Petualang Asmara 22

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


Melihat senjata mereka dapat tertangkap, dua orang pendeta itu kaget dan berbareng
mereka menghantam dengan tangan kiri yang terbuka ke arah tubuh Kun Liong.
"Bukk! Bukkk!" tangan kiri Hun Beng Lama mengenai punggung Kun Liong, sedangkan
tangan kiri Lak Beng Lama mengenai lambung. Baru sebuah saja dari dua pukulan ini
sudah cukup untuk menewaskan lawan. Akan tetapi anehnya, dua orang pendeta itu
berteriak-terlak kaget dan mencoba untuk menarik-narik tangan kiri mereka yang sudah
melekat pada punggung dan lambung! Kiranya Kun Liong sengaja menerima pukulan
mereka sambil mengerahkan sin-kang dan menggunakan ilmunya Thi-khi-i-beng
sehingga bukan saja tubuhnya tidak terpengaruh pukulan, bahkan otomatis tenaga sin-
kang kedua orang pendeta itu tersedot oleh pusarnya melalui punggung dan
lambungnya! Tentu saja Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama terkejut setengah mati
ketika merasa betapa sin-kang mereka membanjir keluar!
"Omitohud...!" Sin Beng Lama berseru dan tiba-tiba tampak dua sinar api meluncur.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
625 "Aduhh...!" Kun Liong berteriak kaget ketika punggung dan lambungnya terasa panas
terbakar. Kiranya jalan darahnya di bagian itu telah ditotok oleh Sin Beng Lama yang
menggunakan "senjata" istimewa sekali, yaitu dua batang hio yang bernyala! Ketika
merasa betapa telapak tangan mereka terlepas dari hisapan, Hun Beng Lama menarik
tangan mereka dan cepat menampar.
"Plak! Desss...!" Tubuh Kun Liong terguling-guling oleh tamparan yang mengenai leher
dan dadanya itu.
"Syuuuuttt... ahhhh...!" Kun Liong terkapar dan berkelojotan tubuhnya karena dia
merasa tubuhnya sakit-sakit seperti dibakar api ketika lima batang hio itu sudah
meluncur dan menancap di lima bagian jalan darahnya secara luar biasa sekali!
Kepalanya pening, pandang matanya kabur dan dalam keadaan setengah pingsan Kun
Liong masih dapat mendengar suara Hong Ing, "Jangan bunuh dia... aku tidak sudi pergi
kalau dia dibunuh...! Kun Liong...!" Dan selanjutnya gelap dan dia tidak tahu apa-apa
lagi! "Auhhh.." Kun Lion mengeluh, tubuhnya terasa nyeri semua, nyeri dan panas. Dia
membuka matanya dan teringatlah dia bahwa dia roboh oleh Sin Beng Lama yang
menyerangnya dengan sambitan lima batang hio yang merupakan sinar api kuning emas
meluncur seperti kilat menyambar dan yang tepat mengenal lima jalan darah di
tubuhnya. "Uhhh...!" Dia mengeluh lagi penuh kengerian ketika melirik dan melihat betapa lima
biting itu telah menancap di kedua pundaknya, kedua pahanya dan yang satu di
lambungnya. Dupa biting itu dapat menancap seperti anak-anak panah baja saja, depat
dibayangkan betapa lihai kakek pendeta Lama itu!
Kun Liong mengerahkan tenaganya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya
ketika tenaga sin-kangnya yang dilatihnya dari kedua orang gurunya, Bun Hwat Tosu dan
Tiang Pek Hosiang, tidak dapat digunakan, seolah-olah sumbernya telah dihimpit dan
tenage sin-kangnya tidak dapat timbul. Juga tenaga Thi-khi-i-beng yang tersimpan di
pusarnya, tidak dapat dia gerakkan! Tahulah dia dengan kaget sekali bahwa lima batang
hio itu telah melumpuhkan sin-kangnya, dan teringatlah betapa dua tusukan hio biting
itu pun telah melenyapkan tenaga sedot dari Thi-khi-i-beng ketika dia menggunakan ilmu
itu terhadap Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama! Bahkan ketika dia berusaha
menggerakkan kedua tangan untuk mencabut hio-hio itu, kedua tangannya juga lumpuh
karena hio-hio itu telah menotok kedua pundaknya.
Kun Liong bersikap tenang. Dia tahu bahwa Hong Ing telah dibawa pergi oleh mereka,
bahwa dia hanya sendirian di pulau. Musuh-musuh yang tangguh itu telah pergi dan dia
kini terlentang di atas pasir dalam keadaan tertotok oleh hio-hio itu, tak berdaya sama
sekali, sedangkan hio-hio itu agaknya beracun. Hal ini dapat diduga dari rasa nyeri dan
panas yang mengamuk di tubuhnya. Akan tetapi dia tidak boleh putus harapan, tidak
boleh gugup. Dia harus dapat menolong diri sendiri dulu, terutama sekali agar dia dapat
mencari Hong Ing. Dia masih dapat mengingat teriakan Hong Ing yang terakhir ketika
menyebut namanya, teriakan seorang yang berada dalam kesulitan. Tak mungkin Hong
Ing, betapa pun bencinya kepadanya, biarpun andaikata dara itu tidak mencintainya, tak
mungkin dara itu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan seperti itu! Tidak
mungkin! Dia tahu siapa Hong Ing dan dara macam apa adanya dia! Hong Ing, di balik
semua sifat dan wataknya yang aneh sebagai seorang wanita, memiliki hati yang
berbudi. Tak mungkin Hong Ing tega meninggalkan dia dalam keadaan seperti itu, kalau
dara itu tidak dipaksa. Dipaksa! Berarti diculik oleh tiga orang pendeta Lama itu! Dan
tentu saja Hong Ing tidak akan mampu melawan mereka yang demikian lihainya. Karena
itu, jelas bahwa Hong Ing berada dalam kesulitan. Dalam bahaya! Dan dia harus
meholongnya, harus mengejar tiga orang pendeta Lama itu. Akan tetapi, yang terpenting
sekarang, dia harus dapat membebaskan diri sendiri lebih dulu. Bagaimana caranya"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
626 Kun Liong mengingat-ingat. Dari gurunya yang ke dua, Tiang Pek Hosiang, dia telah
mempelajari ilmu-ilmu Jiu-kut-keng (Melemaskan Badan), dan dari Bun Hwat Tosu dia
telah diajari dasar Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Ilmu yang
pertama itu memungkinkan dia untuk meloloskan diri dari belenggu yang bagaimana
kuatpun, dan ilmu ke dua dapat membuat dia membuyarkan totokan yang menguasai
tubuhnya. Akan tetapi sekali ini, kedua ilmu itu tidak dapat dia pergunakan karena sumber tenaga
sin-kangnya terhimpit. Sambil terlentang di atas pasir, hanya biji matanya yang
bergerak-gerak dan dipaksa memandang ke langit yang hitam penuh terhias bintang.
Kun Liong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua ilmu yang pernah
dipelajarinya, mulai dari kecilnya dia belajar dari ayah bundanya, lalu kepada Bun Hwat
Tosu, Tiang Pek Hosiang dan yang terakhir dari supeknya, Pendekar Cia Keng Hong.
Kemudian di atas pulau kosong itu, dia membaca kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Kaisar
Bun Ong. Jutaan tak terbilang dari bintang-bintang di langit mengingatkan dia akan pelajaran
tentang letak bintang dan artinya dengan kehidupan manusia yang dia pernah baca di
dalam kitab Keng-lun Tai-pun itu, mengingatkan dia akan semua yang dipelajarinya dari
kitab itu. Otomatis dia teringat akan latihan napas dalam kitab itu dan segera
pernapasannya diatur menurut pelajaran itu tanpa maksud tertentu. Betapa girang dan
kaget hatinya ketika tidak lama setelah dia mengatur pernapasan menurut latihan dalam
kitab itu, rasa nyeri dan panasnya banyak berkurang. Hal ini mendorongnya untuk
mengerahkan seluruh perhatiannya dalam latihan ini, kemudian dengan semangat yang
terbangun secara aneh, dia mulai menyalurkan semangat ini untuk menggerakkan kaki
tangannya menurut petunjuk dalam kitab yang telah dihafalkan. Dan hasilnya... benar-
benar luar biasa. Dia dapat menggerakkan kaki tangannta! Bahkan kini himpitan di
pusarnya mulai terangkat dan begitu dia dapat menggerakkan hawa sin-kangnya dari
pusar, sin-kang yang dilatihnya dari Bun Hwat Tosu membuat lima batang hio itu
terdorong keluar dari tubuhnya!
Kun Liong cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan matanya dan mengerahkan
hawa sin-kang, disalurkannya berputaran di seluruh tubuhnya untuk menghalau semua
hawa beracun, dan mengisi tubuhnya dengan hawa murni melalui pernapasan.
Sampai pada keesokan harinya, barulah Kun Liong berhasil memulihkan kesehatan dan
tenaganya. Setelah dia membuka mata menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai
otot-ototnya berbunyi, barulah hatinya merasa puas karena dia telah sembuh sama
sekali. Akan tetapi setelah dia sembuh perhatiannya akan diri sendiri lenyap dan kembali
dia teringat kepada Hong Ing.
"Ahhhh... Hong Ing...!" Dia mengeluh dan seperti kebiasaannya, kalau dia merasa
bingung den gelisah, tangan kirinya meraba-raba kepalanya yang gundul.
"Heiii...!" Matanya terbelalak, den kini tangan kanannya ikut pula meraba-raba
kepalanya. Dia tidak mimpi! Tangan kirinya tidak kehilangan perasaanya. Memang benar
kepalanya tidak kelimis dan licin lagi!
"Hong Ing...! Kepalaku berambut...!" Dia melompat bangun, akan tetapi segera
tertunduk kembali seperti dibanting karena dia teringat bahwa Hong Ing tidak berada di
pulau! Kegirangan dan kekagetan meraba kepalanya yang tumbuh rambut itu tadi
sejenak melupakan dia bahwa Hong Ing telah diculik orang.
Kini kedua tangannya menyelidiki kepalanya. Benar tumbuh rambut, biarpun masih
pendek akan tetapi jelas terasa oleh rabaan tangan. Teringat dia akan telur-telur yang
berpuluh banyaknya, yang tidak disukai oleh Hong Ing dan yang oleh dara itu telah
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
627 direbus setiap hari untuk dia. Teringat dia betapa kepalanya menjadi gatal-gatal setelah
makan telur-telur itu! Dan teringat pula dia akan cerita Hong Ing tentang seekor ular
hitam yang mendarat dan tentang bentuk dan warna telur yang oleh dara itu disangka
bukan telur kura-kura. Kini dia mengerti. Telur-telur itu memang bukan telur kura-kura.
Entah telur apa, mungkin saja telur ular yang dilihat Hong Ing itu. Dia tidak merasa
heran kalau ada telur semacam binatang yang depat memunahkan racun di tubuhnya
sehingga rambut kepalanya tumbuh kembali. Dia tahu bahwa tidak ada penyakit yang
tak dapat disembuhkan di dunia ini. Ibunya, seorang ahli pengobatan yang pandai,
pernah berkata bahwa di dunia ini, segala sesuatu ada lawannya. Demikian pun
penyakit, sudah pasti ada obatnya. Kalau ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
hal itu hanya terjadi karena manusia belum menemukan lawan dari penyakit itu! Dan
menurut ibunya, di udara, di atas dan di dalam tanah, di dalam air, di mana-mana
terdapat bahan obat yang serba lengkap dan manusia hanya tinggal menyelidiki dan
menemukannya saja. Sekarang, secara kebetulan sekali telur aneh itu merupakan lawan
dari "penyakit" yang membuat rambut kepalanya tidak mau tumbuh, sehingga kepalanya
menjadi normal kembali dan telah tumbuh rambut!
Setelah keadaan cuaca agak terang oleh sinar matahari pagi, Kun Liong berlari ke
sumber air dan bercermin di kolam. Tak salah lagi, bintik-bintik hitam di kepalanya itu
adalah rambut-rambut muda! Ah, betapa Hong Ing akan girang melihatnya, betapa
mereka berdua akan tertawa-tawa menyaksikan keanehan yang amat menguntungkan
ini. Tiba-tiba dia menarik napas panjang. Hong Ing sudah lenyap! Dia harus mencarinya!
Dan dia tahu ke mana harus mencari Hong Ing. Tidak lain dia harus mengejar tiga orang
kakek pendeta Lama itu dan ke mana lagi mencari mereka kalau bukan ke Tibet"
Mulai pagi hari itu, dengan penuh ketekunan Kun Liong membuat sebuah perahu dari
batang pohon besar yang ditumbangkamya di dalm hutan di tengah pulau. Tentu saja
tidak mudah membuat sebuah perahu dari batang demikian besar tanpa alat apa pun
kecuali ujung batu-batu karang yang runcing. Akan tetapi dengan penuh semangat,
terdorong oleh kekhawatiran akan keselamatan Hong Ing, Kun Liong bekerja siang-
malam dan hanya berhenti kalau perutnya sudah terlalu lapar untuk makan atau
matanya sudah terlalu mengantuk untuk tidur.
Sambil bekerja dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi selama dia bersama
dengan Hohg Ing. Dia menarik napas panjang dan harus mengakui bahwa dia benar-
benar mencinta dara itu! Dan beberapa kali dia merasa malu kepada diri sendiri kalau dia
mengingat akan semua sikap dan hubungannya dengan gadis-gadis lain. Betapa dahulu
dia berpemandangan rendah soal cinta! Betapa dahulu dia menganggap dara-dara itu
seperti kembang yang indah harum untuk dipandang kagum dan dicium. Betapa dahulu
dia menganggap bahwa rasa suka yang menarik hati antara muda-mudi hanyalah
dorongan nafsu berahi semata! Dan sekarang, barulah dia merasakan benar-benar
betapa hebat kekuasaan perasaan yang disebut cinta asmara ini! Betapa anehnya!
Dia menjadi bingung kalau mengenang sikap Hong Ing kepadanya. Kadang-kadang dia
seperti dapat menangkap sinar mata penuh kasih mesra, dapat melihat sikap dara itu
yang jelas membayangkan cinta kasih dara itu kepadanya. Akan tetapi, mengapa
seringkali Hong Ing marah-marah kepadanya dan seolah-olah membencinya" Padahal,
ketika dara itu melayaninya makan, ketika bercakap-cakap, bersendau-gurau, ketika
mereka bersama membuat pondok, ketika mereka berkejaran dan berlumba mencari
telur, semua itu jelas menunjukkan bahwa dara itu berbahagia di sampingnya, bahwa
dara itu suka akan kehadirannya dan mencintanya! Akan tetapi dara itu pun pernah
memakinya seperti orang yang sombong, angkuh, tolol, dan yang lebih hebat lagi...
memuakkan perutnya! Dan yang terakhir itu, sebelum dibawa pergi para pendeta Lama,
ketika dia dengan terus terang menyatakan cinta kasihnya kepada Hong Ing, dara itu
mula-mula kelihatan seperti orang yang terharu dan berbahagia, akan tetapi mengapa
kemudian berubah menjadi marah-marah dan memandangnya penuh kedukaan dan
kebencian" Mengapa"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
628 Dia mengenangkan semua peristiwa itu, satu demi satu. Didengarnya kembali
pengakuan cintanya kepada Hong Ing, didengarnya kembali semua ucapan Hong Ing
kepadanya dan kemarahan dara itu kepadanya.
