Kilas Balik Merah Salju 5

Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 5


Hok mulai panik, "aku masuk kemari karena ada urusan
penting." "Aku hanya bertanya kepadamu, apakah
sekarang kau sudah masuk kemari?" Onglosiansing
tetap bertanya dengan nada yang
lembut dan penuh kasih sayang.
"Benar," biarpun dalam hati kecilnya Thio Hok
tidak puas, namun dia tak berani menyangkal.
"Apakah tadi aku menyuruh kau duduk dan
menemani aku minum arak?" kembali Onglosiansing
bertanya. "Ya, sudah."
"Apakah kau sudah duduk?"
"Belum."
"Kau telah menemani aku minum arak?"
"Tidak."
"Kau masih ingat, aku selalu berkata bahwa
apa yang kuucapkan adalah perintah?"
"Ya, aku masih ingat."
"Tentunya kau masih ingat bukan apa yang
bakal dialami mereka yang berusaha melawan
perintahku?"
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu,
Ong-losiansing sudah tidak memandang lagi
wajah jelek yang polos dan jujur itu, seolah dalam
ruangan itu sudah tak ada lagi manusia yang
bernama Thio Hok.
Paras muka Thio Hok saat ini telah berubah
pucat-pias seperti selembar kertas putih,
kepalannya digenggam kencang hingga otot hijau
merongkol, seolah ingin sekali mengayunkan
tinjunya menghajar batang hidung Onglosiansing.
Tentu saja ia tidak melakukan perbuatan itu,
dia tak berani.
Dia tak berani bukan lantaran dia takut mati,
dia tak berani karena sejak empat tahun
berselang dia telah berbini dan sekarang bininya
telah melahirkan seorang putra untuknya.
Seorang putra yang putih, gemuk dan
menyenangkan, bahkan pagi kemarin baru saja
belajar memanggil "ayah" kepadanya.
Thio Hok yang di saat usia senja baru
memperoleh keturunan, kini berdiri dengan
keringat dingin sebesar kedelai membasahi
jidatnya, dengan menggunakan sepasang
tangannya yang berotot dia cabut sebilah pisau
belati dari sakunya, mata pisau itu tipis tajam,
kemudian menghujamkan langsung ke
jantungnya. Bila peristiwa ini terjadi pada empat tahun
berselang, dia pasti akan menggunakan pisau
tajam itu untuk menusuk hulu hati Onglosiansing,
terlepas akan berhasil atau tidak,
paling tidak pasti akan dicobanya.
Tapi sekarang dia tak berani melakukan hal itu,
bahkan berpikir ke sana pun tak berani.
Putranya yang menarik, senyumannya yang
menawan, terutama sewaktu memanggil "ayah",
suaranya begitu merdu, lucu dan menarik hati.
Tiba-tiba Thio Hok menghujamkan pisau
belatinya, menusuk jantung sendiri, sewaktu
badannya roboh ke tanah, dalam pandangan
matanya seolah-olah muncul sebuah lukisan yang
sangat indah. Dia seolah melihat putranya telah tumbuh
dewasa, menjadi seorang pemuda yang sehat dan
kekar. Dia pun seolah-olah menyaksikan istrinya yang
meski tidak terlalu cantik namun lembut dan
penuh kasih sayang sedang memilih calon
pengantin bagi putranya.
Biarpun dia tahu gambaran yang disaksikan
sekarang hanya ilusi menjelang ajal, namun dia
amat yakin dan percaya bahwa di kemudian hari
semua ini pasti akan terwujud.
Karena dia percaya Ong-losiansing yang jujur
dan adil pasti akan merawat anak bininya dengan
sebaik-baiknya, dia pun percaya bahwa
kematiannya pasti akan mendapat imbalan yang
setimpal. Ong-losiansing masih menikmati arak anggur
dari cawan kristalnya dengan santai, jangankan
menolong, melirik sekejap ke arah anak buahnya
yang setia itu pun tidak, menanti cucuran darah
Thio Hok mulai membeku, baru dia berteriak
perlahan, "Go Thian!"
Lewat beberapa saat kemudian terdengar
seorang menyahut, "Go Thian siap."
Biarpun jawabannya tidak cepat, juga tidak
terhitung lambat, meski pintu ruangan berada
dalam keadaan terbuka, tapi dia sama sekali tidak
melangkah masuk.
Sebab dia memang bukan Thio Hok.
Dibanding Thio Hok, dia sangat berbeda, setiap
perkataan yang pernah diucapkan Ong-losiansing,
tak ada satu pun yang pernah dia lupakan, tak
sepatah kata pun yang dia lupakan.
Sebelum Ong-losiansing memerintahkan dia
untuk masuk, tak nanti dia memasuki ruangan
itu. Setiap orang beranggapan bahwa ilmu silatnya
tak mampu menandingi Thio Hok, dia pun tak
nampak lebih cerdas dari Thio Hok, bahkan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan apa pun dia
tidak lebih setia dan hangat ketimbang rekannya,
tapi dia percaya dan yakin, kehidupan dirinya
akan jauh lebih panjang dari kehidupan temannya
itu. Tahun ini Go Thian berusia empat puluh enam
tahun, bertubuh kurus kecil dan wajahnya sangat
biasa, jangankan ternama, punya nama dalam
dunia persilatan pun tidak, sebab dia memang tak
ingin mencari nama kosong, selama ini dia selalu
beranggapan nama besar hanya akan
mendatangkan kerepotan dan kemurungan.
Dalam hal ini pandangannya memang sangat
tepat. Dia tidak minum arak, tidak main judi, pola
hidupnya sangat sederhana, pakaian yang
dikenakan pun sederhana, tapi tabungannya di
rumah uang Su toa che cung sudah mencapai
angka lima puluh laksa tahil perak.
Hingga kini dia masih membujang, karena dia
selalu beranggapan tiap hari orang tentu makan
telur ayam, karena itu dia pun memelihara ayam
sendiri di rumahnya.
Tidak jelas apakah dalam hal ini pandangannya
bisa dibilang tepat"
Dengan tenang dia berdiri menanti di luar
pintu, hingga Ong-losiansing memberi perintah
barulah Go Thian memasuki rumah kristal itu, dia
berjalan tidak terlalu cepat tapi tak bisa dikatakan
terlalu lambat.
Menyaksikan cara Go Thian memasuki ruangan,
pandangan puas terlintas di balik mata Onglosiansing,
mimik mukanya pun nampak jauh
lebih lembut dan penuh kasih sayang.
Siapa pun itu orangnya, dia pasti akan merasa
sangat puas bila memiliki anak buah semacam ini.
Tentu saja Go Thian pun melihat jenazah Thio
Hok yang tergeletak di tanah, namun dia tidak
menyinggung, berlagak seolah-olah tidak melihat.
Ong-losiansing sendiri pun tak mungkin
mengungkit masalah itu, dia hanya bertanya,
"Tahukah kau Yap Kay telah tiba di Lhasa?"
"Aku tahu."
"Tahukah kau apa yang harus kita lakukan
sekarang?"
"Tidak."
Apa yang seharusnya dia ketahui, tentu Go
Thian tak mungkin tidak tahu, tapi apa yang tidak
seharusnya dia ketahui, tak nanti dia mau tahu.
Berada di hadapan tokoh macam Onglosiansing,
bukan saja ia tak boleh menampilkan
sikap kelewat bodoh, juga tak boleh menunjukkan
sikap yang terlalu pintar.
Orang pintar akhirnya bakal termakan oleh
kepintaran sendiri, teori itu dari dulu hingga
sekarang tak pernah berubah.
"Sekarang perlukah kita mengumpulkan semua
anggota untuk berkumpul di sini?" tanya Onglosiansing
lagi. "Tidak!"
"Kenapa?"
"Sebab Yap Kay masih belum mengetahui
rahasia kebun monyet," sahut Go Thian pasti,
"siapa tahu kedatangannya ke Lhasa hanya
bermaksud jalan-jalan, mungkin saja timbul rasa
ingin tahunya terhadap kebun monyet, tapi itu
pun hanya sebatas rasa ingin tahu. Bila kita
sampai melakukan perbuatan seperti ini, hal itu
seolah memberitahu kepadanya bahwa dalam
kebun monyet benar-benar terdapat rahasia
besar." Sekali lagi Ong-losiansing tersenyum, ujarnya,
"Bila kau sudah memahami persoalan itu,
seharusnya tahu juga apa yang harus kita
lakukan sekarang."
"Aku tidak tahu. Pernah terpikir olehku
berbagai cara, namun aku sendiri pun tidak tahu
apa yang harus kulakukan?"
"Hahaha, kelihatannya meski kau jauh lebih
pintar daripada Thio Hok, namun belum terhitung
pintar sekali," gelak tawa Ong-losiansing makin
nyaring. Dalam hal ini tentu saja Go Thian merasa
sependapat. Selama hidup dia memang tak
pernah ingin menjadi orang pintar, paling tidak
selewat usia tiga belas tahun ia tak pernah lagi
berpikir akan hal itu.
"Kemunculan Yap Kay yang tiba-tiba di kota
Lhasa pasti karena ingin menyelidiki apakah
antara kebun monyet dan Ban be tong terkait
hubungan khusus," ujar Ong-losiansing lagi, "dari
cerita So Ming-ming, dia pasti mendapat tahu
selama sepuluh tahun terakhir Pek Ih-ling pernah
tinggal dalam kebun monyet."
Go Thian hanya mendengarkan, sama sekali
tidak memberi komentar.
"Paras muka Pek Ih-ling mirip Be Hong-ling,
sementara para jago Ban be tong jelas sudah
mati semua sejak sepuluh tahun lalu, kenapa
sepuluh tahun kemudian mereka bisa muncul lagi
dalam keadaan hidup" Yap Kay pasti berharap
bisa mendapat jawaban atas semua persoalan itu,
karenanya asal terkait peristiwa itu, Yap Kay pasti
akan melacaknya hingga tuntas."
"Oleh sebab itu kita tak boleh membiarkan niat
dan keinginannya terkabul," sambung Go Thian.
"Betul, tapi kita pun tak bisa melepaskan
kesempatan baik ini begitu saja, cepat atau
lambat kita harus menyingkirkan Yap Kay dari
muka bumi."
"Bila kita ingin membunuhnya, kesempatan
bagus memang tak boleh dilewatkan."
"Benar, itulah sebabnya kita harus menciptakan
sebuah jebakan untuk siluman rase yang licik itu."
Dengan termangu Ong-losiansing mengawasi
kilauan cahaya yang terpantul dari cawannya,
lama kemudian tiba-tiba ia tertawa tergelak,
sesudah itu baru tanyanya kepada Go thian,
"Tahukah kau mengapa aku tertawa?"
"Tidak!"
"Tiba-tiba saja terpikir olehku, seandainya Yap
Kay kita ubah menjadi seekor monyet, kira-kira
monyet macam apa yang paling sesuai baginya?"
"Terlepas seberapa cerdas dan liciknya dia
semasa masih menjadi manusia, aku yakin
sesudah berubah jadi monyet, dia pasti akan
menjadi seekor monyet yang sangat penurut."
Kalau memang hidup sebagai manusia, mana
mungkin dapat berubah jadi monyet"
Kembali Ong-losiansing tertawa terbahakbahak.
Sesaat kemudian tanyanya, "Tahukah kau,
selama beberapa hari ini nomor enam dan nomor
dua puluh enam berada dimana?"
"Aku tahu."
"Dapatkah kau mencari mereka berdua sampai
ketemu?" "Dapat," Go Thian mengangguk, "dalam empat
jam kemungkinan aku sudah akan
menemukannya."
"Bagus sekali!" Ong-losiansing meneguk habis
isi cawannya, "bila mereka berdua telah
ditemukan, bawa mereka ke sarang dewi...."
Yang dimaksud Sarang dewi adalah rumah
tinggal So Ming-ming.
"Baik!"
"Apakah kau sudah tahu mau apa mereka ke


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana?" "Tidak tahu."
"Pergi membunuh Yap Kay," Ong-losiansing
menjelaskan, "aku minta mereka berdua pergi
membunuh Yap Kay."
Kemudian setelah berhenti sejenak,
perlahan-lahan tambahnya, "Tapi ada satu hal
harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali kau
biarkan mereka bertiga turun tangan pada saat
bersamaan."
Yap Kay memang bukan jagoan yang mudah
dihadapi, bila mereka bertiga turun tangan
bersama, tak disangkal kekuatannya pasti jauh
lebih besar daripada kekuatan satu orang,
kemungkinan berhasil pun lebih besar, tapi Onglosiansing
justru berpesan agar mereka bertiga
jangan sampai turun tangan bersama.
Kenapa dia tak ingin ketiga orang itu turun
tangan bersama"
Go Thian tidak bertanya, dia memang tak
pernah bertanya mengapa, mau seaneh apa pun
perintah yang diberikan Ong-losiansing, dia selalu
hanya menerima dengan patuh dan
melaksanakannya.
Di sebuah tempat yang amat rahasia, di dalam
sebuah ruang bawah tanah yang terbuat dari batu
kristal, terdapat sebuah lemari kristal yang hanya
bisa dibuka oleh Ong-losiansing, dalam lemari itu
terdapat sebuah kitab catatan.
Kitab catatan rahasia itu tak pernah dibaca oleh
siapa pun selain Ong-losiansing, sebuah kitab
yang sangat rahasia isinya.
Dalam kitab itu tercantum data lengkap dengan
nomor enam, nomor enam belas serta nomor dua
puluh enam. Nomor-nomor itu tentu saja bukan mengartikan
tiga buah angka, tapi melambangkan tiga
manusia. Tiga manusia yang pandai membunuh.
Mereka adalah pembunuh yang setiap saat
menanti perintah Ong-losiansing untuk
melakukan pembantaian, mereka hidup memang
tak lain untuk membantu Ong-losiansing
melakukan pembunuhan. Mereka masih bisa
hidup karena orang-orang itu masih sanggup
membantu Ong-losiansing melakukan
pembunuhan. Dalam kitab rahasia yang tak pernah
diumumkan secara terbuka itu, tercantum data
pribadi ketiga pembunuh itu.
Nomor dua puluh enam:
Nama: Lim Kong-ceng.
Jenis kelamin: laki-laki.
Usia: dua puluh dua tahun.
Kota asal: Hangciu propinsi Ci-kang.
Orang tua: ayah, Lim Yong dan ibu, Sun
Kong-siok. Jumlah saudara: tidak ada.
Anak istri: tidak ada.
