Elang Terbang Di Dataran Luas 7

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Bagian 7


ingin menjaga jarak, tubuh mereka tidak saling
bersentuhan, jelas hal semacam ini susah sekali.
Sedapat mungkin Siau-hong menarik badan sendiri ke
belakang. Sekalipun mereka masih berpakaian, namun pakaian
yang mereka kenakan sudah teramat tipis.
Seorang gadis muda macam Yang-kong, hanya
mengenakan satu stel pakaian yang begitu tipis, sementara
jarak mereka berdua begitu dekat, keadaan mereka saat ini
mirip "kuning telur ganda" dalam satu butir telur.
Asal seorang masih memiliki daya pikir, dia seharusnya
dapat membayangkan bagaimana keadaan mereka berdua
sekarang. Siau-hong hanya bisa sekuat tenaga menarik mundur
tubuhnya, sayang sekali tempat baginya untuk mundur
sudah tidak terlalu banyak.
Biarpun gua itu basah dan gelap, dengus napas Yangkong
justru harum bagaikan angin di musim semi.
Bagi seorang lelaki yang masih muda dan berdarah
panas, situasi semacam ini benar-benar menyiksa hati.
Tiba-tiba Yang-kong tertawa.
Sambil menatap Yang-kong, Siau-hong bertanya, "Apa
yang kau tertawakan?"
"Aku senang tertawa, sering tertawa, tapi rasanya di
masa sebelum ini, kau belum pernah bertanya kepadaku apa
yang sedang ditertawakan."
"Dulu adalah dulu."
"Sekarang mengapa harus bertanya?"
"Karena... karena aku ingin memperingatkan sesuatu
kepadamu."
"Soal apa?"
"Aku adalah seorang lelaki normal," mimik muka Siauhong
amat serius. "Aku tahu kau adalah seorang lelaki!"
"Lelaki yang ada di dunia ini hampir semua sama."
"Aku tahu."
"Oleh karena itu bila kau tersenyum lagi, aku bakal..."
"Kau bakal kenapa?" Yang-kong sengaja bertanya, "Mau
pukul pantatku?"
Siau-hong menatapnya lama sekali, tiba-tiba dia tertawa.
Mereka berdua sama-sama tertawa.
Sesuatu hal yang semula sudah tak kuasa ditahan, tibatiba
semuanya jadi buyar di tengah senyuman mereka.
Tatkala Pancapanah balik lagi ke sana, malam gelap
yang panjang telah berlalu, hutan belukar yang lebat pulih
kembali dalam kecerahan dan ketenangan seperti semula.
Paras Yang-kong dan Siau-hong pun telah cerah kembali,
karena mereka tidak bersalah kepada orang lain, tidak pula
pada diri sendiri.
Pancapanah menatap sekejap mereka berdua, tiba-tiba ia
menepuk lagi bahu Siau-hong kuat-kuat.
"Ternyata kau memang sahabat karib Po Eng," katanya,
"Ternyata Po Eng tidak salah melihatmu"
Tiba-tiba ia tertawa, senyumannya tampak amat
misterius, ucapannya pun sangat aneh.
Tiba-tiba ujarnya kepada Siau-hong, "Tapi sayang kau
sudah mati."
"Aku sudah mati?" tak tahan Siau-hong bertanya,
"Kapan aku matinya?"
"Tadi!"
"Bagaimana matinya?"
"Jatuh dari atas tebing tinggi dan mati terbanting di dasar
jurang," kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya,
"Meski batok kepalamu sudah hancur-lebur bagaikan
semangka yang terjatuh, namun orang lain pasti masih
dapat mengenalinya."
"Kenapa?"
"Karena tubuhmu masih mengenakan pakaian yang
pernah mereka saksikan, dalam genggamanmu pun masih
terdapat pedangmu."
Lalu tambahnya, "Bila kau belum mati, tentu saja
pedang sebagus ini tak bakal kau serahkan kepada orang
lain." Akhirnya Siau-hong memahami maksudnya, dia telah
mencari orang sebagai pengganti dirinya, tewas
mengenaskan di dasar jurang.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yang-kong.
"Tentu saja kau pun sudah mati," jelas Pancapanah,
"Kalian berdua telah mati."
"Mengapa kami harus mati?"
"Mungkin kalian mati demi Po Eng, mungkin juga kalian
terpeleset dan jatuh ke dasar jurang," kata Pancapanah,
"Setiap orang mempunyai banyak alasan untuk mati."
Setelah tersenyum, terusnya, "Siapa tahu ada orang
menduga cinta gelap kalian ketahuan Po Eng sehingga
terpaksa mati bunuh diri bersama."
Yang-kong tertawa geli, begitu juga Siau-hong.
Hati kecil mereka tak ada ganjalan, di antara mereka pun
tak terjalin cinta terlarang, karena itulah mereka masih
dapat tertawa. Bila seseorang setiap saat dapat tertawa, jelas hal ini
bukan sesuatu yang mudah.
Kembali Pancapanah bertanya kepada Siau-hong,
"Tahukah kau mengapa aku harus membuat kalian mati?"
Siau-hong menggeleng.
Sesungguhnya dia memang bukan termasuk orang yang
gemar banyak bicara, apalagi belakangan dia lebih sering
termenung dan membungkam. Bila dia tahu orang lain
dapat menjawab pertanyaan yang sama, ia lebih suka
memilih tutup mulut.
Tentu saja Pancapanah menjawab sendiri pertanyaannya
itu. "Karena aku ingin kalian melakukan satu pekerjaan."
Kemudian ia menjelaskan lagi, "Suatu tugas yang tak
boleh diketahui siapa pun, tak boleh orang tahu apa yang
sedang kalian laksanakan, hanya orang mati baru tak akan
diperhatikan orang lain."
Yang dimaksud 'orang lain' tentu saja musuh mereka.
"Tugas apakah itu?" kembali Yang-kong bertanya,
"Tugas apa yang kau ingin kami lakukan?"
"Pergi mencari Po Eng."
Sekalipun tidak disuruh, mereka tetap akan
melaksanakan tugas ini.
"Aku tahu kalian pasti ingin membalas dendam,
kemungkinan sekarang juga akan pergi mencari Wi Thianbong,
pergi menyatroni Lu-sam," kata Pancapanah.
Mereka memang mempunyai pikiran begitu.
"Tapi sekarang kita harus bersabar, harus dapat menahan
diri," Pancapanah menerangkan, "Peduli apa pun yang
ingin kita lakukan, semuanya baru bisa dilakukan setelah
Po Eng berhasil ditemukan."
Jagat raya begitu luas, mencari seorang di kolong langit
sama susahnya dengan mencari sebatang jarum di dasar
samudra. "Aku pun tahu tugas ini tidak mudah, namun selama kita
percaya diri, sesusah apa pun pada akhirnya pasti dapat
terlaksana juga."
Tiba-tiba ia membalikkan badan.
"Kalian ikutlah diriku."
Dia mengajak mereka mereka menemukan sebuah
pohon yang tak diketahui namanya, dari balik laras
sepatunya ia mencabut sebilah pisau, dengan pisau itu dia
gurat kulit pohon.
Tak lama kemudian dari balik kulit pohon itu meleleh
sejenis cairan berwarna putih susu.
Pancapanah minta Siau-hong dan Yang-kong menadah
cairan itu dengan kedua belah tangannya, kemudian
perlahan menggosokkan cairan tadi ke wajah dan kulit
tangan sendiri.
Kulit wajah mereka segera terasa gatal sekali, lalu
terjadilah perubahan yang sangat aneh.
Tiba-tiba saja kulit muka mereka berubah jadi hitam
bahkan berkeriput, dalam waktu singkat penampilan
mereka seolah sudah bertambah tua sepuluh tahun.
Kembali Pancapanah berkata kepada Siau-hong, "Suku
kami memberi sebuah nama yang istimewa untuk pohon
ini." "Apa namanya?"
"Kong-im!"
"Kong-im (Cahaya gelap)?"
"Suku kami menyebut pohon ini sebagai pohon cahaya
kegelapan," kata Pancapanah, "Khasiatnya paling tidak bisa
bertahan selama satu tahun, dalam setahun mendatang
wajah kalian akan tetap terpelihara seperti ini, aku rasa tak
akan ada orang yang bisa mengenali wajah asli kalian lagi."
Dia mengatakan "Aku rasa" dan bukan "pasti tak akan".
"Oleh karena itu kalian tetap harus waspada, aku akan
membantu kalian mencarikan perlindungan lain."
"Perlindungan apa?" tanya Yang-kong.
"Mulai sekarang kau sudah bukan Yang-kong si Cahaya
matahari biru dan kau pun sudah bukan Siau-hong yang tak
takut mati."
"Aku tahu," jawab Yang-kong, "sekarang kami berdua
sudah mati."
"Oleh karena itu sekarang kalian sudah menjadi dua
orang yang lain," kata Pancapanah, "Kalian adalah
sepasang suami-istri, pasangan suami-istri yang sangat
miskin, harus banting tulang peras keringat untuk
mempertahankan hidup."
Di dunia ini memang banyak terdapat pasangan suami
istri semacam ini, demi mempertahankan hidup, mau tak
mau mereka harus banting tulang bekerja keras dari pagi
hingga malam. "Kalian adalah pedagang, khusus mengangkut hasil bumi
Tibet dan menjualnya ke Tionggoan, serta mencari sedikit
keuntungan."
Kemudian terusnya, "Oleh karena kalian tak punya
keturunan, di rumah pun tak ada orang lain, dan
dikarenakan hubungan kalian sebagai suami-istri rukun,
maka ke mana pun pergi, kalian selalu pergi bersamasama."
Siau-hong dan Yang-kong mendengarkan dengan
seksama. Kembali Pancapanah berkata, "Tentu saja kalian tak
mampu menyewa Piausu untuk mengantar. Demi
keselamatan sepanjang jalan, terpaksa kalian pun bergabung
dengan rombongan saudagar."
"Rombongan saudagar?" Siau-hong tak habis mengerti.
"Rombongan saudagar terdiri dari pedagang kecil
macam kalian yang bergabung jadi satu rombongan besar,"
Pancapanah menerangkan, "Nyaris hampir setiap bulan
pasti ada rombongan besar semacam ini yang berangkat
memasuki perbatasan."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Aku telah
menyiapkan sebuah rombongan untuk kalian."
Cara kerja Pancapanah memang sangat teliti dan cermat,
mau tak mau orang harus mengaguminya.
"Rombongan saudagar ini tidak terlalu besar, kurang
lebih terdiri dari tiga-empat puluhan orang," katanya.
"Pemimpin rombongan bernama Hoapula, sangat
berpengalaman, cekatan dan sangat menguasai medan,
konon sewaktu muda dulu dia adalah anggota pasukan
perang dan pernah ikut penyerangan hingga ke negeri
Turki!" "Ke mana kita harus pergi menemukan dirinya?"
"Hau-ko-ki," sahut Pancapanah, "Mereka telah
menetapkan tempat berkumpul di Hau-ko-ki"
Kemudian dia menambahkan, "Setelah sampai di sana,
pertama-tama kalian cari dulu seorang yang bernama si
Kantong tembakau, beritahu nama kalian kepadanya, lalu
bayar ongkos jalan sebesar dua puluh lima tahil perak, sertamerta
dia akan mengajak kalian menjumpai Hoapula."
Sekarang tersisa pertanyaan yang terakhir.
"Aku menggunakan nama apa"' tanya Yang-kong.
"Kau adalah orang Tibet, bernama Maya."
Kemudian sambil memandang Siau-hong, terusnya,
"Suamimu adalah bangsa Han, jadi dia bernama Biau
Jong." Kemudian sambil meletakkan sepasang tangannya di
bahu mereka berdua, terusnya, "Aku berharap dalam
setahun kalian sudah dapat menemukan Po Eng."
Dalam anggapan Siau-hong dan Yang-kong, orang yang
bernama Hoapula tentunya seorang yang berperawakan
tinggi besar, berwajah kereng, dan serius.
Ternyata dugaan mereka salah besar.
Hoapula adalah seorang pendek, sebetulnya tidak
terhitung kelewat pendek, tapi oleh karena sepanjang tahun
hidupnya berada di atas pelana, hal ini membuat sepasang
kakinya berubah bentuk jadi melengkung hingga kelihatan
bagaikan lingkaran bulat, apalagi sewaktu berjalan, gayanya
lucu sekali. Oleh karena itu dia selalu duduk di atas sebuah bangku
yang amat tinggi, sewaktu memandang orang dengan
sepasang mata julingnya, dari sorot matanya selalu tampil
kesadisan dan kesan mengejek yang sinis, persis seorang
bocah nakal yang sedang menonton kucing yang telah
diikatnya, seperti juga seekor kucing sedang
mempermainkan tikus hasil tangkapannya.
Untung dia memiliki sepasang tangan yang besar.
Tangannya itu lebar, lebar, kasar dan keras, ketika
diletakkan di atas meja, bentuknya seperti dua bilah kapak
yang dalam sekali bacokan dapat membelah meja itu jadi
dua bagian. Mungkin lantaran sepasang tangannya itulah membuat
orang lain mau tak mau menaruh perasaan segan, jeri dan
hormat. Kelebihannya yang lain adalah dia jarang bicara, selalu si
Kantong tembakau yang mewakilinya berbicara.
Tatkala Siau-hong dan Yang-kong berjumpa Hoapula,
waktu itu sudah ada sepasang suami-istri yang lain
menunggu dalam ruang tamu.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang suami istri seperti Siau-hong berdua, demi
melanjutkan hidup, terpaksa siang malam mereka harus
banting tulang dan berjuang.
Usia kedua orang itu termasuk cukup banyak, sang
suami paling tidak berusia tiga-empat puluh tahunan,
sedang istrinya berusia dua puluh tujuh-delapan tahunan,
wajah sang suami banyak dihiasi guratan dan kerutan
karena penderitaan, sementara bininya selalu menundukkan
kepala, malu bertemu orang.
Ketika sang suami menyerahkan ongkos sebesar dua
puluh lima tahil perak, sang istri saking tegang jari
tangannya pun ikut gemetar, sebab sepanjang hidupnya
belum pernah mereka menyerahkan uang sebesar itu.
Dalam pandangan mereka, nilai uang sebesar dua puluh
lima tahil mungkin jauh lebih berharga daripada emas
murni sebanyak tiga puluh laksa tahil milik Lu-sam.
Baru pada hari kedua Siau-hong mengetahui nama
mereka, ternyata sang suami bernama Tio Kun, sedang
istrinya dari marga Oh, mereka memanggilnya Tio Oh-si.
Bagi seorang wanita yang sudah menikah, biasanya
nama asli mereka akan terhapus dengan sendirinya.
Ooo)d*w(ooO BAB 21. BERTEMU TANGAN EMAS LAGI
Siau-hong sama sekali tidak menyangka, sepasang
suami-istri yang amat sederhana ini justru akan menjadi
orang yang paling mempengaruhi perjalanan hidupnya serta
Yang-kong, bahkan boleh dikata telah merubah seluruh
perjalanan hidup mereka.
