Petualang Asmara 3

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


suara yang terkandung
dalam tiupan suling aneh ini!
Empat belas orang itu, Kun Liong, Kakek Lo, Akian, kepala dusun dan sepuluh orang
anak buahya, hanya berdiri seperti arca dengan mata terbelalak lebar memandang ke
arah ular-ular yang kini maju merayap menghampiri mereka! Dapat dibayangkan betapa
ngeri dan takut rasa hati mereka, akan tetapi mereka tak dapat menggerakkan kaki
untuk melarikan diri, bahkan bibir mereka yang bergerak-gerak tidak dapat
mengeluarkan suara, hanya terdengar ah-ah-uh-uh dan ada di antara mereka yang
mengeluarkan air mata saking takutnya. Hanya Kun Liong seorang yang berdiri tenang
karena dia sama sekali lupa akan keadaan diri sendiri lupa akan bahaya yang
mengancam nyawanya sendiri, dan yang menjadi perhatiannya hanyalah keadaan orang-
orang yang terancam bahaya maut itu. Di dalam hatinya dia merasa menyesal bukan
main. Semua ini terjadi gara-gara dia! Kalau dia tidak menangkap ular-ular itu agaknya
kakek iblis Ban-tok Coa-ong tidak akan membunuh mereka!
Rasa penasaran dan penyesalan yang besar ini membuat dia sejenak lupa sama sekali
akan suara melengking dari terompet sehingga dia terbebas dari pengaruh khi-kang dan
berteriak keras,
"Kakek iblis! Jangan bunuh mereka! Kalau mau bunuh, bunuhlah aku karena akulah yang
menangkap ular-ularmu. Mereka tidak berdosa!"
Kembali kakek itu tercengang. Dalam perantauannya di dalam dunia kang-ouw, sebagai
seorang di antara lima datuk persilatan yang terkenal, sudah banyak dia bertemu dengan
orang gagah, bukan hanya gagah karena tinggi ilmu kepandaiannya, akan tetapi gagah
karena berjiwa satria, seorang yang tidak gentar menghadapi maut dan yang siap
mengorbankan nyawa untuk orang lain. Akan tetapi, selama hidupnya belum pemah dia
bertemu dengan seorang kanak-kanak yang usianya baru sepuluh tahun sudah memiliki
jiwa satria seperti ini! Dia benar-benar tercengang, terheran, dan kagum bukan main.
Aihhh, kalau saja puteranya bersikap seperti anak ini, pikirnya. Dia menarik napas
panjang dan menjadi marah karena iri hati kepada ayah anak yang gagah perkasa itu.
Melihat betapa ular-ular itu telah tiba dekat sekali di depan kaki para penduduk dusun,
Kun Liong yang sudah terbebas dari suara terompet, melompat ke depan kakek itu
sambil membentak,
"Kakek iblis, tidak malukah engkau" Sungguh engkau pengecut hina!"
"Plakkk!" Secara tiba-tiba sekali tangan kiri kakek itu bergerak dan tubuh Kun Liong
terguling dalam keadaan lumpuh karena dia telah tertotok secara aneh sekali. Dan kakek
itu masih terus meniup terompetnya yang membuat ular-ular itu seperti mabok dan
marah. Mulailah ular-ular itu menyerang dan menggigit empat belas orang itu dan pada
saat itu, Ban-tok Coa-ong menghentikan tiupan terompetnya sehingga orang-orang itu
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
61 kini dapat bergerak dan dapat berteriak-teriak. Mereka berusaha melawan, akan tetapi
mana mungkin melawan ular yang demikian banyaknya" Sedikitnya ada sepuluh ekor
ular besar kecil menggigit tubuh setiap orang dan setiap gigitan saja sudah mengandung
racun yang cukup untuk mencabut nyawa!
Hanya Kun Liong seorang di antara empat belas orang itu yang tetap tidak bergerak
biarpun tubuhnya juga digigit beberapa ekor ular. Tiga belas orang yang lain, selain
menjerit-jerit dan makin lama suaranya menjadi rintih memilukan, juga mereka
berkelojotan dan bergulingan ke sana-sini sampai akhirnya mereka diam tak bergerak,
tubuh mereka bengkak-bengkak dan berwama biru kehitaman! Hal ini adalah karena di
dalam tubuh Kun Liong sudah terdapat racun inti bisa ular. Ibunya yang amat sayang
kepada puteranya ini telah memberi minum obat yang mengandung racun anti bisa ular
itu kepadanya, semenjak kecil, sedikit demi sedikit sehingga kini Kun Liong telah menjadi
kebal terhadap racun ular. Gigitan-gigitan itu memang membuat bagian tubuh yang
tergigit menjadi bengkak dan merah, akan tetapi racun ular itu tidak dapat menjalar ke
dalam tubuhnya, tertolak oleh darahnya yang mengandung racun penolak dan racun ular
itu hanya terkumpul di tempat gigitan. Hal ini tidak diketahui oleh Ban-tok Coa-ong yang
tertawa-tawa dan bergembira menyaksikan orang-orang yang disiksanya itu. Kalau saja
tidak ada sedemikian banyaknya orang yang dikeroyok ular-ulamya, andaikata hanya
Kun Liong seorang sebagai seorang ahli racun ular tentu saja Ban-tok Coa-ong akan
dapat mengetahui keanehan ini.
Sekarang tidak terdengar suara lagi. Tubuh empat belas orang itu diam, tidak bergerak
lagi dan ular-ular itu sudah merayap pergi setelah para korbannya tidak bergerak lagi.
Mereka itu bukanlah ular-ular pemakan bangkai dan mereka hanya menyerang untuk
membunuh, didorong dan dirangsang oleh suara terompet.
"Ayahhh... jangan bunuh dulu mereka...!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan gema
suara teriakan itu belum lenyap ketika tahu-tahu di situ telah berdiri seorang anak laki-
laki berambut panjang sampai ke punggung dan dibiarkan terurai begitu saja. Anak ini
paling banyak tiga belas tahun usianya, wajahnya tampan akan tetapi gerak matanya
mengerikan, seperti gerak bola mata seorang yang tidak waras otaknya!
"Bouw-ji (Anak Bouw), mau apa kau?" kakek itu bertanya, suaranya penuh dengan kasih
sayang. Akan tetapi anak laki-laki ini tidak menjawab hanya tertawa ha-ha-hi-hi, berjalan
melihat-lihat tubuh empat belas orang yang menggeletak tak bergerak dengan muka biru
menghitam itu. Hanya muka Kun Liong seorang yang tidak menjadi biru menghitam,
cuma bengkak dan merah sedikit di pipi kanan bekas gigitan ular. Akan tetapi seperti
juga tiga belas orang yang lain, dia roboh pingsan setelah tujuh kali digigit ular berbisa.
Kalau di dalam tubuh tiga belas orang itu, bisa ular mengamuk dan mulai menjalar ke
arah jantung, di dalam tubuh Kun Liong terjadi hal lain lagi. Bisa ular bertemu dengan
racun di dalam tubuhnya yang menolak sehingga terjadi pertempuran, namun bisa ular
kalah kuat dan hanya berhenti di tempat gigitan.
"He-he-hi-hi, Ayah. Jarum-jarumku dengan racun baru belum pemah dicoba
kehebatannya. Mereka ini hendak kujadikan kelinci percobaan, Ayah!" Anak berambut
panjang itu sudah mengeluarkan sekepal jarum-jarum kecil yang berwama merah.
"Bodoh! Mereka sudah hampir mati, tidak ada gunanya. Untuk percobaan, harus memilih
korban yang masih sehat," Ayahnya mencela.
"Hi-hi-hi, mereka belum mati dan dalam keadaan keracunan bisa ular mereka
merupakan kelinci-kelinci percobaan yang amat menarik. Racun di jarumku ini lebih
hebat daripada racun ular, dan sekarang dapat dibuktikan, Ayah!" Tanpa menanti
jawaban lagi, anak itu menggerak-gerakkan tangan kanannya dan tampaklah sinar-sinar
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
62 kecil menyambar ke arah tengkuk empat belas orang yang roboh pingsan itu. Agaknya ia
sengaja melempar dengan tenaga kecil terukur sehingga jarum-larum itu hanya
menancap setengahnya di tengkuk empat belas arang itu. Kemudian sambil tertawa-
tawa anak itu meloncat ke dekat ayahnya dan mereka berpelukan sambil memandang ke
arah korban mereka, menanti apa yang akan terjadi.
Kun Liong siuman ketika merasa nyeri. Akan tetapi dia segera teringat akan
keadaannya, maka dia diam saja tidak bergerak, apalagi karena tiba-tiba dari
tengkuknya menjalar hawa panas ke arah kepalanya, kemudian seluruh tubuhnya terasa
panas dan sakit-sakit semua, membuat dia tidak dapat bergerak dan hanya dapat
memandang dengan mata setengah terpejam, mengintai dari balik bulu matanya,
melihat betapa kakek mengerikan itu kini berpelukan sambil tertawa-tawa dengan
seorang anak laki-laki kecil yang tampan akan tetapi menyeramkan, ketika ia mengerling
ke arah tiga belas orang dusun, dia terkejut setengah mati dan bulu tengkuknya
meremang, berdiri satu-satu saking ngerinya.
Apa yang terjadi dengan tiga belas orang itu. Benar-benar amat mengherankan dan
mengerikan. Seperti mayat-mayat hidup, tiga belas orang itu satu demi satu bangkit
berdiri dengan gerakan kaku! Mereka itu benar-benar seperti mayat-mayat hidup dalam
dongeng penakut kanak-kanak, muka mereka kehitaman, mata mereka melotot tak
pemah berkedip, mulut mereka penuh busa, berlepotan di sekeliling bibir, napas mereka
terengah-engah mengeluarkan suara "ngaak-ngiik" seperti napas orang menderita
penyakit mengi. Kemudian, seperti ada sesuatu yang mendorong mereka dari belakang,
tiga belas orang itu berlari kaku ke depan seperti orang berlumba, akan tetapi agaknya
mereka lari secara ngawur, gerakan mereka kaku sekali dan arahnya tidak sama!
"He-he-hi-hi-hi...! Racunku menang, Ayah! Mengalahkan racun ular! Mari kita mengikuti
mereka dan melihat!"
Anak berambut panjang itu bersorak dan meloncat, mengikuti "mayat-mayat hidup"
yang lari berpencar tidak karuan itu. Ban-tok Coa-ong menggeleng-geleng kepala dan
terpaksa mengikuti puteranya. Untung bagi Kun Liong karena ayah dan anak yang
agaknya berotak miring itu tidak memperhatikannya sehingga tidak melihat keanehan
bahwa di antara empat belas orang itu, hanya Kun Liong seoranglah yang tidak
terpengaruh oleh racun merah. Melihat ayah dan anak itu pergi mengikuti para korban
yang berubah mengerikan itu, Kun Liong menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak
pergi dari situ, memasuki semak-semak dan terus merangkak-rangkak karena dia tidak
kuat bangkit. Jauh juga dia merangkak, dan akhimya dia roboh terguling, pingsan di
dalam semak-semak yang gelap.
Ban-tok Coa-ong adalah nama julukan yang diberikan oleh orang-orang kang-ouw
kepada kakek itu. Namanya adalah Ouwyang Kok, seorang pendatang baru di dunia
kang-ouw, akan tetapi biarpun baru kurang lebih sepuluh tahun dia terjun ke dunia
kang-ouw, namanya telah dikenal sebagai seorang di antara para datuk persilatan yang
ditakuti orang di waktu itu. Tidak ada orang lain yang mengetahui asal-usulnya, akan
tetapi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, manusia aneh ahli ular ini turun dari
pegunungan yang asing dan tak pemah dikunjungi orang, di perbatasan Nepal, masuk ke
Tiongkok menggendong seorang anak laki-laki yang berusia tiga tahun, kemudian
membuat nama besar di dunia kang-ouw karena kepandaiannya yang amat tinggi dan
sepak terjangnya yang aneh. Namun, keganasannya terhadap mereka yang
menantangnya, dan keahliannya bermain dengan ular, menghasilkan nama julukan Ban-
tok Coa-ong (Raja Ular Selaksa Racun)! Anak yang dibawanya itu adalah putera
tunggalnya, bemama Ouwyang Bouw yang semenjak kecil digemblengnya, namun
karena cara hidup Ouwyang Kok tidak lumrah manusia dan penggemblengan terhadap
anaknya pun terlalu hebat, maka anak itu memiliki watak yang aneh pula, seperti
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
63 seorang yang agak miring otaknya! Ibu anak itu, isteri tercinta dari Ouwyang Kok, telah
meninggal dunia di sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Nepal, tewas digigit
ular beracun yang amat luar biasa sehingga tidak tertolong. Agaknya peristiwa inilah
yang membuat Ouwyang Kok kini menjadi seorang "Raja Ular"!
Kini anak dan ayahnya itu berlari-lari sambil tertawa-tawa menyaksikan ulah para korban
yang lari seperti mayat hidup. Suara tertawa mereka makin menjadi ketika mereka
melihat beberapa orang di antara para korban yang lari kaku itu terjerumus ke dalam
jurang, dan ada pula yang menabrak pohon terus memeluk pohon itu dan mati kaku
dalam keadaan memeluk batang pohon, kedua kakinya melingkari batang pohon,
sepuluh jari tangan mencengkeram pohon dan mulutnya menggigit kulit pohon.
