Kisah Bangsa Petualang 4

Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 4


ongannya. Kalau nanti dia bertemu
dengan seseorang yang memakai cincin serupa ini, mohon dia
memandang mukaku, sukalah dia berlaku murah terhadapnya."
Mo Lek heran hingga ia berpikir, "Entah pengemis tua ini
hendak melakukan kegaiban apa..."
Meski ia heran dan curiga, ia tidak berani menanya apa-apa.
Ia muda sekali usianya tetapi pengalamannya kaum Kang Ouw
sudah cukup banyak, ia ketahui pantangan kaum itu. Maka
dengan hormat ia menyahuti.
"Jangan kuatir, lo-cianpwe, nanti aku sempatkan pesan locianpwe
ini kepada Toan Tayhiap."
Hong-hu Siong menjumput tongkatnya, terus ja berjalan
keluar. Di ambang pintu, mendadak ia berhenti dan menoleh,
kepada Lam Ce In ia berkata, "Ah, hampir aku lupa! Pada bulan
yang lalu di kota Tok-koan, aku telah bertemu dengan gurumu,
Lam Tayhiap."
"Apakah ada pesannya guruku itu?" Ce In tanya.
"Gurumu itu membilangi bahwa dia mau pergi ke Hoay-yang,
akan tetapi karena ada urusan lain, keberangkatannya itu
ditunda sampai lain bulan tanggal pertengahan. Dia
membicarakan hal kau, tayhiap, katanya segala perbuatan
tayhiap dalam dunia Kang Ouw beberapa tahun ini, semua dia
sudah ketahui. Dia menyatakan girang dan syukurnya.
Kemudian dia tanya aku, aku kenal tayhiap atau tidak. Aku
bilang nama aku pernah dengar, orang aku belum pernah
menemukan. Lantas gurumu kata, dalam beberapa hari ini
tayhiap akan pergi ke Hoay-yang. Dia kata padaku, "Thio Sun
yang menjadi Thaysiu kota Hoay-yang adalah seorang berarti,
maka pengemis tua, jikalau kau tidak mempunyai urusan apaapa,
tak halangannya kau jalan-jalan ke kota Hoay-yang itu.
Aku tahu kau biasa menyukai anak-anak muda, maka bolehlah
kau sekalian menemui muridku itu. Apabila kau bertemu
dengannya, tolong kau sampaikan pesanku ini kepadanya,
umpama kata dia mempunyai urusan lain di Ngo-goan, dia tak
usah menunggui aku di Hoay-yang." Ha, ha! Tidak kusangka,
sebelum aku sampai di Hoay-yang, di kuil rusak ini aku telah
bertemu denganmu secara kebetulan ini!"
Baru sekarang Lam Ce In ingat, ketika tadi mereka baru
memasuki kuil, Hong-hu Siong mengawasi ia dengan perhatian
luar biasa. Pikirnya, "Tidak heran sebelum menanyakan jelas
tentang diriku, dia sudah lantas sudi mengobati kami. Rupanya
suhu telah melukiskan roman dan potongan tubuhku
kepadanya."
Sebenarnya Ce In bersangsi juga. Toan Kui Ciang belum
sembuh, dia seharusnya diantar pulang ke Touw Ke Ce, untuk
dia berobat dan beristirahat. Tiat Mo Lek harus menjadi
pelindungnya. Mo Lek cerdik dan gagah, untuk pantarannya, sukar mencari
tandingannya, meski begitu, dia tetap seorang bocah, tak
tenang hati Ce In membiarkan bocah itu sendirian mengantari
Kui Ciang. Maka sekarang, kebetulan ia mendengar pesan
gurunya itu, ia lantas mengubah pikiran, mengambil suatu
keputusan baru.
Begitulah, sehabis kepergiannya Hong-hu Siong, orang she
Lam ini kata pada Mo Lek, "Mo Lek, aku tak jadi pergi ke HoayTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
yang, hendak aku menemani kau mengantar Toan Tayhiap ke
Touw Ke Ce. Di sana, setelah menolongi tayhiap, apabila kau
tidak mempunyai urusan lain, boleh kau turut aku pergi ke
Hoay-yang untuk menemui guruku."
Mo Lek girang sekali.
"Itulah bagus!" katanya. "Tapi, bukankah kau mempunyai
suratnya Kwe Cu Gie yang hendak disampaikan kepada Thio
Thaysiu" Dengan kau mengantari kami, apakah urusanmu itu
tidak menjadi gagal?"
"Tidak," sahut Ce In. "Urusan surat itu terlambat satu bulan
pun tidak apa. Surat itu dikirim Kwe Leng-kong sambil lalu dan
bunyinya juga Cuma mengajak Thio Thaysiu bekerja sama
andaikata terbit bencana. Mereka itu berdua saling menghargai,
sekalipun tidak ada surat menyurat, apabila terbit sesuatu
kejadian, pasti mereka bekerja sama, untuk membela negara."
Mo Lek mengangguk.
"Sekarang belum terang tanah, nanti aku pergi mengambil
pakaian untuk salin," kata dia.
Ce In tahu orang berniat mencuri. Maka dia tertawa. Dia
pesan, "Kau berhati, hati, jaga jangan sampai kau kena
terbekuk orang!"
"Itulah tak bakal terjadi!" kata Mo Lek dengan pasti.
Bocah itu pergi sampai setengah jam, masih dia belum
kembali. Ce In menjadi berkuatir juga.
"Jangan-jangan kekuatiranku berbukti..." pikirnya bergelisah.
Justeru itu mendadak terdengar suara roda kereta di luar
kuil. Orang she Lam ini kaget, lantas ia pergi melihat. Lantas
hatinya menjadi lega.
Itulah Mo Lek yang kembali, hanya bersama sebuah kereta
keledai! "Eh, mengapa kau mencuri kereta keledai?" ia tegur.
"Inilah bukan kereta curian!" sahut Mo Lek. "Aku tukar ini
dengan sepotong uang goanpoo emas!"
Mau tidak mau, Ce In tertawa.
"Sungguh kau berbahagia!" katanya. "Kau masih mempunyai
goanpoo emas!"
"Tetapi uang emas itu bukan kepunyaanku, itulah miliknya
seorang hartawan. Aku pergi mencuri beberapa potong pakaian
di rumahnya, sekalian saja aku jemput beberapa potong
goanpoonya. Lantas aku pergi ke bengkel kereta. Hari sudah
mendekati fajar, tuan rumah masih belum mendusin dari
tidurnya, aku tak sempat mengasih bangun, dari itu aku
lemparkan saja sepotong goanpoo, lantas aku siapkan kereta
keledainya ini. Celaka keledai ini, dia tidak dengar kata, ketika
mau keluar dari pintu pekarangan, dia rewel, dia meringkik
keras suaranya yang berisik membikin sadar tuan rumah.
Mulanya mereka berteriak-teriak, "Ada pencuri! Ada pencuri!"
Dari atas kereta aku lemparkan uang goanpoo sambil aku
berkata nyaring, "Aku bukan pencuri! Aku hanya malaikat uang!"
Rupanya mereka lantas melihat uang emas itu, sebentar saja
sirap teriakannya, diganti dengan seruan kegirangan, bahkan
mereka tidak mengejar juga!"
Habis berkata itu, Mo Lek tertawa berkakak, tapi lekas ia
menambahkan, "Sebenarnya, mencuri tetap mencuri, Cuma
bedanya aku mencuri hartanya si hartawan, tidak si melarat!
Dengan sepotong goanpoo emas dapat dibeli sepuluh buah
kereta keledai, mereka itu hilang sebuah kerela tetapi
mendapat sepotong goanpoo, mereka masih untung besar!"
Mau atau tidak, Ce In mesti tertawa.
Ketika itu cuaca sudah terang. Keduanya lantas menyalin
pakaian, kemudian mereka menggotong Toan Kui Ciang dinaiki
ke atas kereta, direbahkan di tempat yang lunak, yang Mo Lek
telah sediakannya.
Ce In yang memegang tali les, maka selang satu jam,
keduanya sudah sampai di wilayah kecamatan Lim-tong. Hati
mereka lega sebab mereka melihat tidak ada yang mengejar.
Dengan begitu dapatlah mereka berdua memasang omong
dengan asyik. Banyak yang dapat mereka bicarakan.
(Lanjutan) Ce In seorang hiap-su, orang gagah kenamaan dan Mo Lek
anak muda keluarga Rimba Hijau. Saking gembira, sering
mereka tertawa.
"Kau masih begini muda, sudah pandai kau mencuri!" kata si
orang she Lam. "Kalau nanti kau sudah dewasa, kau bakal jadi
liehay sekali! Cuma aku kuatir nanti tak ada orang yang berani
membuka perusahaan piauwkiok!"
"Aku, aku masih terpaut jauh!" kata Mo Lek tertawa. "Kau
tahu siapa yang menjadi malaikat pencuri nomor satu di kolong
langit ini?"
"Dialah Sam-ciu Sin-kay Kie Tie," sahut Ce In.
"Bukan! Sam-ciu Sin-kay telah orang sisihkan! Sekarang ini
yang nomor satu ialah Khong Khong Jie! Dia pernah mengadu
kepandaian dengan Kie Tie. Kie Tie dapat mencuri sebatang
seruling kemala dari Pangeran Leng Ong, sebaliknya Khong
Khong Jie dapat mencurinya dari tangan Kie Tie sendiri! Mereka
bertaruh, Kie Tie kalah! Khong Khong Jie telah mengulangi
pencuriannya sampai tiga kali, hingga Kie Tie takluk benarbenar,
maka juga Kie Tie rela menyerahkan seruling itu, buat
Khong 'Khong Jie menyerahkan pulang pada Leng Ong untuk
mendapat hadiah. Sekarang ini di dalam kalangan Hek Too
hampir tak ada yang tak mengetahui julukan Biauw Ciu Khong
Khong!" "Telah aku dengar nama besar dari Khong Khong Jie," kata
Ce In, "Cuma aku tahu hal ilmu pedangnya. Sayang aku belum
pernah bertemu dengannya."
Tiat Mo Lek mengawasi sahabatnya dan kata sambil tertawa,
"Sekarang kau bakal pergi ke rumahnya ayah angkatku, ada
kemungkinan kau bakal bertemu dengan Khong Khong Jie.
Umpama kata kau tidak bertemu dengan Khong Khong Jie
sendiri, mungkin dengan adik seperguruannya, yaitu Ceng Ceng
Jie!" Lam Ce In heran. Sebenarnya ia mau menanya, untuk minta
keterangan, tetapi mereka mendadak mendengar Toan Kui
Ciang menjerit, "Aduh!"
"Bagus, dia tahu merasa nyeri," kata Ce In.
Benar saja, lewat sekian lama Kui Ciang dapat membuka
mata. "Oh, saudara Lam, kau di sini?" kata orang she Toan itu.
"Mana Su Toako" Di sini di mana" Apakah aku lagi bermimpi?"
Biar bagaimana, pikirannya Kui Ciang masih kacau.
"Toan Toako, kita sudah lolos dari bahaya," Ce In
memberitahukan. "Kita sekarang berada di dalam wilayah Limtong."
Kui Ciang berpikir, lantas ia mulai ingat segala apa. Tapi ia
masih berpikir terus.
Sementara itu roda kereta juga berputar tak hentinya.
Setelah sadar dan merasakan nyeri, Kui Ciang pun merasai
bagaimana ia terkocok pulang pergi di atas kereta itu, hingga
kesadarannya pulih dengan cepat, hingga ia menjadi ketahui
bahwa ia bukan lagi tidur bermimpi.
Lam Ce In memeluki sahabat itu. Ia melihat muka orang
yang pucat dan matanya tak bersinar terang.
"Su Toako, kau mati bersengsara..." kemudian terdengar Kui
Ijiang berkata. "Akulah yang mencelakai kau...!" Suaranya
perlahan, lalu dia mengucurkan airmata.
"Toan Toako, kau mesti pelihara dirimu baik-baik," Ce In
berbisik. "Kau mesti mencari balas untuk Su Toako!"
Kui Ciang terkejut. Segera berkumandang pesannya Su It
Jie, " Toan Toako, daripada aku yang hidup untuk mencari
balas, lebih baik kau! Supnya kau tidak dipaksa mereka, aku
akan berangkat terlebih dulu! Kau sayangilah dirimu, pergi kau
menoblos keluar!"
Ia pun lantas ingat Louw-sie, isterinya It Jie, serta bayinya,
yang masih berada di mulut harimau. Maka ia mengertak gigi,
ia menahan keluarnya airmatanya. Seperti juga ia lagi
menghadapi arwah It Jie, ia kata, "Benar, Su Toako, aku akan
dengar kata-katamu!"
Terus ia kata pada Ce In, "Saudara Lam, aku bikin kau
berabeh! Untukku, kau sudah menentang bahaya!"
Ia pun kata pada Tiat Mo Lek, "Mo Lek, anak baik! Kau tidak
dengar pesanku tetapi aku tidak akan menegurmu...!"
Ce In dan Mo Lek berlega hati. Kui Ciang sudah sadar dan
menjadi tenang.
Kemudian Kui Ciang mencoba mengerahkan tenaganya. Ia
merasa seluruh tubuhnya lemah, tak ada tenaganya sedikit
juga. Ia menjadi masgul sekali hingga ia menarik napas
panjang. "Kiranya aku terluka begini parah..." katanya. "Sampai kapan
aku baru dapat menuntut balas...?"
"Kouwthio, legakan hati," Mo Lek menghibur. "Lo-cianpwe
Hong-hu membilangi kami, setelah lewat tujuh hari,
kesehatanmu bakal pulih seperti sediakala!"
Kui Ciang melengak.
"Hong-hu Siong?" katanya, mengulangi. "Apakah kau
maksudkan Se-gak Sin Liong Hong-hu Siong, satu di antara
Kang Ouw Cit Koay?" Walaupun dia heran, Kui Ciang menjadi
tenang. "Benar," Mo Lek menjawab. "Luka kita semua diobati oleh
Hong-hu Lo-cianpwe."
"Kalau begitu, jiwaku jadi telah ditolong oleh lo-cianpwe itu?"
Kui Ciang menegaskan.
"Benar," Mo Lek memberi kepastian. "Luka kouwthio
mengeluarkan darah tak hentinya, luka di dalam juga parah,
lantas Hong-hu Lo-cianpwe menotok membikin darah itu
berhenti, lalu itu disusul dengan pertolongan mengurut serta
arak obat yang diminumkan."
Kui Ciang berdiam, paras mukanya berubah. Akhirnya ia
menghela napas.
"Aku tidak sangka bahwa diluar tahuku, aku telah mendapat
pertolongan jiwa dari dia," katanya. "Aku telah berhutang budi,
sungguh berat menerimanya..."
Mo Lek heran sekali hingga ia tercengang. Ia heran tetapi ia
tidak berani menanya apa-apa. Budi toh bisa dibalas. Mudah,
bukan" Toh Kui Ciang bersusah hati. Kenapa"
"Apakah ada yang tak tepat, saudara Toan?" tanya Ce In.
Beda dari si bocah, orang she Lam ini berani mangajukan
pertanyaan. Kui Ciang memandang penolongnya itu.
"Saudara Lam, kau telah menolong aku, aku sangat
bersyukur terhadapmu," ia kata. "Tapi kita ada dari satu
golongan, aku menerima budi kau, aku puas. Akan tetapi Honghu
Siong" Aku sudah menerima budinya, aku tak tahu
bagaimana nanti kelak di kemudian hari..."
Ce In dan Mo Lek heran, sampai mereka terperanjat. Hampir
berbareng keduanya menanya, "Bukankah Se-gak Sin Liong
juga orang dari Hiap-gie-too?"
