Pendekar Satu Jurus 8

Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Bagian 8


g-heng-pat-ciang Tham Beng
dia berkata, "Tahukah kau, siapa orang itu" Dia adalah pemilik Hui-hong piaukiok Liong-heng-patciang
Tham Beng, Tham tayhiap seorang jago ternama dan dikenal setiap umat persilatan baik
yang berada di tujuh propinsi selatan maupun enam propinsi di utara sungai besar. Tham-tayhiap
mempunyai hubungan persaudaraan yang akrab sekali dengan saudara Hui ini turun temurun, jadi
hubungan mereka sangat erat...."
Ia berhenti sebentar, kemudian sambil menuding Sin-jiu Cian Hui katanya lagi, "Kau tahu siapa
dia" Inilah tokoh ternama dunia persilatan Kanglam khususnya, Sin-jiu Cian Hui, Cian-tayhiap,
pemilik perkampungan Leng hong-sam-ceng."
Lalu dia menuding ke arah Na Hui-heng, "Dan kau tahu siapakah dia" Tujuh macam senjata
rahasianya sudah termashur di dunia, Jit-giau-tui-hun Na Hui hong, Na tayhiap."
Kemudian ia menuding pula Siang It-ti: "Pernah kau dengar si Ayam Emas dan Kanglam yang
sekali berkokok (It-ti) lantas menggetarkan seluruh dunia" Berkokok dua kali mengguncangkan
bumi, Nah ,inilah Kim-keh Siang It-ti, Siang-tayhiap"
Lalu ia menuding sekitar ruangan dan pelahan menuding ke arah Hui Giok, katanya lebih
lanjut: "Cian-cengcu, Na-pangcu, dan Siang-tayhiap telah angkat sumpah sehidup semati dengan
saudara Hui, hahaha, tahukah kau bahwa hubungan mereka luar biasa sekang-- Mendadak ia
berhenti tertawa dan berkata dengan kereng, "Sebelum kau datang kemari untuk bikin
perhitungan, apakah tidak kau selidiki keadaan di sii" Memangnya kau anggap jago2 gagah yang
bernama besar di dunia persilatan ini akan mengizinkan kau mencelakai Hui-taysianseng"
Hehehe... Leng-kok siang-bok memang berilmu tinggi, tapi ... hmm, betapa lihaynya kalian juga
tidak lebih lihay daripada mereka!"
Kedua Leng bersaudara itu agak tergetar juga hatinya, air muka mereka berubah kedua orang
itu saling pandang sekejap.
Bun-ki merasa lega melihat keraguan kedua orang aneh itu, tapi belum habis rasa leganya, Hui
Giok telah busungkan dada dan berkata dengan lantang, Ayah yang utang, anak yang bayar kakak
yang utang adik yang bayar. Hubungan antara guru dan murid seperti juga hubungan antara orang
tua dengan anak, maka bila guru yang utang adalah sewajarnya muridnya yang membayarkan.
Kalau benar guruku telah berbuat salah kepada Cianpwe berdua sekalipun aku tak becus, biarlah
aku yang memberikan pertanggungan-jawabnya. Cianpwe tak perlu kuatir, aku tak akan minta
bantuan orang lain dalam persoalan ini."
"Kau... kau... " Bun-ki berseru dengan gugup, Hanya kata-kata itu saja yang bisa diucapkan
meski tidak diteruskan kata-katanya, tapi siapapun tahu apa yang hendak diucapkannya.
Hui Giok menghela napas panjang, "Bun-ki, aku tahu maksudmu sekalipun tidak kau
terangkan..." katanya dengan lugu, "Saudara Go, akupun berterima kasih atas kebaikanmu selama
hidup aku, selalu hidup sengsara dan kesepian, sampai kemarin dulu, berkat kebaikan Suhu
dapatlah kubelajar ilmu, sekalipun sekarang aku harus mati, tak nanti kulakukan sesuatu yang
memalukan Suhu sepanjang hidup aku selalu lemah, bukan saja tak dapat berbakti kepada orang
tua, akupun tak dapat berbakti bagi muat manusia!"
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir itu suaranya berubah menjadi sangat lirih seperti
bergumam sendiri, sesaat kemudian dia melanjutkan dengan lantang, "Tempat ini adalah ruangan
perjamuan, tidak pantas kalau kita cucurkan darah di sini, kalau kalian berdua ingin berkelahi akan
kulayani di luar saja."
Biasanya dia selalu bersikap baik kepada orang lain, membalas kejahatan dengan kebaikan,
bila orang lain berbaik hati padanya, ia merasa berterima kasih, kalau orang lain menganiaya dia
ia pun tak pernah dendam.
Tapi lantaran kebaikan hatinya ini, orang lain justeru menganggap sebagai kelemahan pemuda
itu. Baru sekarang setelah mengalami beberapa kejadian yang sama sekali tiada sangkut-paut
dengan dirinya. dia memperlihatkan sikap yang lunak di luar dan keras di dalam, sikap tegas
seakan-akan kepala boleh putus, darah boleh mengalir tapi pantang menyerah dengan begitu
saja. Bun-ki termangu-mangu, hati terasa pedih tapi juga bangga dan terharu Demikian pula dengan
Go Beng-si, saking terharunya sampai tak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Sin-jiu Cian Hui pun merasa kaget dan tercengang kawanan jago lainnya juga merasa kaget,
sampai Liong-heng pat-ciang yang keren juga seperti tersenyum.
Ko-bok dan Han-tiok saling pandang sekejap kemudian berkata dengan dingin "Bagus... bagus
sekali. mari kita bertarung di luar."
Tanpa membuang waktu lagi mereka terus putar badan dan melangkah ke luar melalui
samping ke empat Mo bersaudara.
Hui Giok lantas berseru dengan lantang, "Kepergianku ini, baik mati atau hidup adalah urusan
pribadiku sendiri bila ada orang membantu, maka..."
Belum habis berkata, tiba2 terdengar Jit-sat Mo Seng menjerit, tubuhnya yang kurus itu
mengikuti jeritanya terus mencelat ke atas dan menumbuk atap rumah, lalu jatuh ke bawah. "brak"
persis menimpa di atas meja perjamuan.
Seketika cawan dan mangkuk pun pecah berantakan jeritan kaget berkumandang di sana-sini,
menyusul kemudian meja bundar itupun ambruk, tubuh Jit-sat Mo Seng di atas meja sudah kaku
dan tak bergerak lagi.
Perubahan kejadian ini sangat tiba2 dan membuat kawanan jago menjadi kaget.
Dalam waktu singkat bayangan orang berpencaran, semua orang berusaha menyelamatkan
diri suasana rada panik.
"Jit-te, kenapa kau?" teriak Pak to-jit-sat lainnya dengan kaget, suasana lalu tenang kembali.
Ketiga Mo bersaudara berbareng memburu maju Sin jiu Cian Hui, Jit giau tui hun Na Hui hong,
Kim keh Siang It ti, Jit giau tongcu Gu Beng-si serta Tonghong-ngo-hengte dan Hui lem po, Leng
hong-pat ciang Tham Beng dan puterinya, serentak juga merubung maju.
Leng kok siang bok berdiri telah menghentikan langkahnya dan memutar badan, lalu berdiri
berjajar di depan pintu.
"Inilah yang dinamakan keadilan!" ucap mereka sepatah demi sepatah.
Dari sekian banyak jago yang hadir, sembilan puluh persen tak sempat melihat jelas dengan
cara apakah Jit-sat Mo Seng dikerjai orang, setelah mendengar ucapan tersebut mereka baru
mengerti: "O, rupanya hasil perbuatan Leng-kok-siang-bok!" Di depan mata sekian banyak orang
ternyata Leng-kok-siang-bok sanggup membinasakan seorang jago lihay tanpa dilihat orang lain,
sungguh luar biasa.
Kawanan jago itu kaget bercampur ngeri, beratus pasang mata pun sama-sama terpusat ke
wajah Hui Giok, meskipun ada yang menguatirkan nasibnya, ada pula yang ingin tahu apakah
pemuda itu tidak menjadi ngeri oleh peristiwa tadi.
Bun-Ki diam-diam menghampiri Hui Giok, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak jadi
akhirnya dia tunduk malu-malu.
Air muka Liong heng-pat ciang Tham Beng tampak prihatin, dengan dingin ditatapnya Cian Hui
sekejap, sedang Tonghong-ngo-hengte sama sekali tidak menunjuk reaksi apa-apa.
"Leng-kok-siang-bok!" Sin-jiu Cian Hui segera berseru dengan dahi berkerut, "meskipun nama
besarmu termashur di dunia persilatan, tapi..." ia berhenti sejenak, empat jarinya mengepal ibu
jarinya menghadap ke atas lalu menuding ke tanah, lalu katanya lagi dengan keras "Hari ini kalian
mengganas di Long-bong-san-ceng, tidak nanti orang she Cian membiarkan kalian pergi dengan
hidup!" Perkataannya singkat tapi berwibawa matanya melotot dan rambutnya seakan-akan menegak,
jelas kemarahannya telah memuncak, bersamaan dengan selesainya perkataan itu suara terompet
berkumandang dan empat penjuru dan menggema di angkasa.
Air muka Leng-kok-siaug-bok yang dingin tetap kaku tanpa perubahan mereka masih tetap
berdiri berjajar, seakan-akan tak mendengar perkataan lawannya.
Sekejap mata dari luar tiba-tiba bermunculan ratusan orang berbaju ringkas warna hitam,
semuanya membawa busur dan panah, kemunculan ratusan orang ini bukan saja sangat cepat
bahkan sama sekali tidak menimbulkan suara.
Dan sekian banyak jago persilatan yang berada dalam ruangan, ada yang sudah berdiri ada
pula yang masih duduk, tapi semua membungkam tak ada yang bersuara tak ada yang bergerak,
yang kedengaran cuma dengusan napas dan debaran jantung.
Di tengah keheningan yang mencekam, pelahan ketiga Mo bersaudara bangkit berdiri, mereka
berpaling ke arah Cian Hui, lalu menggeleng kepala tanpa berkata-kata, mereka sedang
mengumumkan kematian Mo Seng. Enam larik sorot mata yang dingin serentak dialihkan ke wajah
Leng-kok siang-bok.
Sin-jiu Cian Hui menghampiri mayat Jit-sat Mo Seng dengan dahi berkerut ia termenung
sebentar akhirnya tangannya diulapkan dan dua orang laki-laki segera tampil ke depan untuk
menggotong pergi mayat itu.
Setelah mayat digotong pergi, setajam sembilu dia menatap Leng-kok siang-bok kemudian
bentaknya dengan lantang "Semua umat persilatan yang tergabung dalam perserikatan Kanglam
hiap ini bersumpah tak akan hidup berdampingan dengan Leng-kok-siang-bok apa kalian ingin
kabur?" Leng-kok-siang-bok sama sekali tidak nampak jeri menghadapi suasana yang gawat itu
mereka tetap berdiri tenang, Bahwa mereka berdua memiliki nama yang tersohor di dunia
persilatan, sudah tentu mereka bukan orang bodoh, mereka tahu sikap yang gugup hanya akan
memancing sikap lebih garang dari pihak musuh maka mereka tetap renang untuk menghadapi
segala kemungkinan yang akan terjadi.
Pelahan, dia menengadah memandang sekejap kawanan jago yang hadir itu meskipun orang2
itu menunjuk sikap tegang, ternyata tak seorang pun tampak sedih atau menyesal, seakan2 orang
yang baru saja tewas tak lebih hanya seorang manusia biasa yang asing bagi mereka se-olah2
yang mati bukan saudara seperserikatan yang baru saja ber sama2 meneguk arak darah.
Sin-jiu Cian Hui berdiri sambil mengepal meskipun dia sedang menantikan reaksi Leng koksiang
bok, tapi siapa pun tahu dia takkan menunggu terlalu lama, karena sekujur badannya kini
sudah penuh diliputi kemarahan apalagi dengan jelas dia berada dalam posisi yang
menguntungkan .
Orang yang posisinya lebih menguntungkan biasanya lebih suka melakukan serangan
daripada menunggu diserang, cuma kemarahannya hanya lantaran Leng-kok-siang-bok telah
menyinggung nama baiknya, jadi tiada sangkut pautnya dengan kematian Jit-sat Mo Seng.
Seandainya tempat kejadian ini bukan di Long bong san-ceng dan tidak berlangsung di
hadapan orang-orang yang hendak dikuasainya, seandainya dia tidak merasa posisinya
menguntungkan sekali pun seluruh anggota Pak-to-jit-sat dibantai orang juga dia tidak
memperdulikan. Diam-diam Hui Giok menghela napas panjang tiba-tiba ia memahami betapa berharganya
kehidupan, ia merasa nilai dan suatu kehidupan bukan terletak pada kejayaan dan kemuliaan yang
didapatkan semasa hidupnya, tapi masih banyak hal lainnya yang harus disayang.
Hal-hal ini mungkin tak akan dihargai Sin-jiu Cian Hui Pak to jit-sat, bahkan semua jago
persilatan yang memenuhi ruangan tersebut tapi hal ini telah mengalir dengan halus masuk ke
dalam hati Hui Giok yang penuh kelembutan, kebajikan dan kemuliaan itu.
Air mukanya tiba-tiba berubah menjadi begitu tenang, begitu aman, dengan langkah yang
tenang juga dia menghampiri Leng-kok-siang-bok, kemudian tegurnya, "Mari kita keluar"
Tapi mendadak Sin-jiu Cian Hui membentak "Tunggu sebentar!"
"Kenapa?" Hui Giok berpaling dengan tenang.
"Apakah tidak kau dengar apa yang kukatakan tadi?" teriak Cian Hui dengan berang.
Hui Giok tersenyum. "Apa yang kau ucapkan tadi telah kudengar dengan jelas."
Sin-jiu Cian Hui segera membusungkan dada jelas dia merasa gembira karena perkataannya
mendapat perhatian Tapi Hui Giok segera melanjutkan kata-katanya, "Tapi, apakah kau lupa,
sampai detik ini aku masih tetap Bengcu kalian!"
Hati Sin-jiu Cian Hui bergetar keras, ucapan Hui Giok yang tenang itu seakan-akan sebuah
cambuk yang tiba2 melecut mukanya dan membual dia menyurut mundur selangkah.
Hui Giok tersenyum, dia memandang sekejap pula ke arah semua orang, ujarnya lebih lanjut
"Menurut apa yang kuketahui setiap orang yang tergabung dalam perserikatan Kanglam
seharusnya menghormati setiap pendirian Bengcunya, bila ada yang membangkang maka kau
Sin-jiu Cian Hui adalah pelindung sang Bengcu, begitu bukan?"
Biasanya dia selalu dipermainkan oleh nasib yang malang, menderita dan tersiksa oleh
kesulitan hidup, hal mana membuat kecerdikannya jadi terpendam. Tapi sekarang, seperti ujung
pisau telah merobek pembungkusnya, kecerdikan yang selama ini tertutup tiba2 muncul,
ucapannya yang tajam ini mengejutkan semua orang, dan kekuatan ucapannya itu seperti godam
yang menghantam dada setiap orang.
