Rahasia 180 Patung Mas 6

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 6


kan saksi, berkat permohonanku yang sangat dan minta belas kasihannya barulah dia mengurungku di sini. Kalau aku hitung, sampai sekarang sudah genap 16 tahun aku mendekam di sini."
"Oo, kiranya begitu," kata Kiam-eng dengan gegetun. "Jika demikian, bukankah Tok-pi-sin-kun itu membalas kebaikan dengan kejahatan?"
"Tidak, semua itu salahku sendiri. Lantaran tamak ingin mendapatkan keuntungan besar dan aku terima tawarannya, maka boleh dikatakan akibat keserakahanku sendiri." setelah menghela napas, lalu si kakek menyambung pula. "Dan selama 16 tahun ini, saudara cilik adalah tetanggaku yang pertama di sini. Tadi aku dengar suara anjloknya pagar besi, segera aku tahu ada orang lagi yang disekap di penjara bawah tanah ini ... Eh, sebab apa saudara cilik sampai ditawan Tok-pi-sin-kun?"
Kiam-eng lantas menuturkan sebab musababnya, akhirnya ia pun tanya, "Jika Lo-tiang sendiri yang membangun tempat ini, tentu Lo-tiang sangat paham seluk-beluk perangkap yang diatur di sini, mengapa Lo-tiang tidak berdaya upaya untuk melarikan diri?"
Kembali Pan-Cong-hun tertawa getir, katanya, "Memangnya begitu mudah untuk kabur dari sini"
Jangankan aku sudah tua dan tidak paham ilmu silat, biarpun tokoh dunia persilatan terkemuka juga jangan harap akan kabur dan kamar tahanan ini!"
"Kira-kira berapa dalamnya jarak kamar tahanan ini dengan permukaan tanah?" tanya Kiam-eng.
"Antara 20 tombak (kurang-lebih 50 meter), naik-turun diperlukan ruang naik-turun otomatis, selain itu tidak ada jalan lain," tutur si kakek.
"Lantas cara bagaimana mereka mengantar makanan kepada Lo-tiang?" tanya Kiam-eng.
"Dibawa kemari oleh seorang pesuruh dengan naik turun otomatis itu, ia menaruh makanan di luar pagar besi tanpa membukanya."
"Jika Lo-tiang dapat meninggalkan kamar tahanan ini, adakah harapan untuk kabur dari istana putar ini?"
tanya Kiam-eng.
"Aku sendiri yang merancang dan mengatur setiap alat pesawat di istana ini, dengan sendirinya aku sanggup meloloskan diri dari istana ini. Masalahnya sekarang adalah aku sendiri tidak mahir ilmu silat, sekalipun berhasil kabur dari istana ini akhirnya tetap akan dibekuk kembali ke sini."
Kiam-eng mulai memeras otak, sambil memegang dagu ia berpikir sejenak katanya kemudian, "Soal ini aku kira tidak perlu kuatir asalkan Lo-tiang mampu membawaku kabur keluar istana putar ini tentu dapat aku bawa Lo-tiang meninggalkan Thian-ti dengan aman."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tapi cara bagaimana saudara cilik akan meloloskan diri dari kamar tahanan di bawah tanah ini?" ujar Pan-Cong-hun dengan tersenyum.
"Untuk ini biarlah aku cari jalannya," ujar Kiam-eng.
Si kakek menuding pagar besi dan bertanya, "Apakah tenagamu cukup kuat untuk membobol pagar besi ini?"
"Tadi sudah pernah aku coba," tutur Kiam-eng "setelah pagar besi ini anjlok ke bawah lalu seperti terkait oleh sesuatu alat betapapun sukar diangkat oleh tenaga manusia ..."
"Betul, setelah pagar besi anjlok, segera terkait oleh dua gelang besi yang terpasang di lantai, kecuali merusak dulu ke dua gelang besi itu. kalau tidak, betapapun sulit mengangkat pagar besi itu. Sedangkan gelang besi terpasang di luar pagar besi dan sukar dicapai oleh sepanjang lengan, coba cara bagaimana akan kau buka?"
"Aku kira kita dapat mencari akal untuk menyuruh mereka sendiri yang membukakan pagar besi ini,"
ujar Kiam-eng. Pan-Cong-hun tertawa, "Kau bilang menyuruh mereka membukakan pagar besi ini" Haha, janganlah melucu! Sudah 16 tahun aku mendekam di sini, selama itu pagar besi ini hanya pernah dibuka dua kali."
"Sebab apa pagar besi ini perlu dibuka dua kali?" tanya Kiam-eng.
"Satu kali, mereka datang kemari untuk membersihkan kotoran. Satu kali lagi lantaran pesawatnya mengalami kerusakan dan mereka perlu minta bantuan untuk membetulkannya."
Kiam-eng berpikir pula agak lama, tanyanya kemudian, "Apakah setiap hari mereka datang membawakan makanan menurut waktu tertentu?"
"Betul, satu hari dua kali, pagi dan petang," tutur si kakek.
"Jika begitu, malam ini jelas mereka takkan datang kemari?"
"Ya, makan malam bagianku sudah aku selesaikan, tadi sekarang harus menunggu lagi sampai pagi baru datang makanan pagi."
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong di atas kamar penjara itu berkumandang suara berisik.
Si kakek terkesiap, katanya cepat, "Wah, celaka, mereka datang, lekas betulkan batu yang terlepas ini."
"Batu ini kan masih kau pegang," kata Kiam-eng.
Sin-jio Pan-Cong-hun memandang batu yang dipegangnya dan cepat dijejalkan ke lubang dinding yang dibobolnya tadi. Kiam-eng juga tidak berani ayal, cepat ia melompat ke atas dipan batu dan berlagak tidur.
Sejenak kemudian, tangga otomatis itu sudah turun sampai di luar kamar tahanan, lalu pintu tangga perlahan terbuka, dari dalam melangkah ke luar seorang lelaki tegap.
Sebelah tangan lelaki itu menjinjing satu bakul makanan dan ditaruh di luar pagar besi, lalu melongok beberapa kejap ke dalam kamar penjara, kemudian bersuara, "Su-Kiam-eng, inilah santapan malam untukmu."
Su-Kiam-eng berlagak terjaga bangun, sapanya dengan tertawa, "Eh, siapakah nama saudara yang terhormat?"
"Aku she Ciu," jawab orang itu.
Kiam-eng mendekati pagar besi untuk memeriksa makanan dalam bakul, katanya kemudian dengan tertawa, "Wah, ada ikan dan ada daging, boleh juga ya?"
"Di istana putar kita ini, yang dimakan senantiasa barang lezat dan mahal," tutur lelaki itu dengan tertawa. "Jika kami disuruh mengolah makanan yang sulit ditelan, haha, malah bikin repot belaka."
"Apakah saudara ini bertugas mengantar makanan bagi tawanan?" tanya Kiam-eng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Orang itu mengangguk, "Ya, asal saja kamu tidak membikin susah padaku, terkadang akan aku bawakan sedikit arak bagimu."
"Jangan kuatir, aku pasti takkan membuat onar dan merepotkanmu," janji Kiam-eng.
"Bagus jika begitu," kata orang itu dengan tertawa. "Nah, sampai berjumpa besok."
Habis itu ia lantas masuk kembali ke kamar tangga otomatis dan naik ke atas.
Perut Kiam-eng belum terasa lapar, melihat orang sudah pergi, segera ia mendekati dinding dan melolos lagi batu tadi, lalu berkata terhadap Pan-Cong-hun, "Yang datang itu pengantar makanan."
"Jika begitu boleh kau makan dulu, sebentar kita bicara lagi," ujar Pan-Cong-hun.
"Tidak, aku belum lagi lapar," kata Kiam-eng.
Dengan tertawa Sin-jio Pan-Cong-hun berkata "Dipenjarakan di sini, satu-satunya kebaikan yang harus dipuji adalah makanannya selalu lezat kalau tidak tentu aku pun tidak tahan hidup sampai sekarang."
"Sekarang kita bicara lagi tentang pesawat rahasia dalam istana putar ini," kata Kiam-eng "Pernah aku dengar katanya kamar tidur Tok-pi-sin-kun itu setiap hari berganti tempat apa betul terjadi hal demikian?"
Pan-Cong-hun mengangguk, "Betul, soalnya watak Tok-pi-sin-kun itu suka curiga, kuatir orang menyergapnya, maka setiap hari ia ganti tempat tidur."
"Apa yang disebut ganti tempat tidur itu maksudnya ganti kamar tidur atau berubah tempat tidurnya saja?"
"Hanya pergeseran tempat tidur saja," tutur Pan-Cong-hun. "Di dalam istana putar seluruhnya ada 9 x 9
= 81 buah kamar. Setiap kamar terbuat dari batu marmer setiap kamar itu dapat berubah tempat dikendalikan dari pesawat pusat. Jika mengalami serangan senjata rahasia di sebuah kamar. Pada hari ke dua bisa jadi perangkap di kamar yang sama sudah berubah menjadi jebakan lain."
"Jika begitu bila ingin mengapalkan pengaturan pesawat rahasia di dalam istana putar itu tentu sangat sulit," tanya Kiam-eng.
"Betul di seluruh dunia ini hanya aku dan Tok-pi-sin-kun saja yang paham benar keadaan di dalam istana, orang lain sama sekali tidak tahu."
"Tadi aku turun ke sini dengan menumpang sebuah ruang yang bergerak naik-turun secara otomatis.
Jika berdasarkan penuturan Lo-tiang bila sekarang aku masuk lagi ke ruang itu ke atas, maka bisa jadi ruang di atas sana sudah bukan lagi kamar penyiksa semula lagi?"
"Ya, begitulah," Pan-Cong-hun mengangguk dengan tertawa.
"Dan dapatkah sekali pandang Lo-tiang mengetahui adanya perubahan tempat tidur Tok-pi-sin-kun?"
tanya Kiam-eng.
"Dapat," jawab Pan-Cong-hun. "Asalkan dapat ke luar dari kamar tahanan ini, bahkan aku sanggup memasuki kamar tidur Tok-pi-sin-kun di luar tahu setan sekali pun."
"Sampai Tok-pi-sin-kun sendiri juga takkan tahu?" Kiam-eng menegas dengan girang.
"Ya, untuk menuju ke kamar tidurnya ada tiga jalan rahasia yang langsung dapat ke luar masuk ke sana."
Kiam-eng sangat girang. "Bagus sekali, biarlah besok malam kita pun mulai bergerak."
"Bergerak cara bagaimana?" si kakek menegas dengan berkedip-kedip.
Segera Kiam-eng memberitahukan rencananya untuk melarikan diri dari kamar tahanan ini. Kejut dan girang Pan-Cong-hun mengikuti rencana yang diuraikan Su-Kiam-eng itu, berulang ia manggut-manggut, katanya kemudian, "Bagus, sungguh bagus sekali! Tak tersangka saudara cilik dapat memikirkan akal sebagus ini!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Hendaknya Lo-tiang jangan bergembira dulu," ujar Kiam-eng dengan tertawa. "Bisa berhasil atau tidak juga belum diketahui dengan pasti."
"Berhasil, pasti berhasil!" seru Pan-Cong-hun. "Sekarang marilah kita jebol lagi sepotong batu ..."
Segera Kiam-eng mengerahkan tenaga dan membongkar sepotong batu lagi sehingga lubang itu cukup untuk diterobos tubuh satu orang, lalu ia kembalikan batunya sehingga tersisa lubang sepotong batu pertama saja, kemudian mengobrol dengan Pan-Cong-hun.
Semalam suntuk mereka bicara, karena untuk pertama kalinya selama 16 tahun ini Pan-Cong-hun dapat bicara dengan sesamanya, maka dia sangat bergairah, biarpun semalam suntuk tetap tidak terasa lelah.
Namun Su-Kiam-eng berharap orang tua itu dapat tidur nyenyak, maka katanya, "Sudahlah, biarlah sampai di sini saja, marilah kita tidur."
"Tidak, bicara terus, sudah 16 tahun tidak pernah aku bicara dengan siapa pun," ujar si kakek.
"Tapi bila engkau tidak tidur sebaik-baiknya^ mungkin besok malam akan kekurangan tenaga," ujar Kiam-eng dengan tertawa.
Sin-jio Pan-Cong-hun pikir ucapan anak muda itu pun betul, ia angkat pundak dan berkata. "Baiklah, semoga aku dapat tidur nyenyak ..."
Setelah menerobos kembali dan menyumbat lagi batu dinding, Kiam-eng rebah di dipan batu. Karena ada harapan akan lolos, perasaannya sangat senang, maka tidak lama kemudian ia pun tidur pulas.
Chapter 9. Rahasia 180 Patung Mas.
Esok paginya, dia masih lelap tidur ketika terjaga bangun oleh suara berisik turunnya ruang tangga otomatis itu. Cepat ia lompat bangun, dilihatnya pendatang adalah lelaki kekar she Ciu kemarin itu, datang dengan membawa sebakul makanan.
Melihat makanan yang dibawakan semalam masih tetap di situ, orang itu merasa heran, tanyanya, "Hei, kenapa tidak kau makan?"
Kiam-eng menjawab dengan tertawa, "Semalam tidak lapar, tapi ini aku harus makan sekenyangnya."
lelaki itu tidak menanggapinya lagi ia taruh bakul makanan yang dibawanya itu dan membawa pergi bakul kemarin ke dalam ruang tangga, dari situ dibawa keluar lagi satu bakul lain dan menuju ke kamar tahanan sebelah kanan.
Dengan sendirinya Kiam-eng tahu makanan itu hendak diantarkan kepada Sin-jio Pan-Cong-bun, namun ia berlagak tidak tahu dan sengaja tanya, "Eh, Lau-heng (saudara), bakul itu kau bawakan untuk siapa?"
"Untuk ini kamu tidak perlu urus," jawab lelaki itu.
"Apakah di kamar sebelah juga ada orang tahanan?" tanya Kiam-eng pula.
Orang itu tidak menjawab, ia keluarkan anak kunci untuk membuka pintu pagar besi sebelah dan mendekati kamar tahanan Pan-Cong-hun, bakul kosong yang lain dan segera hendak tinggal pergi. Tiba-tiba ia dengar suara rintihan perlahan Pan-Cong-hun, ia terkesiap dan coba tanya, "Hei, kamu kenapa?"
Dengan suara lemah dan terputus-putus Sin-jio Pan-Cong-bun merintih pula, "Aduh ... entah ... entah mengapa ... kepalaku sakit sekali!"
"Apakah sangat parah sakitnya?" tanya lelaki itu dengan tertawa.
"Ya, sakit sekali ... Mungkin ajalku sudah ... sudah tiba ... "
"Apakah perlu aku laporkan kepada Sin-kun?" tanya lelaki kekar tadi.
"Tidak ... tidak perlu, bila aku lihat dia segera aku naik ... naik darah ..."
"Bisa jadi setelah melihat sakitmu parah dan mengingat usiamu sudah tua, mungkin Sin-kun akan membebaskanmu," ujar orang itu dengan tertawa.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Sudahlah, aku tahu hanya sesudah ... sesudah mati baru dapat aku tinggalkan tempat ini, kenapa perlu kau bicara begitu untuk mengejek" Auuh, sakit ..."
"Bangun dan makanlah, bisa jadi sesudah makan kenyang kepalamu takkan sakit lagi," ucap orang itu dengan tertawa.