"Saudara Ce In, kau muncul lebih belakang belasan tahun
daripada aku, tak heran kau tak ketahui hal ikhwal dia itu," kata
Kui Ciang, menerangkan. "Pada itu waktu, nama dia tercemar
sekali." Ce In heran hingga ia sudah lantas menanya pula, "Namanya
tercemar" Menurut kau ini, bukankah ia jadi sudah pernah
melakukan perbuatan-perbuatan buruk" Kenapa yang aku
dengar semua hal-hal yang baik" Bahkan guruku pernah
membilangi aku, meskipun sepak terjangnya Hong-hu Siong


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh sekali, dia tak kecewa menjadi orang Hiap-gie-too."
"Kalau begitu, gurumu itu, saudara Lam, dia
menyembunyikan apa yang buruk dan memuji apa yang baik.
Memang benar Hong-hu Siong telah melakukan perbuatanperbuatan
baik, malah itu melebihkan banyaknya perbuatanperbuatannya
yang busuk. Perbuatannya yang busuk itu dapat
membikin orang menudingnya dengan rambut kepala bangun
berdiri!" Mukanya Lam Ce In menjadi pucat. Benar-benar dia heran.
"Toan toako," katanya, "Apakah toako dapat menuturkan
beberapa diantara perbuatan-perbuatannya Hong-hu Siong
itu?" "Baik!" menjawab Kui Ciang. "Nanti aku tuturkan
perbuatannya yang buat beberapa puluh tahun telah menjadi
buah bibir orang banyak. Dia pernah merampas harta tak halal
dari kedua Ciat-touw-su Louw Liong dan Khouw Ciu, harta itu
dipakai menolongi rakyat kurban-kurban bencana sungai Huang
Hoo. Seorang diri dia telah menempur dan menyingkirkan lima
jago dari Yan-tio. Dia pun telah mendamaikan kedua partai
Khong Tong dan Yan San yang berselisihan hingga dengan
begitu bencana Rimba Persilatan dapat dihindarkan."
"Semua hal itu aku sudah ketahui," kata Ce In. "Coba kau
lulurkan bagian-bagian yang mencemarkan namanya itu."
"Diantara itu ada beberapa yang hebat," Toan Kui Ciang
kata. "Pada satu waktu ada beberapa orang pergi ke Thian San
mencari teratai salju, waktu mereka itu berjalan pulang, mereka
dipegat, dibegal dan dibunuh, cuma satu diantaranya yang
dapat lolos. Satu waktu ia melindungi satu penjahat cabul gelar
Say Cek Hong, lantaran mana dia melukai It Teng Siansu dari
Siauw Lim Pay, hingga pihak Siauw Lim Pay mencarinya guna
menuntut balas, tetapi ketika kemudian pihak Siauw Lim
mendengar dia merampas harta untuk menolongi kurbankurban
banjir, perkaranya tidak dilarik panjang, cuma Say Cek
Hong yang dicari dan disingkirkan..."
"Apakah dia pernah membunuh suami orang dan merampas
isteri kurbannya itu?" tiba-tiba Mo Lek memotong.
Kui Ciang heran hingga dia mendelong mengawasi.
"Kenapa kau ketahui peristiwa itu?" dia balik menanya.
Lam Ce In pun terkejut, hingga dia menanya keras, "Ya,
benarkah kejadian itu?"
"Peristiwa itu masih menjadi soal gelap sampai pada
sekarang ini," berkata Kui Ciang. "Hanya menurut sangkaan,
sembilan dalam sepuluh mungkin benar perbuatan Hong-hu
Siong..." Ce In berdiam, otaknya bekerja.
"Sebenarnya, bagaimanakan duduknya itu," ia tanya. Kui
Ciang suka menceritakan.
"Itulah peristiwa pada dua puluh tahun yangbaru lalu," kata
ia. "Ketika itu ada sepasang yu-hiap atau jago pengembara
muda. Yang pria bernama He Seng To dan yang wanita Leng
Soat Bwe. Telah banyak perbuatan gagah dan mulia yang
mereka itu lakukan. Setelah bersatu tujuan, mereka juga
bersatu hati, demikian sesudah mengikat tali pertunangan,
mereka lantas menikah. Bukan main ramainya perayaan nikah
mereka itu. Orang-orang Kang Ouw, kenal atau tidak,
berduyun-duyun datang untuk menghadiri, guna memberi
selamat. Siapa tak kagum menyaksikan sepasang sejoli itu
sama gagah, sama mulia hatinya" Aku menjadi sahabatnya
kedua mempelai, aku pun menjadi salah satu tetamu mereka.
Diluar dugaan siapa juga, justeru di malam pernikahannya,
sepasang pengantin itu menemui kenaasan mereka... Aku
masih ingat benar peristiwa itu. Bersama banyak yang lain, kita
bergurau di kamar pengantin, habis itu kami berkumpul pula
melanjuti menenggak air kata-kata, hingga semua menjadi
separuh sinting. Justeru itu dari kamar pengantin terdengar
jeritan keras, hebat dan menyayatkan! Segera aku sadar dari
sintingku, lupa pada adat istiadat, aku memburu ke dalam,
masuk terus ke dalam kamar. Tiba di dalam, aku tercengang!
Mempelai laki-laki roboh di lantai dan mempelai wanita lenyap!
Dengan lantas aku mengasih bangun pada He Seng To. Dia
telah terluka sangat berat hingga dia tak dapat bicara: Dengan
menaruh mulutku di telinganya, aku tanya dia berulang-ulang,
'Siapa si penjahat" Siapa si penjahat"' Dia masih mengenali aku
sebagai sahabatnya, dia mengawasi aku, dia suka menjawab.
Dengan tangan gemetar, dengan jeriji telunjuknya, dia
mencelup ke darahnya, lantas dia menulis di lantai. Dia
mencoret-coret beberapa kali, tulisannya tak keruan. Sayang
sebelum ia menulis habis, napasnya sudah berhenti berjalan.
Ah, sinar matanya! Tak dapat aku lupakan itu! Dia seperti minta
tolong aku membalaskan sakit hatinya itu...! Aku perhatikan
tulisannya itu. Huruf pertama 'Hong'. Huruf kedua baru saja
dua coretan yang mirip huruf 'Sip' - 'Sepuluh'. Aku katakan
mirip sebab tulisannya miring dan panjangnya tak berjauhan. Di
dalam dunia ini tidak ada orang she Hong, sebab 'Hong' itu
adalah 'Hong' yang berarti 'Raja'. Sebelum aku mengutarakan
dugaanku, lantas ada orang yang berseru, 'Si pembunuh
pastilah Hong-hu Siong!'"
"Kalau orang hanya mengandal tulisan tak lengkap itu, itu
belum dapat dipastikan," kata Ce In. "Itulah bukti yang tak
sempurna."
"Benar," Kui Ciang bilang. "Ada beberapa orang yang
berpendapat sama seperti kau, saudara Lam. Banyak yang
ragu-ragu. Ada pula yang menyangka mungkin si penjahat
pesuruhnya Raja. Ketika itu diketahui He Seng To bermusuh
dengan Kong-sun Tam, salah seorang Wiesu dari istana.
Mungkin si pembunuh ialah Wiesu she Kong-sun itu."
"Dugaan itu beralasan juga sedikit," kata Mo Lek.
"Tak beralasan sama sekali!" tiba-tiba kata Kui Ciang
nyaring. Tiat Mo Lek melengak, Lam Ce In berdiam. Keduanya heran.
"Dua-dua she Kong-sun dan Hong-hu adalah rangkap," Toan
Kui Ciang menjelaskan. "Untuk penulisannya, huruf 'Kong' dari
Kong-sun jauh lebih sederhana daripada huruf 'Hong' dari
Hong-hu. Sekarang cobalah pikir! Ketika itu He Seng To lagi
mendekati kematiannya, kenapa dia bukannya menulis huruf
'Kong' hanya huruf 'Hong' yang terlebih sukar, yang lebih
banyak coretannya itu" Jikalau benar si penjahat ialah Kongsun
Tam, cukup dia menulis satu huruf 'Kong' dan lantas orang
mengerti. Pula tak usahlah dia memutar jalan, bukannya
menunjuk 'Kong-sun' hanya orangnya kaisar - 'Hongte'. Lainnya
hal lagi, ilmu silat He Seng To dan I.cng Soat Bwe lebih liehay
daripada ilmu silatnya Kong-sun Tam. Jadi tidaklah mungkin
Kong-sun Tam dapat membinasakan He Seng To dan lalu
merampas Leng Soat Bwe. Jadinya orang membelai Hong-hu
Siong cuma disebabkan orang menyayangi nama baiknya
sebagai orang gagah, untuk menolong membebaskannya dari
tuduhan." Mo Lek tunduk. Dia sependapat dengan "orang" yang
disebutkan Kui Ciang itu.
Lam Ce In terus heran dan bersangsi. Ia ragu-ragu sangat.
"Menurut bicaranya Toan Toako ini, perbuatan-perbuatan
baik dan mulia dari Hong-hu Siong jauh terlebih banyak
daripada perbuatan-perbuatannya yang buruk," ia berpikir.
"Satu hal saja, yaitu menolong rakyat dari bencana alam, sudah
suatu jasa yang besar. Hanya benar juga, perbuatan buruknya
dapat membuat rambut orang bangun berdiri... Itulah dua
macam perbuatan yang sangat bertentangan satu dengan lain.
Menurut pantas, tak layaknya itu dilakukan oleh satu orang.
Masih ada satu hal lain lagi. Guruku menjadi seorang yang
sangat dapat membedakan perbuatan baik, daripada perbuatan
jahat, jikalau kelakuannya Hong-hu Siong benar demikian
buruk, mustahil guruku tak menuturkannya kepadaku" Mustahil
karena menyembunyikan perbuatan buruk itu, guruku tak
menyebutnya sama sekali" Bukankah heran, sebaliknya
daripada membenci, guruku justeru mengikat persahabatan
dengan Hong-hu Siong?"
Toan Kui Ciang melihat orang berdiam saja dan agak
bersangsi, ia dapat menerka hati sahabat ini. Ia hanya berdiam
sebentar, lantas ia menyambungi keterangannya.
"Peristiwa terjadi pada dua puluh tahun yang sudah lampau,"
kata ia. "Setelah peristiwa itu, jarang sekali Hong-hu Siong
muncul di muka umum, dan kapan orang mendengar pula
tentangnya, semua dari * perbuatan-perbuatanhya yang mulia
dan baik, benar ada satu atau dua yang buruk, tetapi itu
bukanlah kejahatan besar. Itulah sebabnya mengapa aku
menjadi berlaku ayal-ayalan mewujudkan pembalasanku untuk
sahabatku itu. Hanya dapat aku terangkan, apabila aku berhasil
memperoleh keterangan yang benar, tetap aku akan membuat
perhitungan dengannya!"
"Didalam itu hal telah ada satu orang yang hendak membuat
perhitungan dengannya," kata Mo Lek.
Kui Ciang heran hingga matanya menjadi terbuka lebar.
"Siapa?" dia tanya, cepat.
"Dialah seorang nona umur lebih kurang dua puluh tahun,"
Mo Lek menjawab. "Dia menyebut dirinya He Leng Song. Nona
itu kata kau mungkin ketahui tentangnya."
Kui Ciang menjadi sangat ketarik hati.
"Bagaimana romannya nona itu?" dia tanya, bernapsu.
"Dimanakah dia bertemu dengan Hong-hu Siong" Di manakah
hal ini kau dengarnya, ataukah kau mengetahuinya sendiri?"
"Aku melihat dan mendengarnya sendiri," sahut Mo Lek.
"Tempatnya ialah di dalam kuil tadi."
Lantas pemuda ini memberikan penjelasannya, kemudian ia
mempetakan potongan tubuh serta romannya nona He Leng
Song itu. Sampai disitu, Lam Ce In turut bicara. Ia kata perlahan, "Aku
tidak tahu bahwa urusan ini menyangkut urusannya He
Tayhiap. Hanya, oleh karena Hong-hu Siong telah menolong
jiwa kita bertiga, maka selama urusan belum menjadi terang
benar-benar, ingin aku menghadang dahulu di depannya nona
itu. Toan Toako, adakah kau menyesali sikapku ini?"
Toan Kui Ciang menggeleng-geleng kepala. Ia berdiam.
"He Leng Song... He Leng Song..." katanya kemudian,
perlahan dan berulang-ulang. Parasnya pun menandakan ia
sangat ragu-ragu.
Sebenarnya di saat itu, pada benak kepalanya telah
berbayang wajahnya seorang wanita lain, ialah Leng Soat Bwe.
Gambaran He Leng Song dari Mo Lek justeru gambaran Leng
Soat Bwe itu...
Di antara Kui Ciang dan Soat Bwe ada terbenam satu kisah
asmara. Mereka berdua bersahabat erat jauh sebelumnya Soat
Bwe bersahabat dengan He Seng To. Hanya selagi Kui Ciang
sangat mengagumi nona itu dan menaruh cinta terhadapnya, si
nona sendiri masih mengambang perasaannya.
Belakangan muncullah He Seng To, lantas Soat Bwe
menyintai orang she He itu, hingga kejadian dia lebih banyak
berada berduaan dengan Seng To daripada dengan Kui Ciang.
Tak lama maka Kui Ciang menginsafi keadaan, ialah ia ketahui
si nona mencintai Seng To.
Ia satu laki-laki sejati, ia jujur dan terhormat, tak sudi ia
menjadi penghalang. Ia pun tak membenci atau bersakit hati.
Buat guna si nona sendiri, untuk kebaikan Seng To, ia suka
mengalah, bahkan Seng To ia anggap sebagai sahabat kekal,
seperti saudara sendiri. Itulah untuk membahagiakan Soat Bwe!
Ketika kemudian terjadi He Seng To terbinasa secara hebat
dan menyedihkan itu, dan Leng Soat Bwe lenyap tidak keruan
paran, Kui Ciang berduka bukan main. Karena itu, sesudah
lewat sepuluh tahun, baru ia menikah dengan Touw Sian Nio.
Ia menyintai isterinya ini, tetapi terhadap Soat Bwe, cintanya
tetap melekat, tak dapat ia melupai Nona Leng itu. Maka itu
mendengar gambarannya Mo Lek tentang Leng Song, ia lantas
ingat bekas kekasihnya itu.
Maka juga ia menjadi seperti orang linglung
Ia ingat syairnya yang ia pernah tulis untuk Soat Bwe,
bunyinya, Soat leng bwe hoa y om, leng song tok cu kay
artinya, Salju dingin, bunga bwe indah permai, es membeku, buyar
sendirinya "Bukankah He Leng Song itu puterinya Leng Soat Bwe?"
demikian ia berpikir, menerka-nerka. "Soat Bwe tentu masih
ingat baik sekali syairku itu maka ia memberikan nama Leng
Song kepada puterinya ini. Tapi He Seng To sudah meninggal
dunia, darimana datangnya ini bocah she He?"
Bingung Kui Ciang, maka juga ia jadi berpikir keras dan
seperti linglung itu, ada juga rasa girangnya. Pikirnya pula,
"Jikalah He Leng Song benar anaknya Soat Bwe, bukankah Soat
Bwe masih ada di dalam dunia ini?"
"Kouwthio," "berkata Mo Lek, yang seperti memecah
kesunyian, "Hong-hu Siong telah memberikan sebuah cincin
kepadamu. Itulah cincin yang sekarang berada pada jari
tanganmu."
Kui Ciang heran, ia seperti orang baru sadar dari mimpinya.
