Pendekar Super Sakti 6

Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


i yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan biruang itu membawa Han Han masuk kesebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal. Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan biruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan. Biruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian, binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.
Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya biruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa biruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.
"Cringgggg".!"
Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku dan biruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu.
Biruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar. Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko".! Koko"! Bangunlah". Ada" ada binatang aneh".!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.
Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena biruang itu sudah kembali memasuki kamar, mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu. Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat.
"Apakah kehendakmu" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri biruang itu. Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat daripada petak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan biruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian. Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba biruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.
"Paman biruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh"Biruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan biruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.
"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko" Begitukah, Paman Biruang"
Biruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut biruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Biruang itu mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu! Bccah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, biruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih, sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.
Hatinya girang sekali karena biarpun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu, Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang bubur encer dan mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.
*** Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh biruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh daripada sakitnya. Dengan terheran-heran setelah sadar benar, Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang biruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh biruang putih.
Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, adapula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah "taman" yang aneh karena disitu bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena disitu selali diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.
Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah biruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh biruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.
Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!
Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dengan melihat keadaan biruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.
Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri. Kamar pertama adalah kamar yang paling besar, perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang da!am-dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah. Di bagian lain dari dinding tertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya : "Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan." Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain daripada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.
Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu daripada ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita"
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang, dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga membahagiakan!
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah buah daripada nafsu!
Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.
Adapun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.
Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas "petunjuk" biruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini, juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Adapun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan biruang es. Binatang ini adalah seekor mahJuk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing daripada dunia ramai.
Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersamadhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang di tinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik. Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!
Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya. "Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun." Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik maupun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu! Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini. Karena pada desarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat dan tanpa disadarinya, dia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa malapetaka hebat yang menimpa keluarganya.
Adapun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masis "bersih" ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu maka biarpun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.
Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa Lulu sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biarpun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia merasakan hasilnya. Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun, anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat. Setelah tubuhnya menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.
Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang "ahli silat" dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Adapun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia "mencuri" ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan dan secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan. Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian.
Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sin-kang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sung,guhpun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkangnya. Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut. Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga mujijat, begitu ia bersamadhi dan mulai melatih diri, sebntar saja ia dapat menghimpun tenaga "dingin" ini. Berlatih menghimpun tenaga dingin, di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.
Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin daripada hawa dingin di luar tubuhnya. Dengan begini, karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin daripada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang, ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin! Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!
Demikianlah, dengan ditemani biruang es yang merupakan teman bermain bahkan teman berlatih silat amat tangguh dari Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!
Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupaan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama maupun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.
"Ah, Paman Biruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati," kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.
"Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kami dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti," kata Lulu sambil tertawa.
"Boleh jadi!" kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini, matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.
"Benarkah, Paman Biruang" Apa sih yang hendak kauceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini"
"Nguk-nguk ger-gerrrrr".!" Lulu meniru suara biruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. dengan lagak seperti biruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli.
Mendadak biruang itu menggereng, kemudian menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.
"Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Biruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!" kata Lulu dan melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, biruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.
Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.
"Agaknya badai akan mengamuk lagi"!" kata Han Han dan biarpun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengan Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga.
Mendadak biruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.
"Paman biruang, bukan waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggutkan tangannya.
"Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana. Akan tetapi biruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, biruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.
"Apa maksudnya" tanya Han Han.
"Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil daripada kita," jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.
"Eh, Paman Biruang. Kalau memang harus didorong, kaubantulah aku!" kata Lulu rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang itu. Han Han menghampiri dinding itu mencoba untuk mendorongnya, membantu Lulu. Akan tetapi tiba-tiba biruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan menggeleng-celeng kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh sambi! menuding-nuding ke arah Han Han.
Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa gerakan ini.
"Han-ko, agaknya Paman Biruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.
Han Han mengerutkan kening. "Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."
Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, biruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sin-kang di dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan Im-kang. Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.
"Bagus! Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi. Sementara itu, suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai mengamuk kalau anginnya dan suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu!
Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi biruang itu menggereng-gereng marah dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, biruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia. Tentu harus menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah" Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sin-kangnya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana di Pulau Es ini berbeda sinkangnya dengan Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapapun juga, Han Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup mantang.
"Apakah dengan tenaga Yang-kang" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa ka-
kaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia dinding ini. Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak kagum dan biruang itu meloncat ke belakang ketakutan. Memang luar bfasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mujijat dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya daripada kematangan latihannya.
Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.
Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi, sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya daripada tadi. Biruang itu mulai "mengomel" lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu" Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga mengejutkan mereka.
"Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua" Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.
"Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."
Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia ini, Koko!"
"Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara berbareng"
"Mengapa tidak mungkin Koko" Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang"
"Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa mungkin" Aku belum pernah belajar tentang itu!"
"Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin bagimu" Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Biruang agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu!"
Han Han meooieh dan melihat betapa biruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing.
Harus kucoba, pikirnya dan mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya, hanya orang yang sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini. Kedua tangan sakti itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang panas membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali, dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.
Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil biarpun dia akan menderita sampai mati sekalipun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mujijat inilah yang membuat ia memiliki kekuatanpada matanya sehingga tanpa belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain! Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biarpun ia belum pernah melatih untuk mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk "mencegah" sinkangnya menjadi dua macam, sekali ini dia berhasil! Akan tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya.
Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh kemudian." dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri!
"Kau berhasil, Han-ko".!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai terbanting.
Biruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han, mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.
Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan, segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong biruangnya. Melihat kakaknya dipondong biruang itu, teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan. Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam daripada anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih indah daripada semua ruangan di atas! Benda-benda yang berada di situ berkilauan, terbuat daripada emas dan perak. Biruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat daripada batu putih bersih dan mengkilap, kemudian biruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang terbuat daripada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis.
Biarpun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar gosong, adapun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.
"Koko", Han-ko".. ahhh, Koko".!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam, akibat dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan ilmu kaum bersih! Melihat keadaan kakanya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinking ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka, biarpun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta, bersamadhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han!
Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali den rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.
"Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat..." katanya halus sambil mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan. Lulu membuka matanya akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan indah itu dengan pandang matanya.
Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung, yang tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung! Adapun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi daripada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan kekerasan hati dan kekejaman yang membayangkan pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada cacadnya.
Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku biruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri didepan patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa saying, akan tetapi selalu ia kembali ke patung aebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacad itu sambil mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat biruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu tertawa.
Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa biruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini, suara badai mengamuk tidak terdengar lagi dan mereka memang aman daripada gangguan suara den ancaman hujan butiran ea keras yana beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat biruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu" Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
"Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung daripada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat"."
Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga buah patung itu menggambarkan Seorang laki-Jaki muda dan tampan dan dua orang wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es" Akan tetapi, menyaksikan sikap biruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga patung itu sambil berkata.
"Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."
Biruang itu kelihatann girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya!
"Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.
"Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi"
"Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan seperti orang-orang lemah"
"Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat biruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Mereka adalah penghuni istana ini dahulu, entah berapa puluh tahun yang lalu. Menurut percakapan tokoh-tokoh yang kudengar, Pulau Es ini dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu suci pernah mendongeng bahwa di sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia yang maha sakti seperti dewa"."
"Ah". Cici Kim Cu yang baik itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia mencintamu, Koko".!"
"Husssh, yang bukan-bukan s.aja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini jangan bicara begitu"
Kembali mereka berdua memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa kini biruang itu duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng dan tenang, juga sikap binatang itu jelas menunjukkan ketaatan dan penghormatan yang mendalam. Patung-patung itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han Han yang mempelajari wajah patung-patung itu melihat betapa mata patung pria itu mengandung kebijaksanaan yang luar biasa, mendatangkan rasa kagum dan tunduk. Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan budi dan sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah kanan. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita secantik ini, cantik dan menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu berdeber jantungnya, seakan-akan ia terangsang oleh wajah cantik dan bentuk tubuh yang elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup, tentu ia akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan. Sifat keras hati dan ganas yang terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang lebar indah itu baginya malah menambah daya tarik.