Namun Pan-Cong-hun hanya merintih dan tidak menjawab lagi.
Orang itu juga tidak bicara pula, ia mengundurkan diri, pagar besi digembok kembali, lalu tinggal pergi dengan naik tangga otomatis itu.
Kiam-eng merasa lapar, segera ia meraih makanan dalam bakul yang ditaruh di luar pagar besi itu terus dimakan.
"Duk-duk-duk!" terdengar dinding diketuk tiga kali oleh Pan-Cong-hun di sebelah, cepat Kiam-eng menolak batu dinding yang sudah longgar itu dan bertanya, "Ada apa?"
Sin-jio Pan-Cong-hun memicingkan mata dan berkata dengan tertawa, "Bagaimana, cukup bagus bukan sandiwaraku?"
"Ehm, bagus," jawab Kiam-eng tertawa. "Sebentar sesudah aku makan kenyang bolehlah kita bertukar kamar tahanan."
"Kira kira masih lima jam lagi baru dia akan mengantarkan makanan pula," kata Pan-Cong-hun.
"Jika begitu biarlah kita menunggu dengan sabar," ucap Kiam-eng.
Sehari ini mereka merasakan sang waktu berlalu dengan terlampau lambat. Akan tetapi betapapun lambatnya sang waktu tetap berlalu juga.
Tidak lama setelah petang, kembali lelaki kekar she Ciu itu datang lagi mengantarkan dua bakul santapan ke penjara di bawah tanah itu.
Salah satu bakul itu ditaruhnya di depan kamar tahanan Su Kiam-eng, ketika ia lihat Kiam-eng sedang tidur lelap dengan muka menghadap ke dinding, ia coba menegurnya, "Hei, ini santapan malam bagianmu!"
Kiam-eng tidak menjawab, juga tidak bergerak sama sekali, tidurnya seperti sangat nyenyak.
Orang itu tidak menggubrisnya lagi, ia jinjing bakul makanan yang lain, membuka pagar besi sebelah kanan dan menuju ke kamar tahanan Sin-jio Pan-Cong-hun.
Sekilas terlibat santapan siang yang ditaruh di depan pintu itu ternyata masih utuh, tentu saja ia heran dan sangsi, ia coba memandang Sin-jio Pan-Cong-hun yang berada di kamar tahanan, dilihatnya orang tua itu meringkuk diam saja. Seketika ia bersuara kaget.
Kiranya ia lihat Pan-Cong-hun menggeletak di atas dipan batu dengan muka menghadap ke bawah, kedua tangan mendekap kepala, tubuh tampak kaku, jelas sudah mati.
Sudah beberapa tahun lelaki itu bertugas mengantar makan untuk Pan-Cong-hun, lama-lama tentu timbul juga perasaan akrab, maka dia agak menaruh simpati terhadap ahli teknik itu. Sekarang diketahui orang tua itu menggeletak di situ, tampaknya seperti sudah mati, seketika ia menjadi gugup, cepat ia taruh makanan dan membuka selot pagar besi, lalu menekan tombol untuk menaikkan pagar besi dan menerobos ke dalam.
Cepat ia melompat ke depan Pan-Cong-hun dan diangkatnya sambil tanya, "Hei, kamu ... "
Namun cuma satu kata saja sempat di ucapkannya, sebab mendadak ia melengong dan segera roboh terkulai.
Sin-jio Pan-Cong-hun lantas melompat bangun dari rangkulan tangan orang itu, sekaligus menutuk pula hiat-to bisu orang, katanya dengan tertawa, "Aku kenapa" Aku kan tidak mati!"
Kiranya Sin-jio Pan-Cong-hun ini bukan lagi Pan-Cong-hun yang asli melainkan samaran Su-Kiam-eng.
Anak muda itu tidak mengubah wajahnya, hanya baju dan sepatu Pan-Cong-hun saja yang dipakainya.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Maka orang itu tidak dapat mengenalinya sebelum berhadapan dari dekat.
Setelah menutuk roboh orang itu, selera Kiam-eng mendekati dinding, dibukanya batu dinding yang longgar itu, lalu mendesis terhadap Pan-Cong-hun asli yang menunggu di kamar sebelah, "Hei, Lo-tiang, lekas menerobos kemari!"
Cepat Sin-jio Pan-Cong-hun melompat bangun dari dipan batu dan menerobos kembali ke kamar tahanan sendiri, ia pandang orang she Ciu yang menggeletak di lantai dengan kaku itu, ucapnya dengan agak kuatir, "Hei, apa ... apa dia mati?"
Kiam-eng menggeleng, jawabnya tertawa "Tidak, aku cuma menutuk hiat-to kelumpuhan dan hiat-to bisunya saja."
"Mendingan begitu," ujar Pan-Cong-hun lega. "Pada dasarnya orang ini tidak jahat, janganlah kau bunuh dia."
"Tidak, biasanya aku memang tidak suka membunuh orang," ujar Kiam-eng tertawa. Sembari bicara ia terus mengangkat orang she Ciu itu ke atas dipan batu.
Pan-Cong-hun lantas membuka baju dan sepatu Su-Kiam-eng yang dipakainya itu dan dikembalikan kepada anak muda itu, katanya dengan tertawa, "Nah, lekas kau pun kembalikan baju dan sepatuku."
Setelah kedua orang saling tukar baju dan sepatu, lalu Su-Kiam-eng mendahului meninggalkan kamar tahanan, menerobos pintu pagar besi dan masuk ke ruang tangga otomatis.
Di dalam ruang tangga naik-turun otomatis itu ada tiga buah tombak, Su Kiam-eng tidak paham cara mengatasinya, cepat ia tanya Pan-Cong-hun yang sudah ikut masuk ke situ, "Lo-tiang, cara bagaimana mengendalikan ruang naik-turun ini?"
Dengan sebuah jari Pan-Cong-hun menekan tombak sebelah kanan, katanya dengan suara tertahan,
"Yang ini adalah tombol tutup buka pintu."
Benar juga, begitu tombol itu ditekan, segera pintu ruang tangga mulai merapat.
Sin-jio Pan-Cong-hun menekan lagi tombol yang tengah dan berkata, "Yang ini untuk naik!"
Kiam-eng sangat senang, katanya, "Entah bagaimana keadaan di atas sana, janganlah begitu kita keluar dari ruang tangga ini segera kepergok oleh Tok-pi-sin-kun."
"Agaknya tidak," ujar Sin-jio Pan-Cong-hun dengan tersenyum.
"Kabarnya dia selalu dikelilingi banyak perempuan cantik," tanya Kiam-eng.
Pan-Cong-hun mengangguk, "Ya, dia memang seorang maniak seks, satu hari hari tidak tidur dengan orang perempuan mungkin bisa mencret."
"Jadi di kamar tidurnya juga senantiasa tersedia perempuan cantik?" Kiam-eng menegas.
"Betul," tutur Sin-jio Pan-Cong-hun. "Kamar tidurnya sangat luas, di tengah kamar ada sebuah kolam air hangat dengan peralatan serba mewah, dia dan para perempuan cantik itu sering berendam di dalam kolam dan tidak segan segan main gila di dalam air. Maka bila maksudmu masuk ke kamarnya hendak mencuri peta, aku kira sangat sulit akan berhasil."
"Betapapun sulitnya juga harus coba," ucap Kiam-eng tegas. "Paling-paling ..."
"Ssst ..." mendadak Pan-Cong-hun mendesis, "sudah sampai ..."
Baru lenyap suaranya, tepat juga ruang tangga itu lantas berhenti bergerak.
Sikap Pan-Cong-hun tampak tegang, tanyanya dengan ragu, "Bagaimana, buka tidak?"
"Ehm, buka saja," sahut Kiam-eng dengan mengangguk.
Setelah Pan-Cong-hun menekan tombol, pintu ruang tangga mulai terbuka dengan perlahan. Yang pertama masuk ke pandangan Su Kiam-eng adalah sebuah ruang batu yang sangat luas dan ternyata kosong, tiada seorang pun terlihat.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dengan girang segera Kiam-eng hendak melangkah ke luar, akan tetapi Sin-jio Pan-Cong-hun keburu menariknya, "Jangan tergesa-gesa, hendaknya engkau ikut di belakangku saja."
Kiam-eng terkesiap, cepat ia menarik diri dan bertanya, "Apakah ruang batu ini pun terpasang alat perangkap?"
Sin-jio Pan-Cong-hun tidak menjawab, ia berjongkok untuk memeriksa sepotong batu lantai dekat pintu ruang tangga dengan sikap prihatin dan tegang.
Kiam-eng ikut berjongkok dan bertanya dengan suara lirih, "Apa yang Lo-tiang periksa di sini?"
Sin-jio menunjuk batu lantai itu, katanya, "Coba lihat ubin lantai ini, warna-warni ubin ini adalah semacam tanda rahasia, setelah memeriksa gambar ubin ini baru diketahui permainan apa yang terpasang di ruang batu ini ..."
Sembari bertutur ia terus memeriksa dengan teliti.
Kiam-eng menunggu dengan sabar, dilihatnya orang tua itu mengernyitkan kening, lalu termangu-mangu. Ia coba tanya lagi, "Bagaimana, Lo-tiang?"
Sin-jio termenung lagi sejenak, jawabnya kemudian, "Sungguh aneh, jangan-jangan semua tanda rahasia di tempat ini telah diganti seluruhnya oleh Tok-pi-sin-kun?"
Keterangan si ahli teknik tua itu membuat Kiam-eng merasa gelisah, ia pikir bilamana benar semua tanda rahasia di situ telah diganti, ini berarti Sin-jio Pan-Cong-hun takkan paham lagi seluk-beluk alat pesawat rahasia yang teratur di istana putar ini, dan ini berarti pula orang tua, itu tidak sanggup lagi membawanya menerobos keluar dari tempat musuh ini.
"Maksud Lo-tiang, engkau tidak paham lagi tanda rahasia yang terdapat di situ?" tanya Kiam-eng dengan cemas.
"Betul," jawab Pan-Cong-hun. "Cuma sedikit banyak masih dapat aku raba, kuatirnya rabaanku meleset atau keliru tafsir ..."
"Wah, lantas bagaimana?" tanya Kiam-eng dengan kuatir.
"Sekarang hanya ada satu jalan, yaitu harus berani menyerempet bahaya," tutur Pan-Cong-hun.
"Asalkan langkah pertama kita sudah betul, segera aku tahu pesawat perangkat apa yang terpasang di ruang batu besar ini. Sebaliknya kalau salah langkah pertama, maka ... "
"Maka segera akan diketahui musuh?" tukas Kiam-eng.
"Betul, bahkan karena keliru menyentuh pesawat perangkap, akibatnya kalau tidak terluka parah atau mati, paling tidak pasti juga akan tertangkap musuh."
"Tapi kita juga tidak dapat terus menerus bersembunyi di ruang tangga ini kan." tanya Kiam-eng.
Sin-jio Pan-Cong-hun mengangguk, sorot matanya menyapu sekeliling lantai dekat pintu itu, mendadak ia tuding ubin pada sebelah kiri sana dan berkata, "Coba kau injak ubin itu, begitu menginjak segera kau tarik kembali kakimu secepatnya!"
Kiam-eng menurut, dengan hati-hati kaki kanan menginjak sekali pada ubin itu dan cepat ditarik kembali.
Melihat tiada sesuatu reaksi, Sin-jio Pan-Cong-hun tampak bergirang, katanya, "Ah, mungkin betul. Coba kau injak lagi ubin yang sebelah kanan ini!"
Segera Kiam-eng mengikuti petunjuk orang tua itu dan menginjak lagi satu kali pada ubin sebelah kanan yang dimaksud, akibatnya juga tidak menimbulkan sesuatu reaksi pesawat perangkap.
Pan-Cong-hun sangat girang, ia berdiri dan berkata, "Bagus, jelas ruang ini adalah Pek-cian-tin (kamar barisan seratus anak panah), Mari ikut padaku!"
Sembari bicara segera ia mendahului melangkah ke sebelah kiri.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng ikut melangkah ke depan menurut cara si kakek sembari bertanya dengan suara perlahan,
"Apa yang disebut Pek-cian-tin itu apakah berarti ada perangkap yang akan menghamburkan anak panah laksana hujan, begitu?"
"Ya, begitulah kira-kira," sahut Pan-Cong-hun mengangguk.
Kiam-eng melihat ruang batu itu seluas belasan meter, bilamana benar dari sekeliling ruangan terjadi hujan panah, memang sangat sukar untuk menyelamatkan diri. Karena itulah ia rada kuatir.
Namun Sin-jio Pan-Cong-hun justru tidak memperlihatkan rasa gentar, ia mendahului melangkah ke depan dan makin menurut ke sebelah kiri, ketika dekat kaki dinding sana, mendadak dinding batu bisa bergeser ke atas sehingga terlibat pula sebuah ruang batu yang lain.
Kiam-eng melengak, katanya heran, "Mengapa pintu rahasia ini dapat terbuka sendiri?"
Pan-Cong-hun tersenyum, "Asalkan tepat caramu melangkah, setiap pintu rahasia di sini akan terbuka dengan sendirinya bagimu."
Habis berkata kembali ia berjongkok untuk memeriksa ubin di dekat pintu ruangan baru ini.
Kiam-eng tidak berani mengganggunya, dengan sabar ia menunggu di belakang orang.
Setelah memeriksa sejenak, tiba-tiba Sin-jio Pan-Cong-hun mendongak, katanya dengan menyengir,
"Ternyata betul, seluruh tanda rahasia di tempat kediaman Tok-pi-sin-kun ini memang sudah diganti semua."
"Dan ruangan apakah yang ini?" tanya Kiam-eng dengan agak tegang.
"Entah," jawab Sin-jio. "Rasanya harus menyerempet bahaya lagi sekali, jika tepat cara jalan kita, maka ketahuanlah segenap alat perangkap yang teratur di istana putar ini ..."
Meski sangat tegang, namun Kiam-eng mempunyai keberanian menempuh bahaya, dengan tertawa ia tanya, "Dan sekarang ubin mana yang harus aku pijak?"
Dengan teliti Sin-jio Pan-Cong-hun memeriksa lagi sejenak, lalu menunjuk sebuah ubin di depan dan berkata, "Coba injak saja yang ini."
Ketika diinjak Kiam-eng, ternyata tidak salah tafsiran si kakek. Tentu saja mereka sangat gembira.
"Ruang ini bernama Thian-lo-te-bang (jaring langit dan jala bumi), bilamana pesawat rahasianya tersentuh, seketika akan tertebar jaring raksasa dari atas sehingga siapa pun akan terjaring dan dikerek ke dalam kurungan besi." demikian tutur Sin-jio.
Kiam-eng masih terus melangkah maju mengikuti cara si kakek, katanya dengan senang. "Jadi sekarang Lo-tiang sudah tahu seluruh cara pengaturan pesawat perangkap di sini?"
Sin-jio Pan-Cong-hun mengangguk, "Ya, begitulah. Dan ruang di depan itu adalah ruang Hoan-pan (papan putar), sedang ruang sebelah kanan tentulah ..."
Belum habis ucapannya, entah mengapa, mendadak seluruh ruang tempat mereka ini berputar.
Keruan mereka terkejut, seketika mereka kelabakan dan tidak tahu apa yang terjadi.
"Wah, mungkin kita salah langkah?" seru Kiam-eng kuatir.