Sin-jiu Cian Hui terpukul oleh ucapan itu, sinar matanya yang kelabu kehijau-hijauan tampak
meredup, itulah sorot mata serigala kelaparan, ia memandang sekeliling ruangan, terlihatlah liong
heng-pat-ciang duduk dengan dahi berkerut dan senyuman menghiasi bibirnya, demikian pula
dengan Tonghong-ngo-hengte, mereka sepertinya sayang atas kecerdikan Hui Giok.
Kim-keh Siang It-ti terbelalak heran, tapi sinar matanya memancarkan sinar seperti orang yang
gembira melihat orang lain tertimpa malang. Sikap kawanan jago lainnya juga tidak banyak
berbeda, hanya Jit-giau tui hun Na Hui liong yang sedang mengawasi Mo suhengte rupanya dia
sedang memikirkan sesuatu.
Tiga Mo bersaudara sendiri bukan saja gusar, mereka pun sedih, meskipun juga tidak kurung
rasa herannya. Sinar mata Tham Bun ki kelihatan mencorong seperti merasa bangga, bahagia dan gembira
tapi juga merasa kuatir.
Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang tak dapat mengendalikan rasa girangnya, setelah
melihat teman yang semula dicemooh dan dihina sekarang ternyata dihormati, dia tahu perjalanan
hidup yang tampaknya sederhana ini entah sudah berapa banyak penderitaan yang dialaminya
selama ini. Mendadak Cian Hui bergelak tertawa sambil mengelus jenggotnya, katanya "Hui taysianseng
telah menjadi Bengcu toako kita, mana bisa orang she Cian melupakannya, bukan saja tidak lupa,
bahkan barang siapa melupakan hal ini, aku orang she Cian yang akan mengingatkan dia, "
Begitu gelak tertawanya berhenti secepat kilat telapak tangannya menyapu ke samping,
segulung angin pukulan yang kuat menghantam sebuah kursi di sampingnya "brak" kursi itu
hancur lebur seketika.
Dengan alis menegak, Cian Hui berkata sepatah demi sepatah "Ya, akan kuperingatkan dia,
agar sampai mati pun tidak melupakannya"
Hui Giok tertawa hambar. "Kalau begitu, sebelum urusanku dengan Leng-kok-siang bok
diselesaikan maka urusan lain untuk sementara harus ditunda dahulu dan persengketaanmu
dengan Leng kok-siang-bok hanya boleh diselesaikan olehku dan mereka."
Sin-jiu Cian Hui memandang sekejap sekelilingnya, kawanan jago mulai ribut lagi Bun-ki
berseru kuatir, sedangkan ketiga Mo bersaudara menjadi murka.
Di tengah kehebohan, mendadak terdengar suara bentakan menggelegar "Perintah Bengcu,
barang siapa berani membangkang akan dihukum mati" Ketika Sin-Jiu Cian Hui mengulapkan
tangannya, tiba-tiba saja kawanan laki-laki baju hitam yang bermunculan dari empat penjuru tadi
serentak rnengundurkan diri dari situ tanpa suara.
Selama itu air muka Leng-kok stang hok tetap dingin dan kaku, seakan-akan apa yang terjadi
di depan matanya sama sekali tak ada hubungannva dengan mereka.
Sorot mata ketiga Mo bersaudara yang penuh diliputi kebencian dan kegusaran itu melotot dari
ke arah Sin-jiu Cian Hui beralih ke wajah Hui Giok dan silih berganti, namun Cian Hui berlagak
seolah-olah tak tahu.
"Hui-taysianseng!" dia malah berkata dengan hormat, "kalau engkau telah memutuskan
demikian aku orang she Cian akan menantikan kedatanganmu kembali di sini!"
Dari nada ucapannya itu, dia memandang Bengcunya ini seakan-akan hendak pergi bermain
dengan dua orang anak nakal, hanya sebentar saja dia akan kembali lagi. Padahal dia tahu
kepergian Hui Giok ini tentu takkan kembali lagi, sebabnya dia berbuat demikian karena sekarang
ia sudah ngeri menghadapi pemuda yang biasa tapi tolol ini, dia takut memelihara harimau
mengundang bencana buat diri sendiri maka kalau bisa dia akan meminjam tangan Leng-kok
siang-bok untuk melenyapkan bibit bencana itu.
"Silahkan Cianpwe berdua," Hui Giok putar badan sambil menjura kepada Leng-kok-siang-bok!
Meski sinar matanya tiada rasa takut, namun ia pun tak berani beradu pandang lagi dengan
kelembutan sinar mata Tham Bun-ki.
Bun ki memandangnya dengan termangu hingga pemuda itu menuruni undak-undakan batu,
tiba-tiba sambil menggigit bibir ia duduk di samping ayahnya dan tidak memandang lagi ke arah
pemuda itu. Antara cinta dan bencj hanya selisih amat sedikit, makin dalam rasa cintanya makin besar pula
rasa bencinya, gadis yang kasmaran ini sedang berpikir tiada hentinya, "Kau tidak merasa berat
meninggalkan aku, memangnya aku harus mencintai dirimu mati-matian?"
Liong-heng-pat-ciang melirik putrinya sekejap dan diam-diam menghela napas, kembali ia
pandang bayangan punggung Hui Giok.
Sesudah Hui Giok tiba di halaman, Leng-kok-siang-bok baru mulai beranjak, selama ini
tatapan mata mereka tak pernah bergeser dari ketiga Mo bersaudara, Mereka tersenyum
mengejek, lalu sambi, mengebaskan lengan baju mereka menyusul ke tempat Hui Giok.
Mo-si-hengte bukan orang bodoh, tentu saja mereka memahami senyum menghina Leng-koksiang-
bok, yaitu karena mereka bertiga meskipun berhadapan dengan musuh yang membunuh
saudaranya tidak ada seorang pun yang berani maju untuk melakukan pembalasan.
Senyum menghina itu seketika membangkitkan rasa marah dan benci mereka demikian
kuatnya dorongan tersebut sehingga Mo-si-hengte betul-betul tak tahan lagi.
Agaknya Sin jiu Cian Hui juga merasakan gelagat itu, cepat ia memburu ke hadapan mereka
dan berkata dengan suara tertahan, "Bilamana Leng kok-siang-bok tak sampai mati di tangan Huitay
sianseng, aku bersumpah akan membalaskan dendam Mo-heng"
Ia berhenti dan tiba-tiba bersenyum hambar, lalu melanjutkan. "Bila Hui-taysianseng yang
menang, berarti Bengcu telah membalaskan dendam bagi kalian mi kan sama saja!"
Mo-si-hengte saling pandang sekejap lalu menghela napas dan menundukkan kepala,
terhadap Hui Giok mereka telah menaruh rasa kagum dan hormat sebab mereka mulai merasakan
kelemahan mereka sendiri, mereka pun tak mengira ada orang yang memandang soal mati-hidup
sebagai suatu kejadian yang tak berarti.
Nama besar Pak-to jit-sat tak mungkin berkembang lagi di dunia persilatan sebab sekarang
beratus-ratus pasang mata telah menyaksikan kelemahan mereka.
Dengan wajah berseri Sin-jiu Cian Hui lantas berpaling kembali, ia memerintahkan anak
buahnya untuk menyiapkan perjamuan baru, tapi Mo si hengte berjalan keluar dengan lesu untuk
membereskan layon saudaranya yang telah tiada.
Jit giau tui-hun Na Hui-hong tiba-tiba berlalu, hubunganku dengan Mo Jit cukup akrab, aku
akan menghadiri pemakamannya!"
Tanpa menunggu jawaban Cian Hui dia terus menyusul Mo-si-hengte keluar Memang cerdik
orang ini, dia telah manfaatkan kesempatan ini untuk menarik simpati Mo-si-hengte, sebab dia
cukup kenal mereka bertiga, sekalipun memiliki kelemahan toh ketiga orang ini tetap merupakan
suatu kekuatan yang tak boleh dianggap enteng.
Perserikatan Kanglam sudah terbentuk. Hui Giok tentu takkan kembali dengan hidup,


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukankah itu sama artinya bahwa Sin-jiu Cian Hui otomatis akan menggantikan jabatannya
sebagai Kang-lam Bengcu"
Maka dia hanya tertawa dingin menyaksikan gerak-genk Na Hui-hong itu dan tak dipikirnya di
dalam hati. Dengan rasa puas dia menengadah kebetulan Liong heng pat-ciang Tham Beng sedang
memandangnya dengan tersenyum seperti dapat menerka isi hatinya.
Mendadak Jit-giau-tongcu Go Beng-si berlari keluar ruangan itu, cepat Sin Jiu Cian Hui
berdehem, segera bayangan orang berkelebat di halaman luar, laki2 baju hitam dengan busur di
tangan serentak muncul dan mengarahkan busurnya ke tubuh musuh, hal ini membuat Go Beng-si
jadi kaget. "E--h, apa2an kalian ini?" bentaknya sambil berpaling.
"Hehehe, masa kau tidak dengar perintah Hui taysianseng tadi" Kalau Bengcu telah memberi
perintah dan melarang orang lain turut campur urusannya, maka hendaknya Go heng tetap tinggal
di sini saja."
Tonghong-hengte saling berpandangan, sinar mata mereka menyala-nyala, jelas merasa tak
puas atas kejadian itu, tapi Go Beng si tidak melakukan perlawanan, sambil menghela napas dia
malah berkata "Aku keluar tidak untuk membantunya aku hanya ingin menyampaikan pesan agar
dia jaga diri baik-baik"
"Hahaha, kau anggap Bengcu itu orang macam apa" Masa dia tak tahu menjaga diri?" Cian
Hui bergelak, "Saudara Go, tidakkah kau saksikan betapa lihaynya kungfu Bengcu waktu
demontrasi tadi" Belum tentu Leng-kok-siang bok berdua sanggup menahan sepuluh
gebrakannya, mari-mari kita harus minum secawan arak untuk kesuksesan Bengcu kita!"
Meskipun ia angkat cawan dan mendahului menenggak isinya sampai habis, dalam hati diamdiam
ia berpikir, "Hoa Giok wahai Hoa Giok, bagiku seluruh berita yang pernah kau jual selama
hidupmu jika digabungkan menjadi satu belum tentu lebih berharga daripada sebuah berita yang
kau beri menjelang ajalmu, sebab kau telah memberi tahu kan suatu rahasia maha besar
kepadaku, yaitu meski Hui Giok memiliki ilmu silat yang lihay, namun kemahirannya hanya satu
jurus. Hahaha . apabila ia mahir beberapa jurus lagi, mungkin akupun tak tahu cara bagaimana
harus menghadapinya?"
Ketika anak buahnya menuangi lagi isi cawannnya, ia rnenenggak pula hingga habis pikirnya
dengan bangga, "Hoa Giok wahai Hoa Giok tahu kah kau secawan arak ini sengaja kuperuntukkan
untuk menghormati kau?"
Kehidupan Koay-sim Hoa Giqk selama ini hanya biasa dan terhina tapi sepanjang hidupnya
ada satu hal yang patut dihargai, seandainya setelah mati dia tahu, tentu arwahnya akan bangga
karenanya. Sebab selama dia hidup dengan menjual berita, kendati ada berapa berita tidak tergolong
penting, namun belum pernah ada satu berita yang merupakan isapan jempol, setiap beritanya
adalah berita nyata seperti juga orang lain menyerahkan uang perak yang nyata kepadanya.
Dia terhitung seorang cerdik, kalau tidak mana mungkin ia pilih pekerjaan yang aneh dan unik
ini. Tapi, meski dia pintar, tak pernah tersangka bahwa empat huruf yang diukirnya menjelang
kematiannva bisa dipandang begitu berharga oleh Sin jiu Cian Hui, padahal dia melakukan hal itu
hanya dikarenakan kebiasaan dalam pekerjaannya itu kebiasaan membocorkan rahasia orang
lain. Suatu kebiasaan yang tak berubah sampai akhir hayatnya, hal ini membuktikan betapa setia
dan cintanya terhadap profesinya itu, maka setelah mati ia pun pantas mendapat penghargaan
sebagai seorang tokoh kecil seperti dia ini.
"Cuma Bisa Satu Jurus!" empat huruf itu memang suatu kenyataan," cuma dia tak tahu cara
bagaimana Hui Giok mendapat pelajaran ilmu silat yang hebat itu.
Untuk mengetahui duduk persoalannya, marilah kita mundur lebih dulu untuk mengisahkan
kejadian itu. ooOoo ooOoo Malam yang kelam, angin berembus sepoi, rembulan memancarkan sinarnya yang redup
menyinari bumi raya yang sunyi ini.
- oO - Kejadian itu berlangsung pada malam kedua setelah Hui Giok berjumpa dengan Leng-kok
siang-bok Tham 8un-ki serta Kim tong-giok li.
Menjelang kentongan ketiga (tengah malam), karena kemurungan dan rasa rindu Tham Bun ki
maka Leng-kok-siang bok dengar gusar datang mencari Hui Giok.
Hui Giok justru selalu ingat pada pesan Kim-tong-giok li sebelum pergi, diam-diam ia ngeluyur
ke taman, tentu saja terjadi pertemuan yang tidak menyenangkan, dengan kesima Hui Giok
mendengarkan teguran dan makian Leng kok-siang bok tapi ia tak dapat ikut mereka pergi
menengok Tham Bun-ki yang sakit, sebab janjinya dengan Kim tong giok li berlangsung lebih
duluan, karena sikapnya itu semakin menggusarkan Leng-kok siang-Bok.
Leng-kok-siang bok adalah manusia yang berwatak aneh dan tinggi hati mereka tak suka pada
sikap membangkang pada perintah mereka dalam gusarnya mereka segera menggunakan
kekerasan. Tapi, sebelum apa yang mereka harapkan terkabul, kungfu mereka telah ketemu batunya
dengan kungfu orang lain.
Bagaimana pun kungfu Kim-tong-giok-li jauh lebih hebat daripada mereka, maka mereka telah
ditawan oleh Kim tong-giok-li dalam sebuah gua yang terpencil. Di dalam gua itu pula Kim-tong
giok-li melaksanakan pesan Leng-gwat-sian-cu, yaitu menyerahkan sejilid kitab tipis kepada Hui
Giok. Lalu merekapun mewariskan tujuh jurus ilmu silat kepada pemuda itu.
Tetapi, oleh karena ketiga macan ilmu silat itu terlalu sulit bagi Hui Giok yang tidak memiliki
dasar yang kuat, maka sebelum pertemuan Bengcu-tay hwe diselenggarakan, dia baru sempat
menguasai satu jurus, sedangkan Kim-tong giok-li juga lantaran ada urusan penting harus
meninggalkan Kanglam.
Meskipun mereka belum menerima Hui Giok sebagai muridnya, tapi Hui Giok yang
berperasaan itu sangat berterima kasih dan menghormati mereka melebihi seorang murid
umumnya terhadap sang guru.
Sebelum berpisah Hui Giok juga menanyakan tentang diri Leng-gwat-siancu, tapi jejak
perempuan itu sukar diikuti, seperti kabut yang mengambang diangkasa, bahkan Kim tong-giok-li
juga tidak tahu.
