak
akan bicara soal peraturan persilatan dengan kaum cecunguk macam kau, sebab kau tak pantas
untuk itu"
" Hahaha! Bagus! Bagus! Aku memang tak pantas" seru orang itu sambil tertawa latah berbareng ia
melayang maju dan menyerang Hui Goan. Dengan cekatan Hui Goan menyingkir ke samping, siapa
tahu mendadak orang berkedok itu memutar tubuh dan berganti arah sekarang yang diserang adalah
Hui Yang. Kecepatan dan kegesitannya sangat mengagumkan dari sini dapat dinilai tinggirendahnya
kungfu seseorang.
Hui Yang tak malu sebagai jagoan terkemuka daerah utara, ia mengegos ke samping dengan
gerakan To cay jit seng poh (ilmu langkah tujuh bintang) enteng seperti mega melayang diangkasa
ia bergerak ke samping sekali berputar tahu2 tombak berkepala sabit sudah dilolos keluar. Dalam
keadaan itu, Hui Goan juga telah meloloskan senjata andalannya cahaya tajam berkilau ia tebas
punggung orang berkedok itu dengan jurus Lek pi hoa gak (menggugur bukit Hoa).
Orang berkedok itu tertawa dingin dia menggeser dengan cepat, tebasan Hui Goan mengenai tempat
kosong, berbareng jari orang itupun balas menutuk satu dua gerakan sungguh lihai dan
mengejutkan. Hui Yang mengangkat tombaknya dan diputar, mendadak ia menusuk Siau yau Hiat
di bawah pinggang lawannya. Diam2 orang berkedok itu mengangguk memuji ketangkasan Hui
Yang. Ia tak berani memandang enteng musuhnya lagi sambil berpekik nyaring telapak tangannya
bergerak, sebentar menyerang dengan telapak tangan sebentar lagi serangan kepalan dan berubah
pula serangan cengkeraman dari Lo han kun Siaulimpay berubah menjadi Kim na jitu Hoat (Ilmu
cengkeraman) dan Gong jiu ji pek jim (merebut senjata dengan tangan kosong) dari Bu-tong serta
pukulan Sin ho ciang dari Go-bi-pay serentak dimainkan dengan gencarnya.
Beberapa jurus serangan itu memang sering terlihat di dunia persilatan, akan tetapi belum pernah
ada orang yang mampu mainkan gabungan beberapa macam jurus serangan tersebut. Tapi sekarang
bukan saja orang berkedok itu dapat melebur beberapa macam kungfu itu menjadi satu, bahkan
dikombinasikan secara jitu dan hebat. Hal ini membuat Hui bersaudara terkejut, mereka bukannya
menarik keuntungan tapi mereka merasa kewalahan.
Angin serangan menderu2 tiap pukulan orang berkedok itu sama tertuju pada bagian2 tubuh yang
mematikan, bukan saja ketepatannya mengarah Hiat to dalam kegelapan sangat mengagumkan
malah ketepatan menggunakan peluang serta luasnya pengalaman menghadapi serangan musuh
boleh dibilang sangat mengagumkan.
"Siapa gerangan orang ini" Kenapa tak pernah dengar di dunia persilatan terdapat orang jagoan
begini hebat" demikian pikir Hui Yang. Padahal Hui Yang cukup tersohor namanya. Pergaulannya
sangat luas dan sahabatnya di dunia persilatan amat banyak. Boleh dibilang sebagian besar tokoh
terkenal pada jaman ini dikenalnya namun sebab itulah puluhan tahun mereka mengusahakan
perusahaan ekspedisi "Hengte Piau Kiok" tak sekalipun mengalami kegagalan. Tapi sekarang,
kendati Hui Yang telah peras otak tak dapat menebak asal usul orang berkedok ini.
Bila ditinjau dari logat bicaranya mestinya orang ini berasal dari wilayah Hopak, akan tetapi bila
ditilik dari gerak tubuhnya, ternyata ia menggunakan beberapa macam kungfu khas dari beberapa
perguruan ternama. Walaupun diam2 mereka masih berusaha meraba identitas lawannya, namun
gerakan mereka tidak menjadi kendur, tapi meski mereka telah bekerja sama dan menyerang dengan
sepenuh tenaga, tatap juga tidak berhasil dapat menahan serangan musuh. Padahal dari usia dan
kungfu orang seharusnya sudah lama namanya termasyhur di dunia persilatan. Tap Hui bersaudara
toh tetap tak dapat mengetahui siapa dia ini benar2 sangat aneh.
Malam semakin kelam angin kembali berhembus, bunga salju berhamburan ketiga ekor itu
menggigil kedinginan, namun tidak menyingkir pergi. Ketika bunga salju berjatuhan di sekitar
arena pertarungan terdampar oleh tenaga serangan mereka bunga salju bertebaran lebih jauh. Hui
Goan dengan senjata yang panjangnya tak sampai tiga kaki itu menyerang dengan gencar kebagian
yang mematikan.
"Satu inci lebih pendek satu inci lebih berbahaya" demikian menurut ajaran kitab perang mengenai
senjata. Apalagi pada waktu itu Hui Goan diliputi kegusaran yang memuncak hampir semua
serangan yang digunakan adalah jurus2 adu jiwa. Meski orang berkedok itu sudah di atas angin
namun dalam waktu singkat ia pun tak mampu melukai lawannya, ia mulai gelisah dan tak sabar
mendadak ia bersiul nyaring dan melambung ke atas.
Selagi Hui bersaudara terkejut orang itu sudah ganti posisinya di udara, dengan kepala di bawah dan
kakinya di atas, kedua telapak tangannya membawa deru angin pukulan yang dahsyat segera
menebas batok kepala Hui Goan. Digunakan jurus serangan ini serta merta membuat Hui Goan
kaget: "Oh rupanya kau." Cepat Hui Goan angkat senjatanya menusuk dari bawah ke atas dengan
jurus Pah Ong ki teng (raja lalim mengangkat wajan) berbareng tubuhnya berputar cepat ke
samping. Siapa tahu orang itu mendadak menekuk pinggang sambil melambung beberapa kaki lebih
ke atas, kaki kirinya mendepak ke bawah dan tepat mengenai punggung Hui Yang.
Perubahan serangan ini sama sekali di luar dugaan, betapa dahsyatnya tenaga injaknya tersebut Hui
Yang menjerit sebelum darah tumpah keluar nyawanya sudah keburu melayang. Sementara orangorang
berkedok itu telah melayang turun dengan gerakan yang indah. Merah membara Hui Goan
teriaknya: "Ada permusuhan antara kami denganmu! Mengapa kau turun tangan sekeji ini"' seperti
benteng ketaton ia terjang mush dengan kalap. Orang berkedok itu tertawa dingin salah seorang
lawan sudah binasa, kemenangannya sudah jelas di tangannya kendatipun Hui Goan menyerang
dengan kalap namun dengan kungfu lebih setingkat ia dapat patahkan setiap serangan itu dengan
mudah. Bertempur dengan secara kalap seperti Hui Goan itu jelas sangat makan tenaga, tidak sampai
belasan gebrak, napasnya mulai tersengal dan tenagapun melemah. Orang itu berdiri dengan
tenangnya tiba rentangkan tangannya hingga terbukalah bagian dadanya bila Hui Goan berkepala


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin pasti akan curiga mengapa tiba2 pihak lawan membuka kesempatan baginya. Sayang benak
Hui Goan sedang dipenuhi perasaan dendam, ia tak sempat berpikir sampai di situ begitu dada
musuh terbuka, segera ia menyerang dan menusuk dada lawan. Sambil tertawa terbahak2 orang itu
tarik napas panjang sehingga dadanya menyurut beberapa inci ke dalam dengan kesempurnaan
tenaga dalamnya ini mak tusukan pedang Hui Goan tak dapat mencapai sasaran.
Begitu serangan mengenai tempat kosong semangat jago berpengalaman Hui Goan sadar gelagat
tak menguntungkan cepat ia melejit ke belakang tapi pada saat itu orang berkedok itu mendadak
maju ia tak memberi kesempatan baik pihak lawan kedua telapak tangannya terangkat lurus dan
menghantam kedua bahu Hui Goan. "Duk, Duk" dengan pukulan yang maha dahsyat itu seketika
tulang pundak Hui Goan hancur lalu menjerit kedua kakinya terpaku setengah meter kedalam
permukaan salju tentu saja jiwanya melayang ke akhirat.
Salju masih turun dengan hebatnya, suasana sunyi kembali, permukaan salju yang putih terkapar
sosok mayat Hui bersaudara. Kedua ekor kuda mereka yang berada di samping sana meringkik
panjang dan lari pergi seakan2 tahu bahwa majikannya telah tiada, mungkin juga karena tak tahan
oleh hawa dingin. Lama sekali orang berkedok itu berdiri, tegak di situ sinar matanya mencorong
tajam akhirnya ia menghampiri jenazah Hui Yang, perlahan ia menggeledah bajunya, namun tiada
sesuatu yang didapatnya kemudian menggeledah pula baju Hui Goan tiba2 ia kegirangan ia
mengambil sebuah benda dari saku mayat itu dan disimpannya dengan hati2 ke dalam baju sendiri.
Kemudian ia bersihkan bunga salju di tubuhnya, sekali lagi ia memeriksa sekitarnya tempat itu,
setelah yakin tak ada seorangpun ia mencemplak ke atas kuda dan berlalu dari sana.
Hui Siang kiat telah mati, "Pek Giok ciam cu" (katak kemala hijau) pusaka yang mereka bawa ikut
lenyap, berita itu dengan cepatnya tersiar ke dunia persilatan. Tapi siapakah pembunuh kedua orang
gagah dari keluarga Hui itu" Tak seorangpun yang tahu.
Hati orang mulai tak tenang setiap orang persilatan merasa kuatir dan gelisah sebab mereka cukup
tahu sampai dimanakah kelihayan kedua orang bersaudara dari keluarga Hui, tapi sekarang
pembunuh tersebut dapat membinasakan kedua jago terkenal di daerah Holam dan Hopak ini, bisa
dibayangkan sampai dimana kesaktian di pembunuh. Sejak itulah tiap perusahaan Piaukiok mulai
meningkatkan kewaspadaannya tapi oleh karena persaingan usaha pengawalan barang di masa itu
siapapun tak sudi melakukan kerja-sama dengan perusahaan yang lain, mereka sudi membagi
kekuatan mereka bagi kepentingan Piaukiok.
Tak sampai tiga empat bulan tujuh belas Cong-piauthau (pemimpin umum) dari enam belas orang
perusahaan Piaukiok di kedua propinsi itu ada tiga orang diantaranya telah tewas menjadi korban
orang berkedok yang misterius itu. Diantara tiga belas orang tokoh persilatan itu ada yang terbunuh
ditengah jalan ketika sedang mengawal barang, ada pula yang mati dirumah, lebih dulu mereka
dipancing keluar rumah kediamannya lalu dibunuh secara keji.
Selama beraksi, orang berkedok itu selalu kerja sendirian tidak membawa pembantu juga tidak
membawa senjata, tapi tak seorangpun yang dapat lolos dari cengkeramannya dalam keadaan hidup.
Sejak itulah bukan saja dunia persilatan di daerah Holam dan Hopak dibikin gempar, bahkan
seluruh daratan Tionggoan ikut merasakan gelombang pergolakan itu. Setiap umat persilatan mulai
menebak dan menduga2 asal-usul orang berkedok itu tapi saying tak seorangpun diantara yang
hidup di dunia sempat melihat wajah asli orang misterius ini.
Dengan tewasnya Cong-piathau perusahaan ekspedisipun bagaikan naga kehilangan kepala, tentu
saja tak seorangpun berani bertanggung jawab otomatis perusahaan tutup. Dari empat Piaukiok
yang masih tersisa, kedua Cong-piautau dari Hong Wan piaukiok yang berada di wilayah Hopak
yakni Pat Kwa to (Golok Pat Kwa) Li Piau dan Gin Piam ( Ruyung Perak) Suto Beng karena sudah
lanjut usia dan lagi kungfunya rendah, lekas2 menyatakan cuci tangan dan tidak melakukan
pekerjaan itu lagi, dengan memboyong sanak keluarganya mereka mengasingkan diri.
Maka di wilayah Hopak dan Holam yang begitu luas kini tinggal dua perusahaan besar saja yang
masih beroperasi yang satu adalah Hiong hong Piaukiok yang berkedudukan di Holam sedangkan
yang lain Hui liong Piaukiok yang berdomisili di Hopak. Cong Piautau dari Hiong hong Piaukiok
Tiong ciu it kiam (pedang sakti dari Tiong ciu) Auw Yang Pengci usianya mendekati tujuh puluhan
ibarat jahe, makin tua semakin pedas, ilmu pedangnya dari Tiam Cong Pay yang dipelajarinya
selama berpuluh tahun jadi semakin lihay.