Sin-jio Pan-Cong-hun juga ketakutan, tapi setelah dia mengamati cara berputar kamar batu itu, cepat ia tarik Kiam-eng dan mendesis padanya, "Ssst, jangan bersuara, berdiri tegak dan jangan bergerak. Kita tidak salah langkah!"
"Kalau tidak salah langkah, mengapa ruang batu ini mendadak bisa berputar?" tanya Kiam-eng.
"Aku kira Tok-pi-sin-kun sedang mengubah posisi setiap ruangan," tutur Sin-jio Pan-Cong-hun. "Dia seorang licik dan selalu kuatir terjadi pengkhianatan, maka setiap hari dia ubah posisi ruang dalam istana putar ini ... Coba kau lihat dinding batu itu!"
Waktu Kiam-eng memandang ke arah sana yang ditunjuk, terlihat dinding di sebelah sana sedang Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menurun ke bawah, di balik dinding ternyata gelap gulita dan tidak terlihat apa pun. Namun sesudah dinding batu itu ambles ke bawah, ruang batu ini pun mulai menggeser ke tempat yang gelap itu.
Setelah meluncur belasan meter jauhnya, "blang", ruang batu itu lantas menggeser lagi ke kiri dengan perlahan. Dan pada saat sama ada juga beberapa ruangan lain sedang bergerak dalam kegelapan, keadaannya sangat ruwet, rasanya seperti dunia mau kiamat.
Kejut dan tidak terperikan heran Su-Kiam-eng, tanyanya, "Dengan cara bergerak ke kiri dan bergeser ke kanan begini, diperlukan berapa lama baru seluruhnya dapat berganti posisi?"
"Sudah hampir selesai, mungkin bergeser lagi sekali ke kanan dan seluruhnya akan beres," ujar Sin-jio Pan-Cong-hun.
Benar juga, setelah ruang itu menggeser pula belasan meter ke kanan, lalu berhenti. Menyusul sebelah dinding mulai naik perlahan ke atas, ketika naik sampai titik puncaknya, seluruh ruangan batu lantas pulih pada bentuknya semula tanpa terlihat ada sesuatu perubahan dan bekas apa pun.
Perlahan Sin-jio Pan-Cong-hun menghela napas, katanya, "Ai, sekarang terpaksa harus memeras otak lagi."
"Oo, memangnya kenapa?" tanya Kiam-eng dengan melengak.
Dengan kesal Pan-Cong-hun menjawab. "Tadi dengan menyerempet bahaya kita telah berhasil menerobos dua lapis perangkap, dari pengalaman itu dapatlah aku pahami cara pengaturan segenap pesawat perangkapnya. Tapi sekarang mendadak posisinya berubah semua, lantaran aku tidak mengerti kode rahasia baru yang diganti Tok-pi-sin-kun, maka sekarang terpaksa kita harus mengulangi lagi dengan menyerempet bahaya."
"Ai, sungguh sial," ucap Kiam-eng dengan lesu. "Kenapa tidak siang tidak malam dia mengubah posisi perangkapnya melainkan pada saat sekarang dia melakukan hal itu, seperti sengaja hendak main gila dengan kita."
"Bisa jadi setiap hari pada saat seperti sekarang ini dia mengubah posisi perangkap istananya ini," kata Pan-Cong-hun. "Tahu begitu, mendingan kita bertindak nanti saja."
Sambil menggeleng kepala ia terus melangkah ke depan, katanya pula, "Ayolah, apakah akan untung atau akan buntung, mau-tak-mau harus kita hadapi."
Begitulah kedua orang lantas mendekati kaki dinding di depan sana, kembali ada lagi sebuah pintu rahasia terbuka dengan sendirinya dan muncul sebuah ruang batu yang lain.
"Tempo hari waktu aku datang kemari dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, pernah aku lalui banyak lorong yang panjang, lorong-lorong itu jelas tidak terpasang perangkap apa pun, kenapa kita tidak keluar melalui lorong-lorong itu saja?" bisik Kiam-eng.
Pan-Cong-hun menggeleng, "Tidak bisa. Di lorong-lorong itu selalu ada patroli anak buah Tok-pi-sin-kun, jika kita melalui lorong itu tentu akan kepergok mereka.
Habis bicara kembali ia berjongkok untuk meneliti tanda rahasia pada pintu kamar ke tiga.
Agak lama ia mengamatinya, kemudian menggeleng kepala dan berkata, "Wah, sungguh memusingkan.
Ruang ini seperti Ban-hong-tin dan juga serupa Bi-hun-kiong ... "
"Apa artinya Ban-hong-tin dan Bi-hun-kiong?" tanya Kiam-eng cepat.
"Ban-hong-tin (barisan berlaksa tawon) artinya bilamana pesawat rahasianya terjamah olehmu, seketika akan berterbangan lebah berbisa beratus ribu jumlahnya. Sedangkan Bi-hun-kiong berarti istana asap bius, apabila tersentuh ruang itu seketika akan menghembus ke luar asap dupa yang dapat membius orang hingga tak sadar."
Setelah terdiam sejenak, lalu ia menuding sebuah ubin dan berkata, "Coba, boleh kau injak ubin ini.
Bilamana terasa ada sesuatu yang tidak beres hendaknya cepat menarik kakimu."
Dengan tangan berpegang tepian pintu, Kiam-eng menjulurkan kaki kanan untuk coba menginjak ubin yang ditunjuk, terasa tempat yang tersentuh ujung kaki bisa ambles sedikit, ia tahu gelagat tidak menguntungkan, cepat ia tarik kembali kakinya dan berkata, "Wah, celaka, salah injak!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Baru lenyap suaranya, mendadak lima buah ubin dalam ruang ambles ke bawah, menyusul dari bawah lantai lantas mengepulkan asap panca warna yang tebal.
Sin-jio Pan-Cong-hun terkejut, cepat ia mendekap hidung dan melompat kembali ke ruangan batu semula sambil berseru, "Lekas menyingkir kemari!"
Cepat Kiam-eng ikut melompat kembali ke ruang tadi, karena reaksi mereka cukup cepat, maka ketika asap yang mengepul itu hampir melayang masuk ke ruang mereka, syukur pintu rahasianya keburu merapat sehingga mereka terhindar dari serangan asap berbisa itu.
"Wah, setelah salah menyentuh pesawat rahasia, bukankah semuanya diketahui oleh musuh?" ucap Kiam-eng dengan kuatir.
"Betul, lantas bagaimana baiknya," jawab Sin-jio dengan gugup.
Kiam-eng memandang sekelilingnya dan bertanya pula, "Kira-kita kapan musuh dapat memburu kemari?"
"Aku kira segera akan tiba di sini," tutur Pan-Cong-hun.
"Jika begitu, kita kan tidak sampai terjebak oleh asap berbisa itu, tentunya mereka takkan menemukan kita," ujar Kiam-eng.
"Betul, tapi mereka pasti akan mencari kian kemari hingga kita ditemukan."
Kiam-eng menunjuk ke dua sisi dinding batu dan bertanya, "Apakah di kanan-kiri situ juga terdapat ruang perangkap?"
"Ya, yang sebelah kiri itu besar kemungkinan Hui-to-tin (barisan pisau terbang) dan yang sebelah kanan mungkin Thai-san-ap-teng (gunung raksasa menindih kepala)," tutur Sin-jio Pan-Cong-hun dengan agak cemas.
Ketika melihat Su Kiam-eng merasa bingung, segera ia menjelaskan lebih lanjut, "Yang disebut hai-san-ap-teng itu adalah sepotong batu raksasa ribu kati akan anjlok dari atas."
"Oo," Kiam-eng bersuara singkat, lalu ia tuding sebelah kiri, "Jika begitu, marilah kita menerjang ruang Hui-to-tin saja!"
Dengan sendirinya Sin-jio Pan-Cong-hun juga tidak mau mandah ditawan musuh, cepat ia melangkah ke sebelah kiri disusul oleh Su-Kiam-eng.
Setiba di kaki dinding sebelah kiri, terbukalah pintu rahasia di dinding itu dan yang muncul memang betul juga sebuah ruang batu marmer.
Sekali ini Pan-Cong-hun hanya berjongkok dan memeriksa sebentar saja, lalu menunjuk salah sebuah ubin di situ, "Coba injak ubin ini!"
Tanpa ragu Kiam-eng menuruti petunjuk si kakek, sebelah kaki lantas menginjak ubin yang ditunjuk dan ternyata tidak menimbulkan sesuatu reaksi apa pun, segera Sin-jio mendahului melangkah ke dalam ruang itu, katanya, "Tidak salah lagi, ruang ini memang betul ruang Hui-to-tin!"
Kiam-eng ikut masuk ke situ, tanyanya, "Apakah sekarang Lo-tiang sudah tahu cara bagaimana kita harus melangkah?"
"Ya, sudah tahu seluruhnya," jawab Pan-Cong-hun.
"Jika begitu, lantas sekarang kita harus menuju ke mana?" tanya Kiam-eng pula.
"Dengan sendirinya menuju ke luar istana putar," ujar Sin-jio.
"Tidak, kita masih harus mengunjungi kamar tidur Tok-pi-sin-kun," kata Kiam-eng.
Sin-jio Pan-Cong-hun melengak, ucapnya sambil menoleh, "Kau bilang kita masih harus mengunjungi kamar tidur Tok-pi-sin-kun?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, kita harus pergi ke sana." jawab Kiam-eng sambil mengangguk.
"Tapi ... tapi saat ini Tok-pi-sin-kun sudah tahu istananya ini diselundupi orang luar, mana boleh kita menuju ke kamarnya malah?" kata Sin-jio dengan kuatir.
Kiam-eng tersenyum, "Sesudah diketahui ada orang menyusup ke istananya, tentu dia akan menggeledah seluruh ruang istananya, maka kesempatan ini justru dapat kita gunakan untuk menyusup ke kamar tidurnya, cara ini kan sangat aman?"
Pan-Cong-hun pikir gagasan Kiam-eng itu memang benar juga, segera ia melangkah lagi dan berkata.
"Baik, ikut saja padaku!"
Karena dia sudah tahu seluruh pengaturan pesawat rahasia dalam istana putar sekarang, maka dengan sangat mudah dapatlah mereka menerobos lewat beberapa ruang rahasia yang penuh perangkap.
Akhirnya mereka sampai di suatu ruang ketika pintu rahasia terbuka, ternyata ruang ini bukan lagi ruang batu melainkan sebuah terowongan kecil yang cuma bisa cukup diterobos seorang saja dengan merangkak.
Pan-Cong-hun menunjuk terowongan kecil itu dan mendesis, "Merangkak masuk ke dalam terowongan ini akan langsung mencapai kamar tidur Tok-pi sin-kun."
"Apakah terowongan ini tidak dipasang alat perangkap?" tanya Kiam-eng.
"Tidak ada, sebab terowongan ini disiapkan oleh Tok-pi-sin-kun sebagai jalan meloloskan diri bilamana terancam bahaya," tutur Sin-jio.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, mari kita masuk ke situ," kata Kiam-eng
Segera mereka menyusup ke dalam terowongan sempit itu dan perlahan merangkak ke depan.
Dengan sendirinya terowongan itu tidak ada penerangan, keadaan gelap gulita sehingga jari sendiri pun tidak terlihat, terowongan itu serupa liang tikus belaka.
Kiam-eng ikut di belakang Sin-jio, sembari merangkak ia coba tanya, "Kira-kira perlu berapa jauh untuk bisa mencapai kamar tidur Tok-pi-sin-kun?"
"Sangat dekat, sudah hampir tiba," jawab Sin-jio Pan-Cong-hun.
"Lo-tiang bilang kamar tidur Tok-pi-sin-kun itu ada tiga jalan tembus, apakah terowongan ini termasuk satu diantaranya?" tanya Kiam-eng pula.
"Betul," jawab Sin-jio. "Jalan tembus rahasia ini langsung menembus sebuah peti pakaian di dalam tidurnya, bilamana tutup peti terbuka, maka dapatlah kita berada di dalam kamarnya."
Tiba-tiba ia mendesis, "Sssst, jangan bersuara lagi, sudah hampir sampai!"
Mereka merangkak beberapa meter lagi ke depan dan sampailah di ujung terowongan itu. Kiam-eng coba meraba ke depan, dirasakan ujung terowongan itu agak lebih lebar, kira-kira seluas satu dua meter sehingga cukup untuk orang berdiri.
Ia tahu tentu di situlah lubang keluarnya, ia coba pasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat, namun tiada setitik suara pun yang terdengar, Ia membisiki Sin-jio Pan-Cong-hun, "Di atas seperti tidak ada orang, marilah kita naik saja ke atas."
Sin-jio balas mendesis. "Baik, biar aku buka lubang keluar ini."
Ketika tangannya mulai meraba bagian atas terowongan, selagi dia hendak mengangkat penutup lubang, tiba-tiba di atas sana bergema suara orang bicara.
"Bagaimana?" demikian terdengar suara seorang lagi bertanya. Jelas itulah suara Tok-pi-sin-kun.
Pan-Cong-hun terperanjat, cepat ia tarik kembali tangannya dan membisiki telinga Su-Kiam-eng. "Coba dengarkan, Tok-pi-sin kun masih berada di kamarnya bukan?"
Kiam-eng menjawabnya dengan suara lirih, "Betul, sebaiknya kita jangan sembarangan bergerak dulu, coba dengarkan apa yang sedang dibicarakan dia."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setelah suara Tok-pi-sin-kun yang lagi bertanya tadi, lalu terdengar suara Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san sedang menjawab, "Sudah aku periksa ke sana dan ternyata tiada ditemukan orang tergeletak di Bi-hun-kiong sana."
"Sungguh aneh," kata suara Tok-pi-sin-kun. "Lalu bagaimana dengan yang ruang perangkap di sekitar Bi-hun-kiong?"
"Sudah aku periksa juga, semuanya tidak ditemukan jejak musuh," lapor Pau-Hai-san.
"Hi jangan-jangan terjadi sesuatu kerusakan pada pesawat pengamatan di Bi-hun-kiong?" tanya Tok-pi-sin-kun.
"Ya, hamba pun berpikir begitu. kalau tidak, mustahil si penerobos istana itu mampu menghilang secepat itu ... "
"Tapi di seluruh dunia ini hanya ada seorang saja yang mampu berkeliaran dalam istana putar ini tanpa halangan, orang itu ialah Sin-jio Pan-Cong-hun. Cuma ... ah, betul, adakah kau kirim orang memeriksa keadaan penjara di bawah tanah sana?"
"Ada, Yu-hou-hoat dan Yap-Hui sudah pergi ke sana dengan beberapa anak buah mereka, seluruh istana juga sudah aku perintahkan digeledah dengan teliti ... "
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara "ting-ting-ting-ting", suara genta yang dibunyikan sebagai tanda gawat sehingga pembicaraan Tok-pi-sin-kun dan Thian-ti-it-koai terputus.
"Ada terjadi apa?" terdengar Tok-pi-sin-kun menegur dengan suara kurang senang.
"Lapor Sin-kun, Su-Kiam-eng dan Pan-Cong-hun yang terkurung di penjara bawah tanah itu diketahui sudah menghilang!" demikian terdengar seorang memberi laporan.
"Apa katamu" Mereka menghilang" Cara bagaimana mereka dapat kabur dari sana?" tanya Tok-pi-sin-kun dengan kaget.