Ketika Hui Giok bertanya asal-usul dan suka-duka apa yang diakui perempuan itu, Giok li yang
periang dan suka berterus terang itu mendadak ikut sedih dan sukar menjelaskan.
"Suatu hari kau akan mengetahui sendiri selesai mengucapkan kata-kata itu, laki-perempuan
yang aneh itupun berlalu dan lenyap dalam kabut pagi yang menyelimuti udara, tertinggal di dalam
gua Leng-kok-siang-bok yang tertutuk jalan darahnya serta Hui Giok yang diliputi tanda tanya.
Tidak lama kemudian jalan darah Leng-kok- siang-bok yang tertutuk akan bebas dengan
sendirinya, tapi macam-macam tanda tanya yang menyelimuti benak Hui Giok entah kapan baru
akan terjawab"
Namun hasratnya yang besar untuk belajar ilmu silat membuat pemuda ini di sepanjang jalan
terus berlatih kungfu yang baru saja didapatnya itu.
Akibatnya Koay-sim Hoa Giok telah menggunakan kematiannya untuk mendapatkan berita
yang paling berharga yang pernah diperolehnya selama hidup, yaitu, "Cuma bisa satu jurus"
Semua ini benar-benar rahasia, kecuali Sin-jiu Cian Hui sendiri boleh dibilang tak ada orang lain
yang mengetahui hal ini.
OoO ^ o ^ OoO Begitulah suasana dalam ruangan sedang hiruk pikuk, di antara pembicaraan yang
bersimpang siur ada yang sedang menduga asal-usul perguruan Beng cu mereka Huitaysianseng,
ada pula yang diam2 bertaruhan untuk menjagoi siapa yang bakal menang dalam
pertarungan antara Leng-kok-siang-bok melawan Hui-taysianseng.
Sin-jiu Cian Hui yang menyaksikan semuanya itu diam-diam tertawa dingin, "Hehe Hui Giok
pendekar satu jurus jangankan melawan Leng kok-sian-bok, melawan siapa pun dia juga cuma
satu jurus, orang yang bertaruh menjagoi Hui Giok mungkin orang dungu atau sinting,"
Berpikir sampai di sini, dia memandang sekejap sekeliling ruangan, sambil terbahak-bahak
katanya: "saudara Na, saudara sekalian kenapa tidak minurn arak" Apakah kalian menguatirkan
keselamatan Hui-taysianseng" Hahaha...keliru... keliru besar... keliru besar."
Setelah mengulangi kata itu sampai detik ini hui taysiansing mungkin tidak setenar nama Leng
kok siang bok, tapi boleh kalian buktikan kungfu Hui taysianseng tadi, hahaha, Mekipun aku juga
tak tahan sampai tiga gebrakan!"
Di mulut ia berkata begitu, di dalam hati dia merasa geli, pikirnya. "Sayang dia cuma bisa satu
jurus, coba kalau menguasai enam tujuh jurus, mungkin aku betul-betul tak mampu melawannya."
Dia sengaja busungkan dada dan tertawa, katanya lagi, "Apabila ada orang yang kurang
percaya akan kemampuan Hui-taysianseng, aku orang she Cian berani bertaruh dengan dia!"
Baru habis berkata, seorang laki-laki baju hitam yang berdiri di belakangnya segera lari masuk
ke dalam, sejenak kemudian dia muncul kembali dengan membawa satu nampan penuh uang
emas yang berkilauan, emas itu diletakkan di depan Cian Hui.
Emas yang bertumpuk di atas nampan itu sedikitnya ada dua-tiga puluh potong, padahal tiap
potong sedikitnya seberat sepuluh tahil, kalau di jumlahkan keseluruhannya maka tidak sedikit
nilainya, tentu saja semua orang sama melengak.
Namun tak seorang pun berani menerima tantangan Sin jiu Cian Hui tersebut sekalipun
mereka tahu Hui Gtok pasti kalah, apalagi sampai sekarang belum ada yang mengetahui sampai
dimanakah kungfu Hui-taysianseng yang sebenarnya.
Dengan sorot mata yang tajam, Sin-jiu Cian Hui menyapu pandang sekeliling ruangan, ia dapat
menebak jalan pikiran orang-orang itu maka sambil tertawa kembali katanya, "Hahaha, aku
memang keterlaluan masa dengan jumlah taruhan yang tak berarti hendak mengganggu
kegembiraan minum arak kalian?"
Kepada anak buahnya yang ada di belakang dia lantas membentak: "Budak yang tak tahu diri
ambil lagi yang banyak sebagai hadiah hiburan para pahlawan setelah minum arak"
Laki-laki baju hitam tadi mengiakan dan berlari pergi pula, sepanjang peristiwa ini berlangsung
Liong-heng-pat-ciang dan Tonghong-hengte hanya menyaksikan dengan dingin, sedangkan Tham
Bun-ki dan Go Beng-si juga mengikuti tingkah pola tuan rumah itu dengan tak acuh.
Sesaat kemudian. muncul empat orang laki2 baju hitam, masing-masing membawa satu
nampan uang emas yang berkilauan tertimpa cahaya lampu.
"Hahaha, jumlah yang tak seberapa, harap jangan ditertawakan!" Sin-jiu Cian Hui lantas
berseru. Liong heng-pat-ciang berdehem, tiba2 ia berkata, "Ciong-yang, kemari !"
Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang yang duduk semeja dengan Tonghong Kiam, Tonghong Ceng,
Tonghong Kang dan Tonghong Ouw segera mengiakan dan memburu ke depan.
"Ciong-yang, apakah kau membawa uang?" tanya Tham Beng dengan perlahan, namun cukup
menggetarkan setiap orang persilatan yang hadir.
Suasana mulai gaduh, helaan napas dan suara berbisik-bisik memenuhi ruangan. Tapi sekejap
kemudian suasana kembali jadi hening pula.
Mula-muia Sin-jiu Cian Hui agak tertegun lalu sambil terbahak-bahak serunya "Thamlopiautau,
apakah engkau juga tertarik akan taruhan ini?"
"Entah Cian-cengcu mengizinkan aku ikut serta dalam permainan yang menarik ini atau tidak?"
Liong-heng-pat-ciang balas bertanya sambil tersenyum .
"O, tentu . tentu saja," meski Cian Hui tetap bersenyum, dalam hati ia tak menyangka kalau
Liong-heng-pat-ciang bisa ikut dalam pertaruhan ini. ia berpikir pula "Ya. sekalipun kalah juga tak
mengapa" Tanpa terasa ia melirik juga kelima nampan uang emasnya itu dengan perasaan berat.
Sementara itu Liong-heng-pat-ciang telah menyambut setumpuk uang kertas dari Koay-be-sinto
Kiong Cing-yang, dia melolos dua lembar uang kertas itu, sambil memandang lagi uang emas di
meja, katanya dengan tersenyum, "Kurs uang emas dan perak sekarang kan lima banding satu
bukan." "Betul! Betul!" sahut Cian Hui.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tersenyum.
Kiong Cing-yang memberi hormat dan ikut bicara.
"Menurut taksiran, setiap nampan uang emas milik Cian-cengcu itu berjumlah dua ratus empat
puluh tahil, semuanya kalau ditotal jadi seribu dua ratus tahil emas, bila kita kurskan dalam uang
perak sama dengan enam ribu tahil tepat bukan!"
"Hahaha, Kiong-piautau memang bermata tajam serta perhitungan yang tepat." kata Cian Hui
sambil terkekeh-kekeh. "Hehehe kukira untuk jabatan kasir Hui-hong-piaukiok seharusnya
diangkat Kiong-heng."
Habis berkata, dengan pandangan menghina ia melirik sekejap lengan Kiong Cing-yang yang
buntung, kemudian ia tertawa terbahak bahak.
Air muka Koay-be sin-to Kiong Cing-yang berubah hebat, tanpa mengucapkan sepatah kata
pun dia mengundurkan diri dari situ, semenjak itu dendamnya pada Sin-jiu Cian Hui makin
menghebat. Tham Beng lantas tersenyum dan berkata pendapat Cian-heng memang bagus orang
yang cacat biasanya jauh lebih baik daripada orang yang berotak bebal, Cing-yang, kau musti
mengucapkan terima kasih atas pujian Cian-cengcu ini.
"Hahaha, . . .tidak berani... tidak berani . "
Si Tangan Sakti ini sebenarnya hendak menyindir lagi, tapi seketika tidak berhasil menemukan
kata-kata yang cocok, maka ia pun membungkam.
"Nah, inilah uang kertas dan Hui-hong nilai nominalnya enam ribu lima ratus tahil, silakan Ciancengcu
periksa!" kata Tharn Beng lagi sambil tertawa dan menyodorkan dua lembar cek itu ke
tangan Cian Hui.
"Hahaha, kupercaya tak bakal salah lagi!" kata Cian Hui sambil tertawa, ia menerima kedua
lembar cek itu dan ditindih di bawah tumpukan emas, lagaknya scakan-akan dalam pertaruhan
tersebut dia yang pasti menang.
Sambil tertawa lalu dia berkata lagi, "Kecuali Tham-lopiautau yang tertarik akan pertaruhan ini,
apakah masih ada saudara lain. ."
jilid ke- 12 Belum habis kata-katanya tiba-tiba Tonghong Tiat menyela, "Aku jadi gatal tangan melihat per
taruhan ini."
Cian Hui tertegun, tapi segera ia tertawa: "Tonghong-tayhiap hahaha bagus! bagus sekali!"
"Siaute tidak membawa uang kontan bagaimana kalau kugunakan benda lain untuk pertaruhan
ini"-" sambil berkata pemuda itu melepaskan sebuah batu pualam kuno berwarna hijau tua dari
ikat pinggangnya, lalu diangsurkan ke muka. Berturut-turut Tonghong-hengte yang lain pun maju
untuk ikut bertaruh.
Senyuman memang masih menghiasi bibir Cian Hui tapi senyuman itu sudah lebih mirip
menyengir tak terkirakan rasa gelisahnya, tak disangkanya permainan yang semula hanya
bertujuan untuk meramaikan suasana ternyata telah berubah menjadi serius.
Dia melirik sekejap kelima macam benda mestika di meja itu, lalu masuk ke ruang dalam,
ketika muncul kembali, ia membawa satu nampan penuh intan permata, suasana dalam ruangan
jadi sepi seperti kuburan, semua orang mengalihkan perhatiannya ke arah Cian Hui dan mengikuti
langkahnya setindak demi setmdak.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba suara gelak tertawa nyaring memecahkan kesunyian,
ternyata Kim-keh Siang It-ti yang terbahak-bahak, malahan sambil memukul meja dia berteriak
"Sungguh menarik, permainan ini benar-beuar menarik sekali!"
"O, jadi Siang-heng juga berminat akan pertaruhan ini?" air muka Cian Hui agak berubah.
"Hahaha, akan menyesal selama hidupku bila orang she Siang tidak ikut mengambil bagian
dalam pertaruhan yang luar biasa ini!"
Dia menggapai ke luar, dan sana lantas masuk sembilan orang laki-laki kekar berbaju warnawarni
mereka berdiri tegak di hadapan si Ayam Emas.
Kesembilan orang itu berperawakan kekar dan berotot, bersinar mata tajam, penuh semangat
dan cekatan, sekalipun bukan jagoan lihai, tapi kungfu mereka tentu tidak lemah, kepada Kim-keh
Siang It-ti ke sembilan orang itu memberi hormat, sedang kepada orang lain kelihaian bersikap
angkuh. Terbahak-bahaklah Kim-keh Siang It-ti "Ha haha, seperti juga kehidupanku yang serba aneh
selama ini, hari ini orang she Siang juga ingin mengadakan suatu pertaruhan aneh dengan Ciancengcu."
Ia berhenti tertawa dan berpaling ke arah ke sembilan orang itu lalu bertanya dengan suara
berat, "Eh, darimanakah datangnya jiwa-raga kalian bersembilan?"
"Tubuh milik ayan emas nyawa milik avam emas, bila ayam emas ada perintah, mati seratus
kali juga tidak menyesal!" jawab kesembilan orang itu serentak.
Cukup satu orang saja suaranya sudah nyaring, apalagi sembilan orang buka suara bersama
demikian nyaringnya suara itu hingga seluruh ruangan bergetar keras, bahkan cawan dan
mangkuk juga seakan-akan ikut berdentingan karena getaran itu.
Kim keh Siang It-ti kembali terbahak-bahak katanya pula, "Taruhan yang akan kulakukan
dengan Cian-cengcu ini tidak lain adalah nyawa ke sembilan orang ini."
Sin-jiu Cian Hui kaget, kawanan jago juga kaget. Di dunia ini mana ada pertaruhan seaneh ini,
sementara itu Siang It li telah melanjutkan kata-katanya, "Cian cengcu, engkau berbudi dan setia
kawan, engkau juga seorang pemuka persilatan kukira orang yang bersedia jual nyawa bagi Cian
cengcu tentu tidak sedikit asal kau tampilkan sembilan orang, urusan kan menjadi beres!"
Suasana dalam ruangan kembali sunyi, beratus pasang mata sama memandang Cian Hui dan
ingin tahu bagaimanakah tanggapannya atas tantangan lawan.
Dengan pandangan tajam, Cian Hui mengawasi wajah kesembilan orang itu satu demi satu,
dilihatnya mereka tetap tenang, tiada rasa gelisah atau takut.
Dengan dahi berkerut mendadak Liong~heng-pat-ciang Tham Beng berdiri, pelahan
dihampirinya kesembilan orang itu, katanya dengan tegas.
"Jiwa manusia pemberian Thian dan tidak boleh dibuat permainan, benarkah kalian
bersembilan rela mengorbankan jiwa..."
Kesembilan orang itu memandang jauh ke depan jangankan memandang si penanya, malah
sikap mereka seakan-akan tak mendengar pertanyaan itu seperti juga mereka sengaja
membungkam untuk menyindir sikap Tham Beng vang suka mencampuri urusan orang.
"Eh, apa yang diucapkan Tham-congpiautau tidak kalian dengar?" bentak Kim keh Siang It-ti
Tiba-tiba ia menutulkan ujung tongkatnya melayang ke depan dan "plak-piok", suara tamparan
berkumandang susul menyusup di antara berkelebatnya telapak tangan, tahu-tahu dia sudah
menghadiahkan delapan belas kali tamparan keras pada muka kesembilan orang itu.
Para jago berseru kaget, tapi kesembilan orang yang masing-masing mendapat dua kali
tamparan itu bukan saja tidak berubah wajahnya, malahan serentak memberi hormat sambil
menvahut "Hamba sudah mendengar!"
"Kalau sudah mendengar, mengapa tidak kalian jawab pertanyaan Tham-lopiautau itu?"
Kesembilan orang itu serentak berpaling dan memberi hormat kepada Tham Beng, lalu
menyahut berbareng, "Raja menghadiahkan kematian bagi patihnya dan sang patih tak berani
hidup, ayah memerintahkan anaknya mati, anak tak berani tidak mati, Siang toako baik budi
kepada kami melebihi raja dan ayah, maka kami bersembilan dengan kerelaan hati bersedia
mengorbankan jiwa bagi Siang-toako"


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepanjang mengucapkan kata-kata itu mereka bersembilan selalu membuka mulut bersama
dan tutup mulut berbareng, jelas sudah terlatih dengan baik.