Tampak Hoapula sudah mulai kehabisan sabar.
Baginya, mau duduk di tempat seperti apa pun, duduk di
atas pelana kuda jauh terasa lebih nyaman.
Namun ketika si Kantung tembakau selesai mewakilinya
mengajukan beberapa pertanyaan sederhana kepada Siauhong
dan Yang-kong, kemudian minta mereka balik ke
kamar, Hoapula justru berseru, "Tunggu sebentar!"
Tiba-tiba tanyanya kepada Siau-hong, "Pernah berlatih
silat?" "Tidak," jawab Siau-hong segera, "Biarpun pernah
berlatih selama beberapa hari, ilmu silat kucing kaki tiga
semacam itu tidak terhitung ilmu silat."
"Apakah kau menggembol senjata?" kembali Hoapula
bertanya. "
Tidak." "Sebilah pisau pun tidak?"
"Sama sekali tidak."
Sekali lagi Hoapula menatap Siau-hong, tiba-tiba dari
balik matanya terpancar senyuman hangat yang aneh,
mendadak dari sakunya dia meloloskan sebilah pisau belati.
"Lebih baik gembollah senjata ini dalam sakumu," ia
serahkan pisau belati itu ke tangan Siau-hong, "Usia binimu
tidak terhitung kelewat tua, padahal rombongan kita ini
terdiri dari berbagai lapisan, jadi sepanjang jalan kau harus
lebih berhati-hati!"
"Orang itu pasti bukan orang baik," begitu kembali ke
kamar Yang-kong segera berbisik kepada Siau-hong, "Pasti
bukan orang baik."
Siau-hong sendiri mau tak mau harus mengakui, sewaktu
tertawa Hoapula memang menunjukkan gejala kurang
beres. Untung saja Yang-kong yang sekarang sudah bukan
Yang-kong bersinar biru, malah istri Tio Kun tampak jauh
lebih menarik ketimbang dirinya.
Sepasang suami-istri itu tinggal di kamar sebelah.
Mereka berdiam di sebuah losmen yang kecil dan murah,
dalam kamar selain terdapat sebuah tempat tidur terbuat
dari bata serta sejumlah kutu busuk, benda apa pun nyaris
tak ada. Dua puluh lima tahil perak termasuk juga tempat
penginapan dan makan, tentu saja mereka tak bisa
menuntut kelewat banyak.
Apalagi tempat tidur tanah masih terhitung cukup
hangat, berada dalam keadaan seperti ini, bisa mendapat
tempat tidur yang hangat sudah terhitung lumayan.
Mereka hanya berharap secepatnya dapat tertidur.
Mereka tak sempat tidur.
Baru saja kedua orang itu akan terlelap, tiba-tiba dari
kamar sebelah terdengar suara aneh.
Pada mulanya mereka masih belum dapat membedakan
suara apakah itu.
Tapi suara itu makin lama semakin keras, bahkan
berlangsung cukup lama, di antara dua kamar itu pun
terpisah oleh selapis dinding tipis.
Seandainya mereka masih kanak-kanak, mungkin masih
belum dapat mengenali suara apakah itu.
Sayang mereka sudah bukan kanak-kanak lagi.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan sekujur badannya jadi
panas. Dia sama sekali tidak menyangka, perempuan yang
begitu tahu aturan, begitu malu sewaktu melakukan
pekerjaan begituan dengan suaminya, ternyata bisa
mengeluarkan suara teriakan semacam ini.
Mungkin saja hal ini disebabkan penghidupan mereka di
hari-hari biasa kelewat sederhana sehingga sewaktu tiba-tiba
berganti suasana, ketika tiba di tempat yang asing, tindaktanduk
mereka jadi sedikit kelewat batas.
Setiap orang pasti akan mengalami saat di mana dirinya
tak sanggup mengendalikan diri, tapi ada sementara orang
sekalipun berada dalam keadaan demikian, mereka tetap
berusaha mengendalikan diri.
Siau-hong memejamkan mata, tubuhnya dari atas hingga
ke bawah tak berani bergerak.
Dia berharap Yang-kong mengira dia sudah tertidur.
Yang-kong pun tidak bergerak, apakah dia pun berharap
Siau-hong menyangka dia telah tertidur"
Fajar telah menyingsing, sinar matahari menyinari
seluruh jagat. Jauh sebelum terang tanah, Siau-hong sudah terbangun
dari tidurnya, dia telah menggunakan segentong air dingin
yang mulai membeku untuk mencuci muka dan
membersihkan badan, kemudian dengan mengitari rumah
penginapan itu berlari keliling sebanyak enam-tujuh belas
lingkaran. Ketika balik ke dalam kamar, Yang-kong telah selesai
bebenah. Dia menatap Yang-kong sambil tertawa, Yangkong
pun menatapnya sambil tertawa, siapa pun tak tahu
apakah semalam pihak lawan tertidur dengan nyenyak atau
tidak. Peduli malam itu mereka tertidur atau tersiksa, yang
penting malam itu dapat mereka lewatkan dengan aman.
Sepasang suami-istri itu pulih kembali dengan gayanya
yang jujur, polos dan tahu aturan, istrinya yang pemalu
tetap menundukkan kepala, takut melihat orang.
Siau-hong serta Yang-kong tak berani memandang
mereka, kuatir bila memandang kedua orang itu dan
terbayang suara aneh yang mereka dengar semalam, bisa
jadi mereka akan tertawa tergelak.
Apa mau dikata ternyata mereka berempat ditempatkan
pada satu kereta keledai yang sama, kereta itu kecil dan
sempit, mereka berempat boleh dibilang hidung berhadapan
hidung, mata berhadapan mata, tak ingin melihat pun tak
mungkin. Ketika makan siang tengah hari itu, ternyata sepasang
suami istri itu sempat membagikan sedikit rangsum mereka
untuk Siau-hong dan Yang-kong, selain daging masak cabe,
ternyata ada juga bubur bawang, masakan kegemaran orang
Tibet. Hidangan itu dibuat dari bawang liar yang tumbuh
khusus di atas bukit Cu-mu-lang-ma, daunnya lebar dan
bawangnya berwarna merah, bagi orang Tibet tumbuhan itu
pada hakikatnya merupakan benda mustika, tak mungkin
benda semacam itu dihidangkan untuk tamunya.
Tampaknya sepasang suami-istri ini khusus meminta
maaf kepada mereka berdua karena tahu Siau-hong dan
Yang-kong tak nyenyak tidurnya semalam.
Siau-hong hanya berharap sewaktu menginap malam
nanti, mereka dapat tidur dengan nyenyak.
Sayang lagi-lagi Siau-hong kecewa berat.
Malam itu dia dan Yang-kong lagi-lagi diberi kamar
bersebelahan dengan suami-istri itu, akibatnya mereka
bertambah menderita.
Tampaknya kekuatan tubuh suami-istri itu jauh lebih
kuat dan segar daripada penampilan mereka.
Seandainya Siau-hong dan Yang-kong adalah sepasang
suami-istri, persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan.
Sayangnya mereka bukan suami-istri sungguhan.
Mimpi pun mereka tak menyangka kalau persoalan ini
merupakan masalah yang paling memusingkan sepanjang
perjalanan, terlebih tak disangka adalah perempuan yang
begitu polos, jujur, dan malu, begitu malam tiba ternyata
berubah jadi makhluk yang mematikan.
Ketika tiba pada malam ketiga, tiba-tiba Siau-hong
mengeluarkan tiga biji dadu dan berkata kepada Yang-kong,
"Mari kita lempar dadu."
"Lempar dadu?" tanya Yang-kong, "Apa yang hendak
kau pertaruhkan?"
"Siapa yang kalah, malam ini dia harus tidur dalam
kereta di luar sana."
Tentu saja yang kalah adalah Siau-hong, dalam dadu itu
dia telah melakukan kecurangan, karena dia lebih rela tidur
dalam kereta. Dan dia pun tertidur nyenyak.
Tapi sayang Yang-kong tetap tak dapat tidur.
Walaupun suara dari kamar sebelah untuk sementara
menjadi tenang, ia justru terbayang banyak urusan, banyak
urusan yang seharusnya tidak terbayangkan olehnya.
Pada saat itulah ia mendengar ada orang mendorong
pintu. Jantungnya kontan berdebar keras.
Apakah Siau-hong telah kembali"
Ternyata bukan.
Yang datang ternyata orang lain, ia tidak melihat jelas
paras orang itu, tapi cukup melihat kakinya yang pendek,
segera diketahui siapa yang telah datang.
Sambil melompat bangun teriak Yang-kong, "Mau apa
kau datang kemari?"
"Menemanimu," Hoapula menatap tajam gadis itu dan
mulai mengulum senyuman cabul, "Aku tahu lakimu tak
becus, jadi aku khusus datang untuk menemanimu."
Yang-kong menarik kencang selimutnya.
"Aku tak mau kau temani," gadis itu benar-benar tegang,
"Kalau kau tidak segera pergi, aku akan berteriak."
"Berteriak" Memanggil siapa" Suamimu?" Hoapula
tertawa menyengir, "Sekalipun dia diundang kemari pun,
apa gunanya?"
Dia menggunakan sepasang tangannya yang kuat bagai
baja untuk mengambil sebuah cawan teh, begitu diremas,
cawan itu seketika hancur berkeping-keping.
"Memangnya suamimu memiliki kungfu seperti apa yang
kumiliki?" tanya Hoapula sambil tertawa cabul.
Yang-kong hanya bisa menggeleng.
Sekarang mereka tak lebih hanya sepasang suami-istri
yang sederhana, tentu saja mereka tak memiliki kungfu
sehebat itu. Dia tak boleh membocorkan identitas.
Tapi selangkah demi selangkah Hoapula telah berjalan
mendekat, dalam waktu singkat telah tiba di ujung
pembaringan. "Kalau kau berani teriak, aku akan segera menyumpal
mulutmu. Bila suamimu berani kemari, aku akan
menghajarnya hingga mampus."
Tampaknya dia sudah bertekad tak akan melepaskan
gadis ini. Sekarang dia sudah bukan sinar matahari berwarna biru,
sekarang dia tak lebih hanya seorang wanita yang hitam
dan jelek. Aneh, mengapa Hoapula justru kesemsem
padanya" Yang-kong merasa cemas, jengkel bercampur keheranan.
Saat itulah Hoapula telah menerkam ke depan, sepasang
tangannya yang besar sudah siap melucuti pakaian yang
dikenakan gadis itu.
Tapi ia gagal menangkap gadis itu, yang ditangkap
hanya sebuah buntalan kain.
Rupanya Yang-kong telah berkelit ke sudut ranjang, lalu
tangannya menyambar buntalan itu dan menimpuknya
kuat-kuat. Pakaiannya gagal dirobek, tapi buntalan itu segera
tersambar hingga robek, semacam benda tiba-tiba keluar
dari buntalan dan terjatuh ke lantai.
Tiba-tiba Hoapula menunjukkan mimik muka ketakutan,
rasa takut, ngeri yang luar biasa, tanpa mengucapkan
sepatah kata pun dia kabur meninggalkan ruangan.
Tindak-tanduknya begitu gugup, seakan-akan baru saja
bertemu setan iblis, tanpa berpaling dia melarikan diri
terbirit-birit.
Yang-kong merasakan jantungnya masih berdebar keras,
tangan dan kakinya masih terasa dingin.
Mengapa secara tiba-tiba Hoapula melarikan diri" Apa
yang telah dilihatnya"
Ia benar-benar tak habis mengerti.
Barang itu terjatuh dari dalam buntalan, padahal pagi ini
dia sendiri yang membungkus buntalan itu, di sana tak
mungkin terdapat benda yang bisa membuat orang begitu
ketakutan hingga melarikan diri.
Kembali pintu didorong orang, kali ini yang masuk
bukan orang lain, melainkan Siau-hong.
Dia pun tak bisa tidur terlalu nyenyak, siapa pun tak
mungkin dapat tidur nyenyak di dalam kereta yang dingin,
keras dan sumpek.
Apalagi selama ini dia mempunyai pendengaran yang
sangat tajam. Melihat kemunculan Siau-hong, Yang-kong


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghembuskan napas lega.
"Coba kau lihat, apakah di bawah ranjang terdapat
sesuatu benda?" tanyanya kepada Siau-hong.
Siau-hong cukup memandang sekejap, parasnya seketika
berubah hebat. Yang-kong semakin gelisah, semakin keheranan. "Apa
yang telah kau lihat?"
Perlahan-lahan Siau-hong membungkukkan badan, dari
bawah ranjang memungut sesuatu benda.
Ternyata yang diambil adalah sebuah tangan. Tangan
emas!! "Bukankah pagi tadi kau sendiri yang membungkus
buntalan ini?" tanya Siau-hong kemudian.
"Benar."
"Apakah saat itu sudah ada Tangan emas dalam
buntalanmu?"
"Tidak, sama sekali tak ada," jawaban Yang-kong amat
tegas. "Apakah barusan kau menyaksikan sendiri benda itu
terjatuh dari dalam buntalan?"
"Aku melihat dengan sangat jelas."
"Lantas mengapa Tangan emas itu bisa muncul di dalam
buntalanmu?"
"Aku sendiri pun tak tahu." Dia benar-benar tidak tahu.
Tangan emas merupakan benda kepercayaan Hok-kuisin-
sian Lu-sam untuk memberi komando kepada para jago,
sebetulnya mustahil dapat ditemukan dalam buntalannya.
Tapi sekarang peristiwa yang tak mungkin justru telah
terjadi. Malam yang panjang belum juga lewat, tapi suasana di
kamar sebelah telah lama menjadi tenang kembali.
Tiba-tiba Siau-hong bertanya lagi, "Hari ini siapa yang
telah menyentuh buntalan itu?"
"Tidak ada," nada bicara Yang-kong sudah tidak seyakin
tadi, "Rasanya tidak ada."
"Rasanya tidak ada atau sama sekali tak ada?"
Yang-kong mulai sangsi, pertanyaan ini sulit baginya
untuk memberikan jawaban yang pasti, tapi seingatnya
buntalan itu selalu berada dalam genggamannya, belum
pernah lepas dari pandangan matanya.
Yang benar "nyaris", bukan "sama sekali"
Kembali Siau-hong bertanya, "Mungkinkah ada orang
yang bisa mencari kesempatan untuk menyusupkan Tangan
emas itu ke dalam buntalanmu?"
Kalau ingin mencuri buntalan itu dari sisi tubuhnya, jelas
hal ini mustahil bisa terjadi, tapi untuk memasukkan benda
ke dalam buntalan, jelas ini persoalan lain.
Yang-kong segera menjawab, "Ada!" Berkilat sepasang
matanya. "Hanya ada seseorang."
"Siapa?"
