Pendekar Super Sakti 19

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


edihkan kematian ayahnya kini sudah dapat tersenyum amat manis.
"Nona, engkau mengingatkan aku akan adikku, Lulu."
"Ah, adikmu tentu cantik jelita sekali, In-kong!" kata Hian Ceng ketika mereka melanjutkan perjalanan.
"Memang cantik jelita dan manis sekali, Nona."
"Dan dia tentu amat lihai."
"Memang dia amat lihai!"
"Dan dia tentu amat menyenangkan hati, In-kong."
"Memang sesungguhnyalah dia amat menyenangkan hatiku, aku amat sayang Nona."
Hian Ceng tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh memandang Han Han, alisnya yang hitam kecil menjelirit itu mengerut, suaranya terdengar agak marah, "Kalau begitu, In-kong telah tega hati untuk membohongiku dan mempermainkan aku!"
Nah-nah-nah, sudah kumat lagi, pikir Han Han. "Mengapa, Nona" Aku tidak bohong! Masa aku bohong kalau mengatakan bahwa adikku Lulu cantik jelita, manis, lihai dan menyenangkan hatiku" Dia benar-benar tidak mengerti karena biarpun Lulu kadang-kadang juga merajuk dan mengambek, akan tetapi ada sebabnya, bukan seperti nona ini yang tiada hujan tiada angin lalu menyambar-nyambar seperti kilat di siang hari!
"In-kong bohong! Kalau begitu, mana bisa aku mengingatkan In-kong kepada adik In-kong itu"
Han Han mengangkat alis membelalakkan mata dan di dalam hatinya ia tertawa bergelak, akan tetapi mulutnya menahan ketawa itu sehingga ia menyeringai seperti orang sakit gigi. "Oohhh.... mengapa tidak" Engkau hampir sama dengan dia, juga watakmu hampir sama dengan wataknya."
"Akan tetapi dia cantik manis...."
"Engkau juga.... ehhhh!" Han Han menutup mulutnya, khawatir disangka mengejek lagi. Akan tetapi melihat kini gadis itu menahan senyum dan kelihatan gembira karena wajahnya berseri, ia melanjutkan, "Dan engkau pun lihai dan menarik, menyenangkan hati...."
Dengan muka berseri girang Hian Ceng berkata, suaranya penuh semangat, "Aku akan mencari adikmu sampai dapat, In-kong! Percayalah, kalau memang benar dia berada di daerah Se-cuan, aku pasti akan dapat menemukannya! Setelah Paman Thio Kai meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang paling mengenal keadaan daerah Se-cuan. Sudah kujelajahi semua daerah karena hal ini amat penting bagi tugasku sebagai penyelidik. Sssttttt.... kita sekarang harus berhati-hati, In-kong. Lembah di depan itu disebut Lembah Neraka oleh kaum pejuang karena di situ musuh melakukan penjagaan keras."
Dari tempat yang agak tinggi itu Han Han memandang tajam ke depan. "Akan tetapi kelihatannya sunyi saja."
Gadis itu mengangguk. "Itulah bahayanya. Kaum pejuang yang menyeberang dan belum mengenal keadaan, akan terjebak, mengira bahwa jalan itu aman. Padahal tentara penjajah yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya bersembunyi di kanan kiri lembah itu, ada yang mendirikan perkemahan di dalam jurang-jurang di kedua sampingnya, dan ada yang memasang barisan di atas tebing, siap dengan anak panah mereka. Karena jalan di bagian lereng sebelah kiri itu merupakan jalan satu-satunya dan di sana terapit dinding batu gunung maka jalan itu sempit dan sekali orang lewat di situ, sukar untuk menyelamatkan diri jika diserang dari kanan kiri, atas dan kedua jalan itu ditutup oleh mereka dari depan belakang. Dahulu, setahun yang lalu, tidak kurang dari dua ratus orang pengungsi dari timur, yang hendak melarikan diri ke Se-cuan dan lewat di lorong itu, disembelih habis semua oleh mereka, laki-laki wanita dan kanak-kanak!"
Han Han bergidik, teringat akan keganasan bala tentara Mancu yang melakukan pembunuhan terhadap para pengungsi. Kalau kaum pejuang yang mereka bunuh, hal itu memang sewajarnya, sebagai musuh dalam perang. Akan tetapi tentara Mancu yang ganas itu banyak pula membunuhi rakyat yang tidak tahu apa-apa, hal ini benar-benar merupakan perbuatan kejam yang harus ditentang.
"Kalau jalan itu demikian berbahaya, bagaimana kita akan dapat lewat" Mengapa Nona tidak mengambil jalan lain yang lebih aman"
"Jalan depan itu yang terdekat dan bagiku, yang paling aman."
"Eh, bagaimana bisa begitu" Bukankah kaukatakan tadi bahwa...."
"Bagi yang tidak mengerti bagaimana akalnya memang berbahaya, juga bagi rombongan yang terdiri dari banyak orang. Akan tetapi biasanya kami berempat...." dia berhenti sebentar, teringat akan ayahnya dan dua orang pamannya yang tewas, "kami selalu menggunakan jalan ini. In-kong lihat, pegunungan yang menjulang di sebelah kanan itu adalah Pegunungan Min-san. Dan yang menjulang tinggi di sebelah kiri itu adalah Pegunungan Ta-pa-san. Kita sekarang ini berada di Pegunungan Cin-ling-san. Dan lihatlah baik-baik di balik jurang di bawah itu."