Sebelum menjawab si bocah, ia berpikir pula, "Soat Bwe
menitahkan nona' ini pergi membalaskan sakit hati, terang
sudah bahwa Hong-hu Siong ialah pembunuh suaminya dahulu
hari itu. Hanya si nona benar anaknya atau bukan, tak dapat
aku tak memperhatikannya..."
Lalu ia dibuatnya sukar. Soal yang baru telah muncul. Honghu
Siong baru saja menolong jiwanya. Tak ada manusia gagah
dan-terhormat yang membunuh tuan penolongnya...
Kui Ciang mengusut-usut cincin di jari tangannya itu.
"Apakah Hong-hu Siong ada meninggalkan kata apa-apa?" ia
tanya Mo Lek. "Dia seperti juga telah mendapat tahu di muka bahwa
kouwthio bakal tak sudi menerima pertolongannya itu,"
menyahut Mo Lek, "Maka dia cuma minta satu hal dari kau.
Katanya dengan begitu kau dan dia sama-sama tak ruginya, tak
saling berhutang budi...
"Apakah permintaannya itu?" tanya Kui Ciang, mendesak.
"Permintaannya itu ialah," kata Mo Lek, "Kalau kelak di
belakang hari kau bertemu seorang yang memakai cincin yang
serupa dipakai kau sekarang, sukalah kau berlaku murah hati
terhadapnya."
Mendengar itu, Kui Ciang bernapas lega.
"Oh, dia tidak meminta apa-apa untuk dirinya sendiri,"
katanya sabar. "Baik, dapat aku melakukan itu. Biarlah nanti,
setelah aku berhasil menuntut balas untuk Su Toako, baru aku
pergi cari Hong-hu Siong. Umpama kata dia dapat membunuh
aku, maka sudah tidak ada soal apa-apa lagi, tetapi apabila


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akulah yang berhasil membunuh dia, habis itu aku akan
membunuh diriku sendiri, supaya dengan begitu bereslah sudah
budi dan sakit hati di antara kita!"
Mo Lek dan Ce in terkejut, mereka tercengang. Sungguh
hebat orang she Toan ini. Dia benarlah laki-laki sejati! Tapi
karena mereka kenal baik tabiat Kui Ciang, terutama sekarang
pikiran orang gagah ini lagi tegang, mereka berdiam saja, tak
mau mereka memberi nasehat atau membujuki.
"Mana nona itu?" kemudian Kui Ciang tanya lagi.
"Dia sudah pergi," sahut Mo Lek. "Dia tidak membilang kita
ke mana dia mau pergi. Menurut dugaanku, mungkin dia pergi
mencari An LokSan..."
Kui Ciang kaget sekali.
"Kau...! Kau bagaimana tahu dia pergi mencari An Lok San?"
tanyanya, bingung dan bergelisah. "Dia... dia pergi cari An Lok
San untuk apakah?"
"Aku tak tahu tetapi aku menduga saja," sahut Mo Lek. "Dia
tanya n ku perihal sahabatmu she Su itu, tentang isteri dan
anaknya sahabatmu itu. Aku bilangi dia halnya si orang she Su
sudah dicelakai An Lok San dan hahwa isteri dan anaknya
belum berhasil ditolongi. Mendengar jawabanku itu, dia sangat
tergerak hatinya. Sebenarnya dia telah bersumpah hendak
membunuh Hong-hu Siong, Lam Tayhiap telah mencegahnya,
dia masih tidak mau mengerti, akan tetapi setelah mendengar
keteranganku itu, dia seperti lantas berpikir lain - rupanya dia
terpengaruh urusan yang terlebih penting. Dia pergi dengan
lantas! Maka itu aku menyangka dia hendak menolongi Nyonya
Su dan anaknya itu."
Kembali Kui Ciang kaget.
"Bagaimana ini?" dia berseru dalam bingungnya. "Mana
dapat dia dibiarkan seorang diri memasuki sarang harimau dan
kedung naga?" ?"
Mo Lek turut menjadi bingung.
"Ini cuma pikiranku, inilah belum pasti..." katanya perlahan.
"Ilmu pedang nona itu liehay sekali. Lam Tayhiap menempur
dia dengan memakai golok mustika, selama beberapa puluh
jurus, keduanya sama unggulnya. Maka itu umpama kata dia
tidak berhasil menolongi Nyonya Su itu serta anaknya, aku
percaya dia sendiri akan dapat meloloskan dirinya."
"Nona itu suka menunda membunuh Hong-hu Siong
sebagian disebabkan dia mendapat tahu Hong-hu Siong sudah
menolongi kau," Lam Ce- In turut bicara. "Dia rupanya masih
menyangsikan orang jahat atau orang baik - dia masih belum
jelas benar akan duduknya hal. Saudara Toan, yang paling
perlu sekarang ini ialah perawatan dirimu, jikalau kau
menguatirkan nona itu, baiklah, mari aku antar dulu kau sampai
di perbatasan wilayah pengaruh Touw Ke Ce, setelah itu aku
segera pergi menyusul dia!"
---ooo0dw0ooo---
Jilid 6 "Ya, inilah benar!" Mo Lek pun bilang. "Setelah nanti
bertemu dengan ayah angkatku, dapat kita minta bantuannya
mengirim banyak orang-orangnya guna menyelidiki halnya
nona she He itu. Ayah angkat kau kenal banyak orang Kang
Ouw, mungkin dia akan berhasil memperoleh endusan. Nona
itu sudah pergi selama tiga jam, kalau kita susul dia sekarang,
kita tak bakal menyandaknya."
Kui Ciang menghela napas.
"Ya, apa boleh buat," keluhnya.
Mo Lek heran mendapatkan orang demikian memperhatikan
si nona He. Sebaliknya Kui Ciang heran mengetahui Nona He
sangat memperhatikan Keluarga Su, hingga dia menyangka,
"Apakah dia mempunyai perhubungan erat dengan Keluarga
Su" Jikalau Su Toako kenal He Seng To suami isteri, mengapa
aku tidak mendapat tahu" Mengapa aku belum pernah
mendengar mereka itu menyebut-nyebutnya?"
Demikian Kui Ciang terbenam dalam keheranan.
Sementara itu Nona He - He Leng Song - sudah melakukan
perjalanannya dengan sangat cepat. Benar seperti Tiat Mo Lek,
dia hendak pergi menolongi Nyonya Su dan anaknya. Hanya dia
tidak langsung menuju ke rumahnya Tayciang Sie Siong, orang
sebawahannya An Lok San itu. Inilah sebab ia telah mendapat
tahu Nyonya Su itu telah diminta Sie Siong dari An Lok San.
Tempo Leng Song sampai di kota Tiang-an, hari sudah
tengah hari. Dia lantas berdandan sebagai seorang nona
tukang penjual silat. Dia pun segera mencari dahulu rumah
penginapan. Dan dia memilih pondokan yang biasa ditempati
oleh orang-orang golongan Kang Ouw, sebuah pondokan kecil,
yang pasti tak akan menolaknya.
Lalu malam jam tiga, dia mengenakan ya-heng-ie, yaitu
pakaian peranti keluar malam, yang warnanya hitam dan
singsat. Secara diam-diam d ia keluar dari pondoknya, untuk
menuju ke rumahnya Sie Siong. Untuk itu dia telah mencari
tahu terlebih dahulu.
Keluarga Sie tinggal di Tiang-an, rumahnya terletak tak
seberapa jauh dari istananya An Lok San.
Didalam ilmu ringan tubuh, Leng Song memang dua lipat
daripada Lam Ce In. Tanpa diketahui siapa juga, dia berhasil
memasuki rumahnya Sie Siong. Maka itu dengan lantas dia
mendapat dengar dua orang lagi bicara, yang seorang pria,
yang seorang lagi wanita.
Dia lantas mengintai, hingga dia dapat melihat si pria dandan
sebagai opsir, dan si wanita ialah seorang nyonya muda dengan
roman sangat lesu dan kucai, sedang pakaiannya sangat
sederhana. "Nyonya Louw, kau harus lekas berangkat!" kata si opsir.
"Aku telah membawakan kau seperangkat pakaian pria.
Sekarang ini Sie Ciangkun belum pulang, silahkan kau salin
pakaian. Untuk sementara ini, aku minta sukalah kau bersedia
merendahkan diri menjadi orang sebawahanku, supaya dapat
aku mengajak kau pergi. Tentang puterimu, kau dapat
membiarkan dia duduk di dalam kereta. Kusirku dapat
dipercaya, tidak nanti dia membuka rahasia."
Leng Song lantas dapat menerka siapa si nyonya muda.
Itulah Louw-sie, atau Nyonya Louw dari Hoo-tong, isterinya Su
It Jie. Ia belum kenal dan belum pernah bertemu juga dengan
Louw-sie, tetapi dari suara panggilannya si pria, ia mengetahui
pasti. Mulanya ia memikir hendak membinasakan opsir itu, baru ia
mau menemui Louw-sie, untuk memperkenalkan diri, guna
memberitahukan bahwa kedatangannya itu untuk menolong,
tetapi mendengar suaranya si opsir, segera ia mengubah
pikirannya itu.
Suaranya si opsir diluar dugaannya sekali, la menjadi heran
dan girang dengan berbareng. Katanya di dalam hati, "Aku
tidak sangka sekali ada orang sebawahannya An Lok San yang
berhati begini mulia dan bernyali besar sekali. Sebenarnya aku
bingung memikirkan si anak, bagaimana aku harus membawa
dia menyingkir, maka dayanya opsir ini baik sekali. Baiklah, aku
membiarkan dia yang menolong..."
Ketika itu Nyonya Su mengangkat kepalanya. Dia nampak
bimbang, sinar matanya pun penuh kedukaan. Sekian lama dia
berdiam, baru dia mengasih dengar suaranya.
"Liap Ciangkun, aku menghaturkan banyak-banyak terima
kasih untuk kebaikan hati kau ini," katanya, halus. "Cuma,
jikalau aku mesti berangkat pergi, aku mesti berangkat
bersama-sama suamiku."
Dengan disebut shenya itu, maka teranglah si opsir Liap
Hong adanya, orang yang pernah menolongi secara diam-diam
pada Toan Kui Ciang.
Mendengar suara si nyonya, opsir itu berpikir.
"Su Sianseng sekarang masih di tahanan," kata ia sesaat
kemudian. "Penjagaan di markas jenderal sangat keras, dalam
waktu seperti sekarang ini, sulit untuk dia meloloskan dirinya.
Maka itu baiklah nyonya berdua menyingkir terlebih dulu, nanti
aku berdaya pula untuk menolong Su Sianseng..."
Louw-sie menatap Liap Hong. Tiba-tiba dia menanya. "Liap
Ciangkun, aku minta sukalah kau tidak mendustai aku!" katanya
sungguh-sungguh. "Sebenarnya apakah sudah terjadi atas diri
suamiku itu?"
Agaknya Liap Hong bersangsi.
"Ketika itu hari dia tiba di sini," sahutnya, ayal, "Mungkin
disebabkan dia penasaran dan mendongkol, dia muntah darah
beberapa kali. Sekarang dia lagi berobat."
"Tentang itu aku sudah tahu," berkata Louw-sie. "Apa yang
aku tanya ialah hal dia sekarang, dia sudah mati atau masih
hidup! Aku dengar dari-budak perempuan yang melayani aku,
kemarin malam ada penyerbuan terhadap istana An Lok San.
Orang hendak membunuhnya. Satu malam telah terbit onar itu,
beberapa jiwa telah terhilang. Siapakah penyerbu itu"
Bukankah dia Toan Kui Ciang" Apakah dia berhasil menolongi
suamiku, atau apakah dia sendiri yang kena ditawan hingga dia
dihukum mati bersama" Liap Ciangkun, aku mohon kau omong
terus terang, jangan kau mendustai aku!"
Liap Hong menggigit giginya.
"Toan Toako telah mendapat luka berat," sahutnya,
"Walaupun dia tidak kena ditangkap, mungkin dia sukar
ditolong lagi. Tentang Su Sianseng, dia... dia... dia telah
membunuh dirinya di tempat peristiwa...! Maka itu, nyonya, kau
mesti lekas menyingkir, sekarang juga! Tak dapat kau
mengharap Toan Tayhiap nanti dapat datang menolongi kamu!"
He Leng Song yang lagi mengintai dan mencuri dengar
pembicaraan mereka itu menduga, setelah mendapat kabar
buruk itu, Nyonya Su bakal menangis menggerung-gerung atau
dia kaget hingga dia roboh semaput. Diluar dugaannya itu,
meski benar tubuh si nyonya menggetar, dia tak jatuh tak
sadarkan diri. Rupanya si Nyonya Sudah menduganya.
Dengan menggunai kedua tangannya, Lauw-sie bertahan
kepada meja di depannya. Dia hanya menjublak sejenak, terus
dia mengasih dengar tuamnya yang perlahan tetapi berat, "Aku
tidak mau pergi!"
Bukan main herannya Liap Hong, begitu pun Leng Song.
Opsir itu pikir, begitu ia memberi keterangan yang benar itu, si
nyonya bakal lantas berangkat, siapa tahu, Nyonya Su justeru
menolak! Liap Hong lantas kata perlahan, "Sie Ciangkun mengandung
maksud buruk terhadap kau, hujin. Kau... kau harus menjaga
diri'baik-buik..."
"Aku tahu," jawab Louw-sie. "Aku mengucap banyak terima
kasih untuk kebaikan kau ini. Tapi kepunisanku sudah tetap,
tak dapat itu ilirubah pula. Kecuali Sie Siong melemparkan aku,
pasti aku tidak akan berlalu dari sini!"
Kata-kata itu bukan melainkan diluar dugaannya Liap Hong.
He Leng Siong pun tidak menyangkanya sama sekali. Maka si
nona menjadi terperanjat.
"Ibu membilangi aku Louw-sie berpandangan luas, kenapa
sekarang dia menjadi begini keruh pikirannya?" ia berpikir.
"Mungkinkah ini disebabkan asabatnya mendapatkan
goncangan yang keras sekali hingga dia menjadi tak dapat
berpikir jernih lagi?"
Leng Song berpikir demikian, ia toh merasa aneh. Ia melihat
wajah Nyonya Su wajah dari ketetapan hati, meski benar
parasnya pucat. Itulah wajah yang mengandung semangat,
pertanda dari suatu keputusan yang * telah dipikir matang/
buah dari pemikiran yang jernih. Mantaplah hati si nona tetapi
sikapnya tenang. Sikap Louw-sie bukan sikap dari orang yang
pikirannya kacau.
Justeru itu terdengar suara tindakan kaki.
Liap Hong menghela napas.
"Oleh karena keputusan kau sudah pasti, nah, jagalah dirimu
baik-baik, hujin," kata ia.
Baru orang she Liap ini berlalu dari pintu samping, Sie Siong
bertindak masuk. Dia lantas mengasih dengar suaranya sabar,
"Hujin, ingin aku bicara dengan kau, tetapi aku kuatir
mengganggu dan membikin kaget padamu, kiranya kau belum
tidur..." "Kau hendak bicara apa?" tanya Louw-sie.
"Apakah aku memperlakukan kau baik?" Sie Siong tanya.
"Sie Ciangkun, kau telah melindungi kami ibu dan anak,"
kata Louw Sie, "Kau telah tidak membiarkan kami terjatuh ke
dalam tangannya An Lok San, untuk itu aku sangat bersyukur."
Sepasang alisnya Sie Siong terbangun. Dia bersenyum.
"Kau tahu aku bermaksud baik terhadapmu, itu bagus!" kata
dia, tertawa. "Sebenarnya, hujin, aku sangat mengagumimu.