Walaupun pada saat itu suasana bagi perusahaan pengawalan terancam bahaya, namun kakek
berwatak keras ini justru sesumbar ingin beradu kepandaian dengan manusia berkedok itu. Cong
piautau dari Hui Liong Piaukiok lebih ternama lagi ketika pertama kali terjun di dunia Kangouw,
Liong Heng pat ciang (delapan jurus telapak tangan gaya naga) Tham Beng baru berumur likuran
tapi telapak tangannya telah menjagoi dunia persilatan.
Meski kungfunya lihay, ia tak pernah menyusahkan orang, setiap pertarungan selalu diakhiri dengan
seri saja, namun setiap orang persilatan cukup tajam pandangannya dan dapat menilai tentu saja
rasa kagum mereka terhadap jago muda inipun makin besar, selama puluhan tahun Liong Heng pat
ciang Tham Beng selalu dianggap sebagai tokoh yang paling menonjol di daerah Holam dari
Hopak. Walaupun begitu orang persilatan te tap tak tahu sampai tarap bagaimanakah kungfu tokoh ini
bahkan Tiong ciu it kiam dengan wataknya yang enggan tunduk kepada siapapun segera akan
mengacungkan jempolnya bila menyinggung tentang Tham Beng. Sejak tiga belas perusahaan
Ekspedisi di wilayah Holam dan Hopak tertimpa musibah, Liong heng ciang lantas menampilkan
diri dan melakukan suatu tindakan yang mulia dan bijaksana ia telah mengumpulkan anak2 piatu
keturunan dari tiga belas Congpiatau yang tewas itu dan memelihara mereka di rumahnya.
Perlu diketahui jago persilatan itu orang2 yang royal dan suka menolong kaum lemah dengan harta
mereka, uang yang didapatkan tiap harinya seringkali lantas ludes pula setelah berada ditangan.
Dalam keadaan begitu sudah tentu mereka tak punya tabungan apalagi harta peninggalan. Dengan
sendirinya kehidupan anak yatim yang masih kecil betul2 patut dikasihani. Dengan demikian
tindakan Liong Heng Pat Ciang Tham Beng itu boleh dibilang suatu tindakan yang sangat mulia
serta merta semua jago persilatan yang berada di kedua propinsi it tambah kagum dan tunduk
padanya. Meski begitu, Liong heng Pat ciang tak pernah menampilkan rasa sombong atau tinggi, selama tiga
bulan terakhir seringkali ia jatuh sakit dan tak banyak melakukan pekerjaannya, terhadap keganasan
manusia berkedok yang misterius itu iapun tak pernah memberi komentar apa2. tiap kali ada orang
menyinggung tentang masalah itu ia hanya tersenyum saja tanpa bicara.
Maka semua orang semakin menaruh kepercayaan terhadap kelihaian ilmu silatnya. Semua orang
berharap agar ia dapat menumpas orang berkedok itu. Disinilah keuntungan bagi mereka yang
pendiam sebab tidak berbicara justeru sering memberikan hasil yang lebih besar daripada banyak
bicara. Musim dingin telah lalu, musim panas telah tiba kota Peking telah pulih kembali dengan kehidupan
yang biasa, warung the di depan pintu gerbang tiba2 kedatangan dua orang. Begitu dua orang itu
masuk ke dalam warung the, sembilan dari sepuluh orang yang berada di situ segera berbangkit dan
beri hormat. Salah seorang kedua orang itu berusia 70-an tapi mukanya kelihatan segar dan merah
membawa dua bola baja hingga berbunyi tiada hentinya langkahnya lebar dan tangkas.
Yang lebih muda berusia 30-an mata tajam, hidung elang, mulut lebar tampang kereng. Orang
inilah dihormati tetamu di warung the tersebut. Mereka tak kenal asal usul orang muda ini lalu
dalam hati bertanya: "Siapa gerangan orang". Akan tetapi setelah menyaksikan kegagahan dan
wibawa terpancar dari orang tersebut diam2 mereka merasa kagum.
Kakek itu memilih tempat duduk dekat jendela, sambil duduk ia berkata kepada laki-laki kekar dan
lebih muda itu: "Kota Peking memang serba menarik, manusianya ramah pemandangan indah. Hari
ini aku si tua betul2 merasa terbuka matanya."
Suara kakek itu nyaring seperti genta dengan logat Kui Ciu. Mendengar ucapan tersebut laki2 muda
sambil tersenyum menjawab: "Auyang Locianpwe beristirahat dulu nanti Wanpwe menemani
engkau berpesiar lagi ke tempat lain."
"Hahaha, Tham Lote, jangan sebut aku, Locianpwe bisa jadi aku si tua akan mati kaku." - meski di
luar berkata begitu tak urung dia gembira juga mendengarnya. Laki2 muda itu kembali tersenyum:
"Wanpwe sangat menyesal harus merepotkan locianpwe dating kemari dari tempat jauh,
sepantasnya Wanpwe yang harus berkunjung padamu..."
"Apa salahnya aku datang kemari lebih dulu. Aku kan bisa sekalian pesiar kemari" Meskipun
selama beberapa bulan ini keparat itu telah mengacau-balaukan wilayah ini, sebenarnya tidak perlu
ku datang ke sini jauh2 dari Holam."
Semua tamu dalam warung teh itu sama pasang telinga mendengarkan pembicaraan itu, bagi
mereka yang tahu seluk beluk dunia persilatan segera dapat menebak bahwa kakek itu adalah Cong
piautau dari Holam Tiong ciu it kiam Auyang Pengci adanya.
"Tapi dia kan jago di wilayah Holam" Kenapa logatnya seperti orang Kui ciu?" demikian pikir
mereka dengan keheranan " Jangan2 bukan dia." Padahal kakek itu memang betul si pedang sakti
dari Tiong Ciu Auyang Pengci sejak kecil ia memang hidup di wilayah Hun-lam, kemudian belajar
di perguruan Tiam Cong setelah dewasa baru pindah ke wilayah Holam, otomatis logat bicaranya
masih berbau tempat asalnya. Dan siapa laki2 muda yang lain" Dia adalah Liong Heng Pat Ciang
Tham Beng yang termasyhur itu.
Adapun kedatangan Auyang pengci ke kotaraja ini adalah untuk mengajak Tham Beng bersama2
membicarakan tindakan pencegahan terhadap keganasan manusia berkedok misterius itu, hanya
karena wataknya meski demikian tujuannya, ia tak mau mengakui begitu saja malahan ngotot
mengatakan ingin pesiar saja. Kedua orang sudah lama kenal nama, Liong heng pat ciang sebagai
tuan rumah segera menemani Auyang Peng-ci yang sudah tua itu pesiar ke tempat2 terkenal di
kotaraja itu. Auyang Peng ci memang luar biasa meski sudah berpesiar dua hari ia masih belum puas.
Tapi pada malam hari kedua orang berkedok yang misterius telah berkunjung ke Hui-liong-piaukiok.
Bagaimanapun juga Auyang Pengci sudah tua setelah berpesiar siang harinya malam itu pula ia
tertidur pulas. Meski begitu sebagai seorang jago kawakan yang sudah berpengalaman, tentu saja ia
berbeda jauh dengan manusia biasa, ketika di atap rumah terdengar suara langkah kaki pejalan
malam seketika ia bangun.
Dengan suatu gerakan cepat ia mengenakan pakaian, latihannya selama puluhan tahun membuat ia
dapat menyelesaikan persiapan dalam waktu yang singkat lalu diam2 ia membuka jendela. Meski
heran dan tak tahu jago dari manakah yang begitu berani mencari gara2 ke Hui liong Piaukiok akan
tetapi dengan wataknya yang keras kakek itu tak mau berpeluk tangan setelah mengetahui kejadian
tersebut. Dengan kegesitan seperti seekor kucing, ia melompat keluar jendela dan menengok
sekeliling tempat itu, benar juga sesosok bayangan ditemukan berada di atas atap tembok.
Ia tidak membawa pedangnya disinilah letak ketelitiannya seorang jago tersohor selama puluhan
tahun sudah tentu setiap tindak tanduk sangat cermat. Segera ia merayap ke atap rumah,
didengarnya Ya Heng Jin (orang berjalan malam) itu mendengus lalu dengan kecepatan luar biasa
melayang ke belakang rumah. Tanpa berpikir panjang kakek itu mengejar sambil berlari diam2 ia
menertawai Tham Beng pikirnya: "Bagaimanapun bocah itu masih muda, masa tidur seperti babi
mampus, sampai ada orang berkunjung saja tak diketahuinya."
Halaman itu tetap dalam kesunyian, selang beberapa waktu seorang anak laki2 berlari keluar dan
kencing di sudut pekarangan ketika secara tiba2 ia melihat kelebatan bayangan manusia ia
terperanjat sehingga air kencingnya hampir tercecer di celananya. Tapi bocah itu punya nyali lebih
besar dari anak biasa tanpa menimbulkan suara dia bersembunyi di sudut tembok, dilihatnya
sesosok bayangan dengan kecepatan luar biasa menyelinap masuk ke dalam rumah. Meski bocah itu
belum dewasa tapi cerdas dan punya daya tangkap yang tajam, apalagi sejak sudah belajar silat,
hanya tidak mendapat didikan dari guru yang pandai, kelebatan bayangan itu seperti Tham Beng.
"Aneh, kenapa malam2 begini paman Tham Beng baru pulang?" demikian dia berpikir dengan
keheranan. Tapi bayangan tadi dengan melayang keluar rumah lagi ke atas atap rumah,
kecepatannya luar biasa sehingga tak terlihat jelas siapa dia" Bocah itu mulai sangsi dengan
pendapatnya semula, ia berpikir: "Ah, mungkin orang itu bukan paman Tham Beng, kalau dia,
kenapa baru pulang lantas pergi lagi?"
Anak itu kebelet kencing, maka tengah malam terjaga bangun, rasa mengantuk membuat matanya
jadi sepat, bocah itu tak berpikir panjang lagi, ia kembali ke kamarnya dan tidur pula. Keesokan
harinya ketika fajar baru menyingsing, kota Peking telah dibuat gempar oleh peristiwa besar.
Kiranya si Pedang dari Tiong Ciu Auyang Pengci yang datang dari Holam telah ditemukan tewas di
luar kota, tulang iganya terhajar telak hingga dadanya remuk. Walaupun kakek itu tewas namun
dengan kesaktiannya menjelang kematiannya ia berhasil pula melenyapkan bencana bagi dunia
persilatan ternyata lawannya juga berhasil dihantam batok kepalanya hingga hancur dan tewas.
Musuh lihay ini tak lain adalah manusia berkedok misterius itu.
Ini dapat dilihat dari dandanannya serta potongan tubuhnya, meski mukanya sudah hancur tak
keruan tapi masih dapat dilihat bahwa dia inilah orang berkedok itu, sayang raut wajahnya hancur
dan sukar dikenal identitasnya. Manusia berkedok itu sudah tewas, namun asal usulnya tetap
merupakan teka teki bagi umat persilatan, selamanya tak seorangpun yang tahu siapa gerangan
orang tersebut. Tewasnya Tiong ciu it kiam membuat Tham Beng amat menyesal dan tiada
habisnya menyalahkan dirinya sendiri. Ia telah melakukan upacara penguburan yang megah bagi
kakek dan orang dari berbagai tokoh dunia persilatan ikut juga menghadirinya. Selama hidupnya
Tiong ciu it kiam membujang tak punya anak cucu maka Tham Beng memakai pakaian berkabung
sebagai puteranya.
Meski Auyang Pengci telah mati tapi nama besarnya lebih besar sebelum dia hidup dulu serta
keluhuran budi dan kebesarannya mendapat pujian dari orang banyak. Dengan demikian kedudukan
Liong heng patciang Tham Beng meningkat tinggi di dunia persilatan usaha pengawalannya
terbentang luas dari wilayah utara sampai ke selatan tidak ada orang yang berani mengganggu.
Bahkan jika terjadi pertikaian di dunia persilatan begitu datang Hui Liong atau panji naga terbang
maka persoalan akan terselesaikan. Begitu jadi di dunia persilatan di wilayah Holam dan Hopak ada
14 orang yang menjadi korban keganasan orang berkedok misterius itu. Ke 14 orang itu semuanya
pemimpin Piaukiok, orang berkedok itu seolah2 cuma memusuhi orang Piaukiok saja, sebab orang
di luar Piaukiok tiada yang diganggu.