Hanya data itu saja yang tercantum dalam
buku catatan rahasia mengenai si nomor dua
puluh enam. Setiap orang yang bekerja pada Ong-losiansing
selalu mempunyai catatan data sederhana seperti
itu. Tapi dalam kitab catatan lain yang sangat
dirahasiakan Ong-losiansing, data isian mengenai
si nomor dua puluh enam Lim Kong-ceng justru
sangat berbeda.
Dalam catatan rahasia inilah semua detil
mengenai manusia yang bernama Lim Kong-ceng
terdata secara rapi dan cermat.
Setiap orang memang selalu memiliki sisi
kehidupan yang lain, tidak terkecuali Lim Kongceng.
Dalam data catatan yang sangat detil itu
tertera: Nama: Lim Kong-c eng.
Jenis kelamin: Lelaki.
Umur: Dua puluh dua tahun.
Ayah: seorang juru masak pada Yong li piau
kiok. Ibu: ibu asuh pada Yong li piau kiok.
Itulah seluruh data mengenai Lim Kong-ceng,
meski tidak terlalu panjang lebar, namun sudah
lebih dari cukup, asal kau seorang yang cerdas
dan banyak pengalaman, tidak sulit bagimu untuk
mengorek lebih banyak rahasia lagi dari data
yang tersedia. Organisasi rahasia yang dipimpin Onglosiansing
selain amat besar juga sangat rahasia,
bukan pekerjaan mudah bila ingin bergabung ke
dalam organisasi ini, apalagi kalau sampai masuk
jajaran mereka yang memiliki kode angka
rahasia, dapat dipastikan mereka adalah jago
kelas wahid. Semenjak masih berusia enam belas tahun, Lim
Kong-ceng sudah menjadi seorang jagoan
tangguh, dengan mengandal sebilah pedang ia
pernah mengalahkan banyak jago yang oleh
orang dianggap mustahil dapat dikalahkan.
Putra seorang juru masak dan ibu pengasuh,
jelas seorang anak muda yang kenyang akan
kesengsaraan, orang macam ini biasanya mampu
melakukan pekerjaan yang tak bisa dilakukan
orang lain. Tapi sejak masuk menjadi anggota organisasi
rahasia pimpinan Ong-losiansing, dia telah
berubah menjadi seorang yang hanya memiliki
kode angka rahasia dan tidak memiliki identitas
lagi. Siapa pun tak ingin melepaskan nama serta
kedudukan yang berhasil diraihnya dengan
keringat, darah dan air mata begitu saja, Lim
Kong-ceng memilih jalan seperti ini pun karena
dia punya kesulitan yang tak mungkin dijelaskan.
Dia sudah banyak membunuh orang yang
seharusnya tak pantas dibunuh, telah banyak
melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya dia
lakukan, sebab selamanya dia tak pernah lupa
dirinya hanyalah putra seorang juru masak dan
ibu pengasuh. Justru karena dia tak pernah bisa melupakan
status asli dirinya yang begitu rendah dan
memalukan, maka dia pun melakukan banyak
perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan,
maka dia pun bergabung dengan organisasi
rahasia pimpinan Ong-losiansing.
Justru karena asal-usul Lim Kong-ceng yang
hina, maka mati-matian ia berusaha mencari
nama dan kedudukan. Dalam menghadapi
masalah apa pun dia selalu menonjolkan watak
pemberontak dan dalam pandangan orang lain dia
adalah pemuda berjiwa pemberontak.
Ilmu pedangnya sama seperti wataknya, penuh
dengan luapan emosi, temperamen dan penuh
sifat memberontak.
Latar belakang keluarga Tan Bun berbeda
dengan Lim Kong-ceng, peduli diambil dari data
buku mana pun, seharusnya Tan Bun termasuk
seorang yang sangat normal, asal-usul orang tua
maupun latar belakang pendidikannya bagus.
Nomor enam belas:
Nama: Tan Bun. Jenis kelamin: laki laki.
Usia: tiga puluh delapan tahun.
Kota asal: Shantung.
Ayah: Tan An. Ibu: Tan Lin-bi, sudah wafat.
Istri: Cu Siok-hun.
Anak: satu laki, satu perempuan.
Ayah Tan Bun adalah seorang Piausu serta
pedagang yang sukses di wilayah Shantung, dia
berusaha dari nol, tapi pada usia dua puluh
enam tahun telah berhasil mengumpulkan harta
senilai beberapa ratus laksa tahil perak.
Ibu Tan Bun sudah lama meninggal dunia,
ayahnya tak pernah mencari bini baru lagi bahkan
tak sekalipun mengendorkan pengawasan dan
pendidikan terhadap putranya.
Ketika Tan Bun berusia tujuh tahun, ayahnya
telah mengundang empat orang sastrawan
kenamaan, dua orang guru silat ternama dan
seorang jago Bu tong pay untuk memberikan
pendidikan ilmu silat padanya, ayahnya berharap
di kemudian hari dia bisa menjadi seorang Bun bu
coan cay. Tan Bun tidak mengecewakan harapan
ayahnya, sejak muda dia sudah hebat dalam
sastra maupun ilmu silat, apalagi dia pun
menguasai intisari ilmu pedang aliran Bu-tong
sehingga oleh umat persilatan dia dianggap
angkatan muda yang hebat dari Bu tong pay.
Istri Tan Bun pun berasal dari keluarga
persilatan kenamaan, selain cantik, juga lembut
dan berpendidikan tinggi, dia di persunting Tan
Bun sejak berusia lima belas tahun, karena itu
banyak orang yang mengaguminya sebagai
seorang pemuda yang penuh rezeki.
Sebagai seorang putra yang berbudi dan pintar,
entah mengapa di kemudian hari Tan Bun
meninggalkan semua yang dimilikinya untuk
bergabung ke dalam organisasi rahasia pimpinan
Ong-losiansing"
Tentu saja pernah ada orang mengajukan
pertanyaan ini kepada Tan Bun, tapi dia hanya
menanggapi dengan senyuman, hingga suatu saat
ketika ia mabuk berat akibat minum banyak arak
dengan ketiga orang temannya, dia pun
menjawab apa adanya, "Karena aku sudah tak
tahan!" Dengan kehidupan yang begitu berlimpah,
dengan pendidikan keluarga yang begitu disiplin
bahkan dengan kondisi kehidupan yang
berkecukupan, ada masalah apa yang
membuatnya tak tahan"
Ayahnya kelewat keras, kaum berada, punya
duit dan ternama, sejak Tan Bun berusia belasan
tahun ia sudah mengaturkan segala sesuatu bagi
putranya, membuat dia tak perlu memikirkan
kebutuhan di kemudian hari.
Sejak kecil dia pun sudah dilatih menjadi
seorang bocah yang disiplin dan tahu aturan, dia
pun tak pernah melakukan perbuatan yang dapat
membuat ayahnya kuatir.
Selama hidup dia seakan sudah ditakdirkan
menjadi seorang yang berhasil dan bahagia,
memiliki keluarga bahagia, memiliki pekerjaan
berhasil, punya nama punya kedudukan.
Banyak orang persilatan yang sirik kepadanya,
tapi banyak pula yang mengaguminya, tentu saja
orang yang benar-benar merasa kagum tidak
terlalu banyak.
Karena keberhasilan yang diperolehnya bukan
berkat perjuangan dan usaha sendiri, melainkan
diperoleh dari perjuangan ayahnya.
Justru karena dia mempunyai latar belakang
semacam ini maka timbul keinginannya untuk
melakukan beberapa pekerjaan heboh, agar
pandangan orang terhadap dirinya berubah.
Bila kau ingin melakukan satu pekerjaan besar
secara terburu-buru, seringkah kau akan salah
langkah. Tentu saja tidak terkecuali Tan Bun.
Mungkin saja dia bukan benar-benar ingin
melakukan perbuatan macam itu, tapi akhirnya
dia tetap melakukannya, sebab terpaksa dia
harus bergabung dengan organisasi pimpinan
Ong-losiansing.
Ilmu pedangnya persis orangnya, berasal dari
perguruan ternama dan jarang melakukan
kesalahan, tapi begitu timbul kesalahan, biasanya
susah untuk diatasi.
Sejak lima tahun berselang baru ia bergabung
dengan organisasi pimpinan Ong-losiansing,
setelah melampaui pelatihan ketat selama lima
tahun, sekarang dia makin jarang melakukan
kesalahan. Tak bisa disangkal Lim Kong-ceng dan Tan Bun
merupakan dua jenis manusia yang berbeda, tapi
mengapa mereka malah bergabung dalam
kelompok yang sama dan melakukan pekerjaan
yang sama"
Rasanya pertanyaan semacam ini susah untuk
dijawab, bisa jadi karena nasib.
Seringkah nasib membuat seorang mengalami
banyak pengalaman dan kejadian aneh, yang tak
bisa diduga sebelumnya oleh siapa pun.
Nasib pun sering menjerumuskan seseorang ke
dalam kondisi yang memilukan atau bahkan
menggelikan, yang membuat mereka tak punya
pilihan lain.

Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nasib pun sering mempertemukan pekerjaan
atau manusia yang semestinya tak bisa bertemu
satu dengan lainnya, membuat mereka mau tak
mau harus berpisah dengan orang-orang yang
semestinya tak mungkin terpisah.
Hanya saja manusia yang betul-betul
pemberani dan punya semangat besar tak bakal
takluk dan tunduk pada permainan nasib.
Mereka telah belajar bersabar dalam kesulitan
seperti apa pun, belajar menahan diri dari situasi
seburuk apa pun, asal muncul kesempatan,
mereka pasti akan tampil sambil membusungkan
dada, berjuang dan melawan terus sekuatnya.
Selama mereka belum mati, selama napas
mereka masih ada, mereka yakin suatu saat pasti
akan muncul kesempatan untuk angkat kepala.
Be Sa merupakan jenis manusia yang berbeda
lagi. Di wilayah Hokkian, keluarga Lim dan keluarga
Tan merupakan keluarga mayoritas.
Meskipun Tan Bun dan Lim Kong-ceng
menyandang nama marga mayoritas di wilayah
Hokkian, namun mereka berdua bukan berasal
dari Hokkian, justru Be Sa adalah orang Hokkian
asli. Di wilayah Hokkian, nama Be Sa adalah sebuah
nama yang amat biasa dan umum, di setiap kota,
dusun, kota kecil atau desa pasti ada orang yang
bernama Be Sa. Be Sa tumbuh dewasa di pesisir laut propinsi
Hokkian, tempat yang seringkah disatroni
perompak cebol dari Hu-sang, konon ketika
berusia enam belas, dengan sebilah golok
panjang pernah ia memenggal seratus tiga
puluhan batok kepala perompak cebol.
Be Sa sebetulnya bukan bermarga Be dan
bernama Sa, Be Sa adalah kata dari bahasa Husang.
Lalu dia dari marga apa dan siapa
namanya" Tak seorang pun yang tahu.
Kemudian para perompak berangsur lenyap,
maka Be Sa pun meninggalkan kampung
halamannya dan mulai berkelana dalam dunia
Kangouw. Namun selama luntang-lantung di dunia
Kangouw, hasil yang diperolehnya sangat tidak
memuaskan. Karena dia tak memiliki latar belakang
keluarga persilatan, bukan pula anak murid
jebolan perguruan besar atau kenamaan,
kemana pun dia pergi dan pekerjaan apa
pun yang dia lakukan, selalu mendapat
celaan dan cemoohan orang banyak.
Maka dari itu beberapa tahun kemudian
manusia yang bernama Be Sa pun lenyap dari
peredaran dunia persilatan, menyusul dalam
percaturan dunia yang kalut muncullah seorang
pembunuh bayaran yang dingin, keji, sadis dan
tanpa perasaan, walaupun dia bekerja sebagai
pembunuh, namun tidak menjadikan
pembunuhan sebagai suatu alat hiburan.
Dalam buku catatan rahasia Ong-losiansing, dia
memperoleh angka enam sebagai kode angka
rahasianya, hal ini membuktikan sejarah
bergabungnya dalam organisasi pembunuh
bayaran sudah lama sekali.
Nomor Enam: Nama: Tidak jelas.
Jenis kelamin: laki laki.
Usia: empat puluh empat tahun.
Kota asal: wilayah Hokkian.
Asal-usul: tidak jelas.
Setelah lewat usia dua puluh lima, Be Sa mulai
menggunakan pedang, waktu itu dia sudah tidak
tergolong muda lagi, sudah tak punya semangat
besar untuk belajar pedang, tentu saja dia pun
tidak memiliki guru pembimbing serta sistim
pendidikan sebagus Tan Bun, bahkan mungkin dia
sama sekali tidak menguasai intisari dan selukbeluk
ilmu pedang. Tapi dia kaya akan pengalaman.
Pengalamannya jauh melebihi Tan Bun dan Lim
Kong-ceng meski digabung sekalipun, bekas codet
dan luka bacokan yang menghiasi tubuhnya
bahkan jauh lebih banyak dibandingkan gabungan
kedua orang itu.
Menggunakan pengalamannya waktu sering
bertarung jarak dekat melawan kaum perampok
Hu-sang masa lalu, dia berhasil menciptakan
sejenis ilmu pedang yang hebat, gabungan ilmu
pedang Tionggoan dengan ilmu samurai negeri
Hu-sang (Jepang).
Biarpun ilmu pedangnya bukan termasuk indah,
perubahannya pun tidak terlalu banyak, namun
keganasan dan kehebatannya tak terkirakan.
Tak dapat disangkal, nomor enam, nomor enam
belas dan nomor dua puluh enam merupakan jago
tangguh di antara jagoan lain anak buah Onglosiansing.
Ketiga orang itu mewakili tiga jenis manusia
dengan watak dan jenis yang berbeda, ilmu silat
maupun ilmu pedang yang dimiliki mereka bertiga
pun sama sekali berbeda.
Ong-losiansing telah menurunkan perintah
kepada mereka bertiga untuk membunuh Yap
Kay, perintah telah diturunkan dan harus
dilaksanakan. Perintah yang diturunkan Ong-losiansing tak
pernah tak tepat sasaran.
Tapi anehnya, mengapa ia melarang mereka
bertiga turun tangan bersama" Padahal kalau tiga
orang turun tangan bersama, kemungkinan
berhasil jelas jauh lebih besar ketimbang turun
tangan sendiri-sendiri, sebenarnya apa maksud
dan tujuannya"
Tak seorang pun mengetahui maksud
tujuannya, tak seorang pun mengetahui
rencananya. Tak ada yang tahu, tak ada pula yang
bertanya. Bab 8. MEMBUNUH DAN DIBUNUH
Perintah yang diturunkan Ong-losiansing harus
dipatuhi, ditaati, dilarang banyak bertanya.