Maka itu sekarang aku mau minta kau pandang rumah ini
sebagai rumahmu sendiri, supaya kau tinggal di sini dengan
hati tenang. Aku girang apabila aku dapat senantiasa
berdekatan dengan kau..."
Sembari berkata, opsir ini bertindak mendekati.
Sebelum orang datang dekat, Louw-sie sudah berkata
sungguh-sungguh, "Sie Ciangkun, aku minta sukalah kau ingat
bahwa akulah isterinya seorang yang telah memperoleh gelaran
dari Pemerintah Agung, maka itu, jikalau kau memperlakukan
aku dengan aturan, dapat aku berdiam di sini, apabila
sebaliknya, disinilah aku bakal menerima kematianku!"
Gagah sikap si nyonya, walaupun Sie Siong seorang militer
berhati keras, dia gentar juga. Bagaikan seorang hamba yang
menerima firman, dia lantas menghentikan tindakannya. Tetapi,
dia lantas berkata sambil tertawa manis, "Ah, mengapa berkata
begini" Untukku, sudah suatu kehormatan yang besar sekali
yang hujin sudi tinggal di sini! Mana berani aku memperlakukan
kau kurang hormat...?"
Leng Song melihat orang sukar sekali mengeluarkan katakata
umpakannya itu hingga ia tertawa dalam hatinya.
Louw-sie lantas menanya, "Kamu tidak mengijinkan aku
bertemu dengan suamiku, apakah maksudnya?"
"Oh, kiranya hujin selalu memikirkan suami hujin?" kata Sie
Siong. "I'antas hujin tak dapat tidur sampai jauh malam begini.
Aku kuatir hujin tak bakal bertemu pula dengan suami hujin
itu..." "Kenapa begitu?" si nyonya tanya, menegaskan. "Apakah...
apakah telah terjadi sesuatu atas diri suamiku itu?"
Leng Song tahu Louw-sie sengaja menanyakan apa yang dia
tahu, ia tak dapat menerka maksud orang.
Sie Siong lantas memperlihatkan roman sangat berduka.
Ketika ia menyahuti, ia berkata dengan perlahan, "Sebenarnya
warta ini tak tega aku memberitahukannya kepada kau, hujin,
setelah aku berpikir berulang-ulang, aku anggap lebih baik aku
memberitahukan juga. Ini bukanlah suatu berita yang baik,
akan tetapi mengingat hujin seorang yang cerdas, aku percaya,


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berita ini yang pahit getir, setelah aku sampaikan, akhirnya
bakal berbalik menjadi manis..."
"Sebenarnya warta apakah itu?" Louw-sie mendesak. ?
"Tak beruntung suamimu, hujin, dia telah meninggal dunia,"
sahut Sie Siong. "Suamimu itu tak sudi menurut kepada
Tayswe, sudah begitu tadi malam dia berkongkol dengan orang
jahat, yang datang menyerbu istana, selama satu pertempuran
kacau, suamimu terkena goloknya salah seorang Busu dari
Tayswe..."
Sebegitu jauh Louw-sie mencegah airmatanya, akan tetapi
sekarang ini ia tak sanggup menahannya terlebih jauh, ia lantas
menangis tersedu-sedu.
Sie Siong mengawasi. Ia melihat dalam tangisnya itu si
nyonya semakin ayu dan manis, ia menjadi merasa kasihan.
Maka ia kata perlahan untuk membujuki, "Hujin, orang yang
telah menutup mata tak dapat hidup kembali, karena itu, selagi
kau baru bersalin, baiklah kau jaga dirimu baik-baik. Tentang
penghidupanmu yang bakal datang, jangan kau buat kuatir,
semuanya ada aku yang nanti urus dan jamin. Bahkan jikalau
kau setuju, aku ingin kau menjadi penulis pribadiku, untuk kau
sekalian mendidik dan memberi pelajaran kepada anak-anakku.
Tentang kematian suamimu, itu memang benar hal yang
menyedihkan, tetapi orang sudah meninggal dunia, apa bisa
dibilang lagi" Sebaliknya dengan begitu beres sudah urusan dia,
" urusannya itu tak bakal merembet-rembet pula kepada kau!
Hujin, legakanlah hatimu, kau anggaplah tempatku ini sebagai
tempat kau menempatkan dirimu untuk selama-lamanya."
Louw-sie mengangkat kepalanya, ia terisak.
"Ciangkun, kau baik sekali," kata ia. "Tentang tawaranmu
untuk aku bekerja padamu, baik belakangan saja kita bicarakan
perlahan-lahan. Sekarang ini aku sebatangkara, kalau suka aku
mohon Ciangkun membantui aku mengurus jenazahnya
suamiku sampai dengan penguburannya."
"Inilah mudah!" sahut Sie Siong cepat. "Memang aku telah
mohon ijinnya An Tayswe untuk mengurusnya. Sekarang ini
jenazah suami hujin telah berada di luar gedung, tinggal
menantikan hujin memilih hari untuk menguburnya."
Louw-sie mengangguk. Ia kata pula, "Sekarang masih ada
suatu permintaanku yang kurang pantas. Kami menjadi suami
isteri, karena itu sudah selayaknya aku berkabung untuk
suamiku, tetapi aku di sini tidak mempunyai rumah tangga,
karena itu tak tahu apakah Ciangkun sudi memberi perkenan
buat aku mengatur meja abu suamiku di sini serta untuk
penghabisan kalinya aku menemui suamiku itu?"
Itulah permintaan yang tak selayaknya. Adalah anggapan
apes atau pantangan menempatkan jenazah bukan sanak
bukan kandung di rumah sendiri, tetapi Sie Siong ingin
mengambil hatinya si nyonya cantik, dengan lantas ia
memberikan persetujuannya.
Kata ia lantas, "Hujin puteri dari sebuah keluarga terhormat
dan juga menjadi nyonya yang memperoleh gelaran dari
Pemerintah Agung, dari siang-siang aku telah menduga hujin
bakal melakukan perkabungan untuk suamimu, dari itu tanpa
menanti perintahmu, aku sudah mengaturnya semua. Mana
orang?" Benarlah, dengan cepat sekali muncul pelbagai hamba yang
membawa datang segala macam keperluan alat sembahyang,
seperti sin-cie, hio-louw, cek-tay, lilin dan hio serta gin-coa,
disusul dengan peti jenazah.
Semua itu sudah lantas diatur rapi di dalam sebuah ruang di
dalam gedung itu. Sedang dua orang budak perempuan
membawakan pakaian berkabung. Habis menyalin pakaian,
Louw-sie menyuruh membuka tutup peti, untuk ia melihat
wajah suaminya untuk penghabisan kali, sembari menangis, ia
kata, "Suamiku, oh, kau sungguh bersengsara..."
"Sudah hujin, jangan kau terlalu bersedih" Sie Siong
membujuk. Ia lantas menitahkan kedua budak menarik si
nyonya, untuk dibujuki, sedang orang-orangnya diperintah
lekas menutup dan memantek peti mati itu.
Louw-sie menjalankan kehormatan dengan menjura dalam
terhadap suaminya itu, dengan suara sangat berduka ia kata,
"Seorang kesatria terbinasa untuk orang yang mengenalnya,
seorang wanita memberi wajahnya untuk orang yang
mencintainya, maka itu suamiku, kau dapat melakukan
tanggung jawabmu terhadap Toan Toako, aku mana dapat tak
bersetia terhadapmu...?"
Habis mengucap itu, mendadak nyonya ini mengeluarkan
gunting dari dalam tangan bajunya dengan apa ia terus
menusuk mukanya berulang kali!
Sie Siong kaget bukan main. Itulah diluar dugaannya. Ia pula
tak dapat berlompat untuk mencegah. Di sisinya si nyonya ada
budak-budak perempuan yang ditugaskan melayaninya. Di
samping itu, luka di dengkulnya bekas tikaman pedang Toan
Kui Ciang membuatnya kurang leluasa bergerak. Maka ia
melainkan menjublak mengawasi.
Ketika beberapa budak dapat merampas gunting dari 'tangan
si nyonya, muka Louw-sie sudah terluka dan berlumuran darah.
P&sti sekali karena luka-lukanya itu, lenyaplah kecantikannya
yang menggiurkan hati Sie Siong.
Ketika itu Louw-sie meratap, "Suamiku, baiklah kau
mengerti, untuk anak kita, untuk sementara aku tidak akan
mati dulu, maka sudilah kau maafkan aku...!"
Kemudian budak perempuan kecil yang melayani Louw-sie
mempepayangnya masuk ke ruang belakang
Sie Siong merasa sayang berbareng mendongkol dan gusar.
Maka bagaikan gunung berapi meletus mendadak, dia deliki
budak-budaknya dan mendampratnya, "Apakah kamu semua
bangkai hidup" Kenapa kamu tidak mencegah" Sungguh
celaka! Bagaimana ini bisa terjadi" Buat apa kamu masih
berdiam saja di sini" Pergi semua!"
Koanke, atau kuasa rumah keluarga Sie, tanya perlahan,
"Apakah perlu diundangi tabib untuk menolong Louw-sie?"
Sie Siong masih gusar, maka sebelah tangannya melayang,
"Plok!"
"Kau gila!" bentaknya. "Apakah kau hendak bikin urusan jadi
diketahui umum" Pernah apa kau dengan dia maka kau
menjadi repot tidak keruan?"
Koanke itu lantas sadar kenapa Sie Siong sangat
memerlukan Louw-sie. Tak lain tak bukan, itulah guna
mengambil hatinya nyonya yang cantik itu.
Sekarang si Nyonya Sudah rusak mukanya, wajahnya telah
menjadi bercacad, dia tentu tak membutuhkannya pula. Setelah
sadar, guna mengambil hati si majikan, ia cepat-cepat kata,
"Ya, ya, aku tolol! Aku tolol sekali! Karena itu, ruang ini perlu
dirombak, bukan?"
Sie Siong mengulapkan tangannya. Dia justeru hendak
mengatakan, "Peti matinya juga buang sekalian!" atau
mendadak dia batal sendirinya. Sebab dia melihat Liap Hong
bertindak masuk seraya orang she Liap itu berkata, "Aku
dengar kau lagi mengurusi jenazahnya Su Cinsu, kenapa kau
nampaknya begini gusar?"
Liap Hong ini pernah adik misan dari Sie Siong, ia pun
menjadi sebawahan. Di dalam halnya ilmu silat, Liap Hong juga
jauh terlebih liehay. Banyak jasanya yang ia dapat mengandal
dari bantuannya opsir she Liap ini.
Karena itu, di antara rekan-rekannya, cuma Liap Hong yang
dapat datang atau masuk kerumahnya tanpa pemberitahuan
lagi. Sebagaimana kali ini orang she Liap itu masuk terus ke
dalam, hingga dia mendengar suara bengis dari kakak misan.
"Memang aku lagi sangat mendongkol karena urusan ini!"
katanya sengit. "Kau lihat! Masa di kolong langit ini ada
perempuan yang begini tidak tahu diri" Aku perlakukan dia
mirip permaisuri atau ratu, sampai aku tak menghiraukan
kesialan, ruang ini aku jadikan ruang kebaktian untuk ia
terhadap suaminya, tetapi dia tak memperdulikan kebaikanku
ini, dia cuma ingat suaminya saja! Dia kata, wanita itu cuma
untuk orang yang mengerti dirinya sendiri! Begitulah, setelah
suaminya mati, dia merusak kecantikannya! Hm! Hm! Kalau aku
tak tahan sabar, pasti aku telah membunuhnya!"
Liap Hong tertawa.
"Apakah kau maksudkan Su Hujin?" dia tanya. "Kalau benar
dia, harus kau ingat dialah wanita terhormat! Dia telah baca
tentang wanita-wanita setia dan putih bersih, tentang kitabkitab
pujangga, karenanya tak seharusnya kau memikir hendak
mendapatkannya. Sekarang dia telah merusak wajahnya, dia
justeru harus dipuji dan dihormati! Kenapa kau umbar napsu
amarahmu" Buat apa kau membangkitkan kemarahannya"
Laginya kalau kau mau menolong orang, kau mesti menolong
sampai diakhirnya! Sekarang kau ganggu dia, kalau hal ini
sampai teruwar, pasti orang banyak akan mencelamu! Maka itu
baiklah kau membiarkan dia berkabung untuk suaminya,
supaya sebaliknya kau mendapat nama harum."
Sebenarnya, terhadap sikapnya Louw-sie merusak wajahnya,
Sie Siong merasa sedikit kagum, maka itu, meski dia lagi
mendongkol dan gusar itu, mendengar nasihatnya Liap Hong,
lantas dia dapat menyabarkan diri.
"Baiklah," katanya. "Dengan memandang kepada kau, suka
aku memberi ijin buat dia berdiam terus di sini. Biar dia nanti
mengajari ilmu surat kepada anakku..."
Ketika itu, Louw-sie telah diantar ke dalam kamarnya. Oleh
karena orang tahu Sie Siong, si majikan lagi gusar, tidak ada
orang yang berani datang merawatnya kecuali seorang budak
kecil yang mulanya Sie Siong mewajibkan mengurusnya. Budak
ini baik, dia membalut lukanya si nyonya, dia telah pergi
kepada seorang pengawal untuk minta obat luka.
Louw-sie meletaki kepalanya di bantal kepala. Bantal itu
bersulamkan sepasang burung wanyoh atau bebek mandarin.
Darahnya meleleh membuat bantal sulam itu, di betulan
sulaman wanyoh, menjadi penuh darah.
Dengan dia berada sendirian, nyonya ini tidak mendengar
apa-apa lagi. Didalam kesunyian itu, ia kata dalam hatinya,
"Pastilah orang tidak berani datang melihat aku pula. Inilah
lebih baik lagi! Su-long, suamiku, kau boleh tenangkan dirimu
menantikan aku..."
Tiba-tiba gorden tersingkap. Tanpa terdengar tindakan
kakinya, seorang nona masuk ke dalam kamarnya itu. Ia
menjadi kaget. "Siapa kau?" ia tanya cepat. "Cara bagaimana kau berani
menjenguk aku?"
Ia menyangka nona itu salah satu budak lainnya.
Nona itu menyahuti perlahan, "Ie-ie Tiap, jangan kaget,
jangan takut... Aku datang untuk menolongi kau. Akulah He
Leng Song. Ibuku ialah kakak misanmu, Leng Soat Bwe. Ie-ie
masih ingat, bukan?"
Louw-sie atau Nyonya Su menjublak bahna heran. Memang,
nama kecilnya ialah Bong Tiap, artinya "Bermimpikan kupukupu".
Nama itu tak ada yang ketahui kecuali teman-temannya
semasa kecil serta suaminya.
Sekarang nona ini mengetahuinya, bahkan ia dipanggil Ie-ie,
bibi. Ia lantas menatap. Ia melihat seorang nona yang tidak
dikenal, hanya roman nona ini benar mirip dengan romannya
Soat Bwe, kakak misannya itu. Karena ini, ia tidak
menyangsikan lagi. Ia girang berbareng kaget. Lantas ia cekal
erat-erat tangan si nona.
"Kau mirip benar ibumu!" katanya. "Bagaimana caranya kau
masuk kemari?"
Perbuatan nona itu pun mengherankannya.
Leng Soat Bwe gadisnya seorang pembesar, dengan Louwsie
dia pernah misan. Dia kakak karena usianya lebih tua
delapan tahun. Ketika Bong Tiap baru berumur sebelas tahun,
Soat Bwe ikut ayahnya yang menjadi Cam-kun dari seorang
pembesar berpangkat Ciat-touw-su di kota Louw-liong.
Semenjak itu keduanya tak pernah saling bertemu pula. Sang
tempo telah lewat dua puluh satu tahun.