"Cia Sun yang sehari-hari bertugas sebagai pengantar rangsum itu ditemukan tergeletak di dalam kamar penjara, dia seperti lumpuh akibat hiat-to tertutuk, tidak dapat bergerak juga tidak dapat bicara, di antara dinding kamar tahanan itu satu sama lain terdapat sebuah lubang ... Mungkin dibobol oleh Su-Kiam-eng ..."
"Sudahlah?" bentak Tok-pi-sin-kun. "Cepat memberi perintah agar setiap jalan ke luar dijaga dengan ketat!"
Lalu terdengar orang tadi mengiakan dan mengundurkan diri.
"Pau-hou-hoat," kata Tok-pi-sin-kun pula, "lekas kau beritahukan kepada Biau-hou-hoat dan Yap-Hui berempat, suruh mereka jangan lagi menggeledah di dalam istana, semuanya supaya menunggu dan berjaga di luar istana. Aku kira si tua bangka she Pan dan Su-Kiam-eng belum lagi meninggalkan istana putar kita ini. Andaikan mereka dapat lolos dari istana ini juga belum tentu mampu kabur meninggalkan Thian-ti."
Terdengar Pau-Hai-san mengiakan juga dan mengundurkan diri.
"Bwe-hui, ambilkan bajuku!" Tok-pi-sin-kun memberi perintah pula kepada seorang selirnya.
Kemudian terdengar suara gemercik air, jelas Tok-pi-sin-kun sedang mandi di dalam kamar tidur dan baru sekarang berdiri di kolam mandi.
Menyusul lantas terdengar suara gemersek, suara orang memakai baju, kemudian terdengar pula Tok-pi-sin-kun berkata, "Bwe-hui, coba kamu duduk di sebelah sini. Bila melihat musuh menyusup ke dalam kamar tidur, hendaknya segera kau tarik tombol alarm."
"Baik, Sin-kun," terdengar suara seorang perempuan menjawab.
Habis itu lantas terdengar suara orang berjalan yang makin menjauh.
Diam-diam Kiam-eng merasa senang, segera ia membisiki Pan-Cong-hun, "Baiklah, sekarang boleh kau Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
buka lubang ke luar itu."
"Jangan, sabar dulu," sahut Pan-Cong-hun dengan suara tertahan. "Baru saja Tok-pi-sin-kun menyuruh Bwe-hui itu duduk di dekat tanda bahaya, apalagi kita naik ke sana dan dilihat dia, seketika dia akan menarik tombol tanda bahaya dan segera pula Tok-pi-sin-kun akan memburu kembali ke kamar tidurnya."
Diam-diam Kiam-eng membenarkan hal itu, ia menjadi bingung lantas bagaimana baiknya.
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia mendongak dan berseru, "Bwe-hui! Bwe-hui!"
Ia menirukan suara Tok-pi-sin-kun dan cukup mirip.
Maka terdengar Bwe-hui bersuara heran dan bertanya, "Hei, apakah di situ Sin-kun adanya?"
"Betul," jawab Kiam-eng dengan suara tertahan. Lekas buka tutup peti pakaian ini!"
"Ya, baiklah ..." lalu terdengar suara orang berlari kecil mendekati peti pakaian di atas disusul dengan suara terbukanya tutup peti, segera cahaya lampu menyorot ke dalam terowongan sehingga menyilaukan mata. Nyata lubang ke luar itu sudah terbuka.
Tanpa ayal Kiam-eng melompat ke atas, langsung jarinya menutuk ke arah seorang perempuan cantik genit di depannya.
Perempuan yang bernama Bwe-hui itu kaget setengah mati ketika mengetahui orang yang melompat ke luar ternyata bukan Tok-pi-sin-kun adanya, sebelum dia sempat berteriak kaget sudah keburu jatuh pingsan kena tutukan Su-Kiam-eng.
Dia memang seorang perempuan teramat cantik, tubuhnya cuma mengenakan selapis baju merah sutra tipis, kulit badannya putih mulus dengan dada montok dan samar-samar tembus pandang dan sangat merangsang.
Belum pernah Kiam-eng melihat perempuan berbaju seberani ini, seketika ia menjadi malu sendiri dan kikuk. Cepat ia berpaling ke arah lain dan coba memandang sekeliling ruang itu.
Ternyata kamar tidur Tok-pi-sin-kun ini memang sangat luas dan mewah, di tengah kamar ada sebuah kolam mandi air panas berbentuk bunga, di tepi kolam ada beberapa buah patung lelaki dan perempuan telanjang terbuat dari batu marmer dengan gaya yang porno dan tidak sedap dipandang.
Selain itu, di dalam kamar masih banyak alat perabot yang indah permai dengan hiasan yang amat menakjubkan.
Timbul pikiran Kiam-eng, apabila sekarang peta pusaka itu tidak terbawa oleh Tok-pi-sin-kun, lantas kira-kira akan disembunyikan di mana"
Ia coba tanya Sin-jio Pan-Cong-hun, "Apakah kau tahu di mana Tok-pi-sin-kun menyimpan barang-barangnya yang berharga?"
"Wah, entah, dari mana aku tahu?" jawab Pan-Cong-hun dengan menggeleng.
Kiam-eng berpikir sejenak, kemudian ia lolos belati yang dibawanya, ia berjongkok dan membuka hiat-to pingsan Bwe-hui, melihat orang sudah siuman, segera ia ancam dengan belati pada ulu hatinya sembari bertanya dengan suara tertahan, "Jika kamu ingin hidup lebih lama, sekali-kali kamu tidak boleh menjerit!"
Bwe-hui ketakutan setengah mati sehingga mukanya pucat seperti mayat, jawabnya dengan suara gemetar, "Hamba tidak ... tidak berani. Siii ... siapakah Tuan?"
"Tidak perlu kau tanya siapa aku," jengek Kiam-eng. "Sekarang jawab pertanyaanku, peta rahasia kota emas yang diperoleh Pau-Thian-bun itu ditaruh di mana?"
"Peta rahasia kota emas apa?" Bwe-hui menegas dengan bingung.
"Apa kamu ingin mati?" ancam Kiam-eng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Sungguh hamba tidak tahu tentang peta kota emas segala," jawab Bwe-hui gemetar.
"Jika begitu, coba katakan, biasanya di mana Pau-Thian-bun menyimpan barang berharga," Bwe-hui menuding seluruh kamar tidur itu dan menjawab, "Tersimpan di dalam kamar ini, coba kau lihat, semua
... semua benda yang berada di sini adalah barang berharga yang tidak ada taranya, apabila engkau mau boleh ... boleh ambil saja, namun aku mohon janganlah mengganggu jiwa hamba, sebab hamba hanya
..." Belum habis ucapannya, kembali jari Su-Kiam-eng bekerja lagi, ia tutuk pingsan perempuan itu, lalu berpaling dan berkata kepada Sin-jio Pan-Cong-hun, "Mungkin perempuan jalang ini memang tidak tahu peta pusaka yang dipegang Tok-pi-sin-kun itu, sekarang terpaksa kita harus bekerja keras untuk menggeledah kamar ini."
Pan-Cong-hun mengangguk setuju, katanya. "Ya, biar aku bantu mencarinya."
Segera mereka mulai membongkar peti dan membuka koper, namun meski segenap tempat yang dipandang mungkin menjadi tempat penyimpanan benda berharga telah diobrak-abrik tetap tiada sesuatu yang mereka temukan.
Mendadak Sin-jio berhenti dan berkata, "Percuma, mungkin peta itu terbawa pada tubuhnya, akan lebih baik lekas kita tinggalkan tempat ini saja, kalau tidak, bila iblis tua itu pulang kamar, tentu kita bisa celaka."
Bilamana tujuannya bukan untuk merebut kembali peta pusaka, betapapun Su-Kiam-eng tidak berani menerobos ke tengah istana putar yang berbahaya ini, sampai gurunya pun gentar untuk menerjang ke sarang musuh ini. Sekarang dia sudah sempat beroperasi di tengah istana musuh, masakah kesempatan bagus ini akan disia-siakan lagi"
Namun ia pun menyadari sudah sekian lama ia berada di kamar ini, kalau tidak mau kepergok oleh Tok-pi-sin-kun memang jalan paling aman harus lekas tinggal pergi. Sebab itulah, setelah ia pikir sejenak, segera ia mengambil suatu keputusan.
"Aku kira anak buah Tok-pi-sin-kun saat ini pasti sudah menjaga rapat sekeliling istana putar ini, biarpun kita dapat lolos dari istana ini juga sukar menerjang ke luar kepungan mereka," demikian kata Kiam-eng.
"Maka menurut pendapatku, biarlah kita tetap bersembunyi sementara di dalam istana putar ini, boleh kita main kucing-kucingan dengan mereka ..."
"Wah, jika begitu, lebih aman kita sembunyi di dalam terowongan tadi saja," ujar Sin-jio Pan-Cong-hun.
"Jika begitu, boleh engkau masuk ke sana dulu, sebentar lagi baru aku susul ke sana," kata Kiam-eng.
"Apakah engkau akan tetap mencari peta itu?" tanya Sin-jio.
Kiam-eng menggeleng kepala, ia mendekati sebuah meja tulis, ia angkat pensil dan segera mulai menulis di dinding sebelah pintu.
"Bangsat tua she Pau, dapat menemukan peta pusaka di dalam kamar tidurmu, sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah!" demikian tulisannya.
Sin-jio Pau Cong-hun tidak mengerti maksud tujuan tulisan Kiam-eng, ia tanya. "Apa tujuan tulisanmu?"
"Ini cuma pancingan belaka, aku harap Tok-pi-sin-kun akan memberitahukan padaku di mana ia simpan peta pusaka itu." tutur Kiam-eng dengan tersenyum.
Seketika Cong-hun tahu maksud anak muda itu, ia terkesiap, "Apakah cara ini tidak terlampau bahaya?"
"Tidak apa," sahut Kiam-eng. "Silakan Lo-tiang lekas sembunyi di dalam terowongan sana."
Sin-jio Pan-Cong-hun mendekati peti pakaian itu dan membuka tutup peti, lalu melompat ke bawah.
Kiam-eng menutup kembali tutup peti, lalu mendekati lagi Bwe-hui, ia tarik seutas tali sutra warna emas yang menggelantung di dinding, ia taksir tali ini tentu alat membunyikan alarm sebagai disebut Tok-pi-sin-kun itu, habis menarik tali itu segera ia menyelinap ke belakang kelambu tempat duduk Bwe-hui dan menunggu di situ dengan sabar.
Benar juga, hanya sebentar saja lantas terdengar suara langkah orang yang riuh di luar kamar.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Yang datang ternyata benar Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun.
Begitu melangkah masuk kamar tidur sendiri, dengan segera ia dapat membaca tulisan di dinding yang ditulis Su-Kiam-eng tadi, seketika air mukanya berubah, tanpa menghiraukan Bwe-hui yang menggeletak di lantai, langsung ia terus melompat ke dalam kolam mandi.
Dengan lompatan cepat ia lompat lagi ke tepi kolam sebelah sana, ia rangkul sepasang patung laki-perempuan yang berpelukan dan diamatinya sejenak, menyusul tersembul senyuman mengejek pada wajahnya, lalu ia putar bagian kepala patung yang perempuan, setelah diputar beberapa kali, kepala yang cuma dipasang dengan derat putaran itu lantas terlepas, akhirnya ia menjulurkan tangan ke dalam leher patung perempuan itu dan dikeluarkan satu gulungan kertas serta cepat dimasukkan ke dalam baju. Habis itu mendadak ia membalik tubuh dengan sorot mata tajam ia menyapu pandang sekeliling kamar tidurnya.
"Hm, Su-Kiam-eng, betapapun licin akalmu ini, cuma sayang kamu terlampau menilai rendah kemampuanku," jengeknya dengan terkekeh. "Nah, sekarang lekas kamu menggelinding ke luar!"
Kiam-eng tidak menyangka orang secerdik ini ternyata sekaligus dapat mengetahui tipu muslihatnya, mau-tak-mau ia pun tegang jantung berdetak keras, namun dalam benak tetap tersimpan setitik harapan, maka sedapatnya ia menenangkan diri dan tetap berdiri di tempatnya dengan menahan napas dan tak bergerak.
Ia benar-benar menahan napas, sebab ia tahu daya pendengaran pihak lawan teramat peka, apabila ada suara napas, sebab ia tahu daya pendengaran Tok-pi-sin-kun.
Setelah bicara tadi, Tok-pi-sin-kun memang lantas memusatkan perhatian dan pasang telinga untuk mendengarkan dengan cermat, namun dia seorang yang tinggi hati. Setelah mendengarkan sebentar dan tidak terdengar suara napas orang ke tiga di dalam kamar, serentak ia menarik kesimpulan Su-Kiam-eng tidak berada lagi di dalam kamar, segera ia mendekati Bwe-hui dan berjongkok untuk memeriksanya.
Rupanya inilah kesempatan yang sedang ditunggu-tunggu oleh Su-Kiam-eng.
Tempat berjongkok Tok-pi-sin-kun saat ini berjarak cuma lebih satu meter saja dari tempat sembunyinya. Ia tahu kesempatan bagus ini sangat sukar dicari lagi, kalau tidak segera bertindak dengan menyerempet bahaya jelas tidak ada harapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Maka perlahan sebelah tangannya menyingkap kelambu dan dua jari tangan kanan perlahan menutuk ke hiat-to kelumpuhan Tok-pi-sin-kun.
Kelakuan Su-Kiam-eng itu serupa seorang anak kecil sedang menangkap kecapung, harus menyergapnya dari belakang dengan perlahan dan hati-hati. Bila tangan bergerak terlampau cepat tentu akan diketahui sasarannya.
Betapa cermat cara berpikir seorang tetap akan terjadi kelengahan.
Seyogianya kalau Tok-pi-sin-kun sudah tahu tulisan Su-Kiam-eng di tembok itu hanya tipu muslihat anak muda itu untuk memancingnya belaka, maka lebih dulu seharusnya ia periksa seluruh kamar tidurnya.
Namun Tok-pi-sin-kun terlampau tinggi hati, ia terlalu percaya pada telinga sendiri, ketika tiada suara napas orang ke tiga di dalam kamar yang terdengar olehnya, ia yakin Su-Kiam-eng dan Sin-jio Pan-Cong-hun sudah tidak berada lagi di dalam kamar, ia lupa bahwa untuk sementara musuh kan dapat menahan napas.
Sebab itulah jari Su-Kiam-eng yang menutuk itu tidak mengenai tempat kosong. Baru saja Tok-pi-sin-kun merasakan tubuhnya disentuh sesuatu benda dan bermaksud mengelak, namun sudah kasip, dan begitu tubuh tertutuk kaku, langsung ia terguling ke samping.
Su-Kiam-eng seperti habis melakukan sesuatu pekerjaan berat dan maha sulit, ia menghela napas lega dan mengusap air keringat yang sudah membasahi dahinya, habis itu ia tambahi lagi tutukan hiat-to pingsan Tok-pi-sin-kun.
Tapi pada saat tangan terjulur hendak merogoh baju Tok-pi-sin-kun untuk mengambil peta yang dicarinya itu, sekonyong-konyong seorang menerjang ke dalam kamar secepat terbang ...
Kiranya pendatang ini Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san adanya. Sekilas ia lihat Tok-pi-sin-kun sudah menggeletak di depan Su-Kiam-eng seketika air mukanya berubah hebat. Dengan mata mendelik dan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
membentak segera ia hendak menubruk maju.
