Rahasia Ciok Kwan Im 7

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 7


Liu Yan hwi. "Bukan saja Hongbu Toako dibikin cacad demikian rupa seluruh Hoa
san pai kitapun hancur luluh di" ditangan iblis laknat itu."
"Sekarang terhitung dan sudah berhasil menemukan dia apa pula yang kau
inginkan?" tanya Oh Thi hoa sesaat kemudian.
Liu Yan Hwi tertunduk, sahutnya tergagap "Aku"aku?" suaranya
tersendat didalam tenggorokan, air mata sudah berkaca-kaca di kelopak
matanya. Mendadak Oh Thi hoa genggam tangannya, katanya keras "Masakah tidak
ingin menuntut balas?"
"Menuntut balas". menuntut balas"." dengan terlongong Liu Yan hwi
kemak kemik "Entah berapa kali sudah mulutnya mengulangi kedua katanya
ini, air mata akhirnya menetes membasahi pipinya, mendadak dia kipatkan
tangan Oh Thi hoa dengan keras, katanya dengan suara serak "Tahukan
kau kenapa Hengbu Toako ku rela merendah diri menjadi kawan binatang?"
"Akupun sudah melihatnya, tentu dia punya suatu derita dan pengalaman
yang tak sudi diketahui orang lain."
"Dia menyembunyikan nama mengasingkan diri, terima dihina dan hidup
menderita, lantaran dia tidak mau menuntut balas."
Oh Thi hoa melengak, tanyanya "Kenapa?"
"Karena dia cukup jelas hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan kita
segelintir manusia ini, tak bedanya seperti telur membentur batu dia tidak
rela aliran Hoa san pai kita putus turunan begini saja, diapun takkan tega
para anak murid Hoa san pai satu persatu menjadi korban kekejaman
musuh." Pipop kongcu segera maju mendebat, timbrungnya tiba-tiba "Apakah anak
murid Hoa san pay kalian ada juga yang masih hidup?"
"Yang ketinggalan hidup tidak banyak jumlahnya." sahut Liu Yan hwi.
"O, jadi masih ada beberapa gelintir yang masih hidup, kukira malah sudah
mampus seluruhnya." jengek Pipop kongcu.
"Kau?" berubah air muka Liu Yan hwi. Namun Pipop kongcu tidak beri
kesempatan dia bicara, katanya dingin lebih lanjut "Dulu Hoa san chit kiam
malang melintang di Kang ouw, betapa besar ketenaran nama kalian, setiap
menyinggung nama Hoa san pai siapa yang takkan mundur dan mengalah,
sampaipun rakyat kerdil di negeri asing seperti aku inipun sudah lama
kagum dan merasa iri akan kejayaan Hoa san pay masa dulu, tapi
sekarang?" dia geleng-geleng kepala, lalu meneruskan menghela napas
"Tapi sekarang boleh dikata tidak seorangpun kaum Bulim yang masih ingat
nama Hoa san pai, sudah lupa bahwa di Bulim pernah bercokol dengan
angkernya sebuah Hoa san pai, seumpama anak murid Hoa san pai masih
tetap hidup sebanyak mungkin, apa pula bedanya kalau mereka sudah
mampus seluruhnya?"
Seperti kepalanya dikemplang dengan godam, Liu Yan hwi tersurut mundur
selangkah dengan mata beringas kulit mukanya gemetar, keringat
membasahi seluruh kepalanya.
Berkata pula Pipop kongcu "Seorang laki-laki sejati sebagai kesatria, dari
pada hidup memeluk bangkai lebih baik gugur sebagai pahlawan, coba
katakan benar tidak?"
Liu Yan hwi banting kaki, katanya sember "Liu Yan hwi kau kira takut mati,
tapi mati harus mati dengan berharga, jikalau hanya mengorbankan jiwa
secara konyol?"
"Kau sendiri beranggapan bahwa bukan tandingan Ciok koan im?" tukas
Pipop kongcu. "Dalam kolong langit ini, orang-orang yang benar-benar dapat melawannya
sampai setanding mungkin tidak banyak jumlahnya."
"Asal kau bisa ajak kami menemukan Ciok koan im, kami tidak segan-segan
berkorban demi kalian, tapi kalau toh kalian" kalian tidak berani, ya apa
boleh buat." demikian olok-olok Pipop kongcu secara halus sambil
membakar hatinya.
Berubah rona muka Liu Yan hwi, mendadak ia kertak gigi terus ia putar
badan memburu ke arah Hongbu Ko, dia berlutut di hadapan orang sambil
menarik tangan orang. Tampak dengan air mata bercucuran pilu, jarijarinya
tak henti-hentinya mencoret-coret di telapak tangan Hong bu Ko,
sesaat kemudian Hong bu Ko seperti gusar, mendadak kakinya melayang ia
tendang Liu Yan hwi terguling-guling. Tapi Liu Yan hwei segera bangkit dan
mendadak ke depan kakinya pula, tampak sekujur badan Hongbu Ko
gemetar seperti orang bergidik kedinginan, dua titik air mata meleleh
keluar dari sepasang matanya yang kosong hampa itu. Sekian lamanya pula,
baru terlihat Liu Yan hwei melompat bangun, katanya serak "Apa benar
kalian suka menemani kami bersaudara pergi mencari Ciok koan im?"
"Sudah tentu benar!" Oh Thi hoa memberi janjinya dengan tegas.
"Meski kita pergi dan takkan kembali dengan hidup, kalian tidak gentar?"
tanya Liu Yan hwi menegas.
"Memang kau kira aku orang she Oh ini laki-laki yang takut mati?" seru Oh
Thi hoa dengan lantang.
Liu Yan hwi menarik napas sedalam-dalamnya, katanya bersemangat "Baik,
kalau demikian marilah kalian ikut kami."
Puncak-puncak batu seperti berlomba menjulang ke angkasa, barisan batu
ini laksana tak berujung pangkal ditengah-tengah gurun pasir nan indah.
Sampai di sini kaki tangan Hongbu Ko seolah-olah mulai dingin dan
gemetar. Oh Thi hoa layangkan pandangan sekelilingnya, katanya takjub "Suatu
daerah yang amat berbahaya, mungkinkah kita sudah tiba diambang pintu
akherat. "Bukan diambang pintu neraka, di sini juga sudah termasuk akherat." ujar
Liu Yang hwi, "Diantara hutan hutan batu ini, terdapat sebuah lembah yang
letaknya amat tersembunyi disanalah Ciok koan im bersemayam, disanalah
Hongbu Toako mengalami derita dan siksaan yang kejam yang tak mungkin
bisa dialami oleh manusia siapapun.
Memancarkan cahaya berkilat biji mata Oh Thi hoa, jari-jarinya terkepal
kencang, katanya lantang "Kini tibalah saatnya dia menuntut balas, marilah
kita terjang ke dalam!"
"Tapi diantara sela-sela puncak batu itu, jalan berbelit-belit dan berlikuliku,
setiap langkah mengandung banyak perubahan yang berbeda-beda dan
tak bisa diteliti, jikalau begini saja kita menerjang masuk secara membabi
buta, mungkin selamanya takkan bisa masuk ke lembah sesat itu sampai
jiwa kita ajal, demikian kata Liu Yan hwi.
Pipop kongcu jadi gelisah, katanya "Lalu ". lalu bagaimana?"
"Terpaksa harus tunggu sampai hari menjadi gelap, bila arah angin sudah
berubah!" Tak tahan bertanya pula Pipop kongcu "Kenapa harus menunggu sampai
malam disaat arah angin berubah?"
"Bahwa mata kuping Hong bu Toako sudah cacat, maka belakangan Ciok
koan im memandangnya sebagai mayat hidup layaknya sedikitpun tidak
menjaga dirinya dan membiarkan gerak-geriknya, siapa tahu setelah dia
biasa keluar masuk selat yang membingungkan ini mengandalkan panca
inderanya yang ke enam, segala gerak perubahan dari jalanan yang
menyesatkan didalam hutan batu ini sudah dia hapalkan dengan baik
sekali." "Oleh karena itu maka dia berhasil menggeremet keluar?" tanya Pipop
kongcu. "Ya, begitulah." sahut Liu Yan hwi.
"Lalu, apa pula hubungannya dengan perubahan angin itu?"
"Bagi seorang tuna-netra yang tuli dan bisa lagi, untuk menemukan arah
langkahnya bukan suatu hal yang ringan, tapi dia perlu mendapat bantuan
berbagai unsur yang punya ikatan erat dengan kondisi badannya, sudah
tentu perubahan angin adalah satu diantara sekian unsur-unsur yang
menentukan itu."
"Aku paham sekarang, ujar Pipop kongcu.
"Jadi malam dimana dia berhasil melarikan diri itu, arah anginnya berbeda
dengan sekarang kuatir bekerjanya panca indra ke enamnya rada meleset,
kemungkinan besar bisa salah menentukan arah, betul?"
"Betul, asal selangkah kau salah menggerakkan kakimu didalam selat yang
membingungkan itu, maka saat itu pula ajalmu bakal ditentukan oleh
langkah-langkahmu selanjutnya.
Oh Thi hoa mendongak melihat cuaca, katanya gelisah "Sampai kapan kita
harus menunggu baru angin setan ini berubah arah?"
"Di tengah-tengah gurun pasir, sering terjadi hembusan arah angin
disiang hari dan malam hari berbeda."
"Kalau dia justru tidak mau berubah bagai mana?" Oh Thi hoa rada sangsi.
"Kalau tidak berubah terpaksa kita harus menunggu dia berubah."
Untunglah nasib mereka cukup baik, menjelang malam arah angin tiba-tiba
berubah dari arah semula yang menuju ke tenggara tiba-tiba berubah ke
arah barat laut maka hawa dingin segera bergulung-gulung menerjang tiba
ke arah barat laut.
Dengan ujung pedang sebagai tongkat menutul pasir Hongbu Ko berjalan
di depan membuka jalan. Setiap langkahnya amat berhati-hati dan lambat,
seolah-olah kuatir sekali kakinya salah langkah, selamanya bakal kejeblos
ke dalam neraka yang tak tertolong lagi jiwanya. Tapi kejap lain, mereka
toh beriring sudah memasuki hutan-hutan batu itu.
Malam gelap gulita tiada rembulan tiada bintang, jagat raya sedemikian
gelapnya seperti didalam peti mati, sampai kelima jari sendiripun tidak
kelihatan. Hampir dikata apapun tak terlihat oleh ketajaman mata Oh Thi
hoa yang sudah terlatih ini, hatinya berdetak tegang sampai serasa sesak
napasnya. Tapi dia cukup tahu, semakin gelap, malah semakin
menguntungkan bagi Hongbu Ko, karena didalam keadaan yang gelap ini,
orang yang punya mata malah jauh lebih tidak leluasa dari seorang picak.
Langkah Hongbu Ko teramat lambat, setiap langkahnya menghabiskan
beberapa lamanya, tapi dia terus maju tak berhenti, gerak-geriknya
laksana seekor kucing yang sedang merunduk mangsanya, boleh dikata
hampir tak pernah mengeluarkan sedikitpun suara bahwasanya kala itu
angin badai membawa damparan pasir bersuit-suit amat ributnya, umpama
langkah-langkah mereka bersuarapun takkan bisa terdengar orang lain.
Tapi kalau ada orang mendatangi mengeluarkan suara berisik umpamanya,
mereka tidak akan tahu.
Cuma Hongbu Ko satu-satunya, dia tidak perlu mendengar namun dia dapat
merasakan. Dan pada itulah, seolah-olah dia mendapat suatu firasat jelek,
suatu perubahan yang menimbulkan kewaspadaannya. Sigap sekali tiba-tiba
dia membalik badannya terus mendekam menempel dinding batu, dalam
keadaan dan saat seperti ini, terpaksa orang-orang lain sama meniru
perbuatannya, serempak merekapun mendekam menempel dinding batu,
bersiaga dengan tegang.
Dengan kencang Oh Thi hoa genggam golok berpunggung besar yang
berhasil dia rampas dari satu musuh tadi, diam-diam dia menggeremet
baju ke depan Hongbu Ko, dia pepetkan badannya ke dinding batu pula,
dengan tegang dan sabar dia menunggu segala perubahan dengan menahan
napas. Malam nan gulita ini diliputi ketegangan dan napsu membunuh yang
mulai memuncak.
Seperti seekor serigala buas dan kelaparan yang sedang menunggu
mangsanya muncul untuk diterkam dilalapnya. Sesaat kemudian, betul juga
dari balik celah-celah batu di sebelah samping depan sana, sayup-sayup
didengarkannya dengus napas orang, saking tegang telapak tangan yang
menggenggam erat gagah golok sampai berkeringat.
Dengus napas itu semakin jelas dan semakin dekat.
Laksana kilat menyambar golok Oh Thi hoa berayun membacok, boleh
dikata dia sudah kerahkan setaker tenaganya untuk melancarkan
bacokannya ini, bukan saja cepat serangan inipun ganas, mungkin jarang
orang yang bisa terhindar dari bacokan yang hebat ini. Apa lagi ditengah
malam buta rata. Memangnya dia sengaja hendak membelah batok kepala
orang menjadi dua. Tapi mimpipun dia tidak menduga, memang selamanya
dia tidak akan mengira, bahwa orang yang dia serang ini adalah Coh Liu
hiang. Sebetulnya belum tentu Coh Liu hiang bisa sampai ditempat itu. Untunglah
pada detik-detik berbahaya itu mereka tidak sampai kepergok oleh Ciok
koan im, juga tidak sampai konangan murid-murid Ciok koan im tapi cuma
bersua dengan Ki Bu yong.
?".hanya mengandalkan tenaga kalian bertiga begini saja, sudah lantas
hendak lolos dari sini?" kata-kata ini ternyata diucapkan oleh Ki Bu yong.
Seluruh badannya serba putih laksana salju. Tangannya yang kutung
digendong dengan kain sutra berwarna putih pula, demikian pula kepala
sampai mukanya dikerudungi kain putih juga, sehingga orang hanya bisa
melihat potongan badannya yang semampai dan ramping, takkan terbayang
pula akan keburukan wajahnya yang menggiriskan itu.
Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan Setitik Merah bertiga sama membelalakkan
mata mengawasinya siapapun tiada yang berani bertingkah dan bicara lagi,
siapapun tiada yang tahu apa yang hendak orang lakukan. Asal dia
berteriak memanggil saudara-saudaranya, mereka bertiga takkan mungkin
bisa lolos lagi. Di luar dugaan Ki Bu yong hanya berdiri diam mengawasi
mereka tanpa bersuara.
"Apa yang kukatakan, kau sudah dengar?" mendadak Setitik Merah
berkata. "Huh! Ki Bu yong bersuara dari hidung.
"Kau ikut pergi tidak?" tanya Setitik Merah pula.
Ki Bu yong tertawa dingin, ejeknya "Kau sudah tahu bahwa kalian tidak
akan mampu lari sendiri, kau ingin aku ikut menunjuk jalan?"
Sekian lama Setitik Merah menatapnya lekat-lekat, mendadak dia
terloroh-loroh dengan mendongak. Seorang laki-laki yang selama bertahuntahun
yang tak pernah kelihatan senyum tawanya, ternyata tiba-tiba bisa
tertawa besar sebetulnya suatu kejadian yang amat mengejutkan orang,
cuma sayang loroh tawanya itu bukan saatnya yang tepat. Jikalau gelak
tawanya sampai mengejutkan Ciok koan im, maka tiga jiwa manusia bakal
menjadi imbalan loroh tawanya ini.
Ki Ping yan gusar, semprotnya "Apa kau hendak menyatakan isi hatimu
kepadanya dengan kematianmu" Tapi kamu tidak perlu demikian, perduli
apapun yang dia pikirkan demi kita, perduli bagaimana pandangannya
tentang kita aku tak perlu ambil dihati."