Semasa masih kecil itu, Soat Bwe dan Bong Tiap saling
menyayangi. Sang kakak baik hatinya, sang adik cerdas. Pada
masa usianya delapan atau sembilan tahun, Bong Tiap pernah
dengar orang tua omong halnya Soat Bwe tak menyukai
pekerjaan yang menjadi kewajiban wanita, yaitu menyulam dan
lainnya, sebaliknya dia gemar ilmu silat, bahkan satu kali, ketika
dia diuji dengan salah satu Busu ayahnya, dia telah
merobohkan Busu itu.
Hal ini Bong Tiap tak tahu pasti, maka ia tanyakan kepada
kakak misannya itu, sekalian ia minta diajari ilmu pedang. Atas
itu Soat Bwe sembari tertawa kata padanya, "Kau cuma
mendengar ocehan mereka! Siapa bilang aku mengerti ilmu
silat pedang" Yang benar aku sering mengintai para Busu lagi
berlatih, dengan diam-diam aku meneladnya. Maka itu aku jadi
mengerti beberapa jurus. Ayahku pembesar militer tapi orang
masih mentertawakan aku yang mengerti sedikit ilmu silat,
apapula kau. Buat apakah kau mempelajarinya?"
Bong Tiap memang tak ketarik dengan ilmu silat, ia minta
diajari separuh bergurau, maka permintaannya ditolak
kakaknya itu, ia diam saja.
Tak lama ayah Leng Soat Bwe memangku jabatannya, dia
menutup mata di LouwTiong. Lalu sehabis itu, Bong Tiap tak
mendengar kabar apa-apa lagi dari keluarga Leng itu. Ia tidak
pernah menyangka kakak itu telah tersohor sebagai liehiap,
wanita gagah perkasa.
Ketika kemudian Bong Tiap menikah, ia seperti telah melupai
kakak misannya itu. Sekarang, berselang dua puluh satu tahun,
di saat ia menghadapi kemalangan ini, siapa nyana gadisnya si
kakak misan muncul secara tiba-tiba. Bahkan nona itu, sang
keponakan, hendak menolongnya.
Leng Song sudah lantas menolongi bibinya itu mencegah
darahnya keluar terus. Ia kata dengan perlahan sekali, "Ie-ie,
jangan takut! Tak ada yang tahu aku datang dan masuk ke
mari! Ie-ie jangan sangsi pula, mari aku gendong kau pergi!"
Louw-sie menggeleng kepala.
"Untukku kau sudah menempuh bahaya ini, aku sangat
bersyukur terhadapmu," katanya. "Akan tetapi, aku sudah
mengambil kepastian, aku tidak mau pergi dari sini!"
Leng Song melengak saking heran. Dia jadi bergelisah
sendirinya. "Kenapa?" tanyanya cepat. "Apakah ie-ie kuatir tak sanggup
aku menggendong ie-ie keluar dari tempat berbahaya ini" Ie-ie
jangan kuatir! Ilmu silatku belum dapat dibilang tinggi sekali
tetapi semua Busu di sini tak ada yang aku takuti!"
"Aku percaya kepandaian kau," berkata Louw-sie.
"Sedarilaku kecil telah kuketahui ibumu pandai silat ilmu


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang. Kau puterinya, kau juga tentulah seorang wanita
gagah. Oh, bicara tentang ibumu itu, aku dan dia telah tidak
bertemu dua puluh satu tahun lamanya! Apakah ibumu baik?"
"Baik!" sahut Leng Song singkat.
"Kapannya ibumu itu menikah?" Louw-sie menanya. "Aku tak
tahu hal menikahnya itu! Bagaimana dengan ayahmu!
Dimanakah dia berusaha?" Matanya si nona menjadi guram.
"Ketika aku terlahir, ayah sudah menutup mata," sahutnya.
"Ie-ie Tiap, inilah urusan keluarga, dapat di belakang hari kita
bicarakan pula perlahan-lahan. Aku tidak mengerti kenapa ie-ie
tidak piau pergi" Menurut aku, ini bukannya tempat dimana ieie
dapat berdiam lebih lama pula! Benar ie-ie telah merusak
parasmu, untuk mematikan hatinya si orang she Sie yang busuk
itu, tetapi dimana ie-ie masih mempunyai sanak, buat apa ie-ie
bernaung berlindung pada lain orang" Buat apa ie-ie berdiam di
sini untuk hanya memandang cecongor orang?"
Nyonya Su menyeringai, ia tertawa sedih.
"Aku sudah mempunyai pikiranku sendiri!" sahutnya. "Kelak '
dibelakang hari kau bakal mengerti. Budak pelayanku bakal
lekas kembali, kau pergilah lekas! Aku sangat kangen kepada
ibumu, maka tolong kau tuturkan lagi pada sesuatu mengenai
ibumu itu... Bagaimana caranya maka kamu mengetahui aku
mendapat susah di sini?"
"Semenjak aku dilahirkan, aku tinggal bersama-sama ibuku,"
Leng Song memberi keterangan. "Kami tinggal di dalam sebuah
desa kecil'di kaki gunung Giok Liong San. Setiap hari ibu
mengajari aku surat dan silat, cuma sebegitu, tak lebih, tak ada
istimewa. Tahun yang baru lewat, ibu menganjurkan aku
merantau. Aku telah masuk usia delapan belas tahun dan ibu
bilang baiklah aku pergi mencari pengalaman, sebab
kepandaian silatku sudah cukup maju. Ibu sekalian memberi
tugas kepadaku, ialah untuk mencari kau, ie-ie. Pada tanggal
tiga kemarin ini aku sampai di rumah engku, ipar ibuku, baru
aku mendapat tahu ie-ie telah menikah dengan Keluarga Su.
Justeru itu aku menjadi mendapat tahu juga bahwa pada
tanggal satu malam, ie-ie lenyap tidak keruan paran. Engku
semua menjadi bergelisah memikirkan ie-ie. Lantas aku pergi
ke tempat kediaman ie-ie, untuk mencari keterangan.
Kebetulan aku bertemu seorang muridnya Toan Tayhiap. Dia
mengatakan bahwa juga Keluarga Toan lenyap pada tanggal
dua. Murid Toan Tayhiap itu pun menyebut halnya pada
tanggal satu An Lok San telah lewat di dusun ie-ie, lalu ketika
dia pergi ke rumah gurunya, guna memberi selamat tahun
baru, dia melihat roman gurunya guram, beda daripada
biasanya. Mendengar semua itu, aku menduga bahwa
lenyapnya kedua keluarga mesti bersangkut paut satu dengan
lain. Ibu pernah omong padaku halnya permusuhan di antara
kedua keluarga An dan Toan. Mengingat bahwa orang tentu
banyak yang mengenal Toan Tayhiap, aku segera berangkat ke
kota raja ini guna mencarinya. Tak usah aku menjelaskan lagi
bagaimana caranya aku membuat penyelidikan, terangnya ialah
aku berhasil mengetahui halnya ie-ie dibawa lari An Lok San.
Kemudian lagi berkat bantuan seseorang, aku mendapat
dengar perihal satu orangnya An Lok San omong tentang ie-ie
ada di rumah orang she Sie ini. Sebenarnya tadi malam aku
hendak datang ke mari, apa mau aku terhalang oleh suatu
janji, maka itu baru sekarang aku tiba di sini!"
Habis menutur itu, si nona memegang tangan bibinya itu.
"Ie-ie Tiap," katanya, menambahkan, "Sebenarnya apakah
maksud ie-ie" Apakah ini disebabkan ie-ie hendak membalas
sakit hatinya ie-thio" Taruh kata itu benar, aku anggap paling
baik ie-ie menyingkir dulu dari mulut harimau ini. Nanti
bersama-sama ibuku ie-ie dapat memikirkan daya menuntut
balas!" Louw-si tertawa meringis.
"Pembalasan sakit hati?" katanya. "Bagaimana mudah untuk
mengucapkannya! Istana An Lok San bukan seperti rumah ini!
Dia mempunyai banyak pahlawan! Meski benar kamu ibu dan
anak gagah perkasa, kamu yang berjumlah sedikit tak dapat
melawan yang jumlahnya besar! Di samping itu, tugas
menuntut balas untuk suamiku ialah tugasku sendiri! Maka itu
tak dapat dalam urusan yang begini berbahaya, aku
membuatnya kamu ibu dan anak nanti terembet-rembet!"
"Apakah dengan berdiam di rumah Keluarga Sie ini, ie-ie
dapat menuntut balas?" tanya Leng Song heran. "Dapatkah ieie
membinasakan An Lok San?"
Saking bingung, Nona He mengeluarkan pertanyaannya itu.
Ia menyesal. "Aku lemah, tetapi aku dapat berpikir!" kata dia, suaranya
dalam. "Untuk mencari balas tak selamanya orang mesti
mengandalkan golok atau pedang! Aku sudah mengambil
keputusannya, tak dapat itu diubah! Pergilah kau pulang, kau
sampaikan hormatku pada ibumu, kau tanyakan kewarasannya!
Bilangi juga bahwa aku sangat bersyukur kepadanya, bahwa
selanjutnya tak usahlah ia pikirkan pula padaku..."
Suara Nyonya Su parau tetapi itulah suara pasti, seperti
pastinya air mukanya, meskipun muka itu mandi darah. Maka
itu dia nampak menjadi keren.
Sebenarnya Leng Song tidak puas, akan tetapi ia tidak
sanggup mengubah lagi putusannya nyonya itu, maka ia
terpaksa berdiam. Tak mau ia membujuk pula. Tapi ia tanya,
"Ie-ie, masih ada apa lagi pesanmu?"
"Coba kau tarik dekati aku ayunan itu," minta si nyonya.
"Aku ingin melihat anak perempuanku..."
Leng Song menurut.
Anak itu merasakan goncangan, dia membuka matanya,
rupanya dia melihat muka ibunya lain daripada biasanya, lantas
dia menangis. "Diam, manis!" Louw-sie membujuki bayinya itu, yang ia
tepuk tepuk perlahan. "Jangan takut! Meski roman ibumu
menakuti tetapi hatiku tetap menyayangimu!"
Anak itu seperti mengerti perkataan ibunya, dia berhenti
menangis. Leng Song menyaksikan itu, ia terharu bukan main.
Louw-sie berpaling kepada si nona.
"Mengenai Toan Tayhiap, kemarin aku mendengar satu
kabaran hal dia," katanya. "Karena menolongi suamiku, dia
sudah bertempur dcng.ni pahlawan-pahlawannya An Lok San
dan telah terluka parah karenanya hanya entahlah, bagaimana
keadaannya, dia mati atau tidak. Dapatkah k.m menolongi aku
mencari dia?"
"Memang aku hendak memberitahukan kau, ie-ie," kata si
noua "Kemarin malam aku telah bertemu dengan Toan
Tayhiap. Dia baru sa|a lolos dari istananya An Lok San. Dia
menyingkir ke sebuah kuil tua..."
"Habis bagaimana dengan dia?" si nyonya tanya, bernapsu.
"Benar, dia telah terluka parah. Akan tetapi dia belum mati."
Leng Song menjelaskan mengenai Toan Kui Ciang.
Louw-sie kaget berbareng girang, hingga ia berdiam sekian
lama "Kalau nanti kau bertemu pula dengannya, "Kata ia selang
m"..mI "Tolong kau sampaikan sepatah dua perkataanku. Ialah
kami ibu il.m .mak berada di dalam gua harimau, meski aku
berkeputusan merawat anakku mi, harapanku tipis sekali,
segala apa sukar dipastikan dari sekarang, maka itu karena aku
tidak ingin mensia-siakan puteranya, apabila pulcr.mya 'feJ
sudah besar dan dewasa, baiklah dia mencarikan jodoh lainnya,
supaya puteranya itu dapat menikah."
Leng Song heran.
"Oh, kiranya ie-ie berbesan dengan Toan Tayhiap..."
kat.mya. Ketika itu terdengar tindakan kaki di luar.
"Sudah waktunya kau pergi!" kata Louw-sie menghela napas.
Leng Song pun menarik napas.
"Ie Tiap, rawatlah dirimu baik-baik!" pesannya. "Pesanmu ini
akan aku ingat baik-baik."
Nona He lantas menyingkirkan diri dengan naik ke atas
genteng. Segera juga budak pelayan datang bersama dua orang opsir,
yang satunya ialah yang Louw-si sebut sebagai Liap Hong.
Mereka itu datang membawakan obat luka buat si nyonya.
Matanya Liap Hong tajam. Ia melihat sesosok bayangan
berkelebat. Ia terkejut. Lantas ia menghentikan tindakannya
seraya terus berkata, "Tak dapat aku masuk ke dalam kamar
hujin. Siauw Hong, kau saja yang menolongi menyampaikan
hormatku! Bukankah kau masih ingat caranya menggunai obat
luka itu" Oh, saudara Lauw, tolong kau menjelaskannya lagi
sekali!" Busu she Lauw itu menjadi pujaannya Siauw Hong, maka
Siauw Hong meminta obat luka kepadanya untuk Louw-sie,
kebetulan sekali mereka bertemu dengan Liap Hong.
Aturan rumah tangga Sie Siong keras. Siauw Hong ketahui
itu, maka ia tahu juga, ia dapat dihukum Sie Siong apabila Sie
Siong ketahui ia mencari obat untuk Louw-sie. Tapi, bertemu
dengan Liap Hong, keduanya selamat. Liap Hong ketahui
maksud orang, dia suka menolongi. Ada bersama dia, sekalipun
Sie Siong sendiri tak akan menghukumnya.
Liap Hong membiarkan dua orang itu berbicara, ia keluar
seorang diri. Setelah melihat ada orang di dekatnya, ia lompat
naik ke atas genteng. Selagi ia mengawasi kelilingan, tiba-tiba
ia merasakan angin menyambar, lalu ujung pedangnya Leng
Song sudah diarahkan terhadapnya.
Nona He lantas berkata perlahan, "Kau jangan bersuara, aku
tidak mau membunuhmu!" S
Liap Hong menoleh dan melengak. Ia melihat seorang nona
cantik berdiri di hadapannya, pakaiannya singsat, romannya
gagah. "Liap Ciangkun, aku tahu kaulah seorang baik," kata Leng
Song selagi orang mengawasi padanya. "Bahkan selanjutnya
aku masih mengharap segala bantuanmu untuk Louw-sie."
Lega hati Liap Hong. Sekarang ia ketahui orang datang
untuk menolong Louw-sie.
"Jikalau Louw-sie terancam sesuatu," Leng Song memesan,
"Tolong kau mengirim orang memberi kabar pada ibuku di
dusun Se Kong Tin di gunung Giok Liong San. Ibuku dipanggil
Soat Bwe, asal namanya disebutkan, seluruh penduduk
mengenalnya. Mengenai kau, Liap Ciangkun, aku
menyayangimu. Kau baik dan gagah, mengapa kau kesudian
menjadi kaki tangannya orang jahat" Umpama kata dibelakang
hari kau tak dapat tempat pada An Lok San, kau boleh
menjauhkan diri, nanti aku membicarakan halmu kepada Toan
Tayhiap, supaya Toan Tayhiap memberikan suaranya untukmu,
agar dengan begitu tidaklah kaum Kang Ouw nanti
memandangmu sebagai musuh."
Liap Hong terkejut mendengar si nona menyebut nama Leng
Soat Bwe, sampai sekian lama baru ia dapat menenangkan diri.