Sambil menuding kamar sebelah, sahut Yang-kong,
"Perempuan yang setiap malam ribut terus dan membuat
kita tak bisa tidur nyenyak."
Siau-hong tidak bicara lagi.
Padahal sejak awal dia telah menduga ke situ. Mereka
duduk dalam satu kereta dan sekarang boleh dibilang sudah
menjadi sahabat.
Ketika berada dalam kereta, Tio Oh-si selalu duduk di
samping Yang-kong, sedang Yang-kong pun selalu tak
tahan untuk tertidur, jika Tio Oh-si menggunakan
kesempatan itu untuk memasukkan sesuatu benda ke dalam
buntalannya, jelas hal ini bukanlah sesuatu yang susah.
"Mungkin Pancapanah sama sekali tak berhasil
membohongi Lu-sam, mungkin saja sepak terjang kita
sudah ketahuan," kata Yang-kong, "Oleh sebab itu, sejak
awal dia sudah mengutus orang untuk menguntit kita."
"Kau sangka sepasang suami-istri itu adalah orang yang
dikirim Lu-sam?"
Yang-kong menggigit bibirnya.
"Sejak awal aku telah menaruh curiga terhadap mereka,
seorang wanita saleh yang polos dan jujur, sudah jelas dia
tahu kamar sebelah ada orang, kenapa tiap malam selalu
berteriak macam setan menangis?"
Rasanya sepasang pipinya agak memerah, terusnya,
"Mungkin dia memang sengaja mengacau agar kita tak
dapat tidur nyenyak, agar siang hari kita tak punya
semangat, karenanya dia baru mendapat kesempatan untuk
turun tangan."
Walaupun semua itu hanya dugaannya, namun dugaan
semacam ini bukannya sama sekali tanpa alasan.
Satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil adalah "Bila
Lu-sam telah mengetahui gerak-gerik kita, mengapa dia
tidak langsung menghabisi nyawa kita?"
"Karena dia masih ingin mencari tahu jejak Po Eng dari
kita berdua, oleh sebab itu secara diam-diam dia mengutus
orang untuk membuntuti, bahkan berusaha agar kita tidak
mengetahuinya."
"Bila sepasang suami-istri itu benar-benar adalah jagoan
yang secara diam-diam diutus Lu-sam untuk membuntuti
kita, mengapa pula dia memasukkan Tangan emas itu ke
dalam buntalan kita?" tanya Siau-hong, "Bukankah dengan
berbuat begitu sama artinya mereka telah membocorkan
identitas sendiri?"
Yang-kong tidak berbicara lagi.
Dalam hal ini dia sendiri pun tidak habis mengerti, di
balik kejadian ini memang terdapat banyak sekali masalah
yang bertolak belakang.
Suasana di kamar sebelah sebenarnya sudah cukup lama
tenang, sekarang secara tiba-tiba muncul suara lagi.
Suara seorang lelaki yang terbatuk-batuk, lalu suara
wanita menghela napas, suara orang turun dari ranjang,
membuka pintu kamar dan suara seorang berjalan sambil
menyeret sandal.
Tak disangkal di antara suami-istri itu ada seseorang
telah turun dari ranjang, membuka pintu dan berjalan
keluar. Di tengah malam buta begini, mau apa keluar kamar"
Siau-hong segera merendahkan suaranya, "Biar aku pergi
memeriksa."
"Aku ikut," dengan cepat Yang-kong melompat turun
dari atas pembaringan, "Kali ini kau tak boleh membiarkan
aku tinggal seorang diri lagi dalam kamar."
Suara langkah kaki tadi tampaknya sedang menuju ke
arah dapur, saat ini di dalam dapur seharusnya sudah tak
ada orang. Tapi dari bawah tungku terlihat ada lidah api, di atas
tungku terlihat sekuali air.
Diam-diam Siau-hong dan Yang-kong menyelinap ke
samping dapur, benar saja, mereka menjumpai di dalam
dapur terdapat seseorang.
Seluruh cahaya lampu telah dipadamkan, losmen kecil
dengan harga yang sangat miring ini pasti enggan berborosboros,
tak mungkin ada lampu minyak yang dipasang,
apalagi petugas jaga malam yang meronda.
Untung saja di langit ada sinar bintang, dari bawah
tungku pun ada cahaya api, mereka masih dapat mengenali
orang itu adalah Tio Oh-si.
Waktu itu Tio Oh-si sedang menggayung air, mengambil
air mendidih dari kuali besar dan segayung demi segayung
dimasukkan ke dalam sebuah tahang kayu.
Tubuhnya walaupun sudah dibalut jubah luar suaminya,
dia tampak seperti agak kedinginan, tampaknya selain
jubah luar itu, tubuhnya sama sekali tak berpakaian.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan jantungnya berdebar
keras, sebab dia telah membuktikan kebenaran akan hal ini.
Ternyata di balik jubah itu, dia benar-benar telanjang
bulat, tak secuwil kain pun yang menutupi badannya.
Baru saja dia mengambil segayung air, tiba-tiba karena
kurang berhati-hati air itu tumpah dan segera membasahi
jubahnya. Cepat perempuan itu meletakkan kembali gayung kayu
sambil menjinjing jubahnya yang basah, maka tubuh
bugilnya seperti bayi yang baru lahir pun segera terpampang
jelas di depan mata.
Tentu saja tubuhnya tidak mirip dengan bayi yang baru
lahir, kulit tubuhnya putih mulus, pinggangnya ramping,
sepasang kakinya putih, halus dan kuat. Siau-hong sudah
seringkali melihat perempuan telanjang, tapi belum pernah
menyaksikan tubuh telanjang yang begini indah, montok,
dan menggiurkan.
Dalam waktu sekejap dia merasakan jantungnya nyaris
melompat keluar dari rongga dadanya.
Untung saja pada waktu itu Tio Oh-si telah selesai
mengambil air dan beranjak dari dapur sambil membawa
satu tahang air.
Siau-hong dan Yang-kong yang bersembunyi di sudut
ruangan pun menghembuskan napas lega.
"Sudah kau lihat?" tiba-tiba Yang-kong bertanya.
"Melihat apa?" Siau-hong sengaja berlagak pilon.
Tak tahan Yang-kong tertawa cekikikan.
"Kau seharusnya tahu apa yang telah kau lihat, bahkan
melihat jauh lebih jelas daripada diriku."
Bila bertemu kejadian semacam ini, wajar bila mata
lelaki selalu lebih tajam daripada mata wanita.
Terpaksa Siau-hong harus mengakuinya.
Sambil tertawa kembali kata Yang-kong, "Tentunya kau
pun telah melihat wajah dan tangannya?"
"Ehm!"
"Menurut kau, kulit wajah dan tangannya seperti apa?"
"Seperti kulit jeruk," walaupun perumpamaan Siau-hong
tidak terlalu bagus, namun penilaiannya tidak terlalu beda
jauh. "Kalau kulit badannya?" kembali Yang-kong bertanya.
Dia tahu kemungkinan Siau-hong enggan menjawab
pertanyaan ini, maka jawabnya sendiri, "Kulit badannya
seperti sutera, seperti susu kambing, belum pernah kulihat
kulit badan perempuan sebagus dan semulus dia."
Dalam hal ini mau tak mau Siau-hong harus
mengakuinya. Tapi kulit badan seorang wanita seharusnya
tidak terdapat perbedaan yang begitu besar dengan kulit
wajahnya. "Pernahkah kau melihat perempuan semulus ini?"
"Tidak, kecuali...."
Yang-kong segera mewakili Siau-hong untuk menjawab,
"Kecuali dia pun seperti aku, menggunakan cairan Kong-im
atau cairan sebangsanya untuk mengubah kulit wajah serta
kulit tangannya!"
Tak disangkal lagi, inilah penjelasan yang paling masuk
akal. Sepasang suami istri ini telah menyamar, keikut
sertaannya dalam rombongan saudagar ini tentu saja demi
menguntit Siau-hong serta Yang-kong.
Sekalipun di balik kejadian ini terdapat banyak hal yang
sukar dijelaskan, paling tidak dalam hal itu sudah tak perlu
diragukan lagi.
Kembali Yang-kong bertanya kepada Siau-hong,
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Aku sendiri pun tak tahu," jawab Siau-hong setelah
termenung sesaat, "Tampaknya kita harus berlagak bodoh,
hanya bisa menunggu."
"Menunggu apa?"
"Menunggu dan memperhatikan gerak-gerik mereka,
menunggu sampai mereka tak sanggup menahan diri,
menunggu kesempatan untuk turun tangan."
Tak dapat disangkal, memang inilah satu-satunya cara.
Karena mereka tak bisa tidak harus tetap berangkat.
Kalau toh jejak mereka sudah ketahuan, mau pergi ke
mana pun, hasilnya tetap sama saja.
Hanya sayang, menunggu adalah siksaan hidup yang
paling menderita.
Hari kedua masih seperti hari-hari sebelumnya, matahari
masih terbit dari ufuk timur, rombongan tetap berangkat
subuh. Yang berbeda adalah Hoapula yang setiap hari pasti
duduk di pelananya sambil mengontrol barisan, hari ini
karena "tak enak badan" ia tidak menampakkan diri,
sebagai gantinya si Kantung tembakau yang memimpin
rombongan. Siau-hong dan Yang-kong masih berada satu kereta
dengan Tio Kun suami-istri, sang suami masih jujur dan
lugu sementara bininya masih tetap malu-malu dan tak
pernah berani mendongakkan kepala.
Yang-kong serta Siau-hong pun terpaksa berlagak seakan
tak pernah melihat apa pun, seakan tak pernah terjadi
sesuatu apa pun.
Bahkan Siau-hong tak berani memandang lagi ke arah
Tio Oh-si, jangankan memandang, melirik pun tak berani.
Karena setiap kali melihat wajahnya, tak tahan dia pun
akan terbayang adegan syur yang dilihatnya semalam di
balik dapur yang remang-remang, dia pun akan terbayang
pula tubuhnya yang mulus, payudaranya yang montok,
pinggangnya yang ramping dan....
Bagaimana mungkin seorang pria muda macam Siauhong
dapat melupakan pemandangan panas yang begitu
indah, begitu merangsang napsu syawat" Jelas sesuatu yang
amat sulit. Untung saja selepas makan siang, si Kantung tembakau
meminta mereka berdua untuk berpindah ke dalam kereta
lain. Urutan kereta pun tampaknya sudah terjadi perubahan
dan pertukaran.
Setiap kereta masih diisi empat orang, hanya kali ini
Siau-hong berada satu kereta dengan sepasang ayah
beranak, ayahnya sudah tua, lesu sementara putranya
berwajah penyakitan, mereka berdua selalu membungkam
dan jarang tersenyum.
Siau-hong segera memandang ke arah Yang-kong, begitu
pula Yang-kong memandang Siau-hong, dalam hati mereka
berdua sadar, bukan sesuatu yang mudah bagi mereka
untuk menyelesaikan perjalanan ini dalam keadaan aman
tenteram. Selewat tengah hari, rombongan mulai memasuki


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawasan perbukitan.
Jalan gunung berliku-liku dan berbahaya, tanah yang
naik turun tak merata membentang hingga jauh ke ujung
langit dan akhirnya lenyap di sisi bukit yang memerah
karena cahaya sang surya.
Di bawah bukit dekat jalan setapak, tersebar bebatuan
cadas berwarna hitam yang amat besar, di sisi depan terlihat
sebuah gunung besar berwarna hitam, pemandangan mirip
dongeng yang mengisahkan seekor burung rajawali sedang
terbang di udara sambil mengawasi kerumunan manusia,
keadaan itu memberikan tenaga tekanan yang luar biasa
besarnya. Siau-hong dan Yang-kong duduk semakin merapat.
Bila ada orang hendak melakukan penghadangan dan
berencana membunuh mereka di tengah jalan, tak salah lagi
tempat ini merupakan tempat yang paling baik.
Mereka tak ingin menderita kekalahan dalam
menghadapi sergapan itu, karenanya tubuh mereka berdua
menempel lebih rapat, dalam hati pun telah membuat
persiapan. Pada saat itulah mereka dengar suara "Kraak!",
kemudian tampak sebuah roda kereta menggelinding
terbang ke depan, menumbuk di atas batu cadas hitam di
tepi jalan dan hancur berantakan.
Pada saat yang bersamaan inilah Siau-hong menarik
Yang-kong melompat keluar dari ruang kereta.
Kusir kereta masih berusaha mengendalikan keretanya,
roda kereta pun masih bergerak tiada hentinya walau kini
roda tinggal tersisa tiga buah.
Roda as sebelah kiri belakang telah patah jadi dua,
rombongan kereta yang berada di barisan depan pun sudah
tak nampak jejaknya.
Cahaya merah di balik bukit lambat-laun berubah
menjadi warna merah tua yang meski nampak indah,
namun menyisipkan perasaan kesedihan yang tak terhingga.
Senja telah tiba, sebentar lagi malam akan menjelang.
Ternyata ayah beranak itu masih tertinggal dalam ruang
kereta, entah sudah jatuh pingsan ataukah sedang
menunggu datangnya serangan.
"Coba kau periksa," Yang-kong berkata, "Coba periksa
apa yang telah terjadi?"
Siau-hong tidak memeriksa orang yang berada dalam
ruang kereta, dia hanya memeriksa as roda kereta yang tibatiba
patah. As roda tampak rata pada bekas patahannya, asal orang
yang berpengalaman, mereka pasti tahu kalau as ini
memang sengaja digergaji sebelumnya hingga patah
setengah. Tentu saja Siau-hong pun dapat melihatnya.
"Datang juga akhirnya," dia menghembuskan napas
panjang. "Mereka?"
"Benar!"
Yang-kong ikut menghembuskan napas panjang.
"Bagaimana pun juga mereka tidak menyuruh kita
menunggu kelewat lama."
Ayah beranak yang berada dalam kereta masih juga tak
bergerak, sekalipun mereka sedang menunggu kesempatan
baik untuk melancarkan bokongan, saat ini seharusnya
merupakan saat yang paling tepat.
"Mengapa kalian berdua masih belum juga keluar?" tegur
Siau-hong sambil tertawa dingin.
Kemudian sambil menendang pintu kereta, teriaknya
lagi, "Mengapa kalian berdua belum juga turun tangan?"
Dari dalam ruang kereta belum juga terdengar reaksi apaapa,
dari kedua sisi jalan perbukitan pun tak nampak
munculnya bayangan manusia.
Siau-hong kembali melepaskan satu tendangan,
membuat ruang kereta yang terbuat dari anyaman bambu
itu seketika hancur berantakan.
Ternyata ayah beranak itu masih berada dalam ruang
kereta, dalam genggaman mereka berdua masing-masing
memegang sebuah tabung senjata rahasia berpegas tinggi
yang terbuat dari tembaga kuning.