Mengerikan! Ada pula dua orang di antara tiga belas orang dusun yang belum roboh ke dalam jurang
dan belum menabrak pohon, setelah beberapa orang lagi raboh karena kakinya
tersangkut akar kayu, roboh terus mencengkeram rumput-rumput dan mati dalam
keadaan seperti itu. Dua orang ini adalah Akian dan kepala dusun. Agaknya mereka
berdua memiliki tubuh yang lebih kuat maka dapat berlari kaku dan belum roboh.
Kebetulan sekali mereka lari sejurusan, yaitu ke jurusan dusun mereka! Mungkin juga
masih ada sedikit sisa ingatan mereka untuk lari pulang ke dusun mereka.
Ketika mereka tiba di luar dusun, beberapa orang penduduk dusun yang merasa
khawatir dan siap menyusul ke hutan, dapat berlari menyambut dua orang itu. Setelah
dekat mereka itu berdiri bengong dan penuh rasa heran dan ngeri melihat betapa kepala
dusun dan Akian berlari kaku seperti itu, muka mereka biru kehitaman mata terbelalak
tanpa berkedip dan kemerahan, mulut menyeringai penuh busa putih!
Keadaan menjadi geger dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika dua orang mayat
hidup ini menubruk dan memeluk dua orang yang terdekat. Karena kaget dan heran, dua
orang itu tidak sempat mengelak ketika mereka dipeluk oleh dua orang mayat hidup itu.
Mereka hendak meronta, akan tetapi seluruh tubuh merasa panas, dan ketika jari-jari
tangan mencengkeram mereka, ketika gigi yang kini mengandung racun itu menggigit
leher, mereka berdua menjerit-jerit, jerit yang makin melemah dan akhimya meroka
berdua roboh terguling bersama mayat hidup yang menyerang mereka, tewas dalam
keadaan masih dalam berpelukan.
"Ha-ha-ha-ho-ho, lucu sekali...!"
"Hi-hi-hi, hebat bukan jarum-jarumku, Ayah?"
Para penduduk dusun terbelalak memandang ayah dan anak yang tahu-tahu telah
berada di situ sambil tertawa-tawa. Melihat keadaan mereka, dan melihat peristiwa
mengerikan yang menimpa diri kepala dusun, Akian, dan dua orang teman mereka yang
menjadi korban, mereka menjadi ketakutan dan serta merta mereka melarikan diri
masuk ke dalam dusun, menyeret keluarga mereka yang berada di luar rumah,
memasuki rumah masing-masing, menutup pintu dan saling berpelukan dengan anak
isteri dalam keadaan ketakutan sekali, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka
terbelalak lebar seperti mata kelinci-kelinci yang mencium bau harimau, mata mereka
memandang ke arah pintu dan muka mereka pucat sekali.
Akan tetapi, agaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dan puteranya sudah merasa puas,
mereka bergandengan tangan dan pergi meninggalkan dusun itu. Tadinya mereka hanya
berjalan dengan langkah perlahan, akan tetapi lambat laun gerakan mereka makin cepat
dan akhimya mereka itu bergerak seperti terbang saja! Setelah lama menanti dan
mengintai sampai berjam-jam dan merasa yakin bahwa siluman-siluman itu sudah tidak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
64 berada di luar dusun, barulah penduduk berani keluar dan berindap-indap berbondong-
bondong karena mereka membutuhkan semua teman untuk memberanikan diri, mereka
keluar dari dusun, Biarpun hati mereka merasa ngeri sekali, terpaksa mereka mengurus
jenazah Akian dan kepala dusun bersama dua orang penduduk yang menjadi korban
mereka, bahkan mereka memberanikan diri untuk mencari ke dalam hutan. Hanya tujuh
orang mereka temukan, dalam keadaan mengerikan. Ada yang mati dalam keadaan
masih memeluk batang pohon, ada yang mencengkeram rumput! Penuh rasa takut dan
ngeri hati penduduk, namun mereka terpaksa mengangkut mayat-mayat itu ke dusun
untuk diurus sebagaimana mestinya. Mayat empat orang lain tidak mereka temukan dan
mereka tidak tahu ke mana perginya empat orang itu. Tentu saja mereka tidak tahu
bahwa empat orang itu pun sudah menjadi mayat dengan tubuh remuk-remuk ketika
mereka terjungkal ke dalam jurang.
Karena mereka tidak dapat menemukan Kun Liong, mereka menjadi curiga dan
menghubung-hubungkan anak itu dengan siluman besar kecil yang mereka lihat di luar
dusun. Timbul dugaan mereka bahwa anak yang tadinya datang sebagai penolong itu
tentulah sebangsa siluman dan kedatangannya itu hanya pancingan belaka sehingga
teman-temannya mendapatkan korban banyak orang! Teringat akan ini, mereka menjadi
penasaran sekali mengapa tidak mereka keroyok dan bunuh saja anak kecil yang datang
secara aneh itu sehingga mereka dapat terbujuk, belasan orang ikut memasuki hutan
menjadi korban.
Kun Liong merintih dan membuka matanya. Melihat daun semak-semak belukar
menyelimuti dirinya, ia teringat dan seketika ia menghentikan rintihannya, menahan
derita yang amat hebat, yaitu rasa gatal-gatal pada kepalanya. Ia bangkit duduk dan
mengintai dari dalam semak-semak, melalui celah-celah antara daun-daun. Tidak
tampak sesuatu. Hari sudah menjelang senja dan suasana di hutan itu sunyi sekali. Kun
Liong melupakan rasa gatal di kepalanya, lalu dengan hati-hati dia bangkit berdiri, keluar
dari semak-semak, dan berindap-indap dia menuju ke tempat yang ditinggalkannya tadi.
Sunyi di situ, dan tidak ada seorangpun, baik yang hidup maupun yang mati.
Semua penduduk dusun yang menjadi korban tadi tidak tampak lagi, dan kakek berjuluk
Ban-tok Coa-ong yang mengerikan tadi pun tidak tampak lagi, demikian pula anak laki-
laki berambut panjang yang melepas jarum.
Jarum! Teringat ini, Kun Liong meraba tengkuknya dan benar saja, di situ masih
menancap sebatang jarum kecil, masuk ke dalam daging tengkuk sampai setengahnya.
Cepat Kun Liong mencabut jarum itu, melihat jarum merah itu maklumlah dia bahwa
jarum itu mengandung racun berbahaya. Dengan jijik dibuangnya jarum itu ke dalam
semak-semak. Ke mana perginya mereka" Rasa heran ini menambah gatal-gatal pada kepalanya dan
Kun Lion tidak dapat nenahan lagi. Dengan kedua tangannya, digaruknya kepala yang
amat gatal itu dan... dia terbelalak setelah mengeluarkan teriakan kaget, memandang
rambut kepalanya yang kini berada di antara sepuluh jari tangannya! Begitu digaruk
kepalanya, semua rambutnya tontok! Dirabanya kepalanya, dan bagian yang ada
rambutnya, begitu dipegang, rambut-rambutnya rontok semua seperti tanaman layu
yang sudah membusuk akamya. Dengan mata masih terbelalak lebar dia mengelus-elus
kepala dengan kedua tangannya. Kepalanya menjadi licin bersih, tidak ada selembar pun
rambut yang masih tumbuh, semua rontok. Dirabanya alisnya. Masih lengkap. Hanya
rambut di kepala saja yang rontok semua.
"Ahhh... tidaaaakkk...!" Kun Liong berseru dan berlari-lari mencari air jernih. Setelah ia
melihat air tergenang di bawah sebatang pohon, sisa air hujan kemarin, cepat dia
berlutut dan melihat bayangannya sendiri. Matanya terpentang lebar dan dua titik air
mata meloncat ke atas pipinya. Kepalanya sudah gundul pelontos! Lebih bersih daripada
kepala seorang hwesio!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
65 "Ahhhh... mengapa...?" Dia meraba-raba kepala dengan tangan kanan, dan mengusap
air mata dengan tangan kiri.
Tentu, saja Kun Liong takkan mengerti karena peristiwa itu terjadi ketika dia masih
pingsan, terjadi di dalam tubuhnya dan yang biarpun membawa akibat lenyapnya semua
rambut kepala, akan tetapi sesungguhnya telah menyelamatkan nyawanya! Di dalam
tubuhnya terdapat semacam racun anti racun ular yang dicampur obat dan semenjak dia


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil, oleh ibunya seringkali diminumkannya. Ketika dia digigit ular sampai di tujuh
tempat, racun ular tidak mampu melawan racun di tubuhnya, dan ular racun ular itu
berkumpul saja di tempat gigitan. Ketika Ouwyang Bouw, putera Bantok Coa-ong,
menyambit tengkuknya dengan jarum merah sehingga racun jarum merah itu memasuki
tubuhnya bertemulah tiga macam racun dan terjadi perang tanding antara tiga macam
racun yang amat hebat. Sudah menjadi kenyataan bahwa betapa pun jahatnya, racun
bertemu racun cepat berubah sifatnya, dapat menjadi obat, dan ketika tiga macam racun
itu bertemu di dalam tubuh Kun Liong berubah menjadi ramuan yang dahsyat, menjadi
semacam obat kuat tiada taranya dan tiada seorang pun manusia yang tahu karena
bertemu secara kebetulan, dengan ukuran yang tepat, atau terlalu keras sedikit sehingga
akibatnya, rambut kepala Kun Liong rontok semua, akan tetapi tubuhnya terbebas sama
sekali dari pengaruh racun, bahkan di luar tahunya, tercipta semacam kekuatan dahsyat
di dalam tubuh anak ini!
Hanya sebentar saja Kun Liong dilanda kekagetan dan penyesalan akan kehilangan
rambut kepalanya. Dia sudah bangkit lagi dan teringat betapa dia telah menimbulkan
malapetaka kepada penduduk dusun, Kun Liong tidak berani kembali ke dusun. Apalagi
rambut kepalanya sudah menjadi habis seperti itu. Dia lalu melarikan diri, meninggalkan
hutan itu dan mengambil jurusan timur, tidak berani ke utara di mana terletak dusun itu.
Dia melarikan diri berlawanan dengan matahari yang sudah condong ke barat.
Sambil berjalan secepat mungkin, pikirannya penuh dengan peristiwa yang. telah
dialaminya. Dia maklum bahwa Ban-tok Coa-ong adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian hebat sekali, jauh lebih lihai daripada kepandaian Loan Khi Tosu, memiliki
watak yang lebih aneh lagi, aneh menyeramkan seperti orang gila! Akan tetapi, kalau dia
teringat akan ucapan kakek itu ketika membandingkan watak ular dan watak manusia,
diam-diam dia menjadi bingung karena mau tidak mau dia harus membenarkan bahwa
watak ular atau binatang apapun juga jauh lebih wajar dan bersih daripada watak
manusia. Bahkan ketika barisan ular itu menyerang penduduk, mereka bergerak bukan
karena memang memusuhi manusia, melainkan karena terpaksa oleh pengaruh bunyi
terompet yang ditiup oleh seorang manusia pula! Bukan ular-ular itulah yang berniat
membunuh manusia, melainkan manusia yang berjuluk Ban-tok Coa-ong itulah. Betapa
kejamnya manusia! Betapa kejinya!
Dan betapa anehnya pengalaman berturut-turut yang menimpa dirinya. Mula-mula
bertemu dengan tosu Pek-lian-kauw, itu sudah hebat. Disusul dengan pengalamannya
dikeroyok penduduk yang hampir merenggut nyawanya ketika dia tanpa sengaja
menimbulkan kebakaran, pengalaman yang lebih hebat lagi di mana hampir dia mati.
Kemudian, dia bertemu dengan Ban-tok Coa-ong dan pengalaman ini benar-benar amat
luar biasa dan dia sendiri tidak tahu mengapa dia masih dapat hidup sampai detik ini,
dan hanya rambut-rambutnya yang rontok.
"Hemm, masih untung!" Kun Liong berkata dan hatinya yang tadi terasa berat karena
memikirkan rambutnya habis, kini menjadi ringan. "Rambut bukan nyawa dan tanpa
rambut aku masih hidup!"
Pengalaman-pengalaman itu mempertebal keyakinannya bahwa manusia menjadi kejam
karena kekuatannya. Makin kuat manusia, makin kejamlah dia, makin sewenang-wenang
karena merasa berkuasa. Kalau begitu, apakah lebih baik menjadi orang lemah dan tidak
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
66 memiliki kepandaian" Orang yang lemah hanya akan menjadi injakan yang kuat. Orang
lemah mengalah karena tidak dapat melawan, dan yang demikian itu bukan mengalah
namanya, melainkan pengecut. Yang kuat kejam, yang lemah pengecut! Pengecut
demikian, kalau diberi kekuatan, diberi kekuasaan, tentu akan berubah menjadi orang
kejam juga. Si kuat kejam dan si lemah pengecut tiada bedanya, keduanya adalah
orang-orang yang belum mengenal dirinya, belum mengenal keadaan sebenarnya.
Biarpun masih kecil, Kun Liong sudah banyak dijejali pelajaran tentang hidup, banyak
sudah membaca filsafat. Akan tetapi, karena dia masih kecil, maka dia belumlah
terpengaruh benar oleh segala macam pelajaran kebatinan itu sehingga dia masih
memiliki kebebasan, sehingga dia tidak menjiplak begitu saja melainkan membuka mata
dan telinganya menghadapi kenyataan-kenyataan hidup yang dialaminya. Pikiran-pikiran
itu tidak membuat dia menjadi bingung dan berat sebelah. Dia melihat kenyataan bahwa
tidak semua orang berkepandaian dan kuat mempunyai watak kejam. Ayahnya dan
ibunya adalah orang-orang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, akan tetapi
mereka tidaklah kejam, apalagi jahat! Dan penduduk dusun itu, terutama Kakek Lo dan
Akian, biarpun mereka itu orang-orang biasa yang tidak memiliki ilmu kepandaian, tidak
memiliki kekuatan, mereka itu tak boleh dikatakan pengecut karena mereka berani
mengikutinya untuk menentang ular besar yang sebenarnya amat mereka takuti karena
sudah banyak menjatuhkan korban. Ternyata bukan kekuatan atau kelemahan yang
menentukan baik buruknya seseorang!
