Petualang Asmara 28

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 28


puterinya itu tidak dipaksa, melainkan dengan suka rela ingin mengorbankan diri kepada dewa.
Maka dia menjadi ragu-ragu dan bingung. Untuk merampas puterinya, menolong
puterinya seperti yang telah dilakukan dahulu ketika dia menolong dan menyembunyikan
Pek Cu Sian, dia tidak berani. Bukan tidak berani kepada para Lama, melainkan tidak
berani melanggar janji, dan tidak berani lagi melakukan dosa terhadap dewa yang
dimuliakannya. Ketika menoleh ke kiri, dia melihat seorang pemuda sedang mengamuk.
Pemuda itu masih terbelenggu kedua tangannya di depan tubuh, dengan belenggu bulu
biruang hitam, akan tetapi biarpun kedua tangannya terbelenggu, dengan tangan
terangkap dan dengan kedua kakinya, pemuda itu telah merobohkan setiap orang Lama
yang berani menghadangnya dan mengeroyoknya! Inilah yang menimbulkan kegaduhan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
799 dan kini para pendeta Lama sedang marah dan mulai menggunakan senjata untuk
mengeroyok pemuda yang memberontak dan mengamuk itu.
"Kalian orang-orang kejam! Akan kubunuh semua kalau Hong Ing tidak dibebaskan!" Kun
Liong berteriak-teriak dan beberapa orang pendeta Lama terlempar jauh tersambar
tendangan kakinya yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap tercampur rasa
gelisah yang hebat melihat betapa kekasihnya akan dibakar hidup-hidup!
"Manusia lancang! Dia dengan suka rela hendak mengorbankan diri menjadi mempelai
dewa, ada sangkut-pautnya apa denganmu!" bentak seorang Lama dengan marah.
Mendengar ini, Kok Beng Lama makin bingung. Dia sudah berjanji tidak akan
memberontak, dan tentu saja dia merasa bahwa dia bersalah kalau sampai dia
mencegah puterinya yang hendak melakukan pengorbanan diri, suatu hal yang amat
dimuliakan di dalam tradisi mereka. Akan tetapi, tentu saja dia pun tidak akan dapat
membiarkan puterinya tewas begitu saja dan melihat sepak-terjang pemuda itu yang
amat hebat, dia mendapat akal. Sambil mengeluarkan suara gerengan hebat dia
menyerbu ke depan, mendorong semua Lama ke pinggir kemudian dia menyerang Kun
Liong dengan hebatnya!
Melihat munculnya Kok Beng Lama, semua Lama, termasuk tiga orang pimpinan Lama,
menjadi terkejut sekali. Akan tetapi hati mereka menjadi lega ketika melihat betapa Kok
Beng Lama menyerang Kun Liong. Diam-diam Sin Beng Lama tersenyum girang melihat
suhengnya telah benar-benar bertobat dan hendak menebus dosa terhadap dewa itu.
Dengan adanya suhengnya itu yang membantu, tentu perjuangan mereka akan lebih
mantap lagi. Sementara itu, Kun Liong sudah mengenal kakek tinggi besar yang muncul ini, kakek
yang bernama Kok Beng Lama dan yang dulu pernah menolong dia dan Hong Ing, yang
kemudian dia ketahui adalah ayah kandung dara itu. "Lociapwe, saya hendak menolong
Hong Ing!" katanya ketika kakek itu menerjangnya. Namun terlambat, serangan telah
tiba dan hebat bukan main serangan kaki itu. Pukulan yang dahsyat, mendatangkan
hawa pukulan seperti halilintar menyambar, menuju ke arah dadanya. Kun Liong
mengangkat kedua lengannya yang masih terbelenggu, mengerahkan sin-kangnya
menangkis dari kiri ke kanan.
DESSS... belenggu itu kalah oleh api...!"
Tubuh Kun Liong terpental ke belakang sedangkan Kok Beng Lama juga terhuyung-
huyung. Hal ini amat mengejutkan Kok Beng Lama karena pertemuan tenaga tadi
membuktikan bahwa tenaga sin-kang pemuda itu amat kuatnya, tidak kalah kuat
olehnya sendiri, bahkan mungkin lebih kuat atau setidaknya berimbang. Akan tetapi, Kun
Liong juga terkejut dan girang karena pada saat lengan mereka bertemu tadi, dia
mendengar bisikan kakek itu. Tahulah bahwa ayah kandung Hong Ing itu membantunya
secara diam-diam dan dia tahu pula bahwa belenggu yang amat kuat itu, lebih kuat dari
besi yang akan dapat dia patahkan, kiranya ada rahasia kelemahannya, yaitu api!
"Haiiiihhhh!" Lengking yang nyaring keluar dari dalam dada Kun Liong ketika tubuhnya
melayang ke arah panggung yang mulai terbakar! Dia meloncat tinggi melewati kepala
para pengeroyoknya dan ketika dia turun di dekat panggung, cepat dia merobohkan
empat orang yang lari menerjangnya. Kemudian dia membalik, mengulur kedua
tangannya ke api yang sudah menyala di bawah panggung. Betapa girang rasa hatinya
ketika melihat lidah api menjilat belenggunya dan seperti daun kering saja, bulu-bulu
hitam itu dimakan api dan dalam sekejap mata dia telah bebas! Berkat sin-kangnya yang
tinggi, dia dapat menjaga kulit pergelangan tangannya sehingga tidak hangus oleh
bakaran api yang tidak terlalu lama itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
800 Kembali beberapa orang pendeta Lama mengeroyoknya dan kembali dia merobohkan
empat orang. Akan tetapi dia melihat Kok Beng Lama juga lari mengejarnya, tepat pada
saat Sin Beng Lama, Hun Beng Lama, dan Lak Beng Lama tiba di situ. Dan kini Kok Beng
Lama berdiri melindunginya, bahkan menghadapi tiga orang sutenya sambil bertolak
pinggang! "Pengkhianat, kau berani membuat dosa lagi?" Sin Beng Lama membentak. "Kau tidak
malu untuk melanggar janji?"
"Sin Beng Lama, pikir dulu baik-baik sebelum membuka mulut!" bentak Kok Beng Lama
dengan mata melotot. "Siapa yang melanggar janji" Siapa yang membuat dosa" Tidak
ada buktinya bahwa aku memberontak, maka aku tidak melanggar janji. Sebaliknya,
kalian berjanji takkan mengganggu anakku buktinya kalian hendak mengorbankan dia!"
Tiga orang pimpinan Lama itu khawatir sekali melihat betapa Kun Liong sudah meloncat
naik ke atas panggung dan bergegas membebaskan kekasihnya dari tiang yang sudah
dihampiri oleh lidah api itu, kemudian menarik dara itu menjauhi api.
"Kun Liong...!"
"Hong Ing...!"
Mereka berpelukan, berdekapan, berciuman tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling
mereka. "Kun Liong... hu-huhhh... Kun Liong...!" Berkali-kali Hong Ing menyebut nama
kekasihnya dengan mesra, akan tetapi dengan suara merintih dan menangis.
Kun Liong mengusap rambut kekasihnya penuh kemesraan, diangkatnya muka dara itu
dan dipandangnya sampai lama dengan mata basah. "Hong Ing... kekasihku, pujaan
hatiku... syukur aku tidak terlambat, semua ini berkat pertolongan ayahmu..."
"Ayah...?" Hong Ing yang masih berpelukan dengan kekasihnya itu menoleh ke bawah
panggung. Juga Kun Liong kini teringat bahwa mereka masih belum bebas dari ancaman
bahaya, masih terkepung oleh banyak lawan, maka cepat dia memandang ke bawah
panggung. Kok Beng Lama masih berhadapan dengan tiga orang sutenya, dan kini kakek itu berkata
lantang, "Apa" Kau bilang bahwa anakku secara suka rela hendak mengorbankan
dirinya" Benarkah itu" Mana buktinya" Itu dia, aku akan bertanya. Heiii, Hong Ing,
benarkah kau dengan suka rela hendak mengorbankan dirimu menjadi mempelai dewa
yang mulia?"
"Tidak, Ayah! Mereka memaksaku karena mereka menangkap Kun Liong dengan cara
yang curang! Mereka mengancam hendak membunuhku sehingga Kun Liong
menyerahkan diri dan untuk menolong agar Kun Liong tidak dibunuh, aku mau dibakar
asal Kun Liong tidak diganggu. Mereka itu pendeta-pendeta yang berhati palsu!"
"Locianpwe, mereka adalah pemberontak-pemberontak yang bersekutu dengan Pek-lian-
kauw untuk merampas Kerajaan Tibet dan Kerajaan Beng!" Kun Liong juga berteriak.
"Pengkhianat dan manusia rendah!" Sin Beng Lama sudah membentak marah sekali
karena rahasianya dibongkar. Biarpun dia maklum akan kelihaian bekas suhengnya ini
dan juga betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, namun dengan bantuan banyak
anak buahnya, juga pasukan-pasukannya bersama pasukan Pek-lian-kauw berada di luar
markas, tentu saja dia tidak takut.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
801 "Serbuuu...! Bunuh mereka manusia-manusia berdosa ini!" Teriaknya nyaring dan dia
sendiri bersama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama sudah menerjang Kok Beng Lama.
"Locianpwe, jangan khawatir, saya akan membantu!" Kun Liong berteriak sambil
membawa Hong Ing meloncat turun dari panggung yang sudah terbakar.
"Desss...! Dukkk! Dukkk!" Tiga orang pimpinan Lama itu terdorong ke belakang ketika
lengan Kok Beng Lama menangkis mereka dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kok
Beng Lama menoleh ke arah Kun Liong sambil berseru, "0rang muda, jangan bantu aku.
Kaubawalah Hong Ing menyingkir, selamatkan dia, aku serahkan dia kepadamu dengan
berkatku!"
Kun Liong mengangguk. "Hong Ing, mari kita pergi...!" katanya sambil memegang
pergelangan tangan kekasihnya.
Hung Ing merenggutkan tangannya terlepas. "Tidak! Aku tidak mau meninggalkan Ayah
dalam bahaya. Aku harus bantu dia! Aku akan menjadi seorang anak tak berbakti yang
selamanya akan tersiksa batinku kalau aku meninggalkan ayahku yang sedang terancam
bahaya." Kun Liong memandang kekasihnya dengan wajah berseri dan dia tersenyum, merangkul
dan mencium dahi Hong Ing. Bagus! Memang begitulah seharusnya seorang wanita
gagah dan berbakti. "Aku kagum kepadamu, Hong Ing, aku bangga!"
Kun Liong dan Hong Ing lalu menyerbu dan membantu Kok Beng Lama yang dikeroyok
tiga oleh pimpinan Lama Jubah Merah yang sakti itu. Akan tetapi, para Lama menyerbu
dan mengepung mereka sehingga terpaksa Kun Liong dan Hong Ing tidak dapat
mendekati Kok Beng Lama dan menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta Lama.
Mereka ini juga tidak berani membantu pimpinan mereka karena mereka maklum bahwa
mencampuri pertandingan antara pimpinan Lama Jubah Merah amatlah berbahaya, sama
dengan mengantar nyawa. Apalagi mereka memang merasa gentar terhadap Kok Beng
Lama yang merupakan tokoh tertua di antara mereka, tokoh paling sakti pula.
Terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Kok Beng Lama mengamuk dikeroyok oleh
tiga orang sutenya, sedangkan Kun Liong bersama Hong Ing mengamuk dikeroyok
puluhan orang pendeta Lama. Sementara itu, api dari panggung menjilat-jilat ke mana-
mana dan karena tidak ada yang mengurus, api itu bahkah kini menjilat ke bangunan
belakang markas itu! Betapa pun saktinya Kok Beng Lama, menghadapi pengeroyokan
tiga orang sutenya yang penuh kemarahan itu, dia mulai terdesak juga. Demikian pula
dengan Kun Liong yang menghadapi pengeroyokan puluhan orang pendeta, bahkan
masih ada puluhan orang lain yang siap mengeroyoknya menggantikan kawan yang
roboh, di samping itu Kun Liong harus selalu melindungi kekasihnya pula. Keadaan
mereka makin terdesak dan terancam hebat.
Tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai dan kegaduhan luar biasa di sebelah luar markas
itu dan biarpun belum dapat melihat dengan mata kepala sendiri, Sin Beng Lama dan
dua orang sutenya maklum bahwa pasukan mereka yang berada di luar telah diserbu
musuh dan terjadi perang di luar markas. Tentu saja mereka terkejut bukan main dan
Sin Beng Lama berteriak kepada seorang anak buahnya untuk menyelidiki keluar
markas. Sebentar saja ributlah para pendeta Lama ketika terdengar berita bahwa di luar markas,
tentara Pemerintah Beng telah menyerbu dan kini sedang berperang melawan pasukan
Lama Jubah Merah yang dibantu oleh pasukan Pek-lian-kauw! Mendengar ini, para
pendeta Lama yang tidak memperoleh kesempatan ikut mengeroyok Kun Liong dan Hong
Ing, berserabutan lari keluar dari markas untuk membantu teman-teman mereka
berperang menghadapi penyerbuan bala tentara Beng.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
802 Tiba-tiba terdengar suara keras dan pintu gerbang yang tadinya ditutup oleh para
pendeta Lama yang menjaga di dalam, bobol dan berbondong-bondong masuklah bala
tentara Beng dipimpin oleh dua orang laki-laki dan wanita yang amat gagah perkasa.
Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya, pendekar
wanita Sie Biauw Eng! Bagaikan sepasang naga yang marah mengamuk, suami isteri ini
menyerbu ke dalam dan setiap lawan yang berani menghadang tentu roboh dan tak
dapat bangkit kembali.
Ketika melihat munculnya suami isteri pendekar ini, Kun Liong merasa girang bukan
main karena kini dia merasa yakin bahwa dia, Hong Ing, dan ayah kekasihnya akan
tertolong dari bahaya maut.
"Supek... Supekbo...!" teriaknya girang. "Harap Ji-wi suka membantu Kok Beng Lama
Locianpwe menghadapi pimpinan mereka yang lihai!"
Mendengar ini dan melihat Kun Liong bersama seorang dara cantik mengamuk
menghadapi pengeroyokan banyak pendeta Lama, Keng Hong dan isterinya agak
terheran, akan tetapi mereka, diikuti oleh beberapa orang pengawal dari Panglima Besar
The Hoo yang memimpin pasukan, lalu menyerbu ke tengah di mana Kok Beng Lama
bertanding melawan tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang amat lihai.
Melihat kedatangan mereka itu, Sin Beng Lama mendengus marah, mengeluarkan seikat
dupa dari sakunya dan sekali tiup, api di ujung lima dupa yang dipegangnya telah
membakar semua ujung hio seikat itu, kemudian cepat sekali tangannya bergerak-gerak
menyambit-nyambitkan dupa-dupa biting yang sudah membara ujungnya itu ke arah Cia
Keng Hong, Sie Biauw Eng, dan para pengawal.