Anehnya, senjata rahasia yang berada dalam tabung itu
sama sekali tak dipancarkan, sementara tubuh mereka
berdua telah mati kaku, wajahnya menghitam, biji matanya
melompat keluar seperti bangkai ikan, sinar mata yang
tertinggal pun memancarkan perasaan ngeri dan ketakutan
yang luar biasa.
Tak salah lagi, kedua orang ini memang sengaja
dipasang dalam kereta untuk melakukan pembokongan,
rupanya mereka sudah siap melancarkan serangan begitu
mendapat kesempatan.
Tapi sekarang mereka berdua telah mati, di saat mereka
siap melancarkan bokongan itulah mereka telah mati.
Mengapa mereka bisa mati"
Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan ini adalah....
Yang-kong berhasil mengetahui rencana busuk mereka,
karena itulah mereka berniat menyerang lebih dahulu.
Siau-hong menatap Yang-kong, kemudian menghela
napas panjang. "Kau memang hebat," katanya, "Serangan yang kau
lancarkan ternyata jauh lebih cepat daripada apa yang
kubayangkan."
"Apa kau bilang?" Yang-kong seperti tak mengerti.
"Kusangka kau tak bakal menyerang secepat itu," kata
Siau-hong lagi, "Karena kita belum dapat membuktikan
kalau mereka benar-benar merupakan jagoan pihak lawan,
apa jadinya bila kita salah membunuh?"
Yang-kong balik menatapnya, jelas ia sangat terperanjat.
"Jadi kau sangka akulah yang telah membunuh mereka?"
Ooo)d*w(ooO BAB 22. LELAKI TERNAMA, ARAK
MEMABUKKAN "Memangnya bukan?"
"Tentu saja bukan," sahut Yang-kong, "Malah kusangka
kau yang melakukan."
Siau-hong tambah terkesiap.
Tentu saja dia pun tahu kedua orang ini bukan mati di
tangannya. "Jadi bukan kau?" kembali Yang-kong bertanya.
"Bukan."
"Kalau bukan kau, bukan pula aku, siapa yang
melakukan?"
Pertanyaan ini bukan mereka berdua yang mampu
menjawabnya. Wajah mayat-mayat itu bersemu hitam, tampaknya
mereka tewas karena keracunan, tapi siapa yang
melepaskan racun" Kapan mereka diracun" Kenapa mereka
harus mati diracun" Apakah demi membantu Siau-hong
dan Yang-kong untuk terlepas dari bencana" Kenapa dalam
rombongan ini bisa terdapat antek mereka"
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan semacam ini pun tak
mungkin bisa mereka jawab.
Sementara Siau-hong dan Yang-kong masih berdiri
terperangah, tiba-tiba dari balik batu cadas di tepi jalan
telah bermunculan empat-lima puluh orang.
Empat-lima puluh orang yang dilengkapi dengan panah.
Mereka terdiri dari berbagai jenis manusia, ada bangsa
Han, ada suku Tibet, ada suku Biau, panah yang dibawa
pun aneka macam, ada busur besar dengan panah panjang,
ada pula panah otomatis yang berpegas tinggi, bahkan ada
juga yang membawa tulup yang biasa dipakai suku Biau
untuk berburu. Siapa pun tak akan bisa membedakan begitu banyak jenis
anak panah dalam sekali pandang, tapi siapa saja dapat
melihat kalau setiap anak panah itu lebih dari cukup untuk
menghabisi nyawa manusia.
Tempat ini merupakan bagian tanah perbukitan yang
paling berbahaya, jika ada orang memberi perintah dan
anak panah berhamburan, biar jagoan selihai Po Eng pun
jangan harap bisa lolos dari sana dalam keadaan selamat.
Perasaan Siau-hong mulai tenggelam.
Ia mengetahui akan hal itu, kesempatan hidup mereka
berdua kali ini memang tidak besar.
Suasana amat hening, batu hitam tiada bersuara, panah
pun tidak mendesing, bahkan orang-orang itu tak ada yang
bersuara, mereka seakan sedang menunggu.
Tapi apa yang ditunggu"
Dengan jelas Siau-hong memperoleh jawaban atas
pertanyaan ini.
Rupanya mereka sedang menunggu Hoapula.
Kini Siau-hong telah melihat kemunculan Hoapula.
Hoapula berdiri di atas sebuah batu karang yang berada
di puncak paling tinggi, menggunakan sorot matanya yang
dingin penuh ejekan sedang menatap mereka, seperti kucing
yang sedang memperhatikan tikus di bawah cakarnya.
Dia pun tahu, kali ini mereka tak bakal bisa meloloskan
diri. Siau-hong hanya bisa tertawa getir.
Dia pun sama sekali tak menyangka kalau Hoapula
adalah anak buah Lu-sam, padahal cara kerja Pancapanah
selalu teliti dan penuh rahasia, mengapa sebelum ia berhasil
mencari tahu asal-usul yang sebenarnya dari orang ini, telah
mengantar mereka bergabung dengan rombongannya"
"Sekarang apa yang bisa kau katakan?" tiba-tiba tegur
Hoapula. "Tidak ada!"
"Kalau begitu lebih baik ikut aku pulang ke rumah, ikut
tanpa melawan."
"Pulang ke rumah" Rumah siapa?" tak tahan Siau-hong
bertanya. "Tentu saja rumahmu sendiri," suara tawa Hoapula
penuh rasa puas dan bangga, "Sekarang kalian pasti sudah
tahu bukan bahwa susah melakukan perjalanan di luar,
lebih baik pulang saja ke rumah."
Siau-hong semakin terperangah.
Pada hakikatnya dia tak mengerti apa yang sedang
dikatakan Hoapula, bukankah sekarang mereka sudah tak
punya rumah. Siau-hong tidak mengerti, Yang-kong pun tidak
mengerti. Mereka berdua tak tahu bagaimana harus
menjawab, karenanya hanya tetap membungkam.
Terkadang membungkam bisa diartikan "mengakui", bisa
dimaksudkan "setuju", karena itu tawa Hoapula makin
gembira. "Aku tahu kalian tak bakal membangkang, hanya saja
aku selalu melangkah hati-hati, terhadap kalian berdua, aku
tetap merasa sedikit tak lega."
Hoapula sengaja berpikir sejenak, kemudian baru
melanjutkan, "Bila kalian bersedia mengikat kaki dan
tangan sendiri dengan tali, kemudian membuat tiga kali
simpul mati, aku baru merasa lega."
Kemudian kembali dia menegaskan, "Jangan lupa, harus
dibuat simpul mati, mataku istimewa bagus dan tajam, lebih
baik kalian jangan mencoba mengelabui diriku."
"Kemudian?" sengaja Siau-hong bertanya.
"Kemudian" Tentu saja aku akan mengantar kalian
pulang sampai ke rumah."
Mendadak Hoapula menarik wajah, "Kalau aku hitung
sampai angka tiga dan kalian belum juga turun tangan,
terpaksa aku hanya bisa mengirim pulang mayat-mayat
kalian." Hoapula benar-benar mulai menghitung.
Sekalipun wajahnya cemberut, sorot matanya justru
dipenuhi senyuman keji, buas, dan penuh ejekan.
Siau-hong dapat melihat, orang itu bukan bersungguh
hati akan turun tangan terhadap mereka berdua, terlebih
bukan bersungguh hati akan mengantar mereka pulang ke
rumah. Ia sengaja berbuat begitu tak lebih untuk memberikan
sebuah pertanggung jawaban terhadap seseorang.
Padahal sesungguhnya dia sangat berharap bisa
menyaksikan lawannya mampus dibidik hujan panah,
mampus dengan tubuh hancur-lebur, membiarkan setiap
anak panah menembus setiap jengkal tubuhnya,
menghancurkan setiap ruas tulang-belulangnya, kemudian
mengantar mayat mereka yang telah hancur pulang ke
rumah. Hitungan dilakukan sangat lamban, sebab dia pun tahu,
tak nanti mereka bersedia membelenggu kaki tangan
sendiri. Baru sampai hitung kedua, terdengar "Krak!", sudah ada
serentetan anak panah meluncur tiba.
Sederet suara gendawa bergema di angkasa, tiga anak
panah telah melesat membelah angkasa, namun bukan
Yang-kong dan Siau-hong yang menjadi sasaran.
"Triing!", tiga batang anak panah itu bersama-sama
menghajar di atas batu karang persis di hadapannya hingga
menimbulkan percikan bunga api.
Tiba-tiba seseorang terjatuh dari tengah udara, roboh
terbanting di atas jalan setapak dengan batok kepala hancur,
tiada jerit kesakitan di saat menyentuh tanah, sebab
sebelum terjatuh ke tanah ia sudah merenggang nyawa.
Suara aneh itu berkumandang setelah orang itu
terbanting ke tanah, muncul dari mulut orang lain.
Mendadak sekilas cahaya pedang berkilauan tajam
berkelewat dari atas batu karang.
Cahaya pedang beterbangan bagaikan sambaran petir,
jeritan aneh pun bergema silih berganti, para pemanah yang
bersembunyi di atas batu karang seorang demi seorang
roboh terjungkal ke tanah.
"Pancapanah!" pekik Yang-kong kaget.
Tentu saja orang yang datang menyelamatkan mereka
adalah Pancapanah, selain dia, siapa lagi yang bakal
muncul di sana"
Berubah paras Hoapula, belum ia berbuat sesuatu, Siauhong
bagaikan segulung angin topan telah menerjang ke
muka.

Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoapula membentak nyaring, dengan tangannya yang
besar bagai kapak raksasa, ia melolos seutas cambuk
berantai yang amat berat, lalu disertai deruan angin tajam
menyapu ke depan.
Menghadapi ancaman sehebat ini, terpaksa Siau-hong
harus mundur untuk menghindar.
Menggunakan peluang itu, cambuk besi di tangan
Hoapula segera diayunkan berulang kali, bukan saja ia
berhasil merebut posisi yang lebih menguntungkan, bahkan
berhasil pula menguasai keadaan.
Pemanah yang berada di atas batu karang tampaknya
belum terbantai habis, masih terlihat anak panah
beterbangan... tampaknya Yang-kong terhajar sebatang
anak panah. Di saat Siau-hong menerjang maju untuk keempat
kalinya, tiba-tiba cambuk baja yang berada di tangan
Hoapula terkulai lemas, terkulai seperti seekor ular yang
sudah mampus. Menyusul tampak paras Hoapula mengejang keras, sinar
matanya yang semula berkilat tiba-tiba berubah jadi kelabu,
keadaannya persis ular berbisa yang tertangkap tubuh
bagian tujuh incinya.
Kepalanya terkulai lemas, terkulai sambil mengawasi
dada sendiri, sorot matanya yang kelabu dipenuhi perasaan
ngeri, takut, kaget, dan tercengang.
Siau-hong ikut mengawasi dadanya, sinar terkejut dan
keheranan pun terpancar dari balik matanya, sebab di atas
dada Hoapula tiba-tiba muncul sebuah benda yang tembus
dari punggungnya.
Semacam benda yang memancarkan sinar berkilauan,
sebagian dari ujung pedang yang sangat tajam.
Pedang itu menusuk masuk dari punggung hingga
tembus di dada, sebuah tusukan pedang yang langsung
menembus hulu hatinya.
Tetesan darah segar masih meleleh di saat ujung pedang
itu dicabut. Namun tubuh Hoapula tidak roboh, dia masih berdiri
kaku. Seseorang berdiri di belakang Hoapula dengan pedang
terhunus, orang itu adalah manusia yang berhasil
merobohkan puluhan jago pemanah dalam waktu singkat,
orang yang berhasil menyarangkan pedangnya di dada
Hoapula, menusuk tembus hulu hatinya.
Ternyata orang itu bukan Pancapanah! Pedang yang
berada dalam genggamannya pun ternyata pedang Mo-gan,
si Mata iblis milik Siau-hong.
Siapakah orang ini"
Kecuali Pancapanah, siapa yang bakal datang
menyelamatkan Siau-hong dan Yang-kong"
Mengapa dalam genggaman tangan orang itu bisa
muncul pedang mata iblis milik Siau-hong"
Mungkinkah Po Eng" Mungkinkah pada akhirnya Po
Eng telah muncul"
Sebelum melihat jelas tampang muka orang itu, Siauhong
memang sempat berpikir demikian, pemikiran itu
membuat emosinya menggelora, membuat sekujur
tubuhnya gemetar keras. Sayang lagi-lagi dugaannya keliru
besar. Orang itu bukan Pancapanah, bukan pula Po Eng, tapi
seseorang yang mimpi pun tak pernah diduga, seseorang
yang mustahil bisa muncul untuk menyelamatkan mereka
berdua. Ternyata orang itu adalah Tio Kun, orang yang begitu
polos, begitu tahu aturan, bahkan sewaktu menyerahkan
ongkos sebesar dua puluh lima tahil perak pun tangannya
sempat gemetar lantaran tegang.
Kini tangannya justru lebih mantap daripada batu
karang. Dalam tangannya tergenggam sebilah pedang, ternyata
pedang itu adalah "Mo-gan" si Mata iblis milik Siau-hong.
Cahaya dingin yang aneh dan misterius masih terpancar
dari pedang "Mo-gan", sorot mata orang itu pun
membiaskan sinar tajam.
Kini dia sudah bukan lagi lelaki polos yang penuh sopan
santun, hawa pembunuhan yang terpancar dari tubuhnya
bahkan jauh lebih menakutkan daripada hawa pembunuhan
yang terpancar dari pedang mata iblis.
"Sebenarnya siapa kau?" tegur Siau-hong.
"Orang yang datang untuk membunuh, orang yang
datang untuk menolong pula," jelas Tio Kun, "Orang lain
yang akan kubunuh dan kau yang akan kutolong."
"Mengapa kau datang untuk menolongku?"
"Karena orang yang hendak mereka bunuh sebetulnya
bukan kau, karena kau memang tidak sepantasnya mati."
"Lalu siapa yang hendak mereka bunuh?" kembali Siauhong
bertanya. "Aku!"
Jawaban Tio Kun ini mau tak mau membuat orang
tercengang, terperangah.
"Orang yang sebetulnya hendak mereka bunuh adalah
aku!" ] Siau-hong melongo, tertegun.
Sebetulnya masih ada banyak persoalan yang ingin dia
tanyakan, namun Tio Kun telah membalikkan badan.
"Ikutlah aku!" ajaknya, "Aku akan mengajakmu minum
arak, aku tahu arak yang dijual di tempat sekitar sini cukup
lumayan." Walau Siau-hong merasa butuh secawan arak, tapi saat
ini rasanya masih bukan waktu yang tepat untuk minum
arak. "Sekarang adalah saat yang tepat."
"Mengapa?"
"Karena ada banyak persoalan yang ingin kau tanyakan
padaku, begitu pula aku."
Setelah berhenti sejenak, lanjut Tio Kun, "Tapi banyak
persoalan yang ingin kusampaikan kepadamu, hanya bisa
kuucapkan setelah kita minum arak nanti."