Anak2 keturunan para Piauthau yang tewas baik laki2 atau perempuan dipelihara oleh Liong heng
pat ciang Tham Beng bukan saja dijamin hidupnya bahkan diberi pelajaran silat. Kebesaran jiwa
dan kesetiaan kawan yang diperlihatkan Tham Beng ini semakin mendapat pujian pelbagai lapisan
masyarakat. Waktu berlalu dengan cepatnya, beberapa tahun sudah lewat tanpa terasa. Peristiwa besar yang
terjadi beberapa tahun yang lalu itu dilupakan orang. Manusia berkedok yang misterius dan ganas
itupun telah tewas dan tak pernah disinggung orang lagi. Bahkan Tiong ciu it kiam yang pernah
termashur itu mulai dilupakan orang. Hanya seorang saja yang bintangnya makin cemerlang,
kedudukannya makin lama makin tinggi dan terhormat, dialah Liong heng pat ciang Tham Beng.
Ibarat surya bercahaya di tengah langit bukan saja Hui liong Piaukiok telah menguasai seluruh
wilayah Hopak dan Holam bahkan sampai ke daerah kanglam, di Say Gwa diluar tempat besarpun
terdapat kantor2 cabang. Belum ada di dunia persilatan terdapat perusahaan pengawalan barang
tersohor dan kuat yang tersebar luas seperti Hui liong piaukiok.
Tham Beng sendiri jarang keluar mengawal barang sebag pekerjaan tersebut tak perlu
penampilannya lagi, maka sepanjang hari dia hanya menganggur hidup senang. Sementara itu anak
keturunan para piautau yang dibunuh manusia berkedok dahulu telah meningkat dewasa, yang
paling kecilpun berusia tiga belas tahun, kadangkala bial ada waktu senggang Tham Beng suka
mengajarkan ilmu silatnya kepada mereka.
Ketika itu putri tunggal Tham Beng sendiri sudah berusia lima belas tahun, Tham Beng sudah
berusia setengah baya, terhadap segala macam kejadian dunia persilatan tampaknya sudah tidak
terlalu menarik, meski begitu bial di dunia persilatan terjadi pertikaian yang tak dapat diselesaikan
dari jauh orangpun masih berdatangan untuk memohon bantuannya.
Dari angkatan muda dunia persilatan juga muncul jago2 lihay yang tidak sedikit, tapi bicara soal
ilmu silat dan nama besar tak seorangpun dapat menandingi Tham Beng. Sementara keturunan para
piautau yang terbunuh dulu entah disebabkan bakat mereka yang jelek atau mereka yang berhasil
menguasai sepersepuluh bagian kepandaian Tham Beng yang pernah diajarkan kepada mereka.
Musim semi kembali tiba, tahun ini adalah musim semi ke enam sejak kematian Tiong ciu it kiam.
Fajar baru menyingsing tapi pagi2 sekali dalam kompleks sudah ada orang berlatih silat di lapangan
kompleks perumahan Hui Liong Piaukiok. Orang2 itu adalah seorang anak muda yang berusia 15-
16 tahunan, alis matanya panjang lentik, matanya bersinar tajam, walaupun perawakannya tidak
tinggi tapi pertumbuhannya boleh dibilang normal sekilas pandang pemuda itu boleh diberi predikat
"tampan".
Pemuda itu berdiri dengan kuda2 yang kuat, baik pukulan maupun tendangannya semuanya dapat
dilakukan dengan penggunaan tenaga yang tepat, permainan jurus pukulan pun tidak kacau Cuma
sayang serangkaian ilmu pukulan itu hanya Tay ang kun yang sangat umum di dunia persilatan.
Jurus pukulan Tay ang kun ini kaku dan lamban, hanya boleh digunakan sebagai senam utk
menyehatkan badan, namun tak bisa dipakai untuk membela diri, apalagi untuk menyerang musuh,
kendati begitu anak muda itu tetap berlatih dengan tekun dan bersungguh2. ketika serangkaian
pukulan itu selesai dilatih, peluh membasahi jidatnya dari sini semakin jelas terlihat bahwa bocah
itu sama sekali tidak memiliki dasar tenaga dalam.
Ia tarik napas beberapa kali lalu berjalan perlahan mengitari tembok perkarangan, meskipun
wajahnya mencerminkan kecerdikan otaknya tapi tampak sayu dan murung. Pemuda itu tak adalah
putera tunggal Kou lian ciang Hui Yang, salah seorang Ciang kiam sian kiat yang mati terbunuh
oleh orang berkedok. Anak ini bernama Hui Giok, selama beberapa tahun belakangan ini setiap hari
dia selalu berlatih silat dengan tekun dan rajin, akan tetapi walaupun ia berlatih sedemikian giatnya,
hakikatnya tiada kemajuan apapun yang berhasil dicapainya jangankan lawan tangguh seorang
pesuruh Hui Liong Piaukiok saja tak dapat dikalahkannya.
Anak ini menjadi putus asa, diam2 ia benci kebodohannya sendiri, tiap kali Tham Beng memberi
pelajaran dia selalu memperhatikan dengan seksama dan melatihnya dengan bersungguh2 tapi
hasilnya tetap nihil. Seringkali Tham Beng mengatakan mereka terlalu bodoh, bila berlatih cara
begitu, sampai tuapun takkan berhasil. Sejak itu ia mulai merasa sangsi mulai curiga jangan2 paman
Tham Beng tidak bersungguh2 mengajarkan ilmunya namun sikap Tham Beng terhadap mereka
selama ini ramah dan baik apapun ia tidak berani menaruh curiga lebih jauh terhadap tuan penolong
itu. Ada sesuatu yang aneh, yakni setiap kali para Piausu berlatih, Tham Beng selalu melarang mereka
menonton, alasannya kuatir mengacaukan pikiran mereka. Hui Giok berwatak keras, ia tak mau
melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki orang lain, tapi ilmu silat menimbulkan daya pikat yang
terlalu besar baginya sebab itulah tiap hari ia murung dan kesal lama kelamaan melenyapkan
kecerdikannya serta kelincahannya.
Tiap pagi sebelum fajar menyingsing ia selalu bangun untuk berlatih silat, sebenarnya ada sembilan
anak yang berada bersama dia, mereka semuanya adalah keturunan para piautau yang terbunuh
dahulu tapi Tham Beng memisahkan mereka, ada yang dikirim ke wilayah Holam ada ang dikirim
ke Kanglam katanya mereka akan digembleng di sana hanya Hui Giok dan seorang anak perempuan
terkecil saja yang tetap berdiam dikompleks perusahaan di dalam kota Peking. Anak perempuan itu
bernama Wan Lu Tin keturunan Toan Hun Piau (Piau pemutus nyawa) Wan it Liang meski usianya
masih kecil, tapi sangat pintar sepasang matanya yang besar berkilat2 kesana kemari seakan2 dapat
melihat isi pikiranmu.
Hui Giok sangat menyukainya sering kali mereka berjalan dan keluar rumah kompleks perumahan
bila pikiran kesal. Ia pun sering mengajak dia bercakap2 padahal usia mereka masih muda untuk
murung sebenarnya masih terlampau pagi. Isteri Hui Yang menghembuskan napas terakhirnya
ketika melahirkan Hui Giok sejak kecil bocah itu sebatang kara dan sekarangpun mondok di rumah
orang lain, dasar jiwanya angkuh dan tinggi hati, dia ingin sekali bisa hidup berdikari.
Tapi ia tidak mempunyai kemahiran apa2 sama sekali tak tahu cara bagaimana hidup berdikari


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apalagi seringkali Tham Beng menghiburnya dan suruh dia tinggal saja baik2 di rumahnya. Masih
ada satu hal yang merupakan rahasia dirinya, rahasia ini berhubungan dengan Tham Ben putri
kesayangan Tham beng tapi rahasia ini selalu dipendamnya dilubuk hati bahkan sering ia berusaha
mengendalikan diri agar tidak memikirkannya, tapi jiwa manusia memang aneh, sesuatu yang
makin ditekan makin mudah pula meledak.
Ia mengitari tembok pekarangan hari telah terang dan akhirnya ia berhenti, dengan termangu2
ditatapnya sang surya yang baru mengintip di ufuk timur, entah apa yang sedang dipikirnya pada
saat itu" Tiba2 meluncur sebiji batu dan telak mengenai kepalanya dengan terkejut anak muda itu
berpaling, tertampak seorang anak dara dengan baju sutera warna ungu berdiri sambil bersandar di
rak senjata dan lagi tersenyum geli ke arahnya.
Tenaga sambitan batu itu tidak terlampau keras, namun membuat kepalanya kesakitan. "Pantas ayah
bilang kau ini bodoh" demikian anak dara itu berseru sambil tersenyum " Coba lihat sekian lama
belajar kungfu tapi kenyataannya kau sama sekali tak merasakan ada orang yang menyergapmu dari
belakang, untung Cuma batu, coba kalau Am gi (senjata rahasia) niscaya kepalamu akan berbunga."
Nona cantik ini adalah puteri kesayangan Tham beng bukan saja rupawan suaranya merdu dan
senyumnya laksana sekuntum bunga yang sedang mekar apalagi lesung pipitnya membuat nona itu
semakin cantik.
Hui Giok tertawa, sudah terlampau sering mendengar ucapan semacam itu dan lama kelamaan kata2
semacam itu jadi terbiasa baginya, setiap orang yang berada dalam Hui Liong Piaukiok mengatakan
ia bodoh dan ia sendiripun mulai merasa bahwa dirinya memang bodoh, karenanya ia jarang
berbicara sebab ia tahu bila banyak bicara ia akan semakin bodoh.
Dengan langkah yang lemah gemulai Tham Bun-ki menghampiri anak muda itu, kedua matanya
yang besar berkedip, lalu tegurnya:
"Sudah selesai berlatih ilmu pukulan itu?"
Hui Giok mengangguk.
"Ah, kau ini sungguh menjengkelkan" omel Tham Bun ki sambil men-depak2an kakinya ke tanah.
"orang berbicara dengan kau, selalu sikapmu seperti orang bisu!"
Hui Giok tetap membungkam, ini menyebabkan nona itu makin dongkol, binirnya dicibirkan
tinggi2 dan omelnyalagi: "Hm, aku tahu, aku tak pantas berbicara dengan kau, hanya adik Wan
seorang yang cocok bercakap denganmu, begitu bukan" Baik !" - ia mendepakkan lagi kakinya ke
tanah, lalu serunya sambil putar badan: "Selanjutnya tak perlu kau gubris diriku!"
Aneh sekali perubahan muka Hui Giok seakan2 berusaha mengendalikan perasaannya ketika Tham
Bun ki pergi lagi beberapa langkah dan berpaling sambil melirik hatinya bergerak cepat serunya;
"Adik Ki...." Kata2 seterusnya tak dilanjutkan, hanya hatinya terasa manis dan hangat. Tham Bun ki
tertawa sambil berhenti serunya: "Ah, kau ini memang menjemukan! Siapa suruh kau menggubris
aku lagi?"
Diam2 Hui Giok menghela napas dan berpikir: "Ai, apa yang harus kulakukan sekarang?"
Hui Giok masih muda, pandangannya masih samar2 tentang cinta, belum jelas apa yang diartikan
cinta itu. Setiap kali bila tak bertemu dengan Tham Bun-ki, ia berharap bisa menjumpainya, tapi
bila sudah bertemu, ia ingin cepat berlalu, karena se-akan2 merasa dirinya tidak pantas
mendampingi nona cantik itu.
Tentu saja Tham Bun-ki tidak tahu perasaan Hui Giok yang serba bertentangan itu, ia sudah terlalu
biasa dimanja, meski lahirnya ia mencemooh pemuda itu bodoh, tidaklah demikian dalam hatinya,
nona itu merasa amat gembira bila berada bersamanya, tapi watak anak muda itu aneh sekali,
sebentar panas sebentar dingin, watak semacam ini membuat Bun-ki bingung dan tak habis
mengerti, ia tak tahu apa sebabnya pemuda yang diam2 dicintainya itu bersikap demikian"
Setiap kali bila dilihatnya Hui Giok bermain atau bergurau dengan Wan Lu Tin, Bun Ki lantas keki
dan cemburu maka bila berjumpa lagi pada kesempatan lain ia pasti mengusiknya sampai Hui Giok
marah, namun bila pemuda itu benar2 marah lalu lantas ia menyesal. Begitulah Hui Giok berdiri tak
bergerak dari tempat tadi, sinar matahari yang baru terbit menyinari wajahnya hingga kedua pipinya
menjadi merah. Tham Bun Ki berjalan mondar mandir di depannya tiba2 ia mengeluarkan sebuah benda dan
dilemparkan ke atas, di bawah cahaya sang surya benda itu tampak berkilat, kiranya adalah sebuah
kiancu, permainan yang terbuat dari bulu ayam. Diam2 Hui Giok mengeluh sembari memandangi
"kiancu" yang dilontarkan dari bulu ayam.
