Rahasia Peti Wasiat 10

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 10


anya dekat tempat tidur. Nyata ia
mengira ada orang tidur disitu.
"Hm, apakah engkau terlanjur mampus dalam tidurmu ?",
omel Kiau-kiau, berbareng itu agaknya ia lantas menyingkap
kelambu dan tentu juga lantas melihat jerangkong ditempat
tidur. Serentak terdengar jeritan melengking, menyusul papan besi
lantas ambles kebawah. Kiau-kiau benar-benar kejeblos
kedalam kamar penjara itu.
Tapi ketika Bun-hiong bermaksud menggunakan peluang itu
untuk melompat keluar, mendadak terdengar suara "blang"
yang keras, papan besi yang ambles kebawah itu tahu-tahu
sudah merapat kembali.
Keruan Bun-hiong melenggong.
Kiranya papan jebakan itu berbeda dari papan putar
umumnya. Pada papan putar biasa, bagian tengah tentu diberi
bersumbu. Jika setengah bagian ambles kebawah, sebagian
lagi lantas menjengkit keatas dan maksud Bun-hiong akan
melompat keluar melalui lubang papan yang menjengat itu.
Namun papan jebakan ini ternyata tidak begitu buatannya.
Papan ini ambles seluruhnya kebawah, sehingga pada
hakikatnya tidak ada peluang bagi orang untuk melayang
keluar. "Aduh!", terdengar Kiau-kiau menjerit kesakitan karena jatuh
terbanting. Bun-hiong tercengang sejenak, akhirnya ia menegur dengan
tersenyum kecut: "Apakah kamu terluka ?".
Karena kejeblok kedalam ruangan yang gelap gulita,
memangnya hati Kiau-kiau lagi cemas, kini mendadak
terdengar ada orang bersuara menegur dari atas, keruan ia
tambah kaget setengah mati, jeritnya takut: "Hei, siapa itu "
Siapa ?". "Aku, bekas pacarmu !", jawab Bun-hiong dengan tertawa.
Lalu ia melompat turun lagi kebawah.
Karena tidak dapat melihat jelas, Kiau-kiau menyurut mundur
ketakutan, serunya: "Sia" siapa kau ?".
"Pacar yang kemarin baru saja kau enyahkan dari Thay-ihkhek-
can itu!", jawab Bun-hiong dengan tertawa.
"Oo"." Kiau-kiau bersuara lega, tapijuga tidak kurang kejut
dan sangsinya: "Ken" kenapa engkau juga berada disini ?".
"Sebenarnya hendak kujadi pelopor bagimu", tutur Bun-hiong:
"Tak terduga begitu sampai disini lantas masuk perangkap".
Lalu ia mendekati Kiau-kiau dan berbisik padanya: "Sebentar
bila Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui muncul, jangan sekalisekali
kau ceritakan maksud kedatanganmu, paham tidak ?".
"Sebab apa ?" tanya Kiau-kiau dengan melenggong.
Bun-hiong berbisik pula ditepi telinga orang: "Sekarang kita
sudah tertawan olehnya, jika engkau bicara terus terang
hendak menolong Oh Beng-ai, tentu dia akan memperlakukan
kita sebagai musuh".
"Lantas bagaimana ?", tanya Kiau-kiau pula.
"Bagaimana ?", Bun-hiong mengulang dengan mendongkol:
"Hm, bisa jadi jiwamu akan amblas".
Kiau-kiau meraba bagian pinggang yang kesakitan, katanya:
"Engkau juga terjeblos dari atas sana ?".
"Ya ", jawab Bun-hiong: "Sebenarnya aku cukup hati-hati
sejak datang kesini, tapi mendadak aku lihat jerangkong yang
menakutkan itu, karena gugup aku jadi lengah dan terjeblos
kesini". "Ya, jerangkong itu memang menakutkan", ucap Kiau-kiau:
"Entah mengapa Kongsun Siau-hui menggunakan jerangkong
untuk menakuti orang".
"Aku sendiri tidak tahu mengapa", ujar Bun-hiong.
"Sudah kaulihat dia atau belum ?", tanya Kiau-kiau.
"Sudah", jawab Bun-hiong.
"Bagaimana bentuknya ?".
"Sangat gagah dan ganteng".
"Apa betul ?".
"Kenapa kauperhatikan bagaimana bentuknya ?", tanya Bunhiong
dengan tertawa.
"Ini sangat penting", ujar Kiau-kiau. "Jika dia seorang tua
yang sudah ompong, tentu tidak menguntungkan bagiku. Kau
tahu, terhadap urusan begituan hampir semua orang tua
cuman keinginan ada, tapi tenaga tidak cukup".
"Hm, banyak juga yang kau pikirkan", jengek Bun-hiong.
"Urusan ini adalah modal andalanku", kata Kiau-kiau dengan
tertawa. "Dengan wajah dan tubuhku yang memmikat ini, apa
yang kulakukan selalu berhasil. Maka sekali ini akupun
berharap dapat menyelamatkan diri berdasarkan modalku ini".
"Semoga dia terpikat olehmu, supaya akupun dapat ikut
membonceng dan lolos dari sini", kata Bun-hiong.
"Eh, apakah dia tidak tanya untuk apa engkau datang kesini
?", tanya Kiau-kiau.
"Ada, kubilang kedatanganku ini ingin mencari Kui-ih Toh
Thian-lau, namun dia tidak percaya".
"Lalu cara bagaimana dia memperlakukan dirimu ?".
"Ia bilang aku akan mati didalam kamar penjara ini.
Tampaknya dia bermaksud membuatku mati kelaparan disini".
"Dan engkau berpikir bagaimana?", tanya Kiau-kiau.
Bun-hiong menyengir: "Tentu saja kuingin lari keluar dari sini,
asalkan ada kesempatan?".
Kiau-kiau memandang sekitar situ, katanya dengan bimbang:
"Tempat macam apakah ini ?".
"Sebuah kamar tahanan seluas setombak, tiga sisinya dinding
batu, satu sisi terbuat dari terali besi", tutur Bun-hiong.
Terali besinya berada disisi mana ?" tanya Kiau-kiau.
Bun-hiong menariknya kedepan terali besi, katanya dengan
tertawa: "Coba kaupegang sendiri, cukup besar juga !".
Setelah meraba terali besi, Kiau-kiau berucap dengan
terkesiap: "Wah, tampaknya sangat kuat" "
"Ya, pernah kucoba mengguncangnya, rasanya serupa
kecapung hendak menggoyangkan pilar", ujar Bun-hiong.
Kiau-kiau coba meraba-raba bagian luar terali besi, katanya
kemudian: "Diluar ini apakah lorong dibawah tanah "
"Ya", jawab Bun-hiong.
Waktu Kiau-kiau meraba-raba lagi, tiba-tiba dirasakan
tangannya menyentuh tubuh seseorang, keruan ia kaget dan
cepat menarik kembali tangannya sambil menyurut mundur
dan berteriak: "Wah, ada setan!".
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 16 "Hah, ada setan?" Bun-hiong melengak.
"Betul, baru saja kena kupegang," kata Kiau-kiau dengan
takut. Secara cerdik Bun-hiong menyurut mundur dua tindak, lalu
berseru, "Kiu-bwe-hou, kenapa lampu tidak kau nyalakan?"
"Cret", terdengar suara ketikan api, segera cahaya terang
menerangi keadaan situ.
Ternyata benar, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui berdiri di luar
terali besi. Nyata orang ini serupa hantu saja yang pergi-datang tanpa
bersuara. Melihat tampang orang, ngeri Kiau-kiau, serunya, "Oo, Thian,
alangkah buruk mukamu"!"
Setelah menyalakan lampu, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui
lantas menyeringai sehingga kelihatan barisan giginya yang
putih, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Meski buruk
rupa, tapi pasti bukan seorang kakek loyo yang nafsu besar
tenaga kurang!"
Muka Kiau-kiau tampak pucat, "Wah, tak tersangka usiamu
sudah selanjut ini, apakah benar engkau ini Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui?"
Kiu-bwe-hou tersenyum, ucapnya perlahan, "Berhadapan
dengan nona cantik serupa dirimu, sungguh aku berharap
diriku ini bukan Kiu-bwe-hou."
Mendadak Kiau-kiau tertawa menggiurkan, katanya, "Cuma,
setelah dipandang lagi, wajahmu juga tidak terlalu buruk.
Asalkan rambutmu disisir rapi, kuyakin pasti akan sedap
dipandang."
Kiu-bwe-hou mengangguk dengan tertawa, "Baik, aku
bersedia mencobanya menurut saranmu. Sekarang apakah
boleh beri tahukan namamu kepadaku?"
"Hamba she Loan bernama Kiau-kiau."
"Haha, Loan Kiau-kiau, indah dan sedap didengar namamu
ini...." Kiu-bwe-hou tertawa senang.
"Terima kasih atas pujianmu," ujar Kiau-kiau sambil memberi
hormat. Kiu-bwe-hou menuding Pang Bun-hiong, tanyanya dengan
tertawa, "Ada hubungan apa antara dia denganmu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, cuma kenalan biasa saja,"
jawab Kiau-kiau.
Tertawa Kiu-bwe-hou mulai lenyap, tanyanya, "Lalu, untuk
apa kedatanganmu ini?"
"Kudatang mencari seorang...."
Seketika Bun-hiong merasa tegang, cepat ia menukas, "Sudah
berulang kuperingatkan padamu agar jangan ikut kemari, tapi
kau tidak menurut dan tetap menyusul ke sini, sungguh
runyam." Tak terduga Loan Kiau-kiau lantas mencibir padanya dan
menjawab, "Ala, jangan sok, memangnya kedatanganku ini
hendak mencari dirimu?"
Keruan Bun-hiong melengak, katanya dengan mendongkol,
"Baik, tampaknya kau sudah bosan hidup."
Kiau-kiau tidak gubris padanya, ia pandang Kiu-bwe-hou,
ucapnya dengan tertawa genit, "Coba kau terka kudatang
kemari untuk mencari siapa?"
"Mencari diriku?" Kiu-bwe-hou menegas.
"Hah, tepat!" seru Kiau-kiau.
Kiu-bwe-hou tertawa, "Oo, barangkali kau sengaja melamar
menjadi teman tidurku?"
"Ai, kuharap janganlah engkau pakai kata-kata tidak enak
begini," ujar si nona dengan lagak malu-malu. "Paling-paling
cuma di mulut saja hamba suka bicara agak lepas, tapi
sesungguhnya aku ini orang perempuan yang baik-baik."
Kiu-bwe-hou bergelak tertawa, lalu bertanya, "Lantas, ada
urusan apa kau cari diriku?"
"Aku ingin mengangkat guru padamu," jawab Kiau-kiau.
Seketika suara tertawa Kiu-bwe-hou lenyap dan berganti
dengan wajah yang tercengang, ia menegas, "Apa katamu"
Kau ingin mengangkat guru padaku?"
"Betul," Kiau-kiau mengangguk. "Kudengar engkau ini tokoh
dunia persilatan kelas top yang jarang ada bandingannya,
maka berharap dapat mengangkat dirimu sebagai guru untuk
belajar kungfu sakti."
"Oo, kiranya begitu...." Kiu-bwe-hou tertawa senang.
Segera Loan Kiau-kiau memohon lagi, "Apakah engkau sudi
menerimaku sebagai murid?"
Dengan tertawa Kiu-bwe-hou menjawab, "Ehm, lumayan
dapat menerima nona secantik dirimu sebagai murid...."
Terbeliak mata Loan Kiau-kiau, serunya dengan girang, "Jadi
engkau sudi?"
Kiu-bwe-hou merogoh saku, entah hendak mengambil barang
apa, katanya sembari tersenyum, "Asalkan cocok syaratnya,
tentu saja dapat kuterima."
Habis berkata, mendadak ia lemparkan sesuatu ke dalam
kamar tahanan. "Blang", terdengar letusan yang tidak terlampau keras, seluruh
kamar tahanan itu lantas penuh asap kuning tebal dengan bau
yang menusuk hidung....
***** Entah sudah berselang berapa lama, waktu Loan Kiau-kiau
siuman, ia merasakan dirinya berbaring di suatu tempat tidur
yang terletak di ruangan bawah tanah yang sangat luas.
Sebabnya dia sekali pandang lantas tahu berada di ruang
bawah tanah adalah karena sekeliling ruangan adalah dinding
batu belaka, tiada sebuah jendela atau lubang hawa.
Namun ruang bawah tanah ini terpajang sangat indah dan
teratur dengan istimewa, tampaknya serupa kamar tidur, juga
serupa ruang tamu, segala macam perabotan tersedia
lengkap, minta apa pun dapat didapatkan di situ.
Kiau-kiau sangat heran, perlahan ia merangkak bangun dan
duduk. Pada saat itulah, bagian tengah ruang bawah tanah ini,
tempat yang terpajang serupa kamar tamu itu, sebuah kursi
dengan sandaran tinggi mendadak berputar. Maka terlihatlah
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui duduk tenang di kursi itu,
dengan senyum misterius ia menegur, "Kau sudah mendusin?"
Sampai sekian lama Loan Kiau-kiau melenggong, akhirnya ia
tanya, "Cara bagaimana engkau membawaku ke sini?"
Kiu-bwe-hou meraba jenggotnya dan menjawab dengan
tertawa, "Tempat ini bukankah jauh lebih baik daripada kamar
tahanan itu?"
Kiau-kiau coba mengamat-amati sekitar ruangan, lalu tanya
dengan sangsi, "Apakah tempat inikah kamar tidurmu?"
"Ehm," Kiu-bwe-hou mengangguk.
"Ada apa engkau membawaku ke sini?" tanya Kiau-kiau.
"Tadi kau bilang ingin mengangkat guru padaku, makanya
sekarang hendak kubicarakan syarat-syaratnya denganmu...."
"Asalkan engkau sudi menerimaku sebagai murid, syarat apa
pun akan kupenuhi," ujar Kiau-kiau dengan tersenyum manis.
"Bagus jika begitu," kata Kiu-bwe-hou. "Nah, boleh kita mulai
bicara lagi dari awal.... Siapa namamu?"
"Hamba bernama Loan Kiau-kiau."
"Apa hubunganmu dengan Pang Bun-hiong?"
"Tidak ada hubungan apa-apa, hanya kenalan biasa saja, kami
berkumpul beberapa hari, lain tidak."
"Jika begitu, jelas kau bukanlah perempuan baik-baik. Sudah
pernah bersuami tidak?" tanya Kiu-bwe-hou.
"Tidak pernah, hanya pernah hidup bersama sekian lama
saja." "Siapa lelaki yang tinggal bersamamu itu?"
"Dia sudah mati, kukira tidak perlu mengungkatnya lagi."
"Tidak, justru aku ingin tahu siapa dia?"
"Dia... dia... namanya...." Kiau-kiau sengaja berlagak
gelagapan. Tiba-tiba Kiu-bwe-hou terkekeh-kekeh aneh, katanya,
"Sebaiknya kau jangan bohong, sebab Pang Bun-hiong sudah
mengaku seluruhnya."
Kiau-kiau melenggong, "Oo, dia sudah mengaku seluruhnya?"


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," Kiu-bwe-hou mengangguk. "Dia sangat bodoh, dia
ngotot terus, setelah kupotong sebelah kakinya baru mau
mengaku terus terang."