Setelah membelok tikungan bukit di depan sana, di balik
lembah terdapat sebuah dusun kecil. Rakyat desa hidup
ramah, penuh kedamaian, namun arak yang mereka buat
dari sorgum terasa lebih panas dari sengatan api.
Tempat di mana mereka meneguk arak bukanlah dusun
Sin-hoa-cun yang ditunjuk para penggembara, tapi sebuah
rumah tukang kayu yang miskin dan hidup bersahaja, bila
ada pelancong yang datang membeli arak kepada mereka,
berarti pada tahun baru mendatang anak-anak mereka bakal
memakai baju baru.
Tuan rumah menggunakan sepasang tangannya yang
kasar berotot menyuguhkan sebuah teko yang terbuat dari
tanah liat, menggunakan bahasa yang tak dipahami Siauhong,
mengucapkan beberapa patah kata kepada Tio Kun,
kemudian dengan memboyong anak istrinya, ia berlalu dari
sana, meninggalkan rumah batunya yang kecil untuk
ditempati para tamu kehormatannya.
"Barusan apa yang dia katakan?" tak tahan Siau-hong
bertanya. "Dia menerangkan kalau arak ini bernama Hu-tau si
Kampak, hanya lelaki sejati yang kuat meneguknya."
Tio Kun tersenyum, lanjutnya, "Dia bilang, tampang kita
berdua mirip lelaki sejati, karena itu dia menyuguhkan arak
itu untuk kita berdua."
Lalu sambil tersenyum, kembali tanyanya pula, "Apakah
kau memahami maksudnya?"
Tentu saja Siau-hong mengerti maksudnya, "Dia sengaja
berkata begitu, karena berharap sewaktu membayar
ongkosnya nanti, kita pun bersikap sebagai lelaki sejati."
Keempat dinding rumah itu terbuat dari batu cadas, di
atas sebuah anglo yang besar, anglo yang terbuat dari batu
cadas, terdapat sekuali daging kelinci, sebatang kayu bakar
membara dengan menimbulkan suara gemeratak, seluruh
ruangan dipenuhi bau harum daging dan arak.
Kaum wanita tidak berada di dalam rumah ini.
Yang-kong telah terpanah, panah itu menghujam di
bagian tubuhnya yang tak boleh terlihat kaum lelaki.
Tio Oh-si telah membawanya menuju ke rumah kecil di
bagian belakang, menggunakan arak keras yang diminum
kaum lelaki untuk mencuci mulut lukanya.
Rasa sakit yang luar biasa membuat gadis itu
bermandikan keringat dingin, namun dia sama sekali tak
ketinggalan dengan setiap patah kata yang sedang
dibicarakan kedua lelaki itu di ruang depan.
Ketika tiga cawan arak "kapak" telah mengalir ke dalam
perut, pengaruh alkohol pun mulai menyelimuti benak
mereka. Siau-hong yang buka suara terlebih dulu, tanyanya
kepada Tio Kun, "Kau bilang sebenarnya kaulah yang
hendak mereka bunuh?"
"Benar!"
"Tahukah kau, siapakah mereka?"
"Ada di antaranya anak buah Lu-sam," jawab Tio Kun
segera, "Hoapula pun telah dibeli Lu-sam, karena itulah
sejak pagi tadi ia sudah mengirim berita dan mengajak
datang begundal Lu-sam."
"Datang untuk membunuhmu?" tanya Siau-hong,
"Mengapa pula kau datang menolong kami?"
Jawaban Tio Kun sangat enteng, siapa pun yang telah
meneguk arak semacam ini, caranya bicara tak akan ragu
dan penuh kesangsian lagi.
"Karena aku sesungguhnya adalah anggota mereka,
bahkan seseorang yang amat dipercaya olehnya," Tio Kun
menerangkan, "Tapi aku telah membawa kabur seorang
wanita yang paling disayang, paling dicintainya."
Lambat-laun akhirnya Siau-hong mengerti sudah.
Yang dimaksud "seorang wanita" tentulah Tio Oh-si,
perempuan ini memang seorang makhluk langka yang
sangat menawan, setiap saat Siau-hong dapat menemukan
begitu banyak alasan mengapa Lu-sam merasa berat hati
membiarkan perempuan semacam itu melarikan diri.
Tio Kun sendiri pun pasti mempunyai alasan yang cukup
kuat untuk membawa kabur perempuan itu, apalagi kabur
dengan mempertaruhkan keselamatan jiwanya. Siau-hong
percaya masih ada banyak lelaki yang rela melakukan hal
yang sama. Apalagi mereka berdua memang jauh lebih sesuai, paling
tidak bila dibandingkan perempuan itu dengan Lu-sam.
Dalam hal ini Siau-hong dapat memakluminya dan
memaafkan mereka berdua.
Tio Kun memandangnya dengan sinar mata minta maaf,
"Sebenarnya aku tak ingin menyusahkan kalian berdua."
Dengan tulus dan jujur lanjutnya, "Tapi aku tahu Lu-sam
telah membeli Hoapula, dia sudah menaruh curiga bahwa
kemungkinan besar kami telah menyusup ke dalam
rombongan pedagang."
"Oleh karena itu kau sengaja memasukkan Tangan emas
itu ke dalam buntalan kami, agar Hoapula mencurigai
kami?" "Tapi aku benar-benar tak bermaksud mencelakai
dirimu." "Bukan?"
"Aku sengaja berbuat begitu tak lain karena ingin
mengalihkan target orang-orang itu, agar mereka
mengkonsentrasikan seluruh kekuatannya menghadapi
kalian." Setelah berhenti sejenak, lanjut Tio Kun, "Dengan
berbuat begitu, aku baru memiliki cukup kesempatan untuk
turun tangan."
Dalam hal ini mau tak mau Siau-hong harus mengakui,
cara yang dilakukan Tio Kun memang merupakan sebuah
langkah yang amat cerdas.
Kembali Tio Kun menerangkan, "Sejak permulaan aku
sudah tak bermaksud mencelakai kalian, karena itulah kami
telah membantumu membunuh Che Thong dan Che Beng."
"Che Thong" Che Beng?" tanya Siau-hong tercengang,
"Apakah mereka adalah ayah beranak yang berada satu
kereta denganku sore tadi?"
"Benar."
Kembali Tio Kun berkata, "Mereka adalah anak buah
Sam-po-tong, ayah beranak itu sangat mahir dalam senjata
rahasia, bahkan senjata rahasia mereka sangat beracun, oleh
karena itu kami pun harus menggunakan cara yang sama
untuk menghadapi mereka."
"Menggunakan cara yang sama?" tanya Siau-hong,
"Maksudmu menggunakan racun?"
"Dengan gigi membayar gigi, dengan racun menyerang
racun," Tio Kun mengangguk, "Oleh karena mereka adalah
manusia semacam itu, maka terpaksa Soso harus turun
tangan." Yang dimaksud "Soso" tentulah Tio Oh-si, Siau-hong
sama sekali tak mengira perempuan inilah yang telah turun
tangan sekeji ini.
Bisa meracuni sampai mati dua orang jago kawakan
yang tersohor karena senjata rahasia beracunnya, bahkan
sanggup meracun mati mereka tanpa disadari, sudah jelas
hal semacam ini bukanlah perbuatan yang gampang
dilakukan. "Kapan dia meracuni mereka berdua?" tanya Siau-hong
lagi, "Meracuni mereka dengan cara apa?"
"Di saat kami harus turun berganti kereta tengah hari
tadi," jawab Tio Kun, "Waktu itu kami pun membagikan
sedikit lauk kepada mereka, menyaksikan mereka
melahapnya sampai habis."
Setelah tersenyum, terusnya, "Lauk yang kami siapkan
sepanjang perjalanan ini memang beraneka ragam."
Racun dicampurkan ke dalam lauk, di saat tengah hari
itulah Che Thong ayah beranak telah menyantap nasi
dengan lauk beracun, menjelang magrib sang racun baru
mulai bekerja. "Ia telah memperhitungkan secara tepat, orang-orang itu
baru akan turun tangan setelah memasuki wilayah
perbukitan, karena itu, dia pun telah memperhitungkan
dengan tepat saat racun itu mulai bekerja."


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak tahan Siau-hong menghela napas panjang.
"Ai, perhitungannya sungguh amat tepat," bisiknya.
"Di bidang ini dia memang harus diakui sebagai seorang
jagoan yang sangat mahir."
Nada ucapan Tio Kun dipenuh perasaan bangga dan
angkuh, "Padahal dalam bidang apa pun, dia bisa disebut
sebagai seorang jagoan tangguh yang amat hebat."
Ia merasa bangga untuk kehebatan perempuannya,
perempuan itu pun memang harus diakui sebagai seorang
wanita yang pantas dibanggakan orang lain.
Tapi benarkah seorang pria betul-betul akan merasa
bahagia setelah memiliki seorang wanita semacam ini"
Siau-hong berharap mereka bisa memperoleh
kebahagiaan itu.
Peristiwa tragis yang berlangsung di dunia ini sudah
kelewat banyak, apalagi mereka berdua termasuk orang
yang saleh dan berhati mulia, dalam situasi seperti ini pun
mereka enggan membiarkan orang lain ikut terluka dan
menderita. Siau-hong ingin sekali bertanya kepada mereka, ingin
tahu siapakah orang ini"
Tapi akhirnya ia tidak bertanya.
"Mo-gan" tersoreng persis di sisi pinggang Tio Kun, dia
pun tidak bertanya dari mana Tio Kun mendapatkan
pedang itu. Dia bahkan melirik sekejap untuk melihat pun tidak.
Banyak tahun berselang, sewaktu ia baru mendapat
pedang itu, seperti para pemuda lainnya yang belajar
pedang, dia sempat memandang pedang itu lebih berharga
daripada seorang kekasih, bahkan dia pun sempat punya
angan-angan untuk mengukir beberapa tulisan pada gagang
pedang itu. "Pedang ada manusia hidup, pedang lenyap manusia
mati". Tapi kini perasaannya sama sekali telah berubah, lambatlaun
ia mulai menjumpai bahwa masih terdapat lebih
banyak masalah di dalam kehidupannya yang jauh lebih
penting, jauh lebih berharga daripada sebilah pedang.
Dia sudah bukan lagi termasuk pemuda yang murung di
saat masih belum tahu arti murung, tak mampu bicara apa
pun setelah tahu apa arti murung", dia bukan lagi seseorang
yang begitu bersemangat, ibarat seorang pendekar muda
yang baru terjun ke dunia persilatan, begitu bertemu orang
langsung hatinya menggebu-gebu ingin bertarung.
Saat ini dia hanya berharap bisa menemukan Po Eng,
berharap bisa menyelesaikan semua budi dendamnya,
berharap menjadi manusia biasa yang tidak berhutang
kepada siapa pun.
Sekalipun rambutnya belum beruban, namun jalan
pikirannya justru melampaui pemikiran seorang lelaki
setengah umur. Hawa mabuk sudah mulai menyelimuti pandangan mata
Tio Kun, namun dia masih menatap Siau-hong tanpa
berkedip. "Aku tahu, nama aslimu pasti bukan Biau Chong, seperti
kau pun tak tahu namaku yang sebenarnya bukan Tio
Kun," katanya, "Tapi aku tak pernah bertanya langsung,
siapakah kau."
"Aku pun tak pernah bertanya," jawab Siau-hong
hambar, "Kita adalah manusia petualangan yang hidup di
ujung dunia, bertemu tanpa sengaja, di mana besok masingmasing
akan pergi ke arah yang berbeda, memang tak
penting untuk mengetahui lebih banyak tentang orang lain."
"Apakah hal ini disebabkan dalam hatimu sudah
terlampau banyak penderitaan dan rahasia yang tak ingin
diketahui orang lain?" Siau-hong menampik untuk
menjawab pertanyaan ini.
Mendadak Tio Kun menghela napas lagi.
"Padahal aku pun tahu bahwa apa yang kau katakan
tidak salah, memang ada sementara persoalan yang lebih
baik tak usah diketahui."
Setelah menghela napas, kembali lanjutnya, "Tapi
sayang, secara lamat-lamat aku sudah sedikit
mengetahuinya."
"O, ya?"
"Ketika mereka menyergapmu di jalan perbukitan tadi,
di saat memaksa kau pulang ke rumah, seharusnya kalian
bisa menduga orang-orang itu telah salah sasaran."
Kemudian tanyanya, "Mengapa kau tidak menjelaskan
kepada mereka?"
Sebelum Siau-hong menjawab, dia telah menjawab,
"Kau tidak berbicara karena kau pun merupakan target
yang sedang mereka cari."
Siau-hong terbungkam, tak mampu bicara.
Dalam cawan masih ada arak, Tio Kun menghabiskan
isinya lalu meletakkan kembali cawan itu perlahan-lahan,
tiba-tiba ia mencabut pedangnya.
Hawa pedang yang dingin menggidikkan, "mata iblis"
yang hanya satu itu seolah berkedip tiada hentinya, seakanakan
dia sudah mengenali bekas majikannya.
Dengan lemah-lembut penuh kasih-sayang, Tio Kun
membelai mata pedang itu.
"Apakah kau pun berlatih pedang?" dia awasi sekejap
pedang yang berada dalam genggamannya, "Kau
seharusnya tahu pedang ini adalah sebilah pedang mestika."
"Benar, memang pedang mestika."
"Bukan hanya sebilah pedang mestika, bahkan sebilah
pedang kenamaan," ujar Tio Kun lebih lanjut, "Pedang ini
bernama Mo-gan, si Mata iblis."
"O, ya?"
"Sebetulnya pedang ini bukan milikku, lima hari
berselang masih bukan."
Mendadak Tio Kun mendongakkan kepala, menatap
tajam wajah Siau-hong, "Mengapa kau tidak bertanya
kepadaku, dari mana kuperoleh pedang ini?"
Maka Siau-hong pun bertanya, "Dari mana kau peroleh
pedang ini?"
"Dari tubuh sesosok mayat," sahut Tio Kun, "Mayat itu
adalah pemilik lama pedang ini, dia she Hong, musuh
bebuyutan Lu-sam, aku adalah salah satu di antara
kawanan jago yang diutus Lu-sam untuk memburu dan
membekuknya."
Kemudian perlahan-lahan dia melanjutkan, "Waktu itu
aku telah berunding dengan Soso, kami gunakan
kesempatan itu untuk melarikan diri dari cengkeraman Lusam,
karena itulah aku bawa pedang ini."
Siau-hong hanya mendengarkan dengan tenang, sama
sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun, seolah persoalan
ini sama sekali tak ada sangkut-paut dengan dirinya.
Tio Kun masih menatapnya, sepasang mata mabuknya
yang semula sudah layu dan nyaris meram tiba-tiba berubah
jadi jernih dan sadar, mendadak tanyanya kepada Siauhong,
"Inginkah kukembalikan pedang ini kepadamu?"