"Hayo, siapa yang mau bermain kiancu dengan aku"' demikian Bun Ki berseru. Hui Giok tak berani
menjawab, Tham Bun Ki menjadi mendongkol sambil membawa mainan itu dia berlari kedepan
Hui giok dan berseru manja: "kau mau tidak bermain dengan aku." Wajahnya yang cantik hampir
menempel ke wajah Hui giok. Mengendus bau harum anak gadis, tak kuasa Hui Giok menyurut
mundur beberapa langkah. "Mau, mau!' ujarnya.
"Nah, begitulah baru pintar." Seru Bun Ki sambil menepuk bahu Hui Giok dan tertawa. Hui Giok
merasa jantungnya berdetak keras, apalagi melihat lesung pipit si nona yang mempesona itu ia jadi
termangu2. Tham Bun ki mengambil mainan bulu ayam itu dan menyepaknya dengan telapak kaki.
Kiancu itu berlompatan ke atas dan ke bawah dengan ringannya dengan bangga ia berpaling ke arah
Hui Giok dan tertawa sambil menyepak mainan berbulu ayam itu.
Sudah puluhan kali mainan itu naik turun disepak tiba2 Bun Ki berpaling dan berteriak lagi " he,
mengapa tidak kau hitung bagiku" - tubuhnya yang mungil itu tampak lincah seperti kupu2 yang
berterbangan di antara bebungaan. Makin bemain Tham Bun ki semakin gembira ketika ia melirik
dan mengetahui Hui Giok sedang memandanginya dengan kesima tiba ia tertawa geli.
Karena sedikit meleng kiancu melesat jauh, dengan enteng dan gesit nona itu melejit kesana,
menyusul ke arah jatuhnya bulu ayam, indah sekali gerakannya, membuat Hui Giok menjadi sedih,
pikirnya;" Ai, seandainya memiliki gerakan seindah dan seenteng dia, betapa senang hatiku. Sayang
aku tak bisa, benarkah aku sebodoh itu" diantara kibaran ujung baju dan lambaian rambut yang
bertebaran, Tham Bun Ki bagaikan bidadari yang sedang menari, tiba2 ia putar badan dengan lincah
kedua kakinya menyepak secara bergantian, bulu ayam itu dilontarkan tinggi2 kemudian ditangkap
dengan tangannya.
Beberapa gerakan ini dilakukan hampir bersamaan waktunya dengan gaya indah dan lincah, lalu dia
berhenti bermain. Napasnya tampak agak tersengal tapi makin menambah daya pesona anak dara
itu, ia berkata manja: "Aku sudah menyepak dua ratus kali, sekarang giliranmu." Dihampirinya Hui
giok dan bulu ayam itu diangsurkan kepadanya. Lalu katanya lagi: "Kalau kau tak bisa menyepak
200 kali, lihat saja nanti, aku tak akan mengampuni dirimu."
"kalau aku bisa?" tiba2 Hui Giok bertanya sambil memperlihatkan senyuman yang aneh. Tham Bun
Ki tertawa cekikikan, dalam benaknya terlintas gaya bodoh anak muda itu. Ketika bermain
jangankan 200 kali sepuluh kali saja belum tentu bisa, maka sahutnya sambil tertawa:" Uh, masa
kau bisa menyepak 200 kali." Sambil bertolak pinggang dan muka agak merah, ujarnya;" baiklah,
kalau kau bisa bermain 200 kali terserah apa yang kau inginkan."
"Benar2 terserah kepadaku"' Tanya Hui Giok.
"Kau jahat!" omel nona itu dengan muka merah suatu perasaan aneh yang sukar dilukiskan
mendadak timbul dalam hatinya. Tampaknya Hui Giok juga mengerti mengapa nona itu
mengomelinya pipinya berubah lebih merah dari nona itu dengan kepala tertunduk ia menerima dan
mulai menyepak bulu ayam itu.
"Satu, dua, tiga....." dengan riang Tham Bun Ki mulai menghitung tapi suaranya makin lama makin
kecil, sampai akhirnya tenaga menghitungpun tiada. Kiranya meski Hui Giok tidak memiliki
kegesitan macam Bun Ki gayanya juga tidak seindah dia tapi bulu ayam itu seakan2 telah tumbuh
mata, naik turun selalu teratur dan tetap ditempat semula tidak oleh ke kiri dan ke kanan. Karena itu
setiap kali disepak oelh pemuda itu sang bulu ayampun melayang lagi ke telapak kakinya untuk
kemudian disepak kembali ke atas. Dalam waktu singkat Hui Giok mencapai seratus kali lebih.
Heran dan gelisah Bun Ki menyaksikan itu, ia heran mengapa tiba2 pemuda itu dapat bermain
dengan bagus iapun gelisah karena ia bakal kalah jika pemuda itu berhasil mencapai dua ratus kali.
Tentu saja ia tak tahu bahwa Hui Giok ini berwatak keras, setelah ditertawakan dan dicemooh oleh
Tham Bun Ki dalam permaian tempo hari, ia merasa penasaran maka diam2 dibuatnya kiancu dan
tiap malam ia melatihnya secara diam2 ia bersumpah harus bermain lebih baik daripada gadis itu.
Permainan bulu ayam ini memang tak ada soal teknik, yang diperlukan untuk mencapai kemahiran
hanya kematangan berlatih, apalagi dasar pemuda ini memang cerdik ia hanya merasa rendah diri
karena sejak kecil hidup terkekang. Maka tak lama setelah berlatih ia dapat bermain dengan baik
dan dapat menuruti sesuka hatinya sekalipun ia sudah mahir hal ini tak pernah dikatakan kepada
siapapun hanya dalam hati ia berpikir: "Nanti kalau kau mengajak aku bermain kiancu akan kubikin
kau kaget."
Dan sekarang nona itu betul2 kaget dan keheranan, ia mengomel terus disamping: "Bagus, kau
memang jahat, tentunya kau berlatih secara diam2 bukan" Kenapa tidak kau beritahukan kepadaku
sehingga aku tertipu?"
Hui Giok tidak menjawab senyum bangga terlintas di wajahnya sementara hitungan tak terputus "
satu sembilan tiga, satu sembilan empat...." Tiba2 Tham Bun ki maju ke depan dan menyerobot
bulu ayam itu serunya manja: "kau jahat, kau jahat."
"Hahaha, kau sudah kalah masa mau ingkar janji." sahut Hui Giok sambil terbahak2. selama
beberapa tahun belakangan ini tak pernah hatinya segembira ini sebagai pemuda yang berwatak
keras ia pun ingin memiliki rasa ingin menang tapi karena setiap hari berada dalam tekanan
hidupnya tak bebas maka ia selalu murung dan kesal.
Hampir seluruh tubuh Tham Bun Ki bersandar di dada Hui Giok seru nona itu sambil tertawa:
"Baiklah, aku kalah, baiklah apa yang kau inginkan." Hati Hui Giok berdebar, sementara sang surya
mulai memancarkan sinarnya keseluruh jagat raya saatnya terbaik bagi orang muda untuk madu
cinta sinar mentari pagi menyoroti wajah Tham Bun Ki membiaskan warna emas indah bagaikan
dalam mimpi. Napas si nona agak terengah dan terembus ke wajah Hui Giok dan mendatangkan rasa hangat bagi
pemuda itu. Jantung Hui Giok berdebar makin keras, akhirnya ia tak menguasai diri lagi pemuda itu
tundukan kepalanya dan mengecup pipi yang halus lembut itu.
Tatkala bibirnya menempel di pipi si nona, kedua orang itu sama2 tergetar keras bagaikan kena
aliran listrik bertegangan tinggi, mereka merasakan sekujur badan jadi kaku kesemutan dalam
keadaan demikian kendati langit ambruk dan bumi merekah takkan mereka hiraukan, mereka
merasa segala apa di dunia ini diciptakan untuk ciuman mereka ini.
Pada saat mereka sedang lupa daratan itulah tiba2 ada orang berdehem. Keruan mereka terkejut dan
segera berpisah ketika mereka berpaling dan tahu siapakah yang muncul disitu, serta merta muka
mereka menjadi pucat saking terkejutnya sukma serasa meninggalkan raganya.
Orang yang muncul pada saat yang tidak mereka harapkan ini ternyata tak lain adalah Liong heng
pat ciang Tham Beng orang tua ini berdiri disamping mereka dengan wajah sedingin es. Sekalipun
Bun Ki biasa dimanja namun sekarang ia ketakutan, jantung berdebar keras, mukanya sebentar
merah sebentar pucat, kepalanya yang tertunduk tak berani lagi didongakkan.
Hui Giok lebih kelabakan lagi, mukanya lebih merah daripada kepiting rebus tangannya garuk sana
sini dengan tak tenang, seolah2 tak tahu kemana harus menaruh kedua tangannya itu. Setajam
sembilu sorot mata Tham beng menatap mereka tiba berpaling dan membentak: "Anak Ki, kembali
ke kamar!" - kemudian tanpa bicara lagi, dengan langkah lebar ia berlalu dari sana. Dengan murung
Bun Ki mengikuti di belakang ayahnya baru berjalan beberapa langkah ai tak tahan ia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Hui Giok seluruh hatinya waktu itu tanpa disadari telah diletakkan
pada diri anak muda itu.
Hui Giok masih berdiri bingung di sana, tatapan Tham Bun Ki sewaktu mau pergi takkan dilupakan
untuk selamanya terutama air mata yang mengembang di kelopak mata si nona membuat pemuda
itu menderita, hatinya pedih bagaikan disayat2. "Akulah yang salah, akulah yang membikin susah
dia" demikian ia berpikir, menyusul lantas ia berpikir pula: "paman Tham Beng pasti menganggap
aku terlampau bodoh, tak pantas mendapat puterinya, maka ia marah, dasar aku sendiri tak becus,
kalau aku pintar atau lebih cerdik daripada sekarang, bukankah aku bisa hidup lebih bahagia."
Lama sekali ia termangu2 ketika memandang ke tanah dan kebetulan ditemuinya seekor semut
sedang mengangkat bangkai serangga yang jauh lebih besar daripada tubuhnya, meski begitu
dengan susah payah tapi penuh semangat semut itu menyeret dan menariknya selangkah demi
selangkah. Pemuda itu tertegun, semut itu diperhatikan lebih seksama seketika itu juga timbul suatu
kekuatan yang sebelumnya tak pernah terlintas dalam benaknya. "Walaupun aku agak bodoh tapi
aku harus mempunyai cita2 untuk masa depanku sendiri. Laki2 macam apakah aku ini bila setiap
hari hanya berdiam dirumah orang dan makan menganggur. Jika keadaan seperti ini dilanjutkan
sungguh malu aku terhadap orang tua yang telah tiada, akupun malu terhadap adik Ki, malu
terhadap diriku sendiri."
Ia mengepal kedua tinjunya dengan semangat yang menyala2 ia berpikir lebih jauh: "aku harus
menerobos keluar dari tempat ini. Pergi mengembara dan mengadu untung bila aku berhasil dengan
segala kecemerlangan aku akan kembali lagi kesini. Saat itu paman Tham Beng tentu tak akan
menganggap diriku anak tak becus lagi, siapa tahu kalau dia akan mengizinkan aku berkumpul
dengan adik Ki."
Setelah timbul pikiran demikian, tiba2 ia merasa sekujur badannya penuh semangat hidup yang
berkobar, ia merasa seakan2 tak betah berdiam lebih lama lagi disini, tentu saja tak terpikir olehnya
betapa sengsaranya nanti bila hidup sebatang kara didunia yang luas ini tanpa sanak tanpa keluarga.
"Bila siau-sumoay tahu aku pergi, ia tentu akan sedih", demikian ia jadi teringat kepada Wan Lun
Tin namun ingatan lain cepat melintas pula dalam benaknya: "Tapi kalau kelak aku pulang dengan
sukses bukankah sepuluh kali lipat dia akan gembira."
Dengan wataknya yang keras apa yang sudah diputuskan selamanya takkan berubah lagi. Ia tiada
memikirkan akibatnya lagi, apakah ia akan gagal dan mengalami kesukaran semuanya tak
dipikirkan. Yang dipikirnya sekarang adalah suatu harapan yang berkobar, harapan itu telah
menguasai jiwanya, ia tak ingin rencananya mendapatkan rintangan apapun, ia menengadah dan
memandang dinding pekarangan yang terbentang di atas.
Ia tahu daerah di luar tembok pekarangan itu bukan milik perusahaan Hui liong Piaukiok lagi. Ia
lari ke bawah dinding pekarangan itu , sekuat tenaga ia melompat ke atas dan berusaha melintasi
dinding itu. Sayang tenaganya tidak memadai, hakikatnya ia tak punya dasar ilmu meringankan
tubuh, tentu saja dinding setinggi beberapa meter tak mampu dilampaunya..."Bluk" ia terperosot
jatuh ke tanah, pantat terasa sakit.