"Terima kasih untuk kebaikan hati kau ini, liehiap," kata ia
kemudian. "Untuk Louw-sie, dimana tenagaku sanggup, aku
bersedia memberikan bantuanku. Aku pun mohon bantuan
liehiap, yaitu apabila liehiap bertemu Toan Tayhiap, tolong
sampaikan hormatku kepadanya serta tolong mintakan
maafnya yang aku terpaksa menempur padanya."
"Baik!" sahut si nona. "Asal kau bertujuan menjadi orang
baik, tidak nanti Toan Tayhiap memusuhkanmu!"
Habis berkata, Leng Song menarik pulang pedangnya, terus
ia berlompat pergi, hingga sekejab saja ia lenyap seperti asap
buyar. Ia berlalu dengan hati lega tanpa merasa bahwa saking
percaya pada Liap Hong, ia telah membocorkan tempat
kediaman ibunya.
********* VII Sementara itu Lam Ce In yang bersama Tiat Mo Lek
mengantarkan Toan Kui Ciang berangkat ke Touw Ke Ce,
selama tiga hari telah dapat melakukan perjalanannya dengan
hati lega. Di tengah jalan itu tidak ada terjadi sesuatu.
Di hari kempat, tibalah mereka di Peng-louw. Dari situ, lagi
dua ratus lie, akan tibalah mereka di tempat yang menjadi
lingkungan pengaruh Touw Ke Ce.
Selama itu, kesehatannya Toan Kui Ciang maju pesat. Dia
dapat dahar bubur. Ce In dan Mo Lek menjadi semakin lega
hati. Hari itu selagi kereta keledai jalan di jalanan pegunungan,
mendadak terdengar suara mengaungnya "Hiang Cian," yaitu
panah yang dapat bersuara nyaring. Menyusul itu, yang
menjadi suatu isyarat, dari pengkolan gunung terlihat
munculnya dua orang penunggang kuda
berpakaian hitam.
"Ah, itulah segala bangsat cilik yang matanya buta!" kata
Tiat Mo Lek tertawa. "Mereka menganggap kita seperti
kambing-kambing gemuk, tak tahunya mereka melanggar
dato!" Kedua penunggang kuda itu sudah lantas mengasih dengar
suara, "Yang duduk di kereta itu apakah Tayhiap Toan Kui
Ciang" Cecu kami mengundang Tayhiap!"
Tiat Mo Lek heran.
"Aneh! Orang justeru datang mengundang!" katanya seorang
diri. "Dua orang ini bukan orang-orangnya ayah angkatku!
Tempat; ini bukan wilayah pengaruhnya Ong Pek Thong serta
di sini juga belum pernah terdengar ada mengeram penjahat
asal lain tempat! Ah, siapakah mereka?"
Toan Kui Ciang mendengar suara orang, ia menyingkap
tenda kereta. "Aku tidak kenal dua orang itu," kata ia. "Lam Hiante, tolong
kau bicara dengan mereka itu, untuk menyampaikan
penolakanku."
i Sebenarnya Tiat Mo Lek ingin sekali maju bicara akan tetapi
Lam Ce In sudah mendahului ia, terpaksa ia berdiam diri di atas
kereta, menemui Kui Ciang.
"Aku numpang tanya, siapakah itu cecu kamu yang
terhormat?" Ce In tanya setelah menghampirkan kedua
penunggang kuda itu.
"Kalau nanti Toan Tayhiap sudah bertemu dengannya, tentu
tayhiap akan mengenalnya sendiri!" sahut satu di antara kedua
penunggang kuda itu.
"Toan Tayhiap sedang sakit," kata Lam Ce In, "Kami dalam
perjalanan buru-buru mengantarnya pulang ke rumah sanaknya
di Touw Ke Ce, karena itu/ jikalau cecu kamu ialah sahabatnya
tayhiap, justeru dari sini ke Touw Ke Ce cuma seperjalanan dua
hari, silahkan minta ia berkunjung saja ke Touw Ke Ce untuk
dapat bertemu satu dengan lain."


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Touw Ke Ngo Houw, Lima Harimau dari Touw Ke Ce,
menjadi pemimpin Rimba Hijau di Utara, karena itu Lam Ce In
tak sangsi-sangsi untuk bicara dengan sebenar-benarnya,
bahkan ia sengaja memberitahukan itu dengan maksud
menggertak agar pertempuran dapat dicegah.
Kedua penumpang kuda itu tak berubah parasnya
mendengar disebutnya Touw Ke Ce. Yang satu malah berkata,
"Tentang Toan Tayhiap kurang sehat kewarasannya, siangsiang
kami sudah mendapat tahu. Justeru karena itu maka cecu
kami mengundangnya. Cecu ingin, karena pernahnya terlebih
dekat, baiklah Toan Tayhiap berobat di tempat kami saja."
Yang lainnya lantas menambahkan, "Nama besar Toan
Tayhiap telah lama kami dengar, sungguh kebetulan hari ini
tayhiap lewat di sini maka itu biar bagaimana, kami harus dapat
mengundangnya datang ke benteng kami untuk bertemu
dengan sekalian saudara kami!"
Lam Ce In orang Kang Ouw ulung, mendengar suaranya
kedua orang, ia lantas bisa menduga bahwa orang yang disebut
"Cecu," ketua benteng, oleh dua orang ini pasti mengandung
maksud tidak baik terhadap Toan Kui Ciang. Bahkan dia mesti
musuh. Rupanya musuh hendak merampas Kui Ciang selagi Kui
Ciang sakit, supaya Kui Ciang tidak dapat membantui Touw Ke
Ce. Ia pun percaya, cecu itu sebenarnya tak bersahabat dengan
Kui Ciang. Kalau tidak, tidak perlunya dia tak mau muncul
sendiri atau pun mengirimkan saja kartu namanya. Walaupun
demikian, ia masih dapat berlaku sabar.
"Cecu kamu baik sekali, kebaikannya itu diterima oleh Toan
Tayhiap," berkata ia. "Tetapi keluarga Touw itu sanaknya,
sudah selayaknya dia harus pergi dulu kepada sanaknya itu
untuk membuat pertemuan. Tayhiap lagi sakit, tak dapat ia
bertemu dengan kamu, tuan-tuan, maka itu dia telah memesan
padaku untuk meminta kamu menyampaikan pada cecu kamu,
andaikata cecu kamu itu tidak dapat berkunjung ke Touw Ke
Ce, nanti saja setelah sembuh, tayhiap akan pergi berkunjung
kepada cecu kamu itu."
Dua penunggang kuda itu mengasih lihat roman tawar.
"Benarkah Toan Tayhiap mengatakan demikian?" kata yang
satunya. "Baiklah, anggap saja demikian jawabannya atas
undangan kami! Tapi kami menerima perintah cecu, maka itu
kami sendiri yang minta tayhiap suka menemui cecu kami!"
Habis berkata begitu, orang itu berseru, maka lantas dari
pelbagai rumpun rumput dan aling-alingan batu besar terlihat
keluarnya kawanan berandal dengan semuanya membekal
senjata masing-masing.
Lam Ce ln menjadi mendongkol, maka dengan menerbitkan
suara nyaring, ia menghunus golok mustikanya, lalu dengan
goloknya itu ia menuding kedua penunggang kuda tersebut.
"Apakah perbuatan kamu ini bukannya menyulitkan orang?"
ia menegur. "Kamu memaksa, baiklah! Karena kamu
menghendaki begini, aku Lam Pat, suka aku mewakilkan Toan
Tayhiap melakukan perjalanan ke benteng kamu itu! Hanya
terlebih dahulu baiklah kamu tanya golokku ini dia suka
mengijinkan aku pergi atau tidak! Orang kamu sudah kumpul
atau belum" Silahkan mereka maju berbareng!"
Dua orang itu terkejut mendengar disebutnya nama Lam Pat,
mereka mengawasi sekian lama, lantas mereka saling
memandang. Cuma sebentar, keduanya tertawa lebar.
"Kiranya Lam Tayhiap dari Gui-ciu!" kata yang satu. '''Maaf,
kami benar-benar kurang hormat! Hanya, Lam Tayhiap,
suararriu barusan ternyata memandang enteng sekali kepada
kami! Kami orang-orang tak ternama, tak berani kami
menempur kau satu dengan satu, tetapi juga benar kami
bukannya bangsa kurcaci, yang gemar akan kemenangan main
keroyok, maka itu, kebetulan kami berdua saudara pernah
mempelajari semacam ilmu golok, justeru ada ini ketika yang
bagus, ingin kami mohon tayhiap memberi pelbagai petunjuk
kepada kami! Apakah tayhiap sudi"
Atau kalau tayhiap menganggap permohonan kami ini tidak
adil, nah silahkanlah itu saudara kecil she Tiat yang berada di
atas kereta datang kemari untuk bermain bersama-sama! Kami
tahu bahwa kami bakal kalah, tetapi kami akan rela menerima
kekalahan kami itu!" Ce In tertawa dingin.
"Jikalau tuan-tuan pasti ingin menempur kau si orang she
Lam, tentu selalu suka aku menemani!" kata ia. "Tuan-tuan
maju satu orang, akan aku menyambut dengan sebatang
golokku ini, andaikata tuan-tuan maju berdua berbareng, aku
akan menyambutnya dengan ini golok sebatang juga!"
Dua penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya
masing-masing. Keduanya tertawa keras.
"Benar-benar Lam Tayhiap orang gagah perkasa!" kata yang
satu. "Baiklah, kami berdua saudara akan mempertunjuki
kejelekan kami! Tetapi, tayhiap, tak sanggup kami menerima
kata bertempur dari tayhiap barusan, kami cuma mohon
pengajaran. Karena golok tayhiap sangat tajam, kami juga
mohon sukalah tayhiap berlaku murah hati!"
"Kata-kata yang bagus! Kata-kata yang bagus!" Ce In
berseru. "Tuan-tuan, jangan kamu terlalu merendah! Karena
kamu cuma ingin melatih ilmu silat kamu dengan aku si orang
she Lam, baiklah, mari kita main-main hanya sampai batas
saling towel, jadi di antara kita tak ada soal siapa kalah siapa
menang!" Kedua orang itu menghunus golok mereka.
"Silahkan tayhiap memberikan pengajaran!" katanya.
"Eh, tunggu dulu!" mendadak Ce In berkata.
Dua orang itu heran hingga melengak.
Ce In memasuki goloknya ke dalam sarungnya, ia menoleh
ke arah kereta untuk berkata nyaring, "Mo Lek, mari kita tukar
golok kita!"
Ia pun meloloskan golok dari pinggangnya, terus dilempar ke
kereta. Mo Lek menyambuti dengan heran.
Toan Kui Ciang sambil rebah kata perlahan, "Mo Lek,
serahkan golok di pinggangmu kepadanya!"
Kui Ciang sebagai juga Ce In, adalah bangsa "Tayhiap,"
orang gagah sejati, maka itu dengan golok mustika atau
pedang mustika, mereka tak sudi membinasakan segala orang
tak ternama, tetapi kedua lawan ini telah menyebut mereka tak
mau main keroyok, jadi Ce ln tak suka pakai golok mustikanya
itu. Terpaksa Mo Lek melepaskan goloknya dan melemparkannya
pada Ce In. Lam Pat menyambuti golok untuk terus berkata kepada
kedua lawan, "Tuan-tuanlah tuan rumah, karena tetamu tak
dapat berlaku lancang, silahkan tuan-tuan yang mulai!"
"Baik!" sahut dua orang itu. "Kami menurut perintah! Kami
cuma minta tayhiap suka memberi maaf dan tak berlaku
sungkan!" Habis itu keduanya mulai menyerang.
Mereka itu mencekal golok, satu di tangan kiri, satu di
tangan kanan, masing-masing dibantu jeriji tangannya yang
kosong. Golok mereka tadi dicabut dengan berbareng dengan
suara "Srett!" yang nyaring.
Ce In heran kapan ia sudah melihat cara orang menyerang.
Nyata ia salah menyangka. Tadinya ia menduga orang ialah
orang-orang tak ternama, tak tahunya serangan mereka itu
lantas menjadi hebat, suatu tanda mereka itu pandai sekali
menggunai goloknya masing-masing.
Liehay Lam Ce In! Di saat golok menghampirkan batok
kepalanya, ia bersiul keras dan nyaring, rubuhnya pun
bergerak, goloknya diangkat ke atas, menyambut serangan
dahsyat itu! "Tranggg!" demikian suara yang nyaring, hingga dua kali.
Dengan begitu juga terpisahlah golok-golok mereka.
"Bagus!" dua orang itu memuji. Tapi, meski mulut mereka
memuji, berdua mereka maju pula, guna mengulangi serangan
mereka, dari kiri dan kanan. Yang satu dengan golok di tangan
kanan, yang lain dengan golok di tangan kiri. Rapat dan erat
penyerangan mereka itu, pula sempurna caranya mereka
membela diri. Tiat Mo Lek menonton dari atas kereta, ia kagum'.dan
berkuatir... Tiga buah golok berkelebatan hebat sekali, turuh dan naik
sangat pesat, la tidak menonton lebih lama lagi atau mendadak
ia terkejut sendirinya. Kata ia dalam hatinya, "Bukankah
mereka itu berdua yang dipanggil Im Yang Too, itu dua
saudara Cio yang kesohor" Pantas mereka ketahui namaku!"
Dua saudara Cio itu, yang sulung bernama It Liong dan yang
bungsu It Houw. Mereka biasa bekerja dalam dunia Hek Too
atau Jalan Hitam, berusaha tanpa modal. Untuk wilayah Se
Liang, mereka dikenal baik sebagai "Tok Kak Too" atau " Begal
Kaki Tunggal". Itu artinya begal yang biasa bekerja sendiri,
tanpa kawah lain orang.
Hanya di dalam halnya mereka ini, mereka berdua saudara
bekerja sama. Di waktu bertempur, mereka pun masingmasing,
mencekal golok di tangan kanan dan di tangan kiri.
Disebabkan sifat si kakak lebih licik dan si adik lebih terbuka,
mereka dijuluki Im Yang Too itu, ialah si "Golok Im" dan si
"Golok Yang".
Tiat Mo Lek turunan leluhur penjahat, semasa hidupnya
ayahnya, Tiat Kun Lun, ayah itu bersama-sama Touw Leng Ciok
dan Ong IVk Thong mendapat julukan "Lok Lim Sam Pa" atau
"Tiga Jago Lok 1 im (Rimba Hijau)''.
Karena itu, ia kenal baik banyak penjahat, atau sedikitnya
pernah mendengar nama saja. Dalam hal ini, ia lebih menang
daripada Lam Ijer In tak perduli berpengalaman...
Mengetahui orang ialah Im Yang Too, Mo Lek menjadi
berkualu untuk kawannya itu.
"Paman Lam tak kenal asal-usulnya dua saudara Cio ini, dia
kena diakali!" katanya dalam hati. "Begitulah Paman Lam tak
menggunai gnloV mustika hanya memakai golok biasa saja!"
Berbareng dengan itu, bocah she Tiat ini juga heran
mengenai II Liong dan It Houw. Sebagai Tok-kak-too, dua
saudara itu tersohor ilal.tm Jalan Hitam, selalu mereka bekerja
berdua, tak pernah mereka bei kawan lain orang, maka itu
heran sekarang mereka muncul dan bekerja bual apa yang
disebut "Cecu," ketua benteng atau rombongan penjahat
lainnya Pikirnya, "Apa mungkin mereka sudi merendahkan diri
bekerja di bawah perintah lain orang dan rela menjadi hanya
tauwbak, pemimpin sebawahan?"
Lam Ce In bertempur hebat dengan dua saudara Cio itu.