Han Han memandang daerah yang dikelilingi pegunungan ini dan ketika ia melihat ke arah yang ditunjuk, ia melihat garis kebiruan yang panjang berliku-liku seperti tubuh seekor naga biru. "Kaumaksudkan sungai itu, Nona"
"Benar, sungai yang mengalir ke selatan itu adalah Sungai Cia-ling dan kita akan memasuki daerah Se-cuan melalui sungai itu."
"Naik perahu"
"Tidak mungkin naik perahu, In-kong. Di kedua tepi sungai itu penuh dengan perkemahan musuh dan barisan tentara sudah siap menghujani setiap perahu yang lewat dari luar perbatasan dengan panah api....!"
"Habis, bagaimana" Han Han memandang heran. Gadis itu tersenyum manis, agaknya merasa bangga sekali bahwa dalam hal ini dia dapat mengatasi Han Han, dan dialah yang memimpin. Menghadapi pemuda buntung ini ia merasa kecil tak berarti, merasa bukan apa-apa karena kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, akan tetapi kini dialah yang menjadi "pemimpin"!
"Marilah, In-kong. Aku akan menunjukkan jalan dan caranya nanti!" Hian Ceng memegang tangan Han Han dan menariknya ke kanan, menuruni jalan menurun yang curam. Melihat jurang yang dituruni ini dan cara gadis itu menuruni dengan merayap seperti itu, sebetulnya Han Han tidak sabar. Kalau dia mau, dengan menggendong Hian Ceng ia dapat saja turun dengan gerak kilatnya sehingga dapat cepat tiba di Sungai Cia-ling. Akan tetapi ia merasa betapa telapak tangan gadis yang menggandeng tangannya itu hangat sekali, tanda bahwa gadis itu gembira dan bersemangat. Ia dapat menyelami perasaan Hian Ceng yang kini merasa menjadi orang yang lebih pandai, menjadi pemimpin, maka dia tidak tega untuk menghancurkan kegembiraan dan kebanggaannya. Maka ia pun ikut merayap turun.
Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Cia-ling. Hian Ceng mengajak Han Han bersembunyi di balik semak-semak di tepi sungai, lalu menuding ke arah selatan. Han Han memandang dan melihat sebuah perahu dengan lima orang tentara Mancu berada di pinggir. Perahu ditambatkan pada pohon dan lima orang itu mengobrol sambil makan minum perbekalan mereka.
"Kita bunuh mereka dan rampas perahunya" bisik Han Han.
Hian Ceng menggeleng kepala dan mendekatkan mulutnya di telinga pemuda itu, berbisik, "Jangan, kalau kita bunuh dan akhirnya diketahui, penyeberangan perbatasan menjadi sulit. Dan perahu itupun tidak ada gunanya bagi kita."
Akan tetapi Han Han hampir tidak dapat menangkap arti ucapan gadis itu karena merasa betapa bibir itu bergerak-gerak menyentuh daun telinga, hawa yang hangat dari mulut meniup-niup telinga, hidung itu menyentuh-nyentuh pipi dan pelipis, jantungnya berdebar keras. Selama hidupnya Han Han belum pernah berdekatan dengan wanita seperti sekarang ini. Dahulu pernah dia mengalami hal luar biasa dengan Lulu ketika berada di Pulau Es, hal yang sampai sekarang kalau ia ingat membuat ia menjadi merah mukanya, akan tetapi ketika itu ia dan Lulu berada dalam keadaan tidak sadar dan diamuk gairah nafsu berahi yang dibangkitkan oleh racun ular merah. Mereka dulu keracunan dan masih dapat melawan sehingga mereka berdua terhindar dari perbuatan yang akan membuatnya menyesal selama hidupnya. Dan selain peristiwa itu, memang sering kali Lulu dengan sikapnya yang manis memeluknya, mengambung pipinya, akan tetapi Lulu adalah adiknya dan perbuatan itu tidak menimbulkan sesuatu dalam batinnya. Kemudian, pernah pula berdekapan dengan Kim Cu, akan tetapi, hal itupun dia lakukan ketika ia diamuk kedukaan karena kakinya buntung dan diamuk keharuan melihat cinta kasih Kim Cu yang demikian mendalam kepada dirinya. Berbeda dengan sekarang ini. Sekarang dia berada dalam keadaan sadar dan gadis ini baru saja dia kenal!
"Lalu.... bagaimana...." bisiknya.
"Kau pandai renang.... ah, maafkan, In-kong. Tentu kau tidak bisa...." Gadis itu melirik ke arah kaki yang tinggal satu itu.
Han Han menghela napas, bukan karena menyesal melihat kakinya buntung. Kebuntungan kakinya bukan apa-apa lagi baginya, akan tetapi ia menyesal bahwa kebuntungan ini selalu mendatangkan rasa kasihan dan tidak enak, canggung bagi orang lain.
"Akan tetapi memang tidak perlu berenang," gadis itu cepat menyambung dengan kata-kata lirih. "Aku memerlukan selonjor batang pohon itu ke tengah sungai dan kita bersembunyi di bawahnya, berpegang dan bergantung kepada cabangnya. Dengan demikian, tanpa susah payah kita akan dapat melewati barisan musuh dengan aman."
Han Han mengangguk-angguk. Jadi beginikah akalnya gadis cerdik ini" Cerdik dan penuh keberanian karena kalau sampai akal ini diketahui musuh, tentu dia akan menjadi seperti tikus terjebak!