Muka Kiau-kiau menjadi pucat demi mendengar sebelah kaki
Bun-hiong terkutung, katanya, "Wah, jika dia sudah mengaku
sebenarnya, betapa pun hamba juga tidak berani dusta lagi.
Lelaki yang pernah hidup bersamaku dahulu itu, dia... dia
adalah musuhmu, ialah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam."
"Oo, memang pernah kudengar dia mempunyai simpanan
wanita cantik, kiranya yang dimaksud ialah dirimu," kata Kiubwe-
hou dengan tertawa.
"Tapi hamba tidak suka padanya," cepat Kiau-kiau menukas.
"Dia pelit dan pemberang, hidup bersama dia sungguh tidak
enak." "Hm, jangan bohong," jengek Kiu-bwe-hou. "Perangai Oh
Kiam-lam pemberang memang tidak salah, orangnya pelit juga
betul. Tapi setahuku, terhadap orang perempuan dia sangat
royal." "Sungguh, dia tidak begitu baik padaku," ujar Kiau-kiau.
"Setiap bulan dia hanya memberi uang belanja seratus tahil
perak padaku dan tidak pernah lebih sepeser pun. Sebab
itulah, begitu dia mati hamba lantas tak sanggup hidup lagi."
"Selama ini kau tinggal di mana?" tanya Kiu-bwe-hou.
"Di Hoay-giok-san."
"Cara bagaimana pula kau berkenalan dengan Pang Bunhiong?"
"Ia bilang melihat engkau membawa lari adik perempuan Oh
Kiam-lam, yaitu Oh Beng-ay, lalu dia menyiarkan berita
tersebut dan dapat kudengar lalu kuminta dia membawaku ke
sini...." "Untuk apa?" tanya Kiu-bwe-hou.
"Hamba ingin bertemu dengan Nona Oh dan minta beberapa
duit padanya, sebab harta peninggalan Oh Kiam-lam sangat
mungkin jatuh padanya, sedangkan masa remajaku telah
kukorbankan di tangan Oh Kiam-lam, kan berhak minta sedikit
uang pensiun padanya."
"Oo, kiranya begitu...." Kiu-bwe-hou mengangguk-angguk
dengan tertawa.
"Apakah boleh dia kutemui?" tanya Kiau-kiau.
Kiu-bwe-hou menggeleng kepala.
"Sebab apa?"
"Sebab aku tidak pernah menculik Nona Oh, sudah tujuh
tahun aku mengasingkan diri di Ma-cik-san ini dan selama itu
tidak pernah meninggalkan tempat ini selangkah pun."
"Apa betul?" Kiau-kiau melengak.
"Jiwamu berada dalam cengkeramanku, apakah perlu kudusta
padamu?" ujar Kiu-bwe-hou dengan tersenyum.
Kiau-kiau tampak sangsi, ucapnya, "Tapi Pang Bun-hiong
bilang dia menyaksikan sendiri engkau mengunjungi rumah
pelesiran Liu-jun-ih dan membawa lari Giok-nio, yaitu Oh
Beng-ay." "Dia sengaja membikin desas-desus demikian, tentu ada
maksud tujuannya, biar sebentar kutanyai dia," jengek Kiubwe-
hou. "Sialan," omel Kiau-kiau. "Dia bercerita seperti terjadi
sungguhan, kiranya bohong belaka. Ayo biar kita tanyai dia
sejelasnya."
"Tentu akan kutanya padanya," kata Kiu-bwe-hou. "Sekarang
boleh kita bicara suatu urusan lain. Kecuali dirimu, apakah Oh
Kiam-lam masih mempunyai simpanan lain?"
"Tidak ada," jawab Kiau-kiau.
"Berdasarkan apa kau berani memastikan tidak ada?"
"Sebab dia memimpin 72 sarang bandit, setiap hari sibuk
bukan main, mana ada waktu luang terlalu banyak untuk main
perempuan?"
Kiu-bwe-hou mengangguk-angguk, "Ya, memang betul. Jika
begitu, tentu kau tahu siapa saja yang merupakan sahabat
baiknya?" "Tidak tahu," jawab Kiau-kiau. "Agaknya dia tidak mempunyai
sahabat karib, sebab dia suka curiga dan tidak memercayai
siapa pun."
Kiu-bwe-hou memandangnya sejenak dengan tatapan tajam,
tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, "Apakah benar-benar kau
ingin mengangkat guru padaku?"
"Benar," jawab Kiau-kiau. "Perempuan seperti hamba ini kan
perlu seorang yang dapat dijadikan sandaran."
"Baik, dapat kuterima dirimu, cuma di antara kita tidak cuma
guru dan murid saja, tapi juga dapat menjadi suami istri.
Bagaimana pendapatmu?"
Kiau-kiau menunduk malu, ucapnya dengan tersenyum,
"Asalkan engkau sudi, hamba sih menurut saja."
Kiu-bwe-hou meraba dagu Kiau-kiau, katanya, "Wajahmu
sangat cantik, tapi entah bagaimana perawakanmu?"
"Aii, engkau ini...." gerutu Kiau-kiau dengan tertawa genit.
"Bila kau mau buka baju dan coba perlihatkan tubuhmu
kepadaku, segera akan kuterima permintaanmu," kata Kiubwe-
hou. "Ini... ini...." muka Kiau-kiau berubah merah.
"Justru inilah salah satu syaratku!"
"Kan waktu masih panjang, kenapa engkau terburu-buru?"
"Soalnya ingin kulihat apakah ada cacat pada tubuhmu,
apabila ada cacat, terus terang aku tidak mau."
"Untuk ini tidak perlu engkau khawatir," ujar Kiau-kiau. "Bila
tubuhku ada cacat, tidak nanti Oh Kiam-lam menerima diriku."
"Tapi aku harus melihatnya sendiri baru mau percaya," kata
Kiu-bwe-hou. Kiau-kiau ragu sebentar, mendadak ia tertawa cerah, katanya,
"Baik, jika engkau ingin lihat bolehlah kau lihat sesukamu."
Segera ia menjulurkan kaki ke bawah tempat tidur, ia berdiri
dan benarlah segera ia mulai membuka ikat pinggang dan
menanggalkan baju.
Hanya sekejap saja ia sudah telanjang bulat tanpa sehelai
benang pun. Meski dia sudah seorang perempuan yang "mulus di luar dan
bobrok di dalam", namun perawakannya memang benar indah
tanpa cela, malahan ia terus bergaya dan dapat membuat
orang lupa daratan.
Ia tidak malu, sebab ia memang sudah biasa telanjang bulat di
depan kaum lelaki. Sekarang demi untuk memikat hati Kiubwe-
hou, ia sengaja beraksi dengan macam-macam gerakan
menggiurkan. Namun Kiu-bwe-hou ternyata tidak terpikat oleh tubuhnya
yang penuh daya tarik itu, ia cuma menikmatinya dengan
duduk tenang. Selang sekian lama barulah ia berdiri, lalu
mendekati tempat tidur, baju Kiau-kiau yang ditanggalkan
semua itu diambilnya.
Mata Kiau-kiau terbelalak lebar, tanyanya dengan
melenggong, "Untuk apa engkau mengambil pakaianku?"
"Nona cantik seperti dirimu ini sungguh tidak perlu pakai
baju," ucap Kiu-bwe-hou dengan tertawa. "Harus kau
pertunjukkan di mana bagian keunggulanmu...."
Sembari bicara, baju Kiau-kiau terus dirobeknya sepotong
demi sepotong. Keruan Kiau-kiau terkejut, serunya, "Hei, hamba tidak
membawa baju serep, jika bajuku kau robek semuanya, lalu
hamba pakai apa?"
"Kau tidak perlu pakai apa-apa," jawab Kiu-bwe-hou sambil
melemparkan potongan baju terakhir yang dirobeknya. "Kan di
sini tak ada orang lain lagi."
Ia terus melangkah ke depan pintu satu-satunya di ruangan
bawah tanah ini, lalu menoleh dan menyambung lagi, "Di
dalam kamar ini, tersedia ransum yang cukup kau gunakan
selama dua bulan, maka sementara ini boleh kau tinggal saja
di kamar ini."
Habis berkata ia terus melangkah keluar. "Blang", pintu lantas
anjlok dari atas begitu dia berada di luar ruangan.
***** Di lain pihak, ketika Pang Bun-hiong siuman, ia merasa dirinya
berbaring di tepi sebuah danau.
Semula ia mengira dirinya sedang mimpi, ketika angin malam
mengusap mukanya dan terasa agak dingin barulah ia tahu
bukan lagi mimpi. Cepat ia bangun duduk dan terkesiap, "He,
mengapa aku berada di sini?"
Teringat olehnya semula dirinya terkurung di ruangan bawah
tanah, kemudian Kiu-bwe-hou melemparkan sesuatu benda
dan segera dirinya tak sadarkan diri. Mengapa sekarang bisa
berbaring di tepi danau"
Jangan-jangan ada orang menolongnya keluar" Tapi di
manakah tuan penolong itu"
Ia coba berpaling dan memandang sekitarnya, suasana
kelihatan sunyi senyap tiada terlihat bayangan seorang pun. Ia
terheran-heran, gumamnya, "Sesungguhnya apakah yang
terjadi?" Ia menengadah, memandang langit, bulan sudah tidak
kelihatan, rasanya tidak lama lagi fajar akan tiba.
Ia berdiri dan memandang lagi ke depan, terlihat tanah datar
membentang ke depan, tidak terlihat lagi bayangan
pegunungan, maka tahulah dia ada orang menolongnya
meninggalkan Ma-cik-san serta ditinggalkan di tepi danau.
Ia garuk-garuk kepala, lalu bergumam pula, "Sungguh lucu,
ternyata ada orang menolongku keluar, tapi mengapa dia
tidak tinggal di sini untuk bertemu denganku?"
Tiba-tiba terpikir olehnya mungkin "tuan penolong" itu
meninggalkan sesuatu tulisan, maka ia coba mencari sekitar
tempat dia berbaring tadi.
Segera pula ia lantas merogoh saku sendiri, benarlah
ditemukan secarik kertas, segera ia membentang kertas itu
dan dibaca, ternyata ada tulisan singkat di situ, bunyinya:
"Mengingat kau telah mengantarkan seorang perempuan
cantik kepadaku, biarlah sekali ini kuampuni jiwamu. Tapi
kalau berani menginjak Ma-cik-san lagi, pasti akan kucabut
nyawamu." Kiranya "tuan penolong" ini bukan lain dari Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui.
Hal ini sangat di luar dugaan Bun-hiong, sama sekali tak
terpikir olehnya Kongsun Siau-hui dapat melepaskan dia
begitu saja. Ia menggeleng kepala dan menyengir, gumamnya, "Jelas dia
tahu kepergianku ke Ma-cik-san bukan untuk mencari Kui-ih
To Thian-lau apa segala, mengapa dia lepaskan diriku begitu
saja tanpa tanya sesuatu keterangan" Ah, ya, pasti Loan Kiaukiau
telah menceritakan semua kepadanya. Tapi sengaja dia
tidak menaruh perhatian terhadap cara Tui-beng-poan-koan
To Po-sit mengalihkan bencana kepada orang lain, malahan
mau melepaskan diriku, jangan-jangan...."
Ia seperti memahami sesuatu, tiba-tiba ia merasa ngeri,
pikirnya, "Wah, celaka! Tentu dia bersembunyi di sekitar sini
dan siap membuntuti diriku. Sekali ini rasanya bisa repot."
Semula ia mengira yang hendak dipancing dan ditangkap To
Po-sit adalah Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau, sebab itulah ia
membawa perempuan itu ke Ma-cik-san, tapi tak terduga
olehnya To Po-sit tidak memasang sesuatu perangkap di Macik-
san, sebaliknya malah bertemu dengan Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui yang tulen, seyogianya sekarang juga dia
mesti pulang ke Bok-kan-san dan melaporkan pengalamannya
kepada To Po-sit. Tapi bila diam-diam Kiu-bwe-hou
membuntutinya, jelas dirinya sukar lagi pulang ke tempat To
Po-sit. Sampai sekian lama ia termenung, ia ambil keputusan paling
baik pergi dulu dari Thay-oh. Segera ia jemput pedangnya dan
melangkah pergi.
Sepanjang jalan ia tidak berani menoleh, sebab ia pikir hanya
dengan pura-pura tidak tahu saja baru dapat mencari
kesempatan untuk lolos dari penguntitan Kiu-bwe-hou.
Beberapa li ia menuju ke arah barat, hari sudah mulai terang,
Kota Gihin sudah kelihatan dari kejauhan.
Ia percepat langkahnya, tidak lama kemudian sudah sampai di
depan gerbang kota, ia mencampurkan diri di tengah orang
banyak yang sibuk menuju ke pasar, setiba di dalam kota
dengan cepat ia menyelinap masuk ke sebuah tikungan jalan,
lalu mencari tempat sembunyi untuk mengintip.
Tapi sekian lamanya ia menunggu tetap tidak terlihat Kiu-bwehou
ikut masuk kota, yang berbondong masuk kota
kebanyakan orang udik yang mau ke pasar.
Aneh, mengapa Kiu-bwe-hou tidak muncul" Jangan-jangan
dugaan sendiri salah dan sama sekali orang tidak melakukan
penguntitan padanya.
Padahal, bilamana Kiu-bwe-hou tahu tipu muslihat To Po-sit
yang "lempar batu sembunyi tangan" itu pasti dia tidak mau
menyudahi urusan dengan begini saja melainkan akan mencari
To Po-sit untuk ditanyai. Dan untuk bisa bertemu dengan To
Po-sit harus menguntit jejaknya....
Begitulah Bun-hiong terus berpikir sekian lamanya, namun
Kiu-bwe-hou tetap belum tertampak bayangannya.
Hati Bun-hiong penuh tanda tanya, tapi juga merasa
tenteram. Bahwa Kiu-bwe-hou tidak menguntitnya jelas
kejadian yang baik baginya. Ia mengangkat pundak, lalu
keluar dari tempat sembunyinya dan meneruskan ke tengah
kota. Ia mendapatkan penjual sarapan pagi di tepi jalan, ia minum
semangkuk bunga tahu panas dan makan sepotong siopia, lalu
mengeluyur keluar kota melalui pintu selatan, setiba di luar
kota ia terus berlari dengan kencang.
Sekali ini sembari lari ia pun berulang menoleh ke belakang,
namun bayangan Kiu-bwe-hou tetap tidak kelihatan. Maka
dapatlah ia memastikan Kiu-bwe-hou memang tidak
membuntutinya. Dan mengapa Kiu-bwe-hou tidak mengikuti jejaknya"
Hanya ada satu jawaban, yaitu dia terpikat oleh kecantikan
Loan Kiau-kiau.
Terhadap keselamatan Loan Kiau-kiau sama sekali tidak
menjadi perhatian Bun-hiong, sebab kalau dalam suratnya Kiubwe-
hou sudah menyatakan "mengingat kau telah
mengantarkan seorang perempuan cantik kepadaku", itu
menandakan Kiau-kiau takkan mengalami siksa derita, sebab
itulah tidak terpikir olehnya untuk kembali ke Ma-cik-san untuk
menolong Kiau-kiau.
Begitulah ia terus berlari cepat ke depan, setiba di setiap
tempat yang strategis ia lantas berhenti dan sembunyi di tepi
jalan untuk mengintai, setelah nyata-nyata tidak ada orang
menguntit barulah ia melanjutkan perjalanan.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petang hari itu ia sampai di kaki gunung Bok-kan-san, kembali
ia sembunyi di balik hutan untuk mengintai sekian lamanya,
setelah jelas tidak ada orang membuntutinya barulah beranjak
naik ke atas gunung.