Segera Setitik Merah menghentikan tawanya katanya tegas "Baik, kalian
boleh pergi! Aku tinggal di sini." menggunakan sisa tenaganya yang sudah
lemah itu, ia meronta dan mendorong ke depan sekuatnya, membebaskan
diri dari lipatan kain pinggang itu terus menggelundung jatuh dari
punggung Ki Ping yan.
"Kau". kenapa kau berbuat demikian?" Coh Liu hiang kaget dan haru.
"Tanpa aku bebanmu lebih ringan, harapanpun lebih besar." sahut Setitik
Merah. Coh Liu hiang membanting kaki, katanya "Tapi mana mungkin aku
meninggalkan kau di sini demikian saja?"
Selama hidup belum pernah aku anggap jiwa itu berharga, sembarang
waktu aku sudah siap untuk mati, ujar Setitik Merah tawar. Sampai di sini
dia tidak banyak berkata lagi, tapi sikapnya itu tegas dan tandas, seolaholah
dia mau berkata kepada Ki Bu yong "Sekali kali tidak bakal karena
ingin hidup lantas aku menipu kan, jikalau kau berpikiran secepat ini bukan
saja terlalu memandang rendah aku, juga memandang rendah dirimu
sendiri." Kain kerudung dibagian depan mata dan hidung Ki Bu yong kelihatannya
basah. Gadis berhati kaku dan dingin seperti dia, memangnya juga bisa
menangis dan mengalirkan air mata tiba-tiba dia merogoh keluar sebuah
botol kecil terus dilempar ke arah Coh Liu hiang katanya serak sambil
berpaling muka "Inilah obat pemunahnya, lekas kalian pergi."
Coh Liu hiang malah menghela napas, ujarnya "Baru sekarang nona suruh
kami berlalu, sudah terlambat."
"Kenapa terlambat?" tanya Ki Bu yong tak mengerti.
Watak Ang heng aku cukup menyelaminya, kalau dia sudah mengatakan
tinggal di sini, jelas takkan mau pergi, kalau dia tidak mau pergi, masakah
kami berdua harus pergi begitu saja?"
"Dia" apa lagi yang dia inginkan?"
Coh Liu hiang mengelus hidung, katanya "Dia sudah menyatakan hatinya,
kalau nona sudi mempercayai dia, marilah kau ikut kami, jikalau dia sudah
tahu bila nona sedikitpun tidak menaruh curiga pula kepada kami, tentu
diapun mau pergi.!"
"Aku". aku tak bisa pergi." bukan saja suaranya gemetar, badannyapun


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergidik merinding.
"Apa pula yang patut nona kenang dan berarti di sini?" tanya Coh Liu
hiang. Ki Bu yong tidak menjawab, agaknya dia sudah tak mampu bicara lagi.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang membentak "Kalian
berempat, satupun jangan harap bisa lolos!"
Seorang gadis berpakaian serba ungu entah kapan ternyata sudah berdiri
serambi sana sedang mengawasi mereka dengan mata melotot. Betapapun
tabah ketenangan Coh Liu hiang dan Ki Ping yan, tak urung berubah air
mata mereka. "Sumoay, kau"." Ki Bu yong pun berteriak kaget.
"Siapa sudi menjadi Sumoaymu, tukas gadis itu, kau budak tak tahu malu
ini, biasanya kau pura-pura jadi gadis suci, siapa tahu begitu melihat lakilaki
lantas sinting dan lupa diri, memangnya kau lupa bagaimana sikap guru
kita kepadamu?"
Ki Bu yong malah tenang dan sabar, katanya tawar "Tapi kaupun jangan
lupa, Suhu sekarang tak di sini."
Gadis baju ungu itu semakin naik pitam semprotnya "Memangnya kenapa
kalau Suhu tidak ada, kau kira dengan kekuatan kita puluhan bersaudara
tidak mampu membereskan kalian berempat?" dimana tangannya menekan
sebuah tombol dinding, maka terdengarlah suara bel yang berbunyi
nyaring. Coh Liu hiang tahu begitu suara bel berbunyi, semua anak murid Ciok koan
im, akan segera meluruh datang seluruhnya, kepandaian silat gadis-gadis
itu semuanya tidak lemah, apalagi terang sekali mereka masing-masing
mendapat ajaran ilmu tunggal Ciok koan im yang berlainan satu dengan
yang lain, jadi pembawaan ajaran mereka berlainan dan berbeda, dengan
hanya kekuatan mereka berempat, sekaligus harus menghadapi setiap
banyak musuh, sungguh dia rada sangsi bisa menang. Apalagi Ki Ping yan
dan Setitik Merah tak mampu mengerahkan tenaga, jangan kata berkelahi
mengerahkan senjatapun tak mampu.
Baru sekarang Ki Ping yan sadar untuk menelan obat pemunah itu,
tanyanya berbisik "Berapa lama khasiat obat ini baru bekerja?"
"Paling lama satu jam, kalau cepat setengah jam sudah menunjukkan
hasilnya." demikian sahut Ki Bu yong.
Ki Ping yan menghela napas dan geleng-geleng kepala, sebentar lagi bala
bantuan musuh bakal berdatangan, umpama tenaganya bisa pulih dalam
setengah jam, juga takkan berarti lagi. Diapun berikan sisa sebutir obat
itu kepada Setitik Merah. Setitik Merah tidak menolak, cuma harus
disayangkan meski kedua tokoh silat lihay setingkat mereka pada jaman
ini, meski sudah menelan obat pemunah, paling-paling hanya menunggu
waktu pasrah nasib digorok lehernya oleh orang lain.
Suara bel terus berbunyi Gadis baju ungu segera membentak beringas
"Kalau sekarang kalian terima menyerah dan mau diborgol, mungkin jiwa
kalian dapat diampuni, kalau tidak?"
Ki Ping yan mencibir bibir dan mengancam "Sepatah kata lagi kau bicara,
kubunuh kau lebih dulu."
Membesi hijau muka gadis baju ungu ini, tapi dia benar-benar tak berani
banyak bertingkah kali ini.
Mendadak Ki Ping yan berkata "Coh Liu hiang hari ini kau tetap tak mau
membunuh orang?"
Coh Liu hiang geleng-geleng kepala, sahutnya tersenyum "Kalau aku mau
bunuh orang sejak lama sudah kulakukan, kenapa harus diperpanjang
sampai hari ini."
"Tapi jikalau hari ini kau tidak membunuh orang, jiwamu sendiri yang akan
dibunuh orang."
"Umpama benar hari ini aku harus membunuh orang, akhirnya akupun bakal
terbunuh juga disini." Bahwa Coh Liu hiang sudah mengeluarkan kata-kata
yang menandakan dia patah semangat, maka dapatlah dibayangkan betapa
genting situasi didepan mata ini Ki Ping yan cukup tahu, bahwasanya satu
persen harapan untuk menang mereka tidak akan bisa memperolehnya.
Mendadak Setitik Merah berkata "Akulah yang membuat kau celaka!"
kata-katanya memang dia tujukan kepada orang tertentu, tapi siapapun
yang mendengar sama tahu kepada siapa dia bicara.
Sesaat lamanya, akhirnya Ki Ping yan berkata "Tak enggan-enggannya kau
berani mengorbankan jiwamu, memangnya aku tidak berkorban?"
"Baik sekali." ujar Setitik Merah keduanya tidak banyak bicara lagi
sampaipun saling pandangpun mereka tidak pernah, tapi dengan cara
demikianlah seolah-olah mereka sedang pasrahkan jiwa sendiri kepada
temannya. Betapa banyak Coh Liu hiang pernah melihat dan menghadapi
persahabatan laki-laki dan perempuan, atau hubungan asmara muda-mudi
yang beraneka ragamnya, tapi belum pernah terpikir dalam benaknya,
bahwa dalam jagat ini ada juga dua orang seperti mereka ini.
Ikatan persahabatan yang aneh seperti ini maka terjalin dalam suasana
yang dingin dan tegang ini, tapi didalam situasi yang diliputi bahaya dan
jiwa bakal melayang sewaktu-waktu, kelihatannya cukup menusuk hati dan
besar sekali reaksinya, jauh lebih mengetuk sanubari orang lain.
Mendadak dua gadis berlari-lari mendatangi dari ujung serambi panjang
sana. Ternyata keduanya sama-sama telanjang bulat, malah badan mereka
masih basah oleh butiran-butiran air, terang keduanya adalah gadis-gadis
yang sedang mandi tadi. Terang tadi mereka sudah tertutuk Hiat tonya
oleh Coh Liu hiang, kenapa sekarang bisa lari secepat itu laksana mengejar
angin. Sudah tentu gadis baju ungu itu kaget dan keheranan pula, ia bertanya
"Meski panggilan bel peringatan amat genting, tapi kalian toh harus
berpakaian dulu!"
Belum habis kata-katanya kedua gadis telanjang ini sudah lari ke depan
Coh Liu hiang, menghadapi badan gadis remaja yang padat dan montok
semampai ini tiga laki-laki jadi kebingungan sendiri dan tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Tak nyana begitu tiba dari dekat kedua gadis ini
tanpa bersuara lantas tersungkur roboh, seolah-olah ada sebuah tangan
besar yang tak kelihatan, mendadak memapak mereka dengan sekali
pukulan yang mematikan.
Sudah tentu perubahan ini bukan saja membuat gadis ungu kaget dan
berubah roman mukanya, Coh Liu hiang bertigapun melongo, kelihatannya
dari kaki sampai kepala keadaan mereka tetap utuh tak kurang satu
apapun. Segera Ki Bu yong melangkah maju membalik badan mereka, bagian depan
merekapun tetap utuh tak kelihatan luka-luka atau ada noda darah, cuma
kulit muka mereka sama-sama berubah hitam semu ungu, sejalur dara
segar mengalir keluar dari ujung mulut mereka.
Waktu leher mereka diperiksa, sampai bekas-bekas jalur merah yang
melingkari leher mereka. Tiba-tiba Ki Bu yong bergidik sambil menyurut
mundur, teriaknya tertahan "Apa mungkin mereka mati tercekik
lehernya?"
"Agaknya memang begitulah kejadiannya." ujar Coh Liu hiang menghela
napas. "Kalau sudah dicekik mati, bagaimana masih bisa lari kemari": tanya Ki
Ping yan. "Cara cekikan dan tenaga yang digunakan orang itu secara pas-pasan saja,
mungkin memang sudah diperhitungkan, sengaja membuatnya berlari
sampai di sini baru putus napasnya, demikian Coh Liu hiang menerangkan,
seperti tiba-tiba ingat apa-apa sembari bicara segera ia berjongkok,
dibukanya jari-jari seorang gadis itu tergenggam kencang dari sela-sela
jari itu ditariknya secarik kertas warna hijau pupus.
"Siapa yang mencekik mati mereka?" tanya Ki Bu yong, "Kenapa mereka
dibiarkan lari kemari?"
Mata Coh Liu hiang menatap tulisan didalam kertas itu kulit daging muka
seperti berkerut kejang, sesaat kemudian, baru dia menghela napas
panjang, katanya "Itulah karena orang itu ingin mengantar mayat mereka
kepadaku."
"Mengantar mayat kepadamu?" teriak Ki Bu yong. "Kau"kau?"
Dengan tertawa getir Coh Liu hiang angsurkan kertas hijau itu kepadanya.
Tampak kertas itu tertulis:
Disampaikan kepada Maling Romantis.
Persembahan hormat Burung Kenari.
Walau tidak melihat apa yang tertulis didalam kertas itu, tapi gadis baju
ungu sudah merinding dan berdiri bulu kuduknya saking seram dan
ketakutan, badannya basah oleh keringat dingin, mendadak dia putar tubuh
dan berlari lintang-pukang seperti dikejar setan, mulutpun berkaok-kaok
kalap "Tolong!.. Tolong..!" tiba-tiba jeritannya terhenti begitu saja, disusul
badannya tergertak keras berhenti sebentar lalu terhuyung mundur dan
mundur terus. Kembali Coh Liu hiang dan lain-lain menjadi tegang dan berkeringat,
tampak kaki orang selangkah demi selangkah sempoyongan mundur dengan
teratur, terus mundur sampai di hadapan Coh Liu hiang lagi, sejak
permulaan tidak pernah berpaling muka.
Terasa dingin telapak tangan Ki Bu yong tak tahan dia menjerit dengan
suara sember "Kau?" baru sepatah kata tiba-tiba dilihatnya gadis baju
ungu roboh terlentang. Tampak selebar mukanya berlepotan darah, dan
tepat ditengah mata di atas hidungnya, menancap sebatang pedang kecil
yang diukir dari batu pualam hijau pula, di atas batang pedang mini inipun
melekat secarik kertas Dimana tertulis juga kata-kata:
Dipersembahkan kepada Maling Romantis Persembahan hormat Burung
Kenari Semua beradu pandang, tiada seorangpun yang buka suara. Pualam
sedemikian tipis adalah gelas dan gampang putus, sebaliknya tulang hidung
cukup keras, tapi si Burung Kenari ternyata mampu menyerang orang
dengan pedang pualam ini tepat mengenai tulang hidungnya sampai
menemui ajalnya, betapa mengejutkan kekuatan timpukan ini.
Coh Liu hiang segera berseru lantang "Berulang kali saudara memberi
hadiah, kenapa tidak sudi muncul?" mulut berkata seenteng kecapung
badannya tiba-tiba sudah melayang ke depan sana.
Ki Bu yong dan lain-lainnya di belakangnya, waktu mereka memutar ke
serambi panjang lainnya, berdiri di sana tanpa bergerak, seperti orang
pikun yang kaget dan ketakutan.
Dimulai dari ujung kakinya setiap dua langkah menggeletak sesosok mayat
seorang gadis, serambi panjang yang puluhan tombak ini ternyata berderet
mayat-mayat ini yang bergelimpangan. Puluhan mayat itu berderet seperti
ditata rapi, seolah hendak berpameran, betapa seram dan menakutkan
pemandangan yang mengerikan ini, siapapun yang melihatnya pasti berdiri
bulu kuduk dan merinding.
Bagaimana juga Ki Bu yong adalah kaum hawa, mayat-mayat gadis yang
meninggal inipun semula adalah teman-temannya, terasa olehnya kedua
kaki menjadi lemas lunglai, tahu-tahu dia meloso jatuh dan pingsan.
Tak tahan lagi hampir saja Ki Ping yan pun hendak muntah-muntah,
meskipun wataknya keras berdarah dingin, tapi selama hidupnya tak
pernah dilihatnya mayat-mayat orang demikian banyak. Sampaipun Setitik
Merah yang selamanya tidak pernah memberi ampun jiwa musuh-musuhnya
yang diincarnya, tak terasa diapun berdiri menjablek.
Entah berapa lama kemudian pelan-pelan baru Coh Liu hiang sadar dari
lamunannya, katanya menarik napas panjang "Telengas benar burung kenari
itu." Ki Ping yan pun menggumam sendiri "Dia tahu kau tak mau membunuh
orang, maka dia wakili kau membereskan mereka cuma" yang dia bunuh
terlalu banyak."
"Jelas cara kematian gadis-gadis itu satu sama lain berbeda-beda, ada
yang lehernya terdapat bekas-bekas jalur merah, terang tercekik mati,
ada yang badannya hancur terbacok oleh golok, ada pula yang batok
kepalanya lemas lunglai, menjurus ke arah yang tak mungkin terjadi bagi
seorang hidup ternyata tulang lehernya remuk dipeluntir, ada pula yang
menyemburkan darah dari mulutnya, terang dipukul dari serangan berat,
ada pula yang dipotong lidahnya, ada pula yang dikorek biji matanya.
Agaknya membunuh orang menjadikan suatu kenikmatan baik si Burung
kenari sebagai karya seni yang menyenangkan, ternyata sekaligus dia
gunakan berbagai cara yang berbeda-beda untuk membunuh para gadisgadis
ini. Pada setiap mayat gadis-gadis ini semua diberikan secarik kertas
yang bunyinya satu sama lain tak beda.