"Baik sekali, Nona. Akan tetapi bagaimana kita akan bernapas dalam air"
Gadis itu tersenyum, senyum kemenangan penuh bangga karena kembali dialah yang akan dapat mengatasi kesulitan itu. Tangan kirinya meraih ke kiri dan jari-jari tangannya yang kecil dan kuat itu telah mematahkan sebatang alang-alang, mematahkan batang itu ke mulutnya. "Dengan dua tiga batang alang-alang di mulut, dapat kita menyedot hawa dari permukaan air."
Har Han memandang kagum. Memang cerdik sekali. Dengan pipa batang alang-alang itu memang mereka akan dapat tinggal di bawah permukaan air sampai berapa lamanya pun! Permainan yang cerdik, akan tetapi amat berbahaya. Dengan tubuh dalam air, berarti sama sekali tidak dapat melindungi tubuh terhadap bahaya dari luar. seolah-olah hanya menggantungkan nyawa kepada berhasilnya akal itu. Menggantungkan nyawa kepada batang alang-alang! Betapa bahayanya! Akan tetapi, ia tidak mau mengecewakan orang dan mengangguk-angguk, bahkan ia lalu berkata, "Aku akan mencari batang pohon itu di sana." Sebelum Hian Ceng menjawab, tubuhnya sudah melesat dan lenyap. Gadis itu tertegun dan mengintai ke arah para tentara yang berada di perahu, akan tetapi tentu saja mereka itu tidak melihat gerakan Han Han. Sedangkan dia sendiri yang biasanya membanggakan matanya, dan yang berada dekat sekali dengan Han Han, tidak dapat melihat bagaimana pemuda buntung itu lenyap begitu saja dari depan hidungnya!
Karena percaya penuh akan kelihaian Han Han, maka Hian Ceng tidak mau tinggal diam dan ia lalu mulai mencari dan mengumpulkan batang alang-alang yang cukup besar dan tua sehingga batangnya kuat, tidak mudah patah. Ia mengumpulkan sampai sepuluh batang dan tak lama kemudian Han Han kembali dan berbisik.
"Batang pohon sudah siap di sana, dekat tikungan." Ia menuding.
"Bagus, mari kita ke sana, In-kong. Ini batang jerami alang-alang, kau pakai sebagian."
Berindap-indap mereka lalu maju ke tepi sungai di tikungan sehingga tidak tampak oleh lima orang tentara di perahu. Melihat sebatang pohon besar yang jebol bersama akar-akarnya, Hian Ceng terbelalak. Kalau keadaan tidak demikian genting, tentu ia ingin sekali tahu bagaimana caranya pemuda buntung itu menumbangkan pohon ini berikut akarnya! Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang muda itu lalu menyeret batang pohon ke sungai, menghanyutkan batang pohon itu sampai ke tengah sungai dan mereka bergantung pada dahan di bawah batang. Dan batang alang-alang menyambung mulut mereka dengan hawa di permukaan air, bersembunyi di antara daun-daun pohon sehingga mudah bagi mereka untuk bernapas. Batang pohon itu hanyut dengan cepat karena arus air kuat juga di bagian itu. Han Han bergantung pada dahan pohon dengan jantung berdebar tegang. Bagaimana ia tidak akan merasa tegang kalau berada dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak dapat menjaga diri, tak dapat menggunakan kepandaiannya, tidak dapat melihat musuh dan menggantungkan keselamatan dirinya pada dua batang alang-alang"
Tiba-tiba tangan Hian Ceng mencengkeram lengah Han Han. Han Han membuka matanya memandang ke arah atas yang ditunjuk gadis itu. Mula-mula hanya tampak bayangan hitam, akan tetapi lalu tampak kayu lonjong bergerak. Perahu! Han Han khawatir sekali, jelas ada perahu mendekati batang pohon. Ia lalu menyembulkan kepalanya, bersembunyi di antara daun-daun pohon itu. Benar saja, perahu dengan lima orang tentara Mancu berada dekat sekali, dan mereka semua sudah berdiri di perahu dengan tombak di tangan. Seorang di antara mereka berteriak.
"Awas kawan! Di hawah pohon ini tentu ada ikan-ikan pemberontak, kita panggang mereka, ha-ha-ha!"
Han Han terkejut sekali. Untung dia menyembulkan kepalanya, kalau tidak tentu mereka benar-benar akan disate oleh tombak-tombak itu. Mereka yang berada di perahu akan dapat melihat Han Han dan Hian Ceng, sebaliknya mereka yang berada di dalam air sukar untuk dapat melihat gerakan mereka yang di perahu!
Cepat Han Han menyelam lagi dan ketika perahu sudah cukup dekat bagian depannya. Han Han menggerakkan tongkatnya, mendorong perahu dengan gerakan tiba-tiba sehingga perahu itu terbalik dan lima orang tentara Mancu itu terlempar ke air! Han Han kagum sekali melihat betepa dengan gerakan yang cepat, Hian Ceng sudah mengerjakan jari-jari tangannya yang lihai sehingga tanpa mendapat kesempatan sama sekali, dua orang telah ditotok dan tewas seketika, rambut kepala mereka dicengkeram oleh tangan Hian Ceng. Han Han juga mengerjakan tongkatnya dan tiga orang tentara yang lain tewas tanpa dapat mengerti mengapa mereka mati dan oleh siapa. Han Han menahan mayat-mayat mereka dengen tongkat. Mereka berdua terpaksa menyembulkan kepala ke permukaan air. Untung kedua tepi sungai sunyi di saat itu sehingga peristiwa itu tidak teriihat oleh tentara lain.