Dengan tertawa ia bergumam, "Sekian hari kutempuh
perjalanan 200 li dan selama ini tidak tampak bayangannya,
bilamana dia masih juga membuntuti aku, maka dia pasti
bukan manusia melainkan setan."
Meski begitu, ia tetap tidak mengendurkan kewaspadaannya,
ia masih berulang menoleh ke belakang untuk mengamati
setiap gerak-gerak yang terjadi.
Setelah melintasi beberapa puncak, hari sudah gelap. Ia
sangat hafal akan keadaan pegunungan ini, maka tidak
mengalami sesuatu kesulitan. Akhirnya ia sampai di kaki
puncak selatan Bok-kan-san, tiba di depan rumah bambu
tempat tirakat Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
Di dalam rumah ada cahaya lampu, agaknya To Po-sit belum
tidur. Ia mendorong pintu pagar bambu sambil berseru lantang, "Tolocianpwe,
aku sudah pulang!"
Ia khawatir To Po-sit menyangkanya sebagai musuh dan
menyerangnya secara mendadak, maka ia berteriak
memberitahukan siapa dirinya.
Terdengar suara To Po-sit bertanya di dalam, "Apakah Pang
Bun-hiong di situ?"
"Betul," jawab Bun-hiong.
"Masuk!" seru To Po-sit.
Bun-hiong menuju ke ruang tamu dan mendorong pintu.
Cahaya lampu sangat terang di dalam ruangan. Begitu Bunhiong
melangkah masuk, seketika air mukanya berubah hebat,
serupa hiat-to mendadak tertutuk dan berdiri melongo kaku.
"Mengapa baru sekarang kau datang?" tanya To Po-sit dengan
mengulum senyum.
Tidak, dia bukan Tui-beng-poan-koan To Po-sit melainkan Kiubwe-
hou Kongsun Siau-hui adanya.
Dengan aman tenteram ia duduk di atas kursi bambu, serupa
duduk di rumah sendiri, sikapnya tenang dan sangat wajar.
Muka Bun-hiong berubah pucat dan mata terbelalak lebar,
sungguh seperti melihat setan saja, sekujur badan merinding.
Setelah tercengang sekian lama barulah ia berucap, "Hah,
engkau ternyata benar membuntuti aku."
Karena melihat pihak lawan duduk tenang di tengah ruangan,
ia yakin To Po-sit pasti sudah dicelakai, sebab itulah ia sangat
berduka. Ternyata Kiu-bwe-hou lantas menggeleng kepala, jawabnya
dengan tersenyum, "Tidak, aku tidak pernah menguntit
dirimu, sudah lebih satu jam kupulang ke sini."
Pang Bun-hiong tambah kejut dan bingung, tanyanya, "Dari
mana kau tahu Tui-beng-poan-koan tinggal di sini?"
Kiu-bwe-hou tertawa, katanya, "Sejak mula kutahu dia tinggal
di sini." Hati Bun-hiong terasa pedih seperti disayat-sayat, ucapnya
dengan gusar, "Jadi sudah kau bunuh dia?"
Kiu-bwe-hou mengangguk, "Ehm, kedua kakinya sudah hampir
lumpuh, tapi masih suka cari perkara...."
"Sret", serentak Bun-hiong melolos pedangnya dan berteriak
dengan bengis, "Dan di mana Nona Oh"!"
"Hamba berada di sini!" suara nyaring merdu menanggapi
pertanyaannya. Tertampaklah Oh Beng-ay alias Giok-nio melangkah keluar
dengan membawa satu nampan bakpao yang masih
mengepulkan asap.
Ia tersenyum senang, tampaknya seperti sudah lengket
dengan Kiu-bwe-hou.
Keruan Bun-hiong tidak habis mengerti, matanya terbelalak
terlebih lebar serupa mata ikan mas yang akan melompat
keluar, tanyanya dengan tercengang, "Ken... kenapa engkau
jadi begini?"
"Memangnya ada yang tidak benar?" jawab Oh Beng-ay
sambil tertawa mengikik dan menaruh bakpao di atas meja.
Bun-hiong menuding Kiu-bwe-hou dengan pedangnya dan
berteriak, "Apakah kau tahu siapa dia"!"
"Tahu," jawab Beng-ay dengan mengangguk dan tertawa.
"Jika tahu siapa dia, kenapa kau sebaik ini kepadanya?" teriak
Bun-hiong dengan berjingkrak.
"Eh, kalau bicara hendaknya yang sopan," ujar Beng-ay.
"Hamba cuma membuatkan beberapa biji bakpao untuk dia,
kenapa kau bilang aku baik padanya?"
Bun-hiong menarik muka, jengeknya, "Hm, kiranya kalau
memang sudah kenal, pantas sudah kurasakan ada sesuatu
yang tidak beres di antara kalian dan dugaanku ternyata tidak
salah. Biarlah kubinasakanmu lebih dulu dan urusan
belakang!"
Sekali pedang bergerak segera ia hendak menyerang.
Cepat Beng-ay sembunyi di belakang Kiu-bwe-hou, jeritnya
takut, "Hei, jangan sembrono, kan engkau sendiri yang
memperkenalkan dia kepadaku"!"
Bun-hiong melenggong dan menahan serangannya, tanyanya
dengan bingung, "Apa katamu?"
"Coba kau pandang yang cermat, beliau sendiri kan Tui-bengpoan-
koan To-locianpwe," kata Beng-ay.
Kembali Bun-hiong melenggong, "Apa betul?"
Segera Kiu-bwe-hou menukas dengan tertawa, "Jika kau
sudah pangling padaku, sedikitnya kan dapat kau bedakan
suaraku, sungguh goblok!"
Bun-hiong terkesima, dengan kebingungan ia mengeluh, "O,
Tuhanku, kiranya engkau sendirilah To-locianpwe."
"Kiu-bwe-hou" lantas menarik rambut sendiri yang panjang
itu, kiranya dia pakai rambut palsu, lalu menyingkap kedok
mukanya yang berupa sehelai kulit tipis sehingga tertampaklah
wajah aslinya sebagai To Po-sit, katanya dengan tertawa, "Ai,
tak kusangka kau sedemikian bodoh."
Bun-hiong menghela napas, ucapnya dengan kikuk, "Ya,
seharusnya dapat kuduga engkau bisa menyamar sebagai Kiubwe-
hou, cuma...."
"Cuma apa?" jengek To Po-sit dengan menarik muka.
Mestinya Bun-hiong hendak melampiaskan rasa dongkolnya,
tapi melihat orang tua itu menarik muka, cepat ia tertawa dan
berkata, "O, tidak, tidak apa-apa."
Dia serupa Liong It-hiong, sedikit banyak mempunyai
semacam rasa segan dan hormat terhadap Tui-beng-poankoan
ini, apalagi berhadapan, sama sekali ia tidak berani
bersikap keras.
To Po-sit mendengus lagi, "Hm, tentu kau keki karena merasa
telah kupermainkan dirimu, begitu bukan?"
"Ah, tidak, mana kuberani," jawab Bun-hiong dengan
menyengir. "Memangnya kau berani?" jengek Tui-beng-poan-koan dengan
mendelik. "Hm, ini sungguh sukar dimengerti. Kusuruh kau
sebarkan desas-desus, tapi sengaja kau bawa seorang
perempuan yang tidak ada sangkut paut ke Ma-cik-san,
sungguh ngaco!"
"Engkau bilang seorang perempuan tidak ada sangkut paut?"
tanya Bun-hiong dengan melenggong.
"Ya," jawab To Po-sit.
Bun-hiong memandang Oh Beng-ay sekejap, lalu berpaling
lagi ke arah Tui-beng-poan-koan To Po-sit dan berkata,
"Namun dia adalah...."
"Tutup mulut!" bentak To Po-sit mendadak.
Seketika Bun-hiong urung bicara, ia pun merasa tidak boleh
menyebut urusan Oh Kiam-lam di depan Oh Beng-ay.
To Po-sit lantas berkata kepada Beng-ay, "Sudahlah, di sini
tidak ada urusanmu lagi, bolehlah kau kembali ke kamarmu."
Beng-ay seperti sangat jeri kepada orang tua itu, sedikit pun
tidak berani membangkang, segera ia mengiakan dan
memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
To Po-sit mengambil sebiji bakpao dan mulai makan, katanya,
"Ayo, makan dulu baru bicara lagi."
Sehari suntuk menempuh perjalanan, perut Pang Bun-hiong
memang sudah lapar, maka tanpa sungkan ia lantas duduk
dan ikut makan, satu per satu bakpao dilangsir ke dalam
mulut. Watak Tui-beng-poan-koan To Po-sit sungguh sukar diraba,
sebentar marah, lain saat tertawa. Mendadak sekarang ia
tertawa senang dan berucap, "Tak nyana dia mahir membuat
bakpao selezat ini."
Bun-hiong mengiakan.
"Tinggal di sana sungguh sangat menyusahkan, ingin makan
apa pun harus kukerjakan sendiri," keluh To Po-sit.
"Mengapa tidak kau bawa dia ke sana?" tanya Bun-hiong.
"Mana boleh," jawab To Po-sit sambil menggeleng.
"Eh, cara bagaimana engkau membereskan Loan Kiau-kiau?"
tanya Bun-hiong dengan suara tertahan.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit mencomot lagi sepotong
bakpao, digerogotinya separuh ke dalam mulut, sambil
mengunyah ia menjawab, "Telah kukurung dia di suatu
ruangan bawah tanah...."
"Siapa yang menjaga dia?"
"Tidak ada."
"Wah, kan dia bisa mati kelaparan?" ujar Bun-hiong.
"Tidak, di ruang bawah tanah itu tersedia perbekalan yang
cukup dimakan olehnya selama dua bulan," tutur To Po-sit.
"Jika dia orang perempuan yang tiada sangkut paut dengan
urusan kita, mengapa engkau tidak mengusirnya saja?"
"Sebenarnya dia juga bukan sama sekali tidak ada sangkut
paut," ujar Tui-beng-poan-koan. "Dengan mengurungnya di
sana, sedikit banyak ada juga faedahnya bagiku."
"Apakah ruang di bawah tanah itu sangat kuat?" tanya Bunhiong.
"Ya, tidak mungkin dia dapat lolos, sebab tiada sepotong baju
pun yang dipakainya," tutur Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
"Hei, kenapa bisa jadi begitu?" Bun-hiong tercengang.
"Aku telah berbuat sesuatu yang kurang bermoral," kata To
Po-sit dengan tersenyum. "Sebab telah kupaksa dia telanjang
bulat, lalu kurobek pakaiannya."
"Hah, memang perbuatan tidak pantas," kata Bun-hiong
dengan tertawa geli.
Tiba-tiba Tui-beng-poan-koan berdiri, katanya, "Cahaya bulan
cukup terang di luar, marilah kita jalan-jalan keluar."
Lalu ia mendahului beranjak keluar.
Lebih dulu Bun-hiong comot dua potong bakpao baru
menyusul keluar, sembari makan ia tanya, "Apakah Liong Ithiong
belum pulang?"
"Belum, kukira selekasnya dia akan pulang," jawab To Po-sit.
Keduanya berjalan keluar rumah bambu itu menyusuri jalan
setapak pegunungan dengan santai, dengan tertawa To Po-sit
berkata pula, "Kau sangka Loan Kiau-kiau itu adalah orang
yang hendak kutangkap, begitu bukan?"
"Betul," jawab Bun-hiong. "Kupikir engkau menggunakan Nona
Oh sebagai umpan, maka dapat diduga orang yang hendak
kau tangkap pasti sanak famili keluarga Oh. Sedang Loan
Kiau-kiau jelas adalah perempuan yang hidup bersama Oh
Kiam-lam, maka kusangka dia yang kau incar."
"Dia bilang padamu hendak menolong Nona Oh?" tanya To
Po-sit. "Ya, dia mengaku mendiang Oh Kiam-lam cukup baik
padanya, maka ia ingin menyelamatkan nyawa Nona Oh
sekadar membalas kebaikan Oh Kiam-lam."
"Hm, dan kau percaya kepada ocehannya?" jengek To Po-sit.
"Aku memang rada sangsi, tapi selain alasan itu memang
sukar dimengerti apa alasan yang lain?"
Tui-beng-poan-koan To Po-sit menengadah, memandang
rembulan yang menghiasi langit, katanya kemudian, "Biar
kukatakan padamu, alasan atau tujuannya adalah harta."
Bun-hiong merasa tidak paham, tanyanya, "Maksudnya
menolong Nona Oh apakah akan mendatangkan keuntungan
baginya?" "Dia memang mengira begitu," tutur To Po-sit. "Sebab Oh
Kiam-lam memang meninggalkan suatu partai harta karun
yang besar, mungkin dia tidak kebagian, maka bermaksud
mengorek keterangan dari Nona Oh tentang ke mana perginya
harta tinggalan Oh Kiam-lam itu."
"Apakah Nona Oh mengetahui di mana beradanya harta
peninggalan kakaknya?" tanya Bun-hiong.
"Jika ia tahu disembunyikan di mana harta peninggalan sang
kakak, tentu dia tidak terjerumus menjadi pelacur," ucap To
Po-sit. Bun-hiong mengangguk, "Ya, benar. Ada suatu jalan
pikiranku, yaitu harta peninggalan Oh Kiam-lam sangat
mungkin disembunyikan di dalam kotak hitam itu, makanya
banyak orang berusaha merampas kotak itu."
"Salah," kata Tui-beng-poan-koan To Po-sit dengan tertawa.
"Aku berani bertaruh denganmu, isi kotak hitam itu mutlak
pasti bukan harta peninggalan Oh Kiam-lam."
"Habis apa isi kotak itu?"
"Entah, yang jelas kutahu isi kotak itu pasti juga bukan peta
pusaka segala."
"Jika begitu, jadi kotak itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Oh Kiam-lam?"
"Juga tidak betul, kotak itu justru sangat erat hubungannya
dengan Oh Kiam-lam."
"Hubungan erat bagaimana?" tanya Bun-hiong dengan
bingung. Tui-beng-poan-koan hanya menggeleng saja tanpa menjawab.
"Sesungguhnya siapa orang yang hendak kau tangkap itu?"
tanya Bun-hiong pula.
"Sekarang tidak dapat kukatakan padamu, cuma tidak lebih
dari setengah tahun tentu akan kau ketahui," tutur To Po-sit
perlahan. "Apakah Nona Oh tahu engkau memperalat dia untuk
memancing dan menangkap seseorang?" tanya Bun-hiong.
"Dia tidak tahu, maka selanjutnya juga jangan kau sebutsebut
lagi tentang kakaknya," pesan To Po-sit.
"Apakah masih perlu kupergi lagi ke selatan untuk
menyebarkan desas-desus?"
"Tidak perlu lagi. Sekarang akan kuberi suatu tugas lain
kepadamu. Esok boleh kau pergi ke kota, pesanlah sebuah
kotak hitam pada salah sebuah bengkel, bentuknya harus
serupa dengan kotak hitam aslinya. Apakah tugas ini dapat
kau laksanakan?"
"Kukira dapat," jawab Bun-hiong. "Untuk apakah engkau


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat sebuah kotak tiruan begitu?"
