Perkampungan Misterius 2

Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Bagian 2


norama pegunungan Hoa San ini sangat kontras dengan suasana di markas besar partai Hoa-San-Pai, mendung duka menyelimuti Hoa-San-Pai sejak
ditemukannya bunga partai Hoa-San-Pai, Hu Bi Li, tewas mengenaskan. Hu Bi Li
merupakan kembangnya Hoa-San-Pai, terutama bagi murid-murid angkatan muda partai ini, merasa sangat kehilangan Bi Li yang terkenal halus budi, ramah dengan kecantikan yang sungguh jarang dianugerahi alam.
Kedatangan Kim Han Seng cukup menghibur hati Master Hu yang sedang berduka. Master Hu menuturkan kejadian yang menyedihkan tersebut. Sehari sebelum kematiannya, Bi Li meninggalkan Hoa-San-Pai mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di kota raja. Hu Bi Li ditemukan mati di salah satu kamar rumah penginapan di kota Gui-yang dalam keadaan telanjang bulat di atas pembaringan oleh salah satu pelayan rumah penginapan tersebut. Petugas pemerintah yang datang tak lama kemudian tidak menemukan petunjuk apa pun.
"Sebaiknya cayhe langsung mendatangi ke rumah penginapan tersebut, siapa tahu ada petunjuk-petunjuk yang kelewat" kata Kim Han Seng serius.
"Beritahu ayahmu Han Seng, lohu sangat berterima kasih atas perhatiannya, semoga engkau dapat menemukan jahanam yang membunuh Bi-Li" kata Master Hu dengan sorot
mata membara. "Baik Master, cayhe berangkat sekarang juga" kata Kim Han Seng pamitan.
Kim Han Seng memasuki kota Gui-yang dengan menyamar sebagai seorang siucai
pelancong. Dengan dandanan baju putih bersih dengan sebuah kipas besar yang dikipas-kipas di depan dadanya, Kim Han Seng berjalan perlahan-lahan menyusuri jalanan kota yang ramai. Kepalanya sesekali celingukan seolah-olah terpesona dengan keindahan kota Gui-yang, namun matanya yang jeli sudah mengetahui letak rumah penginapan di mana Bi-Li menginap.
Rumah penginapan tersebut terdiri dari dua tingkat dimana di lantai pertama adalah rumah makan yang cukup ramai, sedangkan dibagian lotengnya terdiri dari kamar-kamar
penginapan. Rumah penginapan tersebut milik Ciu-wangwe yang terkenal dekat dengan kalangan pemerintahan kota setempat.
Sorot tajam matahari siang itu menciptakan bentangan air warna keperakan di atas permukaan genteng-genteng rumah di sisi jalan. Meskipun terik memanggang, kesiur angin sejuk dari sisi perbukitan sebelah barat cukup membantu mengurangi sengatan matahari. Kota Gui-yang memang terletak di kaki bukit hingga suasana kota cukup sejuk di siang hari.
Kim Han Seng melangkahkan kaki memasuki warung makan penginapan yang cukup
ramai saat itu. Memilih meja yang berada di salah satu sudut yang menghadap jalanan, Kim Han Seng memesan beberapa macam sayur, seporsi burung dara serta sepoci teh
hangat. Sambil menunggu hidangannya, Kim Han Seng mengamati tamu-tamu yang dating,
sebagian besar adalah pedagang-pedagang luar kota mengisi perut mereka yang
keroncongan. Ada beberapa penduduk setempat, kaum kangouw kelas dua dan beberapa petugas pemerintah.
Kim Han Seng mengamati salah satu petugas pemerintah yang duduk bersama tiga orang kawannya. Lapat-lapat dirinya seperti pernah mengenal wajah petugas pemerintah
tersebut. Namun belum sempat ia mengingat-ingat, petugas pemerintah yang juga sempat memperhatikan Kim Han Seng ketika memasuki warung makan, menghampiri meja Kim
Han Seng. "Kalau cayhe tidak salah, sicu adalah Kim Han Seng dari perkampungan Kim-khe-sanceng. Mungkin sicu lupa dengan cayhe, Sim Gan, salah satu bawahan Sie Ban Tiong, sekarang kepala penyelidikan di kota raja."
"Oh, rupanya Sim-heng, benar-benar cayhe rasanya pernah melihat wajah Sim-heng tapi lupa di mana. Rupanya sekarang Sim-heng menjadi petugas pemerintah di kota ini?" kata Kim Han Seng.
"Ya, sejak dua tahun lalu cayhe dipromosikan Sie Ban Tiong menjadi kepala penyelidikan di kota ini."
"Selamat..selamat Sim-heng, kebetulan cayhe sedang melakukan penyelidikan, mungkin Sim-heng dapat membantu?" tanya Kim Han Seng serius.
"Tentu saja cayhe mau membantu Kim-heng, kalau bukan berkat bantuan perkampungan Kim-khe-san-ceng mengungkapkan siapa pembunuh Han-wangwe, kami belum tentu
dapat menutup kasus tersebut. Tapi kalau boleh tahu, kasus apa yang sedang Kim-heng selidiki?"
"Mungkin Sim-heng sebagai kepala penyelidik kota ini tahu mengenai terbunuhnya
seorang gadis kangouw, putri ketua Hoa San Pai, di penginapan ini"
"Oh, kasus itu, kebetulan waktu cayhe langsung turun tangan menangani kasus tersebut.
Memang benar-benar kejam penjahat yang membunuh dan memperkosa gadis itu"
"Apakah ada petunjuk-petunjuk dari hasil penyelidikan Sim-heng?"
"Tidak ada petunjuk apa pun, penjahatnya benar-benar lihai dan kasus ini cukup susah di ungkap. Cayhe sudah mencatat semua keterangan saksi-saksi, mulai dari pelayan yang menemukan gadis itu pertama kali, tamu-tamu penginapan, pemilik rumah penginapan dan lainnya. Kalau Kim-heng berminat, mungkin dapat mampir ke kantorku?"
"Terima kasih Sim-heng, mungkin besok pagi cayhe datang ke kantor Sim-heng, saat ini cayhe mau melihat-lihat dulu lokasi pembunuhan"
"Itu gampang, pelayan lekas kemari!" teriak Sim Gan.
"Ya, Sim-kongcu, apa yang bisa cayhe bantu" tanya pelayan terburu-buru.
"Tolong ajak Kim-kongcu ini ke kamar gadis yang terbunuh beberapa waktu yang lalu"
perintah Sim Gan.
"Terima kasih, Sim-heng, cayhe berangkat dahulu" kata Kim Han Seng pamitan.
Ditemani si pelayan, Kim Han Seng menaiki loteng rumah penginapan menuju kamar
tempat Hu Bi Li menginap. Kamarnya terletak paling sudut dari loteng tersebut.
"Sungguh sial kongcu, sejak gadis tersebut ditemukan mati di kamar ini, banyak tamu yang menolak memakai kamar ini, mereka takut" kata si pelayan mengomel panjang pendek.
Kamar tersebut telah dibersihkan, tidak kelihatan pernah terjadi peristiwa pembunuhan di kamar ini. Seperti layaknya kamar penginapan kelas satu, di tengah ruangan terdapat sebuah meja dengan dua buah kursi. Dibagian sudut tampak sebuah lemari pakaian dan meja tempat rias muka. Pembaringan terletak di pinggir tengah kamar tersebut dengan kelambu putih tembus pandang menutupi pembaringan. Di tengah ruangan tergantung
sebuah lampu lampion merah menambah keindahan kamar penginapan ini. Sekian lama
memeriksa kamar tersebut, Kim Han Seng tidak menemukan petunjuk apa pun hingga ia menyerah dan meminta si pelayan menyediakan kamar buatnya, ia ingin memulihkan
tenaga sebentar sebelum keesokan harinya berkunjung ke kantor Sim Gan.
Keesokan harinya Kim Han Seng mampir ke kantor Sim Gan dan memeriksa catatan-
catatan hasil pemeriksaan beberapa saksi mata. Tidak banyak yang bisa diperoleh dari kesaksian para saksi mata, umumnya mereka mengetahui Hu Bi Li menginap di kamar
paling ujung namun ketika pembunuhan terjadi, tak seorang pun mendengar suara yang mencurigakan. Kemudian Kim Han Seng memeriksa daftar tamu rumah penginapan,
ditelusurinya satu persatu nama-nama tamu tersebut sambil berharap dapat menemukan nama yang dikenalnya. Namun harapannya sia-sia, tak satupun nama-nama para tamu
tersebut dikenalnya.
Di bagian lain kota Gui-yang nampak seorang pemuda berwajah tampan dengan baju
putih bersih melenggang dengan santai sepanjang jalanan kota yang cukup ramai dengan hiruk pikuk kesibukan penduduknya. Pemuda itu adalah Tan Hong, dia baru saja tiba di kota ini dengan perut kosong keroncongan. Dia segera memasuki sebuah rumah makan yang menguarkan bau harum masakan ke jalanan, perutnya berbunyi semakin keras
memprotes minta di isi.
Tan Hong segera memesan beberapa macam sayur dan sepoci arak, dengan lahap ia
menikmati bebek panggang Peking yang dipesannya. Rasanya ternyata sangat lezat, tidak kalah dengan masakan rumah makan besar di kota raja.
Selagi menikmati makanannya, tampak seorang gadis muda yang sangat cantik memasuki rumah makan. Setiap mata para tamu memandang kagum melihat kecantikan yang luar
biasa tersebut bahkan kaum pria yang berpengalaman tidak malu-malu memandang
dengan mata mendelong mengikuti setiap gerak tubuh di gadis muda tersebut. Wajah menawan gadis tersebut telah menarik perhatian para pelanggan rumah makan dari
makanan mereka.
Gadis tersebut berusia awal dua puluhan, berbaju hijau berbunga-bunga, wajahnya yang halus dengan senyuman di ujung bibir mungil yang merah delima, membuat siapa pun yang melihatnya pasti terpesona. Dari balik tubuh yang ramping tersebut, lapat-lapat tercium aroma wangi tubuh seorang dara muda. Alis yang lentik dan gerakan lemah
gemulai membuat para tamu tak menyangka gadis tersebut adalah gadis kangouw namun sarung pedang yang tersoreng di belakang punggung si gadis mengkonfirmasikannya.
Gadis tersebut duduk di satu-satunya meja yang masih kosong, tepat berhadapan dengan meja Tan Hong. Mata Tan Hong saling bertatapan sekejap dengan mata si gadis muda itu, walaupun hanya sekejap tak dapat diingkari sinar kekaguman terpancar dari mata
keduanya. Diam-diam si gadis mengagumi ketampanan wajah Tan Hong, begitu pula
sebaliknya. Selama berkelana di dunia persilatan, baru kali ini Tan Hong menjumpai seorang gadis yang memiliki kecantikan yang sesuai dengan angan-angannya di masa kecil. Memang tak dapat dipungkiri, dirinya telah banyak mengenal gadis-gadis cantik yang tak kalah cantiknya dengan gadis yang berada di hadapannya ini, namun entah kenapa melihat gadis ini hatinya berdebar-debar kencang seolah-olah seorang pemuda yang baru mengenal asmara.
Gadis tersebut memalingkan wajah terlebih dahulu, dengan suara lembut ia memesan beberapa macam masakan. Tatapan mata Tan Hong, entah kenapa membuatnya
berdegup, gugup dan juga gelisah, padahal ia sudah terbiasa melihat pandangan kagum banyak pemuda yang ia jumpai dalam perjalananan di sungai telaga. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang mampu mengoncangkan sisi terdalam hatinya.
Sementara Tan Hong sesekali melirik gadis di hadapannya ini, paras wajah gadis ini seolah membangkitkan kembali kenangan lamanya. Sesosok bayangan yang masih
mengenangi pikirannya, sekilas terbayang wajah rupawan di ujung sana dengan lirikan nakal di wajah rupanya yang semu ayu. Perih di hatinya terkuak kembali kala teringat kembali kenangan tersebut. Waktu belum cukup lama untuk mengakhirinya. Wajah gadis ini memang mirip hanya gerak-geriknya berbeda, lebih lembut dan halus, tidak ada kesan nakal sedikitpun.
Kim Han Seng memasuki warung makan dengan wajah lelah sehabis seharian di kantor Sim Gan memeriksa berkas-berkas perkara Hu Bi Li. Kedatangan Kim Han Seng tidak
luput dari perhatian si gadis muda, rupanya dia mengenal siapa adanya Kim Han Seng.
Melihat seorang dara cantik menatap ke arahnya dengan tatapan mengenal, Kim Han
Seng berhenti sejenak di depan meja gadis muda tersebut.
"Maaf nona apabila cayhe lancang, apakah kita pernah bertemu sebelumnya"
Gadis tersebut bangkit berdiri dan berkata "Sicu pasti Kim Han Seng, suami cici Tong Lan"
"Benar nona, apakah nona mengenal istriku?"
"Tidak, tapi aku pernah melihat sicu dan cici Tong Lan beberapa tahun yang lalu di perkampungan keluarga Tong. Waktu itu kebetulan aku mampir di sana mengunjungi
sahabatku, Tong Hui"
"Oh, rupanya nona sahabat karib Tong Hui."
"Benar, waktu itu kebetulan ketika sicu datang, aku sudah mau pulang hingga tidak sempat bertemu muka. Kelihatannya sicu sedang menghadapi suatu perkara pelik, aku sering mendengar dari Tong Hui kehebatan perkampungan Kim-khe-san-ceng dalam
membongkar perkara-perkara misterius"
"Wah, rupanya Tong Hui sudah bercerita banyak mengenai perkampungan kami" kata Kim Han Seng sambil duduk di meja gadis muda tersebut.
Mereka berdua kemudian terlibat pembicaraan sambil menikmati hidangan yang tersedia.
Tan Hong sendiri yang mengikuti pembicaraan keduanya, diam-diam terkejut mendengar gadis muda yang dikaguminya ini adalah teman baik Tong Hui. Tentu saja dia mengenal nama Kim Han Seng, lebih-lebih Tong Hui. Setahun yang lalu dia pernah berkenalan dengan Tong Hui, anak bungsu keluarga Tong, yang terkenal kecantikannya. Hubungan mereka berdua bukan sekedar teman biasa tapi lebih dari itu. Seberapa dalam hubungan tersebut hanya diketahui oleh mereka berdua. Dari pembicaraan keduanya, Tan Hong dapat mengetahui nama gadis tersebut yaitu Thio Siu Ci.