"Kita harus membawa mayat mereka ke tepi, kalau terhanyut, kita celaka...." kata Hian Ceng yang hendak berenang minggir sambil menyeret dua mayat korbannya.
"Biarkan aku melempar mereka ke darat!" Han Han mencegah dan tongkatnya bergerak dan.... tubuh seorang tentara terlempar dan terbanting di tepi sungai. Lima kali Han Han menggerakkan tongkatnya dan lima mayat itu kini semua sudah menggeletak di pantai sungai. Perahunya yang tersangkut pada pohon itu, oleh Han Han didorong. Kekuatan mendorongnya luar biasa sekali sehingga perahu itu terdorong bagaikan anak panah cepatnya sehingga setibanya di tepi, ujung perahu itu menancap pada tanah!
Mereka cepat menyelam lagi. Tiba-tiba tangan gadis itu sekali lagi mencengkeram lengannya, Han Han membuka mata memandang gadis itu yang kelihatan lucu dan aneh sekali karena gerakan air membuat wajah gadis itu peletat-peletot dan bengkak-bengkok. Hian Ceng mengangkat tangan kanan yang dikepal jari-jarinya kecuali ibu jari yang diangkat ke atas, di depan hidung Han Han. Ah, kiranya gadis itu hanya ingin menyatakan kagumnya, hanya ingin memujinya dan karena di dalam air itu tak mungkin mengeluarkan suara, maka gadis itu mengacungkan jempolnya di depan hidung untuk memuji.
"Kita sudah masuk perbatasan daerah Se-cuan, di sini aman. Pakaian kita basah, kalau tidak dijemur dulu, bisa masuk angin!"
Han Han hanya mengangguk-angguk kemudian ia membalikkan tubuhnya membiarkan gadis itu membuka dan menjemur pakaian. Ia mendengar gadis itu mandi di anak sungai yang memuntahkan airnya di Sungai Cia-ling. Benar-benar mengherankan sekali. Setengah hari lamanya sudah merendam tubuh di air, sekarang masih mandi lagi! Benar-benar wanita merupakan mahluk yang paling aneh, merupakan manusia yang wataknya kadang-kadang mengherankan sekali. Bahkan watak adiknya sendiri pun kadang-kadang membuat dia bengong dan menggeleng-geleng kepala, menggaruk-garuk belakang telinga. Kini ia pun menggeleng kepala dan menggaruk telinga tanpa disadarinya.
"Heiiiiii....! In-kong, kenapa kau menggeleng kepala dan menggaruk belakang telinga" terdengar teriakan gadis itu dari belakangnya. Bukan main! Sudah mandi, kiranya masih mencurahkan perhatian kepadanya sehingga semua gerak-geriknya diketahuinya belaka!
"Aku heran mendengar engkau mandi, Nona," kata Han Han sambil membuka bajunya, memeras air dari bajunya dan menggantungkannya di tempat panas bersama pakaiannya yang hanya satu stel. Celananya tetap ia pakai dan dia pun duduk di tempat panas untuk mengeringkan celana yang dipakainya.
"Mengapa heran mendengar orang mandi" Apakah engkau belum pernah mendengar orang mandi"
"Bukan begitu maksudku. Baru saja kita keluar dari dalam sungai di mana kita berendam sampai setengah hari. Mengapa engkau mandi lagi, Nona"
"Mengapa tidak" Air Sungai Cia-ling kotor, dan air sungai kecil ini amat jernih." Kini suara gadis itu terdengar dekat, agaknya sudah selesai mandi. "Dan engkau tidak perlu lagi membelakangiku, In-kong. Aku sudah bersembunyi di balik semak-semak."
Han Han membalikkan tubuhnya, duduk menghadapi semak-semak dan sungai. Namun ia masih dapat melihat bayangan tubuh gadis yang telanjang itu di antara celah-celah daun semak-semak itu. Terpaksa ia menundukkan mukanya agar matanya jangan sampai melihat bayangan itu.
Sunyi sejenak. Gadis itu memeras pakaiannya yang basah dan yang baru saja dicucinya, kemudian dari bayangan yang dikerlingnya sebentar untuk mengetahui apa yang dilakukan Hian Ceng, Han Han depat menduga bahwa gadis itu sedang menyambung bagian kain yang robek dengan benang-benang yang ia cabut dari kain pengikat kepalanya.
"Mengapa diam saja, In-kong" Apa yang kau pikirkan" Tiba-tiba pertanyaan ini mengejutkan Han Han dan menyadarkannya dari lamunan.
"Eh, tidak apa-apa. Akalmu tadi baik sekali, Nona."
