Pendekar Super Sakti 21

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


dalah sebatang payung yang tiba-tiba sudah berada di tangan Nirahai dan payung itu berkembang, kemudian ujung peyung yang runcing seperti pedang menusuknya. Tangkisannya membuat tangannya tergetar, tanda bahwa puteri Mancu itu memiliki sin-kang amat kuat.
Sin Kiat memutar pedangnya dan bergerak cepat, namun semua serangannya kena dihalau oleh tangkisan kuat, den dalam beberapa gebrakan saja ia sudah terdesak oleh serangan balasan ujung payung yang menyembunyikan gerakan lengan den pundak lawan.
"Plak.... cring....! Aaaihhh!" Sin Kiat terpaksa meloncat ke belakang dan hampir saja lututnya kena disambar ujung payung yang gerakannya amat lihai itu. Sin Kiat memandang tajam, kemudian ia berkata.
"Hemmm.... kalau tidak salah dugaanku, tentu engkaulah Puteri Nirahai yang terkenal licik itu, pengadu domba antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai!" katanya sambil melintangkan pedang di depan dada. Kemudian ia menoleh ke arah Lulu dengan wajah berseri, "Lu-moi, engkau pergilah. Han Han mencarimu. Biar aku yang menghadapi iblis betina ini!"
"Wah, melihat gerakan pedangmu, engkau tentu Hoa-san Gi-hiap seperti yang pernah diceritakan Lulu kepadaku. Ah, tidak kecewa engkau menjadi murid Im-yang Seng-cu, akan tetapi engkau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melawanku!" Nirahai berseru dan kembali payung pedangnya mengirim serangan hebat. Sin Kiat tidak berani berlaku lengah dan cepat ia menangkis sambil meloncat ke samping kemudian mengirim serangan balasan yang dapat dielakkan secara mudah oleh Nirahai dengan sikap mengejek.
"Wan-twako, jangan....! Jangan campuri, biar aku sendiri hadapi suci!"
Wan Sin Kiat terkejut bukan main dan untuk kedua kalinya ia meloncat mundur. "Apa" Sucimu...."
Nirahai tersenyum dan memandang wajah tampan itu dengan tajam. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda inipun seorang panglima Se-cuan, maka dia menganggap pemuda ini musuhnya.
"Benar, Wan Sin Kiat, ataukah Wan-ciangkun" Engkau seorang panglima pemberontak, bukan" Lulu adalah sumoiku, akan tetapi mencampuri urusan kami atau tidak, setelah engkau berada di daerah ini, engkau harus menyerah menjadi tawananku atau terpaksa aku akan membunuhmu sebagai tokoh pemberontak!"
"Lu-moi....! Eh, bagaimana ini...."
Sin Kiat bingung sekali, akan tetapi Nirahai telah menyerangnya kembali dengan hebat.
"Tranggg.... cringgggg....!" Dua kali Sin Kiat menangkis dan ia terhuyung ke belakang. Nirahai terus menerjang maju dan mendesak pemuda yang terhuyung itu dengan ujung payungnya.
"Trikkkkk!"
Nirahai mencelat mundur. Lulu telah mencabut pedang dan menangkis gagang payung itu, menolong Sin Kiat.
"Suci, tidak boleh kaubunuh dia. Mari kita lanjutkan pertandingan kita."
"Sumoi, kau makin tersesat! Membantu pemberontak di depanku, ya" Nirahai menyerang dengan hebat dan kembali kedua orang gadis yang sama cantik jelita dan sama lincah itu saling serang, kini menggunakan senjata. Melihat ini, serta merta Sin Kiat membantu dan mengeroyok Nirahai. Pertempuran hebat berlangsung di dalam hutan yang sunyi itu. Kelebatan sinar pedang menyliaukan mata dan gerakan mereka amat cepatnya.
Diam-diam Sin Kiat menjadi heran sekali, heran dan kagum. Kini ia mendapat kenyataan betapa Lulu telah memperoleh kemajuan pesat, bahkan dari gerakan-gerakan gadis yang dicintanya itu ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Lulu kini telah jauh melampaui tingkatnya sendiri! Akan tetapi, dengan kaget ia pun mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Puteri Nirahai yang terkenal ini lebih hebat lagi, dikeroyok dua sama sekali tidak terdesak, bahkan beberapa kali dia dan Lulu terancam oleh ujung gagang payung yang luar biasa aneh dan lihainya itu. Pantas saja tokoh-tokoh besar seperti orang ke enam dan ke tujuh dari Siauw-lim Chit-kiam tewas di tangan gadis puteri Kaisar Mancu ini!
Karena dibantu Sin Kiat, kini tidaklah begitu mudah bagi Nirahai untuk dapat mengalahkan Lulu, sungguhpun ia masih terus mendesak karena memang tingkat kepandaiannya jauh di atas kedua orang pengeroyoknya. Setelah lewat seratus jurus, Nirahai mulai penasaran dan marah. Kalau tadinya ia ingin merobohkan Lulu tanpa membunuhnya, bahkan kalau mungkin tidak melukainya, kini ia tidak peduli lagi dan kalau perlu hendak membunuh mereka berdua. Ia mengeluarkan lengking nyaring sekali dan tampaklah sinar emas berkilau. Lulu dan Sin Kiat terkejut sekali, mata mereka menjadi silau dan permainan pedang mereka kacau-balau oleh suara yang keluar dari sebatang suling emas yang kini dimainkan oleh Nirahai. Itulah senjata pusaka Suling Emas yang ampuhnya menggila!
"Trang-cringgg....!" Lulu dan Sin Kiat terhuyung, kedua tangan mereka tergetar hebat.
"Lu-moi, pergilah.... cepat pergilah.... selamatkan dirimu....!" Sin Kiat berkata sambil memutar pedangnya dengan cepat membentuk gulungan sinar pedang seperti perisai baja.
"Tidak, Wan-twako! Engkau saja pergilah, jangan menyia-nyiakan nyawa untuk aku. Biar kuhadapi urusanku sendiri!" Lulu berkata sambil memutar pedangnya.
"Trang-trangg...!" Kini kedua orang muda itu tidak hanya terhuyung, bahkan terlempar ke belakang dan bergulingan. Nirahai tertawa dan terus menerjang maju.
"Moi-moi.... pergilah selamatkan dirimu....!" Sin Kiat mendesak.
"Twako, kenapa sih engkau hendak mengorbankan diri untukku" Lulu bertanya penasaran.
"Moi-moi, kau tahu. Aku cinta padamu, aku rela berkorban untukmu. Pergilah dan temui Han Han.... di Se-cuan....!" Sin Kiat menangkis, "Trakkk!" Pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan suling emas! Tendangan kaki Nirahai menyerempet pahanya dan pemuda itu terguling.
"Wan-twako....!" Lulu berteriak dan ia memutar pedangnya menghalangi Nirahai mengirim serangan terakhir kepada pemuda itu.
"Cringgg....!"
"Sumoi, dia mencintamu, apakah engkau juga mencintanya"
Lulu tidak menjawab, mukanya merah dan ia menyerang dengan tusukan kilat yang dapat ditangkis oleh Nirahai. Sin Kiat sudah meloncat bangun lagi. Ia terkejut melihat betapa Puteri Nirahai kini menangkis pedang dan memutar-mutar suling emas sehingga Lulu ikut pula terputar-putar, kemudian pedang itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari tangan Lulu!
"Hi-hik, kau menyerahlah, sumoi!" Nirahai berkata.
Lulu makin marah, menubruk maju akan tetapi sebuah dorongan membuat ia terjengkang.
"Moi-moi....!" Sin Kiat menghampiri Lulu lega hatinya mendapat kenyataan bahwa Lulu tidak terluka. "Cepat kau lari.... biar aku saja yang mati....!"
Tanpa menanti jawaban Lulu, Sin Kiat mengeluarkan bentakan keras dan ia sudah menubruk dengan nekat ke arah Nirahai! Melihat kenekatan pemuda ini, Nirahai terkejut sekali dan hampir saja pundaknya kena dicengkeram Sin Kiat. Terpaksa puteri yang lihai ini melempar diri ke belakang dan bergulingan. Kemudian ia meloncat dan memandang pemuda itu dengan mata marah.
"Hemmm, kau mau bunuh diri, ya" Nah, mampuslah!" Sinar kuning emas menyambar dan Sin Kiat terpelanting. Baru kena dorongan hawa pukulan senjata ampuh itu saja ia sudah terpelanting. Nirahai melangkah maju, mengayun payungnya.
"Biar aku mati bersamamu, twako!" Lulu menubruk maju dari belakang, menyerang Nirahai.
"Hemmm.... kau mencintanya juga, bukan" Nirahai membalikkan tubuh tanpa menghentikan tusukannya pada Sin Kiat, akan tetapi ujung gagang payungnya hanya menusuk pundak, sedangkan sulingnya menotok ke arah jalan darah di leher Lulu. Hebat bukan main gerakan Nirahai, terlalu cepat bagi dua orang muda yang nekat itu.
"Krekkk!" Tubuh Sin Kiat terkulai, tulang pundaknya patah.
"Cusss!" Tubuh Lulu lemas karena jalan darahnya terkena totokan suling emas secara tepat sekali.
Nirahai tersenyum, menyimpan suling dan payung, menyambar tubuh Lulu dan dipanggulnya, kemudian memandang Sin Kiat yang duduk sambil memegangi pundak kirinya yang patah.
"Wan Sin Kiat, karena melihat kau dan Lulu saling mencinta, aku mengampuni dan takkan membunuhmu. Akan tetapi pada pertemuan ke dua, kalau engkau masih menjadi pemberontak, tentu mengakibatkan kematianmu di tanganku." Sambil berkata demikian, Nirahai membalikkan tubuh, tidak mempedulikan pemuda yang memandangnya dengan mata mendelik itu.
"Nirahai! Aku bersumpah, kalau engkau mengganggu Lulu, kelak aku akan mencarimu dan akan membunuhmu!"
Nirahai menoleh, tersenyum mengejek lalu tubuhnya berkelebat pergi dari tempat itu bersama Lulu yang terkulai lemas di atas pundaknya. Sin Kiat mengerutkan keningnya, masih terheran-heran mengapa Lulu menjadi sumoi puteri itu, dan heran pula mengapa keduanya saling serang mati-matian. Ia menggeleng-geleng kepala, menghela napas panjang penuh sesal mengapa dia tidak mampu melindungi Lulu dari tangan puteri yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi diam-diam masih terngiang di telinganya suara Lulu ketika membantunya tadi. "Biar aku mati bersamamu, twako!" Betapa merdunya suara ini. Bukankah kata-kata itu merupakan pencerminan hati yang mencinta" Secara kebetulan saja ia bertemu dengan Lulu di tempat ini. Dia bersusah payah mencari dan mengikuti jejak Han Han semenjak pemuda buntung itu meninggalkannya. Dan di tempat sunyi ini, bukan Han Han yang ia temukan, melainkan Lulu! Ke manakah perginya Han Han" Tentu tidak jauh dari tempat ini karena jejaknya menuju ke tempat ini. Dia harus mencari Han Han! Kiranya hanya Han Han seorang yang akan mampu menandingi Nirahai yang begitu lihai!
Setelah tiga hari tiga malam berkeliaran di dalam hutan-hutan sambil mengobati sendiri pundaknya yang patah tulangnya, akhirnya pada suatu pagi Sin Kiat melihat sesosok tubuh yang duduk bagaikan arca di bawah pohon, di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Dan orang itu bukan lain adalah Han Han!
"Han Han....!" Sin Kiat berteriak girang.
Akan tetapi Han Han tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan siulian dan matanya terpejam. Tongkat butut melintang di depan lututnya. Luka di pahanya sudah mengering, dan luka di dalam dadanya pun sudah sembuh, akan tetapi pemuda ini terus saja bersamadhi seolah-olah sudah berubah menjadi arca dan tidak ada nafsu untuk sadar kembali. Han Han mengalami pukulan batin yang amat hebat secara bertubi-tubi sehingga membuat dia seolah-olah sudah bosan hidup. Pertama-tama urusan dengan Kim Cu sudah merupakan tekanan batin yang berat, disusul lagi dengan kematian Lu Soan Li yang juga menjadi korban cinta kasihnya kepadanya. Pertemuannya dengan Tan Hian Ceng yang mencintanya membuat hatinya makin terhimpit dan satu-satunya harapan hatinya untuk dapat keluar dari himpitan dan mendapatkan hiburan batin adalah pertemuannya kembali dengan Lulu. Akan tetapi, begitu berjumpa dengan adiknya yang tercinta itu, ia malah menerima hantaman batin yang lebih berat lagi, yaitu dengan kenyataan bahwa Lulu telah menjadi seorang pemimpin pasukan Mancu! Lebih celaka lagi, dia tidak dapat mengendalikan kemarahannya yang timbul karena baru saja ia dikeroyok dan hampir celaka di tangan para pemimpin Mancu sehingga dia menampar adiknya itu, membuat Lulu sakit hati dan gadis itu melarikan diri dengan kebencian terkandung di hati adiknya yang merupakan satu-satunya manusia yang ia harapkan akan dapat menghibur hatinya yang sakit!
"Han Han, mengapa engkau menjadi begini" Apa yang telah terjadi denganmu" Sadarlah, aku telah berjumpa dengan Lulu!"
Han Han membuka matanya, memandang Sin Kiat dan bertanya dengan suara lesu, "Di manakah dia" Mana Lulu"
"Han Han, celaka sekali! Aku bertemu dengan Lulu, akan tetapi dia dan aku tidak dapat melawan Puteri Nirahai. Aku dirobohkan dan terluka, sedangkan Luludia dilarikan Nirahai. Anehnya Lulu menyebutnya suci, dan...." Akan tetapi Sin Kiat melongo ketika tiba-tiba tubuh Han Han mencelat dan lenyap dari tempat itu!