Dihaturkan Kepada Maling Romantis, Persembahan hormat, Burung kenari.
"Burung kenari, burung kenari"." Ki Ping yan menggumam lagi, "Siapa
nyana iblis laknat pembunuh manusia yang kejam ini menggunakan nama
yang begitu molek."
Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Coba kau perhatikan setiap muka
mereka." Ki Ping yan gelengkan kepala, sahutnya, "Aku tidak suka mengawasi
perempuan, yang hidup saja tidak suka, apa lagi yang sudah mati."
"Tapi kalau ini kau lihat dengan seksama maka akan kau temukan walau
cara kematian mereka berbeda, tapi ada pula titik persamaannya diantara
korban-korban ini."
Tak tertahankan Ki Ping yan benar melirikkan matanya, seketika berubah
air mukanya teriaknya "Benar-benar mayat gadis ini semuanya sudah tidak
punya bulu alis."
"Sebetulnya mereka punya alis, cuma kini sudah dicukur pelintas
seluruhnya. Begidik seram Ki Ping yan yang dibuatnya katanya "Masakah sebelum dia
membunuh korban-korban ini, satu persatu dia cukuri dulu alis mereka?"
"Mungkin disinilah pertanda khas bagi si burung kenari setiap kali dia
membunuh orang agaknya bukan saja membunuh orang sebagai hobynya,
sekaligus diapun ingin banyak orang tahu, bahwa korban-korban ini adalah
karyanya."
"Tapi kali ini dia bunuh gadis-gadis ini lantaran kau, jelek-jelek sudah
memberi bantuan kepadamu, benar tidak?"
"Em..!" Coh Liu hiang mengerut alis.
"Kenapa dia mau membantu kesulitanmu" Kau kenal dia?"
"Tidak kenal!"
"Tentunya tak mungkin dia kemari membunuh orang tanpa sebab, setelah
membunuh orang lantas tinggal pergi?"
"Sudah tentu dalam kejadian tentu ada sebab-sebabnya."
"Sebab apa?"
Jilid 25 "Sampai detik ini, boleh dikata aku sendiri belum bisa meraba tujuannya
tapi aku percaya peduli tujuannya baik atau tidak, tak mungkin dia pergi
begitu saja dengan korban-korbannya ini."
"Kau kira... tak lama lagi dia bakal muncul?"
"Bukan mustahil setiap detik setiap saat dia sedang menunggu
kedatanganku, cuma kita tidak melihatnya saja."
"Merinding bulu kuduk Ki Ping-yan, tak tahan dia menghela napas untuk
menghilangkan rasa seram hatinya, ujarnya "Manusia seperti itu aku malah
mengharap semoga jangan sampai melihatnya," mendadak dia tertawa geli
sendiri. "Tapi bagaimana juga sekarang seluruh murid-murid Ciok koan-im
sudah ajal, kita boleh keluar dengan berlenggang." selamanya diapun tidak
pernah membayangkan, bahaya besar dari tebasan golok yang mematikan
sedang menunggu di luar.
Penunjuk jalannya adalah Ki Bu-yong. Bukan lantaran dia kuatir Coh Liuhiang
bertiga bakal tersesat didalam lembah membingungkan ini, dia cuma
ingin selekasnya meninggalkan tempat yang diliputi baunya darah. Dengan
pandangan mendelong hampa dia beranjak pelan-pelan sekujur badannya
seolah-olah sudah membeku, maklumlah seluruh kawan-kawannya sudah
ajal seluruhnya cuma dia seorang saja yang masih ketinggalan hidup.
Mungkin karena bukan kematian teman-temannya itu dia bersedih,
sebaliknya merasa menyesal dan terketuk sanubarinya karena jiwanya
sendiri masih hidup, seolah-olah dia dibayangi perasaan, seharusnya
dirinya pun sudah mampus ditempat ini. Yan mengintil di belakangnya
adalah Setitik Merah, Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang berjalan paling belakang,
bahwa mereka bisa keluar sampai di sini, sungguh patut dibuat girang. Tapi
entah kenapa, perhatian hati mereka tetap tertekan, amat prihatin.
Pad saat itulah, tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat langsung
membacok ke batok kepala Ki Bu-yong. Sedikitpun Ki Bu-yong seperti tidak
menyadari ancaman maut ini, bukan saja tidak berkelit, langkahnya tetap


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beranjak ke depan. Saking kagetnya tanpa berpikir panjang Setitik Merah
segera menubruk maju sekali raih ia menariknya sekuat tenaganya.
Betapa cepat dan gerakan refleks dari reaksi Setitik Merah, jelas sudah
dapat menjagoi di seluruh Tionggoan, tapi betapa cepatnya pula bacokan
golok itu sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata apapun. Akhirnya
Setitik Merah terlambat bertindak. Terpaksa ia tarik Ki Bu-yong jatuh ke
tanah, dirinya, terus menubruk ke atas badannya, dengan badan sendiri
melindungi badan Ki Bu-yong secara refleks pula sebelah tangannya
memapak ke arah datangnya bacokan golok.
Maka terdengar "Cras!", darah seperti anak panah muncrat kemana-mana.
Kontan lengan kiri terbacok putus.
Saking kejutnya KiPing -yan dan Coh Liu-hiang serempak menerjang maju.
Tampak tajam golok laksana kilat berkilauan menyambar, kembali
menyerang kearah mereka. Hebat sekali gerakan Coh Liu-hiang, sedikit
melegot dan berkelebat, tahu-tahu dia sudah menyusup ke dalam lingkaran
sinar golok lawan, sekali sanggah dan puntir lengan orang dia berusaha
merebut golok musuh. Betapa cepat dan hebat jurus rangsakannya,
sungguh amat lincah, tepat, sungguh sudah mencapai puncak kesempurnaan
latihan ilmu silatnya.
Ki Ping-yan menegakkan telapak tangan bagai golok, tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokan orang terus dibabat. Dengan kerja sama Coh Liuhiang
dan Ki Ping-yan, rapatnya tiada setitik lobang sejurus serempak dari
dua tokoh silat hebat ini, mungkin tiada seorang tokoh betapa lihaynya
dalam kolong langit ini yang mampu menghindari diri.
Sekali bacokannya berhasil melukai orang, baru saja dia lontarkan
serangan susulannya, mendadak terasa sampukan angin menerjang dari
sebelah muka, tahu-tahu seseorang menyelinap ke dalam pelukan dadanya,
betapa hebat dan berbahayanya serangan orang ini, betul-betul jarang dia
temukan selama hidup. Di kolong langit ini, siapa pula yang mampu
menundukkan Oh Thi-hoa dalam satu gebrakan saja"
Berkelebat pikiran Oh Thi-hoa, teriaknya tertahan "Ulat busuk!"
Teriakan "Ulat busuknya ini, sudah tentu bikin Coh Liu-hiang dan Ki Pingyan
amat kaget, "kelontang" golok ditangan Coh Liu-hiang jatuh di atas
tanah. Tebasan tapak tangan Ki Ping-yan juga segera ditariknya balik
mentah-mentah, bergetar suaranya "Sianoh, kaukah?"
"Siapa lagi kecuali aku si pembawa sebal ini." sahut Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan banting-banting kaki, berbareng mereka
lepas tangan Oh Thi-hoa segera berdiri dengan menghela napas lega "Jago
Mampus, Ulat busuk, hebat benar kalian, tapi jika aku tidak kehabisan
tenaga sampai hampir mati, kalianpun jangan harap bisa berhasil begini
cepat." Coh Liu-hiang sama Ki Ping-yan merasa tertekan perasaannya, mereka
tetap bungkam. "Kalian tak sampai membunuh aku, seharusnya berterima kasih kepada
Thian-te atau langit dan bumi, kenapa malah...." mendadak diapun
merasakan suasana yang prihatin, baru sekarang pula ia teringat akan
tebasan goloknya tadi, maka seri tawanya menjadi kaku dan meringis,
batuk-batuk dua kali dengan tergagap dia bertanya "Barusan.... barusan.....
barusan.... mulutnya menerocos "barusan" seperti tambur yang dipukul
bertalu-talu. "Barusan kau benar-benar sudah membuat celaka." sahut Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa memencet hidungnya, tanyanya lirih "Siapa yang terluka?"
Belum Oh Thi-hoa menjawab, percikan api berkelebat, Liu Yan-hwi sudah
menyalakan obor, tanpa dijelaskan oleh Coh Liu-hiang Oh Thi-hoapun sudah
melihat siapakah yang terluka.
Tampak dibawah genangan darah yang beketes-ketes seorang gadis serba
putih duduk ditangah dengan pandangan mendelong seperti patung tak
bergerak, badannya belepotan darah tapi yang terluka bukan dia.
Seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang bertubuh jangkung,
berkulit legam, sekeras baja dan sedingin es, pelan-pelan sedang
merangkak bangun dari genangan darah, luka-luka pada lengan kirinya
masih mengucurkan darah, tapi kulit mukanya yang pucat dingin tidak
menunjukkan perasaan hatinya, badannya tetap tegak selempang tombak,
agaknya umpama kedua kakinya yang terbacok putus, diapun takkan roboh.
Mengawasi orang ini, tak tahu Oh Thi-hoa apa yang harus dia katakan"
Setitik Merahpun balas mengawasi dia, mendadak tersenyum dan memuji
"Hmm golok bagus!" jikalau dia mengomel dan mencaci kaki, betapapun
kotor dan kasar caci makinya, Oh Thi-hoa akan merasa lega hatinya, tapi
pujian ini seketika membuat selebar muka Oh Thi-hoa merah padam.
Berkata Setitik Merah pelan-pelan "Kau tak perlu sedih, kejadian ini tak
bisa salahkan kau, kalau aku adalah kau, sama juga akan membacok kutung
lenganmu." Karena dia tak salahkan Oh Thi-hoa, Oh Thi-hoa semakin
merasa sedih dan mendelu, sudah tentu kesalahan bukan terletak pada Oh
Thi-hoa, tapi sekarang Oh Thi-hoa justru merasa bahwa dirinya teramat
berdosa. Tiba-tiba KiPing -yan mendekati serta menepuk pundaknya, katanya
"Tahukan kau siapa dia?"
"Aku hanya tau dia seorang laki-laki sejati, orang gagah, seorang ksatria
yang jarang ditemukan dalam jagat ini." sahut Oh Thi-hoa menghela napas.
"Dia inilah Setitik Merah, Ki Ping-yan memperkenalkan.
"Setitik Merah dari Tionggoan?" OH Thi-hoa menegas dengan kesima.
"Ya!"
Seketika Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya "Aku patut mati! patut
mati!" mengapa kutungan tangan yang menggeletak di atas pasir, serasa
ingin menangis tergerung-gerung karena tangan yang kutung ini bukan
tangan sembarangan, pedang tercepat nomor satu di seluruh Tionggoan,
dan tangan inilah yang menegakkan ketenaran itu." Berapa banyak pula
tangan-tangan seperti ada di dunia ini" Namun tangan ini sekarang sudah
tertebas kutung olehnya, apa pula yang dapat menggantinya" Dengan apa
pula ia dapat menebus kesalahannya ini" Mendadak Oh Thi-hoa jemput
golok di atas pasir itu, sekali ayun dia terus membacok ke lengannya
sendiri. Untung Ki Ping-yan cukup sebat menarik lengannya, katanya "Tak perlu
kau berbuat demikian."
"Lepas tanganmu, kau tak perlu ikut campur." bentak Oh Thi-hoa sember.
"Tahukah kau bukankah kau berhutang sebuah lengan kepadanya, akupun
berhutang sebelah kaki juga, tapi tidak perlu tergesa-gesa menebus
hutang kita itu sekarang juga, kelak bila dia memerlukan baru kita bayar
hutang ini, bukan kita lebih baik?"
Coh Liu-hiang manggut-manggut, ujarnya "Piutang ini, semoga kalian bisa
menebusnya dengan segera."
Setitik Merah tiba-tiba menyeletuk "Ini bukan hutang, kalianpun tak
perlu bayar." lalu dijemputnya tangan kutungnya itu, sesaat lamanya dia
awasi, mendadak tertawa, katanya "Yang terang tangan ini sudah berlalu
banyak membunuh jiwa manusia, biarlah dia istirahat juga baik habis
katanya, badannya pun tiba-tiba tersungkur jatuh.
Pipop kongcu kembali berkumpul dengan Coh Liu-hiang, sementara KiPing -
yan bersua pula dengan Ciok tho, sudah tentu pertemuan yang cukup
menggembirakan, sudah tentu mereka saling menceritakan pengalaman
selama ini sejak berpisah.
Waktu itu mereka sudah meninggalkan lembah sesat yang membingungkan
itu, Ki Bu-yong duduk disamping Setitik Merah yang masih pingsan
kehabisan tenaga dan terlalu banyak mengeluarkan darah, dengan
mendelong dia awasi terus muka orang, seperti baru pertama kali ini dia
pernah melihatnya.
Sudah lama Oh Thi-hoa tidak membuka mulut, baru sekarang tak
tertahankan dia menyeletuk lebih dulu "Burung kenari, siapakah dia
sebetulnya" Sungguh kejam dan culas."
Berkata Pipop kongcu "Dia suka membunuh orang, kenapa tidak sekalian
dia bunuh Ciok koan-im pula?"
"Mungkin kebetulan dia tidak bertemu dengan Ciok koan-im." timbrung Ki
Ping-yan. "Atau mungkin sengaja dia tinggalkan Ciok koan-im supaya
dibunuh oleh Coh Liu-hiang."
"Bagaimana pula Ciok koan-im bisa kebetulan tak ada di sarangnya?" tanya
Pipop kongcu. Ki Ping-yan melirik kepada Ki Bu-yong katanya "Menurut apa yang
dikatakan nona Ki ini, bahwasanya Ciok koan-im memang jarang berada di
sini, terutama belakangan ini, kehadirannya di sini lebih jarang dari tidak
kehadirannya."
Berkerut alis Pipop kongcu, tanyanya "Lalu biasanya ia sering berada
dimana?" Sudah tentu tiada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini.
"Kenapa kau tidak bicara?" tanya Pipop Kongcu pula. Kali ini kata-katanya
ditujukan kepada Coh Liu-hiang, baru sekarang semua orang melihat, Coh
Liu-hiang sedang duduk bersimpuh dengan memejamkan mata, seperti
paderi tua yang sedang semedi, entah apa pula yang sedang dia pikirkan"
Maka terdengar mulutnya komat-kamit, seperti paderi yang sedang
membaca mantra "Hoa san chit kiam.... Ui san si keh... Hongbu Ko.... Ciok
koan-im." Semua orang heran dan tak mengerti apa yang sedang
dikatakan" tapi tampak rona wajahnya lambat laun memancarkan cahaya
terang. Tak tahan Pipop kongcu mendorongnya pelan-pelan, katanya "Kau tau
dimana Ciok koan-im?"
Akhirnya Coh Liu-hiang membuka mata, sinar terang mencorong dari biji
matanya, katanya tertawa. "Ciok koan-im" siapa itu Ciok koan-im?"
Pipop kongcu tertegun, katanya tertawa geli "Apa sih yang kau pikirkan,
sampai kau jadi linglung begini, sampai nama Ciok koan-im pun kau
lupakan?" "Ada Ciok koan-im berarti tiada Ciok koan-im, tiada Ciok koan-im berarti
ada Ciok koan-im pula...., selamanya belum pernah kuingat cara bagaimana
aku harus melupakannya?"
Kaget dan geli Pipop kongcu, tanyanya pula "Apa-apaan ucapanmu ini" Aku
tidak paham."
"Memangnya kau tidak akan tahu, inilah rahasia alam!."
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala ujarnya "Rahasia Thian tak boleh
dibocorkan, tidak bisa kukatakan, tak bisa kukatakan!"