"Uh, baik apa" Buruk sekali! Hampir saja celaka. Akal itu sudah kuno, tidak memenuhi syarat lagi. Musuh sudah tahu, perlu diganti dengan akal yang lebih tepat." Hian Ceng lalu bercerita panjang lebar tentang semua pengalamannya sambil menanti keringnya pakaian. Dari cerita ini tahulah Han Han bahwa gadis ini memang seorang gadis pejuang, gadis yang semenjak berusia tujuh tahun sudah ditinggal mati ibunya, kemudian ikut dengan ayahnya ke manapun It-ci Sin-mo Tan Sun yang sudah tua itu pergi. Dia diajak berjuang oleh ayahnya, tak tentu tempat tinggalnya, sebagian besar hidup di dalam hutan-hutan di atas gunung-gunung dan di tempat-tempat liar! Mengertilah Han Han mengapa sikap gadis ini terbuka, lincah liar dan polos. Agaknya, hidupnya selama ini di tempat-tempat terbuka, bersama-sama dengan para pejuang, hidup penuh kekerasan, menghadapi banyak bahaya maut bersama pejuang yang sudah mengeras wataknya dan menjadi kasar, membuat gadis ini menjadi gadis alam. Pantas saja tidak pemalu seperti gadis-gadis kota, dan tidak merasa canggung biarpun kini ia bercakap-cakap dengan Han Han dalam keadaan telanjang, biarpun tertutup semak-semak.
Setelah pakaian mereka kering dan tubuh mereka yang tadinya dingin menjadi hangat oleh sinar matahari, Hian Ceng berpakaian dan muncul dari balik semak-semak. Wajahnya segar dan bersih, rambutnya terurai lepas, pakaiannya sudah tertutup rapat dan dia memandang Han Han yang sudah sejak tadi berpakaian dengan wajah berseri.
"In-kong, marilah kuperlihatkan padamu daerah Se-cuan yang indah, kuperkenalkan daerah pejuang!" Ia lalu berlari-lari cepat. Han Han segera berloncatan mengejar gadis yang mendaki pundak itu dan kegembiraan gadis itu menular kepadanya sehingga dengan kaget dan heran akan tetapi juga senang ia sadar dan teringat betapa kini hatinya tidak begitu tertekan lagi, semangatnya tidak lemah lagi seperti sebelum ia bertemu dengan Hian Ceng. Ah, melihat gadis itu yang demikian lincah gembira, melihat dia hidup seperti tidak mengenal susah padahal baru saja ditinggal mati ayahnya, benar-benar menyadarkannya bahwa hidup ini sebetulnya tidaklah begitu buruk!
Tak lama kemudian tiba di sebuah puncak di Pegunungan Cin-ling-san dan Hian Ceng berhenti. Han Han kagum sekali. Memang pemandangan di situ amat indahnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ia lebih tertarik dan merasa lebih indah ketika memandang sepasang mata yang bersinar-sinar gembira, bibir yang tersenyum dan agak terbuka karena terengah-engah, pipi yang kemerahan dan segar, rambut yang sudah kering betul dan melambai-lambai tertiup angin seperti benang-benang sutera.
"Lihatiah, In-kong. Puncak-puncak Pegunungan Ta-pa-san di timur dan puncak-puncak Pegunungan Min-san dibarat tampak semua dari sini. Seperti juga di lembah Cin-ling-san ini, di lembah kedua gunung itupun terjaga oleh barisan Mancu. Berkali-kali fihak Mancu menyerang dari tiga daerah pegunungan ini, akan tetapi kami selalu dapat memukul mundur mereka. Daerah Se-cuan memang amat tepat menjadi pusat perjuangan melawan Mancu. Daerah yang dikurung gunung-gunung. Puncak yang amat tinggi dan jauh di barat itu, di balik Pegunungan Min-san, adalah Pegunungan Bayangkara. Di sebelah selatan Min-san disambung dengan Pegunungan Ciung-lai-san, dan di tapal batas sebelah selatan masih disambung lagi oleh Pegunungan Ta-liang-san. Daerah timur ditutup oleh Sungai Yang-ce-kiang dan bala tentara Bu-ongya dikerahkan untuk menjaga tapal batas di timur sepanjang Sungai Yang-ce-kiang, dan di utara di lembah-lembah Gunung Ta-pa-san dan Min-san."
Sambil memandang ke sekeliling dari tempat tinggi ini, Han Han kagum akan pengetahuan gadis itu tentang keadaan dan daerah itu.
"Pusat pemerintah di mana Bu-ongya tinggal berada di kota raja Cung-king, dan semua benteng pertahanan yang dijadikan pusat para pejuang yang membantu Bu-ongya tersebar di tiga tempat, yaitu Cung-king, Kwan-yang dan Wan-sian. Engkau sendiri harus ke Cung-king, In-kong, selain untuk bertemu dengan Bu-ongya, juga di sana tentu engkau akan bertemu dengan para pejuang lain yang sudah In-kong kenal. Mari kita turun dan melanjutkan perjalanan. Biarpun sekarang telah memasuki daerah sendiri yang aman, akan tetapi perjalanan masih harus ditempuh dua hari dua malam dan amat sukar perjalanannya, baru kita akan bertemu dengan penjaga-penjaga. Nanti aku akan menyuruh mereka mengantar In-kong ke Cung-king."
"Dan kau sendiri, Nona"
"Aku akan pergi mencari adikmu, kumulai dengan mencarinya di Kwang-yang."
"Aku pun hendak mencari adikku. Memang untuk keperluan itulah aku memasuki Se-cuan."
"Benar, akan tetapi sebagai seorang yang baru saja memasuki Se-cuan, In-kong adalah seorang asing. Kalau tidak menghadap dulu ke Cung-king, tentu akan banyak menimbulkan kesulitan bagi In-kong sendiri yang akan dicurigai di mana-mana. Selain itu, sudah sepatutnyalah kalau orang memasuki daerah yang sedang bergolak, terlebih dahulu menghadap Bu-ongya yang dapat dikatakan sebagai tuan rumahnya."