Pemuda itu tak kapok ia bangkit kembali tanpa membersihkan debu yang menodai bajunya dia
melompat lagi ke atas. Kali ini tangannya berhasil meraih ujung dinding, ia memegangnya erat
sekali dan sekuat tenaga merambat ke atas dinding perkarangan itu. Di luar dinding sekarang adalah
sebuah lorong waktu itu kebetulan ada seorang penjual sayur sedang lewat di bawahnya dengan
kaget bercampur keheranan ia menengadah dan memandangnya sekejap namun tidak
memperhatikan kemudian lantas berlalu.
Hui Giok menggigit bibir meskipun jarak tembok pekarangan dengan permukaan tanah cukup
tinggi namun ia tak perduli segera ia melompat ke bawah. Tindakan anak muda itu hanya terdorong
oleh emosi ia tak pernah mempertimbangkan bagaimana akhirnya hidup sebatang kara di dunia
yang luas apa yang terpikir olehnya hanyalah bagaimana caranya meninggalkan Hui Liong Piaukiok
secepatnya. Ia pejamkan mata dan melompat ke bawah "bluk" kembali badannya bergetar keras hingga terasa
sakit untung kali ini ia tak sampai terjungkal. Lorong ini tidak terlalu lebar tapi membentang
panjang. Hui Giok menimbang sebentar ia tahu bila berbelok ke kiri akan sampai ke pintu gerbang
Hui liong piaukiok maka memutuskan menuju sebelah kanan lorong panjang itu. Perasaannya
sekarang diliputi kegembiraan meski belum tahu apa yang akan terjadi pada masa depannya, tapi
benaknya penuh khayalan yang muluk sebab kenyataan belum lagi menyulitkannya, persoalan
orang hidup masih belum menjadi beban pikirannya.
Setelah keluar dari lorong itu ia sampai di sebuah jalan lebar yang beralaskan batu hijau jalan itu
kembali membentang ke kiri dan kanan karena tanpa tujuan maka ia belok ke sebelah kanan. Waktu
itu hari masih pagi tidak banyak orang berlalu lalang di jalanan dari depan sana muncul sebuah
tandu yang digotong oleh delapan orang. Di depan tandu terdapat orang yang membawa papan yang
bertuliskan tenang dan menyingkir, ia tahu itulah pembesar yang pulang dari menghadap raja di
istana, pemuda itupun menyingkir ke tepi jalan dan membiarkan tanda itu lewat.
Gorden pada tandu itu tertutup rapat, tak namapk jelas siapa yang duduk didalamnya, dengan
perasaan heran pemuda itu berpikir: "Saat ini entah apa yang sedang dipikirkan oleh orang yang
duduk di dalam tandu itu." Tapi akhirnya ia mendapatkan jawaban yang rasanya cocok: "Yang
dipikirkannya pasti tak lain daripada nama dan kedudukan".
Ia tertawa sendiri ia merasa keadaannya jauh lebih gembira, jahu lebih bahagia daripada orang yang
duduk didalam tandu kebesaran itu, sebab paling tidak ia bebas sepenuhnya leluasa dan tidak terikat
oleh segala tata cara kehidupan yang kolot itu. Hatinya bagaikan tumbuh sayap ia ingin terbang ke
tempat yang jauh. Pakaiannya waktu itu berwarna biru air sepatunya terbuat dari kulit yang tipis,
itulah dandanan untuk berlatih silat untuk berjalan terasa enteng dan nyaman.
Setelah keluar dari jalan itu, sampailah Hui Giok di sebuah pasar yang ramai, banyak orang
berbelanja di sana suasana gaduh dan bising. Ia melanjutkan perjalanan ke depan, perasaannya
enteng dan riang, tak lama kemudian perutnya terasa lapar. Inilah persoalan pertama yang
menyangkut kenyataan orang hidup mulai memusingkan kepalanya, aneka macam penganan
dijajakan di pasar, ada siomay, kueh lapis, dan aneka macam makanan terkenal lainnya di kota
peking yang biasanya sangat disukainya semuanya itu membuat perutnya tambah lapar, air liur
sampai menetes dia ingin membeli dan makan sepuasnya.
Tapi sekeping uangpun tak dimilikinya, ia hanya bisa melihat dan tak dapat menikmatinya. Untuk
pertama kalinya ia mulai merasakan betapa berharganya uang betapa sengsara dan tersiksanya
orang yang tak beruang. Sejak munculnya persoalan ini pelbagai masalah lain yang menyangkut
kenyataan orang hidup mulai berkecamuk dalam benaknya. Hidup adalah masalah terpenting yang
dihadapi setiap manusia untuk mempertahankan kehidupan seseorang tak boleh kekurangan sesuatu
yakni uang. Sebab uang seakan2 mewakili segala apa yang ada di dunia ini. "Bagaimana caraku
mempertahankan hidup".
Hui Giok mulai risau, jangankan soal lain, untuk memecahkan soal ini perut hari inipun ia tak
mampu, apalagi masalah lain yang lebih pelik" Maka ia mulai takut dan panik. Melihat
dandanannya yang lumayan, banyak penjajah makanan yang menawarkan barang dagangannya, tapi
ia hanya menggeleng kepala saja, sudah tentu ia sangat ingin beli makanan yang lezat itu" Tapi apa
daya, napsu makan ada uang punya.
Perutnya makin terasa lapar hingga terasa pedih, hati Hui Giok juga tambah bingung, ia berpikir
lagi: "Tengah hari ini aku bisa berpuasa tapi malam nanti kan aku harus makan umpama dengan
esok" Dan lusa." Ia menghela napas panjang kecuali melakukan sedikit pekerjaan kasar yang sama
sekali tak berguna ia tak mempunyai kepandaian lain untuk mencari nafkah. Anak muda itu mulai
rada menyesal, tapi apa yang telah diputuskan tak akan berubah untuk selamanya.: "Lebih baik mati
kelaparan, daripada berubah keputusan yang telah kulakukan."
Ia berjalan mengikuti arus manusia di sekitar tempat itu, namun arus pikiran yang berkecamuk
dalam benaknya berpuluh kali lebih kalut daripada arus manusia itu. Tiba2 ada seorang menepuk
bahunya, dengan bingung ia berpaling, tampak seorang laki2 bertampang jelek sedang tersenyum
padanya. Yang lebih aneh lagi adalah pada saat itu ia tak dapat menguasai dirinya serta merta
diikutinya kemana orang itu pergi.
Ketika orang itu berjalan cepat ia pun ikut jalan cepat, bila orang itu berjalan lambat iapun lambat,
meski kesadarannya masih baik namun tubuhnya seakan2 tak mau menurut perintah lagi. Laki2
bertampang jelek itu berjalan keluar kompleks pasar, setelah berputar kesana kemari akhirnya
masuk ke sebuah lorong yang sempit bangunan rumah yang berderet di lorong ini semuanya rendah
tapi berloteng, begitu sempitnya lorong sehingga benda yang berada di dalam jendela rumah
seberang bisa diambil dari rumah yang lain. Setiba di beberapa rumah terakhir di ujung lorong itu,
laki2 tadi memasuki sebuah pintu kecil, sementara Hui Giok sendiri bagaikan kena guna2 terus ikut


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk pula ke dalam.
Rumah itu kecil lagi berbau busuk, beberapa orang perempuan yang berdandan seperti siluman
duduk di bawah loteng dan sedang bersenda gurau dengan suara keras, sedikitpun tidak
menunjukkan sifat kewanitaannya. Tatkala Hui Giok masuk mengikuti laki2 itu perempuan itu maju
mengerumuninya dengan jahil mereka meraba dan mencolek tubuh Hui Giok seorang diantaranya
memuji: "Ehm, bagus juga barang dagangan ini." Ada pula yang meraba wajah Hui Giok dan berkata sambil
tertawa:" Coba kalian lihat, kulit barang dagangan ini lembut sekali, mukanya bulat telur seperti
akan pecah bila tersentuh kalau didandani tanggung dia akan persis perempuan asli."
Dalam keadaan linglung Hui Giok merasa marah, akan tetapi benaknya terasa kusut, perasaan
marahpun tidak terlampau jelas baginya. Laki2 tadi kelihatan bangga didorongnya perempuan yang
makin lama makin jahil itu serunya berkata:" Aku akan naik ke loteng untuk membantu
mendandani dia." Lalu ia tertawa lebar sehingga kelihatan sebaris giginya yang kuning terlampau
banyak keju itu. Laki2 itu naik ke loteng Hui Giok juga ikut mereka masuk ke sebuah kamar, besar
sekali ruangan itu tapi kecuali sebuah pembaringan besar tidak nampak benda yang lain. Sesudah
itu Hui Giok berada di dalam ruangan. Laki2 itu segera menggerayangi sekujur badannya dari atas
sampai ke bawah lalu mengembuskan napas panjang seakan2 merasa sangat puas.
Dari dalam sebuah peti kayu yang berada di kolong pembaringan ia mengambil keluar beberapa stel
pakaian perempuan, setelah diukur dengan badan Hui Giok akhirnya ia memilih satu stel baju
berwarna merah dan diletakkan di atas pembaringan sedangkan baju lainnya disimpan kembali ke
dalam peti. Kemudian ia membantu Hui Giok tukar baju merah itu, kemudian anak muda itu
didorong ke atas pembaringan lalu ia keluar ruangan itu sambil menutup pintunya dan menguncinya
dari luar. Dalam keadaan begini Hui Giok ibaratnya sesosok mayat yang kehilangan suka, ia tak bisa
melawan tak bisa meronta tak bisa berbuat apa2 benaknya dirasakan kosong, hanya lamat2
dirasakan kejadian ini aneh. Sejak didorong ke atas pembaringan, ia tak berubah posisi bergerak
sedikitpun tidak, entah berapa lama sudah lewat dalam keadaan begitu.
Akhirnya pintu terbuka dan masuklah seorang laki2 gemuk setelah memperhatikan Hui Giok
sekejap kepalanya melongok keluar dan berbicara beberapa kata dengan orang di luar, kemudian
"blang" pintu ditutup rapat. Kendati sudah begitu Hui Giok sama sekali tidak paham apa yang telah
berlangsung ini meski pikirannya tidak sadar pemuda itu merasakan juga gelagat yang kurang beres,
saying sekujur badannya terasa lemah tak bertenaga, sedikitpun tak mampu melakukan perlawanan.
Tampaknya laki2 gemuk ini sudah ahli dan berpengalaman dalam bidang ini setelah mengamati
wajah Hui Giok dengan sempoyongan ia keluar ruangan itu, kemudian muncul kembali dengan
membawa air bersih setelah diminum lalu disemburkan ke muka Hui Giok. Rupanya si gemuk tahu
Hui Giok terpengaruh dan tak sadar, ia merasa permainannya nanti akan kurang hot bila lawannya
tak beres, maka ia menyadarkan dulu anak muda ini, tak tahunya tindakan ini justeru telah
menolong Hui Giok malah.
Setelah disemprot air segar, Hui Giok sadar kembali dari pengaruh Poh ho jiu hoat sebab air adalah
satu2nya obat penawar bagi orang terpengaruh oleh tenaga gaib itu. Lalu si gemuk mulai
menggerayangi lagi tubuh Hui Giok dan hendak menelanjangi anak muda itu, tapi Hui Giok
sekarang bukan lagi Hui Giok tai tangannya telah pulih kembali, meski ia tak tahu apa gerangan
yang akan dilakukan orang itu kepadanya tapi ia tahu perbuatannya pasti perbuatan yang tidak baik.
Dalam keadaan mabuk arak si gemuk merayu:
"O, sayang jangan takut, mari! Ayolah kemari!" Hui Giok jadi gusar ia melompat bangun dari
pembaringan tapi si gemuk itu berkata lagi sambil tertawa lebar:" Anak manis, sayangku, kau mau
apa" Hayolah......mari......" belum habis ucapannya plok bogem mentah Hui Gok telah bersarang di
hidungnya sehingga si gemuk menjerit kesakitan saking sakitnya sampai air matapun ikut
bercucuran. "Anak busuk, kau sudah gila!" makinya. Hui Giok juga tambah murka sekali lagi ia hantam muka si
gemuk. Ilmu silatnya memang cetek tapi sebagai seorang pemuda yang sudah bertahun berlatih
kungfu dengan sendirinya baik badan maupun tenaga jauh lebih kuat dari orang biasa, mana si
gemuk mampu menahan jotosannya itu.
Dengan gusar Hui Giok menggebuk beberapa kali lagi sehingga si gemuk menjerit seperti babi
disembelih, teriaknya sambil merintih kesakitan "Aduh mak! Tolong! Tolong." Suara langkah kaki
yang ramai berkumandang dari arah tangga loteng, menyusul dua orang laki2 kekar bergegas naik
ke tempat kejadian, agaknya mereka adalah tukang pukul sarang pelacuran.