Warung makan tersebut makin lama semakin penuh dengan kedatangan tamu hingga
tersisa hanya satu meja kosong saja. Tampak di depan pintu masuk kembali datang
sepasang tamu, yang satu seorang kakek tua sedangkan yang disampingnya mengiringi seorang pemuda dengan sorot mata sedingin es. Mereka adalah Ban-Li-Tok-Heng (si
kelana tunggal berlaksa li) dan cucunya. Sejak gagal dalam usaha mendapatkan buah dewa buat cucunya, Ban-Li-Tok-Heng mengajak cucunya berkelana hingga akhirnya
mereka tiba di rumah makan ini.
Baik Kim Han Seng, Thio Siu Ci serta Tan Hong segera dapat merasakan kehadiran
seorang jago silat kelas wahid dari balik tubuh kakek tua ini. Mereka menduga-duga, siapa gerangan kakek tua tersebut, terutama Kim Han Seng yang memiliki segudang
pengalaman di sungai telaga. Dia tidak dapat menduga sedikitpun jati diri si kekek. Bagi jago silat kelas satu, mereka seolah memiliki naluri yang tajam dalam mendeteksi lawan yang memiliki ilmu silat setingkat atau lebih tinggi. Naluri ini di peroleh berkat pengalaman berkecimpung di sungai telaga selama bertahun-tahun, bahkan tidak jarang ketajaman naluri tersebut dapat menyelamatkan jiwa mereka. Begitu pula kali ini, baik Kim Han Seng, Thio Siu Ci dan Tan Hong tidak berani memandang enteng kakek tua tersebut.
Baru saja Ban-Li-Tok-Heng dan cucunya duduk di meja kosong terakhir, masuk sesosok tubuh ramping milik seorang dara muda yang memiliki kecantikan tersendiri. Dengan baju berwarna hijau dan sarung pedang tersoreng di punggungnya, gadis tersebut memandang sekeliling ruangan mencari meja kosong. Tiba-tiba matanya menangkap wajah seorang pemuda yang tidak akan pernah ia lupakan, duduk sendirian di meja yang berada di sudut rumah makan tersebut.
Mata si gadis yang lentik, perlaan-lahan mengeluarkan sinar berkilat tanda dirinya mulai dikuasai emosi. Dengan cepat gadis tersebut menghampiri pemuda tersebut, yang tak lain tak bukan adalah Tan Hong. Tan Hong sendiri rupanya mulai mengenali wajah gadis
tersebut, dirinya kembali teringat kejadian beberapa minggu yang lalu, di tepi sungai di dalam hutan, menyaksikan tubuh gadis ini yang mulus dengan sepasang buah dada yang ranum segar, berenang di dalam sungai yang jernih.
Belum lagi Tan Hong sempat bereaksi, gadis muda tersebut telah berada di hadapannya dan berkata dengan suara menahan emosi.
"Akhirnya aku dapat menemukanmu, pemuda kurang ajar! Saatnya aku membuat
perhitungan dengan dirimu berikut bunganya."
"Srii ng!" gadis tersebut mencabut pedang di punggungnya, lalu melancarkan serangan secepat kilat ke arah badan Tan Hong yang masih dalam posisi duduk di meja dengan tenang.
Dari gerakan gadis tersebut, dapat diketahui memiliki ilmu pedang yang tidak dapat dianggap enteng, hanya jago silat kelas satu yang dapat menghindari serangan tersebut.
Dengan gerakan lee-hie-tha-teng (ikan gabus melentik), Tan Hong berhasil menghindar.
"Eiit, sabar dulu nona jangan begitu sewotnya" kata Tan Hong sambil sibuk menghindari serangan gadis tersebut yang makin lama makin hebat namun tidak dipedulikan si gadis.
Dia terus melancarkan serangan demi serangan tapi masih dapat dihindarkan lawannya hingga membuatnya makin kalap.
Pertempuran yang terjadi membuat para pelanggan rumah makan yang sedang asyik
menikmati hidangan pada kabur tunggang langgang ketakutan, hanya menyisakan
beberapa meja saja yang masih terisi diantaranya meja yang diduduki Ban-Li-Tok-Heng dan cucunya, meja Kim Han Seng dan Thio Siu Ci.
"Braak!" tiba-tiba terdengar suara meja digebrak seseorang.
"Kurang ajar, berkelahi di tempat makan, bikin orang sewot saja. Sana pergi keluar, jangan bertempur di sini" teriak Ban-Li-Tok-Heng..
Gadis muda tersebut tidak memperdulikan seruan Ban-Li-Tok-Heng, dia semakin
mencecar Tan Hong yang makin sibuk menghindar ke sana kemari. Dia merasa serba
salah, bila terus menghindar tanpa membalas keadaannya semakin runyam tapi kalau membalas serangan ia tidak tega. Ilmu pedang yang dimainkan si gadis kelihatannya berasal dari aliran Thian-san-pai yang sudah dikuasainya cukup sempurna. Gerakannya yang demikian ringan dan cepatnya menandakan bahwa ia seorang yang berkepandaian kelas satu, pasti termasuk murid utama Thian-san-pai batin Tan Hong sambil mengelak sambaran ujung pedang si gadis.
Melihat teriakannya tidak dipedulikan kedua orang yang sedang bertempur, Ban-Li-Tok-Heng semakin jengkel, sumpit ditangan kirinya dilemparkan ke arah pertempuran. Sumpit yang demikian ringan berada di tangan Ban-Li-Tok-Heng, berubah menjadi senjata yang mematikan. Luncuran sumpit menyambar dengan kecepatan yang susah diikuti dengan
mata awam, mengincar punggung gadis muda tersebut.
Walaupun sibuk melayani serangan si gadis namun sejak tadi Tan Hong sudah waspada terhadap si kakek tua. Melihat daya luncur sumpit yang demikian hebat, Tan Hong
khawatir si gadis tidak mampu menghalau sumpit tersebut, lebih-lebih ia melihat si gadis kelihatannya tidak menyadari bahaya yang mengancam punggungnya. Dengan gerakan
tuipo-lian-huan (mundur berantai), tangan kanan Tan Hong sempat meraih sumpit yang tergeletak di meja terdekat. Dengan sebat ia mengayunkan sumpit tersebut ke arah si gadis, daya luncurnya tidak kalah cepatnya dengan sumpit yang dilemparkan Ban-Li-Tok-Heng.
Melihat serangan yang tak terduga tersebut, si gadis sedikit terpaku namun ia segera sadar, dengan gerakan indah sekali gadis itu mengelak ke samping kiri. Gerakannya indah dan mampu menghindari serangan sumpit Tan Hong. Pada saat yang bersamaan sumpit
Ban-Li-Tok-Heng telah meluncur datang di sambut oleh sumpit Tan Hong.
"Traak!" Hanya dalam sekejap mata terjadinya. Kedua sumpit tersebut saling bentrok, patah menjadi dua potong dan jatuh ke lantai.
Gadis itu terkejut melihat ia lolos dari bokongan sumpit Ban-Li-Tok-Heng, baru sekarang ia menyadari telah di bantu Tan Hong, hatinya sedikit mereda.
"Kakek biar aku yang membereskan urusan ini" kata cucu Ban-Li-Tok-Heng yang bernama Hu Khi Cong sambil bangkit berdiri.
Si gadis setelah berhasil lolos dari serangan sumpit merasa marah ada pihak yang ikut mencampuri urusannya, terlebih melihat seorang pemuda yang sebenarnya cukup tampan namun sayang berwajah sedingin es menghadang dihadapannya. Tanpa sepatah kata
pun, si gadis menyerang Hu Khi Cong. Pedangnya berkelabat dengan ujung pedang
berubah menjadi beberapa, menyambar ke arah lawan dengan kecepatan kilat.
Sambil mendengus, Hu Khi Cong mengeser kakinya ke kiri lalu tangan kanannya
melayang dari samping menangkap pedang dengan kedua jeruji tangannya disertai tenaga lweekang. Betapapun gadis itu berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
Hu Khi Cong sebagai cucu satu-satunya Ban-Li-Tok-Heng, sudah mewarisi semua ilmu silat yang diwariskan kakeknya serta memiliki bakat silat yang tinggi hingga tidak heran dalam usia yang masih muda dia memiliki ilmu silat yang sempurna.
Sebenarnya ilmu silat gadis itu juga lihai dan tidak terpaut jauh dengan kepandaian Hu Khi Cong namun si gadis memiliki sifat yang mudah emosi serta memandang rendah lawan, akibatnya dia kecele, pedangnya berhasil ditangkap lawan.
Hu Khi Cong tidak berhenti sampai di situ, dengan tangan kanan memegang pedang
lawan, tangan kirinya dengan cepat menyambar ke arah pundak si gadis. Gadis itu
terpaksa melepaskan pegangan pedangnya dan mundur menghindari totokan tangan kiri lawan. Hatinya sangat penasaran, matanya berkilat memandang ke arah Hu Khi Cong
yang dengan angkuhnya menanti reaksi berikut si gadis. Namun belum sempat gadis itu melancarkan serangan baru, dari samping kanan Hu Khi Cong menghadang seorang gadis seusianya.
Gadis yang menghadang Hu Khi Cong ternyata Thio Siu Ci, sedari tadi ketika gadis yang menyerang Tan Hong memasuki rumah makan, dia segera mengenali gadis tersebut tapi belum sempat ia memanggil, si gadis telah terlibat pertempuran dengan pemuda yang dikaguminya tersebut. Thio Siu Ci tidak tahu apa yang menyebabkan si gadis datang-datang langsung menyerang pemuda itu, tapi ketika melihat gadis itu terancam, Thio Siu Ci segera menghadang Hu Khi Cong.
Melihat kehadiran Thio Siu Ci, si gadis dengan hati lega berseru manja "Siu cici rupanya engkau, tolong engkau bantu menghajar pemuda kurang ajar itu" katanya sambil
menuding ke arah Tan Hong.
"Sian-moi, memangnya apa yang dilakukannya?" tanya Thio Siu Ci.
"Di..aa"." si gadis tidak melanjutkan perkataannya, wajahnya sedikit memerah malu.
Mereka berdua saling berbicara tanpa memperdulikan keadaan sekelilingnya, membuat Hu Khi Cong tersinggung. Sorot mata mencorong di kuti dengan serangan ke arah Thio Siu Ci, pukulannya mendatangkan kesiuran angina yang mengarah bagian berbahaya di perut, sungguh merupakan serangan maut!.
Dengan gerakan yang kelihatannya lambat namun toh serangan Hu Khi Cong sama sekali gagal mencapai sasarannya.
"Hemm, sambutlah ini!" tiba-tiba Thio Siu Ci membalas menyerang dengan gerakan tui-it-cung-bongggoat (mendorong jendela melihat rembulan).
Terjadilah pertempuran yang lebih seru, belasan jurus berlalu cepat, masing-masing pihak saling mengeluarkan seantero kemampuannya. Jelas kelihatan keduanya berimbang, Hu Khi Cong menang dalam tenaga lweekang sedangkan Thio Siu Ci unggul dari segi
kelincahan dan kegesitan. Puluhan jurus mereka terus berusaha menjatuhkan lawan, sungguh merupakan pertempuran yang mendebarkan hati. Hu Khi Cong selama ini
menganggap dirinya tinggi dan memandang rendah kaum muda persilatan, ia yakin
dengan kepandaiannya saat ini boleh menjagoi angkatan muda. Tapi kenyataan yang
terbentang di depan mata, membuatnya sedikit mendelu, menghadapi seorang gadis yang lebih muda darinya, ia tidak dapat berbuat apa-apa, belum lagi pemuda yang menyertai gadis ini, mungkin ilmunya lebih tinggi, duga Hu Khi Cong.
Pikiran yang tidak fokus dalam pertarungan tingkat tinggi merupakan sesuatu yang tabu bagi jago kelas wahid, terutama bila lawan memiliki ilmu yang setingkat, menang kalah dapat ditentukan oleh faktor ini. Demikian juga dengan pertarungan kali ini, kesempatan ini tidak disia-siakan Thio Siu Ci. Sedikit kelengahan Hu Khi Cong segera dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya,
"Buukk!" pukulan Thio Siu Ci berhasil mengenai tepat dada lawan. Hu Khi Cong mundur sempoyongan akibat kerasnya pukulan yang diterimanya, dari sela-sela bibirnya yang rapat, keluar tetesan darah segar. Dengan mata terbelialak dan wajah kepucatan, dia menatap ke arah Thio Siu Ci, sorot matanya memancarkan rasa tak percaya, dirinya dapat dipercundangi oleh seorang dara muda.
Melihat cucu kesayangannya terluka, Ban-Li-Tok-Heng langsung menyerang Thio Siu Ci dengan terlebih dahulu mengeluarkan ilmu auman singa yang disertai lweekang puluhan tahun. Suaranya menggetar ke seluruh ruangan rumah makan, sungguh merupakan
demonstrasi ilmu yang menakjubkan.
Sukma Thio Siu Ci seolah-olah hendak copot mendengar auman tersebut, dirinya
merupakan pusat sasaran auman singa tersebut hingga efeknya tentu saja jauh lebih dashyat dari pada yang lainnya. Tubuhnya seolah terpaku, bagian dalam tubuhnya yang ramping terguncang hebat, segumpal darah naik ke atas tenggorokan mendesak keluar namun dengan sekuat tenaga ditahannya.
Auman singa Ban-Li-Tok-Heng di kuti dengan serangan kearah Thio Siu Ci yang
terkesima, mengarah ke pundak dengan kesiuran pukulan yang dashyat. Menyaksikan
Thio Siu Ci dalam bahaya, Kim Han Seng segera maju memapaki pukulan Ban-Li-Tok-
Heng, ia mengerahkan segenap kekuatan lweekang menyambut pukulan tersebut.
"Dukkkk!" Dua tangan mengandung tenaga lweekang saling berbentrokan. Ban-Li-Tok-
Heng masih berdiri tegak, tubuhnya hanya bergoyang sedikit. Akan tetapi akibat benturan itu membuat Kim Han Seng terhuyung-huyung ke belakang sampai tiga tindak.