Gadis itu pandai sekali berdebat dan Han Han terpaksa membenarkannya. Mereka lalu menuruni puncak itu dan setelah hari menjadi gelap, Hian Ceng mengajak Han Han beristirahat di sebuah lereng gunung di mana terdapat sebuah gubuk kecil di pinggir hutan, gubuk yang menurut kata Hian Ceng sengaja dibuat oleh para pejuang untuk tempat istirahat.
Hian Ceng benar-benar mengenal daerah itu. Dia pergi sebentar dan datang lagi membawa buah-buahan dan seekor ayam hutan yang gemuk. Sambil bernyanyi-nyanyi Hian Ceng membersihkan dan memanggang daging ayam itu, kemudian mereka makan dan minum air jernih.
Malamnya, Hian Ceng yang sudah lelah sekali tidur di dalam gubuk, di atas dipan bambu, rebah miring. Dingin sekali malam itu. Han Han duduk tidak jauh dari tempat Hian Ceng rebah karena gubuk itu hanya sempit saja, dan biasanya, para pejuang yang kemalaman di tempat ini tidur saja di ataS dipan yang memenuhi gubuk, berderet-deret seperti ikan bandeng. Hal ini juga sudah dikatakan oleh Hian Ceng tadi ketika gadis yang sudah biasa hidup di alam liar ini hendak tidur dan merebahkan tubuhnya miring.
"In-kong, mari kita tidur. Kita harus mengaso karena perjalanan besok masih jauh!"
Wajah Han Han merah sekali mendengar ajakan itu, untung bahwa sinar api unggun yang merah menyembunyikan warna mukanya. "Tidurlah, Nona."
"Eh, masa engkau duduk saja" Tidurlah, tempat ini cukup lebar. Biasanya kami juga tidur di sini, bersama Ayah dan para Paman. Mengapa malu" Nih, di belakangku masih lega, rebahlah di sini."
Akan tetapi tentu saja Han Han hanya dapat menggeleng kepala dan pura-pura tidak memperhatikan gadis itu dengan menambah kayu pada api unggun. Ia mengerti bahwa gadis yang biasa hidup di alam terbuka, biasa mengalami kesukaran hidup bersama para pejuang lainnya, menganggap tidur bersama seperti itu biasa saja! Bahkan bertelanjang di depannya pun tadinya dianggap bukan apa-apa. Ia baru marah karena pandang mata Han Han yang terpesona! Benar-benar gadis yang jujur, polos dan murni. Akan tetapi dia yang sudah kenyang membaca kitab-kitab, tahu akan segala peradaban, segala kesusilaan dan kesopanan, bagaimana mungkin dapat rebah di samping seorang gadis" Kalau rebah dan tidur sepembaringan dengan Lulu, hal itu sih tidak terlalu menyiksa perasaan. Akan tetapi dengan gadis yang baru dikenalnya ini" Tak mungkin!
Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.
"Huhhhhh.... dinginnnnn....!" Suara Hian Ceng membangunkannya dan ia melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa! Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!
Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.
Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih "selimut" ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik "selimut" itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng. Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Akan tetapi tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, "mematikan" perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.
Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.
"In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!"
Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguhpun tidak ia sengaja.
"Nona, sepagi ini sudah memanggang daging"
Nona itu tertawa. "Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!"
Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.
tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.
Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, "Nona, mulai sekarang harap kauhilangkan saja sebutan In-kong itu. Andaikata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku."
"Habis, disuruh menyebut apa" Kongcu"
"Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda"
"Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!"
"Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua daripadamu, Nona."
"Ah, mana pantas" Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!"
"Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan"
"Hemmm, kalau engkau begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan kepadamu" Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya" Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku akan menyebutmu kakak."
Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. "Baiklah, Moi-moi. Baikiah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku."
"Twako siapa" Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!"
Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar mendatangkan kegembiraan mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.
"Adikku yang baik, namaku Sie Han. Akan tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han."
"Han-twako!" Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.
Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka hermalam di puncak terakhir. "Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako."
Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu, melepaskan lelah. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.
"Lima tahun yang lalu, kdlau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini," kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.
"Mengapa" Apa yang terjadi" Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.
"Kami diserang halimun beracun...."
"Halimun beracun" Apa itu"
"Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio."
"Apa penolaknya" Han Han tertarik sekali. "Kan bisa membuat api unggun"
"Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akantetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!"
Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sin-kang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.
"Twako, celaka....!" Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget. Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap, rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama tak tampak sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!
"Han-twako.... halim.... mun.... beracun.... kita lari saja...., akan tetapi ke mana.... yang tidak adahalimunnya...." Suara Hian Ceng sudah menggigil dan agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang terasa oleh Han Han betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.
"Han-twako....!"
"Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir."
"Di.... dinginnn.... tak tertahankan...."
"Menggeserlah, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin."
Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa.
Ia masih dapat mendengar perintah Han Han maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu dan tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba lalu menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung. Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.
"Ceng-moi, jangan tidur.... kerahkan sin-kangmu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya....!"
Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biarpun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sin-kangnya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.
Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, "Sudah aman.... kabut dingin sudah lewat!"
Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sin-kangnya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!
Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikimya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sin-kangnya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.
"Alangkah cantiknya.... bibir itu.... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel.... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu" Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.
"Gila engkau!" hardik suara lain di dasar hatinya. "Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!"
"Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul" Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya" Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan...." suara itu makin lembut, "Andaikata dia tahu sekalipun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang...."
"Tidak!" Suara ke dua membentak. "Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!"
"Bukan mencuri...." bantah suara ke dua halus, "baru saja kau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya" Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra.... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh...."
Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biarpun hanya satu kali, biarpun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra! Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan berahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!
Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mujijat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini" Mengapa"
Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, "Bedebah Suma Hoat....!" Tangannya yang mengerahkan tenaga sin-kang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!
"Aihhhhh....! Ada.... ada apa...." Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sin-kang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.
"Si keparat engkau, Suma Hoat....!"
Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.
"Han-koko....!" Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.
"Lulu....!" bisiknya mengandung isak.
Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.
"Han-koko....! Kau kenapakah...."
Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu berahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu berahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.
"Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan...."
Tubuh gadis itu menggigil. "Aihhh.... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi"
Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. "Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun."
Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.
"Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang."
"Hemmm, baiklah, Ceng-moi."
"Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku daripada bahaya yang mengerikan sekali, ke dua menyelamatkan aku daripada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali...."
"Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi...." Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. "Tidurlah...."
"Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu.... Twako, kau berjanjilah.... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang."
"Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Tidurlah...." Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.
Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata, "Han-koko, mengapa engkau berduka lagi" Engkau agaknya menderita sekali.... ah, percayalah, Koko, aku akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu...."
Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.
"Ceng-moi.... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri.... tidurlah dan besok pagi kita bicarakan lagi....!" Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar dan mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.
Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.
"Aku ke Cung-king, tak pertu dikawal. Sampai jumpa."
Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biarpun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya. Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan "iblis" yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!
Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang.
Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacad akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain. Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.
"Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan"
Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang inipun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.
"Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu," jawab Han Han ramah.
"Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, aku pun kehilangan sebelah kakiku dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal, jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekalipun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!"
Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, namun orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, melainkan untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia" Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.
Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan tidak menimbulkan kecurigaan, ia membenarkan bahwa ia kehilangan kaki ketika ia membantu fihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.
"Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukanlah anggauta pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya"
Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, "Orang muda, di fihak siapakah kau berdiri" Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu"
Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, aku tidak di fihak siapa-siapa."
"Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar." Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, akan tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.
"Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kausampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan faham sehingga timbul tiga macam faham. Pertama adalah faham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante" Dan ke dua adalah faham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan fihak Se-cuan. Nah, yang ke tiga adalah faham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu faham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti.... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!" Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.
Ah, dia tidak akan peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana dan dia tidak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu. Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia" Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi. Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, melainkan terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu, juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang" Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan kejahatan, dari manapun juga datangnya!
Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya dan tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.
"Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah" Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan" tanya komandan jaga dengan sikap hormat. Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw, yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, "Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya."
Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. "Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya"
"Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri."
"Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau utusan siapa, agar kami dapat melaporkan ke dalam."
Han Han menggeleng kepala. "Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan."
Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan" Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!
Akan tetapi komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.
"Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!"
Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han) dan ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu. Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih" Kakinya pun tinggal satu!
Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali,hanya empat huruf : HOHAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.
"Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!"
Han Han mengangguk dan bersikap waspada, akan tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak sekali orang, ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!
"Apapun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!" Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan hitam!
Agaknya mereka sedang membicarakan tentang pertentangan faham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.
"Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!" Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.
Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.
Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.
"Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting."
Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas permadani biru dan membentak.
"Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!"
Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun bersahabat karena menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, "Namaku Han Han."
"Siapa gurumu" Dari golongan mana" Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah"
Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.
"Nama guruku tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan manapun dan aku tidak pernah ikut berjuang!"
"Aaahhhhh....!" Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan, bahkan ada bisikan dari sudut, "Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu....!"
Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, "Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, akan tetapi aku datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!"
"Manusia sombong!" laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. "Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!"
Han Han terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sin-kang pada dadanya yang dicengkeram. Melihat betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguhpun orang ini telah berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah menjadi "hukum" di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu silat)!
"Bukkk!"
Tubuh Han Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lwee-kang kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang sendiri!
"Aku tidak ingin berkelahi," kata Han Han.
Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.
Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sin-kang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh. Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga kemarahannya membakar hati dan kepala. Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lwee-kang sekuatnya, ia pukulkan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut heberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan juga amat keji dan curang.
"Desssss!" Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sin-kang, menerima pukulan dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu, kepada penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!
"Omitohud....! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!" Oua orang yang berpakaian seperti hwesio, kepala mereka gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.
Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras, "Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku" Biarlah aku yang mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!" kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.
"Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga!"
"Omong kosong! Lihat seranganku!" Kakek ini sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai daripada ilmu kepandaian muridnya tadi. Han Han cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.
"Haliiittttt! Eh...." Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain. Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari lawannya!
"Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi denganmu!" Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi"
"Cuit-cuit-cuit.... sing-singgg....!"
Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua "pintu" di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.
"Trak-tringgg....!"
"Ayaaaaa....!" Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.
"Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!" Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!
"Cuat-cuat-cuatt....!" Kembali sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah merasa sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan sin-kang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia selalu dimusuhi oang" Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan" Apakah kesalahannya" Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.
"Mengapa engkau mendesakku" teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas. Pada saat itu, sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, mengerahkan gin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara, sin-kang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!
"Omitohud.... benar mengagumkan....!"
Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan.... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!
Han Han terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga sin-kang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, lalu melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata.
"Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!"
Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman, maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.
"Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!" Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.