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, Kun Liong tiba di sebuah kampung
nelayan, di tepi Sungai Huang-ho. Semalam dia kurang tidur, biarpun dia tidak
melakukan perjalanan semalam suntuk, namun dia sukar dapat tidur pula karena
gangguan kepalanya yang masih terasa gatal-gatal. Dengan tubuh lelah, mata
mengantuk, dan perut lapar sekali dia memasuki perkampungan nelayan. Dia harus
mencari pengisi perutnya, kalau tidak, dia tidak akan dapat melanjutkan perjalanan. Ke
mana dia akan pergi kelak bukan menjadi persoalan baginya. Ke mana saja, pokoknya
tidak pulang ke Leng-kok. Apalagi setalah kini kepalanya menjadi gundul pelontos
macam ini. Tentu ayahnya akan marah sekali, dan dia merasa malu. Dia ingin
melanjutkan perjalanan, ke mana saja dan dia mulai merasa suka dengan cara hidup
baru ini, sungguhpun dalam perantauan yang belum lama ini dia telah mengalami hal-hal
yang membuat dia nyaris tewas.
Kun Liong mendekati sebuah perahu yang agak besar, melihat tiga orang nelayan sedang
mempersiapkan jala dan alat-alat menangkap ikan lainnya. Melihat seorang anak laki-laki
berkepala gundul pelontos yang sama sekali asing dan tak mereka kenal, tiga orang itu
memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka, yang kumisnya
panjang, berkata dengan nada suara halus,
"Apakah Siauw-suhu (Guru Kecil) membutuhkan sedekah" Kami akan berangkat mencari
ikan. Kalau Siauw-suhu suka mendoakan kami agar hari ini mendapatkan ikan banyak,
aku akan mencarikan makanan untuk sedekah bagi Siauw-suhu."
Kun Liong mengerutkan kedua alisnya. Hatinya terasa panas sekali. Dia disangka
seorang hwesio kecil yang minta sedekah tunjangan makanan! Akan tetapi karena dia
menganggap orang itu tidak berniat jahat, dan hanya berbuat karena kebodohannya, dia
menjawab, suaranya tenang,
"Lopek (Paman Tua) telah membuat dua kesalahan dengan ucapan Lopek tadi."
Melihat sikap yang tenang, kalimat yang teratur tidak seperti cara berbicara anak dusun,
tiga orang nelayan itu makin tertarik dan makin keras dugaan mereka bahwa anak ini
tentulah seorang pendeta kecil yang merantau. Akan tetapi, laki-laki setengah tua yang
panjang kumis tadi, menjadi terheran dan bertanya,
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
67 "Dua kesalahan" Apa yang telah kulakukan?"
"Pertama, Lopek salah duga. Aku bukan seorang pendeta kecil dan tidak minta sedekah,
tidak minta-minta walaupun saat ini perutku lapar sekali. Kesalahan Lopek yang ke dua
lebih hebat lagi. Lopek suka memberi sedekah akan tetapi ditukar dengan doa agar
mendapatkan banyak ikan, itu bukan sedekah namanya, melainkan jual beli
mengharapkan keuntungan!"
Tiga orang nelayan itu terbelalak dan saling pandang dengan heran. Biarpun anak
berkepala gundul polontos itu menyangkal dirinya seorang pendeta kecil, akan tetapi
cara dia bercakap sungguh tidak seperti anak-anak dusun biasa! Si Kumis Panjang
merasa terpukul dan malu karena dia seolah-olah mendapat teguran dari seorang anak
kecil, maka dia berkata agak kasar,
"Kalau kau bukan hwesio kecil, engkau mau apa mendekati kami, bocah asing?"
"Aku ingin menawarkan tenagaku untuk bekerja membantu kalian."
"Apa" Engkau minta pekerjaan kepada kami?" Tiga orang itu kembali saling pandang dan
tersenyum lebar.
"Mengapa tidak?" Kun Liong berkata ketika melihat tiga orang itu agaknya
mentertawakannya. "Aku lapar, sejak kemarin belum makan. Aku perlu mendapatkan
makan, maka aku mau bekerja, sekedar mendapatkan makan."
"Soal makanan adalah urusan kecil, akan tetapi pekerjaan kami bukanlah pekerjaan
ringan, dan seorang bocah halus macam engkau ini..."
"Aku tidak takut akan pekerjaan berat. Harap Lopek suka menerimaku, Lopek takkan
menyesal karena aku tidak mau menerima makanan cuma-cuma, ingin kutukar dengan
bantuan tenagaku!"
MEMANG biasanya para nelayan itu membutuhkan bantuan kanak-kanak, pembantu
yang tenaganya murah dan pekerjaannya hanya untuk membantu dan melayani mereka
di waktu mereka sibuk menjala atau mengail ikan. Pekerjaan yang sebetulnya tidak berat
benar, memasak air, menanak nasi untuk mereka, membantu dengan pembetulan jala
jika ada yang robek, memasang umpan kail, mengumpulkan ikan dan di waktu mereka
sibuk bekerja, menguasai perahu agar jangan terbawa ombak sungai. Biarpun pekerjaan
itu tidak berat bagi anak-anak nelayan, akan tetapi seorang anak yang belum pernah
mengerjakannya akan merasa berat sekali, apalagi kalau dibuat mabok oleh air sungai
yang kadang-kadang besar juga ombaknya.
"Bagaimana, akan kita ajakkah dia?" Seorang di antara mereka bertanya kepada dua
orang temannya.
"Hemmm, boleh kita coba saja," kata Si Kumis Panjang yang kemudian menoleh dan
berkata kepada Kun Liong sambil tertawa, "Akan tetapi, kalau engkau nanti mabok dan
tidak bisa bekerja, kami tidak akan memberi apa-apa kepadamu."
"Tentu saja!" Kun Liong menjawab gagah. "Aku pun akan merasa malu untuk menerima
makanan kalau aku tidak mampu bekerja!"
"Kalau begitu mari bantu kami!"
Kun Liong cepat naik ke atas perahu dan mulai melakukan pekerjaan seperti yang
diperintahkan oleh tiga orang itu. Tubuhnya lemas, perutnya lapar sekali, akan tetapi dia
merasa betapa tenaganya menjadi besar dan semua pekerjaan dapat dia lakukan dengan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
68 amat mudah. Tiga orang itu kembali saling pandang dan menjadi girang. Temyata bocah
gundul itu tidak membual dan benar-benar suka dan rajin bekerja!
Setelah mereka siap, perahu didayung ke tengah, kemudian layar dikembangkan. Perahu
nelayan itu meluncur ke tengah sungai yang amat lebar, meluncur cepat karena didorong
oleh angin, mendahului air sungai yang mengalir. Si Kumis Panjang sambil tersenyum
memberi roti kering dan air kepada Kun Liong. Anak yang kadang-kadang timbul
keangkuhan dari kekerasan hatinya itu, menolak.
"Biarpun pekerajaanmu belum selesai karena kita belum kembali ke pantai, akan tetapi
engkau tadi sudah membantu kami. Makanlah, anggap saja roti dan air ini upah
bantuanmu tadi. Engkau kelihatan pucat, dan karena kita menghadapi pekerjaan berat
sampai malam nanti, perutmu harus diisi lebih dulu." Ucapan ini membuat hati Kun Liong
terasa ringan dan makanlah dia. Bukan main sedapnya roti itu. Bukan main segarnya air
jernih dingin itu. Rasanya belum pernah dia makan roti seenak itu, atau air sesegar itu
dan dia tahu bahwa bukan roti atau airnya yang mendatangkan rasa sedap, melainkan
lapar dan hausnya!
Pendapat Kun Liong memang ada betulnya, akan tetapi tidak mutlak. Hidup akan selalu
terasa bahagia dan nikmat apabila kita dapat menerima dan menghadapi segala sesuatu
sebagaimana adanya, hidup dalam tiap detik yang dilaluinya, tidak terapung dalam
keriangan masa lalu atau tenggelam dalam harapan masa datang. Hidup adalah saat ini,
sekarang ini, bukan kemarin dan bukan esok. Pikiran selalu mempermainkan kita,
membentuk kenangan-kenangan masa lalu dengan segala suka-dukanya, membuat kita
selalu mengejar kenangan, suka dan menjauhi kenangan duka, menciptakan corak dan
bentuk hidup sekarang dan yang akan datang sehingga kita dibuatnya hidup seperti
dalam kurungan yang dibuat oleh pikiran kita sendiri. Hidup seperti itu membuat segala
langkah kita tidak wajar lagi, melainkan langkah-langkah kita sudah ditentukan dan
diatur berdasarkan pengalaman lalu, berdasarkan pengetahuan dan kepercayaan yang
sudah terbentuk dalam pikiran kita. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan kita bebas,
tidak memungkinkan kita mempergunakan mata dan telinga seperti sewajarnya. Apa
yang terpandang, apa yang terdengar, ditutup oleh pendapat dan prasangka, oleh
penilaian yang kesemuanya adalah pekerjaan pikiran, sehingga mata dan telinga kita
tidak dapat melihat atau mendengar keadaan sebenamya dari yang dipandang dan
didengar! Kalau kita memandang sesuatu, yang kita pandang sesungguhnya bukanlah itu
atau dia, melainkan itu atau dia seperti yang terbayang dalam ingatan kita!
Demikian pula dengan makanan. Kalau kita menghadapi sesuatu, dalam hal makanan
seperti pada saat itu, tanpa campur tangan si pikiran yang selalu dapat saja menciptakan
kenang-kenangan akan makanan yang lezat-lezat, maka tidak ada lagi penilaian apakah
makanan yang kita hadapi itu mahal atau murah, berharga atau tidak, dan tanpa adanya
gangguan pikiran ini, semua makanan, apapun juga macamnya, asal itu memenuhi
syarat sebagai makanan pengusir lapar dan penguat tubuh, akan terasa enak!
Karena itulah, pendapat Kun Liong bahwa yang membuat makanan terasa enak adalah
lapar, hanya benar sebagian saja, karena betapapun laparnya, kalau dia makan dengan
pikiran mengenangkan hal-hal lain, seperti mengenangkan masakan lezat, memikirkan
dan mengenangkan kedukaan dan lain-lain, belum tentu roti sederhana dan air biasa itu
akan terasa enak seperti yang dirasakannya pada saat itu!
Ternyata kemudian oleh Kun Liong betapa pekerjaan di atas perahu yang kelihatan
ringan itu terasa amat berat olehnya, karena tidak biasa! Agak pening juga kepalanya
ketika perahu itu dipermainkan ombak sungai yang cukup besar sehingga teroleng ke
kanan kiri. Akan tetapi, dengan tekad teguh Kun Liong bekerja dengan penuh semangat,
sedikitpun tidak pernah mengeluh sehingga memuaskan hati tiga orang nelayan itu. Yang
lebih menggirangkan hati para nelayan itu adalah baru hari itu mereka mengalami nasib
yang demikian baiknya sehingga sebelum tengah malam, perahu mereka telah penuh
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
69 dengan hasil pekerjaan mereka, ikan-ikan yang besar dan dari mutu terbaik! Tentu saja
sebagai orang orang yang sudah menebal kepercayaannya akan tahyul, kemujuran ini
mereka hubungkan dengan kehadiran Kun Liong, yang biarpun temyata bukan pendeta,
namun memiliki "hok-gi" (kemujuran) besar dan di samping itu, juga amat rajin bekerja,
terlalu rajin dan terlalu aneh bagi seorang pendatang baru!
Biasanya, sampai semalam suntuk mereka mencari ikan, dan kalau selama sehari
semalam itu mereka mendapatkan ikan sebanyak setengah perahu saja mereka sudah
merasa beruntung. Sekarang, belum lewat tengah malam, mereka telah kembali ke
pantai dengan perahu penuh ikan terbaik! Dengan sikap manis mereka lalu mengajak
Kun Liong bermalam di rumah mereka, memberinya makan sekenyangnya, bahkan Si
Kumis Panjang membelikan setelan pakaian baru untuknya. Di samping ini, pada
keesokan harinya ketika mereka menjual hasil mereka semalam ke pasar, mereka
menceritakan dengan panambahan bumbu-bumbu tahyul, bahwa mereka telah
kedatangan seorang bintang penolong, seorang pembawa rezeki, seorang "anak ajaib"!
Cerita ini cepat tersiar dan sebentar saja nama Kun Liong sebagai "anak ajaib" dikenal
orang sedusun! Segala bentuk penonjolan yang biasa disebut hasil atau kemajuan pribadi seseorang,
selalu menimbulkan persoalan-persoalan
yang lebih meyusahkan daripada menyenangkan. Orang yang berhasil memperoleh sesuatu yang dicita-citakan, biasanya
hasil itu tidaklah senikmat ketika dibayangkannya dan ketika belum tercapai tangan,
sedangkan hasil atau kemajuan itu yang sudah jelas menimbulkan iri kepada orang lain
sehingga terciptalah pertentangan dan permusuhan! Karena itu, segala bentuk cita-cita,
sesungguhnya hanyalah lamunan orang yang tidak mau menghadapi keadaan sekarang,
orang yang ingin lari dari kenyataan saat ini dan bersembunyi di balik lamunan yang
dibentuk oleh pikiran, membangun istana awang-awang yang disebutnya cita-cita!