Bukan saja Go Thian tidak bertanya, Tan Bun,
Lim Kong-ceng maupun Be Sa pun tidak banyak
bertanya. Go Thian menggunakan waktu yang paling
singkat menemukan mereka, lalu menggunakan
kata yang paling sederhana menyampaikan
perintah Ong-losiansing.
"Lopan minta kalian pergi membunuh Yap
Kay," kata Go Thian, "tapi dia minta kalian
bertiga bekerja sendiri-sendiri." "Baik!" jawaban
mereka pun hanya sepatah kata.
Rencana yang digelar Ong-losiansing pun mulai
berlangsung, sementara di tempat lain rencana
balas dendam pun dipersiapkan.
Rumah keliningan di bawah pohon Siong di luar
kota Lhasa masih berdiri tegak di bawah cahaya
matahari, hanya saja keliningan yang selama ini
tergantung di bawah emper rumah, kini sudah tak
kelihatan lagi.
Bersama dengan hilangnya keliningan, si
Keliningan yang sering duduk bersandar pada
jendela pun kini sudah tidak nampak batang
hidungnya lagi.
Rumah makan swalayan yang menjadi ciri khas
rumah keliningan pun sudah tak ada.
Tak seorang pun tahu mengapa rumah
keliningan menghentikan usaha dagangnya, dan
tidak seorang pun tahu kemana perginya si
Keliningan yang sering menampilkan wajah sedih
dan murung itu.
Cahaya matahari menembus dedaunan
menyinari ruangan dalam rumah keliningan, Yap
Kay berdiri persis di bawah pohon Siong, berdiri
tenang sambil mengawasi rumah yang sepi.
Cuaca kota Lhasa pagi ini terasa amat nyaman,
meskipun matahari menyinari seluruh jagad
namun sama sekali tidak terasa panas yang
menyengat seperti di daerah pinggir perbatasan,
karena itulah walaupun angin berhembus lembut,
cukup membuat rambut Yap Kay beterbangan.
Bau harum bunga dan dedaunan yang
menyertai hembusan angin membuat suasana
bertambah segar, Yap Kay menarik napas
panjang, lalu selangkah demi selangkah
memasuki rumah keliningan yang kini ditinggal
tanpa penghuni.
Ia berjalan ke bangku yang seringkah diduduki
nyonya muda pemurung itu, mengawasi bangku
kosong dengan pandangan tajam.
Terasa di sekeliling bangku itu masih tersisa
bau harum bedak yang menempel di wajah
nyonya muda itu serta bau badan sang nyonya
yang lembut. Perlahan-lahan Yap Kay duduk dibangku itu,
menirukan gaya duduk sang nyonya muda sambil
memandang ke tempat jauh, kini baru dia
mengerti apa sebabnya si Keliningan memilih
posisi duduk di tempat itu.
Rupanya dari tempat itu dia dapat melihat
ujung jalan, dapat pula melihat pintu gerbang
kota Lhasa yang kuno dan kuat, asal ada orang
berjalan masuk ke dalam kota dan melewati
jalanan itu, dia dapat melihatnya dengan sangat
jelas. Kini Yap Kay menyaksikan ada empat orang
sedang berjalan dari ujung jalan sana menuju
kemari. Usia keempat orang itu berbeda, tapi mereka
adalah jago-jago yang pernah berlatih ilmu
meringankan tubuh dan ilmu pedang.
Selisih jarak mereka masih amat jauh, tentu
saja Yap Kay tak dapat mendengar suara langkah
kaki mereka, tapi dari cara mereka berjalan serta
debu yang ditimbulkan langkah kaki orang-orang
itu, dia yakin keempat orang ini memiliki ilmu
silat cukup tangguh.
Yap Kay pun dapat melihat kedatangan
keempat orang itu bukan untuk bersantap di
warung keliningan, dengan muka serius keempat
orang itu berjalan mendekat.
Seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh
dan ilmu pedang yang tangguh biasanya tak akan
menempuh perjalanannya dengan langkah begitu
serius, biasanya mereka hanya akan melangkah
serius bila mempunyai tujuan, ketika mereka
sedang bersiap membunuh orang.
Siapa yang akan mereka bunuh" Apakah si
Keliningan"
Tentu saja kemungkinan seperti ini tetap ada,
namun Yap Kay tahu, pasti bukan, bukan
dikarenakan si Keliningan tidak berada di situ,
tapi berdasarkan indra keenam yang dimiliki Yap
Kay selama ini, dia percaya kedatangan keempat
orang itu berniat membunuh dirinya.
Kalau sudah tahu kedatangan mereka
bertujuan membunuhnya, sepantasnya Yap Kay
segera bangkit, tapi ia tak bergerak, masih duduk
dengan gaya yang santai mengawasi tempat
kejauhan tanpa berkedip.
Yap Kay tidak bergerak bukan lantaran dia
yakin mampu menghadapi keempat orang itu,
tapi dia ingin tahu mengapa keempat orang itu
hendak membunuhnya"
Kedatangannya ke kota Lhasa tak diketahui
siapa pun, malah Pho Ang-soat pun tidak tahu,
mengapa baru hari kedua kedatangannya sudah
muncul orang yang ingin membunuhnya"
Siapakah keempat orang itu"
Apakah mereka ada sangkut-pautnya dengan
kebun monyet yang menjadi target penyelidikan
Yap Kay di kota Lhasa" Atau mereka justru orangorang
yang dikirim Ban be tong"
Kedatangan Yap Kay di kota Lhasa adalah
karena peristiwa di Ban be tong tempo hari, Pek
Ih-ling yang berwajah mirip Be Hong-ling pernah
berkata kepadanya bahwa selama sepuluh tahun
terakhir dia selalu tinggal bersama seseorang
yang bernama Ong-losiansing.
Sedang So Ming-ming pun mengatakan pemilik
kebun monyet di luar kota Lhasa bernama Onglosiansing,
mungkinkah Ong-losiansing yang
disebut kedua orang itu merupakan Onglosiansing
yang sama"
Karena tujuan pelacakan itulah Yap Kay datang
ke kota Lhasa, siapa tahu baru dua hari
kedatangannya, kini sudah muncul orang yang
ingin membunuhnya.
Tak dapat disangkal lagi, langkah Yap Kay


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangi kota Lhasa memang merupakan
langkah yang tepat, terlepas kedatangan keempat
orang itu atas perintah kebun monyet atau
perintah Ban be tong untuk mengintilnya, langkah
yang diambil Yap Kay jelas telah menginjak ekor
mereka. Biarpun jalanan itu amat panjang, biarpun
keempat orang itu berjalan dengan langkah
serius, akhirnya dengan cepat mereka telah
mendekati warung keliningan.
Bila keempat orang itu melancarkan serangan
bersama ke arah Yap Kay, apakah dia sanggup
menghadapinya" Dalam hal ini Yap Kay sama
sekali tak yakin.
Ternyata kejadian di luar dugaan, keempat
orang itu tidak berjalan langsung ke hadapan Yap
Kay, mereka menuju ke bawah pohon Siong dan
berhenti di situ, kemudian salah seorang di
antaranya, seorang yang masih sangat muda tapi
tampan, seorang diri berjalan mendekat i Yap
Kay. Kini Yap Kay dapat mendengar suara langkah
kaki serta dengusan napasnya, pemuda
tampan yang menghampirinya seorang
diri itu memiliki dengus napas sangat memburu,
paras mukanya pun kelihatan hijau membesi. Yap
Kay tahu pemuda itu pastilah seorang
temperamen yang gampang meluap emosinya.
Biarpun gerak-geriknya cukup tangguh,
membunuh orang pun pasti bukan untuk pertama
kalinya, tapi sayang ia kelewat temperamen,
kelewat mudah naik darah.
Yap Kay masih duduk dengan tenang di luar
warung keliningan, duduk di muka jendela sambil
mengawasi orang itu tanpa bicara. Dia pun
mendengar orang itu berkata, "Aku datang untuk
membunuhmu, seharusnya kau pun tahu
kedatanganku untuk membunuhmu."
"Aku tahu," jawab Yap Kay sambil tertawa.
"Aku bernama Lim Kong-ceng," dengan
sepasang matanya yang tajam penuh dengan
jalur darah, pemuda itu melotot ke arah Yap Kay,
"Kenapa kau masih belum juga keluar?"
Sekali lagi Yap Kay tertawa.
"Bukankah kau yang ingin membunuhku dan
bukan aku yang ingin membunuhmu, kenapa aku
harus keluar?" balik tanyanya.
Lim Kong-ceng tak bicara lagi, dengus
napasnya makin memburu, ia sudah siap melolos
pedangnya, bersiap menerjang ke muka.
Baru saja dia melolos pedang, mendadak
terlihat sebuah kepalan yang tampak lembut,
ringan tapi sangat cepat menghajar wajahnya.
Cepat dia mundur, menghindar, lalu balas
melancarkan serangan, gerakannya tidak
terhitung lambat, di antara kilatan cahaya pedang
tahu-tahu tusukannya sudah mengarah
tenggorokan Yap Kay.
Di saat ujung pedangnya tinggal satu inci dari
tenggorokan Yap Kay, kepalan Yap Kay tahu-tahu
sudah menghajar wajahnya lebih dulu, kemudian
dia pun mendengar suara tulang sendiri yang
terhajar remuk dan tubuhnya mencelat ke
belakang, roboh terjungkal jauh dari arena,
terkapar di bawah sinar matahari.
Karena kau ingin membunuhku, mau tak mau
terpaksa aku pun harus membunuhmu.
Teori itu diketahui setiap orang, Yap Kay pun
tahu, sesungguhnya dia bukan termasuk orang
semacam ini, lalu mengapa sekarang dia
melakukannya"
Karena dia harus bertindak begitu, bila tidak,
andai ketiga orang yang berdiri di bawah pohon
Siong turun tangan bersama, maka dialah yang
bakal mati. Sewaktu tubuh Lim Kong-ceng roboh ke tanah,
detak jantungnya belum lagi berhenti, akhirnya
dia mengerti akan satu hal.
Ternyata menjadi seorang yang biasa dan
umum bukanlah satu kejadian yang
menyedihkan, apalagi memalukan.
Seseorang yang seharusnya merupakan orang
biasa tapi memaksa diri melakukan perbuatan
yang tidak seharusnya dilakukan, itulah baru
patut disebut manusia yang paling mengenaskan.
Sebetulnya dia tak seharusnya membunuh
orang karena dia memang bukan orang yang
cocok menjadi pembunuh, dia hanya kelewat
temperamen, kelewat memburu napsu dan emosi.
Menjadi putra seorang juru masak dan ibu
pengasuh sudah seharusnya menerima kehidupan
yang sederhana dan bersahaja, dengan begitu
mungkin dia masih bisa hidup lebih lama dengan
aman dan gembira, siapa tahu bisa hidup bahagia
pula dengan generasi berikutnya.
Angin masih berhembus sepoi.
Dedaunan yang tumbuh di pohon Siong ikut
bergoyang, beberapa di antaranya berguguran
dan melayang ke bawah, melayang di tengah
ketiga orang yang masih berdiri di bawah pohon.
Mereka pernah berada bersama Lim Kong-ceng,
namun kematian yang menimpa Lim Kong-ceng
seolah sama sekali tak ada hubungan dengan
orang-orang itu.
Sorot mata mereka sedang mengawasi Yap
Kay, tentu saja setiap gerakan yang dilakukan
Yap Kay waktu memukul mati Lim Kong-ceng tak
lepas dari pengamatan mereka, namun tidak
seorang pun yang bergerak atau melakukan
sesuatu tindakan.
Yap Kay masih duduk di sana, masih
menggeliat dengan kemalas-malasan.
Sampai lama kemudian satu di antara ketiga
orang yang berdiri di bawah pohon baru bergerak
maju. Cara berjalan orang ini sangat aneh, tentu saja
dia pun datang untuk membunuh Yap Kay, tapi
caranya berjalan justru santun sekali, bagaikan
seorang murid yang datang menjumpai gurunya,
bukan saja sopan-santun dan terpelajar, malah
nampak sedikit takut-takut.
Sekali pandang Yap Kay tahu orang ini pernah
memperoleh pendidikan tinggi, bahkan sejak kecil
sudah dibelenggu oleh peraturan yang ketat.
Orang macam ini justru adalah orang yang
paling menakutkan.
Biarpun langkahnya mantap namun
memancarkan kewaspadaan yang tinggi, setiap
saat dia selalu mempertahankan sikap seorang
pejuang yang siap tempur, sama sekali tidak
memberi peluang orang untuk memanfaatkan
setiap kesempatan.
Biarpun lengannya dibiarkan mengendor,
namun telapak tangan diletakkan dekat gagang
pedang, sementara matanya mengawasi terus
tangan Yap Kay yang diletakkan di pagar dekat
jendela. Dalam pandangan orang banyak, jika dalam
pertarungan antara dua jago tangguh bila seorang
hanya mengawasi terus tangan lawan, maka
tindakan itu merupakan tindakan yang bodoh.
Karena semua orang berpendapat tak mungkin
kau bisa menemukan sesuatu hanya dari
tangannya saja.
Bagian tubuh yang seharusnya diperhatikan
adalah sorot mata lawan, sementara ada sebagian
orang menganggap perubahan mimik wajah
lawanlah yang harus diperhatikan.
Padahal pandangan orang-orang itu tidak
seratus persen tepat, karena mereka telah
melupakan beberapa hal.
Untuk membunuh memang dibutuhkan tangan.
Tangan pun punya penampilan, terkadang
banyak membocorkan rahasia penting.
Ada banyak manusia yang dapat menyimpan
begitu rapi perasaan serta rahasia pribadinya,
bahkan dapat mengubah diri seperti sebiji buah
yang keras, membuat siapa pun tak bisa melihat
rahasia pribadi yang tak ingin diketahui orang lain
dari perubahan wajah serta sorot matanya. Tapi
tangan sama sekali berbeda.
Bila kau melihat otot hijau merongkol di
tangan, ketika kau lihat nadi darahnya mulai
mengembang kencang, segera akan kau ketahui
perasaan hatinya waktu itu pasti sangat tegang.
Bila kau melihat tangan sedang gemetar,
segera dapat diketahui orang itu selain tegang,
dia pun merasa takut, ngeri, gusar atau emosi
yang meluap. Semua itu tak mungkin bisa kau simpan atau
tutupi, karena hal ini merupakan reaksi alami,
reaksi kejiwaan.
Oleh sebab itulah bila kau benar-benar seorang
jago tangguh; maka di saat menghadapi duel
yang menentukan, tangan lawanlah yang penting
kau perhatikan.
Tak disangkal orang ini memang jago tangguh
yang matang pengalaman dan sudah beratus kali
menghadapi pertempuran, bukan hanya
tindakannya yang tepat, pandangan serta
analisanya pun amat tepat.