"Apa kau ini sedang mengigau" Mendadak aku ingin jadi Hwesio."
"Memangnya mendadak aku teringat pada seorang Hwesio."
"Siapa?" tanya Pipop Kongcu.
Coh Liu-hiang mandah tersenyum tanpa menjawab.
Pipop Kongcu lantas melirik kepada Oh Thi-hoa, katanya tertawa
"Omonganmu memang tidak salah, ada kalanya orang ini memang amat
menyebalkan."
"Dimana sekarang Ki loh ci sing berada?" mendadak Coh Liu-hiang
menyeletuk. "Sebenarnya sudah kuberikan kepadanya, tapi dia kembalikan kepadaku
lagi!" kata Oh Thi-hoa.
"Jikalau kau benar-benar sudah tahu rahasia Ki Loh ci sing ini, apa pula
yang hendak kau lakukan?" tanya Coh Liu-hiang.
"Kalau aku sudah berjanji kepada permaisuri sudah tentu aku akan
memberikan kepadanya."
"Baik sekali, mari sekarang juga kita mencarinya," ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi... tapi bagaimana dengan Ciok koan-im?" ujar Coh Liu-hiang
tersenyum. Saking marah serasa hampir meledak perut Pipop kongcu, namun tak tahan
dia tertawa geli katanya menggigit bibir "Kau ini sebenarnya sedang
bertingkah apa?"
"Kau ikut saja, nanti kau akan paham!"
Liu Yang hwi batuk-batuk kering, lalu berkata "Kami bersaudara sudah
puluhan tahun tak penah kembali ke Hoa san, sekarang kalau Coh heng
hendak menyelesaikan urusan lain, kami berdua ingin.... ingin minta diri
saja." Sikap Coh Liu-hiang mendadak berubah serius katanya "Sekarang kalian
masih belum boleh pergi."
"Apakah Coh heng ada petunjuk apa?" tanya Liu Yan-hwi.
Lama juga Coh Liu-hiang menepekur tiba-tiba tertawa lalu berkata "Kalian
ikut saja nanti kalianpun akan paham."
Liu Yan-hwi ragu-ragu sebentar, katanya "Cayhepun hanya mohon sesuatu
hal kepada Coh heng."
"Liu heng ada permintaan apa?"
"Cayhe sendiri sih tidak menjadi soal, tapi ada beberapa urusan yang mana
Hong bu Toako sekali-kali tidak mau mengatakan, sampai disinggungpun
tidak boleh....."
"Tapi bila aku menyakan hal-hal itu kalian tidak bisa untuk
membeberkannya bukan?"
"Ya, begitulah oleh karena itu Cayhe hanya minta Coh heng."
"Kau minta supaya jangan menanyakan hal-hal itu bukan?"
Liu Yan-hwi tertunduk diam sebentar, sahutnya "Jikalau Coh heng suka
menerima permintaan ini Cayhe berdua sungguh amat berterima kasih."
"Adakah aku pernah menanyakan apa-apa?"
"Apapun belum sempat ditanyakan."
"Kalau sekarang tidak kutanyakan, kelak masakah aku bakal bertanya?"
"Liu Yan-hwi termenung sahutnya kemudian "Benar kalau sekarang Coh
heng tidak bertanya, kelak tentunya juga takkan bertanya."
"Baiklah kalau kau sudah paham!"
"Tapi persoalan ini," tiba-tiba Liu Yan-hwi berkata pula "Coh heng
seharusnya bertanya kenapa pula kau tidak mau bertanya?"
"Karena apa yang perlu kutanyakan sudah kuketahui."
Pipop tak tahan lagi, segera ia menyeletuk "Apa yang harus kau tanyakan"
Apa pula yang sudah kau ketahui" Minta ampun sukalah kau tidak bertekateki?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab, tiba-tiba terdengar suara kelentingan
unta dari kejauhan. Suara kelentingan yang terputus-putus di bawa angin
ke pekarangannya begitu dingin menawankan hati, begitu lengang. Tapi
dalam pendengaran Coh Liu-hiang dan lain, justeru terasa begitu merdu
mengasyikkan sekali dari pada suara musik apapun yang pernah mereka
dengar dalam dunia ini.
Seketika berkobar semangat Oh Thi-hoa, Liu Yan-hwi dan lain-lain,
sampaipun Pipop kongcu jadi lupa mengajukan pertanyaannya lagi yang
belum terjawab. Dengan memejamkan mata dia tengah tumplek perhatian
untuk mendengarkan suara kelentingan itu, ujung mulutnya mengulum
senyum maniak, matanya bergairah "Tahukah kau suara apa itu?"
Oh Thi-hoa tetawa ujarnya "Dalampadang pasir ini, seumpama aku ini
seorang desa yang belum pernah melihatkota , tapi suara seperti itu sekali
dengar aku lantas tahu..... itulah kelentingan, benar tidak?"
Pipop kongcu malah geleng kepalanya, ujarnya "Itu bukan suara
kelentingan unta."
"Bukan kelentingan unta" Lalu suara apa?" tanya Oh Thi-hoa tertegun.
"Dalam pendengaran kupingku suara itu hampir mirip dengan tetesan air
yang dituang ke dalam cangkir suara daging yang dipanggang di atas api
unggun....."
Apa yang diuraikan Pipop kongcu memang tak salah, di padang pasir, suara
yang sumbang ini, ada kalanya justru melambangkan air jernih, makanan
lezat dan kehangatan, karena penggembala padang pasir, kebanyakan
bersifat royal, suka menerima tamu dan terbuka tangan, meskipun kemah
mereka buciok atau sederhana, tapi di sana diliputi kehangatan yang
simpatik terhadap sesama teman nan jauh di rantau. Mereka selamanya
tidak pernah menolak kedatangan seorang pelancong yang kelaparan, tidak
segan-segan menolong kafilah yang kesasar atau menemui kesulitan.
Agaknya kali ini dugaan Pipop kongcu salah dan meleset, waktu mereka
memburu ke arah datangnya suara, kafilah yang terdiri dari rombongan
besar unta itu sudah berhenti, semua ada puluhan unta yang melingkar jadi
sebuah bundaran besar, beberapa orang diantara mereka sudah mulai
kerja mendirikan kemah.
Begitu banyak orang dan unta namun suasana bening lelap, tiada satupun
pekerja-pekerja itu yang ribut bersuara, tak terdengar pula gelak tawa
riang gembira beberapa laki-laki yang bertugas jaga dibagian luar kalangan
malah sudah melihat kedatangan rombongan lain, merekapun tidak
menunjukkan sikap gembira atau hendak menyambut kedatangan mereka,
tidak bersikap tegang bermusuhan siap pasang panah, melolos golok atau
sikap yang bermusuhan.


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Masih jauh Ki Ping-yan lantas menghentikan langkahnya, katanya dengan
suara berat "Menurut hematku, lebih baik kita tak usah kesana."
"Kenapa?" tanya Pipop kongcu.
"Melihat gelagatnya rombongan ini terang bukan rombongan kafilah
biasa." "Benar Oh Thi-hoa ikut memberikan suara. Mereka lebih mirip sepasukan
tentara yang berdisiplin keras, apakah mereka ini pasukan ronda dari anak
buah pembesar pemberontak dari negeri Kui je!"
"Mereka bukan orang Kui je!" kata Pipop kongcu tegas.
"Kau berani memastikan?" tanya Oh Thi-hoa.
Pipop kongcu tertawa sahutnya "Dipadang pasir yang berbeda-beda
sedikitnya ada puluhan kelompok, dalam pandangan kalian mungkin orangorang
ini lumayan, tapi sekilas pandang saja aku lantas dapat melihat
adanya perbedaan dari mereka."
"Menurut pendapatmu?" Coh Liu-hiang menimbrung. "Mereka orang-orang
apa?" "Umpamakan saja mereka adalah kawan rampok, kitapun tak perlu gentar
terhadap diri mereka bukan?" ujar Pipop kongcu."
"Benar" ujar Oh Thi-hoa, paling kita hanya ingin beli beberapa kantong air
dan beberapa unta saja kepada mereka, jikalau mereka tidak aturan dan
tidak mau jual, boleh kita merebutnya saja."
Ki Ping-yan menjengek dingin "Enak saja kau bicara."
"Memangnya gampang dilaksanakan, apa sukarnya?"
"Kau tidak melihatgaya mereka memegang golok" Langkah kakinya" Kau
tidak melihat dalam sekejap mata saja, mereka sudah berhasil mendirikan
kemah-kemah itu" Dimana-mana membagi diri untuk berjaga dengan
teratur segala serba beres dan berdisiplin, unta atau kuda tiada yang
brengsek."
"Akukan tidak buta, kenapa tidak melihatnya." sahut Oh Thi-hoa tertawa.
"Kalau kau sudah melihatnya seharusnya kau tahu bahwa mereka adalah
orang-orang yang sudah berpengalaman dimedan laga serdadu pilihan yang
sudah tergembleng matang, memangnya kau samakan mereka rombongan
perampok yang kasar-kasar dan rendahan itu" Pihak kita hanya ada
delapan orang, malah tiga orang diantaranya sudah cacat, paling dua orang
diantara kami harus membagi diri untuk melindungi mereka...." Dengan
mata melotot dia awasi Oh Thi-hoa lalu menyambung "Maka yang benarbenar
bisa turun tangan dipihak kita hitung-hitung hanya tiga orang saja
dengan tiga kekuatan orang hendak merebut unta didalam rombongan
serdadu yang sudah gemblengan dalam pengalaman tempur dimedan laga,
coba katakan, apa kau yakin benar pasti berhasil?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, sahutnya "Memang tak begitu besar paling
tidaklima enam puluh persen aku yakin!"
"Dengan hanya keyakinanlima enam puluh persen kau lantas ingin
menyerempet bahaya?" sentak Ki Ping-yan mendelik.
"Hanya dengan keyakinan sepuluh prosenpun aku sudah pernah mencoba
melakukan sesuatu, kenyataan orang tiada yang berhasil memenggal
kepalaku ini" ujar Oh Thi-hoa tertawa-tawa.
"Itu karena nasibmu baik," Jengek Ki Ping-yan, "Tapi sekarang bukan
saatnya kita mencoba-coba mempertaruhkan nasib itu."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya "Tidak salah, kekuatan pihak kita
sudah teramat lemah, apa yang harus kita kerjakan masih banyak lagi,
sekali-kali jangan sampai terjadi diantara kita yang jatuh menjadi korban
pula. Oleh karena itu kalau hal ini ada sedikit bahayanya, kita tak usah
melakukannya."
Ki Ping-yan masih muring-muring "Kalau dalam keadaan biasa, umpama kau
hendak mengadu kepalamu dengan batu pasti tanda orang perduli tapi
sekarang jiwamu amat besar gunanya, kalau hanya karena beberapa ekor
unta dan beberapa kantong arak kau lantas hendak adu jiwa, umpama kau
sendiri mereka tak menjadi soal, aku malah merasa eman-eman."
"Apa lagi umpama kita berhasil dengan tujuan mereka pasti akan selalu
mengejar dan menguntit jejak kita." Coh Liu-hiang menambahkan "Musuh
kita sudah cukup banyak, kalau ketambahan rombongan orang-orang ini
mempersulit kita, wah, sukar dibayangkan lagi."
"Jadi menurut pikiran kalian, bagaimana juga rombongan orang-orang ini
sekali-kali tidak boleh diganggu, begitu?" tanya Oh Thi-hoa dengan kecut.
"Ya, begitulah," sahut Ki Ping-yan.
Berputar biji mata Oh Thi-hoa "Tapi jikalau mereka yang mencari garagara
kepada kita, bagaimana?"
Memang pada ujung mata Coh Liu-hiang sudah melihatlima enam orang
diantara rombongan itu sudah berlari-lari menuju ke arah mereka, dalam
hati diam-diam ia menarik napas, namun lahirnya dia masih tersenyumsenyum,
katanya tandas "Umpama benar mereka hendak cari perkara
kepada kita, kita pun harus mengalah saja."
Yang mendatang ada lima orang, masing-masing mengenakan mantel lebar
dan tebal untuk menahan angin, kepala mereka digubat kain panjang warna
biru, kulit mereka kelihatan hitam legam bersinar karena biasa ditengah
teriknya matahari, sehingga kelihatannya begitu kasar sekasar pasir di
bawah kaki mereka, namun mata mereka, justru berkilat tajam laksana
mata elang, tulang-tulang pipi mereka menonjol keluar jari-jari
menggenggam erat gagang golok masing-masing, begitu teguh dan tenang
tak tergoyahkan sekokoh batu.
Pakaian yang mereka pakai serba besar longgar gedubrahan, tapi gerakgerik
mereka amat cekatan, dengan mendelong Coh Liu-hiang dan lain-lain
mengawasi mereka, kejap lain mereka sudah tiba di hadapan mereka.
Orang yang terdepan adalah laki-laki cambang bauk yang lebat warna
kehijauan, biji matanya yang berkilat terang, memancarkan warna
kehijauan seperti mata dracula satu persatu dia menyapu pandang ke muka
mereka akhirnya berhenti pada tatapan muka Coh Liu-hiang. Umpama ada
ratusan orang yang mengenakan pakaian seragam yang sama, dia tidak
perlu memandang dua kali dengan tepat dia akan tahu siapa yang jadi
pimpinan diantara mereka.
Coh Liu-hiang menyambut kedatangan mereka dengan tersenyum,
mulutnya merocos panjang lebar, apa yang dia ucapkan adalah basa-basi
yang sering digunakan kaum kafilah yang sering bertemu ditengah jalan,
ucapan-ucapan menyapa dan saling tanya keselamatan satu sama lain sudah
ia pelajari dengan giat dai cukup yakin bahasa latihannya sudah cukup baik
dan kini tibalah saatnya untuk dia praktekkan.
Tak nyana orang dihadapannya ini seperti tidak paham apa yang dia
ucapkan, sekian saat orang melotot pula kepadanya, tiba-tiba berkata
"Kalian darimana" Hendak kemana?" Sontoloyo, orang justru fasih
menggunakan bahasa orang-orang Han.
Coh Liu-hiang hanya meringis kecut, katanya "Cayhe beramai datang dari
Thio keh gou, semula kami bermaksud dagang ke sini, tak nyana tak tahu
jalan tak faham bahasa dan adat istiadat di sini, bukan saja unta dan
tunggangan hilang, malah diantara kami ada yang terluka, oleh karena
itu...." sampai di sini dia menyadari bahwa yang dikatakan amat meragukan,
jelas sukar dipercaya oleh orang lain.
Mereka berdelapan, ada laki ada perempuan, ada yang buruk ada yang
ganteng, tapi bagi siapapun yang melihatnya, tiada satupun yang akan mau
percaya bahwa mereka adalah kafilah yang berdagang ditengah gurun
pasir. Coh Liu hiang menghela napas katanya pula "Bicara terus terang, Cayhe
beramai adalah kaum persilatan dari Tionggoan, kedatangan kami kemari
adalah untuk mencari tiga orang teman kami yang hilang, siapa tahu terjadi
banyak peristiwa yang di luar dugaan barusan kami kebentur pula kejadian
yang menyulitkan." kali ini dia bicara sejujurnya, tak nyana laki-laki itu
masih mengawasinya dengan sikap dingin, sepatah kata omongannya masih
tidak mau percaya.
Sorot matanya yang tajam kembali menyapu satu persatu muka mereka,
lalu berkata dengan kereng. "Persoalan sulit apa yang barusan kalian
hadapi?" Cukup panjang untuk menjelaskan, dan lagi terang tiada sangkut pautnya
dengan kalian.... " sahut Coh Liu-hiang.
"Dari mana kau tahu bila tiada sangkut pautnya dengan aku" Ribuan
limalang melintang ditengah padang pasir ini, apapun yang terjadi, kapan
saja dan siapa saja, bukan mustahil ada hubungannya dengan kami!"