Kedua tangan Ban-Li-Tok-Heng kembali bergerak mengancam Thio Siu Ci. Begitu
cepatnya gerakan tersebut hingga serangan itu berubah-ubah bagai bayangan. Kali ini Thio Siu Ci sudah sadar dari kekagetannya, dengan gerakan yang indah sekali gadis itu mengelak tanpa menangkis. Namun ke dua tangan Ban-Li-Tok-Heng bagaikan mempunyai mata, mengikuti sasarannya dengan kesiuran angin menderu-deru. Thio Siu Ci terus berusaha menghindar, dia tahu dalam hal tenaga dalam masih kalah jauh dengan Ban-Li-Tok-Heng, sebisa mungkin ia mengandalkan kelincahan tubuhnya. Lama kelamaan Thio Siu Ci semakin terdesak dan semakin susah mengelak dari serangan Ban-Li-Tok-Heng yang makin menghebat, mempersempit ruang gerak lawan dengan pukulan-pukulan maut.
Menyaksikan hal itu, Kim Han Seng segera bergabung menghadang serangan Ban-Li-Tok-Heng, ini cukup membantu Thio Siu Ci, diam-diam ia berterima kasih atas bantuan Kim Han Seng. Tapi biarpun dikerubuti dua orang jago muda yang lihai, Ban-Li-Tok-Heng masih mampu melakukan serangan-serangan maut walaupun tidak semudah tadi.
Sepasang alis putih Ban-Li-Tok-Heng berkerut saking mendongkolnya, dia terus
memperhebat tekanan terhadap kedua muda-mudi ini.
Suatu ketika dengan gerakan yang berubah tiba-tiba, Ban-Li-Tok-Heng sedikit
merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong ke depan.
Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang sangat hebat, kali ini Ban-Li-Tok-Heng mengerahkan segenap kekuatannya dalam serangan itu. Baik Kim Han Seng dan Thio Siu Ci terkejut dengan perubahan gerakan lawan, tahu-tahu serangkum kekuatan yang maha dashyat menghantam datang, tidak terdengar kesiuran angina pukulan sama sekali tapi kehebatannya berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Keduanya hanya merasakan segulungan tenaga tak berwujud menghantam mereka,
sudah terlambat mengantisipasi serangan tersebut. Baik Kim Han Seng dan Thio Siu Ci tahu kehebatan serangan ini, sebisa mungkin mereka mengerahkan teanga lweekang
sepenuhnya untuk menahan serangan pamungkas Ban-Li-Tok-Heng.
Hanya sepersekian detik saja benturan tak berwujud terjadi tapi hasilnya, wajah Kim Han Seng dan Thio Siu Ciu berubah kepucatan sambil terhuyung-huyung mundur tujuh tundak.
Dari sela-sela mulut mereka, keluar darah segar tanda mereka sudah terluka dalam yang cukup parah.
Ban-Li-Tok-Heng sendiri bukannya tidak terpengaruh dari gabungan dua tenaga sakti muda-mudi ini, dadanya sedikit sesak menahan guncangan tadi, tapi berkat latihan tenaga dalam puluhan tahun dia masih mampu berdiri tegak walaupun tubuhnya sedikit
bergoyang-goyang.
Belum sempat Ban-Li-Tok-Heng melancarkan serangan kembali, tiba-tiba dari samping tubuhnya berkelabat sebuah bayangan menghadang jalan di depannya. Ternyata
bayangan tersebut adalah Tan Hong. Semenjak tadi dia hanya berdiam diri saja, dia merasa serba salah. Gadis yang di panggil Sian-moi oleh Thio Siu Ci, wajahnya sekarang terbayang kecemasan melihat Thio Siu Ci dan kawan seperjalannya sudah terluka dalam yang cukup parah, sedangkan di situ masih ada Ban-Li-Tok-Heng yang belum terluka dan masih berbahaya. Melihat kecemasan gadis yang pernah digodanya ini serta melihat gadis yang dikaguminya, Thio Siu Ci terluka cukup berat, hatinya tidak tega hingga akhirnya dia maju menghadang Ban-Li-Tok-Heng.
"Maaf cianpwe, sebaiknya pertempuran ini disudahi saja untuk menghindari keruwetan yang lebih dalam" kata Tan Hong sambil menjura dalam.
"Hemm, enak saja engkau bicara. Mereka sudah berani melukai cucuku, lohu harus
memberi mereka pengajaran. Sebaiknya engkau minggir, kalau tidak mau bernasib seperti mereka" sahut Ban-Li-Tok-Heng sambil maju ke depan.
Diam-diam Tan Hong mengeluh melihat kekerasan hati kakek tua ini, rasanya tidak ada jalan lain selain bertempur dengan kakek ini.
Melihat Tan Hong tidak bergerak mengyingkir dari hadapannya, Ban-Li-Tok-Heng
mengerutkan keningnya. Dia tahu pemuda ini kelihatannya lemah lembut tapi nalurinya mengatakan ilmu silat si pemuda tidak boleh di pandang remeh.
Tanpa sepatah katapun, Ban-Li-Tok-Heng menerjang maju, dengan gerakan cia-mie-sip-pat-ciat (merubuhkan musuh dengan kebasan tangan) yang di kuti gelombang serangan yang mengeluarkan angin berkesiutan menyambar ke arah Tan Hong. Rupanya Ban-Li-Tok-Heng sudah mata gelap, dia ingin menyelesaikan pertempuran ini secepatnya hingga serangannya merupakan serangan maut, bukan main hebatnya.
Tan Hong sendiri maklum dirinya dalam bahaya, tiba-tiba pemuda ini berseru keras, lengkingannya bergema ke segala arah. Akibat lengkingan yang merupakan ilmu sejenis auman singa milik Ban-Li-Tok-Heng ini, gerakan Ban-Li-Tok-Heng sedikit goyah. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Tan Hong melayang menghindari serangan Ban-Li-Tok-Heng. Dengan gerakan yang aneh Tan Hong mebalikkan tubuh sambil meluncurkan
serangan kearah tengkuk lawan. Ban-Li-Tok-Heng mengerti bahwa tengkuk lehernya
dalam keadaan gawat, maka sambil melindungi tengkuk, dengan cepat menagkis dengan badan sedikit membalik, kali ini tenaga yang dipergunakannya tidak dapat sepenuhnya karena posii yang tidak menguntungkan. Sebaliknya serangan Tan Hong merupakan
serangan dengan tenaga dalam sepenuhnya karena dirinya sadar menghadapi lawan
setangguh Ban-Li-Tok-Heng, hanya serangan yang sekuat tenaga saja yang akan berhasil.
Pada detik itu juga Tan Hong telah menggerakan tangan kirinya dengan gerakan pekho-ciong-thian (burung ho putih menembus awan) yang tahu-tahu telah mengancam
sepasang biji mata Ban-Li-Tok-Heng. Tercekat menghadapi serangan tiba-tiba ini, dengan bekal pengalaman puluhan tahun bertempur, Ban-Li-Tok-Heng melempar tubuhnya ke
belakang, bergulingan sampai beberapa meter. Dirinya berhasil menghindari serangan tersebut tapi pakaiannya kotor, hatinya semakin pepat, pamornya sebagai tokoh angkatan tua tercoreng, menghadapi angkatan muda ia harus bergulingan sedemikian rupa.
Matanya mengeluarkan sinar maut, alisnya berkerut tanda dirinya marah sekali. Ban-Li-Tok-Heng melompat bangun dan bagaikan terbang saja tahu-tahu sudah maju menerjang kembali. Repot juga Tan Hong, terpaksa ia mengelak mundur tapi serangan Ban-Li-Tok-Heng bagaikan harimau yang terluka. Niatnya hanya satu, yakni menghancurkan lawan secepatnya, dia sudah tidak peduli lagi bahwa dirinya sebagai tokoh tua melawan seorang tokoh muda. Dia menganggap Tan Hong sebagai lawan setimpal. Tan Hong sendiri
awalnya sedikit kebingungan menghadapi serangan-serangan lawan tapi ia bukanlah
manusia biasa, melainkan seorang yang memiliki kecerdikan dan bakat yang tinggi. Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti kalau ia bingung, maka celakalah dirinya.
Dengan sungguh-sungguh ia melayani Ban-Li-Tok-Heng, seorang tokoh tua yang diakui kelihaiannya. Baru kali ini semenjak dirinya terjun di sungai telaga menghadapi lawan setangguh ini. Semua ilmu yang pernah ia pelajari dikeluarkan semua.
Puluhan jurus berlalu dengan cepat, nafas Tan Hong memburu, keringat bercucuran
membasahi tubuhnya yang tegap. Keadaan Ban-Li-Tok-Heng juga tidak lebih baik,
nafasnya mulai sedikit berat, keuletan dan ilmu silat Tan Hong sungguh di luar dugaannya bahkan aliran ilmu silat pemuda ini tidak dapat ditebaknya, benar-benar lawan yang misterius. Dalam keadaan yang kritis pemuda ini dapat bergerak dengan gerakan yang sangat aneh hingga serangan yang diyakininya akan berhasil, ternyata luput. Diam-diam Ban-Li-Tok-Heng sangat heran melihat keanehan gerakan Tan Hong, belum lagi tenaga lweekang yang dimiliki lawan. Dari beberapa kali bentrokan, dia tahu tenaga dalam Tan Hong sungguh hebat bahkan sangat mengherankan, seorang pemuda pertengahan dua
puluh tahunan memiliki lweekang sehebat ini, kalau tidak mengalaminya sendiri, Ban-Li-Tok-Heng sungguh tidak akan percaya.
Sambil terus bertarung, Ban-Li-Tok-Heng terus berpikir keras. Tiba-tiba secersah pikiran menyelinap dikepalanya, tanpa dapat dicegah tubuhnya bergetar keras seolah-olah
terserang demam yang tinggi.
Dalam pertempuran tingkat tinggi, pikiran tidak boleh terganggu, terlebih bagi jago silat kelas satu. Tidak jarang menang kalah ditentukan bukan dari ilmu silat tapi oleh faktor lain seperti keuletan, kecerdikan dan fokus pikiran saat bertanding. Demikian juga kali ini, melihat lawannya tidak fokus, Tan Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil berseru keras, tangannya menerjang kearah punggung Ban-Li-Tok-Heng yang sedang
membalikkan badan.
"Bukkk! Telapak tangan Tan Hong berhasil menghantam sisi punggung Ban-Li-Tok-Heng.
Akan tetapi Ban-Li-Tok-Heng adalah seorang tokoh besar yang sudah terkenal puluhan tahun. Tanpa menoleh, diterimanya hantaman tersebut sambil tangan kanannya
mencengkram ke belakang dengan cepat sekali telah menyerang kea rah pergelangan
tangan kanan Tan Hong yang masih berada di punggungnya. Tetapi dengan gerakan yang sangat sebat, Tan Hong segera menarik tangan kanannya menjauh namun tidak
sepenuhnya berhasil. Punggung tangannya terbentur cengkaraman jari Ban-Li-Tok-Heng, menimbulkan goresan dalam. Tangan Tan Hong seketika itu juga menjadi lemas dan kaku, buru-buru ia menjauh dengan gerakan tui-po-lian-hoan (mundur berantai).
"Bocah, engkau sungguh hebat", lohu sudahi sampai di sini" kata Ban-Li-Tok-Heng
sambil mengajak pergi cucunya buru-buru.Pukulan Tan Hong di punggungnya berhasil menguncangkan tubuh bagian dalamnya. Tidak mau tercoreng muka lebih lanjut, Ban-Li-Tok-Heng memutuskan pergi dari tempat tersebut.
Hati Tan Hong dan lainya lega melihat Ban-Li-Tok-Heng mundur, terutama Kim Han Seng dan Thio Siu Ci serta gadis muda yang dipanggil Sian-moi. Mereka lega dapat lolos dari Ban-Li-Tok-Heng, sinar mata mereka mengandung kekaguman yang tinggi ke arah Tan
Hong yang berhasil mengusir pergi Ban-Li-Tok-Heng. Pertempuran Tan Hong dan Ban-Li-Tok-Heng barusan, membuka mata mereka bahwa di dunia ini orang yang memiliki ilmu silat yang lihai sangat banyak, lebih-lebih terhadap kelihaian Tan Hong yang mampu menandingi tokoh sehebat Ban-Li-Tok-Heng.
Tan Hong sendiri tidak mau ada keributan lebih lanjut dengan gadis yang pernah
digodanya di sungai beberapa waktu yang lalu, apalagi dihadapan Thio Siu Ci yang dikaguminya. Buru-buru ia pergi seolah-olah mengejar kearah perginya Ban-Li-Tok-Heng namun sesungguhnya dia tidak ingin berhadapan dengan mereka.
Sekeluarnya dari kota Gui-Yang, Tan Hong berjalan lenggang kakung. Semenjak bertemu gadis bernama Thio Siu Ci yang mengingatkannya pada seseorang di masa lalu, hatinya merasa pepat. Pertemuan tersebut seolah membongkar luka lama yang menoreh
dihatinya. Luka sekian lama yang mulai sembuh kembali mengangga, perih dihatinya membuat pintu ruang hati yang mulai membuka kembali tertutup rapat.
Dikejauhan seluas mata memandang terhampar padang rumput yang hijau bagaikan
permadani dengan semilir angin bertiup lembut menerpa wajah yang kepanasan di timpa sinar matahari yang terik. Lapat-lapat terdengar lantunan lagu merdu, terlihat seorang anak gembala menunggang kerbau bernyanyi dengan riang gembira.
Tertarik hatinya, Tan Hong berhenti di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Sambil bersandar di batang pohon Tan Hong memejamkan mata, menikmati alunan merdu suara tersebut. Saat matanya terpejam, terbayang sosok wajah yang ayu, sosok yang pernah mampir di ruang hati terdalamnya, sosok yang lembut, sosok yang begitu hangat, tempat pelabuhan hatinya. Lirik lagu si penggembala terus mengiringi lamunan Tan Hong.
Begitu hanyutnya Tan Hong dalam lamunan, dia tak menyadari sesosok bayangan
mendatangi tempatnya berada dengan cepat. Namun berkat kelihaiannya, beberapa tindak sebelumnya, telinganya menangkap tindakan kaki yang mendatangi.
Tan Hong membuka matanya perlahan-lahan, dihadapannya berdiri gadis muda yang
digodanya di tepi sungai. Dengan berkacak pinggang si gadis itu berkata "Walaupun engkau lari kemana pun pasti dapat kutemukan"
Suasana hati Tan Hong berubah cepat, sambil bangkit berdiri dengan mengembangkan senyuman terbaiknya, ia berkata "Wahai nona, entah apa gerangan salahku hingga
dikejar-kejar sedemikian rupa?"