Liong-heng-pat ciang tersenyum, dia lantas menjura kepada Siang lt-ti sambil berkata, "Siangpangcu,
maaf bila aku banyak urusan!"
Pelahan ia kembali ke tempatnya semula, diam-diam dia menghela napas sambil berpikir. "Tak
kusangka manusia yang aneh dan licik ini juga mempunyai anak buah yang rela berkorban
baginya!" Dalam pada itu si Ayam Emas tambah bangga, ditatapnya Cian Hui yang sedang termenung
itu lekat-lekat, lalu katanya seraya tertawa: "Cian-cengcu, apakah engkau sedang memaki
kesembilan saudara ekor-ayamku ini terlalu goblok sehingga tidak setimpal untuk ditandingkan
dengan anak buahmu?"
"Ah, perkataan Siang-pangcu terlalu berlebih-lebihan." Cian Hui tertawa "tapi..."
"Kalau begitu," potong Siang It-ti. "biarlah cayhe suruh kesembilan ekor-ayam ini
mendemonstrasikan sedikit kejelekannya di hadapan Cengcu"
Sambil berpaling dia lantas memberi tanda "Pergi sana!"
Ke sembilan orang itu mengiakan, sekejap saja seluruh halaman telah dipenuhi oleh kain
warna warni yang berkeliaran kian kemari, gerakan mereka lincah seperti kupu-kupu yang terbang
di antara bunga, pada mulanya kawanan jago itu menyangka ke sembilan orang itu sedang
mendemonstrasikan kegesitan mereka, tapi mendadak terdengar suara bentakan, menyusul
kesembilan orang ini lantas berkumpul kembali di depan ruangan, hanya di tangan pemimpin
mereka telah bertambah dengan sebatang toya besi.
Bayangan mereka kembali berpisah, kesembilan orang itu memegangi ujung tongkat besi itu.
empat orang di sebelah kiri dan empat orang di sebelah kanan, ketika orang yang ada di tengah itu
membentak lagi, orang-orang itu lantas membetot dan tongkat besi itupun tertarik hingga makin
panjang, gemuknya berubah seperti kawat, dari sini dapat terlihat betapa hebat tenaga betotan
kedelapan orang itu.
"Putus" bentak orang yang berada di tengah itu tiba-tiba, telapak tangannya lantas membacok
ke bawah Tongkat besi yang sudah berubah seperti kawat itu seketika juga patah jadi dua.
Tepuk tangan dan sorak-sorai memuji bergema memenuhi seluruh ruangan, ke sembilan
orang itu segera memberi hormat dan berjalan kembali ke hadapan Siang It-tu air muka mereka
tetap tenang. Terkesiap juga si Tangan Sakti Cian Hui, kendatipun kungfu kesembilan orang itu tergolong
ilmu kasaran dan jauh kalau dibandingkan dengar jagoan lwekang, tapi ia pun menyadari bahwa
anak buahnya yang bertenaga setaraf itu tak banyak jumlahnya.
Meskipun dia tinggi hati namun tak sampai keblinger, sudah tentu dia tak mau mengorbankan
sembilan anak buahnya dalam suatu pertaruhan yang belum tentu ada harapan untuk menang.
Walaupun begitu ia juga harus menjaga harga diri, gengsi dan kedudukannya apalagi
ditantang di depan umum, bagaimanapun juga dia tak dapat mengabaikan tantangan Kim-keh
Siang It-ti yang berbau ejekan itu.
Sementara ia masih ragu-ragu, Liong-heng-bat-eiang Tham Beng berkata pula sambil
tersenyum, "Cian-cengcu, kalau engkau yakin bahwa kemenangan pasti berada pada pihakmu,
sekalipun taruhan ini luar biasa, kenapa tidak kuterima tantangannya?"
Cian Hui terpojok, terpaksa ia menjawab dengan terbahak-bahak, "Hahaha... benar, benar!"
Sambil bertepuk tangan dia lantas berpaling Yu Peng, coba keluar dan lihatkan ada berapa
orang saudara kita yang mau datang kemari?"
Yu Peng, laki-laki baju hitam yang selalu berdiri di belakangnya itu segera mengiakan dan
mengundurkan diri dengan air muka yang agak berubah.
Melihat itu, Kim-keh Siang It-ti terbahak-bahak "Hahaha, orang she Siang paling gemar berjudi,
baru hari ini betul-betul ketemu tandingannya!"
Cian Hui tidak berkata apa-apa. beruntun ia tenggak tiga cawan arak.
Semua orang mulai gelisah dan tak tenang, mereka ingin tahu siapakah yang akan keluar
sebagai pemenang dalam taruhan itu.
Mereka pun ikut tegang bagi Cian Hui, malahan ada yang berpikir Kungfu Hui-taysianseng
pasti lihay sekali, kalau tidak, Cian Sin-jiu yang cerdik masa berani bertaruh baginya.
Semua orang saling pandang seolah-olah mereka pun terlibat dalam pertaruhan ini dengan
jantung berdebar mereka memandang keluar pintu, mereka tak tahu harus menunggu berapa lama
lagi dan apakah Hui-taysianseng akan masuk kembali ke ruangan itu"
Di mata sekian banyak orang hanya Cian Hui yang tak pernah menengok ke pintu walau hanya
sekejap saja, sebab dia tahu dengan jelas bahwa mengharapkan masuknya kembali Huitaysianseng
melalui pintu tersebut sama dengan menantikan munculnya seekor ikan paus di
daratan, hakikatnya tidak mungkin terjadi.
Demkianlah, di tengah ketegangan itu, malam terasa tiba lebih cepat daripada hari biasa,
cahaya lampu sudah menerangi seluruh ruangan.
Tiba-tiba dan luar muncul sesosok bayangan, suasana jadi semakin tegang, orang ingin tahu
Hui Giok yang muncul atau Leng-kok-siang-bok yang kembali, tapi orang itu ternyata tak lain
daripada Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong.
Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan dia lantas berseru sambil tertawa nyaring-
"Sungguh berbahaya, hampir saja aku ketinggalan dalam permainan yang menarik ini!"
"Benar, benar!" jawab si Ayam emas sambil berbangkit, tampaknya hari ini Cian-cengcu
sedang keranjingan bertaruh, bila Na-heng tidak ikut serta dalam pertaruhan ini, mungkin di
kemudian hari kau tak akan menemukan lagi kesempatan bertaruh sebagus ini."
Na Hui-hong tertawa, sebetulnya aku bukan seorang penjudi, tapi ketika mendengar kabar,
kakiku seperti tiba-tiba tumbuh sayap dan tanpa kusadari terus berlari kemari.
Ketika ia menengadah, Cian Hui sedang memandangnya dengan senyuman kaku, hal ini
membuat gelak tertawanya bertambah nyaring, pikirnya:
"Cian Hui, wahai Cian Hui, orang cerdik seperti kau juga bisa berbuat tolol. Hmm, jika tidak
kubikin kau bangkrut, hehehe mulai detik ini jangan panggil aku sebagai Jit-giau-tui-hun.
Maka dengan tersenyum dia berkata, "Barusan, ketika Yu-koankeh mengumpulkan jago berani
mati di luar, baru ku tahu Siang-heng telah menemukan sistem taruhan yang unik ini, sayang
sekali Siaute tidak memiliki modal taruhan semacam itu, maka aku hanya membawa lima ratus
selongsong perak untuk bertaruh dengan Cian heng, tapi apabila Cian-heng merasa jumlah ini
terlalu sedikit, di kota Soh-ciu aku masih punya sebidang tanah dan bangunannya, sekalipun kalah
besarnya dengan Long bong-san-ceng, tapi rasanya cukup sebagai modal taruhan Nah, Biar
kusodorkan semua itu untuk bertaruh denganmu!"
Dia bicara dengan seenaknya, seakan-akan seorang anak nakal yang bertaruh dengan kacang
saja. Tapi semua orang lantas berseru kaget. malahan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng juga
berubah air mukanya.
Maklumlah, lima ratus longsong perak sama dengan lima puluh laksa tahil perak, ditambah lagi
perkampungan Jit-giau-san-cengnya yang termasyhur di dunia persilatan, nilainya sungguh sangat
mengejutkan. Na Hui-hong melirik sekejap sekitarnya, lalu ujarnya lagi sambil tertawa, "Selama hidupku tak
pernah berjudi, tapi sekali berjudi harus berjudi sampai puas, sekalipun hartaku ludes semua juga
rela, paling banter bekerja keras sepuluh tahun lagi . . . Hahaha, saudara Cian, kenapa kau tidak
berbicara?"
Cian Hui melengak. seperti baru sadar dari impian dia berpaling dan tertawa, "Hahaha,
meskipun taruhan yang kuselenggarakan ini hanya bersifat iseng, rupanya kalian semua telah
bertaruh dengan sungguh-sungguh "
"Memangnya kau anggap taruhanku tidak sungguh-sungguhan." tanya Jit-giau-tui-hun dengan
kurang senang. Meski Cian Hui masih bersenyum, tari sorot matanya penuh rasa benci, andaikata sinar
matanya dapat melukai orang, mungkin Na Hui hong sudah mati beberapa kali.
Maklumlah, kalau taruhan tadi belum menjadi soal bagi Cian Hui, tapi taruhan Na Hui hong
sekarang cukup membuat seseorang menjadi bangkrut dan jatuh miskin, sekalipun Cian Hui
terhitung seorang tokoh Lok-lim yang kaya, tapi oleh karena dia sangat royal, maka tabungannya
tidak seberapa banyak, dalam gudang paling banyak juga cuma tersedia hanya puluh laksa tahil
perak. Na Hui-hong ini seakan-akan dapat menaksir kekayaan yang dimilikinya maka dia mengajukan
pertaruhan seperti itu, dengan tujuan supaya Cian Hui jatuh pailit, bahkan dia ingin menangkan
pula tempat tinggal Cian Hui sehingga kalau bisa lawannya akan dibikin tidur di emper rumah
orang Cian Hui bukan orang bodoh, sudah tentu dia paham maksud lawannya, bisa dibayangkan
betapa gemas dan bencinya, dalam hati dia menyumpah, "Na Hui-hong, wahai Na Hui-hong aku
tak pernah bermusuhan dengan dirimu, mengapa kau bertindak sekeji itu kepadaku" Hmm, bila
suatu ketika kau terjatuh ke tanganku , .. hnim, hm..."
Tapi dia lantas tertawa, katanya, "Aku tak bermaksud demikian, masa tidak percaya pada Na
heng, tapi kau pun harus tahu, medan judi sama seperti medan tempur sekali orang terjun ke
gelanggang pertaruhan, sekalipun saudara sekandung juga harus membuat perhitungan dan lagi
di medan judi yang diutarakan adalah taruhan nyata kalau cuma omong kosong tanpa bukti hitam
di atas putih. rasanya rasanya tidak masuk hitungan..."
Tiba-tiba ia menemukan alasan yang tepat untuk menolak tantangan Na Hui-hong maka ia
tertawa senang.
"Ucapan Cian-heng memang tepat, taruhan harus ada barangnya," Na Hui hong tertawa, Maka
kebetulan sudah kubawa lima puluh laksa tahil perak itu, meskipun tidak berada dalam sakuku,
tapi dalam waktu satu jam sudah bisa dibawa kemari sedangkan mengenai perkampunganku itu
sekarang juga akan kubuatkan surat kontrak, para jago persilatan lain boleh bertindak menjadi
saksi untuk ini ingin kuminta bantuan Tham-lopiautau dan Siang pangcu agar suka menjadi wasit,
siapa yang kalah, dalam waktu setengah bulan harus mengosongkan perkampungannya dan
menyerahkan kepada pihak yang menang... Hahaha, ucapan saudara Cian memang benar siapa
yang terjun ke arena perjudian, sekalipun saudara sekandung juga mesti bikin perhitungan
Hahaha..."
Kim-keh Siang It-ti merasa mendapat kesempatan, segera ia menimpali: "walaupun Siaute
bukan orang yang suka mencari urusan, tapi jabatan sebagai penengah ini pasti kuterima."
"Betul, bila Na-tayhiap menghargai diriku tentu saja aku pun tidak menolak." sambung Liong
heng-pat-ciang Tham Beng sambil tersenyum.
Sin-jiu Cian Hui berdiri tertegun seperti patung, tiba-tiba ia cabut kipasnya dan
menggoyangkannya dengan keras lalu menyimpan kembali kipasnya terus menenggak beberapa
cawan arak. Sekalipun dia seorang tokoh persilatan yang hebat, tapi harta benda yang dikumpulnya
dengan susah payah selama bertahun-tahun bakal ludes di atas meja pertaruhan dan jelas tak ada
harapan untuk menang, bagaimanapun tebal imannya tidak urung berubah juga air mukanya.
Semua orang memandangnya dengan menahan napas, demikian tegangnya sehingga suara
bisik-bisik pun ikut lenyap, keadaan menjadi sunyi, Mendadak Cian Hui terbahak-bahak, "Baik
baik! Kalau saudara Na berniat untuk bertaruh tentu saja aku akan mengiringimu dengan senang
hati." Sambil mengulapkan tangannya dia berseru lagi, "Siapkan alat tulis..."
Seorang Piautau yang terkenal bertulisan bagus didorong keluar untuk menulis surat kontrak
tapi sewaktu dia mengambil pit dan mulai menulis, jelas tangannya gemetar keras.
Cian Hui berdiri kaku menyaksikan di samping, meski pengaruh arak memperkuat
ketabahannya tak urung keringat membasahi jidatnya.
Apalagi ketika tiba gilirannya untuk membubuhi tanda tangan, butiran keringat sebesar kacang
kedelai mengucur keluar, hal ini membuat para jago yang hadir itu merasa tercengang, "Heran,
biasanya Cian Sin-jiu selalu tenang, kenapa sikapnya sekarang tampak gugup?"
Andaikan mereka tahu bagaimana perasaan Cian Hui ketika itu, mungkin tak ada orang yang
berpendapat demikian, Sampai-sampai Liong-heng-pet-ciang juga merasa heran.
Setelah surat kontrak diteken, dua lembar kertas itu berikut kedua lembar cek tadi ditaruh di
bawah nampan yang berisi uang emas itu.
Cian Hui kelihatan gelisah, sebentar duduk dan sebentar berdiri. Sinar mata kawanan jago pun
tak berkedip mengawasi pintu.
Yu Peng, si kepala rumah tangga Long bong san-ceng mendadak lari masuk, sekalipun jelas
tahu siapa yang muncul toh jantung semua orang berdebar keras.
Maka setiap ada bayangan orang muncul dan luar, semua orang lantas menjadi tegang.
Sesudah berlari masuk, segera Yu Peng berseru, "Saudara kita semuanya siap jual nyawa
bagi Cengcu, lantaran jumlahnya terlalu banyak maka hanya kupilihkan sembilan orang.
Jit-giau-tui-hun tertawa dingin, "Hehe, Cian heng memang disayang anak buah . hehe..."