To Po-sit tersenyum, katanya, "Jika Liong It-hiong berhasil
merampas kembali kotak hitam itu segera kita dapat menukar
yang asli itu dengan kotak tiruan yang kita bikin itu. Umpama
Liong It-hiong pulang dengan bertangan kosong, kalian juga
dapat membawa kotak palsu itu ke Cap-pek-pan-nia."
"Aha, akal bagus!" seru Bun-hiong dengan tertawa.
To Po-sit menyambung lagi, "Kuharap kalian dapat
membereskan gembong iblis di Cap-pek-pan-nia yang
misterius itu. Sudah tentu, sebaiknya kalau kalian dapat
menangkapnya hidup-hidup, sebab kuingin lihat orang macam
apakah dia itu?"
"Baik, aku dan Liong It-hiong pasti akan berbuat sepenuh
tenaga," jawab Bun-hiong dengan mengangguk.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit berhenti melangkah, katanya
dengan tertawa, "Kau kira perangkap yang kuatur di Ma-ciksan
itu bagus atau tidak?"
"Bagus sekali," jawab Bun-hiong tertawa.
To Po-sit memutar balik ke arah rumah bambu, ucapnya pula
dengan tersenyum senang, "Sebabnya tempo hari aku tidak
memperlihatkan diriku untuk menemuimu, maksudku ingin
menguji daya guna perangkap itu. Akhirnya terbukti memang
sangat efektif."
"Yang paling bagus adalah jerangkong di tempat tidur itu,"
ujar Bun-hiong. "Tanpa jerangkong itu tentu takkan berhasil
menawan orang yang terpancing ke sana."
Ia pun ikut putar balik, tanyanya kemudian sambil
memandang kedua kaki orang tua itu, "Sekarang kedua
kakimu sudah kuat untuk berjalan?"
"Sebenarnya kakiku tidak ada penyakit," jawab To Po-sit.
"Kukhawatir Liong It-hiong tidak mau membantuku, maka
sengaja kutipu dia."
Diam-diam Bun-hiong mendongkol akan kelicikan orang,
seharusnya tua bangka inilah yang pantas berjuluk "Kiu-bwehou"
dan bukan Tui-beng-poan-koan.
Teringat kepada Kiu-bwe-hou, ia coba tanya, "Engkau
menyaru sebagai Kiu-bwe-hou, apakah engkau tidak khawatir
Kiu-bwe-hou yang tulen muncul mendadak?"
"Tidak takut," jawab To Po-sit. "Sebab dia takkan muncul
untuk selamanya."
"Apakah Kiu-bwe-hou sudah mati?"
"Ya."
"Cara bagaimana matinya?" tanya Bun-hiong.
"Dibinasakan orang."
"Orang yang mampu membunuh Kiu-bwe-hou pasti seorang
tokoh yang mahasakti."
"Terima kasih atas pujianmu," ujar To Po-sit dengan tertawa.
Bun-hiong melengak, "Jadi engkau yang membunuh dia?"
To Po-sit mengangguk dan berkata dengan tak acuh,
"Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu. Dia kan seorang iblis
mahajahat, sudah lama ada maksudku hendak membereskan
dia. Sampai dua tahun yang lalu baru kutemukan dia."
"Tidak ada orang lain yang tahu kejadian itu?" tanya Bunhiong.
"Ehm," To Po-sit mengangguk. "Jerangkongnya sudah kau
lihat, yaitu jerangkong yang berada di tempat tidur itu."
"Apakah dia memang bertempat tinggal di sana?" tanya Bunhiong.
"Ya, harimau itu adalah piaraannya, kemudian dapat
ditundukkan."
Bicara sampai di sini mereka sudah pulang sampai di luar
rumah bambu itu.
"Bilakah engkau akan kembali lagi ke sana?" tanya Bun-hiong
pula. "Tunggu nanti kalau Liong It-hiong sudah pulang baru kembali
ke sana." "Dalam pada itu, kalau orang yang hendak kau tangkap itu
sudah pergi ke sana, lalu bagaimana?"
To Po-sit tersenyum, "Jangan khawatir, meski aku tidak
berada di sana, tapi perangkap itu tetap akan bekerja
sepenuhnya. Malahan sudah kutaruh bahan makanan di dalam
kamar tahanan itu, bila dia kejeblos ke ruangan itu, dalam
sepuluh hari saja dia takkan mati kelaparan."
Sembari bicara ia sudah masuk ke dalam rumah.
Bun-hiong ikut masuk sambil bertanya, "Malam ini kutidur di
mana?" "Tidur saja di kamar semula," kata To Po-sit. "Sekarang
bolehlah kau pergi mengaso, urusan lain boleh kita bicarakan
esok." Maka Bun-hiong lantas menuju ke ruang belakang, ia cuci
badan dulu, lalu masuk kamarnya.
Tapi baru saja berbaring, segera terdengar suara Oh Beng-ay
berseru tertahan di luar kamar, "Pang-kongcu, apakah engkau
sudah tidur?"
Bun-hiong mengenakan baju dan turun dari tempat tidur
untuk membuka pintu kamar, tanyanya dengan tertawa,
"Engkau belum tidur?"
Sikap Beng-ay kelihatan malu-malu, jawabnya, "Hamba tidak
dapat pulas, ingin kubicara denganmu...."
"Baiklah, masuk," kata Bun-hiong.
Perlahan Beng-ay masuk ke kamar, sekalian ia membentang
daun pintu yang setengah terbuka, lalu ia mengambil kursi
dan duduk di dekat pintu, katanya dengan tersenyum malu,
"Hamba ingin tanya sedikit urusan padamu...."
"Bicara saja," kata Bun-hiong.
Si nona menatapnya dengan tajam, katanya, "Sesungguhnya
untuk urusan apakah kalian menipuku ke sini?"
"Pertanyaanmu ini harus dijawab oleh Liong It-hiong saja,"
ucap Bun-hiong dengan tertawa.
"Dia tidak berada di sini, maka hamba tanya saja padamu,"
kata Beng-ay. Bun-hiong berdehem perlahan, katanya, "Tidak pantas kau
curigai ketulusannya, dia memang berniat memperistri dirimu,
sebab itulah ia membawamu ke sini."
"Tapi ada semacam perasaanku yang cukup keras, kukira
kalian seperti sedang melakukan sesuatu urusan secara diamdiam,"
kata Beng-ay. "Apa pun yang sedang kami lakukan pasti tidak merugikanmu,
untuk ini kau tidak perlu khawatir," kata Bun-hiong.
"Bolehkah kutahu apa yang sedang kalian lakukan?" tanya
Beng-ay. "Untuk ini... hanya dapat kuceritakan begini, To-locianpwe
adalah seorang detektif sangat ternama, lantaran lanjut usia
beliau telah pensiun, namun, beliau tetap tidak melupakan
tugasnya yang harus menumpas kejahatan untuk keamanan
umum, sebab itulah beliau menyuruh Liong It-hiong dan diriku
membantunya menangkap seorang gembong iblis dunia
hitam." "Siapakah gembong iblis itu?" tanya Beng-ay.
Bun-hiong menggeleng, "Entah, beliau tidak mau
menjelaskan."
"Di ruangan tadi engkau bilang dia menyamar sebagai Kiubwe-
hou, apakah Kiu-bwe-hou...."
"Ada apa?" tanya Bun-hiong.
"Sesungguhnya siapakah dia?" tanya Beng-ay.
Bun-hiong tahu orang sengaja berlagak pilon, tapi ia pun tidak
mau membongkarnya, katanya dengan tertawa, "Kiu-bwe-hou
itu seorang busuk, namun dia sudah mati."
"Oo, Kiu-bwe-hou sudah mati?" Beng-ay tampak tergerak
hatinya. "Betul, dia dibunuh oleh To-locianpwe, sebab itulah beliau
berani menyaru sebagai Kiu-bwe-hou tanpa khawatir akan
kepergok yang asli."
"Untuk apa dia menyaru sebagai Kiu-bwe-hou?" tanya Beng-ay
pula. "Mungkin ada sebabnya, tapi aku tidak tahu."
"Dia tidak memberitahukan padamu?"
"Tidak," kata Bun-hiong. "Perangainya sangat aneh, berbagai
urusan tidak dijelaskannya kepadaku."
"Bukankah pernah kau bawa seorang perempuan menemuinya
di suatu tempat?"
"Betul...."
"Siapa perempuan itu?"
"Seorang perempuan busuk."
"Siapa namanya?"
"Dia she Be dan bernama Hiau-bwe," Bun-hiong berdusta.
"Dia seorang perempuan bejat moral, suka memikat lelaki dan
berbuat cabul."
"Untuk apa kau bawa perempuan begitu untuk menemui dia?"
tanya Beng-ay. "Sebab kukira dia mempunyai hubungan dengan gembong
iblis yang diincar To-locianpwe itu, maka...."
"Jika engkau sendiri tidak tahu siapa gembong iblis itu, dari
mana kau tahu perempuan itu ada hubungannya dengan iblis
tersebut?" potong Beng-ay.
Seketika Bun-hiong tak dapat menjawab, cepat ia menutupi
rasa kikuknya dengan tergelak, "Haha, tentang ini... boleh
coba kau terka."
Beng-ay tersenyum hambar, katanya, "Hamba tidak sanggup
menerkanya, silakan kau jelaskan saja."
Otak Bun-hiong bekerja cepat dan mendapat alasan, katanya
dengan tertawa, "Begini kisahnya. Beberapa hari yang lalu
kebetulan aku bertemu dengan perempuan itu, berulang ia
mencari keterangan padaku tentang tempat kediaman Tolocianpwe,
kukira dia ada urusan hendak menemui beliau
maka kubawa dia ke sana."
"Kau bawa dia ke mana?" tanya Beng-ay pula.
"Ke suatu tempat," tutur Bun-hiong.
"Tempat mana?" desak si nona.
"Ai, hendaknya jangan kau korek-korek keteranganku lebih
dalam. Kau kan seorang gadis, ada sementara urusan lebih
baik tidak perlu tahu."
"Tapi urusan ini rasanya kan tidak perlu dirahasiakan
terhadapku bukan?"
Bun-hiong angkat pundak, katanya, "Sudah larut malam,
silakan kembali kamarmu dan tidur saja."
"Jadi tetap takkan kau katakan padaku?" tanya Beng-ay.
"Urusan yang dapat kukatakan padamu dengan sendirinya
akan kuberi tahu tanpa kau minta," ujar Bun-hiong.
Beng-ay seperti mau omong sesuatu, tapi urung, lalu berkata,
"Baiklah, sampai bertemu besok."
Habis memberi salam ia lantas mengundurkan diri.
Esok paginya, Bun-hiong berdiam di kamarnya dan melukis
sebuah gambar konsep kotak hitam, dengan contoh gambar
itu ia pamit kepada To Po-sit terus turun gunung.
Kira-kira 20 li jauhnya, sampailah dia di Kota Hou-hong, ia
mencari sebuah bengkel paling besar dan masuk ke situ....
Tiga hari kemudian ia datang lagi ke bengkel itu, kotak hitam
yang dipesannya sudah jadi, meski tidak seluruhnya mirip
kotak hitam yang asli, namun sudah cukup untuk mengelabui
pandangan orang awam.
Ia bungkus kotak itu dengan sepotong kain, dibayarnya
sepuluh tahil perak, lalu meninggalkan kota.
Baru sampai di kaki gunung Bok-kan-san sebelah selatan, tibatiba
dilihatnya sesosok bayangan berlari datang dari arah
timur, dari jauh bayangan orang itu serupa Liong It-hiong
adanya, maka ia coba berhenti dan memandangnya lebih
cermat. Sesudah orang agak dekat, ternyata benar Liong It-hiong
adanya, tentu saja Bun-hiong kegirangan, segera ia berteriak,
"Hai, Liong It-hiong, kau sudah pulang"!"
Tangan kiri Liong It-hiong mengempit sebuah bungkusan,
agaknya sudah berlari setengah harian sehingga sekujur
badan mandi keringat, melihat yang menyapanya ialah Pang
Bun-hiong, ia pun sangat girang, serunya, "Aha, kebetulan
sekali kedatangan Pang-heng, lekas bantu menahan mereka
sementara!"
Bun-hiong melengak oleh keterangan itu, ia menegas, "Kau
dikejar orang?"
"Coba kau lihat belakang sana!" kata It-hiong.
Waktu Bun-hiong memandang jauh ke sana, benar juga dua
orang sedang menguber tiba dengan cepat, dilihat dari gerak
tubuh dan kecepatan mereka, jelas tergolong jago silat kelas
tinggi, ia menjadi khawatir dan bertanya, "Siapakah mereka?"
"Nomor enam dan nomor tujuh dari Lok-lim-jit-coat, yaitu Tokgan-
bu-siang Ong Sian-ho dan Coh-jing-bin Sing It-hong."
"Sebab apa mereka mengejarmu?" tanya Bun-hiong.
"Apa lagi, tentu saja ingin merampas kotak hitam ini," kata Ithiong
sambil menuding bungkusan yang dikempitnya.
Waktu Bun-hiong menoleh, terlihat Tok-gan-bu-siang Ong
Sian-ho, Si Setan Jangkung Mata Satu, dan Coh-jing-bin Sing
It-hong, Si Tembong Hijau, sudah mengejar tiba. Mendadak ia
mendapat akal, cepat ia sodorkan kotak hitam palsu yang
dibawanya itu kepada It-hiong dan berkata, "Ini kotak palsu,
lekas ambil dan berikan kotak aslinya kepadaku."
"Dari mana kau dapatkan kotak hitam palsu ini?" tanya ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong tercengang.
"Biar kuberi tahukan nanti saja," kata Bun-hiong gelisah.
Segera ia "rebut" bungkusan yang dikempit Liong It-hiong,
berbareng ia tukar dengan bungkusan yang dibawanya, lalu
melompat ke sana dan menyelinap ke dalam hutan di kaki
gunung. Selagi It-hiong masih merasa bingung, sementara itu Tok-ganbu-
siang dan Coh-jing-bin sudah mengejar tiba.
Tok-gan-bu-siang Ong Sian-ho, usianya antara 38-39 tahun,
sesuai julukannya, perawakannya tinggi kurus, matanya buta
sebelah kiri dan ditutup dengan sepotong kain, ia pakai
senjata pedang, sekilas pandang memang mirip setan
jangkungan. Adapun usia Coh-jing-bin Sing It-hong lebih muda dua-tiga
tahun daripada Ong Sian-ho, tampangnya sangat aneh dan
lucu, muka sebelah kiri hampir seluruhnya hijau biru serupa
orang liar yang muncul dari pegunungan.
Begitu mereka lari sampai di depan Liong It-hiong, serentak
mereka berhenti dan mengambil posisi mengepung.
Mata si setan jangkung yang tinggal satu itu menyipit, lalu
bertanya dengan menyeringai, "He, siapa itu yang bicara
denganmu tadi?"
Wajah It-hiong memperlihatkan senyuman lelah, jawabnya.
"Ah, seorang sahabat biasa, kuminta tolong padanya, siapa
tahu dia segera lari ketakutan begitu mendengar nama kalian


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdua...."
Melihat It-hiong masih mengempit bungkusannya, si setan
jangkung mata satu tidak memerhatikan bahwa bungkusan itu
sudah bukan barang semula lagi, ia menyeringai dan berkata,
"Makanya, setelah kau kepergok oleh kami mau tak mau kau
harus menerima nasib. Nah, kalau ingin selamat, lekas
serahkan kotak pusaka itu."