Tampak sinar-sinar kecil beterbangan ke arah pendatang-pendatang ini. "Awas...!" Cia
Keng Hong berseru keras. Dia dan isterinya cepat menggerakkan kaki tangannya,
kakinya menendangi hio-hio yang beterbangan di bawah, sedangkan jari-jari tangan
mereka menyambar dan menjepit hio-hio yang menyambar tubuh atas mereka, lalu
melempar benda-benda itu ke atas tanah. Akan tetapi, di belakang mereka terdengar
jeritan-jeritan dan ternyata ada empat orang pengawal yang roboh berkelojotan, terkena
hio-hio membara yang menancap di tubuh mereka.
Cia Keng Hong dan isterinya terkejut sekali. Para pengawal itu adalah orang-orang yang
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi, namun ternyata tidak mampu menghindarkan
diri dari sambaran hio-hio tadi dan sekali terkena senjata rahasia istimewa itu roboh
berkelojotan dalam keadaan sekarat. Mereka menjadi marah, maklum bahwa mereka
menghadapi lawan tangguh, maka Cia Keng Hong lalu mengeluarkan pedang Siang-
bhok-kiam yang sejak tadi tidak pernah dipergunakannya itu. Pedang Kayu Harum ini
mengeluarkan cahaya kehijauan ketika dicabut dan dengan mata memandang tajam dia
bersama isterinya menerjang ke depan, disambut oleh Hun Beng Lama dah Lak Beng
Lama. "Trakkkk-trakkk!"
"Trangg! Cring...!"
Tasbih di tangan Hun Beng Lama bertemu dengan Siang-bhok-kiam dan Lama itu
tergetar hebat, terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Juga
tongkat di tangan Lak Beng Lama bertemu dengan Pek-in Sin-pian (Cambuk Lemas Sakti
Awan Putih) yang berupa sehelai sabuk sutera putih yang dapat digerakkan menjadi
kaku seperti baja oleh tangan halus yang penuh tenaga sin-kang sehingga kakek ini juga
terkejut dan terhuyung ke belakang.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
803 Sin Beng Lama yang kini harus menghadapi bekas suhengnya sendirian saja, segera
terdesak hebat oleh Kok Beng Lama. Dari kedua ujung lengan jubah Kok Beng Lama
menyambar-nyambar angin dahsyat dan betapa pun Sin Beng Lama berusaha untuk
menyerang dengan dupa-dupa membaranya, percuma saja karena terkena sambaran
angin itu dupa-dupanya menjadi padam dan patah-patah. Terpaksa Sin Beng Lama
mencabut sebatang pedang lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang.
Sinar terang menyilaukan mata tampak dan disusul suara berdesing tinggi ketika sinar
ini menyambar ke arah Kok Beng Lama. Kakek tinggi besar ini terkejut, mengelak cepat
namun tetap saja kulit lehernya robek berdarah. Sambil menyeka darah di lehernya, Kok
Beng Lama mendengus dan memandang penuh kemarahan kepada bekas sutenya.
"Manusia munafik!" Kok Beng Lama membentak dan menggerakkan kedua tangannya
menyerang dengan lembut. Sin Beng Lama diam saja, kemudian cepat menggerakkan
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat putih menyilaukan mata itu. Dia tidak dapat
menjawab makian bekas suhengnya karena dia tahu bahwa dia telah melanggar sumpah,
sumpah kepala Lama Jubah Merah. Pedang itu adalah pedang pusaka yang selalu
menjadi pegangan seorang Kepala Lama Jubah Merah, akan tetapi membunuh
merupakan pantangan bagi seorang kepala Lama, apalagi membunuh dengan pedang
pusaka ini! Pantangan ini diperkuat dengan sumpah bahwa kalau seorang Kepala Lama
melanggarnya, dia akan tewas di ujung pedang pusaka itu sendiri. Dan kini, karena
merasa tidak kuat menandingi bekas suhengnya, Sin Beng Lama melanggar sumpahnya
sendiri dan mengandalkan pedang pusaka itu untuk memperoleh kemenangan.
Sambil mengeluarkan suara menggereng yang keluar dari dadanya, Kok Beng Lama
menghadapi pedang pusaka di tangan Sin Beng Lama itu. Kedua lengan kakek tinggi
besar ini mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat sehingga gulungan sinar pedang
putih selalu terdorong mundur.
"Robohlah...!" Sin Beng Lama berteriak, melakukan penyerangan kilat, pedang
pusakanya menyusul tangan kiri yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, menusuk dari
samping menuju lambung lawan.
Kok Beng Lama maklum akan jurus serangan yang amat berbahaya ini, akan tetapi dia
sudah mengambil keputusan nekat untuk membunuh bekas sutenya yang kejam dan
hampir membunuh anaknya itu. Apalagi mendengar dari Kun Liong tadi bahwa sutenya
ini telah menyelewengkan perkumpulan mereka, bersekutu dengan Pek-lian-kauw untuk
merampas Kerajaan Tibet. Sungguh merupakan dosa yang tak dapat diampunkan.
Bagaikan sepasang garuda yang menyambar cepatnya, kedua tangannya bergerak, yang
kanan menangkap tangan sutenya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun, yang kiri
dengan gerakan membalik dari samping, dengan telapak tangan terbuka memukul ke
arah pedang yang menusuk lambungnya.
"Desss! Trangggg...!" Pedang itu terlepas dari pegangan, bahkan tangan kanan Sin Beng
Lama sudah tertangkap pula oleh tangan kiri Kok Beng Lama sehingga kini kedua tangan
Ketua Lama Jubah Merah telah ditangkap oleh bekas suhengnya! Keduanya saling
mengerahkan sin-kang, namun tahulah Sin Beng Lama bahwa dia kalah tenaga dan
kedua lengannya sudah menggigil hebat.
"Haaaaiiiikkkk...!" Tiba-tiba Sin Beng Lama mengeluarkan pekik yang menggetarkan
seluruh tempat itu dan kepalanya yang gundul menyeruduk seperti seekor kerbau


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamuk ke arah perut Kok Beng Lama. Inilah serangan maut yang amat berbahaya
karena kepala gundul yang kini mengeluarkan uap putih itu mengandung pemusatan sin-
kang yang amat dahsyat sehingga batu karang sekalipun akan hancur lebur kalau kena
diseruduk oleh kepala ini!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
804 "Ceppppp...!" Kok Beng Lama yang melihat serangan ini, tidak mengelak bahkan
memasang perutnya, menerima serudukan, bahkan perutnya yang gendut itu tiba-tiba
menjadi lunak sekali, membuat kepala Sin Beng Lama menancap ke dalam rongga
perutnya, terus disedot dengan pengerahan sin-kang.
Terdengar suara berkerotokan keras dan tubuh Sin Beng Lama menjadi lemas. Ketika
Kok Beng Lama menarik napas panjang dan melembungkan lagi perutnya, tubuh Sin
Beng Lama terlempar ke belakang dalam keadaan tak bernyawa lagi karena kepalanya
retak-retak dan remuk di sebelah dalamnya. Kok Beng Lama membalikkan tubuh untuk
mencari dua orang musuhnya lagi, yaitu Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama.
Begitu dia memandang, dia menjadi bengong dan terbelalak. Dua orang pendeta lama itu
sedang bertanding melawan seorang laki-laki dan seorang wanita yang memiliki gerakan
amat luar biasa hebatnya. Pada saat itu, sabuk sutera putih di tangan wanita cantik itu
melayang seperti seekor naga putih, menyambar-nyambar ke arah Hun Beng Lama dan
Lak Beng Lama dan ketika kedua orang pendeta Lama ini menggerakkan tasbih dan
tongkat untuk menangkis, kedua uJung sabuk itu telah melibat senjata-senjata mereka!
Kedua orang Lama ini mengerahkan tenaga untuk menarik dan membikin putus dan
rusak sabuk sutera putih, akan tetapi pada saat itu, berkelebat sinar kehijauan dari
Pedang Kayu Harum, dan dua orang pendeta Lama itu mengeluh lalu roboh dan tak
dapat bangkit kembali. Sedemikian cepatnya pedang itu menembus dada dan keluar lagi
sehingga tidak tampak oleh pandangan mata.
Siasat kerja sama yang dilakukan oleh Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng memang
hebat. Tadinya, ketika Keng Hong menghadapi Hun Beng Lama dan Biauw Eng melawan
Lak Beng Lama, keadaan ramai bukan main. Keng Hong dapat mendesak Hun Beng
Lama, namun, Biauw Eng merasa repot menghadapi serbuan tongkat Lak Beng Lama
sehingga sampai lama kedua orang suami isteri perkasa ini belum mampu merobohkan
lawan. Tiba-tiba Biauw Eng berseru keras dan ini adalah tanda bagi suaminya akan
siasatnya bekerja sama. Dan ternyata berhasil baik karena selagi kedua orang lawan
tangguh itu bersitegang untuk menarik kembali senjata dan merusak sabuk sutera,
Siang-bhok-kiam di tangan Keng Hong memperoleh kesempatan untuk melakukan
serangan kilat yang berhasil baik.
Kok Beng Lama mengeluarkan suara gerengan hebat. Dia kaget dan heran, juga kagum
akan tetapi marah sekali. Dia kaget dan heran melihat betapa dua orang sutenya itu
sampai kalah, kagum melihat kelihaian suami isteri perkasa itu, akan tetapi dia marah
sekali setelah kini melihat betapa para pendeta Lama diserbu oleh musuh dan banyak
yang telah roboh dan tewas. Setelah kini tiga orang sutenya tewas semua, lenyap
pulalah semua permusuhan di dalam hatinya terhadap perkumpulan Lama Jubah Merah,
bahkan timbul kemarahannya karena dia merasa bahwa golongannya diserbu musuh.
Sambil berteriak marah dia menyambar pedang pusaka yang tadi dipergunakan Sin Beng
Lama, lalu berlari ke depan menyerang Keng Hong dan Biauw Eng.
"Singgg... trangg-trakkk... singgg...!" Keng Hong dan Biauw Eng yang sudah menangkis
itu terdorong ke belakang dan mereka terkejut. Kiranya pendeta Lama tinggi besar ini
bahkan jauh lebih lihai lagi dibandingkan dengan dua orang pendeta Lama yang telah
berhasil mereka robohkan! Namun, Keng Hong cepat mendahului isterinya,
menggerakkan Siang-bhok-kiam menerjang kakek itu sambil berseru, "Mundurlah,
biarkan aku menghadapinya!"
Biauw Eng mengerti akan peringatan suaminya. Memang suaminya telah melihat betapa
lihainya Lama tinggi besar ini sehingga kalau dia maju, akan membahayakan dirinya.
Betapapun juga, Biauw Eng siap dengan sabuk sutera di tangannya, siap membantu
kalau suaminya sampai terdesak dan terancam keselamatannya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
805 Serangkaian serangan pertama yang dilakukan Keng Hong terhadap Kok Beng Lama
amatlah hebatnya sehingga mengejutkan hati pendeta Lama tinggi besar itu. Sinar
kehijauan dari Siang-bhok-kiam diikuti bau yang harum dan halus menyambar-nyambar,
mula-mula dari atas dengan gerakan miring membacok ke bawah mengarah leher, ketika
dapat ditangkis oleh pedang di tangan kakek tinggi besar itu, pedang Siang-bhok-kiam
terus menyeleweng ke samping dan membacok serta menusuk bertubi-tubi mengarah
tujuh jalan darah terpenting di tubuh depan lawan, sedangkan tangan kiri pendekar sakti
itu mengimbangi gerakan pedang, melakukan pukulan-pukulan tangan kosong dari jurus
Thai-kek Sin-kun disertai tenaga mujijat Thi-khi-i-beng!
Kok Beng Lama repot setengah mati menghadapi serangkaian serangan ini, menangkis
dengan pedang, dengan lengan kiri, mengelak dan berloncatan ke sana-sini sehingga
akhirnya dia mampu lolos dari serangkaian serangan itu, setelah meloncat ke belakang
dia lalu menyerbu ke depan dan membalas dengan serangannya yang tak kalah
dahsyatnya sehingga kini tiba giliran Keng Hong untuk menghadapi serangan itu dengan
kaget namun berhasil pula menyelamatkan diri. Terjadilah serang-menyerang yang amat
seru dan Biauw Eng yang menonton di pinggir harus mengakui bahwa agaknya baru
sekarang ini suaminya menghadapi tanding yang amat kuat dan seimbang! Dan biarpun
tingkat kepandaiannya sendiri sudah tinggi, namun dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah
lawan pendeta Lama tinggi besar ini.
"Supek... harap tahan senjata... Locianpwe ini bukan musuh...!"
"Ayah...! Ayah, jangan melawan, Ayah...!"
Munculnya Kun Liong dan Hong Ing ini membuat Keng Hong dan Kok Beng Lama
meloncat mundur. Kun Liong menghampiri Keng Hong yang memandangnya dengan alis
berkerut penuh pertanyaan, sedangkan Hong Ing lalu mehubruk ayahnya. "Ayah, lekas...
markas terbakar dan Sute berada di dalam...!"
Kok Beng Lama terbelalak dan cepat membalikkan tubuhnya memandang markas yang
benar-benar telah menjadi lautan api itu. Dia menyelipkan pedang pusaka di
pinggangnya, kemudian terdengar dia mengeluarkan seruan yang keras sekali seperti
gerengan seekor singa. "Bun Houw...!" Dan tubuhnya yang tinggi besar sudah melesat
ke depan. "Brakkkkk!" Dinding itu diterjangnya saja sampai ambrol.
"Bresss!" Dinding yang ke dua ambrol lagi dan tampak kakek itu menerjang melalui
dinding yang diruntuhkannya memasuki lautan api!
"Ayaaahhh...!" Hong Ing juga lari ke arah lautan api, akan tetapi tiba-tiba pinggangnya
dirangkul Kun Liong dari belakang. Dara itu meronta dan menangis. "Biarkan aku
menyusul Ayah!"
Namun Kun Liong memperkuat pelukannya. "Hong Ing... ingatlah, ayahmu sedang
berusaha menyelamatkan Bun Houw, tidak ada gunanya engkau membuang nyawa sia-
sia di situ."
Sementara itu, Keng Hong dan Biauw Eng menjadi pucat mukanya ketika melihat kakek
tinggi besar tadi menerjang api dan meneriakkan nama Bun Houw, putera mereka!
"Kun Liong, apa artinya ini" Mana Bun Houw?" Keng Hong bertanya.
"Supek, saya pun baru saja mendengar dari Hong Ing bahwa Adik Bun Houw berada di
sini, di dalam markas yang terbakar itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
806 Hong Ing kini menghadapi Cia Keng Hong dan isterinya, tanpa banyak sopan santun lagi
karena keadaan sedang tegang seperti itu segera berkata, "Sute Cia Bun Houw diambil
murid oleh Ayah... dan... kini Ayah sedang mencarinya ke dalam sana..."