"Oh.... entah kalian ini siapa" Dari...."
Laki-laki jambang bauk segera membentak "Sekarang aku sedang tanya
kepadamu, bukan bertanya kepadaku."
Coh Liu-hiang tahu bahwa laki-laki sulit dilayani, tak tahan jari-jarinya
mengelus-elus hidung inilah penyakitnya. Oh Thi-hoa sampai ketularan
olehnya. Si jambang bauk hijau tiba-tiba menuding Setitik Merah dan Ki Bu-yong
sentaknya bengis "Belum lama kedua orang ini terluka, siapa yang melukai
mereka?" Oh Thi-hoa tak tahan lagi, katanya keras "Tangannya tertebas kutung
oleh aku yang kurang hati-hati."
Jambang bauk hijau menyeringai "Matamu masih genap dan normal, cara
bagaimana bisa tidak hati-hati memotong lengannya" Anak-anak umur 3
tahunpun takkan mau percaya kepada ucapanmu."
Oh Thi-hoa naik pitam, semprotnya! "Perduli kau percaya tidak" Asal apa
yang kukatakan adalah sejujurnya, terserah kau tidak mau percaya."
"Jawaban kalian sendiri satu sama lain tidak cocok dan simpang siur,
masakah kita harus percaya begitu saja?" mendadak si jambang bauk
menggelap tangan, bentaknya "Hayo geledah badan mereka! setelah
bentakan serempak empat orang laki-laki di belakangnya segera menubruk
maju bersama. Muka Oh Thi-hoa sudah menghijau saking gusar, serunya terloroh-loroh
menggeledah "Kau hendak menggeledah badanku" Hehe selama hidup
belum pernah ada orang berani menggeledah badanku mesti dia orang
tuaku sendiri!"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang menggenggam jarinya dengan keras, katanya
tersenyum "Kejadian apapun pasti akan terjadi untuk pertama kali."
"Kau mandah dilakukan semena-mena?" seru Oh Thi-hoa dengan suara
serak. Coh Liu-hiang hanya tertawa-tawa siapapun tak bicara lagi. Mengikuti
pandangan matanya baru sekarang Oh Thi-hoa melihat disaat mereka
bicara itulah, puluhan laki-laki sudah mengepung mereka.
Mendadak Oh Thi-hoapun unjuk tawa lebar katanya "Jikalau Coh Liu-hiang
bisa tahan sabar pula?"
Ki Ping-yan ikut tertawa, katanya "Si bocah akhirnya tumbuh dewasa juga,
sungguh suatu hal yang harus dibuat girang."
Berbareng mereka bertiga menepuk-nepuk pakaian, lalu membentang
kedua tangan, katanya bersamaan dengan tertawa "Silahkan kalian
menggeledah!" lalu Coh Liu-hiang menambahkan "Cayhe bukan saja tidak
membawa apa-apa, malah dikata kantong kosong, setelah kalian
menggeledah aku, tentu bikin kecewa saja."
Tak nyana ke empat laki-laki yang maju mendekat tadi berdiri diam di
tempatnya, tangan si jambang baukpun masih terangkat tinggi, selama ini
belum diturunkan. Baru saja Coh Liu-hiang merasa heran, si jambang bauk
mendadak berkata "Apa benar kantong tuan kosong" Masakah sebutir
mutiarapun tiada?"
Mendengar pertanyaan ini, seketika bersinar biji mata Coh Liu-hiang.
Demikian pula Oh Thi-hoa segera turunkan kedua tangannya serta
mendengar orang menyinggung mutiara hitam segala, seketika teringat
olehnya bahwa Ki loh ci sing masih berada dalam kantong bajunya, katanya
keras "Sebetulnya kalian mau menggeledah tidak" Memangnya apa maksud
kalian?" Si jambang bauk tiba-tiba tergelak tawa, serunya "Umpama nyali Siaujin
tinggi langin, juga tidak berani bertingkah di hadapan Maling Romantis!"
Oh Thi-hoa tertegun, katanya "Kau kenal dia" Apa benar ketenarannya
begitu besar?"
Si jambang bauk tidak menjawab, langsung dia menjura rendah kepada
Coh Liu-hiang, katanya "Tidak tahu tidak berdosa, semoga Maling Romantis
suka memaafkan keteledoran Siaujin!"
Lekas Coh Liu-hiang memapaknya bangun, tanyanya "Jadi kau ini apanya
Mutiara hitam?"
"Jikalau Siau-ongya bisa melihat Maling Romantis sehat wal-afiat sampai
di sini, entah betapa girang hatinya." demikian kata si jambang bauk.
Tahu bahwa mereka bukan lain adalah anak buah Mutiara hitam yang
dicarinya ubek-ubek tak ketemu, tak nyana bersua disini tanpa banyak
membuang tenaga, keruan girangnya bukan main.
Terdengar jambang bauk menghela napas, katanya lebih lanjut "Sayang
meski Maling Romantis sudah sampai disini. Siau-ongya justru sudah ke
pedalaman pula..."
"Ke pedalaman" Maksudmu dia ke Tionggoan" Kapan ia berangkat" tanya
Coh Liu-hiang kaget.
"Kuatir Maling Romantis menghadapi bahaya, maka beberapa hari yang lalu
Siau ongya lantas menuju ke Tionggoan untuk menyiari kabar kalian."
Tak urung terunjuk rasa heran, curiga pada rona muka Coh Liu-hiang,
katanya "Dia kuatir aku menghadapi bahaya" Dia pergi mencari tahu kabar
diriku?" "Siau-ongya menemukan kuda mutiaranya itu pulang sendiri dengan kosong
tanpa penunggangnya, maka ia menduga Maling Romantis pasti menghadapi
bahaya, tanpa membuang waktu lagi, segera ia menyusul kesana dengan
tergesa-gesa." Mendadak si jambang bauk tertawa lucu penuh arti,
katanya pula "Rasa prihatin Siau-ongya kepada Maling Romantis
memangnya tuan masih belum memahaminya?"
Coh Liu-hiang menjublek di tempatnya, maka dia tidak begitu perhatikan
ucapan ini, setelah menepekur sekian lamanya, akhirnya dia menarik napas
katanya tertawa getir "Kuda itu memang pintar sekali, orang biasa mana
mampu mengendalikan dia aku sudah kira dia pasti menerjang keluar dari
kandang lari ke tempat asal majikannya.
Tak tahan Oh Thi-hoa menyeletuk "Kami banyak orang mencari ubekubekan
tanpa menemkan jejaknya, masakah seekor kuda malah berhasil
menemukan dia lebih dulu?"
"Dipadang pasir ini, siapa yang tidak tahu bila si mutiara hitam yang
jempolan itu adalah milik Siau-ongya kita, siapapun yang melihatnya, tentu
akan dibawa pulang dikembalikan kepada Siau-ongya." lalu dia tertawa
bangga, katanya pula "Penjahat dipadang pasir sejauh ribuan li itu, siapa
pula yang berani mengincar kuda tunggangan pribadi Siau ong kita"
Sampaipun Ciok koan-im yang serba misterius seperti tokoh didalam
dongeng itupun tidak berani sembarangan mencari gara-gara kepada kita."
Menyinggung Ciok koan-im, seketika berubah roman muka semua orang.
"Mungkin kalian tidak tahu," ujar si jambang bauk, "kecuali kita anak buah
Lo ongya yang lama ini, orang-orang yang rela dan bersedia berkorban demi
Siau-ongya entah berapa banyaknya meskipun Ciok koan-im setinggi langit,
bila dia berani mengganggu dan berbuat salah terhadap Siau-ongya,
selanjutnya apapun yang dia lakukan disini, mungkin dia akan selalu
menghadapi kesukaran."
Coh Liu-hiang menghela napas ujarnya "Agaknya nama besar "Raja Gurun
Pasir" memang bukan kosong dan gertakan belaka."
Oh Thi-hoa tiba-tiba menyeletuk "Kalau demikian bila kita menunggu si
mutiara itu kemari bukankah sudah sejak lama bertemu dengan Siauw
ongya kalian?"
"Jikalau kalian benar-benar datang menunggu si mutiara itu Siau-ongya
tentu takkan segugup itu, ia tahu Maling Romantis amat sayang pada kuda
tunggangannya itu, maka ia berkesimpulan bila Maling Romantis tak
menghadapi bahaya, sekali-kali tidak akan membiarkan dia pulang
sendirian."
Oh Thi-hoa pelototi Ki Ping-yan katanya "Itulah yang dinamakan keblinger
oleh kepintaran sendiri, ingin untung malah buntung, dari sini dapatlah
disimpulkan ada kalanya orang gede tidak akan unggul dari anak kecil dalam
melakukan kerjaan yang sama."
Ki Ping-yan, tidak menunjukkan perubahan mimik mukanya cuma dengan
dingin dia menatap si jambang bauk, katanya "Dari nada perkataanmu ini,
agaknya Siau-ongya kalian amat prihatin dan menguatirkan sekali
keselamatan Maling Romantis?"
Kembali si jambang bauk mengunjuk senyuman lucu yang aneh tadi,
katanya "Ya, memang luar biasa keprihatinannya."


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Ping-yan menjadi bengis, katanya "Lalu dia menculik sanak Maling
Romantis kemari apa pula maksud tujuannya?"
Si jambang bauk melengak, tanyanya "Menculik sanak Maling Romantis"
Mana ada kejadian itu" Kukira tuan salah paham." sikapnya serius,
sedikitpun tidak menunjukkan kemunafikannya.
"Apakah Yong ji dan lain-lain tidak pernah kemari," tanya Coh Liu-hiang.
"Yong ji.... maksud Maling Romantis apakah nona Soh, nona li dan nona......"
"Benar, apa kau melihat mereka" Dimana mereka sekarang?" tukas Coh
Liu-hiang. "Nona Soh bertiga sudah tentu ikut Siau-ongya menuju ke Tionggoan."
"Mereka..... apakah mereka baik-baik saja."
"Ketiga nona-nona itu sungguh amat pintar, lincah dan cantik-cantik lagi,
malah raut muka mereka selalu dihiasi senyuman mekar yang manis, seolaholah
mereka tidak pernah tahu bahwa dalam dunia ini ada peristiwaperistiwa
yang menyedihkan, sehingga orang-orang yang melihatnya pun
melupakan penderitaan". Mendadak matanya menatap Ki Ping-yan tanyanya
"Tapi kenapa tuan mengatakan Siau-ongya kami yang menculik mereka
kemari?" Ki Ping-yan juga dibuat bengong, tanpa sadar diapun mengelus hidungnya
tanyanya "Memangnya bukan?"
"Sudah tentu bukan, mereka bertiga adalah tamu-tamu Siau-ongya yang
terhormat dan teragung, malah boleh dikata hubungan mereka begitu
akrab dan intim sekali, mereka berempat sampai tidurpun berat berpisah,
entah berapa banyak persoalan yang selalu mereka bicarakan."
Semua orang kembali melongo mendengar kata-katanya terakhir ini Coh
Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa bertiga jadi saling pandang, sepatah
katapun tak bersuara. Sesaat kemudian baru Oh Thi-hoa bersuara
"Katamu mereka sering tidur bersama?"
"Ya, boleh dikata keluar satu kereta, tidur satu pembaringan."
Oh Thi-hoa angkat pundak sambil menghela napas, katanya kepada Coh
Liu-hiang "Agaknya Siau-ongya ini cukup pintar dan tinggi ilmunya."
Terasa getir tenggorokan Coh Liu-hiang, tak tahu apa yang harus
dikatakan. Tiba-tiba Pipop kongcu menyeletuk bertanya "Siau-ongya kalian
sebetulnya laki atau perempuan?"
Agaknya si jambang bauk melengak, sahutnya tertawa geli "Sudah tentu
perempuan, cuma Lo ongya tidak punya putra, maka sejak kecil dia
didandani seperti anak laki-laki, kitapun diperintahkan untuk memanggil
Siau-ongya.... masakah Maling Romantis belum tahu malah?"
Coh Liu-hiang hanya menggosok hidungnya semakin keras, Oh Thi-hoa tak
tahan terloroh-loroh, cuma rona muka Pipop kongcu yang murung dan jelek
kelihatannya, katanya sambil melotot kepada Coh Liu-hiang "Agaknya tidak
sedikit orang yang memperhatikan dirimu".
xxx Angin badai meniup kencang di luar perkemahan laksana mengiris kulit,
didalam kemah sebaliknya terasa hangat nyaman seperti dalam musim
semi, ditambah bebauan harumnya daging panggang dan arak susu kambing,
boleh dikata Oh Thi-hoa sudah menghilangkan kerisauan hatinya.
Tapi Coh Liu-hiang sebaliknya tidak seriang itu, terasa olehnya persoalan
justru semakin rumit semakin banyak dan berbelit belit, cukup lama sudah
Ki Ping-yan mengawasinya, tak tahan ia lantas berkata "Sebetulnya apakah
yang telah terjadi" Apa sekarang sudah kau bikin jelas?"
"Aku masih belum begitu paham," sahut Coh Liu-hiang tertawa getir.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya "Lebih baik kau mulai lagi dari depan lalu
satu persatu menganalisa sampai kejadian hari ini, nah mulailah kau
bercerita supaya kita beramai ikut menyelesaikan persoalan ini."
"Kejadian ini dimulai waktu aku minta Mutiara hitam memberitahu kepada
Yong ji supaya lekas dia pulang, karena pada waktu itu aku sendiri
sembarang waktu kemungkinan mengalami bahaya, sesungguhnya tak punya
tenaga untuk melindunginya lagi," demikian Coh Liu-hiang mulai membuka
cerita. "Agaknya bukan saja Mutiara hitam itu menyampaikan pesanmu, malah dia
sendiri yang mengantar Yong ji pulang," olok Oh Thi-hoa tertawa
"Sepanjang jalan, kedua orang bicara punya bicara, belakangan lantas
menjadi teman baik."
"Gelagatnya memang begitulah!" ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi cara bagaimana Mutiara hitam itu bisa membujuk Yong ji bertiga,
sehingga mereka mau ikut dia keluar perbatasan sini" Apa pula tujuannya
dia berbuat demikian" Memangnya hanya ingin supaya kau gugup dan
kebingungan?"
"Disinilah titik persoalan yang tidak bisa kupahami, biasanya Yong ji
bertiga amat menuruti kata......"
Pipop kongcu tiba-tiba tertawa dingin, jengeknya "Kalau kau selalu
ngelayap diluaran, sebaliknya mereka selalu berada dirumah menunggu kau
oleh karena itu kau lantas beranggapan adalah pantas kalau mereka selalu
mengganggumu dirumah, benar tidak?"
"Sebetulnya mereka memang tiada sesuatu tujuan untuk kemana-mana."
"Dari mana kau bisa tahu bila mereka tidak punya sesuatu tujuan
berpergian" Seumpama mereka adalah anjing penjara rumahmu,
adakalanya juga mereka akan mondar-mandir diluaran mencari angin...."
mencibir bibir Pipop kongcu melanjutkan dengan tertawa dingin pula. Kalau
kau jadi Yong ji, tahu kau begitu percaya kepadaku, maka akan kupikir
suatu akal supaya kau gugup dan kebingungan. Sekali tempo, aku sudah
menunggumu puluhan kali, malah mungkin sudah ratusan kali, adalah pantas
kalau kau harus menungguku sekali."
"Plak! Oh Thi-hoa menepuk tangan katanya keras "Betul sekali, isi hati
perempuan memang hanya dipahami sesama perempuan jikalau kau
membiarkan seorang perempuan tahu bahwa kau amat percaya kepadanya,
maka dia justru akan mencari akal berdaya upaya untuk mempermainkan
atau menyiksa kau, kalau toh dia sudah betul-betul tunduk lahir batin dan
kepincut kepadamu, namun toh dia tidak akan membiarkan kau tahu akan
rahasia hatinya ini."