Namun sebelah tangan Su-Kiam-eng lantas mengancam batok kepala Tok-pi-sin-kun, bentaknya dengan bengis, "Berhenti! Kalau tidak segera aku hancurkan kepalanya."
Thian-ti-it-koai terkejut dan cepat menahan gaya tubruknya, tanyanya dengan gusar, "Kurang-ajar!
Kamu anak keparat ini barangkali sudah bosan hidup"!"
Kiam-eng tersenyum, ucapnya, "Memangnya apa maksudmu?"
Dengan gusar Thian-ti-it-koai membentak pula, "Kau berani mengganggu Sin-kun kami, apakah kamu ...
" "Karena Sin-kun kalian aku ganggu, lantas aku akan dihancur-leburkan, begitu bukan maksudmu" jawab Kiam-eng dengan tertawa.
Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san melengak, tapi segera ia membentak lagi dengan gusar, "Umpamanya bukan begitu, memangnya kau kira kamu mampu lolos ke luar dari sini?"
"Hal ini aku kira tidak menjadi soal bagiku, terkecuali bila kalian tidak memikirkan keselamatan nyawa Sin-kun kalian?" jawab Kiam-eng.
"Taruh Sin-kun kami di lantai dan kematian-mu dapat aku ampuni, kalau tidak, hm, jangan harap kamu dapat lolos dari sini dengan hidup." ancam Pau-Hai-san.
Kiam-eng tertawa, mendadak ia berseru "Pan-lo-tiang, sekarang bolehlah engkau ke luar kamar!"
Meski sejak tadi Sin-jio Pan-Cong-hun bersembunyi di terowongan sempit, namun ia dapat mengikuti suara apa yang terjadi di dalam kamar, ia dengar Su-Kiam-eng sudah berhasil dalam usahanya, maka ketika dipanggil segera ia merangkak keluar melalui peti pakaian itu.
Ketika melihat Tok-pi-sin-kun sudah berada dalam cengkeraman Su-Kiam-eng, saking senangnya orang tua itu tertawa lebar, ia melangkah ke sana dan duduk di tempat tidur Tok-pi-sin-kun yang terbuat dari gading itu dengan tertawa ia tanya, "Siau-ko (saudara cilik), cara bagaimana akan kau bereskan dia?"
"Menurut pendapat Lo-tiang, sebaiknya cara bagaimana kita bereskan dia?" Kiam-eng balas bertanya dengan tersenyum.
"Aku kira, dapat kita gunakan Pau-Thian-bun sebagai sandera untuk meninggalkan istana putar ini" ujar Sin-jio Pan-Cong-hun dengan tertawa.
"Ya, memang begitu pula maksudku," jawab Kiam-eng sambil menatap Thian-ti-it-koai. "Cuma sekarang juga tampaknya Pau-hou-hoat kita ini tidak dapat menerima kehendak kita ini, lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk itu biarlah serahkan padaku untuk menyelesaikannya," ucap Pan-Cong-hun.
Selesai bicara, mendadak ubin tempat berpijak Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san itu berputar sehingga tokoh andalan Tok-pi-sin-kun terlempar ke bawah lantai.
Rupanya setiap ubin batu marmer di dalam kamar tidur itu dapat bergerak berputar, atau dengan lain perkataan, setiap ubin kamar itu adalah papan berputar.
Oleh karena Sin-jio Pan-Cong-hun sendiri yang merancang dan membangun istana putar ini dahulu, dengan sendirinya ia paham setiap pesawat rahasia dalam istana, maka tadi ia sengaja duduk di tempat tidur gading Tok-pi-sin-kun dan diam-diam menekan tombol rahasia sehingga Pau-Hai-san terjeblos ke bawah.
Tentu saja Kiam-eng sangat girang, segera ia merogoh ke luar peta pusaka dari baju Tok-pi-sin-kun dan disimpan dalam baju sendiri, lalu ia panggul Tok-pi-sin-kun dan berkata, "Mari berangkat, Lo-tiang!"
Dengan gembira Pan-Cong-hun berjalan di-depan sebagai petunjuk jalan dan meninggalkan kamar tidur Tok-pi-sin-kun. Kiam-eng mengikuti rapat di belakang arsitek tua itu. Karena Tok-pi-sin-kun tertawan oleh mereka, dengan sendirinya mereka tidak perlu lagi menerobos berbagai kamar rahasia dalam istana itu melainkan langsung ke luar melalui sebuah lorong yang aman.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mungkin anak buah Tok-pi-sin-kun sama berjaga di luar istana, maka ketika Su-Kiam-eng dan Pan-Cong-hun melalui istana putar seluas itu tidak menemui seorang musuh pun.
Hanya sekejap saja mereka sudah dapat ke luar istana putar dengan selamat.
Malam masih pekat, suasana di luar pintu gerbang istana putar sunyi senyap dan tiada terlihat bayangan seorang pun.
Sungguh aneh, apakah anak murid Tok-pi-sin-kun sebenarnya tidak disuruh berjaga di luar istananya"
Ternyata tidak benar. Begitu berada di luar gerbang istana, segera Su-Kiam-eng merasakan di sekelilingnya bersembunyi musuh, dalam jumlah tidak sedikit.
Segera Kiam-eng mengempit Tok-pi-sin-kun dengan tangan kiri, tangan kanan memegang ujung belati mengancam tenggorokan Tok-pi-sin-kun, lalu teriaknya nyaring, "Nah, kalian melihat, Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun sudah berada dalam cengkeramanku, untuk apa lagi kalian main sembunyi di situ?"
Belum lenyap suaranya, dari tempat kegelapan melayang ke luar lima sosok bayangan orang.
Ke lima sosok bayangan orang ini adalah Co-hou-hoat Tok-po-po Biau-Kim-ki, Hoa-oh-tiap Yap-Hui, Tok-kat Im-Som-hiong, Giok-bin-lo-sat Lau-Giok-bi dan Goat-he-bi-jin Tiau-Cin-lan.
Sesudah melompat ke luar dari tempat sembunyi mereka, serentak mereka mengepung Su-Kiam-eng dan Pan-Cong-hun di tengah. Tok-po-po Biau-Kim-ki mengangkat tongkatnya dan menuding Su-Kiam-eng bentaknya dengan bengis, "Berhenti! Sungguh tidak kecil nyalimu si bocah ini berani kau recoki Sin-kun kami. Lekas lepaskan dia!"
"Lepaskan dia?" Kiam-eng menegas dengan tertawa. "Haha aku kira kamu Biau-Kim-ki sedang mimpi barangkali?"
Dengan gusar si nenek berbisa alias Tok-po-po membentak, "Kurang ajar! Jadi kamu tidak mau melepaskan dia?"
"Belum tiba waktunya untuk aku lepaskan dia," jawab Kiam-eng.
Tok-po-po mendengus murka, dengan langkah lebar ia mendekati Su-Kiam-eng.
Namun Kiam-eng lantas membentak, "Berhenti, berani maju lagi selangkah boleh kau tahu apa yang bakal terjadi."
Air muka Tok-po-po sebentar merah sebentar pucat, tanyanya dengan gusar, "Habis apa kehendakmu, lekas katakan!"
"Hm, apa kehendakku seharusnya dapat kau terka, kenapa mesti tanya lagi?" jengek Su-Kiam-eng.
Gusar dan kuatir juga si nenek, katanya, "Baik, bebaskan Sin-kun kami dan segera aku beri jalan hidup bagi kalian!"
"Tidak, kalian harus mundur dulu ke dalam istana, sesudah kami menempuh perjalanan suatu jarak tertentu baru dapat aku bebaskan Sin-kun kalian."
Mendadak Tok-kat Im-Som-hiong, si kalajengking berbisa menukas, "Tidak bisa, aku minta sekarang juga harus kau bebaskan Sin-kun kami."
"Huh, kalau tidak, lalu bagaimana?" jawab Kiam-eng sambil melirik.
"Jika begitu, maka jangan kau harap dapat hidup lagi," ucap Im-Som-hiong.
"Baik, aku tidak ingin hidup lagi, jika kamu berani, boleh coba maju saja," jawab Kian-eng ketus.
Im-Som-hiong jadi melengong malah, tapi segera ia membentak lagi, "Kalau kamu benar jantan, ayolah bebaskan guru kami, biar kita bertarung satu lawan satu."
"Memangnya kau kira aku gentar padamu?" jengek Kiam-eng. "Pada suatu hari pasti akan aku belajar kenal dengan kalajengking berbisa semacam dirimu ini. Cuma sekarang, aku pandang bukan waktunya untuk melayanimu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Huh, aku sangka anak murid Kiam-ho Lok-Cing-hui tentu sangat perkasa siapa tahu juga sebangsa manusia yang tamak hidup dan takut mati!" sindir Im-Som-hiong.
Kiam-eng terbahak-bahak, "Haha, kau kira aku tidak berani bertempur denganmu?"
Diam-diam Im-Som-hiong merasa girang, ia sengaja menjawab, "Betul kabarnya ilmu pedang Peng-lui-kiam-hoat betapa lihainya aku justru tidak percaya takkan tahan sekali seranganku."
"Kamu benar-benar ingin menguji diriku?" tanya Kiam-eng.
"Aku justru kuatir kamu yang tidak berani." jawab Im-Som-hiong.
"Baik setelah aku bereskan gurumu segera aku tentukan unggul atau asor denganmu," jawab Kiam-eng, berbareng ia terus angkat belatinya dan berlagak hendak menubles tenggorokan Tok-pi-sin-kun yang dikempitnya itu.
Keruan Im Som-hiong dan begundalnya terperanjat, berbareng mereka berteriak "Hei, nanti dulu!"
Kiam-eng hentikan gerak menusuknya, dengan lagak tidak mengerti ia tanya dengan tertawa, "Ada apa lagi" Sesudah aku bunuh gurumu, memangnya kamu takkan sanggup bertempur lagi denganku?"
Maksud Im-Som-hiong sebenarnya cuma ingin memancing agar Su-Kiam-eng mau melepaskan gurunya untuk bertanding dengan dia, sekarang melihat lawan tidak dapat tertipu, seketika ia mati kutu dan tak berdaya, dengan menahan gusar ia tidak sanggup menjawab.
Terpaksa Tiau-Soat-lan si cantik bulan purnama, ikut bicara. "Im-su-heng menyelamatkan Su-hu terlebih penting dari urusan lain biarlah kita turuti permintaannya."
Juga Hoa-oh-tiap Yap-Hui, si kupu-kupu belang, ikut menyambung, "Jangan, jika kita lepaskan mereka pergi, bisa jadi Su-hu akan dicelakai mereka."
"Hal ini tidak perlu kalian kuatirkan, aku Su-Kiam-eng pasti bukan manusia yang sukar ingkar janji," kata Kiam-eng.
"Jika begitu, kalau kami membiarkan kau pergi, kira-kira di tempat mana akan kau lepaskan guru kami?"
tanya Hoa-oh-tiap Yap-Hui.
"Biarkan kami meninggalkan 20-30 li dari ini, di sana segera kami bebaskan guru kalian, cuma kalian tidak boleh membuntuti kami, kalau tidak segera aku binasakan gurumu," ancam Kiam-eng.
Hoa-oh-tiap memandang Tok-po-po Biau-Kim-ki dan bertanya, "Bagaimana menurut pendapatmu. Biau-hoa-hoat?"
"Aku tidak punya pendapat apa pun, terserah kepada kalian saja," sahut Tok-po-po tak acuh.
"Im-su-te, bagaimana pendapatmu?" tanya lagi Hoa-oh-tiap terhadap Im-Som-hiong.
Im-Som-hiong mengernyitkan kening, jawabnya, "Engkau kan Su-heng kami, kami menurut saja kepada jalan pikiranmu."
Hoa-oh-tiap lantas berkata, "Baiklah, boleh kalian pergi saja, Tapi bila kamu ingkar janji dan tidak membebaskan guru kami, selanjutnya jangan kau harap dapat berkecimpung lagi di dunia kang-ouw."
"Jangan kuatir," ucap Kiam-eng. "Sekarang kalian berlima aku harap mundur dulu ke dalam istana."
Hoa-oh-tiap berlima terpaksa menurut dan mengundurkan diri ke dalam istana putar. Kiam-eng lantas meninggalkan tempat musuh dengan cepat bersama Pan-Cong-hun.
Sesudah berlari beberapa puluh meter melihat si arsitek tua itu tidak dapat lari terlebih cepat, segera Kiam-eng merangkul pinggang orang tua itu dengan sebelah tangan, jadi sekaligus ia memanggul dan mengangkat dua orang, lalu berlari secepat terbang ke depan.
Sembari lari terkadang ia pun menoleh ke belakang untuk mengetahui apakah pihak musuh menepati janji atau tidak. Setelah berlari satu-dua li jauhnya, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan mengejar dari belakang. Tentu saja Kiam-eng gusar serentak ia berhenti lari dan membalik tubuh sambil membentak.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Keparat, kenapa kalian tidak menepati janji. Apakah jiwa guru kalian tidak kalian pikirkan lagi?"
Tapi lantas terdengar bayangan orang itu menjawab dari kejauhan, "Jangan ribut, aku inilah adanya."
Kiam-eng dapat mengenali suara Sam-bi-sin-ong, ia melengong dan menegur, "He, kenapa kau pun datang kemari?"
Bayangan orang ini memang benar Sam-bi-sin-ong Pek-li-Pin. Sekali lompat sampailah dia berhadapan dengan Su-Kiam-eng, katanya dengan tertawa, "Lekas serahkan salah seorang padaku mereka sudah hampir menyusul tiba."
Kiam-eng lantas menyerahkan Pan-Cong-hun kepada Sam-bi-sin-ong, katanya, "Ini Sin-jio Pan-Cong-hun, semula dia terkurung di penjara bawah tanah oleh Tok-pi-sin-kun, sekali ini berkat bantuannya barulah dapat aku lolos dari sarang musuh, mohon engkau suka membawanya jauh meninggalkan Thian-ti, setiba di tempat aman baru lepaskan dia untuk pulang ke Tiong-goan."
"Tidak," kata Sam-bi-sin-kun sambil menggeleng. "Aku kan membawa Yan-mo-tan yang dapat menyerang mundur musuh. Boleh kau serahkan Tok-pi-sin-kun padaku saja."
Kiam-eng pikir boleh juga hal ini, segera ia serahkan Tok-pi-sin-kun dan bertanya, "Apakah nona Ih masih berada di hotel Kun-ming sana?"
"Tidak lagi," jawab San-bi-sin-kun. "Dua-tiga hari yang lalu Tok-pi-sin-kun mengirim anak buahnya mencari ke segenap pelosok kota Kun-ming, karena itu nona Ih dan aku tidak berani tinggal lagi di sana, sekarang dia mondok di rumah seorang pemburu she Him di desa Cap-peng-lang, sebentar boleh langsung kau datang ke desa tersebut untuk menemuinya."
Habis bicara ia terus melompat pergi dengan membawa Tok-pi-sin-kun dan dalam sekejap saja sudah menghilang dalam kegelapan.
Su Kiam-eng juga tidak berani ayal, segera ia panggul lagi Sin-jio Pan-Cong-hun dan dibawa lari cepat ke jurusan utara. Lantaran sudah berkurang beban seorang Tok-pi-sin-kun, larinya sekarang dengan sendirinya tambah cepat. Tak lebih dari setengah jam ia sudah melampaui kota Kun-ming dan sampai di suatu pedusunan yang dikenal namanya.