"Houw-ji (Anak Houw)...!" Sie Biauw Eng menjerit.
"Harap Supek-bo tenang...!" Kun Liong berkata khawatir melihat keadaan nyonya yang
perkasa itu, yang memandang ke arah api dengan mata terbelalak.
"Ayahku lebih tahu akan keadaan di dalam, mudah-mudahan dapat menyelamatkan
Sute." Hong Ing berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.
"Aku akan mencarinya!" Biauw Eng hendak meloncat, akan tetapi tangannya disambar
suaminya. "Ucapan Nona ini tepat. Ayahnya lebih mengenal keadaan, kalau kau atau aku yang
masuk ke lautan api itu tanpa mengenal keadaan dan tanpa mengetahui persis di mana
adanya Bun Houw sama dengan membunuh diri."
"Aku tidak takut mati untuk membela anakku!" Biauw Eng berteriak marah dan meronta.
Keng Hong terpaksa merangkul dan memeluknya seperti yang dilakukan oleh Kun Liong
kepada Hong Ing tadi. "Siapa takut mati" Aku pun tidak takut, akan tetapi perlukah mati
konyol" Bagaimana kalau nanti Bun Houw selamat akan tetapi kita berdua mati terbakar
di sana?" Kata-kata ini dapat diterima oleh Biauw Eng. Dia memandang dengan muka pucat dan
menahan napas. Bukan hanya dia, juga Keng Hong, Kun Liong, dan Hong Ing
memandang ke arah lautan api dengan muka pucat dan menahan napas, dalam suasana
yang amat menegangkan hati. Sampai lama mereka berdiri tanpa bergerak, seolah-olah
mereka lupa keadaan sekeliling di mana masih terdapat pertempuran-pertempuran berat
sebelah antara pasukan pemerintah melawan para pendeta Lama yang hanya melakukan
perlawanan dengan setengah hati karena selain pasukan Pek-lian-kauw sudah kocar-
kacir dan lari bersama pasukan sukarela terdiri dari penduduk dusun, juga pimpinan
mereka telah tewas semua.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dari dalam lautan api dan muncullah tubuh
tinggi besar dari Kok Beng Lama yang berlari meloncat keluar dari dalam lautan api,
kedua tangannya memondong Bun Houw yang diselimuti jubah merahnya.
Ketika Kok Beng Lama tiba di dekat Hong Ing, dia mengeluh dan roboh terguling, akan
tetapi Bun Houw tetap berada di dalam pondongannya.
"Houw-ji...!"
"Ibu...!"
Biauw Eng cepat menyambar Bun Houw yang selamat dan hanya menderita sedikit luka-
luka ringan, akan tetapi Kok Beng Lama pingsan dengan tubuh hitam semua, mukanya
hitam gosong dan tubuhnya penuh luka terbakar! Keng Hong cepat menolong pendeta
Lama itu sedangkan Hong Ing dan Kun Liong lalu membujuk semua pendeta untuk
menghentikan perlawanan sehingga perang dapat dihentikan.
Keng Hong sendiri lalu memerintahkan pasukan untuk mundur dan keluar dari tempat
itu, sedangkan Hong Ing, dibantu oleh Kun Liong dan para pembantu Lama, membawa
Kok Beng Lama ke dalam bangunan samping yang belum terbakar, lalu merawat kakek
ini penuh ketekunan.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
807 Sebulan kemudian tampak betapa bangunan Lama Jubah Merah yang terbakar lebih dari
separuhnya itu mulai diperbaiki oleh sisa-sisa anggauta Lama yang sudah insyaf dan
diampuni oleh Pemerintah Tibet. Kini, atas saran dan tanggungan dari pendekar Cia Keng
Hong, Kok Beng Lama ditunjuk oleh Pemerintah Tibet untuk menjadi ketua baru dari
Lama Jubah Merah. Dan pendeta tinggi besar yang kini mukanya berubah hitam itu
memimpin sendiri pembangunan itu dengan wajah yang berseri. Dia mengambil
keputusan di dalam hatinya untuk memperbaiki nama Lama Jubah Merah ygng telah
dicemarkan dan diselewengkan oleh Sin Beng Lama bertiga.
Tak jauh dari tempat itu, di lereng gunung yang sunyi, Kun Liong dan Hong Ing duduk
berdua di atas rumput hijau sambil bercakap-cakap. Wajah mereka berseri dan segar
tanda bahwa hati mereka bergembira, terutama sekali Hong Ing yang telah mengalami
perubahan yang amat hebat dalam hidupnya. Tadinya, dia menghadapi ancaman hebat,
terpisah dari Kun Liong yang dicintanya, dan ayah kandungnya juga menjadi orang
hukuman ygng tidak berdaya. Kini, ayah kandungnya sudah sembuh dan bahkan menjadi
Ketua Lama Jubah Merah, dan terutama sekali Kun Liong yang dicintanya berada di
sampingnya! "Hong Ing..."
"Hemmm... ?"
Di dalam panggilan dan jawabannya yang memecah kesunyian tempat itu terkandung
kemesraan dan cinta kasih yang tak perlu dinyatakan lagi dalam kata-kata karena di
dalam nada suara yang singkat itu terkandung getaran penuh kasih sayang yang terasa
sampai di lubuk hati masing-masing. Demikian hebat pengaruh getaran ini sehingga Kun
Liong menjadi terharu dan terpesona, membuatnya sukar untuk melanjutkan kata-
katanya. Hong Ing mendesaknya dengan pertanyaan melalui pandang matanya.
Kun Liong menarik napas panjang tiga kali, barulah dia dapat menenangkan gelora
hatinya yang dibangkitkan oleh getaran cinta kasihnya kemudian berkata, "Hong Ing,
setelah keadaan telah menjadi baik kembali, ayahmu telah sembuh sama sekali, kini
aku... aku... terus terang meminangmu untuk menjadi isteriku, Hong Ing."
Sejenak mereka berpandangan, kemudian kedua pipi dara itu menjadi merah sekali dan
mukanya ditundukkan. Mereka sudah saling menyatakan cinta tanpa sungkan dan malu-
malu lagi, akan tetapi mendengar pinangan untuk menjadi isteri pemuda yang
dikasihinya ini, Hong Ing menjadi canggung dan malu juga.
"Bagaimana jawabanmu, Hong Ing?"
"Kun Liong, kenapa... kenapa engkau memilih aku menjadi... isterimu?"
"Kenapa" Ah, tentu saja karena aku cinta padamu, Hong Ing."
Hong Ing mengangkat mukanya, sepasang matanya bersinar-sinar memandang dan dia
bertanya lagi, "Mengapa engkau cinta padaku" Kun Liong, berhari-hari sudah aku
menahan pertanyaan yang ingin kuajukan kepadamu ini. Sekaranglah saatnya. Kenapa
engkau cinta kepadaku. Kun Liong" Kenapa?"
Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya dan memandang tajam. "Aku memang
telah bersikap bodoh sekali dan berkali-kali menyakiti hatimu, Hong Ing. Menyakiti
hatimu karena kebodohanku dan kecanggunganku. Aku cinta padamu, semenjak kita
pertama kali bertemu, namun aku terlalu angkuh, canggung dan tidak mau mengakui,
biar terhadap diri sendiri sekalipun. Aku cinta padamu karena engkaulah satu-satunya
wanita di dunia ini yang bagiku sempurna tanpa cacat, engkaulah yang menciptakan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
808 bayangan wanita khayal yang kupuja-puja dahulu, karena engkaulah orangnya. Wanita
khayal itu adalah engkau, Hong Ing, dan lebih lagi, kalau wanita khayal itu hanya angan-
angan dan bayangan saja, engkau adalah seorang manusia dari darah daging, seperti
aku, maka engkau bagiku lebih daripada wanita khayal itu. Engkau satu-satunya wanita
yang kucinta, yang ingin kujadikan isteriku, teman hidupku selamanya, membentuk
keluarga denganmu, mempunyai keturunan dan suka duka kita pikul bersama, Hong
Ing." Hong Ing terisak dan rebah dalam pelukan Kun Liong. Dara ini merasa seperti diayun ke
sorga ke tujuh. Kata-kata yang diucapkan Kun Liong tadi baginya merupakan nyanyian
sorga yang amat merdu.
"Kun Liong, aku... aku hanyalah seorang gadis bodoh dan hina yang... sejak dahulu tak
pernah berhenti mencintamu, yang setiap saat bermimpi menginginkan menjadi isterimu
dan aku... aku menerima segalanya, aku... bersedia menjadi isterimu asal engkau suka
mengirim Cia Keng Hong Locianpwe sebagai walimu untuk melamarku kepada Ayah."
"Hong Ing...!" Kun Liong mendekap dan menciuminya. Sejenak mereka tenggelam ke
dalam buaian cinta kasih yang memabukkan.
Akhirnya Hong Ing menarik tubuhnya agak menjauh dan menarik napas panjang
beberapa kali. Kedua pipinya menjadi makin kemerahan, matanya sayu seperti mata
orang mengantuk, bibirnya tersenyum aneh membayangkan rahasia hatinya. "Aih, Kun
Liong, betapa mengerikan kalau aku mengenangkan waktu yang lalu, ketika aku
melakukan segala siasat dan daya upaya agar engkau dapat datang ke tempat ini. Ketika
itu, sudah bulat keputusanku bahwa aku lebih baik mati daripada tidak bertemu lagi
denganmu."
Kun Liong memegang kedua tangan dara itu. "Engkau hebat, Hong Ing. Dan betapa
bahagianya seorang seperti aku mendapatkan cinta kasih seorang dara seperti engkau
yang begini mulia! Padahal aku adalah seorang laki-laki yang bodoh, yang sombong dan
angkuh, yang selalu merendahkan cinta. Betapa aku dahulu selalu memandang rendah
kepada cinta kasih antara pria dan wanita! Semua ini timbul karena di dalam
kehidupanku banyak sekali aku mengalami godaan asmara! Sungguh aku harus merasa
malu kepada diri sendiri, dan aku menyesal sekali terutama sekali tentang satu hal...
yang harus kuberitahukan kepadamu sebelum... sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau
tidak kuberitahukan kepadamu, hal ini hanya akan menjadi penghalang kebahagiaan
kita..." Dia berhenti dengan ragu-ragu sambil memandang kekasihnya.
"Kun Liong! Apakah itu" Apa yang ingin kausampaikan" Mengapa wajahmu tiba-tiba
kehilangan serinya dan engkau kelihatan khawatir dan ragu-ragu" Katakanlah, apakah
hal yang kaurisaukan itu?"
"Hong Ing, apa yang akan kuceritakan adalah hal yang amat memalukan, hal yang amat
kotor. Kalau nanti engkau marah kepadaku, mengutukku, bahkan kalau hal ini membuat
engkau menolak aku, memandang rendah kepadaku, aku akan menerimanya dengan
rendah hati, karena memang engkau patut mengutukku."
Wajah Hong Ing menjadi pucat. "Tidak...! Tidak...! Kalau begitu lebih baik jangan
kauceritakan itu!"
Kun Liong menggeleng kepala dan tersenyum duka. "Harus kuceritakan, Hong Ing.
Daripada menyimpan rahasia. Rahasia yang terselip di antara suami isteri hanya akan
menimbulkan bencana. Aku, harus menceritakan kepadamu, kemudian terserah
kepadamu keputusannya. Engkau terlalu bersih dan murni, sedangkan aku akan merasa
diriku kotor dan tidak berharga bagimu, selamanya kalau aku belum menceritakan hal
ini." Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
809 Hong Ing memandang kepada kekasihnya, dengan sinar mata penuh kekhawatiran, akan
tetapi juga penuh iba, kemudian katanya lirih, "Kalau begitu, ceritakanlah, Kun Liong.
Ceritakanlah semuanya dan sebelumnya aku sudah memaafkan segala kekeliruanmu."
Kun Liong memegang kedua tangan kekasihnya, tidak dilepasnya lagi seolah-olah dia
mendapatkan kekuatan batin dari kedua tangan kekasihnya itu untuk menceritakan hal


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang amat menindih perasaannya itu. "Terima kasih, Hong Ing. Ingatkah engkau kepada
wanita yang telah tewas bersama suaminya sebulan yang lalu di tempat ini ketika
mereka berdua membelaku?"
"Dua orang murid pendekar Secuan itu" Tentu saja aku masih ingat, kasihan sekali
mereka. Engkau telah memberi tahu kepadaku bahwa mereka adalah Tan Swi Bu dan
Liem Hwi Sian."
Kun Liong mengangguk. "Mereka adalah sahabat lamaku, terutama sekali Liem Hwi Sian.
Ketika mereka roboh, sebelum menghembuskan napas terakhir, Hwi Sian meninggalkan
pesan kepadaku."
"Pesan apakah?"
"Bahwa dia mempunyai seorang anak yang ditinggalkannya di Kuil Kwan-im-bio di kaki
bukit, dekat rumah gurunya dan dia berpesan kepadaku agar aku suka merawat anak
itu..." Pandang mata yang tadinya diliputi kekhawatiran itu kini berseri dan jari-jari tangan
yang dipegang Kun Liong itu membalas dengan sentuhan lembut, mulut yang tadi agak
terbuka itu kini tersenyum, "Aihhh, kau membikin orang menjadi tegang dan gelisah
saja! Kalau hanya urusan itu, mengapa dirisaukan benar" Tentu saja aku setuju
sepenuhnya untuk merawat anak yang bernasib malang itu!"
Akan tetapi Kun Liong masih memegang kedua tangan Hong Ing dan sikapnya masih
sungguh-sungguh, pandang matanya masih penuh kegelisahan. "Bukan hanya itu, Hong
Ing, akan tetapi... anak itu... anak Hwi Sian itu bukanlah keturunan suaminya, bukan
anak Tan Swi Bu..."
"Ehhh...?" Hong Ing memandang tajam dengan alis berkerut, timbul persangkaan bahwa
yang disebut rahasia itu adalah rahasia keburukan Hwi Sian, tentu sahabat suaminya itu
telah melakukan penyelewengan sehingga melahirkan seorang anak bukan dari
keturunan suaminya!
"Kun Liong, aku tidak ingin mengetahui rahasia orang lain, kalau kau mau menerima
anak sahabatmu itu untuk kau rawat, aku setuju saja. Tidak perlu kau menceritakan
rahasia pribadi Liem Hwi Sian itu."
"Bukan begitu, Hong Ing, bukan rahasianya, melainkan rahasiaku. Dengarlah baik-baik,
dahulu, setahun lebih yang lalu, sebelum aku bertemu denganmu, aku amat
meremehkan soal cinta sehingga aku memandang rendah pula terhadap cinta kasih
wanita terhadap diriku. Di antara mereka yang mencintaku adalah Hwi Sian.