"Hmm, dasar perayu, sampai sekarang engkau masih tidak mau mengaku salah,
engkau"." Si gadis tidak menyelesaikan kalimatnya, mukanya kembali memerah malu, membuat wajahnya yang cantik semakin menarik hati Tan Hong.
Diam-diam hati Tan Hong lega, dari suaranya dia tahu si gadis sudah tidak marah lagi dengan perbuatannya di tepi sungai waktu itu, hanya si gadis masih gengsi saja. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.
"Maafkan cayhe nona, apabila cayhe mengoda nona sedikit keterlaluan. Sebagai bukti penyesalanku yang dalam, nona boleh menghukumku dengan hukuman apa saja, aku
tidak akan melawan dan menerimanya sepenuh hati" kata Tan Hong sambil menjura dalam tanda penyesalan.
Mendengar ucapan tersebut, hati si gadis semakin melunak.
"Sudahlah, engkau aku maafkan, apalagi engkau pernah menolongku waktu di rumah
makan tadi."
"Bagaimana dengan kedua kawan nona, apakah mereka terluka berat?" tanya Tan Hong khawatir.
"Sebenarnya luka mereka tidak ringan namun Han-Seng toako membekal Soat-Lian
pemberian ayahnya hingga luka mereka dapat sembuh dengan cepat"
"Syukurlah kalau begitu, nona"
"Nona"nona apa!, namaku Kwee Sian" kata Kwee Sian merengut manja
"Oh..rupanya Sian-moi"
Wajah Kwee Sian sedikit memerah ketika Tan Hong memanggilnya Sian-moi, hatinya
semakin berdebar-debar ketika menyadari Tan Hong memandangnya sedemikian rupa.
"Kalau boleh tahu, apa hubungan Sian-moi dengan gadis yang bersama Kim Han Seng"
tanya Tan Hong memecahkan keheningan.
"Namanya Thio Siu Ci, keluarga Thio dan keluargaku memiliki hubungan akrab. Jadi jangan heran kalau sejak kecil kami berdua saling mengenal dengan akrab. Engkau
mungkin kaget kalau kuberitahu siapa sebenarnya Siu cici."
"Lho, memangnya Siu cicimu itu memiliki rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?"
"Tidak juga cuma?" Kwee Sian tidak melanjutkan perkataannya. Ini semakin membuat Tan Hong penasaran, apalagi ini berkaitan dengan gadis yang ditaksirnya.
"Cuma apa..memangnya engkau tidak percaya kepadaku"
"Bukan begitu tapi?" kata Kwee Sian masih ragu-ragu namun dirinya tidak ingin
mengecewakan pemuda ini.
"Baiklah akan kuberitahu tapi engkau harus berjanji tidak menceritakannya pada orang lain, paling tidak untuk sementara ini"


Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau memang rahasia sebaiknya tidak usah engkau ceritakan" sahut Tan Hong menahan diri walaupun sebenarnya di dalam hati ia sangat ingin tahu.
"Tidak apa-apa kok, aku percaya Hong-ko pasti dapat menjaga rahasia. Sebenarnya Sian-moi adalah kemenakan satu-satunya kepala perkampungan pedang Thio yang masih
hidup. Seperti yang engkau ketahui, dua puluh tahun yang lalu perkampungan pedang keluarga Thio musnah di basmi oleh perkampungan misterius. Namun sebenarnya tidak semuanya binasa, Siu cici yang waktu itu masih kecil berhasil lolos dari pembasmian, dilarikan oleh pengasuhnya tepat sebelum orang-orang perkampungan misterius
menemukan mereka."
"Aku tahu, bahkan aku pernah bertemu cianpwe Thio Kin Liong beberapa bulan yang lalu"
"Oh ya.." Tapi memang benar, selain Sian-moi, cianpwe Thio Kin Liong juga berhasil lolos dari kepungan walaupun dengan luka yang parah. Sejak kejadian itu, sambil merawat lukanya yang sangat parah, cianpwe Thio Kin Liong membesarkan Sian-moi dibantu
pengasuhnya itu. Semua ilmu silat keluarga Thio diturunkan kepada Sian-moi."
"Kalau dugaanku tidak salah setelah perkampungannya musnah, pasti cianpwe Thio Kin Liong menetap di tempat kediamanmu"
"Memang benar, engkau sungguh cerdik dapat menerkanya" jawab Kwee Sian kagum.
Begitu tahu perkampungan sahabatnya di basmi, ayah dengan cepat mencari tahu siapa sja yang selamat hingga akhirnya ayah berhasil menemukan cianpwe Thio Kin Liong dan Siu cici. Singkat cerita ayah membawa mereka bertiga ke kediaman kami dan membantu cianpwe Thi Kin Liong merawat luka-lukanya.
"Apakah engkau tahu, permusuhan apa yang terjadi antara perkampungan pedang
keluarga Thio dengan perkampungan misterius?" tanya Tan Hong.
"Kalau itu, aku tidak tahu sama sekali. Aku pernah menanyakan hal itu kepada ayah namun ayah menyuruhku diam, jangan mencampuri urusan orang. Tapi aku yakin
sebenarnya ayah tahu permasalahannya tapi enggan memberitahuku."
Tak terasa sambil berbincang-bincang, matahari mulai kembali ke peraduannya, deretan pohon-pohon yang menjulang tinggi tetapi dengan jangkauan dahan-dahannya yang
melebar bak tangan manusia yang direntangkan lebar-lebar mulai berubah wujud
berbayang kehitaman. Kini senja menjelang songsong gelap malam. Rona langit seakan mendorong turun semua bau tanaman hutan.
Tan Hong dan Kwee Sian begitu asyiknya ngobrol hingga lupa waktu, menyadari hari mulai gelap sedangkan sejauh mata memandang, hanya tampak bayang gelap pepohonan yang
lebat di hutan itu.
"Wah..rupanya kita terpaksa bermalam di hutan ini" kata Kwee Sian.
Tiba-tiba terdengar bunyi keruyukan yang berasal dari perut Tan Hong. Kwee Sian tertawa geli mendengarnya. Namun hanya sebentar, tak lama kemudian perutnya juga berbunyi keroncongan.
Dengan wajah nyengir Tan Hong berkata "Sian-moi, engkau siapkan api untuk memasak, aku segera kembali dengan daging kelinci buat menangsal perut kita"
Tan Hong berlalu dan memasuki hutan semakin ke dalam. Dengan awas matanya
mencari-cari kelinci yang biasa berkeliaran di hutan. Sekian lama dirinya berburu namun rupanya dewi fortuna sedang menjauhi dirinya, tak nampak seekor kelincipun. Rupanya seiring malam menjelang, kelincipun kembali ke liang masing-masing, meninggalkan Tan Hong sendirian mengubek-ubek hutan tanpa hasil.
Di lain pihak, sambil bersenandung kecil Kwee Sian mulai mengumpulkan ranting-ranting pohon dan mulai sibuk menjentikkan batu api untuk menyalakan api unggun. Sambil
menunggu Tan Hong, dia melihat sekitarnya, mencari tempat yang nyaman melewatkan malam. Dikumpulkannya dedaunan kering buat alas tidur.
Tanpa sepengetahuannya, dari balik dedaunan lebat di sisi kiri Kwee Sian tampak
sepasang mata dengan sinar mata mencorong di kegelapan malam. Setiap wanita pasti akan bergidik melihat mata itu seolah-olah hendak menelan hidup-hidup. Sepasang mata tersebut milik sesosok tubuh berpakaian hitam gelap dengan wajah yang ditutupi kedok hitam yang hanya menampakkan sepasang matanya saja. Dengan gerakan yang sangat
hati-hati seolah tahu gadis yang berada di depannya itu memiliki ilmu silat yang tidak sembarangan, sosok hitam itu semakin mendekati Kwee Sian. Gerakannya sangat gesit, tidak menimbulkan suara sama sekali tanda pemiliknya memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Tiba-tiba, Kwee Sian menoleh ketempat sosok bayangan itu, entah kenapa hati Kwee Sian sedikit terguncang. Hanya kegelapan malam di sekelilingnya, suara-suara binatang malam sayup-sayup terdengar di telinganya yang mungil.
Bayangan itu berdiam diri, tidak berani bergerak sama sekali. Namun ketika dilihatnya gadis itu kembali sibuk dengan pekerjaannya, diam-diam tubuhnya berjalan semakin mendekat, jaraknya dengan Kwee Sian hanya terpaut tidak lebih dari beberapa kaki saja tapi Kwee Sian belum menyadari bahaya yang mengancamnya. Orang yang dapat
mendekati Kwee Sian sedekat ini tanpa sepengetahuan si gadis pasti memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Ilmu silat Kwee Sian tergolong kelas satu, terbukti dirinya mampu melayani cucu Ban-Li-Tok-Heng (si kelana tunggal berlaksa li) yang lihai. Hanya sayang, saat itu hatinya sedang diombang-ambing asmara yang mulai timbul di hati dara muda ini hingga kewaspadaannya sedikit berkurang.
Sekonyong-konyong pada saat yang tepat dengan gerakan secepat kilat, sosok bayangan itu melompat keluar, langsung menerjang kearah Kwee Sian yang memunggunginya.
Kwee Sian sendiri walaupun reaksinya sedikit lambat namun berkat ketajaman
pendengarannya, ia mendengar kesiur angin yang kurang wajar mengancam
punggungnya. Dengan gerakan segesit kijang Kwee Sian berkelit dari serangan tersebut.
Untung baginya, dirinya bisa lolos dari bokongan tersebut. Dengan hati tercekat, Kwee Sian membalikkan tubuhnya menghadap bayangan yang menyerangnya tadi namun
belum sempat ia bereaksi lebih lanjut, gelombang serangan berikut telah melanda.
Gelagatnya si penyerang ingin meringkus gadis ini secepatnya hingga serangan yang dilancarkan merupakan serangan yang bukan main hebatnya. Dalam kedudukan yang
belum mantap, Kwee Sian berusaha keras menghadapi serangan demi serangan lawan.
Semua kelihaiannya dikeluarkan namun memang lawan memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dan keuntungan situasi yang lebih baik hingga suatu ketika dengan gerakan yang tak terduga, pukulan bayangan itu tidak mampu dihindarinya. Jeriji tangan bayangan tersebut berhasil menutuk urat nadi kek-coan-hiat (urat nadi di bawah ketiak), di kuti urat nadi Thian-cong-hiat dipundaknya. Seketika itu juga tubuhnya yang ramping tergetar bagaikan disetrum sesuatu, tubuh Kwee Sian tidak mampu mengikuti perintah pemiliknya lagi, terhuyung jatuh ke tanah.
Dengan cepat bayangan itu menangkap tubuh Kwee Sian dan menggotongnya ke dalam
hutan yang gelap. Kwee Sian sendiri hanya merasakan kesiuran angin menerpa wajahnya yang cantik, dia tidak dapat mengeluarkan suara sedikitpun karena urat nadi bicaranya ikut ditutuk diam. Dengan wajah gelisah, Kwee Sian berusaha melepaskan tutukan ditubuhnya, naluri kewanitaannya mengatakan ia harus segera membebaskan diri dari bahaya yang segera mengancamnya.
Bayangan tersebut membawa Kwee Sian kira-kira sepertanakan nasi lamanya, selama
perjalanan tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya yang ditutupi kedok hitam.
Tiba-tiba bayangan itu berhenti berlari dan mulai berjalan berlahan-lahan. Dengan hati berdebar-debar Kwee Sian mencoba melihat kesekelilingnya. Hanya tampak kegelapan dengan pepohonan yang menjulang hitam, rupanya dirinya masih berada di dalam hutan tersebut. Di depan tampak bayangan serupa pondokan, bayangan itu membawa Kwee
Sian kearah tersebut.
Pondokan itu kosong, terdiri hanya satu ruangan saja dengan pembaringan jerami di salah satu sudutnya dan sebuah meja kayu di tengah-tengah ruangan. Bayangan tersebut
membaringkan Kwee Sian di atas pembaringan. Suasana yang gelap membuat Kwee Sian tidak dapat melihat dengan jelas sekitarnya.
Perlahan-lahan bayangan tersebut duduk tepi pembaringan, mata Kwee Sian yang bening terbelalak seolah hendak menembus kedok wajah tersebut. Masih tanpa bersuara sama sekali, bayangan tersebut menjulurkan tangannya, mengusap-usap wajah Kwee Sian yang manis dengan sinar mata buas. Kemudian tangan itu sedikit menurun kearah sepasang tonjolan yang sangat serasi dengan tubuh pemiliknya yang ramping. Diusap-usapnya tonjolan tersebut, lama-kelamaan mulai meremas-remas dengan lembut. Kwee Sian
menutup matanya erat-erat, hatinya bergidik ngeri membayangkan bencana yang akan menimpanya.
Nafas bayangan tersebut mulai memburu, tangannya semakin aktif bergerak kesana-
kemari. Dengan gerakan buru-buru, tangannya mulai melepaskan kancing baju Kwee Sian satu persatu hingga akhirnya terpampanglah sebuah pemandangan yang sangat
mengiurkan hati. Sepasang buah dada ranum milik seorang dara yang belum pernah
tersentuh siapa pun, dengan puting kemerahan menonjol di tengah-tengah, terlihat padat dan ranum segar, idaman semua laki-laki. Sinar mata bayangan itu mulai menunjukkan hawa nafsu birahi yang tinggi, dengan tangan sedikit gemetar, diremas-remasnya
gumpalan buah dada itu, terasa kenyal dan halus. Sedangkan tangannya yang lain mulai merayap semakin turun ke bawah kearah lembah yang berada di antara kedua kaki Kwee Sian yang putih mulus bak pualam.
Di saat yang benar-benar membahayakan kehormatan Kwee Sian, tiba-tiba terdengar
suara gedubrakan. Pintu pondokan yang kokoh diterjang hancur oleh sesosok tubuh
seorang pemuda.
"Hong-ko!" jerit batin Kwee Sian lega. Air mata lega terlihat meleleh di sudut matanya yang lentik.
Bayangan tersebut dengan kekagetan yang tinggi langsung menyerang diri Tan Hong.