"Kembalikan kepadaku?" tanya Siau-hong, "Kenapa
harus dikembalikan kepadaku?"
"Karena aku tahu Siau-hong, si pemilik lama pedang ini
belum mati," sahut Tio Kun, "Orang yang terpeleset jatuh
ke dasar jurang itu bukan Siau-hong, melainkan orang lain."
"O, ya?"
"Karena di tangan orang itu tidak dijumpai bekas
seseorang yang sudah lama berlatih pedang."
Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bukan aku saja yang
dapat menemukan tanda ini, orang lain pun dapat
menemukannya."
"O, ya?"
Mendadak Tio Kun mengayunkan pedangnya,
mengarahkan ujung pedang ke tenggorokan Siau-hong, lalu
sepatah demi sepatah kata ujarnya lebih jauh, "Kau adalah
Siau-hong, aku tahu, kau pasti Siau-hong."
Mata pedang berada satu inci di depan tenggorokan,
sedemikian dekatnya hingga hawa pedang yang menusuk
serasa ujung jarum yang menembus pori-pori kulit.
Siau-hong masih tidak melakukan reaksi apa pun.
Kulit wajahnya telah terbias oleh "cahaya terang", sama
sekali tak nampak lagi perubahan mimik mukanya.
Jangankan paras, bahkan mata pun sama sekali tak
berkedip. "Hahaha, ternyata kau memang seorang Hohan!" puji
Tio Kun tiba-tiba sambil tertawa tergelak.
Ia membalik pergelangan tangan dan "Criiinggg!",
memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarung.
Kemudian dari pinggangnya dia melepaskan sarung
pedang dan diangsurkan ke hadapan Siau-hong dengan
kedua belah tangan.
"Mau kau adalah Siau-hong atau bukan, aku tetap akan
menyerahkan pedang ini kepadamu."
"Kenapa?" akhirnya Siau-hong bertanya.
"Karena kau adalah seorang Hohan," jawab Tio Kun,
"Hanya Enghiong Hohan macam kau yang pantas
menggembol pedang ini."
Sikapnya tulus dan terbuka, dia benar-benar berniat
menghadiahkan pedang itu untuk Siau-hong, namun Siauhong
sama sekali tidak menerimanya.
Walaupun perasaannya sudah terhanyut oleh ketulusan
dan kesetia kawanan orang ini, namun dia tetap enggan
menerimanya. "Mau diriku Siau-hong atau bukan, aku tak bisa
menerima pemberian pedangmu ini."
"Kenapa?"
Alasan Siau-hong amat tegas, "Sebab bila aku adalah
Siau-hong, pedang ini pasti akan kuhadiahkan kepadamu,
sekalipun kau kembalikan kepadaku, aku tetap akan
memberikan lagi untukmu."
Kemudian ia menambahkan, "Buat apa kita harus saling
menghadiahkan pedang ini?"
"Apabila kau bukan Siau-hong?"
Siau-hong segera tertawa, "Bila aku bukan Siau-hong,
atas dasar apa kau menghadiahkan pedang setajam itu
untukku?" Tio Kun ikut tertawa, "Kau memang manusia aneh,
anehnya setengah mati!"
Ia meletakkan pedang itu di meja, kemudian sambil
mengangkat cawan arak katanya lagi, "Kuhormati secawan
arak untukmu."
Siau-hong tidak mengangkat cawan araknya, tiba-tiba
parasnya berubah.
Sewaktu ujung pedang menempel di tenggorokannya
tadi, dia sama sekali tak berkedip.
Tapi sekarang parasnya yang oleh rembesan "cahaya
terang" telah berubah bentuk, seolah telah tertembus
tenggorokannya oleh sebatang pedang tajam yang meski tak
nampak bentuknya, namun lebih tajam daripada "Mo-gan",
tertusuk telak di hulu hatinya.
Karena secara tiba-tiba ia mendengar suara senandung
nyanyian, lagu yang entah berapa banyak pernah diulang
olehnya: Seorang lelaki harus ternama.
Minum arak harus mabuk.
Penuturan di saat mabuk, itulah suara hati yang
sesungguhnya....
Di balik suara nyanyian itu terkandung kedukaan
seorang lelaki yang tak berdaya, penuh terkandung
semangat jantan yang menggelorakan darah di dada. Suara
nyanyian itu terdengar begitu sendu, khususnya di tengah
kegelapan malam yang dingin, di tengah dusun terpencil
nun jauh dari kehidupan.
Tiba-tiba Siau-hong membuang cawan araknya dan
menerjang keluar dengan kecepatan luar biasa.
Berada dimana pun, kapan pun, terlepas apa yang
sedang dia lakukan, asal mendengar suara nyanyian itu, dia
akan meninggalkan segalanya dan menyerbu keluar dengan
kecepatan tinggi.
Lembah yang dingin, dusun nan sunyi, bangunan rumah
yang terbuat dari batu cadas, terhanyut dalam keheningan
dan kesepian, tiada cahaya lentera yang tampak, kecuali
secercah kerdipan api nun jauh di atas bukit.
Dari atas bukit itulah suara nyanyian itu berasal.
Di atas bukit terdapat sebuah batu cadas yang amat
besar, di atas batu cadas terdapat seonggok api unggun,
kayu dan ranting kering yang terlalap api menimbulkan
suara gemeratak yang nyaring, seolah irama musik yang
mengiringi suara nyanyian itu.
Seseorang duduk sendiri di tepi api unggun, tangannya
memegang kantung kulit kambing yang telah kosong, suara
nyanyiannya makin lama semakin rendah sebelum lenyap.
Memandang onggokan api unggun itu, menjumpai
manusia itu, perasaan Siau-hong seolah berubah seperti
sebatang kayu kering yang dilalap oleh jilatan api.
Manusia belum mabuk, arak telah habis, bagaimana
mungkin malam yang panjang dapat dilampaui"
Sudah banyak tahun Siau-hong tak pernah melelehkan
air mata, namun detik itu dia merasa air mata panas nyaris
melompat keluar dari balik kelopak matanya, nyaris
meleleh membasahi pipinya.
Yang-kong ikut mengejar ke sana, menggenggam
tangannya erat-erat.
"Dia?" bisik nona itu dengan suara gemetar, "Benarkah
dia?" Bersambung jilid II
Ooo)d*w(ooO Jilid 2 BAB 23. BUKAN KAU YANG KUCARI
Tiba-tiba suara nyanyian itu berhenti.
Penyanyi yang berada di sisi api unggun, dengan
menggunakan suara yang sama pedihnya seperti ketika
mendendangkan lagu tadi, berkata, "Bukan dia, tapi aku!"
Sang penyanyi berpaling, kilatan cahaya api menerangi
wajahnya, dia memiliki mata yang tajam, wajah yang
runcing, dan kerut muka yang dalam, membuktikan betapa
sengsaranya ia memperjuangkan hidup selama ini.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tatapan mata penuh penderitaan dan kepedihan,
ia berkata, "Dia yang sedang kalian cari, bukan aku." Hati
Siau-hong serasa tenggelam.
Nyanyian pedih yang sama, ternyata bukan berasal dari
orang yang sama, bukan Po Eng, sama sekali bukan.
"Jadi kau tahu orang yang sedang kami cari adalah dia,
bukan kau?" tanya Yang-kong dengan suara keras, "Dari
mana kau bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu."
"Jadi kau pun tahu, siapakah dia?"
Penyanyi itu mengangguk pelan, lalu meneguk kering
arak yang berada dalam kantung kulit kambingnya.
"Aku tahu," jawabnya, "Tentu saja aku tahu siapakah
dia, justru dialah yang minta aku datang kemari."
Berkilat sorot mata Yang-kong, secercah harapan
kembali muncul dalam hatinya.
"Apa yang dia minta kau lakukan?"
Penyanyi itu tidak menjawab pertanyaan itu, dari dalam
sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil.
Kantung itu bersulamkan seekor burung elang, disulam
dengan benang kuning emas di atas kain kantung berwarna
biru. Isi kantung itu hanya sebutir mutiara.
"Apakah kau masih ingat, benda apakah ini?" penyanyi
itu balik bertanya kepada Yang-kong.
Tentu saja Yang-kong masih ingat.
Biarpun samudra mengering, batu cadas jadi lapuk, biar
langit lenyap, bumi tenggelam, biar matahari dan rembulan
tak bersinar lagi, dia tak bakal melupakan benda itu.
Dialah yang membuat kantung bersulam burung elang
itu, inilah mas kawin yang diterimanya dari sewaktu
bertunangan dengan Po Eng, mengapa saat ini bisa terjatuh
ke tangan orang lain"
Penyanyi itu segera memberi penjelasan kepada Yangkong.
"Dia yang serahkan benda ini kepadaku," katanya,
"Menyerahkan secara langsung dari tangannya."
"Mengapa harus diserahkan kepadamu?"
"Karena dia minta aku mewakilinya mengembalikan
benda itu kepadamu."
Nada ucapan sang penyanyi pun dicekam perasaan
pedih, "Dia bilang, sepantasnya dia sendiri yang
menyerahkan kembali benda itu kepadamu, tapi dia sudah
tak ingin berjumpa lagi denganmu."
Perlahan-lahan Yang-kong menjulurkan tangannya,
menyambut kantung dan mutiara itu.
Tangannya gemetar keras, gemetar luar biasa, begitu
tergoncang hatinya sehingga memegang sebuah kantung
yang kecil pun seolah tak mampu.
Kantung itu terjatuh ke tanah, mutiara itu pun ikut
terjatuh ke bawah, jatuh ke dalam onggokan api unggun.
Sekilas jilatan api berwarna biru segera terpancar dari
balik onggokan api unggun, kantung maupun mutiara itu
seketika berubah jadi jilatan api yang membara.
Yang-kong telah roboh ke tanah.
Buru-buru Siau-hong merangkul tubuh gadis itu, kepada
sang penyanyi hardiknya, "Dia bilang tak ingin bertemu lagi
dengannya, benarkah dia yang mengatakan hal itu?"
"Dia masih menambahkan sepatah kata lagi."
"Apa yang dia katakan?" desak Siau-hong.
"Dia bilang, dia pun tak ingin bertemu lagi denganmu!"
Dengan nada dingin, kembali penyanyi itu melanjutkan,
"Kau sudah bukan sahabatnya lagi, mulai detik ini antara
dia dan kalian sudah tak terikat hubungan apa pun."
"Kenapa?" jerit Siau-hong.
"Seharusnya kau sendiri tahu, kenapa?" penyanyi itu
tertawa dingin. "Bersediakah kau menjalin persahabatan
dengan seseorang yang setiap hari tidur sambil merangkul
binimu?" Ucapan itu tajam bagaikan tusukan sebatang jarum,
sebilah golok, sebuah cambuk, pukulan gada bergigi yang
menghujam di atas tubuhmu.
Yang-kong segera melompat bangun.
"Aku tak percaya, sampai mati pun aku tak percaya dia
akan mengucapkan perkataan semacam ini."
Dia melompat ke muka, mencengkeram kerah baju
penyanyi itu, jeritnya keras, "Kau pasti telah
membunuhnya, lalu menipu aku dengan menggunakan
perkataan semacam itu."
Penyanyi itu mendengus, ditatapnya gadis itu dengan
pandangan dingin.
"Mengapa aku harus membohongimu" Kalau bukan dia
yang memberitahukan kepadaku, dari mana aku bisa tahu
urusan tentang kalian berdua?"
Biarpun Yang-kong tak mampu membantah, namun dia
pun enggan melepaskan orang itu begitu saja.
"Peduli apa pun yang telah terjadi, aku baru percaya bila
dia mengatakan sendiri kepadaku, dia harus menyampaikan
sendiri kepadaku."
Suaranya telah berubah jadi serak, parau, "Kau pasti
tahu di mana ia berada, kau harus beritahukan kepadaku."
"Baik, akan kuberitahukan kepadamu," jawab penyanyi
itu. Ternyata dia menyanggupi dengan cepat, sikap yang
sama sekali di luar dugaan ini seketika membuat Siau-hong
dan Yang-kong jadi terperangah, keheranan.
Tapi kemudian dia melanjutkan, "Walaupun aku tak bisa
memberitahukan di mana ia berada, namun aku dapat
memberitahukan satu hal kepadamu."
"Soal apa?"
Sorot mata penyanyi itu menatap jauh ke depan, sinar
matanya membiaskan satu penampilan yang sukar
dipahami orang lain.
"Tiga belas tahun berselang, aku seharusnya sudah mati,
mati dalam kondisi yang sangat mengenaskan," katanya,
"Aku tidak mati, karena Po Eng telah menyelamatkan
diriku, bukan saja telah menyelamatkan jiwaku, dia pun
menyelamatkan nama baikku."
Dalam pandangan sementara orang terkadang nama baik
jauh lebih berharga, jauh lebih penting daripada nyawa.
Penyanyi misterius itu termasuk jenis manusia semacam
ini. "Oleh karena itu nyawaku sudah menjadi miliknya,"
penyanyi itu melanjutkan, "Oleh karena itu, setiap saat aku
bisa mati demi dirinya."
Tiba-tiba ia tertawa, padahal saat seperti ini bukan saat
yang tepat untuk tertawa, namun dia tertawa lebar.
"Sejak awal aku sudah tahu kalau kalian pasti akan
memaksaku untuk menunjukkan tempat
persembunyiannya, kecuali kalian berdua, tentu masih ada
banyak orang yang bakal memaksaku, untung aku telah
mempunyai cara yang tepat untuk menghindari paksaan
kalian." "Aku percaya perkataanmu, aku tak bakal memaksamu!"
tiba-tiba Siau-hong berteriak.
Kembali penyanyi itu melempar sekulum senyuman ke
arah Siau-hong, dan senyuman itu tetap tertinggal di
wajahnya, tertinggal untuk selamanya.
Sebab wajahnya secara tiba-tiba berubah jadi kaku, setiap
pori mukanya, setiap lapis kulit wajahnya, semua menjadi
kaku. Ternyata di balik sakunya ia menyembunyikan sebilah
pisau, sebilah pisau pendek yang tipis dan amat tajam.
Pada saat dia mulai tertawa itulah, pisau tajam itu telah
dihujamkan ke hulu hati sendiri!
Langit lambat-laun menjadi terang kembali, memandang
tanah perbukitan di tengah remang-remangnya cuaca
seperti memandang sebuah lukisan tinta yang tawar.
Siau-hong berdiri di puncak perbukitan, memandang
tanah perbukitan di balik remangnya cuaca dengan
termangu, parasnya tak jauh berbeda dengan warna tanah
pegunungan. Tio Kun yang mengundang mereka datang ke sana.
Kini jenazah penyanyi itu sudah dikebumikan, mulut
luka di tubuh Yang-kong kembali merekah hingga
mengucurkan darah segar, Soso berada dalam rumah
menemaninya. Penyanyi tanpa nama, dikubur dalam sebuah kuburan
tanpa batu nisan, walau begitu semua yang pernah dia
lakukan, selamanya tak pernah akan terlupakan.