Akan tetapi aku yang suka menggodanya tidak membatas cinta kasihnya. Ketika dia
ditunangkan dan akan dikawinkan dengan suhengnya, yaitu Tan Swi Bu, hatinya hancur
dan dia mencariku, lalu... lalu... dia minta agar aku suka menjadi suaminya untuk
semalam! Kalau menolak, dia akan membunuh diri karena dia tidak mencinta suhengnya,
melainkan mencintaku. Dan aku... aku yang bodoh dan sombong, aku... aku menuruti
permintaannya. Kemudian, ketika dia akan mati, dia meninggalkan pesan bahwa
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
810 anak itu... anaknya itu... adalah... anak hasil dari hubungan kami semalam itu, dia
adalah anakku..."
Hong Ing merenggut kedua tangannya, bangkit berdiri dan mukanya pucat sekali,
sepasang matanya terbelalak seperti kelinci ketakutan memandang kepada Kun Liong.
Pemuda itu juga bangkit dengan tubuh gemetar. "Aku seorang manusia kotor, seorang
rendah yang tidak patut untukmu, Hong Ing. Aku akan menerimanya kalau engkau
mengutukku, ketika itu aku memandang rendah cinta kasih antara pria dan wanita. Aku
menganggap bahwa semua cinta kasih menjurus kepada cinta berahi belaka. Akan
tetapi, ternyata tidak... cinta kasih adalah sesuatu yang luhur dan mulia, yang bersih tak
ternoda dari segala sesuatu, termasuk hubungan jasmani antara pria dan wanita, barulah
suci dan murni kalau didasari cinta kasih. Tanpa cinta kasih, segala adalah kotor dan
hina. Namun aku... aku seperti buta pada waktu itu, Hong Ing."
Hong Ing tidak menjawab, hanya berdiri memandang dengan mata terbetalak dan muka
pucat. Melihat keadaan kekasihnya ini, Kun Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi
seperti seorang pesakitan yang menanti keputusan hakim, dia berdiri dan menundukkan
mukanya, menanti suara Hong Ing.
Akhirnya terdengar tarikan napas panjang, disusul suara dara itu. Halus lirih dan
mengandung isak tertahan, "Aku... aku cinta padamu bukan karena kebaikanmu... aku
cinta padamu karena engkau... dan aku menerimamu dengan segala cacat celamu. Kau
telah melakukan penyelewengan yang sudah kausadari... sudahlah, hal itu tidak perlu
dibicarakan lagi... dan anak itu... dia anakmu yang harus kita rawat baik-baik..."
"Hong Ing...!" Kun Liong terisak dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu. "Betapa
mulia hatimu...!"
Sejenak Hong Ing berdiri menunduk, air matanya bercucuran, kemudian dia juga
menjatuhkan diri berlutut dan merangkul Kun Liong. Keduanya berpelukan, berciuman
sambil menangis, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu.
"Hong Ing, engkau dewiku, engkau mulia dan berbudi...!"
"Husshhh, aku merasa malu kepada Hwi Sian kalau kau berkata demikian, terlalu
memujiku. Dialah wanita yang amat mencintamu..."
"Keliru, Hong Ing. Dia telah mencelakakan diri sendiri. Dia mengira bahwa cinta hanyalah
hubungan badan... tapi sudahlah, betapapun juga, Hwi Sian telah membuktikan cintanya
dengan mengorbankan diri untuk membantuku. Dan semua memang kesalahanku... aku
dahulu terlalu nakal suka menggoda wanita, sungguhpun godaanku tidak terlalu
mendalam, tidak memancing hubungan badan namun telah mendatangkan akibat-akibat
yang menyedihkan. Aku dahulu sebelum berjumpa denganmu... ahhh, harus kuceritakan
semua kepadamu." Sambil duduk di atas rumput dan saling berangkulan, Kun Liong lalu
menceritakan semua riwayatnya, semua petualangannya dengan banyak wanita yang
dijumpainya, tentang Yo Bi Kiok yang kini menjadi guru adik kandungnya dan yang
menunjukkan cinta terhadap dirinya, cinta yang garang dan mengerikan, kemudian dia
bercerita pula tentang lain wanita yang dijumpainya, diantaranya mendiang Souw Li
Hwa, Cia Giok Keng, Liem Hwi Sian dan Lauw Kim In, kemudian Pek Hong Ing sendiri.
Menceritakan betapa dia menggoda mereka itu.
Setelah mendengarkan semua penuturan yang terus terang dari kekasihnya, Hong Ing
tersenyum lalu berkata. "Dengan menceritakan semua itu kepadaku berarti bahwa mulai
saat ini engkau telah menghentikan semua perbuatan itu."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
811 "Memang dahulu aku bodoh dan dungu sesuai dengan kepalaku yang gundul. Akan tetapi
sejak bertemu denganmu, perasaan yang luar biasa telah membuka mataku. Dahulu aku
memang sombong dan pongah, bodoh dan..."
"Dan petualang asmara yang canggung!"
"Petualang asmara?"
"Ya, engkau seorang petualang asmara yang canggung dan yang kini terjerat oleh
asmara itu sendiri. Sekarang, sudah mengertikah engkau apa artinya mencinta?"
Kun Liong memeluk. "Sudah mengerti, kekasihku. Karena engkau yang mengajarku,
dengan sikapmu yang sederhana dan terbuka. Cintamu kepadaku begitu tulus dan polos
bersih, dan biarlah aku mencontohmu. Aku cinta kepadamu karena engkau adalah
engkau, Hong Ing, aku mencintamu dari ujung rambut kepalamu sampai ke kuku jari
kakimu, tidak ada kecualinya, aku mencintamu dengan segala kebaikanmu dan semua
keburukanmu, dengan segala kesempurnaanmu sampai kepada segala cacatmu, kalau
memang ada keburukan dan cacatmu. Karena dengan cinta kasih, tidak adalah cacat dan
keburukan itu."
Hong Ing balas memeluk dan suaranya agak manja ketika dia berkata, "Dan aku
hanyalah calon isterimu yang setia, bodoh dan penurut..."
"Suci Hong Ing...! Liong-twako...!"
Sepasang muda mudi yang sedang berpelukan itu cepat melepaskan diri masing-masing
dan meloncat berdiri. Sambil tersenyum mereka memandang tubuh Bun Houw yang
berlari-larian mendaki lereng itu dari bawah.
Cia Bun How, putera pendekar Cia Keng Hong ini masih berada di Tibet. Kok Beng Lama
menuntut kepada Ketua Cin-ling-pai itu agar dia boleh menurunkan ilmu-ilmunya kepada
Cia Bun Houw yang sudah menjadi muridnya. Tadinya, Biauw Eng merasa keberatan,
akan tetapi karena suaminya merasa bahwa Bun Houw berhutang nyawa kepada kakek
itu, pula melihat bahwa kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, terpaksa
meluluskan. Untuk menyenangkan hati isterinya, Cia Keng Hong menjanjikan kepada Kok
Beng Lama untuk kelak mengirim Bun Houw ke Tibet dan berguru kepadanya setelah
puteranya itu berusia lima belas tahun. Kok Beng Lama maklum bahwa suami isteri
pendekar yang lihai itu ingin menanamkan dasar-dasar kepandaian mereka kepada
putera mereka lebih dulu, maka dia pun setuju, hanya minta agar anak itu diperbolehkan
tinggal di situ dan kelak kembali ke Cin-ling-san bersama Kun Liong.
Demikianlah, Cia Keng Hong dan isterinya kembali ke Cin-ling-san dan meninggalkan
Bun How di tempat itu. Pada pagi hari itu, Bun Houw berlari-lari dan memanggil-manggil
Kun Liong dan Hong Ing yang sedang duduk bercakap-cakap di lereng bukit.
"Eh, Sute, ada apakah engkau berlari-lari menyusul kami?" Hong Ing bertanya setelah
anak itu tiba di depannya.
"Suhu memanggil Suci dan Twako."
Mereka bertiga lalu menuruni lereng kembali ke markas yang sedang dibangun kembali
itu. Kok Beng Lama sudah menanti mereka di bangunan samping yang masih utuh,
setelah mereka menghadap, dia menyuruh Bun Houw untuk keluar dari ruangan dan
bermain-main di luar.
"Kun Liong dan Hong Ing," katanya ramah, "pinceng telah mengetahui akan hubungan
kalian dan pinceng merasa gembira sekali serta memberi restu. Akan tetapi, mengingat
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
812 bahwa Hong Ing sudah cukup umurnya, pinceng minta kepadamu mengirim pinangan
agar hari pernikahan dapat ditetapkan dengan segera."
Mendengar ini, wajah Hong Ing menjadi merah sekali. "Ihh... Ayah...!" katanya sambil
berlari keluar!
Kok Beng Lama tertawa. "Engkau tentu mengerti, Kun Liong, bahwa penghargaan yang
terutama bagi seorang gadis adalah pinangan, karena hanya pinangan saja yang
merupakan bukti bagi seorang pemuda bahwa dia mencinta gadis itu dan
menghendakinya sebagai isterinya. Pinceng tahu bahwa selain kalian berdua saling
mencinta dengan penuh kesetiaan, juga bahwa engkau sudah tidak ada ayah bunda, dan
pinceng pun sudah setuju, akan tetapi demi menghargai diri Hong Ing, engkau harus
mengajukan pinangan secara resmi."
Kun Liong menunduk. "Hal itu sudah kami bicarakan tadi, Locianpwe. Dan saya akan
pergi ke Cin-ling-san, mengajak Adik Bun Houw pulang ke sana, sekalian minta
pertolongan Supek dan Supek-bo untuk mengajukan pinangan secara resmi serta
menetapkan hari pernikahan itu. Akan tetapi... saya hanyalah seorang pemuda sebatang
kara yang... yang miskin dan..."
"Hushhh! Apa kaukira bahwa pinceng hendak menjodohkan anak pinceng dengan harta
benda?" "Maaf, Locianpwe."
"Sudahlah, kau berangkat hari ini juga dan ajaklah Bun Houw. Sampaikan salamku
kepada Cia Keng Hong Tai-hiap dan isterinya."
"Maaf, saya tidak dapat berangkat hari ini karena ada suatu urusan yang harus saya
selesaikan lebih dulu."
"Huh, apa lagi?" kakek itu membentak.
Pada saat itu, Hong Ing datang berlari. Tadi dia tidak pergi jauh, hanya bersembunyi di
balik pintu dan mendengarkan percakapan antara kekasihnya dan ayahnya maka kini
mendengar ucapan Kun Liong, dia cepat lari masuk.
"Ayah, aku dan dia mau pergi ke Kuil Kwan-im-bio di rumah mendiang Gak-taihiap untuk
mengambil seorang anak yang dititipkan di kuil itu."
"Huh" Apa" Anak siapa?"
Hong Ing yang khawatir kalau-kalau kekasihnya yang jujur itu akan menceritakan
rahasianya bersama mendiang Hwi Sian, cepat mendahului Kun Liong dan berkata,
"Tahukah Ayah tentang suami isteri yang tewas di sini ketika mereka membela kami
berdua" Mereka itu adalah murid-murid Gak-taihiap di Secuan, sahabat-sahabat dari Kun
Liong. Mereka telah mengorbankan diri demi kami berdua, dan pada saat terakhir
mereka minta kepada Kun Liong agar kami berdua suka merawat anak mereka yang
ditinggalkan di kuil itu. Bagaimana menurut pendapat Ayah" Setelah ayah bundanya
tewas demi membela kami, apakah kami tidak seharusnya memenuhi permintaan
mereka itu?"
Kok Beng Lama termenung, mengerutkan alisnya lalu mengangguk-angguk. "Tentu...
tentu saja! Aku akan membencimu kalau kau tidak memenuhi permintaan mereka itu.
Nah, cepat ambil anak yang ditinggalkan itu. Kasihan dia!"
"Ayah, aku bersama Kun Liong akan ke Secuan menjemput anak itu dan selain itu..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
813 "Apa lagi?" Ayahnya membentak.
"Kami berhutang budi kepada orang tuanya, maka, kami berdua telah bersepakat untuk
mengambil anak itu sebagai anak kami."
"Huh! Belum menikah sudah mempunyai anak! Tapi... aku akan benci kalian kalau kalian
tidak melakukan itu!"
Hong Ing dan Kun Liong berlari ke luar dan setelah tiba di luar bangunan itu, Kun Liong
merangkul kekasihnya dengan hati penuh keharuan.
"Hong Ing, engkau..., engkau seorang dewi yang berhati mulia..."
Hong Ing membalas pelukan Kun Liong, melingkarkan lengannya di pinggang pemuda itu
dan berkata lirih manja, "Ah, aku hanyalah calon isterimu yang bodoh..."
Maka berangkatlah Kun Liong dan Hong Ing ke Secuan. Setelah bertemu dengan Poa Su
It yang berduka sekali mendengar tentang kematian sute dan sumoinya, mereka lalu
diajak oleh Poa Su It mengunjungi Kuil Kwan-im-bio dan dari ketua nikouw (pendeta
wanita) mereka menerima seorang anak perempuan yang baru berusia tiga empat bulan!
Seorang anak perempuan yang mungil dan sehat karena sejak kecil, juga setelah
ditinggalkan ibunya, dia dipelihara dengan baik oleh para nikouw di Kwan-im-bio yang
memanggilkan seorang inang pengasuh, dibesarkan dengan air susu sapi.
Kun Liong memandang anak itu dengan jantung seperti ditusuk-tusuk rasanya. Anaknya!
Keturunan dan darah dagingnya! Dia terharu sekali, apa pula ketika melihat betapa Hong
Ing meraih dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang!
Poa Su It merasa girang sekali dan berkali-kali menghaturkan terima kasih bahwa Kun
Liong dan Hong Ing, calon suami isteri itu, suka mengambil Mei Lan, demikian nama
anak itu, sebagai anak mereka! Tentu saja dia tidak pernah tahu bahwa anak itu
sebetulnya adalah anak Kun Liong! Disangkanya bahwa anak itu adalah anak Hwi Sian
dan Tan Swi Bu, hasil dari hubungan mereka sebagai suami isteri!
"Harap Poa-toako suka merahasiakan pemungutan anak ini agar anak ini kelak tidak
mengetahui bahwa dia hanyalah anak pungut," Kun Liong berkata.
"Tentu saja!" Poa Su it menjawab. "Sejak hari ini namanya menjadi Yap Mei Lan, anak Ji-
wi berdua. Saya sudah merasa bingung sekali mendengar akan kematian ayah
bundanya, tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan anak ini. Syukur bahwa Ji-wi
sudi mengambilnya sebagai anak memenuhi pesan terakhir mereka."