Keduanya segera terlibat pertempuran yang sengit. Suasana malam semakin kelam. Sinar bulan dengan cahayanya yang gilang gemilang, menerobos masuk ke dalam pondokan.
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Tan Hong melancarkan serangan ke arah
tengkuk lawan, yang dapat dihindari bayangan tersebut dan berbalik melauncurkan
serangan yang tak kalah ganasnya. Keduanya kelihatan berimbang, saling serang terjadi silih berganti. Belum ada yang terdesak atau terluka. Kelihatan ilmu kepandaian keduanya jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumbernya; namun ternyata tingkat mereka terlihat seimbang sejauh ini, disaksikan Kwee Sian dengan hati berdebar-debar. Tentu saja ia sangat berharap Tan Hong dapat mengalahkan bayangan kurang ajar tersebut, kalau bisa bahkan membunuhnya.
Ruangan di mana pertempuran terjadi cukup sempit hingga tidak leluasa untuk bertempur, namun bagi ahli silat kelas satu bukan merupakan kendala yang serius bahkan menjadi sarana yang baik sekali untuk mengalahkan lawan yang tidak terbiasa bertempur di tempat yang sempit.
Tiba-tiba bayangan itu tahu-tahu sudah melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Tan Hong dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (burung hong manggutkan kepala).
Gerakan ini merupakan gerakan yang hanya dapat dilakukan orang yang telah mencapai tingkat master, dibutuhkan ilmu meringankan tubuh dan pengerahan tenaga lweekang yang tepat dan sempurna. Bagaikan seekor rajawali memburu mangsanya, bayangan
tersebut terus melayang di dalam ruangan sesempit itu, mengincar batok kepala Tan Hong.
Tan Hong sendiri sebenarnya cukup kewalahan menghadapi serangan ini, diam-diam
dirinya sangat heran melihat kehebatan ilmu silat lawan. Tidak sempat banyak piker, dirinya kembali terkurung di bawah tekanan lawan. Puluhan jurus kembali berlalu, pertempuran semakin sengit dan seru. Masing-masing pihak berkonsentrasi penuh, tidak mau lengah, apalagi gegabah. Sedikit lambat bereaksi, niscaya diri akan jatuh di bawah angin dan sangat membahayakan jiwa mereka.
Suatu ketika, tangan kanan bayangan itu mencengkram ke arah leher Tan Hong, di kuti tangan kiri cepat sekali telah menyerang pergelangan tangan Tan Hong. Hebat sekali serangan ganda ini, gelagatnya salah satu serangan tersebut akan mengenai Tan Hong.
Bayangan tersebut mulai tersenyum gembira, yakin kali ini serangan pamungkasnya pasti berhasil.
Akan tetapi segera dia menjadi kecewa. Hanya sekejap terjadinya, entah dengan gerakan apa, tahu-tahu tubuh Tan Hong lenyap dari pandangannya. Sebuah bayangan kabur
saking cepatnya melayang di atas kepalanya. Dengan hati sangat tercekat, bayangan itu berusaha mundur dengan gerakan tui-po-lian-huan (mundur berantai), namun sedikit kalah sebat. Pundak kirinya tahu-tahu terasa perih terkena goresan jari lawan, segumpal daging pundak penuh darah terkena sontekan, menimbulkan cucuran darah segar dibaliknya.
"Sayang!!" batin Tan Hong, gerakan jari saktinya hanya berhasil mengorek luka di pundak lawan.
Bayangan itu sekonyong-konyong melemparkan sebuah benda ke lantai
"Daarr!.. terndengar bunyi nyaring diikuti oleh segulungan asap tebal menyelimuti ruangan tersebut dengan cepat.
Tan Hong dengan sebat menutup pernafasan sambil melompat ke arah pembaringan,
meraih tubuh Kwee Sian, lalu menerjang keluar melalui jendela.
Setiba di luar pondokan itu, bayangan tersebut telah meloloskan diri. Tan Hong
membebaskan tutukan di tubuh Kwee Sian. Hatinya sedikit terguncang melihat tubuh bagian atas Kwee Sian yang masih terbuka lebar dengan sepasang buah dada yang putih mulus diterpa sinar bulan, terutama puting susu kemerahan yang berada di tengah-tengah gundukan sepasang bukit kembar putih mulus bak pualam tersebut.
Dengan wajah malu, begitu dapat bergerak kembali, buru-buru Kwee Sian mengancingkan bajunya. Dengan tangan tangan terkepal ia mendesis marah "Awas kalau aku ketemu lagi dengan bajingan itu, akan ku.. ku.." Kwee Sian tidak bisa menyelesaikan perkataannya saking emosinya.
"Sudahlah Sian-moi, syukur engkau tidak apa-apa" kata Tan Hong lega
"Terima kasih atas pertolonganmu Hong-ko, entah bagaimana jadinya kalau engkau tidak ada" kata Kwee Sian sambil melelehkan air mata.
Dengan hati terharu secara spontan baik Tan Hong dan Kwee Sian saling berpandangan, entah siapa yang memulai duluan, tahu-tahu mereka saling berpelukan. Kwee Sian
menyembunyikan wajahnya di pundak Tan Hong. Dengan hati berdebaran, Tan Hong
mengusap-usap rambut Kwee Sian yang hitam panjang, bau harum seorang gadis tercium hidungnya, membuatnya semakin tak keruan. Gairah kelakiannya terguncang hebat,
memeluk tubuh ramping seorang gadis muda yang cantik, lebih-lebih di tengah malam buta, hanya berdua saja, segala kemungkinan bisa terjadi.
Kwee Sian sendiri merasa sangat berterima kasih atas pertolongan Tan Hong, terlebih memang sejak awal ia memiliki perasaan yang khusus terhadap pemuda ini hingga tanpa disadarinya aura kepasrahan terpancar dari balik tubuhnya yang muda ini dan membuat mabuk diri Tan Hong.
Kwee Sian menengadahkan kepalanya ke arah wajah Tan Hong, dengan bibir yang
setengah terbuka dan sinar mata yang mengungkapkan segalanya. Bibir mungil Kwee
Sian bergerak pelan seolah memberi isyarat. Sangat indah disandingkan dengan hidung bangir dan mata bulat bersih itu. Ditambah kalau dia memandang dengan tatapan seperti sekarang ini. Hati Tan Hong tergetar, tanpa dapat dicegahnya lagi, kepalanya menunduk ke wajah Kwee Sian, perlahan diciumnya bibir ranum tersebut dengan lembut beberapa kali, yang dibalas Kwee Sian dengan sedikit canggung, maklum baru kali ini dirinya di cium seorang pria.
Kwee Sian tersipu saat Tan Hong mengusap wajahnya. Sungguh sempurna, adakah gadis yang lebih sempurna darinya, tanya Tan Hong dalam hati. Kalau yang lebih sempurna mungkin sedikit, tapi kalau yang lebih menarik mungkin banyak, jawabnya sendiri.
Tan Hong tahu berdasarkan pengalamannya, saat ini adalah saat yang paling tepat untuk melangkah lebih jauh. Dari tatapan mata dan bahasa tubuh Kwee Sian, ia tahu gairah kewanitaan Kwee Sian telah bangkit, hanya diperlukan sentuhan-sentuhan lebih lanjut maka segala yang ia inginkan akan dapat dicapai dengan mudah.
Tapi Tan Hong bukanlah seorang pemuda yang bisa memanfaatkan situasi demi
keuntungan pribadi. Benar dia bukan seorang pemuda yang suci bersih, masih banyak kelemahan-kelemahan yang ia miliki terutama apabila berhadapan dengan gadis cantik.
Dia sendiri bukan laki-laki terhomat menurut pandangan adat istiadat di masa itu namun ia tidak peduli dengan pandangan negatif tersebut. Sejauh apa yang ia lakukan berdasarkan kemauan kedua belah pihak tanpa unsur paksaan atau keterikatan di masa yang akan datang, akan dilakoninya. Dia adalah tipe lelaki yang tidak takut menentang pendapat umum, kebiasaan-kebiasaan umum. Idolanya adalah mereka-mereka pendekar-pendekar
besar yang lahir beberapa jaman sebelumnya seperti pendekar besar Yo Ko yang berani menikahi gurunya sendiri, pendekar besar Li yang berjuluk si pisau terbang, atau si aneh nyentrik Oey-Yok-Su. Walaupun mengagumi kegagahan dan kepahlawanan pendekar
besar Kwee Ceng namun ia tidak menyetujui pandangan Kwee Ceng yang terlalu kaku
pada adat istiadat.
Biasanya sebelum jauh melangkah ke hubungan berikutnya, Tan Hong selalu memberi
penjelasan hingga setiap gadis yang ia intimi, memiliki kebebasan untuk memilih.
Demikian pula kali ini, walaupun ia bisa saja memanfaatkan situasi yang mendukung namun tidak dilakukannya. Perlahan ia melepaskan pelukan Kwee Sian dari tubuhnya.
"Hari makin malam Sian-moi, engkau mungkin sudah lelah, terlebih dengan kejadian tadi.
Sebaiknya kita beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan." ucapnya lembut.
Dengan tatapan mata sayu, Kwee Sian menganggukkan kepala, perasaannya yang
melayang-layang dibuai sesuatu yang belum pernah ia alami seumur hidupnya, kembali membumi. Dengan perasaan rikuh ia melepaskan diri dari dekapan Tan Hong. Pucuk
pipinya memerah. Tan Hong memandangnya dalam diam seraya berharap agar waktu
berhenti. "Sian-moi, apa yang terjadi hingga engkau ditangkap jai-hoa-cat berkedok tadi" tanya Tan Hong.
"Setelah engkau pergi, tak lama kemudian bajingan itu membokongku hingga akhirnya aku tertangkap. Hong-ko, aku lihat ilmu silat bajingan itu sangat lihai, apakah engkau dapat menerka aliran ilmu silatnya"
"Memang ilmu silat jai-hoa-cat tadi sangat lihai dan gerakan ilmu silatnya baru kali ini kulihat. Jangan-jangan jai-hoa-cat itu adalah jai-hoa-cat yang baru-baru ini mengemparkan sungai telaga" duga Tan Hong sambil termenung.
"Kalau benar demikian sungguh berbahaya, ilmu silatnya sangat hebat tidak banyak yang dapat menandinginya kecuali mungkin hanya engkau yang bisa mengalahkannya, Hong-ko" kata Kwee Sian.
"Itu hanya kebetulan saja Sian-moi, tapi jangan khawatir suatu saat nanti penjahat itu pasti ketemu batunya"
Malam semakin larut, makin indah di situ. Langit bersih tak tampak awan sedikitpun dihiasi bintang-bintang yang memancarkan cahaya kelap-kelip, indah sekali bagi kedua muda mudi ini selayaknya sepasang kekasih terus mengobrol kesana kemari dengan asyiknya, saling membuka diri mengenal satu sama lain, mengakrabkan diri masing-masing.
Kabar terbaru di sungai telaga akhir-akhir ini adalah tantangan kepala perkampungan pedang keluarga Thio, Thio Kin Liong kepada perkampungan misterius. Sejak
kemunculannya kembali di sungai telaga, Thio Kin Liong menghimpun kekuatannya
kembali. Ia menghubungi sahabat-sahabat lamanya seperti Sip-Hong-Siucai (si pelajar serba tahu), Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus). Keduanya merupakan jago-jago tua yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan puluhan tahun lamanya.
Adapun tempat yang digunakan adalah kediaman sahabat sehidup semati Thio Kin Liong, It-kiam-tin-thian-lam (sebatang pedang menjagoi kolong langit selatan), paviliun Seribu Pedang yang terletak di keresidenan Hu-Lam. Nama besar It-kiam-tin-thian-lam tak kalah dengan nama Thio Kin Liong, hanya saja dia hidup menyendiri berdua saja dengan puteri kesayangannya sedangkan Thio Kin Liong mengepalai ratusan anggota hingga nama
besarnya lebih dikenal kalangan sungai telaga. Baik It-kiam-tin-thian-lam dan Thio Kin Liong mengangkat nama berbarengan, sejak muda mereka berdua tak terpisahkan.
Thio Kin Liong meminta perkampungan misterius menanggapi serius tantangan ini sebab kalau tidak ia akan memberitahu letak sebenarnya dari perkampungan misterius kepada khalayak sungai telaga. Seperti diketahui, letak keberadaan perkampungan misterius hingga saat ini tidak diketahui seorangpun, bahwa Thio Kin Liong mengetahuinya
merupakan berita baru bagi kaum persilatan.
Kabar mengenai pertarungan ini menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru sungai
telaga, berbondong-bondong kaum persilatan pergi ke Paviliun Seribu Pedang untuk menyaksikan pertarungan hidup mati yang sangat langka terjadi.
Beberapa hari sebelum waktu pertandingan tiba, paviliun Seribu Pedang telah dibanjiri kaum kangouw yang datang dari segala penjuru. Namun kabar berita apakah tantangan tersebut diterima atau tidak oleh perkampungan misterius, sampai detik terakhir belum ada gerakan apapun dari perkampungan misterius tapi khalayak ramai yakin pertarungan pasti berlangsung.
--- 000 --- Pagi itu di paviliun Seribu Pedang terlihat kesibukan sudah dimulai. Cahaya matahari menguningi semesta menerpa atap-atap rumah dan pohon-pohon besar di bawah sana,
membentuk bayang-bayang hitam bergaris kuning, sebuah harmoni menakjubkan, yang
sangat indah. Walaupun tidak sebesar empat perkampungan paling berpengaruh di Bulim, nama besar paviliun Seribu Pedang tidak dapat dianggap remeh, terutama kelihaian ilmu silat pemilik paviliun Seribu Pedang, It-kiam-tin-thian-lam, membuat orang yang ingin berbuat onar di paviliun ini harus berpikir seribu kali. Tidak ada yang meragukan kemampuan It-kiam-tin-thian-lam menyelenggarakan pertandingan ini.
It-kiam-tin-thian-lam sendiri kira-kira sebaya dengan Thio Kin Liong, mendekati tujuh puluh tahunan namun hanya memiliki seorang putri yang baru berusia belum dua puluh tahunan.
Kabarnya putri It-kiam-tin-thian-lam ini terkenal kecantikannya serta telah mewarisi segenap ilmu silat ayahnya yang terkenal tersebut.