"Han Han....!" Sin Kiat berteriak, akan tetapi tubuh Han Han sudah berloncatan jauh sekali. Sin Kiat menggeleng-geleng kepala mengerti bahwa tidak mungkin ia dapat mengejar pemuda buntung itu, terpaksa ia pun meninggalkan tempat itu. Dengan hati berat Sin Kiat lalu kembali ke Se-cuan, minta diri dari Raja Muda Bu Sam Kwi dan meletakkan jabatan untuk pergi mencari Han Han dan terutama sekali Lulu.
*** Begitu mendengar dari Sin Kiat bahwa adiknya ditawan Puteri Nirahai, kemarahan Han Han memuncak dan tanpa pamit ia meninggalkan Sin Kiat, menggunakan kepandaiannya pergi menuju ke kota raja untuk mengejar dan menolong adiknya.
Tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa pemuda berkaki buntung yang berjalan terpincang-pincang memasuki kota raja itu mengandung perasaan marah dan sakit hati yang akan menggegerkan kota raja! Han Han berjalan perlahan memasuki kota raja, suara tongkatnya yang membantunya terpincang-pincang itu mengeluarkan bunyi "tak-tok-tak-tok!" mengetuk jalan berbatu yang keras. Beberapa orang menoleh dan memandangnya dengan perasaan kasihan. Juga banyak yang menjadi heran melihat pemuda tampan yang wajahnya menyinarkan sesuatu yang aneh menyeramkan, yang pakaiannya amat sederhana dan rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai di ates kedua pundak dan punggungnya, rambut yang kusut.
Han Han tidak tahu ke mana adiknya dibawa oleh Puteri Nirahai, akan tetapi ia teringat betapa dahulu adiknya itu diculik oleh Ouwyang Seng, maka ia dapat menduga bahwa antara Puteri Nirahai dan keluarga Pangeran Ouwyang tentu ada hubungan erat. Karena itu dengan perasaan marah memenuhi dada, dengan hati panas oleh dendam, ia lalu menujukan langkahnya yang terpincang-pincang itu ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok!
Lima orang penjaga pintu gerbang di luar pekarangan gedung besar Pangeran Ouwyang Cin Kok cepat menghadang dan memandang heran ketika melihat pemuda buntung itu seenaknya saja memasuki pintu gerbang.
"Haiii! Berhenti! Tidak boleh mengemis di sini!" Seorang di antara mereka membentak, kemudian menodongkan tombaknya ke depan dada Han Han. "Pergi!"
Han Han tidak marah mendengar makian ini. Baginya, dikatakan pengemis bukan merupakan makian atau penghinaan. "Minggirlah, aku hendak mencari Ouwyang Seng!"
Lima orang penjaga itu tercengang. Mendengar seorang pemuda kaki buntung yang mereka anggap pengemis itu menyebut nama Ouwyang-kongcu begitu saja, timbul dugaan bahwa tentu pengemis buntung ini miring otaknya.
"Eh, orang gila. Pergilah kalau tidak mau kami pukul!" bentak penjaga ke dua.
"Kalian minggirlah jangan halangi aku!" Han Han berkata dengan suara dingin dan tanpa mempedulikan mereka, dia jalan terus memasuki pekarangan gedung besar. Lima orang penjaga itu menjadi marah dan berkelebatlah tombak-tombak mereka ke arah Han Han.
"Trang-trang-krek-krek-krekkk!" Lima batang tombak patah-patah dan beterbangan disusul tubuh lima orang penjaga itu yang terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin! Han Han tidak mempedulikan mereka lagi dan terus dia berloncatan menuju gedung.
Teriakan-teriakan para penjaga ini menarik perhatian para penjaga di gedung dan mereka ini dua belas orang banyaknya datang berlari-lari. Mereka terkejut melihat para penjaga pintu gerbang roboh semua dan melihat pemuda buntung itu berloncatan ke ruangan depan. Cepat mereka mengurung, akan tetapi Han Han yang tidak sabar sudah meloncat tinggi ke atas kepala mereka, kedua tangan didorong ke bawah dan dua belas orang itu roboh terbanting tunggang-langgang.
"Ouwyang Seng! Keluarlah! Kalau tidak, kuhancurkan tempat ini!" Han Han berteriak-teriak dan sekali sambar ia mengangkat singa-singaan batu yang belum tentu dapat terangkat oleh sepuluh orang biasa, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan melontarkan singa-singaw batu itu ke dalam.
"Braaaaakkkkk!" Pecahlah pintu ruangan depan itu dan Han Han meloncat ke dalam ruangan itu, suaranya lantang berteriak, "Ouwyang Seng! Puteri Nirahai! Keluarlah dan serahkan kembali adikku Lulu! Kalau tidak, akan kuhancurkan kota raja!"
Tiba-tiba dari sebelah dalam menyambar senjata rahasia yang berupa gelang-gelang kecil. Cepat dan kuat sekali sambaran ini, akan tetapi dengan tenang Han Han menggerakkan tubuh meloncat tinggi sehingga sambaran senjata-senjata rahasia itu lewat di bawah kakinya. Di udara, tubuh Han Han berjungkir balik dan ia sudah meloncat keluar karena kalau ada lawan tangguh menghadapinya, lebih baik ia berada di luar gedung.
Benar saja dugaannya, dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda yang memegang sebatang golok telah berdiri di depannya. Pemuda itu bukan lain adalah Gu Lai Kwan! Ketika Lai Kwan melihat Han Han, ia pun terkejut dan marah.
"Keparat! Kiranya engkau setan buntung!" Lai Kwan memaki dan goloknya sudah menyambar, menjadi sinar putih yang menyilaukan dan mengeluarkan suara berdesing ketika golok itu membelah angin.
"Singggg....!"
Lai Kwan terkejut karena tiba-tiba lawannya lenyap. Cepat ia memutar tubuh dan mengelebatkan goloknya ke belakang, akan tetapi Han Han yang sudah berada di sebelah belakangnya, mudah saja mengelak sambil berkata.
"Gu Lai Kwan, aku menjadi setan buntung karena engkau! Sekarang bukan maksudku datang untuk membalas dendam, aku tidak mendendam kepadamu. Akan tetapi suruhlah Nirahai dan Ouwyang Seng keluar membawa adikku Lulu, kalau tidak.... hemmm.... siapa pun yang menghalangiku akan kubunuh, termasuk engkau!"
"Buntung sombong!" Lai Kwan malah menyerang lagi. Han Han yang memang sedang berduka dan marah sekali melihat betapa pemuda bekas suhengnya ini nekat, menjadi gemas, akan tetapi ia masih tidak bergerak, hanya mengelebatkan tongkat bututnya menangkis sambil mengerahkan tenaga memutar tongkat yang menangkis itu.
"Trakkk! Aihhhhhh....!" Lai Kwan terkejut bukan main dan betapapun ia mempertahankan diri sambil mengerahkan tenaga, tetap saja ia terpelanting dan cepat ia bergulingan karena takut kalau-kalau Han Han menyerangnya. Akan tetapi Han Han masih berdiri tegak dan tenang. Melihat ini, sambil meloncat bangun Lai Kwan berteriak keras.
"Suhu....! Sian-kouw....! Harap bantu....!" Setelah berteriak demikian Lai Kwan sudah menerjang lagi sambil mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi ia berhati-hati sekali ini, maklum bahwa lawannya yang buntung ini biarpun dahulu hanyalah seorang sutenya, namun kini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa.
"Syuuuttt.... syuuuttt.... singgggg!" Sinar berkilauan dari golok Lai Kwan menyambar ganas bertubi-tubi.
"Wuuuttttt!" Tubuh Han Han sudah melayang lagi keluar dari ruangan depan menuju ke pekarangan. Lai Kwan mengejar dan Han Han berhenti di atas anak tangga depan ruangan. Lai Kwan yang memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak memberi kesempatan kepadanya, sudah membacok lagi dengan goloknya mengarah kepala Han Han. Pemuda buntung ini tidak begitu mempedulikan Lai Kwan, hanya menundukkan muka mengelak sambil siap menghadapi lawan yang lebih tangguh, yang ia duga tentu akan muncul mendengar teriakan Lai Kwan.
Dan pada saat itu, terdengar suara lengkingan dahsyat dibarengi suara ringkik kuda dan muncullah Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dari pintu samping, langsung ia memukul ke arah Han Han dengan ilmu pukulan dahsyat Swat-im Sin-ciang! Juga tampak berkelebatnya bayangan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat nenek lihai itu melayang turun dari atas dengan jari tangan mencengkeram ke arah kepala Han Han menggunakan ilmu sakti Toat-beng Tok-ciang! Dan berbareng di saat itu juga, Lai Kwan sudah membabat ke arah kaki Han Han!
"Desss!" Pukulan Ma-bin Lo-mo telah ditangkis oleh Han Han dengan telapak tangan kanannya, sambaran golok Lai Kwan didiamkannya saja karena dalam gugupnya Lai Kwan menyerang ke bawah untuk membabat kaki Han Han, lupa bahwa kaki kiri Han Han telah tidak ada lagi sehingga goloknya menyerang angin kosong! Han Han lebih memperhatikan cengkeraman si nenek ke arah kepalanya. Ia tidak mengelak, melainkan memapaki tubuh nenek yang menyerang dari atas itu dengan tongkatnya, gerakan pertama menotok telapak tangan kiri nenek itu dan ketika Toat-beng Ciu-sian-li terkejut menarik kembali tangannya, Han Han melanjutkan serangan tongkatnya dengan totokan pada pinggang nenek itu.
"Aiiihhhhh!" Toat-beng Ciu-sian-li memutar tubuh di udara, berjungkir balik dan dari kedua tangannya menyambar dua buah gelang, yaitu senjata rahasia yang amat ampuh!
Han Han telah memutar tongkat menangkis bacokan susulan Lai Kwan dari belakang, dan kembali tangan kanannya menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo. Melihat datangnya sambaran dua buah senjata rahasia ini, teringatlah ia akan Kim Cu yang dahulu hampir tewas akibat senjata rahasia ini, maka ia menjadi gemas sekali. Kepalanya bergerak, rambutnya yang panjang menyambar ke depan dan.... dua gumpal ujung rambutnya berhasil melibat dua buah gelang yang menyambar, kemudian secara kontan dan keras gelang-gelang itu ia retour kembali ke arah pemiliknya, menyambar dahi dan tenggorokan Ciu-sian-li yang menjadi terkejut dan cepat mengelak sambil terus menubruk maju mengirim pukulan sakti dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya kembali mengarah ubun-ubun kepala Han Han dengan cengkeraman maut. Juga Ma-bin Lo-mo yang menjadi kagum dan terkejut menyaksikan gerakan Han Han yang mendapat kemajuan secara aneh dan hebat, kini telah membarengi menyerang dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang sekuatnya. Bukan main hebatnya serangan yang dilakukan secara berbareng oleh Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo ini, dahsyat dan mengingat bahwa keduanya merupakan datuk-datuk golongan hitam yang sudah mencapai tingkat di puncak, tentu saja amat sukar bagi lawan yang dikeroyok dua orang ini untuk dapat menyelamatkan diri dari serangan mereka yang dilakukan berbareng.
Namun, betapa kaget dan heran hati kedua orang tokoh hitam ini ketika secara tiba-tiba tubuh Han Han lenyap dari tengah-tengah antara mereka, telah menghindarkan diri dengan sebuah loncatan yang luar biasa sekali, secepat kilat menyambar sehingga mereka berdua hampir tak dapat mengikuti dengan pandang mata mereka! Akan tetapi, Lai Kwan yang berada di luar gelanggang, dapat melihat gerakan Han Han yang menggunakan ilmunya Soan-hong-lui-kun, gerakan kilat yang membuat tubuhnya seperti mencelat dan keluar dari kepungan dua orang datuk hitam itu. Gu Lai Kwan adalah murid Toat-beng Ciu-sian-li yang paling setia dan paling disayang oleh nenek itu dan oleh Ma-bin Lo-mo dan pemuda ini amat benci kepada Han Han karena sesungguhnya pemuda ini mencinta Kim Cu. Peristiwa yang menimpa diri Kim Cu sebagai akibat gadis itu membela Han Han, membuat Gu Lai Kwan menaruh dendam kebencian kepada Han Han. Maka kini melihat Han Han meloncat keluar dari kepungan kedua orang gurunya, Lai Kwan mengeluarkan bentakan nyaring dan menggunakan goloknya menyambut tubuh Han Han yang masih melayang di udara.
"Mampuslah engkau, manusia buntung keparat!" bentaknya, goloknya menyambar seperti naga mengamuk.
Han Han dapat melihat sinar maut terpancar dari pandang mata Gu Lai Kwan, maka ia pun membentak, "Begitu kejamkah hatimu" Biarpun tubuh Han Han baru meloncat dan kini disambut dengan serangan golok yang ganas, namun loncatannya itu memang merupakan keampuhan ilmunya yang mujijat yang ia pelajari dari nenek Khu Siauw Bwee, maka sambil meloncat, ia melihat menyambarnya golok, Han Han lalu menggerakkan tongkatnya, dengan tenaga sin-kang yang dahsyat tongkatnya menempel pada golok dengan sepenuhnya mengandung daya melekat! Betapapun Lai Kwan berusaha menarik kembali goloknya, sia-sia saja karena goloknya telah melekat pada tongkat seperti berakar di situ! Tiba-tiba Han Han melepas golok itu sambil mendorong, pada saat Lai Kwan menarik golok. Tak dapat ditahan lagi golok itu menyambar ke arah Gu Lai Kwan sendiri. Gu Lai Kwan terkejut, matanya terbelalak dan ia berusaha menggulingkan tubuhnya, namun golok di tangannya itu lebih cepat, tahu-tahu sudah membacok lehernya. Teriakan mengerikan seperti leher tercekik keluar dari mulut Lai Kwan dan tubuhnya yang tadi bergulingan itu rebah menelungkup, kepalanya miring secara aneh, golok masih di tangan dan tanah di bawah lehernya perlahan-lahan menjadi basah dan merah. Pemuda ini tewas oleh goloknya sendiri, lehernya hampir putus!