Melihat di tengah kampung itu masih ada cahaya lampu, Kiam-eng menurunkan Pan-Cong-hun, katanya dengan menyesal, "Lo-tiang, jarak dari sini ke istana Tok-pi-sin-kun ada ratusan li jauhnya, aku kira tidak berbahaya lagi, biarlah kita berpisah saja di sini."
Pan-Cong-hun mengangguk, "Biarlah, biarlah aku masuk ke kampung sana untuk mencari pondokan barang semalam, besok baru aku berangkat pulang ke Tiong-goan."
Kiam-eng memberinya 20 tahil perak katanya dengan tertawa, "Sedikit uang perak ini harap Lo-tiang sudi menerimanya sekadar biaya perjalanan ke Tiong-goan, semoga bertemu pula kelak agar dapat aku balas budi kebaikan Lo-tiang."
"Ah, mana boleh berkata demikian," ujar Pan-Cong-hun. "Apabila tidak ditolong oleh saudara cilik, jelas selama hidupku ini tidak dapat melihat matahari lagi. Jadi engkaulah tuan penolongku masakah kau bilang membalas budi apa padaku."
"Tetapi bila tidak mendapat petunjuk jalan Lo-tiang betapapun aku tidak mampu lolos dari tempat Tok-pi-sin-kun itu," ujar Kiam-eng. "Maka apa pun juga kepulangan Lo-tiang ke Tiong-goan memerlukan sangu, maka sudilah kau terima sedikit tanda terima kasihku ini."
Terpaksa Sin-jio Pan-Cong-hun menerimanya dengan ucapan terima kasih dan kedua orang lantas berpisah.
Kiam-eng kuatir anak murid Tok-pi-sin-kun akan menguntit dan membikin susah Pan-Cong-hun, ia sengaja bersembunyi di sekitar pedusunan itu untuk mengawasinya, setelah sekian lama tidak terlihat ada orang menyusul tiba barulah ia berangkat menuju ke desa Cap-peng-lang sebagai disebut Sam-bisin-ong itu.
Setelah berlari tidak jauh, tiba-tiba teringat olehnya peta kota emas yang tersimpan dalam bajunya, ia pikir sebelum peta itu dirobek separoh untuk diserahkan kepada Sam-bi-sin-ong, kenapa dirinya tidak coba membacanya lebih dulu dengan teliti"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Berpikir demikian, ketika melihat di depan sana ada sebidang hutan, segera ia membelok dan berlari menuju ke dalam hutan.
Hanya sebentar saja ia sudah berada dalam hutan, ia duduk di bawah pohon. Karena malam remang-remang, ia keluarkan alat ketik api dan sehelai kertas, ia gulung kertas menjadi sebuah lidi lalu mengetik api untuk menyalakan obor kertas, dengan penerangan itulah ia coba membaca peta.
Ternyata apa yang disebut peta itu cuma sehelai kertas belasan senti persegi, di atas kertas memang banyak terlukis garis malang melintang dan ruwet serta penuh huruf-huruf kecil.
Sekali pandang segera Kiam-eng tahu peta yang dipegangnya ini memang dilukis oleh sang su-heng, yaitu Gak-Sik-lam, sebab huruf yang tertulis dalam peta itu meski semuanya nama tempat, bahkan hurufnya sangat kecil serupa semut sehingga seketika sukar terlihat jelas, namun di samping peta itu terdapat belasan huruf yang ditulis dengan huruf agak besar, bunyi belasan huruf itu adalah, "Jian-lian-hok-leng tersembunyikan di dalam patung emas nomor 14 dari kanan".
Belasan huruf ini pun dapat dikenalnya dengan baik sebagai tulisan tangan sang su-heng Gak-Sik-lam.
Sampai saat ini Su-Kiam-eng tetap belum mengerti kalau sang su-heng sudah dapat pulang ke Tionggoan bersama Kalana, mengapa tidak sekaligus ia bawa pulang Jian-lian-hok-leng yang dimaksudkan itu.
Tapi sekarang Su-Kiam-eng tidak sempat memikirkan soal ini terlebih lanjut, sebab dia terlampau gembira lantaran sudah mengetahui tempat penyimpanan Jian-lian-hok-leng yang sedang dicarinya itu.
Pandangannya terus melacaki seluruh tulisan dalam peta itu, ia ingin tahu kota emas yang digemparkan orang kang-ouw itu apakah juga terletak di Mo-pan-san dan terlukis tidak dalam peta atau di tempat lain"
Akhirnya, sungguh hampir dia berteriak gembira, tiga huruf Mo-pan-san ternyata dapat dilihatnya dalam peta.
Akan tetapi pada saat itu juga sekonyong-konyong di depannya ada orang berucap dengan dingin, "Eh, anak muda, apa yang sedang kau baca di situ?"
Cepat Kiam-eng mengangkat kepala, segera diketahuinya yang berdiri di depan sana ternyata Kui-kok ji-bu-siang adanya. Keruan hatinya tergetar keras, cepat ia simpan peta pusaka ke dalam baju dan cepat melompat mundur beberapa meter jauhnya.
Kui-kok-ji-bu-siang saling pandang sekejap keduanya sama menampilkan senyuman ingin tahu serentak mereka melayang ke arah Su-Kiam-eng sambil bertanya pula, "Eh, anak muda, aku tanya apa yang sedang kau baca?"
Sungguh Kiam-eng merasa dirinya lagi sial benar, kenapa dalam saat dan di tempat begini dapat bertemu dengan ke dua setan iblis yang celaka ini.
Dari sikap orang Kiam-eng tahu mereka belum lagi mengetahui yang dibacanya itu adalah peta pusaka kota emas. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi gawatnya keadaan, sebab kalau ke dua iblis itu sudah timbul rasa ingin tahu terhadap barang yang dipegangnya itu, maka mau-tak-mau mereka pasti ingin melihatnya. Dan apakah dirinya dapat memperlihatkan peta pusaka kepada mereka"
Dengan sendirinya tidak boleh. Tapi cara bagaimana supaya dapat meninggalkan mereka" Padahal dengan kemampuan ke dua gembong iblis itu pada hakikatnya tidak mungkin baginya untuk kabur begitu saja di depan mereka. Lalu apa yang harus diperbuatnya"
Selain itu, dalam benak Kiam-eng sekarang juga sedang memikirkan suatu soal lain, yaitu diketahuinya Kui-kok ji-bu-siang kan lagi memaksa Li-hun-nio-nio palsu untuk membawanya mencari Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, sekarang Li-hun-nio-nio gadungan itu tidak terlihat berada bersama mereka apakah lantaran mereka sudah tahu peta yang berhasil mereka rebut itu adalah barang palsu" Atau mereka belum lagi tahu peta itu palsu sebab Sai-hoa-to belum berhasil mereka temukan, maka berdasarkan petunjuk peta palsu itu mereka sengaja menyerempet bahaya dan ingin mencari kota emas di wilayah hutan belukar di selatan ini"
Ia merasa urusan ini perlu dipecahkan dulu dengan jelas maka setelah berpikir kilat, kemudian ia berlagak mendadak teringat sesuatu dan berteriak dengan kuatir "Wah, kalian yang satu tinggi dan yang lain pendek, jangan-jangan kalian ini Kui-kok-ji ..."
"Hehehe," si setan tanah liat terkekeh. "Boleh juga anak muda belia seperti kamu ini juga kenal nama Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
kami berdua."
Kiam-eng berlagak kejut dan girang katanya pula, "Sungguh bagus sekali, ini namanya dicari sukar setengah mati, ditemukan tanpa susah payah!"
Air muka Ji-bu-siang rada berubah, tanya si setan ukiran kayu dengan dingin, "Kamu bocah ini siapa"
Apa artinya ucapanmu tadi?"
Kiam-eng memberi hormat, lalu menjawab, "Aku Im-Som-hiong atas perintah guruku sebenarnya aku hendak pergi ke Tiong-goan untuk mencari kedua Lo-cian-pwe, untung di sini juga berjumpa dengan kalian."
Bok-tiau-bu-siang, si setan ukiran kayu tidak tahu siapa itu "Im-Som-hiong", ia melengong dan bertanya,
"Siapa itu gurumu" Untuk apa dia menyuruhmu mencari kami berdua?"
"Guruku tak-lain-tak-bukan ialah Tok-pi-sin-kun Pau-Thian-bun," jawab Kiam-eng.
Kembali berubah air muka Ji-bu-siang, cepat si setan lempung mendahului bertanya, "Apa katamu" Jadi kamu ini anak murid Tok-pi-sin-kun?"
"Betul aku ini murid beliau yang nomor tujuh dikenal dengan julukan Tok-kat!" jawab Kiam-eng seenak nya.
"Lantas ada urusan apa gurumu menyuruhmu mencari kami?" tanya si setan kayu.
"Su-hu mendengar kabar, katanya ke dua Lo-cian-pwe telah mendapatkan peta pusaka kota emas, maka beliau bermaksud bekerja sama dengan kalian," tutur Kiam-eng.
Si setan kayu saling pandang sekejap dengan setan lempung, lalu berpaling dan tanya Kiam-eng pula,
"Memangnya cara bagaimana gurumu bermaksud bekerja sama dengan kami?"
"Begini," ujar Kiam-eng dengan tersenyum.
Menurut guruku, meski kalian sudah mendapatkan peta pusaka, tapi kalian tidak dapat menemukan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, begitu bukan?"
"Memangnya lantas kenapa?" tanya si setan kayu sambil mengangguk.
Kiam-eng menarik alis dan berucap, "Apakah ke dua Lo-cian-pwe tahu di mana sekarang Sai-hoa-to itu?"
Terbeliak pandangan si setan kayu, ia menegas, "Jangan-jangan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho sekarang jatuh dalam cengkeraman gurumu?"
"Begitulah kira-kira," Kiam-eng mengangguk dengan tersenyum. "Ke dua Lo-cian-pwe memiliki peta tanpa Sai-hoa-to, sebaliknya guruku menguasai Sai-hoa-to tapi tidak memegang peta. Maka Su-hu menganggap dapat bekerja sama dengan ke dua Lo-cian-pwe, soalnya sekarang entah bagaimana pikiran kedua Lo-cian-pwe?"
Si setan kayu menatap tajam Su-Kiam-eng sekian lamanya, lalu bertanya. "Cara bagaimana supaya dapat aku percaya kepada ucapanmu ini?"
"Sederhana sekali," kata Kiam-eng. "Apabila ke dua Lo-cian-pwe sudah setuju akan bekerja sama dengan guruku, segera juga dapat aku bawa ke dua Lo-cian-pwe untuk menemui Su-hu."
"Hm, jadi maksudmu hendak membawa kami istana putar untuk menemui gurumu?" jengek setan lempung. "Untuk ini, rasanya kami perlu mempertimbangkannya semasak-masaknya."
"Su-hu juga sudah dapat menduga mungkin ke dua Lo-cian-pwe tidak sudi menemui beliau di istana putar, maka sebelumnya Su-hu sudah siap berjumpa dengan kalian di tempat lain," tutur Kiam-eng.
Chapter 10. Rahasa 180 Patung Mas
"Gurumu berada di mana sekarang?" tanya si setan lempung.
"Di rumah seorang pemburu she Him di desa Cap-peng-lang," jawab Kiam-eng. "Akhir akhir ini guruku gemar berburu, beliau menugaskan su-heng dan diriku agar mencari kalian berdua, kami dipesan bilamana kalian berhasil ditemukan supaya mengundang kalian ke Cap-peng-lang sana untuk bertemu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Si setan lempung berpikir sejenak, lalu berpaling dan tanya si setan kayu, "Bagaimana pendapatmu, Lo-toa?"
"Urusan ini cukup penting dan harus kita pelajari dulu ..." ucap si setan kayu setelah termenung sejenak.
Si setan lempung menarik saudaranya mundur ke sana, lalu membisikinya, "Urusan ini dapat kita kerjakan. Jelas Tok-pi-sin-kun belum tahu peta yang dapat kita rebut ini peta palsu. Sekarang boleh kita gunakan peta palsu untuk bekerja sama dengan dia, kan ada untung dan tidak ada rugi nya, bagaimana pikiranmu?"
"Akan tetapi, kalau peta yang kita pegang ini peta palsu, lalu apa manfaatnya bekerja sama dengan dia?"
jawab si setan kayu dengan sama lirih nya.
"Mengapa bilang tidak ada manfaatnya," ujar si setan lempung. "Kan pemegang peta asli itu pasti juga memerlukan tenaga Sai-hoa-to bila kita gunakan peta palsu untuk bekerja sama dengan Tok pi-sin-kun, itu berarti kita akan dapat berdekatan dengan Sai-hoa-to, dengan demikian lambat atau cepat tentu dapat kita tangkap orang yang memegang peta asli itu. Bukankah akal ini cukup bagus?"
"Walaupun betul juga gagasanmu, namun Tok-pi-sin-kun juga bukan manusia yang dapat diganggu begitu saja, apabila diketahuinya peta kita ini palsu, kan bisa ... "
"Itu pun tidak menjadi soal," tukas si setan lempung, "Kita kan dapat menyatakan bahwa kita pun tidak tahu peta itu palsu."


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik," kata si setan kayu. "Cuma, kepergian kita ini harus senantiasa waspada, bisa jadi Tok-pi-sin-kun tidak ada kesungguhan hati untuk bekerja sama dengan kita, mungkin dia justru hendak mencelakai kita agar dia dapat mencaplok sendirian kota emas itu."
"Dengan sendirinya kita harus waspada. Yang penting kita harus pegang teguh suatu prinsip, yaitu kita mutlak takkan memasuki istana putarnya barang selangkah pun, dengan demikian, jika dia ingin mencelakai kita, terpaksa ia harus langsung turun tangan terhadap kita. Dan aku kira dengan kekuatan kita berdua untuk melayani dia sendirian, andaikan tidak sanggup menandinginya juga masih dapat mundur secara teratur."
Si setan kayu mengangguk setuju, lalu ia pandang Su-Kiam-eng dan berkata, "Eh, anak muda, kami menerima undanganmu untuk menemui gurumu. Tapi kamu belum lagi menjawab pertanyaan kami tadi, yaitu ... eh, kertas apa yang kau baca tadi?"
"Oo, itu cuma sehelai ... sehelai peta kota Kui-yang," jawab Kiam-eng dengan tertawa.
Si setan kayu melengak, tanyanya cepat. "Untuk apa kamu membaca peta kota Kui-yang?"
Kiam-eng berlagak serba susah jawabnya tertawa, "Ahh, soalnya Sam-su-heng ku mendapat kabar, katanya di kota Kui-yang ada seorang putri hartawan she Peng yang terkenal sangat cantik, maka aku minta dia melukiskan sehelai peta untukku, aku pikir nanti bila lewat di kota itu dapat sekalian ku ..."
Si setan kayu tidak begitu jelas terhadap seluk-beluk anak murid Tok-pi-sin-kun, cuma sedikit banyak ia pun pernah dengar bahwa anak murid tokoh itu kebanyakan adalah manusia cabul, maka ia percaya cerita Su-Kiam-eng itu, dengan suara ketus ia pun berkata. "Hah, melihat tampangmu yang cukup sopan, mengapa kamu bisa melakukan perbuatan kotor dan terkutuk seperti itu?"