Di lapangan terbuka di depan paviliun Seribu Pedang telah berkumpul ratusan kaum kangouw yang ingin menyaksikan pertempuran yang menghebohkan ini. Di antara campur baur kaum persilatan tampak hadir ketua perkampungan Kim-khe-san-ceng, Kim Jiu Tok dan Bok-Lam, pembantu yang paling diandalkan perkampungan Kim-khe-san-ceng.
Mereka tampak duduk di barisan depan tempat di barisan tamu-tamu terhormat. Juga tampak tetua Shao-Lin, Jing-taisu, pemimpin barisan Lo-Han Shao-Lin yang terkenal itu. Di samping Jing-taisu duduk seorang tokoh berumur sekitar enam puluh tahunan dengan wajah bersih namun gagah dan berwibawa, berpakaian tosu berwarna biru tua. Orang tersebut adalah sute ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan julukan Oh-pek-kiam-kek (si ahli pedang hitam putih), Siang-tojin. Ilmu pedangnya sudah mencapai taraf tertinggi bahkan kabarnya Siang-tojin inilah yang menyempurnakan Bu-tong-kiam-hoat (ilmu
pedang partai Bu-tong) menjadi lebih efisien dan lihai.
Suasana semakin hiruk pikuk, pertemuan di paviliun Seribu Pedang ini juga dimanfaatkan sebagai ajang silaturahmi antar sesama kaum kangouw, hingga tidak heran situasi sangat ramai.
Di bagian tuan rumah sudah tampak It-kiam-tin-thian-lam sedang berbincang serius dengan sobatnya, Thio Kin Liong. Juga kelihatan Sip-Hong-Siucai (si pelajar serba tahu) dan Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) duduk di bangku kehormatan dengan tenang sambil sesekali mengangkat sloki arak dan memandang sekeliling dengan pandangan
menyelidik. Cuaca terlihat cerah sekali, terlihat panas yang mulai semakin terik dimana sang Matahari yang sedari tadi telah beranjak dari peraduaannya di ufuk timur, mulai bergeser semakin meninggi. Hingga keberadaannya dalam hitungan menit akan tepat diatas kepala namun belum nampak tanda kemunculan orang-orang perkampungan misterius. Hal ini membuat It-kiam-tin-thian-lam dan Thio Kin Liong penasaran, terbayang di wajah mereka yang sangat serius. Keadaan yang tadi ramai dengan hiruk pikuk kaum sungai telaga, perlahan-lahan mereda, kaum kangouw yang hadirpun mulai bertanya-tanya dalam benak mereka mengenai ketidakmunculan orang-orang perkampungan misterius.
Di saat yang hening tersebut, tiba-tiba muncul dua sesosok bayangan hitam melayang di atas kerumunan orang menuju ke bagian paling depan. Cukup dengan dua kali berposai di udara, kedua bayangan hitam tersebut hinggap di tanah dengan manis. Kemunculan
kedua sosok hitam itu sangat cepat, tahu-tahu mereka sudah berhadapan dengan It-kiam-tin-thian-lam dan Thio Kin Liong yang masih berbincang-bincang serius.
Kedua sosok hitam tersebut ternyata mengenakan kedok hitam menutupi wajah dan
seluruh tubuh mereka di balut baju hitam, yang tampak hanyalah kedua biji mata yang bersinar tajam dibalik kedok hitam tersebut, susah dibedakan apakah sosk hitam ini laki-laki atau wanita. Yang jelas dari gerakan yang barusan mereka demonstrasikan
membuktikan yang datang kali ini adalah ahli-ahli silat kelas satu. Ciri-ciri kedua orang ini persis dengan cirri-ciri orang-orang perkampungan misterius hingga semua hadirin yakin mereka adalah orang yang dinanti-nanti sekian lama.
Perlahan It-kiam-tin-thian-lam sebagai tuan rumah maju selangkah kearah kedua orang itu sambil menjura dia berkata "Terima kasih atas kedatangan kalian, lohu harap perseteruan kalian dengan sobat Thio Kin Liong dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya."
Sosok hitan yang berada di sebelah kiri It-kiam-tin-thian-lam mendengus sekali, tanpa memperdulikan It-kiam-tin-thian-lam, dia menatap ke arah Thio Kin Liong dan berkata
"Thio cianpwe, apa maksudmu kali ini membawa persoalan ini ke muka umum. Apakah
engkau benar-benar tidak memandang kami dari perkampungan misterius?"
"Ha..ha..ha, Li Han Bun engkau tidak usah debat kusir dihadapanku, bacokan ayahmu dua puluh tahun yang lalu belum kutagih beserta rentenya. Mana si bangsat Li Kim Tong, apakah dia sudah mampus akibat tusukanku dulu?"
"Jaga mulutmu Thio Kin Liong, kalau bukan dengan keroyokan, tidak mungkin ayah terluka oleh pedang rongsokanmu itu. Engkau sendiri tahu kesalahan ada di pihak keluargamu tapi rupanya engkau masih tidak mau mengakuinya." kata sosok hitam itu yang merubah panggilannya ke Thio Kin Liong dengan langsung menyebut nama, tanda sosok hitam itu sudah tidak memperdulikan tingkatan lagi.
"Omong kosong, kalau bukan dirimu yang membuat Siang Hoa menderita, tidak akan ada kejadian itu. Semua ini semata-mata adalah kesalahanmu sebagai seorang suami tidak memperlakukan istri dengan sebaik-baiknya."
"Hmm..engkau boleh membela anak kesayanganmu itu, tapi bagiku dia adalah wanita
jalang, bukannya mengurus suami dan anak malah berani-beraninya selingkuh di depan mataku bahkan berani mengkhianati perkampungan. Untuk dosa-dosanya itu saja layak di hukum mati berkali-kali"
"Kurang ajar, engkau sungguh berani mati. Jangan harap kali ini engkau lolos dari tanganku. Hutang darah harus dibayar dengan darah." teriak Thio Kin Liong sambil mencabut pedangnya dan langsung menyerbu kearah ke dua sosok hitam dihadapannya.
Sedari tadi sosok hitam yang kedua hanya berdiam diri, hanya kelihatan dia seolah memendam sesuatu yang menyedihkan, terlihat dari getaran tubuhnya yang gemetar
menahan perasaannya. Bentuk tubuh sosok hitam ini terlihat lebih kecil dan ramping dari sosok hitam pertama. Ketika Thio Kin Liong menyerbu datang dengan cepat sosok kedua ini menyingkir menjauhi pertempuran dan berdiam diri mengamati pertandingan antara Thio Kin Liong dengan sosk hitam pertama dengan penuh kekhawatiran.
Kaum kangouw yang sedari tadi menyaksikan percekcokan antara Thio Kin Liong dengan orang dari perkampungan misterius pada awalnya bingung, namun lambat laun mereka dapat menangkap masalah yang terjadi antara perkampungan pedang keluarga Thio
dengan perkampungan misterius. Rupanya perkampungan Thio Kin Liong dengan
perkampungan misterius memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini bukan saja sangat mengejutkan khalayak umum yang hadir namun juga mengejutkan tokoh-tokoh silat utama lainnya. Sedikitpun mereka tidak menyangka perkampungan keluarga Thio dan
perkampungan misterius meruapakan dua keluarga yang saling berbesanan. Gelagatnya pertempuran dua puluh tahun yang lalu disebabkan masalah antar keluarga bukan
masalah dunia persilatan.
Menurut aturan rimba persilatan, masalah hutang darah atau masalah intern keluarga, pihak ketiga tidak boleh ikut mencampuri, masalah tersebut sepenuhnya harus
diselesaikan pihak yang bersangkutan. Dengan demikian baik Sip-Hong-Siucai (si pelajar serba tahu) dan Kip-hong-kiam (si pedang angin lesus) menjadi serba salah. Mereka berdua memang menerima undangan Thio Kin Liong untuk membantu menghadapi
perkampungan misterius, mereka berdua mengira permusuhan tersebut adalah
permusuhan rimba persilatan hingga demi kesetiakawanaan mereka bersedia membantu.
Diam-diam mereka berdua saling memandang dan melirik kearah It-kiam-tin-thian-lam yang menyaksikan pertempuran dengan wajah serius. Keduanya menduga It-kiam-tin-thian-lam mengetahui jelas duduk persoalan namun tidak memberitahu mereka. Diam-
diam Sip-Hong-Siucai dan Kip-hong-kiam merasa kecewa terhadap Thio Kin Liong tidak berterus terang kepada mereka berdua.
Pertempuran antara Thio Kin Liong dengan sosok hitam yang dipanggil Thio Kin Liong dengan Li Han Bun berlangsung dengan seru sekali. Kelihaian ilmu pedang Thio Kin Liong sebagai ketua perkampungan pedang paling berpengaruh sudah diketahui umum, begitu pula dengan perkampungan misterius, walaupun jarang tampil di depan umum namun
kelihaian ilmu silat perkampungan misterius tidak kalah pamornya dengan perkampungan pedang keluarga Thio. Kaum kangouw yang hadir diam-diam berdebar menyaksikan
pertarungan ke dua tokoh ini, apabila dua ekor naga saling berkelahi, salah satu pasti akan terluka.
Walaupun telah menghilang dua puluh tahun lamanya namun kelihaian ilmu pedang Thio Kin Liong tidak berubah bahkan terlihat lebih hebat. Ujung pedangnya menyambar-nyambar mengincar titik-tik mematikan dari tubuh lawan. Bagi kaum kangouw yang cetek ilmunya atau masih belum berpengalaman, kelihatan Thio Kin Liong menang di atas angin, sejak jurus pertama terus mengurung dan menekan lawan namun tidak bagi ahli-ahli silat kelas wahid seperti Kip-hong-kiam, Sip-Hong-Siucai, Jing-taisu, Siang-tojin dari Bu-tong dan Kim Jiu Tok dari perkampungan Kim-khe-san-ceng.
Betapapun Thio Kin Liong berusaha menyerang ke arah lawan, namun semua serangan
itu kandas sebelum mencapai sasaran. Hanya dengan gerakan pedang yang kelihatannya sangat sederhana, jurus-jurus pedang andalan Thio Kin Liong mati kutu tak dapat
diteruskan. Hal ini disamping mengejutkan Thio Kin Liong, juga menguncang tokoh-tokoh silat yang hadir, bahkan Siang-tojin yang terhitung ahli pedang kelas wahid pun
terbengong-bengong menyaksikannya. Selama hidupnya, Siang-tojin mendedikasikan
seluruh waktunya menyelami ilmu pedang hingga tidak heran dia mengenal seluruh aliran pedang di dunia persilatan, mulai dari ilmu pedang Thian-san-kiam-hoat, Hoa-san-kiam-hoat, dan lain-lainnya. Namun kali ini dirinya harus mengakui belum pernah menyaksikan jurus-jurus pedang yang dimainkan orang perkampungan misterius ini. Jurus-jurus pedang yang dimainkan sangat sederhana, tidak rumit bahkan terselip jurus-jurus dasar yang diketahui semua orang yang pernah mempelajari ilmu pedang. Tapi di tangan sosok hitan itu, jurus-jurus dasar tersebut berubah menjadi jurus-jurus sakti yang mampu menahan jurus-jurus pedang mematikan dari Thio Kin Liong. Diam-diam Siang-tojin menghela nafas dalam, dirinya harus mengakui kalau dia yang menghadapi sosok hitam ini, untuk
mencapai kemenangan ibarat harus menaklukkan puncak Himalaya. Benar-benar di atas langit masih ada langit batin Siang-tojin mendelu.
Makin lama pertempuran semakin sengit, baik Thio Kin Liong dan sosok hitam in
mengerahkan segenap jurus-jurus simpanan guna merobohkan lawan. Suatu ketika
pedang si sosok hitam menusuk tenggorokan lawan namun dapat di tangkis pedang Thio Kin Liong. Dengan gerakan pedang yang sangat luwes, ujung pedang si sosok hitam
kembali berubah arah embabat kea rah pinggang. Dengan cepat Thio Kin Liong bergerak menghindar dengan jurus Hwe-hong-lok-gan-kiam (ilmu pedang angin puyuh menjatuhkan belibis), embuat gerakan memutar sambil melindungi tubuh belakang. Thio Kin Liong berhasil mengelak dan sekaligus menangkis pedang si sosok hitam tepat pada waktunya.
Akan tetapi kembali pedang si sosok hitam sudah menerjang datang, di susul dengan gerakan pedang yang sangat aneh. Dikatakan aneh karena jurus yang dilancarkan sangat berlawanan dengan aturan umum ilmu pedang, membuat Thio Kin Liong yang mempunyai pengalam tempur puluhan tahun pun terkesiama, tidak tahu bagaimana harus menghindari gerakan aneh tersebut. Secara reflek, pedang ditangannya di putar untuk melindungi tubuh namun ketermanguan sekian detik saja berakibat fatal baginya. Tahu-tahu ujung pedang si sosok hitam yang pada awalnya mengincar bagian perut lawan, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, langsung berubah arah menusuk naik ke atas tengah tenggorokan.
"Crook!...ujung pedang yang sangat tajam itu berhasil menembus tenggorokan Thio Kin Liong, menimbulkan lobang kecil yang segera dipenuhi cucuran darah. Kaum kangouw yang menyaksikan akhir pertandingan yang sangat tiba-tiba itu, terkesima dan berdiri diam dalam keheningan yang panjang, tercekam dalam kesunyian.
Perlahan-lahan sosok hitam itu menarik pedangnya yang masih berada di tenggorokan Thio Kin Liong. Seiring dicabutnya pedang, tubuh tua Thio Kin Liong yang masih gagah itu, ambruk ke tanah dengan mata masih melotot seakan-akan tidak percaya dirinya
dikalahkan lawan.
Sosok hitam ke dua yang dari tadi hanya berdiam diri saja, sekarang kelihatan sekali tubuhnya yang ramping berguncang keras melihat Thio Kin Liong binasa di ujung pedang si sosk hitam pertama namun kaum kangouw yang hadir tidak memperhatikannya, mereka terlalu terkesima menyaksikan pertempuran tingkat tinggi dengan hasil yang demikian dramatis. Hanya sepasang mata milik seorang pemuda berusia pertengahan dua puluh tahunan saja yang memperhatikan gerak-gerik sosok hitam ke dua itu dari balik
kerumunan kaum persilatan yang hadir.