Yap Kay balas menatap, tapi ia tidak
memperhatikan tangannya, sebab dia tahu orang
macam ini mustahil akan melancarkan serangan
lebih dulu. "Kau kenal aku?" tegur Yap Kay kemudian.
"Kau bernama Yap Kay!" sahut orang itu
singkat. "Memangnya kita punya dendam?"
"Tak ada."
"Mengapa kau ingin membunuhku?"
Jelas satu pertanyaan yang tak gampang
dijawab, biasanya orang membunuh tak perlu
disertai berbagai alasan yang jelas.
Yap Kay pun tahu pertanyaan itu sulit untuk
dijawab, tapi dia sengaja mengajukan pertanyaan
ini, agar ia mempunyai cukup waktu untuk lebih
memahami karakter dan kelebihan orang itu.
Tampaknya orang itu pun mempunyai pikiran
yang sama, maka sahutnya, "Aku harus
membunuhmu karena kau bernama Yap Kay,
cukup bukan alasanku ini?"
Baru selesai dia berkata, Yap Kay telah turun
tangan lebih dulu.
Yap Kay turun tangan lebih dulu karena dia
tahu tak mungkin orang itu mau melancarkan
serangan lebih dulu.
Rekannya telah memberi sebuah pelajaran
yang sangat bagus, dia pun ingin belajar dari Yap
Kay, dengan tenang menunggu gerakan.
Sayang dia tetap salah perhitungan, begitu
bergerak ternyata Yap Kay menyerang dengan
sangat cepat, jauh lebih cepat dari apa yang dia
bayangkan sebelumnya.
Ketika menyaksikan kepalan Yap Kay
dilontarkan ke wajahnya, ia tertawa dingin,
tangannya diputar siap menangkis datangnya
ancaman itu, siapa sangka jotosan Yap Kay
mendadak berubah, kali ini mengarah langsung
ke hulu hatinya.
Tahu-tahu orang itu merasakan tulang iga di
dada kirinya sudah patah beberapa bagian,
bahkan tulang iga yang patah itu menancap di j
antungnya. Hingga detik terakhir menjelang ajal, dia masih
tak habis mengerti kenapa pukulan Yap Kay
secara tiba-tiba bisa berubah mengarah dadanya.
Jurus itu mati, manusianya yang hidup. Satu
pukulan yang sama kadangkala bisa
menghasilkan akibat yang berbeda.
Dari bawah pohon Siong terdengar ada orang
menghela napas, mirip juga suara tepukan
tangan, dipenuhi rasa kagum dan memuji.
Kalau kedatangannya berniat membunuh,
mengapa pula harus menghela napas dengan
nada pujian"
"Tentunya kalian pun datang untuk
membunuhku bukan?" ujar Yap Kay sambil
mengawasi kedua orang tersisa yang masih
berdiri di bawah pohon, "kenapa bukannya turun
tangan bersama saja!"
Satu orang masih berdiri tanpa bergerak,
sementara seorang yang lain perlahan-lahan
berjalan maju. Dia berjalan jauh lebih lambat daripada orang
yang baru saja mati ditinju Yap Kay.
Dengan mata tajam Yap Kay mengawasi orang
itu, mengamati setiap gerak-geriknya,
mengawasi matanya yang tajam dan berkilat.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari akan sesuatu,


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang baru ia sadar dugaannya keliru besar,
orang ini tak bermaksud membunuhnya, justru
orang yang satulah kekuatan utama penyerangan
ini. Orang itu tak tebih hanya ingin memindahkan
perhatian Yap Kay ke arah lain, dia tak
berpedang, tidak pula berhawa membunuh.
Bagaimana dengan orang yang lain"
Di saat Yap Kay sedang mengawasi orang yang
mendekati dirinya itulah tiba-tiba orang yang
satunya lenyap.
Mustahil seorang yang terdiri dari darah dan
daging bisa lenyap secara tiba-tiba, hanya saja
siapa pun tak tahu kemana dia telah pergi.
Dalam waktu singkat orang ketiga telah
berjalan tiba di luar jendela dimana Yap
Kay berada, lalu berdiri di situ
dengan santainya, dia berdiri dengan sikap
seorang penonton yang baik, berdiri
mengawasi reaksi Yap Kay. Sepasang matanya
yang jeli bahkan terselip senyuman yang sangat
tipis. Biarpun orang ini datang kemari bersama
ketiga orang rekan lainnya, namun sikapnya
seakan sama sekali tak peduli dengan mati hidup
orang-orang itu, seolah kedatangannya khusus
untuk menonton dengan cara apa Yap Kay
menghadapi mereka.
Tentu saja dia bukan sahabat Yap Kay, juga tak
mirip musuh besarnya, sikapnya begitu aneh dan
kabur, sekabur baju warna abu-abu yang dia
kenakan. Sikap Yap Kay sendiri pun sangat aneh, dia
hanya mengawasi orang berbaju abu-abu yang
berdiri di muka jendela, terhadap orang yang
kemungkinan besar musuh tangguh dan
menakutkan, terhadap orang yang tiba-tiba
lenyap dari situ, ia justru bersikap acuh, sama
sekali tidak minat memperhatikan.
Sambil manggut-manggut ke arah orang
berbaju abu-abu itu dia melempar sekulum
senyuman, ternyata orang itu balas tertawa,
malah menyapanya, "Baik-baikkah kau?"
"Aku tidak baik," Yap Kay sengaja menghela
napas, "padahal aku sedang duduk santai di sini
sambil menikmati pemandangan alam, tapi tanpa
sebab ada orang ingin membunuhku, bagaimana
mungkin bisa baik?"
Orang berbaju abu-abu ikut menghela napas,
seakan bukan saja menyatakan sependapat
bahkan memperlihatkan rasa simpatiknya.
"Jika aku sedang duduk santai sambil
menikmati pemandangan alam, tiba-tiba datang
tiga orang yang hendak membunuhku, jelas aku
pun akan merasa sial sekali."
"Tiga orang" Hanya tiga orang yang ingin
membunuhku?" tanya Yap Kay.
"Benar, hanya tiga orang."
"Bagaimana denganmu" Bukankah kau pun
datang khusus untuk membunuhku?"
"Seharusnya kau pun dapat melihat sendiri, aku
bukan datang untuk membunuh," kembali orang
berbaju abu-abu itu tertawa, "di antara kita
berdua tak ada dendam atau permusuhan, buat
apa harus membunuhmu?"
"Mereka pun tak punya permusuhan dan
dendam denganku, mengapa pula datang
hendak membunuhku?" tanya Yap Kay lagi.
"Karena mereka sedang menjalankan perintah."
"Perintah siapa" Be Khong-cun" Atau pemilik
kebun monyet Ong-losiansing?"
Menggunakan senyuman orang berbaju abuabu
itu menjawab pertanyaan Yap Kay.
"Terlepas atas perintah siapa, yang jelas
mereka bertiga saat ini sudah ada dua orang yang
tewas termakan tinjumu."
"Bagaimana dengan orang ketiga?"
"Tentu saja orang ketiga adalah orang yang
paling menakutkan," kata orang berbaju abu-abu
itu, "jauh lebih menakutkan dari gabungan dua
orang yang pertama."
"Oya?"
"Orang pertama yang berusaha membunuhmu
itu bernama Lim Kong-ceng, orang kedua
bernama Tan Bun," orang itu menerangkan,
"sebetulnya ilmu pedang mereka termasuk
tangguh, pengalamannya membunuh pun sangat
luas dan matang, benar-benar tak kusangka
sebelum mereka sempat menggunakan jurus
serangannya, kau telah mencabut nyawa mereka
terlebih dulu."
Yap Kay tersenyum, tertawa penuh gembira.
"Tapi orang ketiga sama sekali berbeda,"
kembali orang, berbaju abu-abu itu
menambahkan. "Oya?"
"Orang ketiga inilah baru pembunuh
sebenarnya, ia benar-benar mengerti
bagaimana cara membunuh manusia."
"Oya?"
"Dua orang yang pertama bisa mati di
tanganmu lantaran mereka tak bisa menilai
lawan, tak bisa pula menilai kemampuan sendiri,
bukan saja dia terlalu menilai tinggi kemampuan
sendiri bahkan kelewat memandang enteng
kemampuanmu."
Pantangan paling besar bagi orang persilatan
adalah memandang enteng kemampuan lawan,
siapa yang berani melanggar, dia bakal mati.
"Berbeda dengan orang ketiga, bukan saja dia
sangat mengenal asal-usul keluargamu, dia pun
sangat memahami pengalaman serta kemampuan
silatmu, sebab sebelum sampai di sini, dia telah
melakukan penyelidikan dan pelacakan yang
seksama, bahkan sewaktu kau turun tangan
membunuh orang tadi, ia pun telah menyaksikan
semua gerak-gerikmu dengan sangat jelas."
Yap Kay tidak membantah, dia harus mengakui
hal ini. "Tapi bagaimana dengan kau sendiri?" kembali
orang itu bertanya, "seberapa banyak yang kau
ketahui tentang orang itu?"
"Sama sekali tidak tahu."
"Nah, itulah dia, dalam hal ini saja kau sudah
berada di bawah angin," orang itu kembali
menghela napas.
Kembali Yap Kay harus mengakui hal ini.
"Tahukah kau, kini dia berada dimana?" tanya
orang itu lagi, "apakah kau sudah melihatnya?"
"Belum, aku belum melihatnya. Barangkali
aku bisa menebaknya."
"Benarkah?"
"Dia pasti berada di belakangku, di saat aku
sedang mencurahkan perhatian mengamati dirimu
tadi, ia telah berputar menuju ke belakang
rumah." "Tebakanmu tepat sekali," perasaan kagum dan
memuji kembali terpancar dari balik matanya.
"Siapa tahu saat ini dia sudah berdiri di
belakangku, siapa tahu jaraknya denganku sudah
sangat dekat, malah bisa jadi dengan sekali
gerakan tangan ia sudah dapat membunuhku."
"Karenanya kau tak berani berpaling?"
"Ai, sejujurnya aku memang tak berani
berpaling," kata Yap Kay sambil menghela napas,
"karena begitu aku berpaling, maka di salah satu
bagian tubuhku pasti akan muncul titik
kelemahan, berarti dia punya kesempatan untuk
membunuhku."
"Kau tak ingin memberinya peluang?"
"Maaf, sama sekali tak ingin."
"Sayangnya, biar kau tidak berpaling pun dia
tetap mempunyai kesempatan untuk
membunuhmu," ujar orang itu, "membunuh orang
dari belakang punggung rasanya jauh lebih
gampang daripada saling berhadapan."
"Biar sedikit lebih gampang, bukan
berarti hal ini bisa dilakukan dengan sangat
gampang." "Kenapa?"
"Karena aku bukan orang mati, aku masih
memiliki telinga untuk mendengar."
"Apakah kau ingin mendengar desiran angin
saat dia melancarkan serangan?"
"Benar."
"Bagaimana kalau dia menyerang dengan
gerakan sangat lamban, sama sekali tak
menimbulkan suara desiran angin?"
"Selambat apa pun, aku tetap dapat merasakan
desiran angin pukulannya," Yap Kay menjelaskan
dengan hambar, "sudah belasan tahun aku
berkelana dalam dunia persilatan, kalau
merasakan saja tak sanggup, mana mungkin aku
masih hidup hingga kini?"
"Ehm, masuk akal juga."
"Oleh karena itu bila dia ingin turun tangan
membunuhku, lebih baik pertimbangkan dahulu
akibatnya."
"Akibatnya" Apa akibatnya?"
"Dia menginginkan nyawaku, aku pun
menginginkan nyawanya," suara Yap Kay tetap
terdengar hambar dan datar, "sekalipun dia dapat
membunuhku di ujung pedangnya, jangan harap
dia bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan
hidup." Lama sekali orang berbaju abu-abu itu
mengamatinya, kemudian baru tanyanya
perlahan, "Kau benar-benar yakin?"
"Benar, bukan saja aku percaya akan
keyakinan itu, mungkin dia pun
mempercayainya."
"Kenapa?"
"Kalau dia tidak menganggap aku punya
keyakinan akan hal ini, kenapa hingga sekarang
belum juga turun tangan?"
"Siapa tahu dia masih menunggu, menunggu
hingga kesempatan yang lebih baik tiba."
"Dia tak akan berhasil."
"Kalau begitu tidak seharusnya kau
mengajakku berbicara."
"Kenapa?"
"Siapa pun orangnya, sewaktu sedang bicara,
perhatiannya pasti akan terpecah, saat itulah dia
akan memperoleh kesempatan emas."
Yap Kay tersenyum, tiba-tiba tanyanya,
"Tahukah kau peristiwa apa saja yang barusan
berlangsung di sekitar tempat ini?"
"Tidak."
"Tapi aku tahu. Ketika kau sedang berjalan
menuju kemari tadi, ada seekor bajing menyusup
keluar dari lubangnya di atas pohon Siong hingga
menggetarkan enam lembar daun, di antaranya
ada dua lembar daun yang rontok ke bawah. Di
saat kita mulai berbicara tadi, dari semak sisi kiri
ada seekor ular sawah sedang menelan seekor
tikus, lalu ada seekor musang lari menyeberang
di jalanan sebelah depan dan sepasang suami istri
yang tinggal di belakang kita baru selesai
bertengkar."
Semakin mendengar, orang itu semakin
terperanjat, dengan nada kaget bercampur tak
percaya serunya, "Benarkah semua yang kau
katakan itu?"
"Tentu saja sungguh. Tak ada suara atau
gerakan dalam radius dua puluh depa yang bisa
lolos dari pendengaranku."
Orang berbaju abu-abu menghela napas
panjang. "Untung saja kedatanganku bukan bermaksud
membunuhmu," katanya tertawa getir, "kalau
tidak, mungkin saat ini aku pun sudah mampus
oleh tinjumu."
Yap Kay tidak menyangkal.
Kembali orang itu bertanya, "Jika telah kau
ketahui kedatangannya hendak membunuhmu,
sudah tahu ia berada di belakangmu, kenapa kau
tidak berusaha membunuhnya lebih dahulu?"
"Karena aku tak terburu-buru, yang terburuburu
justru dia," Yap Kay tertawa lebar, "kan dia
yang ingin membunuhku, bukan aku yang ingin
membunuhnya, tentu saja aku lebih mampu
menahan diri."
"Sungguh mengagumkan," kembali orang itu
menghela napas, "kalau bukan bertemu dalam
situasi seperti ini, aku betul-betul berharap bisa
berkenalan dengan seorang sahabat macam
dirimu." "Sekarang mengapa kita tidak dapat
berteman?"