Pipop kongcu mencemooh "Lantaran perempuan kebanyakan sudah tahu
bahwa laki-laki memang punya tulang kere, seorang perempuan yang
tergila-gila dan amat mencintai dirinya, maka dia akan merasa perempuan
itu tidak menarik hatinya lagi, segera dia akan mencari perempuan lain."
Oh Thi-hoa tertawa bergelak "Meski ucapanmu ini keterlaluan, tapi bukan
tiada artinya."
Coh Liu-hiang meringis, ujarnya "Kalau begitu, bahwa mereka mau ikut
Mutiara hitam keluar perbatasan, jadi maksudnya supaya aku gelisah dan
kebingungan?"
"Seumpama mereka sebenarnya tiada maksud ini, tapi karena hasutan
Mutiara hitam, mau tidak mau mereka akhirnya terbujuk dan mau
menurut". "Tapi kenapa Mutiara hitam mau membujuk mereka sampai mau pergi?"
Disamping Pipop kongcu mencibir pula, ejeknya "Masakah kau belum paham
akan hal ini?"
"Ya, aku tidak mengerti," sahut Coh Liu-hiang terus terang.
Sengaja Pipop kongcu melengos ke arah lain ejeknya pula "Orang yang
mulutnya suka bilang tidak mengerti, dalam hati tentu sudah paham
benar." "Tapi aku benar-benar tidak mengerti."
"Walau dia tak tahu kalau Mutiara hitam seorang perempuan, tapi Mutiara
hitam tahu kalau dia seorang laki-laki, benar tidak?"
"Hal ini kukira tak perlu disangsikan kecuali induk kera, tiada seorang
perempuan yang badannya tumbuh bulu begitu banyak seperti dia itu." kata
Oh Thi-hoa melucu.
Tak tahan Pipop kongcu tertawa geli, tapi segera ia menarik muka pula,
katanya tertawa dingin "Orang seperti dia gagah dan tampan laki-laki yang
romantis lagi, berapa sih jumlahnya dalam dunia ini" Bukan mustahil sejak
pertama kali bertemu Mutiara hitam sudah kecantol kepadanya, seperti
menggelotok kulit telur diberikan kepadanya, celaka adalah jago kita yang
jadi lakon tampan dan romantis ini justru bermain begitu buruk dan goblok
sekali, sedikitpun dia tidak tahu."
Oh Thi-hoa ikut tertawa katanya "Bagi seorang gadis perawan! bukan saja
hal ini dianggapnya sebagai memandang rendah, juga suatu penghinaan,
oleh karena itu bahwa gusarnya nona Mutiara hitam, lantas mencari akal
untuk menghajar adat jago kita yang suka sok romantis itu bukan?"
"Ditambah nona Mutiara itu kuatir begitu berpisah, selanjutnya ia tidak
akan bisa bertemu lagi dengan pemuda pujaan hatinya itu tapi dengan apa
yang ia lakukan tak usah kuatir orang takkan bergegas menyusul dan
mencarinya."
"Lucu, lucu menarik benar cerita ini," seru Oh Thi-hoa bertepuk tangan
pula, "Coh kongcu masakah kau sendiri tidak merasa lucu dan menarik?"
Coh Liu-hiang menarik muka, sahutnya "Jikalau lidahmu hendak putus, itu
baru leibh lucu dan menarik tentunya!"
Ki Ping-yan menghela napas katanya "Bocah ya tetap bocah, selamanya
takkan tumbuh dewasa, orang-orang gede punya pikiran hati apa,
selamanya ia tidak akan tahu!"
Pipop kongcu tertawa dingin "Kalian tuan-tuan gede ini punya isi hati apa,
silahkan beberkan supaya kami bisa tahu!"
"Semula kukira pemberontakan yang terjadi di negeri Kui je, adalah kerja
Mutiara hitam yang memimpinnya secara diam-diam, oleh karena itu baru
tahu akan hubunganku dengan Setitik Merah, baru dia bisa mencari Setitik
Merah dan mengundangnya kemari." Demikian Coh Liu-hiang utarakan
pendapatnya. Ki Ping-yan berkata "Kini kita sudah tahu bahwa Mutiara hitam
hakekatnya tiada sangkut paut dengan peristiwa ini, jadi pemimpin yang
berada di belakang layar itu pasti Ciok koan-im adanya, tapi Ciok koan-im
cara bagaimana bisa."
Segera Pipop kongcu menukas pula "Hanya itu sajakah isi hati tuan-tuan
gede" Menurut pendapatku, bahwasannya persoalan ini sangat sederhana,
anak umur tiga tahunpun bisa menebaknya dengan jitu."
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan diam-diam saja, Pipop kongcu lantas
meneruskan "Tiga orang........ tiga orang sanak Coh Liu-hiang diboyong
kemari oleh Mutiara hitam tentunya seluruh anak buahnya sudah tahu,
orang banyak mulutpun suka iseng, tidak sedikit pula anak buah Ciok koanim
yang tersebar dimana-mana sebagai mata-mata, sudah tentu hal ini
cepat sekali sudah dapat didengar olehnya, maka dia lantas melakukan
suatu sulapan kecilan saja, supaya Coh Liu-hiang menyangka ketiga nona itu
berasa di genggamannya, oleh karena itu pemuda kita yang romantis ini
mana berani banyak tingkah?"
Ki Ping-yan melirik kepada Coh Liu-hiang, katanya tertawa getir "Tak
nyana banyak urusan yang sukar dan berbelit-belit, cukup dibeber oleh
anak kecil saja, urusan jadi mudah, gampang dan sederhana sekali
persoalannya."
Pipop kongcu tidak perdulikan olok-oloknya, katanya lebih lanjut "Tapi dia
masih kuatir Coh Liu-hiang tidak percaya, maka dia lantas undang Setitik
Merah kemari. Kalian tuan-tuan gede yang banyak akal dan melihatnya ini
pikir pulang pergi, akhirnya yakin bahwa Mutiara hitam saja satu-satunya
orang yang tahu hubungan antara Coh Liu-hiang dengan Setitik Merah,
oleh karena itu tuan-tuan gede lantas beranggapan bahwa Mutiara
hitamlah orang yang berada di belakang layar mengatur dan menjadikan
peristiwa ini melibatkan kalian, sudah tentu kalianpun beranggapan bahwa
nona Soh bertigapun terjatuh ke tangan Ciok koan-im, oleh karena itu,
kalian lantas terjeblos semakin dalam ke dalam muslihat dan perangkap
yang sudah mereka atur."
Melihat Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sama melongo, tak tahan Pipop
kongcu tertawa geli dengan riang dan kesenangan, katanya "Coba kalian
pikir, bukankah amat sederhana persoalan ini" Soalnya otak kalian saja
yang terlalu pintar dan menilai persoalan terlalu tinggi dan berbelit-belit,
suka unjuk kepintaran sehingga urusan berlarut-larut, maka urusan yang
sebetulnya sederhana dan dapat dipecahkan, malah semakin ruwet dan tak
terpecahkan oleh kalian."
Coh Liu-hiang menyengir ujarnya "Jadi menurut apa yang kau uraikan ini,
pasti ada orang lain pula yang mengetahui akan hubunganku dengan Setitik
Merah, oleh karena itu baru dia bisa memperalat Setitik Merah untuk
memancing aku, begitu maksudmu bukan?"
"Baru sekarang kau mulai sadar," ujar Pipop kongcu.
Coh Liu-hiang mengerut kening pula, katanya "Tapi yang tahu hubunganku
dengan Setitik Merah, kecuali Mutiara hitam yang lain-lain sudah mati!"
Pipop kongcu menjengek dingin "Berhadapan dengan Maling Romantis,
orang matipun bisa hidup kembali." kata-kata ini sebetulnya cuma mau
memancing kemarahan Coh Liu-hiang saja, tapi mendengar kata-katanya
Coh Liu-hiang, justru tersentak sadar laksana ulu hatinya terhujam anak
panah, seketika dia berjingkrak bangun.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang riuh dan
kencang, tanah pasir di gurun pasir cukup empuk, maka waktu mereka
mendengar derap kaki kuda yang ramai mendatangi ini, jaraknya kira-kira
tinggal puluhan langkah saja dan sekejap saja sudah tiba dan berhenti.
Disusul suara sorak sorai sambutan gembira dari orang banyak, agaknya
pendatang mempunyai kedudukan tinggi yang dihormati makapadang pasir
yang semula tenang dan sunyi ini, sekejap ini berubah jadi suasana riang
gembira dan ribut dari pahlawan-pahlawan gurun pasir itu.
Mencorong terang biji mata Oh Thi-hoa, katanya girang "mungkinkah
Mutiara hitam yang telah datang?" belum habis kata-katanya, Coh Liuhiang
sudah berlari keluar kemah.
Tampak ditengah-tengah lapangan sana memang terdapat tiga ekor kuda,
pelananya belum dilucuti, badannya kotor oleh debu pasir. Ketiga ekor ini
boleh dibilang terhitung kuda pilihan yang tiada bandingannya di padang
pasir ini, tapi saking letihnya ketiganya sama roboh lemas dengan napas
sengal, mulut berbuih lagi, boleh dikata hampir saja mati hidup-hidup
kehabisan tenaga.
Pahlawan-pahlawan gurun pasir atau kafilah umumnya paling menghargai
dan pandang kuda-kuda jempolan lebih berharga dari pada jiwa sendiri,
tapi sekarang tiada seorangpun yang sempat mengurus ketiga ekor kuda
ini. Malah sebuah kemah yang berada di sebelah timur sana sedang
dirubung orang banyak, sikap mereka amat senang dan bergairah, terang
ketiga penunggang kuda yang baru datang itu kini sudah mereka songsong
masuk ke dalam kemah.
Baru saja Oh Thi-hoa mengikuti Coh Liu-hiang keluar hendak memburu
kesana, seseorang tahu-tahu sudah melihat mereka dan lekas memburu
menghampiri, katanya membungkukkan badan dengan seri tawa "Temanteman
Kongcu yang empat orang itu kami sudah memberikan tempat yang
layak dan pengobatan yang baik, mereka kini sedang istirahat. Soalnya
tiba-tiba kita kedatangan tamu dari jauh, maka Ciangkun tak bisa
mengiringi Kongcu minum arak, harap Kongcu suka maklum dan maaf!"
Empat orang yang dimaksud adalah Ki Bu-yong, Setitik Merah yang luka
dan Liu Yan-hwi serta Suhengnya Ciok tho, sedang Ciangkun yang ia
maksudkan ialah si jambang bauk itu.
Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya "Jadi kalian kedatangan tamu dari jauh,
entah siapakah tamu kalian itu?"
Orang itu unjuk tawa pula sahutnya "Mungkin Kongcu tak akan mengenal
akan mengenal mereka."
"O..!"
"Sebetulnya! kalau mau dikatakan mereka tak terhitung sebagai tamu,
anggaplah sebagai langganan kita beramai."
"Apa.. langganan?" Oh Thi-hoa menegas tak mengerti.
"Sejak Lo ongya mangkat, kehidupan kita beramai boleh dikata menjadi
persoalan besar, demi hidup kami terpaksa mencari obyekan sekenanya,
untuk mempertahankan keadaan yang sudah tidak stabil ini."
Oh Thi-hoa jadi ketarik, katanya tertawa "Entah siapakah langganan
kalian itu" Tugas apa pula yang mereka berikan kepada kalian?"
"Tugas kita tidak ubahnya seperti para Piausu yang melindungi barangbarang
expedisi di Tionggoan, kali ini kamipun bertugas menyelesaikan
sesuatu urusan kecil saja, malah dua hari yang lalu sudah kami bereskan
dengan baik."
Oh Thi-hoa masih ingin tanya tapi Coh Liu-hiang sudah melihat roman
muka orang ini sudah rada kurang senang, segera ia tarik Oh Thi-hoa
katanya tertawa "Kalau begitu silahkan saudara lekas melayani tamu itu


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami sih cukup mampu mengurus diri sendiri."
Setiba didalam kemahnya sendiri mulut Oh Thi-hoa masih mengoceh tak
karuan "Kita ini adalah teman Siau-ongya mereka, tapi mereka pandang
ketiga tamu itu jauh lebih penting dari kita, memangnya siapakah ketiga
orang ini."
Coh Liu-hiang tertawa, sahutnya "Orang macam apa mereka itu, apa sih
sangkut pautnya dengan kita?" mulutnya berkata demikian, namun dalam
hati diapun sedang merasa keheranan. Dimanapun, kuda-kuda jempolan
seperti ketiga ekor yang roboh keletihan itu jarang didapat, tapi ketiga
orang itu seolah-olah tidak sayang dan tidak memperhatikannya pula,
mereka tak merasa sayang bila ketiga ekor kuda itu mati. Merekapun
punya urusan penting apa, begitu gugup dan tergesa-gesa menyusul
kemari" dan lagi dia menyewa tenaga si Jambang bauk yang merupakan
bukan orang sembarangan di padang pasir ini, tentunya memberikan
imbalan yang bukan kecil artinya, tarpi yang tinggi dari sesuatu tugas yang
tinggi pula, tentunya menyelesaikan suatu tugas penting yang tinggi dan
besar sekali artinya, lalu tugas rahasia apakah yang mereka lakukan"
Kenapa harus dirahasiakan sedemikian rupa" Ingin Coh Liu-hiang
kemukakan pertanyaan-pertanyaan ini, tapi Ki Ping-yan agaknya sudah
meraba apa-apa yang sedang dia pikirkan, mereka berpandangan sebentar,
Ki Ping-yan mendadak bicara "Biar aku pergi menjenguk Setitik Merah."
"Lebih baik kau hati-hati sedikit," Coh Liu-hiang segera memberi
peringatan. Pergi menjenguk Setitik Merah, kenapa harus hati-hati"
Berkilat mata Oh Thi-hoa, timbrungnya "Akupun mau pergi
menjenguknya."
"Tak perlu kau banyak perhatian, silahkan kau minum arakmu saja di sini!"
dengan tegas Ki Ping-yan menolak.
Mendadak Oh Thi-hoa tergelak-gelak katanya "Kalian tak usah kelabuhi
aku, dengan kalian aku sudah bersahabat dua tiga puluh tahun melihat
tindak tanduk kalian yang sembunyi-sembunyi ini memangnya aku tak bisa
meraba kalian sedang merencanakan sesuatu muslihat apa?"
Coh Liu-hiang mengawasi Ki Ping-yan dengan tersenyum getir katanya
"Urusan apapun orang-orang gede bisa mengelabuhi anak-anak kecil, tapi
kalau ingin pergi main-main jangan harap kau bisa ngapusinya, begitu kau
keluar munduk-munduk tentu jejakmu sudah konangan, kontan dia lantas
merengek-rengek mau ikut sampai kau kewalahan dan membawanya juga."
Pipop kongcu cekikikan geli, katanya "Siapa nyana belum lagi menjadi
bapak ternyata sudah punya pengalaman mengemong anak-anak.
"Pada saat itu pula tiba-tiba terdengar derap kaki kuda pula. Kali ini
suaranya gemuruh sepertiguntur menggelegar terang yang datang kali ini,
sedikitnya adalima ratus penunggang kuda, jelas karena melihat
perkemahan d sini, maka derap kaki kuda rada diperlambat, tapi cepat
sekali mereka sudah mendatangi semakin dekat, barisan segera terbagi
menjadi dua sayap ke kanan kiri dengan formasi mengurung, agaknya
rombongan si jambang bauk hendak dikepung.
Berkata Ki Ping-yan dengan suara berat "Mungkinkah rombongan besar ini
mengejar tiga orang tadi?"
"Benar." timbrung Coh Liu-hiang. "Tak segan-segan mereka bikin kuda baik
sampai keletihan hampir mati, kiranya mereka sedang melarikan diri dari
kejaran besar-besaran ini."