Kun Liong dan Hong Ing lalu berpamit kembali ke Tibet membawa Mei Lan bersama
inang pengasuhnya yang juga diajak untuk merawat anak itu, karena Hong Ing belum
berpengalaman merawat anak kecil dan merasa khawatir dan tidak berani.
Setelah tiba kembali di Tibet, Kun Liong lalu meninggalkan anak itu bersama Hong Ing
dan mengajak Bun Houw untuk meninggalkan Tibet, kembali ke Cin-ling-san. Kok Beng
Lama dan Hong Ing mengantar keberangkatan mereka sampai di ujung lereng pertama
dan Kun Liong didesak sampai berkali-kali mengucapkan janji bahwa dia tidak akan lama
pergi dan akan cepat mengajak Cia Keng Hong dan isterinya untuk datang mengajukan
pinangan yang dinanti-nanti itu.
Cia Giok Keng berjalan dengan wajah bersungut-sungut, sedangkan Lie Kong Tek
berjalan melangkah dengan langkah-langkah tetap di belakangnya. Keduanya tidak
bicara, hanya berjalan dengan sunyi di dalam panas terik matahari siang itu. Hati Giok
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
814 Keng mendongkol bukan main. Telah berhari-hari dia melakukan perjalanan bersama
Kong Tek dan selama ini merasa betapa hatinya makin tertarik dan makin kagum kepada
pemuda tinggi besar ini. Tampak jelas olehnya betapa jauh bedanya pribadi Kong Tek
dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seperti Kun Liong dan terutama sekali Bu
Kong. Pemuda ini gagah perkasa, kuat dan tahan menderita, juga jujur dan pendiam,
tidak banyak cakap, tidak pula suka menggodanya, bahkan sama sekali tidak pernah
memujinya, apalagi menjilat atau bermuka-muka! Hal inilah yang menimbulkan kesal
dan mendongkol hatinya. Semua pemuda, bahkan semua laki-laki yang dijumpainya,
sudah pasti akan memandangnya dengan sinar mata jelas membayangkan kekaguman,
mata laki-laki yang bersinar kagum dan kurang ajar, yang ceriwis dan nakal, namun
yang diam-diam memuaskan dan membuat hatinya bangga karena semua itu
membuktikan kecantikan dan daya tariknya. Akan tetapi Kong Tek memandangnya biasa
saja, tanpa sinar berapi dan kagum, bahkan seolah-olah dia dipandang seperti kalau
pemuda itu memandang pohon, awan, atau tanah saja! Mengkal hatinya!
Sudah berkali-kali dia sengaja hendak memancing perhatian Kong Tek, hanya untuk
memancing pujian, memancing pandang mata penuh gairah dan kagum namun hasilnya
sia-sia belaka. Betapa pun dia menggigiti bibirnya sampai menjadi merah dan basah
hampir berdarah, betapa dia menyanggul rambutnya atau mengurainya sehingga
terlepas panjang sampai ke pinggul, betapa dia mengatur pakaiannya sehingga serapi-
rapinya, atau mencuci muka dan menggosoknya sampai kedua pipinya menjadi
kemerahan dan segar seperti sepasang buah tomat, betapa dia bergaya sampai merasa
menjadi seorang sripanggung pemain opera, hasilnya sia-sia belaka! Sama halnya
dengan bersolek dan bergaya di depan sebuah patung mati yang berhati batu!
Apalagi pengalamannya tadi membuat dia cemberut dan bersungut-sungut, penuh
kekecewaan dan kemendongkolan hati. Dia tadi sudah memancing pemuda itu dengan
omongan dan masih terngiang di telinganya jawaban-jawaban Kong Tek yang membuat


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bibirnya makin cemberut.
Tadi mereka sedang duduk di bawah pohon rindang, berlindung dari terik panas
matahari. Sambil mengusap peluhnya dari muka dan lehernya dengan saputangan, dia
berkata, "Lie-toako, kalau aku teringat akan pengalaman-pengalamanku di Pek-lian-
kauw, masih bergidik ngeri dan bangkit bulu tengkukku. Untung aku tertolong, kalau
tidak... hemmm, entah apa jadinya dengan diriku."
"Memang kau beruntung sekali tidak jadi menjadi isteri Liong Bu Kong, Nona."
Sebutan nona itu sudah mulai membuat hatinya tidak senang. Sudah beberapa kali dia
mengatakan bahwa pemuda itu tidak selayaknya menyebut dia nona setelah mereka
menjadi sahabat, akan tetapi pemuda itu selalu lupa dan menyebutnya nona sehingga
dia tidak peduli lagi untuk menegurnya.
"Mengapa beruntung, Toako?" dia mendesak.
"Ya, beruntung karena tidak jadi isteri orang seperti dia."
"Lalu pantasnya aku menjadi isteri orang macam apa, Toako?"
"Hemm, pantasnya menjadi isteri seorang yang tidak seperti Liong Bu Kong."
"Siapa, misalnya?" Giok Keng mendesak lagi.
Kong Tek menggerakkan kedua pundaknya yang lebar. "Entahlah, pendeknya yang tidak
jahat dan palsu seperti Bu Kong."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
815 Hening sejenak dan hati Giok Keng sudah mulai tidak puas. Sukar betul membongkar
hati dan perasaan pemuda ini. Dari perbuatan dan pembelaannya yang berani
mempertaruhkan nyawa, dia yakin bahwa pemuda ini cinta kepadanya. Akan tetapi dia
tidak pernah menyatakannya, baik dari pandang mata, maupun suara mulut, atau gerak-
geriknya. Inilah yang membuat dia penasaran dan tersinggung "harga dirinya"!
"Eh, Toako, sekarang sudah berapakah usiamu?"
Ditanyai usianya, Kong Tek memandang kepadanya dengan mata terbelalak heran, akan
tetapi lalu menjawab juga, "Sudah dua puluh lima tahun."
"Dan kau sudah menjadi duda."
"Aku belum menikah!"
"Tapi sudah bertunangan dengan Bu Li Cun."
"Ya, kasihan sungguh gadis itu..." Kong Tek menghela napas dan termenung.
Giok Keng mengerutkan alisnya. Agaknya pemuda yang luar biasa ini telah "patah hati"
karena kematian tunangannya itu, pikirnya.
"Lie-toako, cinta sekalikah engkau kepadanya?"
"Hah...?" Kong Tek balas bertanya, terbelalak karena belum menangkap maksud
pertanyaan itu.
"Engkau tentu amat mencinta mendiang Bu Li Cun itu..."
Kong Tek menghela napas panjang dan menyusut peluh dari dahinya sambil
menggeleng kepalanya. "Nona, selama hidupku, baru satu kali itu aku bertemu dengan
dia. Kami ditunangkan sejak kecil oleh orang tua, aku tidak pernah kenal dengan dia,
mana bisa mencinta."
Hening sampai lama, akhirnya kembali suara Giok Keng memecah kesunyian, "Akan
tetapi, usiamu sudah dua puluh lima tahun, dan engkau tentu telah mempunyai banyak
pengalaman selama perantauanmu dengan suhumu yang lihai."
"Memang sudah banyak aku merantau, ikut bersama Suhu yang berbudi."
"Tentu sudah banyak, atau setidaknya ada wanita yang saling jatuh cinta denganmu,
Toako." Pemuda itu menunduk dan kulit mukanya agak merah, akan tetapi dia menggeleng
kepalanya dengan keras. "Tidak ada, tidak pernah!"
"Eh, kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah."
"Akan tetapi jawabanmu kasar sekali."
"Aku memang belum pernah saling jatuh cinta dengan wanita."
"Hemm, sungguh luar biasa. Engkau tampan dan gagah perkasa, usiamu sudah dua
puluh lima tahun, dan engkau belum pernah jatuh cinta. Hebat! Akan tetapi setidaknya
tentu ada wanita yang pernah jatuh cinta kepadamu, Toako. Aku berani bertaruh tentu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
816 pernah ada!" Kembali Giok Keng mendesak dan memancing sambil menatap wajah itu
dengan tajam dan penuh selidik.
"Tidak!" Kembali pemuda itu menggeleng kepala keras-keras. "Tidak, aku tidak
sempat...!" Dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, seolah-olah terkecik oleh kata-
katanya sendiri.
"Tidak sempat apa, Toako" Tidak sempat bermain cinta?" Giok Keng mendesak dan
menggoda makin berani melihat betapa pemuda itu sibuk dan bingung.
"Tidak sempat memikirkan itu."
"Hemm, engkau memang aneh atau... engkau tidak jujur, Toako. Kalau aku, biar usiaku
jauh lebih muda dari padamu, aku sudah seringkali dicinta orang."
Kong Tek mengangkat muka memandang, sinar matanya biasa saja, akan tetapi dia
melanjutkan, "...dan mencinta..."
Giok Keng tersenyum, diam-diam tegang dan girang, mengharapkan pemuda itu akan
merasa iri dan cemburu! "Ya, dan mencinta! Banyak sudah laki-laki yang tergila-gila dan
mencintaku."
"Memang sudah semestinya, engkau... seorang gadis luar biasa, tentu banyak laki-laki
yang jatuh hati dan mencintamu."
Giok Keng merasa kecelik mendengar ucapan ini. Kiranya pemuda ini sama sekali tidak
merasa iri atau cemburu, apalagi panas hati!
"Aku tadinya saling mencinta dengan Liong Bu Kong, bahkan hampir menjadi isterinya."
"Engkau tertipu dan dikuasai ilmu sihir."
"Tapi, tadinya aku memang jatuh cinta kepada Bu Kong."
"Memang dia tampan dan menarik, sayang hatinya kotor sekali, dan sungguh beruntung
engkau belum sampai terjatuh dalam perangkapnya, Nona."
"Jadi engkau tidak memandang rendah kepadaku, setelah aku... aku begitu bodoh jatuh
hati kepada seorang seperti dia" Ayah sendiri sampai marah dan pernah mengusirku."
Kong Tek menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Mengapa harus
memandang rendah" Aku malah kasihan kepadamu, Nona, dan aku kagum. Engkau telah
salah pilih, bukan kesalahanmu kalau kau jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang pada
lahirnya kelihatan menarik, dan aku kagum bahwa di dalam cintamu itu, biarpun
kemudian ternyata bahwa kau salah pilih, engkau berani bertanggung jawab dan
menanggung semua akibatnya."
Giok Keng menarik napas panjang. Sungguh sukar sekali, menghadapi pemuda ini sama
halnya dengan menghadapi batu karang yang kokoh kuat, yang tidak goyah sedikit pun
biar ada gempa bumi! Atau sebongkah bukit es, yang dingin! Dia menjadi makin
penasaran. Di antara segala macam pria yang telah dijumpainya di dalam hidupnya,
hanya ada dua orang yang pernah menariknya. Pertama adalah Kun Liong dan kedua
adalah Bu Kong. Akan tetapi, baru sekarang dia bertemu dengan seorang laki-laki seperti
Kong Tek! Kun Liong dan Bu Kong ternyata masih lemah, begitu jelas membuktikan
kekaguman terhadap dirinya melalui pandang mata dan kata-kata, akan tetapi pemuda
ini benar-benar seperti batu karang yang mati!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
817 "LIE-TOAKO, kenapa engkau selalu membelaku mati-matian?"
Kalau tadi Kong Tek menghadapi semua pertanyaan gadis itu dengan tenang, kini dia
kelihatan gelisah dan bingung!
"Kenapa" Hal itu sudah semestinya, Nona, sudah menjadi kewajibanku seperti diajarkan
oleh Suhu untuk menolong sesama hidup yang dilanda bahaya."
"Tapi engkau membelaku dengan pengorbanan diri, beberapa kali engkau menghadapi
maut demi aku. Mengapa, Toako?"
Hening sejenak, kemudian terpaksa Kong Tek menjawab, "Aku sendiri tidak tahu, Nona.
Akan tetapi aku tidak rela melihat engkau sengsara, aku tidak akan diam saja melihat
engkau diancam bahaya, aku ingin melihat engkau bahagia, Nona. Seorang seperti
engkau ini... pantasnya hidup dalam kebahagiaan. Itulah agaknya yang menyebabkan
aku selalu siap membelamu, Nona."
Jawaban ini keluar dari lubuk hati Kong Tek. Memang pemuda ini selama hidupnya tidak
pernah membohong, akan tetapi menghadapi desakan dan pertanyaan-pertanyaan dari
Giok Keng dia merasa bingung untuk menjawab. Gurunya telah mengatakan bahwa dia
jatuh cinta kepada gadis ini, akan tetapi dia sendiri tidak tahu bagaimanakah rasanya
jatuh cinta itu! Gurunya malah hendak menjodohkan dia dengan gadis ini dan dia merasa
betapa akan bahagianya hidupnya kalau hal itu terlaksana, namun betapa mungkin dia
menyatakan hal ini kepada Giok Keng" Dia merasa malu dan khawatir kalau-kalau hal itu
akan menyusahkan hati Giok Keng, hal yang paling tidak dikehendakinya.
"Toako, mengapa tidak bicara terus terang saja" Kalau memang engkau cinta padaku,
mengapa tidak mau terus terang?"
Wajah Kong Tek berubah merah sekali. "Aku... aku..."
"Ya, kau cinta padaku, Toako. Kau cinta padaku!" Giok Keng berkata penuh desakan.
Ingin dia mendengar mulut pemuda itu mengaku cinta agar dia dapat menebus rasa
penasaran hatinya, dapat memuaskan kemendongkolan hatinya dengan mengejek dan
mempermainkan pemuda yang seperti batu karang itu!
"Ahhh... aku... aku..."
"Toako, awas...!"
Giok Keng menjerit dan dia sudah melempar tubuhnya ke belakang sambil menyambar
lengan Kong Tek sehingga pemuda itu pun melempar tubuh ke belakang.
"Wirrr... wirrr...!"
Dua sinar putih menyambar dan lewat. Ternyata itu adalah dua batang hui-to (golok
terbang) yang dilemparkan orang untuk menyerang mereka, atau mungkin hanya untuk
menggertak belaka. Giok Keng dan Kong Tek sudah meloncat bangun dan siap
menghadapi lawan. Ketika mereka memandang, mereka berdua terkejut bukan main
mengenal tiga orang itu yang ternyata adalah Thian Hwa Cinjin, Ketua Pek-lian-kauw
wilayah timur, Bong Khi Tosu pendeta Pek-lian-kauw kurus seperti tengkorak hidup, dan
Hwa I Lojin kakek ahli pedang pesolek yang bersekutu dengan Pek-lian-kauw. Tentu saja
mereka berdua amat terkejut karena maklum bahwa mereka berhadapan dengan tiga
orang lawan yang amat tangguh, terutama sekali Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw
wilayah timur yang amat lihai ilmu silatnya, juga amat lihai ilmu sihirnya itu!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
818 "Ha-ha-ha, engkau telah mengagetkan dua ekor burung ini, Lojin!" Thian Hwa Cinjin
tertawa girang karena memang hatinya senang sekali bertemu dengan puteri pendekar
Cia Keng Hong Ketua Cin-ling-pai itu. Dia mendendam kepada Ketua Cin-ling-pai dan
kalau dia dapat menangkap puterinya ini, dia akan dapat membalas dendam, bahkan
akan dapat memaksa kepada pendekar itu untuk membantu Pek-lian-kauw!