Peristiwa ini terjadi cepat sekali, hanya beberapa detik selagi tubuh Han Han masih mengapung di udara. Kini Han Han mencelat ke depan, tidak mempedulikan lagi kepada Gu Lai Kwan yang seolah-olah telah melakukan "bunuh diri" dengan golok sendiri itu.
"Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo, mundurlah, aku tidak ingin bermusuhan denganmu atau dengan siapa pun juga!" bentak Han Han dan suaranya mengandung wibawa yang sedemikian hebatnya sehingga dua orang datuk hitam itu sampai tercengang dan sejenak mereka itu memandang Han Han dengan mata terbelalak. Akhirnya Toat-beng Ciu-sian-li memaki.
"Bocah setan, murid murtad! Begini sikapmu terhadap bekas guru"
Han Han mengerutkan keningnya. "Aku bukan muridmu lagi, Nenek yang bewatak ganas. Aku datang untuk mencari adikku, dan siapapun dia yang menghalangi aku mencari adikku, akan kuhancurkan!" Teringat akan Lulu, kembali Han Han menjadi merah mukanya dan kemarahannya memuncak. "Di mana Puteri Nirahai" Hayo keluarlah dan serahkan Lulu kepadaku."
Teriakannya ini amat nyaring sehingga bergema sampai jauh. Kembali Ma-bin Lo-mo dan Ciu-sian-li bergidik.
Mereka berdua maklum bahwa pemuda ini telah menjadi ahli waris Pulau Es dan memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, akan tetapi melihat pemuda ini setelah buntung kakinya menjadi makin lihai dan gerakan-gerakannya seperti orang yang pandai menghilang, benar-benar membuat mereka berdua menjadi ngeri! Betapapun juga, tentu saja dua orang yang menjadi tokoh dunia hitam itu tidak merasa takut dan mendengar tantangan Han Han terhadap Puteri Nirahai, mereka marah dan cepat menerjang lagi dengan hebatnya. Nenek itu selain menggerakkan kedua tangannya yang mengandung tenaga sakti Toat-beng Tok-ciang, juga menggerakkan rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya sebagai senjata yang ampuh dan aneh, tubuhnya melayang-layang dengan ringannya, persis seperti keganasan seorang kuntilanak dalam dongeng dunia setan. Adapun Ma-bin Lo-mo yang sudah mengerti bahwa lawannya biarpun buntung dan masih amat muda, memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia, juga telah menerjang maju dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang sekuat tenaga.
Han Han tidak ingin berkelahi dan tidak ingin pula bermusuh dengan mereka, akan tetapi karena mereka berdua menghalangi usahanya mencari Lulu, ia menjadi marah dan cepat mainkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya mencelat ke sana ke mari dengan gerakan yang tak terduga-duga dan cepat bukan main. Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo menjadi pening kepala mereka karena harus mengikuti gerakan-gerakan kilat pemuda buntung itu dan setiap serangan mereka selalu mengenai tempat kosong. Dengan penasaran kedua orang itu menubruk dengan pukulan-pukulan sakti.
"Wuuuttt!" Pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung hawa dingin menyambar dari kiri.
"Singggg.... syuuuttttt!" Serangan tangan ampuh beracun dari Ciu-sian-li dibarengi sambaran rantai gelang di telinganya tidak kalah ampuh dan berbahayanya. Dua serangan ini menyambar dari kanan kiri ketika kaki buntung Han Han baru saja turun menyentuh tanah. Akan tetapi tiba-tiba saja Han Han kembali mencelat ke atas dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya, mengatasi kecepatan serangan kedua lawannya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menukik dari atas dan tongkatnya melakukan dua kali totokan ke arah ubun-ubun kepala dua orang pengeroyoknya.
"Hayaaa....!" Ma-bin Lo-mo berseru kaget dan cepat menggulingkan tubuhnya yang ia lempar ke atas tanah sambil berteriak.
"Aiiihhhhh....!" Toat-beng Ciu-sian-li juga mengelak, melempar tubuh bagian atas ke belakang lalu berjungkir balik sampai lima kali sehingga rambutnya menjadi awut-awutan dan saling belit dengan kedua rantai gelang yang tergantung di kedua telinganya.
Pada saat itu, serombongan pasukan pengawal datang berlari dan mengurung Han Han. Jumlah mereka lebih tiga puluh orang, semua bersenjata tajam dan rata-rata memiliki ilmu kepandaian silat dan bertubuh kuat. Pada waktu itu, yang berada di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok hanyalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan muridnya yang terkasih, Gu Lai Kwan. Adapun tokoh-tokoh lain telah ikut membantu penyerbuan ke Se-cuan. Ketika melihat pemuda buntung mengamuk, semua pasukan pengawal dikerahkan dan Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri yang bersembunyi sambil mengintai menjadi gelisah bukan main.
Betapapun juga, pembesar ini masih mengharapkan kemenangan karena di situ terdapat dua orang tokoh sakti dan di lubuk hatinya ia tidak percaya apakah seorang pemuda yang buntung kakinya akan mampu melawan Ciu-sian-li serta Ma-bin Lo-mo dan puluhan orang pasukan pengawal.
Akan tetapi, Han Han sudah marah sekali dan pemuda ini mengamuk secara menggiriskan hati. Tubuhnya berkelebat, lebih banyak di udara daripada di darat, karena setiap kali ujung tongkat atau ujung kaki tunggalnya menyentuh sesuatu, baik tanah, pundak atau kepala lawan, tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, seperti capung bermain di atas bunga-bunga di permukaan air, cepatnya seperti kilat sehingga setiap kali tubuhnya menukik ke bawah tentulah roboh dua tiga orang pengawal secara berbareng, menjadi korban ujung tongkat atau kedua tangannya!
Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li marah dan penasaran sekali, juga mereka berdua merasa malu mengapa mereka tidak mampu merobohkan pemuda buntung itu, padahal dibantu puluhan orang pengawal. Ma-bin Lo-mo meringkik keras dan kedua tangannya mendorong ke arah Han Han ketika pemuda itu turun ke atas tanah.
"Wuuusssss!" Angin yang mengandung hawa dingin sekali menyambar. Han Han sudah menangkap seorang pengawal dan melemparkan ke depan. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh pengawal itu terbanting kaku, darahnya membeku muka biru! Dan seorang pengawal lain roboh pula karena oleh Han Han dipergunakan untuk menangkis pukulan beracun Ciu-sian-li, roboh dengan tubuh menghitam terkena hantaman pukulan Toat-beng Tok-ciang! Ketika para pengawal menubruk dengan senjata mereka, Han Han sudah mencelat ke atas lagi, meloncat sambil menyambar dua orang pengawal, kemudian ketika tubuhnya membalik, dua orang itu ia lemparkan ke arah Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li, disusul tubuhnya yang meluncur dengan serangan kilat.
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut. Mereka dapat menduga bahwa tentu pemuda buntung yang lihai itu menyusul dengan serangan, maka apa boleh buat mereka menangkis keras sehingga dua orang pengawal itu terbanting roboh dengan tulang-tulang iga remuk. Benar saja seperti yang mereka duga, tubuh Han Han menyambar seperti seekor burung garuda, dan saking cepatnya hanya tampak bayangan berkelebat. Dua orang datuk hitam ini cepat meloncat untuk mengelak, namun masih kurang cepat sehingga pukulan tangan Han Han yang amat panas karena mengandung inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang itu telah mampir di dada Ma-bin Lo-mo sedangkan ujung tongkatnya telah menotok pundak Toat-beng Ciu-sian-li.
"Hyaaaaahhhhh....!"
"Haiiikkkkk....!"
Ma-bin Lo-mo terjengkang dan bergulingan, mukanya menjadi pucat sekali dan dadanya sesak, terasa panas seperti dibakar. Adapun nenek sakti itu juga terbanting ke belakang, cepat duduk bersila untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terkena totokan yang hebat. Kalau saja Han Han tidak ingat bahwa kedua orang itu pernah menjadi gurunya, biarpun pada saat itu ada puluhan orang pengawal yang menerjangnya, tentu ia akan mudah saja melanjutkan serangan membunuh kedua orang datuk hitam itu. Akan tetapi Han Han tidak ingin membunuh mereka dan dia hanya menggerakkan tangan dan tongkatnya, melempar-lemparkan para pengawal seperti orang melempar-lemparkan rumput saja.
Gegeriah para pengawal dan mereka mundur-mundur dengan muka ketakutan. Pemuda buntung itu terlalu kuat bagi mereka, seperti sekumpulan nyamuk melawan api saja. Melanjutkan pengeroyokan sama artinya dengan membunuh diri bagi mereka. Adapun Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li yang sudah menderita luka, tidak berani melanjutkan pertandingan sebelum mengobati luka mereka, maka mereka berdua pun sudah lenyap memasuki gedung itu, menyelinap di antara sisa para pengawal yang hanya berani mengurung dari jauh sambil bersiap-siap untuk melarikan diri apabila Han Han mengejar. Namun pemuda itu tidak mengejar, hanya berdiri tegak, bersandar pada tongkatnya, menengadah dan mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga.
"Puteri Nirahai! Kembalikan adikku....!"
Setelah beberapa kali berteriak tanpa ada jawaban, Han Han lalu meloncat ke arah gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Melihat ini, biarpun hati mereka dicekam rasa gentar dan ngeri, namun para pengawal tentu saja segera menghadang dan berusaha mencegah pemuda buntung itu memasuki gedung. Han Han mengeluarkan seruan keras dan begitu tongkatnya berkelebat, para pengawal itu roboh terpelanting ke kanan kiri seperti disambar kilat dan mereka tidak mungkin dapat menghalang lagi ketika pemuda itu berloncatan cepat melesat ke dalam gedung. Sambil berteriak-teriak para pengawal ini kalang kabut mengejar ke dalam.
Han Han sudah marah sekali. Dia mengamuk seperti gila, menggeledah seluruh kamar gedung itu, mencari Ouwyang Seng dan Pangeran Ouwyang Cin Kok. Setiap orang pengawal yang berusaha menerjangnya dirobohkan dengan sekali gerakan saja. Namun hasil penggeledahannya sia-sia. Tidak tampak batang hidung Ouwyang Seng yang dicarinya. Ketika ada lima orang perwira pengawal dengan nekat menerjangnya, ia melompat ke atas dan dari atas sinar tongkatnya bergulung-gulung, empat orang perwira roboh dan seorang lagi ia jambak rambutnya dan ia seret ke sudut ruangan. Dengan ujung tongkat ditedongkan di leher perwira itu ia membentak.
"Di mana Ouwyang Seng" Hayo jawab!"
Wajah perwira itu pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia dipaksa jatuh berlutut. Dengan napas sengal-sengal ia menjawab.
"Ham.... hamba.... tidak tahu. Sudah lama tidak berada di sini...."
"Mana Ouwyang Cin Kok"
"Tadi.... ketika ribut-ribut.... beliau lari.... mungkin ke istana...."
"Dan di mana kakek dan nenek tadi" Mana Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li"
"Lari.... mereka lari.... ke istana...."
Han Han menjadi sebal dan marah. tubuhnya bergerak dan perwira itu sudah ia lemparkan ke sudut, tubuh perwira itu menabrak dinding dan tak dapat bangun lagi karena pingsan saking takutnya. Han Han meloncat keluar dan kini ia melesat amat cepatnya meninggalkan gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok yang sudah diobrak-abriknya itu, menuju ke istana!
Kemarahan membuat manusia menjadi mata gelap dan lupa diri, lupa akan bahaya dan demikian pula dengan Han Han. Dia sedang marah sekali. Penderitaan batin yang ia alami bertubi-tubi ditambah kemarahannya mendengar bahwa adiknya ditawan membuat Han Han menjadi nekat dan tidak memakai perhitungan lagi, lupa bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang, betapapun saktinya, untuk menyerbu seorang diri ke istana kaisar!
Tentu saja penjagaan di istana tidak dapat dibandingkan dengan penjagaan para pengawal di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok. Pasukan pengawal yang dipusatkan menjaga istana amat besar jumlahnya, dan di situ pun banyak terdapat pengawal yang berilmu tinggi di samping keadaan istana sendiri yang merupakan semacam benteng yang amat kuat! Maka, begitu Han Han tiba di depan pintu gerbang, ia sudah dikurung oleh puluhan bahkan lebih dari seratus orang pengawal mengepung ketat, dan ia sudah dikeroyok secara hebat!
"Tangkap pemberontak!"
"Bunuh pemberontak!"
Para pengawal berteriak-teriak biarpun dalam beberapa gebrakan saja Han Han telah merobohkan tujuh orang pengeroyok, namun mereka tetap maju menerjang sehingga Han Han terpaksa memutar tongkat melindungi dirinya sambil berteriak.
"Aku bukan pemberontak! Aku hanya ingin bertemu dengan Puteri Nirahai dan minta supaya adikku dibebaskan!"
Tentu saja teriakannya sia-sia karena para pengawal sudah mendengar betapa hebatnya pemuda buntung ini mengacau gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok, kini pemuda itu akan mencelakakan keluarga kaisar ditambah pula, Pangeran Ouwyang Cin Kok sendiri, dengan dikawal oleh Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li sudah lari mengungsi ke istana karena itu di situ pun diadakan penjagaan yang ketat.
Biarpun para pengawal tidak pernah berkurang jumlahnya karena setiap ada yang roboh tentu tempatnya digantikan yang lain, namun dengan ilmunya yang mujijat, yaitu gerakan kilat Soan-hong-lui-kun, Han Han dapat menembus pintu gerbang dan memasuki halaman istana. Betapapun juga, dia tidak pernah dapat membebaskan diri dari kepungan yang makin lama makin ketat. Setelah dia memasuki pekarangan istana yang luas, pintu gerbang itu ditutup oleh para pengawal sehingga Han Han kini kehilangan jalan keluar!