Karena cita-cita ini hanya merupakan istana asap di awang-awang, maka apabila sudah
tercapai, akan membuyar dan mengecewakan sehingga memaksa si orang yang selalu
merasa enggan melihat dan menghadapi kenyataan "saat ini" untuk melamun lagi,
dipermainkan pikiran yang pandai sekali mengkhayalkan bayangan-bayangan indah
masa depan. Karena itu, berbahagialah orang yang selalu sadar dan dengan penuh kewaspadaan
menghadapi "saat ini" dengan pikiran bebas dari segala ingatan masa lalu harapan masa
depan dan menghadapi segala apa yang ada saat ini sebagaimana adanya, dengan
kewajaran yang tidak dibuat-buat atau dipaksakan, tanpa rencana dan tanpa pendapat,
tanpa penilaian, sehingga apa pun yang dihadapinya merupakan sebuah pengalaman
yang baru! Sudah tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal mengenai urusan batin,
bukan hal-hal lahir seperti pekerjaan dan lain-lain yang sudah semestinya dipergunakan
akal budi dan pikiran supaya dapat dikerjakan dengan baik dan lancar. Akan tetapi
mengenai hubungan antara manusia yang menyangkut rasa dan batin, jika tidak kosong
bebas, maka hubungan itu sudah tentu menimbulkan pertentangan karena di sebelah
dalam kita sudah terjadi pertentangan yang ditimbulkan oleh pikiran. Melihat dan
mendengar sesuatu dengan pikiran bebas dari segala ikatan, penilaian, pendapat,
mengawasi dengan penuh kewaspadaan terhadap sesuatu di saat ini dan terhadap
tanggapan kita sendiri akan sesuatu itu, dengan demikian kita belajar mengenal diri
sendiri. Mengenal diri sendiri adalah langkah pertama ke arah kebijaksanaan.
Kun Liong seolah-olah dijadikan rebutan di antara para nelayan, setelah tersiar dongeng
tentang dirinya yang penuh keanehan, dibujuk dan ditawari upah tinggi dan hadiah-
hadiah berharga. Namun, semua itu ditolak oleh Kun Liong yang sebetulnya sama sekali
tidak berniat menjadi nelayan dan tidak ingin bekerja di tempat itu untuk selamanya.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau dia membantu tiga orang nelayan yang dipimpin oleh Si Kumis Panjang itu karena
pada waktu itu dia membutuhkan makan dan ingin menukar makanan dengan tenaga
bantuannya. Bahkan setelah membantu selama tiga hari, dia sudah mulai merasa bosan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
70 dan ingin pergi melanjutkan perjalanan dan perantauannya yang tidak bertujuan dan
tidak mempunyai arah tertentu.
Pada pagi hari ke empat, selagi Kun Liong duduk di dekat sebuah perahu kecil di tepi
pantai dan melamun, berpikir hari itu hendak pergi dan berpamit dari tiga nelayan, tiba-
tiba tujuh orang yang berusia belasan tahun menghampirinya dan mengurungnya. Sikap
mereka mengancam, dan di antara mereka ada yang membawa kayu dan bambu.
Mereka dipimpin oleh seorang anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun
yang dahinya codet bekas luka terjatuh ketika masih kecil. Anak codet ini pun membawa
sebatang kayu dan sambil bertolak pinggang dia berdiri di depan Kun Liong yang masih
tenang duduk di atas pasir dekat perahu.
"Heii, bocah gundul!" seorang anak berteriak mengejek.
"Aahh, dia bukah bocah, dia anak siluman! Kalau manusia tidak mungkin kepalanya
gundul pelontos padahal bukan hwesio!"
"Lihat, kepalanya licin sekali, lalat-lalat pun terpeleset kalau hinggap di atasnya!"
"Kalau bukan anak siluman, tentu dia anak ikan! Lihat, kepalanya tidak berambut
sedikitpun juga, seperti kepala ikan!"
"Heiii, gundul pacul buruk menjijikkan!"
"Gundul sombong..."
Mula-mula Kun Liong hanya memandang heran dan menganggap bahwa mereka
hanyalah anak nakal yang hendak menggodanya karena dia asing dan bukan teman
mereka. Maka dia diam saja, bahkan tersenyum dan berkata,
"Aihhh, kenapa kalian begini" Aku seorang anak biasa seperti kalian, rambut kepalaku
habis karena keracunan."
Si Codet melangkah maju. "Gundul menyebalkan! Sekarang juga engkau harus minggat
dari dusun kami, engkau hanya mendatangkan kesialan bagi kami!"
"Ahhh, apa maksudmu?" Kun Liong memang sudah mengambil keputusan untuk pergi
meninggalkan tempat itu, akan tetapi kalau disuruh pergi, dengan diusir macam ini,
kehormatannya tersinggung dan menjadi marah.
"Maksudku, gundul buruk. Kalau engkau tidak lekas pergi dari sini, kami akan
menghajarmu sampai engkau melolong-lolong minta ampun, baru kami lepaskan!" Kata
pula Si Codet dan teman-temannya sudah siap, mengepal tinju dan kayu dan bambu
erat-erat. Kun Liong bangkit berdiri. Dengan marah dia membusungkan dada, mengangkat kaki
kanan ke atas dayung perahu yang disandarkan di situ, kemudian menudingkan
telunjuknya kepada mereka. "Hemmm, kalian ini anak-anak malas tak tahu diri! Aku
mengerti mengapa kalian bersikap seperti ini kepadaku. Aku sudah mendengar bahwa
kalian merasa iri hati kepadaku. Kalian melihat para nelayan suka akan tenaga
bantuanku, dan kalian merasa dikesampingkan. Kalian iri melihat keunggulanku, dan itu
menandakan bahwa kalian adalah anak-anak bodoh dan malas!"
"Gundul sombong!" Si Codet sudah menerjang maju dan menghantamkan kayu
pemukulnya ke arah kepala Kun Liong. Akan tetapi dengan gerakan cepat Kun Liong
dapat mengelak dan berusaha merampas alat pemukul itu. Akan tetapi, anak-anak yang
lain bergerak maju menyerang dan mengeroyoknya.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
71 Tentu saja anak-anak itu bukanlah lawan Kun Liong yang sejak kecil sudah belajar ilmu
silat dan kalau dia menghendaki, dengan melakukan pemukulan-pemukulan pada bagian
tubuh yang berbahaya, tentu dia akan dapat merobohkan mereka. Akan tetapi justru dia
tidak menghendaki demikian karena sekecil itu, Kun Liong sudah mempunyai pengertian
yang mendalam dan dia tahu bahwa keadaan anak-anak yang iri hati ini dapat
dimengerti dan dimaafkan, maka dia hanya mengelak ke sana-sini sambil menangkis dan
berteriak-teriak menyuruh mereka berhenti.
Melihat betapa dikeroyok tujuh orang, Kun Liong dapat mengelakkan semua pukulan dan
setiap kali menangkis, anak yang memukul merasa lengannya nyeri ketika beradu
dengan lengan Kun Liong yang menangkisnya, tujuh orang anak yang mengeroyok itu
menjadi makin penasaran dan mereka menyerang lebih ganas lagi, terdorong oleh
kemarahan mereka.
Karena Kun Liong hanya mengelak dan menangkis, pula biarpun dia telah bertahun-
tahun dilatih ilmu silat oleh ayah bundanya akan tetapi sama sekali belum ada
pengalaman bertempur, pengeroyokan ini merupakan yang ke dua setelah yang pertama
kalinya dia dikeroyok penduduk, Kun Liong terkena juga dan terdengar suara bak-bik-
buk ketika kepalan dan kayu pemukul jatuh ke atas tubuhnya! Hal ini membuat dia
marah sekali, terutama kepada anak codet yang pukulan kayunya paling keras dan
ketika mengenai kepalanya yang gundul, terasa nyeri. Dia hanya merasa heran mengapa
tubuhnya yang dihujani pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit. Dia tidak tahu bahwa
kekuatan mujijat yang ditimbulkan oleh bercampumya tiga macam racun telah
melindunginya dan membuat tubuhnya kebal, kecuali kepalanya yang gundul!
Ketika Si Codet menerjang lagi, mengayun kayu pemukul dengan kuat-kuat ke arah
kepalanya, Kun Liong miringkan tubuh sehingga kayu itu melayang lewat. Cepat dia
menghantam leher anak codet itu dengan tangan miring.
"Kekkk!" Anak codet itu melepaskan kayu pemukulnya dan terguling roboh tanpa
bersuara. "Dia membunuhnya!!"
"Pembunuh"!!"
Enam orang anak yang melihat Codet rebah dengan mata terpejam dan muka pucat,
mengira bahwa anak itu mati. Kun Liong terkejut bukan main karena dia pun
terpengaruh oleh teriakan-teriakan mereka, mengira bahwa anak yang dipukulnya tadi
tewas. Padahal dia hanya mempergunakan sedikit tenaga saja dan sebetulnya anak itu
hanya pingsan. Karena mengira anak itu tewas rasa takut menyelinap di hati Kun Liong.
Dia harus melarikan diri! Kalau para nelayan tahu bahwa dia membunuh tentu dia akan
ditangkap, mungkin mereka pun akan membunuhnya. Dan ia melihat beberapa orang
nelayan telah lari mendatangi melihat perkelahian itu. Tanpa pikir paniang lagi karena
takut dikeroyok nelayan sekampung, Kun Liong lalu melompat ke dalam sebuah perahu
kecil, mendayung perahu ke tengah sungai.
"Heiii! Dia melarikan perahu...!"
"Kejar...!!"
Kun Liong tidak berani menoleh, terus mendayung perahunya sekuat tenaga. Dalam
keadaan panik itu tidak merasa betapa tenaga dayungannya luar biara sekali. Perahu
meluncur cepat seperti didayung oleh belasan orang dewasa sehingga mengherankan
hati pengejarnya. Juga Kun Liong tidak sadar betapa mereka itu berteriak-teriak
menyuruhnya berhenti dan dia diteriaki melarikan perahu, sama sekali bukan diteriaki
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
72 sebagai pembunuh! Memang para nelayan itu mengejarnya karena dia melarikan perahu,
dan Si Codet itu sudah tadi-tadi sadar kembali. Karena tenaga mujijat di tubuhnya
bekerja, perahu yang didayung oleh Kun Liong cepat bukan main, membuat para
pengejar, nelayan-nelayan yang sudah kawakan dam berpengalaman itu, tertinggal dan
mereka berteriak-teriak saking herannya.
Ketika tiba di sebuah simpangan, di mana air sungai itu terpecah ke dua Kun Liong terus
meluncurkan perahunya ke bagian sungai yang meyimpang ke utara, bukan ke bagian
yang terus mengalir lurus ke timur.
"Haiii... jangan masuk ke sana"!"
Dia mendengar teriakan pengejar-pengejarnya, akan tetapi tentu saja dia tidak peduli,
bahkan mendayung makin cepat. Sungai yang menyimpang ke utara itu merupakan
daerah berbahaya dan tidak ada nelayan yang berani memasukinya. Bukan hanya
berbahaya karena dalam musim hujan seperti itu, sungai liar ini dapat secara tiba-tiba
membanjir, yaitu kemasukan air berlebihan dari sungai-sungai kecil, akan tetapi juga
banyak bagian yang agak dangkal sedangkan di bawah permukaan airnya banyak
terdapat batu karang. Selain ini, di dalam hutan di kanan kiri sungai ini terkenal sebagai
sarang orang-orang jahat! Bukan hanya karena sungai yang berbahaya itu saja, akan
tetapi melihat betapa Kun Liong dapat mendayung perahu dengan kecepatan yang tidak
lumrah, dan betapa anak itu berani memasuki daerah berbahaya ini, timbul pula
kepercayaan tahyul di dalam hati para nelayan. Tentu anak itu bukan anak biasa, pikir
mereka dan mereka pun merelakan perahu yang dilarikan, sambil ramai
mempercakapkan anak yang menghilang itu mereka kembali ke dusun, membawa bahan
dongeng yang lebih aneh dan menyeramkan lagi tentang si "bocah ajaib" gundul itu!
Sungai yang dilalui Kun Liong itu merupakan cabang Sungai Huang-ho. Sungai Huang-ho
bercabang dua di bagian itu, akan tetapi cabangnya ini, setelah menampung banyak air
yang dimuntahkan oleh sungai-sungai kecil dari kanan kiri, akhimya dari utara membelok
ke timur dan ke selatan untuk kemudian kembali ke induknya, yaitu Sungai Huang-ho,
sungai yang paling besar di Tiongkok. Sebelum kembali ke induknya, sungai ini
merupakan sungai yang amat berbahaya dan karena merupakan sungai liar yang tercipta
ketika Huang-ho banjir dahulu, maka seringkali sungai ini meluap ketika menerima air
dari sungai-sungai kecil itu. Hampir setiap musim hujan, sungai ini pasti meluap dan di
bagian-bagian tertentu, air mengalir deras bukan main, merupakan daerah yang amat
berbahaya bagi perahu-perahu sehingga sungai ini boleh dikata dijauhi para nelayan dan
tidak pernah dilewati. Lebih aman melalui sungai induk terus ke timur daripada melalui
sungai cabang yang keluar masuk hutan liar ini.