"Heh-heh-heh, janda kembang ini masih muda dan cantik bukan main!" Hwa I Lojin
berkata memandang kepada Giok Keng.
"Janda apa" Dia masih perawan, belum sempat disentuh oleh Liong Bu Kong yang tolol,
heh-heh!" Thian Hwa Cinjin yang berwatak cabul itu berkata, "Hati-hati, jangan kalian
sampai melukainya, kita harus dapat menangkapnya hidup-hidup! Sayang sekali kalau
kulit yang halus itu ada yang lecet!"
"Pendeta-pendeta palsu! Munafik-munafik keparat, lahirnya saja menjadi pendeta akan
tetapi batinnya kotor dan cabul!" Lie Kong Tek sudah tak dapat menahan kemarahannya
lagi mendengar percakapan antara Thian Hwa Cinjin dan Hwa I Lojin itu. Dia sudah
mencabut Gin-hong-kiam dan menyerang Thian Hwa Cinjin karena dia tahu bahwa di
antara mereka bertiga, Ketua Pek-lian-kauw inilah yang menjadi kepala dan
pemimpinnya. "Cringgg...!" Lie Kong Tek melompat mundur dan tangannya yang memegang pedang
tergetar hebat ketika pedangnya ditangkis oleh pedang Hwa I Lojin.
"Ha-ha-ha. Kauwcu (Ketua), biarkan aku menghadapi pemuda ini agar Ji-wi berdua dapat
menangkap gadis itu baik-baik," kata kakek berbaju kembang dan bersikap sombong itu
sambil meloncat ke depan dan memutar pedangnya menghadapi Kong Tek. Pemuda ini
pun mengeluarkan gerengan marah, pedang Gin-hong-kiam diputar cepat sehingga
tampaklah segulungan sinar perak yang menyilaukan mata. Namun sambil tertawa, Hwa
I Lojin si ahli pedang itu menyambut serangan ini dan mereka segera terlibat dalam
pertandingan yang seru dan mati-matian.
Kembali diam-diam hati Giok Keng terharu menyaksikan kegagahan Kong Tek yang
selalu tanpa ragu-ragu menyerang musuh dan membelanya mati-matian. Dia maklum
betapa lihainya tiga orang itu, maka dia mengambil keputusan untuk mengamuk dan
kalau perlu mengadu nyawa dengan mereka.
"Thian Hwa Cinjin, biarlah aku mengadu nyawa dengan engkau tua bangka busuk dan
jahat!" bentaknya dan dara ini pun sudah memutar pedangnya yang seperti pedang di
tangan Kong Tek, juga mengeluarkan sinar perak yang tentu saja jauh lebih cemerlang
dan hebat daripada gerakan Kong Tek karena memang tingkat kepandaian puteri Cin-
ling-pai ini jauh lebih tinggi.
"Tranggg! Trakkk!" Pedang Gin-hwa-kiam di tangan Giok Keng telah ditangkis oleh
tongkat di tangan Thian Hwa Cinjin yang tertawa-tawa. Ketika melihat pembantunya,
Bong Khi Tosu maju pula untuk membantunya, Ketua Pek-lian-kauw itu berkata, "Jangan
bantu aku, lebih baik kau cepat membantu Hwa I Lojin merobohkan pemuda nekat itu!"
Bong Khi Tosu menarik kembali tongkatnya lalu menyerbu Kong Tek, membantu Hwa I
Lojin yang sudah mulai mendesak sehingga keadaan Kong Tek menjadi terancam sekali.
Namun pemuda itu tidak kelihatan gentar, bahkan mengamuk makin hebat sambil
memutar pedangnya dan beberapa kali mengeluarkan suara bentakan hebat seperti
gerengan seekor singa marah.
Adapun Giok Keng juga repot sekali menghadapi desakan tongkat hitam di tangan Ketua
Pek-lian-kauw yang lihai itu. Yang membuat hatinya makin gelisah lagi adalah melihat
kenyataan betapa Kong Tek dikepung dan didesak hebat, dan dia tahu bahwa dua orang
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
819 kakek yang mengepung Kong Tek itu berniat untuk membunuh pemuda itu. Hatinya
menjadi gelisah sekali. Kong Tek tentu akan tewas, mana mungkin dapat melawan dua
orang kakek itu! Ngeri dia memikirkan Kong Tek tewas, pemuda yang dikaguminya dan
yang makin lama makin merampas perhatian dan hatinya itu. Kini melihat betapa
pemuda itu terancam dan betapa hatinya gelisah bukan main, baru dia sadar bahwa
sesungguhnya dia jatuh cinta kepada pemuda yang dianggapnya dingin kaku dan yang
hendak digodanya itu!
"Dessss... auggghhh...!"
"Toako...!" Giok Keng menjerit keiika dia mendengar keluhan pemuda itu dan melihat
betapa pemuda itu roboh bergulingan dikejar dua orang kakek sambil tertawa-tawa.
Pedang di tangan Hwa I Lojin menyambar-nyambar, sedangkan tongkat Bong Khi Tosu
kembali menghantam dan hampir saja mengenai kepala Kong Tek kalau pemuda itu
tidak cepat menggelindingkan tubuhnya.
"Toako...!" Giok Keng meloncat, meninggalkan lawannya untuk menolong pemuda itu,
akan tetapi kelihatan bayangan berkelebat tahu-tahu tubuh Thian Hwa Cinjin sudah
menghadang di depannya sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, Nona Cia yang manis. Untuk apa pemuda tolol itu. Biar dia mampus dan
disiksa oleh Bong Khi Tosu dan Hwa I Lojin, sedangkan kau lebih baik menyerah dan ikut
bersama pinto ke Pek-lian-kauw. Percayalah, pinto tidak hendak mengganggumu asal
engkau suka menurut dan menyerah."
Sementara, itu, Kong Tek sudah meloncat bangun namun terjungkal lagi oleh tusukan
pedang Hwa I Lojin yang sengaja mempermainkannya sehingga tusukan pedang itu
hanya menyerempet paha dan menimbulkan luka berdarah akan tetapi belum
membahayakan nyawanya.
"Toako... ahhh...! Thian Hwa Cinjin, dengarkan aku! Aku menyerah, aku tidak melawan
asal Lie-toako tidak dibunuh. Bebaskan dia dan aku menyerah!"
"Nona Cia, jangan...!" Kong Tek membentak dan kembali memutar pedangnya. Akan
tetapi, Thian Hwa Cinjin sudah menjawab, "Baik!" Lalu dia meloncat dekat Kong Tek,
tongkatnya bergerak dan pedang di tangan Kong Tek terlempar, kemudian pemuda itu
roboh oleh totokan ujung tongkat hitam yang lihai.
"Ha-ha-ha, serahkan pedangmu, Nona. Kami tidak akan membunuhnya!" kata Ketua
Pek-lian-kauw itu.
Giok Keng sudah mengenal kakek ini, maklum akan kekejaman dan kepalsuan hatinya,
maka dia berkata, "Aku menyerah, akan tetapi dia harus ditawan bersamaku pula. Baru
aku yakin bahwa kalian tidak akan membunuhnya. Kalau tidak, aku akan melawan
sampai mati!"
"Hemmm... hemmm... untuk apa orang macam dia?" Ketua Pek-lian-kauw itu masih
merasa mendongkol terhadap pemuda itu yang dianggapnya sebagai penyebab kematian
Bu Li Cun, gadis yang menjadi korbannya dan yang masih dicintanya.
"Pendeknya, mau atau tidak" Kalau tidak mau, biar aku mengadu nyawa denganmu!"
"Baiklah, baiklah!" Lalu dia berkata kepada Bong Khi Tosu, "Bawa dia bersama kita."
Giok Keng terpaksa menyerahkan pedangnya dan dia mengikuti tiga orang kakek itu
yang mengajaknya ke sarang Pek-lian-kauw di muara Sungai Huai di pantai Laut Kuning.
Sekali ini dia terpaksa mengalah dan menyerah demi keselamatan Kong Tek, dan juga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
820 dia maklum bahwa andaikata dia tidak menyerah dia tentu akan tewas bersama Kong
Tek di bawah senjata tiga orang kakek lihai itu! Harapannya timbul ketika di dalam
perjalanan menuju ke sarang Pek-lian-kauw, Thian Hwa Cinjin menyatakan maksud
hatinya menawan Giok Keng, yaitu untuk membujuk Ketua Cin-ling-pai untuk membantu
Pek-lian-kauw. "Asal engkau tidak mengganggu kami berdua, aku pun tidak akan melawan, dan
mungkin Ayah akan mempertimbangkan uluran tanganmu untuk bekerja sama asal
engkau tidak mengganggu kami." Demikian jawabnya dan Giok Keng benar-benar tidak
melawan sampai dia bersama Kong Tek tiba di sarang Pek-lian-kauw. Kong Tek


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang terjaga kuat, dan Giok Keng mendapat kamar
di sebelahnya, juga terjaga kuat. Giok Keng diperbolehkan pula untuk merawat dan
menjenguk sahabatnya itu.
"Ahhh... di mana kita...?" Inilah ucapan Kong Tek pertama kalinya ketika dia siuman dan
mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan di dalam sebuah kamar, sedangkan
Giok Keng duduk di atas bangku dekat pembaringannya.
"Ssssttt...!" Giok Keng menaruh telunjuk di depan bibirnya. "Kita telah kalah dan
tertawan."
Mendengar ini, Kong Tek melompat turun dan menyeringai kesakitan. Dia telah
menderita luka-luka akibat pertandingan melawan dua orang kakek lihai, akan tetapi
sambil menahan sakit dan mengepal tinjunya dia berkata, "Mari kita lawan mereka!"
Giok Keng memegang lengan pemuda itu. "Tenanglah, Toako. Kau perlu istirahat agar
luka-lukamu sembuh. Aku memang telah menyerah kepada mereka setelah melihat
engkau hendak dibunuh."
"Ahhh!" Kong Tek sekarang teringat dan dia merasa tidak setuju sama sekali. "Nona,
lebih baik mereka membunuh aku daripada engkau menyerah dan menjadi tawanan."
"Hushh, jangan begitu, Toako. Aku pun tidak suka melihat engkau terbunuh. Kaukira aku
orang macam apa" Kalau kau terbunuh... aku... aku..."
"Kenapa, Nona?" Aneh sekali. Baru sekarang suara pemuda ini dicekam keharuan dan
terdengar agak gemetar.
"Aku juga akan melawan sampai mati!"
Kini tiba-tiba Kong Tek memegang kedua tangan gadis itu. Baru sekali ini dia berani
melakukan hal seperti ini, dan suaranya gemetar ketika dia berkata tergagap, "Keng-moi
(Adik Keng), kau... kau...?" Mulutnya tidak berani melanjutkan, namun sikap dan
pandang matanya merupakan pertanyaan yang amat jelas.
Giok Keng tersenyum, mengangguk, dua titik air mata menuruni pipinya dan dia berbisik,
"Kalau kau tidak melihatnya, berati kau... tolol atau buta, Toako...!"
"Ehh... siapa berani mengharapkan kehormatan itu..." Keng-moi, aku... aku pun..."
Kembali kata-katanya macet.
"Aku tahu, Toako, aku pun tidak buta."
Mereka saling berpegang tangan, tanpa kata-kata kini, hanya sinar mata mereka yang
mengandung seribu satu macam pernyataan hati yang penuh kasih sayang!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
821 "Mereka menawanku untuk memancing Ayah datang ke sini dan hendak diajak bekerja
sama. Maka biarlah kita menanti, melawan pun tiada gunanya. Hanya Ayah yang akan
dapat membebaskan kita, maka kuminta agar kau menurut saja dan tidak
memberontak."
Kong Tek mengangguk, masih terharu oleh kenyataan bahwa gadis yang dipuja dan
dikagumi yang dicintanya semenjak pertama kali melihatnya itu, ternyata juga jatuh
cinta kepadanya!
Bong Khi Tosu memasuki kamar tahanan itu dan minta supaya Giok Keng keluar dari
situ, kembali ke kamarnya sendiri. "Dia sudah tidak perlu dirawat lagi, sudah sembuh
dan sudah kami beri obat untuk menyembuhkan luka-lukanya." kata pendeta Pek-lian-
kauw itu sambil menyerahkan beberapa macam obat luka yang diterima oleh Kong Tek
tanpa banyak kata lagi karena pemuda ini khawatir bahwa kalau dia mengeluarkan suara
terhadap musuh ini, dia tidak akan dapat menahan kemarahannya dan akan bersikap
kasar dan memberontak. Mereka berdua harus sabar menanti. Selama Thian Hwa Cinjin
tidak mengganggu mereka, mereka mengambil keputusan untuk diam saja dan tidak
membuat keributan, menanti sampai munculnya Pendekar Sakti Cia Keng Hong. Dan
betapa pun mengilarnya hati yang penuh nafsu berahi dari Ketua Pek-lian-kauw itu
terhadap Giok Keng, namun dia lebih mementingkan "perjuangan" perkumpulannya,
maka dia tidak mau mengganggu gadis itu dengan harapan agar ayah gadis itu yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, berikut semua anak buah Cin-ling-pai, akan suka
membantu Pek-lian-kauw.
Kalau kebetulan ada yang melihat mereka, tentu orang yang melihatnya itu akan
menjadi ketakutan dan mengira bahwa dia melihat setan. Demikian cepatnya gerakan
tiga orang itu sehingga yang tampak hanya bayangan mereka saja yang berkelebatan
cepat sekali di antara pohon-pohon, menuju ke sarang Pek-lian-kauw yang terletak di
muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning itu.
Mereka melakukan perjalanan cepat bukan main, seperti terbang saja, tanpa banyak
cakap akan tetapi wajah mereka membayangkan ketegangan, kesungguhan, dan
kemarahan. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong, isterinya yang gagah
perkasa Sie Biauw Eng, dan yang ke tiga adalah Yap Kun Liong, pemuda yang telah
memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, bahkan tingkatnya sudah menandingi tingkat
Pendekar Sakti Cia Keng Hong sendiri!