Padahal ia saksikan sendiri di luar kebanyakan anak buahnya enggan mempertaruhkan nyawa
secara sia-sia.
Merah wajah Cian Hui mendengar sindiran itu dia lantas berteriak, Suruh mereka masuk."
Terdengar sembilan orang laki-laki berbaju hitam mengiakan dan berlari masuk ke dalam
ruangan dan tepat berhadapan muka dengan kesembilan orang berbaju warna-warni tadi, ketika
delapan belas pasang mata saling bertemu, terjadilah saling pandang dan entah apa yang mereka
pikirkan di dalam hati.
Kim-keh Siang It-ti memperhatikan wajah ke sembilan orang itu, sekilas pandang saja dia tahu
bahwa Sin-jiu Cian Hui memang tidak malu sebagai seorang tokoh persilatan, kekuatan yang
terhimpun di pihaknya ternyata bukan kaum keroco.
Gerak-gerik kesenbilan laki-laki berbaju hitam nampak tangkas, hanya saja mereka tidak
setenang anak buahnya.
"Bagus... bagus..." Cian Hui mengangguk berulang kali, dia berpaling dan membisikkan
sesuatu kepada Yu Peng.
Kim-keh Siang lt-ti lantas tertawa dingin, "Hehe, saudara Na, tahukah kau, apabila hari ini aku
kalah urusan masih mendingan, tapi kalau menang hem, untuk keluar dan sini mungkin akan jauh
lebih sukar daripada waktu masuk kemari tadi!"
Hebat perubahan air muka Cian Hui, ia pun tertawa dingin, "Hehehe, saudara Siang, masa kau
begitu pandang hina atas diriku ini?"
"O, niat jahat untuk mencelakai orang jangan sekali kali ada, tapi hati-hati terhadap segala
kemungkinan jangan sekali lengah, itulah ajaran kuno yang sudah kita ketahui bersama."
Berkerutlah kening Cian Hui, katanya dengan lantang, "Yu Peng, coba jelaskan kepada
mereka, apa yang barusan kukatakan kepadamu?"
"Cengcu memerintahkan pada hamba agar mempersiapkan ganti rugi untuk keluarga ke
sembilan saudara ini!" sahut Yu Peng dengan kepala tertunduk.
Mendadak Jit-giau-tui-hun terbahak-bahak "Hahaha., .. menang atau kalah belum jelas,
kenapa Cian-heng malahan sudah mengharapkan kemenangan bagi orang lain dan melenyapkan
wibawa pihak sendiri?" - Habis berkata kembali ia menengadah dan terbahak-bahak.
Jit-giau-tongcu Go Beng-si juga ikut sedih meski ia tak senang pada sifat Cian Hui yang jelek
tapi iba juga menyaksikan keadaannya dipandang nya sekejap barang taruhan di meja, lalu
ditatapnya juga kedelapan belas orang itu kemudian ia berkata sambil menghela napas panjang,
"Terlepas dari siapa yang akan menang, tapi selama hidup Cian cengcu bisa bertaruh sebesar ini,
betapapun engkau harus merasa bangga!"
Cian Hui tersenyum dengan perasaan berterima kasih, "Go-siauhiap..." belum lanjut
ucapannya. Tiba-tiba dari samping berkumandang suara tertawa dingin yang tak enak didengar serentak
para jago mengalihkan perhatian mereka ke arah sana, ternyata suara tertawa dingin itu berasal
dan Tham Bun-ki, puteri kesayangan Liong-heng-pat-ciang Tham Beng, di bawah cahaya lampu
wajahnya yang jelita itu rada pucat tapi matanya yang hening tampak buram.
Dengan termangu-mangu ia memandang tangan sendjri yang halus, sorot mata ratusan orang
itu seperti tidak dirasakannya sama sekali.
"Kalau pertaruhan ini disebut pertaruhan terbesar hm, kukira pertaruhan terbesar di dunia ini
akan terlampau banyak?" katanya dingin.
Dia seperti bergumam sendiri, seakan-akan tak tahu kalau beberapa patah-katanya yang
singkat itu telah menghebohkan semua orang.
Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah hebat, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau Lui hun Na Hui-hong
saling berpandang dengan bingung, sementara Liong-heng pat-ciang mengernyitkan alis.
Akhirnya Liong-heog pat-ciang juga yang menegur puterinya, "Anak Ki, jangan sembarangan
berbicara?"
Dia sangat menyayangi Bun-ki, betapapun ia merasa berat untuk mengomelinya di depan
umum. Tak terduga Bun-ki tetap kaku, sikapnya tetap dingin seakan-akan tidak mendengar
teguran sama sekali.
Jit-giau tui-hun Na Hui-hong tak sabar lagi dia lantas berseru- "Jadi maksud nona Tham masih
ada cara taruhan lain yang jauh lebih hebat?"
"Ya, benar" gadis itu menyahut dengan dingin dan perlahan bangkit berdiri.
"Duduk" kembali Tham Bcng membentak.
Tapi keadaan Bun-ki sekarang bagaikan orang linglung, pelahan ia menghampiri Sin-jiu Cian
Hui. Tampaknya pemilik Long-bong-san-ceng ini pun terpengaruh oleh sikap si nona yang aneh itu
serunya, "Nona Tham, kau ... . "
"Aku hendak bertaruh sesuatu denganmu, ba rang taruhan itu jauh lebih berharga daripada
benda apapun, beranikah kau terima tantanganku ini?"
Sekali lagi Na Hui-hong dan Siang It-ti saling pandang, sorot mata mereka terpancar rasa
gembira yang meluap, sementara para jago yang memenuhi ruangan itu pun ikut berdiri semua,
malahan Tonghong-ngo-hengte yang selama ini cuma berpeluk tangan belaka juga ikut bangkit,
beratus pasang mata sama tertuju ke atas tubuh si nona yang aneh itu.
Dengan pandangan setengah bertanya Sin-jiu Cian Hui berpaling sekejap ke arah Tham Beng.
Tapi dalam keadaan demikian Tham Beng sendiri tak dapat memaksa puteri kesayangannya pergi
dan situ, apalagi ia pun mengharapkan Cian Hui jatuh bangkrut maka setiap tindakan yang bisa
mendatangkan kerugian bagi Cian Hui semakin baik baginya, ditambah lagi dia yakin Cian Hui
tiada harapan untuk memenangkan pertaruhan tersebut, maka bukan saja ia tidak memberikan
reaksi, bahkan mengerling pun tidak.
Dengan dingin Bun-ki menatap Cian Hui, ketajaman matanya seperti seekor kucing di tengah
kegelapan yang sedang memandang hina dan mengejek seekor tikus yang sudah tak berdaya.
Karena terdesak, akhirnya Cian Hui menghela napas panjang, "Nona. kalau kau berminat
untuk bertaruh, katakan saja apa barang taruhannya!"
"Jika kau setuju bertaruh baru akan kusebut kan!"
"Bila nona tidak menerangkan lebih dulu, darimana orang she Cian bisa menjawab mau atau
tidak?" Menyaksikan kegugupan orang, Bun-ki tertawa dingin "Hehehe" jadi kau tidak ada keberanian
untuk menerima tantangan bertaruh dan seorang perempuan?"
Cian Hui mengusap keringat yang membasahi jidatnya, tokoh persilatan yang tersohor ini
entah sebab apa ternyata merinding menghadapi tantangan nona ini.
Setelah termenung sebentar, tanyanya dengan gugup seandainya aku tidak memiliki benda
itu" "Kau pasti punya?" tukas Bun-ki singkat.
Kontan kawanan jago yang hadir di situ merasa jantung berdebar keras seakan-akan mau


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat keluar dan rongga dadanya.
Dengan pandangan tajam Sin-jiu Cian hiu menyapu pandang sekejap sekeliling ruangan, tibatiba
ia membusungkan dada, ia pikir masa aku kena di gertak oleh puteri musuh bebuyutanku?"
Berpikir demikian, ia lantas berseru dengan tantang "Kalau begitu, baiklah! Apa pun yang
hendak nona pertaruhkan pasti akan kuterima.
Di luar ia berkata demikian dalam hati ia berpikir "Bagaimanapun juga pertaruhan tadi sudah
cukup untuk bikin aku bangkrut bila ditambah lagi juga tak menjadi soal!"
Bun-ki tertawa dingin, "Hehe. yang hendak kupertaruhkan denganmu adalah..."
ia sengaja berhenti sebentar, matanya yang dngin itu menyapu pandang sekeliling ruangan.
Semua orang menahan napas, sementara nona itu melanjutkan ucapannya sepatah demi
sepatah "Yang hendak kupertaruhkan adalah sepasang matamu!"
Kawanan jago yang menakut napas serentak berseru kaget.
Air muka Tham Bun-ki yang pucat tapi cantik masih tetap kaku tanpa perubahan katanya, lebih
jauh dengan dingin, pertaruhan kita ini berakhir sampai tengah hari esok, pada waktu itu
pertarungan antara Hui Giok dengan Leng-kok-siang bok tentu sudah berakhir begitu bukan?"
Dengan ragu Cian Hui menjawab Ya, kukira... kukira memang begitulah!"
Perhatian pura jago kembali beralih ke wajah Tham Bun-ki, gadis itu berkata lagi dengan
dingin "Pada saat Hui Giok muncul kembali di ruangan ini kedua mataku segera akan kucukil
keluar dan kupersembahkan kepadamu, tapi bila sebaliknya yang terjadi , hm, sekalipun tidak
kuterangkan tentunya kau pun tahu..."
Kata itu diucapkan dengan suara dingin kaku tanpa emosi, seakan-akan sepasang mata yang
dipertaruhkannya itu bukan miliknya sendiri.
Semua orang sama menarik napas dingin, kendatipun mereka adalah manusia yang mencari
sesuap nasi di ujung golok, tapi sepanjang hidupnya belum pernah menemui seorang gadis
sedingin itu, segera ada yang melirik ke arah Liong-heng-pat-ciang, mereka mengira Tham Beng
pasti akan terkejut setelah mendengar taruhan yang diajukan puteri kesayangannya itu.
Ternyata Tham Beng tetap tenang saja, malahan ia duduk sambil mengelus jenggotnya, tentu
saja tak seorang pun yang bisa menebak apa yang sedang dipikir tokoh persilatan ini.
Tham Beng bukan orang yang ceroboh, justeru karena dia yakin Hui Giok pasti bukan
tandingan Leng-kok-siang-bok, maka ia hanya membungkam saja, malahan kalau ada orang
hendak bertaruh kepalanya juga dia akan menerimanya.
Karena itulah ia tidak kaget atau menegur tindakan puterinya itu, malah diam-diam ia memuji
kebagusan ide itu ia merasa gadis itu pandai memanfaatkan kesempatan, keenceran otaknya
sedikit pun tidak di bawahnya.
Padahal, tokoh persilatan yang tersohor ini mana dapat menebak isi hati puterinya yang
sebenarnya. Hanya Jit-giau tongcu Go Beng-si saja yang diam-diam menghela napas, pikirnya, "Ai,
agaknya kepergian saudara Hui tadi telah sangat menyakiti hati nona ini, andaikata dia menang,
mungkin nona ini benar-benar akan mengorek keluar sepasang matanya, sebab ia sudah tak ingin
berjumpa lagi dengan pemuda itu!"
Seperti orang yang kehilangan semangat, lama sekali Sin jiu Cian Hui berdiri termangu-mangu
tapi akhirnya dia tertawa terkekeh-kekeh. "Hehehe sebenarnya buat apa nona pertaruhan
sepasang matamu itu dengan diriku" Ketahuilah bahwa sepasang mataku ini tidak seberapa
berharga, tapi bila Hui-taysianseng menang dan nona harus mengorek matamu yang jeli itu, O
sungguh bikin hatiku tak tega! Hehehe . bukankah begitu saudara sekalian?"
Ia berharap dengan kata2 yang ringan itu dapat menutupi perasaan sendiri yang tegang, ia
pun berharap dengan kata2 itu bisa menggerakkan hati Tham Bun-ki agar membatalkan niatnya,
selain daripada itu ia pun berharap bisa memancing simpati orang lain terhadapnya.
Benarkah demikian..." jengek Bun-ki, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, serunya, "Andaikata
Hui Giok menang, bukan saja mataku akan kukorek keluar lidahku juga akan kupotong, sebab aku
tak sudi bertemu dan berbicara lagi dengan dia.
Semua orang tercengang, siapa pun tak tahu apa sebabnya sikap nona itu mendadak berubah
begitu" Hanya Jit-giau-tongcu Go Beng-si saja yang memahami duduknya perkara, hanya dia
yang menghela napas penuh rasa iba.
Karena dia tahu, gadis yang biasa dimanja, gadis yang berwatak keras dan suka menang itu,
akhirnya mengutarakan juga perasaan yang sebenarnya.
Waktu itu, perhatian semua orang dalam ruangan sama tertuju kepada Tham Bun-ki seorang
orang-orang yang ada di halaman juga berkerumun ke depan pintu ruangan, beratus pasang mata
tertarik oleh si nona, siapapun tidak memperhatikan bahwa dari luar diam-diam telah muncul
sesosok bayangan, bayangan yang bergeser perlahan seperti badan halus.
Karena ucapan Tham Bun-ki itu, dia telah menghentikan langkahnya, lantaran ucapan si gadis
pula ia menghela napas sedih, bintang yang bertaburan di angkasa, cahaya lampu dalam ruangan
menyinari raut wajahnya.
Itulah wajah yang pucat, wajah yang putih seperti wajah badan halus ia berdiri ragu di luar
pintu lama dan lama sekali.
Akhirnya dia membusungkan dada, ia menyisihkan kerumunan orang di sekitar pintu dan
perlahan masuk ke dalam ruangan.
Semua orang yang berada dalam ruangan masih memandangi Tham Bun-ki dengan kesima,
kemudian entah siapa yang mulai dulu, tiba-tiba terdengar jeritan kaget memecah kesunyian.
"Hui... ..Hui...."
Walau hanya satu kata, tapi daya teriaknya jauh melebihi berita dunia kiamat, pandangan
setiap orang, termasuk juga Tham Bun-ki, seperti orang kena sihir, semuanya beralih ke arah
pintu. Orang yang berkerumun waktu itu sudah menyingkir seperti kena tenung, dalam sekejap
terbukalah sebuah jalan lewat yang lebar. Lalu seorang pelahan berjalan masuk melalui jalan yang
lebar dan lengang itu.
Meski langkahnya sangat pelahan tapi suara langkah kakinya yang pelahan seolah-olah
berubah menjadi suara kapak raksasa yang membelah bukit menggetar hati mereka.
Setelah keheningan, akhirnya meledak sorak-sorai yang gegap gempita, beratus orang
serentak berseru. "Hui taysianseng!"
Kejutan yang tak terkirakan dahsyatnya itu membuat Kim keh Siang It-ti dan Jit giau-tui-hun Na
Hui-houg lupa akan kekecewaan mereka, membuat Sin-jiu Cian Hui lupa bersorak kegirangan
membuat Jit-giau-tongcu Go Beng-si lupa menyongsong rekannya dan membuat Tham Bun-ki
lupa atas taruhannya.