"Ohhh...!" Tiba-tiba Kun Liong menghentikan pekerjaannya, duduk termangu-mangu dan
mukanya menjadi pucat. Kembali dia membayangkan adegan tertentu dan kata-kata
tertentu sebelum Hong Ing marah.
"Ahh, benar-benar tolol kau!" Kun Liong menampar kepalanya yang kini tidak gundul
lagi, melainkan tertutup rambut hitam yang kaya dan hitam, akan tetapi, baru satu senti
panjangnya. Terngiang kembali dalam telinganya percakapan antara dia dan Hong Ing
sebelum dara itu marah-marah bahkan telah menamparnya!
"Kau cinta padaku..." Lalu... bagaimana dengan wanita idaman yang kau khayalkan
dahulu itu...?" Hong Ing bertanya kepadanya.
"Ha-ha, dahulu aku bodoh, aku dungu, tergila-gila kepada wanita khayali, wanita yang
hanya bayangan... aku suagguh tolol seperti yang kaukatakan..." dia menjawab.
Mendengar itu, Hong Ing menjadi pucat. Dia ingat betul akan perubahan ini, dan
mendengar kembali suara Hong Ing yang terputus-putus. "Apa... apa maksudmu...?"
Dan dia, betapa tololnya, ketololan yang amat keterlaluan, dia menjawab seenak
perutnya sendiri saja, "Dahulu aku tolol. Yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku
hanyalah engkau, wanita dari darah daging, bukan wanita khayal itu, wanita dalam
mimpi yang tentu saja tidak pernah ada."
Hong Ing lalu menamparnya! Tentu saja! Dia sekarang sadar bahwa sepatutnya dia
dipukul, bukan hanya ditampar!
Mengapa dia begitu tolol" Kini dia dapat menyelami perasaan hati seorang gadis seperti
Hong Ing ketika mendengar pengakuannya yang bodoh bahwa wanita impiannya itu
tidak pernah ada! Padahal Hong Ing melebihi semua wanita impiannya! Jawabannya
yang bodoh itu tentu saja menyakitkan hati Hong Ing karena seolah-olah baginya, tidak
ada wanita yang sempurna, seperti wanita khayalannya itu, bahkan Hong Ing pun tidak
sesempurna wanita impiannya itu. Dia memang patut dipukul mampus!
Perasaan menyesal terhadap kesalahamya ini, kesalahan yang telah menghancurkan hati
kekasihnya, membuat Kun Liong makin tekun. Tanpa mengenal lelah dia menyelesaikan
pembuatan perahunya dan dua bulan kemudian selesailah perahu itu, sebuah perahu
sederhana sekali. Dia lalu berangkat meninggalkan pulau itu dengan mendayung
perahunya. Yang dibawanya hanyalah kitab Keng-lun Tai-pun yang masih terus
dipelajarinya karena isi kitab itu amat sukar dimengerti, harus dibaca berulang-ulang.
Harta pusaka berupa emas perak dan permata dia tinggalkan di pulau, dia sembunyikan
di dalam sebuah di antara guha-guha di pulau itu, dia hanya membawa beberapa potong
emas dan perak untuk bekal di perjalanan. Tujuannya hanya satu, mencari Hong Ing
sampai ketemu! Dan arah perjalanannya setelah mendarat nanti telah pasti, kecuali
kalau ada jejak dara itu yang menuju ke lain arah, yaitu ke Tibet!
"Sudahlah, Keng-moi... sudahlah kekasihku yang tercinta. Perlu apa menangis lagi"
Tangismu menghancurkan hatiku, Keng-moi. Bukankah aku berada di sini, di sampingmu
selalu?" "Liong-koko...!" Giok Keng makin terisak menangis, menyandarkan kepalanya di atas
dada Liong Bu Kong yang mengelus-elus rambutnya dengan penuh kemesraan. "Engkau
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
629 tidak merasakan betapa sakit hatiku... betapa sengsaranya hati orang yang diusir dan
tidak diakui lagi oleh ayah bundanya... hu-hu-huuk..."
"Aku mengerti, Moi-moi... aku mengerti... dan memang tidak semestinya engkau
mengorbankan diri sedemikian rupa hanya untuk seorang seperti aku... maka sekarang
belum terlambat, kalau kautinggalkan aku dan pulang, minta ampun kepada ayah
bundamu, Moi-moi..."
Cia Giok Keng mengangkat mukanya yang basah air mata dan matanya yang agak
merah karena tangis itu memandang wajah yang tampan dari Bu Kong. Malam itu bulan
telah muncul dan di bawah sinar bulan wajah itu kelihatan tampan sekali.
"Apa... apa maksudmu..." Meninggalkanmu...?"
Bu Kong menundukkan mukanya dan berkata, suaranya halus menggetar, "Keng-moi,
aku cinta kepadamu, aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku... dan demi cinta
kasihku yang murni, aku tidak ingin melihat kau menderita. Tidak! Aku hanya ingin
melihat engkau berbahagia, maka melihat engkau menangis dan bersengsara seperti
ini... ah, biarlah aku yang menderita, Moi-moi, kau kembalilah kepada orang tuamu..."
"Koko...!" Giok Keng menangis lagi sambil merangkul leher pemuda itu. Hatinya merasa
perih dan terharu, juga bahagia sekali karena ucapan pemuda itu meyakinkan hatinya
akan cinta kasih yang murni dari pemuda itu kepada dirinya. "Aku rela berkorban apa
pun, Koko... biarlah aku tidak diakui anak lagi oleh ayah bundaku asal engkau benar-
benar mencintaku..."
"Moi-moi...!" Bu Kong mendekap tubuh itu dan mencium pipinya, "Aku bersumpah demi
bumi dan langit bahwa aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Biarlah aku
bersumpah, kalau ternyata aku berhati palsu kepadamu, kelak Thian akan
menghukumku dengan...?"
"Husshh, tidak perlu bersumpah, aku percaya kepadamu, Koko..." Giok Keng menutup
mulut pemuda itu dengan telapak tangan kanannya.
"Moi-moi... ah, Moi-moi tersayang..."
Bu Kong memegang dan menciumi tangan itu, kemudian ciumannya berpindah-pindah,
dari tangan ke leher dan akhirnya dia menciumi bibir Giok Keng dengan penuh nafsu.
Mula-mula Giok Keng membalas ciuman pemuda itu dengan sepenuh hatinya karena
cinta kasihnya, penub penyerahan dan kemesraan. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuh nafsu yang
membuat dia terengah-engah itu disusul dengan gerakan jari-jari tangan Bu Kong yang
nakal, dia terkejut.
"Moi-moi... ahhh... Moi-moi tercinta...!" Bu Kong berkata dengan napas mendengus-
dengus, kemudian dengan gerakan halus dia mendorong kedua pundak dara itu sehingga
Giok Keng rebah terlentang di atas tanah berumput. Giok Keng merangkulnya,
menciumnya, dan jari-jari tangannya meraba-raba dan hendak membuka pakaian Giok
Keng. "Koko... jangan...!" Glok Keng mendadak bangkit duduk dan menolak kedua tangan
pemuda itu yang meraba dada dan pahanya. "Jangan begitu, Koko...!" suaranya penuh
permohonan dan nafasnya masih terengah-engah dibakar nafsu berahi.
"Mengapa Moi-moi" Bukankah kita saling nencinta?" Bu Kong mengecup pipi yang
kemerahan dan halus serta panas karena terbakar darah muda yang menggelora tadi.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
630 "Memang aku cinta padamu, Koko, dan aku yakin bahwa engkau pun mencintaku akan
tetapi kita... kita... tidak boleh begini... sebelum kita menikah dengan sah!"
Bu Kong melepasken kedua tangannya dan usahanya membelai dan memegang kedua
pundek dara itu, memandang wajah yang jelita itu dengan mata tajam dan suaranya
terdengar mencela, "Aihh, mengapa pendirianmu begini kuno, Moi-moi" Di mana ada
cinta, di situ tidak ada pelanggaran apa-apa lagi, apa pun boleh kita lakukan jika kita
saling mencinta! Bahkan tidak selalu cinta harus dihubungkan dengan pernikahan! Cinta
dan pernikahan itu adalah dua hal yang berlainan, Moi-moi!"
Giok Keng cemberut dan menggerakkan pundaknya sehingga pegangan Bu Kong itu
terlepas. Dia menggeser duduknya agak menjauhi pemuda itu, lalu berkata, suaranya
juga sungguh-sungguh, "Liong-koko, memang enak saja berkata demikian karena
engkau adalah seorang laki-laki! Kau bilang bahwa cinta dan pernikahan adalah dua hal
yang berlainan, dan biarpun anggapanmu ini ada benarnya, namun lebih benar lagi
adalah bahwa cinta dan bermain cinta adalah dua hal yang lebih berlainan lagi! Bermain
cinta hanyalah permainan nafsu berahi, dan seperti juga pernikahan, hanya merupakan
pelengkap dari cinta kasih belaka."
"Moi-moi, kita saling mencinta, kita berdua seakan-akan sudah tidak mempunyai lagi
orang tua, perlu apa urusan pernikahan direpotkan lagi" Kita saling mencinta, sehidup
semati, dan kalau aku ingin memiliki dirimu, demi cinta kita, apa salahnya itu?"
"Karena engkau seorang laki-laki, maka pendapatmu menjadi demikian mudah tentang
hal ini, Koko. Bagi pria, memang tidak ada cacad celanya melakukan hubungan di luar
nikah, akan tetapi demikiankah bagi wanita" Memang dunia ini kejam, terutama sekali
kejam terhadap wanita! Kalau sepasang muda-mudi, karena cinta mereka, karena
dorongan nafsu berahi mereka, melakukan hubungan dan bermain cinta di luar nikah,
selalu si wanita yang menjadi korban. Diejek, diolok-olok, dianggap manusia rendah.
Sebaliknya, si pria tidak apa-apa, bahkan perbuatannya itu akan dijadikan kebanggaan
diantara kawannya, dipamerkan sebagai suatu bukti kejantanan! Sekali saja seorang
wanita terpeleset dan bermain cinta di luar nikah, kehormatannya akan cemar, namanya
akan buruk. Sebaliknya, biarpun seorang pria melakukan hubungan itu di luar nikah
sampai seribu kali, tidak akan berbekas apa-apa! Apalagi kalau hubungan itu sampai
menghasilkan kandungan. Maka celakalah si wanita!"
"Ahh, Moi-moi, kau berpikir terlampau jauh dan mengkhawatirkan hal yang bukan-
bukan. Apakah kaukira aku yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku akan
meninggalkanmu begitu saja" Kita sudah sehidup semati, Moi-moi!"
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Koko. Hanya aku tidak ingin kehilangan harga
diriku yang merupakan kehormatan bagi seorang wanita, biarpun hanya kita berdua saja
yang mengetahui. Aku akan merasa rendah dan murah! Pula, kalau engkau memang
mencintaku, mengapa kau tidak mau menaruh hormat akan pendirianku ini" Mengapa
engkau tidak mau menjaga agar kehormatanku tetap terjunjung tinggi dan kita dapat
benar-benar menikmati masa pengantin baru" Koko, aku hanya mau menyerahkan diriku
kepadamu setelah kita menikah, sungguhpun hatiku sudah kuserahkan kepadamu."
"Keng-moi... kau mengecewakan hatiku... akan tetapi demi cintaku yang mumi, biarlah
aku akan menahan diri dan akan mentaati permintaanmu itu."
"Koko, engkau memang baik sekali!" Giok Keng merangkul dan mereka saling berciuman
dengan penuh kemesraan, akan tetapi api nafsu berahi yang tadinya hampir membakar
mereka berdua itu kini dapat dipadamkan atau setidaknya diperkecil sehingga tidak akan
timbul bahaya kebakaran.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
631 Bu Kong duduk di atas tanah bersandar pohon, Giok Keng duduk dan menyandarkan
tubuh di atas dada pemuda itu. Sampai lama keduanya tidak berkata-kata, hanya duduk
seperti itu dengan hati tenang, masing-masing tenggelam dalam lamunan.
Tak lama kemudian terdengar Bu Kong berkata, "Moi-moi, aku heran sekali bagaimana
seorang dara remaja seperti engkau ini dapat mempunyai pandangan sedemikian
mendalam tentang hubungan antara pemuda dan pemudi seperti yang kita bicarakan
tadi." "Ibu yang telah bicara kepadaku tentang semua itu, Koko. Dan Ibu adalah seorang
wanita yang keras hati, seorang wanita yang telah mempunyai banyak pengalaman
hidup, tahu akan pahit getirnya hidup sebagai seorang wanita. Semua yang dikatakannya
memang tepat dan benar, menurut kenyataan. Betapa banyak kenyataannya bahwa
wanita selalu terancam dalam hidupnya, banyak sekali bahaya menghadang, di depan
langkah hidup kaki wanita. Telah menjadi kembang bibir sebutan-sebutan yang
merendahkan kaum wanita. Ada gadis kehilangan keperawanannya akan tetapi tidak ada
sebutan perjaka kehilangan keperjakaannya. Ada sebutan isteri tidak setia, akan tetapi
suami yang tidak setia tak disebut-sebut. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang saja suami, namun seorang pria boleh saja mempunyai seratus orang isteri!
Sebagai akibat hubungan, wanitalah yang harus mengandung, melahirkan dengan segala
penderitaannya, sedangkan pria hanya tahu enaknya saja. Ada makian pelacur dan
sampah masyarakat bagi wanita, akan tetapi laki-laki hidung belang tukang melacur
tetap dianggap sebagai manusia terhormat."
Liong Bu Kong mengangguk-angguk dan mengelus rambut kekasihnya dengan mesra.
"Engkau memang hebat dan pantas menjadi puteri suami isteri pendekar seperti ayah
bundamu itu. Sayang sekali ayahmu keras dan tidak suka kepadaku, Moi-moi, sehingga
aku menjadi bingung sekah memikirkan hubungan kita ini. Aku sendiri sudah tidak
mempunyai orang tua, lalu bagaimanakah dengan perjodohan antara kita?"