"Bebaskan Lulu....! Lepaskan adikku!" Han Han berteriak-teriak dan mengamuk seperti seekor harimau terjebak. Betapapun juga, pemuda ini masih ingat bahwa kedatangannya bukan untuk menyebar kematian di antara para pengawal yang ia tahu hanya menjalankan kewajiban mereka menjaga keamanan istana. Oleh karena itu, dia hanya merobohkan mereka tanpa membunuh dan hal ini tentu saja amat mudah ia lakukan karena pasukan pengawal itu bukan tandingannya. Hanya dengan hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan dan tongkatnya saja sudah cukup baginya untuk membuat kocar-kacir seperti serombongan semut mengeroyok seekor jengkerik. Kalau hanya pasukan pengawal yang mengepungnya, biar ditambah sampai seribu orang, kiranya akan mudah baginya untuk menyelamatkan diri dan keluar dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan keras, aba-aba dari komandan penjaga yang menyuruh semua pasukan mundur dan mengepung dari jarah jauh. Para pengawal yang tadinya mengeroyok secara mati-matian, kini mundur dengan hati lega dan tampaklah oleh Han Han munculnya orang-orane sakti yang kini menghadapinya.
Mereka itu bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Lima orang tokoh sakti yang memiliki ilmu kepandaian hebat!
Han Han maklum bahwa lima orang lawan ini merupakan lawan yang amat berat, terutama sekali dua orang hwesio Tibet itu merupakan wakil dari Pangeran Kiu yang mengkhianati perjuangan Bu Sam Kwi dan para orang gagah dengan mengadakan persekutuan gelap dengan pemerintah Mancu! Ia tersenyum dingin dan berkata.
"Ji-wi Losuhu, aku tidak mau mencampuri urusan kalian, tidak mau melibatkan diri dengan segala kepalsuan orang-orang yang mencari kedudukan melalui perang, fitnah, pengkhianatan dan lain-lain kekotoran lagi. Aku datang hanya untuk menuntut agar adikku Lulu yang ditawan Puteri Nirahai dibebaskan. Biarlah Puteri Nirahai sendiri keluar menemuiku! Aku datang bukan untuk mengacau, bukan untuk mencari musuh, melainkan semata-mata untuk menolong adikku. Bebaskan adikku, dan aku bersama adikku akan mengangkat kaki dari sini dan selamanya tidak akan mencampuri urusan perang yang terkutuk!"
"Murid murtad! Engkau masih harus menerima hukuman dariku!" Toat-beng Ciu-sian-li berteriak, penuh kemarahan karena nenek ini masih penasaran dan malu mengingat akan kematian muridnya terkasih, yaitu Gu Lai Kwan.
"Han Han, engkau bekas murid yang selain menydeweng juga sudah banyak melakukan penghinaan kepadaku, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!" Kata Ma-bin Lo-mo, sengaja mengeluarkan kata-kata besar untuk menutupi rasa malunya dan untuk berlagak di depan begitu banyak pengawal yang mengurung tempat itu.
"Ha-ha-ha, engkau bekas kacungku, kiranya engkau benar cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat yang menyembunyikan she Suma menjadi she Sie! Ha-ha-ha, mengingat bahwa engkau adalah Suma Han cucu Suma Hoat, biarlah aku akan mengampunimu asal engkau suka bertekuk lutut dan menyerah, Han Han!" kata Kang-thouw-kwi Gak Liat.
Sepasang mata Han Han mendelik. Dia memang tidak akan menyembunyikan nenek moyangnya, akan tetapi disebutnya nama kakeknya yang diam-diam amat dibencinya karena dianggapnya sebagai biang keladi keburukan nasibnya itu membuat hatinya mengkal sekali, namun ia tetap membungkam.
"Omitohud....! Suma-taihiap biarpun masih muda memiliki kepandaian hebat sekali, benar-benar mengagumkan hati pinceng. Perlu apa menyia-nyiakan usia muda dan berkepandaian tinggi" Menyerahlah, Suma-taihiap!" kata Thian Tok Lama.
"Benar ucapan suheng. Suma-taihiap, lebih baik menyerah dan kalau taihiap berjanji akan membantu menumpas pengkhianat Bu Sam Kwi, tentu yang mulia kaisar akan suka memberi ampun, bahkan menganugerahkan kedudukan kepadamu." Thai Li Lama membujuk.
Namun semua ucapan keras menghina dan lembut membujuk itu sama sekali saja, mendatangkan kemarahan di hati Han Han. Ia berdiri tegak di atas kaki tunggalnya, memegang tongkal butut di tangan kiri dan menyilangkan lengan kanan di depan dada, kemudian berkata.
"Sudah kukatakan, aku tidak ingin berurusan dengan pemerintah maupun dengan Ngo-wi Locianpwe yang merupakan tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Aku datang hanya untuk minta kebebaskan adikku!"
"Hiye-heh-heh! Bocah sombong! Kalau tidak diserahkan, kau mau apa"
"Akan kurebut dengan paksa dan kuusahakan sampai aku mati."
"Pemuda buntung sombong!" Toat-beng Ciu-sian-li sudah menggerakan rantai gelang di kedua telinganya sehingga terdengar suara berdencingan nyaring dan menggetarkan hati para pengawal yang mengurung tempat itu sambil berjaga-jaga, menutup jalan keluar pemuda buntung itu.
"Omitohud, betapa tabahnya!" Thian Tok Lama yang gendut itu berseru memuji karena benar-benar pendeta dari Tibet ini merasa kagum sekali. "Apakah taihiap berani melawan kami sedangkan tempat ini telah dikurung oleh ribuan orang pengawal"
Han Han menoleh ke sekelilingnya dan melihat bahwa pasukan pengawal kini bertambah banyak, tentu ada dua tiga ribu orang banyaknya. Ketika ia menyapu keadaan di seluruh halaman istana dengan pandang matanya yang tajam, ia melihat bayangan dua orang berkelebat di puncak genteng istana, akan tetapi lenyap lagi, entah bayangan manusia ataukah bukan.
"Thian Tok Lama, bagiku, persoalannya bukan berani atau takut, melainkan benar atau salah. Kalau aku berpijak pada kebenaran, tidak ada lagi kata-kata takut, karena mati dalam kebenaran adalah mati yang terhormat. Kalau aku benar, biar menghadapi iblis sekalipun aku tidak takut, sebaliknya kalau aku salah, biar menghadapi seorang anak kecil pun aku tidak berani. Aku datang untuk membebaskan adikku, dan hal ini benar, maka aku tidak takut. Terserah kepada Ngo-wi, apakah aku menonjolkan kegagahan dengan cara mengeroyok aku dibantu pula oleh ribuan orang pasukan pengawal!" Ucapan terakhir Han Han ini mengandung ejekan yang amat tajam sehingga wajah kelima orang tokoh beser itu menjadi merah.
Memang harus diakui bahwa peristiwa yang kini mereka hadapi merupakan peristiwa yang ajaib dan amat memalukan. Biasanya, setiap orang di antara mereka berlima yang telah memiliki kesaktian tinggi, tidak pernah atau jarang sekali menemui tanding sehingga mereka berangkuh dan menganggap diri sendiri sebagai tokoh tingkat tinggi yang tidak mau sembarangan bergerak, apalagi hendak mengeroyok lawan. Dan sekarang, mereka berlima menghadapi seorang pemuda yang selain masih amat muda patut menjadi cucu mereka, juga yang hanya memegang sebatang tongkat butut dan yang kakinya tinggal satu! Menghadapi seorang lawan muda penderita cacad dengan masih mengandalkan pengurungan ribuan orang pengawal! Benar-benar merupakan peristiwa yang tak pernah mereka mimpikan dan amatlah merendahkan nama besar mereka!
"Omitohud, orang muda yang sombong. Kaukira pinceng tidak berani menghadapimu seorang diri" Thai Li Lama menjadi tersinggung sekali dan ia sudah meloncat maju menghadapi Han Han. Empat orang tokoh yang lain juga merasa jengah dan tersinggung, maka mereka ini hanya menonton, ingin melihat apakah pendeta Tibet yang kurus itu akan dapat mengatasi Han Han si pemuda buntung yang benar-benar merupakan lawan aneh yang baru pertama kali mereka jumpai selama hidup mereka yang sudah setengah abad lebih.
Han Han mengerti bahwa Thai Li Lama adalah seorang yang selain pandai ilmu silat aneh dari barat, juga memiliki kepandaian ilmu hitam dan ilmu sihir, maka ia bersikap waspada dan sudah bersiap dengan tongkat dilintangkan di depan dada, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka berada di atas kepala, telapak tangannya menghadap ke langit, diam-diam ia telah mengerahkan sin-kang di tubuhnya, yang berputaran dan siap disalurkan untuk menghadapi lawan yang kuat ini.
Akan tetapi aneh, pendeta Tibet itu tidak segera bergerak menyerangnya, melainkan berdiri tegak dan kaku, kepala lurus, kedua lengan lurus di kanan kiri tubuhnya, kemudian terdengar suaranya, halus seperti membujuk.
"Suma-taihiap, kauturutilah permintaanku, tundukkan kepalamu...."
Han Han merasa ada getaran aneh terbawa oleh suara ini, begitu lembut mengelus perasaannya, mendatangkan rasa terharu dan tidak tega untuk menolak permintaan itu. Akan tetapi kesadarannya membisikkan bahwa kakek ini tentu menggunakan ilmu sihir, maka sebaliknya dari menundukkan kepala, ia malah menengadah, memandang ke angkasa! Benar-benar merupakan gerakan kebalikan daripada apa yang diminta hwesio Tibet itu! Merupakan tantangan!
"Omitohud, agaknya taihiap hendak menggunakan kekerasan. Baiklah. Suma Han, kaupandang mataku kalau berani!"
Andaikata ucapan yang dikeluarkan merupakan perintah nyaring dan berwibawa ini tidak diembel-embeli "kalau berani", tentu Han Han tidak sudi menurut, sungguhpun di dalam suara itu terkandung wibawa dan tenaga mujijat yang seolah-olah memaksanya dan menguasai perasaan dan pikirannya. Akan tetapi kata "kalau berani" membuat Han Han penasaran. Mengapa tidak berani" Ia lalu memandang ke depan, menentang pandang mata hwesio itu. Dua pasang sinar mata bertemu! Semua orang menahan seruan saking kaget dan seram melihat dua pasang pandang mata yang luar biasa itu. Sepasang mata Thai Li Lama yang sipit itu berubah bundar dan seolah-olah ada sinar terang keluar dari sepasang matanya, sedangkan sepasang mata Han Han menjadi tajam seperti mengandung api!
Thai Li Lama berkemak-kemik dan mengerahkan seluruh kekuatan batinnya untuk menguasai kemauan dan pikiran Han Han melalui pandang matanya, menyerang pemuda itu dengan ilmu i-hun-to-hoat untuk membetot semangat (hypnotism), akan tetapi Han Han yang merasa betapa sinar mata itu seolah-olah menembus jantungnya, cepat membulatkan tekadnya untuk tidak tunduk dan dia malah membalas dengan pandang mata berapi-api. Di luar kehendak manusia, memang terjadi keanehan yang mujiiat di dalam diri pemuda buntung ini. Kekuatan gaib telah dimilikinya semenjak malapetaka menimpa keluarganya dan kekuatan kemauannya menjadi luar biasa sekali. Kemauan yang mujijat ini tidak saja membuat dia tidak mungkin dapat ditembusi oleh ilmu hitam yang hendak menguasainya, bahkan kemauannya yang amat kuat ini dapat memancar keluar dan masih cukup kuat untuk menguasai orang lain!
Kini Han Han yang maklum apa yang sedang dilakukan lawannya, membulatkan tekadnya untuk melawan dan menolak getaran halus yang keluar dari sinat mata Thai Li Lama. Ketika ia disuruh memandang, dia memang melakukannya, akan tetapi sama sekali bukan berdasarkan tunduk akan perintah itu, melainkan karena memang timbul atas kehendaknya sendiri hendak "mengadu kekuatam pandang mata" dengan hwesio Tibet itu. Maka terjadilah "pertandingan" yang luar biasa, lebih hebat daripada pertandingan adu kekuatan sin-kang karena yang diadu kini adalah kekuatan batin yang getarannya bergelombang terasa oleh semua orang yang hadir sehingga mereka itu terpesona seperti kemasukan pengaruh mujijat.
Dua pedang sinar mata itu masih saling dorong, saling banting dan berusaha sekuatnya untuk menundukkan lawan, kalau kelihatan tentu amat seru seperti dua ekor naga saling serang. Keduanya tak pernah berkedip, bahkan mata mereka makin lama makin lebar, dengan sinar yang berapi-api. Diam-diam Thai Li Lama terkejut bukan main. Dia tadinya hanya menganggap bahwa pemuda buntung itu amat lihai ilmu silatnya, dan siapa mengira bahwa ternyata pemuda ini pun agaknya seorang ahli hoat-sut, ahli sihir yang memiliki kekuatan batin luar biasa sekali! Biasanya, betapapun pandai silat lawannya, sekali ia menggunakan ilmu membetot semangat ini, lawannya tentu akan mudah ia tundukkan. Kini melihat kenyataan betapa sama sekali ia tidak dapat menundukkan pemuda buntung ini, bahkan, seolah-olah sinar matanya melekat pada sinar mata pemuda itu, sukar dilepaskan lagi, Thai Li Lama menjadi kaget dan penasaran. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantram dan ia menggunakan seluruh kepandaian sihirnya yang dahulu ia pelajari dari guru-guru besar dari India di lereng Pegunungan Himalaya. Tiba-tiba ia mengeluarkan gerengan seperti suara seekor biruang dan membentak.