Menjelang senja, badai di luar Istsna Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari tempat rahasia itu. Han Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga patung itu sambil berlutut. Kemudian, didahului oleh biruang yang agaknya telah tahu bahwa badai telah berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia. Setibanya di luar, seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri! Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini" Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketentereman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.
*** Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang laJu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo" Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.
Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis taut sendiri. Adapun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bamboo-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu. Pada ssat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Lia bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapapun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.
Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.
Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biarpun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas daripada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.
"Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil".!" Teriaknya
Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah puJau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, dibagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika. Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup, dan biarpun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terendam di air laut terlalu lama, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika!
"Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus" teriak Setan Sotak dengan nyaring dan terheran-heran.
"Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak. Adapun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu. Pertandingan hebat din mati-matian terjadilah di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biarpun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukuJan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.
Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah perajurit-perajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biarpun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan. Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguhpun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apalagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya. Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih maupun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa Kaoi-lojin, seorang mewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing.
Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa diantara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.
Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu, telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu. Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu. Adapun Kek Bu hwesio tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja. Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika di mainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.
Betapapun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput daripada luka-luka bacokan golok. Biarpun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biarpun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi. Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.
Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik daripada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah. Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.
Siapakah mereka ini" Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es, bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai, mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu. Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga manusia, betapapun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.
Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar di jauh. Karena ini, mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat maupun sekutu sungguhpun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu.
Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah, tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Khok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Set an Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.
"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sutenya. Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main melihat munclnnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam. Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo, dan dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula. Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sutenya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.
Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya. "Dukkk!" Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam sinar pedang, akan tetapi biarpun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundak berdarah! Pada saat itu, sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.
"Ha-ha-ha." Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu. Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinhinan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap!
Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti fihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit. Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau, mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.
Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh den enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha!"
Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di de pan mata" Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini" Adapun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu. Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!
Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka, tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong. Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat" Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu! Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka! Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti itu"
Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-l.ahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biarpun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekalipun menjadi bergidik.
Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.
"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apabila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."
Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih, "Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bias mempunyai pulau ini" Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa" Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Sementara itu, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang menyaksikan keadaan kakek ini, menjadi khawatir hati mereka. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berfihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri. Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa, selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah" Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.
"Dessss"..! Desssss".!"
Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mujijat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya den tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri.
Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-Wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri..."
Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget, "Koai-lojin.....!"
Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yanng melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan, sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadiah ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak.
Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar pedang dan..... "Trangggg....!!" Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat. Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang penting.
"Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan kuatnya..."
Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan mendapat.
"Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia." Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata.
"Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar."
Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ, terrnasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti iblis, tidak berani membantah lagi.
Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap. Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun akhirnya tidak berhasil juga dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan. Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek neJayan:
"Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa!
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia....!
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari!"
Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi andaikata ada yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar!
*** "Han-ko....! Sadarlah! Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ!" Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya, biruang es sedang menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia menciumm ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han, usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah, tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat membayangkan tenaga sakti yang amat kuat. Adapun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang pinggangnya kecil, tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu. Dia sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat mentakjubkan. Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar! Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin daripada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya
sampai membeku!
"Koko! Terlalu sekali kau! Masa aku kaudiamkan sampai tiga hari tiga malam" Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik!" Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel!
Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam samadhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya, dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali. Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia telah mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam samadhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apabila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko... Han-ko.... tolong..... Paman Beruang diserang ular....!"
Kalau lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan samadhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan membuka matanya. Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musubnya sudah mulai terang, ia menoleh. Dilihatnya Lulu, sedang menarik seekor ular dari leher biruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa biruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi menggigit leher biruang dan membelit leher itu.
Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan sin-kang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh biruang dan ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali. Ular merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu! Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu .tidak dapat melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli.
Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.
"Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu!" tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan lulu. Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau apa kau" Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh!" Lulu mengomel.
"Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat Paman Biruang itu!" Han Han menunjuk ke bawah, Lulu menengok ke arah biruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh biruang sambil memekik-mekik memanggil.
"Paman Biruang.... Paman.....! Akan tetapi biruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah.
Sampai lama Lulu menangisi biruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut menangisi biruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.