(a>luk mereka terus berkilauan, tubuh mereka berlompatan,
sebentar iapal sebentar bercerai. Mereka bergerak dengan
pesat dan lincah sekali Mala orang biasa jadi kabur melihati
golok-golok berkeredepan. Seru d.m l.uua mereka bertempur,
Mo Lek menjadi tambah berkuatir.
Tengah si bocah bingung, ia dikejutkan bentakan Lam Ije In
disusul dengan suara beradunya keras senjata mereka itu, lalu
bertiga mereka mencelat mundur masing-masing, terpisah satu
dari lain! Parasnya dua saudara Cio menjadi pucat lalu guram. Mereka
mendapatkan goloknya masing-masing tinggal separuh, sebab
golok mereka itu pada buntung kutung!
Lam Ce In di lain pihak berdiri tenang, hanya dengan
menyekal terus goloknya, terus ia menjura, sembari memberi
hormat itu, ia kata tenang, "Terima kasih sudah suka
mengalah! Sekarang dapatkah kami dibiarkan berlalu bersamasama
kereta kami?"
Ce In mengurungi goloknya kedua lawan sedang goloknya
sendiri golok biasa, tak heran ia membuat musuh-musuhnya
menjublak. Mereka itu kagum dan heran. Itulah bukti bahwa
tenaga dalamnya jauh terlebih mahir.
Kawanan penjahat semua mengulur lidah dan matanya
mendelong... Setelah sunyi sejenak maka dari antara tumpukan-tumpukan
batu yang kacau terdengar siulan nyaring dan lama, menyusul
mana terlihat munculnya orang yang bersiul itu.
Dialah seorang yang berusia masih sangat muda, ditaksir
baru lebih kurang dua puluh tahun, roman dan dandanannya
mirip pemuda pelajar, sedang di tangannya terdapat sebuah
kipas, yang ia pakai mengipas perlahan tak hentinya. Hanya,
apabila diawasi terlebih lama, nampak dalam kehalusan macam
itu tersembunyi sifatnya licik atau sesat.
Ketika mulanya dua saudara Cio memegat kereta, sampai
berkumpulnya semua kawan penjahat, orang muda itu tak
nampak, jadi teranglah dia baru tiba.
Lam Ce In heran. Ialah orang ulung dan berpengalaman dan
waspada. Sekalipun tengah berkelahi, ia masih mengambil
kesempatan akan kadang-kadang melirik ke sekitarnya, dan
telinganya dipasang juga. Sejak tadi tak pernah ia melihat anak
muda itu, tak pernah ia mendengar tindakan kaki. Jadi, sedari
kapan anak muda itu tiba di situ"
Begitu melihat pemuda pelajar itu, kawanan berandal
bertempik sorak. Mereka girang bukan main. Cuma dua
saudara Cio yang mukanya berubah menjadi merah saking
jengah. Mereka melemparkan golok buntung mereka, akan
berkata sukar kepada si pemuda, "Siauw-cecu, kami berdua
saudara menyesal...!"
Anak muda itu sebaliknya, tertawa manis.
"Memang mana bisa kamu mengganggu Lam Tayhiap?"
katanya. "Biarlah aku sendiri yang memaksa mengundangnya!"
Ia mengangkat kipasnya, ia menghadapi Ce In sambil
tertawa, terus ia kata, "Kami mengundang dengan
sesungguhnya hati, apakah benar-benar Lam Tayhiap dan Toan
Tayhiap tak sudi memberi muka kepada kami?"
"Siauw-cecu mengundang kami berulang-ulang, kami sangat
berterima kasih," menjawab Ce In, "Hanya menyesal sekali, tak
dapat aku menerima undangan cecu, terpaksa aku mesti
menampik. Sekarang ini Toan Tayhiap lagi sakit dan isterinya
lagi mengharap-harap kedatangannya di Touw Ke Ce! Tentang
itu tadi telah aku jelaskan pada kedua hio-cu dari perbentengan
siauw-cecu. Aku mohon dimaafkan saja."
Pemuda itu melirik, dia tertawa.
"Sungguh sayang aku sendiri yang telah meminta leng-cian
perintahan!" kata dia. "Karena itu, tak dapat tidak, mesti aku
mengundang Lam Tayhiap beramai! Bagaimana sekarang" Lam
Tayhiap, maafkan aku, ingin aku mengutarakan sesuatu yang
kurang pantas. Tak perduli tayhiap beramai ingin lekas-lekas
melanjuti perjalanan kamu tetapi pasti aku mesti menahan


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamu!" Hati Ce In menjadi panas. Itulah paksaan! Tak sudi ia
dipengaruhi orang. "Baiklah!" ia menjawab dalam murkanya, suaranya keras.
"Jikalau siauw-cecu mempunyai kepandaian untuk menahan
kami, persilahkan! Sekarang ini percuma kita ngoceh saja!"
Anak muda itu sabar sekali, dia tertawa pula.
"Sungguh tayhiap jujur dan polos!" katanya. "Baik! Hendak
aku mengandali kipasku ini untuk main-main sejurus dua jurus
dengan tayhiap!"
Menutup kata-katanya itu, ia maju seraya lantas menyerang!
Dengan ditutup, kipas si anak muda bergerak sebagai poankoan-
pit, senjata yang merupakan alat tulis. Jadi itulah senjata
peranti menotok jalan darah. Yang di arah pula jalan darah kinceng
dari Lam Ce In. Cepat dan lincah tangan pemuda itu
bergerak. "Pantas dia jumawa, kiranya liehay ilmu totoknya," pikir jago
she Lam ini, "Dia tak ada dibawahan U-bun Thong!"
Karena ini, sahabatnya Toan Kui Ciang ini berlaku sabar dan
waspada. Ketika kipas mengancam, ia tidak lekas-lekas
menangkis atau berkelit mundur atau nyamping. Sebaliknya ia
menanti. "Lepas tanganmu!" ia berseru ketika serangan tiba. Ia
menyambut dengan belakang golok, menghajar senjata orang
itu. Berbareng dengan itu, si anak muda juga berseru, "Lepas
tanganmu!"
Itulah sebab tanpa menanti kipasnya dibikin terpental, dia
sudah membaliknya, buat dipakai menempel belakang golok
lawan. Kedua senjata bentrok keras, lalu kipas si anak muda
terpental, hanya kipas itu tak lepas dari cekalan. Golok Ce In
sendiri tak bergeming.
Dengan begitu orang she Lam ini menang unggul sedikit
sekali, hingga lebih surup apabila mereka dikatakan seimbang.
Anak muda itu tidak kaget, dia bahkan tertawa.
"Dua-dua tak melepaskan tangannya!" katanya, gembira.
"Mari lagi! Mari lagi! Kita coba pula!"
Dan dia menggeser tubuhnya maju, tindakannya yang
pertama ke samping, lalu disusul dengan tindakannya yang
kedua, maka juga dilain saat dia sudah berada di sebelah
belakang lawannya, untuk dengan sama gesitnya mengulangi
serangannya, kembali menotok jalan darah! Hanya kali ini dia
mengarah jalan darah Hong-hu.
Punggungnya Lam Ce In seperti ada matanya, ia lantas
menyampok ke belakang, menangkis sambil menyerang.
Senjatanya panjang, senjata lawan pendek, maka itu sebelum
ujung kipas si anak muda mengenai sasarannya, goloknya
sudah mendahului memapas ke lengannya anak muda itu.
Pemuda itu terkejut, dia lantas menarik pulang tangannya,
kipasnya diputar naik, guna disingkirkan. Pundaknya pun
dikasih turun. Akan tetapi dia masih terlambat sedikit. Senjata
mereka berdua bentrok dengan mengasih dengar suara
nyaring. Ia kaget karena telapakan tangannya terasa nyeri. ^
"Ilmu golok yang bagus!" dia memuji sambil dia lompat
mundur tiga tindak.
Lam Ce In telah memutar tubuhnya, dengan lantas ia maju
menyerang. Ia seperti tidak mau mengasih hati. Dengan begitu
ia mencegah si anak muda dapat berlompat mundur lebih jauh,
dia mesti melayaninya walaupun dia menjadi repot.
Terus Ce In mendesak. Ketika ia membacok dengan jurus
"Menghajar gunung Hoa San," ia berseru keras. Goloknya
menyambar dengan mengeluarkan suara angin menderu.
"Bagus!" berseru si anak muda. Dia berkelit dengan mendak,
habis itu dia lompat mencelat dengan jumpalitan jauhnya satu
tombak. Nyata dia gesit sekali dan nyalinya besar, walaupun
terdesak, hatinya tetap tabah.
Penyerangannya Ce In itu dilakukan dengan tenaga delapan
bagian, tetapi si anak muda menggunai tipu huruf "Lolos," dia
dapat menyelamatkan dirinya, karena itu, dia lolos dengan
kipasnya tak terlepas dari cekalan.
Biar bagaimana Ce In kagum.
"Dalam dunia Kang Ouw sekarang ini muncul orang-orang
muda yang liehay," katanya di dalam hati. "Dulu hari sewaktu
usiaku sebaya ini, aku tidak seliehay dia ini..."
Tengah orang memikir demikian, si anak muda menggunai
ketika untuk menyerang. Dia tak menjadi kapok atau takut. Dia
maju sambil berlompat.
"Benarkah kau hendak mengadu jiwamu!" tanya Ce In keras.
Ia menegur sambil membabat ke bawah, guna memapas kedua
kaki lawannya. Melihat datangnya bahaya itu, si anak muda mengangkat
kedua kakinya. Sambil membebaskan diri itu, dia menyerang
terus, mengarah alisnya lawan. Dia menotok jalan darah yangpek.
Itulah hebat. Itulah perlawanan mati hidup bersama. Kalau
Ce In menyerang terus, ia bisa berhasil, sebaliknya, alisnya bisa
tertotok. Ia bersangsi, karena ia anggap ia bukan menghadapi
musuh besar. Disamping itu ia merasa suka kepada si anak
muda untuk kegesitan dan nyali besarnya. Demikian ia menarik
pulang goloknya, sambil menangkis, ia mundur.
Si anak muda benar berani dan bandel. Justeru lawan itu
mundur, justeru dia merangsak. Dia membalas menyerang.
Mau atau tidak, Ce In mesti main mundur. Keras rangsakan
anak muda itu. Kalau Ce In menyayangi si anak muda itu, anak muda itu
sebaliknya. Dia justeru hendak membuat nama Ce In yang
sudah tersohor sebagai seorang petualang besar, sebagai jago
pengembaraan, ingin dia merobohkannya. Supaya dia
menggantikan mendapat nama besar itu.
Dia masih muda dan baru saja muncul, kalau dia dapat
pecundangi seorang jago tua, tidakkah namanya naik seketika"
Itulah sebabnya dia berani berlaku nekad, untuk roboh
bersama. Pemuda itu berpikir demikian. Tak dia pikir lebih jauh bahwa
percuma dia mengadu jiwa secara begitu. Ce In bisa terluka,
tapi sama-sama terluka, dia yang lebih celaka. Sebab dia pasti
bakal buntung kedua kakinya! Tak gunanya kalau dia menjadi
bercacad tak dapat berjalan.
---ooo0dw0oo---
Jilid 7 Hal ini dia ingat belakangan, maka diam-diam dia
mengeluarkan keringat dingin di punggungnya.
Walaupun begitu, keras sekali niatnya merobohkan Ce In, dia
sangat bandel dan berani. Tanpa menghiraukan bahwa orang
memikir baik untuk dirinya, dia mulai dengan penyerangannya
pula, untuk mendesak sekali.
Kembali Ce In menjadi repot. Kipas si pemuda sebentar
dibuka sebentar ditutup. Dibuka kipas itu bergerak seperti golok
memapas, ditutup seperti alat peranti menotok jalan darah.
Kipas itu terbuat dari baja dan tulang-tulangnya dibikin
berujung tajam.
Lam Ce In menjadi sengit. Ketika ia sedang diserang, ia
berseru dengan bentakannya. Ia diarah lengannya. Sambil
berseru itu, ia menolak keras.
Si anak muda terkejut, dia terhuyung tiga tindak, terus dia
muntah darah. Akan tetapi Ce In pun tidak bebas seluruhnya. Ujung kipas
mampir juga di lengannya, hingga lengannya itu menjadi
borboran darah.
Kawan-kawan si anak muda terkejut mendapatkan tuan
mudanya terluka, sambil berseru-seru mereka maju.
"Semua mundur.'" membentak si anak muda, hingga orangorangnya
itu merandek. Ia bertindak dengan tindakan
"Naga'melingkar" menghampirkan Ce In, sedang kipasnya
dibuka. Sambil maju itu, ia kata dingin, "Sama-sama kita telah mandi
darah, tetapi kita belum kalah atau menang, keduanya tidak
rugi, maka itu, mari maju, mari kita bertempur pula!"
Ce In memindahkan goloknya ke tangan kiri.
"Baik!" ia menjawab tantangan. "Kau begini bandel, akan
aku membikin kau dapat mencapai cita-citamu! Jikalau didalam
batas seratus jurus aku tidak berhasil mengalahkan kau, aku
puas, suka aku mengaku kalah! Selama seratus jurus ini, siapa
terluka, bercacad atau mati, dia terserah kepada nasibnya!"
Sebagai seorang jago, Ce In mengasih dengar suaranya itu,
dengan begitu berarti ia memandang lawan muda itu sebagai
lawan seimbang.
Habis muntah darah, mukanya si anak muda menjadi pucat,
akan tetapi mendengar suara Ce In, mendadak wajahnya
bercahaya, dia tertawa lebar dan kata nyaring, "Lam Tayhiap,
aku justeru menghendaki kata-katamu ini!"
Lantas dia menyerang.
Ce In menangkis, terus ia menangkis hingga tiga kali. Ia
kata, "Bagaimana kalau kau roboh didalam seratus jurus itu?"
Si anak muda dapat menerka hati orang, dia menyahut
sambil tertawa, "Paling juga aku menyerahkan nyawaku
padamu! Kita berdua bertanding, inilah urusan kita, sedang
urusan ayahku mengundang orang, itulah urusan lain,
keduanya itu tak dapat dicampur menjadi satu!"
Dia melihat langit, lantas dia teriaki orang-orangnya, "Sang
sore bakal tiba, kamu tak usah menantikan lagi pertempuranku
ini dengan Lam Tayhiap, jangan menunggui sampai siapa kalah
dan siapa menang, lekas kamu menyambut Toan Tayhiap
pulang ke benteng!"
Suara itu didengar, maka orang-orangnya itu sambil
menyahuti lantas bergerak ke arah kereta.
Lam Ce In menjadi mendongkol dan gusar sekali. Nyatalah
orang sangat licik. Itu pula berbahaya untuk Toan Kui Ciang,
yang baru mulai segar. Mana dapat Kui Ciang menyambut
serangan sedang Tiat Mo Lek bersendirian" Karena gusarnya, ia
menyerang hebat, goloknya seperti tak mengenal kasihan.
Sayang ia mesti menggunai tangan kiri.
Sebaliknya si anak muda, dia dapat bergerak dengan leluasa
dengan kipasnya yang liehay itu. Bahkan dia mendesak seru.
Tiat Mo Lek melihat orang meluruk ke arahnya. Begitu
serangan datang, sembari duduk di atas kereta, ia membabat.
Untungnya ia memakai golok mustika dari Ce In. Maka juga dua
batang tombak serta sebatang golok lantas lantas terbabat
kutung goloknya itu.
"Majulah, siapa tidak takut mampus!" ia berseru. Ia pun
mendongkol. Cio It Liong tertawa. Kata dia, "Saudara Tiat, aku
memandang mata pada mendiang Tiat Cecu, tak memikir aku
untuk mempersulit kau!