"Suma Han, lihat baik-baik siapa aku" Akulah manusia naga dari Himalaya, berkepala tiga berlengan delapan! Lekas kauberlutut dan menyerah!" Dari kepala pendeta Tibet itu mengepul uap putih kebiruan dan terdengarlah suara berisik ketika pasukan itu berseru dan berbisik penuh ketakutan sambil memandang ke arah Thai Li Lama dengan mata terbelalak dan muka pucat, tangan menuding dan kaki gemetar. Siapa orangnya yang tidak akan akan merasa ngeri dan takut" Pendeta Tibet yang tadinya bertubuh kurus kecil dan wajahnya sama sekali tidak menimbulkan rasa gentar itu kini telah berubah menjadi mahluk yang luar biasa. Tubuhnya masih tidak berubah, akan tetapi kepalanya berubah menjadi kepala naga, yang hidungnya menghembuskan uap biru, dan bukan hanya sebuah kepala naga yang mengerikan itu, melainkan ada tiga buah! Dan lengannya bukan dua lagi, melainkan bertumbuh enam buah lengan tangan lain di pundaknya, sehingga lengannya berjumlah delapan!
Bagi Han Han, karena penglihatannya dilindungi oleh perisai kemauan yang membaja, perubahan pada diri Thai Li Lama itu hanya tampak suram-suram saja. Pemuda ini mengerahkan seluruh kekuatan kemauannya. Pemuda ini tidak pernah mempelajari hoat-sut, tidak tahu bagaimana untuk mempergunakan kekuatan batinnya dalam ilmu ini, akan tetapi ia mengerti bahwa kalau ia mengerahkan kemauannya, maka ia tidak akan dapat terpengaruh orang lain bahkan dapat menguasai kemauan orang. Kini ia mengerti bahwa lawannya menggunakan ilmu sihir yang aneh, maka setelah mengerahkan seluruh tenaga kemauannya, ia tertawa dan berkata.
"Hemmm, Thai Li Lama, engkau ini seorang pendeta yang sudah tua, mengapa bersikap seperti anak kecil" Permainanmu ini hanya untuk menakut-nakuti anak-anak, akan tetapi bagiku, engkau tetap Thai Li Lama yang biasa, berkepala hanya sebuah yang penuh dengan akal muslihat kotor dan berlengan dua yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat!"
Semua pasukan yang mendengar ucapan Han Han yang keras dan berwibawa ini melihat perubahan aneh pada diri Thai Li Lama. Sekarang pendeta itu berubah menjadi biasa kembali dan kedua orang lawan itu masih melanjutkan mengadu kekuatan melalui sinar mata yang berapi-api! Akhirnya Thai Li Lama tidak kuat menahan, kepalanya berdenyut-denyut amat peningnya dan dari kedua matanya keluar air mata karena saking panas dan pedas rasa kedua matanya. Ia terhuyung dua langkah, dan tiba-tiba memekik sambil memukulkan sebelah tangannya ke arah dada Han Han, sedangkan tangan yang lain membuat gerakan seperti orang menulis huruf.
Han Han sudah siap sedia, ia melengking nyaring dan kedua tangannya juga mendorong ke depan, sebelah kiri dengan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan yang kanan dengan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang! Dilanda dua macam tenaga yang berhawa amat dingin dan amat panas ini, Thai Li Lama terlempar ke belakang dan roboh terguling-guling. Ia dapat meloncat bangun lagi, akan tetapi napasnya terengah-engah dan mukanya pucat!
Melihat keadaan sutenya, Thian Tok Lama sudah merendahkan tubuhnya yang gendut, perutnya mengeluarkan suara berkokok, seperti ayam biang, dan kedua tangannya menyerang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang ampuhnya menggila itu. Tangan kanannya berubah biru dan dari kedua telapak tangan itu menyambar uap hitam ke arah Han Han. Pada saat yang hampir sama, tiga orang tokoh sakti yang lain, yaitu Kang-thouw-kwi Gak Liat, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat sudah menerjang dengan pukulan-pukulan sakti mereka ke arah Han Han.
Namun semua pukulan sakti yang membawa maut itu luput karena pada saat yang tepat, tubuh Han Han telah lenyap dan pemuda buntung yang amat sakti ini telah melesat ke atas, kemudian menukik turun dengan tongkatnya diputar menjadi sinar kehijauan melingkar-lingkar yang menyambar ke arah kepala lima orang pengeroyoknya! Lima orang tokoh besar itu yang kesemuanya memiliki tingkat kepandaian yang sudah mencapai puncaknya, cepat mengelak dan melakukan pengurungan ketat dari lima penjuru, seolah-olah secara otomatis membentuk ngo-heng-tin (barisan lima anasir).
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan luar biasa. Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak melancarkan pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang berhawa panas sekali. Juga Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda menghujankan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa dingin seperti salju. Toat-beng Ciu-sian-li dengan penuh amarah menggerakkan sepasang rantai gelang di kedua telinganya yang merupakan sepasang senjata ampuh, dibantu sambaran rambutnya dan serangan kedua, tangan penuh kuku runcing dengan pukulan Toat-beng Tok-ciang yang beracun. Kedua orang pendeta Lama dari Tibet juga tanpa segan-segan lagi karena maklum akan kelihaian pemuda buntung itu, menyerang dengan pukulan-pukulan sakti mereka.
Han Han mengerti sepenuhnya bahwa dia terancam maut. Dia mengenal kehebatan lima orang lawannya. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, dia yakin akan dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi, dikeroyok lima orang yang memiliki kepandaian setinggi itu, benar-benar amat berbahaya dan selama hidupnya, baru sekali ini ia benar-benar dihadapkan dengan pengeroyokan lawan yang menggiriskan! Terpaksa pemuda buntung yang amat sakti ini mengerahkan seluruh kepandaiannya yang pernah dipelajarinya dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang berada di tubuhnya untuk melindungi diri dan juga untuk balas menyerang.
Pada saat itu, senja telah mendatang dan keadaan cuaca mulai menggelap. Di atas wuwungan istana, jauh tinggi di puncaknya, terdapat dua orang yang menonton pertandingan itu penuh takjub. Mereka ini bukan lain adalah Puteri Nirahai dan gurunya, Puteri Maya. Tadi mereka keluar dari istana ketika mendengar akan kekacauan di depan istana, akan tetapi melihat bahwa yang datang mengacau hanya seorang pemuda buntung dan yang menghadapi pemuda buntung itu sudah amat banyak, hati Maya menjadi tertarik maka ia memegang tangan muridnya diajak meloncat naik ke atas wuwungan dan menonton. Bagi Puteri Maya, benar-benar merupakan pantangan besar dan amat memalukan kalau harus ikut-ikutan mengeroyok seorang lawan yang masih begitu muda, buntung kakinya dan sudah dikeroyok begitu banyak orang. Juga Puteri Nirahai merasa segan untuk turun tangan karena hal ini akan merendahkan derajatnya sebagai seorang puteri kaisar terutama sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi.
Begitu mendengar teriakan-teriakan Han Han yang minta dibebaskannya Lulu, Nirahai dapat menduga bahwa tentulah pemuda buntung ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu. Ia merasa heran dan terkejut melihat bahwa pemuda itu buntung sebelah kakinya, padahal Lulu tidak pernah mengatakan bahwa kakaknya itu buntung! Dan dia terpesona, takjub menyaksikan gerakan dan sepak-terjang pemuda buntung itu, kagum menyaksikan betapa pemuda itu sanggup menghadapi Ilmu I-hun-to-hoat dari Thai Li Lama, dan hatinya berdebar aneh menyaksikan wajah tampan dilingkari rambut riap-riapan itu, terutama sekali melihat sepasang sinar mata yang begitu tajam dan mengandung sesuatu yang aneh.
"Ihhhhh....! Kedua tangannya mengandung pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang digunakan secara berbareng! Memecah sin-kang menjadi berlawanan ini dari mana dia mempelajarinya" Siapa bocah setan itu...." terdengar Nenek Maya mengomel dan matanya memandang terbelalak penuh kaget dan heran menyaksikan Han Han menggunakan kedua tangannya untuk menghadapi lima orang pengeroyoknya.
"Subo, dia itulah yang selalu diceritakan Lulu-sumoi. Dia kakak angkatnva yang bernama Han Han," jawab Nirahai tanpa mengalihkan pandang matanya dari medan pertandingan di bawah.
Akan tetapi Nenek Maya biarpun mendengar ucapan muridnya itu, agaknya tidak mengacuhkan karena dia mengalami kekagetan demi kekagetan ketika menyaksikan pertempuran itu, mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran, "Lihat pukulannya itu....! Tendangan dengan satu kaki....! Aihhh, bukankah itu jurus-jurus simpanan yang hanya dikenal kami bertiga di Pulau Es" Dan ituheiiiii....! Itugerakan tongkatnya.... bukankah bagian dari Siang-mo Kiam-sut! Dan loncatan-loncatan itu.... hemmm.... seperti telah mengenalnya akan tetapi demikian aneh! Bukan main! Siapa bocah ini"
"Subo, dia Han Han dan seperti subo ketahui, dengan Lulu dia telah berhasil mewarisi kitab-kitab di Pulau Es."
"Aihhh....! Benar! Tapi loncatan-loncatan itu! Ilmu silat iblis manakah itu" Benar-benar hebat danmengerikan!" Ternyata Nenek Maya ini merasa terkejut dan kagum sekali karena sebagai seorang ahli dia sampai tidak mengenal ilmu silat dengan gerakan kilat itu. Memang itu adalah Ilmu Soan-hong-lui-kun yang diciptakan oleh sumoinya sendiri, Khu Siauw Bwee, dalam pertapaannya! Tentu saja dia tidak mengenalnya sungguhpun ia merasa kenal akan dasar-dasarnya.
Memang, untuk menghadapi pengeroyokan lima orang sakti itu, terpaksa Han Han mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakan Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee, tongkatnya dimainkan seperti pedang dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut, dan tangan kanannya melakukan serangan bergantian dengan hawa sin-kang Im dan Yang, juga ia mencampurkan gerakan-gerakan silat dari kitab"kitab yang telah !a pelajari dari Pulau Es, disesualkan untuk menghadapi hujan serangan kelima orang lawannya! Benar-benar hebat pemuda ini dan barulah terbukti kesaktiannya yang jarang dapat ditemui tandingnya, karena setelah bertempur selama ratusan jurus, mengandalkan kelincahan ilmu gerak kilat, ia sama sekali tidak terdesak, bahkan berhasil membuat pengepungan lima orang sakti itu kocar-kacir. Tentu saja lima orang pengeroyoknya menjadi penasaran sekali, terutama Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li karena pemuda itu bekas murid mereka, dan Gak Liat karena bocah itu dahulu bekas kacungnya!
Cuaca semakin gelap dan para pemimpin pasukan pengawal yang melihat betapa pemuda buntung itu masih juga belum dapat ditundukkan oleh lima orang sakti itu, menjadi khawatir kalau pemuda itu akan berhasil menyerbu ke istana, maka mereka lalu mulai mengeluarkan aba-aba dan pengurungan pasukan dipersempit dan diperketat, siap untuk menerjang pemuda itu seperti air bah mengamuk.
Han Han melihat ancaman ini. Tidak mungkin baginya untuk menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang, sedangkan pengeroyokan lima orang sakti itu saja sudah amat melelahkannya. "Lebih baik aku menerobos ke dalam istana menangkap Puteri Nirahai atau mencari di mana ditahannya Lulu agar aku dapat membebaskan adikku dan mengajaknya lari dari situ," pikirnya. Ia mulai mencari kesempatan untuk lolos dan menerjang ke dalam istana. Akan tetapi lima orang pengeroyoknya makin lama makin penasaran dan marah sekali. Dari depan, sepasang pendeta Lama sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan sin-kang yang lihai, sedangkan dari kanan kiri Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi sudah menerjang pula. Han Han menggunakan tangan kanannya mendorong ke depan, sekaligus menolak pukulan kedua orang Lama. Hebat bukan main pengerahan tenaganya ini sehingga kedua orang Lama itu terhuyung ke belakang. Pada saat itu pukulan Kang-thouw-kwi Gak Liat dengan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang sudah menerjang datang, didahului oleh si nenek Toat-beng Ciu-sian-li yang menyerangnya dari belakang dengan sambaran rantai gelang!
Han Han mengeluarkan suara melengking, tubuhnya cepat melesat ke belakang, tinggi dan berjungkir balik, tangan kanannya cepat menyambar dan ia berhasil menangkap ujung rantai gelang nenek itu yang menyambarnya. Dengan sepenuh tenaga disentakkannya kuat-kuat hingga tubuh nenek itu melayang ke atas. Nenek itu menjerit, kalau bukan dia tentu daun telinganya akan putus. Han Han melontarkan tubuh nenek itu dengan melepaskan rantai gelang ke arah Kang-thouw-kwi yang memukulnya tadi! Kini tubuh nenek itu melayang dan akan bertemu dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang ampuh!
Melihat ini, Ma-bin Lo-mo berseru kaget, cepat ia pun mengerahkan tenaganya mendorong ke depan untuk menyambut pukulan Gak Liat dalam usahanya menolong nenek itu.
"Desssss....!" Ma-bin Lo-mo terjengkang sedangkan Gak Liat terdorong mundur sambil terbatuk-batuk dan sedikit darah keluar dari mulutnya. Nenek itu sendiri terbanting roboh ke atas tanah, amat kerasnya sehingga nenek ini mengeluh dan merasa seolah-olah pantatnya yang tiada dagingnya lagi terbanting peyok!
Ketika lima orang sakti yang dalam gebrakan hebat ini terdesak cepat menguasai diri dan hendak menerjang, tiba-tiba tubuh Han Han melesat ke atas, melampaui kepala para anak buah pasukan yang mengurung dan telah melayang ke atas genteng istana. Ramailah pasukan itu lari mengejar, ada pula yang memasang obor karena cuaca sudah mulai remang-remang.
"Kejar ke atas....!"
"Awas, kepung istana agar dia tidak lari!"
"Heiii, lekas jaga sebelah dalam istana, hadang semua jalan!"
"Paling perlu lindungi kamar-kamar Sri Baginda dan keluarganya!"
Ramailah pasukan pengawal itu berteriak-teriak dan bergerak kacau-balau seperti serombongan semut diganggu sarangnya. Adapun lima orang sakti itu, biar sudah amat tertinggal jauh, segera meloncat pula naik ke atas genteng melakukan pengejaran.