"Kau sebagai seorang laki-laki harus dapat mencari jalan, Koko. Betapa pun besarnya
cintaku kepadamu, hubungan kita ini harus dilanjutkan dengan pernikahan, barulah aku
dengan syah menjadi isterimu dan aku takkan mengingkari lagi kewajibanku sebagai
seorang isteri yang mencinta. Kita akan membentuk keluarga bersama, maka pertama-
tama kita harus dapat menjaga kehormatan diri kita sendiri. Kita harus dapat menjaga
nama baik keturunan kita kelak, karena engkau tentu mengerti sendiri apa namanya
keturunan orang di luar nikah. Hanya penderitaan batin yang akan kita rasakan sebagai
akibatnya."
Karena Giok Keng duduk bersandar kepada Bu Kong, dia tidak tahu betapa ucapannya
tadi, pertama tentang anak yang lahir di luar nikah, membuat wajah Bu Kong menjadi
pucat dan pemuda ini memejamkan matanya. Dia teringat akan keadaan dirinya sendiri
dan ucapan dara itu seolah-olah menyindir dan mengejeknya! Dia sendiri pun tidak
pernah mengenal ayah kandungnya, dan biarpun dia diaku sebagai anak angkat oleh
Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, namun sesungguhnya dia adalah anak kandung Ketua Kwi-
eng-pang itu, anak yang terlahir tanpa ayah yang syah! Seorang anak haram!
Pandang mata Bu Kong melirik ke arah jalan darah di tengkuk dan pundak kekasihnya.
Betapa akan mudah kalau pada saat itu dia menotok jalan darah dan membuat Giok
Keng lemas tak berdaya. Betapa mudahnya kalau dia hendak menikmati tubuh
kekasihnya ini dengan kekerasan. Akan tetapi tidak, dia tidak ingin berbuat demikian.
Dia tergila-gila kepada Giok Keng, dia harus memiliki tubuh dara ini, akan tetapi Giok
Keng harus menyerahkan diri secara sukarela. Dia terlalu mencinta dara ini dan ingin
memiliki selamanya, bukan hanya memenangkamya dengan kekerasan yang pasti
berakibat dengan permusuhan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
632 "Engkau benar sekali, Moi-moi. Dan karena aku sudah tiada ayah bunda lagi, sedangkan
orang tuamu tidak mau menikahkan kita, maka jalan satu-satunya kita harus minta
pertolongan sebuah perkumpulan besar agar menikahkan kita secara syah."
"Terserah kepadamu, Koko. Bagiku, soal ikatan jodoh antara kita disyahkan dalam
pernikahan dan disaksikan umum, cukuplah. Akan tetapi perkumpulan manakah yang
akan mau menikahkan kita, Koko?"
"Perkumpulan besar sekali yang tentu akan mengatur pernikahan kita dengan meriah
dan mengundang seluruh tokoh dunia kang-ouw sehingga pemikahan kita akan menjadi
syah benar-benar."
"Bagus sekali, perkumpulan manakah itu, Koko?"
"Perkumpulan terbesar saat ini, yaitu Pek-lian-kauw."
"Heh...?" Giok Keng meloncat bangun, membalikkan tubuhnya dan memandang
kekasihnya dengan mata terbelalak kaget. "Pek-lian-kauw..." Perkumpulan pemberontak
itu?" "Keng-moi, tenanglah dan duduklah. Mari kita bicara dengan tenang dan berpikir secara
wajar." Setelah Giok Keng duduk di depan kekasihnya, Bu Kong berkata. "Engkau jangan
memandang dari satu pihak saja. Ketahuilah bahwa kalau pemerintah menganggap Pek-
lian-kauw sebagai pemberontak, banyak rakyat menganggapnya sebagai pejuang
melawan pemerintah yang lalim. Kita jangan menjerumuskan diri dalam pertikaian yang
sebetulnya hanyalah perebutan kekuasaan antara orang-orang kalangan atas saja.
Permusuhan antara Pek-lian-kauw dan pemerintah sama sekali tidak ada hubungannya
dengan pernikahan kita bukan" Dan aku yakin hanya Pek-lian-kauw yang akan sanggup
menikahkan kita, karena kalau kita memilih perkumpulan yang menjadi sahabat orang
tuamu mereka tentu akan menolak tanpa ijin orang tuamu. Pek-lian-kauw adalah
perkumpulan yang besar dan diakui, maka jika perkumpulan ini yang menikahkan kita,
yang diundang tentulah orang-orang besar dan yang akan menyaksikan pernikahan kita
adalah tokoh-tokoh kang-ouw, sehingga pernikahan itu akan menjadi syah sama sekali!"
"Tapi... tapi... apakah kita lalu menjadi anggauta Pek-lian-kauw?"
"Ha-ha, tentu saja tidak, Moi-moi!"
"Dan... aku tidak diharuskan membantu mereka menjadi pemberontak?"
Ah, tentu saja tidak. Hal seperti itu timbul dari hati sendiri, mana bisa diharuskan dan
dipaksa?" "Kalau begitu... terserah kepadamu, Koko. Aku percaya kepadamu dan bagiku yang
terpenting, asal pernikahan kita disyahkan dan disaksikan banyak orang, cukuplah."
"Kalau begitu, marilah kita mengunjungi Pek-lian-kauw dan menghadap kepada Thian
Hwa Cinjin."
"Thian Hwa Cinjin" Siapa itu, Koko?"
"Ha-ha-ha, engkau belum mendengar namanya" Memang dia tidak pernah maju sendiri,
akan tetapi dialah yang mengatur segalanya, dialah Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki
ilmu kepandaian yang amat luar biasa, sukar diukur betapa tingginya. Dia adalah Ketua
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
633 Pek"lian-kauw wilayah timur dan bertempat tinggal di tepi pantai Laut Kuning, di muara
Sungai Huang-ho. Besok pagi kita berangkat ke sana, Moi-moi."
"Balklah, Liong-koko, akan tetapi hanya dengan syarat yaitu..."
"Kita tidak akan bermain cinta sebelum menikah!" Bu Kong memotong sambil tertawa.
"Bukan itu saja, Koko, melainkan bahwa pengesahan pernikahan oleh Pek-lian-kauw itu
tidak mengharuskan kita bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Aku tidak sudi terlibat dalam
pemberontakan."
"Baik, aku mengerti, Moi-moi. Sekarang tidurlah, biar aku membuat api unggun untuk
mengusir nyamuk."
Giok Keng merebahkan diri dan Bu Kong membuat api unggung lalu menyelimuti tubuh
kekasihnya dengan mantelnya. Hatinya kecewa sekali karena hasrat hatinya, nafsu
berahinya, tidak terlaksanakan, namun karena Giok Keng sudah setuju untuk
bersamanya pergi menghadap Thian Hwa Cinjin, hatinya merasa lega. Memang lebih baik
kalau dia memiliki Giok Keng sebagai isteri syah, sehingga tidak akan ada yang
menggugatnya lagi kelak!
Pada waktu itu memang Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang amat terkenal dan
kuat, memiliki cabang dan
banyak anggauta. Pek-lian-kauw dipimpin oleh orang-orang pandai dan mereka
mengadakan pemberontakan dan menentang pemerintah dengan dalih membela rakyat
dari pemerintah lalim. Karena pengaruhnya yang besar, boleh dibilang seluruh tokoh
kaum sesat berlindung di bawah sayap Pek-lian-kauw dan para orang gagah juga segan
untuk berurusan dengan perkumpulan yang berpengaruh dan amat kuat ini. Biarpun
perkumpulan-perkumpulan bersih dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw tidak sudi
menggabung dan bersekutu dengan pemberontak, akan tetapi mereka pun tidak mau
melibatkan diri dan tidak mau bermusuhan dengan Pek-lian-kauw yang amat kuat.
Hampir di setiap kota besar terdapat ranting Pek-lian-kauw. Pimpinan Pek-lian-kauw
terbagi menjadi empat, yaitu di utara, barat, selatan, dan timur. Pek-lian-kauw wilayah
timur ini dipimpin oleh Thian Hwa Cinjin, seorang tokoh baru yang belum lama muncul
dan merupakan tokoh besar di wilayah timur. Setelah Pek-lian-kaw di timur ini berada di
bawah pimpinan Thian Hwa Cinjin, maka terjadilah perubahan besar yang
menyenangkan para anggautanya. Dahulu, sebelum dipegang oleh Thian Hwa Cinjin,
Pek-lian-kauw di wilayah timur ini hanya mementingkan pemberontakan dan urusan
agama saja. Akan tetapi, setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, kepentingan para
anggauta diperhatikan dan terdapat banyak peraturan baru yang menyenangkan para
anggautanya. Bahkan ada kecondongan bahwa Pek-lian-kauw yang tadinya khusus
memusatkan kekuatan pada perjuangan menentang pemerintah yang dianggapnya lalim
dan menindas rakyat, menjadi perkumpulan yang mementingkan kesejahteraan pribadi.
Thian Hwa Cinjin adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh kurus
jangkung, berpakaian seperti tosu dan dia datang dari seberang lautan. Tidak ada yang
tahu jelas dari mana dia datang, akan tetapi ada kabar bahwa dia datang dari Korea.
Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia memiliki kepandaian sihir yang membuat
para anggautanya menjadi makin tunduk dan takut.
Tadinya sebelum munculnya ketua baru ini, di Pek-lian-kauw hanya ada pendeta-pendeta
pria saja yang mempraktekkan ajaran agama campuran antara Buddha dan Tokauw.
Setelah Thian Hwa Cinjin menjadi ketua, dia memperbolehkan masuknya pendeta
wanita. Anehnya, pendeta-pendeta wanita Pek-lian-kauw semua muda dan cantik, dan
hanya pakaian pendeta saja yang menunjukkan bahwa mereka adalah pendeta Pek-lian-
kauw. Padahal sebetulnya pendeta-pendeta wanita ini adalah wanita-wanita yang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
634 bertugas menghibur para pimpinan Pek-lian-kauw dan sebutan pendeta itu hanya
sebagai kedok belaka.
Juga Thian Hwa Cinjin menghapuskan pantangan menikah bagi pendeta Pek-lian-kauw,
bahkan diperbolehkan memelihara selir sesuai dengan kekuatan tubuh dan isi kantung
mereka. Thian Hwa Cinjin sendiri tidak beristeri, akan tetapi dia mempunyai dua orang
selir yang cantik sekali di samping pelayan-pelayan wanita yang terdiri dari gadis-gadis
muda cantik yang diaku sebagai pelayan, juga murid, juga penghibur di dalam kamarnya
sebagai selingan kedua orang selirnya!
Dua orang selir itu pun bukan orang sembarangan dan mereka diambil sebagai bukti
dari ketua itu bahwa dia adalah seorang yang anti pembesar pemerintah dan memusuhi
para pembesar pemerintah. Belum lama setelah dia menjadi ketua, dia menculik dua
orang wanita itu, yaitu puteri seorang pembesar di kota Sin-yang, seorang dara muda
yang masih gadis, dan juga selir pembesar itu, selir termuda dan tercantik! Dia
memperkosa kedua orang wanita muda dan cantik itu, kemudian dengan paksa
membawa mereka ke markas Pek-lian-kauw dan mengangkat mereka menjadi selir-
selirnya. Dua orang wanita itu hanya dapat menangisi nasib mereka, karena mereka
sama sekali tidak berdaya untuk melawan, bahkan membunuh diri pun tidak mungkin
karena selalu terjaga. Kemudian, di bawah kekuasaan sihir Thian Hwa Cinjin, kedua
orang wanita itu malah menurut dan senang hati melayani Si Kakek sebagai suami
mereka yang tercinta!
Dengan dalih berjuang demi kepentingan rakyat jelata dan demi pembebasan rakyat dari
penindasan pemerintah lalim, Pek-lian-kauw dapat mengumpulkan banyak dana dari
sumbangan rakyat. Terutama sekali rakyat yang kaya banyak menyumbangkan
hartanya, bukan semata-mata karena demi perjuangan, melainkan karena mereka ini
mengharapkan jaminan bahwa harta bendanya takkan diganggu oleh Pek-lian-kauw!
Demikianlah, kata-kata "perjuangan" kehilangan kemurnian maknanya, dan dijadikan
"modal" bagi mereka yang menghendaki cita-citanya tercapai, cita-cita demi kepentingan
diri sendiri, baik berupa ambisi mencapai kedudukan tinggi maupun mencari kekayaan.
Hal seperti ini terjadi semenjak sejarah berkembang di jaman dahulu sampai sekarang,
dan di seluruh pelosok dunia.
Pada suatu hari, menjelang tengah hari, sepasang orang muda datang mengunjungi
markas Pek-lian-kauw wilayah timur itu. Mereka berdua itu bukan lain adalah Liong Bu
Kong dan Cia Giok Keng. Dara ini terheran-heran dan kagum melihat keadaan Pek-lian-
kauw ketika dia tiba di pintu gerbang perkumpulan itu. Tempat itu merupakan sebuah
perkampungan di tepi pantai laut, perkampungan yang terkurung oleh tembok yang
kokoh kuat dan tinggi, dengan pintu-pintu gerbang yang terjaga kuat dalam bentuk
benteng yang terjaga siang malam dengan kuatnya.
Ketika Liong Bu Kong memperkenalkan namanya pada pintu gerbang pertama, mereka
berdua diharuskan menanti sampai seorang penjaga melapor ke dalam melalui pintu
gerbang yang berlapis lima dan terjaga kuat menuju ke dalam. Mereka harus menanti
agak lama karena untuk menentukan apakah seorang tamu diperbolehkan masuk,
apalagi tamu yang ingin berjumpa dengan ketua, haruslah diputuskan oleh ketua sendiri


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan pelaporan kepada ketua melalui beberapa orang komandan jaga!
Thian Hwa Cinjin sedang makan siang, ditemani oleh dua orang selirnya yang cantik dan
dilayani oleh gadis-gadis muda yang cantik pula. Mendengar pelaporan bahwa seorang
bernama Liong Bu Kong, putera Ketua Kwi-eng-pang di Telaga Kwi-ouw hendak
berjumpa dengannya, ketua ini mengangguk-angguk. Dia belum pernah bertemu dengan
pemuda itu, akan tetapi dia sudah mendengar akan nama Kwi-eng-pang, bahkan dia
pernah mendengar betapa perkumpulan kaum sesat itu pernah bersekutu dengan Pek-
lian-kauw, sungguhpun persekutuan itu belum menghasilkan sesuatu. Tadinya dia agak
malas untuk bertemu dengan pemuda putera datuk kaum sesat itu, akan tetapi karena
teringat akan cerita tentang perebutan bokor emas milik Panglima The Hoo dan kabarnya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
635 bokor emas itu pernah terjatuh ke tangan ibu pemuda yang datang ini, hatinya tertarik
dan mengatakan kepada pengawal agar Liong Bu Kong dipersilakan menunggunya di
ruangan tamu. Dengan cara berantai, perintah ini akhirnya disampaikan juga kepada Liong Bu Kong
yang bersama Cia Giok Keng masih menunggu di luar pintu gerbang pertama dengan
hati tidak sabar. Mereka dikawal masuk pintu gerbang pertama sampai di pintu gerbang
ke dua, di mana mereka dikawal oleh penjaga lain lagi menuju ke pintu gerbang ke tiga
dan seterusnya sampai mereka melalui pintu gerbang ke lima. Di sini, mereka disambut
oleh tiga orang pendeta laki-laki dan tiga orang pendeta wanita yang mengawal mereka
ke ruangan tamu di bangunan khusus.