Air muka Hui Giok tampak pucat, dirundung kekecewaan, seperti juga air muka Tham Bun-ki
tadi. Hanya sorot matanya tidak seterang mata Tham Bun-ki, sebab perasaan Bun-ki waktu itu
adalah gusar dan benci sebaliknya perasaan Hui Giok sekarang hanya kecewa dan putus asa.
Sin-jiu Cian Hui memandang pemuda itu dengan termangu, ia tak tahu harus bergembira atau
kecewa, meski taruhan tadi merupakan suatu jumlah pertaruhan yang luar biasa, tapi sampai detik
terakhir ia belum pernah mengharapkan kemenangan Hui Giok, seperti juga Tonghong-ngo-heogte
yang tidak mengharapkan dia kalah dan mati.
Tapi akhirnya Cian Hui bersorak juga dengan gembira.
Siang It-ti dan Na Hui-hong saling pandang dengan lesu, Liong-beng-pat-ciang bangkit berdiri,
Go Beng-si lari ke depan menghampiri rekannya dan Tham Bun-ki, dengan tangan yang gemetar
segera hendak mencolok kedua biji matanya sendiri.
"Anak Ki!" bentak Liong-heng-pat ciang, dengan cepat ia tutuk jalan darah di pinggang puteri
kesayangannya. Bun-ki berkeluh tertahan pelahan ia roboh ke dalam pangkuan ayahnya.
Keadaan Hui Giok waktu itu bagaikan sebuah planet yang jatuh ke bumi, semua perhatian,
pandangan semua orang sama tertuju padanya, sampai berkumandangnya suara bentakan dan
keluhan tertahan, orang2 itu baru sama-sam berpaling.
Sin-jiu Cian Hui menjapu pandang sekeliling, katanya dengan dingin. pertaruhan tadi bukanlah
usulku, harap Tham-lopiautau jangan melupakan nya dengan begitu saja!"
"Apa maksudmu?" jengek Liong heng-put-ciang dengan air muka berubah hebat.
"Hahaha, memangnya Tham-tay enghiong yang mengutamakan kebajikan dan kebenaran tak
takut ditertawakan oleh setiap umat persilatan?" Cian Hui tertawa bergelak.
Sambil tertawa ia berpaling dan ujarnya lagi "Hui-heng, ada beberapa orang yang punya mata
tapi tak bisa melihat, mereka tidak percaya engkau dapat mengalahkan Leng kok siang-bok"
Selangkah demi selangkah Hui Giok maju ke depan, air mukanya kaku tanpa emosi, tiba-tiba
tukasnya dengan dingin, "Siapa bilang aku menang?"
"Habis, apakah Hui heng kalah?" Cian Hui berseru kaget.
Perasaannya sekarang sungguh sukar dilukiskan oleh siapa pun, ketika mendengar Hui Giok
menang hatinya merasa agak kecewa, tapi dalam kekecewaan tersebut ia pun merasa sedikit
gembira, sekarang demi mendengar Hui Giok kalah, iapun merasa kecewa, meski dibalik
kekecewaan terdapat pula sedikit rasa gembira, jadi perasaannya ketika itu sebetulnya gembira
atau kecewa, dia sendiripun tidak dapat menjawabnya dengan pasti.
Perasaan para jago waktu itu pun sebentar sedih sebentar girang, hanya Liong-heng pat-ciang
Tham Beng saja diam-diam mengembus napas lega setelah didengarnya Hui Giok tidak menang.
Didengarnya Kim-keh Siang It-ti dan Jit-giau tui-hun Na Hui hong sekali lagi saling pandang,
wajah mereka pun mengunjuk rasa girang.
Siapa tahu Hui Giok lantas menjawab lagi dengan dingin "Siapa bilang aku kalah?"
Kembali terjadi kegaduhan suasana, ruangan yang semula sunyi senyap bagaikan kuburan itu
kini berubah jadi gaduh sekali.
"Tenang! Tenang! Harap saudara sekalian tenang dulu" teriak Cian Hui.
Meskipun bentakan itu cukup berhasil namun nasib banyak juga orang bersuara di sana sini
Sin-jiu Cian Hui menunggu cukup lama, akhirnya dia menghela napas dan bertanya: "Hui-heng,
sebenarnya kau menang atau kalah"
"Menang. Menang?" jawab Hui Giok kaku seketika Tham Beng, Siang It-ti dan Na Hui hong
merasa cemas. "Eh, kalah, kalahl" sambung Hui Giok pula tiba-tiba jawaban yang tak keruan ini membuat Cian
Hui berkerut kening, diam-diam ia menyumpah Sialan, mungkin orang ini sudah sinting?"
"Ya menang, ya kalah...." Hui Giok menambahkan dengan senyuman yang aneh dan sukar
diraba -ooOoo- - ooOoo-
Kiranya setelah meninggalkan Long-bong-san ceng tadi, Hui Giok tidak pedulikan apakah Leng
kok-siang-bok akan menyusulnya atau tidak, dia hanya berjalan dengan kepala tertunduk seperti
seorang yang sedang berjalan-jalan mencari angin sedangkan Leng-kok-siang-bak yang berwatak
aneh itu mengintilnya di belakang, sama sekali tidak mendesaknya.
Setelah mengitari tempat pemberhentian kereta di depan pintu perkampungan dia kembali
menuju ke hutan yang sepi dan rimbun itu.
"Cuaca dalam bulan lima benar-benar menawan hati!"
Ia memandang burung yang berkicau di dahan pohon, diam diam ia bergumam, perasaannya
terasa tenang, sama sekali tidak rasa gugup akan menghadapi maut, juga bukan ketenangan
semacam orang yang pasrah nasib ketenangannya waktu itu adalah ketenangan yang sangat
aneh. Leng-kok-siang-bok saling pandang dengan heran bahwa anak muda itu sedemikian
tenangnya Tiba-tiba Hui Giok berpaling dan berkata, "Apakah kalian setuju bila kita bertarung di
sini saja?" Leng Ko-bok berdehem, setelah mengerling sekejap kearah Leng Han-tiok, jawabnya
"Tempat ini sangat bagus!"
Bagus, jika demikian kalian berdua boleh segera turun tangan!" ucap Hui Giok dengan
tersenyum. "Baik..." Leng Han-tioJc juga berdehem sambil berpaling dan menatap Ko-bok lekat-lekat,
meski tidak mengucapkan sepatah katapun, tapi dari pandangan tersebut dapat diketahui bahwa
meminta agar Leng Ko-bok yang maju lebih dulu.
Dengan suara berat Leng Ko-bok berseru "Oh, lebih baik kau saja yang maju!"
"Aku?" Leng Han-tiok tergagap.
"Ya, kau yang harus turun tangan lebih dulu!" ternyata kedua bersaudara itu tak seorangpun
yang bersedia melaksanakan tugas batas dendam yang pada hakikatnya adalah suatu perbuatan
yang pantas sekalipun mereka sendiri tahu bahwa untuk mewujudkan keinginan tersebut dapat
dicapainya dengan sangat mudah.
Leng Han-tiok seperti terpaksa, dengan perasaan apa boleh buat ia menghela napas panjang
"baiklah biar aku yang maju saja!" - selangkah demi selangkah dia lantas maju ke depan pemuda
itu. "Silahkan!" ujar Hui Giok sambil tersenyum. Waktu Leng Han-tiok menengadah dilihatnya
betapa gagah dan wajar sikap anak muda itu dengan mengulum senyum, seakan-akan seorang
jago kelas tinggi yang sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tak tahu diri, seandainya
dia tidak mengetahui sampai di manakah kelihaian Kungfu anak muda itu, tentu dia akan
menghadapi lawannva dengan lebih hati-hati.
Tapi. sikapnya sekarang seakan-akan tidak bergairah untuk berkelahi katanya dengan tak
acuh kenapa kau tidak menyerang dulu?"
Hui Giok tersenyum "Aku tiada bermaksud berkelahi dengan kalian, adalah kalian yang
menantang aku bertarung, tentu saja kau yang harus turuno tangan duluan"
Leng Han-tiok mengangguk, agaknya ia setuju dengan alasan lawan "Kalau begitu, biarlah aku
menyerang dulu" katanya kemudian.
Setelah berdehem, dia maju selangkah ke muka, lalu ayun telapak tangannya dan memukul
pemuda itu, serangannya ini sama sekali tak bertenaga, bahkan arah serangan dan ketepatan
waktu juga tidak diperhatikan seperti seorang ibu yang enggan memukul putera-puterinya, yang ia
sendiri sebenarnya sayang untuk memukulnya.
Hui Giok tertegun dia angkat tangannya untuk menangkis, Leng Han tiok pun menarik kembali
serangannya, lalu mengangkat tangan yang lain untuk memukul lagi dengan tak bersemangat.
Hui Giok melenggong tapi ia menangkis juga dengan pelahan seperti apa yang dilakukan
semula. Leng Han-tiok ganti tangan dan memukul lagi tanpa semangat.
Hui Giok mundur selangkah, sekali ini ia pun enggan menangkis.
"Eh, kenapa tidak kau balas seranganku?"
Leng Han-tiok segera berteriak
"Bukankah sudah kulepaskan serangan balasan!" sahut Hui Giok, segera ia melancarkan
suatu pukulan balasan.
Leng Han-tiok menangkis, hanya sekali bergerak saja tangannya telah mengunci urat nadi
pergelangan tangan Hui Giok.
Tapi ia cuma membentuk saja, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia putar badan dan
berlalu dari situ.
Setibanya di depan Leng Ko bok. ia berdiri termangu sekian lamanya, kemudian berkata
dengan suara keras: "Bila kau hendak membalas sakit hati, kenapa tidak turun tangan sendiri Aku
. aku... lelah sekali..."
Di balik sinar mata Leng Ko-bok yang tajam seakan-akan terlintas secercah senyuman, dia
mengangguk, "Baik, baik, biar aku yang maju!"
Setibanya di depan Hui Giok, pelahan ia menggulung lengan bajunya, tapi sama sekali tidak
ada niat untuk turun tangan Melihat tingkah laku kedua orang itu, Hui Giok merasakan
kehangatan, ia tak menyangka di balik tubuh kedua orang aneh yang dingin dan kaku itu terdapat
juga perasaan hangat insani.
Lama sekali Leng Ko-bok menggulung lengan bajunya seakan-akan pekerjaan menggulung
lengan baju adalah pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan apa pun jua.
Melihat itu, sorot mata Leng Han-tiok juga memancarkan setitik senyuman, tapi ia menegur
dengan dingin: "Tanpa gulung lengan baju kan juga bisa bertarung?"
Leng Ko-bok berpaling sambil melotot sekejap, akhirnya dia mengangkat juga telapak
tangannya dan menyerang.
Kali ini Hui Giok memandangi datangnya telapak tangan itu dengan termangu, ia tidak berkelit
atau menangkis.
Ketika serangan itu mencapai tengah jalan tiba-tiba Leng Ko-bok menarik kembali telapak
tangannya, lalu bergumam "Tak bisa, tidak bisa Lebih baik kami bunuh habis semua orang yang
berada di Long-bong-san-ceng daripada mengadu kepandaian dengan seorang yang tak mengerti
ilmu silat Loji, betul tidak ?"
"Betul... betul!" sambil maju Leng Han-tiok membenarkannya.
Setelah melenggong sejenak, tiba-tiba Leng Ko-boh berkata lagi dengan suara lantang, "Tapi
Leng-kok-siang-bok adalah jagoan terhormat kami rela dihina orang dengan begitu saja, gurunya
tak ditemukan muridlah yang dituntut hal ini adalah kejadian yang umum. Betul tidak Loji?"
"Betul, betul... " kembali Leng Ko bok mengangguk, "lalu bagaimana sekarang?"
Setelah termenung lagi sejenak akhirnya dia berpaling dan berkata kepada Hui Giok "Meski
kau tak pandai bersilat tapi kepandaian lain tentunya ada bukan?"
Hui Giok mengangguk tanpa sadar."
"Kalau begitu pilihlah salah satu jenis kepandaian yang kau kuasai untuk dipertandingkan
dengan kami" ucap Leng-Ko-bok pula, "baik kepandaian main kecapi, main catur, melukis atau
menulis pendek kata baik soal Bun (sastra) maupun Bu (silat), boleh kau pilih secara bebas!"
Sekarang kedua bersaudara itu benar-benar tidak berniat lagi mencelakai jiwa Hui Giok, maka
mereka sengaja mengusulkan cara lain untuk menyelesaikan perkasa mereka.
Padahal, kecuali ilmu silat kepandaian lain tak banyak yang mereka kuasai.
Tapi setelah Hui Giok termenung, disadarinya bahwa kecuali ilmu silat ia pun tidak menguasai
kepandaian lainnya,
Sejak kecil ia hidup sebatangkara, sampai dewasa pun berkat kebaikan orang-orang Hui-liongpiaukiok
yang memeliharanya. Sebagai orang persilatan, kecuali ilmu silat pemuda itu tak pernah
mendapat kesempatan untuk belajar kepandaian bermain khim bermain catur bersyair dan lain
sebagainya. Selama ini, kecuali dua tiga jilid kitab yang pernah dibaca kecuali pekerjaan kasar yang
dilakukannya, setiap hari sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan berduduk di
undak2an rumah dan memandang awan di udara sambil melamun.
Kemudian, setelah ia minggat dan Hui-liong-piaukiok, hidupnya makin sengsara, ia harus
bergelandangan banting tulang untuk menyambung hidup, dalam lingkungan kehidupan yang
serba susah begitu tentu saja lebih-lebih tak mungkin baginya untuk belajar kepandaian apa pun,
kalau pun ada, siapa yang bersedia mengajarnya.
Lama sekali ia berdiri dengan termangu, makin dipikir makin sedih, ia benci pada ketidak
becusan sendiri, ia benci pada kebodohannya, begitu benci sehingga hati terasa sakit.
Ketidak becusan, ketidak tahuan sungguh sesuatu yang mengerikan.
Tak aneh kalau pemuda itu membenci terhadap diri sendiri, tapi pemuda itu melupakan
sesuatu, bahwa meski dia tidak memiliki kepandaian dan pengetahuan seperti orang lain,
sebenarnya ia memiliki sebuah hati yang bajik dan bijak.
Dengan sedih pemuda itu menghela napas, "Ai terus terang kukatakan, selama hidupku ini,
aku... aku..." ia tak mampu meneruskan ucapannya sebab air mata hampir saja bercucuran.
"Masa kau tidak bisa apa-apa?" tanya Leng Ko-bok dengan melengak.


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hui Giok berusaha menahan cucuran air matanya, ia mengangguk pelahan.
Leng kok-siang-bok saling pandang sekejap ketika sorot mata mereka beralih lagi ke arah Hui
Giok, selain rasa heran dan kagum tadi, kini bertambah pula dengan perasaan hangat dan
kasihan. Ketika angin berembus sepoi-sepoi, kedua orang bersaudara itu tiba-tiba duduk bersila di
tanah mereka memandang ke dalam hutan dengan termangu.
Sejak kecil nasib mereka berdua sangat buruk karena itu terciptalah watak yang menyendiri
dan benci kepada sesamanya, tercipta juga sikap dingin kaku dan aneh.