Cara Han Han meloncat amat luar biasa karena dia menggunakan ilmunya gerak kilat, tubuhnya mencelat-celat ke atas sampai ke wuwungan. Tiba-tiba ia berhenti di atas wuwungan memandang terbelalak kepada seorang nenek dan seorang gadis cantik jelita yang berdiri tenang di situ. Melihat gadis itu dalam cuaca yang remang-remang, Han Han memekik girang.
"Lulu....!" Tubuhnya mencelat dan ia telah berada di depan gadis itu, terus dirangkulnya sambil mengeluh karena kelelahan, "Lulu adikku.... ah, Lulu.... syukur kau selamat.... kauampunkanlah aku, Lulu....!" Saking girang hatinya, seperti dahulu, ia mencium pipi adiknya itu, tidak tahu betapa gadis itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali. Dapat dibayangkan betapa malu dan jengah rasa hati gadis ini yang bukan lain adalah Puteri Nirahai sendiri yang disangka Lulu oleh Han Han. Memang ada persamaan pada wajah kedua orang gadis itu dan juga bentuk tubuh mereka sama, maka tidak mengherankan apabila Han Han yang dalam keadaan lelah salah duga melihat Nirahai dalam cuaca remang-remang itu.
Han Han berada dalam kegirangan luar biasa melihat "adiknya" selamat, maka ketika merangkul dan menciumnya, kegirangan membuat ia kehilangan kewaspadaannya dan tiba-tiba ia mengeluh, tubuhnya menjadi lemas karena jalan darah di punggungnya telah tertotok secara hebat bukan main. Totokan biasa saja kiranya tidak akan mempengaruhi tubuhnya yang dialiri sin-kang amat kuat, akan tetapi sekali ini yang menotoknya adalah Nenek Maya serdiri! Maka ia terguling dan tahu-tahu telah dikempit oleh lengan kiri Nenek Maya.
Pada saat itu, lima orang sakti telah menyusul ke atas wuwungan. Nenek Maya yang mengempit tubuh Han Han, tersenyum mengejek dan berkata, "Dia sudah kutangkap, kalian mau apa"
Lima orang sakti itu telah mendengar bahwa di istana terdapat guru Puteri Nirahai yang amat lihai, akan tetapi karena belum pernah melihat nenek ini yang kehadirannya dirahasiakan, Toat-beng Ciu-sian-li yang berwatak angkuh segera menegur, "Engkau siapakah"
Nirahai khawatir kalau-kalau gurunya yang memiliki watak aneh luar biasa itu menjadi marah, maka ia cepat maju dan berkata halus. "Harap Ngo-wi Locianpwe suka mundur dan beristirahat karena pengacau telah dapat ditangkap oleh guru saya dan akan kami periksa sendiri."
Mendengar ini, Toat-beng Ciu-sian-li terkejut dan memandang tajam penuh perhatian kepada Nenek Maya. Ia merasa sudah pernah melihat nenek itu, akan tetapi tidak ingat lagi kapan dan di mana. Juga tokoh-tokoh lain ketika mendengar bahwa nenek yang agaknya dengan amat mudahnya menangkap Han Han yang tadi membuat mereka berlima kewalahan itu adalah guru Nirahai, cepat menjura dengan hormat. Mereka semua tahu akan kelihaian puteri cantik itu, kalau muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya!
demikian lihainya, apa lagi gurunya!
Nenek Maya sudah membalikkan tubuhnya dan tanpa mengeluarkan ucapan sedikit pun ia telah meloncat turun mengempit tubuh Han Han, diikuti oleh Nirahai, memasuki istana kembali melalui pintu belakang. Lima orang tokoh itupun cepat turun dan kini pasukan pengawal sibuk merawat teman-teman yang terluka dalam pengeroyokan mereka terhadap Han Han tadi.
Malam itu, suasana di sekeliling istana sunyi sepi, akan tetapi di dalam kesunyian ini, penjagaan para pengawal diperkuat karena para komandan pengawal merasa khawatir kalau-kalau datang lagi pengacau yang berilmu tinggi seperti di pemuda buntung yang kini telah menjadi tawanan Puteri Nirahai di dalam istana.
Setelah tertotok lemas dan dibawa oleh nenek sakti itu ke dalam istana, barulah Han Han dapat melihat wajah Puteri Nirahai di bawah sinar lampu yang terang dan ia terkejut setengah mati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis yang disangkanya Lulu, dirangkul dan dicium pipinya tadi ternyata sama sekali bukanlah Lulu, melainkan seorang gadis yang mirip Lulu dan cantik jelita sekali. Kekagetannya bertambah ketika ia melirik dan mengamati wajah nenek yang mengempitnya. Ia mengenal wajah ini yang biarpun sudah tua namun masih membayangkan kecantikan, membayangkan raut muka yang mirip benar dengan puteri jelita ini, mirip pula dengan Lulu, dan.... mirip dengan patung wanita di Pulau Es. Han Han terbelalak, kini ia kembali memandang Nirahai. Bukan main! Sekarang terasa benar olehnya kemiripan wajah gadis jelita ini dengan patung Puteri Maya di Pulau Es! Han Han melongo, terpesona, dan biarpun tubuhnya dikempit, pandang matanya seperti lekat pada wajah Puteri Nirahai.
Puteri Maya membawa tubuh Han Han memasuki ruangan dalam yang luas di depan kamarnya, kemudian sekali tangannya bergerak, Han Han telah dibebaskan totokannya dan tubuhnya telah dilempar ke atas lantai. Kemudian nenek sakti itu duduk di atas kursi, menyambar guci arak dan minum arak dari sebuah cawan perak. Adapun Puteri Nirahai masih berdiri. Gadis ini memandang wajah Han Han penuh perhatian, memandang ke arah kaki dan alisnya yang bagus itu berkerut dalam kesangsian dan pertanyaan apakah pemuda ini benar-benar kakak Lulu yang bernama Han Han!
Han Han meloncat bangun dan terhuyung karena tubuhnya masih terasa lemas, bukan oleh bekas totokan yang telah dibebaskan, karena sin-kangnya membuat ia dapat menguasai kembali jalan darahnya, melainkan karena lelahnya setelah melakukan pertempuran yang berat tadi. Tiba-tiba Nenek Maya menggerakkan tangan dan tongkat butut Han Han yang tadi dia bawa pula melayang ke arah Han Han, melayang seperti luncuran anak panah menuju ke dada pemuda buntung itu. Han Han cepat menyambarnya dan nenek itu kagum bukan main. Pemuda buntung ini benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid atau ahli waris Istana Pulau Es! Dengan tongkat di tangannya, Han Han dapat berdiri tegak dan ketika ia memandang Nirahai, puteri inipun sedang memandangnya penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu pandang dan wajah Han Han menjadi merah sekali. Ia teringat betapa tadi ia merangkul dan mencium pipi yang halus kemerahan itu. Tak terasa lagi ia lalu berkata lirih menggagap.
"Maaf.... maafkan kekurangajaranku tadi.... kukira engkau adikku Lulu."
Wajah puteri yang berkulit halus putih kemerahan itu menjadi makin merah, akan tetapi ia hanya mengangkat pundaknya lalu bertanya, suaranya dingin seolah-olah hal yang dihadapi dan ditanyakannya adalah urusan kecil. "Apakah engkau ini yang bernama Han Han, kakak angkat Lulu"
Han Han mengangguk dan bertanya, "Di manakah adikku" Dan engkau.... eh, tentu engkau inilah Puteri Nirahai, bukan" Mengapa engkau menangkap adikku itu dan di mana dia" Kuharap kau suka membebaskannya. Kedatanganku ini bukan untuk mengacau, hanya untuk membebaskan adikku."
Nirahai tersenyum mengejek. "Tidak membikin kacau akan tetapi membunuh dan melukai banyak pengawal istana, menggegerkan istana. Bahkan pernah menjadi pembantu pemberontak di Se-cuan! Hemmm, tentang urusan Lulu, dia adalah sumoiku, karena dia menyeleweng maka kutangkap. Subo yang menangkapmu, maka terserah kepada subo untuk mengadilimu. Subo, teecu akan pergi sekarang mempersiapkan pertemuan penting itu. Mengenai orang buntung ini, terserah kepada subo."
Nenek Maya mengangguk, sejak tadi nenek ini memandang Han Han penuh perhatian, lalu menggerakkan tangan menyuruh Puteri Nirahai pergi. Setelah melontarkan kerling mata terakhir kepada Han Han, mulut yang manis itu menyimpulkan senyum, Nirahai lalu pergi meninggalkan ruangan itu.
Han Han kini menghadapi Nenek Maya, mereka saling pandang dan Han Han menjadi makin yakin di dalam hatinya bahwa nenek ini tentulah wanita yang patungnya berada di Pulau Es, suci dari gurunya yang telah membuntungi kaki gurunya itu. Dan betapa hebat persamaan puteri cantik tadi dengan patung itu pula!
"Orang muda, engkaukah pemuda yang bersama muridku Lulu tinggal bertahun-tahun di Pulau Es" Nenek Maya bertanya sambil memandang tajam.
Karena kini tidak ragu lagi, Han Han lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Benar, subo, harap subo memaafkan kelancangan teecu yang telah membikin ribut di tempat ini. Teecu tidak tahu bahwa adik teecu telah menjadi murid subo, dan sesungguhnya teecu hanya mengkhawatirkan keselamatan Lulu."
"Hemmm...., kau menyebut aku subo (Ibu Guru), atas dasar apakah" Tahukah engkau, siapa aku"
Han Han teringat bahwa seperti juga Khu Siauw Bwee, nenek buntung yang menjadi gurunya, Nenek Maya ini pun telah mengasingkan diri dan tidak pernah muncul di dunia ramai, maka tentu saja nenek itu ingin sekaii tahu bagaimana Han Han dapat mengenalnya.
"Maafkan teecu kalau keliru. Subo adalah Puteri Maya yang arcanya pernah teecu lihat di dalam Istana Pulau Es, bersama arca Subo Khu Siauw Bwee dan Suhu Kam Han Ki."
"Aihhhhh....!" Nenek itu terbelalak dan sepasang matanya berkilat-kilat, "Di antara kami bertiga tidak mungkin ada yang meninggalkan nama di Pulau Es. Bagaimana engkau bisa mengenal nama-nama kami" Awas, sekali engkau berbohong, aku akan membunuhmu!"
Pandang mata, suara dan sikap nenek ini benar-benar membuat Han Han mengkirik. Betapa jauh bedanya nenek ini dengan gurunya Si Nenek Buntung. Nenek ini memiliki kecantikan yang amat luar biasa, seperti bukan manusia, akan tetapi di samping kecantikannya, juga memiliki watak yang mengerikan. Dan tentang kepandaian, tentu saja nenek ini memiliki kesaktian hebat, hal ini dia tidak ragu-ragu lagi mengingat akan hebatnya kepandaian Khu Siauw Bwee, nenek yang menjadi gurunya, yang kakinya dibuntungi oleh Nenek Maya ini.
"Teecu tidak berani membohong. Tentu subo telah mendengar penuturan adik teecu tentang pengalaman kami berdua di Pulau Es. Teecu bersama Lulu memang tadinya tidak tahu sama sekali siapa adanya tiga arca yang berada di Istana Pulau Es itu. Akan tetapi, teecu telah berjumpa dengan Subo Khu Siauw Bwee...." Tiba-tiba Han Han menghentikan kata-katanya. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menggetar dan hanya dengan kemauannya yang amat keras saja ia dapat memaksa dirinya untuk tinggal diam berlutut dan tidak melawan, mengelak maupun menangkis. Nenek itu telah mencelat ke dekatnya dan tahu-tahu jari tangan nenek itu telah menyentuh ubun-ubun kepalanya, siap untuk mencengkeram! Sedikit saja nenek itu menggunakan tenaganya mencengkeram, tentu kepalanya akan pecah!
"Orang muda.... hati-hati kau.... kalau bohong....!" Suara itu terdengar gemetar, agaknya Nenek Maya ini terharu dan terkejut mendengar bahwa sumoinya itu masih hidup!
"Teecu bersumpah tidak bohong, subo. Teecu ditangkap dan kaki teecu dibuntungi aleh Toat-beng Ciu-sian-li sebagai hukuman, teecu terjerumus ke dalam jurang, hanyut di sungai dan ketika teecu berhasil mendarat, teecu bertemu dengan Subo Khu Siauw Bwee. Maka teecu lalu memberi kantung surat, yaitu peninggalan Suhu Kam Han Ki yang teecu bawa dari Pulau Es untuk teecu sampaikan kepada orang yang berhak. Dan ternyata surat-surat itu memang ditujukan oleh suhu kepada Subo Khu Siauw Bwee...."
Kembali Han Han menghentikan kata-katanya karena nenek itu mengeluh lalu terhuyung-huyung ke belakang dan menjatuhkan lagi dirinya di atas kursi. Wajahnya yang dahulu di waktu mudanya tentu amat cantik itu pucat sekarang.
"Teruskan.... teruskan.... apa isi surat-suratnya itu...."
Diam-diam Han Han berpikir. Biarpun nenek buntung Khu Siauw Bwee tidak mau menceritakan pengalaman-pengelaman mereka bertiga di waktu muda ketika mereka berada di Pulau Es, namun ia dapat menduga bahwa tentu terjadi perebutan cinta antara Nenek Maya dan Nenek Khu Siauw Bwee, dan kemudian, melihat sikap Nerek Khu Siauw Bwee ketika membaca surat-surat itu, jelaslah bahwa sesungguhnya Koai-lojin hanya mencinta Khu Siauw Bwee seorang. Akan tetapi, kalau ia kemukakan hal ini, bukankah berarti ia akan menyakiti hati Nenek Maya ini" Dia menjadi tidak tega, bahkan diam-diam Han Han merasa kasihan kepada nenek ini. Dia sendiri dahulu terpesona oleh arca nenek ini di waktu muda, demikian cantik jelitanya, seperti bidadari, dan baru melihat arcanya saja jantung sudah berdebar dan gairahnya terangsang. Tadi pun ketika ia melihat puteri Nirahai yang mirip dengan arca itu, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Betapa mungkin ia dapat menyakiti hati nenek itu" Akan tetapi, kalau dia tidak berterus terang, nenek ini yang berwatak luar biasa tentu akan menjadi marah dan akibatnya tak dapat ia kira-kirakan, yang jelas ia tentu terancam bahaya maut.