Belum lagi mereka bicara habis Oh Thi-hoa sudah mendahului menerjang
keluar. Dilihatnya anak buah si jambang bauk sudah berdiri jajar siap tempur
dengan memasang busur dan anak panah, golok dan tombak sudah siap dan
siaga, debu menguning membumbung tinggi mengotori angkasa, derap tapal
kuda akhirnya berhenti.
"Eh bakal berkelahi kenapa si jambang bauk tidak undang kami"
Memangnya dia pandang ringan kita?" kata Oh Thi-hoa.
"Masakah dia tahu kalau kau ini suka mencampuri urusan orang lain?"
jengek Ki Ping-yan dingin.
Jilid 26 Tiba tiba dari rombongan besar pihaksana tampil seorang penunggang
kuda, kira-kira puluhan tembok di depan perkemahan mereka berhenti dan
berseru lantang: "Rombongan kalian pahlawan-pahlawan dari negeri mana",
Adakah kalian melihat tiga ekor kuda lari ke jurusan sini?"
Dari pihak sini segera seorang balas membentak: "Memangnya kalian
sendiri dari negeri mana" Kenapa di depan pasukan kita membentuk
barisan mengepung kita?"
Orang itu balas membentak: "Pihak kita adalah pasukan kavaleri dari
negeri Kui-jie di bawah pimpinan Bin Ciangkun, orang yang lari itu buronan
raja kami, Kalau kalian menyerahkan mereka, tentu mendapat balasan jasa
yang besar, kalau sebaliknya menyembunyikan mereka atau melindunginya,
sebentar pasukan besar kita bila sampai, jangan menyesal akan hancur
luluh seluruhnya".
Mendengar sampai di sini Pipop kongcu menjerit keras: "Celaka,
mungkinkah yang mereka kejar itu adalah ayahku?" segera ia berlari ke
arah kemahsana , teriaknya melengking: "Ayah.... Hu-ong.... Apakah kau
yang datang?"
Dari dalam kemah disana menerobos keluar seseorang, memang benar dia
adalah raja Kui-je. Sudah tentu Coh Liu-hiang dan lain-lain amat kaget
girang melihat orang berada di sini, sebaliknya Kui-je Ong pun berjingkrak
kegirangan melihat mereka, serunya sambil tepuk tangan: "Tak nyana
sekalipun berada di sini bagus sekali, bagus sekali"
Pipop kongcu rebah dalam pelukan ayah bagindanya, katanya cekikan
senang: "Tapi bagaimana ayah seorang diri lari ke sini?"
"Nanti saja bicara soal keluarga, sekarang ..." pandang Kui-je ong terarah
kepada Coh Liu-hiang katanya: "Siau-ongya ingin bicara ke depan pasukan,
apakah kalian sudi mengantar Siau-ong kesana?"
Coh Liu-hiang tersenyum sambil membungkuk badan: "Cayhe beramai siap
berbakti" Kui-je ong tertawa besar, serunya: "Bagus, bagus sekali"
Mau tak mau Coh Liu-hiang keheranan menghadapi Kui-je ong yang
semulanya tahu foya foya tenggelam dalam minum arak melulu, biasanya
badan yang begitu lemah loya dan tambun itu, jauh berbeda dengan
keadaan tempo hari, bukan saja semangatnya menyala-nyala, bahkan kulit
mukanya merah gagah dan berwibawa, seolah-olah sudah ganti rupa dan
bentuk orang lain, tapi diapun maklum dalam keadaan situasi dan saat
sekarang bukan saatnya dia banyak mengajukan pertanyaan.
Mereka bertiga ditambah si jambang bauk berempat masing-masing dua
orang di kanan kiri Kui-je ong lima kuda tunggangan beranjak keluar tampil
ke depan pasukan, busu yang berkeok-keok dengan temberang di depan
pasukan itu, seketika kuncup nyalinya, mulutnya seketika terkancing rapat.
Setelah dekat Kui-je ong menatapnya tajam, katanya keren: "Masih kau
kenal dengan rajamu?" Dulu busu ini adalah anak buah kepercayaannya, kini
berhadapan dengan junjungan lama, tak urung hatinya jadi bingung kaget
dan menyesal pula, dengan muka merah mulutnya megap-megap "Sudah
lama Ongya meninggalkan negeri, Siau jin ..."
Kui-je ong tersenyum ramah, ujarnya: "Kalian sudah tak percaya
kepadaku, tapi aku tetap percaya kepada kalian" Lebih merah muka busu
itu, katanya tertunduk "Siau-jin sebagai alat Negara, hanya tahu patuh
menjalankan perintah, jikalau perbuatan kami salah, bukan maksud dan
tujuan Siau-jin sendiri"
"Baik, akupun tahu kesulitan kalian, kau Hong-hwa dan Ang Mak-hoa
kemari menjawab pertanyaanku" Busu itu mengiayakan, segera ia tarik
kendali membalikkan kuda, terus balik ke dalam pasukannya.
Tak lama kemudian beberapa orang menunggang kuda segera dicangklong
mendatangi, yang terdepan adalah Bin ciangkun, Ang siang kong dan Go
Kiok-koan bertiga. Melihat Coh Liu-hiang mendadak muncul ditempat ini,
roman muka Go Kiok-koan berubah hebat, sungguh mimpipun dia tidak
menduga bahwa Coh Liu-hiang bisa lolos dari cengkeraman tangan iblis Ciok
koan im. Coh Liu-hiang sebaliknya tersenyum-senyum mengawasinya, terang dalam
sanubari mereka masing-masing banyak omongan yang perlu dibicarakan,
tapi depan dua pasukan yang saling berhadapan tegang ini, bukan tempat
dan saatnya bagi mereka mengobrol.
Roman muka Kui-je Ong yang ramah dan bijaksana itu, mendadak berubah
kereng berwibawa, katanya dengan lantang dan bera: "in Hong wa, Ang Hak
hoa, biasanya Pun ong(membahasakan dengan diri sendiri) cukup baik
terhadapa kalian, kenapa kalian memberontak membuat negeri geger,
apakah sepak terjang kalian tidak miirip rampok dan dosa kalian patut
dipenggal kepalanya"
Agak merah juga muka Bin ciangkun yang berkulit hitam, sikap Ang Siang
ong sebaliknya tetap wajar dan tak berubah, katanya tertawa besar
dengan menengadah: "Kedudukan raja bukan anugerah Tuhan, hanya si arif
bijaksana saja yang patut mendudukinya, kami beramai tidak ingin Cuma
menegakkan keadilan dan kebenaran bagi umat tuhan, jikalau kau suka
menyerah dan pulang bersama kita, mengingat hubungan lama yang baik
dulu, bukan saja tak menyakiti jiwamu, kami malah akan bantu kau
bermulut-mulut manis di hadapan Baginda Raja yang baru, supaya kau
mendapatkan tempat yang layak menghabiskan masa tuamu"
Kui je-ong gusar, dampratnya: "Matahari takan bersinar dua hari, negeri
tiada dua raja, kecuali Pun-ong, siapa pula berani mengagulkan diri sebagai
raja dalam negeri kita?"
Ang Siangkong tertawa, timbrungnya: "Benar, matahari takkan bersinar
dua hari, suatu negeri taka nada dua raja, sekarang Baginda raja yang baru
sudah menduduki jabatannya, tidak kau segera menyerah dan menghamba
kepada beliau bukankah kau ini sicerdik yang kelelep oleh kepintarannya
sendiri?" Mendadak Kui-je Ong bergelak tawa, serunya: "Baginda Raja yang baru"
Tahukah kalian dimana sekarang raja baru kalian berada?" Berubah juga
air muka Ang siangkong, kilas lain dia sudah tertawa tenang pula, katanya:
"Sudah tentu sedang berada di istana menunggu kabar gembira, menunggu
kita membekuknya ke hadapannya"
Kui-je Ong bergelak tawa pula, serunya: "Boleh kalian lihat dulu apa ini?"
dari tangan si jambak bauk dia menerima sebuah kotak cendana, terus
dilempar sekuatnya ke depan. Lekas Ang Siangkong menangkapnya, begitu
dia membuka tutup kotak cendana itu, seketika pucat ngeri air mukanya,
seketika kedua tangannya gemetar hebat dan kotak tak kuasa dipegangnya
lagi, "Klotak!" jatuh menggelinding ke tanah berpasir.
Dari dalam kotak cendana itu menggelinding sebuah kutungan batok
kepala orang, lekas si jambang bauk keprak kudanya ke depan dengan golok
panjangnya dia sunduk batok kepala itu dibagian lehernya terus diangkat
tinggi ke atas kepala. Kui-je Ong membentak berwibawa: "Pemberontak
Ang tek san sudah dua hari yang lalu kita bekuk dan hokum mati padanya,
batok kepalanya kini berada di sini. Siapa saja yang merasa diancam,
sehingga mengekor kepada pemberontak, jikalau sekarang lekas-lekas
membuang senjata dan menyerah, dosa-dosanya diperingan tiga tingkat
atau diberi kebebasan" begitu pengumumannya berkumandang, pasukan
pemberontak anak buah Bin ciangkun seketika gempar dan bersama-sama
membuang senjata Lekas Go Kiok-kan membentak keras: "Dia menghasut
dan membual belaka untuk meruntuhkan semangat tempur pasukan, jangan
kita tertipu melihatnya"
Berputar biji mata Ang siangkong, segera dia berteriak: "Benar dia
meninggalkan istana tanpa menghiraukan penderitaan rakyatnya,
menyelamatkan diri saja tidak sempat, masakah punya kekuatan melakukan
peristiwa sebesar ini?"
Kui-je ong bersikap tenang dan tetap tertawa besar, serunya: "Kalian kira
pun-ong hanya melarikan diri saja" Ketahuilah secara diam-diam pun ong
sejak lama sudah mempersiapkan dan menggerakanlima barisan pasukan
besar tiga hari yang lalu, sudah berhasil merebut kembali tahta dan
kerajaan" "Limabarisan pasukan besar apa", jengek Bin ciangkun "kalau kentut
memang ada, siapa tak tahu kalau kau memang pandai kentut!"
Si Jambang bauk cemplak kembali ke atas kudanya, berdiri ke atas
pelana, segera dia tarik suara sekeras-kerasnya: "Empat barisan besar
darilima barisan besar pasukan berhasil kami pinjam dari negeri tetangga,
sementara barisan pertama adalah pasukan para saudaraku si jambang
bauk hijau ini, memangnya kalian tidak percaya?"
Agaknya jambang bauk hijau ini punya nama dan amat disegani di padang
pasir, tak sedikit anak buah Bin ciangkun yang tahu akan kebesarannya,
tidak sedikit pula yang melihat bahwa batuk kepala itu bukan tiruan pula,
maka kembali suasana menjadi rebut dan kacau balau, pasukan Bin ciangkun
menjadi ciut nyalinya
Bin ciangkun segera membentak beringas: "Dimana Thi kak kun atau
pasukan lapis baja" Lekas bekuk raja lalim ini!" suaranya keras dan kereng
meski disiplin ketentaraannya amat keras, apa boleh buat, anak buahnya
sudah goncang dan tiada satupun yang mendengar perintahnya lagi, kecuali
beberapa orang pengawal pribadingya saja yang keprak kuda, tampil ke
depan mengacungkan senjata.
Oh Thi-hoa tertawa besar, senyumnya: "Nah, kini tiba saatnya kita
bekerja!" ditengah gelak tawanya segera iapun keprak kudanya,
menyongsong maju, sekali ia pentang kedua tangannya, tahu-tahu dua
orang ia kempit di bawah ketiaknya, dua orang yang lain menjadi kaget dan
terus menerjang kawannya sendiri yang teringkus itu, seketika dua orang
terjungkal jatuh.
Si Jambang bauk tak mau ketinggalan, lekas ia aun golok maju menyerang.
Tangan kiri menenteng batok kepala raja pemberontak sementara gerakan
golok di tangan kanan laksana kilat mneyambar, dua orang musuh
menerjang kencang dengan kuda tunggangannya, dimana goloknya berputar,
dua batok kepala kontan mencelat tingga ke udara.
Bin ciangkun berkoak-koak member perintah, tapi anak buahnya menjadi
jeri, dan tercerai berai pula diterjang kesana kemari, melihat gelagat
tidak menguntungkan, diam diam, Ang siangkong mundur kebelakang
masukan, hendak melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar suara dingin dekat belakangnya: "Tuan gede ini
hendak kemana?" dengan mencelos Ang siangkong lekas berpaling, entah
kapan tahu Ki Ping Yan sudah berada di depannya, sedang tertawa dingin
mengawasinya, dengan suara serak ketakutan Ang siangkong berkata:
"Sukalah Congsu lepaskan aku dulu, jasamu pasti akan kutebus dengan
selaksa mas"
Ki Ping-yan menyeringai, jengeknya: "Harta bendaku sudah terlalu banyak,
aku sendiri sudah terlalu bingung cara bagai mana memakainya, kau hendak
menyogok selaksa mas lagi, bukankah tambah risau hatiku"
Angsiaong unjuk ketawa dibuat-buat, katanya: "Kalau congsun merasa
kurang, bagaimana kalau kuberi sepuluh laksa mas?" mulut bicara
mendadak tangannya mencabut sebilah badik yang dipegangnya diulasi
berlian terus menusuk di perut.
Ki Ping-yan tertawa dingin, ejeknya: "Menggerakkan mulut kau masih
boleh, menggunakan senjata masih terlalu jauh" belum habis kata-ktanya,
entah dengan cara apa, tahu0tahu badik ditangan Ang siangkong
direbutnya, sekali cengkram pula dia jinjing badan Ang siangkong dari
punggung kudanya, lalu seperti memutar bandulan dia lempar badan orang
sambil berseru: "Nah sambutlah ini!"
Badan Ang siangkong yang besar tremok itu dilempar ke tengah udara lalu
terjun bebas ke arah belakang, beramai ramai anak buak si jambang bauk
menangkapnya, terus di telikung dan diikat kencang, digusur masuk ke
dalam kemah. Betapapun Bin ciangkun adalah orang militer yang berpengalaman di medan
perang, meskipun keadaan menjadi kacau balau, sedikitpun ia tidak menjadi
kacau, lekas ia lolos golok lalu menerjang maju hendak mengadu jiwa,
kebetulan Oh Thi-hoa keprak kuda memburu ke arahnya, segera ia angkat
golok membacok. Melirikpun, seolah olah tidak sudi kepadanya, sekali ulur
dan tarik secara gampang dia sudah rebut golok panjang orang, berbareng
tangan yang lain terayun balik menggampar muka Bin ciangkun berkunangkunang,
kontan terjungkal roboh dari punggung kuda dan jatuh semaput.
Kui-je ong membarengi teriak lantang: "Pun ong sudah bertahta kembali,
siapa buang senjata hidup, yang berani melawan bunuh semuanya, habis
perkara" Seruan ini seketika mendapat samburan sorak sorai dibarengi senjata


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkerontongan dijatuhkan, ratusan senjata berbagai jenis memenuhi
tanah pasir"
Perlu diketahui anak buah Binciangkun boleh dikata adalah serdadu pilihan
yang sudah banyak pengalaman juga dimedan laga, untuk memaksa mereka
menyerah apa lagi membuang senjata sebetulnya bukan suatu hal yang
mudah, tapi mereka dulu anak buah Kui-je-ong sama juga, meski mereka
ikut memberontak lantaran terpaksa karena kedisiplinan kemiliteran, kini
setelah maha raja yang mereka junjung bertahta kembali, apalagi
pemimpin tertinggi merekapun sudah tertawan, bak ular yang sudah tak
berkepala, sudah tentu mereka tak berani nekad adu jiwa.