Setelah termenung lama sekali, akhirnya Tio Kun buka
suara, "Aku tahu tentang manusia yang bernama Po Eng
pernah bertemu denganya satu kali."
"O, ya?"
"Kalau hidup merana, mati memang jalan keluar terbaik.
Bukan satu hal yang gampang untuk membuat seseorang
rela dan iklhas mati demi orang lain," Tio Kun menghela
napas panjang "Po Eng tak malu disebut seorang pendekar
sejati!" Kemudian ia berpaling dan menatap Siau-hong
"Sayangnya, betapa pun luar biasa dan hebatnya seseorang,
suatu saat dia tetap akan melakukan kesalahan."
"O, ya?"
"Aku tahu, kali ini dia pasti telah salah menuduhmu,"
kata Tio Kun lebih lanjut, "Dapat kulihat nona itu bukanlah
nona semacam apa yang dia tuduhkan."
"Dia tidak salah, kaulah yang salah," sahut Siau-hong
setelah termenung lama sekali.
"Aku yang salah?" Tio Kun balik bertanya, "Di mana
letak kesalahanku?"
"Salah, karena pada hakikatnya kau tak pernah
memahami dirinya," Siau-hong menghela napas sedih,
"Memang jarang sekali manusia di dunia ini yang dapat
memahaminya."
"Kau sepertinya sama sekali tidak membenci dia?"
"Aku membencinya" Kenapa harus membencinya...'
tanya Siau-hong, "Apakah kau sangka dia benar-benar
sedang mencurigai aku?"
"Memangnya bukan?"
"Tentu saja bukan," Siau-hong menggeleng, "Dia berbuat
begitu tak lain karena dia tak ingin menyusahkan kami lagi,
maka ia sengaja melukai hati kami, mengatakan selamanya
tak ingin bertemu lagi dengan kami berdua."
Ia memandang ke tempat jauh, pancaran rasa hormat
terbesit di balik sorot matanya, "Dia berbuat begitu tak lain
karena berharap kami bisa hidup bebas merdeka tanpa
dibebani dirinya lagi."
Kembali Tio Kun termenung sampai lama sekali,
kemudian baru menghela napas panjang.
"Ternyata kau memang sangat memahaminya, bila
seseorang bisa mempunyai seorang sahabat karib macam
begini, boleh dibilang biar mati pun akan mati meram."
Tiba-tiba ia menggenggam tangan Siau-hong dan berkata
lagi, "Ada sementara persoalan, seharusnya aku tak ingin
menyampaikan kepadamu, tapi sekarang mau tak mau
harus kukatakan juga."
"Soal apa?" tanya Siau-hong.
"Sebuah rahasia, sebuah rahasia yang hingga sekarang
tidak diketahui orang lain," jawab Tio Kun, "Kalau bukan
lantaran persoalan ini, selamanya aku tak bakal
memberitahukan kepadamu."
Sikap dan penampilannya berubah makin tulus dan
bersungguh-sungguh, "Kujamin kau pasti akan sangat
terperanjat setelah mendengarnya nanti."
Tak disangkal rahasia itu tentulah sebuah rahasia yang
sangat mengejutkan. Bila Siau-hong tahu rahasia itu
mempunyai sangkut-paut yang begitu dekat dengan dirinya,
bakal mendatangkan pengaruh yang begitu besar
terhadapnya, sekalipun dia harus menggunakan ancaman
pisau untuk memaksa Tio Kun bicara pun, pasti akan dia
lakukan. Sayang dia tak tahu.
Oleh karena itu tanyanya dengan nada hambar, "Apakah
sekarang kau bersikeras hendak mengatakan" Apakah kau
mau mendengarkan?"
"Benar."
"Kalau begitu katakanlah, aku akan mendengarkan."
Belum sempat ia mendengar rahasia itu, sebuah jeritan
kaget telah berkumandang memecah keheningan, jeritan itu
dipenuhi rasa kaget, takut dan ngeri.
Mungkin karena arak keras semacam "kapak", mungkin
karena kebanyakan wanita penghuni perbukitan itu ratarata
sehat, kuat dan cantik, mungkin juga karena hidangan
pedas selalu membangkitkan semangat hidup, atau
mungkin juga karena saat ini musim dingin telah tiba.
Mungkin juga karena kebab-sebab lain yang tidak
dipahami orang....
Kebanyakan penghuni dusun itu tidak terbiasa bangun
pagi. Oleh sebab itu meski langit saat itu sudah terang tanah,
penghuni dusun masih terlelap dalam tidurnya yang
nyenyak, suasana di setiap rumah penduduk tampak hening
dan sepi, tak heran suara jeritan kaget itu terdengar sangat
menusuk pendengaran.
Siau-hong tidak mengenali suara jeritan itu, tapi Tio Kun
segera mengenalinya.
"Soso!" ia segera menjerit kaget.
Seorang wanita cantik, seorang wanita langka semacam
Soso, walau berada di mana pun, kapan pun, setiap saat
kemungkinan besar akan menjumpai kekerasan yang tidak
diinginkan. Dengan sigap Tio Kun melompat bangun, menerjang
turun dari atas bukit dengan kecepatan tinggi.
Siau-hong mengikut ketat di belakangnya.
Sekarang mereka sudah menjadi sahabat senasib
sependeritaan, saat ini Yang-kong sedang berada bersama
Soso. Yang sama sekali di luar dugaan adalah ketika mereka
tiba kembali dalam rumah batu, ternyata Yang-kong tidak
berada bersama Soso.
Yang-kong telah hilang.


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soso sedang menangis, bersembunyi di sudut ruangan
sambil menangis tersedu-sedu.
Pakaian yang dikenakan telah robek, payudaranya yang
montok, pinggangnya yang ramping, pahanya yang putih
mulus, hampir semuanya menonjol keluar dari balik
pakaiannya yang compang-camping.
Begitu bertemu dengannya, pertanyaan pertama yang
diajukan Tio Kun adalah, "Apa yang terjadi" Siapa yang
telah menganiaya dirimu?"
Sedang Siau-hong segera berteriak, "Mana Yang-kong?"
Kedua pertanyaan itu diajukan hampir bersamaan, namun
Soso tidak menjawab.
Sekujur tubuhnya masih gemetar keras, bergetar seperti
daun yang dihembus angin dingin dan nyaris terlepas dari
tangkainya. Hingga Tio Kun membungkus tubuhnya dengan selimut
dan meloloh setengah mangkuk arak "kapak" ke dalam
mulutnya, gadis itu baru dapat buka suara.
Dia hanya mengucapkan beberapa kata singkat, katakata
yang tak berbeda.
"Lima orang," bisiknya, "Lima orang." Siau-hong segera
memahami maksudnya....
Ada lima orang telah muncul di sana dan melakukan
suatu perbuatan yang menakutkan.
Manusia macam apakah kelima orang itu" Ke mana
perginya Yang-kong"
Manusia macam apakah kelima orang itu, kini sudah tak
penting lagi, sebab mereka telah pergi.
Yang paling penting kini adalah Yang-kong, apakah dia
dibawa pergi orang-orang itu?"
Soso mengangguk, mengangguk dengan air mata
bercucuran. "Ke mana mereka telah pergi?"
Soso menggeleng sambil menangis, dia sendiri pun tak
tahu ke mana orang-orang itu telah pergi.
"Kejar!" hardik Tio Kun dengan suara rendah.
Pengejaran tentu saja harus dilakukan, terlepas
bagaimana pun pengejaran harus dilakukan, biar harus
dikejar hingga ke dalam neraka atau harus menaiki bukit
bergolok, kuali berminyak mendidih, pengejaran tetap akan
dilakukan. Tapi ke manakah mereka harus mengejar"
"Mari kita melakukan pengejaran secara terpisah," ajak
Tio Kun, "Kau mengejar ke timur, aku ke barat."
Sambil menyerahkan sebuah mercon api ke tangan Siauhong,
tambahnya, "Siapa yang menemukan lebih dulu,
lepaskan mercon ini sebagai tanda."
Cara semacam ini tidak terhitung sebuah cara bagus, tapi
hanya cara itulah yang bisa mereka lakukan sekarang.
Tak ada jejak, tak ada petunjuk, tak ada saksi mata.
Lambat-laun langit telah menjadi gelap, di tengah
kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, tak terlihat ada
percikan bunga salju, bahkan kabar berita tentang Tio Kun
pun tak ada. Siau-hong tidak pergi mencari Yang-kong, dia pun tak
berhasil menemukan kelima orang itu.
Sudah seharian penuh ia melakukan pencarian, hingga
kini dia belum sempat makan, bahkan minum air setetes
pun tidak. Kini bibirnya telah mengering hingga nyaris merekah, sol
sepatunya sudah berlubang karena benturan batu tajam,
beberapa guratan darah pun sempat menghiasi betisnya.
Tapi dia tetap mencari....
Seperti Go Kong dari istana rembulan yang sedang
menebang pohon Kwi, pohon Kwi yang tak mungkin bakal
tertebang. Walaupun sudah tahu tak akan ditemukan, dia
tetap mencari terus, mencari hingga titik kekuatan
penghabisan. Pohon yang tak mungkin tertebang orang yang tak
mungkin ditemukan, di dunia ini memang terdapat banyak
sekali kejadian semacam ini.
Rumah-rumah dalam dusun sudah mulai menyalakan
lentera. Memandang dari tempat dimana Siau-hong berdiri saat
ini, dengan mudah ia dapat menyaksikan rumah batu milik
tukang kayu yang mereka tinggali semalam, dari balik daun
jendela yang menghadap ke arahnya, kini sudah terpancar
cahaya lentera.
Apakah Tio Kun telah balik ke sana, apakah dia berhasil
menemukan sesuatu jejak"
Dengan menggunakan gerakan tercepat, Siau-hong
menerjang turun, baru tiba belasan tombak dari rumah batu
itu, dia sudah mendengar suara berkumandang dari balik
ruangan. Semacam suara yang selama hidup tak pernah akan kau
lupakan setelah mendengarnya.
Semacam campuran suara tangis, tertawa, dengusan
napas, rintihan kesakitan, suara yang dipenuhi gejolak
emosi dan kemaksiatan.
Semacam suara yang membuat orang paling tenang pun,
tak tahan akan bergelora aliran darah dalam tubuhnya.
Siau-hong menyerbu masuk, sekali tendang ia jebol pintu
depan. Dengan cepat hatinya merasa tenggelam, hawa amarah
kontan memuncak hingga ke ubun-ubun, bangunan rumah
batu itu kini telah berubah jadi neraka jahanam.
Soso sedang menderita, sedang tersiksa dalam neraka itu.
Seorang lelaki kekar seperti binatang liar sedang
menindih di atas badannya, menunggangi tubuhnya, dan
merenggang mulut perempuan itu sambil melolohkan
sekantung arak ke dalam mulutnya.
Cairan arak berwarna merah darah telah membasahi
tubuh bugilnya yang putih mulus.
Baru saja lelaki kekar bagai hewan buas itu melihat
kemunculan Siau-hong, pemuda itu telah merangsek maju
dengan kecepatan tinggi, langsung membabatkan telapak
tangannya menghantam tengkuk orang itu.
Inilah sebuah gempuran yang mematikan, dalam kondisi
gusar Siau-hong telah mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya. Hingga tubuh lelaki kekar itu roboh terjungkal ke tanah
bagaikan sebuah karung goni kosong, hawa amarahnya
belum juga mereda.
Hingga dia tarik sepasang kaki lelaki kekar itu, melempar
keluar sekuat tenaga, menutup pintu kuat-kuat, ia baru
teringat sebenarnya harus mempertahankan nyawa orang
itu. Besar kemungkinan dia adalah salah satu di antara
kelima orang itu, kemungkinan besar dialah satu-satunya
jejak yang dapat ditelusuri.
Tapi kini jejak itu sudah putus bersamaan dengan
patahnya tengkuk orang itu.
Penyebab terjadinya kesalahan ini teramat banyak, tak
disangkal amarah yang tak terkendali merupakan penyebab
yang paling utama.
Dan kini kesalahan telah terwujud, selamanya tak
mungkin bisa dibatalkan lagi.
Jendela berada dalam keadaan terbuka, bau arak yang
menusuk hidung menyelimuti seluruh ruangan.
Bukan arak pedas dari arak cap "kapak", bau arak yang
tersebar dalam ruangan itu lebih mirip bau pupur dan gincu.
Soso masih berbaring di atas pembaringan batu yang
berlapiskan kulit binatang, ia berbaring dalam keadaan
telanjang bulat.
Seluruh tulang tubuhnya seolah telah dilolos, biji
matanya membalik ke atas, buih putih mengalir dari tepi
bibirnya, setiap jengkal tubuhnya, setiap bagian otot
badannya seolah mengejang dan gemetar tiada hentinya,
setiap inci kulit tubuhnya yang putih dan mulus seolah
merinding berdiri bulu kuduknya.
Dia bukan Yang-kong, bukan perempuan milik Siauhong,
juga bukan sahabat Siau-hong.
Tapi menyaksikan keadaannya, perasaan Siau-hong tetap
merasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk.
Dalam waktu sekejap... dia seolah lupa bahwa ia adalah
seorang wanita, lupa kalau ia berbaring dalam keadaan
bugil, tanpa secuil benang pun.
Dalam waktu sekejap... dalam pikiran Siau-hong,
perempuan itu tak lebih hanya seorang yang patut
dikasihani, seorang yang baru saja mengalami penderitaan
dan siksaan hebat.
Ooo)d*w(ooO Dalam rumah tersedia sebaskom air dan selembar
handuk. Siau-hong menggunakan handuk yang dibasahi air
hangat untuk menyeka wajahnya yang kotor, bekas kerutan
berwarna hitam yang menempel di wajah perempuan itu
lambat-laun luntur sebelum akhirnya mengelupas, kini
muncullah selembar wajah yang begitu mempesona, wajah
seorang gadis yang membuat setiap lelaki akan tertarik dan
berdebar hati bila melihatnya.
Saat itulah gadis itu mulai bersuara, dari balik
tenggorokannya tiba-tiba mengeluarkan suara rintihan yang
aneh, rintihan yang cukup membetot sukma.
Tubuhnya yang bugil mulai bergerak, pinggangnya yang
ramping mulai menggeliat, pahanya yang halus, putih dan
mulus mulai bergeser, mulai direntangkan lebar-lebar.
Tidak banyak lelaki yang bisa tahan menghadapi gerakan
eksotik semacam ini, untung Siau-hong adalah salah
seorang di antara yang sedikit itu. Dia berusaha keras tidak
memandang ke arahnya, berusaha tidak memandang ke
arah bagian tubuh si nona yang paling menggairahkan
napsu birahi itu.
Ia sudah bersiap mencari selembar kain untuk menutupi
bagian tubuhnya yang paling merangsang....