"Apa yang kaulakukan itu, Koko" Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit! Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andaikata ular itu dapat bersuara, tentu sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko, kenapa tidak kaubunuh saja dia"
"Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Biruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan! Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum!"
"Ihhh, jijik! Aku tidak mau!"
"Mengapa, Lulu" Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman Biruang! Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian raman, Biruang"
"Tentu saja! Biar kuhancurkan kepalanya!"
"Eiiiiit, jangan! Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Biruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Biruang." Berkata demikian, sinar mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.
"Koko, kau tidak menengok... dia...." Lulu menuding ke arah tubuh biruang
yang sudah menjadi mayat.
"Perlu apa" Dia sudah mati. Dia bukan Paman Biruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini." Setelah berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah menetes, makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat biruang di mana Lulu berlutut sambil membelai bulu biruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Biruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular." Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu.
Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai. "Ihhh, aku... jijik...., Koko!"
"Lulu," kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya. "Rasanya manis dan enak pula .apakah kau tidak mau menyenangkan
arwah Paman Biruang" Dia saat ini mungkin sedang menggereng marah meliha ketidaksetiaanmu."
Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai biruang itu. Kebetulan sekali muka biruang itu menghadapnya dan biruang itu mati dengan mata terbuka. Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata biruang yang sudah mati itu mendelik marah
kepadanya! Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
"Koko.... badanku.... menjadi panas....!"
"Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kaubantu aku memanggang daging ular, kita makan didepan mayat Paman Biruang sebagai upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Biruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Biruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal
kepalanya saja."
Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki depan biruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu.
"Upacara" makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu! Setelah itu, mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur mayat biruang bersama kepala ular. Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk lubang itu. Teringat kepada biruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali den terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan biruang. Han Han membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan kuburan biruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat ukirukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian membaca huruf-huruf terukir itu.
"Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es"
Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat" Teringatlah ia akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat! Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat! Kalau begitu, suheng dari Ma-bjn Lo-mo itukah penghuni Pulau Es" Patung pria yang tampan itu adakah itu Suma Hoat" Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah. Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah membunuh biruang"
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik hatinya, apalagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan biruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh di bawah agar tidak tampak!
Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat Lulu menangis makin keras, sampai gadis ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya, kemudian setengah
memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di taman.
"Sudahlah, Adikku. Untuk apa ditangisi lagi" Biar engkau menangis air mata darah sekalipun, Paman Biruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya.!"
Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian biruang jadi teringat akan kematian orang tuanya. Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali ada ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat daripada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya.
Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam bulan purnama clan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh!
"Han-ko..... ah, Han-ko....."
Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan, tubuhnya panas dan telinganya mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu" Dan apa yang terjadi pada dirinya" Ia merasa panas sekali!
"Lulu...!"
"Han-koko....!" Suara gadis itu seperti mengerang lirih, muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi mereka. Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium bau harum yang tak pernah selamanya ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan mulutnya! Gilakah dia" Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman, mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
"Aku... aku.... panas sekali...." dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.
"Aku pun.... begitu..... Koko...." Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan bertemu.
Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh. "Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih baik kubuka bajuku!"
Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.
"Lulu! Kau kenapa" Han Han membentak karena pandang mata itu seperti menembus dadanya dan mendatangkan rangsang yang lebih hebat lagi. Ia seingaja membentak marah untuk menutupi perasaannya.
Lulu terkejut dan menggeleng-geleng kepala. Pipi gadis itu menjadi merah seperti dibakar dan pandang matanya seperti orang mabuk. "Entahlah...... aku...... pun merasa panas sekali, tak tertahankan, Koko....." Gadis itu seperti dalam keadaan tidak sadar membuka kancing bajunya bagian atas sehingga tampaklah pakaian dalamnya yang tipis. Han Han meramkan matanya dan meloncat bangun. Ia mengerahkan seluruh sinkangnya untuk melawan perasaan panas ini, akan tetapi hasilnya malah membuat tubuhnya makin panas, lalu berubah dingin, dan seluruh tubuh seperti dimasuki gelembung-gelembung tenaga mujijat yang membuat ia merasa seperti sebuah bola karena penuh angin. Ia mengeluh danterhuyung-huyung.