"Teecu tidak berani membuka surat-surat itu, subo. Biarpun teecu hanya mengetahui subo bertiga dari arca-arca yang berada di Pulau Es, namun tentu saja subo bertiga telah teecu anggap sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, dengan demikian menjadi pula guru-guru teecu. Mana berani teecu membaca surat Suhu Koai-lojin" Teecu hanya membawanya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dan ternyata memang surat-surat itu ditujukan kepada Subo Khu Siauw Bwee."
Kembali terdengar keluhan dari dada nenek itu, keluhan yang membayangkan kehancuran hati. Kemudian Nenek Maya dapat menguasai dirinya kembali dan bertanya, suaranya menggetar, "Ceritakan, bagaimana sikap sumoi setelah membaca surat dari suheng itu....!"
Di dalam lubuk hatinya, Han Han sudah dapat menduga apakah yang dahulu terjadi antara tiga orang gurunya, penghuni-penghuni Pulau Es yang aneh itu. Sebaliknya bagi yang berkepentingan sendiri harus mengetahui hal sebenarnya, baik manis maupun pahit, agar tidak selalu menjadi keraguan dan menimbulkan pertikaian. Nenek Maya ini tentu selalu menyangka bahwa Koai-lojin mencintanya maka dahulu telah terjadi pertentangan antara dia dan sumoinya.
"Subo Khu Siauw Bwee setelah membaca surat-surat itu lalu menangis dan mengatakan mengapa dahulu suhu tidak berterus terang menyatakan mencinta subo seorang sehingga tidak terjadi pembuntungan kakinya. Surat-surat itu adalah surat-surat pernyataan cinta...."
Tiba-tiba Nenek Maya menjerit lirih dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Han Han menjadi kasihan sekali. Betapa mungkin seorang wanita yang dahulunya tentu amat cantik jelita seperti bidadari mengalami penderitaan karena cinta! Pemuda itu teringat akan syair yang diukir di dinding Istana Pulau Es, dan dalam keadaan penuh haru dan setengah sadar itu Han Han lalu mengucapkan syair dengan suara penuh perasaan:
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata: bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita"
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga,
cinta segi tiga tak membahagiakan
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada
hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulan, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!"
Nenek Maya yang tadinya membelalakkan matanya yang basah itu, memandang dengan bengis dan penuh nafsu membunuh, ketika mendengarkan syair ini, makin lama makin terbelalak dan wajahnya tidak bengis lagi melainkan penuh keheranan dan keharuan, kemudian dengan suara serak ia berkata.
"Orang muda, apa.... apa maksudmu dengan syair itu...."
"Maaf, subo. Saking terharu hati teecu, maka teecu teringat akan syair yang diukir pada dinding Istana Pulau Es, dan menurut Subo Khu Siauw Bwee, agaknya syair itu diukir oleh Suhu Koai-lojin."
Kembali Nenek Maya mengeluh dan menutupkan kedua telapak tangannya pada mukanya. "Ahhh, kasihan.... kasihan sekali suheng....! Biarpun mencinta sumoi, ternyata tidak mau mengaku karena tidak suka menghancurkan hatiku! Orang muda, engkau tentu telah digembleng oleh Khu-sumoi, bukan" Cara engkau meloncat-loncat itu...."
"Benar, subo. Sesungguhnyalah karena mengingat bahwa teecu memang sudah menjadi murid suhu dan subo berdua, dan agaknya melihat kaki teecu yang buntung, maka Subo Khu Siauw Bwee lalu mengajar teecu beberapa lamanya."
"Bagus, karena itu maka engkau tidak kubunuh sekarang! Dalam cinta mungkin aku telah kalah oleh sumoi, akan tetapi dalam ilmu silat, aku tidak mau kalah! Sumoi telah menurunkan ilmu silat ciptaannya yang baru kepadamu, dan aku akan menurunkan kepandaianku kepada muridku Nirahai. Kita sama lihat saja kelak siapa yang lebih unggul. Aku menitipkan nyawa kepadamu, bocah, dan kelak Nirahai muridkulah yang akan mengambil nyawamu sekalian membuktikan bahwa ilmuku masih lebih tinggi daripada ilmu sumoi. Nah, pergilah sebelum aku menyesal akan keputusanku ini!"
Han Han bukan seorang penakut. Kalau hanya menghadapi ancaman maut saja, dia sudah berkali-kali mengalaminya. Kedatangannya untuk mencari Lulu adiknya, tentu saja ia tidak akan mudah diusir pergi dengan ancaman sebelum ia berhasil mendapatkan adiknya atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dengan adiknya.
"Maaf, subo. Tentu saja teecu akan mentaati semua perintah subo, akan tetapi terlebih dahulu teecu harus dapat menemukan Lulu, adik teecu dan membebaskannya...."
Nenek Maya menyusut air matanya dan memandang pemuda berkaki buntung itu. Biarpun hatinya masih merasa panas terhadap sumoinya, namun diam-diam ia merasa kagum kepada pemuda ini. Memang hanya muridnya Nirahai itulah yang agaknya merupakan satu-satunya orang yang akan dapat menandingi pemuda hebat ini. Muridnya itu mempunyai kecerdikan luar biasa, bakat yang amat hebat dan kekerasan hati yang sukar dicari keduanya. Betapapun juga, timbul keraguan hatinya apakah Nirahai akan mampu menandingi pemuda ini dan ia berjanji di dalam hati untuk menurunkan semua ilmunya yang paling ampuh kepada muridnya itu. Pendeknya, Nirahai tidak boleh kalah oleh murid Khu Siauw Bwee!
"Bocah keras kepala, Lulu adalah muridku, siapakah yang akan mengganggunya" Dia memang ditangkap oleh sucinya karena dia menyeleweng, akan tetapi kini dia telah melarikan diri ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan. Entah ke mana perginya bocah yang suka menimbulkan kekacauan itu, aku tidak tahu."
Han Han terkejut bukan main. "Murid-murid Ma-bin Lo-mo...." Bagaimana.... apa maksud subo"
Nenek itu tersenyum dingin dan Han Han kagum melihat betapa nenek itu ternyata masih mempunyai gigi yang berderet lengkap dan kuat. "Siapa tahu dan siapa peduli" Murid-murid Si Muka Kuda itu memberontak terhadap guru mereka, dan melihat macamnya Ma-bin Lo-mo, jelas bahwa murid-muridnya tentu lebih baik daripada dia! Kalau aku turun tangan, apa yang dapat dilakukan mereka" Aku tidak peduli, dan karena Lulu hanya akan mereka bebaskan dan tidak diganggu, aku tidak peduli. Bocah itu sudah banyak bikin pusing, sekarang pergi entah ke mana, kau cari sendiri. Nah, sekarang pergilah dan kalau kau masih tidak taat, kuanggap kau menantangku!"
Han Han menjadi girang akan tetapi juga bingung. Dia percaya penuh kepada nenek ini, seorang berkepandaian tinggi luar biasa dan berwatak angkuh, tentu tidak sudi membohong. Yang penting baginya, Lulu sudah bebas dan perkara mencarinya adalah urusannya sendiri. Maka ia cepat memberi hormat, kemudian tubuhnya mencelat pergi dari tempat itu. Sengaja ia mengerahkan tenaga menggunakan kepandaiannya yang ia dapat dari Khu Siauw Bwee, maka gerakannya pun cepat seolah-olah ia pandai menghilang dan lenyap dalam sekejap mata dari depan Nenek Maya. Melihat ini, Nenek Maya menghela napas panjang penuh kagum.
*** Biarpun Han Han dapat mempercayai keterangan Nenek Maya bahwa adiknya telah terbebas dari dalam tahanan ketika murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu tahanan, namun ia masih tidak tergesa-gesa meninggalkan kota raja dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya tentang peristiwa itu. Tentu saja berita penyerbuan itu menggegerkan kota raja dan hampir setiap orang yang ditanyainya dapat menceritakannya. Akan tetapi, seperti biasa berita yang merupakan berita angin dari mulut ke mulut, setiap orang mempunyai cerita yang berbeda, dan tidak seorang pun di antara mereka dapat memberitahukan secara jelas, juga tidak ada yang tahu ke mana perginya Lulu yang ikut pula melarikan diri dari tahanan bersama para tahanan lain ketika murid-murid In-kok-san (Lembah Awan) itu datang menyerbu.
Han Han menjadi bingung dan tidak mengerti kalau ia teringat akan adiknya. Bukankah menurut keterangan Lauw Sin Lian, adiknya itu telah menjadi anak angkat mendiang Lauw-pangcu dan telah memihak para pejuang" Akan tetapi dia berjumpa dengan Lulu di Se-cuan sebagai seorang pemimpin pasukan Mancu! Kemudian mendengar Lulu ditangkap oleh Puteri Nirahai dan menjadi tawanan, sekarang ditolong oleh murid-murid In-kok-san. Sebenarnya, di fihak manakah Lulu berdiri" Benar-benar membingungkan dan mau tidak mau Han Han tersenyum sendiri kalau mengingat ucapan Nenek Maya bahwa Lulu sudah banyak membikin pusing! Benar-benar anak nakal adiknya itu! Akan tetapi senyumnya lenyap terganti awan duka kalau ia teringat akan pertemuannya yang terakhir dengan Lulu. Adiknya itu tentu membencinya! Lulu, aku harus dapat menemukanmu dan memberi penjelasan, minta maaf, demikian jerit hatinya dan pemuda ini mengambil keputusan untuk pergi menyelidik ke In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san. Adiknya dibebaskan oleh murid-murid Ma-bin Lo-mo dan dia sendiri tidak tahu mengapa murid-murid Ma-bin Lo-mo menyerbu istana sedangkan guru mereka sendiri berada di istana membantu Kerajaan Mancu. Satu-satunya jalan untuk membongkar rahasia ini dan bertanya kepada bekas suheng-suheng dan suci-sucinya itu di mana adanya Lulu, hanya pergi mengunjungi mereka! Selain hendak mencari Lulu atau kalau adiknya tidak berada di sana, bertanya kepada mereka ke mana perginya adiknya, juga Han Han ingin mengunjungi kuburan kakeknya, yaitu Jai-hwa-sian Suma Hoat dan ingin menyelidik tentang riwayat nenek moyangnya. Hidupnya selalu dirundung malang, dimusuhi sana-sini, selalu sengsara dan menderita tekanan batin, agaknya hal ini semua terjadi karena darah keturunannya. Hidupnya seperti hukuman, dan agaknya memang hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya!
Di sepanjang perjalanannya yang jauh itu, Han Han selalu merasa hatinya tertindih kedukaan. Kalau ia renungkan dan ingat-ingat, apalagi di waktu ia menghentikan perjalanan karena malam gelap dan ia duduk mengaso di bawah pohon, terbayanglah di depan matanya wajah Kim Cu yang berkepala gundul dan sinar matanya penuh duka, terganti wajah Lu Soan Li yang telah mengorbankan nyawa untuknya, kemudian bermunculan wajah Lauw Sin Lian, Tan Hian Ceng, di antara bayangan wajah Lulu dan yang terakhir Puteri Nirahai! Diam-diam ia mengeluh! Mengapa Kim Cu dan Soan Li berkorban untuknya" Mengapa mencintanya" Dan Hian Ceng....! Ah, dia, seorang yang buntung, yang tidak patut mendampingi gadis-gadis cantik jelita itu, mengapa justeru dia yang mereka cinta" Bukankah hal ini merupakan hukuman baginya, hukuman karena dosa-dosa nenek moyangnya, terutama sekali kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat"
Han Han mengeluh di dalam hatinya. Mengapa dia, yang sudah terang merupakan seorang pemuda berkaki buntung, bercacad sehingga tidak patut mendampingi seorang wanita, apalagi gadis-gadis cantik seperti mereka itu, kini selalu mengenangkan mereka" Tidak, tidak boleh sama sekali! Apakah hal inipun merupakan penyakit baginya, penyakit turunan sehingga ia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita-wanita cantik itu" Apakah dia pun termasuk seorang yang memiliki darah kakeknya, darah seorang pria yang mata keranjang" Kembali Han Han mengeluh panjang dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, berusaha untuk melupakan semua itu dan untuk tidur. Dia harus menggunakan kekuatan kemauannya untuk melupakan bayangan-bayangan wajah ayu itu, kecuali bayangan wajah Lulu, adiknya!
Tentu saja pemuda yang bernasih malang ini tidak tahu bahwa dia sama sekali bukan menderita penyakit, bukan pula mata keranjang, melainkan dia pun seorang manusia biasa. Karena usianya sudah dewasa, tentu saja daya tarik lawan kelamin makin kuat dan tanpa disadarinya, berahinya terhadap wanita pun makin menguat. Hal ini adalah wajar dan bahkan sudah semestinya demikian. Hanya karena pemuda ini telah mengalami hal-hal yang melukai hatinyai melihat pengorbanan Kim Cu dan Soan Li untuk dirinya, ditambah pengetahuan bahwa kakeknya seorang penjahat cabul pemerkosa wanita, maka ia mengekang rasa tertarik terhadap wanita ini yang dianggapnya sebagai semacam penyakit dan ia menyalahkan darah keturunannya!


Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, Han Han memandang sekeliling dan menghirup hawa segar, hatinya agak terharu mengingat betapa dahulu, sepuluh tahun lebih yang lalu, ia tinggal di daerah ini sebagai murid In-kok-san! Teringatlah ia akan Kim Cu yang semenjak menjadi saudara seperguruan, selalu bersikap amat baik terhadapnya. Memang belum lama ini dia kembali ke In-kok-san, akan tetapi sebagai tawanan Toat-beng Ciu-sian-li sampai kakinya dibuntungi, dan dalam keadaan seperti itu ia tidak dapat menikmati keindahan alam dan tidak terkenang akan masa kanak-kanak dahulu. Kini ia berdiri termenung dan barulah ia sadar kembali ketika ia mendengar gerakan kaki manusia. Ketika ia menengok, ia melihat dua orang laki-laki menggotong sebuah joli yang tertutup tirai sutera. Cepat Han Han menyelinap ke belakang pohon karena ia melihat berkelebatnya bayangan empat orang yang bergerak cepat sekali, seolah-olah mempunyai niat buruk terhadap joli yang digotong oleh dua orang itu.
Setelah joli yang digotong lewat dan empat bayangan itu dekat, Han Han makin tertarik. Ia mengenal empat orang pemuda tampan itu. Mereka adalah bekas-bekas suhengnya, murid-murid Ma-bin Lo-mo atau murid-murid In-kok-san! Mau apakah mereka mengikuti joli sambil bersembunyi dan siapa pula yang duduk di dalam joli" Tadinya, melihat sikap mereka yang mengancam, ingin Han Han memperingatkan orang yang duduk di dalam joli, akan tetapi ia segera menekan kehendak hati ini dengan kesadaran betapa ia selalu mendatangkan salah faham dan keributan setiap kali turun tangan. Dia tidak akan mencampuri urusan yang belum diketahuinya benar. Maka Han Han hanya menyelinap dan mengikuti empat orang pemuda itu sambil bersembunyi, menggunakan kepandaiannya mencelat ke tempat-tempat tersembunyi sambil mengintai. Agaknya dua orang penggotong joli itu hanyalah memiliki tenaga kasar saja, hanya kuat untuk menggotong joli dan melakukan perjalanan jauh, akan tetapi tidak memiliki kepandaian. Buktinya, mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa ada empat orang yang kini membayangi dari dekat.
Kini empat orang murid In-kok-san itu bergerombol di balik semak-semak, berbisik-bisik kemudian mereka mengayun tangan ke arah joli. Han Han terkejut sekali melihat sinar-sinar terang menyambar ke arah joli. Kiranya mereka itu telah menyerang joli dengan senjata-senjata rahasia. Jarum, piauw, dan uang logam beterbangan dengan jitu menyambar dan menerobos tirai sutera joli! Han Han membuka mata lebar-lebar karena tidak terdengar apa-apa dari dalam joli, bahkan beberapa detik, senjata-senjata kecil itu beterbangan menyambar dari dalam joli, kembali kepada empat orang penyerangnya secara cepat sekali, jauh lebih cepat dan kuat luncurannya daripada sambitan empat orang murid In-kok-san tadi! Han Han kagum dan juga merasa geli hatinya menyaksikan betapa empat orang itu berseru kaget dan kacau-balau mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka sendiri sedangkan dua orang penggotong joli itu agaknya tidak tahu apa yang terjadi dan terus melangkah maju menggotong joli.
Empat orang murid In-kok-san itu agaknya penasaran dan marah sekali. Mereka berempat lalu melompat keluar dari batik semak-semak, dan mencabut senjata sambil berseru keras mereka berempat itu menerjang ke arah joli. Dua batang pedang dan dua batang golok menyambar dan menusuk ke arah tirai sutera joli itu, terdengar kain robek ketika empat batang senjata runcing dan tajam itu menembus tirai menusuk ke dalam joli. Dua orang penggotongnya baru kaget, melepaskan joli dan menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati empat orang murid In-kok-san itu ketika senjata mereka memasuki joli yang kosong....! Hanya Han Han yang melihat betapa ada bayangan berkelebat cepat sekali keluar dari joli dari sebelah sana dan bayangan itu kini telah meloncat dan berdiri di atas cabang pohon sambil tersenyum mengejek. Ketika ia memandang, kiranya bayangan itu bukan lain adalah Puterai Nirahai yang cantik jelita!
Kekaguman Han Han makin meningkat. Dapat menangkap serangan am-gi (senjata gelap) dari dalam joli dan mengembalikannya tanpa membuka tirai sudah merupakan kepandaian luar biasa, kini dapat menghindarkan diri dari serangan dengan cara secepat itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi! Empat orang muda itu adalah murid-murid Ma-bin Lo-mo yang tentu saja bukan merupakan jago-jago muda sembarangan, namun mereka kini berdiri bingung dan barulah mereka menggerakkan senjata dibarengi meluncurnya tubuh wanita jelita itu dari atas pohon menyambar ke arah mereka!
"Trang-trang-trang-trang....!" Dua batang pedang itu terlempar ke kanan kiri, disusul robohnya empat orang muda itu dalam keadaan tertotok lemas dan rebah di atas tanah. Hanya mata mereka saja yang mampu memandang melotot penuh kebencian kepada Nirahai yang tersenyum lebar.
"Untung bagi kalian bahwa aku datang membawa tugas perdamaian dan persahabatan. Kalau tidak, apakah kalian dapat mengharap masih dapat hidup di saat ini" Setelah berkata demikian, Nirahai memasuki jolinya yang sudah robek-robek tirainya itu, memberi isyarat kepada dua orang penggotongnya. Dua orang itu bergegas menggotong joli dan cepat-cepat pergi dari situ, sedangkan dari balik tirai sutera yang robek-robek itu, Han Han dapat melihat wajah cantik jelita itu mengerling ke arah empat orang murid In-kok-san sambil tersenyum manis.
Bukan main, pikir Han Han. Puteri itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali! Lebih hebat daripada kepandaian datuk-datuk yang pernah ia lawan. Tentu akan merupakan lawan yang amat tangguh! Ia kagum akan kecantikannya yang mempesonakan, akan persamaannya dengan patung Puteri Maya di Pulau Es, akan kepandaiannya yang hebat dan akan sikapnya yang angkuh dan agung terhadap empat orang murid In-kok-san yang sudah jelas menyerang dengan maksud membunuhnya tadi.
Dengan tenang Han Han lalu menghampiri empat orang murid In-kok-san yang masih rebah tak berdaya di atas tanah. Mereka itu memandang terbelalak ketika mengenal Han Han. Pemuda berkaki buntung ini lalu menggerakkan tongkatnya, empat kali tongkatnya bergerak menotok dan ia telah berhasil membebaskan empat orang muda itu yang cepat meloncat bangun dan berdiri di depan Han Han.
"Engkau.... Han Han-sute....!" Seorang di antara mereka yang bernama Song Biauw berkata.
Han Han mengangguk. "Mengapa kalian menyerang dia"
Empat orang itu memandang ke arah perginya joli itu dan Song Biauw berseru marah, "Iblis betina itu sungguh lihai! Dialah biang keladi segala kesengsaraan!" Kemudian ia menoleh kepada Han Han. "Kami sudah mendengar bahwa engkau sekarang menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi, sute! Marilah kaubantu kami membunuh iblis betina itu!"
Han Han tersenyum dan menggeleng kepala. Dia terharu bahwa empat orang ini masih menyebutnya "sute", kemudlan ia bertanya, "Ma-bin Lo-mo sendiri membantunya, mengapa kalian memusuhi puteri yang mewakili kerajaan itu"
"Ma-bin Lo-mo iblis tua juga akan kami basmi!" bentak seorang murid In-kok-san dengan muka merah penuh kebencian.
Han Han diam-diam terkejut. "Eh, mengapa kalian memusuhi suhu kalian sendiri" Kalau kalian memusuhi Kerajaan Mancu, hal ini aku tidak heran."
"Hemmm, agaknya kau belum mendengar akan peristiwa busuk yang menjadi rahasia iblis tua itu, Han-sute" Engkau tentu sudah tahu bahwa kami semua murid In-kok-san adalah orang-orang yatim piatu...."
"Aku tahu, orang tua kalian, seperti juga orang tuaku, terbunuh oleh pasukan Mancu...." kata Han Han.
"Bukan!" Song Biauw memotong cepat sambil menggoyang tangan. "Mungkin orang tuamu terbunuh oleh pasukan Mancu, akan tetapi orang tua kami semua sama sekali tidak terbunuh oleh pasukan Mancu, melainkan dibunuh secara diam-diam oleh Ma-bin Lo-mo!"
"Heeehhhhh...." Han Han benar-benar terkejut sekali mendengar ini.
"Iblis tua bangka yang busuk itu! Dia dahulunya memusuhi penjajah Mancu, dan untuk dapat membentuk pasukan kuat, dia sengaja memilih anak-anak yang berbakat baik, menggunakan keadaan yang kacau membunuhi orang tua kami dan kemudian menolong kami dengan pernyataan bahwa orang tua kami dibunuh orang-orang Mancu. Kami masih terlalu kecil untuk mengerti akan tipu muslihatnya ini. Akhir-akhir ini dia menjadi penjilat Mancu sehingga kami merasa heran sekali dan akhirnya kami dapat mengetahui rahasianya yang membocor dari istana. Tentu saja kami menjadi sakit hati kepadanya sehingga kami bersumpah selain memusuhi penjajah, juga akan membunuh bekas guru yang juga pembunuh orang tua kami itu!"
Han Han mengangguk-angguk. Baru sekarang ia mengerti mengapa murid-murid In-kok-san menyerbu kota raja. "Jadi kalian menyerbu kota raja, membebaskan tawanan-tawanan, juga dengan maksud untuk mengacau kota raja dan sekalian mencari Ma-bin Lo-mo"
Song Biauw berseri wajahnya. "Kau sudah mendengar akan penyerbuan itu" Kami kehilangan belasan orang saudara, akan tetapi kami berhasil membebaskan banyak tawanan. Kini saudara-saudara kami sebagian sudah menyeberang ke Se-cuan, maka kami mendengar bahwa engkau telah membantu perjuangan dan bahkan menjadi panglima di Se-cuan. Kami yang masih tinggal di sini, mendengar bahwa puncak Tai-hang-san akan dijadikan tempat pertemuan antara pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kami menghadang di sini untuk menyerang Ma-bin Lo-mo. Tadi ketika kami tahu bahwa Puteri Nirahai iblis betina itu datang, kami segera menyerangnya. Siapa tahu dia luar biasa lihainya!"
Han Han menggeleng-geleng kepala. "Kalian ini bernafsu besar dan bercita-cita muluk, akan tetapi kalian bukanlah lawannya, bahkan kalian berempat takkan mampu mengalahkan Ma-bin Lo-mo."
"Masih ada lima orang saudara kami di bawah!" Song Biauw membentak.
Han Han menghela napas. "Aku tidak akan mencampuri urusan kalian. Kebetulan aku bertemu dengan kalian di sini karena memang aku ingin sekali bertanya. Ketika kalian menyerbu kota raja membebaskan para tawanan, terdapat pula adikku Lulu yang ikut melarikan diri. Di manakah dia sekarang"
"Ohhhh.... dia" Puteri Mancu itu" Wah, dia hebat sekali!" kata Song Biauw dan tiga orang saudaranya mengangguk-angguk. "Hanya karena bantuan dia maka kami dapat menyelamatkan diri keluar dari kota raja, dan hanya belasan orang yang gugur. Agaknya iblis betina Nirahai sehdiri segan untuk bersikap keras setelah dia turun tangan membantu kami. Jadi dia adikmu, Han-sute" Ah, sungguh menyesal sekali, kami tidak tahu ke mana dia pergi karena begitu kami semua berhasil keluar dari kota raja, dia menghilang."
Han Han menghela napas panjang. Dia sudah menduga akan hal ini. Adiknya itu terlalu keras kepala, keras hati dan ingin bebas, tentu saja tidak mau bersatu dengan orang-orang ini. Entah ke mana sekarang "terbangnya" bocah itu!
"Sudahlah, aku akan mencarinya sendiri. Kunasihati saja agar kalian tidak terburu nafsu mengandalkan kepandaian. Ma-bin Lo-mo lihai sekali, juga bekas guru kalian itu mempunyai banyak kawan yang lihai. Kalau memang kalian ingin berjuang, tempat kalian adalah di Se-cuan di mana dapat dihimpun kekuatan untuk menghadapi musuh. Nah, selamat berpisah!" Han Han menggunakan kepandaiannya, sekali mencelat ia telah berkelebat lepyap dari depan empat orang itu yang memandang terbelalak, menengok dan mencari-cari ke sana ke mari kemudian saling pandang dengan melongo. Sukar mereka percaya bahwa pemuda yang kakinya hanya tinggal sebuah itu dapat bergerak secepat itu.
Sambil berloncatan, Han Han berpikir. Pertemuan di puncak Tai-hang-san" Pertemuan apakah itu" Apa pula yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai yang lihai dan cerdik luar biasa itu" Ia tertarik sekali, apalagi dia mengharapkan bahwa Lulu akan hadir pula di pertemuan aneh itu. Dengan penuh harapan, Han Han lalu mendaki puncak Tai-hang-san, akan tetapi memilih jalan yang sunyi karena dia tidak mau mengunjungi pertemuan itu secara berterang. Dia tidak mau melibatkan diri, dan keinginan satu-satunya pada saat itu hanyalah mencari adiknya, Lulu. Ia pun bergidik kalau teringat akan cerita bekas saudara-saudara seperguruannya tadi akan kekejian hati Ma-bin Lo-mo. Kiranya kakek iblis itu hendak membentuk pasukan terdiri dari murid-muridnya yang mengandung hati dendam kepada pemerintah Mancu dengan cara membunuhi orang tua dan keluarga calon para muridnya secara diam-diam, kemudian menolong calon murid itu dan mengatakan bahwa keluarga si murid dibasmi orang Mancu. Cara mengobarkan anti Mancu yang amat curang, licik dan keji. Lebih menjijikkan lagi, setelah melakukan perbuatan yang tidak mengenal prikemanuslaan itu, akhirnya kini Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li malah membalik, mengkhianati perjuangan sendiri dan menjadi kaki tangan Mancu!
Makin dikenang, makin sakit rasa hat H
Kisah Para Pendekar Pulau Es 2 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Pendekar Pemetik Harpa 32
^