"Eh, Lo-cian-pwe kan juga bukan golongan putih, mengapa jadi mengomeli diriku malah?" ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Hm, biarpun aku bukan orang golongan putih, tapi selama ini aku pun tidak suka melakukan perbuatan terkutuk semacam itu," jengek si setan lempung.
"Ya, sudahlah," ucap Kiam-eng sambil mengangkat pundak. "Sekarang kebetulan bertemu dengan ke dua Lo-cian-pwe di sini, dengan sendirinya aku tidak perlu lagi pergi ke Kui-yang, ayolah silakan kedua Lo-cian-pwe ikut ke Cap-peng-lang untuk bertemu dengan guruku saja."
"Baiklah, silakan membawa kami ke sana," jawab si setan kayu dengan dingin.
Segera Kiam-eng membalik tubuh dan mendahului berangkat, dibawanya kedua setan jangkung itu ke arah Cap-peng-lang.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Cara ini adalah akal yang terpikir olehnya sekarang untuk meloloskan diri dari bahaya, ia tahu ilmu silat Sam-bi-sin-ong jauh lebih tinggi daripada Kui-kok-ji-bu-siang, setiba di Cap-peng-lang, biarkan Sam-bisin-ong melayani salah seorang setan itu, dirinya dan Ih-Keh-ki juga menghadapi seorang setan, rasanya mereka pasti takkan kalah.
Cap-peng-lang itu terletak ratusan li di barat Thian-ti, sebaliknya berjarak lebih dari 180 li dari tempat berangkat sekarang ini, Kiam-eng menaksir akan dapat mencapai tempat tujuan menjelang fajar nanti, maka dia sengaja berlari secepatnya.
Kung-fu Ji-bu-siang memang di atas Kiam-eng, sebab itu mereka dapat membuntuti Su-Kiam-eng dalam jarak yang tetap, yaitu beberapa meter di belakangnya.
Sembari lari si setan lempung coba tanya lagi, "Eh, anak muda, dari mana gurumu mendapat tahu kami berdua menemukan peta rahasia kota emas itu?"
"Dari berita orang," tutur Kiam-eng. "Di dunia persilatan sekarang, siapa yang tidak tahu bahwa murid Kiam-ho Lok-Cing-hui, yaitu Gak-Sik-lam, telah menemukan sebuah kota emas misterius di tengah hutan belukar di wilayah selatan sana?"
"Jika begitu, di manakah gurumu berhasil menangkap Sai-hoa-to?" tanya pula si setan lempung.
"Ini kurang jelas bagiku," jawab Kiam-eng. "Yang menawan Sai-hoa-to adalah Toa-su-heng kami setelah dia membawa pulang Sai-hoa-to ke istana putar, segera dia mendapat perintah ke Tiong-goan untuk mencari kedua Lo-cian-pwe. Su-hu kami juga tidak pernah mengisahkan cara bagaimana Toa-su-heng kami dapat menawan Sai-hoa-to."
"Jadi sekarang Sai-hoa-to itu berada di istana putar kalian?" si setan kayu ikut menegas.
"Betul, kami mengurungnya di penjara bawah tanah istana putar," tutur Kiam-eng.
"Kapan Toa-su-heng kalian berhasil menawannya?" tanya pula si setan kayu.
"Kira-kira tujuh atau delapan hari yang lalu," jawab Kiam-eng.
"Di dalam tujuh-delapan hari ini, apakah kalian tidak menemukan sesuatu kejadian luar biasa, misalnya ada orang berusaha masuk ke istana putar kalian untuk menolong Sai-hoa-to?"
"Tidak ada," jawab Kiam-eng pasti, "Memangnya siapa yang berani masuk ke istana putar kami untuk menolong orang?"
"Kabarnya gurumu mempunyai dua orang pembantu maha lihai, yang seorang ialah Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san, yang lain adalah Tok-po-po Biau-Kim-ki, betul tidak?" tanya si setan lempung.
"Memang betul," jawab Kiam-eng. "Apakah kedua Lo-cian-pwe kenal mereka?"
"Kami pernah bertemu satu kali dengan Tok-po-po Biau-Kim-ki, itu kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, tatkala mana dia masih gadis, mukanya tidak begitu menarik, cuma tubuhnya memang padat menggiurkan ..."
"Wah, barangkali Lo-cian-pwe pernah tertarik dan coba memburunya?" ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Memang," kata si setan lempung dengan tertawa senang. "Namun dia mencela diriku, katanya perawakanku terlampau pendek, kalau aku berdiri di sebelahnya, katanya seperti dia punya ... Huh, dirodok ..."
"Haha, memang benar juga tubuh Lo-cian-pwe memang agak terlampau pendek sedikit," ucap Kiam-eng dengan tertawa.
"Akan tetapi ketika aku yang memburu dia, justru dia bilang perawakanku terlampau tinggi coba apa tidak menggemaskan?" tukas si setan ukiran kayu.
"Nah, justru lantaran dia sok pilih ini dan itu tinggi tidak mau dan pendek juga emoh, maka usia mudanya jadi tersia-sia hingga akhirnya dia menjadi perawan tua yang tidak laku." setan lempung dengan tertawa.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Wataknya memang berangasan, bilamana bertemu dengan dia hendaknya ke dua Lo-cian-pwe berlaku hati-hati sedikit," ujar Kiam-eng.
"Sekarang dia berada bersama gurumu tinggal di istana putar sana?" tanya si setan lampung.
"Dia tinggal di istana putar, dia memang tidak berminat terhadap urusan berburu segala," tutur Kiam-eng.
Dan bagaimana dengan Thian-ti-it-koai Pau-Hai-san?" tanya si setan kayu.
"Ia juga berada di istana putar," kata Kiam-eng.
"Jika begitu, lantas siapa saja yang mendampingi gurumu sekarang?" tanya setan kayu.
"Ada dua orang su-moai ku dan ke-12 tusuk kundai emas," jawab Kiam-eng.
"Oo, siapa nama ke dua su-moai mu?"
"Pat-su-moai Giok-bin-lo-sat Lau-Giok-bi dan Kiu-su-moai Tiau-Soat-lan, si cantik bulan purnama. "Lalu siapa lagi ke-12 tusuk kundai yang kau sebut itu?" tanya setan kayu.
"Yaitu ke-12 gadis cantik yang senantiasa meladeni guruku siang dan malam. Mereka tidak paham ilmu silat, hanya mahir tari dan nyanyi dan berbagai kesenian."
"Ah, rasanya tidak cocok, sebab pernah aku dengar yang melayani gurumu katanya ada empat gadis Bwe, Lan, Kiok dan Tiok, mengapa sekarang kau bilang ada 12 tusuk kundai emas segala?" tanya si setan lempung dengan heran.
Cepat Kiam-eng menjawab dengan tertawa, "Soalnya ke empat selir Bwe-lan-kiok-tiok itu sekarang sudah kurang disukai lagi, kini guruku hanya dikelilingi oleh ke 12 gadis molek yang baru itu.
"Oo, kiranya begitu," ucap si setan lempung "Wah, gurumu sungguh tua-tua keladi, makin tua makin menjadi."
Kiam-eng tidak menanggapi lagi, ia tahu bila mana banyak orang tentu akan mudah menimbulkan kesalahan, jika terlalu banyak mengarang cerita bohong, akhirnya pasti akan ketahuan lawan.
Ji-bu-siang juga tidak bicara lagi, ke tiga orang meneruskan perjalanan dengan cepat dan berlari secepat terbang di tengah kegelapan malam.
Waktu ufuk timur mulai remang-remang menjelang fajar, sampailah mereka di tempat tujuan.
Cap-peng-lang itu sebuah pedusunan yang indah, dikitari perbukitan dan dikelilingi sungai, penduduknya sebagian bertani dan sebagian lagi hidup dari berburu. Sebuah dusun yang sederhana dan tentram.
Akan tetapi, sekarang timbul persoalan yang pelik!
Jika Kiam-eng datang sendirian untuk mencari Ih-Keh-ki dan Sam-bi-sin-ong, tentu secara langsung tanpa tedeng aling-aling ia dapat mencari tahu di mana rumah si pemburu she Him itu. Namun sekarang ia menyamar sebagai Im-Som-hiong, maka ia tidak dapat minta keterangan kepada siapa pun melainkan harus langsung membawa Ji-bu-siang menuju ke rumah si pemburu she Him yang dimaksud. Lantas apa dayanya untuk bisa mengetahui di mana rumah si pemburu she Him itu"
Sebab itulah, maka ketika mulai memasuki pedusunan itu, segera Kiam-eng memperlambat larinya, ia coba mengawasi setiap rumah penduduk yang dilaluinya dengan harapan tanpa bertanya akan dapat menemukan Ih-Keh-ki dan Sam-bi-sin-ong.
Pada saat itulah si setan kayu yang mengintil di belakangnya itu mendadak bertanya, "Eh, anak muda, pernah aku dengar bahwa gurumu adalah seorang yang biasa hidup senang diuruk dengan segala kemewahan, masakah sekarang dia mau berburu ke tempat terpencil dan tandus seperti ini?"
"Memangnya apa salahnya jika sekali tempo beliau hidup di pedusunan?" ujar Kiam-eng dengan tertawa.
"Hm, jangan-jangan kamu anak muda ini sengaja main gila?" jengek si setan kayu.
"Bahwa guruku mau berburu ke pedusunan seperti ini, sebenarnya juga tidak perlu diherankan," tutur Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng dengan berlagak tertawa. "Misalnya saja, seorang yang biasa hidup mewah setiap hari makan daging dan ayam, terkadang kan juga ingin makan nasi uduk atau gado-gado di tepi jalan. Nah, itulah sebabnya guruku mau berburu ke tempat terpencil seperti ini, karena beliau ingin mencicipi hidup sederhana."
"Baik, baik, sekarang lekas tunjukkan sesungguhnya di rumah mana gurumu tinggal?" tanya si setan lempung.
Kiam-eng melihat penduduk di sekitar kebanyakan adalah keluarga pemburu, ia pikir bilamana benar Sam-bi-sin-ong bersama Ih-Keh-ki berada di pedusunan ini sekalipun nanti Ji-bu-siang merasa dipermainkan dan hendak melabraknya, tentu suara ribut-ribut akan memancing munculnya Sam-bi-sin-ong dan Ih-Keh-ki.
Karena itulah ia menuding sebuah rumah pemburu yang agak besar di depan sana dan berkata, "Itu, tinggal di sana, mari silakan ikut masuk ke sana bersamaku."
Mendengar itu, serentak Ji-bu-siang berhenti lari, katanya, "Tidak, boleh kau masuk sendiri untuk mengundang ke luar gurumu dan bertemu dengan kami."
Diam-diam Kiam-eng merasa geli, katanya, "Baiklah, jika begitu, harap ke dua Lo-cian-pwe menunggu sementara, biar aku masuk ke sana untuk memberi lapor kepada Su-hu."
Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus menuju ke rumah pemburu yang dimaksudkan tadi.
Fajar baru menyingsing, kaum pemburu pada umumnya belum bangun tidur. Kiam-eng coba mengetuk pintu rumah itu, sejenak kemudian baru terdengar suara orang menyahut di dalam, "Kau, siapa itu?"
"Aku, silakan buka pintu," jawab Kiam-eng.
Tidak lama kemudian, berkeriutlah daun pintu di buka orang, seorang lelaki setengah baya melongok ke luar dan bertanya, "Kau cari siapa?"
"Numpang tanya, ada seorang pemburu she Him di sini entah tinggal di rumah yang mana?" tanya Kiam~eng dengan suara tertahan.
Di luar dugaan, lelaki setengah baya itu menjawab, "Aku sendiri she Him, siapa yang kau cari?"
Kiam-eng jadi melengak sendiri, tapi segera ia pun sangat girang dan berseru, "Aha, bagus sekali! Aku datang untuk mencari seorang Lo-tiang dan seorang nona cilik, katanya mereka ..."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar seorang gadis bersorak gembira di dalam rumah,
"Aha, kakak Eng, engkau sudah datang"!"
Menyusul orang yang bersuara lantas muncul dan siapa lagi dia kalau bukan Ih-Keh-ki adanya.
Cepat Kiam-eng mencegahnya agar si nona tidak ke luar pintu tanyanya dengan suara lirih, "Apakah Sam-bi-sin-ong sudah pulang ke mari?"
"Belum," jawab Keh-ki. "kemarin aku desak dia ke istana putar musuh untuk mencari kabar tentang dirimu, sampai sekarang juga dia belum pulang."
Mendengar Sam-bi-sin-ong belum pulang ke Cap-peng-lang, seketika Kiam-eng merasa tegang katanya,
"Wah, celaka, lantas bagaimana baiknya?"
"Ada urusan apa?" tanya Keh-ki bingung.
"Coba kau lihat siapa ke dua orang yang berdiri di belakangku sana?" kata Kiam-eng.
Waktu Keh-ki memandang ke sana, baru sekarang ia tahu di sana berdiri dua orang kakek yang satu jangkung dan yang lain pendek. Seketika air mukanya berubah pucat, katanya kuatir, "Hai, bukankah mereka itu Kui-kok-ji-bu-siang?"
"Betul aku dipergoki mereka di tengah perjalanan, waktu itu aku sedang membaca peta kota emas ... "
dengan suara tertahan lalu Kiam-eng menceritakan pengalamannya.
Mau-tak-mau Keh-ki merasa gelisah juga, segera ia hendak menarik anak muda itu ke dalam rumah dan Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
berbisik, "Ayolah, lekas kita lari melalui pintu belakang!"
"Wah, jangan, dengan cara begini kan berarti membikin susah tuan rumah di sini?" ujar Kiam-eng.
"Habis bagaimana ... ahh, itu dia, mereka sudah menuju ke mari," seru Keh-ki kuatir.
Cepat Kiam-eng membalik tubuh memapak kedatangan Ji-bu-siang, katanya dengan tertawa, "Wah, sungguh tidak kebetulan, semalam juga guruku sudah pulang."
Padahal Ji-bu-siang menyaksikan Kiam-eng bicara dengan Ih-Keh-ki dengan suara lirih sehingga timbul rasa curiga, maka serentak mereka mendekatinya. Sekarang diberi tahu bahwa Tok-pi-sin-kun sudah pulang ke istana putar, tentu saja mereka tambah sangsi. Mendadak si setan kayu menyeringai dan mengomel, "Hei, anak muda, sesungguhnya kamu lagi main sandiwara apa?"
Sedapatnya Kiam-eng berlagak tenang, ia tuding Ih-Keh-ki dan berkata, "Ini Kiu-su-moai ku, si cantik bulan purnama Tiau-Soat-lan, baru saja dia memberitahukan padaku bahwa semalam ada orang menerjang ke dalam istana putar hendak menculik Sai-hoa-to setelah menerima laporan itu cepat guruku memburu pulang ke istana putar dengan tergesa-gesa."
Lalu ia menoleh dan tanya Keh-ki, "Eh, Su-moai, kapan kira-kira Su-hu akan kembali ke sini"
"Tak akan lama," jawab Keh-ki, "Su-hu bilang sebelum lohor beliau akan kembali lagi ke mari, sebelum berhasil memburu kijang belang itu beliau pasti takkan berhenti."
Habis bicara, ia sengaja memberi lirikan genit kepada Ji-bu-siang dengan tersenyum manis.
Seketika Ji-bu-siang merasa syur, dengan tertawa lebar si setan lempung bertanya, "Eh, nona cilik, apakah kamu ini benar si cantik bulan purnama Tiau-Soat-lan?"