"Han-ko....., kau kenapa..... hati-hati, kau bisa jatuh!" Lulu meloncat bangun dan memeluk kakaknya untuk mencegah kakaknya terguling. Akan tetapi sentuhan tubuh mereka yang tadinya sebagai sentuhan seperti biasa itu mendatangkan getaran yang mujijat dan mereka akhirnya berpelukan dan kembali mereka berciuman dengan penuh nafsu, penuh gairah dan dalam keadaan tidak atau setengah sadar! Seluruh hati dan pikiran mereka sepenuhnya dikuasai oleh nafsu yang bergolak tak tertahankan, membuat darah mereka mendidih dan pikiran mereka gelap. Mereka lupa segala, saling membelai mesra, berdekapan dengan mata dipejamkan. Ketika Han Han membuka mata dan melihat betapa tanpa disadari ia hampir menelanjangi Lulu yang tidak melawan bahkan membantunya penuh gairah nafsu berahi, ia terkejut seperti disambar halilintar. Kekuatan batin dan sinkang Han Han jauh lebih besar daripada Lulu, maka ia masih dapat sadar dan cepat ia mendorong tubuh adiknya itu sehingga Lulu terhuyung dan roboh terlentang dengan napas terengah-engah dan mata terpejam, tubuh menggeliat-geliat.
"Lulu! Itti tidak benar! Engkau Adikku!!" Han Han berkata, berteriak dengan suara nyaring.
"Han-ko..... ahhh, Han-ko..... jangan tinggalkan aku.... aku bukan Adikmu,
Han-ko.....!"
"Gila!" Han Han membentak lagi, menahan diri sekuatnya agar tidak menubruk dan memeluk gadis itu, melanjutkan hasrat berahi yang memenuhi benak dan hatinya. "Kita keracunan! Ular merah itu! Keparat....!" Terlintas dalam benaknya bunyi tulisan pada batu dan kini mengertilah ia mengapa Suma Hoat mengutuk ular salju merah. Agaknya Suma Hoat juga makan daging dan darah ular itu dan merasa pula rangsangan nafsu berahi seperti ini. Teringat akan ini, Han Han lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan tubuhnya meloncat keluar dari dalam pondok itu. Ia berlari-lari seperti orang gila menjauhi pondok dan ketika ia tiba di pantai yang berbatu-batu, ia lalu mengamuk. Dipergunakan kaki tangannya untuk memukul, menendang, dengan pengerahan tenaga sinkang, kadang-kadang menggunakan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang di luar kesadarannya, akan tetapi lebih banyak ia menggunakan tenaga Im-kang. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika batu-batu besar itu pecah berantakan oleh amukan Han Han yang seperti telah menjadi gila. Han Han terus mengamuk sepanjang malam sampai pagi, sampai habis tenaga sinkangnya dan ia menggunakan tenaga biasa sehingga kaki dan tangannya luka-luka dan akhirnya ia roboh pingsan di antara batu-batu yang sudah hancur berantakan itu.
Matahari telah naik tinggi ketika Lulu mengguncang-guncang tubuh Han Han yang menggeletak di pantai, tubuh atas telanjang, tangan kaki luka-luka. Gadis itu menangis dan memanggil-manggil.
"Han-koko". Han-ko".. jangan tinggalkan aku"..! Han-ko"..!!"
Han Han membuka matanya, mengejap-ngejapkan matanya karena silau oleh sinar matahari.
"Han-ko, kau kenapakah " Lulu bertanya penuh kekhawatiran, air mata masih membasahi kedua pipinya.
Han Han menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningannya. Juga mengusir pemandangan yang aneh. Kini, melihat wajah Lulu yang cantik, sepasang pipi yang merah itu, ia merasa berbeda dari biasanya. Tidak seperti biasanya ia memandang gadis ini seperti adiknya. Kecantikan Lulu kini menyentuh hatinya dan membingungkannya, sungguhpun gairah gila seperti yang mendorongnya malam tadi sudah lenyap.