Berbareng dengan robohnya Thio Kin Liong terdengar jeritan seorang dara muda dari arah belang kerumunan kaum persilatan. Segera tampak mendatangi seorang gadis muda
dengan paras yang sangat cantik diikuti seorang pemuda, menghampiri tubuh Thio Kin Liong yang terkapar di tanah. Rupanya sepasang muda-mudi ini baru saja tiba di paviliun Seribu Pedang, hanya sempat menyaksikan akhir dari pertempuran yang sangat
menegangkan itu.
"Thio-pek! (paman Thio), seru si gadis sambil mengangkat tubuh Thio Kin Liong di pangkuannya. Airmata kesedihan yang sangat mendalam nampak mengalir di sela-sela ujung matanya yang bening. Air mata itu terus mengalir seperti es yang mencair di pipi, terus berjatuhan ke bumi. Hatinya terasa sangat berduka, satu-satunya sanak saudara yang ia miliki binasa di tangan musuh, kesedihan paling mendalam menerpa dirinya, ditinggalkan orang-orang yang sangat dikasihi. Kini dirinya sebatang kara.
Pemuda yang datang bersama gadis itu, diam berdiri di samping, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Han Seng!" mendengar panggilan itu si pemuda menoleh kearah suara itu berasal.
"Ayah, rupanya engkau juga datang ke sini" seru si pemuda sambil menghampiri Kim Jiu Tok dan Bok-Lam yang berada di barisan tamu kehormatan. Rupanya si muda-mudi yang baru tiba tadi adalah Kim Han Seng dan Thio Siu Ci.
"Han Seng, siapa gadis itu, apa hubungannya dengan Thio Kin Liong?" tanya Kim Jiu Tok kepada anaknya.
"Dia bernama Thio Siu Ci keponakan satu-satunya cianpwe Thio Kin Liong, ayah.Kami bertemu beberapa waktu yang lalu ketika aku sedang menyelidiki kasus terbunuhnya Bi Li di kota Gui-Yang. Sebenarnya ceritanya cukup panjang, ayah, mungkin nanti akan
kuceritakan lebih lanjut."
Sementara, ayah beranak itu berbincang-bincang, Thio Siu Ci meletakan jenasah Thio Kin Liong kembali ke tanah dan bangkit berdiri. Masih dengan air mata di kedua matanya yang meleleh di pipinya yang halus, dia menghampiri sosok hitam pertama yang masih berdiri di tengah-tengah gelanggang pertempuran.
"Apakah engkau Li Han Bun" Apakah engkau sekarang puas menyaksikan Thio-pek mati ditanganmu?" jerit Thio Siu Ci marah.
Sosok hitam tersebut diam saja, dari balik kedok hitam yang dikenakannya terpancar sinar mata redup seolah-olah letih dengan kenyataan hidup yang sedemikian rupa. Tanpa
sepatah katapun, dia membalikkan tubuh dan memberi isyarat kepada sosok hitam kedua untuk berlalu dari situ.
"Hmm, engkau jangan mengira dengan matinya Thio-pek, rahasia perkampunganmu tidak ada yang mengetahuinya lagi. Biarlah akan kubeberkan sekarang juga dimana letak
perkampungan misterius."
Sosok hitam pertama yang sedang berjalan tadi segera menghentikan langkahnya,
perlahan dia membalikkan tubuh menghadap ke Thio Siu Ci kembali.
"Nona, aku harap engkau mempertimbangkan kembali ucapanmu tadi. Aku tahu mungkin saja Thio Kin Liong sudah memberitahumu segala sesuatu. Tapi aku berharap,
permusuhan antara kedua perkampungan sampai di sini saja."
"Enak saja engkau bicara, seluruh anggota perkampungan keluarga Thio kami, hanya akulah satu-satunya yang tersisa. Sekarang engkau mau mengakhirinya, apakah
perkataanmu itu masuk di akal?"
"Lalu apa kehendakmu nona, apakah engkau masih mau melanjutkan permusuhan ini?"
"Ya, hutang darah harus dibayar dengan darah. Aku, Thio Siu Ci, walaupun aku tahu bukan tandinganmu tapi demi mebalas dendam kematian Thio-pek dan saudara-saudaraku, aku tidak takut mati. Tapi sebelum itu aku akan membeberkan semua rahasia perkampunganmu, biar semua kaum persilatan tahu."
Sepasang mata sosok hitam itu mengeluarkan sinar tajam dan berkata "Nona, rupanya engkau memaksaku turun tangan, membasmi musuh sampai ke akar-akarnya."
"Baiklah kalau begitu maumu, jangan salahkan kalau aku bertindak kejam terhadapmu"
"Tidak usah banyak mulut. Letak perkampungan misterius ada di"."
Belum sempat Thio Siu Ci melanjutkan perkataannya, sosok hitam pertama telah
melancarkan serangan maut pembungkam mulut.
Dengan gerakan yang sangat lincah, Thio Siu Ci berhasil menghindari serangan lawan.
Sebagai satu-satunya kemenakan Thio Kin Liong, Thio Siu Ci telah menyakini ilmu pedang keluarga Thio dengan sempurna berkat ajaran pamannya itu.
Thio Siu Ci mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, memainkan jurus-jurus terhebat dari ilmu pedang keluarga Thio. Dia tahu musuhnya kali ini sangat hebat hingga tidak main-main, langsung jurus-jurus simpanan ia keluarkan semua.
Kembali pertempuran seru terjadi untuk kedua kalinya, kaum persilatan yang hadir umumnya semakin tertarik hatinya menyaksikan jalannya pertandingan, sedangkan para tokoh yang hadir merasa serba salah untuk ikut campur karena pertempuran ini adalah masalah intern keluarga.
Perlahan tapi pasti, seiring berlalunya waktu, puluhan jurus kemudian terlihat Thio Siu Ci semakin terdesak lawannya. Walaupun ilmu silat yang dimiliki gadis ini terhitung sangat lihai namun lawan yang dihadapinya kali ini bukan sembarang lawan, Thio Kin Liong pun harus mengakui kelihaian si kedok hitam ini. Namun Thio Siu Ci bertempur dengan
mengerahkan segala kemampuannya hingga tidak mudah bagi Li Han Bun merobohkan si gadis.
Sepasang mata pemuda yang berada di tengah kerumunan kaum persilatan
mengeluarkan sinar kekhawatiran, terbayang kekhawatiran yang amat besar di wajahnya yang tampan.
"Hong-ko, tolong bantu Siu cici segera, kelihatannya dia sangat terdesak" bisik gadis yang berada di samping pemuda tersebut dengan wajah gelisah.
Rupanya pemuda itu adalah Tan Hong sedangkan gadis yang bersamanya tentu saja
adalah Kwee Sian. Mereka berdua melakukan perjalanan bersama-sama. Ketika mampir di salah satu rumah makan, tidak begitu jauh dari paviliun Seribu Pedang, mereka
mendengar kabar tersebut dengan terburu-buru. Kwee Sian mengajak Tan Hong menuju paviliun Seribu Pedang.
"Sian-moi, kelihatannya engakau sangat menaruh perhatian dengan berita itu?" tanya Tan Hong sambil mengikuti Kwee Sian keluar dari rumah makan tersebut.
"Tentu saja, paviliun Seribu Pedang adalah rumahku"
"Apaa!, rupanya engkau adalah putri kepala paviliun Seribu Pedang" kata Tan Hong sambil berhenti berjalan. Sungguh ia tak menyangka, Kwee Sian adalah putri kesayangan It-kiam-tin-thian-lam.
"Benar, seperti yang pernah kuceritakan Thio cianpwe memang menetap di perkampungan ayahku. Thio cianpwe dan ayahku adalah sahabat sejak muda"
Belum sempat Tan Hong bicara lebih lanjut, di tengah gelanggang pertempuran terlihat Thio Siu Ci semakin terdesak hebat. Gelagatnya tidak sampai sepuluh jurus lagi,
pertempuran tersebut segera berakhir. Namun sekonyong-konyong terjadi perubahan
mendadak, sesosok bayangan terlihat menerjang ke tengah gelanggang.
Dengan kecepatan yang mengagumkan bayangan itu menyelak di antara Thio Siu Ci dan Li Han Bun. Jangan di kira hal itu mudah dilakukan, terlebih-lebih yang sedang bertempur memiliki ilmu silat yang sangat lihai, diperlukan kecepatan, ketepatan bertindak untuk memisahkan keduanya. Untuk itu diperlukan kemampuan ilmu silat yang minimal setara bahkan lebih, kalau tidak justeru akan merugikan si penengah itu sendiri.
Baik Thio Siu Ci maupun Li Han Bun yang terlibat pertandingan yang sudah hamper pada puncaknya itu, sangat kaget ketika tahu-tahu ada orang yang berani menyelak diantara keduanya. Keduanya hanya merasakan serangkum kekuatan yang maha dashyat menolak
keduanya hingga mundur beberapa tindak. Dengan demikian pertempuran otomatis
berhenti. Ternyata bayangan yang menghentikan mereka adalah It-kiam-tin-thian-lam, pemilik paviliun Seribu Pedang sekaligus teman baik Thio Kin Liong. Kaum persilatan yang hadir semakin berdebar menyaksikan It-kiam-tin-thian-lam akhirnya turun tangan. Mereka pada umumnya tahu ilmu silat It-kiam-tin-thian-lam tidak boleh dianggap enteng namun
seberapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya, tidak seorangpun yang dapat
memperkirakannya, disamping sangat jarang tampil di muka umum, It-kiam-tin-thian-lam juga jarang sekali menanam bibit permusuhan hingga selama dua puluh tahun terakhir ini seberapa tinggi kemajuan ilmu silatnya tak diketahui orang luar. Namun yang jelas teman baik Thio Kin Liong ini bukan sembarang jago silat, terbukti gerakannya tadi
memperlihatkan kelasnya sebagai jago silat kelas wahid.
Dengan wajah muram tanda ikut hatinya terguncang menyaksikan sahabat baiknya binasa di depan matanya, perlahan It-kiam-tin-thian-lam berkata kepada bayangan hitam itu
"Li Han Bun, engkau sudah berani membinasakan mertuamu sendiri, sekarang engkau
mau membungkam mulut keponakannya. Apakah dengan begitu, engkau mengira tidak
ada lagi orang yang tahu letak kediamanmu itu ?"
Dengan sinar mata mencorong di balik kedok hitam yang dikenakannya, Li Han Bun
berkata

Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kwee cianpwe, sebaiknya cianpwe tidak usah ikut campur urusan keluarga kami dengan keluarga Thio. Ini adalah masalah dendam kesumat, tak seorangpun berhak ikut campur kecuali bila ingin menanam permusuhan dengan perkampungan kami"
Perkataan Li Han Bun tersebut disambut dengan berbagai macam reaksi dari kaum
persilatan yang hadir. Ada yang setuju bahwa ini memang merupakan masalah internal kedua keluarga dan menurut etika dunia persilatan harus diselesaikan sendiri oleh kedua pihak yang bertikai. Kalaupun ada pihak luar yang menjadi penengah, harus disetujui kedua belah pihak. Namun prakteknya selama ini apabila ada pihak-pihak yang bertikai, selain melibatkan seluruh keluarga juga melibatkan teman-teman keluarga tersebut. Begitu pula kali ini, sebagian besar kaum persilatan yang hadir merasa Li Han Bun sangat congkak hingga tanpa disadari mereka lebih berpihak pada keluarga Thio.
"Hmm, jangan engkau mengira lohu takut dengan perkampunganmu. Memang sudah lama
lohu ingin berkenalan dengan kehebatan ilmu silat keluargamu itu."
"Apakah cianpwe benar-benar berniat memusuhi perkampungan kami?" tegas Li Han Bun sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Diam-diam Li Han Bun menarik nafas dingin, dia tahu It-kiam-tin-thian-lam tidak boleh dianggap enteng, ketinggian ilmu silatnya lebih susah dijajaki dibandingkan Thio Kin Liong. Memang dipermukaan nama besar Thio Kin Liong melebihi It-kiam-tin-thian-lam namun naluri Li Han Bun mengatakan menghadapi It-kiam-tin-thian-lam ini jauh lebih sulit dari Thio Kin Liong.
"Ha..ha..haa, Li Han Bun apakah engkau benar-benar percaya tak ada seorangpun yang mengetahui mengapa kalian dari perkampungan misterius begitu ngotot menyembunyikan diri selama puluhan tahun ini?"
Mendengar perkataan It-kiam-tin-thian-lam ini, Li Han Bun hanya berdiam diri saja namun dari sorot matanya terlihat dirinya sangat terkejut.
"Mungkin sebagian besar kaum persilatan belum mengetahui rahasia perkampunganmu, lohu rasa hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya. Tapi apabila engkau
menganggap dapat membungkam mulut orang-orang mengetahui rahasia tersebut,
sungguh bukan pekerjaan yang enteng."
Kaum persilatan yang hadir gempar mendengar perkataan It-kiam-tin-thian-lam tersebut, selama ini mereka menganggap perkampungan misterius memang tidak suka bergaul
dengan kaum sungai telaga atau tidak suka diganggu kaum kangouw. Tak disangka
rupanya masih ada rahasia lain yang membuat perkampungan misterius sangat
merahasiakan letak perkampungan mereka.
"Kwee-heng, benarkah perkataanmu barusan" Apakah engaku benar-benar mengetahui
rahasia perkampungan misterius?" tanya Kip-hong-kiam dengan mimik muka yang sangat ingin tahu. Hal ini dapat dimaklumi, diantara misteri-misteri dunia kangouw yang belum terpecahkan sampai dengan saat ini, rahasia perkampungan misterius menempati urutan teratas.
"Kwee-heng kalau boleh tahu siapa sajakah orang-oarang yang mengetahui rahasia
tersebut?" tanya Sip-Hong-Siucai (si pelajar serba tahu).
"Selain lohu dan Thio-heng, masih ada dua orang lagi yang mengetahuinya. Yang pertama adalah ketua Shao-Lin-Pai, Hong-Lam-Taisu dan yang kedua adalah kepala
perkampungan keluarga Tong, Tong Jin"
Mendengar nama-nama yang disebutkan It-kiam-tin-thian-lam ini, kaum persilatan yang hadir semakin terkejut, terdengar suara ramai memperbincangkan hal tersebut. Nama Hong-Lam-taisu dan Tong Jin sangat dikenal sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan saat ini.