"Karena aku datang serombongan dengan
mereka, sedikit banyak kau pasti akan waswas


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadapku."
"Pandanganmu keliru besar!" tukas Yap Kay
cepat, "kalau aku tak bisa menebak niat hatimu,
buat apa mesti melayani kau berbincang?"
"Jadi sekarang aku masih dapat bersahabat
denganmu?" tanya orang berbaju abu-abu
tercengang. "Kenapa tidak boleh?"
"Tapi kau sama sekali tak tahu manusia macam
apakah diriku ini, bahkan kau tak tahu siapa
namaku?" "Dapatkah kau memberitahukan kepadaku?"
"Tentu saja dapat," orang berbaju abuabu
tertawa, tertawa sangat riang, "aku
bernama Be Sa."
"Be Sa!"
Tentu saja nama itu tak bakal memancing rasa
curiga maupun rasa tercengang Yap Kay, di
antara sekian banyak teman Yap Kay bahkan ada
di antaranya yang mempunyai nama jauh lebih
aneh daripada nama orang ini.
"Aku bernama Yap Kay, yap berarti daun dan
kay berarti terbuka."
"Aku tahu, sudah cukup lama kudengar nama
besarmu." Perlahan-lahan dia maju selangkah, dalam
genggamannya masih belum nampak pedang,
dari sekujur badannya juga sama sekali tidak
memancarkan hawa membunuh.
Ia berjalan terus menghampiri Yap Kay,
seakan-akan dia ingin berjabat tangan dengan
orang itu, menyatakan rasa suka citanya. Dan
semua yang dilakukan adalah perbuatan yang
wajar, sebab Yap Kay telah menjadi sahabatnya
sekarang. Yap Kay sendiri pun terhitung orang yang
senang berkenalan, dia sama sekali tidak
mencurigai Be Sa, rasa waswas pun sama sekali
tak ada, apalagi sekarang, setelah Be Sa menjadi
sahabatnya. Di saat Be Sa sudah hampir tiba di hadapan
Yap Kay itulah tiba-tiba paras mukanya berubah
hebat, lalu jeritnya dengan nada kaget, "Hati-hati
belakangmu!"
Tak tahan Yap Kay berpaling.
Siapa pun orangnya, bila berada dalam situasi
seperti ini, dia pasti tak akan tahan untuk tidak
berpaling. Pada saat Yap Kay baru saja berpaling itulah,
mendadak Be Sa mencabut sebilah pedang dari
balik sakunya. Sebilah pedang lembek yang terbuat dari baja
asli, bergetar ketika terhembus angin dan
bagaikan seekor ular berbisa langsung menusuk
belakang tengkuk Yap Kay sebelah kiri.
Waktu itu Yap Kay sedang menoleh ke sisi
kanan, dalam keadaan begini, belakang tengkuk
sebelah kirinya akan menjadi bagian tubuhnya
yang terbuka, sebuah pintu kosong.
Istilah pintu kosong merupakan perkataan yang
biasa digunakan kaum persilatan, artinya bagian
tubuh yang terbuka bagaikan pintu gerbang yang
kosong dan terbuka lebar, asal kau berminat,
setiap waktu bisa saja masuk keluar.
Pada belakang leher sebelah kiri terdapat nadi
darah besar, nadi vital aliran darah ke otak, jika
nadi itu teriris putus, dapat dipastikan darah akan
menyembur tiada hentinya dan sang korban akan
tewas secara mengenaskan.
Bagi seorang pembunuh yang berpengalaman,
dia tak bakal turun tangan secara sembarangan
sebelum muncul kesempatan yang paling
menguntungkan dan paling meyakinkan bagi
dirinya, tak disangkal Be Sa telah memanfaatkan
kesempatan emas ini dengan sebaik-baiknya.
Inilah kesempatan emas yang ia ciptakan
sendiri dan dia yakin babatan pedangnya tak
bakal meleset, karena dia kelewat yakin dengan
rencananya itu maka sama sekali tak disediakan
jalan mundur bagi diri sendiri.
Oleh karena itulah dia mampus.
Padahal Yap Kay sama sekali tak punya rasa
waswas, dia sama sekali tak mencurigainya,
bahkan sama sekali tak punya kesempatan untuk
menangkis apalagi menghindar.
Be Sa telah memperhitungkan secara tepat,
waktu pedangnya menusuk ke depan,
perasaannya begitu bergetar bagai pemancing
yang kailnya disambar ikan besar. Dia tahu ikan
kakap sudah terkail.
Siapa sangka di saat kritis itulah tiba-tiba Yap
Kay mengayun tangannya, mengayun dari posisi
yang sama sekali tak disangka Be Sa.
Menyusul Be Sa pun mendengar suara golok
membelah angkasa.
Suara golok! Be Sa hanya mendengar suara golok, sama
sekali tidak melihat goloknya.
Pada hakikatnya dia tidak melihat babatan
golok atau cahaya golok, yang dia dengar hanya
suara golok, kemudian tubuhnya roboh terkapar
di atas tanah. Belum lagi pedang Be Sa menusuk belakang
leher Yap Kay, tiba-tiba ia merasa tengkuk sendiri
tersambar oleh segulung angin yang dingin
rasanya. Tentu saja dia tahu perasaan seperti itu adalah
ketika tubuh dibabat golok, namun dia sama
sekali tak sempat melihat golok yang ada di
tangan Yap Kay.
Tentu saja dia pun tahu Yap Kay adalah satusatunya
ahli waris Siau-li si pisau terbang.
Pisau terbang Siau-li tak pernah meleset setiap
kali dilontarkan.
Dalam seratus tahun terakhir, belum pernah
ada umat persilatan yang meragukan perkataan
itu. Dimulai dari kematian Siangkoan Kim-hong di
ujung pisau terbang Li Sun-huan, tak ada orang
meragukan keampuhannya.
Ujung pedang Be Sa hanya tinggal satu inci dari
belakang leher Yap Kay ketika pisau terbang yang
dilepaskan Yap Kay mendarat di tengkuknya.
Selisih jaraknya hanya satu inci.
Biar hanya satu inci, namun sudah lebih dari
cukup! Jarak antara mati dan hidup kerap kali jauh
lebih pendek dari satu inci, menang kalah,
berhasil atau gagal seringkah hanya berselisih
kurang dari satu inci.
Mata pedang yang dingin baru saja melesat di
sisi leher Yap Kay ketika tangan Be Sa yang
menggenggam senjata sudah keburu kaku, di
atas tengkuknya telah tertancap sebilah pisau
terbang yang nampak sangat umum dan
sederhana. Sebilah pisau terbang sepanjang tiga inci tujuh
cun. Pada saat itulah dari mulut luka di tengkuk Be
Sa perlahan-lahan mengucur darah segar, sinar
matanya memancarkan rasa tak percaya, ngeri
bercampur seram.
Yap Kay tidak berpaling, tentu saja dia yakin
pisau terbang yang dilepaskan tak bakal meleset
dari sasaran. Kapan Siau-li si pisau terbang pernah meleset
dari sasarannya"
Dengan cepat Yap Kay mendengar suara helaan
napas serta suara tepukan tangan.
"Hebat, luar biasa," helaan napas itu kembali
berkumandang, "pertunjukan ilmu yang
mengerikan!"
Suara itu berasal dari satu tempat yang agak
jauh, karena itu Yap Kay kembali membalikkan
badan, begitu berpaling, ia lihat seseorang
dengan dandanan begitu sederhana berdiri di
bawah pohon siong sana.
Orang itu tak lain adalah salah satu di antara
keempat orang yang secara tiba-tiba hilang dari
tempat itu, dia bukan lain adalah Go Thian, orang
yang diperintah Ong-losiansing menyampaikan
perintah rahasia.
"Sebetulnya kusangka kau pasti akan
mampus," kembali Go Thian berkata setelah
menghela napas, "tak disangka ternyata dia
sendiri yang menemui ajal."
Yap Kay tertawa, hanya tertawa tanpa
menjawab. "Sejak kapan kau baru teringat dialah
pembunuh ketiga yang sesungguhnya, yang
berniat membunuhmu?" tanya Go Thian lagi.
"Sejak ia berjalan menghampiriku."
"Sejak ia menghampirimu" Waktu itu bahkan
aku sendiri pun menyangka kau benar-benar
bersedia berkawan dengannya, darimana kau bisa
tahu ia berniat membunuhmu?"
"Karena dia kelewat hati-hati waktu berjalan
mendekat, seolah kuatir kakinya bakal menginjak
mati seekor semut di atas tanah."
"Apa salahnya berjalan dengan hati-hati?"
"Ada satu hal yang dia lupakan, " kata Yap Kay,
"bagi orang persilatan macam kami, biar sudah
menginjak mati tujuh-delapan ratus ekor semut
pun tak bakal dipermasalahkan, dia berjalan
dengan hati-hati lantaran dia harus waspada dan
berjaga-jaga terhadap serangan yang
kulancarkan secara mendadak."
Go Thian tidak berkomentar, dia hanya
mendengarkan. "Hanya orang yang berniat mencelakai
oranglah yang akan berjaga-jaga terhadap
serangan orang lain," Yap Kay menambahkan.
"Oya?"
"Aku pernah mengalami kejadian seperti ini,
biasanya yang bakal rugi dan masuk perangkap
adalah mereka yang tak ingin mencelakai orang
lain." "Kenapa?"
"Karena mereka tak punya niat mencelakai
orang, mereka tidak perlu menguatirkan sergapan
orang," kata Yap Kay hambar, "bila kau pun
pernah mengalami kejadian serupa, tentu akan
kau paham maksud perkataanku ini."
"Aku sangat memahami, tapi belum pernah
punya pengalaman seperti itu, selama hidup
belum pernah aku percaya kepada siapa pun."
Go Thian memandang Yap Kay sekejap,
lanjutnya sambil tertawa, "Mungkin lantaran kau
pernah merasakan pengalaman seperti ini, pernah
merasakan pelajaran yang menyakitkan dan
memedihkan macam ini, maka sekarang kau
tidak mati."
"Mungkin begitu, melakukan kebodohan satu
kali, kesalahan ada di pihakmu, jika sampai
melakukan kebodohan dua kali, aku sendirilah
yang goblok."
Yap Kay pun balas menatap Go Thian, lalu
setelah tertawa tambahnya, "Setelah mengalami
satu kali pelajaran pahit tapi masih tak waspada,
aku memang pantas untuk mampus."
"Ucapan yang amat bagus."
"Bagaimana dengan kau?" tiba-tiba Yap
Kay menegur, "apakah kedatanganmu juga
berniat membunuhku?"
"Bukan."
"Bukankah kau datang bersama mereka?"
"Betul, hanya perintah yang kami terima
berbeda." "Oya?"
"Mereka bertiga mendapat perintah
membunuhmu, sementara aku mendapat
perintah hanya untuk melihat." "Melihat apa?"
"Melihat cara kerja mereka, terlepas berhasil
membunuhmu atau kau yang berhasil membunuh
mereka, aku harus menyaksikan dan
mengingatnya dengan baik dan jelas."
"Bukankah sekarang kau telah menyaksikan
dengan sangat jelas?"
"Benar."
"Bukankah sekarang sudah saatnya bagimu
untuk pergi dari sini?"
"Benar," kembali Go Thian mengangguk, "tapi
sebelumnya aku ingin mengajukan satu
permohonan kepadamu."
"Katakan."
"Aku ingin membawa pulang mereka bertiga,
hidup atau mati, aku harus membawa pulang
orang-orang itu." Yap Kay segera tertawa.
"Sewaktu masih hidup, mereka tidak memberi
manfaat apa pun kepadaku, apalagi setelah mati.


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun aku pun berharap kau bisa membantuku
melakukan satu hal."
"Katakan!"
"Peduli siapa pun orang yang mengutusmu, aku
harap sampaikan kepadanya, minta dia baik-baik
menjaga diri. Di saat aku menjumpainya nanti,
aku harap dia masih tetap dalam keadaan hidup
dan sehat."
"Dia pasti sehat. Dia memang seorang yang
pandai menjaga diri." "Bagus sekali," Yap Kay
tergelak, "aku benar-benar berharap dia masih
hidup sewaktu aku datang mencarinya."
"Aku berani jamin, sementara ini dia tak bakal
mati," Go Thian ikut tergelak, "aku pun berani
menjamin, dalam waktu singkat kau bakal
bertemu dengannya."
Bab 9. RENCANA ONG-LOSIANSING
Tentu saja Ong-losiansing tak bakal mati tanpa
sebab musabab jelas.
Dia selalu percaya hidupnya jauh lebih panjang
dari siapa pun yang berusia sebaya dengan
dirinya. Dia pun selalu percaya uang adalah segalanya,
hidup di dunia ini uang sangat penting, karena
tanpa uang kau tak akan mampu membeli apa
pun, termasuk kesehatan maupun nyawa sendiri.
Nomor enam, nomor enam belas, nomor dua
puluh enam telah mati, mati di tangan Yap Kay,
terhadap kejadian ini Ong-losiansing sama sekali
tidak tercengang.
Agaknya kematian mereka bertiga sudah dalam
dugaannya. Kalau sudah tahu mereka bertiga bakal mati,
mengapa dia masih memerintahkan ketiga orang
itu mengantar kematian" Kenapa ia melarang
mereka bertiga turun tangan bersama"
Jangankan dirimu, Go Thian yang
melaksanakan perintah itu pun tidak jelas. Dia
hanya tahu satu hal, semua yang diperintahkan
Ong-losiansing harus dia lakukan dengan baik.
Ong-losiansing memerintahkan dia untuk
membawa pulang ketiga orang itu, maka dia pun
membawa mereka kembali, terlepas apakah
masih hidup atau sudah mati.
Dan Go Thian telah melaksanakan.
"Bila mereka mati di tangan Yap Kay, aku harus
memeriksa jenazah mereka dalam waktu empat
jam." Sesaat sebelum berangkat, Ong-losiansing
telah menurunkan perintah itu kepada Go Thian,
satu pekerjaan yang tidak mudah untuk
dilakukan, tapi Go Thian mampu melakukannya.
Cahaya matahari senja menyorot di atas air
terjun, pantulan cahaya di atas air menimbulkan
percikan cahaya keemas-emasan.
Dengan tenang So Ming-ming mendengarkan
penuturan Yap Kay hingga selesai, setelah
termenung beberapa saat dia mendongak dan
berkata, "Terlepas siapakah orang itu, kalau dia
berniat mengirim tiga orang untuk membunuhmu,
mengapa tidak menitahkan mereka bertiga turun
tangan bersama?"
"Sebenarnya aku pun tidak mengerti hal ini,
tapi sekarang aku paham."