It-hiong menggeleng, jawabnya, "Wah, tidak bisa. Kotak
pusaka yang kuperoleh dengan susah payah mana boleh
kuserahkan begitu saja kepada kalian."
Senjata si tembong Sing It-hong adalah ruyung beruas tujuh,
sekali ia putar ruyungnya, katanya dengan terkekeh aneh,
"Hehe, memangnya kau ingin bergulat dengan jiwamu?"
It-hiong mengangguk, "Ya, betapa pun aku penasaran jika
harus menyerah begitu saja. Biarlah kucoba kepandaian kalian
lagi." Ruyung Sing It-hong lantas menyabet sambil membentak.
"Ayo, Loliok (si nomor enam), bereskan dia saja!"
Tanpa menunggu perintah lagi, kontan pedang si setan
jangkung juga menusuk ke dada Liong It-hiong.
Pedang pandak Siau-hi-jong oleh It-hiong sudah dikembalikan
kepada Kiong-su-sing Sun Thian-tik, maka sekarang ia sama
sekali tidak bersenjata, untuk melayani serangan dua macam
senjata lawan jelas sangat sulit.
Cepat ia melompat ke samping untuk menghindari sabetan
ruyung si tembong, lalu kotak palsu digunakan untuk
menangkis pedang si setan jangkung, menyusul ia terus
melayang sejauh beberapa tombak ke samping.
Mana Ong Sian-ho dan Sing It-hong mau tinggal diam, cepat
mereka membayangi It-hiong, kembali mereka melancarkan
serangan maut. Sekuatnya It-hiong menghindar lagi beberapa kali, ia merasa
tidak perlu berkorban jiwa bagi sebuah kotak palsu, segera ia
berlagak kelabakan dan sengaja memberi kesempatan kepada
lawan untuk menyerang, lalu membiarkan kotak terjatuh ke
tanah. Tentu saja si tembong sangat girang, cepat ia menubruk
maju, sekali tendang ia bikin kotak itu mencelat jauh, lalu
memburu ke sana untuk mengambilnya.
Begitu meraih bungkusan itu, cepat ia buka kain
pembungkusnya dan melihat memang betul berisi sebuah
kotak, dengan tertawa lebar ia berseru kepada kawannya,
"Loliok, sudah cukup, ayo kita pergi!"
Tok-gan-bu-siang masih terus melancarkan serangan kepada
Liong It-hiong sembari menjawab, "Nanti dulu, tampaknya
bocah ini perlu juga diberi hajaran, biarkan kubereskan dia
sekalian!"
"Boleh juga," kata si tembong. Ia mengeluarkan kotak palsu
itu, rantai yang bergandeng pada kotak dibelitnya di
pergelangan tangan sendiri, lalu putar ruyung dan menerjang
maju lagi, bersama si mata satu mereka mengerubuti Liong Ithiong.
Sembari bertempur Liong It-hiong mendamprat, "Keparat,
jahanam! Jarang kulihat penjahat berhati keji serupa kalian,
sudah merampas kotak orang masih mengincar jiwaku pula."
"Memang betul, mau apa"!" si mata satu menyeringai,
serangannya tambah gencar.
Ruyung si tembong juga menyabet kian-kemari dengan
dahsyatnya, setiap jurus serangan selalu mengincar bagian
mematikan. Liong It-hiong telah mengeluarkan segenap kepandaiannya
untuk menghindar dan balas menyerang, namun tetap
kewalahan, satu ketika pinggangnya keserempet ruyung Siang
It-hong, keruan ia berkaok kesakitan.
"Pang Bun-hiong," terpaksa ia berteriak minta tolong, "kalau
tidak segera keluar, akan kumakimu!"
"Ini dia!" seru Bun-hiong sambil menerobos keluar dari tempat
sembunyinya, begitu mendekat pedang lantas menebas dan
menangkis, seketika si mata satu didesak ke samping dan
terjadilah satu lawan satu.
Setelah saling gebrak beberapa jurus, dapatlah si setan mata
satu melihat ilmu pedang lawan cukup lihai, ia terkesiap,
bentaknya, "Hei, siapa bocah ini"!"
"Inilah Hou-hiap Pang Bun-hiong adanya!" jawab Bun-hiong
dengan tertawa.
Berbareng pedang lantas menebas dan menusuk sehingga si
mata satu terkejut, cepat ia mengegos dan melompat mundur.
"Lojit, lawan keras, lekas angkat kaki!" teriaknya sembari
berputar dan mendahului kabur secepatnya.
Kalau satu lawan satu si tembong juga merasa tidak mampu
mengalahkan Liong It-hiong, segera ia melancarkan suatu
serangan untuk mendesak mundur It-hiong, kesempatan itu
lantas digunakan untuk melompat ke samping dan segera
angkat langkah seribu alias kabur.
"Kejar, lekas kejar! Jangan sampai mereka lolos, lekas kejar!"
demikian Liong It-hiong berteriak-teriak.
Di mulut ia berkaok "kejar", tapi kakinya justru tidak bergerak
selangkah pun. Ia merasa cuma kehilangan sebuah kotak
palsu dan dapat menggertak lari dua lawan tangguh, betapa
pun masih berharga.
Bun-hiong juga tidak mengejar, ia saksikan kedua lawan
ngacir dan menghilang di kejauhan, katanya dengan
tersenyum sambil mengangkat pundak, "Dirodok, uangku
sepuluh tahil perak harga kotak palsu itu hilang percuma
begitu saja."
"Hm, kau cuma kehilangan sepuluh tahil perak saja lantas
mengeluh, jiwaku malahan hampir amblas!" ucap It-hiong
sambil menyengir.
Bun-hiong simpan kembali pedangnya, katanya, "Marilah
pergi, bisa jadi mereka akan mengetahui kotak itu adalah
barang palsu dan putar balik lagi, lekas kita kembali ke atas
gunung." Keduanya lantas lari masuk ke dalam hutan, dari balik semaksemak
rumput Bun-hiong mengeluarkan kotak asli dan
dikembalikan kepada Liong It-hiong, lalu keduanya berlari ke
atas gunung dengan cepat.
Sembari lari It-hiong bertanya, "Bilakah kau pulang?"
"Sudah pulang selama empat hari," jawab Bun-hiong.
"Dan untuk apa kau bikin kotak palsu itu?" tanya It-hiong
heran. "Itu gagasan To Po-sit," tutur Bun-hiong. "Ia bermaksud
menyuruh kita membawa kotak palsu ke Cap-pek-pan-nia."
"Banyak juga akal bulusnya," ujar It-hiong dengan tertawa.
"Memang dia benar-benar seekor rase tua yang licik dan licin,
sungguh aku kagum padanya," kata Bun-hiong.
"Apakah tugasmu sudah kau laksanakan dengan baik?" tanya
It-hiong. "Hanya boleh dikatakan selesai setengah saja, sebab di Hoaygiok-
san aku bertemu dengan Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau,
dia itu perempuan simpanan Oh Kiam-lam, ketika mendengar
berita diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiu-bwe-hou, segera ia
mengirim orang mengundangku ke tempatnya...."
Lalu ia ceritakan pengalamannya.
Heran juga Liong It-hiong mendengar To Po-sit menyamar
sebagai Kiu-bwe-hou dan memasang perangkap di Ma-cik-san,
tanyanya, "Adakah dia menceritakan siapa sesungguhnya
orang yang ingin ditangkapnya?"
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Caranya itu sungguh tidak enak," ujar It-hiong. "Kita yang
bekerja mati-matian, tapi dia tetap main teka-teki, tidak mau
menjelaskan siapa yang hendak ditangkapnya."
"Ya, dia memang suka jual mahal, katanya setengah tahun
kemudian tentu kita akan tahu sendiri."
"Bagaimana dengan Oh Beng-ay?"
"Tidak apa-apa, baik-baik saja."
"Dia tidak menyatakan sendiri bahwa dia adalah adik
perempuan Oh Kiam-lam?"
"Tidak."
"Sungguh kuharap dia mau bicara terus terang," ujar It-hiong
dengan tertawa.
"Ini merupakan permintaan pelik baginya," Bun-hiong juga
tertawa. "Jika aku menjadi dia, pasti juga aku tidak mau
mengaku kakak sendiri adalah benggolan bandit."
"Adakah dia tanya akan diriku?" tanya It-hiong.
"Ada," kata Bun-hiong.
"Apakah si tua she To itu cukup baik kepadanya?"
"Aku cuma tinggal semalam saja di atas gunung, keadaan di
sana tidak begitu jelas bagiku, kukira tidak terjadi sesuatu."
"Tabiatnya sangat buruk, salah sedikit saja lantas dicaci maki
olehnya, semoga Nona Oh tidak sampai dicaci maki olehnya."
"Soal dicaci maki kukira sukar dihindar," kata Bun-hiong
dengan tertawa. "Baru saja kupulang ke sana langsung
didamprat habis-habisan olehnya. Kalau kupikir lagi, sungguh
penasaran."
"Hal ini kan sudah kuberi tahukan padamu sebelumnya.
Bekerja baginya bukan saja tanpa balas jasa, sebaliknya akan
sering didamprat olehnya. Jika kau tidak tahan boleh saja
mengundurkan diri."
"Tidak, aku tidak ingin mengundurkan diri. Aku masih akan
terus bekerja baginya, ingin kulihat sesungguhnya apa
maksud tujuannya," kata Bun-hiong dengan tertawa.
Begitulah sembari bicara sambil lari, tanpa terasa mereka
sudah sampai di depan rumah bambu.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit sedang membetulkan sebuah
pot bunga di atas rak, melihat kedatangan mereka, dengan
tersenyum ia memapaknya dan menegur, "Kau sudah pulang,
It-hiong?"
Sambil memberi hormat It-hiong mengiakan.
Melihat bungkusan yang dibawa It-hiong, dengan tertawa To
Po-sit tanya pula, "Itukah kotak pusakanya?"
"Ya," jawab It-hiong.
Orang tua itu lantas mengambil bungkusan itu dan dibukanya,
setelah memeriksa kotak itu, dengan tertawa puas ia berkata,
"Pembuatan kotak ini memang sangat bagus dan cermat
sekali...."
Ia berpaling dan bertanya kepada Pang Bun-hiong, "Kalian
bertemu di mana?"
"Di bawah gunung," tutur Bun-hiong. "Waktu itu baru saja
kupulang sampai di kaki gunung, kebetulan kulihat dia...."
"Kotak palsu yang kusuruh bikin di kota itu apakah belum
jadi?" sela Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
"Sudah jadi," jawab Bun-hiong.
"Mana barangnya" Kenapa tidak dibawa pulang?" tanya To Posit
pula. "Sudah kubawa pulang," kata Bun-hiong.
"Di mana?" To Po-sit terkesiap.
"Sudah jatuh di tangan orang lain," tutur Bun-hiong.
"Hei, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" tanya To Po-sit
terkejut. "Kotak itu dibawa lari orang," jawab Bun-hiong sambil
menyengir. Seketika mata To Po-sit mendelik, ucapnya dengan gusar,
"Apa katamu" Liong It-hiong yang jauh-jauh pulang dari
Tengciu saja tidak sampai kehilangan kotak itu, tapi sebuah
kotak palsu kau bawa pulang dari Hou-hong ternyata begitu
saja dirampas orang, sungguh kau ini terlampau tidak becus."
"Eh, janganlah To-locianpwe marah dulu," tutur Bun-hiong
dengan tertawa, "coba dengarkan penjelasanku...."
"Penjelasan" Penjelasan kentut!" damprat To Po-sit. "Sejak
mula juga dapat kuterka kau ini pasti tidak becus. Sudah setua
ini usiaku, belum pernah kulihat orang segoblok dirimu."
Makin damprat makin bengis dia sehingga air liurnya
bertebaran. "Jika To-locianpwe mau memaki, silakan memaki diriku saja,
sebab kotak palsu itu akulah yang menghilangkannya," sela Ithiong
dengan tertawa.
Tui-beng-poan-koan melenggong dan menegas, "Apa
katamu?" "Kubilang akulah yang menghilangkan kotak palsu itu," tukas
It-hiong. Seketika To Po-sit melongo bingung, "Kenapa kotak palsu itu
bisa berada padamu?"
"Begini kisahnya," tutur It-hiong. "Eh, bagaimana kalau kita
bicara saja di dalam rumah?"
Tui-beng-poan-koan To Po-sit lantas melangkah ke dalam
rumah. Waktu It-hiong dan Bun-hiong ikut masuk, tertampaklah Oh
Beng-ay berdiri di tengah ruangan dengan wajah gembira.
It-hiong mendekati si nona, tanyanya dengan tertawa,
"Bagaimana Giok-nio, baik-baik saja?"
Beng-ay tersenyum dan mengangguk.
To Po-sit lantas memberi tanda dan berkata kepada si nona,
"Lekas menanak nasi, di sini tidak ada urusanmu."
Beng-ay menjulur lidah dan cepat berlari ke belakang.
Sesudah ambil tempat duduk, dengan sikap kereng To Po-sit
lantas berkata, "Nah, sesungguhnya apa yang terjadi, lekas
ceritakan!"
It-hiong berdehem perlahan, lalu menceritakan apa yang
dialaminya setelah tiba di Tengciu, sampai Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan terbunuh dan sebelum mengembuskan napas
terakhir memberitahukan tempat simpanan kotak pusaka,
yaitu di dalam sumur tua di depan kelenteng....
"Lalu bagaimana?" tanya To Po-sit.
"Lalu kuturun ke sumur tua itu dan berhasil menemukan kotak
ini," tutur It-hiong.
"Dan selanjutnya tidak ada lagi orang lain yang berusaha
merampas kotak lagi?"
"Pada belasan hari pertama memang aman tenteram, tapi
belasan hari kemudian setelah menyeberangi Tiangkang, tibatiba
muncul Tok-gan-bu-siang Ong Sian-ho dan Coh-jing-bin
Sing It-hong berdua, entah dari mana mereka mendapat
kabar, mendadak mereka muncul dan mencegat
perjalananku."
"Menurut ceritamu dulu, kan Hui Giok-koan juga pernah
membuat sebuah kotak palsu dan hendak menipu orang lain,
kemudian pada waktu menggali, mendadak muncul Ang-liusoh
Ban Sam-hian dan membawa lari kotak palsu. Dengan
begitu, bilamana ada orang ingin merampas kotak pusaka
seharusnya Ban Sam-hian yang menjadi sasaran, mengapa
kau lagi yang diincar?"
"Memang hal inilah yang membuatku sangat heran," jawab Ithiong.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurasakan seperti ada seorang yang sangat misterius
yang selalu mengikut ke mana perginya kotak pusaka tulen
ini. Setiap kali kotak ini jatuh di tangan siapa, segera ia
menyiarkan beritanya supaya diketahui orang lain, agaknya
dia sengaja hendak melihat orang saling berebut kotak pusaka
dan saling bunuh tanpa berakhir."
Tui-beng-poan-koan To Po-sit manggut-manggut, ucapnya
dengan tersenyum, "Ya, ini menandakan di balik urusan kotak
pusaka ini terdapat sebuah intrik keji, mungkin sekali dalam
waktu singkat segera ada orang akan mencari ke sini."
"Betul, maka kita perlu siap siaga." kata It-hiong.
"Kemudian bagaimana sesudah Ong Sian-ho dan Sing It-hong
muncul merampas kotakmu?"