Tapi si gemuk tadi telah mengunci pintu kamar itu dari dalam maka kedua tukang pukul itu jadi
kelabakan di luar dan tak bisa berbuat apa. Pada saat itu Hui Giok masih terus menghajar si gemuk
dengan pukulan bertubi2 si gemuk semakin menjerit makin keras karena kesakitan. Akhirnya suara
jeritannya makin lemah makin lirih, tampaknya ia tak tahan lagi dan bisa mampus hal ini semakin
mencemaskan kedua tukang pukul yang kelabakan di luar pintu itu. Untuk menjaga keamanan
langganan nya maka dua orang itu akhirnya mendobrak pintu dan menerobos ke dalam ruangan.
Saat itu Hui giok sedang menunggangi badan si gemuk orang ini telah kenyang dihajar, keadaannya
sudah lemas dan kempas kempis serentak kedua tukang pukul tadi memaki: "Bajingan cilik, apa kau
sudah bosan hidup." Dengan telapak tangan mereka yang lebar, kedua tukang pukul itu menerkam
dan menarik kuduk baju Hui Giok terus menyeretnya turun. Hui Giok masih muda, ilmu silatnya
juga Cuma begitu2 saja, ditambah pula perawakannya tidak tinggi besar, tentu saja ia bukan
tandingan kedua tukang pukul yang berbadan gede kerbau itu, dengan mudah saja ia ditangkap dan
diangkat. Kamar itu terlalu sempit kedua tukang pukul itu tak leluasa mendemonstrasikan kekuatannya di
situ, maka mereka seret keluar pintu lalu ayun telapak tangannya hendak menempeleng. "Anak
jadah." Makinya, "Tidak kau Tanya2 dulu tempat apakah sini" Hm, kau berani main gila pingin
mampus barangkali." Di bawah cengkeraman kedua tukang pukul yang bertenaga kerbau ini, Hui
Giok sama sekali tak dapat berkutik, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang pemuda
yang pernah belajar silat, dalam keadaan kepepet, mendadak sikutnya menyodok ke belakang, "duk
duk" iga kedua tukang pukul itu tersikut telak.
Kedua tukang pukul menjerit kesakitan dengan sendirinya cengkeraman merekapun mengendur.
Hui Giok segera manfaatkan kesempatan utk melarikan diri tapi kedua orang itu tidak mau
melepaskannya, sambil mengejar mereka memaki : "Bangsat, hari ini tuanmu harus memberi
hajaran setimpal padamu!" Hui Giok tahu dirinya bukan tandingan kedua orang itu, diam2 ia
mengeluh ia memandang di sekitarnya mendadak dilihatnya sebuah jendela terbentang lebar di
serambi sana. Pada waktu ia dibawa ke atas loteng tadi dalam keadaan lamat2 ia tak tahu bangunan rumah itu
terdiri dari tingkat atas dan tingkat bawah karenanya sewaktu melihat ada jendela ia lantas berpikir
apapun yang akan terjadi biarlah ku lompat keluar jendela ini! Sementara itu kedua tukang pukul
tadi telah menerjang tiba dengan garangnya, cepat tangan kirinya bertahan dan kepalan tangan
menghantam dada orang yang berada di depan. Setelah tersikut dan kesakitan tadi laki2 itu tak
berani bertindak gegabah lagi, melihat tibanya pukulan ia tangkis dengan satu tangan kemudian
dengan tangan yang lain ia balas menghantam pundak Hui Giok.
Tak tahunya anak muda itu telah mempunyai perhitungan sendiri meski bahunya terhajar ia sama
sekali tak perduli tiba2 ia mendak ke bawah terus menerobos lewat dan melompat ke atas jendela
dengan sekuat tenaga tanpa berpaling atau memandang ke bawah lagi ia loncat ke bawah. Untung
loteng itu tidak terlampau tinggi meski begitu ketika kakinya menyentuh tanah sekujur badan
tergetar keras, hilang imbangan badannya ia jatuh terduduk di tanah.
Tentu saja bantingan ini cukup keras tapi apa yang terpikir olehnya sekarang adalah bagaimana
caranya kabur dari situ secepatnya maka tanpa memikirkan lagi rasa sakit di pantatnya, ia
merangkak bangun, tanpa membedakan arah lagi ia lari terbirit2 ke depan. Lorong ini adalah tempat
yang paling mesum di kotaraja ini, pada waktu itu banyak sekali kaum bencong yang bukan laki
dan bukan perempuan duduk cari angin disekitar lorong itu, ketika melihat ada orang melompat
turun dari loteng kemudian kabur dalam hati masing2 mempunyai perhitungan sendiri, maka tak
ada yang merasa kaget, tak seorangpun yang mengalangi larinya Hui Giok.
Inilah solidaritas perasaan senasib. Sekalipun orang itu melakukan perbuatan amoral, melakukan
pekerjaan kotor namun siapakah yang suka bekerja dengan hati yang rela" Kalau bukan dipaksa
oleh keadaan, siapakah yang sudi melakukan pekerjaan semacam itu. Hui Giok merasa pandangan
menjadi gelap namun tetap lari dan lari terus, akhirnya berhasil juga anak muda itu lolos dari lorong
yang sempit. Entah berapa lama dia berlari, orang di jalan memandangnya dengan keheranan, dan menganggap
dia sebagai perempuan gila untunglah penduduk ibukota umumnya bersifat sederhana dan tidak
suka ikut campur urusan orang lain maka tak seorangpun yang menegurnya. Akhirnya anak muda
itu merasa tak kuat berlari lagi, ia coba berpaling setelah yakin tak ada yang mengejar, ia baru
menghentikan larinya, napasnya tersengal2 terbayang olehnya peristiwa yang baru dialaminya
setelah dipikir kembali ia merasa benar2 seperti mendapat impian buruk, dengan usianya yang
masih muda, ia tak tahu perbuatan mesum apakah tadi.
Ia melanjutkan perjalanannya ke depan perasaannya mulai tenang kembali ke empat anggota
badannya mulai terasa lemas, entah karena ketakutan yang melampaui batas atau disebabkan terlalu
lapar. Ia mencoba memperhatikan keadaan sekitarnya, kiranya tanpa disadari ia telah berada di
bagian kota yang dihuni lapisan masyarakat miskin, rumah2 yang berserakan di sekitar tempat itu
kebanyakan terbuat dari papan yang kasar mereka yang berdiam di situpun merupakan masyarakat
jembel. Tiba2 Hui Giok merasa pandangan semua orang tertuju ke arahnya, ia sendiri ikut menunduk dan
melihat. Sekarang baru ditemukan letak keanehan yang menjadi daya tarik pandangan orang banyak
itu, rupanya saat itu ia masih mengenakan baju perempuan dengan sepatu orang lelaki.
Dandanan semacam itu sudah tentu kelihatan aneh dan lucu, sayang tak ada cermin sehingga ia tak
tahu bagaimanakah mukanya saat itu, tapi yang jelas pasti mengenaskan dan tak keruan. Ada anak
kecil dan perempuan yang mengolok dirinya sambil tertawa tapi Hui giok hanya tunduk kepala
dengan muka merah, secepatnya ia menjauhi cemoohan orang2 itu.
Memang begitulah pembawaan manusia bila dirinya merasa tak pantas dilihat orang segera dia
menuju ke tempat yang jauh dari manusia. Makin jauh Hui Giok menuju ke tempat yang sepi waktu
itu malam sudah tiba, meski berada di musim semi namun angin malam yang berhembus
mendatangkan rasa dingin, diantara suara jangkrik dan bunyi serangga lain, lambaian rumput yang
baru tumbuh pikiran Hui Giok bergolak ibarat air bah yang membanjir.
Dunia seluas ini, tiada sanak tanpa keluarga ia tak tahu kemana harus pergi, sedikit lemah pendirian
Hui Giok ia bisa segera kembali ke Hui liong piaukiok sebab disana paling sedikit dia akan hidup
aman. Tapi sebagai pemuda yang keras hati, Hui Giok rela menderita rela kedinginan dan kelaparan
dari pada kembali ke Hui liong Piaukiok ia merasa matanya agak basah air mata serasa ingin
meleleh keluar, tapi cepat ia mengendalikan rasa ingin menangis ia merasa menangis bukanlah
perbuatan seorang laki2 sejati. Tiba2 didengarnya di belakang seperti ada orang bicara dengan
bisik2 dilihatnya beberapa sosok bayangan orang sedang mengikutinya, dalam keadaan samar2
kegelapan malam, ia tak tahu apa maksud mereka.
Jantungnya mulai berdebar keras, pengalamannya membuat anak muda ini ibaratnya burung yang
nyaris kena bidikan, ia kuatir, takut dan ngeri terhadap segala apa yang mungkin terjadi ia kuatir
akan tertimpa kemalangan lagi, maka ia berjalan setengah berlari2, ingin cepat2 meninggalkan
orang2 itu. Akan tetapi bila ia berjalan cepat, orang2 iu mengikutinya dengan cepat, jarak mereka kian
mendekat, Hui Giok mula mengeluh, pikirnya: "Nasib! Mengapa aku selalu menemui kejadian2
yang menyebalkan ini." Karena melamun jalannya jadi kurang hati2 kakinya tersandung sebutir
batu, anak muda itu jatuh terjerembab.
Gelak tertawa berkumandang dari belakang menyusul beberapa sosok bayangan manusia yang
berbaju kotor usia mereka masih muda, kepala memakai topi semangka, lengan baju bergulung
tinggi2, dilihat dari tingkah laku mereka bisa disimpulkan bahwa orang2 ini adalah sebangsa buaya
atau dicokot, bajingan yang kerjanya hanya mengganggu orang. Sebelum Hui Giok sempat
merangkak bangun berandal2 itu terus menyerbu maju, ada yang menahan badannya, ada yang
meraba dan menggerayangi sambil mengucapkan kata2 cabul. Tergerak pikiran Hui Giok tahulah
dia maksud berandal2 itu: "Kiranya mereka menyangka aku ini perempuan."
Ia mendongkol, geli dan juga gelisah, sekuat tenaga dicobanya meronta untuk melepaskan dari
tindihan berandal2 itu, tapi tenaga mereka terlalu kuat, apalagi masih muda2 dan jumlahnya bukan
cuma seorang, sekalipun ia sudah berusaha meronta sepenuh tenaga, toh sama sekali tidak
mendatangkan hasil apa2. Gelak tertawa beberapa orang berandal itu semakin lama semakin keras,
makin lama semakin jalang, tingkah laku mereka mulai kurang, ada yang mulai menggerayangi
pantatnya ada pula yang menarik celananya, sambil bekerja merekapun menggerundel:" Sudah
beberapa hari ini bokek, hehehe, siapa tahu dari langit melayang turun nona manis ini buat kita, ini
namanya rejeki nomplok."
Hui Giok mulai berteriak saking paniknya dalam keadaan begini ia hanya bisa berteriak meminta
tolong belaka. Diam2 ia pun menggerutu akan kebodohan sendiri:" Kalau ilmu silatku terlatih baik,
siapa yang berani lagi mempermainkan diriku." Sekuatnya ia mendepak seorang jatuh tersungkur,
tapi yang lain segera menubruk dan kembali menindih di atas tubuhnya. Pada saat gawat begini,
untunglah dari kejauhan berkumandang suara derap kaki kuda, suara itu kedengarannya sangat
menusuk telinga ditengah keheningan malam.
"Ada orang!" beberapa berandal itu berbisik, mereka hentikan aksinya dan pasang kuping
mendengarkan. Diam2 Hui Giok bersyukur namun ia takut orang itu tidak dating ke arah sini, maka
ia lantas berteriak, tapi seorang cepat mendekap mulutnya sambil mengancam:" Berani berteriak,
segera kubunuh kau!" Derap kaki kuda itu makin menjauh dan lalu begitu saja, sementara
berandalan2 tadi mulai lagi dengan operasinya, Hui Giok Panik sekali dan tak tahu apa yang harus
dilakukan, ingin meronta, tapi tangan dan kaki terasa tak bertenaga.
Tiba2 suara derap kaki kuda tadi berkumandang lagi, kali ini menuju arah sini, ini menyebabkan
berandal2 itu kaget dan gugup, tapi mereka tidak menyingkir, mereka tak taku karena jumlahnya
lebih banyak, seorang diantara mereka berkata:" Kalau orang itu berani mencampuri urusan kita,
bersama kita sikat dia!" baru selesai berkata, seekor kuda sudah muncul secepat terbang. Kuda itu
putih mulus dan gagah setelah berputar satu lingkaran di depan berandal itu, kemudian
penunggangnya menegur dengan lantang:" Siapa kalian" apa yang kalian lakukan di sini." Hui Giok
kegirangan, betapapun datanglah penolongnya.