Tapi sekarang, mereka melihat penderitaan anak muda ini ternyata lebih mengenaskan
daripada nasib mereka, tapi pemuda itu menerima semua itu dengan pasrah nasib, dia hanya
bersedih bagi dirinya sendiri, tiada rasa dendam pada orang lain padahal semestinya jauh memiliki
perasaan dendam kepada orang lain seperti apa yang mereka rasakan.
Daun hijau yang masih segar rontok terembus angin, memandangi daun yang gugur ini, tibatiba
ia merasakan kehidupan pribadinya seperti daun yang rontok sebelum waktunya itu.
"Asal aku diberi kecerdikan dalam sehari saja, agar aku dapat menikmati betapa indahnya
kehidupan ini. sekali pun harus mati aku akan mati dengan tertawa."
Senja sudah hampir tiba, ketiga orang tua dan muda sedang meresapi apa artinya kehidupan,
mereka lupa akan waktu yang berlalu dengan cepat.
Ketika terdengar bunyi burung gagak yang tebang kembali ke sarangnya, tiba-tiba satu ingatan
terlintas dalam benak Leng Han-tiok. wajahnya yang dingin kaku menampilkan rasa gembira.
Akhirnya dia teringat pada sesuatu masalah yang menggirangkan.
Malam pun menyelimuti bumi, bintang bertebaran melancarkan sinarnya yang redup.
Dengan wajah berseri Leng Han tiok berpaling.
"Apa yang kau girangkan?" Leng Ko-bok menegur dengan dingin.
"Jika kita tak dapat beradu silat dengan dia, kitapun tak dapat mengampuni dia dengan begitu
saja..." teriak Leng Han tiok, "tapi selain ilmu silat dia tak bisa apa-apa..."
"Ya benar," Leng Ko-bok menjawab dengan tak bersemangat "aku tak habis mengerti, urusan
apa yang membuat hatimu bergirang?"
Sekarang aku berhasil menemukan satu cara yang sangat bagus sekali!" ucap Leng Han-tiok
dengan tersenyum.
Ia bangkit dan menepuk pelahan bahu Hui Giok, katanya lebih jauh, "Kulihat meski usiamu
masih muda, tapi perkataanmu sangat jujur. tak nanti kau berbohong bukan?"
Dengan tercengang Hui Gjok menengadah, "selamanya ini belum pernah berbohong" katanya
dengan tergagap.
"Bagus!" Leng Han-tiok mengangguk tentunya kau pun benar-benar tak bisa apa-apa bukan?"
Kembali Hui Giok mengangguk sedih.
"Walau begitu, kami tetap akan bertanding denganmu!" ujar Leng Han tiok lebih jauh, "bila kau
kalah bertaruh, maka sebagaimana mestinya kau harus membayar penghinaan yang pernah
dilakukan gurumu terhadap kami itu."
Hui Giok membusungkan dada, tapi sebelum menjawah, Leng Ko-bok berkerut dahi sedang
Leng Han-tiok tersenyum, tiba-tiba katanya lagi. "Sejak hari ini, setiap waktu setiap saat kami akan
mengajarkan pelbagai kepandaian padamu, jika kau tak dapat mempelajarinya dalam waktu paling
singkat, maka kaulah yang kalah dalam pertaruhan ini."
Leng Ko-bok berkerut kening pula, sedang Hui Giok dengan wajah berseri segera berteriak
"Benarkah itu?"
Senyum yang semula menghiasi wajah Leng Han tiok tiba-tiba berubah dingin dan kaku pula
katanya lagi, "Jangan keburu senang dulu, tidak gampang urusan ini dikerjakan. Ketahuilah
pelajaran yang hendak kami ajarkan bukan melulu ilmu silat saja tapi termasuk juga kepandaian
lain seperti memetik khim, bermain catur, membuat sajak dan melukis. pokoknya semua
kepandaian yang kami ajarkan harus dapat kau kuasai dalam waktu paling singkat, kalau tidak
maka siksaan dan penderitaan yang akan kau terima mungkin lebih parah daripada apa yang kau
bayangkan sekarang,"
Hui Giok berpaling. ia tahu hati kedua orang ini tidak sedingin wajah mereka, apalagi dengan
menggunakan kesempatan itu mereka bermaksud merangsang semangatnya agar maju ke depan,
siapa yang akan percaya kalau kehangatan semacam ini muncul dari Leng-kok-siang bok yang
termasyhur"
Betapa pun pemuda itu merasa berterima kasih dan juga gembira di samping rasa kuatir, ia tak
tahu apakah dengan kebodohannya, dapat mempelajari pengetahuan baru itu"
Leng-kok-siang-bok saling pandang sekejap, lalu berkatalah Leng Han-tiok, "Bersediakah kau
menerima cara bertanding semacam itu?"
Sedapat mungkin Hui Giok mengendalikan pergolakan perasaannya, sebab dia tak ingin
menunjukkan rasa gembira dan terima kasihnya di hadapan kedua orang aneh ini.
"Baik!" katanya kemudian, walaupun hanya sepatah kata, namun di situlah seluruh
perasaannya dilimpahkan keluar.
"Kalau begitu, mulai sekarang kau harus ikut kami," kata Leng Ko-bok.
"Ya, aku tahu!" anak muda itu mengangguk.
"Adakah urusan yang perlu kau selesaikan dulu di Long-bong-sanceng?" Leng Han-tiok
bertanya. Sebenarnya Hui Giok ingin mengatakan "Tidak ada!" sebab ia hanya sebatangkara, tiada
sanak tanpa keluarga.
Tapi kemudian ketika ia teringat akan kekuatiran Go Beng-si dan Tham Bun-ki atas dirinya,
segera sahutnya "Harap kalian tunggu sejenak di sini, sebentar aku akan kembali!"
Pergilah pemuda itu diiringi pandangan Leng kok-siang-bok dengan senyuman hangat.
"Aku merasa kehidupan kita belakangan ini terlalu kesepian," kata Leng Ko-bok kemudian
sambil tersenyum, "memang ada baiknya kalau kita bawa serta bocah ini. ia tidak punya sanak
tanpa keluarga, lagipula seorang anak laki-laki, berbeda dengan Bun ki, meski dia seorang anak
baik, namun sayang banyak peraturan mengalangi hubungan kita dengan dia!"
"Bukan cuma begitu saja..." sambung Leng Han tiok sambil tersenyum "kitapun dapat
menyelamat kan bocah itu dari rencana busuk si Cian Hui. Bayangkan sendiri, mereka telah
mengangkat seorang bocah seperti dia menjadi Kanglam Bengcu. mustahil di balik semua itu tiada
rencana busuk namanya" kulihat bocah itu seorang yang berbakat tentu banyak yang bisa dia
pelajari selama mengikuti kita berdua."
Leng Ko-bok termenung sejenak, lalu berkata "Padahal, kalau kita tinjau dari watak serta
caranya menghadapi orang, bocah itu memang lebih cocok menjadi Lok-lim-bengcu daripada
siapa pun jua."
"Ya. dia memang cocok menjadi Bengcu" tukas Leng Han-tiok, "sayang dia terlalu ramah,
terlalu bajik, mana bisa menghadapi kelicikan manusia2 licin itu!"
Tiba-tiba Leng Ko-bok tertawa, "Tahukah kau betapa licik dan busuknya suatu rencana keji
mungkin berguna terhadap orang lain tapi dihadapan kebajikan dan kemuliaan, kebusukan itu
justru akan musnah dengan sendirinya, ibaratnya.... Ibaratnya..." ia merenung sesaat rupanya
sedang putar otak untuk mencari ungkapan yang dirasakan paling cocok.
"ibaratnya salju bertemu dengan matahari maksudmu?" sambung Leng Han-tiok sambil
tertawa "Ya, betul!" Leng Ko-bok ikut tertawa, "Ibaratnya salju bertemu matahari.
Tiba2 mereka teringat akan sesuatu, bukankah hati mereka yang dingin dan beku dibuat cair
setelah berjumpa dengan Hui Giok" Senyum yang menghiasi wajah mereka pun tambah cerah.
Pembicaraan mereka berdua di depan orang dan pada waktu tiada orang lain memang sangat
berbeda, sayang Hui Giok telah pergi jauh dan tidak mendengar apa yang mereka bicarakan.
Dengan langkah lebar dan penuh kegembiraan anak muda itu meneruskan perjalanan teringat
akan betapa banyak pengetahuan baru yang akan didapatkan ingin rasanya kakinya bersayap
sehingga perjalanan bisa dilakukan secepatnya.
Angin malam di bulan lima terasa sejuk dan nyaman, semua peristiwa yang tidak
menyenangkan seolah-olah ikut menjadi buyar musnah mengikuti embusan angin itu.
Terhadap kesedihan, ketidak beruntungan dan sakit hati ia paling mudah melupakannya.
mungkin hal ini dikarenakan ia masih muda, memiliki hati yang bajik dan bijak.
Ketika memasuki perkampungan Long-hon san-ceng, ia temukan suasana yang begitu tenang
begitu hening, walau kereta dan kuda masih memenuhi di luar pintu perkampungan namun
keheningan yang mencekam terasa sangat aneh, terasa begitu banyak manusia vang berjubel di
depan pintu ruangan.
Dia heran, apa gerangan yang terjadi di dalam peristiwa apa yang sedang berlangsung di situ.
Seketika suatu perasaan tak enak timbul dalam hatinya, tiba-tiba ia mendengar suara Tham
Bun-ki, mendengar perkataannya yang menyakitkan hati meski ia suka memaafkan kesalahan
orang lain, meski ia dapat menahan penderitaan namun ucapan Tham Bun-ki yang tak
berperasaan itu dirasakannya se-akan2 berpuluh batang jarum tajam menancap di hatinya.
Akhirnya dia melangkah masuk ke dalam ruangan dengan membawa perasaan yang terluka.
-oo0oo~ - oo0oo-
Kini ia berdiri di tengah ruangan itu, untuk pertama kalinya selama hidup hatinya merasa
terluka. Cinta memang paling mudah melukai dibandingkan urusan lain.
Luka yang dirasakannya sekarang berbeda dengan kesedihan yang dirasakannya tadi, sedih
karena ketidak becusannya... meski kedua-duanya sama-sama menimbulkan sakit yang menyiksa,
tentu saja semua orang tidak memahami perasaannya, mereka hanya memandangnya dengan
terbelalak, memandang bibirnya yang gemetar dan menunggu keterangannya, menangkah atau
kalahkah. Saat penantian tentu saja merupakan saat yang mendebarkan dan menggelisahkan, terutama
bagi Siang It-ti dan Cian Hui sekalian/
"Menangkah" atau kalahkah"
Hui Giok memandang sekejap wajah orang yang diliputi kegelisahan itu, tiba-tiba dari lubuk
hatinya timbul semacam perasaan yang memandang hina, perasaan yang memandang rendah
terhadap sesama manusia yang selama ini belum pernah di rasakannya.
"Dalam tiga tahun, kalian tidak akan tahu hasil pertarungan ini!" katanya kemudian dengan
tenang. Semua orang melenggong, mereka tak mengerti apa yang dimaksudkan pemuda itu.
"Sebab aku sendiri pun belum tahu hasilnya!" Hui Giok menyambung kata katanya dengan
kaku. Kemudian ia beranjak seakan-akan hendak tinggalkan ruangan itu.
Sin-jiu Cian Hui, Kim-keh Siang It ti dan Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong serentak membentak
dengan singkat mereka bertanya, "Apa yang terjadi sebenarnya?"
Secara ringkas Hui Giok lantas menerangkan sebab-sebabnya, ia beranggapan, setelah terjadi
pertaruhan yang besar dan luar biasa ini mereka berhak untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Dia ingin menjadi seorang yang adil.
Untuk sesaat, semua orang sama termangu-mangu, melongo tercengang.
Pertaruhan mereka memang kejadian yang luar biasa, tapi cara pertarungan antara Hui Giok
dengan Leng kok-siong-bok lebih hebat lagi.
Semua orang hanya bisa saling pandang, siapa pun tak tahu bagaimana harus menyelesaikan
urusaan ini. Liong-heng-pat-ciang berkerut kening, ia memandang sekejap barang pertaruhan di atas meja,
lalu melirik putrinya yang berada dalam rangkulannya, kemudian, sesudah berdehem ia berkata
dengan suara yang berat, "Kalau memang begitu lebih baik kita batalkan saja semua pertaruhan
ini! Anggaplah uang perak di meja itu adalah sumbanganku untuk anak buah Cian-cengcu!"
Kemudian sambil berpaling ke arah Hui Giok ia menambahkan "Lebih baik kau batalkan
pertandinganmu yang aneh itu! ikut pergi saja padaku."
"Ucapan yang telah keluar dari mulut tak mungkin dijilat kembali janji tetap tinggal janji" kata
Hui Giok dengan tegas
Cian Hui melirik sekejap Bun-ki yang mendekap di pangkuan Tham Beng itu, tiba-tiba sorot
matanya berubah jadi kejam seperti ular berbisa.
"Ya, betul" teriaknya cepat, "janji yang telah diucapkan tak bisa ditarik kembali!"
Dengan cepat Siang lt-ti dan Na Hui-hong bertukar pandang sekejap, lalu ikut berteriak, Betul,
pertaruhan ini tak dapat dibatalkan lagi, harus dilanjutkan sampai akhir!"
Air muka Liong-heng-pat-ciang berubah kelam, sedangkan Go Beng-si berbisik-bisik bicara
dengan Hui Giok. Suasana kembali menjadi gaduh, semua orang ramai membicarakan persoalan
ini. Jit-giau-tui-hun Na Hui Hong merenung sejenak, tiba-tiba dia berseru dengan lantang,
Sebelum menang atau kalah menjadi jelas, semua barang mestika yang dijadikan taruhan harus
disimpan oleh seseorang, siapapun dilarang menyentuhnya sebelum keputusan terakhir."
Ia melirik sekejap ke arah Siang It ti, kemudian melanjutkan "ltu berarti termasuk juga
kedelapanbelas saudara yang dijadikan taruhan, mereka tak boleh sembarangan bergerak, seperti
benda mestika lainnya, mereka diawasi dan diserahkan kepada seseorang, sampai menang atau
kalah akhirnya diketahui."
Berbicara sampai di sini, dia menjura keempat penjuru dan berseru lagi dengan lantang,
"Sahabat-sahabat sekalian. adilkah usulku ini?"
Para jago kembali berbisik ada yang mempertahankan kebetulannya ada pula yang segera
berteriak: "Pertaruhan beginilah baru menarik hati!"
"Ya, pertaruhan seperti inilah baru pertaruhan yang paling adil." sambung yang lain.
Tapi ada orang yang bertanya, "Lantas bagai mana caranya untuk menyelesaikan bendabenda
mestika itu?"
Dengan pandangan tajam Jit-giau-tui-hun memandang ke arah Tonghong-ngo-hengte yang
duduk tenang di sudut kemudian sahutnya segera dengan senyum, Nama besar Tonghong-ngohengte
sudah tersohor didunia persilatan, Hui-leng-po juga merupakan tempat suci bagi umat
persilatan, apalagi nama besar Tonghong-lopocu dikenal siapa pun, kalau bukan mereka berlima
yang kita serahi tugas ini. siapa lagi yang cocok" Meskipun pertaruhan ini hanya suatu permainan,
tapi kurasa Hui-leng-po adalah tempat yang paling aman dan adil untuk menyimpan barang
taruhan itu setuju tidak?"