"Karena sendirian tidak mampu melawan empat kepalan
mereka, terpaksa aku angkat langkah seribu alias kabur
secepatnya. Sepanjang jalan aku berusaha sembunyi kiankemari,
tampaknya hampir terlepas dari uberan mereka, siapa
tahu mereka muncul lagi dan terpaksa aku lari pula.
"Tadi baru saja sampai di kaki gunung, kebetulan bertemu
dengan Pang-heng, kuberi tahu apa yang terjadi, segera
Pang-heng menukarkan kotak palsu yang dibawanya dengan
kotak asli, lalu Pang-heng pura-pura lari ketakutan. Sementara
itu Ong Sian-ho berdua menyusul tiba, kutempur mereka lagi
beberapa jurus, akhirnya kupura-pura kewalahan dan
membiarkan kotak direbut mereka sehingga semua urusan
pun terakhir."
Setelah mengetahui semua seluk-beluk kejadian ini barulah
Tui-beng-poan-koan To Po-sit tahu salah marah kepada Pang
Bun-hiong, dengan tertawa ia berkata kepada pemuda itu,
"Kenapa tidak kau katakan sejak tadi, kalau kau katakan tentu
tidak dicaci maki, sungguh tolol."
Bun-hiong menyeringai, katanya, "Selanjutnya boleh kita
saling berjanji saja, bilamana To-cianpwe hendak memaki
orang, kuharap dapat diberi kesempatan untuk memberi
penjelasan. Setuju?"
"Tampaknya kau masih penasaran karena kumaki," kata To
Po-sit dengan tertawa. "Jika demikian, supaya kau puas, boleh
kau balas caci maki diriku. Meski sering kumaki orang, tapi
hampir tidak pernah tahu rasanya dimaki orang."
It-hiong dan Bun-hiong sama tertawa.
"Lantas apa tindakan To-locianpwe setelah kotak pusaka
dapat kita rebut kembali?" tanya It-hiong dengan tertawa.
To Po-sit tidak segera menjawab, berulang-ulang ia
mengamati kotak pusaka itu, katanya kemudian, "Tampaknya
kotak ini sukar dibuka, cuma, dibuka atau tidak toh sama
saja...." "Apakah To-locianpwe tahu apa isi kotak ini?" tanya It-hiong.
"Entah, aku tidak tahu, cuma dapat kupastikan isinya mutlak
bukan peta rahasia harta karun segala," jawab To Po-sit.
"Konon di dalam kotak terdapat obat peledak, bilamana tidak
dibuka menurut cara yang sudah diatur, kalau menyentuh
obat peledak seketika kotak akan meledak."
"Ya, sangat mungkin," To Po-sit mengangguk.
"Jika kotak ini cuma semacam intrik keji saja, lalu siapakah
yang mengatur intrik ini?" tanya It-hiong.
"Mungkin adalah orang yang hendak kutangkap itu," kata To
Po-sit. "Siapakah dia?" tanya It-hiong pula.
"Tidak dapat kuberi tahukan sekarang," ucap Tui-beng-poankoan
To Po-sit. "Menurut cerita Pang-heng, To-locianpwe hendak menyuruh
kami membawa kotak palsu ke Cap-pek-pan-nia?"
"Betul," jawab Tui-beng-poan-koan. "Tapi sekarang kotak
palsu itu sudah dibawa lari orang, terpaksa kalian harus
membuat satu lagi."
"Apa yang harus kami lakukan setiba di Cap-pek-pan-nia?"
tanya It-hiong.
"Begitu berhadapan dengan gembong iblis misterius itu segera
kalian tangkap dia dan membawanya menemuiku di sini."
"Tidak perlu disangsikan lagi Cap-pek-pan-nia pasti sebuah
sarang harimau atau kubangan naga," ujar It-hiong dengan
tertawa. "Kalau melulu tenaga kami berdua jelas tidak
gampang untuk menangkap gembong iblis misterius itu."
"Tidak dapat menangkapnya dengan kekuatan kan dapat
membekuknya dengan akal," kata To Po-sit. "Betapa pun
kalian adalah orang cerdik, kuyakin kalian sanggup
melaksanakan tugas."
"Jika begitu, besok juga kami pergi ke Hou-hong untuk
membuat lagi sebuah kotak palsu, habis itu kami lantas
berangkat," kata It-hiong.
To Po-sit mengangguk setuju.
"Apakah masih ada petunjuk lain?" tanya It-hiong.
"Tidak ada lagi," jawab To Po-sit.
"Jika begitu sementara kumohon diri dulu," segera It-hiong
memberi hormat dan menuju ke ruangan belakang.
Setiba di dapur, melihat Oh Beng-ay sedang mengolah
santapan, perlahan It-hiong mendekati si nona dan mendadak
merangkul pinggangnya dari belakang.
"Aiii!" Beng-ay menjerit kaget. Waktu melihat Liong It-hiong,
ia menjadi marah dan memukuli dadanya sambil mengomel,
"Sialan, bikin kaget saja...."
It-hiong menangkap kedua tangan si nona dan mendadak
mencium pipinya sekali, katanya dengan tertawa, "Rindu
padaku tidak, sayang?"
Muka Beng-ay berubah merah, omelnya, "Huh, untuk apa
kurindu padamu!"
"Haha, benar tidak merindukan daku?"
"Tidak!"
"Juga tidak senang karena kepulanganku?"
"Ya!"
"Wah, jika begitu, terpaksa kupergi saja," kata It-hiong
dengan tertawa.
Beng-ay melengak, "Apa katamu" Kau mau pergi lagi?"
"Ya, besok juga segera berangkat," kata It-hiong.
Mulut si nona menjengkit, katanya dengan kurang senang,
"Hm, sesungguhnya apa yang sedang kalian lakukan" Masa
baru pulang segera mau pergi lagi?"
"Toh kau tidak senang akan kepulanganku, terpaksa besok
juga kulanglang buana lagi," kata It-hiong.
"Ah, omong kosong!" omel Beng-ay dengan tertawa.
"Eh, sayurmu hangus," seru It-hiong sambil melepaskan
tangan si nona.
Cepat Beng-ay mengaduk sayurnya, lalu menciduknya ke
dalam piring, lalu wajan kosong dituangi minyak sembari
bertanya, "Apa benar engkau hendak pergi lagi?"
"Betul, besok kupergi menyelesaikan suatu urusan, selang dua
hari lagi baru pulang kemari...."
"Bagaimana kalau kau bawa serta diriku?" tanya Beng-ay
sambil berpaling setelah mengisi wajan dengan air dan
memberi tutup. "Kau sudah bosan tinggal di gunung?" tanya It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 17 "Meski bagus pemandangan tempat ini, tapi aku tidak tahan
pada wataknya yang sebentar marah dan sebentar gembira
itu," tutur Beng-ai
"Walaupun sifatnya rada aneh, tapi hatinya sangat baik," kata
It-hiong "Kutahu, namun ...."
"Sudahlah, jangan disebut-sebut lagi," potong It-hiong
dengan tertawa "Ingin kutanya padamu, Kau mau kawin
denganku atau tidak?"
Beng-ai mengangguk, lalu menunduk dan meliput ujung baju
"Jika begitu, hendaknya bersabar sementara. nanti katau
semua urusan sudah kita selesaikan, tentu akan kubawa
dirimu meninggalkan tempat ini "
Beng-ai mengambil dua butir telur ayam dan dipecah
kulitnya, dituang ke dalam mangkuk, lalu diaduk dengan
sumpit, katanya, "Sesungguhnya apa yang kalian lakukan di
sini?" "Sekarang kamu jangan tanya, kelak tentu akan tahu
sendiri," ucap It-hiong.
Beng-ai membuka tutup wajan dan menuangkan adukan telur
sembari berkata pula, "Dan
mengapa kalian harus mengelabui diriku."
"Kamu kan orang perempuan, ada sementara urusan tidak
perlu kau tahu."
Beng-ai menunduk diam
Pelahan It-hiong menepuk bahunya dan menghiburnya,
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, jika benar kamu ingin
hidup bersamaku, hendaknva kau sabar sementara ini, pasti
takkan kuperlakukan dirimu dengan jelek."
Setelah termenung sejenak, pelahan Beng-ai berkata, "Ingin .
. . ingin kuberitahukan satu hal padamu . . . "
"Urusan apa?" tanya It-hiong
Kembali Beng-ai termenung sejenak, tiba-tiba ia menggeleng
kepala dan berkata. "Ah, sudahlah. lebih baik tidak kukatakan"
It-hiong tertawa, "Baiklah, jika hendak kau katakan tentu
akan kudengarkan, katau tidak kau katakan juga takkan
kupaksa." Lalu dia menggerayangi lagi si nona, kemudian meninggalkan
dapur Setiba di ruangan depan dilihatnya Tui-beng- poan-koan Toh
Po-sit asyik mempelajari kotak pusaka itu, ia coba tanya,
"Sudah dapat kau buka?"
"Tidak." jawab Toh Po-sit
"Lain kali bila bertemu lagi dengan orang yang hendak rebut
kotak ini, tentu akan kutanya sesungguhnya apa isi kotak
ini." kata It-hiong.
"Memangnya siapa yang mau memberitahukan padamu," ujar
Toh Po-sit dengan tertawa
"Tempo hari mestinya Kiong-su-sing Sun Thian-tik hendak
memberitahukan padaku, tapi aku tidak mau terima," tutur Ithiong.
Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit melenggong.
"Mengapa kau tolak?"
It-hiong mengangkat pundak. "Sebab kukuatir bila kutahu isi
kotak, ada kemungkinan akan timbul angkara murka dan ingin
kukangkanginya Kim-kong Taisu dan Koh-ting Tojin saja
sangat ingin mendapatkan kotak ini. padahal aku merasa tidak
lebih hebat daripada mereka "
"Sungguh manusia tidak becus!"omel Toh Po-sit mendadak.
It-hiong menyengir tanpa menjawab. Ia sudah biasa dicacimaki,
maka makian orang tidak dihiraukannya
Mendadak Tui-beng-poan-koan melemparkan kotak itu ke atas
meja dan berkata pula. "Sudah lanjut begini usiaku, tapi ..."
"Belum pernah melihat anak bodoh seperti diriku, begitu
bukan?" tukas lt-hiong dengan tertawa.
"Betul," kata Toh Po-sit "Bukan maksudku sengaja membual,
dahulu waktu aku masih muda seperti dirimu sekarang . ."
Sekali ini It-hiong tidak menimbrung, tapi Beng-ai tidak bicara
lebih lanjut, tiba-tiba sorot
matanya berkilau dan mendesis, "Ssst, ada orang datang!"
Tergerak hati It-hiong dan Bun-hiong, segera mereka pasang
kuping mendengarkan dengan cermat.
Benar juga suara orang itu dari jauh mendekat
"Ah, memang benar terdiri satu keluarga!"
"Bagaimana kita papak mereka?"
Tapi mendadak It-hiong mendesis dengan suara tertahan.
"Ssst, ternyata rombongan mereka. Tok-gan-bu-siang dan Co
jing-bin."
Dengan tenang Toh Po-sit berkata," Lekas kalian sembunyi
saja, juga nona Oh suruh sembunyi, biar kupermainkan
mereka, lekas masuk!"
It-hiong dan Bun hiong tahu betapa hebat kepandaian orang
tua itu, untuk melayani Tok-gan-bu-siang berdua tentu bukan
soal, segera mereka menurut dan cepat menyelinap ke
ruangan dalam. Sejenak kemudian terdengar suara langkah Tok-gan-bu-siang
Ong Sian-ho dan Co Jing-bin Sing It-hong sudah sampai di
luar pagar bambu, terdengar Sing It-hong sedang berkata.
"Loliok, kukira tuan rumah di sini pasti seorang sastrawan
yang suka kepada ketenangan dan kesunyian "
"Peduli dia sastrawan atau bukan, biarlah kita masuk saja dan
minta disediakan makanan," demikian Tok-gan-bu-siang Ong
Sian-ho menanggapi
Lalu terdengarsuara pintu digedor dengan keras
"Siapa itu?" teriak Tui-beng-poaa-koan Toh Po-sit dari dalam
"Orang lalu!" jawab Ong Sian-ho
"Ada keperluan apa?" tanya pula Toh Po-sit
"Ingin numpang minum " jawab si mata satu
"Oo, silakan masuk!"
Lalu Ong Sian-ho dan Sing It-hong mendorong pintu dan
masuk ke ruangan tamu, melihat Toh po sit duduk di kursi
bambu, tanpa memberi hormat mereka lantas duduk juga di
samping tuan rumah
"Saudara tinggal sendirian di sini ?" tanya Tok-gan-bu-siang
dengar, menyeringai
Pada pundaknya tergantung sebuah bungkusan. melihat
bentuknya jelas itulah kotak pusaka palsu yang dirampasnya
dari Liong It-hiong.
Sambil mengangguk Toh Po-sit menjawab. "Betul, kalian
datang dan mana?"
"Dari bawah gunung," kata si mata satu
Toh Po-sit tertawa, "Jika kalian ingin minum silakan ambil
sendiri saja. Kakiku ada penyakit, tidak leluasa bergerak,
maaf tidak kuladeni "
Segera si mata satu Ong Sian-ho mendekati meja dan
menuang dua cangkir toh. secangkir disodorkan kepada si
tembong Co-jing-bin, sembari minum ia tanya lagi, "Saudara
she apa ?"
"She Toh," jawab Tui-beng-poan-koan.
"She apa?" si mata satu menegas dengan melengak.
"Toh," kata Toh Po-sit
Terpancar sinar mata satu dengan aneh, dengan menyeringai
ia berkata. "Sangat sedikit orang she Toh, namun pernah
kutahu ada seorang she Toh. yaitu kepala polisi terkenal di
Tiang-an, namanya Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit. Apakah
saudara kenal dia' ?"
"Kenal,'' Toh Po-sit mengangguk.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Air muka si mata lalu terubah pucat, "Ada hubungan apa
antara dia denganmu?"
"Ada hubungan sangat erat," jawab Toh Po-sit
"Oo, betul ?" si mata satu menegas.
"Ya, sekarang dia sudah pensiun dan mengasingkan diri di
suatu tempat "
"Kutanya, ada huhungan apa antara kalian ?"
Tui-heng-poan-koan menatapnya dan balas tanya dengan
tersenyum "Untuk apa kau tanya urusan ini"'
"Ada seorang saudara misanku... "
Mendadak si tembong menyela, "Loliok. bicara urusan yang
benar saja "
Seketika suara si mata satu berubah, dengan wajah
tersenyum ramah ia berkata, "Rumah penduduk di sekitar sini
sangat sedikit, bukan?"
"Ya, cuma satu rumah in saja," Toh Po-sit menagangguk.
"Jika begitu, ingin kutanya, kira-kira satu jam yang lalu pernah
kau lihat dua pemuda lewat disini?"
"Oya, ada, bukankah dua pemuda yang masih muda belia?"
jawab Toh Po-sit.
"Aha, betult" seru si mara satu dengan gembira
"Mereka juga datang kesini dan minta minum, seorang di
antaranya membawa sebuah kotak yang aneh...."
Segera si mata satu membuka bungkusannya dan berkata,
'Serupa kotak ini bukan?"
"Ya betul ..!"seru Tui-beng-poan-koan dengan lagak terkejut
"He... aneh mengapa kalian juga mempunyai kotak seperti
ini?" Si mata satu tidak menjawab, tapi tanya dengan cepat.
"Mereka masih berada di sini"
"Tidak, sudah pergi." jawab Toh Po-sit.