GIOK KENG terheran-heran. Tiga orang pendeta pria itu rata-rata berusia lima puluh
tahun, sikap mereka halus dan jelas membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian
silat tinggi. Akan tetapi tiga orang pendeta wanita muda, paling tua tiga puluh tahun
usianya, dan wajah mereka cantik-cantik! Biarpun mereka juga kelihatan halus pendiam,
namun Giok Keng dapat menangkap kerling mata yang menyambar tajam dan penuh arti
ke arah wajah Bu Kong yang tampan!
Setibanya di ruang tamu dan dipersilakan duduk, Giok Keng makin kagum. Kalau tadi dia
mengagumi kekuatan dan ketertiban penjagaan di benteng Pek-lian-kauw, kini dia
mengagumi keindahan ruangan itu. Selain meja dan kursi-kursinya terbuat dari kayu
berukir dan merupakan perabot rumah yang mahal, tiga ruangan itu terhias lukisan-
lukisan dan tulisan indah-indah yang tentu tidak murah pula harganya, seperti ruang
tamu gedung seorang hartawan atau bangsawan saja layaknya!
Lapat-lapat di sebelah kiri, dari sebuah bangunan di mana tampak asap hio mengepul,
terdengar suara merdu orang membaca doa, suara yang menggetarkan kalbu dan seperti
biasanya suara orang berdoa, selalu mendatangkan keharuan yang khas. Di sebelah
kanan, agak jauh dari tempat yang amat luas itu, tampak beberapa orang sedang
berlatih silat di sebuah lapangan rumput yang luas. Gerakan mereka sigap dan kuat, dan
biarpun dari jauh, Giok Keng dapat mengenal ilmu silat yang baik. Diam-diam dia
menjadi makin kagum. Tak disangkanya bahwa Pek-lian-kauw yang terkenal sebagai
perkumpulan pemberontak, yang dibenci oleh ayah bundanya, ternyata merupakan
perkumpulan yang teratur rapi dan agaknya memiliki keuangan yang kuat!
"Selamat datang, sepasang orang muda yang tampan dan cantik, yang keduanya gagah
perkasa!" Suara ini datang dari dalam dan agaknya orang yang bicara sudah berada di depan
mereka, akan tetapi Giok Keng tidak melihat apa-apa! Bulu tengkuknya meremang.
Setankah yang bicara itu" Akan tetapi, Bu Kong segera memegang tangannya dan
mengajaknya berdiri. Pemuda ini sudah menjura ke depan, ke arah pintu sambil berkata
"Mohon Locianpwe sudi memaafkan kedatangan kami yang lancang ini dan sudi
memperlihatkan diri. Harap Locianpwe tidak mempermainkan kami berdua yang muda
dan bodoh."
"Ha-ha-ha, engkau boleh juga, orang muda. Merendahkan diri, menghormat, akan tetapi
sekaligus juga menegur. Nah, kalian pandanglah Pinto (aku)!"
"Wussshhh...!" Tampak asap putih mengepul tebal dan dari dalam asap itu, seorang
kakek berusia enam puluh tahun, jenggotnya panjang, pakaiannya model pakaian
pendeta tosu berwarna kuning dengan gambar bunga teratai putih di depan dadanya.
Biarpun jenggotnya sudah banyak ubannya, namun rambut, jenggot dan pakaian kakek
ini terpelihara rapi dan bersih, bahkan sepatunya juga masih baru. Ada bau harum keluar
dari kakek itu, tanda bahwa kakek ini masih pesolek, suka memakai wangi-wangian di
tubuhnya. Namun, kakek kurus jangkung itu memiliki sepasang mata yang amat tajam,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
636 sepasang mata yang mengandung wibawa kuat sekali sehingga dalam pertemuan
pandang pertama, Giok Keng merasa berdebar jantungnya dan meremang bulu
tengkuknya sehingga dia cepat menundukkan mukanya.
"Tok! Tok! Tok!" Tongkat hitam mengkilap di tangan kanan kakek itu mengeluarkan
bunyi ketika dia melangkah maju menghampiri Bu Kong dan Giok Keng.
"Saya Liong Bu Kong dan Nona Cia Giok Keng ini menyampaikan hormat kepada Tung-
kauwcu (Ketua Agama Timur)." Kembali Bu Kong berkata sambil menjura dengan
hormat, diturut oleh Giok Keng.
"Ha-ha, tidak perlu banyak sungkan, orang-orang muda. Kita adalah orang sendiri,
bukan" Benarkah engkau putera Kwi-eng-pangcu?"
"Benar, Locianpwe. Mendiang ibu saya adalah Ketua Kwi-eng-pang."
Ketua Pek-lian-kauw itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya dengan tangan
kiri. "Hemmm, Pinto sudah mendengar akan kematian itu... kalau tidak salah, dalam
perebutan bokor pusaka bukan" Hemmm, sayang sekali...! Mari silakan duduk agar enak
kita mengobrol!"
Dua orang muda itu lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan tuan rumah dan tak
lama kemudian muncullah pelayan-pelayan wanita menghidangkan minuman. Giok Keng
terheran melihat betapa pelayan-pelayan wanita ini masih muda-muda dan cantik-cantik,
juga gerak-gerik mereka serta lirikan mata mereka yang dilontarkan kepada Bu Kong
membayangkan sikap genit.
Setelah dipersilakan minum, Thian Hwa Cinjin, kakek itu, menanyakan maksud
kedatangan kedua orang muda itu dan apa keperluan mereka minta bertemu dengan dia
sendiri. Bu Kong lalu bangkit berdiri, memegang tangan Giok Keng lalu mengajak dara itu untuk
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Kami berdua sengaja
menghadap Locianpwe dengan harapan agar Locianpwe sudi menolong kami, dan atas
budi kebaikan Locianpwe, kami berdua takkan melupakannya."
Kakek itu kelihatan tercengang, lalu tertawa, "Ha-ha-ha, bangkitlah, duduklah dan
ceritakan apa kehendak kalian. Tentu saja mengingat akan hubungan antara Pek-lian-
kauw dan Kwi-eng-pang, Pinto akan memperhatikan permintaanmu dan jika mungkin
tentu saja kami akan suka sekali membantu Sicu."
Bu Kong dan Giok Keng bangkit dan duduk kembali. "Permohonan kami tidak lain agar
Locianpwe sudi menikahkan kami berdua di sini secara resmi."
Kakek itu membelalakkan matanya kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, kiranya
hanya untuk keperluan itu! Aihhh, mengapa kalian hendak menikah memilih tempat ini
dan minta perantaraan Pek-lian-kauw" Bukankah urusan pernikahan adalah urusan
orang tua dan keluarga kalian?"
"Locianpwe, saya sudah tidak mempunyai orang tua dan keluarga, saya sebatang kara di
dunia ini..."
"Akan tetapi, setelah ibumu meninggal, bukankah engkau yang kini menggantikannya
memimpin Kwi-eng-pang?"
"Seperti Locianpwe tentu telah mendengar, perkumpulan kami dihancurkan oleh
pemerintah dan selain kini saya belum berkesempatan untuk menghimpunnya kembali,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
637 juga dalam pernikahan ini, kiranya kalau bukan Pek-lian-kauw yang mengadakan, tidak
ada lagi yang akan berani..."
"Hemmm, mengapakah?" Kakek itu kini menoleh dan memandang kepada Giok Keng
dengan penuh perhatian.
"Karena calon isteri saya, Nona Cia Giok Keng ini... dia... adalah puteri dari Locianpwe
Cia Keng Hong..."
"Hahh...?" Thian Hwa Cinjin terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.
"Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai...?" Tentu saja dia terkejut bukan main. Biarpun dia
sendiri belum pemah bertemu dengan Pendekar Sakti Cia Keng Hong namun nama besar
pendekar itu telah didengarnya lama sekali. Dengan sinar mata penuh selidik dia
memandang kepada Giok Keng dan kini tentu saja dengan pandang mata lain setelah dia
mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan bersikap gagah perkasa ini adalah puteri
dari Pendekar Sakti Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai.
Giok Keng mengangkat mukanya memandang kakek itu. "Benar, Ketua Cin-ling-pai
adalah ayah saya, akan tetapi karena dia tidak menyetujui perjodohan kami, maka kami
datang ke sini mohon pertolongan Pek-lian-kauw."
"Tapi... tentu ayahmu akan marah kepada Pek-lian-kauw dan menuduhnya lancang..."
"Saya yang akan bertanggung jawab kalau orang tua saya marah. Mereka telah mencuci
tangan tentang perjodohan saya, dan saya sendiri yang bertanggung jawab mengenai
urusan jodoh saya, Locianpwe," jawab Giok Keng dengan suara mengandung rasa
penasaran mengingat akan sikap ayahnya terhadap perjodohannya dengan pemuda yang
dipilihnya sendiri.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Bukan karena kami takut kepada Cin-ling-pai, hanya...
ah, biarlah kami bicarakan urusan ini lebih dulu. Urusan ini bukanlah urusan remeh,
maka kami persilakan kepada Nona Cia untuk beristirahat, dan kami akan mengadakan
perundingan dulu dengan Liong-Sicu."
Ketua itu lalu memanggil pelayan wanita, memerintahkan para pelayan untuk mengantar
Giok Keng ke dalam sebuah kamar tamu yang cukup mewah dan bersih. Dara ini tidak
berani membantah, maka setelah bertukar pandang dengan Bu Kong, dia mengikuti para
pelayan menuju ke sebuah kamar tamu yang berada di sebelah belakang bangunan
besar itu. Giok Keng memperoleh pelayanan istimewa, disuguhi hidangan makan siang yang
longkap dan lezat bahkan ada dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw yang
menemaninya dan temyata mereka itu selain muda dan cantik, juga mempunyai
pengetahuan luas mengenal ilmu silat dan ilmu sastra. Makin kagumlah hati Giok Keng
terhadap Pek-lian-kauw yang sebelumnya dianggap sebagai perkumpulan para
pemberontak liar.
Akan tetapi, hatinya mulai khawatir ketika malam tiba dan belum juga ada kabar tentang
kekasihnya yang tadi ditinggalkannya karena hendak berunding dengan pimpinan Pek-
lian-kauw mengenai permintaan mereka untuk menikah di perkumpulan itu.
"Di manakah adanya Liong-koko" Aku ingin bicara dengan dia dan mendengar keputusan
perundingannya dengan pimpinan Pek-lian-kauw." tanyanya kepada dua orang pendeta
wanita yang baru datang menggantikan yang dua pertama.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
638 Seorang di antara mereka tersenyum manis. "Harap Kownio tenangkah hati, Liong-sicu
sedang beristirahat di kamar sebelah dan dia berpesan agar Kouwnio suka beristirahat
malam ini melepaskan lelah dalam perjalanan."
"Hi-hik, baru berpisah sehari saja masa sudah rindu?" kata pendeta wanita ke dua.
Merah sekali muka Giok Keng mendengar ini dan dia makin curiga. Sikap dan kata-kata
para pelayan muda dan pendeta wanita di tempat ini benar-benar mencurigakan, begitu
genit! "Harap suka panggil dia ke sini atau antarkan aku ke kamarnya, aku mau bicara sedikit
dengan dia!" katanya pula tidak mempedulikan dua orang pendeta wanita yang
tersenyum-senyum penuh arti itu.
"Aih, Kouwnio. Apa tidak kasihan kepadanya" Dia baru beristirahat dan bersenang-
senang... dia... tidak memilih kami dan menyuruh kami menemani Nona di sini..."
Makin curiga dan tidak enak hati Giok Keng mendengar ini. Namun karena dia
mengharapkan pertolongan dari pihak Pek-lian-kauw untuk pernikahannya dengan Bu
Kong, maka dia menahan sabar. Bahkan dia lalu memijat pelipis kepalanya dengan alis
berkerut dan berkata, "Harap Ji-wi (Kalian) suka meninggalkan saya karena saya merasa
pening dan hendak tidur..."
"Perlukah kami pijiti badan dan kepalamu, Kouwnio?" seorang pendeta wanita bertanya
dengan manis. "Tidak usah, harap Ji-wi jangan repot-repot dan harap suka meninggalkan saya
sendiri..."
Dua orang pendeta wanita itu lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, membersihkan
meja bekas perjamuan, kemudian sambil tersenyum-senyum mereka meninggalkan
kamar Giok Keng dan menutupkan daun pintu kamar itu.
"Selamat tidur, Kouwnio!"
"Selamat bermimpi, calon pengantin!"
"Jangan khawatir, pengantin pria akan tetap utuh..."
"Kecuali agak lemas tentunya, hi-hik!"
Giok Keng meloncat ke pintu dan memasang palang pintu, mukanya merah dan alisnya
berkerut. Sikap dua orang wanita itu sungguh mencurigakan. Apa yang terjadi dengan
kekasihnya" Jangan-jangan Pek-lian-kauw berlaku curang dan mencelakai Bu Kong. Dia
harus menyelidiki! Siapa tahu kalau-kalau dia dan Bu Kong terjebak ke dalam perangkap
musuh. Akan tetapi dia harus berlaku hati-hati. Di tempat ini merupakan sarang orang-
orang pandai. Baru para pendeta wanita genit yang menemaninya tadi saja jelas
memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi ketuanya. Bergidik dia kalau mengingat kelihaian
kakek itu, yang dalam pertemuan pertama siang tadi sudah mendemonstrasikan
kepandaiannya, ilmu sihir yang mengerikan, yang membuat kakek itu pandai
"menghilang".