"Keparat, siapa pula kau?" hardik berandal itu:" Kalau tahu diri, jangan coba2 mencampuri urusan
tuanmu, sebelum terlambat kuanjurkan padamu cepatlah pergi dari sini....." Belum habis ucapan
berandal itu, "Tarr" tahu cambuk orang telah mampir di kepalanya, ia menjerit kesakitan dan
melompat bangun. Suasana kalut, beberapa berandalan itu ikut marah, mereka menyerbu ke muka
sambil memaki:" Sialan, kau berani memukul orang." Seorang hendak menarik tangan, yang lain
membetot kaki mereka hendak menarik penunggang itu agar jatuh terjungkal ke tanah.
Penunggang kuda itu menjadi gusar, sambil membentak cambuknya menyebat tubuh berandal
tersebut. Jangan sangka cambuk itu kecil, ketika mengenai tubuh orang2 itu ternyata membawa
kekuatan besar, kontan berandal itu menjerit kesakitan.
Dipihak lain Hui Giok sudah bangun berduduk di bawah cahaya bintang samar2 ia lihat
penunggang kuda itu adalah seorang sastrawan, usianya tidak terlampau besar, ini dapat didengar
dari suaranya meski begitu ia dapat menghajar berandal2 itu hanya dengan sebuah cambuk yang
kecil, gagah perkasa bagaikan malaikat dari langit, dalam hati Hui Giok sangat kagum, ia tahu
kungfu orang ini pasti tinggi sekali. Berandal2 itu memang bandel, sudah dihajar sampai terguling
di tanah, mereka belum kabur, malahan mencaci maki dengan kata2 yang kotor:" Hayo pukul terus,
pukul lagi sesukamu."
Tubuh yang bergulingan di atas tanah itu tiba2 menerjang ke samping kuda dan merangkul kakinya,
tak terduga kuda itu bukan kuda biasa, mendadak kakinya mendepak sehingga orang itu mencelat
terbanting mampus. Penunggang kuda itupun marah, cambuknya tiba2 digunakan menutuk, cambuk
yang lemas tahu2 menegang lurus di tangannya, diiringi desing angin tajam, ia tutuk "Koh cing
hiat" di pundak salah seorang. Cara menutuk jalan darah dengan senjata lemas terhitung suatu
kepandaian yang sangat jarang ditemui di dunia persilatan, apalagi senjata yang dipakai adalah
cambuk kuda, ini lebih hebat lagi.
Selama hidup belum pernah kaum berandal itu melihat jago silat selihay ini, hanya sekejap saja dua
orang sudah tertutuk roboh dan tak dapat bangun. Melihat rekannya tak berkutik lagi, berandal
lainnya baru terperanjat, mereka lari tunggang langgang sambil berteriak:" Ada pembunuhan!
tolong, ada pembunuhan?" meski ilmu Hui Giok tidak tinggi, tapi dia dilahirkan dan hidup dalam
lingkungan keluarga persilatan sudah banyak yang ia dengar dan lihat selama ini, ia cukup kenal
kualitas orang yang di depannya ini, dalam hati diam2 ia berpikir:" Orang ini sungguh lihay
kungfunya."
Sementara itu si penunggang kuda tadi sedang mengawasi bayangan kawanan berandal2 yang kabur
itu sambil tertawa dingin. Hui Giok lantas berdiri, dia ingin menyatakan terima kasihnya kepada
orang itu, ketika menengadah dan melihat sekejap badan orang itu putih mulus, matanya besar
bersinar terang, meski dalam kegelapan sorot matanya seolah2 gemerdep dan sedang memandang
dirinya. Seketika timbul rasa rendah diri Hui Giok. Lama sekali orang itu mengamatinya, kemudian
bertanya: "Dimanakah rumahmu?" Hui Giok jadi bingung pelbagai kemurungan berkecamuk dalam
benaknya, ia tidak menjawab tapi berpikir: "Tampaknya selisih umur antara orang ini dengan aku
hanya sedikit tapi kungfunya berlipat kali lebih hebat dari aku. Ai, terhitung manusia apakah aku
ini" Aku tak punya apa2, tak punya sanak, tak punya rumah, ilmupun tak ada....." begitulah ia
tertunduk sedih.
Karena Hui Giok tidak menjawab, dengan tak sabar orang itu menegur lagi: "Apa kau tak punya
rumah" Kenapa tidak menjawab." Hui Giok mengangguk dan menjura dalam2 setelah itu tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia lantas berlalu dari sana. Rasa duka hatinya saat ini sungguh sukar
dilukiskan, ia merasa tenggorokannya seolah2 tersumbat satu patah katapun tak sanggup
diutarakannya. Memandangi bayangan punggung anak muda itu, air muka si penunggang kuda yang semula kaku
tanpa emosi tiba2 terlintas perasaan iba dan kasihan. Diketuknya pelana kuda dengan cambuknya
hatinya sangat gelisah mendadak ia berseru:" Hei, anak perempuan kembali ke sini."
Hui Giok berhenti dia tahu "anak perempuan" yang dimaksud ialah dirinya, namun dia enggan
memberi penjelasan, sebab keadaannya sangat memalukan, bagaimana ia harus menjawab andaikata
orang itu menanyakan mengapa ia mengenakan baju perempuan. Dasar wataknya memang keras
dan suka menang, ia enggan menerima belas kasihan orang lain, lebih2 ia benci terhadap cemoohan
orang. Tapi akhirnya ia putar balik juga dan berdiri di depan orang itu, setelah memandanginya
sejenak kelihatan rada terkejut dan keheranan tiba2 ia berkata:" Bila kau tak punya rumah maukah
kau ikut bersamaku."
Ia menengadah dan menghela napas panjang lalu sambungnya :" Sebab aku pun tak punya rumah."
Logatnya adalah logat daerah Kanglam, bicaranya singkat dan cepat, suaranya mengandung
perasaan sedih, menimbulkan rasa simpatik Hui Giok. Tapi sebelum ia mengucapkan sesuatu, orang
itu telah berkata lagi, "Selain itu, dapat pula kuajarkan ilmu silat padamu agar kelak kau tidak
dipermainkan orang lagi. Tapi berapa banyak yang dapat kau raih akan bergantung pada bakat dan
kepintaranmu sendiri."
Dibalik perkataannya seakan2 hendak menyatakan ilmu silat yang dimilikinya terlampau dalam
sehingga sulit untuk dipelajari keseluruhannya oleh orang lain. Hui Giok sangat gembira, mukanya
berseri tapi tatkala ingatan lain terlintas dalam benaknya cepat ia berkata dengan tersipu2:" tapi aku
terlampau bodoh, berlatih segiatnya tetap tiada kemajuan apa."
"O, jadi kau pernah belajar silat?" Tanya itu dengan heran. Hui Giok mengangguk. "Hm, siapa
bilang kau bodoh"' dengus orang itu, "Dari siapa kau peroleh belajar silat."


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Liong heng pat ciang Tham Beng!" jawab Hui Giok, dia menyangka setelah nama besar itu
disebut, niscaya orang akan kaget. Siapa tahu orang tetap cuma mendengus saja"
"Huh, manusia macam apa dia?" Hui Giok jadi tertegun malah, maklumlah nama maupun
kedudukan Liong heng pat ciang Tham Beng ketika itu boleh dikatakan luar biasa, tapi orang ini
justru bersikap sinis setelah mendengar nama Tham Beng, lalu siapakah gerangan orang ini.
"Mungkinkah ilmu silatnya lebih tingi daripada paman Tham Beng?" pikir Hui Giok. Tapi
kelihatannya orang masih muda tak mungkin ilmu silatnya mencapai taraf setinggi itu. Tampaknya
berangasan watak orang ini, ia berseru pula dengan tak sabar:" Bagaimana, kau mau ikut aku
tidak?" "Apa salahnya kuikut orang ini ?" demikian Hui Giok berpikir lagi. "Siapa tahu dengan belajar ilmu
silat kepadanya aku benar2 berhasil dan tercapai apa yang aku cita2kan...." Tapi ia tak berani
berpikir lebih jauh, sebab semua itu hanya khayalan saja. Hui Giok mengangguk akhirnya, orang
itupun tak bicara lagi, ia angkat cambuknya dan melarikan kuda itu beberapa langkah ke depan
kemudian tangannya meraih ke bawah, dirangkulnya pinggang Hui Giok.
Hui Giok merasakan pinggangnya mengencang tahu2 badannya mengapung ke atas dan berduduk
di depan orang itu. Sayang Hui Giok masih terlampau muda, banyak persoalan tak dapat
dipertimbangkannya dengan baik, andaikata ia masih berpikir dengan seksama dengan dandanannya
dan keadaan sekarang, orang itu pasti telah menganggapnya perempuan asli, malahan sekarang
orang mengajaknya pergi bersama, memeluk pula pinggangnya erat2 bukankah itupun menandakan
orang mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya.
Hui Giok duduk di depan, kuda itu lari seperti terbang di awang2 selama hidup baru pertama kali ini
ia naik kuda dengan kecepatan seperti itu, hatinya menjadi riang. Ngebut memang suatu
kenikmatan. Lebih lagi bagi orang yang suka akan ketegangan dan rangsangan. Anak muda itu
pejamkan matanya untuk dinikmatinya perasaan yang baru pertama kali ini baru dirasakan selama
hidupnya, sementara hidungnya mengendus bau harus yang tipis, bau harus yang timbul dari tubuh
si penunggang kuda yang berada dibelakangnya.
"Aneh benar bau badan orang ini bagaikan harum anak perempuan" demikian pikir Hui Giok
dengan heran. Selagi heran orang yang berada di belakang itu telah berkata dengan nada dingin
"Sebagai anak perempuan kau sebelum melakukan kau harus berpikir masak dan berhati,
selanjutnya jangan suka ngelayap seorang diri sebelum ilmu silatnya berhasil diyakinkan dengan
baik, mengerti!"
Hui Giok menyengir serba salah dan tak menjawab. Orang itu kembali berkata : "hari ini, tanpa
banyak omong kau terus ikut pergi bersamaku untung ketemu aku, coba orang lain, bisa kau dilalap
orang lain."
"Aku.....Aku......: Hui Giok ingin memberi penjelasan namun sukar berucap. "Sudah, tak perlu
banyak bicara lagi!' kata orang dengan bengis, suaranya enak didengar tapi keras ditambah lagi
mengandung nada yang mengancam mau tak mau anak muda itu terpaksa tutup mulut.
"Selanjutnya kau boleh sebut aku guru" kata si penunggang kuda. Lalu kuda itu kembali ngebut ke
depan, udara kian gelap dan suasana bertambah sepi, mungkin sudah dekat tengah malam. Hui Giok
tak tahu mereka akan menuju kemana orang itu tak bicara, ia pun tak berani bertanya. Entah berapa
lama sudah lari, tiba2 dilihatnya dikejauhan ada sinar lampu, mungkin di sana adalah sebuah kota.
Kuda itu masih ngebut terus, setelah dekat dengan cahaya lampu itu baru mengendur larinya
sekarang Hui Giok dapat melihat dengan jelas tempat itu memang betul sebuah kota, bahkan cukup
ramai suasananya sebab ditengah malam begini sinar lampu masih terang benderang.
Semenjak berada di Peking, Hui Giok belum pernah keluar rumah, sudah tentu iapun tak tahu kota
manakah yang disinggahi ini. Mereka masuk ke dalam kota kuda dijalankan pelan. Orang itu
menarik tali kendali. Tiba2 Hui Giok merasakan badan orang menempel punggungnya itu lembek
sekali, ia menjadi heran:
"Aneh, ilmu silatnya begini tinggi, kenapa badannya begini lembek?" kuda berhenti di depan
sebuah hotel yang besar, orang itu melompat turun dari kudanya. Hui Giok juga ikut melompat
turun ia di daerah utara, menunggang kuda tentu bukan asing baginya. "Kau mahir naik kuda?"
orang itu bertanya dengan agak heran, tapi sebelum Hui Giok menjawab ia sudah mendahului
melangkah ke dalam hotel itu.
Pelayan hotel umumnya sudah berpengalaman terhadap setiap tamu yang dihadapinya, maka ketika
penunggang kuda itu muncul dengan bajunya yang perlente serta kudanya yang bagus, cepat ia
menyongsong, lalu diiringi tertawanya yang dibuat2 ia berkata:" Hehehe, apakah tuan tamu cari
kamar?" Dengan tak sabar "Paman Leng" mengangguk "Kenapa nyonya tidak ikut masuk?" pelayan
itu bertanya lagi. Kiranya Hui Giok masih berdiri di depan pintu. Dongkol dan geli juga dia
mendengar orang menyebutnya sebagai nyonya namun ia pun tak dapat memberi penjelasan,
terpaksa ikut masuk ke dalam.