"Pergi ke mana?" cepat si mata satu tanya pula.
Toh Po-sit menggeleng, "Entah, cuma malam ini mereka akan
datang lagi "Dan mana kau tahu ?" seru si mata satu dengan girang
"Mereka tanya padaku apakah malam ini boleh mondok
semalam di smi, kujawab boleh saja, lalu mereka pergi dengan
riang gembira," tutur Toh Po-sit
"Mereka menuju ke jurusan mana?" tanya si mata satu
"Ke atas gunung," tutur Toh Po-sit
Si mata satu alias Ong Sian-bo lantas tanya si tembong,
"Aneh. untuk apa mereka menuju ke atas gunung?"
"Tentu ada urusan penting." jawab si tembong
Memangnya urusan apa?" si mata satu merasa tidak habis
mengerti "Siapa tahu!" kata sj tembong
"Eh. ada urusan apa kalian mencari mereka?" tanya Toh Po-sit
"Mereka itu penipu, kami hendak mencari mereka untuk
membikin perhitungan," tutur si mata satu.
"Oo. penipu" Memangnya barang apa yang mereka tipu
dari kalian ?" tanya Toh Po-sit dengan melengak.
Si mata satu menuding kotak palsu yang di bawanya,
jawabnya dengan gemas, "Mereka menggunakan kotak palsu
ini untuk menipu sebuah kotak pusaka asli milik kami sehingga
kami rugi besar, coba pantas mampus tidak perbuatan
mereka ?" "O kiranya begitu, mereka memang pantas mampus" kata
Toh Po-sit "Sungguh rendah mereka, masih muda belia, tidak
belajar baik, tapi main tipu, sungguh pantas mampus!''
"Mereka bilang malam ini akan mondok disini?" tanya si mata
satu "Betul," Toh Po-sit mengangguk.
"Kau kira mereka benar akan kembali lagi ke sini?"
"Bisa saja, mereka kan tidak perlu dusta padaku"
Lalu si mata satu berkata pula pada si tembong. "Lojit, kukira
mereka bermaksud menyembunyi-kan kotak itu di suatu
tempat, lalu kembali dan minta mondok di sini, bagaimana
pendapatmu?"
"Ya, aku sependapat denganmu."' si tembong mengangguk
"Jika begitu, biarlah kita tunggu saja di sini untuk membekuk
mereka," kata si mata satu dengan tertawa
Kembali si tembong mengangguk setuju. Si mata satu
menoleh kepada Toh Po-sit dan berkata, "Eh, dapatkah
saudara membantu kami"'
"Membantu apa?" tanya Toh Po-sit.
"Biarkan kami sembunyi di dalam rumah, bila mereka pulang,
hendaknya engkau pura-pura tidak tahu dan tetap melayani
mereka." "Kemudian?" tanya Toh Po-sit
Si mata satu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil,
dituangkan sebiji pil hitam dan diberikan kepada Toh Po-sit,
katanya, "Ini obat tidur, hendaknya diam-diam kau
campurkan.dalam makanan mereka sehabis mereka makan
tentu akan jatuh pingsan "
Tui-beng-poan-koan menerima pil itu dan diperiksa dengan
teliti, tanyanya kemudian, "Ini bukan racun?"
"Bukan, bukan," sahut si mata satu
Toh Po-sit menyimpan pil itu dipandangnya cuaca di luar.
katanya, "Hari sudah hampir gelap setiap saat mereka bisa
datang. Jika kahan hendak sembunyi, sebaiknya sekarang
juga lekas sembunyi."
"Sebaiknya sembunyi di mana?" tanya si mata satu.
Dengan terhuyung-huyung Toh Po-sit berdiri, katanya.
"Sembunyi saja di dalam kamarku, tidak nanti mereka
menerobos ke dalam kamarku "
Sembari bicara ia membawa mereka masuk ke kamar
Ia melangkah dengan sangat lambat, satu tindak cuma
bergeser sekian senti. serupa seorang lumpuh
Si mata satu merasa heran, ia tanya. Kedua kakimu ini
kenapa?" "Dua tahun yang lalu aku pernah sakit lumpuh, tutur Toh Posit
dengan menyesal "Meski jiwaku dapat dipertahankan, tapi
kedua kaki tidak mau turut perintah lagi "
"Jika gerak-gerikmu tidakleluasa mengapa tinggal sendirian di
sini?"' "Soalnya aku suka ketenangan, sebab itulah kuminta anakku
membangun gubuk ini"
"Kenapa tidak menggunakan pelayan"'' tanya si mata satu
"Ada seorang mak tua, kebetulan kemarin pulang kampung
karena punya cucu "
Tengah bicara mereka sudah sampai di depan sebuah
kamar, Toh Po-sit membuka pintu dan berkata, 'Inilah kamar
tidurku, silakan kalian sembunyi saja di dalam "
Tok-gan-bu-siaug dan Co-jing-bin lantas masuk ke situ.
"Kalian lapar tidak?" tanya Toh Po-sit
"Ada sedia makanan di sini?" tanya Tok-gan-bu-siang alias si
setan jangkung mata satu.
"Ada sekadarnya, silakan kalian duduk sebentar, akan
kuambilkan," habis berkata Toh Po-sit lantas merapatkan
pintu kamar dan menuju ke dapur
la geser langkahnya yang pelahan serupa siput menuju ke
dapur, dibukanya lemari makan dan
mengeluarkan sepiring bakmi goreng sisa siang tadi.
Dipanaskan sisa bakmi itu di dalam wajan, ditambahnya air,
lalu menyalakan api tungku
Tidak lama sisa bakmi goreng itu telah dimasaknya menjadi
bakmi kuah, ia tuang bakmi
kuah di dalam dua mangkuk dan dilengkapi dua pahang
sumpit lalu dibawanya ke kamar, dengan bahu ia dorong
pmtu kamar, katanya dengan tertawa, "Sudah kubuatkan
dua mangkuk bakmi kuah. silahkan kalian makan seadanya"
Si mata satu dan si tembong sedang duduk di tepi ranjang,
melihat dia masuk dengan membawa dua mangkuk bakmi
kuali, cepat mereka menyongsong dan menerimanya, kata si
mata satu dengan tertawa. 'Terima kasih!"
"Ah, jangan sungkan," jawab Toh Po-sit
Si mata satu memandang mi kuah yang dipegangnya, tibatiba
ia tanya dengan tertawa, "Eh, di manakah pil yang
kuberikan padamu tadi1"''
"Ada, di sini," sabut Toh Po-sit.
"Di mana?" tanya si mata satu
Toh Po-sit merogoh keluar pil yang dimaksud. katanya, "Ini,
betul tidak?"
Maka tertawalah si mata satu. katanya, "Baiklah. jangan hilang
" "Tidak, tentu tidak," kata Toh Po-sit
"Sebentar bila mereka datang, hendaknya kau bicara dengan
mereka dengan suara keras supaya kami dengar di dalam
kamar". "Baik, baik," dengan tersenyum Toh Po-sit mengundurkan diri
dari kamar dan kembali keruangan depan serta duduk di
tempat semula diambilnya sebuah pipa tembakau panjang,
lalu menyalakan api dan mulai udut.
Di dalam kamar si mata satu dan si tembong tidak segera
makan mie kuah itu, mereka menaruh mangkuk mi di atas
meja, lalu si tembong berkata. "Loliok, kurasa tua bangka itu
agak aneh baiknya kita jangan makan bakmi ini "
'Memang kurasakan juga dia agak aneh," kata si matasatu."
Cuma kita kan tidak ada permusuhan dengan dia,
tentunya dia takkan meracuni kita."
"Untuk meracuni kita kan tidak perlu harus bermusuhan dulu,"
ujar si tembong
"Ya, tapi kan tidak ada tanda-tanda dia orang jahat?"
"Biar kulihat dulu apa yang sedang dilakukannya sekarang,
kalau tidak ada yang mencurigakan
barulah kita makan mi kuah ini," habis berkata si tembong
lantas membuka pintu, dengan pelahan ia menyelinap keluar
Dengan langkah berjinjit jinjit ia merunduk ke samping pintu
dia coba mengintip keluar, dilihatnya Tui-beng-poan-koan
sedang duduk dan asyik udut, sikapnya tenang dan santai,
sama sekali tidak ada sesuatu tanda mencurigakan.
Pelahan ia menyurut mundur kembali ke dalam kamar katanya
dengan suara lirih, "Ia sedang udut di ruang depan,
tampaknya tiada sesuatu apa "
"Jika begitu marilah kita makan," ajak si mata satu
"Nanti dulu," kata si tembong
'Ai, ada apa lagi?"
"Sebaiknya dicicipi dulu satu sumpit."
"Kamu sungguh terlampau hati-hati," ujar si mata satu sambil
mengangkat mangkuk dicicipinya satu sumpit mi kuah itu.
sambil mulut mengunyah dan mata berkedip, katanya dengan
tertawa, "Ehm, lumayan rasanya!"
"Tidak ada rasa yang ganjil ?" tanya si tembong sangsi.
"Tidak ada," si mata satu menggeleng
Setelah berulang tanya lagi baru si tembong merasa lega,
segera ia ikut duduk dan makan bakmi kuah itu
Baru saja selesai mereka makan, mendadak pintu kamar
diketuk orang Si tembong berjingkat, teriaknya "Siapa itu?"
Sebabnya dia kaget adalah karena sebelum pintu diketuk,
pada hakikatnya ia tidak mendengar sesuatu suara orang
mendekati pintu
"Aku!'' terdengar jawaban Tui-beng-poan-koan di luar kamar
Dengan was-was si tembong memandang si mata satu,
tanyanva dengan suara tertahan, "Adakah kaudengar suara
langkahnva tadi ?"
Si mata satu menggeleng.
Seketika si tembong merasa prihatin, sejenak ia tatap pintu
kamar, habis ini barulah ia membuka Pintu.
DilihatnyaTui-beng-poan-koan berdiri di depan pintu dengan
tersenyum, tanpa terasa si tembong menyurut mundur
selangkah dan bertanya,
"Ada urusan apa?"
"Kalian sudah makan ?" tanya Toh Po-sit dengan tertawa
Si tembong mengangguk, "Ya, kepandaian masakmu memang
boleh juga, cukup enak bakmi kuah tadi.
"Ha..ha " Tui-beng-poan-koan terbahak "Terima kasih atas
pujianmu."
"Mereka mungkin takkan datang kemari," segera si mata satu
menyambung "Hari baru saja gelap, tunggulah sebentar lagi," kata Toh Posit
ia merandek sejenak, lalu
menyambung dengan tertawa. "Ai, aku ini memang sudah
pikun, sejauh ini belum lagi mengetahui nama kalian yang
terhormat"
"Aku she Ong bernama Sian-bo, ini saudara angkatku,
namanya Sing It hiong."
"O, selamat berkenalan," kata Toh Po-sit sambil memberi
hormat "Dan saudara sendiri bernama siapa?" tanya si mata satu
Ong Sian ho Toh-beng-poan-koan tersenyum dan menjawab,"Namaku Posit'"
"Hahhh!" si mata satu terperanjat "Jadi jadi engkau Ini Toh
Po-sit "''
Orang tua itu mengangguk dengan tersenyum
"Jadi engkau ini Tui-Beng-poan-koan ?" si tembong ikut
menegas Kembali Toh Po-sit mengangguk
Serentak si mata satu meraba tangkai pedang katanya dengan
kejut dan curiga. "Kabarnya engkau sudah mati, kiranya masih
hidup di dunia ini '
" Pensiun dan mati tidak banyak bedanya," kata Tui-bengpoan-
koan tersenyum. "Seorang kalau sudah pensiun kan
tidak ada bedanya serupa mayat hidupbelaka?"
Segera si tembong juga menarik rujungnya dan siap tempur,
ucapnya, "Waktu kami masuk kemari tadi, kenapa tidak
kaukatakan terus terang?"
"Kalian kan tanya padaku kenal Toh Po-sit tidak, kujawab
kenai, kalian juga tanya ada hubungan apa antara Toh Po-sit
denganku kubilang sangat erat hubungannya. Pula sudah
kuberitahukan kepada kalian bahwa dia sudah pensiun dan
mengasingkan diri di suatu tempat, apakah semua itu belum
cukup jelas?"
"Kukira engkau pasti kenal kami, betul tidak?" tanya si mata
satu dengan sikap bermusuhan
"'Lok-lim-jit-coat, sudah lama kudengar julukan kalian," jawab
Po-sit "Kau tahu sahabat kalangan liok-lim yang terjungkal di
tanganmu berjumlah tidak sedikit'


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, sedikitnya sudah lebih 300 orang," ucap Po-sit tak acuh
Seketika si mata satu menarik muka, ucapnya dengan seram,
"Tentu kaupun tahu tidak sedikit sahabat jang ingin mencari
dan membikin perhitungan denganmu."
"Ya, kutahu."
"Dan aku ini termasuk satu di antaranya,' kata si mata satu.
"OoT?" Toh Po-sit tetap tak acuh
Seketika timbul nafsu membunuh pada air muka si mata satu
katanya. "Tentang alasanmu mengundurkan diri dan dunia
kangouw. apakah benar karena penyakit kakimu?"
"Bukan," jawab Po-sit sambil menggeleng.
'Habis, apa sebabnya?" tanya si mata satu.
Sebagai pejabat polisi, meski secara resmi dapat ku tumpas
kaum penjahat, tapi banyak pula urusan yang tidak dapat
kulakukan secara leluasa alasanku minta pensiun justru agar
aku dapat bekerja dengan bebas dan leluasa"
Si mata satu menjengek, "Hm, sungguh aku tidak mengerti,
mengapa kau selalu memusuhi sahabat lok-lim kami?"'
"Hanya karena minat saja." jawab Toh Po-sit
"Tapi minat demikian pada suatu hari pasti dapat membuat
jiwamu melayang,'' kata si mata satu sambil menyeringai.
"Untuk ini aku sendiri cukup maklum," kata Toh Po-sit
'Seorang panglima pun setiap saat
dapat gugur di garis depan, hal ini tidak pernah kupikirkan
lagi, umpama aku mati juga tidak rugi malahan sudah banyak
untung" "Ada seorang adik misanku mati di tanganmu beberapa tahun
yang lalu sejauh ini ingin kubikin perhitungan denganmu,
kemudian ku dengar kamu sudah mati. tak tersangka
sebenarnya kamu masih hidup, sungguh sangat kebetulan hari
ini dapat bertemu di sini denganmu tanpa susah payah kucari
" "He-he, boleh juga" ucap Toh Po-sit tak gentar
'Creng', serentak si mata satu melolos pedangnya, dengusnya,
"Hm, hari ini biar kubelajar
kenal denganmu!"
Habis berkata segera pedang bergerak dan bermaksud
menyerang. "Nanti dulu Loliok'" seru si tembong alias Sing It-hong
"Harus kita tanya dia sejelasnya sesungguhnya Liong It-hiong
dan Pang Bun-hiong itu apakah benar pernah datang
kemari"'"
"Tidak perlu tanya lagi," ujar si mata satu "Yang
dikatakannya pasti dusta."
"Haha. kamu salah, yang kukatakan justru sejujurnya," seru
Toh Po-sit denga tertawa.
'Kalau tidak percaya, silakan kalian melihatnya sendiri keluar,
itu dia, mereka sudah di situ."