Cepat sekali keributan inipun sudah dipadamkan, mendadak Oh Thi-hoa
berseru keheranan dengan celingukan kian kemari: "Mana si Ulat busuk"
Kenapa tak kelihatan?"
xxx Padangpasir yang terbentang tenang dan sepi itu, mendadak tampak dua
gulungan debu kuning yang membumbung tinggi ke angkasa panjang seperti
naga yang sedang mengamuk, dua ekor kuda satu di depan yang lain di
belakang sedang dicongklang dengan kencang saling kejar, yang depan
adalah Go Kiok-kan yang sedang melarikan diri, yang di belakang dan
mengejar tentunya adalah Coh Liu Hiang.
Ternyata melihat gelagat jelek Go Kiok-kan, lantas cari kesempatan untuk
melarikan diri, tak kira sejak tadi Coh Liu-hiang memang sudah perhatikan
dirinya sertiap gerak-geriknya tak lepas dari pengawasannya, begitu dia
angkat langkah seribu, Coh Lui-hiang lantas mengetahuinya. Begitulah
mereka sudah larikan kuda masing0masing sekencang mungkin dengan
kecepatan maksimum. Tapi Coh Liu-hiang tidak menduga dan tidak
mempersiapkan diri untuk saling udak begini, maka kuda tunggangannya
sembarangan saja dia terima asal untuk tunggangan belaka pula
kesempatan tiada waktu untuk dirinya memilih tunggangan, sebaliknya kuda
tunggangannya Go Kiok-kan adalah kuda keluaran dunia barat yang
jempolan. Mula-mula mengandal tehnik Coh Liu-hiang menunggang kuda, dia
masih mengudak dengan kencang dalam jarak tertentu, tapi lama kelamaan,
kekuatan kedua menjadi berbeda, jarakpun diulur semakin berselisih
panjang, badannya mencelat tinggi dari punggung kudanya. Mengandal
kepandaian ginkangnya yang tinggi tiada bandingan diseluruh kolong langit
dia mengejar dengan tancap gas, sekaligus untuk mengadu kekuatan
dengan kuda pilihan tunggangan Go Koik-kan itu.
Tampak gerak bayangan badannya laksana bintang meteor meluncur
ditengah angkasa. kuda tunggangan GO Kiok-kan yang pilihan itu ternyata
tidak ungkulan dibandingkan lari kedua kaki Coh Liu-hing, sebentar saja,
dia sudah hampir menyandaknya.
Go Kiok-kan segera keprak kudanya semakin kencang, semakin kencang
mulutpun berteriak teriak.
"Coh Liu-hiang kau tidak bermusuhan tiada dendam dengan kau, kenapa
kau mendesakku begitu rupa?"
Coh Liu-hiang tek bicara, ia tahu Go Kiok-kan hendak memancing bicara,
karena begitu dia buka suara, hawa murni yang terhimpun di pusar
seketika akan buyar, dengan sendiri gerakan badannya menjadi kendor dan
lamban. Dengan ketajaman kupingnya meski Go Kiok-kan tak berpaling tapi ia
dengar suara lambaian pakaian Coh liu-hiang semakin dekat, jidatnya sudah
dibasahi oleh keringat yang berketes-ketes sekonyong-konyong dia
melambung tinggi meninggalkan pelana kudanya, ditengah udara bersalto
beberapa kali, melampaui Coh Liu-hiang, terus berlari ke arah yang
berlawanan dengan luncuran tubuh Coh Liu-hiang.
Sebetulnya sudah dia perhitungkan dengan seksama, saat itu Coh Liuhiang
sedang tancap gas mengejar dengan kecepatan maksimum, terang
tak mungkin bisa mengerem luncuran badannya yang melesat bagai anak
panah itu, Coh Liu-hiang berhasil kendalikan gerakan badannya dan putar
balik mengejar dirinya pula, tentu dia sudah berhasil melarikan diri dalam
jarak yang cukup jauh.
Diluar perhitungannya bahwa puncak kepandaian enteng tubuh Coh Liuhiang
benar benar sudah tak ada taranya di jagat ini malah jauh lebih
tinggi dari apa yang dia bayangkan, belum lagi dia lari tak berapa jauh,
kembali didengarnya lambaian pakaian yang mengejar datang dari belakang.
Angin kencang menerjang muka serasa seperti diiris pisau, ternyata
mereka berdua berlari melawan angin.
Sekonyong konyong Go Kiok-kan kipatkan sebelah tangannya, maka
terdengarlah suara "Blup!" suatu ledakan yang cukup nyaring juga, seketika
selulung asap tebal berkembang melebar dengan cepat bergulung
terhembus angin menyongsong kedatangan Coh Liu-hiang.
Baru sekarang Oh Thi-hoa tahu bahwa Coh Liu-hiang sedang pergi
mengajar Go Kiok-kan, jelas pula bahwa intrik atau tugas rahasia si
Jambang Bauk yang sedang dia perankan adalah harus melenyapkan atau
menumpas kaum pemberontak di negeri Kui-je.
xxx Waktu itu Kui-je-ong sudah membuka suara jamuan makan minum yang
meriah untuk merayakan kemenangan yang gilang gemilang ini.
Melihat Oh Thi-hoa seperti tidak tenang atau sedang memikirkan sesuatu,
segera dia menegur denga tertawa: "Buat apa kau kuatir bagi temanmu itu,
dalam dunia ini siapa pula yang kuasa menandingi segebrak serangannya?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Justru Cayhe merasa hal hal ini
terlalu aneh, biasanya peduli siapa saja yang dia kejar, tentulah dengan
mudah dapat dia ringkus kembali tanpa mendapat perlawanan yang berarti,
tapi sekarang, dia sudah pergi sekian lamanya."
Kui je-ong tertawa katanya menghibur:
"Pun-ong berani tanggung, dia pasti takkan mengalami apa-apa, jangan
kuatir, minumlah dan habiskan arakmu dengan lega hati."
Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Pipop Kongcu, mendadak dia berbisik
kepada Ki Ping yan: "Apakah bocah itu tidak dipelet dan dipecut oleh tuan
puteri yang genit ini maka tanpa pamit terus tinggal pergi?"
Ki Ping-yan mengerut alis, sahutnya: "Kau menilai orang lain seperti
tampangmu?"
"Hm !" Oh thi-hoa mendengus, "Kukira tidak akan meleset, perbuatan
apapun berani dia lakukan, lebih baik mari kita keluar mencarinya !"
Mau tidak mau goyah juga keyakinan Ki Ping-yang, katanya berbisik juga:
"Kita membolos keluar terpencar, nanti kita bertemu di luar !"
"Baik, begitu saja kita atur" sahut Oh Thi-hoa. Tiba tiba teringat olehnya
bahwa Ki loh-ci sing masih berada di tangannya, Kui-je-ong memandang
mestika itu begitu berharga, mana boleh dia bawa benda mestika ini pergi
begitu saja. Apalagi diapun pernah berjanji kepada permaisuri yang cantik
jelita itu, untuk menanyakan rahasia yang terkandung didalam mestika ini,
Segera ia merogoh keluar Ki-lohci-sing lalu diangsurkan dengan kedua
tangannya, katanya tertawa: "Cayhe beruntung tak mengecewakan harapan
Baginda raja, Cayhe berhasil merebut mestika ini pulang, harap Baginda
raja suka menerima balik."
Tak Nyana Kui-je-ong cuma tertawa tawa saja katanya: "Congcu
mendirikan pahala terbesar, Siao ong tiada sesuatu barang yang dapat
kuhadiahkan kepadamu sebagai tanda kenangan." seolah-olah dia sudah
melupakan bahwa Ki-loh-ci-sing ini sudah mengorbankan berapa banyak
jiwa manusia, betapa besar imbalan yang dipertaruhkan bisa merebutnya
kembali, tapi sekarang royal dan sembarangan saja ia hadiahkan mestika
ini pada Oh Thi-hoa.
Saking kaget mulut Oh Thi-hoa sampai melongo dan tak bisa bicara,
sekian lamanya baru dia tertawa dibuat buat, katanya: "Jikalau Baginda
rasa merasa Cayhe ada sedikit mendirikan jasa asal cukup memberikan
beberapa poci arak padaku saja, Ki-toh ci-sing ini sekali kali aku tak berani
terima." "Kenapa?" tanya Kui-je ong melengak keran malah.
OH Thi-hoa menyengir tawa dengan memencet hidung katanya: "Anak
melarat seperti aku bila membawa bawa mestika yang tak ternilai harganya
ini, selanjutnya jangan harap bisa makan kenyang dan tidur nyenyak?"
Kui-je ong tersenyum ujarnya: "Kalau dua tiga hari yang lalu nilai dari
jambrut ini memang tak bisa diukur dengan apapun juga, Pun ong juga tak
akan sembarangan menghadiahkannya padamu: Tapi sekarang, nilainya
sudah jauh merosot sekali, batu jambrut seperti ini, entah masih berapa
banyak dalam gudang istana bolehlah legakan saja hatimu menerimanya."
Seketika Ki Ping-yan dan Pipop-Kongcu pun ikut tertegun mendengar
urusan kata kata yang susah dimengerti ini.
Oh Thi-hoa membelalakkan mata, tanyanya kebingungan: "Bukankah batu
jambrut ini ada menyangkut suatu rahasia yang besar?"
"Itu hanya kabar angin yang sengaja disiarkan oleh Pun-ong sendiri,
supaya orang lain sama menyengka bahwa batu jamrut ini betul
mengandung suatu rahasia besar yang amat ingin diketahui oleh siapapun
juga, hanya mengandal muslihat dari benda inilah Pun-ong baru bisa
merebut tahta kembali. Diwaktu mereka tumplek seluruh perhatiannya
untuk memperebutkan batu jambrut ini, Pun-ong sebaliknya secara diam
diam sudah menggunakan harta peninggalan ayah Baginda yang diwariskan
kepadaku, dan membeli lima barisan pasukan besar, tanpa diketahui oleh
malaikat dan tidak dilihat oleh setan, tahu-tahu dengan gemilang aku
berhasil merebut tahtaku kembali dari tangan kaum pemberontak"
sebentar dia berhenti dengan mengelus jenggotnya, lalu menambahkan:
"Inilah yang dinamakan tipu bersuara di timur menggempur di barat."
Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa sama beradu pandang, bukan saja kaget, dan
heran, merekapun amat kagum dan tunduk lahir batin akan kepintaran dan
kecerdikan sang raja. Semula mereka mengira raja tambun yang suka air
kata-kata dan senang main perempuan ini, tak lebih hanyalah lelaki brutal
dari suatu kerajaan asing yang terpencil saja. Baru sekarang mereka tahu
bahwa kepintaran dan kelihayannya, ternyata tidak lebih asor dari rajaraja
dari dinasti yang sudah almarhum dulu. Sengaja dia membentuk diri
didalam pelukan perempuan-perempuan cantik, sudah tentu perbuatannya
ini hanya memancing dan mengelabui mata kuping orang lain belaka.
Entah berapa lama kemudian baru Oh Thi-hoa menghela napas katanya
tertawa getir: "Tak heran selama ini Coh Liu-hiang selalu merasa
keheranan, kalau toh Ki-loh-ci-sing ini menyangkut rahasia tahta kerajaan
Kui-je, kenapa malah diberikan kepada para piausu dari Tionggoan untuk
melindungi, dari dalam perbatasan diantara keluar perbatasan" Jikalau dia
hadir disini dan mendengar uraian Sri Baginda, tentulah dia teramat kagum
dan memuji Baginda." Sementara Pipop-kongcu malah bersungut-sungut,
tanyanya aleman: "Tapi ayah kenapa kaupun mengelabui aku" Masakah
seorang ayah juga harus main rahasia atau tidan mempercayai putrinya
sendiri?" "Bukan aku tidak percaya kepada putri mesti aku ini." ujar Kui-je-ong,
"Soalnya bila rahasia ini kerahasiakan dengan ketat, orang lain pasti akan
berusaha mencari bocoran dengan berbagai daya upaya, asal sehari aku tak
membocorkan rahasia ini, sehari nyawaku akan lebih panjang hidupnya dan
orang-orang yang betul betul mengincar mestika ini dan hendak mengorek
keterangannya mengenai rahasia ini, tentu dia berusaha pula melindungi
jiwaku secara pelan-pelan."
Pipop kongcu menghela napas, ujarnya: "Agaknya seorang gadis bila dia
menjadi putri seorang raja, ternyata bukan suatu yang harus dibuat girang
dan membahagiakan hidupnya, tak heran tuan putri dari dinasti yang
terdahulu sebelum ajal dia menangis berkeluh kesah menutupi dukanya
katanya: "Semoga selama hidupnya kelak dalam penitisan yang akan datang
dirinya tidak dilahirkan dalam keluarga kerajaan."
Tak tertahan Kui-je-ong pun menghela napas, ujarnya: "Benar, seseorang
bila ingin menjadi Baginda raja yang baik, maka belum tentu dia bisa
menjadi ayah yang baik."
Apa yang dia ucapkan ini memang benar dan kenyataan, maklumlah seorang
raja harus selalu ribut mementingkan urusan negara, mana ada waktu
senggang untuk menunaikan tugas dirinya sebagai ayah bunda dari anak
anaknya yang baik.
Oleh karena itu didalam gubuk liar, sering dilahirkan putra-putra bangsa
yang berbakti. Sebaliknya didalam keluarga kerajaan sering melahirkan
putra-putra yang durhaka.
Mendadak Ki Ping-yan menjengek dingin: "Ongya ternyata memang jenius
dan berpambek besar, jarang orang yang bisa menandingi, cuma harus
dibuat sayang dan kasih para Piausu yang mati secara konyol itu, demi
terima bayaran beberapa keping yang perak berarti harus mengorbankan
jiwa dan raga di padang pasir tanpa mendapat liang kubur yang layak."
Sikap KU-je ong berubah prihatin, katanya tawar: "Politik negara,
memangnya adalah sesuatu yang amat menakutkan. Bagi seorang panglima
besar yang sukses besar, tulang tulang manusiapun bakal bertumpuk
laksana gunung, apalagi bagi seorang raja dari suatu negara" Memangnya
sejak dahulu kala, merupakan tragedi yang tak mungkin dielakkan.
Umpamanya cikal bakal dinasti Song merekapun tak terhindar dari
perbuatan tercela karena dipaksa oleh keadaan kenapa pula tuan
tumplekan kesalahn ini kepada Pan-ong saja?"
Ki Ping-yan tertunduk dan menepekur sesaat lamanya, katanya kemudian:
"Ya, Cayhe yang kelepasan omong, harap Ongya maafkan kesalahan ini."
OH Thi-hoa ulurkan lehernya, terus menuang sepoci arak sedalam
mulutnya, tumben bergelak tawa, serunya: "Oleh karena itu, kunasehati
kepada hadirin, cepatlah habiskan saja arakmu, tak usah banyak
melibatkan diri mengenai segala tetek bengek ini, sejak dahulu kala betapa
keluarga kerajaan tidak kesepian, memangnya bisa lebih unggul dari aku
anak rudin yang senang dan hidup bahagia dan bebas ini."
Sekonyong-konyong seseorang menanggapi dengan tertawa merdu:
"Betul, minumlah arak dalam cangkirmu, jangan urusi segala tetek bengek.
Tapi betapapun licik dan licinnya akhirnya mampus juga anjing menjadi
daging panggang, burung terbangpun terjaring seluruhnya, busur sakti
tersembunyi lagi, apakah kau belum pernah mendengar kata-kata ini?"
Bau harum seketika merangsang hidung setiap hadirin, sehingga semua
orang merasa pikiran melayang dan seperti hampir mabuk, entah kapan
tahu-tahu juwita yang tiada bandingannya kecantikannya, di bawah
penerangan api yang kelap kelip benderang ini kelihatan seolah-olah bak
bidadari turun dari khayangan.
Siapapun takkan menduga sang juwita yang rupawan dan molek di bawah
penerangan api obor laksana bidadari ini ternya
Pendekar Panji Sakti 18 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Golok Halilintar 14
^