Akan tetapi Kun Liong yang tidak mengenal sungai itu, merasa lega ketika melihat bahwa
dia-tidak dikejar lagi. Dia merasa bersalah karena telah melarikan perahu. Dia telah
mencuri! Akan tetapi bukan mencuri karena dia menginginkan perahu itu, melainkan
karena terpaksa untuk melarikan diri! Alasan ini sudah membuat dia dapat memaafkan
perbuatannya mencuri perahu!
Demikianlah yang dilakukan oleh kita, manusia! Kita selalu mencari sebab dan alasan
untuk menghibur diri di waktu kita merasa telah melakukan sesuatu yang kita anggap
salah. Mencari sebab-sebab yang kalau perlu dipaksakan, untuk menutupi kesalahan
kita, bahkan untuk menyulap kesalahan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak salah
lagi! Ada saja alasannya untuk menutupi sesuatu yang hitam pada diri kita, dengan
warna putih. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menghadapi kenyataan, tidak mau
mengenal diri pribadi, tidak mau mengakui betapa segala kotoran berada dalam diri kita
sehingga kita dapat membuang semua kotoran itu. Tidak, kita bukan melakukan hal itu,
sebaliknya kita menutupi kotoran itu dengan segala akal kita. Tentu saja, dengan
demikian, segala macam kotoran masih tertimbun dalam diri kita, biarpun kotoran itu
tidak tampak, ditutupi oleh segala macam akal yang membuat kita kelihatan bersih!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
73 Kebersihan tidak tercapai dengan menutupi kekotoran, dan kotoran diri sendiri hanya
dapat dilenyapkan setelah kita melihatnya dengan mata terbuka dan dengan bebas,
karena tanpa kebebasan tak mungkin kita dapat melihat kenyataan dalam diri kita
sendiri, tak mungkin kita dapat mengenal diri sendiri.
Mula-mula senang juga hati Kun Liong ketika mendayung perahu kecil itu yang meluncur
cepat. Dengan wajah berseri-seri dan mata bersinar-sinar, dia memandang ke kanan kiri,
melihat pohon-pohon hutan di kedua tepi sungai. Memang kalau mata memandang
dengan penuh kewaspadaan tanpa gangguan pikiran, semua tampak sempurna! Air yang
bergelombang, di depan perahu diterjang ujung perahu, di dekat tepi beriak
menghantam batu-batu, tebing di kedua pinggir kelihatan coklat, kadang-kadang tampak
akar-akar pohon seperti ular di antara rumput-rumput dan semak-semak yang tumbuh
dengan liar di tebing. Seekor bangkai ayam hutan hanyut perlahan di pinggir, dirubung
lalat yang mengeluarkan suara mengiang, kadang-kadang lalat-lalat itu beterbangan
panik kalau bangkai itu bergerak tiba-tiba ke bawah karena digigit dan ditarik ikan dari
bawah. Bau bangkai ayam yang membusuk itu tidak berapa keras di tempat terbuka
seperti ini, menipis dan buyar tertiup angin. Pohon besar yang banyak tumbuh di hutan
sealah-olah menjadi penjaga-penjaga hutan, melindungi pohon-pohon dan kembang-
kembang kecil di bawahnya, memberi tempat berteduh kepada burung-burung dan
tupai-tupai yang berloncatan dari dahan ke dahan. Kalau ada angin yang agak besar
lewat, daun-daun kuning yang rontok melayang-layang turun, menari-nari ke kanan kiri
dan bermalas-malasan, agaknya segan meninggalkan tempatnya yang tinggi, akan tetapi
akhimya tiba juga ke atas tanah, diam, mati dan kaku, akhimya mengering dan hancur
menjadi pupuk yang mendatangkan kesuburan bagi pohon itu sendiri.
Terapung di atas perahunya seorang diri, di tempat sunyi dan indah itu, merasa bebas
lepas seperti burung-burung yang terbang di permukaan sungai, menyambar ikan-ikan
kecil yang berenang di permukaan air, ingin Kun Liong bemyanyi!
Akan tetapi, gelombang air mulai membesar dan air mengalir makin cepat dan kuat ke
depan. Karena perahunya oleng ke kanan kiri Kun Liong tidak lagi menggunakan dayung
untuk melajukan perahunya, melainkan menggunakannya untuk menahan agar perahu
tidak terguling, dengan menekan ke kanan kiri.
Ketika Kun Liong melihat ke depan, Matanya terbelalak dan mukanya menjadi agak
pucat. Dia melihat betapa sungai memuntahkan aimya dari arah kiri, membanjir dan air
yang masuk ke sungai itu berwama coklat kemerahan, amat keruh. Dia harus membawa
perahunya ke pinggir. Namun terlambat. Arus sudah demikian kuatnya sehingga betapa
pun dia mendayung perahunya agar minggir, perahu itu masih terseret ke delam dan
akhirnya disambar oleh air bah ketika tiba di tempat pertemuan antara anak sungai dan
sungai itu. Kun Liong berusaha mengatur keseimbangan perahunya, namun tenaga air
yang menyeret perahunya terlalu besar, gelombang terlalu hebat dan dia berteriak keras
ketika perahunya terguling dan dia sendiri terlempar ke dalam air!
Kun Liong gelagapan, cepat dia menahan napas dan menggerakkan kakinya. Tubuhnya
timbul ke permukaan air, melihat perahunya tadi telah pecah, agaknya terbanting pada
batu karang. Melihat sepotong papan pecahan perahu di dekatnya, Kun Liong segera
menyambarnya dan berpegang erat-erat pada papan itu. Arus air bukan main derasnya,
dan gelombang amat besar sehingga dia tidak dapat berdaya apa-apa kecuali
bergantung pada papan yang membawanya hanyut cepat sekali.
Entah berapa lamanya dia hanyut itu, dia sendiri tidak ingat lagi. Akan tetapi setelah hari
hampir senja, air sungai tidak sehebat tadi gelombangnya, sungguhpun arusnya masih
kuat. Sudah hampir sehari dia hanyut! Kun Liong berusaha untuk berenang ke pinggir
sambil berpegang pada papan itu. Namun usahanya gagal. Arus masih terlalu kuat,
apalagi dibebani papan itu, tak mungkin dia dapat melawan arus berenang ke pinggir.
Untung sedikit banyak dia dapat berenang, kalau tidak, tentu dia akan celaka!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
74 Setelah tiba di bagian yang airnya tidak bergelombang lagi, hanya arusnya masih agak
kuat, Kun Liong mencari akal. Dia melepaskan papan yang dianggapnya telah
menyelamatkan nyawanya tadi, kemudian menyelam. Niatnya hendak berenang ke
pinggir sambil menyelam, tentu di bawah arus tidak sekuat di permukaan.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia sudah menyelam sampai
ke dasar sungai, arus di bawah makin kuat! Dia terseret dan melihat benda putih di
dekat kakinya, disangkanya batu karang maka cepat dia menangkap benda yang putih
itu dan berpegang kuat-kuat. Akan tetapi, "batu karang" itu jebol dan dia terbawa
hanyut. Dalam kepanikannya, dia masih merangkul batu itu sambil menendang-
nendangkan kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul lagi dan timbul di permukaan air.
Dia gelagapan dan menyemburkan air dari mulut. Banyak juga air terminum olehnya
tadi. Kalau tidak tertolong, dia tentu tewas sekarang, pikirnya.
"Tolooonggg...!" Tanpa disadarinya lagi, dia berteriak dengan sekuat tenaga, kemudian
menggerakkan kaki tangan agar tidak tenggelam, terpaksa membiarkan tubuhnya
terseret dan hanyut. Masih tak disadarinya bahwa lengan kirinya tetap saja memeluk
"batu karang" putih tadi!
Dia hanyut memperhatikan ke sekeliling dan alangkah girangnya ketika tiba-tiba tampak
sebuah perahu tak jauh dari situ.
"Pegang tali ini...!!" Dia mendengar orang berteriak dan melihat seorang laki-laki tua
melempar tali sambil berdiri membungkuk di pinggir perahu. Seorang anak perempuan
dengan mata terbelalak memandang dan agaknya anak itu khawatir sekali, dia
berpegang pada ujung baju di belakang tubuh kakek tua, telunjuknya menuding ke arah
Kun Liong yang sudah berhasil menyambar dan memegang tali dengan tangan
kanannya. Kakek itu memandang Kun Liong yang berpegang pada tali dengan muka penuh
keheranan, apalagi ketika dia melihat benda yang berada dalam pelukan lengan kiri anak
itu. "Heiiii! Engkau ini bocah luar biasa sekali! Bagaimana engkau bisa berada di tengah
sungai dan apa yang kaubawa itu?"
Hati Kun Liong mendongkol. Kakek yang luar biasa masih mengatakan dia yang luar
biasa. Masa menolong orang, belum juga orangnya naik sudah menghujaninya dengan
pertanyaan-pertanyaan. Dan dia baru teringat bahwa batu dari dasar sungai tadi masih
dipeluknya! "Naikkan aku dulu, baru kita bicara!" katanya marah. "Dan batu ini..." Tiba-tiba dia
terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya karena ketika dia melirik ke arah batu
yang sudah hampir dilemparkannya itu, dia mendapat kenyataan bahwa batu itu sama
sekali bukan batu, melainkan sebuah benda yang aneh, agaknya sebuah bokor atau
tempat abu, terbuat dari benda mengkilap kuning dan dihias batu-batu putih yang
berkilauan! "Kakek yang baik, tolong naikkan aku dulu!" kembali dia berkata dan tiba-tiba tubuhnya
melayang ke atas dan sebuah tangan yang kuat menyambutnya dari udara dan dia
diturunkan dengan tenang oleh kakek itu. Kiranya kakek itu bukan orang sembarangan!
Dia tidak ditarik naik seperti biasa, melainkan dilontarkan ke atas dengan renggutan kuat
sekali sehingga tubuhnya terlempar ke atas.
Mereka saling pandang penuh perhatian. Bagi Kun Liong, tidak ada apa-apa yang aneh
pada diri kakek itu dan anak perempuan yang berdiri dengan matanya yang terbelalak


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
75 itu. Seorang kakek yang usianya tentu ada enam puluh tahun, tubuhnya tinggi tegap dan
nampaknya kuat. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan membayangkan kemiskinan,
seperti pakaian nelayan-nelayan miskin, tidak bersepatu pula! Rambutnya sudah banyak
putihnya, disatukan menjadi gelung kecil di atas kepala, jenggot dan kumisnya juga
kelabu dan pendek, tidak terpelihara. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini, dan caranya
menaikkan Kun Liong ke perahu, jelas membuktikan bahwa kakek ini bukan seorang
nelayan biasa. Adapun anak perempuan itu manis sekali, rambutnya hitam dan gemuk
panjang, dikepang dua, akan tetapi angin membuat rambutnya awut-awutan menambah
manis. Pakaiannya juga sederhana dan kakinya tidak bersepatu.
Kakek itu menggeleng-geleng kepala, seolah-olah masih tidak mau percaya dengan
pandang matanya sendiri. "Heran... ajaib... engkau siapakah, Nak?"
"Namaku Yap Kun Liong, tadinya aku berperahu, perahuku pecah dan aku terguling ke
dalam air, hanyut sampai hampir satu hari lamanya. Untung di sini engkau dapat
menyelamatkan aku, Kek. Siapakah engkau dan mengapa tidak takut berperahu di
tempat berbahaya ini?"
"Aku Kakek Yo, orang menyebutku Yo-lokui (Setan Tua Yo) dan ini cucuku bernama Yo Bi
Kiok." "Kun Liong, Kong-kong (Kakek) memang tinggal di daerah ini dan sudah biasa
berperahu, tidak aneh kalau kami berperahu di sini. Akan tetapi engkau, seorang diri
berperahu di tempat ini yang ditakuti orang, kau hanyut sehari masih hidup dan
membawa benda itu, benar-benar engkau seorang yang aneh sekali!"
"Bokor itu... dari mana engkau mendapatkannya?" Kakek itu bertanya sambil
memandang kagum. Sekilas pandang saja ia tahu bahwa benda itu terbuat dari emas
murni dan hiasannya adalah batu-batu kemala putih yang amat berharga!
"Ah, ini" Aku menyelam untuk membebaskan diri dari gelombang dan arus, malah
terseret arus di bawah yang amat kuat. Aku berpegang pada batu karang dan temyata
batu itu adalah benda inilah. Aku sendiri tidak tahu benda apa ini, akan tetapi sungguh
indah..." "Coba aku melihat sebentar," kakek itu berkata.
Kun Liong menyerahkan benda itu dan selagi Yo-lokui memeriksa bokor itu, Kun Liong
duduk di atas papan berhadapan dengan Bi Kiok, menatap wajah anak perempuan itu
yang memandangnya dengan mata lebar dan jeli bersinar-sinar dan bibir anak itu
tersenyum. "Bi Kiok, engkau manis sekali!" Kun Liong berkata dengan tulus.
Sepasang mata itu makin melebar, senyumnya makin manis dan Bi Kiok menjawab, "Kun
Liong engkau... lucu sekali!"
Agak tersinggung hati Kun Liong. Dia dianggap apakah" Masa dikatakan lucu" Akan
tetapi dia melanjutkan, "Engkau memang manis, terutama sekali rambutmu dan
matamu." "Dan engkau memang amat lucu, terutama sekali kepalamu."
Kedua pipi Kun Liong menjadi merah dan ingin dia menampar anak itu kalau tidak ingat
bahwa anak itu adalah cucu Yo-lokui yang telah menyelamatkannya dan bahwa anak itu
adalah seorang perempuan. Akan tetapi, disinggung kepalanya, dia lalu membuang muka
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
76 dan cemberut, tidak lagi mempedulikan Bi Kiok dan memandang kakek yang agaknya
menjadi arca memandang kepada bokor di kedua tangannya.