Tapi sayang pada saat itulah tiba-tiba si nona
menggerakkan tangannya, memeluk tubuh Siau-hong eraterat.
Begitu kencang, begitu erat pelukan gadis itu, dia begitu
kalap seperti seseorang yang hampir tenggelam dalam air
dan berusaha sekuat tenaga meraih balok kayu yang
mengapung. Siau-hong tak tega menyingkirkan tangannya, dia merasa
tak pantas mendorong tubuh gadis itu, menghindari
pelukannya yang begitu kencang.
Tangan yang sudah mulai mendorong tubuh si nona,
dengan cepat ditarik kembali.
Bila kau pun pernah mendorong tubuh seorang wanita
dalam keadaan seperti ini, kau pasti akan mengerti kenapa
dia segera menarik kembali tangannya.
Karena ada banyak tempat di tubuh wanita yang tak
boleh disentuh kaum pria, padahal berada dalam keadaan
seperti ini, bagian yang bakal kau dorong pastilah bagian
tubuh tertentu.
Sekujur badan gadis itu panas sekali, panas menyengat.
Detak jantungnya pun berdebar sangat cepat, cepat sekali.
Di balik dengusan napasnya, terendus bau arak yang
mirip bau pupur, setiap hembusan napasnya hampir
semuanya dihembuskan ke wajah Siau-hong.
Tiba-tiba anak muda itu mengerti, mengerti apa
sebabnya binatang tadi meloloh gadis ini dengan arak
semacam itu, rupanya arak perangsang, arak yang
membangkitkan napsu birahi.
Sayang sekali di saat dia memahami hal itu, dia sendiri
pun ikut terangsang, ikut terpengaruh oleh birahi.
Dari dalam tubuhnya secara tiba-tiba timbul perubahan
yang tak mungkin bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Kesadarannya telah hancur, pendiriannya telah musnah.
Gadis itu sudah menggeliat, sudah mulai melilit
tubuhnya, menidih dan menerkamnya, membawa pemuda
itu memasuki lembah dosa yang paling jahanam.
Arak pembangkit birahi telah mengobarkan napsu yang
paling kuno, napsu yang paling susah dikendalikan dari
tubuhnya, napsu birahi, napsu pengumbar syawat....
Sejak manusia muncul di dunia ini, mereka telah
memiliki napsu birahi semacam ini.
Ada banyak alasan hingga terciptanya kesalahan. Dan
tak disangkal napsu birahi merupakan salah satu alasan di
antaranya. Kini kesalahan telah dilakukan, selama hidup kesalahan
ini tak mungkin bisa dihapus lagi.
Seorang biasa, berada dalam situasi yang tak mungkin
bisa dilawan, menciptakan sebuah kesalahan fatal.
Dapatkah "kesalahan" semacam ini dianggap sebagai
sesuatu yang "bukan kesalahan", dapatkah kesalahan
semacam ini dimaafkan"
Kesalahan telah tercipta, gejolak birahi telah mereda,
napsu telah tersalurkan, malam yang panjang pun sudah
mendekati ujungnya.
Saat-saat seperti ini merupakan saat penderitaan dan
kegembiraan yang saling membaur, saling mengisi.
Saat itulah manusia memperoleh kembali kesadarannya,
saat penyesalan mulai tumbuh, saat hati nurani mulai
berbicara. Dan pada detik itu juga Siau-hong telah mendusin,
kesadarannya telah pulih seratus persen.
Lelehan lilin telah mengering, cahaya lentera telah
padam, jendela yang terlapis kertas buram lambat-laun
mulai memutih, putih pucat.
Perasaan Siau-hong pun pucat-pasi.
Tio Kun adalah seorang Hohan, bahkan sudah
dianggapnya sebagai salah seorang sahabatnya.
Soso adalah perempuan milik Tio Kun, wanita yang
membuat Tio Kun tak segan mengorbankan segalanya.
Tapi sekarang Soso berada di sampingnya, ia bahkan
dapat merasakan dengus napasnya, detak jantungnya,
kehangatan tubuhnya serta ketenangan yang dirasakan
perempuan itu setelah mengalami gejolak napsu birahi yang
membara. Sebuah ketenangan dan kegembiraan yang bisa membuat
setiap lelaki tak segan mengorbankan segalanya demi


Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh hal itu.
Kini Siau-hong hanya berharap dapat memusnahkan
semuanya. Sayang ia tidak mampu. Dosa dan kesalahan ini dia
sendiri yang menciptakan, mustahil ia dapat
menghindarkan diri, tak mungkin bisa ditampik.
Apa yang dia ciptakan, harus dia sendiri yang
menanggungnya. Terlepas apa pun yang telah dia lakukan,
segala akibat harus dia terima dengan tulus dan iklas.
Kertas jendela semakin memutih, suasana di sekeliling
tempat itu masih hening, sepi, tak terdengar suara manusia.
Mengapa Tio Kun belum kembali"
Apa yang akan dia lakukan bila Tio Kun kembali nanti"
Dua pertanyaan ini pun tak ada yang mampu menjawab.
Bila Tio Kun muncul nanti, haruskah dia merasakan
kejadian ini ataukah dia harus mengakui secara terus
terang" Orang pintar pasti berkata, "Rahasiakan kejadian ini, bila
dia tidak mengetahui kejadian ini, perasaan semua orang
akan terasa jauh. lebih lega dan enak, ia masih tetap dapat
hidup bersama Soso, mungkin kehidupan mereka di masa
mendatang akan jauh lebih gembira dan bahagia."
Seandainya Siau-hong adalah seseorang pintar, dia pasti
akan berkata begitu, tapi sayang dia tak pernah ingin
menjadi orang pintar. Ada kalanya dia lebih suka berlagak
sedikit bodoh, dia lebih suka dianggap orang bodoh
daripada tampil sebagai orang kelewat pintar.
Soso telah mendusin, saat ini sedang menatapnya,
perasaan yang tampil dari balik matanya entah
menunjukkan penderitaan atau penyesalan, kebingungan,
atau bahkan perasaan minta maaf"
"Aku tak akan menyalahkan dirimu," tiba-tiba nona itu
berkata, "Dialah yang memaksaku meneguk arak
pembangkit napsu Siau-hun-yan-ci-ciu, dengan arak
semacam ini entah sudah berapa banyak perempuan suci
yang diperawani Lu-sam."
"Lu-sam?" tanya Siau-hong keheranan, "Jadi orang itu
pun anak buah Lu-sam?"
Soso mengangguk, tangannya segera merogoh ke bawah
bantal dan mengeluarkan sesuatu benda, benda itu
digenggam erat-erat, sampai lama kemudian ia baru
membuka telapak tangannya.
Ternyata benda yang berada dalam genggamannya
adalah sebuah Tangan emas, sebuah tangan emas yang
kecil sekali, jauh lebih mini daripada tangan emas yang
pernah dilihat Siau-hong.
Tak disangkal, seluruh anak buah Lu-sam menggembol
Tangan emas semacam ini, tingkat kedudukan mereka
dibedakan dari besar kecilnya tangan emas, semakin kecil
tangan emas yang dimiliki berarti posisinya semakin
rendah. Ini berarti lelaki bagaikan binatang buas itu tak lebih
hanya seorang anak buah keroco Lu-sam.
"Apakah dia pun salah satu di antara kelima orang itu?"
Siau-hong segera bertanya, "Apakah mereka yang
melarikan Yang-kong?"
Sambil menghela napas, Soso mengangguk.
"Akhirnya aku mengerti," katanya, "kenapa mereka
melarikan dia dan bukan melarikan aku."
Sejenak kemudian ia menjelaskan pertanyaan sendiri,
"Mungkin mereka telah menganggap dia sebagai aku,
mungkin juga dialah yang sebenarnya sedang mereka cari.
Pokoknya semua tingkah laku Lu-sam memang sukar
diduga siapa pun."
Siau-hong terbungkam.
Tiba-tiba soso berganti topik, tanyanya kepada pemuda
itu, "Sekarang, apakah kau hendak pergi?"
Siau-hong tidak menjawab, ia tetap terbungkam.
"Bila kau benar-benar ingin pergi, ingin pergi mencari
Lu-sam, kau tak perlu menguatirkan keselamatanku."
Tawa Soso sangat dipaksakan, senyumannya membuat
hati orang hancur-lebur.
"Antara kita berdua memang tak pernah terikat
hubungan apa-apa, jadi bila ingin pergi, setiap saat kau
dapat pergi dari sini."
Siau-hong memang betul=betul ingin pergi, tetapi
bagaimana ia dapat meninggalkan gadis itu seorang diri"
Meninggalkannya di tempat itu" Terlepas siapa benar siapa
salah dalam peristiwa yang telah terjadi, terlepas
bagaimanakah hubungan di antara mereka berdua
selanjutnya, ia telah berubah menjadi salah satu bagian dari
kehidupannya, ia sudah tak bisa menampik dan
menghindar dari kenyataan ini.
Tiba-tiba Soso menghela napas, "Peduli kau dapat
menemukan Lu-sam atau tidak, kau harus pergi dari sini,
harus!" "Kenapa?"
"Sebab sekarang sudah banyak anak buah Lu-sam yang
dapat mengenali diriku."
Karena obat penyaru muka di wajahnya telah luntur,
telah mengelupas terkena arak, kini dia telah tampil dengan
wajah aslinya. "Oleh karena itu, kau harus meninggalkan aku," kata
Soso, "Bagaimana pun aku tak ingin menyusahkan dirimu."
Berada dalam keadaan seperti ini, ternyata ia bukan risau
tentang keselamatan diri sendiri.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan hatinya sedikit masam,
lewat lama kemudian ia baru buka suara.
"Mari kita pergi bersama," ajaknya, "Ajaklah aku
mencari Lu-sam, kau pasti dapat menemukan dirinya."
"Sekalipun dapat ditemukan, apa pula yang dapat
kulakukan?" Soso tertawa getir, "Mengantar kematian
sendiri?" Kemudian ia bertanya lagi, "Tahukah kau, Lu-sam
memiliki berapa banyak anak buah jagoan?"
Siau-hong tahu. Tapi dia tidak takut mati, namun ia tak
berhak memaksa Soso menemaninya mencari mati, siapa
pun tak berhak mengendalikan mati-hidup seseorang.
Tiba-tiba Soso menarik tangannya, mendadak berseru,
"Mari kita berangkat, sekarang juga berangkat."
"Berangkat?" Siau-hong tercengang, "Kita akan ke
mana?" "Terserah, ke mana pun juga!"
Kembali Soso dicekam gejolak emosi yang menggelora,
"Kita pergi mencari suatu tempat di mana tak ada orang
lain bisa menemukan, kita bersembunyi di sana, melupakan
semua orang dan segala persoalan."
Siau-hong terbungkam.
Kembali Soso menghela napas, "Aku tahu, kau pasti
ingin bertanya kepadaku, dapatkah aku melupakan Tio
Kun." Tiba-tiba ia balik bertanya kepada Siau-hong, "Kau
anggap aku masih punya muka untuk bertemu lagi dengan
Tio Kun?" Ooo)d*w(ooO BAB 24. DIA MENGANDUNG ANAKKU
Tangan Siau-hong sangat dingin, hatinya pun ikut
dingin. Sebuah kesalahan yang tak mungkin bisa terhapus, dua
orang yang tak punya muka bertemu orang lain.
Bila kau menjadi Siau-hong, apa yang akan kau lakukan"
Lewat lama kemudian Siau-hong baru buka mulut, tak
disangka ia buka mulut setelah mengambil keputusan.
"Kita tunggu lagi sehari," katanya, "Peduli apa pun yang
hendak kita lakukan, tunggu satu hari lagi."
"Tunggu apa?"
"Tunggu Tio Kun," sahut Siau-hong, "Aku harus
membuat dia tahu, meski aku tak punya muka bertemu lagi
dengannya, namun tetap akan kutunggu sampai dia
kembali." Soso menatapnya lekat-lekat, sorot matanya
memancarkan perasaan kagum dan hormat yang luar biasa,
perasaan salut yang belum pernah dia tunjukkan kepada
lelaki mana pun.
Lama kemudian dia pun baru bertanya, "Kalau dia tetap
tidak kembali?"
"Bila ia tetap tak kembali, aku akan pergi."
"Kau berencana akan pergi ke mana?" tanya Soso.
"Pergi mencari Lu-sam, mencari mati!" kata Siau-hong
"Sampai saatnya, peduli apa pun yang hendak kau lakukan,
bagiku hanya jalan ini yang bisa kutempuh."
"Kau tak bersedia menemani aku pergi ke tempat lain?"
"Tidak!" jawaban dari Siau-hong menampilkan
keteguhan hatinya.
"Kenapa?"
"Karena aku tak dapat melupakan semua orang dan
semua permasalahannya," kata Siau-hong, "Peduli ke mana
pun kita akan bersembunyi, sekalipun kau bisa menghindari
semua orang namun ada satu orang yang tak mungkin bisa
kau hindari."
"Siapa?"
"Diriku sendiri."
Setiap orang tentu ada saatnya ingin menghindar dari
orang lain, namun selama hidup jangan harap kau bisa
menghindari diri sendiri. Kembali mereka menunggu satu
hari. Tio Kun belum juga kembali, bukan saja tidak kembali,
sedikit kabar tentang dirinya pun tak ada.
Langit kembali jadi gelap, sudah tiba saat makan malam.
Sudah cukup lama Soso tidak bicara, begitu pula dengan
Siau-hong. Mereka sudah lama sekali tidak saling
memandang ke arah lawan, seakan-akan takut tatapan mata
lawan akan melukai hati sendiri.
Karena mereka berdua merasa sulit untuk melupakan
kejadian semalam. Gejolak napsu, luapan birahi, pergulatan
maut, kejadian yang tak mungkin bisa dilupakan.
Lalu bagaimana selanjutnya"
Dua insan manusia tanpa akar, ternyata telah melakukan
persetubuhan yang tak pernah bisa dilupakan, apakah
setelah ini mereka berdua harus hidup bersama" Ataukah
masing-masing mengambil arah yang berlawanan, pergi
begitu saja, membiarkan pihak lawan menerima dan
merasakan semua penderitaan, semua penyesalan yang
tercipta karena kesalahan ini, seorang diri"
Siapa yang dapat menjawab pertanyaan ini" Siapa yang
dapat memberi petunjuk, apa yang harus mereka lakukan
selanjutnya"
Daun jendela terbuka lebar, Siau-hong berdiri di depan
jendela. Senja yang remang mulai menyelimuti angkasa, langit
terasa hening, lembah terasa sepi, senja terasa kelabu, langit
dan bumi seolah dicekam dalam ketenangan yang luar
biasa. Mendadak Siau-hong merasakan jantungnya mengejang
keras, tiba-tiba ia menemukan, ada sesuatu hal yang tak
beres. Setiap orang pasti m
Pendekar Cacad 14 Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 12
^