"Karena apa?"
"Dia sengaja mengutus ketiga orang itu untuk
menyelidiki aliran ilmu silatku," Yap Kay
menjelaskan, "aliran ilmu silat dan ilmu pedang
yang dimiliki ketiga orang itu berbeda, cara
mereka membunuh pun berbeda."
"Oh, berarti dia memang sengaja mengutus
mereka dengan tujuan ingin melihat bagaimana
caramu membunuh mereka?" Yap Kay manggutmanggut
tanda membenarkan.
"Kalau memang tujuannya hanya ingin
melihat bagaimana caramu membunuh,
kenapa ia tidak turun tangan sendiri?" tanya So
Ming-ming. "Tidak perlu, dia tak perlu turun
tangan sendiri."
"Kenapa?"
"Asal dalam empat jam ia memeriksa jenazah
ketiga orang jagonya yang sudah mati,
semuanya akan tertera jelas."
"Aku tidak mengerti."
"Asal dia memeriksa mulut luka yang
mengakibatkan kematian mereka, dia akan tahu
dengan cara apa aku turun tangan, " Yap Kay
menjelaskan, "sama seperti cara Pek-im Shiacu
Yap Koh-seng menebas kutung setangkai ranting
pohon dengan pedangnya. Sebun Jui-soat cukup
memeriksa bekas sayatan di atas ranting, ia
segera dapat menilai tinggi rendahnya ilmu
pedang yang dimiliki musuh."
Semua ini bukan dongeng, juga bukan cerita
isapan jempol, bagi seorang jagoan tulen dia pasti
dapat melakukan hal ini, dari bekas luka
seseorang sudah dapat diraba tinggi rendahnya
kemampuan silat orang.
"Tapi dia harus bisa memeriksa jenazah itu
dalam empat jam sejak kematiannya," Yap Kay
menerangkan lebih jauh, "sebab kalau tidak,
dengan berjalannya sang waktu, maka bekas luka
itu akan menyusut dan berubah bentuk."
So Ming-ming kembali termenung, mendadak
serunya, "Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak kau pahami?"
"Jika kau sudah tahu tujuannya ingin melihat
aliran ilmu silatmu, kenapa kau masih tetap
turun tangan?"
"Pertama, bila ketiga orang itu turun tangan
bersama, belum tentu aku sanggup
menghadapinya. Kedua, saat itu aku masih belum
mengetahui maksud tujuannya," kata Yap Kay
sambil tertawa, "aku baru tersadar ketika orang
keempat mengatakan akan membawa pulang
mayat mereka."
"Sebetulnya waktu itu pun belum terlambat,
kenapa kau tetap mengizinkan dia membawa
pulang mayat-mayat itu?"
"Karena aku ingin tahu siapa sebenarnya orang
yang disebut sebagai si dia itu."
"Oh, kau ingin melacak identitas si dia dari
perjalanan orang keempat sewaktu mengirim
balik mayat-mayat itu?"
"Benar."
"Lalu" Berhasilkah kau melacaknya?"
"Menurut kau?"
Dalam kondisi dan keadaan seperti apa pun,
kau jangan sampai terlacak jejak dan
identitasmu. Walaupun pesan semacam ini belum pernah
disampaikan Ong-losiansing secara langsung,
namun Go Thian sangat mengetahui akan hal ini.
Tentu saja merupakan satu pekerjaan yang
sangat sulit untuk melakukan hal itu, sudah pasti
Yap Kay pun bukan seorang goblok, dia tentu
mengerti apa tujuan Go Thian mengirim balik
mayat-mayat itu.
Dengan begitu dia pasti akan berusaha
merahasiakan semua gerak-geriknya, berusaha
tidak membocorkan data sedikit pun tentang si
dia. Padahal bila Yap Kay ingin melacak seseorang,
rasanya tak seorang pun di dunia ini yang mampu
meloloskan diri dari pengejaran dan
penyelidikannya.
Tetapi sewaktu Go Thian bertemu Onglosiansing,
dia berani menjamin tak seorang pun
berhasil melacak jejak dan identitas Onglosiansing
dari setiap perkataan, perbuatan dan
tindak-tanduknya. Bahkan dia berani
menggunakan batok kepala sendiri sebagai
taruhan. Mengapa dia begitu yakin"
Tentu saja Yap Kay tak akan melepaskan setiap
tempat yang disinggahi Go Thian sepanjang
perjalanannya, apa yang dia lakukan, bahkan
setiap tempat kecil yang tak penting pun tak
dilepaskan begitu saja.
Go Thian menggunakan sebuah kereta yang
disewanya dari sebuah pasar untuk mengangkut
jenazah Lim Kong-ceng bertiga.
Pada malam itu dia sudah menyewa kereta
besar dengan ongkos sewa enam kali lipat dari
biasanya dan minta kusir untuk menantinya di
sekitar sana. Si kusir Lo Thio sudah dua-tiga puluh tahun
mengerjakan usaha ini, di antara mereka berdua
sama sekali tak punya hubungan apa-apa.
Toko penjual peti mati terbesar di kota Lhasa
bermerek Liu-ciu-lim-ki.
Tengah hari belum lama lewat, Go Thian telah
mengusung ketiga sosok mayat itu ke depan toko
peti mati, lalu dengan membayar harga yang tiga
kali lipat lebih mahal, dia membeli tiga buah peti
mati berkualitas nomor satu.
Dia langsung turun tangan mengawasi sendiri
para pegawai Lim-ki memasukkan ketiga sosok
jenazah itu ke dalam peti mati, walaupun dia
telah membubuhi bubuk harum pencegah busuk
dalam peti mati, namun melarang siapa pun
menyentuh jenazah itu, bahkan pakaian untuk
orang mati pun tak sempat dikenakan.
Setelah itu dia langsung mengantar ketiga peti
mati itu ke sebuah tanah kuburan paling besar di
kaki bukit luar kota Lhasa, dengan membayar
seorang Suhu Hongsui tersohor, dipilihlah tanah
kuburan yang paling baik.
Tanah kuburan itu berada di kaki bukit
menghadap arah matahari terbit, para penggali
liang kubur pun merupakan orang-orang yang
sangat ahli, tak sampai satu jam ketiga buah peti
mati itu sudah masuk ke tanah.
Dalam satu jam berikut batu nisan pun telah
siap, bahkan terukir jelas nama mereka bertiga,
Lim Kong-ceng, Tan Bun serta Be Sa.
Kemudian Go Thian mengawasi sendiri
pendirian batu nisan, membakar Gincoa dan
pasang hio. Malah dia sempat meneguk tiga cawan arak
dan mengucurkan air mata sebelum
meninggalkan tempat itu.
Setiap perbuatan yang dilakukan Go Thian
boleh dibilang sangat wajar, semuanya dilakukan
demi kawan-kawannya yang telah tiada, tak satu
pun yang nampak aneh atau mencurigakan.
Tapi menjelang senja, Ong-losiansing telah
melihat dan memeriksa mayat Lim Kong-ceng
bertiga. Mendengar sampai di situ, So Ming-ming
bertanya, "Kalau dia ingin secepatnya melihat
mulut luka yang mematikan di tubuh jenazah
ketiga orang itu, kenapa dia malah
memerintahkan anak buahnya untuk segera
mengubur mayat-mayat itu?"
Inilah persoalan yang utama, persoalan yang
susah dijelaskan dan susah dijawab.
Yap Kay seolah sudah mengetahui jawabannya,
dia tertawa dan tiba-tiba tanyanya kepada So
Ming-ming, "Tahukah kau tentang seorang dari
marga Liu yang tinggal di kota Lhasa, Liu Samgan,
seorang Suhu Hongsui?"
So Ming-ming manggut-manggut tanda tahu.
"Apa kegemaran orang ini?" tanya Yap Kay lagi.
"Dia suka berjudi, selama ini dia anggap dirinya
bukan saja pintar berjudi, bahkan pandai juga
meramal, sayangnya dari sepuluh kali berjudi,
ada sembilan kali dia kalah."
"Apakah dia selalu butuh uang untuk berjudi?"
"Benar."
Yap Kay tertawa, katanya, "Maukah kau
bertaruh denganku?"
"Bertaruh apa?"
"Bertaruh tentang orang yang bernama Liu
Sam-gan ini, sekarang dia pasti sudah mati."
Untung So Ming-ming tidak mau melayani
pertaruhan itu, kalau tidak, ia pasti bakal kalah.
Di dunia ini terdapat banyak sekali kejadian
yang rumit dan memusingkan kepala, padahal
seringkah jawabannya justru amat sederhana,
hampir semua kejadian itu begitu.
Padahal Go Thian sudah menyiapkan tanah
kuburan itu dengan baik, jauh sebelumnya telah
menggali sebuah lorong bawah tanah yang
tembus dengan liang kuburan itu, untuk
menghindari kecurigaan dan penguntitan Yap
Kay, dia sengaja mencari Liu Sam-gan sebagai
alasan. Waktu itu Liu Sam-gan sedang butuh duit,
maka Go Thian pun menyuap dia dengan


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejumlah uang, ketika semua urusan telah beres,
tentu saja dia harus dibunuh untuk membungkam
mulutnya. Tak dapat disangkal, inilah satu-satunya cara
untuk menghindari pengejaran Yap Kay, dan
dengan cara ini juga ia dapat mengirim ketiga
sosok mayat itu dalam waktu singkat.
Matahari senja terlihat semakin merah,
semerah ceceran darah.
So Ming-ming mendongakkan kepala,
mengawasi cahaya merah di ujung langit, biji
matanya tampak berkilat seolah memancarkan
sinar keemasan, alisnya juga nampak kuning
keemasan di bawah pantulan sinar senja.
"Bagaimana pun juga, tak mungkin ketiga buah
peti mati yang dipakai untuk menyimpan ketiga
sosok mayat itu terbang lenyap begitu saja," kata
So Ming-ming, "terlepas ketiga buah peti mati itu
mau dikirim kemana, pasti ada orang yang
menggotongnya bukan?"
"Benar."
"Mau digotong kemana pun ketiga buah peti
mati itu, sudah pasti mereka akan meninggalkan
jejak, apalagi menggotong peti yang begitu
berat." "Seharusnya memang begitu," sekali lagi
Yap Kay memperlihatkan senyuman misteriusnya.
"Apa maksudmu?"
Jalan keluar lorong rahasia, biarpun terdiri dari
tanah berlumpur atau tanah berumput, unfuk
menggotong tiga buah peti mati yang berat, pada
permukaan tanah pasti akan meninggalkan bekas
yang j elas. Mau digotong orang atau diangkut kereta, pada
permukaan tanah tentu akan meninggalkan
bekas. Namun bila So Ming-ming sekali lagi berani
bertaruh dengan Yap Kay, maka yang kalah tetap
adalah So Ming-ming.
Sebab tak jauh dari jalan keluar lorong rahasia
itu terbentang sebuah sungai besar, meskipun
arus airnya cukup deras, namun bukan masalah
yang sulit untuk mengangkut ketiga buah peti
mati itu dengan rakit yang terbuat dari kulit
kambing. Mau air sungai, air telaga ataupun air laut, tak
mungkin di atas permukaan air meninggalkan
jejak barang sedikit pun.
Asal orang yang dikuntit menceburkan diri ke
air, biar anjing pemburu dari jenis paling hebat,
biar sudah mendapat pendidikan yang paling
ampuh pun jangan harap bisa melacaknya.
Senja semakin larut, awan tebal mulai
menyelimuti puncak bukit di kejauhan sana.
Air terjun masih mengalir sangat deras,
sebagian butiran air muncrat ke udara,
membasahi wajah So Ming-ming.
Di tengah udara, di balik senja yang mulai
remang, hanya terlihat seekor burung elang
terbang mengitar.
Hanya angin yang berhembus datang dari
kejauhan, lalu bergerak menjauh lagi.
Tak seorang pun tahu darimana angin berasal"
Kemana angin berlalu" Kapan angin berhembus
dan kapan baru berhenti"
So Ming-ming membetulkan rambutnya yang
terhembus angin, menyeka butiran air yang
membasahi pipinya, lalu perlahan dia
mendongakkan kepala, memandang Yap Kay.
"Tampaknya sulit bagimu untuk mengetahui
siapakah si dia?" katanya, "kini semua titik terang
sudah terputus, ketiga sosok mayat itu pun sudah
dia periksa, dia pun sudah mengetahui aliran ilmu
silatmu. Bahkan tinggi rendahnya
kemampuanmu pun sudah dia ketahui."
"Keliru, kau keliru besar," kata Yap Kay
tertawa, "walaupun sekarang aku sudah tak bisa
melacak jejaknya lagi, tapi bukankah ekor
rasenya sudah kelihatan" Cepat atau lambat si
kepala rase pasti akan terlihat juga."
Dia memandang sekejap So Ming-ming,
kemudian katanya lagi, "Karena dia sudah
memeriksa semua mayat itu, juga sudah
mengetahui kemampuan ilmu silatku, tentu dia
akan melakukan gerakan kedua."
"Gerakan kedua?"
"Benar, kalau tidak, buat apa dia menggunakan
begitu besar tenaga dan pikiran untuk melakukan
semua itu?" ujar Yap Kay, "dia mengeluarkan
begitu besar tenaga dan pikiran tak lain karena
sedang menyiapkan gerakan kedua."
"Percobaan membunuhmu untuk kedua
kalinya?" "Benar, cuma aku berani jamin, yang
melakukan kesalahan pada gerakan yang kedua
ini pasti dia."
"Bagaimana seandainya kau?" perasaan cemas
terlintas di wajah So Ming-ming.
"Aku punya firasat, yang melakukan kesalahan
kali ini pastilah dia!"
BAGIAN III. PEMBALASAN
Bab 1. BALAS DENDAM DIMULAI
Di atas bukit terdapat sebuah kuburan baru,
rerumputan baru saja tumbuh di atas tanah
gundukan, beberapa pohon Pek-yang berdiri
tegak menahan hembusan angin barat, di depan
kuburan berdiri sebuah batu nisan.
Di atas batu nisan yang besar itu tertera
beberapa huruf besar, "Tempat peristirahatan
putri kesayanganku Be Hong-ling".
Be Khong-cun memandang nanar kuburan baru
itu, sampai lama kemudian baru ia membalikkan
badan memandang Pho Ang-soat, kerutan di
wajahnya terlihat makin tandas, di balik setiap
guratan itu entah sudah tersimpan berapa banyak
peristiwa masa lampau yang penuh kepedihan.
Ya, tak seorang pun tahu berapa banyak
kepedihan yang tertanam di situ" Berapa dalam
dendam kesumat yang terjalin"
Pho Ang-soat berdiri tenang menghadap
hembusan angin barat, dia balas menatap tajam
Be Khong-cun, memandang dengan sorot tajam.