"Bagaimana, Kek" Berhargakah benda yang kutemukan itu?"
Kakek itu membalikkan tubuh memandang Kun Liong, mukanya berubah sungguh-
sungguh, dan dia berkata dengan suara gemetar. "Berharga" Aihhh, anak baik. Engkau
telah menemukan pusaka yang tak ternilai harganya!"
"Hemm... pusaka" Apa sih harganya benda kuno seperti itu" Hanya mengkilap dan bagus
dipandang, akan tetapi tidak dapat mengenyangkan perutku."
"Ah, laparkah engkau, Kun Liong?" tiba-tiba Bi Kiok bertanya.
Kemarahannya terhadap anak itu masih mengganjal di dalam perutnya, maka cepat-
cepat Kun Liong menggeleng kepalanya dan menjawab dingin, "Tidak!"
"Tadi kau bilang..."
"Bi Kiok, perlukah bertanya lagi" Dia hanyut di sungai sehari lamanya dan kau masih
bertanya apakah dia lapar?" Kakek itu mencela cucunya dan diam-diam dia memandang
Kun Liong penuh perhatian. Maklumlah dia bahwa anak laki-laki ini bukan bocah
sembarangan, bukan anak dusun yang bermain-main dengan perahu dan hanyut.
Sikapnya jauh berbeda, dan kata-katanya menunjukkan bekas pendidikan orang pandai.
"Yap-kongcu, pakaianmu basah semua, engkau tentu lelah dan lapar. Marilah ikut
bersama kami. Ketua kami tentu akan girang sekali melibat bokor ini, dan akan
memberimu apa saja sebagai penukarannya. Engkau telah menemukan harta yang tak
ternilai harganya dan yang sudah bertahun-tahun dicari oleh ketua kami."
Kun Liong mengerutkan alisnya. "Apakah sesungguhnya bokor ini, Kek" Apanya yang
berharga?"
"Kalau hanya dinilai dari emas dan batu kemalanya saja, sudah cukup membuat orang
kaya. Akan tetapi bukan itulah sebabnya. Lihat, Kongcu, lihat melalui celah tutupnya ini."
Kun Liong menerima bokor itu dan mengintai melalui celah penutup bokor yang terbuka
sedikit. Dia melihat coret-coret seperti huruf-huruf dan goresan-goresan di sebelah
dalam. Karena dari celah itu tidak mungkin melihat jelas, apalagi membaca huruf-
hurufnya, Kun Liong hendak membuka penutup bokor, ternyata tutup itu melekat kuat
sekali seolah-olah menjadi satu dengan bokornya! Kakek itu mencegah,
"Tak mungkin dibuka oleh yang tidak mengetahui rahasianya, Yap-kongcu. Ketua kami
tentu mengetahui rahasia untuk membukanya. Ketahuilah, kalau aku tidak salah
menduga, bokor inilah yang oleh ketua kami dicari-cari selama bertahun-tahun. Entah
sudah berapa ratus kali kami bergantian menyelam dan mencari namun selalu tanpa
hasil. Siapa kira, engkau yang tidak sengaja mencari, malah berhasil menemukannya.
Benar-benar yang dinamakan jodoh tak dapat ditolak oleh manusia!"
Kakek itu mendayung perahunya dan Kun Liong tidak berkeberatan diajak oleh kakek
penolongnya itu. Akan tetapi ucapan kakek itu membuat dia duduk bengong
memandangi bokor yang dipangkunya. Ah, tentu sebuah pusaka kuno yang amat langka,
pikirnya. "Kakek yang baik, apakah engkau tahu akan asal-usul bokor ini?"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
77 Kakek itu menghela napas panjang sebelum menjawab, kemudian sambil tetap
mendayung perahunya, dia berkata perlahan, "Yap-kongcu, keadaan ini sungguh luar
biasa anehnya. Selama bertahun-tahun, kami semua menutup mulut dan bokor ini tidak
pernah disebut-sebut, sungguhpun kami tak pemah berhenti mencarinya. Orang luar
sama sekali tidak tahu akan bokor ini dan kami dilarang untuk menceritakannya kepada
siapa saja dengan ancaman hukuman mati! Akan tetapi, karena engkaulah orang yang
kebetulan menemukan bokor ini, agaknya engkau berhak untuk mengetahui riwayatnya.
Tentu saja kalau dugaanku betul bahwa bokor inilah yang kami cari selama ini. Yang
dapat memastikan aseli dan tidaknya hanyalah ketua kami, satu-satunya orang yang
pernah melihat bokor ini."
Kun Liong melupakan rasa dingin dan laparnya. Hatinya tertarik sekali karena dari kata-
kata dan sikap kakek ini, dia dapat menduga bahwa tentu bokor ini mempunyai riwayat
yang amat menarik. Pula, sikap dan kata-kata kakek itu mendatangkan rasa suka di
hatinya terhadap kakek itu yang dia duga tentulah seorang ang berwatak jujur dan baik.
"Bokor ini mula-mula dikenal orang ketika Panglima Besar The Hoo yang diangkat oleh
Kaisar menjadi laksamana memimpin armada yang berlayar ke barat dan selatan belasan
tahun yang lalu. Karena mengandung rahasia yang amat berharga, bokor dijadikan
rebutan orang-orang dunia persilatan yang memiliki kesaktian tinggi dan akhirnya
lenyap. Laksamana The Hoo sendiri mengutus para pembantunya mencari, namun
hasilnya kosong belaka. Menurut penuturan kepala kami, akhimya bokor itu berhasil
didapatkan oleh kepala kami yang menjadi seorang di antara anggauta pengawal
Laksamana The Hoo yang bertugas mencari bokor. Akan tetapi malang baginya, ketika
dia membawa bokor itu dengan perahu melalui sungai ini, perahunya diserang banjir
seperti yang kaualami, perahunya pecah dan bokor itu terjatuh ke dalam sungai.
Demikianlah, ketua kami tidak berani melapor, takut menerima hukuman. Dia mengajak
kami dan anak buah untuk mencari bokor, sampai sekarang sudah berjalan lima enam
tahun tanpa hasil, dan tahu-tahu hari ini, engkau muncul dengan bokor di tangan,
muncul dari dalam air! Bukankan hal itu amat ajaib dan mengejutkan sekali?"
Kun Liong memandang bokor di tangannya. "Rahasia apakah yang dikandung benda ini?"
Dia mengintai lagi dari celah di bawah tutup, akan tetapi setelah air yang membasahi
sebelah dalam bokor mengering, huruf-huruf itu lenyap dan tidak tampak lagi.
Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu apa rahasianya, hanya yang
pasti, rahasia itu amat berharga sehingga orang-orang seluruh kang-ouw saling
berlumba mendapatkan bokor ini."
Tak lama kemudian mereka mendarat di sebelah kiri sungai, dalam sebuah hutan.
Tampak beberapa orang laki-laki menyambut dan begitu mereka mendengar penuturan
singkat dari Yo-lokui, mereka berlari-lari dengan air muka berubah tegang. Sambil
memondong bokornya dan tahu bahwa benda itu amat dihargai sehingga dia merasa
dirinya penting, Kun Liong mendarat dan mengikuti kakek Yo bersama cucunya. Dengan
wajah berseri-seri Kun Liong melihat betapa ada belasan orang muncul dan
mengiringkan mereka sambil berbisik-bisik dan mata semua orang itu memandang ke
arah bokor di tangannya dengan penuh takjub.
Mereka memasuki sebuah rumah papan yang amat besar dan agaknya itulah satu-
satunya bangunan di tempat sunyi itu sehingga diam-diam Kun Liong menjadi heran
sekali. Tempat itu amat sunyi, hanya ada sebuah rumah besar dan tampak tiga buah
perahu lain di tepi sungai. Tidak mungkin perkampungan nelayan hanya dihuni oleh
belasan orang ini dengan sebuah rumah! Juga dia tidak melihat wanita atau anak-anak di
tempat itu kecuali Bi Kiok, cucu kakek Yo! Tempat apakah ini"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
78 Seorang laki-laki setengah tua yang gemuk menyambut mereka. Yo-lokui cepat memberi
hormat kepada laki-laki gendut ini sambil berkata, "Saya membawa berita baik sekali
untuk Phoa-sicu!"
"Ah, aku sudah mendengar pelaporan orang-orang kita, Yo-twako. Inikah anak itu" Dan
bokor itu... hemmm, harus diperiksa dulu asli atau tidaknya." Si Gendut itu tertawa-tawa
ramah dan wajahnya berseri, akan tetapi ketika sepasang matanya memandang ke arah
bokor, Kun Liong menangkap sinar berkilat yang aneh dan kejam sehingga dia terkejut
bukan main dan mengambil keputusan untuk bersikap waspada terhadap Si Gemuk yang
mencurigakan ini. Pula, dia benar-benar tidak mengerti apa hubungan Kakek Yo dengan
Si Gendut, yang disebut Phoa-sicu (tuan yang gagah she Phoa) ini.
"Kakek Yo, siapakah dia ini?" tanyanya dan kelihatan meragu untuk memasuki rumah
besar itu. "Yap-kongcu, inilah ketua kami, Phoa Sek It Si Golok Maut yang amat terkenal di dunia
kang-ouw," jawab Yo-lokui, kelihatan tidak enak menyaksikan sikap Kun Liong demikian
kurang hormat terhadap ketuanya.
Akan tetapi Phoa Sek It tersenyum lebar dan membungkuk ke arah Kun Liong, berkata
ramah, "Silakan, Yap-kongcu. Silakan masuk dan harap jangan khawatir. Kita berada di
antara sahabat sendiri dan kedatanganmu seperti kedatangan seorang malaikat
pembawa berkah terhadap kami. Heii! Carikan pakaian pengganti Yap-kongcu yang
basah dan persiapkan hidangan panas untuk kita sekalian, juga bersihkan kamar untuk
tempat tidur tamu kita!" Teriakan itu ditujukan kepada anak buahnya yang segera pergi
melaksanakan perintah itu.
"Biarlah aku tidur bersama Kakek Yo saja, harap tidak perlu repot-repot, Paman Phoa,"
kata Kun Liong kepada Si Gendut itu.
Si Gendut mengangguk-angguk. "Terserah kepadamu, Yap-kongcu, sesuka hatimulah.
Bolehkah aku melihat bokor itu?"
Kun Liong yang masih curiga, menoleh ke arah kakek itu dan kakek itu mengangguk
kepadanya. Kun Liong menyerahkan bokor yang dipegangnya kepada Si Gendut yang
menerimanya dengan mulut tersenyum lebar, akan tetapi kembali tampak oleh Kun
Liong sinar mata aneh yang menyeramkan menyorot keluar dari sepasang mata Si
Gendut ketika dia menerima bokor.
"Yo-twako, harap suka melayani dan menjamu makan Yap-kongcu. Aku harus meneliti
bokor ini dengan tenang di dalam kamar, untuk menentukan apakah benda ini aseli
ataukah bukan. Engkau tahu, sudah bertahun-tahun aku tidak melihatnya sehingga aku
hampir lupa lagi." Tanpa menanti jawaban, Si Gendut membawa bokor masuk ke dalam
dan lenyap di ruangan dalam.
Yo-lokui, ditemani oleh cucunya dan para anggauta rombongan itu, mengajak Kun Liong
makan minum setelah memberinya serangkai pakaian yang dipakai oleh Kun Liong
sebagai pengganti pakaiannya yang basah kuyup. Mereka makan minum dan ngobrol
gembira dan kembali Kun Liong merasa heran karena masakan yang dihidangkan cukup
mewah seperti masakan kota. Padahal tempat itu amat sunyi. Dari mana mereka
mendapatkan bumbu-bumbu yang lengkap" Mungkin membeli dari kota, pikirnya.
Betapapun juga, dia merasa makin terheran benar ternyata bahwa di tempat itu benar-
benar hanya terdapat sebuah rumah ini yang dihuni bersama-sama sebanyak lima belas
orang termasuk Kakek Yo dan cucunya, sedangkan Si Gendut itu menjadi pimpinan
mereka. Semua ini dia ketahui dari percakapan antara mereka.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
79 "Mengapa Cuwi (Kalian) tinggal di tempat yang amat sunyi ini, tinggal serumah dan tidak
mempunyai keluarga?" Dia mengajukan pertanyaan sambil memandang sekeliling.
Orang-orang itu berdiam, tidak dapat menjawab. Yo-lokui yang duduk di sebelah
kanannya segera menjawab,
"Kami memang tidak mempunyai keluarga, dan tanpa keluarga, perlu apa membuat
rumah sendiri-sendiri" Satu-satunya keluarga hanyalah cucuku ini yang sudah yatim
piatu pula."
"Akan tetapi pekerjaan Cuwi sebenarnya apakah?"
"Aihh, perlukah kau bertanya lagi, Kongcu" Kami adalah nelayan-nelayan dan... seperti
telah kauketahui, di samping mencari ikan, kami pun berusaha mencari bokor itu..."
Tiba-tiba kakek Yo menghentikan kata-katanya, karena tanpa mereka ketahui, Phoa Sek
It yang gemuk itu telah berdiri di pintu dan memandang ke arah Kakek Yo dengan mata
mengandung sinar menakutkan! Dalam pandangan itu sudah tercurah semua teguran
ketua ini, maka Kakek Yo cepat berkata dengan suara gugup,
"Phoa-sicu, saya rasa sebagai penemu benda itu, dia berhak untuk..."