Ketika suami isteri dari Cin-ling-san ini menerima surat Thian Hwa Cinjin yang isinya
membujuk Cin-ling-pai untuk bekerja sama, untuk "membalas budi" Pek-lian-kauw yang
menawan Cia Giok Keng namun tidak mau mengganggu puteri mereka itu, kebetulan Yap
Kun Liong yang membawa Bun Houw pulang telah tiba di Cin-ling-san. Suami isteri itu
sedang bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Kok Beng Lama untuk membicarakan
tentang perjodohan Kun Liong dan Hong Ing, menjadi wali pemuda ini. Akan tetapi tiba-
tiba muncul utusan Pek-lian-kauw yang menyerahkan surat itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati suami isteri itu setelah mereka
membaca surat dari Thian Hwa Cinjin. Maklumlah Keng Hong bahwa surat itu adalah
surat yang hendak memaksa dia untuk membantu Pek-lian-kauw, dengan puterinya
menjadi sandera. Dengan menahan kemarahannya karena dia tidak ingin mengganggu
seorang utusan, Keng Hong berkata singkat kepada utusan Pek-lian-kauw itu, "Katakan
kepada Thian Hwa Cinjin bahwa aku akan segera datang ke sana!"
Ketika Kun Liong mendengar tentang isi surat itu, seketika dia menyatakan hendak
membantu dan menyerbu Pek-lian-kauw untuk membebaskan Giok Keng. Tentu bantuan
pemuda yang lihai itu amat diharapkan oleh suami isteri Cin-ling-san dan Keng Hong lalu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
822 berkata, "Kita harus berangkat sekarang juga, mendahului utusan itu dan menyerbu Pek-
lian-kauw selagi mereka belum siap-siap sehingga mereka tidak sempat mengganggu
Giok Keng."
Maka berangkatlah tiga orang berilmu tinggi itu dengan cepat, meninggalkan Bun Houw
yang dijaga oleh para anak buah murid Cin-ling-pai, berangkat dan melakukan
perjalanan amat cepat mendahului utusan yang telah kembali itu. Di sepanjang
perjalanan, mereka mengatur siasat penyerbuan, yaitu suami isteri itu akan menyerbu
dengan berterang dari pintu gerbang depan setelah memberi kesempatan kepada Kun
Liong untuk menyelinap melalui jalan belakang sehingga pemuda itu akan dapat mencari
dan melindungi Giok Keng. Selanjutnya perjalanan dilakukan cepat tanpa banyak cakap
lagi dan tentu saja mereka dapat jauh mendahului utusan itu.
Tepat seperti telah mereka rencanakan, mereka tiba di sarang Pek-lian-kauw itu di
malam hari yang gelap. Suami isteri itu membiarkan Kun Liong menyelinap dan
berkelebat ke arah belakang sarang itu. Mereka percaya penuh bahwa pemuda itu akan
berhasil memasuki sarang musuh dari belakang. Setelah menanti kurang lebih
seperempat jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada Kun Liong memasuki
markas dan mencari Giok Keng, Keng Hong dan isterinya lalu dengan terang-terangan
menghampiri pintu gerbang yang dijaga oleh enam orang anggauta Pek-lian-kauw dan
menerobos masuk.
Tentu saja para penjaga itu cepat menghadang. "Heiii, siapa kalian...?" Seruan ini
terhenti ketika mereka mengenal Keng Hong sebagai pendekar Cin-ling-san yang pernah
menyerbu sarang itu, akan tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak karena suami
isteri itu telah bergerak cepat dan robohlah enam orang itu berturut-turut tanpa dapat
melawan. Akan tetapi, keributan tadi menarik perhatian para penjaga di sebelah dalam. Mereka
melihat betapa enam orang penjaga itu roboh, maka cepat memukul kentungan sebagai
tanda bahaya. Keadaan menjadi gempar dan puluhan orang anak buah Pek-lian-kauw lari
berserabutan, ada yang baru bangun tidur dan saling tabrak, kesemuanya lari hendak
mempersiapkan senjata untuk menghadapi penyerbuan musuh. Mereka menyangka
bahwa tentu pasukan pemerintah yang datang menyerbu.
Sementara itu. Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng sudah mengamuk dengan hebatnya.
Para anggauta Pek-lian-kauw bagaikan daun-daun kering tertiup angin, terlempar ke
sana-sini dan keadaan menjadi makin kacau balau.
Thian Hwa Cinjin tentu saja terkejut bukan main setelah mendengar kentungan tanda
bahaya dan kemudian melihat mengamuknya suami istri itu. Dia merasa heran sekali.
Utusannya belum kembali dan menurut perhitungannya pun tentu belum kembali dari
perjalanan jauh itu, akan tetapi mengapa suami isteri itu sudah datang mengamuk"
Cepat dia mempersiapkan diri dan sejenak berunding dengan Bong Khi Tosu dan Hwa I
Lojin. "Kau cepat jalankan alat rahasia di dua kamar itu agar mereka terjeblos ke dalam kamar
bawah tanah, kemudian bantu kami di luar!" katanya kepada Bong Khi Tosu. Tosu ini
mengangguk dan cepat lari ke belakang. Pada waktu itu, dia mengira bahwa Cia Giok
Keng dan Lie Kong Tek tentu berada di kamar masing-masing yang terjaga kuat, dan
alat untuk menjalankan alat rahasia itu berada di luar kamar. Sekali menekan tombol,
lantai kamar itu akan terjeblos ke bawah, membawa mereka berdua terjatuh ke dalam
kamar-kamar rahasia di bawah tanah yang sukar dicari oleh orang luar.
Akan tetapi, ketika Bong Khi Tosu tiba di tempat itu, matanya terbelalak dan mukanya
menjadi pucat. Belasan orang penjaga kedua kamar itu telah menggeletak di luar kamar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
823 tanpa bergerak lagi! Dan pintu kedua kamar itu telah terbuka, kamar-kamar itu telah
kosong! Selagi dia hendak lari ke luar, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu
dua orang tahanan itu, Giok
Keng dan Kong Tek, telah berdiri di depannya dengan muka penuh ancaman!
Dua orang ini tadi memang telah dibebaskan oleh Kun Liong setelah pemuda perkasa ini
berhasil merobohkan semua penjaga sebelum mereka sempat membuat ribut.
"Harap kalian membantu dari dalam, aku hendak membantu Supek dan Supekbo di
luar." Kun Liong berkata kepada mereka tanpa banyak cakap lagi, lalu berkelebat pergi
karena dia sudah mendengar suara ribut-ribut di luar sarang itu, tanda bahwa suami
isteri Cin-ling-san itu telah turun tangan.
Adapun Giok Keng dan Kong Tek segera bersembunyi dan baru muncul ketika Bong Khi
Tosu datang. Dengan kemarahan meluap dua orang itu lalu meloncat keluar sehingga
mengejutkan tosu itu. Maklum bahwa tidak ada gunanya lagi untuk bicara, Bong Khi
Tosu sudah menggerakkan tongkatnya dan mengeluarkan suara menggereng hebat
sekali. Itulah ilmunya Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikeluarkan dengan
pengerahan khi-kang kuat sekali dan yang menggetarkan jantung lawan. Lawan yang
kurang kuat sin-kangnya akan roboh hanya oleh gerengan ini saja. Namun, tentu saja
Kong Tek, apalagi Giok Keng, tidak mudah digertak oleh ilmu ini dan mereka sudah
menerjang maju dengan tangan kosong karena pedang mereka telah dirampas dan
entah disimpan di mana oleh Thian Hwa Cinjin.
Bong Khi Tosu memutar tongkatnya dengan ganas, juga beberapa kali kakinya
menyambar dengan jurus-jurus tendangan Soan-hong-tui yang amat dahsyat. Memang
hebat ilmu tendangan kakek ini. Kong Tek yang masih belum sembuh benar dari luka-
lukanya akibat pertandingan yang lalu, kurang cepat mengelak dan lambungnya tercium
tendangan, membuat dia terhuyung.
"Toako, mundurlah, biar aku yang menandingi tua bangka ini!" Giok Keng berkata dan
cepat dara ini mainkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) yang amat
hebat, yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri. Dengan gerakan indah, setelah mengelak
dan membiarkan tongkat lawan lewat di atas pundak kirinya, dia menyerang dengan
jurus In-keng-hong-twi (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan), pukulan tangan kirinya
mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat menyambar ke arah dada lawan disusul
dorongan tangan ke arah kepala!
Bong Khi Tosu terkejut dan cepat meloncat ke belakang sambil memutar tongkatnya.
Pukulan dara tadi membuat tubuhnya tergetar dan kalau dia tidak cepat meloncat
mundur, tentu dia akan terkena pukulan dahsyat itu. Akan tetapi baru saja kakinya
menginjak tanah, tubuh dara itu sudah mencelat ke depan dan kini Giok Keng sudah
menghantamnya dengan kedua tangan dilonjorkan, menyerang dengan jurus ke tiga dari
Ilmu Silat San-in-kun-hoat, yaitu jurus Siang-in-twi-san (Sepasang Awan Mendorong
Bukit). Kembali kakek itu terkejut. Dari kedua tangan dara yang masih muda itu tampak uap
putih yang amat kuat, bahkan ketika dia memutar tongkat melindungi tubuhnya, kedua
tangannya tergetar hebat dan kembali dia terpaksa melompat ke belakang. Pada saat
itu, Kong Tek yang merasa tidak tenang membiarkan kekasihnya maju sendiri
menghadapi musuh, sudah menubruk dari samping, dan mengirim pukulan. Bong Khi
Tosu cepat menggerakkan tongkatnya memukul ke samping, menyambut serangan
pemuda yang baginya jauh lebih lunak dibandingkan dengan dara itu. Akan tetapi sekali
ini Kong Tek berlaku nekat, melihat tongkat menyambar, dia menangkap tongkat itu
dengan kedua tangannya!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
824 Bong Khi Tosu terkejut, cepat menarik kembali tongkatnya, namun Kong Tek tidak mau
melepaskannya. Terjadilah tarik-menarik dan Bong Khi Tosu sudah menggerakkan kaki
kanannya mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya menuju pusar lawan!
"Wirrrr... krekkkk!"
Bong Khi Tosu memekik keras karena kakinya telah patah tulangnya, disambar pukulan
tangan Giok Keng dari samping pada saat kaki itu tadi menendang. Sebelum dia sempat
melakukan sesuatu karena rasa nyeri membuat dia seperti lumpuh, Kong Tek telah
merampas tongkatnya dan sekali tusuk, tongkat itu menancap memasuki dada tosu itu
sampai hampir tembus ke punggung saking kerasnya pemuda itu menusuk.
Bong Khi Tosu mengeluarkan suara menggereng hebat dan tubuhnya roboh terjengkang
ketika Kong Tek mencabut tongkat sambil menendang, dan tosu itu tewas seketika.
"Mari kita menerjang keluar!" kata Kong Tek ketika melihat datangnya belasan orang
angauta Pek-lian-kauw berbondong datang ke tempat itu.
Giok Keng mengangguk dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyambut
rombongan anggauta Pek-lian-kauw terdepan, merampas pedang dan mengamuk seperti
seekor naga sakti. Juga Kong Tek menggerakkan tongkat rampasannya, merobohkan
siapa saja yang berani menghadang di depan mereka!
Pertempuran di luar sarang itu masih berlangsung dengan hebatnya. Cia Keng Hong
berhadapan dengan Thian Hwa Cinjin sedangkan Sie Biauw Eng bertanding melawan Hwa
I Lojin. Kalau saja tidak terdapat begitu banyaknya anggauta Pek-lian-kauw yang
mengeroyok, tentu dengan mudahnya suami isteri itu akan dapat mengalahkan dua
orang kakek itu. Akan tetapi pengeroyokan belasan orang tokoh Pek-lian-kauw dan
puluhan orang anak buahnya membuat suami isteri itu kewalahan juga! Apalagi karena
Keng Hong masih tidak tega untuk menyebar maut diantara mereka, hanya merobohkan
mereka tanpa membunuh, tidak seperti Biauw Eng yang tidak mempunyai pantangan lagi
saking marahnya, sabuk sutera putihnya dibantu dengan pukulan beracun Ngo-tok-ciang
(Pukulan Lima Racun) yang sudah lama tidak dipergunakannya lagi namun masih
dilatihnya, menyebar maut diantara para pengeroyoknya. Nyonya ini tidak peduli bahwa
di bawah pengeroyokan ketat itu, dia telah menderita dua kali bacokan golok yang
membuat pundak kirinya dan paha kanannya terluka dan berdarah. Bahkan rasa nyeri di
kedua tempat ini membuat dia menjadi makin ganas dan mengamuk makin hebat.
"Supek, teecu telah berhasil membebaskan Sumoi dan Lie-toako yang mengamuk dari
dalam!" Munculnya Kun Liong dengan seruannya ini membuat hati suami isteri itu lega sekali,
dan Kun Liong tidak dapat bicara lebih banyak lagi karena dia pun sudah harus
menghadapi pengeroyokan banyak sekali anggauta Pek-lian-kauw. Seperti juga Keng
Hong, pemuda ini mengamuk sambil menjaga jangan sampai dia sembarangan
membunuh orang.
Pertempuran itu tentu akan berlangsung lama sekali kalau saja tidak terjadi hal yang
mengejutkan hati Thian Hwa Cinjin dan anak buahnya. Terdengar suara teriakan-
teriakan tinggi nyaring dan menyerbulah dua puluh orang wanita yang dipimpin oleh
seorang gadis cantik yang gerakannya ganas dan amat lihai! Mereka ini langsung
menyerang para anggauta Pek-lian-kauw sehingga mereka itu terkejut dan kepungan
mereka menjadi cerai berai, sedangkan pemimpin rombongan wanita itu sendiri langsung
membantu Kun Liong mengamuk!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
825 "Bi Kiok...!" Kun Liong berseru, kaget, heran dan juga girang karena gadis bersama
rombongannya ini datang-datang membantunya. "Mengapa kau berada di sini dan siapa
mereka itu?"
Bi Kiok tersenyum dan dengan tenang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat
berkelebat tiga kali maka robohlah tiga orang pengeroyok, dengan kepala terpisah dari
tubuhnya! Kun Liong bergidik menyaksikan keganasan ini.
"Mereka adalah anak buahku, dan aku sengaja datang untuk menghajar Pek-lian-kauw
yang berani menculik seorang anak buahku. Kebetulan kita dapat berjumpa di sini. Ini
namanya jodoh!"
Kun Liong bergidik, teringat akan desakan dara ini untuk mengajak hidup bersama. Maka
dia tidak banyak cakap lagi dan segera menerjang ke depan, melempar-lemparkan dua
orang pengeroyok yang terdekat.
Kini Keng Hong dan Biauw Eng dapat mendesak kedua orang lawannya. Bahkan dengan
pekik melengking nyaring, sabuk sutera di tangan Biauw Eng menyambar-nyambar dan
sekaligus mengirim serangan totokan ke tujuh belas bagian jalan darah yang terpenting
di tubuh Hwa I Lojin. Kakek ini terkejut, menangkis dengan pedangnya dan berusaha
menangkap ujung sabuk dengan tangan kirinya, namun hasilnya sia-sia saja. Setelah kini


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung berhadapan sendiri dengan kakek itu, tanpa ada pengeroyok lain, Biauw Eng
dapat mencurahkan perhatiannya sehingga daya serangnya amat hebat. Terdengar
kakek itu memekik keras ketika jalan darah di pinggang terkena totokan ujung sabuk
sutera. Dia terhuyung dan pada saat itu, ujung sabuk sutera sudah menyambar lagi.