Pertanyaan itu tidak diajukan kepada Tham Beng, tidak juga kepada Cian Hui dan lain-lain,
tapi langsung diajukan kepada kawanan jago yang memenuhi seluruh ruangan, sebab dia tahu
suara yang terbanyak itulah keputusan sehingga sukar di bantah lagi.
Benar juga, kawanan jago itu segera memberikan dukungan sepenuhnya, Tonghong-ngohengte
berbangkit untuk menyatakan rasa terima kasihnya, mereka hendak menolak tapi melihat
wajah berseri semua orang, terpaksa mereka menerimanya tanpa banyak bicara.
Keadaan Sin-Jiu Cian Hui paling serba salah waktu itu, ia merasa dirinya betul-betul mencari
penyakit buat diri sendiri tapi nasi sudah menjadi bubur, terpaksa sambil bertepuk tangan ia
berseru dengan lantang, "Kalau begitu, lantas bagaimana dengan pertaruhan nona Tham?"
Air muka Liong-heng-pat-ciang Tham Beng berubah hebat, cepat ia menyela, "Dia masih
muda, masa perkataannya yang melantur juga kalian anggap sungguh-sungguh?"
"Jika dia bicara melantur mengapa Tham-piautau tidak mencoba untuk mengalanginya tadi?"
tukas Sm-jiu Cian Hui dengan ketus, "apakah lantaran tadi Tham-lopiautau yakin benar akan
menang, maka sengaja membungkam dan sekarang setelah tiada keyakinan untuk menang lantas
ingin memungkir ucapannya?"
"Kurang-ajar!" teriak Liong-heng pat-ciang dengan gusar, "selama puluhan tahun belum
pernah ada orang berani berbicara sekasar ini terhadapku, Cian-cengcu jangan lupa, aku sudah
kelewat sungkan padamu"
Perkataan Cian Hui barusan secara telak mengenai sasarannya, memang demikianlah jalan
pikiran Tham Beng tadi, betapa malu dan mendongkolnya Tham Beng setelah isi hatinya
dibongkar secara blak-blakan di hadapan orang banyak. dari malu ia jadi murka.
Koay-be-sm-to Kiong Cing-yang dan Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berdiri di sebelah majikannya
juga bersiap siaga.
Sungkan" Hahaha., "Sin jui Cian Hui terbahak-bahak. "Hehehe, tentunya para hadirin
mendengar apa yang telah diucapkan Tham-lopiautau yang berbudi luhur dan dapat pegang janji
ini" Di tengah heboh terdengarlah suara ejekan berkumandang dan sana sini, suasana bertambah
panas. Seperti diketahui sebagian besar jago yang hadir dalam pertemuan ini adalah jago-jago dan
kalangan Lok-lim, tentu saja mereka berada di pihak yang memusuhi Liong-heng pat ciang Tham
Beng sebagai seorang jago kawakan, Tham Beng sendiri memaklumi situasi yang dihadapinya
sekarang. Selagi ia hendak mengucapkan sesuatu, Siang It-ti dan Na Hui-hong tiba-tiba membentak "Hui
heng, harap tunggu sebentar!"
Rupanya di tengah kegaduhan itu secara ringkas Hui Giok lelah mengutarakan isi hatinya
kepada Go Beng-si ia merasa tempat itu tiada sesuatu yang pantas dikenang lagi, lalu ia hendak
tinggal pergi. Siang It li menutul tongkat besinya dan melayang ke udara, dengan suatu gerakan cepat ia
menghadang jalan pergi pemuda itu.
"Apa yang hendak kau lakukan?" tegur Hui Giok ketus. Meski dia seorang pemuda yang baik
hati, tapi hadiah pukulan Siang It-ti tempo hari belum dilupakannya sekalipun ia berusaha tidak
mengingatnya lagi.
Dalam keadaan seperti ini, Kim-keh Siang It-ti tak berani unjuk sikap kurang hormat ia
merenung sejenak, lalu menjura, katanya. "Jika Anda pergi, bagaimana caranya kami dapat
mengetahui hasil pertarunganmu nanti?"
"Jika aku tidak pergi, bagaimana pula menang kalah bisa ditentukan?" Hui Giok balik bertanya
dengan dingin. Sementara Siang lt-ti dibikin melenggong, Hui Giok terus lewat di sampingnya dan keluar dari
ruangan itu. Setelah menang kalah diketahui kalian tentu akan mendapat kabar tersebut, terdengar suara
yang lembut nyaring berkumadang dari luar pintu.
Beberapa orang bermaksud menyusul pemuda itu, tapi Sin-jiu Cian Hui segera menghardik:
"Siapa berani berbuat kurang-ajar terhadap Bengcu?"
Meskipun bentakan itu nyaring berwibawa, pada hakekatnya dalam hati ia sangat berharap Hui
Giok dapat cepat-cepat pergi dari situ.
Si Ayam Emas Siang It ti termangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak pula, Bagaimana pun juga
tetap akan kukirim orang untuk mengikuti jejaknya.."
"Ya, benar!" Jit-giau-tui-hun Na Hui-hong ikut berseru "Aku juga akan berbuat demikian."
Sin-jiu Cian Hui merenung sebentar, lalu menjawab: "Kalau begitu, lebih baik kita masingmasing
mengirim seorang utusan untuk mengikuti jejaknya, dengan begitu kitapun akan lebih
cepat mengetahui hasil pertarungannya."
Berbicara sampai di sini sorot matanya pertama-tama dialihkan ke arah Tonghong-ngo-hengte
untuk menanyakan pendapatnya, terpaksa kelima bersaudara itu mengangguk perlahan.
Agak lega Sin-jiu Cian Hui setelah mengetahui bahwa kelima bersaudara itu tidak berdiri
dipihak Tham Beng, maka ujarnya lagi dengan dingin- "Bagaimana pendapat Tham lopiautau?"
Tham Beng tertawa dingin "Sombong amat ucapanmu sekarang, jangan kau kira aku sudah
jatuh di bawah kekuasaanmu!"


Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hahaha..." Si Tangan Sakti tertawa, aku tak berani berniat demikian. tapi fakta berbicara
demikian. Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memandang sekejap sekitar tempat itu lalu ia pun bergelak:
"Hahaha, sudah puluhan tahun aku malang melintang di dunia persilatan. memangnya kau
anggap hari ini aku datang ke Long-bong-san ceng ini tanpa persiapan?"
Ketika ia mulai bergelak Cian Hui berhenti tertawa, tertampak Liong-heng-pat-crang menyapu
pandang seluruh ruangan dengan sorot matanya yang tajam berkilat.
"Cian Hui!" serunya lebih jauh, dengan cara apa kau sambut kedatanganku. dengan cara yang
sama pula kau harus mengantar kepergianku kalau tidak, aku akan membikin Long-bong-san-ceng
ini banjir darah dan berubah menjadi puing-puing!"
Tokoh persilatan ini tadi bersikap halus. Dengan bicara keras, sikapnya jadi lebih kereng, lebih
berwibawa dan membuat orang keder.
Air muka Sin-jiu Cian Hui berubah sedingin es. Bayangan orang berseliweran di luar sana
menjadi tegang.
Pelahan Tonghong-ngo-hengte bangkit berdiri suasana dalam ruangan seketika tenggelam
dalam keheningan yang luar biasa, entah berapa banyak tangan yang secara diam-diam meraba
senjata masing-masing.
Di antara sekian banyak jago, hanya Jit-giau-tougcu Go Beng-si saja yang tetap tersenyum,
diam-diam ia menyelinap keluar ruangan tatkala suasana berubah tegang.
Liong-heng-pat-ciang Tham Beng memondong puteri kesayangannya yang tertidur nyenyak
karena tutukannya tadi, ia menyapu pandang sekejap ke arah kawanan jago ini dengan sorot mata
dingin dan sikapnya yang amis dan angkuh dapat ditarik kesimpulan bahwa dia tak pandang
sebelah mata terhadap ratusan jago yang berkumpul di situ.
Sinar matanya yang dingin berubah menjadi lembut tatkala tertuju ke wajah puteri
kesayangannya, walaupun perawakan yang kekar sudah termakan usia, tapi masih tetap sekeras
baja, siapapun tak dapat menebak berapa besar kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh yang
tegap itu. Air muka Sin-jiu Cian Hui tampak kelam, dari sorot matanya jelas dia sedang
mempertimbangkan sesuatu, yaitu harus Cian (perang) atau Hui (kabur)"
Sebelum keputusannya diambil, siapa pun tak tahu bagaimana kejadian selanjutnya.
Suasana yang hening dan tegang tak berlangsung lama, tapi bagi pandangan semua orang,
masa tersebut adalah masa yang terpanjang dalam hidup mereka.
Air muka Sin-jiu Cian Hui kelihatan tenang tapi diam-diam lagi berpikir "Meninjau dan situasi
sekarang ini, kekuatan musuh jauh lebih lemah daripada kekuatan kami, Tonghong-ngo-hengte
bisa jadi berpihak pada mereka, namun kehadiran mereka juga tidak berarti suatu bantuan besar
baginya. Jika Long-heng-pat-ciang dapat kubunuh dalam pertarungan ini, lain waktu aku tak perlu
meminjam lagi tenaga orang lain dan dapatlah kujadi Kanglam Bengcu. Waktu itu pengaruh Huiliong
piaukiok otomatis akan runtuh, apalagi sekarang adalah kesempatan yang paling baik bagiku
untuk membunuhnya, orang persilatan tak akan menyalahkan diriku karena peristiwa ini, Jika aku
tetap sangsi untuk mengambil keputusan, kesempatan baik ini sukar didapat lagi di kemudian
hari!" Tangannya mengepal semakin kencang matanya memancarkan cahaya makin tajam, tapi
ingatan lain segera melintas dalam benaknya, "Tapi sampai sekarang sikap Liong-heng-pat-ciang
tetap tenang sekalipun orang yang memiliki ilmu silat tinggi tentu juga akan keder berhadapan
dengan lawan begini banyak serta jago panah yang siap di luar halaman. Wah, jangan-jangan
seperti apa yang dikatakannya tadi, dia memang sudah menyiapkan bala bantuan di luar
perkampunganku.
Kepalanya makin mengendor, sinar matanya ikut menjadi pudar pikirnya lebih jauh "Konon
ilmu silat Liong-heng-pat-ciang lihaynya bukan kepalang, sekalipun dia bakal mampus di sini bila
dia sudah berniat beradu jiwa denganku, rasanya sulit bagiku untuk melepaskan diri dari bencana.
Berpikir sampai di sini, semangat tempur makin kendur, dia lantas memutuskan untuk
mengalihkan situasi tegang itu dengan kata-kata yang lain.
Tapi, sebelum dia berucap di pihak lain Jit giau-tui-hun Na Hui-hong telah mengalihkan
pandangnya ke tengah arena, selain siap sedia menghadapi musuh ia pun memperhatikan situasi
dihadapannya dan berpikir "Sepintas lalu posisi Sin jiu Cian Hui se-akan2 lebih tangguh tapi
sesungguhnya posisi Liong-heng-pat-ciang juga tidak lemah, sebab itulah kedua pihak terus ngotot
sampai sekarang. Cian Hui tak berani bergerak disebabkan kuatir bala bantuan tersembunyi dan
Liong-heng pat-ciang, mungkin ia pun jeri terhadap kungfu musuh yang luar biasa dan kuatir
dalam keadaan terdesak mengajak adu jiwa padanya. Tapi bagaimana dengan aku" segenap
kekuatan inti ku tidak berada di sini, tujuan lawan juga bukan diriku setiap saat aku bisa kabur saja
dari sini. Berpikir demikian ia lantas tertawa dingin, pikirnya lebih lanjut "Kalau posisinya
menguntungkan bagiku, kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengadu domba
mereka hingga ke dua belah pihak sama-sama hancur berantakan. Siapa yang menang atau kalah
bagiku hanya ada keuntungan dan tanpa ada kerugian apa yang meski kutunggu pula?"
Hawa napsu membunuh segera terpancar dari matanya, diam-diam dia sudah mengambil
keputusan. Dalam pada itu Liong-heng-pat-ciang Tham Beng tetap bersikap tenang, tangan yang satu
digunakan merangkul puterinya, sedang tangan yang lain seakan-akan sudah siap dengan
kekuatan penuh untuk melancarkan serangan.
Kakek yang perkasa itu pun sedang berpikir jika ditinjau situasi sekarang, Sin-jiu Cian
Hmuipasti tak berani berbuat sesuatu padaku di tempat ini, dia licik dan bisa berpikir panjang, tak
nanti dia mau jadi orang berdosa dunia persilatan. Salahku sendiri datang tanpa membawa bala
bantuan, gertak sambalku mungkin bisa menciutkan hati Cian Hui, tapi bisakah menciutkan juga
hati Jit giau-tui hun Na Hui-hong dan Kim-keh Siang It ti. Di dalam keadaan seperti ini mereka pasti
ingin menarik keuntungan secara tidak langsung, mereka tentu berharap terjadinya suatu
pertumpahan darah di antara kami berdua!"
jilid ke- 13 Diam-diam ia melirik Koay-be-sin-to Kiong Cing-yang serta Pat-kwa-ciang Liu Hui yang berada
do sisinya, kemudian berpikir lagi: "Dua orang ini meski setia padaku, tapi kungfu mereka bukan
jago kelas tinggi, apalagi dalam keadaan seperti ini tak banyak bantuan yang bisa kuharapkan dari
mereka untuk lolos keluar dari sini rasanya tidak menjadi soal mengingat kungfuku tapi bagaimana
dengan..."
Kembali ia tundukkan kepala memandang puteri kesayangannya, Tham Bun ki yang terlelap
dalam pangkuannya.
Melihat mukanya yang pucat bersemu merah, Tham Beng menghela napas, pikirannya, "Ai
bagaimana dengan anak ini " seandainya bukan lantaran dia, tentu aku takkan datang ke Kanglam,
juga tak mungkin mengalami posisi yang tidak menguntungkan seperti sekarang ini!"
Tiba-tiba ia membatin pula "Rupanya Na Hui hong berniat mengadu domba, banjir darah
segera akan terjadi Ah, aku punya akal! jika sampai pertempuran berkobar, serahkan saja anak Ki
kepada tiga Tonghong hengte agar mereka mautak-mau harus turun tangan untuk melindunginya.
Hmm. aku yakin tak seorangpun berani memusuhi orang Hui leng-po."
Demikianlah, tatkala Sin Jiu Cian Hui berusaha melunakkan suasana yang semakin tegang, Jit
giau tui hun Na Hui Hong sebaliknya memanfaatkan kesempatan itu dengan baik.
Sambil tertawa dingin ia berseru "Saudara-saudara sekalian, apa yang kalian tunggu lagi" Mari
kita hancurkan tua bangk
Istana Pulau Es 8 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Harpa Iblis Jari Sakti 13
^