Giok Keng mengatur bantal guling di atas pembaringan, diseilmutinya sehingga kelihatan
seperti orang tidur, memadamkan lampu kamar, kemudian dengan gerakan ringan dan
hati-hati sekali dia menyelinap keluar dari jendela kamar meloncat dengan gerakan
seperti seekor burung.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
639 Malam sudah larut, karena memang dia menanti sampai sepi sebelum keluar dari
kamarnya itu. Tidak tampak seorang pun manusia dan lorong-lorong di perkampungan
Pek-lian-kauw itu cukup gelap sehingga dia dapat menyelinap di dalam bayang-bayang
yang gelap sambil memandang ke kanan kiri dengan waspada. Mula-mula dia hendak
mencari kamar di mana Bu Kong bermalam karena dia harus bicara dengan kekasihnya
itu, memperingatkan Bu Kong agar berhati-hati karena dia menaruh curiga kepada Pek-
lian-kauw dengan pendeta-pendeta wanitanya yang genit.
Setelah mengintai di beberapa kamar dalam rumah-rumah yang berjajar di sekitar
ruangan tamu, akhirnya dia mendengar suara yang keluar dari sebuah kamar yang
lampunya masih bernyala.
Mula-mula dia mendengar suara wanita, dan karena dia menganggap bahwa kamar itu
tentulah kamar pendeta-pendeta wanita yang lihai, dia ingin melewatinya saja. Akan
tetapi, ketika dia mendengar suara laki-laki yang dikenalnya seperti suara Bu Kong, dia
terkejut dan cepat mendekati jendela kamar, merunduk dan mendengarkan.
"Sudah cukup... ahhh, sudah terlalu banyak aku minum... Ji-wi terlalu baik dan manis...
ha-ha...!" terdengar suara Bu Kong, suara orang yang sudah mulai mabok!
"Hayaaa... seorang gagah seperti Sicu, masa mudah saja mabok" Sudah terlalu lama
kami tidak berjumpa dengan seorang laki-laki jantan dan ganteng seperti Sicu... marilah
Sicu, kupilihkan daging yang paling empuk..." terdengar suara merdu merayu seorang
wanita. "Dan minumlah secawan lagi, Sicu. Lihat, biar aku minum setengahnya... aihhh, Sicu
sungguh tampan sehingga gemas hatiku dibuatnya. Ingin aku menjadi cawan..."
"Ha-ha, sungguh aneh kau ini! Mengapa ingin menjadi cawan?" terdengar Bu Kong
bertanya kepada wanita ke dua yang suaranya terdengar lebih halus dari pada wanita
pertama. "Hi-hik, kalau aku menjadi cawan, tentu akan berkenalan dengan bibir sicu..."
"Hih, Kul Lan, kalau memang kepingin dicium, bilang saja...!" kata wanita pertama
sambil terkekeh genit.
"Ha-ha-ha, mengapa kalian berdua begini menantang" Ingat, aku sedang kelaparan,
sudah berbulan tidak pernah berdekatan dengan wanita. Kalau kalian menggoda terus,
bisa kumakan habis kalianp ha-ha-ha!"
"Aihh, calon pengantin pria bicara bohong! Selama ini mengadakan perjalanan berduaan
saja dengan calon pengantin wanita, asyik masyuk, tentu sampai kekenyangan. Masa
sekarang bilang kelaparan?"
"Sungguh mati! Biarpun dia calon isteriku, namun sialan sekali! Dia tidak mau disentuh
sebelum kami menikah."
"Aihhh, benarkah itu?"
"Aku mau bersumpah, masa aku suka berbohong kepada dua orang nona manis seperti
kalian?" "Hi-hik, kalau begitu, kau benar-benar lapar sekali..."
"Lapar seperti harimau kelaparan!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
640 "Hi-hik benarkah itu?"
"Tentu saja aku mampu menerkam kalian berdua sekaligus."
"Aihhh, coba saja, Sicu! Kaukira kami berdua orang-orang lemah" Coba kaulawan kami,
hendak kami lihat apakah benar-benar calon pengantin prianya sudah siap dan kuat, hik-
hik!" Wajah Giok Keng menjadi merah sekali, matanya bersinar-sinar mengeluarkan cahaya
berapi. Hampir dia tidak dapat mempercayai pendengaran telinganya sendiri. Benarkah
itu suara Bu Kong" Benarkah Bu Kong yang bicara seperti itu" Dia merasa penasaran
karena dia tidak percaya bahwa pria yang dicintanya, tunangannya, calon suaminya,
dapat bicara seperti itu bersama dua orang wanita. Maka dia lalu membuat lubang di


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela dengan jari yang dibasahi dengan lidahnya, lalu mengintai ke dalam. Hampir saja
dia menjerit ketika menyaksikan apa yang tampak di dalam! Kamar itu masih terang,
meja bekas makan minum yang kacau dan di atas pembaringan, Bu Kong sedang
bergumul dengan dua orang pendeta wanita!
Hampir saja Giok Keng menghantam jendela dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi
sebagai puteri seorang pendekar besar, dia menekan perasaannya. Kalau dia membuat
ribut, berarti dia akan mencoret hitam mukanya sendiri! Semua orang di Pek-lian-kauw
tentu akan tahu kalau dia membuat ribut di saat itu, dan dia akan menjadi buah
tertawaan. Hatinya sakit sekali, wajahnya yang tadi merah seperti dibakar, kini menjadi
pucat. Air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Kiranya orang yang dicintanya
adalah seorang laki-laki macam itu! Membicarakan dia di depan dua orang wanita yang
tiada bedanya dengan pelacur-pelacur!
Dengan perasaan muak dan jijik, Giok Keng meninggalkan tempat itu, akan tetapi
karena kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang setelah menyaksikan apa
yang terjadi di dalam kamar itu dia salah jalan dan tanpa disengaja dia tiba di ruangan
tamu di mana siang tadi dia dan Bu Kong berjumpa dengan Thian Hwa Cinjin. Dan di
ruangan tamu itu tampak lampu masih bernyala dan bahkan ada suara orang-orang
bercakap-cakap di situ. Timbul keinginan tahu hati Giok Keng yang sudah kacau dan
perih tersayat kekecewaan dan cemburu itu, dan dengan hati-hati dia menyelinap
mendekati ruangan tamu dan melihat bahwa yang berada di situ adalah Thian Hwa Cinjin
sendiri bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw, dia lalu menyelinap mendengarkan
dengan penuh perhatian. Ketika mendengarkan percakapan itu, wajah Giok Keng
berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah dan kedua tangannya dikepal. Hampir dia
menjerit dan memaki-maki saking marahnya.
"Akan tetapi, Kauwcu, kami percaya bahwa putera Kwi-eng-pang itu tentu saja mau
membantu kita. Hanya anak Cia Keng Hong itu, mana mungkin dia mau membantu kita"
Jangan-jangan kelak dia hanya akan menimbulkan bencana!" kata seorang tosu.
"Jangan-jangan dia malah mata-mata pemerintah untuk menyelidiki kita!" kata yang ke
dua. "Mungkin Liong Bu Kong itu sudah menjadi kaki tangan mereka pula! Kita harus ingat
bahwa Cia Keng Hong selalu membantu The Hoo dan beberapa kali sudah
menghancurkan usaha perjuangan kita. Persekutuan kita dengan orang-orang Portugal
pun dihancurkan dengan bantuan Cia Keng Hong! Kita harus waspada..."
"Memang, kita harus waspada," kata Ketua Pek-lian-kauw. "Dan justeru karena
kewaspadaan inilah maka kedatangan Bu Kong amat baik bagi kita. Pemuda itu sudah
berjanji bahwa kalau puteri Ketua Cin-ling-pai itu sudah menjadi isterinya tentu akan
menurut segala kehendaknya. Dan baiknya, setelah puterinya berada di sini dan kita
yang menikahkan, berarti bahwa Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai. Kita akan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
641 mengumumkan hal ini! Kenyataannya tidak ada yang bisa membantah bahwa puteri Cin-
ling-pai itu menjadi pengantin di sini, dan Pek-lian-kauw yang mengurusnya. Setelah
kenyataan ini, mau tidak mau Cin-ling-pai tentu akan berbaik dengan kita dan akan
mudah kita tarik sebagai sekutu karena pemerintah sendiri tentu akan mencurigai Cin-
ling-pai."
"Hemm, kalau begitu bagus juga siasat ini, Kauwcu. Mudah-mudahan saja berhasil baik.
Betapapun juga, pinto merasa khawatir harus berurusan dengan Ketua Cin-ling-pai yang
lihai itu."
"Ha-ha-ha, takut apa" Tentu dia tidak akan mau mencelakakan puterinya sendiri. Untung
puterinya itu tergila-gila kepada Liong Bu Kong. Andaikata Ketua Cin-ling-pai berkeras
kepala dan mengorbankan puterinya, tak usah khawatir, pinto sanggup menghadapinya.
Kalau pinto masih kalah kuat dalam ilmu silat, dengan hoat-sut (ilmu sihir) pinto tentu
akan dapat menguasainya."
"Bagaimana kalau sesudah menikah, puteri Cin-ling-pai itu tetap tidak mau membantu
kita?" "Liong-sicu sudah setuju bahwa kalau isterinya membandel, kita diperbolehkan
menawannya dan menggunakannya sebagai sandera terhadap ayahnya."
Hampir saja Giok Keng pingsan mendengar semua itu. Kalau tadi melihat Liong Bu Kong
bermain cinta, berjina dengan dua orang pendeta wanita, hatinya sudah tertusuk, kini
mendengar percakapan itu dan tahu akan pengkhianatan yang dilakukan Bu Kong
terhadap dirinya, dia merasa ulu hatinya tertikam dan membuatnya hampir tak dapat
bernapas. Kemarahannya memuncak dan dia sudah lupa akan segala kewaspadaannya
lagi. Yang ada hanyalah kemarahannya kepada Liong Bu Kong. Baru terbuka matanya
sekarang orang macam apa adanya Liong Bu Kong! Baru dia tahu bahwa ternyata
ayahnya benar! Dia telah salah pilih, dia telah salah menjatuhkan hatinya, menjatuhkan
cinta kasihnya kepada seorang laki-laki keji dan jahat. Dari perbuatannya di Pek-lian-
kauw terbukalah kedok Liong Bu Kong bahwa pemuda itu sesungguhnya tidak
mencintanya dengan murni.
Dia lari menuju ke kamar Liong Bu Kong dan masih terdengar suara orang bercumbu di
dalam kamar itu.
"Bu Kong, engkau jahanam, keparat! Keluarlah untuk menerima kematianmu!" Giok
Keng membentak dengan suara parau. Dia berdiri di luar kamar, wajahnya tertimpa sinar
lampu penerangan yang suram, kelihatan menyeramkan. Mukanya pucat dan penuh
dengan air mata yang bercucuran, bibirnya digigit dan tangan kanannya memegang
sebatang pedang terhunus, pedang Gin-hwa-kiam, sedangkan tangan kirinya memegang
sarung pedang. Sepasang mata yang telah menjadi merah karena tangisnya itu
memancarkan sinar maut!
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Kong yang berada di dalam kamar ketika
mendengar bentakan suara Giok Keng itu. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
Dikiranya bahwa dara itu sudah nyenyak karena gembira dan lega hatinya mendapatkan
persetujuan Ketua Pek-lian-kauw untuk menikah di situ! Dia sedang bermain cinta
dengan dua orang pendeta wanita yang manis dan menarik maka begitu mendengar
bentakan kekasihnya, dia menjadi pucat.
Cepat dia mengenakan pakaiannya, menyambar pedangnya dan meloncat keluar, tangan
kirinya masih membetulkan kancing terakhir dari bajunya. Melihat Giok Keng sudah
berdiri di luar dengan pedang Gin-hwa-kiam di tangan, Bu Keng cepat berkata, "Moi-
moi... ada... ada apakah?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
642 Dia bertanya gugup, melirik ke arah kamarnya dan dengan lega dia tidak melihat dua
orang pendeta wanita itu keluar.
"Huh, keparat keji, manusia berhati iblis, kau masih berpura-pura bertanya lagi?" Giok
Keng hampir menjerit dan sudah menerjang maju dengan hebatnya, menggerakkan
pedang Gin-hwa-kiam menusuk.
"Cringgg... plakkk!" Bu Kong terhuyung ke belakang. Dia berhasil menangkis tusukan
pedang yang mengenai punggungnya.
"Keng-moi, bicaralah dulu. Ada apakah...?"
"Anjing tak tahu malu!" Giok Keng memaki lagi dan menudingkan pedangnya ke arah
muka pemuda itu. "Pantas saja engkau anak datuk sesat, kiranya engkau adalah searang
yang cabul dan tak bermalu, engkau seorang berhati palsu! Bersiaplah untuk mampus di
ujung pedangku!" Giok Keng menerlang lagi dengan hebatnya, dan pada saat itu, dua
orang pendeta wanita telah meloncat ke luar dari kamar. Melihat mereka itu, hati Glok
Keng seperti dibakar rasanya, dia meninggalkan Bu Kong yang sibuk menangkis,
tubuhnya melayang ke arah dua orang pendeta wanita itu dan pedangnya menyambar
ganas. "Aihhh...!" Dua orang pendeta wanita Pek-lian-kauw itu adalah murid-murid Thian Hwa
Cinjin dan mereka cepat mengelak. Namun, dibandingkan dengan Giok Keng, tentu saja
tingkat mereka masih jauh di bawah tingkat dara perkasa itu, maka dua kali gebrakan
saja mereka itu terluka hebat, seorang di leher dan seorang lagi di lambung.
"Mampuslah, perempuan jalang...!" Giok Keng membentak dan pedangnya mengirim
tusukan maut. "Trangg...! Cringgg...!" Dua kali pedang tertangkis dan terpental. Ketika Giok Keng
mengangkat muka memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah tongkat
hitam di tangan Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw yang sudah berada di situ
bersama beberapa orang tosu Pek-lian-kauw dan puluhan orang anak buah Pek-lian-
kauw yang mengurung tempat itu.
"Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Memang kami ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya
kepandaian puteri Ketua Cin-ling-pai. Liong-sicu, tangkap dia hidup-hidup untuk kami!"
Liong Bu Kong menggelengkan kepalanya dan berkata duka, "Maaf Locianpwe. Terus
terang saja, untuk mengalahkan dia, kepandaian saya masih terlampau rendah, apalagi
untuk menangkap hidup-hidup."
"Ha-ha-ha, engkau sayang kalau sampai membunuh calon isterimu yang tercinta ini" Ha-
ha-ha, Bong Khi Tosu, kautangkap dia!" katanya kepada seorang tosu kurus yang berdiri
di sebelahnya. "Baik, Kauwcu." Tosu ini meloncat maju menghadapi Giok Keng. Dara ini sudah dapat
menekan hatinya dan dia mengerti bahwa menghadapi banyak orang pandai seperti para
tokoh Pek-lian-kauw itu, dia harus waspada dan bersikap tenang. Maka dia mengusir
kemarahannya terhadap Bu Kong, kini memusatkan perhatiannya kepada lawan yang
sudah menghampirinya.