"Cratttt...!"
Tidak begitu jelas bagaimana caranya ujung sabuk itu menghantam, akan tetapi tahu-
tahu Hwa I Lojin roboh terguling dan berkelojotan sekarat. Ternyata bahwa ujung sabuk
sutera tadi telah mengenai pelipis kepalanya, membuat bagian kepala yang lemah itu
retak dan tentu saja nyawanya melayang tak lama kemudian!
Melihat ini, Thian Hwa Cinjin terkejut dan cepat dia mengeluarkan seruan keras dan tiba-
tiba dari ujung tongkatnya keluar asap hitam yang tebal. Keng Hong cepat meloncat ke
belakang, maklum betapa licik dan curangnya Ketua Pek-lian-kauw ini.
"Semua berhenti...! Jangan berkelahi...! Aku, Thian Hwa Cinjin memerintahkan kalian!
Berhenti berkelahi...!"
Suara ini bergema menyeramkan dan mengandung kekuatan mujijat yang menggetarkan
jantung. Keng Hong sendiri tercengang dan sejenak seperti tak mampu bergerak,
demikian pula mereka yang sedang bertanding tiba-tiba berhenti dan memandang ke
arah kakek itu seperti patung-patung hidup!
"Kalian semua berlututlah...! Berlutut dan taat kepada semua perintahku! Dengarlah
baik-baik...!" Kembali suara ini
memaksa banyak orang menekuk lutut di luar kehendak mereka sendiri. Hanya Kun
Liong, Keng Hong dan Biauw Eng serta Yo Bi Kiok yang masih belum bertekuk lutut
sungguhpun mereka juga terpesona oleh pengaruh mujijat dalam suara Thian Hwa Cinjin
yang kini berdiri di dalam selubungan uap hitam itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dan muncullah seorang kakek aneh yang
pakaiannya kedodoran terlalu besar, celananya kotak-kotak bajunya kembang-kembang,
kepalanya memakai kopyah bayi! Dia ini bukan lain adalah Hong Khi Hoatsu, kakek ahil
hoat-sut (sihir), guru dari Lie Kong Tek.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
826 "Ha-ha-ha, si tukang sulap, kembali mengeluarkan ilmu hitamnya untuk menyelamatkan
diri. Ha-ha-ha, betapa tidak gagahnya, betapa curangnya. Cu-wi sekalian mengapa
berlutut" Dia hanya main gertak belaka!" Suara ketawa dari kakek ini terdengar aneh
dan mengandung kekuatan luar biasa pula yang seolah-olah membuyarkan pengaruh
ajalb yang ditimbulkan oleh suara Thian Hwa Cinjin tadi.
Semua orang terkejut dan insyaf, lalu meloncat bangun dan mulai menyerang lagi
kepada para anggauta Pek-lian-kauw!
"Hong Khi Hoatsu keparat...!" Ketua Pek-lian-kauw itu membentak marah dan
tongkatnya digerakkan secara hebat sambil meloncat ke arah kakek itu, menerjang
dengan pukulan maut!
"Trakkk... krekkk!" Tongkat itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam
(Pedang Kayu Harum) di tangan Cia Keng Hong yang sudah sadar dan melindungi Hong
Khi Hoatsu. Thian Hwa Cinjin terkejut sekali, cepat dia meloncat ke belakang dan lari masuk ke
dalam sarangnya, dengan niat untuk bersembunyi dan melarikan diri melalui lorong
rahasia. "Sing"singgg...!" Sinar-sinar menyilaukan mata menyambar dan mengejar kakek ini.
"Aduhhhh...!" Thian Hwa Cinjin tidak berhasil mengelak semua senjata rahasia yang
dilontarkan oleh Biauw Eng kepadanya ketika dia lari. Tengkuknya kena dihantam oleh
bola putih berduri dan punggungnya menjadi sarang sebatang tusuk konde bunga bwe.
Dia terhuyung namun masih dapat berlari terus meloncat ke ruangan depan dan pada
saat itu, dari dalam muncullah Giok Keng dan Lie Kong Tek. Ketika mereka melihat kakek
yang amat dibencinya ini hendak lari ke dalam dan sudah terluka dan terhuyung-huyung,
mereka segera menubruk ke depan dan menyerang. Giok Keng menusukkan pedangnya
dan Kong Tek menghantamkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.
"Trakk! Blesss... aughhhh...!" Kakek itu dapat menerima hantaman tongkat di kepalanya,
membuat tongkat itu terpental bahkan terlepas dari tangan Kong Tek, akan tetapi
tusukan pedang yang dilakukan oleh Giok Keng dengan pengerahan tenaga sin-kang,
menancap di ulu hatinya dan menembus sampai ke punggungnya.
"Keparat... kau harus mampus...!" Kakek itu masih dapat memaki dan tangannya diulur
ke depan hendak mencengkeram dada Giok Keng.
"Dessss...!"
"Lie-toako...!"
Kiranya melihat kakek itu masih mampu menyerang bahkan mengancam keselamatan
Giok Keng, Kong Tek cepat menggunakan lengannya menangkis sehingga lengannya
yang kena dicengkeram oleh tangan kakek itu. Biarpun pemuda ini sudah mengerahkan
tenaganya, namun tetap saja tulang lengannya patah dan kakek itu tergelimpang, tewas.
"Ah, lenganmu...!" Giok Keng menghampiri Kong Tek dan memeriksa lengannya yang
berlumuran darah.
"Tidak apa-apa... untung engkau selamat." Kong Tek berkata sambil tersenyum
menahan sakit. "Toako... kau... kau selalu berkorban untukku..."
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
827 "Hemmm, sudah semestinya..."
Giok Keng merobek ujung bajunya lalu membalut erat-erat luka di lengan pemuda itu.
Ketika ayah bundanya dan Hong Khi Hoatsu menghampiri, dia masih membalut dengan
sikap penuh perhatian sehingga diam-diam Hong Khi Hoatsu tertawa dan Cia Keng Hong
bertukar pandang dengan isterinya.
Para anggota Pek-lian-kauw buyar dan melarikan diri setelah melihat tewasnya ketua
mereka dan para pimpinan mereka. Biauw Eng memeluk puterinya dan Giok Keng yang
merasa telah membuat banyak kesusahan kepada orang tuanya itu, menangis dalam
pelukan ibunya.
"Ha-ha-ha-ha, pinto sudah melihat semuanya dan kini, di depan puterimu dan isterimu,
Cia-taihiap, pinto mengulangi pinangan pinto untuk menjodohkan murid pinto Lie Kong
Tek dan puterimu Cia Giok Keng. Bagaimana?"
"Aku menyerahkan keputusannya kepada isteriku," jawab Keng Hong sambil melirik ke
arah isterinya.
"Dan aku menyerahkan jawabannya kepada Keng-ji," kata Biauw Eng.
"Ha-ha-ha-ha, eh, Kong Tek, bagaimana pendapatmu" Apakah Nona ini sudah setuju?"
"Kami sudah saling setuju, Suhu..."
Kong Tek menjawab singkat sambil menunduk. "Keng-moi, harap kau suka menjawab
agar melegakan hati para orang tua."
Giok Keng mengangkat mukanya yang merah sekali. "Aku... aku menyerahkan kepada
Ayah dan Ibu saja."
Keng Hong dan isterinya saling pandang dan sinar kegembiraan terpancar di wajah
mereka. "Bagus, memang sudah semestinya kalau anak selalu berunding dengan orang
tua mengenai hari depannya, karena pandangan orang tua tentu lebih mendalam dan
luas. Kami sudah setuju sekali mempunyai mantu seperti Lie Kong Tek ini, Keng-ji." kata
Keng Hong. "Marilah kita semua pergi ke Cin-ling-san untuk membicarakan persoalan ini,
dan Kong Tek harus pula beristirahat dan berobat. Dan Kun Liong... eh, mana dia...?"
Semua mata menoleh dan mencari. Ternyata Kun Liong sedang berdebat dengan Bi Kiok!
"Kun Liong. Kau tahu bahwa adikmu tidak mau berpisah dari aku, dan dia akan menjadi
murid tunggal dan ahil waris semua ilmuku. Kau tahu pula bahwa aku cinta padamu,
maka demi kebahagiaan kita bertiga, aku mengulang lagi permintaanku agar kau suka
hidup bersama-sama."
Kun Liong memandang Bi Kiok dengan wajah terharu dan dia menggeleng kepala. "Bi
Kiok, kaumaafkanlah aku. Kau terlalu memudahkan urusan jodoh. Jodoh tak mungkin
dapat dilaksanakan apabila cinta kasih hanya datang dari sepihak saja. Kalau
dipaksakan, kelak hanya akan mendatangkan kekecewaan dan penyesalan belaka. Aku
suka kepadamu sebagai sahabat atau saudara, akan tetapi aku telah jatuh cinta kepada
seorang wanita lain, Bi Kiok. Aku hanya titip adikku agar kaurawat dan didik baik-baik."
Bi Kiok menyusut air matanya. "Baiklah, kalau kau tidak mau menjadi suamiku, ingatlah
bahwa engkau akan mempunyai seorang musuh untuk selama hidupmu, yaitu Yo Bi
Kiok!" Setelah berkata demikian, wanita ini menggerakkan pedangnya memberi isyarat
kepada dua puluh anak buahnya untuk pergi dari situ.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
828 "Bi Kiok...!" Kun Liong memanggil akan tetapi gadis itu telah pergi tanpa menoleh lagi,
sambil mengusap air matanya.
Mereka menghampiri Kun Liong yang masih berdiri termenung memandang bayangan Bi
Kiok. "Kun Liong, apakah yang telah terjadi" Siapa dia yang membantu kita?"
Kun Liong baru sadar ketika mendengar suara supeknya itu. Mukanya menjadi merah
sekali. Tentu saja dia tidak dapat menceritakan apa yang terjadi, karena semua itu
hanya akan membuka rahasianya sebagai seorang pemuda petualang asmara yang
ceriwis dan yang mendatangkan banyak akibat yang baru dirasakannya sekarang!
Andaikata dia dahulu tidak suka menggoda wanita, andaikata dia tidak bersikap ceriwis
dan menggoda Bi Kiok, tidak mungkin Bi Kiok menjadi jatuh hati kepadanya, dan
mengira bahwa dia pun mencinta dara itu!
"Supek, dia adalah bekas murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci yang sudah bertobat dan
menjadi orang baik, dahulu adalah sahabat saya. Bahkan... adik kandung saya, Yap In
Hong kini telah menjadi muridnya."
"Ohhh...!" Biauw Eng berseru kaget.
Mengerti akan kekagetan dan keheranan nyonya ini, Kun Liong berkata, "Saya telah
bertemu dengan Adik In Hong secara kebetulan. Akan tetapi ternyata Adik In Hong lebih
suka tinggal bersama gurunya yang telah menolongnya itu. Yo Bi Kiok tadi datang
bersama anak buahnya secara kebetulan saja karena dia pun bermusuhan dengan Pek-
lian-kauw yang telah berani menculik seorang anak buahnya." Setelah bercerita
demikian Kun Liong tidak mau membuka mulut lebih lebar lagi tentang diri Bi Kiok, yang
berarti akan mengungkapkan semua rahasia pribadinya.
Beramai-ramai mereka semua lalu meninggalkan Pek-lian-kauw, menuju ke Cin-ling-san.
Kun Liong merasa lega dan girang sekali mendenrgar bahwa Giok Keng akan berjodoh
dengan Kong Tek yang dianggapnya seorang pemuda gagah perkasa yang pantas
menjadi menantu Ketua Cin-ling-pai. Perjodohan yang tadinya diusulkan oleh supeknya
dan diputuskan oleh dia dan Giok Keng selalu mengganggu hatinya selama ini,
membuatnya tidak enak hati terhadap supeknya. Akan tetapi setelah kini Giok Keng
memperoleh jodoh, hal itu tentu saja tidak menjadikan gangguan lagi.
Beberapa bulan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan ganda yang dirayakan secara
meriah di Cin-ling-san, yaitu pernikahan antara Yap Kun Liong dengan Pek Hong Ing, dan
Lie Kong Tek dengan Cia Giok Keng. Perayaan ini disaksikan oleh banyak tamu yang
terdiri dari orang-orang ternama di dunia kang-ouw, bahkan Yang Mulia Menteri The Hoo
sendiri berkenan menghadiri perayaan pernikahan itu dan memberikan restunya! Tidak
ketinggalan tokoh-tokoh tua terhormat seperti Thian Kek Hwesio Ketua Siauw-lim-pai,
Tio Hok Gwan pengawal setia dari The Hoo, Kok Beng Lama, Hong Khi Hoatsu, dan para
pimpinan partai-partai persilatan besar. Hanya satu hal yang membuat hati Kun Liong
agak gelisah dan tidak nyaman yaitu ketidakhadiran adik kandungnya dan gurunya, yaitu
Yo Bi Kiok yang bersumpah akan menjadi musuhnya selama hidup!
Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita Petualang Asmara ini dengan harapan
mudah-mudahan cerita ini telah dapat memenuhi tugasnya sebagai penghibur Anda di
waktu senggang, dan sampai jumpa kembali di dalam tulisan pengarang berikutnya.
Tidak lupa pengarang mengharapkan mudah-mudahan ada bagian-bagian tertentu dalam
karangan ini yang membantu Anda dengan membuka kesadaran Anda sehingga kita
bersama dapat mempelajari dan melihat keadaan hidup ini sebagaimana adanya dan
kenyataannya, hidup yang penuh dengan suka duka, penuh kepalsuan, penuh
penderitaan dan kepahitan, penuh kebencian dan iri hati, penuh kesengsaraan yang
kesemuanya itu tiada lain adalah hasil darl ulah kita manusia sendiri. Marilah kita
menghayati hidup seperti apa adanya, menerima segala sesuatu dengan mata terbuka
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
829 tanpa menolak atau menerima, tanpa mencela atau memuji, menerima dengan penuh
kesadaran sehingga kita hidup wajar, menikmati hidup saat demi saat karena yang ada
hanyalah nikmat dan bahagia apabila kita terbebas dari semua kepalsuan pikiran,
terbebas dari cengkeraman si aku dan karenanya hidup kita dipenuhi sinar kasih sayang,
sinar cinta kasih yang wajar dan suci. Mudah-mudahan! Teriring salam bahagia dari
pengarang. T A M A T Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
830 Istana Pulau Es 3 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Panji Sakti 15
^