"Cukup! Kalau sudah selesai makan, kalian tidurlah. Aku sedang sibuk mengadakan
penelitian, tidak suka diganggu suara-suara ribut!" kata Si Gendut yang kembali
menghilang ke dalam.
Suasana menjadi hening seketika, dan agaknya semua orang merasa takut sekali
terhadap Sang Ketua itu. Kembali Kun Liong merasa heran dan tidak senang. Dia melihat
betapa semua orang mulai menyingkirkan sisa-sisa makanan tanpa banyak cakap lagi
dan mulai mengundurkan diri.
"Yap-kongcu, marilah kita mengaso ke kamarku," kata Kakek Yo sambil menyentuh
tangan Kun Liong.
Anak itu mengerutkan alisnya dan membantah perlahan, "Kakek Yo, aku minta supaya
bokor dikembalikan dulu kepadaku."
Kakek itu kelihatan terkejut dan khawatir, memegang tangan anak itu sambil berkata
lirih, "Benda itu sedang diteliti oleh ketua kami, Kongcu. Percayalah besok tentu akan
ditukar dengan benda-benda berharga lain. Jangan khawatir, aku yang menanggung
bahwa benda itu tidak akan hilang."
Mendengar ini, terpaksa Kun Liong menurut. Dia memandang kepada Bi Kiok dan timbul
rasa kasihan di hatinya. Anak ini tinggal tanpa kawan di antara orang-orang ini! Bi Kiok
juga memandang kepadanya dengan matanya yang lebar dan jernih. Seketika lenyaplah
kemarahan Kun Liong terhadap anak perempuan itu dan digandengnya tangan Bi Kiok.
Gadis cilik itu tersenyum dan kelihatan girang sekali ketika mereka berdua mengikuti Yo-
lokui masuk ke dalam sebuah kamar di bagian belakang rumah itu.
Kamar itu cukup bersih, akan tetapi amat sederhana dan baunya tidak enak, amis karena
di sudut-sudut kamar itu terdapat keranjang-keranjang, jala, peti-peti, dayung dan lain-
lain perlengkapan mencari ikan. Agaknya keranjang-keranjang kosong bekas ikan itulah
yang bau amis. Akan tetapi karena sudah biasa, Bi Kiok dan Yo-lokui tidak terganggu
oleh bau ini, berbeda dengan Kun Liong yang begitu masuk kamar, cuping hidungnya
berkembang-kempis diserang bau amis.
Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang dikerudung tirai tua, dan di
situlah Bi Kiok tidur. Sedangkan Kakek Yo sendiri tidur di sebuah pembaringan dari
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
80 bambu, beralaskan tikar, berbeda dengan pembaringan Bi Kiok yang diberi kasur tipis
dari daun kering.
"Pakailah pembaringan Bi Kiok, biar dia sementara tidur bersamaku,, Yap-kongcu," kata
kakek itu. "Ah, tidak, Kek. Aku tidak mau mengganggu Adik Bi Kiok."
"Tidak apa Kun Liong..."
"Ihh, jangan kurang ajar engkau, Bi Kiok. Sebut dia Yap-kongcu!" kakeknya menghardik.
"Aaahhh, biarlah, Kakek Yo. Aku pun tak ingin disebut kongcu."
"Setidaknya dia lebih tua daripada kau, Bi Kiok."
"Kalau begitu biarlah aku menyebutnya twako (kakak), bolehkah Kong-kong?"
"Aaahh, tentang sebutan, mengapa repot-repot benar" Tentu saja kau boleh menyebutku
apa saja, Bi Kiok."
"Kalau begitu, aku seperti adikmu sendiri, Liong-twako (Kakak Liong). Maka, jangan kau
sungkan-sungkan, pakailah pembaringanku. Aku tidur bersama Kong-kong, dan memang
kadang-kadang aku mengungsi ke pembaringan Kong-kong kalau aku takut."
"Takut" Takut apa?" Kun Liong bertanya.


Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hi-hik, kadang-kadang aku takut setan... setan. Apalagi sehabis diceritakan oleh Kong-
kong tentang siluman dan iblis."
Kakek dan cucunya itu tertawa sehingga Kun Liong juga ikut tertawa. Berada di antara
kakek dan cucunya ini, mendengarkan kata-kata Bi Kiok yang lucu dan suaranya yang
merdu, lenyaplah segala ketegangan dan kekhawatiran yang timbul di ruangan tengah
ketika Sang Ketua muncul tadi.
"Biarlah aku tidur bersama kakekmu, Bi Kiok. Kau tidurlah di pembaringanmu sendiri.
Aku tidak malu atau sungkan, melainkan aku masih ingin bercakap-cakap dengan Kakek
Yo." Akhirnya Kun Liong berbaring di dekat kakek itu dan tak lama kemudian sudah terdengar
pernapasan yang panjang halus dari Bi Kiok, anak itu telah tidur pulas.
"Kasihan sekali cucumu itu, Kek. Mengapa kauajak dia hidup di tempat seperti ini?" Kun
Liong berbisik, menegur Kakek di sebelahnya itu.
Yo-lokui menghela napas paniang, "Ya, kasihan sekali dia. Akan tetapi, aku tidak dapat
berbuat lain, Kongcu. Karena terpaksalah maka aku membawanya hidup tempat ini.
Akan tetapi tidak lama lagi. Benda itu telah ditemukan, selain kau akan menerima hadiah
besar, juga kami akan mendapat bagian sehingga aku dapat mengajak Bi Kiok pindah ke
kota besar, hidup cukup dan seperti manusia lumrah, tidak seperti sekarang ini." Kembali
kakek itu menarik napas panjang penuh harapan.
"Mengapa engkau terpaksa mengajaknya hidup di tempat ini Kek" Dan siapakah
sebetulnya Phoa Sek It itu" Kulihat dia bukan manusia baik-baik?"
"Ssstt... perlahan bicara dan hati-hatilah. Dengarkan baik-baik, saya akan menuturkan
segalanya kepadamu, akan tetapi hanya dengan bisik-bisik. Saya melihat engkau bukan
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
81 anak biasa, Kongcu. Biarpun aku telah menyelamatkanmu tanpa sengaja dan hal itu tak
perlu kuingat lagi, akan tetapi besar harapanku kelak engkau akan dapat membantuku
mengawasi cucuku, kalau aku sudah tidak ada lagi..."
Kun Liong mengangguk dan kakek itu mulai bercerita dengan berbisik-bisik. Ternyata
bahwa kakek itu bersama putera dan mantunya adalah bekas bajak-bajak sungai yang
telah dibasmi oleh pasukan pemerintah setelah perang saudara berakhir dan Kaisar Yung
Lo memegang tampuk pemerintah Kerajaan Beng-tiauw. Putera dan mantunya tewas
dalam perlawanan dan dia sendiri dalam keadaan luka-luka berhasil melarikan diri sambil
membawa cucunya, Yo Bi Kiok yang waktu itu baru berusia tiga tahun. Sebagai seorang
pelarian, dia terpaksa mengajak cucunya sembunyi-sembunyi dan keadaannya yang
miskin itu tentu akan menimbulkan kecurigaan orang, tidak demikian kiranya kalau
kakek ini mempunyai banyak uang, tentu dia akan berani mengajak cucunya ke kota dan
tinggal di kota seperti keluarga baik-baik.
Dalam perantauannya inilah dia bertemu dengan Phoa Sek It! Orang gendut ini memiliki
kepandaian lihai sekali dan perkenalan mereka pun amat luar biasa, karena Kakek Yo
berusaha merampok Si Gemuk ini dan dia bahkan dikalahkan, ditaklukkan dan dijadikan
pembantu oleh Phoa Sek It yang berjuluk Golok Maut. Si Gemuk ini adalah seorang
bekas angguta pasukan pengawal yang mengiringkan Laksamana The Hoo. Ketika
mendapat kesempatan, Phoa Sek It yang menyeleweng karena ingin menjadi seorang
kaya ini, mencuri dan membawa lari bokor emas yang mengandung rahasia
penyimpanan harta pusaka terpendam yang tak ternilai harganya! Tidak ada orang yang
tahu, juga Laksamana The Hoo sendiri tidak mengira, bahwa dialah orangnya yang
mencuri dan membawa lari bokor. Dunia persilatan geger karena memang bokor itu
sudah terkenal sekali, bahkan ada tokoh-tokoh penjahat sakti yang berani mencoba
untuk mencari bokor, akan tetapi yang kesemuanya gagal, bahkan ada yang tewas di
tangan pengawal-pengawal dan para pembantu Laksamana The Hoo yang berilmu tinggi.
Phoa Sek It melarikan diri dan karena takut dikejar, dia menggunakan perahu memasuki
sungai yang berbahaya itu, mengandalkan kepandaiannya mengemudikan perahu. Akan
tetapi, banjir menyerang perahunya sehingga terguling, bokornya hilang dan Phoa Sek It
menjadi bingung. Setelah berbulan-bulan mencari dan menyelam di sekitar tempat itu
tanpa hasil, dia mengambil keputusan untuk mencari anak buah dan pada saat itulah dia
dirampok oleh Yo-lokui yang kemudian dijadikan pembantunya. Mereka berdua berhasil
mengumpulkan bekas bajak-bajak sungai, tiga belas orang jumlahnya dan semenjak
itulah, lima belas orang itu tinggal di tempat tersembunyi, menyambung hidupnya
dengan menangkap ikan atau kadang-kadang juga membajak ke Sungai Huang-ho.
"Selama bertahun-tahun kami mencari bokor. Karena janji-janji yang muluk dari Phoa-
sicu, kami terus bertahan dan sekarang bokor telah ditemukan, berarti akan berakhirlah
penderitaan kami. Aku telah dijanjikan pembagian yang cukup untuk kumakan selama
hidup bersama cucuku. Kami akan pindah ke kota!" Kakek itu menutup ceritanya dengan
wajah yang keriput itu berseri penuh harapan dan kebahagiaan untuk cucunya.
"Mudah-mudahan saja engkau dan Bi Kiok akan berhasil dan bahagia, Kek." kata Kun
Liong. Akan tetapi kakek itu sudah mulai mendengkur, agaknya lelah bercerita dan
harapan yang amat baik membuat hatinya lega dan puas sehingga mudah dia jatuh
pulas. Kun Liong sebaliknya tak dapat tidur gelisah bergulingan di atas pembaringan. Dengkur
kakek itu amat mengganggunya apalagi hawanya panas di dalam kamar itu, ditambah
bau amis keranjang bekas ikan, membuatnya makin gelisah. Akhirnya dengan perlahan
agar jangan mengagetkan kakek dan cucunya itu, dia turun dari atas pembaringan,
dengan maksud untuk keluar dari rumah itu mencari hawa segar di pinggir sungai. Akan
tetapi baru saja dia sampai di pintu kamar, lapat-lapat dia mendelngar suara orang
mengeluh dari kamar di depan, kemudian tampak berkelebat bayangan keluar dari
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
82 kamar itu, bayangan seorang yang mukanya ditutup kain hitam mulai dari bawah mata,
terus ke bawah dan tangannya membawa sebatang golok yang berlepotan darah!
Melihat betapa bayangan itu berkelebat lari ke arah kamar Kakek Yo, Kun Liong cepat
meloncat ke dalam dan keadaan yang tiba-tiba itu membuat dia tidak sempat berpikir
lagi, terus saja dia tutup peti bundar, memasukinya dan menutup kembali dari dalam!
Setelah ia mendekam di dalam peti teringat olehnya bahwa seharusnya dia
membangunkan Kakek Yo lebih dulu. Akan tetapi baru saja dia mau membuka tutup peti,
pintu kamar terbuka, bayangan hitam berkelebat masuk dan dari tubuh yang gendut itu
Kun Liong dapat menduga bahwa itu tentulah Phoa Sek It. Dia hendak berteriak
mengagetkan dan membangunkan Yo-lokui, namun terlambat! Orang berkedok itu telah
melompat ke dekat pembaringan Kakek Yo, menggerakkan golok besar dengan kedua
tangan dan... Kun Liong merasa kepalanya pening dan hampir pingsan ketika melihat
darah muncrat dari perut Kakek Yo yang dihunjam golok. Kakek itu kelihatan terkejut
kaku, terbelalak dan seperti hendak bangkit, tetapi kembali golok terayun dan kali ini
membacok leher sehingga hampir putus. Cepat seperti ketika masuk, bayangan hitam itu
sudah melompat, menyingkap tirai, melihat Bi Kiok yang menjadi kaget dan bingung lalu
menoleh ke kanan kiri mencari-cari, agaknya mencari Kun Liong, lalu mendengus marah
dan menyambar lengan tangan Bi Kiok.
"Aihhh", lepaskan aku...! Kong-kong"!" Bi Kiok menjerit-jerit akan tetapi orang gendut
berkedok itu telah membawanya lari keluar.
Kun Liong cepat keluar dari peti. Melihat kakek itu sudah tewas dalam keadaan
mengerikan sekali dia menyelinap keluar. Terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan
di kamar-kamar lain seperti suara orang berkelahi. Kun Liong cepat lari keluar menuju ke
sungai. Tanpa banyak pikir lagi karena maklum bahwa kalau Phoa Sek It melihatnya
tentu dia akan dibunuh, dia meloncat ke atas sebuah perahu, melepas tali ikatan dan
mendayung perahu ke tengah, mendayung sekuat tenaga mengikuti aliran sungai.