"Maaf, Losuhu. Saya tidak ingin berkelahi," kata pula Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.
"Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!"
Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu hwesio gemuk ini seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang luar biasa kuatnya, mendorong ke arah dada Han Han. Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sin-kang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya."Bagus! Sin-kangmu hebat, juga gin-kangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!" Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara. Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali tamparannya luput" Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.
Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepetnya!
Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi, hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apalagi kalau tangan kanannya yang bergerak. Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.
Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji kekuatan Han Han, pemuda inipun menerima pukulan yang merupakan tamparan dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.
"Bresssssi!"
"Omitohud.... luar biasa....!" Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia mcrasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!
Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya tergoyang tubuhnya dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!
"Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!"
Hwesio gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali! Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa. Timbul pula keinginannya mencoba. Tadi ia sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.
Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biarpun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus! Hwesio gemuk ini bersama temannya yang kurus, adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sin-kangnya yang jarang bertemu tending, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)! Adapun hwesio kurus itupun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sin-kangnya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!
Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara "kok-kok-kok" tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu memdorong ke arah Han Han.
Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut terasa hangat, pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.
Han Han yang timbul kegembiraannya melihat ilmu yang dahsyat ini, cepat mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan tangan kirinya mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!
Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya, dan tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.
"Desssss.... cessshhhhh!"
Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan tempat itu!
"Ihhhhh....!" Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.
"Omitohud....!" Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.


Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibliskah engkau...." Thian Tok Lama kini mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.
"Wuuuuttt!" Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biarpun amat besar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, "Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini...."
"Tahan....! Jangan berkelahi....! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan para locianpwe"
Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.
"Han Han, jangan menginjak permadani itu!" Sin Kiat berteriak. Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.
"Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini." Sin Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.
Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang berdiri di situ. "Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa"
"Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini."
"Ohhhhh.... maaf....!"
Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata.
"Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu."
"Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!" kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. "Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini" Dia menimbulkan kecurigaan besar!"
"Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah."
"Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya" Tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.
Wan Sin Kiat mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han Han. "Apakah artinya ini, Han Han" Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya"
"Benar sekali dan memang aku membawa berita yang amat penting!"
"Kalau begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini."
Han Han mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu dekat...."
"Ahhhhh....! Mana mungkin" teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. "Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar mereka!"
"Karena inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!"
"Wah, ini penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!"
Semua orang di ruangan itu menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil berkata, "Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng temukan!"
"Ah, sayalah yang seharusnya minta maaf, locianpwe," kata Han Han sambil balas menghormat. Akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ menuju ke istana. Para ho-han ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata kepada kawannya lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.
"Kau hebat, Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai memujimu!"
"Ah, kaumaksudkan hwesio yang gemuk itu" Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai daripada Toat-beng Ciu-sian-li!" kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.
"Dan dia menyebutmu taihiap!"
Merah wajah Han Han. "Sudahlah, eh, Sin Kiat. Apakah kau sudah mendengar tentang adikku"
Wajah Sin Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. "Sungguh menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han."
Han Han menarik napas panjang. "Ada seorang nona sedang mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian Ceng...."
"Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan Sun" Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua daerah ini. Kalau dia membantu.... eh, kenapa" Sin Kiat heran melihat wajah Han Man menjadi muram.
"Kasihan dia. Ayahnya gugur...."
"Apa" Bagaimana"
"Nanti saja kuceritakan. Lebih baik sekarang kita menghadap Bu-ongya."
Sin Kiat menemui kepala pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang amat terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak-terjang pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koang maka ketika Han Han datang terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh perhatian dengan wajah berseri
Sin Kiat memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biarpun hanya berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.
"Duduklah, ji-wi Ho-han!" kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi. Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain fihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidakpercayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!
"Han-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini" Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah. Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!
"Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!" kata Sin Kiat. Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai "kawan seperjuangan".
"Hemmm, siapakah engkau, sicu" Dan berita apakah itu"
Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apalagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.
"Saya bernama Han, she Suma."
Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan" Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi, sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aselinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aselinya!
Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang akan kaulaporkan kepadaku"
Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.
Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi, tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. "Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima unluk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!"
Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi. Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di fihak Mancu, sedangkan di fihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu.
*** Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya fihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik. Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata "membentur karang" karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti! Bahkan segala usaha Setan Botak Gak Liat selain gagal oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.
Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan perajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi fihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.
Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.
Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi, menjadi berhenti dan kedua fihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Fihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi fihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.
Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih. Dan sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!
Setelah perang dihentikan oleh fihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain" Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah"
Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjapan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar pangglian Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda! Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat, jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu" Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati" Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.
"Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil."
"Cita-cita masih kecil" Apa maksudmu" Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.
"Lupa lagikah engkau dahulu" Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!"
Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, "Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan" Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han."
Han Han membelalakkan matanya, kemudian tertawa memandang wajan tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. "Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari-mendapatkan-memiliki-memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilahgan!"
Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. "Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan"
Han Han tertawa dan menggeleng kepala. "Manusia menjadi korban daripada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimanapun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya."
Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya, dapat melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tehtulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!
"Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han," katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.
Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini."
"Ah, jangan dulu kau pergi, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan. Para penyelidik melaporkan bahwa kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!"
"Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, periu apa takut" Aku tidak suka perang, apalagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di sini."
"Dua orang pendeta itu" Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang, mereka itu memiliki kepandaian tinggi, aka
Pendekar Panji Sakti 16 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pendekar Sadis 4
^