Tosu yang bernama Bhong Khi Tosu ini usianya hampir enam puluh tahun, tubuhnya
kurus sekali seperti kucing kelaparan, punggungnya agak bongkok dan melihat begitu
saja, dia seperti seorang penderita busung lapar karena tubuhnya kurus kering, perutnya
buncit, mukanya pucat dan agaknya akan terguling bila tertiup angin kencang! Tangan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
643 kirinya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya tiga kaki, tongkat terbuat
dari bambu kuning hanya sebesar ibu jari tangan.
"Heh-heh, Nona muda. Mengapa kau marah-marah melibat kekasihmu bermain cinta
dengan wanita lain" Hal itu sudah biasa bagi seorang laki-laki, mengapa kau marah-
marah" Sudahlah, untuk apa kau mengamuk dan melawan kami" Percuma saja, lebih
baik kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf kepada Kauwcu, tentu kau
dimaafkan."
"Benar... ha-ha-ha, benar sekali ucapan Bong Khi Tosu! Perlu apa marah" Kalau
kekasihmu dapat bermain cinta dengan orang lain, apakah kau juga tidak bisa" Dan
pinto akan memaafkanmu kalau kau suka bersikap manis kepada pinto."
Ucapan Ketua Pek-lian-kauw ini membuat dada Giok Keng terasa panas seperti dibakar.
Tahulah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam tempat pecomberan di mana orang-
orangnya adalah manusia tidak tahu malu, cabul, dan jahat. Diam-diam dia bergidik
memikirkan bagaimana dia sampai dapat tergila-gila kepada seorang manusia seperti
Liong Bu Kong yang kini hanya berdiri tersenyum-senyum di situ!
"Kauwcu, sekali ini saya mohon pertolongan Kauwcu untuk dapat menangkap dan
menjinakkan calon isteri saya ini. Untuk budi itu, saya akan menghadiahkan dua buah
benda pusaka dari Siauw-lim-pai kepada Kauwcu!" kata Liong Bu Kong dan mendengar
ini, tentu saja kemarahan Giok Keng memuncak. Memang benda-benda pusaka itu belum
dikembalikan ke Siauw-lim-pai oleh Bu Kong yang pernah mengatakan bahwa setelah
mereka menikah, mereka akan pergi ke Siauw-lim-pai mengembalikan benda pusaka
sambil minta maaf. Kiranya pemuda itu bukan hanya membohonginya, bahkan kini
hendak menghadiahkan benda pusaka itu kepada Ketua Pek-lian-kauw!
"Bu Kong manusia berhati iblis!" Dia menjerit dan tubuhnya sudah berkelebat menerjang
pemuda itu. "Trang-tranggg...!" Bu Kong menangkis satu kali lalu meloncat ke belakang dan
tangkisan kedua kalinya dilakukan oleh Bong Khi Tosu.
"Heh-heh, Nona manis. Pintolah lawanmu!"
Tiba-tiba Bong Khi Tosu mengeluarkan pekik yang amat dahsyat. Pekik melengking tinggi
menimbulkan getaran hebat yang langsung menyerang jantung di dalam dada Giok
Keng. Dara perkasa ini terkejut sekali, dan sebagai puteri pendekar sakti tentu saja dia
segera mengenal pekik ini. Dia tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli Sai-cu Ho-kang
(Pekik Auman Singa) yang dikeluarkan dengan khi-kang kuat untuk menggetarkan
jantung lawan dan merobohkannya. Maka cepat dia mengerahkan sin-kangnya
disalurkan melindungi isi dada, kemudian dia membentak dengan suara melengking
tinggi. "Pendeta palsu, majulah!"
Bong Khi Tosu terkejut sekali ketika suara dara itu mengandung khi-kang yang tak kalah
kuatnya, menyerangnya seperti pisau runcing menusuk ulu hatinya. Maklum bahwa dia
tidak akan dapat mengalahkan dara itu dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang, dia lalu
mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka, dan tangan kanannya
sudah menggerakkan tongkatnya untuk menyerang tubuh Giok Keng. Dara ini melihat
betapa ujung tongkat lawan tergetar dan seperti berubah menjadi banyak, kemudian
ujung tongkat itu meluncur melakukan serangan totokan ke arah tujuh jalan darah di
sebelah depan tubuhnya!
"Haiittt... trang-cring-cring-tranggg...!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
644 Bertubi-tubi datangnya serangan totokan yang dapat melumpuhkan lawan itu, namun
dengan baiknya Giok Keng dapat menangkis semua totokan tongkat itu dan bukan hanya
menangkis, bahkan dara ini dapat membalas secara kontan keras dengan serangan-
serangannya yang dahsyat.
Pertandingan berlangsung seru dan hebat. Pedang dan tongkat lenyap bentuknya dan
yang tampak hanya gulungan sinar perak dari pedang Gin-hwa-kiam, dan sinar hitam
dari tongkat di tangan tosu itu. Namun segera tampak nyata betapa gulungan sinar
perak itu makin lama menjadi meluas dan membesar, sedangkan sinar hitam menjadi
makin memyempit. Ini menandakan bahwa gerakan tongkat itu menjadi terbatas dan
hanya dapat menangkis saja karena terdesak dan terhimpit oleh pedang di tangan Cia
Giok Keng. Memang segera ternyata bahwa Bong Khi Tosu bukanlah lawan Giok Keng. Tosu ini lihai
sekali, merupakan pembantu atau murid yang pilihan dari Thian Hwa Cinjin, akan tetapi
menghadapi puteri pendekar sakti Ketua Cin-ling-pai ini dia "mati kutu" dan selalu
terdesak. Apalagi dia tidak berani melanggar perintah ketuanya, yaitu agar dia
menangkap hidup-hidup gadis ini. Kalau dia diperbolehkan merobohkannya atau
membunuh, masih mending, sungguhpun hal itu tidak dapat memastikan apakah dia
akan menang. Kini, dia hanya menggunakan tongkatnya untuk merobohkan lawan tanpa
membunuh, sebaliknya, pedang Gin-hwa-kiam menyambar-nyambar seperti seekor naga
yang haus darah!
"Aaaahhhh!" Tiba-tiba tosu yang selalu terdesak itu mengeluarkan bentakan nyaring,
suara khi-kang dari dalam perutnya yang menggetarkan semua orang yang
mendengarnya, tongkatnya meluncur ke depan dengan serangan dahsyat ke arah ulu
hati Giok Keng.
Dara ini melihat datangnya serangan, tidak mau menangkis melainkan mengelak dengan
loncatan ringan ke kiri, membiarkan tongkat lewat untuk kemudian membalas dengan
sabetan pedang dari samping. Akan tetapi tiba-tiba ujung tongkat itu membalik,
terdengar suara "Wuuuttt!" dan jarum-jarum hitam menyambar dari ujung tongkat
mengarah kedua kaki Giok Keng! Inilah kelihaian tongkat para tokoh Pek-lian-kauw.
Kiranya tongkat di tangan Bong Khi Tosu itu yang terbuat dari bambu, berlubang di
dalamnya dan kini oleh tosu itu dipergunakan sebagai sebatang sumpit yang pelurunya
terdiri dari jarum-jarum hitam beracun! Hanya, mengingat akan perintah ketuanya, tosu
ini menujukan jarum-jarumnya ke arah kedua kaki Giok Keng!
"Hyaaahhhh!" Giok Keng mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat
ke atas dengan kecepatan seperti seekor burung walet, berjungkir balik beberapa kali
dan tubuh itu melayang turun sambil menyerang dengan pedangnya ke arah ubun-ubun
Bong Khi Tosu! "Hayaaa...!" Bong Khi Tosu terkejut bukan main. Tak disangkanya dara itu akan dapat
bergerak secepat itu. Bukan hanya menghindarkan diri dari jarum-jarumnya, bahkan
loncatan itu merupakan serangan yang amat cepat dan tak terduga-duga. Dia menangkis
dan mencoba untuk mengelak.
"Srattt...! Aduhhhh...!" Tubuh Bong Khi Tosu terjungkal karena biarpun dia sudah
mengelak dan menangkis, tetap saja ujung pedang Gin-hwa-kiam merobek baju di
punggungnya berikut kulit punggung dan sedikit daging!
"Trangggg...!" Untung bagi Bong Khi Tosu bahwa pada saat itu sebatang tongkat hitam
yang panjang telah menangkis pedang Gin-hwa-kiam yang sudah meluncur untuk
mengirim tusukan maut kepadanya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
645 Giok Keng meloncat mundur dengan kaget. Tangannya yang memegang pedang tergetar
hebat oleh tangkisan itu dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Thian Hwa
Cinjin sendiri! Tangkisan itu saja sudah menunjukkan bahwa kakek itu memiliki sin-kang
yang amat kuat. Namun tentu saja Giok Keng tidak menjadi gentar.
Dara perkasa ini sejak kecil digembelang oleh ayah bundanya sehingga dia menjadi
seorang dara yang selain berkepandaian tinggi, juga berwatak berani dan gagah, tidak
mengenal artinya takut.
"Thian Hwa Cinjin!" Dia membentak sambil menudingkan pedangnya ke arah muka
kakek itu. "Aku Cia Giok Keng tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Pek-lian-kauw,
dan aku hanya ingin membunuh si jahanam laknat Liong Bu Kong! Aku minta agar Pek-
lian-kauw tidak mencampuri urusan antara kami! Akan tetapi, hal ini bukan berarti
bahwa aku takut kepada Pek-lian-kauw. Mundurlah, dan biarkan aku berhadapan dengan
anjing busuk Liong Bu Kong!"
Thian Hwa Cirijin tertawa, suara ketawanya terdengar halus dan menggetarkan hati Giok
Keng. Sambil memutar-mutar tongkatnya, kakek itu berkata, "Cia Giok Keng, engkau
seorang wanita muda yang cantik, mengapa menggunakan kekerasan seperti itu" Dan
engkau berhadapan dengan pinto, Ketua Pek-lian-kauw yang memiliki tingkat jauh lebih
tinggi darimu, baik dipandang dari kedudukan, usia, maupun kepandaian, mengapa kau
tidak menaruh hormat" Hayo kau lekas berlutut! Kuperintahkan engkau untuk berlutut,


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cia Giok Keng...!"
Suara itu demikian penuh wibawa yang amat kuat dan sepasang mata itu seperti
melumpuhkan semangat Giok Keng sehingga dara ini, di luar kehendaknya sendiri, tiba-
tiba menjatuhkan diri berlutut. Begitu lututnya menyentuh lantai, Giok Keng terkejut dan
sadar. Pernah dia mendengar penuturan ayahnya tentang kekuatan sin-kang yang amat
hebat, yang disalurkan melalui pandangan mata dan suara, sehingga pandang mata dan
suara itu dapat mempengaruhi hati dan pikiran lawan dan dengan mudah dapat
mengalahkan lawan tanpa menggerakkan tangan. Ilmu ini adalah ilmu sihir yang oleh
ayahnya disebut ilmu Ihun-to-hoat (semacam Hypnotism), yaitu ilmu menguasai hati dan
pikiran orang. Dia menjadi sadar, mengerahkan sin-kangnya dari pusar dan dengan
hawa murni di tubuhnya dia mengerahkan kemauannya melawan kekuasaan yang
mencekamnya itu, dan sambil memekik nyaring seperti orang baru sadar dari mimpi,
Giok Keng meloncat bangkit berdiri dan membentak, "Tosu siluman, aku tidak takut
kepadamu!" lalu tanpa banyak cakap lagi dara pendekar ini telah menyerang Thian Hwa
Cinjin dengan pedang peraknya!
"Aahhh...!" Kakek itu berseru kagum melihat betapa dara itu dapat membebaskan diri
dari pengaruh sihirnya. Terpaksa dia mengangkat tongkatnya menangkis sambil
mengerahkan sin-kang untuk membuat pedang lawan terlepas dari pegangan. Akan
tetapi, betapa kaget dan kagumnya melihat pedang itu sudah berubah gerakannya dah
menyerang ke arah perutnya dari bawah. Hati Ketua Pek-lian-kauw ini menjadi gembira
sekali. Dia mengelak dengan loncatan ke belakang sambil tertawa dan berkata, "Ha-ha,
aku ingin sekali melihat sampai di mana hebatnya ilmu silat dari Cin-ling-pai!"
Giok Keng maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi,
begitu pedangnya digerakkan, dia telah menyerang dengan ilmu simpanannya, yaitu ilmu
Silat Thai-kek Sin-kun!
"Wuuuttt... sing-sing-sing...!"
"Heiii...! Hayaaaa..."
Thian Hwa Cinjin berteriak-teriak saking kaget dan kagumnya menghadapi gerakan
pedang yang demikian cepat dan aneh. Gerakannya kelihatan lambat, namun daya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
646 serangnya lebih cepat daripada ilmu pedang yang pernah dikenalnya. Dia tadinya hendak
mengelak saja sambil memperhatikan ilmu pedang lawan karena dia sudah mendengar
bahwa Pendekar Sakti Cia Keng Hong merupakan tokoh pertama di dunia persilatan pada
waktu itu dan kabarnya memiliki ilmu silat yang luar biasa. Kini dia bertemu dengan
puterinya, maka maksud hati kakek ini ingin menyaksikan kehebatan ilmu silat Cin-ling-
pai untuk sekedar mempelajari dasarnya sehingga kelak dapat berguna kalau dia sampai
bertemu dan bertanding melawan Ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi, baru belasan jurus
saja dia menjadi kaget setengah mati karena dia maklum bahwa kalau hanya
mengandalkan pengelakan saja, besar kemungkinan dia akan roboh oleh pedang yang
digerakkan secara ajaib itu! Terpaksa dia mulai mainkan tongkatnya dan dalam waktu
singkat, kedua orang itu sudah bertanding dengan hebatnya!