Untung baginya bahwa bagian berbahaya dari sungai ini sudah lewat, yaitu yang
dilewatinya ketika sehari lamanya dia hanyut kemarin. Air di bagian ini cukup dalam dan
tidak begitu deras arusnya sehingga dia dapat menguasai perahunya. Ketika hatinya
sudah merasa lega dan aman kaena tidak melihat adanya orang mengejarnya, Kun Liong
yang merasa betapa kedua lengannya kaku dan lelah karena tadi mendayung sekuat
tenaga, mengatur tempat duduk yang lebih enak dan mendayung perahunya agak di
pinggir agar aman. Ketika dia pindah tempat duduk inilah kakinya menyentuh sesuatu.
Karena gelap, dia tidak dapat melihat benda apa itu, maka dia mengambil dan
mengangkatnya. Hampir dia tertawa bergelak dan membayangkan betapa lucu wajah Si
Gendut nanti. Kiranya benda itu adalah bokor emas! Dia mulai dapat menduga apa yang
terjadi. Karena ingin memiliki bokor itu sendiri tanpa membagi-bagi kepada anak
buahnya, timbul pikiran jahat di dalam hati Si Gemuk itu. Karena dia memang lihai,
maka dia melakukan pembunuhan-pembunuhan dan bokor itu sudah disembunyikannya
ke dalam perahu ini. Agaknya, kalau sudah selesai membunuh semua bekas anak
buahnya, Si Gendut itu akan melarikan diri dengan perahu ini. Siapa kira, dia
mendahuluinya dan tanpa disengaja, kembali bokor terjatuh ke dalam tangannya! Ingin
dia mentertawakan Si Gendut, akan tetapi teringat akan nasib Kakek Yo, dan akan nasib
Bi Kiok, berkerut alis Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali. Akan tetapi, apa yang
dapat dia lakukan"
Memang tepat dugaan Kun liong, orang gemuk bertopeng itu bukan lain adalah Phoa
Sek It. Begitu melihat bokor emas itu, Phoa Sek It segera mengenalnya sebagai bokor
pusaka milik bekas atasannya, Laksamana The Hoo, benda berharga yang menjadi
rebutan, yang dahulu berhasil dia curi dan larikan kemudian lenyap di sungai ketika
perahunya terguling diterjang air bah. Begitu ia melihat benda itu, timbullah sudah
kemurkaannya, timbul niat jahat untuk membunuh semua pembantunya termasuk anak
yang datang membawa bokor itu. Mereka harus dibunuhnya, dan karena dia tidak ingin
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
83 kehilangan sebagian harta benda untuk menghadiahi mereka, akan tetapi terutama
karena mereka sudah tahu akan rahasia bokor itu dan kalau mereka tidak dibunuh dan
sampai rahasia itu tersiar, tentu dia akan menjadi buruan orang-orang sakti sedunia
kang-ouw dan yang lebih mengerikan lagi, tentu Laksamana The Hoo yang banyak
dibantu orang-orang sakti itu akan mencari, menemukan, dan menghukumnya.
Phoa Sek It sudah berhasil membunuh Kakek Yo-lokui selagi kakek ini tidur sehingga
satu-satunya orang yang dapat melakukan perlawanan itu dibunuhnya secara mudah,
dan tiga belas orang pembantu lain dengan mudah saja menjadi korban goloknya tanpa
mereka dapat memberi perlawanan yang berarti. Akan tetapi ketika melihat Bi Kiok, dia
tidak membunuhnya. Bukan karena dia tidak tega atau menaruh iba hatinya melihat
anak perempuan itu, melainkan karena timbul berahinya kalau dia membayangkan
betapa Bi Kiok beberapa tahun lagi akan menjadi seorang dara yang amat cantik jelita.
Karena inilah dia tidak membunuh Bi Kiok!
Dapat dibayangkan betapa takut, duka dan ngeri rasa hati anak perempuan itu ketika dia
melihat kong-kongnya telah tewas dalam keadaan mengerikan, dan betapa orang
bertopeng yang dia tahu adalah Phoa Sek It, orang yang selama dia tinggal di situ paling
dia takuti, sambil menggandengnya membunuh paman-paman yang lain sehingga
bajunya sendiri terkena percikan darah yang muncrat dari tubuh setiap orang korban.
"Lepaskan aku...! Lepaskan...! Kongkong...!" Dia menjerit-jerit sampai suaranya menjadi
parau. "Diam! Anak bodoh! Engkau sudah untung sekali tidak kubunuh, tahu" Apakah minta
kubunuh?" Dia mendekatkan golok yang berlepotan darah ke depan muka Bi Kiok
sehingga anak itu terbelalak dengan muka pucat, hampir pingsan ketika hidungnya
mencium bau darah yang memuakkan.
"Katakan di mana adanya bocah iblis gundul itu?"
Bi Kiok menggeleng kepala dan menelan ludah karena sukar sekali dia mengeluarkan
suara, lehernya seperti tercekik dan mulutnya tiba-tiba menjadi kering saking takutnya.
"Ti... tidak tahu..." Akhirnya dapat juga dia bersuara.
"Bukankah dia tidur di kamar kakekmu?" kembali Si Gemuk menghardik dan kini dia
merenggut penutup mukanya. Semua pembantunya telah dibunuhnya, tidak perlu lagi
menyembunyikan muka.
"Aku tidak tahu... tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kong-kong... uhu-hu-huuu... !"
Bi Kiok menangis lagi, teringat akan kakeknya yang telah tewas.
"Diam! Kalau menangis terus dan kesabaranku habis, golok ini akan minum darahmu!
Hayo kita pergi!"
"Tidak mau... hu-hu-huhhh... tidak mau...!"
"Plakkk!" Pipi anak perempuan itu ditampar dan tubuhnya terguling ke atas lantai.
"Engkau membandel, ya" Baik, lebih baik begitu, kau mampus sekalian agar kelak tidak
merepotkan. Akan tetapi sebelum mati, sayang kalau dibunuh begitu saja. Engkau masih
kecil, akan tetapi sudah manis sekali!"
Seperti seekor harimau yang buas menubruk seekor anak domba yang ketakutan, Phoa
Sek It menubruk Bi Kiok, tangannya merenggut, terdengar kain terkoyak ketika dengan
penuh nafsu binatang buas dia merenggut pakaian gadis cilik itu.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
84 "Breetttt...!! Aihhhh... tolong...!!" Bi Kiok menjerit, tidak mengerti bahaya apa yang
mengancam dirinya, hanya mengira bahwa Phoa Sek it tentu hendak membunuhnya.
"Babi gendut memuakkan!! Plakkk!!"
Phoa Sek It terkejut bukan main. Pundaknya seperti akan remuk menerima sebuah
tamparan yang datangnya tiba-tiba dan tak mungkin dapat dielakkannya tadi, apalagi
karena dia sedang diamuk nafsu. Ketika dia menyambar golok yang, tadi diletakkan di
atas tanah ketika dia hendak memperkosa gadis cilik itu, melompat sambil
membacokkan golok dengan tubuh diputar, dia melihat seorang wanita berdiri dengan
sikap tenang. Wanita itu pakaiannya indah dan bersih, rambutnya yang panjang tersisir
rapi dan digelung seperti model puteri bangsawan, di punggungnya tampak sebatang
pedang yang panjang melengkung dan aneh, tubuhnya kecil pendek dan biarpun usianya
sudah tiga puluh tahun lebih, namun masih cantik menarik, dan kerling matanya serta
senyumnya kelihatan genit sekali. Dia berdiri memandang Phoa Sek It sambil mengerling
dan tersenyum-senyum!
"Iblis betina!" Phoa Sek It membentak marah. "Siapa engkau berani main gila dengan
Golok Maut?"
"Babi kotor, anjing hina yang hendak memperkosa anak kecil! Aku tahu engkau Phoa Sek
It bekas pengawal Laksamana The Hoo! Sudah lama kuawasi engkau dan setelah malam
ini kau membunuhi anak buahmu, tentu engkau telah menemukan bokor itu! Hayo
keluarkan bokor itu dan serahkan kepada Nona Bu!"
Seketika pucat wajah Phoa Sek It mendengar ucapan itu. Bukan hanya rahasianya telah
bocor, bahkan wanita ini adalah seorang yang tak disangka-sangkanya akan pemah
berhadapan dengan dia.
"... kau... kau... Siang-tok Mo-li...?"
Wanita itu menjebikan bibirnya yang merah segar dengan lagak genit sekali, dan
mengulur tangan kiri minta bokor tanpa bicara lagi. Tentu saja Phoa Sek It kaget dan
merasa ngeri karena wamta cantik yang biasanya menyebut dirinya sendiri "Nona Bu" ini
bukan lain adalah Bu Leng Ci yang berjuluk Siang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Wangi),
yang pada waktu itu merupakan datuk ke lima di dunia persilatan, amat terkenal bukan
hanya karena kesaktiannya akan tetapi juga karena sepak terjangnya yang
menggegerkan dan kekejamannya terhadap lawan-lawannya!
"Aku... eh siauwte... tidak tahu tentang bokor" harap Nona yang sakti mengampuni?"
Phoa Sek It berkata dengan suara gemetar, akan tetapi sepasang matanya bergerak-
gerak mencari akal. Biarpun nama perempuan ini menggegerkan dunia kang-ouw, akan
tetapi dia belum begitu percaya apakah seorang wanita yang cantik dan kelihatan lemah
ini tidak dapat dilawannya.
"Bohong! Lekas serahkan!" Wanita itu melangkah maju, kini dekat sekali dan lengan
kirinya masih terulur ke depan, untuk menerima bokor yang agaknya dia merasa yakin
pasti akan diserahkan oleh Phoa Sek It kepadanya.
Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek
It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga
tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah
lengan yang terulur itu!
"Siuuuuttt...!" Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.
"Capppp!!"
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
85 Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia
memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus
kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu "menjemput" goloknya tadi dan kini
jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita
menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya! Dengan hati penuh rasa tidak percaya
sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan
tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang
kecil mungil itu.
"Hemmm"!" Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba
terdengar suara "krekkkk!!" dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga
potong! Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia
mengeluarkan suara ?"ihhhh?" penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan
tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.
"Wuuuuttt"! Krekkk".!!"
Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti
gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya
tercekik. Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas
sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat
dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita
itu. Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan
harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya. Tanpa
menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja,
Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa
Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru
itu.

Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ampunkan nyawa hamba..." Suaranya seperti orang merengek dan menangis.
"Crottt! Augghhh...!!" Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya.
Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan
jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan
mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!
"Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!" Kembali Bu Leng Ci berkata,
suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah
yang membuat dia amat menyeramkan.
Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk
melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka
itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak
kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang
diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini"
"Ham... hamba... tidak tahu..."
"Adduuuhhh... am" ampuuuunnnn"!" jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It
mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri
yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan. Wanita iblis itu dengan masih
tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut
tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah
mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
86 kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala. Bukan
main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut
rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas,
seluruh tubuhnya menggigil.
Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok
melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh
bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala
kebenciannya terhadap orang gendut itu. Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah
membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh
pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu,
kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut
itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
"Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku" Engkau telah membunuh Kakek dan
semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!"
Bi Kiok berkata.
Mendenga ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok
dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan
keadaan, memaki, "Anjing kecil, tutup mulutmu...!"
Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau
runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan
tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu,
"Di mana bokor itu?"
"Di... dalam perahu... di tepi sungai?" Kata-katanya disusul suaranya melengking,
berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan
mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya
yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga
dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah
menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu
dimakannya! Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang
dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara
Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk
ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati
keras dan ganas seperti iblis!
"Mari kita cari bokor itu."
Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara
yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan
ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih
putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.
Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu,
digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa
meloncatinya juga tanpa memandangnya.
"Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga" Mana yang
sebuah lagi?" Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.
"Mari kita mencari bokor itu," kata Bu Leng Ci. Mereka memeriksa tiga buah perahu,
akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke
dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
87 "Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di sini. Anak yang
baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali
engkau sendiri?"
Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, "Semua sudah mati, termasuk
kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku,
dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku
sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil
menyelamatkan diri, membawa perahu dan?" Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan
memandang wanita itu dengan kaget.
"Dan bokor itu dibawanya pula?" Wanita itu mendesak.
"Aku tidak tahu?"
"Siapa itu Liong-twako?"
"Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor..."
"Ehh" Coba ceritakan yang jelas!"
Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap
Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah
menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan
oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.
"Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku
tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia
telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar."
Iblis betina itu mengangguk-angguk. "Aku yakin sekarang. Tentu Yap Kun Liong itu yang
membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It,
akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari
hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat
melakukan hal-hal yang luar biasa. Mari kita cari dia!"
"Aku... apakah aku... harus ikut?"
"Anak baik. Siapa namamu?"
"Namaku Yo Bi Kiok."
"Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu,
bukan" Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu."
Bi Kiok mengangguk. "Aku yatim, piatu."
"Bagus!"
"Mengapa bagus?" Bi Kiok memandang dengan penasaran. Yatim piatu, tak berayah tak
beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus!
"Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?"
Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.
Petualang Asmara > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
88 "Bagus!"
Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan
dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata, "Bibi, engkau sungguh kejam
sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang
yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada
sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!"
Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan
ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram
kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut!
"Hi-hik, engkau tidak takut" Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"
"Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata lantang.
"Heh-heh-heh, bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya
lagi. "Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua
tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!
"Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya
kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka
dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti
engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."
"Muridmu?"
"Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara
selaksa orang anak perempuan!"
Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia
maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana
akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun
kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilm
Pendekar Kembar 16 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gelandangan 8
^