Dengan melongo heran pelayan itu mengawasi kaki Hui Giok, rupanya ia heran melihat sepatu yang
dipakai anak muda itu. Mau tak mau paman Leng ikut memandang ke arah yang membuat heran
pelayan tiu, demi melihat kaki dan sepatunya seketika iapun berkerut kening. Hui Giok menyengir
dengan tersipu, baru sekarang dia dapat melihat dengan jelas paman Leng. "Cakap amat orang ini!"
diam2 ia memuji didalam hati. Ternyata paman Leng ini beralis panjang lentik, sinar matanya
bening tajam, mulutnya tidak terbilang kecil tapi bukan mulut yang besar, sedang, begitulah. Malah
hidungnya juga mancung boleh dikatakan jauh lebih cakap dari Hui Giok.
Ketika paman Leng melihat Hui Giok sedang mengawasinya tanpa berkedip, diam2 dia heran,
pikirnya:" aneh benar sikap anak perempuan ini?" bagaimanapun juga tentu tak pernah terpikir
olehnya bahwa gadis yang nyaris diperkosa kaum berandal itu sebenarnya cuma gadis gadungan.
Dalam pada itu si pelayan telah berkata lagi sambil tertawa: "Hehehe, kamar2 kami sudah penuh
semua, hanya tinggal satu, bagaimana kalau kalian ambil saja, kamar itu cukup bersih dan
tenang....."
Ia tidak bicara dengan munduk2 lagi seperti tadi, sedikit banyak pelayan ini sudah melihat ada
sesuatu yang tak beres atas kedua orang tamunya ini, maka sikapnya tidak seramah dulu. "Baik
bawa kami ke atas." Seru paman leng tak sabar. Sedari kecil Hui Giok sudah biasa tidur sekamar
dengan orang lain, maka iapun tidak keberatan atau merasa tak leluasa untuk bermalam dengan si
penunggang kuda yang bernama paman leng ini, ia lupa bahwa dandanannya sekarang adalah
seorang anak gadis, degan sendirinya orang memandang mereka berdua sebagai satu lelaki dan satu
perempuan. Mengapa paman Leng mengajak dia tidur sekamar" Apakah mungkin paman leng
inipun mengidap semacam penyakit aneh.
Baru saja masuk ke kamar, paman leng sudah tak sabar dan mengusir pelayan itu lekas pergi, lalau
sambil mengunci kamar ia berkata:" buka pakaianmu dan lalu tidur, besok pagi2 kita harus
melanjutkan perjalanan lagi!" Hui Giok menjadi kikuk hal ini bukan disebabkan apa2 melainkan
kuatir nanti paman leng bertanya kepadanya mengapa dia mengenakan baju perempuan bilamana
jenis aslinya terlihat. Berbeda dengan paman leng, ia salah artikan kekikukan anak muda itu, ia
berkata dengan tertawa:" Apakah kau malu membuka baju di depanku" Jangan kuatir sebentar lagi
kau akan tahu biarpun telanjang di depanku juga tidak menjadi soal."
Sambil berkata dia lantas mengusap2 mukanya dan melepaskan pakaian sendiri, bukan jubah
luarnya saja yang dicopot, malahan dalam juga ditanggalkan. Waktu itu Hui Giok sedang bingung
apakan harus menjelaskan musibah yang menimpa dirinya atau tidak, tapi ketika ia menengadah
dan menyaksikan pemandangan yang luar biasa itu, seketika jantungnya melompat keluar dari
rongga dadanya. Kiranya setelah buka pakaian, terlihatlah semua anggota tubuh paman Leng
pantatnya yang padat dan payudara yang montok dai ternyata seorang perempuan.
Perempuan itu sama sekali tidak memperhatikan perubahan air muk Hui Giok sambil menggerundel
ia seperti memberi nasihat pula: "Nah, tentu sekarang kautahu apa yang kumaksudkan tadi,
sesungguhnya aku ini bukan lelaki." Setelah mendengus ia menambahkan lagi:" Hm, bila aku ini
lelaki, tentu kau bisa runyam!" semenjak keluar dari rahim ibunya, belum pernah melihat
perempuan bertelanjang bulan dihadapannya, dapat dibayangkan betapa kikuknya Hui Giok
sekarang, jantungnya berdebar seakan2 melompat keluar dari rongga dadanya, muka yang sudah
merah makin membara, ia tertunduk dengan ketakutan, sekejap saja tak berani melirik paman Leng
yang berada dalam keadaan yang mengerikan.
Tiba2 paman Leng tertawa, katanya: "rupanya aku ada jodoh dengan kau! Sejak pertama kali
melihat kau, aku lantas merasa kasihan dan menaruh simpatik pada penderitaan yang kau alami.
Kau hidup sebatangkara dan sering dipermainkan orang, maka kuputuskan untuk menerima kau
sebagai muridku, jangan kau anggap kejadian ini begini mudah dan sederhana, kelak biar kau
ceritakan kepada orang lain akan peristiwa ini, belum tentu mereka mau percaya pada ceritamu."
Hui Giok coba menengadah seketika matanya mendengung dan matanya silau oleh pemandangan
"seram" dihadapannya, merah mukanya menjalar sampai keleher, cepat ia menunduk lebih rendah.
Kiranya sekarang paman Leng betul 100% telanjang bulat tanpa sehelai benang menempel di
tubuhnya, tertampaklah garis tubuh yang indah, payudaranya yang montok, pinggulnya yang
gempal serta pahanya yang mulus dan.......semuanya, menawan dan merangsang.
"kau jangan heran," kembali paman Leng berkata ketika dilihatnya Hui Giok tertunduk jengah
"Sejak kecil aku sudah terbiasa tidur dalam keadaan begini," - ia tertawa, kemudian menambahkan:
"Kau kan sudah dewasa, kenapa malu2 kucing" Hayo lepaskan pakaianmu dan tidur! Sesudah kau
tahu aku adalah perempuan tulen, apalagi yang kau takuti!"
"Pa......paman.....paman leng.....cep...cepatlah ber.....pakaian, aku....aa...aku...aku ini lelaki!" seru
Hui Giok akhirnya dengan gelagapan.
"Apa kau bilang?" teriak paman Leng kaget, pengakuan itu serasa halilintar membelah bumi di
siang hari bolong, ia terhuyung mundur selangkah. "Aku adalah laki2 tulen!" Hui Giok mengulangi
lagi pengakuannya," aku......"
Sebelum kata2 itu selesai diucapkan, paman Leng melompat ke depannya, sebelum Hui Giok
mengetahui apa yang akan dilakukan orang tahu2 badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik lagi.
Secepat kilat paman Leng meraba dadanya tapi blong, dada itu datar seperti lapangan, tanpa
tonjolan barang sedikitpun, jelaslah sudah bahwa perempuan yang disangkanya semula itu memang
sebetulnya seorang lelaki. Merah padam mukanya, kontan tangannya melayang dan "Plak", ia
menghadiahkan suatu tamparan di pipi Hui Giok.
"Kunyuk,! Kau ingin mampus?" bentaknya gusar, "Berani kau permainkan nyonyamu!"
"Siapa permainkan kau?" keluh Hui Giok di dalam hati, dia ingin memberi penjelasan sebab2
kejadian itu, tapi sepatah katapun sukar diucapkan. Paman Leng tundukkan kepalanya, dilihatnya
mata Hui Giok masih melotot ke tubuhnya dia hadiahkan pula sebuah tempelengan lagi, mukanya
berubah makin merah, semerah buah apel yang sudah masak, dengan gerakan paling cepat, ia
menyambar jubah luar dan dikenakannya.
"Kunyuk! Dia mendamprat pula , "Kalau tidak kumampuskan kau, aku tidak perlu disebut Leng
Gwat Siancu lagi!" Bila orang lain mendengar nama Leng gwat siancu dalam keadaan seperti
sekarang, mustahil kalau tidak jatuh kelengar. Kiranya belasan tahun terakhir ini di dunia persilatan
telah muncul seorang jago termashur, orang itu bernama Jian jiu suseng (sastrawan bertangan
seribu), jejaknya misterius dan sukar dijajaki tapi ilmu silatnya hebat luar biasa, apa yang dilakukan
selalu mengikuti suara hati sendiri tanpa mempedulikan apakah orang akan mengatakan
perbuatannya itu sesat atau mulia, tidak juga ada orang yang tahu siapa nama aslinya, sebab belum
pernha ada orang yang melihat wajah aslinya.
Selama ini ia memegang teguh satu prinsip hidupnya yakni: "Bila orang tidak mengganggunya
maka ia pun tak akan menyatroni orang tapi sekali orang cari gara2 padanya, maka jangan harap
kau akan lolos dari cengkeramannya. Setiap orang akan mengacungkan jempol dan menunjukkan
sikap hormat bila membicarakan Jian Ju Suseng, tapi banyak pula yang segan dan ketakutan
mendengar nama besarnya. Leng gwat siancu yang dijumpai Hui Giok ini tak lain istri Jian Ju
Suseng kabarnya ia lebih ganas dari suaminya.
Kemudian entah apa sebabnya suami istri telah bercerai, hubungan antara Leng gwat siancu dengan
Jian ju suseng putus, semenjak itu jejak Jian ju suseng tiba2 lenyap dari dunia persilatan sementara
Leng gwat siancu sendiri makin sering berkelana kesana kemari, jejaknya sukar diketahui, sebab ia
gemar berdandan sebagai laki2 kadangkala sebagai perempuan, siapa berani menyalahi dia berarti
jiwa seseorang bisa melayang setiap saat, maka banyak orang berusaha menghindari sejauh2nya
bila berjumpa dengan dia.
Jangan orang lain dengan kedudukan dan ilmu silat Long heng pat ciang Tham Beng saja air
mukanya juga akan berubah hebat bila membicarakan suami istri itu, maka dapat dibayangkan
sampai dimana kehebatan dan keganasan kedua orang itu. Dan sekarang secara kebetulan Hui giok
jumpa Leng gwat siancu malahan terjadi peristiwa yang sukar diberi penjelasannya, kalau menurut
watak Leng gwat siancu di masa lampau mustahil anak muda itu tak dicabut olehnya.
Rasa menyesal, malu dan tak tenang terpancar dari sorot matanya, namun tidak ada tanda2 akan
memohon dan merengek supaya diampuni, sebab memang begitulah watak anak muda itu,
sekalipun golok dipalangkan di tengkuknya, dia tak akan memohon kepada orang lain biarpun cuma
sepatah kata. Warna merah di wajah Leng gwat siancu belum lenyap kecuali suaminya belum ada yang pernah
melihat tubuhnya dalam keadaan telanjang, malahan beberapa tahun belakangan ini hampir tak
seorangpun yang melihatnya lagi termasuk juga suaminya. Tapi sekarang, seorang pemuda yang
dikenalnya telah memandangnya sampai puas sekujur badannya yang telanjang tentu saja dia marah
tapi entah mengapa tiba2 timbul perasaan lain yang sukar dilukiskan. Perasaan aneh ini justru
membuatnya tidak tenang dan semakin mendorong niatnya akan membunuh Hui Giok, untuk ini
baginya boleh dikatakan sangat mudah, cukup sekali angkat tangan saja, tapi aneh ia merasa sangsi
untuk turun tangan.
Dari pancaran sinar mata Hui Giok ia menemukan semacam ketulusan yang belum pernah
ditemuinya selama ini, ketulusan ini membuat hatinya tergerak. Sejak kecil Leng Gwat siancu hidup
sebatang kara tapi berjiwa angkuh dan tinggi hati, watak semakin aneh lagi setelah ia menikah
dengan Jian Ju suseng.
Cinta suaminya itu ternyata tidak murni, tidak setia, setelah hal ini diketahui olehnya, dengan
membawa kemarahan yang tak terperikan ia minggat meninggalkan suaminya. Sejak perpisahan itu
ia tambah membenci kaum lelaki, ia memandang tiap lelaki yang ada di dunia ini sebagai musuh
besarnya. Tapi sekarang ketika ia menemukan ketulusan sinar mata Hui Giok hatinya goyah
kembali. Maklumlah setiap manusia di dunia ini bisa saja menipu perasaan cinta dari orang lain dengan
pelbagai cara tapi hanyalah perasaan yang tulus akan memperoleh perasaan yang tulus pula. Hanya
ketulusan yang dapat mengharukan orang lain, menggerakan perasaan orang lain. Leng Gwat siancu
telah angkat telapak tangannya keatas tapi entah cara bagaimana, mendadak arahnya berubah tahu2
ia hanya menepuk Giok tin di belakang kepala Hui Giok. Hui Giok menghembuskan napas dalam2
ia tahu jalan darahnya tadi ditutuk orang.
"Sebenarnya siapakah kau?" dengan ketus dan sorot mata yang dingin kembali Leng gwat siancu
menegur. Meski Hui Giok tajhu jalan darahnya tadi tertutuk, tapi ia tak tahu kalau jiwanya bar saja
lolos dari ujung tanduk sebag biasanya teramat sedikit orang yang dapat lolos dari cengkra
Kisah Sepasang Rajawali 11 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Kisah Para Pendekar Pulau Es 4
^