Dapat dibayangkan kagetnya hati Thian Hwa Cinjin ketika mendapat kenyataan bahwa
dia sama sekali tidak dapat mendesak lawan! Ilmu silat yang dimainkan dara itu terlalu
hebat, terlalu aneh sehingga dia sendiri harus berhati-hati agar jangan sampai "dicium"
ujung pedang. Sementara itu, para tokoh Pek-lian-kauw yang menyaksikan kelihaian
nona muda itu, memandang kagum dan juga terheran-heran. Hanya Liong Bu Kong yang
memandang dengan sinar mata biasa saja karena dia memang maklum akan kelihaian
Giok Keng yang harus diakuinya memiliki ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada
dia. Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa dia menuruti nafsu berahinya,
bermain gila dengan dua orang pendeta wanita itu di tempat di mana Giok Keng
bermalam sehingga ketahuan oleh kekasihnya itu. Kini, semua telah terlanjur dan dia
tahu akan kekerasan hati Giok Keng, maklum bahwa tidak mungkin dia mendapatkan
maaf, tidak mungkin hubungannya dengan dara itu menjadi baik kembali seperti yang
sudah-sudah. Sekarang, satu-satunya kemungkinan baginya untuk tetap mendapatkan
dan menguasai dara cantik jelita, yang membuatnya tergila-gila itu, hanyalah dengan
bantuan Ketua Pek-lian-kau. Kini melihat pertandingan yang amat hebat itu, timbul
kekhawatirannya kalau-kalau Thian Hwa Cinjin akan membunuh dara yang dicintanya
itu. "Locianpwe, harap jangan kesalahan tangan membunuh dia!" teriaknya dengan hati
khawatir. Tadinya, Thian Hwa Cinjin memang merasa penasaran sekali karena dia tidak dapat
mendesak Giok Keng. Masa dia, Ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, seorang yang
terkenal memiliki kepandaian hebat, sekarang tidak mampu merobohkan seorang gadis
remaja" Hal ini dianggapnya amat memalukan dan tadi dia sudah mengambil keputusan
untuk merobohkan Giok Keng dan membunuhnya kalau perlu! Sekarang, begitu
mendengar suara Bu Kong, timbul kembali kecerdikannya dan perhatiannya akan cita-
citanya meraih kedudukan tinggi melalui Pek-lian-kauw. Dia harus mengesampingkan
rasa penasaran pribadinya. Memang dara ini tidak boleh dibunuh. Pertama, untuk
menarik tenaga Liong Bu Kong dan sisa perkumpulan Kwi-eng-pang agar membantu Pek-
lian-kauw, ke dua dia akan dapat mempergunakan dara ini sebagai sandera kelak untuk
melumpuhkan Cia Keng Hong apabila pendekar sakti itu membantu pemerintah
menentang Pek-lian-kauw.
Setelah mendapatkan pikiran ini, tiba-tiba Thian Hwa Cinjin berteriak nyaring dan
tongkatnya menusuk ke depan. Giok Keng yang sudah tahu akan tenaga sin-kang lawan
yang amat kuat, seperti telah dilakukannya sejak mereka bertanding hebat, tidak mau
menangkis melainkan mengelak dan siap untuk melanjutkan pengelakannya dengan
serangan balasan dari sudut yang tidak terduga-duga oleh lawan. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara mendesis dan dari ujung tongkat lawan itu meluncur asap hitam!
Setelah tadi mengalami penyerangan gelap dari ujung tongkat Bong Khi Tosu, Giok Keng
sudah berlaku hati-hati karena dia memang sudah menyangka bahwa tentu di ujung
tongkat Ketua Pek-lian-kauw ini pun terdapat senjata rahasia yang amat berbahaya.
Akan tetapi tidak disangkanya sama sekali bahwa yang meluncur keluar hanyalah asap
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
647 hitam! Dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, bergulingan menjauh
kemudian meloncat bangun sambil memutar pedangnya melindungi dirinya. Asap itu
tertiup angin dan membuyar, sedangkan Giok Keng yang cerdik tadi sudah menutup
pernapasannya sehingga dia tidak sampai menyedot asap beracun itu.
Thian Hwa Cinjin berteriak marah dan meloncat maju mengejar sambil menyerang
dengan tongkatnya. Hebat bukan main serangan ini sehingga terpaksa Giok Keng
menangkis dengan pedang.
"Cringgg....!"
Kedua senjata bertemu dan tiba-tiba Giok Keng menjerit kaget. Hidungnya mencium bau
amat harum yang mencurigakan. Biarpun dia cepat menahan napas, namun dia telah
menyedot asap yang tidak tampak, dan inilah kelihaian Ketua Pek-lian-kauw itu. Tadi,
asap hitam yang pertama kali keluar dari ujung tongkatnya, hanyalah asap biasa yang
tidak berbahaya, dan itu dikeluarkan hanya untuk menipu lawan. Setelah asap hitam
keluar, maka tentu saja Giok Keng tidak begitu memperhatikan dan ketika pedangnya
menangkis tongkat, asap putih tipis yang keluar dari tongkat itu tentu saja tidak
diperhatikan olehnya dan dia telah menyedot asap yang harum beracun ini!
Racun asap putih itu tidaklah mematikan orang, hanya mengandung pengaruh
memabokkan. Giok Keng hanya merasa mengantuk, akan tetapi dara yang cerdik ini
maklum bahwa dia telah terkena hawa beracun, maka dia tidak mau menuruti rasa
kantuk ini dan gerakan pedangnya lebih cepat lagi melindungi tubuhnya.
"Ha-ha-ha, Cia Giok Keng, kau bertanding dengan siapa" Aku tidak ada lagi di
depanmu!" Giok Keng terkejut sekali. Dia memandang ke depan dan melihat betapa tubuh lawannya
itu berubah menjadi asap dan menghilang! Namun dia masih menggerakkan pedangnya,
menyerang ke depan dan melindungi tubuhnya sendiri dengan sinar pedangnya yang
bergulung-gulung.
"Ha-ha-ha, kaulihatlah padaku, Cia Giok Keng, lihatlah!"
Giok Keng menjadi bingung, apalagi ketika dia melihat bahwa sebagai ganti tubuh kakek
itu, kini yang tampak hanyalah sepasang mata yang seolah-olah tergantung di udara
tanpa kepala tanpa badan! Dia terheran-heran dan sekali perhatiannya tertarik, dia
sudah tercengkeram ke dalam kekuasaan gaib dari sinar mata yang luar biasa itu.
"Cia Giok Keng, kita adalah keluarga sendiri... keluarga sendiri... keluarga sendiri..."
Suara itu bergema dengan aneh, seolah-olah keluar dari dalam tanah dan membuat
seluruh tubuh Giok Keng tergetar. Dia berdiri bingung, kedua tangannya tergantung dan
sama sekali tidak menggerakkan pedangnya lagi, memandang ke arah sepasang mata itu
dan bibirnya berkomat-kamit, "Keluarga sendiri..." Ya, kita adalah keluarga sendiri...
keluarga sendiri..." Dia berbisik-bisik menirukan suara yang amat berwibawa itu.
"Ha-ha-ha, bagus, Cia Giok Keng. Engkau harus menurut... harus menurut... harus
menurut..."
"Aku harus menurut... harus menurut..." bibir Cia Giok Keng berbisik-bisik.
"Lemparkan pedangmu, kita keluarga sendiri, tidak ada yang memusuhimu, tenanglah
dan lemparkan pedangmu...!"
Giok Keng melemparkan pedang dan sarung pedangnya ke atas tanah tanpa membantah
sedikitpun juga. Matanya terbelalak memandang ke depan, ke arah mata Thian Hwa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
648 Cinjin yang sebenarnya masih berdiri di depannya, akan tetapi yang hanya tampak
matanya saja oleh dara yang telah dikuasai dengan sihir oleh kakek itu.
"Engkau lelah, Cia Giok Keng, engkau mengantuk, tidurlah... tidurlah dengan nikmat...
tidak ada apa-apa lagi, kau lelah dan mengantuk tidurlah...!"
Sepasang mata Cia Giok Keng yang tadi terbelalak, kini perlahan-lahan terpejam dan
tubuhnya bergoyang-goyang, lalu dia roboh tergelimpang dalam keadaan tidur nyenyak!
Akan tetapi sebelum tubuhnya terbanting ke atas lantai, Bu Kong sudah melangkah maju
dan memeluknya.
"Ha-ha-ha-ha!" Thian Hwa Cinjin tertawa girang. "Sekarang bawalah pengantinmu itu ke
dalam kamar, Liong-sicu. Akan tetapi, akan merepotkan sekali kalau pinto selalu harus
menguasai dengan sihir. Pinto masih mempunyai banyak urusan, maka sebaiknya
menjinakkan dia dengan obat ini. Berilah satu sendok teh setiap hari, dicampurkan ke
dalam minumannya, tentu dia akan selalu menurut kehendak Sicu."
Liong Bu Kong menerima bungkusan obat dari kakek itu lalu berkata, "Terima kasih
banyak atas bantuan Locianpwe. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan kami...?"
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Pinto akan laksanakan, dan sekarang juga kita akan
menyebar undangan. Ha-ha-ha, Pek-lian-kauw berbesan dengan Cin-ling-pai, sungguh
merupakan berita paling hebat di dunia kang-ouw! Ingin aku melihat bagaimana wajah
Kaisar dan Panglima The Hoo mendengar berita ini! Dan semua tokoh kang-ouw akan
menyaksikan pernikahan ini, pernikahan tanpa paksaan, ha-ha-ha!"
Liong Bu Kong menjadi girang sekali.
"Kapankah hari baik itu diadakan, Locianpwe?"
"Untuk menyebar undangan membutuhkan waktu. Kita tentukan harinya nanti, kira-kira
sebulan lagi. Nah, bawalah nona ini ke kamarnya, Sicu. Engkau beruntung sekali
mendapatkan dara seperti ini, hemmm... dia akan menjadi seorang isteri yang takkan
pernah membosankan, ha-ha-ha!"
Liong Bu Kong memondong tubuh Giok Keng yang tidur pulas secara tidak wajar itu ke
kamarnya. Hatinya girang sekali, akan tetapi juga timbul kekecewaan besar di hatinya.
Dia ingin mendapatkan diri dara ini secara sukarela, tidak hanya ingin memperoleh dan
menguasai tubuhnya, melainkan juga hatinya, cinta kasihnya. Sekarang terpaksa dia
hanya akan mendapatkan tubuhnya saja, dan dia merasa seolah-olah tubuh dara yang
telentang pulas di atas pembaringan itu bukan lagi Cia Giok Keng, melainkan boneka
hidup! Obat bubuk yang diberikan kepada Giok Keng oleh Bu Kong, benar-benar amat manjur.
Obat itu membuat Cia Giok Keng seperti seorang yang hilang ingatan dan tidak
mempunyai semangat sama sekali! Dia hanya menurut dan mengangguk, disuruh makan
dia makan, disuruh tidur dia tidur, tak pernah membantah. Akan tetapi, ketika Bu Kong
berusaha untuk bermain cinta dengannya, dara itu menolak dan menggelengkan kepala.
Bahkan dapat berkata, "Kita belum menikah."
Hal ini menggirangkan hati Bu Kong. Ternyata bahwa naluri gadis itu amat kuat sehingga
biarpun berada dalam keadaan mabuk, dara itu masih menolak hubungan badan
sebelum menikah dengan resmi! Kiranya gadis itu sudah lupa sama sekali akan peristiwa
malam itu! Timbul pula harapan di hati Bu Kong. Siapa tahu, kelak kalau sudah menikah
dengan resmi, Giok Keng akan benar-benar dapat mencintanya kembali, melupakan
pengalaman malam itu, dan tidak perlu lagi menggunakan obat perampas ingatan!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
649 Harapan ini membuat Bu Kong dengan tekun dan sabar melayani Giok Keng dan tidak
lagi menurutkan nafsu berahinya, tidak lagi mencoba untuk menggagahi gadis yang
dicintanya itu. Sebulan tidaklah lama, pikirnya, dan betapa akan manisnya kalau Giok
Keng menyerahkan diri secara sukarela, sebagai isterinya yang syah! Membayangkan
kenikmatan saat seperti itu membuat Bu Kong menjadi sabar, bahkan dia menahan diri
tidak mau melayani godaan para pendeta wanita yang haus lelaki itu!
Perahu kecil yang amat sederhana ini dengan susah payah didayung oleh Kun Liong
melawan ombak yang kembali dari pantai. Ketika perahu tiba di bagian di mana air dari
tengah laut bertemu dengan air yang kembali dari pantai sehingga air memecah dan
membuih, mengeluarkan suara berdebur keras, perahu kecil itu terangkat dan
terombang-ambing, hampir terbalik. Kun Liong cepat mengerahkan tenaga dan
mendayung perahunya, meluncur hampir seperti ikan meloncat, melalui buih tombak dan
meluncur terus ke pantai. Setelah dayungnya dapat menyentuh pasir, dia sudah tidak
sabar lagi, meloncat dari atas perahu mendarat dan meninggalkan perahu buatannya
sendiri yang amat sederhana itu, membiarkannya terbawa ombak, sebentar ke tengah
sebentar ke pinggir.
Karena dia meninggalkan pulau kosong itu tanpa mengenal jalan, hanya mengarahkah
perahunya ke barat selalu, maka dia tersesat jalan dan tidak tahu bahwa perahunya
mendarat di bagian paling utara, yaitu di sebelah utara Tembok Besar di sebelah selatan
kota Cin-sian. Oleh karena itu, begitu mendarat dan melakukan perjalanan cepat menuju
ke barat di mana menurut perkiraannya tentu terdapat Tibet, dia telah bertemu dengan
pegunungan yang sambung-menyambung dan kadang-kadang diselingi padang pasir
yang luas! Kun Liong sama sekali tidak mengira bahwa dia berada di luar Tembok Besar, yaitu
berada di perbatasan antara daerah Mongolia Dalam dan daerah Mancuria yang
kesemuanya tentu saja berada dalam kekuasaan Pemerintah Ceng pada waktu itu. Maka
dia sendiri menjadi terheran-heran dan bingung juga ketika selama berhari-hari
melakukan perjalanan, dia tidak pernah bertemu dengan dusun, tak pernah berjumpa
manusia dan perjalanan yang ditempuhnya amat sukar karena selain harus melalui
pegunungan yang tinggi dan hutan-hutan yang liar, juga kadang-kadang dia harus
melalui padang pasir yang amat luas sehingga sampai dua tiga hari belum juga habis
pasir yang dilaluinya!
Pada suatu pagi, setelah bermalam di sebuah guha di kaki bukit dia melanjutkan
perjalanan, memasuki sebuah hutan yang amat lebat. Namun dia kelihatan girang dan
wajahnya selalu berseri. Memang baginya tentu saja jauh lebih baik melakukan
perjalanan melalui hutan-hutan liar daripada melalui padang pasir yang mengerikan itu.
Pernah dia hampir mati kelaparan dan kehausan ketika melalui padang pasir selama tiga
hari tiga malam. Di mana-mana pasir melulu! Kalau di dalam hutan, dia tidak akan
kekurangan air, tidak akan kekurangan makan dan minum. Andaikata tidak ada binatang
hutan, dia dapat saja makan daun-daun muda, buah-buahan atau akar. Dia sudah biasa
akan penghidupan sederhana seperti itu! Akan tetapi pasir!