"Apa yang kau lihat?" tiba-tiba Be Khong-cun
bertanya. "Sebuah kuburan."
"Tahukah kau kuburan siapa?"
"Be Hong-ling."
"Sudah tahu, siapakah dia?"
"Putri Be Khong-cun."
Pho Ang-soat sengaja tidak mengatakan
"putrimu", melainkan "putri Be Khong-cun", sebab
hingga kini dia masih belum percaya orang yang
berdiri di hadapannya adalah Be Khong-cun asli.
Setahu dia, Be Khong-cun sudah tewas sejak
sepuluh tahun lalu, dengan mata kepala sendiri ia
saksikan kematian orang itu, meski bukan dia
yang membunuh, namun dia sangat mempercayai
pandangan mata sendiri.
Di depan tanah perbukitan itu terbentang
padang rumput yang luas, begitu luas hingga
bersambungan dengan ujung langit. Angin di atas
bukit terasa lebih dingin, angin berhembus di atas
rerumputan membuatnya bergoyang bagai
gulungan ombak di samudra.
Paras muka Be Khong-cun nampak lebih pedih,
terdengar ia bergumam, "Putri Be Khong-cun...."
Tiba-tiba ia membalikkan badan, memandang
ke tempat jauh sana. Entah berapa lama sudah
lewat ketika ia berkata lagi, "Sekarang apa yang
kau lihat?"
"Padang rumput, tanah dataran yang luas."
"Apakah kau dapat melihat tepian dataran luas
ini?" "Tidak."
"Tanah dataran yang begitu luas tak nampak
tepian ini milikku," kata Be Khong-cun agak
emosi, "tanah ini adalah seluruh nyawaku,
seluruh kekayaan yang ada di sini milikku, akarku
tumbuh di tanah dataran ini."
Pho Ang-soat mendengarkan, hanya
mendengarkan, karena dia memang tidak paham
apa maksud Be Khong-cun mengajaknya ke sana
hari itu, apa pula maksudnya mengucapkan
semua perkataan itu"
"Akarku berada di sini, Be Hong-ling adalah
seluruh nyawaku, seluruh kehidupanku," kembali
Be Khong-cun berkata, "siapa pun orang yang
telah membunuhnya, dia harus membayar
dengan harga yang sangat besar."
Mendengar itu, perlahan Pho Ang-soat
mengalihkan kembali sorot matanya ke atas
kuburan baru. Benarkah orang yang dikubur di tempat ini
adalah Be Hong-ling"
Angin masih berhembus kencang,
menggoyangkan rerumputan, tampaknya luapan
emosi Be Khong-cun ikut terhembus pergi oleh
deru angin dingin, lambat-laun paras
mukanya berubah tenang kembali, kemudian
ia menghela napas panjang.
"Walaupun aku tidak menyaksikan sendiri
bagaimana kau membunuh Be Hong-ling, tapi kau
pun tak bisa membuktikan dia bukan tewas di
tanganmu," kata Be Khong-cun lagi sambil
menatap tajam lawannya.
"Benar, aku memang tak bisa."
Kembali Be Khong-cun mengamatinya sekejap,
mendadak ia membalikkan badan, memandang
lagi padang rumput.
"Tidak mudah bagi siapa pun untuk
memperoleh sebidang tanah yang begini luas," Be
Khong-cun mengalihkan pokok pembicaraan,
"tahukah kau dengan cara apa kuperoleh semua
itu?" Kau peroleh semua ini dengan melawan hati
nalurimu dan membunuh sahabat karibmu, Pek
Thian-ih. Pho Ang-soat tidak mengucapkan perkataan
itu, dia hanya menatap Be Khong-cun dengan
pandangan dingin.
"Tanah ini kuperoleh dengan menukar nyawa
sahabat karibku serta beberapa orang
saudaraku," ujar Be Khong-cun lagi, "kini mereka
telah mati, sementara aku masih tetap hidup."
"Aku tahu."
"Oleh karena itu jangan harap siapa pun bisa
merebut semua itu dari tanganku," setelah
berhenti sejenak, kembali tambahnya, "kecuali
Pek Ih-ling!"
Pho Ang-soat tidak mengerti apa maksud
perkataannya itu, untung Be Khong-cun segera
memberi penjelasan.
"Biarpun Be Hong-ling adalah akar
kehidupanku, tapi demi Pek Ih-ling, aku bersedia
mengabaikan semua itu."
Kembali dia menengok wajah Pho Ang-soat,
lalu tanyanya, "Kau mengerti maksudku?"
"Tidak, aku tidak mengerti," Pho Ang-soat
memang benar-benar tidak mengerti.
"Dendam terbunuhnya putriku lebih dalam dari
lautan, tapi...." Be Khong-cun menggigit bibir,
"Pek Ih-ling... ternyata dia menyukai mu. "
Pek Ih-ling"
Lambat-laun Pho Ang-soat mulai mengerti
maksudnya. Semua usaha, semua kekayaan yang ada di
Ban be tong adalah hasil perjuangan Pek Thian-ih
suami istri, maka demi putri tunggalnya, Be
Khong-cun rela berkorban tanpa syarat, inilah
yang disebut kesetia kawanan seorang sejati.
Oleh karena itu walaupun Pho Ang-soat telah
membunuh Be Hong-ling, namun demi Pek Ihling,
Be Khong-cun mau tak mau harus
membebaskan Pho Ang-soat.
Inilah salah satu sebab mengapa Be Khong-cun
mengajak Pho Ang-soat datang kemari hari ini.
Tapi benarkah kenyataan memang begitu"
Benarkah jenazah yang terkubur di sana adalah
mayat Be Hong-ling yang asli"
Siapa pula Pek Ih-ling yang berwajah sangat
mirip Be Hong-ling" Benarkah dia putri tunggal
Pek Thian-ih"
Kembali Be Khong-cun menatap tajam wajah
Pho Ang-soat, ujarnya lagi, "Aku tahu kau adalah
seorang lelaki yang punya cita-cita tinggi, punya
semangat dan harga diri, pada waktu biasa,
mungkin aku akan bersahabat denganmu,
bahkan memungut kau menjadi menantuku"
Sekali lagi dia menarik muka, setajam sembilu
dia tatap pemuda itu tanpa berkedip, lalu katanya


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula, "Tapi sekarang, lebih baik cepat kau
tinggalkan tempat ini."
"Pergi dari sini?"
"Betul, pergi dari sini. Bawa serta Pek Ih-ling,
pergilah sejauh mungkin, makin jauh makin
baik." "Kenapa aku harus pergi?" tanya Pho Ang-soat.
"Karena di sini kelewat banyak masalah dan
kesulitan, siapa pun yang berada di sini rasanya
sulit untuk terhindar dari anyirnya darah," kata Be
Khong-cun, "biarpun demi Pek Ih-ling aku rela
melepasmu, bukan berarti aku bisa menjamin
orang lain bisa memaafkan dirimu yang telah
membunuh putriku."
"Aku tidak takut menghadapi masalah, juga tak
takut menghadapi anyirnya darah," kata Pho Angsoat
hambar, "terlebih lagi aku tak butuh maaf
dari orang lain."
"Tapi kau tidak seharusnya datang kemari,
sepantasnya kau segera pulang."
"Pulang" Pulang kemana?"
"Pulang ke kampung halamanmu, di tempat
itulah nyawamu baru bisa selamat dan
kehidupanmu baru tenang."
Pho Ang-soat tidak segera menjawab, dia
alihkan pandangan matanya ke arah padang
rumput yang luas, lama kemudian baru ia
bertanya, "Tahukah kau dimana letak kampung
halamanku?"
"Betapa jauhnya letak kampung halamanmu,
betapa banyaknya ongkos yang kau butuhkan dan
barang apa pun yang ingin kau bawa dari sini,
aku pasti akan memenuhi semua permintaanmu
itu," janji Be Khong-cun cepat, "akan
kukabulkan setiap permintaanmu, asal
kau segera tinggalkan tempat ini bersama Pek
Ih-ling." "Tak perlu dengan tawaranmu itu, karena
kampung halamanku tidak terlalu jauh," tukas
Pho Ang-soat. "Tidak jauh" Dimana?"
Di ujung langit terlihat segumpal awan putih,
sorot mata Pho Ang-soat berhenti pada gumpalan
awan itu. "Di sinilah kampung halamanku," katanya.
"Di sini?" seru Be Khong-cun tertegun.
Pho Ang-soat membalikkan badan, menatap
tajam dirinya, tiada mimik aneh di wajahnya.
"Aku dilahirkan di sini, tumbuh dewasa di sini,
kau minta aku pergi kemana lagi?" ujar Pho Angsoat
lagi. Mendengar itu, dada Be Khong-cun langsung
bergelombang tak beraturan, napasnya ngosTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ngosan, tangannya mengepal kencang, dari
tenggorokannya hanya terdengar suara orang
mendengkur, tak sepatah kata pun sanggup dia
ucapkan. "Sejak awal sudah kukatakan, aku tak pernah
takut menghadapi masalah, juga tak kuatir
dengan anyirnya darah, bahkan aku hanya
melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
"Jadi kau tetap akan tinggal di sini?" akhirnya
dengan sedikit memaksa Be Khong-cun
mengucapkan pertanyaan itu.
"Benar!"
Inilah jawaban dari Pho Ang-soat, singkat tapi
jelas. Awan di ujung langit mulai bergerak, menutupi
cahaya sang surya. Hembusan angin barat terasa
makin kencang, menggoyangkan ranting dan
dedaunan, bahkan membuat pohon Pek-yang
yang kokoh pun ikut gemetar.
Biarpun Be Khong-cun masih berdiri tegak,
namun lambungnya mulai mengkerut dan terasa
mual, seakan terdapat sebuah tangan tak
berwujud yang sedang menekan dada dan
lambungnya, begitu kuat tekanan itu nyaris
membuatnya muntah dan berhenti bernapas.
Ia merasakan seluruh mulutnya dipenuhi cairan
getir, kecut dan pahit.
Pho Ang-soat telah berlalu dari situ.
Be Khong-cun tahu akan hal ini, tapi ia tidak
berusaha menghalangi, bahkan berpaling untuk
melihat sekejap pun tidak.
Kalau memang tak berniat menghalangi, buat
apa mesti ditengok"
Seandainya peristiwa ini terjadi pada sepuluh
tahun berselang, dia pasti tak akan
membiarkannya pergi.
Seandainya peristiwa ini terjadi pada sepuluh
tahun berselang, mungkin saat ini dia sudah
terkubur di tanah perbukitan itu.
Pada sepuluh tahun berselang, belum pernah
ada orang berani menampik permintaannya,
semua perkataan yang dia ucapkan tak pernah
ada yang berani membangkang.
Tapi sekarang ada, ada yang berani
melawannya. Ketika mereka sedang berdiri saling
berhadapan tadi, sebenarnya Be Khong-cun
punya kesempatan untuk merobohkan Pho Angsoat,
kepalannya masih secepat sepuluh tahun
yang lalu, dia yakin masih mampu merobohkan
setiap orang yang berdiri di hadapannya.
Tapi tadi, dia sama sekali tidak bergerak, sama
sekali tidak turun tangan.
Mengapa" Mengapa dia hanya diam saja"
Apakah dia sudah tua" Ataukah ada sesuatu
yang membuatnya takut dan ngeri untuk
bertindak"
Apakah dia adalah Be Khong-cun yang asli"
Apakah dia adalah Be Khong-cun sepuluh tahun
berselang"
Semua orang, semua benda yang ada di Ban be
tong hari ini benarkah sama seperti yang dulu"
Benarkah mereka semua telah bangkit dari
kematiannya"
Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun otot
Be Khong-cun masih nampak kekar dan kencang,
bahkan tak nampak daging lebih atau lemak yang
tumbuh di seputar lehernya, baik sewaktu duduk
atau berdiri, tubuhnya tetap tegak lurus persis
seperti keadaannya pada sepuluh tahun
berselang. Tampaknya selama sepuluh tahun terakhir,
nyaris tidak terjadi perubahan apa pun pada
dirinya. Padahal perubahan dan menuanya seseorang,
memang sulit dilihat dan diketahui orang luar.
Malah terkadang diri sendiri pun tak dapat
melihatnya. Perubahan dan menuanya seseorang,
sesungguhnya berlangsung dalam hati
Seseorang baru benar-benar merasa lemah dan
tua bila dalam hati merasa dirinya sudah mulai
lemah dan tua. Tiba-tiba Be Khong-cun merasa sangat lelah.
Awan bergerak yang baru saja menutupi
cahaya sang surya, entah sejak kapan telah
berubah menjadi awan mendung, tak lama
kemudian langit pun berangsur gelap,
kelihatannya segera akan turun hujan.
Sudah barang tentu Be Khong-cun dapat
melihat perubahan itu, pengalamannya selama ini
membuat ia pandai melihat perubahan cuaca, tapi
agaknya dia enggan untuk pulang.
Dengan tenang ia berdiri di depan kuburan,
mengawasi tulisan di atas batu nisan dengan
pandangan nanar, "Tempat peristirahatan putri
kesayanganku Be Hong-ling".
Benarkah Be Hong-ling dikebumikan di tempat
itu" Kecuali dia seorang, mungkin tidak banyak
yang tahu tentang rahasia ini, tak seorang pun
tahu kuburan siapakah sebenarnya"
Rahasia ini sudah sepuluh tahun tersimpan
dalam hatinya, seperti sebatang duri yang
menghujam dalam hatinya, setiap kali teringat
akan hal ini, hatinya akan terasa sakit, pedih.
Kini perasaan sakit dan pedih kembali
tercermin di wajahnya, entah dikarenakan ia
teringat rahasia itu atau lantaran permintaan nya
ditolak mentah-mentah oleh Pho Ang-soat"
Angin berhembus semakin kencang, di tempat
terpencil seperti ini hanya suara hembusan angin
yang terdengar, tiada suara derap kuda, tiada
pula suara langkah kaki, tapi sekonyong-konyong
Be Khong-cun merasa ada seseorang sedang
berjalan naik ke bukit itu.
Tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang datang.
Pek Ih-ling! Hanya Pek Ih-ling seorang yang
bisa menikmati rahasia itu bersamanya.
Dia amat mempercayai Pek Ih-ling, sama
seperti seorang ayah mempercayai putri sendiri.
"Apakah dia tidak mau menerima tawaran itu?"
tanya Pek Ih-ling lirih sambil berjalan mendekati
Be Khong-cun. Be Khong-cun menggeleng pelan.