Keh-ki tertawa genit, jawabnya, "Memangnya kau sangka aku ini siapa?"
"Kabarnya kamu suka berkeliaran di malam hari ketika bulan purnama, apa betul?" tanya si setan lempung dengan menyengir.
"Betul, soalnya aku suka pada cahaya rembulan yang memikat itu," jawab Keh-ki.
Dengan tertawa si setan lempung merayu pula, "Wah, kemunculan di bawah sinar bulan purnama tentu semakin cantik molek, serupa bidadari yang baru turun dari kahyangan."
Keh-ki tertawa genit, "Tentu saja, kalau tidak masakah aku disebut si cantik bulan purnama."
Si setan lempung mengangkat bahu, katanya pula dengan senyum yang dibuat-buat, "Tapi aku dengar pula cerita bahwa pada waktu kemunculanmu di bawah sinar bulan purnama sering ngelayap kian kemari untuk mencari lelaki yang gagah perkasa dan cakap untuk kepuasanmu, apa betul?"
Seketika muka Keh-ki berubah merah, tanpa terasa ia memaki, "Kentutmu busuk, memangnya kau anggap aku Ih-Keh-ki ini perempuan macam apa?"
Keruan si setan lempung melengak, "Oo, jadi kamu ini bukan Tiau-Soat-lan?"
Keh-ki melonjak kaget dan tersadar, cepat jawabnya, "O, tidak, aku ... aku memang si cantik bulan purnama Tiau Soat-lan, Ih ... Ih-Keh-ki adalah nama kecilku."
"Hihi, nama kecilmu Ih-Keh-ki, begitu?" si setan lempung menegas dengan tertawa ejek.
Berulang Keh-ki mengangguk, "Ya, ya, soalnya waktu kecil aku selalu ikut mak inang, dan she Ih, maka nama kecilku lantas ditambah dengan she Ih."
Si setan lempung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, tanyanya sambil memandang saudaranya. "Eh, Lo-toa, kau kira benar tidak keterangan anak dara ini?"
"Tidak," jawab si setan kayu sambil menggeleng, "Aku berani bertaruh denganmu, anak dara ini mutlak pasti bukan si cantik bulan purnama Tiau-Soat-lan."
Segera si setan lempung mendengus, "Hm, emangnya aku pun merasa dia tidak mirip Tiau-Soat-lan, hihi
... " Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Si bulan purnama Tiau-Soat-lan itu terkenal sebagai perempuan jalang, sedangkan anak dara jelas-jelas masih perawan mulus ..." ucap si setan kayu dengan mata melotot sehingga memancarkan sinar tajam, lalu ia tetap Su-Kiam-eng dan membentak, "Nah, anak muda, sesungguhnya kamu ini siapa" Mengapa kau berani mengaku sebagai murid Tok-pi-sin-kun" Apa pula maksud tujuanmu sengaja menipu kami berdua. Nah, lekas mengaku terus terang!"
Kiam-eng tahu sukar lagi mengelabui ke dua orang itu, sedapatnya ia berlaku tenang, jawabnya dengan dingin, "Sabar dulu, jangan marah, sebab sekarang bukan waktunya untuk marah bagimu."
Si setan kayu mendesak maju sambil membentak, "Anak keparat, kau bilang apa?"
Sekarang Kiam-eng pun bersikap ketus, jawabnya, "Aku bilang kalian Kui-kok-ji-bu-siang terlampau tidak tahu diri, ternyata kalian berani berlagak garang di hadapanku."
Keruan si setan kayu berjingkrak murka, namun dia tidak segera turun tangan, sebab ia merasa Su-Kiam-eng ini pasti seorang pemuda yang punya asal-usul tidak sembarangan, ia harus tahu seluk-beluk lawan dulu baru kemudian akan menentukan cara menghadapinya.
Sedangkan si setan lempung lantas menanggapi dengan tertawa, "Eh boleh juga katakan, rasanya nadamu pun tidak kecil, aku justru ingin tahu kamu ini orang macam apa?"
"Meski aku ini bukan tokoh luar biasa segala, namun di hadapanku bobot kalian tidak lebih hanya sebagai maling saja," jengek Kiam-eng.
"Wah, aku tidak mengerti akan maksud ucapanmu," kata si setan lempung tetap dengan tertawa.
"Supaya kalian paham, biarlah aku katakan terus terang," ucap Kiam-eng. "Aku pandang kalian sebagai maling, soalnya barang milik su-heng ku berada pada kalian."
Terkejut juga si setan lempung, ia menegas, "Ahh, jadi kamu ini murid kedua Kiam-ho Lok-Cing-hui, Su-Kiam-eng adanya?"
"Betul. Dan nona yang bersamaku ini adalah cucu murid Kiam-ong Ciong-Li-cin, namanya Ih-Keh-ki."
Si setan lempung melengong sejenak, lalu memandang saudaranya dan berucap sambil menyengir,
"Wah, Lo-toa, kita terlanjur bikin perkara dengan tokoh besar."
Setan kayu juga terkesiap setelah mengetahui ke dua muda-mudi yang dihadapinya sekarang adalah anak murid Kiam-ong dan Kiam-ho. Namun pada lahirnya ia berlagak tenang saja, katanya sambil tertawa, "Jika begitu, lantas untuk apa kau menipu kami ke sini?"
"Tidak ada lain, hanya aku harap kalian menyerahkan kembali peta kota emas itu kepadaku," jawab Kiam-eng.
"Dan kalau aku tolak?" ucap si setan kayu. "Apabila kalian merasa yakin mampu mengalahkan Ciong-locian-pwe dan guruku ya terserah kepada kalian untuk menolak menyerahkan peta itu," kata Kiam-eng.
Air muka si setan kayu berubah agak kelam ia melirik ke samping, lalu bertanya pula, "Oo memangnya di mana ke dua orang kosen itu sekarang?"
"Jadi kalian ingin bertemu dengan mereka baru mau menyerahkan petanya, begitu?" tanya Kiam-eng dengan kurang senang.
"Silakan kamu mengundang mereka ke luar saja," jawab si setan kayu sambil memandang sekitarnya.
"Hm, jika demikian, jadi kalian Kui-kok-ji-bu-siang berani meremehkan kakek guruku?" jengek Keh-ki.
"Mengapa kau tuduh kami meremehkan kakek gurumu?" tanya si setan kayu.
"Biasanya menghadapi urusan apa pun, cukup kakek guru menyampaikan sepatah kata pesan saja, maka persoalan betapa besarnya juga akan diselesaikan. Sekarang kalian justru minta bertemu dengan kakek guru baru mau menyerahkan peta caramu ini bukankah berarti meremehkan kakek guruku?"
Sedapatnya si setan kayu menahan rasa gusar, katanya, "Bahwa aku ingin berjumpa dengan kakek gurumu, itu adalah suatu penghormatan menurut adat kesopanan, mengapa kamu anak dara Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
sembarangan omong?"
"Su-kong ku tidak suka bertemu dengan kalian mereka menyampaikan pesan padaku dengan ilmu mengirim gelombang suara, katanya bila kalian berkeras ingin menemani beliau baru mau menyerahkan peta, maka akibatnya akan terlambat dan janganlah kalian menyesal nanti."
"Jika begitu, jadi kakek gurumu dan Kiam-ho Lok-Cing-hui adalah tokoh yang tidak sudi sembarangan bertemu dengan orang?" tanya si setan kayu dengan mendongkol.
"Bukan begitu soalnya, hanya saja Su-kong dan Lok-lo-cian-pwe merasa tidak suka bertemu dengan kalian Kui-kok-ji-bu-siang, lain tidak," ujar Keh-ki.
Seketika air muka si setan kayu berubah kelam pula, agaknya dia memang enggan bermusuhan dengan Kiam-ong dan Kiam-ho.
Cepat si setan lempung menukas. "Lo-toa, jika Lok-tai-hiap yang minta kita mengembalikan peta, biarlah kita mengingat hubungan baik sahabat lama dan kembalikan saja kepada mereka."
Habis itu, dengan suara tertahan ia bisiki saudaranya lagi, "Sesungguhnya memang lebih baik kita kembalikan peta saja daripada bermusuhan dengan ke dua tua bangka itu."
Walaupun si setan kayu tidak percaya Kiam-ong dan Kiam-ho juga berada di sekitar situ, tapi ia pun merasa tidak ada gunanya bermusuhan dengan ke dua tokoh besar itu hanya untuk sehelai peta palsu.
Maka akhirnya ia mengangguk dan berkata, "Baiklah, anggap saja kita yang lagi sial."
Lalu ia mengeluarkan peta palsu yang direbutnya dari Li-hun-nio-nio gadungan itu dan dilemparkan kepada Su-Kiam-eng.
Cepat Kiam-eng menyambar peta itu, aku tanya dengan tertawa, "Kalian sungguh sahabat yang baik biarlah atas nama guruku kami mengucapkan terima kasih kepadamu."
Si setan kayu mendengus perlahan, segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba seperti teringat sesuatu, mendadak ia berhenti dan berkata, "Wah, tidak betul!"
Si setan lampung yang ikut di belakangnya melengak, serentak ia ikut berhenti dan tanya "Urusan apa tidak betul?"
Cepat setan kayu membalik tubuh lagi, bentaknya sambil menuding Su-Kiam-eng, "Lo-ji, telah tertipu oleh anak keparat ini!"
"Mengapa kau bilang demikian?" tanya si setan lempung.
"Hehehe, coba kau pikir, dia baru saja sampai di sini, malahan tadi dia menyaru sebagai Im-som-hiong, katanya gurunya, yaitu Tok-pi-sin-kun telah pulang ke istana putar, begitu bukan?" kata si setan kayu dengan terkekeh.
"Betul, lantas ada apa?" tanya setan lempung.
"Jika betul Kiam-ong dan Kiam-ho berada di sini, buat apa dia mesti menyaru sebagai Im Som-hiong segala?" jengek si setan kayu pula.
"Apakah maksudmu mereka ini bukan anak murid Kiam-ong dan Kiam-ho?" tanya pula si setan lempung.
Sambil menyeringai si setan kayu lantas mendekati Kiam-eng dan Keh-ki sembari menjawab, "Betul, sekalipun benar mereka anak murid Kiam-ong dan Kiam-ho, pasti juga Kiam-ong dan Kiam-ho tidak berada di sini."
Si setan lempung menarik saudaranya dan membisikinya dengan tersenyum, "Sudahlah, seumpama Kiam-ong dan Kiam-ho tidak berada di sini, kita kan juga tidak perlu merecoki anak murid mereka?"
"Tidak," jawab si setan kayu sambil mengepalkan tangan si setan lempung, "yang paling penting, semalam bocah ini sembunyi di dalam hutan untuk membaca peta, sangat mungkin peta kota emas yang asli itu justru berada padanya."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Tergetar juga hati si setan lempung, seketika berubah jalan pikirannya, air mukanya serentak pun bercahaya seperti menemukan sesuatu rejeki besar, ke dua matanya yang sipit seketika pun terbelalak lebar, perlahan ia berkata kepada Su-Kiam-eng, "Eh, betul tidak persoalannya" Lekas katakan terus terang saja, anak muda, kertas yang kau baca semalam dengan sembunyi di dalam hutan itu apakah peta asli kota emas?"
Sama sekali Kiam-eng tidak menduga si setan kayu akan timbul rasa curiga padanya selagi hendak melangkah pergi, keruan ia rada mendongkol, tapi ia berlagak heran dan menjawab, "Sungguh aneh, kecuali peta yang baru saja aku terima dari kalian ini, dari mana pula pernah aku pegang peta asli apa segala?"
Si setan lempung menyeringai, "Sudahlah jangan kamu berlagak pilon, pasti sebelumnya kamu sudah tahu peta yang kami peroleh itu adalah peta palsu."
"Apa katamu" Peta yang kalian serahkan padaku ini peta palsu?" Kiam-eng berlagak menegas dengan terkejut.
Mendadak si setan kayu menerjang tiba sambil membentak bengis, "Tidak perlu banyak bicara lagi, ayo lekas serahkan peta asli itu!"
Keadaan sudah berkembang sejauh ini, rasanya tidak bisa lain daripada saling gebrak. Keh-ki melihat sang kekasih bertangan kosong, cepat ia lolos pedangnya dan diserahkan kepada Kiam-eng sambil berkata, "Kakak Eng, boleh kau tahan dia beberapa jurus dulu, biar aku ambilkan pedangmu!"
Kiranya sebelum Su-Kiam-eng masuk ke istana putar musuh dengan menyamar sebagai Oh-tok-hong, pernah ia menyerahkan pedang sendiri yaitu pedang tanda mata berasal dari Ih-Keh-ki untuk disimpan si nona. Maka sekarang pedang yang diserahkan Keh-ki kepada Kiam-eng ini justru adalah pedang milik Kiam-eng sendiri.
Setelah memegang senjata tentu saja Kiam-eng tambah tabah. Siapa tahu, selagi ia hendak putar pedang untuk memapak serangan si setan kayu, tahu-tahu lawan yang sedang menubruk tiba itu sekonyong-konyong seperti terserang secara gelap, tubuh orang tua jangkung itu mendadak tergetar menyusul dengan anjlok ke bawah dengan kelabakan dengan wajah memperlihatkan rasa kaget dan takut, cepat ia melompat mundur pula beberapa meter jauhnya.
Tentu saja si setan lempung yang hendak menerjang maju itu pun ikut terkejut, tanyanya cepat, "Hei Lo-toa, ada apa?"
Tanpa pikir lagi si setan kayu terus melompat terlebih jauh ke sana sembari berseru kepada kawannya,
"Lekas lari, Kiam-ong dan Kiam-ho datang!"
Si setan lempung terperanjat, mana dia berani tinggal sendiri di situ, cepat ia pun lari secepatnya mengikuti jejak kawannya.
Semula Kiam-eng menduga pasti akan terjadi pertarungan sengit, tak tersangka bisa terjadi perubahan secepat ini. Ia tahu orang yang membikin kaget dan membuat takut Kui-kok-ji-bu-siang itu pasti bukan Kiam-ong Ciong-Li-cin dan berseru dengan tertawa, "Apakah Pek-li-lo-cian-pwe sudah kembali"!"
"Hahahaha!" terdengarlah suara gelak tertawa seorang berkumandang dari balik rumah gubuk di depan sana. Menyusul lantas muncul seorang tua, siapa lagi dia kalau bukan Sam-bi-sin-ong Pek-li-Pin.
Perlahan ia melangkah maju, ucapnya dengan tertawa, "Adik cilik, mengapa kalian sampai bertengkar dengan kedua setan ganas itu?"
Kiam-eng mengembalikan pedang kepada Keh-ki, lalu menjawab dengan tertawa, "Apakah barusan Pekli-lo-cian-pwe yang bersuara dan membuat kedua setan itu lari ketakutan?"
"Betul," jawab Sam-bi-sin-ong, "baru aku pulang sampai di sini, pada saat itulah aku lihat si setan kayu melemparkan peta palsu kepadamu. Kemudian aku lihat dia mau pergi dan mendadak putar balik dan berubah sikap, maka terpaksa aku gunakan gelombang suara untuk menegurnya "Yau-It-lim, apakah kamu ingin mampus?" Ia menyangka aku adalah Kiam-ong atau Kiam-ho. seketika ia urungkan terjangannya padamu dan lari sipat kup
Bentrok Para Pendekar 7 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 4
^