Selama berhari-hari ketika dia meninggalkan pulau, hatinya terhimpit kedukaan karena
memikirkan Hong Ing. Hatinya penuh kerinduan sehingga hampir setiap dia tidur, dia
bermimpi dan bertemu dengan dara yang dikasihinya itu. Hampir gila dia merindukan
dara itu. Akan tetapi lambat laun dia dapat menekan hatinya, dapat menenangkan
perasaannya dan dia percaya bahwa kalau memang dia berjodoh dengan Hong Ing, pasti
pada suatu hari dia akan bertemu dengan dara pujaan hatinya itu.
Sambil berjalan memasuki hutan, Kun Liong mengenangkan semua pengalamannya.
Tampak nyata dalam ingatannya betapa bodohnya dia dahulu. Betapa sombongnya dia
dahulu terhadap cinta kasih! Betapa dia meremehkan cinta kasih yang dianggapnya
hanyalah cinta yang mengandung nafsu berahi belaka! Betapa dia tidak percaya akan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
650 cinta kasih yang sesungguhnya, cinta kasih yang dapat menciptakan sorga maupun
neraka bagi orang yang dihinggapinya, seperti yang dia rasakan sekarang! Dan
mengingat ini semua, seringkali dia termenung dengan muka pucat, mengingat akan
dara-dara yang pernah dikenalnya selama petualangannya dalam dunia ini. Terutama
sekali dia merasa terharu dan berduka, merasa menyesal sekali kalau dia teringat
kepada Hwi Sian. Satu-satunya gadis yang telah menyerahkan tubuhnya, menyerahkan
kehormatannya kepadanya! Satu-satunya gadis yang telah membuktikan cintanya
melalui pengorbanan yang paling hebat bagi seorang wanita. Dan dia telah tega
meninggalkan gadis itu! Seperti seekor kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah
menikmati madu kembang itu, setelah dihisapnya habis. Dia merasa menyesal sekarang.
Dia tidak mencinta Hwi Sian, hanya suka, mengapa dia mau melakukan hubungan badan
dan tentu akan membuat dara itu makin rusak hatinya" Hwi Sian yang mengaku akan
menikah dengan suhengnya, telah sengaja menyerahkan diri kepadanya, untuk
membuktikan cinta kasihnya. Akan tetapi dia yang tidak mencinta, mengapa mau
menerimanya"
"Bodoh kau!" Dia menampar kepalanya sendiri, akan tetapi telapak tangannya itu tinggal
di kepalanya karena baru teringat sekarang bahwa kepalanya sudah berambut! Dia
tersenyum geli. Mengapa sekarang jalan pikirannya berubah setelah kepalanya ada
rambutnya" Apakah dahulu itu semua ketololannya adalah akibat dari kepalanya yang


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak terlindung rambut sehingga mudah sekali dimasuki angin jahat" Dia menggosok-
gosok kepalanya. Rambutnya sudah mulai panjang, ada sejari panjangnya dan tumbuh
dengan subur. Akan tetapi karena baru sejari rambut itu masih kaku dan kacau
tumbuhnya, mencuat ke sana-sini tidak teratur. Dan pakaiannya! Merah mukanya ketika
dia menunduk dan memandang pakaiannya. Lebih pantas seorang jembel kotor! Atau
seorang manusia liar yang belum mengenal peradaban, seorang manusia biadab! Betapa
mungkin dia dapat menjumpai orang di kota atau dusun dalam pakaian seperti ini" Tentu
dia akan dianggap seorang jembel yang sudah terlantar, atau mungkin akan dicurigai
orang. Ah, dia tidak khawatir, di sakunya terdapat emas dan permata, dia akan membeli
pakaian begitu ada kesempatan.
Tiba-tiba Kun Liong menghentikan langkah kakinya. Di sebelah kanannya terbentang
jurang yang dalam dan luas. Dia mendengar suara dari bawah, dari bawah jurang! Suara
orang berteriak minta tolong atau semacam itu karena suara itu hanya terdengar
gemanya saja, tidak begitu jelas. Dua macam perasaan mengaduk hati Kun Liong.
Girang dan cemas. Girang karena dia mendengar suara orang, dan cemas karena dari
suara itu, biarpun tidak jelas, dia menangkap ketakutan hebat seolah-olah orang itu
terancam bahaya besar.
Cepat dia menuruni jurang yang curam itu. Dia harus berhati-hati karena sekali
terpeleset, atau sekali pegangannya terlepas, tubuhnya tentu akan melayang ke bawah
dan dia taksir bahwa tebing itu dalamnya tidak kurang dari seribu kaki! Tubuhnya tentu
akan hancur, atau setidaknya akan robek-robek kulitnya kalau dia sampai terguling-
guling ke bawah sana!
Kembali dia mendengar suara teriakan. Benar-benar teriakan minta tolong! Dia
mempercepat gerakannya merayap turun, bergantungan pada akar-akar dan batu-batu
di sepanjang tebing dan akhirnya tibalah dia di bawah. Ternyata di bawah tebing itu pun
terdapat sebuah hutan dan suara tadi keluar dari hutan itulah.
Dengan gerakan yang cepat sekali Kun Liong berlari memasuki hutan. Hatinya berdebar
ketika dia melihat belasan orang mengeroyok seorang laki-laki asing!
Seorang laki-laki sebangsa Yuan de Gama yang memegang sebatang golok dan membela
diri mati-matian terhadap pengeroyokan tiga orang itu! Akan tetapi, orang asing itu
sudah terluka parah, pakaiannya penuh darah dan tubuhnya sudah lemah, gerakannya
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
651 tidak leluasa lagi sehingga ketika Kun Liong tiba di situ, sekaligus orang asing itu
menerima bacokan-bacokan yang membuatnya roboh.
"Heiii, jangan bunuh orang...!" Kun Liong berteriak sambil meloncat ke depan. Tiga belas
orang itu menengok dan mereka segera mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti
oleh Kun Liong. Sebelum Kun Liong dapat mencegahnya, tiga belas orang laki-laki
bertubuh tegap kuat dan bersenjata golok dan pedang itu telah lari menyerbunya sambil
mengeluarkan teriakan-teriakan liar! Kun Liong terkejut sekali, maklum bahwa dia
berhadapan dengan suku bangsa yang berbeda bahasanya, segerombolan orang-orang
kasar dan liar, maka dia mengerti bahwa bicara pun tidak akan ada gunanya. Maka dia
mempergunakan kepandaiannya, ketika mereka datang menyerbu, dia mengerahkan
gin-kangnya melompat melewati atas kepala mereka dan berlutut memeriksa orang
asing yang sudah rebah dan mengerang kesakitan itu.
"Aduhhh... mati aku... tolong aku...!" Orang asing itu, seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun lebih, merintih dan dengan suara kaku minta tolong kepada Kun Liong.
Logat bicaranya mengingatkan Kun Liong kepada Yuan de Gama, maka dia berkata
menghibur, "Jangan khawatir, aku akan mencegah mereka menyerangmu...!" Akan
tetapi di dalam hatinya, Kun Liong maklum bahwa orang ini tidak dapat ditolong lagi.
Luka-lukanya terlalu parah, bahkan leher kanannya yang pecah mengucurkan darah
yang takkan dapat dibendung lagi.
Tiga belas orang Mongol itu terkejut ketika melihat lawan mereka berkelebat dan
"terbang" di atas kepala mereka. Cepat mereka membalikkan tubuh dan kini mereka
menyerbu sambil berlari dan mengeluarkan pekik dahsyat.
Kun Liong menoleh, tangan kanannya mencengkeram tanah dan batu pasir, kemudian
dia menyambit sambil mengeraKkan sin-kangnya.
"Siuuuttt... aughhh! Ahh! Aduhhh!" Empat orang Mongol yang berlari paling depan jatuh
bergelimpangan, menjeritjerit sambil memegangi kaki mereka yang terasa perih, pedih,
dan ngilu karena tanah dan pasir itu menembus kulit memasuki daging sampai ke tulang
kering kaki mereka!
Melihat empat orang kawannya roboh, sembilan orang Mongol yang lainnya terkejut
sekali dan menghentikan gerakan kaki mereka, memandang dengan mata terbelalak
seolah-olah tidak percaya bahwa pemuda berambut pendek itu dapat merobohkan
kawan-kawan mereka dari jarak jauh, hanya sambil berlutut dan menyambitkan tanah!
Pemimpin mereka, seorang tinggi besar bermata sipit sekali, agaknya merasa penasaran.
Dia adalah seorang jago silat bangsa Han, sungguhpun pakaiannya seorang jembel, dia
melangkah maju dan berkata dalam bahasa Han yang kaku sekali, "Engkau jagoan, ya"
Hayo kaulawan aku, tanpa menggunakan senjata rahasia! Tanpa menggunakan ilmu
setan!" Kun Liong maklum bahwa berhadapan dengan orang-orang kasar seperti ini, dia hanya
dapat mengandalkan kepandaian silatnya untuk menundukkan mereka. Maka dia segera
bangkit berdiri menghadapi raksasa bermata sipit itu. "Hemm, aku menggunakan pasir
kaucela, akan tetapi engkau menggunakan senjata tajam, dan mengandalkan jumiah
banyak mengeroyok orang!"
MULUT raksasa itu cemberut, dan dia melempar goloknya kepada seorang teman.
"Lihat, aku hanya mengandalkan tangan dan kaki. Beranikah kau melawanku?"
Kun Liong bangkit berdiri, menghampiri dan berkata, "Tentu saja aku berani, majulah!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
652 Raksasa Mongol itu menerjang maju, memukul dengan kedua tangannya. Seperti dua
buah cakar biruang raksasa, kedua tangan itu menyambar dari kanan kiri. Kun Liong
mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya menangkis.
"Plak! Plak!" Raksasa Mongol itu telah memegang kedua lengan Kun Liong yang terlalu
kecil bagi jari-jari tangannya yang panjang dan besar! Tahu-tahu, Kun Liong merasa
tubuhnya terangkat ke atas.
Akan tetapi, ketika raksasa itu berusaha melontarkan tubuh Kun Liong, pemuda ini sudah
memegang pula lengan lawan sehingga mereka saling berpegangan dan tubuh Kun Liong
tidak dapat terlempar! Bahkan ketika raksasa itu mengerahkan seluruh tenaga dan untuk
kesekian kalinya melontarkan, Kun Liong meminjam tenaganya, ditambah tenaga sendiri
sambil memperberat tubuhnya dan... kini tubuh raksasa itulah yang melayang ke atas
begitu kaki Kun Liong menyentuh tanah dan tubuh yang tinggi besar itu terlempar dan
terbanting keras ke atas tanah.
"Brukkkk!!" Debu mengebul tinggi dan raksasa sipit itu merangkak bangun,
menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepeningan, lalu bangkit berdiri lagi
dan berjalan maju setengah berbongkok seperti seekor biruang besar hendak menerkam!
Kun Liong menanti dengan tenang. Dia tahu bahwa lawannya ini hanyalah mengandalkan
tenaga luar saja, bukan merupakan lawan berbahaya. Akan tetapi dia pun harus
meyakinkan mereka semua akan kepandaiannya, karena dengan demikian barulah
mereka itu akan mundur.
"Haarrrggghhh...!" Raksasa sipit itu menggereng dan tubuhnya sudah meloncat dan
menubruk ke arah Kun Liong.
"Duk! Duk! Dessss!"
Orang-orang Mongol itu hanya melihat tubuh pemimpin mereka terjengkang lalu roboh
tak berkutik lagi! Mereka tidak tahu bahwa Kun Liong tadi memapaki lawan dengan dua
kali totokan yang melumpuhkan kaki tangan orang itu, kemudian menampar keras
membuat lawannya pingsan.
"Bawa dia pergi!" Bentak Kun Liong kepada mereka.
Dengan muka membayangkan rasa takut, orang-orang Mongol itu lalu menolong
pemimpin dan teman-teman yang kakinya terluka, kemudian berlari-lari meninggalkan
tempat itu. Setelah melihat orang-orang Mongol itu pergi jauh, Kun Liong kembali berlutut di dekat
orang asing yang kini hanya mengerang lemah sekali karena kehabisan darah. Sekali lagi
Kun Liong meneliti, akan tetapi hanya mendapat keyakinan bahwa orang itu tidak akan
dapat tertolong lagi nyawanya. Mukanya sudah mulai memucat karena kekurangan
darah. Dia tidak dapat menolong lagi, maka dia hanya dapat bertanya, "Apakah yang
terjadi, Tuan?"
Orang itu membuka matanya, bibirnya menggumam, "...terima kasih... terima kasih...
mereka adalah gerombolan Mongol yang membenci kami orang-orang kulit putih... aku...
aku utusan... Dewa Panah..."
"Dewa Panah" Siapakah dia" Dan diutus ke mana?"
Dengan susah payah orang itu mencoba menjawab, akan tetapi yang terdengar oleh Kun
Liong hanyalah bisikan lemah, "...Pek-lian-kauw... di muara Sungai Huai... pantai Laut
Kuning..." sampai di situ habislah napas orang asing itu, meninggalkan Kun Liong
termangu-mangu karena tidak mengerti apa yang dimaksudkan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
653 Setelah menghela napas panjang berulang-ulang, menyesal bahwa perjumpaannya yang
pertama dengan manusia ternyata begini tidak menyenangkan dan tiada gunanya
baginya, Kun Liong lalu menggali tanah membuat lubang untuk mengubur jenazah orang
itu. Setelah lubang yang digalinya cukup dan dia hendak mengangkat tubuh orang itu,
tiba-tiba dia teringat akan pakaiannya, Kun Liong mengerutkan alisnya. Berdosakah dia
kalau dia mengambil pakaian orang ini" Sesosok mayat tidak membutuhkan pakaian
luar, akan tetapi dia amat membutuhkan karena pakaiannya sudah tidak karuan
macamnya. Ah, kiranya tidak berdosa, dan si mati tentu akan memaafkannya.
Setidaknya, dia telah menguburkan jenazahnya! Mulailah Kun Liong menanggalkan
pakaian orang itu, pakaian luarnya dan hal ini masih mudah dilakukannya karena mayat
itu masih belum kaku. Setelah dia melepaskan baju kemeja lengan panjang dan celana,
sepatu boot dan kain leher orang itu sehingga yang masih menempel di tubuh mayat itu
hanya pakaian dalam, Kun Liong berkata, "Terima kasih dan maafkan aku, Tuan!"
Kemudian dia mengubur jenazah itu dan mengenakan pakaian model barat. Untung
baginya, tubuh orang asing itu kecil, tidak berbeda banyak dengan tubuhnya, maka
pakaiannya itu pas sekali, hanya lengannya lebih panjang sehingga terpaksa digulungnya
sampai ke siku.
Tak lama kemudian, pemuda itu tertawa-taw
Bentrok Rimba Persilatan 9 Golok Halilintar Karya Khu Lung Pendekar Sadis 1
^