Tampaknya jawaban itu sudah terduga Pek Ihling
sebelumnya, begitu melihat Be Khong-cun
menggeleng, perasaan murung dan sedih segera
melintas di wajahnya.
"Sejak awal sudah kubilang, tak mungkin dia
akan menyanggupi," kembali Pek Ih-ling berkata
lirih, "seandainya dia adalah manusia semacam
itu, tak mungkin dia akan pergi pada sepuluh
tahun berselang."
Be Khong-cun mengangkat wajah, memandang
awan mendung yang bergayut di langit, sesudah
menghela napas katanya pula, "Ai, sebetulnya
aku sangat berharap dia mau mengajakmu pergi,
dengan begitu tak ada lagi yang perlu
kurisaukan."
"Bila ia benar-benar mengajakku pergi,
bukankah kau pun telah melanggar perintah
organisasi?"
"Organisasi?" gumam Be Khong-cun, "justru
demi organisasi aku berharap kau pergi
bersamanya."
Perlahan Be Khong-cun membalikkan badan,
ditatapkan Pek Ih-ling dengan penuh kasih
sayang, lalu dengan lembut dia belai pipinya,
mengawasi wajahnya dengan lembut dan
perhatian. "Setelah aku pergi, dengan cara apa kau akan
menghadapi organisasi?" ujar Pek Ih-ling
kemudian, "bukannya kau tak paham tentang
tindak-tanduk dan sepak-terjang organisasi?"
"Mungkin perkataanmu tak salah, aku memang
sudah tua," Be Khong-cun kembali menghela
napas, "justru karena aku sudah tua, maka aku
berharap kau pun bisa hidup lebih senang, lebih
bahagia. Aku berharap kau dapat meninggalkan
tempat ini."
Sesudah berhenti sejenak, membiarkan butiran
air mata yang mengucur lenyap di atas tanah,
kembali terusnya, "Mengenai organisasi... aku
sudah tua, apa lagi yang perlu kutakuti?"
Awan gelap masih bergayut, rintik hujan belum
juga turun, hembusan angin dingin semakin
menusuk tulang, kemudian bergemalah suara
guntur yang menggelegar.
Ketika guntur mengguncang bumi, Pho Angsoat
telah sampai di depan pintu kamarnya, langit
terlihat makin gelap sedang lentera dalam kamar
belum dinyalakan, kegelapan serasa mencekam
dimana-mana. Sejak meninggalkan bukit hingga tiba di depan
kamarnya, Pho Ang-soat tak pernah
menghentikan langkahnya, saat ini pun dia tak
berniat untuk berhenti, tapi baru akan mengayun
kaki kanan, mendadak ia batalkan niat itu.
Kakinya seolah terhadang di tengah udara dan tak
mampu dilanjutkan.
Dalam sekejap seluruh bulu kuduknya berdiri,
ia merasakan hawa dingin yang menusuk serasa
menyusup masuk dari dasar telapak kakinya.
Suasana di sekeliling situ sangat hening, tak
terdengar suara apa pun, tak terlihat suatu
kejadian apa pun, tapi mengapa Pho Ang-soat
berubah seperti itu" Berubah secara tiba-tiba"
Kegelapan yang tak bertepian semakin
menyelimuti angkasa, suasana terasa sangat
hening, sepi, seakan semua kehidupan telah
berhenti. Tiada cahaya, tiada suara.
Ketika siap melangkahkan kakinya memasuki
pintu kamar, secara tiba-tiba Pho Ang-soat
menghentikan seluruh gerakannya, hal ini
disebabkan ia telah mendengar suara yang


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat aneh, suara itu tidak mirip langkah kaki,
juga bukan suara dengusan napas, suara itu
adalah sejenis irama yang aneh.
Sejenis suara yang tak bisa didengar lewat
telinga, semacam suara yang tak bisa ditangkap
telinga, sejenis suara yang hanya bisa ditangkap
oleh kesensitifan dirinya, semacam insting seekor
hewan liar. Ada seseorang di dalam kamarnya, ya,
seseorang! Bisa jadi orang itu adalah orang yang ingin
mencabut nyawanya, orang yang penuh diliputi
rasa benci dan dendam.
Pho Ang-soat tak dapat melihat orang itu,
jangankan orangnya, bayangan pun tidak terlihat.
Namun ia dapat merasakan kehadirannya, ia
merasa jarak antara dia dan orang itu makin lama
makin dekat. Jagad raya dingin membeku, hembusan angin
yang membeku, golok yang dingin membeku.
Pho Ang-soat menggenggam kencang
goloknya, ia tak berani bergerak, tak berani
mengeluarkan suara, seluruh tubuhnya seakan
sudah membeku. Seluruh langit dan bumi seolah sudah dicekam
keheningan yang luar biasa... saat itulah
mendadak bergema suara desingan angin tajam
dari balik kamarnya.
Pho Ang-soat sudah mulai berkelana dalam
dunia persilatan sejak usia delapan belas, dia
sudah mengembara dan hidup bergelandangan
bagai seekor serigala liar, ia pernah merasakan
jotosan kepalan, pernah merasakan tamparan
tangan, pernah ditusuk pedang, dibacok golok,
bahkan pernah merasakan berbagai sambitan
senjata rahasia.
Tentu saja dia pun dapat menangkap suara itu,
desingan angin yang ditimbulkan dari sambitan
senjata rahasia, semacam Am-gi yang lembut,
kecil dan sangat tajam. Biasanya senjata rahasia
ini ditembakkan melalui sebuah alat pegas yang
kuat dan pada umumnya sangat beracun.
Di saat senjata rahasia membelah udara,
semestinya Pho Ang-soat segera mundur,
seharusnya dia cepat berkelit, tapi pemuda itu
seolah badannya sudah kaku, mengejang, bukan
saja tidak berkelit, bergerak pun tidak.
Bila dia bergerak atau berkelit, dapat dipastikan
dia akan mati mengenaskan.
"Ting...", senjata rahasia itu sudah menyambar
tiba, menghajar di atas lantai ubin, persis di
samping Pho Ang-soat.
Tampaknya orang dalam kamar telah
memperhitungkan dia pasti akan menghindar,
pasti akan bergerak, karena itu sasaran senjata
rahasia itu bukan tertuju ke tubuh korban, tapi
mengancam jalan mundurnya, mau ke arah
mana pun dia menghindar, asal berani
bergerak berarti bakal mati.
Sayang dia sama sekali tak bergerak.
Dari desiran angin serangan ia sudah tahu
serangan itu bukan langsung tertuju ke tubuhnya,
dia pun seakan sudah menduga apa maksud dan
tujuan sebenarnya dari serangan itu.
Dugaan itu memang tak seratus persen
meyakinkan, menghadapi kejadian seperti ini tak
mungkin ada orang yang berani yakin seratus
persen. Dalam situasi yang begini kritis dan bahaya, tak
ada cukup waktu baginya untuk
mempertimbangkan, oleh karena itu dia harus
bertaruh, menggunakan nyawa sendiri sebagai
bahan taruhan, menggunakan hasil analisa sendiri
sebagai bahan taruhan.
Taruhannya kali ini benar-benar sebuah
pertaruhan yang nyaris, kemenangan pun diraih
dengan nyaris. Namun pertaruhan belum lagi selesai, Pho Angsoat
masih harus bertaruh terus, tak nanti
lawannya melepaskan dia begitu saja.
Biarpun kali ini dia berhasil meraih
kemenangan, kemungkinan besar kali berikutnya
akan kalah, setiap saat mungkin akan menderita
kekalahan. Jika kalah maka dia akan kehilangan nyawa,
bahkan kemungkinan besar akan menggadaikan
nyawanya tanpa sempat melihat jelas wajah
lawannya. Tapi ada satu hal yang dia tahu pasti, orang
yang berada dalam kamar adalah seorang lawan
tangguh yang belum pernah dihadapi
sebelumnya. Asal orang itu pernah bertemu dengannya, dia
yakin pasti dapat mengenalinya.
Pho Ang-soat tak menginginkan kematian
sebelum mengetahui siapa lawan, maka dari itu
tiba-tiba ia mulai batuk.
Orang batuk tentu bersuara, kalau bersuara
tentu ada tujuan, dia memang sengaja
membocorkan posisi berdirinya kepada pihak
lawan. Tak salah lagi, ia segera mendengar suara
desingan angin tajam kembali membelah
angkasa, suara desingan yang begitu tajam
seolah hendak mencabik tubuhnya.
Begitu mendengar suara desingan, tubuh Pho
Ang-soat segera menyusup masuk ke dalam
ruangan, menggunakan seluruh kekuatan yang
dimilikinya untuk menyusup masuk, menyusup
lewat desingan angin tajam itu.
Tiba-tiba dari balik kegelapan berkelebat
cahaya golok. Sekilas cahaya golok yang sangat
dingin, sekilas cahaya golok kematian!
Di saat Pho Ang-soat mulai batuk tadi, secara
diam-diam ia telah melolos goloknya, salah satu
di antara lima golok tertajam di kolong langit.
Cahaya golok berkelebat dan ...."Tring!",
bergema suara benturan keras, lalu terdengar
suara senjata rahasia yang rontok ke atas tanah.
Selewat suara benturan itu, suasana kembali
dicekam dalam keheningan.
Begitu melompat masuk Pho Ang-soat pun
tidak bergerak lagi, bahkan dengus napas pun
seolah ikut berhenti, satu-satunya yang dapat ia
rasakan sekarang adalah keringat dingin yang
mengalir melalui ujung hidungnya.
Entah berapa lama sudah lewat, tapi yang pasti
suatu jangka waktu yang betul-betul lama...
akhirnya Pho Ang-soat dapat menangkap suara
lirih. Dia memang sedang menanti suara itu.
Begitu mendengar suara itu, seluruh tubuhnya
yang semula tegang kini makin mengendor dan
lepas. Suara yang didengar Pho Ang-soat adalah
semacam suara rintihan yang sangat lirih dan
suara dengusan napas yang memburu.
Hanya orang yang benar-benar kesakitan,
benar-benar mencapai puncak penderitaan hingga
tak mampu mengendalikan diri, baru akan
memperdengarkan suara seperti ini.
Pho Ang-soat tahu dalam pertarungan ini lagilagi
dia berhasil meraih kemenangan.
Biarpun kemenangan itu harus diraih dengan
susah payah, dengan penuh penderitaan dan
kesengsaraan, namun akhirnya berhasil menang
juga- Dia pernah menang, sering menang, karena
itulah dia masih bisa hidup hingga sekarang.
Paling tidak menang dan tetap hidup jauh lebih
baik daripada kalah dan mampus.
Tapi kali ini nyaris sebelum ia mencicipi
bagaimana rasanya meraih kemenangan, dari
balik kegelapan di ujung langit sana tiba-tiba
berkilat secercah cahaya tajam.
Cahaya, seperti juga kegelapan, selalu datang
secara tiba-tiba, siapa pun tak tahu kapan dia
akan datang, tapi kau harus percaya diri, harus
yakin bahwa cepat atau lambat dia akan datang
juga. Akhirnya Pho Ang-soat dapat melihat wajah
orang itu, wajah orang yang membawa kebencian
dan dendam kesumat, orang yang ingin
menghabisi nyawanya.
Bab 2. SI KELININGAN
Dari balik kegelapan muncul cahaya terang,
Pho Ang-soat dapat melihat jelas wajah orang itu.
Ternyata dia belum mati.
Ia masih meronta, masih menggeliat, masih
bergerak, gerakannya susah dan lamban, seperti
seekor ikan sekarat yang terjebak di tengah pasir
putih. Di tangannya menggenggam geretan api, dari
geretan api itulah cahaya terang berasal. Kini Pho
Ang-soat baru sadar, ternyata orang itu adalah
seorang wanita.
Bukan cuma wanita, malah seorang wanita
yang cantik molek, biarpun wajahnya nampak
layu dan pucat, namun semua itu justru
menambah kelembutan dan keindahannya.
Sepasang biji matanya kelihatan agak kabur,
tapi dipenuhi dengan kerinduan, kerinduan di
tengah penderitaan, putus asa dan permohonan.
Ia memandang Pho Ang-soat dengan matanya
yang makin sayu, sebenarnya dia ingin
membunuhnya, namun setelah sorot mata
mereka saling bertemu, dia seakan lupa akan hal
ini. Ini disebabkan karena dia adalah manusia,
bukan hewan, tiba-tiba dia pun merasa bahwa
dalam situasi dan keadaan seperti apa pun antara
manusia dan hewan tetap terdapat perbedaan
yang besar. Keanggunan seorang, keibaan dan rasa
perikemanusiaan tak mungkin bisa dibuang begitu
saja. Lalu siapakah perempuan ini" Mengapa di
tengah malam buta dia datang seorang diri,
berniat membunuh Pho Ang-soat"
"Siapa kau?" Pho Ang-soat bertanya.
"Seseorang yang datang untuk
membunuhmu" jawab perempuan itu, "aku
harus membunuhmu." "Mengapa?"
"Karena kalau kau tidak mati, akulah yang
mati," di balik suara perempuan itu terselip
perasaan dendam yang mendalam, "sebab kalau
kau tidak mati, aku selalu merindukan, harus
tersiksa batinku oleh kebencian hingga akhir
zaman." "Kerinduan" Tersiksa oleh kebencian?"
"Benar, aku merindukan orang yang telah kau
bunuh. Bila aku gagal menghabisi nyawamu,
bagaimana mungkin aku bisa menghadapi siksaan
batin karena kebencian?"
"Siapa yang kau rindukan?" "A-jit, si golok
lengkung A-jit." "A-jit?"
Pho Ang-soat melengak, bukankah A-jit telah ia
bebaskan" Kenapa tiba-tiba A-jit mati"
Belum sempat Pho Ang-soat memahami hal ini,
perempuan itu sudah berkata, "Kau seharusnya
dapat melihat, meski bacokan golokmu membuat
aku terluka parah, namun luka itu tak melukai
bagian tubuhku yang membahayakan."
Tentu saja Pho Ang-soat tahu, sabetan
goloknya tadi dengan tepat menghujam dadanya,
hanya selisih dua inci dari letak jantungnya.
"Kau seharusnya dapat melihat juga bahwa
sekarang aku tak mampu lagi membunuhmu,"
kembali perempuan itu berkata dengan nada
yakin, "tapi bila ada kesempatan lagi di kemudian
hari, aku masih tetap akan berusaha
membunuhmu."
Dalam hal ini tentu saja Pho Ang-soat dapat
melihatnya, dia tahu perempuan di hadapannya
adalah seorang yang berani bicara berani berbuat,
apa yang sudah dia putuskan ibarat sebuah paku
yang sudah terpantek mat
Petualang Asmara 11 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Kembar 4
^