Begitu selesai bicara serentak ia menggeser mundur keluar
halaman Ternyata di halaman memang betul sudah berdiri dua orang
pemuda, siapa lagi katau bukan Liong It-hiong dan Pang
Bun-hiong. Cepat si maia satu dan si tembong juga mengejar keluar,
melibat Bun-hing dan It-hiong berdiri di situ dengan senyum
dikulum, air muka mereka berubah seketika.
"Ayo maju kemari, jika kalian masih mau bergebrak, silakan di
sini saja lebih luas." Kata Toh Po sit tertawa.
Mendedak si tembong menarik ujung baju si mata satu.
desisnva dengan kuatir. "Wah, Loliok. kepalaku terasa agak
pusing'" Saat itu si mata satu sendiri juga meresa kepala pening,
dada sesak dan mual. kedua kaki terasa lemas pula, keruan
ia sangat terperanjat, serunya, "Wah, celaka, kita
keracunan, lekas lari"
Segera ia mendahului melompat ke luar halaman, tapi baru
saja ia meloncat ke atas, kontan ia jatuh terbanting di tanah
serupa burung yang kena pelinteng
Begitu pula si tembong mengalami nasib yang sama.
Air muka si mata satu berubah pucat pasi, sekuatnya ia coba
mengangkat tubuhnya dan meraung.
"Toh Po-sit, caramu ini terhitung ksatria macam apa" Huh.
ternyata kau juga suka bertindak secara rendah begini, pakai
racun segala!"
"Ini namanya senjata makan tuan" jawab Toh Po-sit dengan
tersenyum "Kalian kan bermaksud membunuh orang dengan
racun, maka aku pun menggunakan racun supaya kalian tahu
bagaimana rasanya "
"Lekas berikan obat penawarnya'' teriak si mata satu beringas
"Tidak ada obat penawar." jawab Toh Po-sit sambil
menggeleng Muka si mata satu pucat serupa mayat, kontan ia mencacimaki
"Dirodok, sesungguhnya apa kehendakmu". Lekas buka
kartu, apa syaratmu"'
"Aku tidak menghendaki lain. hanya minta jiwa kalian," jawab
Toh Po-sit ketus "Kejahatan kalian sudah kelewat takaran,
sudah tiba waktunya kalian mendapatkan ganjaran setimpal
" Cemas dan gugup si mata satu, teriaknya parau 'Kamu tidak
berhak menjatuhkan kematian kepada kami, jika kauanggap
kami pantas mati, harus kauserahkan kami kepada pihak
yang berwajib"
"Diserahkan pihak yang berwajib berarti ada kesempatan bagi
kalian untuk kabur, begitu bukan" jengek Toh Po-sit
Karena isi hatinya tepat tertebak, seketika si mata satu
bungkam Tui-beng-poan-koan mendengus. "Hm. tadi kan sudah
kukatakan, sebabnya aku pensiun adalah karena aku ingin
bekerja secara bebas dan leluasa.
Dahulu bilamana buronan kutangkap, karena terbatas oleh
ketentuan undang-undang sukar bagiku untuk menjatuhkan
hukuman mati bagi mereka, seringkah memberi kesempatan
kepada mereka untuk kabur. Sebab itulah sengaja kuminta
pensiun saja Sekarang kedudukanku adalah rakyat biasa.
aku dapat bertindak se sukaku tanpa terikat.
Si mata satu mulai merasakan perut melilit, ia tahu racun
mulai bekerja, ajalnya sudah dekat, tanpa teraba tubuh
bergemetar, ucapnya dengan terputus-putus, "Aku "kami
tidak ada permusuhan apa pun denganmu mengapa .. .
mengapa engkau memperlakukan kami sekeji ini?"
Pada waktu kalian melakukan kejahatan, apakah pernah
kalian pikirkan bahwa para korban itupun tidak pernah ada
permusuhan apa pun dengan kalian?" tanya Toh Po-sit
Kembali si mata satu tidak mampu menjawab
"Toh Po-sit," dengan memelas si tembong memohon, "harap
engkau suka membebaskan kami, seterusnya kami akan
kembali ke jalan yang benar, boleh?"
"Ya, mohon ampuni kami sekali saja, kami bersumpah akan
menjadi manusia baru," tukas si mata satu cepat
Tui-beng-poan-koan menggeleng kepala, tanpa bicara ia
melangkah keluar It-hiong dan Bun-hiong juga ikut keluar.
Mereka menuju ke depan rak bunga di ruangan depan, Tuibeug-
poan-koan mengangkat turun satu pot tanaman pohon
cemara kerdil, ia berjongkok dan merawat tanaman bougsai
itu. Agaknya dia tak mau lagi memikirkan si mata satu dan si
tembong yang sedang bergelut dengan elmaut.
"Apakah engkau benar-benar menghendaki mereka mati
keracunan'" tanya It-hiong
'Ehm,' Tui-beng-poau-koan mengangguk.
"Tidak kautanya mereka sedikit urusan lagi"' kata it-hiong
"Tanya apa?"
"Mereka tentu tahu apa isi kotak pusaka,bukankah engkau
pun ingin tahu"'
'"Tidak, setelah minta keterangan mereka, lalu menyaksikan
mereka mati begitu saja, kurasa terlampau tidak
berperikemanusiaan."
"Jika aku, rasanja lebih suka mengampuni jiwa mereka untuk
mendapatkan rahasia isi kotak." kata Bun-hiong tiba tiba
"Bagiku justru lebih suka kehilangan seratus buah kotak begitu
dan tetap akan menghukum mati mereka," tukas Tui-bengpoan-
koan 'Sebab apa?" tanya Bun-hiong
"Sebab aku kan Tui-beng poan-koan (jaksa penuntut nyawa),
barangsiapa yang pantas mampus pasti takkan kulepaskan dia
" "Selain itu apakah masih ada alasan lain?" tanya Bun-hiong.
"Sejak umur delapan aku sudah yatim piatu, sebabnya adalah
karena pada suatu hari rumahku kedatangan sekawanan
bandit. mereka membunuh ayah-bundaku dan saudaraku,
mereka merampok harta benda milik kami, kemudian aku
berguru dan belajar kungfu, aku bersumpah selama hidupnya
akan menumpas kawanan penjahat pada umumnya "
Ia menengadah, lain berkata pula dengan tersenyum, "Itulah
salah satu alasanku mengapa harus kuhukum mati mereka,
apakah alasanku ini tidak cukup kuat?"
Wajah Bun-hiong tidak ada senyum lagi, dengan khidmat ia
mengangguk "Kutahu,' kata Toh Po-sit pula dengan menghela napas.
"dengan menghukum mati mereka sesungguhnya aku
membantu si gembong iblis perencana intrik itu untuk
membasmi lawan-lawannya, tapi terpaksa aku tidak dapat
berpikir banyak lagi "
"Sesungguhnya siapakah si perencana intrik itu?" tanya Ithiong.
"Yaitu orang yang membuat kotak mi," kata Toh Po-sit.
"Menurut pendapatmu, selain berisi intrik, kotak itu tiada
berisi barang lain lagi?" tanya It-hiong
"Ya, hampir mutlak dapat dikatakan begitu," Toh Po-sit
mengangguk "Jika begitu, untuk apalagi kita mencari gembong iblis yang
misterius itu di Cap pek pan-nia?"
Tui-beng poan-koan tersenyum ."Tidak, harus kau pergi ke
sana, sebab perencana intrik itu sangat mungkin adalah dia
sendiri " Ia merandek sejenak, lalu berkata pula, "Nah sekarang boleh
kalian seret mayat mereka keluar dan ditanam"
It-hiong dan Bun-hiong menuju ke halaman, terlihat si mata
satu dan si tembong sudah kaku tak berkutik lagi, hidung,
mata, mulut dan telinga mereka keluar darah. Sedang Oh
Beng-ai tampak berdiri bingung di situ
'Mestinya jangan kau keluar.' kata li-uiong mendekati wanita
itu "Kedua orang iin mereka?" ucap Beng-ai dengan muka pucat
"Kau kenal mereka?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Cepat Beng-ai menggeleng. "Tidak kenal mereka. Maksudku,
mereka mati dengan sangat mengenaskan.
"Tidiak," ujar It-biong. "Cara mati mereka memang betul
menakutkan, tapi kematian mereka tidaklah mengenaskan.
Sebab selama hidup mereka telah membunuh orang tak
terhitung jumlahnya, kematian mereka adalah ganjaran yang
setimpal."
"Mengapa mereka bisa datang kemari'" tanya Beng-ai.
"Apalagi selain ingin mendapatkan kotak itu," tutur It-hiong.
Beng-ai menghela napas dan bergumam.
"Manusia mati karena harta, burung mati karena mencari
pangan, pameo ini memang tidak salah .
It-hiong mengangkat mayat si mata satu, katanya kepada
Bun-hiong. "Boleh kau angkat mayat satunya, ayo'"
Begitulah mereka mengangkat kedua mayat itu keluar
rumah, mereka mencari suatu tempat dan menggali sebuah
liang untuk menguburnya
Setiba kembali di rumah gubuk itu, Beng-ai sudah menyiapkan
santapan, mereka berempat lantas makan malam
"Setelah kotak itu ditemukan kembali, besok juga boleh kalian
membawanya ke Cap-pek-pan-nia," kata Tui-beng-poan-koan
Toh Po-sit sambil makan. "Esok juga aku akan pulang ke sana,
selanjutnya boleh kalian menemuiku di sana."
Habis bicara ia lantas hendak kembali ke kamar
"Eh, nanti dulu," kata It-hiong. Lantas bagaimana dengan
nona Oh?" "Biarkan dia tinggal saja di ini" ucap Toh Po-sit
"Kurasa kurang aman membiarkan dia tinggalan sendirian di
sini," ujar It-hiong. "Kenapa engkau tidak membawanya ke
sana sekalian?"
Toh Po-sit berpikir sejenak, katanya kemudian sambil
mengangguk, "Ehm, boleh juga kubawa dia ke sana, di sana
memang juga perlu seorang perempuan yang dapat
menanak nasi."
Habis berkata ia lantas kembali ke kamarnya.
Beng-ai tampak kurang senang, ia menggerundel terhadap Ithiong,
"Kenapa bukan engkau saja yang membawaku pergi"'
Kau minta kubawa dirimu ke Cap-pek-pan-nia "'' tanya Ithiong
'Ya,'" si nona mengangguk
"Ai, jangan bercanda." ujar It-hiong tertawa
Jika kamu mahir kungfu masih mendingan, tapi dirimu cuma
seoraug nona yang lemah dan tidak tahan sekali pukul"
"Aku tidak takut," jawab Beng-ai.
Namun It-hiong tetap menggeleng
Mulut si nona menjengkit, ia bersihkan meja makan, sesudah
mencuci mangkuk piring, ia kembali lagi ke ruangan dan
berkata. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar?"
"Baiklah," jawab It-hiong sambil berbangkit
Keduanya lantas meninggalkan Pang Bun hiong dan keluar,
mereka menyusur sebuah jalan setapak yang menuju ke
lereng gunung. Cuaca malam ini sangat Indah, cahaya bulan terang dan
lembut, angm meniup sepoi basah mengiringi bayang pohon
bergoyang pelahan, Mereka berjalan berendeng melintasi jalan
setapak tesebut serupa sepasang kekasih
Sekian lamanya mereka berjalan dengan diam kemudian Liong
It-hiong yang membuka suara lebih dulu, "Ada urusan apa
hendak kau bicarakan denganku?"
Beng-ai seperti tenggelam dalam lamunannya. selang sejenak
barulah menjawab. "Aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan"
"Jika kau rasa tidak ada sesuatu yang perlu dirahasiakan,
segala apa tentu dapat kau katakan" ujar It-hiong.
Si nona mendadak berheti dan menatapnya dengan tajam,
tanyanya kemudian dengan suara lirih, "Apakah ben . . .
benar engkau suka padaku?"


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'"Apakah kauminta kusumpah lagi?" tanya It-hiong dengan
tertawa. Beng-ai tertawa malu, ucapnya, "Soalnya aku selalu merasa
tidak setimpal menjadi istrimu
"Sebab apa?" lanya It-hiong
"Adu dua sebab," jawab Beng-ai "Pertama. aku kan
perempuan yang sudah" "
"Soal pertama tidak perlu kau pikirkan," potong lt-hiong
dengan tertawa "Kutahu engkau masih suci bersih, dan itu
sudah cukup. Katakan saja yang kedua"
Beng-ai ragu sejenak, lalu berkata. "Kedua asal-usulku tidak
bersih, sudah lama mestinya hendak kukatakan padumu
namun aku merasa takut dan"."
"Jangan takut katakan saja terus terarig."uiar lt-hiong
"Sesudah kukatakan, biaa jadi engkau akan terus melengos
dan tinggal pergi "
"Tidak, pasti tidak "
"Betul ?"
"Ya!"
"Aku".aku adik perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam'"
habis berkata demikian Beng-ai lantas menunduk.
It-hong sangat senang, pelahan ia angkat dagu Si
nona.diciumnya berulang bibir Beng-ai yang tipis itu
Muka si nona menjadi merah, malu dan girang, ia
membenamkan mukanya di dada anak
muda itu dan bertanya. 'Engkau tidak menvesal "*'
"Tidak, sama sekali tidak," jawab It-hiong mantap sambil
merangkulnya erat-erat
"Tentu sangat di luar dugaanmu. Bukan"'" tanya Beng-ai.
"Tidak, sudah lama kutahu kamu adik perempuan Oh Kiamlam.
selama ini sengaja kutunggu Kau bicara sendiri padaku."
"Oo. jadi engkau sudah tahu sebelum ini ?" terbelalak mata
Beng-ai "Ya," kata It-hiong
Beng-ai menjadi curiga, 'Hah, jadi kunjunganmu ke Liu-jun-ib
dulu memang sengaja hendak mendekati aku?"
"Kau bicara dengan terbalik" kata It-hiong tertawa "Kamu
yang sengaja mendekati aku. Waktu itu kamu berkomplot
dengan In-tiong-yan Pok Yang-thian dan muncul di kelenteng
itu dengan nama samaran Ni Beng-ai dan menipu kotak
pusakaku "
"Betul, sampai kulupa pada peristiwa tersebut," kata Beng-ai
dengan tertawa "Cuma apa yang kulakukan itu adalah karena
dipaksa oleh Pok Yang-thian. Dia kan saudara angkat kakakku
terpaksa harus kukerjakan baginya"
'Kautahu apa isi kotak itu?" tanya It-hiong
"Tidak tahu," jawab Beng-ai sambil menggeleng. "Berulang
pernah kutanya dia, namun dia tidak mau menjelaskan "
'Biar kuberitahukan padamu. Mereka yakin di dalam kotak itu
tersimpan shelai peta rahasia tinggalan kakakmu, yaitu peta
rahasia harta karun. maka terjadilah perebutan kotak itu
dengan saling membunuh."
"Oo ?" Beng-ai terkejut
"Apakah kau tahu kakakmu dibunuh oleh siapa?" tanya Ithiong
"Tidak tahu." Beng-ai menggeleng
"Konon kakakmu meninggalkan satu partai harta itu?"
"Aku tidak tahu. meski aku ini adiknya, tapi selamanya aku
tidak berani tanya urusannya," jawab si nona dengan
menggeleng pula.
"Sebab apa engkau sampai terjerumus ke rumah hiburan?"
tanya it-hiong "Kautahu, meskiki Bu-lim
Kisah Pendekar Bongkok 9 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Amanat Marga 12
^