"Jing-taisu, apakah Hong-Lam-taisu pernah mendiskusikannya pada taisu?" tanya Siang-tojin hati-hati.
Sambil merangkapkan kedua tangannya di depan dada, Jing-taisu berkata "Omitohuud"
Hong-Lam-taisu tidak pernah menyinggung sedikitpun mengenai ini, bahkan baru
sekarang ini pinceng dengar."
"Apakah penyerbuan terhadap keluarga Tong eberapa bulan yang lalu oleh perkampungan misterius berhubungan dengan rahasia besar ini?" duga Sip-Hong-Siucai (si pelajar serba tahu).
"Dugaan Sip-heng benar sekali, tujuan utama perkampungan misterius menyerbu
perkampungan keluarga Tong sebenarnya bukanlah untuk mendapatkan atau mengetahui bahan-bahan rahasia yang digunakan keluarga Tong dalam meracik racun untuk am-gi mereka tapi untuk membungkam mulut Tong Jin" sahut It-kiam-tin-thian-lam.
"Omitohuud, pinceng jadi teringat dengan peristiwa yang menimpa kuil kami setahun yang lalu. Peristiwa tersebut memang tidak sempat tersiar di dunia persilatan, hanya beberapa murid-murid Shoa-Lin saja yang mengetahuinya."
"Peristiwa apakah itu taisu?" tanya Kim Jiu Tok dengan perasaan tertarik.
"Kalau dibilang, memang memalukan. Sejak kejadian beberapa ratus tahun yang lalu, di mana kuil kami beberapa kali mengalami penyerbuan dari pihak luar, baik untuk mencuri kitab-kitab pusaka Shao-Lin maupun membuat onar di kuil Shao-Lin, sejak itu penjagaan kuil dilakukan dengan ketat dan langsung dikomandoi tetua-tetua Shao-Lin. Peristiwa setahun yang lalu terjadi ketika pinceng sedang bertugas memimpin penjagaan. Malam itu kira-kira kentongan kedua, ditengah-tengah hujan yang turun deras sekali, penjagaan agak sedikit kendor. Sambil meronda mengelilingi kuil, pinceng melihat suatu keanehan. Murid-murid yang menjaga di sebelah Barat kuil semuanya tetap berdiri tegak di tempat, sewaktu pinceng dekati ternyata mereka telah tertutuk kaku, tak dapat bergerak sama sekali.
Pinceng berusaha membebaskan mereka amun sia-sia, tutukan tersebut sangat aneh dan lihai. Melihat gelagat tersebut, pinceng takut si penjahat melakukan sesuatu yang merugikan Shao-Lin, terlebih di bagian sebelah Barat kuil terdapat ruang penyimpan kitab pusaka dan ruang samadhi ketua Shao-Lin-Pai. Pertama-tama pinceng segera memburu ke ruung penyimpan kitab pusaka namun sesampainya di sana ternyata murid-murid yang sedang berjaga dalam keadaan baik-baik saja dan mereka mengatakan tidak ada sesuatu kejadian yang luar biasa malam itu di ruangan penyimpan kitab pusaka. Jadi pinceng segera berlari ke ruang samadhi Hong-Lam-taisu, sesampainya di sana, ternyata Hong-Lam-taisu sedang bertempur dengan sesosok bayangan hitam mengenakan pakaian ya-
heng-ie (perangkat berjalan malam). Pertempuran tersebut sangat seru sekali, selama belasan tahun ini pinceng belum pernah melihat pertempuran sedahsyat pertempuran malam itu. Di bawah guyurann hujan yang semakin deras, saat itu pinceng sangat
terkesima melihat kelihaian ilmu silat si bayangan hitam tersebut yang mampu menandingi dan mendesak Hong-Lam-taisu. Takut si bayangan tersebut masih memiliki teman dan sadar akan bahaya yang mengancam kuil, pinceng segera berputar balik dan
membunyikan kentongan tanda bahaya. Sehabis membunyikan kentongan tanda bahaya,
pinceng segera kembali ke tadi untuk membantu Hong-Lam-taisu namun sesampainya di sana ternyata bayangan hitam tersebut berhasil meloloskan diri. Kemudian pinceng menghampiri Hong-Lam-taisu untuk mencari tahu permasalahan, tapi Hong-Lam-taisu
segera memerintahkan pinceng untuk segera mengatur penjagaan kembali seperti semula.
Baru pada keesokan harinya, pinceng di panggil Hong-Lam-taisu dan diperintahkan untuk menutupi peristiwa semalam agar jangan sampai tersiar di dunia persilatan. Walaupun bertanya-tanya dalam hati namun pinceng harus menaati perintah pimpinan hingga
akhirnya peristiwa tersebut pinceng lupakan."
Setelah terdiam sejenak sambil melirik kearah Li Han Bun yang mengenakan pakaian hitam berkedok itu, Jing-taisu melanjutkan perkataannya, "Tadi ketika Thio-heng dan Kwee-heng bertempur dengan Li-sicu, lapat-lapat pinceng seperti mengenal beberapa gerakan dari Li-sicu. Mulanya pinceng tidak dapat segera menyadari, di mana pinceng pernah menyaksikan gerakan-gerakan tersebut tapi sekarang rasanya pinceng sudah
dapat menduga siapakah bayangan hitam yang menyantroni kuil Shao-Lin setahun yang lalu."
"Apakah taisu menduga bayangan hitam itu adalah Li Han Bun?" tanya Siang-tojin
"Omitohudd".pinceng tidak berani memastikan tapi berdasarkan gerakan tadi dan pakaian yang dikenakan si penjahat itu, memiliki kesamaan dengan Li sicu ini.
"He..he..he..Jing-taisu, apakah engkau memiliki bukti-bukti kuat bahwa yang menyerang Hong-Lam-taisu waktu itu adalah aku, jangan sampai Shao-Lin-Pai terseret urusan hanya berdasarkan dugaan saja."
Jing-taisu terdiam mendengar perkataan Li Han Bun. Dirinya memang tidak dapat
memastikan penjahat yang menyantroni Shao-Lin adalah Li Han Bun ini, mungkin hanya Hong-Lam-taisu saja yang dapat memastikanya, batin Jing-taisu.
Melihat Jing-taisu terdiam membisu, It-kiam-tin-thian-lam berkata "Sebenarnya mengenai penyerangan terhadap Hong-lam-taisu, lohu mendapat kabar dari Hong-Lam-taisu sendiri melalui perantaraan burung merpati beberapa hari setelah kejadian tersebut. Rahasia yang kami ketahui ini mungkin merupakan rahasia besar yang dapat mempengaruhi
kehidupan sungai telaga, untuk itu lohu merasa sebaiknya merundingkan hal ini terlebih dahulu dengan Hong-Lam-taisu dan saudara Tong Jin sebelum mengungkapkannya. Lohu tidak mau lancing membeberkan rahasia ini sebelum mendapat persetujuan dari mereka yang mengetahuinya. Bagaimana pendapat Jing-taisu kalau diadakan Enghiong-tay-hwe (pertemuan besar para kesatria) di Shao-Lin satu bulan dari sekarang untuk membahas masalah ini?"
Jing-taisu berpikir sejenak sebelum berkata, "Baiklah, pinceng akan segera memberitahu Hong-Lam-taisu mengenai hal ini"
"Li Han Bun! sebaiknya engkau menyadari saat ini posisimu kurang menguntungkan, kali ini lohu bersedia mengesampingkan masalah binasanya Thio-heng demi kepentingan
umum yang lebih besar tapi jangan engkau gembira dulu, pada saatnya engkau akan
merasakan pembalasannya" kata It-kiam-tin-thian-lam dengan nada sedingin es.
Li Han Bun sendiri sejak tadi hanya berdiam diri, tetap berdiri dengan tenang di tengah-tengah gelanggang, namunia menyaksikan semuanya. Diam-diamia memperhitungkan
kekuatannya sendiri, disamping berdua saja sebenarnya ia membawa beberapa anggota perkampungan yang ia perintahkan untuk tidak menampakkan diri terlebih dahulu.
Menimbang kekuatan yang dimiliki lawan,ia tidak yakin dapat memenangkan pertempuran bila hal itu sampai terjadi, terlebih di situ hadir tokoh-tokoh kelas satu seperti Siang-tojin, Jing-taisu, It-kiam-tin-thian-lam, Kip-hong-kiam, Sip-Hong-Siucai dan Kim Jiu Tok.Namun diluaran kekhawatirannya tidak diungkapkan sama sekali bahkan Li Han Bun berkata
"He..he..he.. baiklah untuk sementara masalah ini lohu tunda namun jangan mengira lohu kemari tanpa persiapan sama sekali" kata Lin Han Bun sambil bersuit keras.
Suitan yang dikeluarkan tidak begitu nyaring bunyinya namun setiap orang yang hadir mendengarnya dengan jelas sekali seolah-olah Li Han Bun berada di hadapan mereka sendiri. Diam-diam It-kiam-tin-thian-lam harus mengakui kelihaian lweekang Li Han Bun.
Belum lama suitan tersebut berlalu, dari balik pepohonan yang rindang muncul delapan bayangan hitam. Gerak-gerik mereka sangat gesit dan cekatan tanda gerombolan
bayangan hitam itu memiliki ilmu silat kelas satu. Begitu muncul, mereka membentuk barisan menyerupai barisan pat-wa (segi delapan) dan berdiam diri menunggu perintah.
Li Han Bun mengulapkan tangannya memberi tanda untuk berlalu dari situ, diikuti dengan patuh oleh barisan tersebut dan sosok hitam kedua yang sejak tadi hanya berdiam diri tanpa sepatah katapun.
Gadis yang tenang, betapa cantik dan lemah lembut!
Di dekat tembok kutunggu dia.
Cintaku menyala, mendekat tak bisa
Jantung berdebar merasa segan.
Gadis yang tenang, betapa cantik dan lemah lembut!
Dia bawa huan merah *)
Mengkilap seperti menyala.
Betapa rinduku kepada gadis itu.
Disungginya rumput hijau di padang gembala
Dia lari di atas rerumputan.
Bukankah padang rumput indah
Dan gadis itu diberikan aku sebagai hadiah.
Dari Buku Lirik (Goufeng), nyanyian kerajaan Bei yang terletak di Propinsi Henan sekarang.
*) huan - alat musik tiup yang dibuat dari kayu.
Syair di atas sangat cocok menggambarkan keadaan Tan Hong saat itu. Dari kejauhan ia hanya bisa menatap ke arah Thio Siu Ci yang menangis sesunggukan di depan pusara pamannya, Thio Kin Liong.Di samping Thio Siu Ci berdiri It-kiam-tin-thian-lam dan puterinya, Kwee Sian.Penguburan salah seorang tokoh silat kenamaan ini berlangsung sederhana, hanya dihadiri sahabat-sahabt dekatnya seperti Sip-Hong-Siucai, Sin-kun-bu-tek, dan tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan kemarin.
Hatinya entah kenapa ikut merasakan kesedihan mendalam yang dialami Thio Siu Ci. Dia sendiri sangat mengerti akan arti sebuah kesedihan, terutama kesedihan di tinggal sang kekasih, terlebih pengkhianatan sang pujaan hati. Rasanya seperti di tusuk sembilu, kepingan hati berserakan. Membawa serta jiwa membumbung bersama sejuta kenangan
dan asa -asa yang tak tersampaikan. Meninggalkan mimpi, kemisteriusan dan rahasia cinta yang tinggal sebagai bayangan indah di masa lampau seperti titik embun yang menguap seiring dengan hadirnya fajar.
Selepas pertempuran yang mengegerkan kemarin, Kwee Sian segera mengajak Tan Hong bertemu dengan sang ayah, It-kiam-tin-thian-lam. Dengan wajah muram namun ramah, It-kiam-tin-thian-lam menyambut Tan Hong dengan tangan terbuka. Namun It-kiam-tin-thian-lam tidak dapat berlama-lama, ia segera disibukkan dengan persiapan penguburan
sahabat karibnya dan melayani para tokoh-tokoh persilatan yang hadir.
Dalam kesempatan itu, Tan Hong juga bertemu kembali dengan Bok-Lam, anjing pemburu dari perkampungan Kim-khe-san-ceng. Dengan gembira Bok-Lam memperkenalkannya
dengan kepala perkampungan Kim-khe-san-ceng, Kim-Jiu-Tok dan anaknya, Kim Han
Seng. "Selamat bertemu, sudah lama lohu mendengar kabar di sungai telaga tentang munculnya salah satu jago muda yang memiliki kepandaian ilmu silat yang sangat lihai, rupanya kabar tersebut tidak berlebihan. Lohu yakin siauw-heng (saudara muda) akan mengeser kami-kami yang sudah tua ini" kata Kim-Jiu-Tok.
"Cianpwe terlalu berlebihan, siapa yang tidak mengenal kemahsyuran Bok-heng dan Kim-heng, dua jago muda yang menjadi andalan Kim-khe-san-ceng" jawab Tan Hong
merendah. "Ha..ha..ha, benar-benar seorang pemuda pilihan, sangat pintar..sangat pintar" kata Kim-Jiu-Tok sambil menepuk-nepuk bahu Tan Hong. Kemudian Kim Jiu Tok berlalu guna
menemui It-kiam-tin-thian-lam, di wajahnya sedikit terbayang keheranan besar namun berusaha ditutupinya dengan tersenyum simpul.
Kelihatannya Kim-Jiu-Tok hanya menepuk bahu Tan Hong perlahan namun sebenarnya
hendak menguji seberapa dalam ilmu silat Tan Hong. Tan Hong sendiri diam saja ketika bahunya di tepuk-tepuk Kim Jiu Tok seolah-olah tidak merasakan sesuatu apapun.
"Harap jangan di ambil hati Tan-heng apabila ayahku melakukan sesuatu yang kurang berkenan dihatimu" kata Kim Han Seng mohon maklum.
"Tidak apa-apa Kim-heng, ayahmu adalah salah seorang angkatan tua yang kuhormati"
jawab Tan Hong dengan wajah ramah.
"Bok-heng, bagaimana hasil penyelidikanmu terhadap perkampungan misterius, apakah sudah ada hasilnya?" tanya Tan Hong.
"Sungguh mengecewakan, sejak pertemuan kita terdahulu cayhe terus berusaha melacak kebe
Jodoh Si Mata Keranjang 10 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pendekar Pemetik Harpa 18
^