"Tidak apa". Aku".. aku hanya mimpi buruk".. tanpa sadar, kuhantami batu-batu ini"." ia melihat kaki dan tangannya yang lecet-lecet.
"Aku pun mimpi, Koko. Mimpi aneh akan tetapi indah sekali".."
"Mimpi apa" Han Han memandang tajam, diam-diam memaki diri sendiri nengapa kini Lulu tampak lain dalam pandangannya.
"Aku tadi pagi terbangun di pondok taman dan".. dan pakaianku tidak karuan, aku mimpi".. engkau seperti bukan Kakakku, melainkan". ah, sungguh aneh akan tetapi aku aku senang sekali, Koko"." Dan gadis itu menundukkan mukanya. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan sampai ke telinganya.
"Hushhh! Kau gila! Kita keracunan ular keparat itu!"
Lulu memandang muka Han Han penuh selidik. Gadis ini masih terlalu murni dan polos dan dia bertanya, "Betulkah, Koko" Keracunan ular itu" Akan tetapi"., setelah mimpi itu, aku". heran sekali, kau seperti bukan Kakakku dan aku khawatir kalau-kalau kau akan meninggalkan aku"
"Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Lulu, kita harus meninggalkan pulau ini." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tetap karena di dalam hatinya Han Han maklum bahwa makin lama mereka berada di pulau itu, makin besar bahayanya dan ia khawatir bahwa akhirnya ia tidak akan kuat bertahan. Ia mengeraskan hatinya, memusatkan tenaga batinnya dan kemauannya untuk mengambil keputusan bahwa gadis ini adalah adiknya, adiknya! Ia merasa kuat kini dan mulai berani memandang wajah Lulu lagi, diperkuat oleh kemauannya yang memaksa hati dan pikirannya bahwa Lulu adalah adiknya, bukan orang lain dan bahwa tidak boleh ia mencinta Lulu seperti perasaannya malam tadi. Lulu adiknya! Lulu adiknya! Kekuatan kemauan Han Han memang luar biasa dan ia sudah tenang kembali. Sambil tertawa ia menangkap tangan Lulu, diajak bangkit berdiri dan sambil berkelakar ia berkata.
"Kita harus membuat perahu, kita akan meninggalkan tempat ini secepat mungkin! Kau bocah malas, harus membantu!"
Kekuatan kemauan yang tetpancar keluar dari mat a Han Han mempengaruhi Lulu pula. Gadis itu pun menjadi biasa dan bertanya keras.
"Pergi ke mana, Koko"
"Eh, anak bodoh dan pelupa. Apakah kau selamanya akan tinggal di pulau ini sampai menjadi nenek-nenek" Apakah kau tidak ingin rnencari musuh besarmu"
Lulu menjadi bersemangat. "Betul! Kita harus pergi mencari musuh besar kita!"
Demikianlah, kedua orang muda itu lalu mulai membuat perahu. Han Han bukan seorang ahli maka tentu saja membuat perahu amatlah sukar baginya. Namun, berkat tenaga dan kemauannya yang kuat, tiga hari kemudian selesailah dia membuat sebuah rakit dari kain dan bambu seadanya, menggandeng-gandengnya dengan ikatan akar yang cukup kuat. Ia menyediakan dua buah cabang pohon untuk mendayung. Baru saja selesai ia mengikat sambungan terakhir, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras sekali dan terdengar Lulu berlari-lari sambil menjerit-jerit.
"Ular".! Ular"..! Banyak sekali ular"..!"
Han Han terkejut dan menengok. Dilihatnya Lulu beriari-lari menghampirinya dengan wajah pucat penuh jijik dan dari jauh tampaklah ratusan, mungkin ribuan ekor ular merah mendatangi sambil mengeluarkan suara mendesis mengerikan sekali.
"Cepat! Naikkan bekal makanan dan air itu ke atas perahu!" teriak Han Han dan sibuklah mereka mengangkuti bekal makanan dan minuman ke atas perahu. Beberapa
Pendekar Pemetik Harpa 14 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Jodoh Si Mata Keranjang 4
^