Bukankah kau pun orang Jalan Hitam seperti kami" Tak
tahukah kau aturan Rimba Hijau kita, kalau kita mengundang
tetamu, apabila tetamu itu tidak datang, itulah suatu pantangan
besar" Hari ini Toan Tayhiap menjadi tetamu kami yang utama,
kamu berdua ialah tetamu tukang menemani, karena itu,
benarkah kau tidak hendak minum arak pemberian selamat
hanya menginginkan arak dendaan?"
Tiat Mo Lek tertawa dingin, la menjawab, "Cio Lotoa, tak
kusangka kau masih mempunyai kulit muka untuk bicara
denganku perihal aturan Rimba Hijau! Kaulah orang Rimba
Hijau kelas satu, kenapa kau suka menjadi gundal orang" Ya,
itu pun masih tidak apa! Kau sudah mewakilkan majikanmu
mengirim surat undangan. Surat undangan sudah ditolak, kalau
toh undangan hendak diulangi, si pembawanya mesti lain
orang, orang yang baru, kau mesti mengalah!"
Mukanya orang she Cio itu menjadi merah. Tajam
perkataannya si bocah. Maksudnya itu membilang, tadi dia
kalah oleh Ce In. Karena kalah, dia tak berderajat buat terus
mewakilkan majikannya "Mengundang tamu". Sebagai jago
Rimba Hijau, yang mengerti aturan kaumnya, tak berani dia
maju pula. Sebaliknya seorang penjahat lain, yang tubuhnya tinggi dan
besar, lantas menggantikan dia. Dia ini berkata nyaring,
"Baiklah, aku yang menggantikan menjadi wakil untuk
mengundang tetamu! Tiat Siauw-cecu, aku minta sudi apakah
kau memberi muka padaku!"
Kata-kata itu dibarengi dengan serangannya. Dia menggunai
sebuah gembolan tembaga yang berat. Senjata itu menyatakan
bahwa dia memiliki tenaga yang besar sekali.
Tiat Mo Lek masih berdiam di atas keretanya, ia tidak
merdeka. Tak dapat ia bergerak kesana kemari atau
berlompatan. Atas datangnya serangan, terpaksa ia menangkis.
Benar ia menggunai golok bnustika tapi golok itu tak dapat
menebas gembolan yang tebal. Maka itu tangannya tergetar
dan kesemutan, ngilu dan nyeri.
Syukur ia telah memperoleh tak sedikit petunjuk dari Toan
Kui Ciang dari itu ia mengerti ilmu "Meminjam tenaga untuk
menghajar tenaga" Demikian goloknya meleset ke pinggiran
gembolan, terus nyerempet baju lawan, hampir ujungnya
mampir di tulang selangka.
Sayang ia masih kurang latihan, kalau tidak, senjata musuh
bisa terlepas karena dia terlukakan parah.
Penjahat itu gusar sekali, maka dia mendamprat, "Bocah,
kalau begitu benar kau menghendaki arak dendaan! Baiklah,
mari'kita tak berlaku sungkan-sungkan lagi!"
Dia lantas mengulangi serangannya, yang hebat.
Dua penjahat lain pun maju guna mengepung, masingmasing
menggunai ruyung baja dan roda besi, semua senjatasenjata
yang tak mudah terbabat kutung. Dengan begitu Mo
Lek lantas menjadi terdesak.
Selagi begitu, Toan Kui Ciang menyingkap tenda kereta,
rubuhnya menyender di senderan. Ia melihat jalannya
pertempuran, ia kata nyaring, "Tiat Mo Lek, berhenti! Mereka
itu datang untukku, biarlah mereka datang padaku!"
Penjahat yang mencekal gembolan tertawa.
"Dasar Toan Tayhiap orang yang mengerti suasana!"
katanya. "Sebenarnya kami mengundang tayhiap dengan
maksud hati yang sungguh-sungguh!"
Ia maju mendekati, sebelah tangannya diulur, maksudnya
buat memimpin orang yang terluka parah itu.
Kui Ciang kata tawar, "Aku si orang she Toan, aku dapat
menerima yang lunak tetapi tidak yang keras! Kau ini menarik
tetamu, bukannya mengundang! Maka pergilah kau suruh
majikanmu sendiri datang ke mari!"
Penjahat itu tak memandang mata pada Kui Ciang. Orang,


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi sakit. Memang dia memimpin untuk menarik. Dia tak tahu
Kui Ciang seorang cerdik Ketika tangannya nempel dengan
tangan si sakit itu, dia kaget bukan main!
Kui Ciang berlaku sangat sebat. Ia memutar tangannya dan
menangkap, tenaganya berbareng dikerahkan. Segera tangan si
penjahat meretek, sebab tulangnya patah seketika, hingga dia
menjerit kesakitan keras sekali, gembolannya terlempar
mengenai dua kawannya hingga mereka itu terluka.
Kedua kawannya orang itu kaget tetapi mereka lantas
menyerang Kui Ciang.
"Pergi kamu!" Kui Ciang membentak sambil kedua biji
matanya mencilak sedang tangannya diulur. Ia menyampok
roda besi hingga senjata istimewa itu terpental membentur
ruyung kawannya!
Perlawanan Kui Ciang ini sebenarnya berbahaya. Ia lagi
berkelahi sambil duduk, tak merdeka dia untuk menggeraki
kakinya. Hebat bentroknya senjata kedua penjahat itu. Yang
tersampok terpental, yang terbentur terpental juga, maka
keduanya roboh bersama, tubuh mereka terlentang.
Mo Lek tertawa melihat kesudahan itu.
"Bagus! Bagus!" ia memuji.
Semua penjahat mundur sendirinya. Kaget dan jeri mereka
menyaksikan Kui Ciang demikian Iiehay.
Sekarang si orang she Toan menghunus pedangnya, sambil
terus bersender, ia kata keren, "Tuan siapa lagi yang mau maju
menyampaikan surat undangan?"
Setelah makan obat beberapa hari Kui Ciang maju baik, tapi
ia perlu beristirahat, siapa tahu sekarang ia justeru menggunai
tenaga berlebihan, maka itu setelah melayani ketiga musuh itu,
ia merasakan darahnya mendesak naik dan matanya pun
berkunang-kunang cuma berkat hati yang kuat, dapat ia
mempertahankan diri. Ia berseru untuk menggertak saja.
Penjahat-penjahat lainnya dapat digertak, tidak
persaudaraan Cio. Mereka orang Rimba Hijau ulung. Mulanya
saja mereka kaget, lantas mata mereka yang tajam dapat
melihat tegas wajahnya Kui Ciang. Mereka juga mendengar
suara orang kekurangan dorongan tenaga dalam. Itulah tanda
luka yang belum sembuh betul.
"Maju!" mereka berteriak seraya bersiul.
Kawanan penjahat lantas maju lagi, mengurung kereta.
Cio It Liong malu untuk maju pula, ia berbisik pada
kawannya yang bersenjata ruyung. Penjahat itu kelihatan
girang, lantas dia maju ke depan. ^
Kata dia pada Kui Ciang, "Toan Tayhiap, karena kau tak sudi
memberi muka kepada kami, harap kau maafkan kami terpaksa
berlaku tak sungkan lagi! Kawan-kawan, hayo maju! Pakailah
senjata rahasia!"
Hebat anjuran yang berupa perintah itu. Lantas semua
penjahat itu mengeluarkan senjata gelap mereka, seperti golok
terbang, kim-chie-piauw, panah tangan dan bandring. Semua
senjata itu meluruh ke arah si sakit.
Untuk menjaga diri, Kui Ciang putar hebat pedangnya. Tak
dapat ia menggeraki tubuh untuk berkelit. Sudah bagus ia
cepat sekali dapat menyalurkan napasnya.
Tiat Mo Lek kaget berbareng gusar. Ia maju ke depan Kui
Ciang, guna mengalingi. Ia putar goloknya guna menghalau
setiap senjata rahasia. Ia kata nyaring, "Oh, kawanan bangsat
hina dina! Sungguh kamu membikin ludas muka terang jagojago
Rimba Hijau!"
Penjahat yang memegang ruyung tertawa.
"Tiat Siauw-cecu!" katanya, "Kau sendiri tidak menghormati,
mana dapat kau menyesalkan kami" Jangan kau takut!
Umpama kata kau terluka, nanti aku obaVi kau...!"
Ketika itu Mo Lek luput dengan penjagaan dirinya. Dua
panah tangan mengenakan padanya dan sebutir batu mampir
di dahinya hingga dahi itu luka mengeluarkan darah. Syukur
kawanan penjahat ingin menangkap hidup padanya, mereka itu
tidak menggunai racun.
"Mo Lek, kau masuk ke dalam kereta!" Kui Ciang menitahkan
melihat bocah itu terluka.
Si bocah tidak mau masuk, dia tetap bertahan.
Tepat itu waktu terdengar suara larinya kuda, yang
mendatangi, tempo kuda telah datang dekat, terlihat
penunggangnya, seorang.nona, bahkan dialah Nona He Leng
Song. Nona He lantas melihat pertempuran di antara Lam Ce In
dan si anak muda, ia rupanya merasa heran maka ia mengasih
dengar suara "Ai!" perlahan.
Si anak muda, yang lagi berkelahi itu, melihat juga si nona,
mukanya lantas berubah, ia pun mengasih dengar seruan "Ai!"
itu. Tapi ia lagi didesak Ce In, ia repot membela diri, tak
sempat ia berpikir lainnya.
Si nona juga melihat kereta lagi dikurung penjahat dan Tiat
Mo Lek repot bukan main, maka itu, kalau tadinya ia mau
menghampirkan Ce In, sekarang ia merubah haluan, ia larikan
kudanya ke arah kereta.
Kawanan penjahat melihat datangnya orang baru, mereka
menyangka pada musuh, lantas mereka menyambut dengan
pelbagai senjata rahasia mereka.
Leng Song kuatir kudanya terluka dengan satu lompatan
"Ikan emas menyerbu gelombang," ia lompat turun dari
binatang tunggangan itu, sembari berlompat, ia menghunus
Ceng Song Kiam, dari itu dengan pedangnya itu ia membela
diri, menangkis serangan, hingga ramailah terdengar suara
membentur pelbagai senjata gelap itu.
Semua penjahat heran, mereka terkejut. Justeru begitu si
nona maju terus, menghampirkan mereka sampai dekat, hingga
selanjutnya tak merdeka mereka menggunai terus senjata
rahasia. Si nona juga bergerak dengan lincah ke segala penjuru,
hingga ia membikin musuh menjadi bingung. Setiap pedangnya
ditusukkan, atau ditabaskan, tentu-tentu ada musuh yang
menjerit kesakitan atau terhuyung dengan senjatanya lepas
dari tangannya.
Ilmu silat pedang Nona He liehay dan luar biasa siapa
terkena itu tentulah dia terluka dan senjatanya terlepas dari
tangannya tapi dia tanpa terluka parah kecuali rasa nyerinya
yang mengagetkan dan mengecilkan hati.
Seorang penjahat dengan golok besar menjadi gusar. Dia
merangsak maju. Dengan lantas dia membacok si nona. Dia
ingin menghajar terlepas pedangnya nona itu.
Leng Song berkelit, terus ia menikam. Tapi lawan itu kosen,
dia bisa berkelit juga. Atas itu Nona He maju pula. Ia lantas
menggunai tipu silatnya yang liehay. Mulanya ia menggeser ke
kiri, guna dapat menyerang dengan tepat.
Penjahat itu melawan dengan baik, ketika ia menangkis,
senjata mereka beradu keras. Akan tetapi kali ini, begitu
senjata beradu, begitu si penjahat berkaok kesakitan. Diluar
kesanggupannya membela diri, dengkulnya kena dipapas, maka
robohlah dia, bahkan tubuhnya terguling, terus ke kaki gunung!
Rombongan musuh menjadi takut, mereka lantas lari bubar.
Persaudaraan Cio sudah menukar senjata mereka, ketika
mereka melihat suasana buruk itu, dengan terpaksa mereka
maju mengepung Nona He.
Nona ini liehay, ia melawan dengan gagah, apamau ia
mendapatkan dua saudara itu dapat bersilat bersatu padu,
serangannya yang berbahaya dapat dihalau. Mereka itu terus
mengurung rapat.
"Mo Lek, kau bantui nona itu!" kata Kui Ciang, yang
menyaksikan pertempuran main keroyok itu.
Kawanan penjahat tak lari semua, masih ada yang dari jauh
menyerang dengan senjata rahasia mereka, tetapi sekarang Kui
Ciang bisa membela dirinya. Senjata rahasia itu tak sebanyak
tadi dan dipakai menyerang dari jarak jauh, ancaman
bahayanya kurang.
Haji Mo Lek panas, maka itu, mendengar perintahnya Kui
Ciang, ia lantas lompat turun dari kereta, guna menceburkan
diri dalam pertempuran. Tiga lukanya tidak menyebabkan dia
letih. Dua saudara Cio bukannya lawan Leng Song, cuma kalau Mo
Lek tidak datang, mereka masih dapat bertahan sekian lama,
sekarang dengan munculnya si bocah liehay, mereka lantas
keteter. Mo Lek juga memakai golok mustikanya Ce In.
Mulanya golok sebatang dari Cio It Houw tertabas golok si
bocah. It Houw kaget. It Liong melihat gelagat, dia lantas tarik
tangan saudaranya itu, buat diajak menyingkir dari gelanggang.
Mo Lek mau menghajar, tetapi si nona mencegah ia.
"Musuh kabur tak usah dikejar!" kata nona itu, tertawa. "Adik
kecil, kau ampuni mereka itu!"
Si nona lantas menoleh, akan memandang pertempuran Ce
In dengan si anak muda.
Pertempuran berjalan tetap seru, hanya semenjak
munculnya si nona, si pemuda nampak gelisah. Rupanya dia
ingin lekas menghentikan pertempuran, dia mencoba mendesak
hebat pada musuhnya. Berulang kali dia menggunai jurus yang
membahayakan. Ce In gagah, dia berpengalaman, dia dapat melihat keadaan
lawan. Dia senang mendapatkan dia diserang hebat itu. Dia
melayani dengan sabar, sembari dia mencari ketika. Dengan
lincah dia mengeluarkan ilmu golok "Yu Sin Toan Bun Too". Dia
bergerak mundur, agaknya dia terdesak.
Si anak muda mendapat lihat orang-orangnya kena dipukul
mundur, ia jadi tambah gelisah. Satu kali mendadak ia berseru,
"Akan aku adu jiwaku denganmu!" dan terus ia menyerang
keras berulang kali.
Meski didesak hebat, selang enam atau tujuh jurus, Lam Ce
In justeru tertawa nyaring dan kata, "Bagus!" Dengan begitu
mulailah serangan membalasnya. Maka lekas juga si anak muda
berbalik terdesak.
"Lam Tayhiap, tahan...! Tahan...!" seru Leng Song akhirnya.
Justeru itu ujung golok si orang she Lam telah mampir di
pundak si anak muda, melukai panjang lima dim, hingga
darahnya mengucur. Syukur ada seruan si nona, kalau tidak,
tak dapat golok itu ditahan. Ce In jadi membenci pemuda itu,
hingga ingin ia menghajarnya hingga bercacad.
Walaupun ia menang, di dalam hatinya Ce In mengeluh
sendirinya. Kemenangannya itu didapat di dalam jurus yang ke
lima puluh satu. Inilah diluar dugaannya.
Pikirnya, "Kalau dia tak bergelisah, mungkin sampai seratus
jurus belum bisa aku merobohkannya..."
Anak muda itu lompat keluar gelanggang, mukanya merah.
Dia memegang kipasnya sembari menjura dan berkata, "Ilmu
silat golokmu ilmu silat yang bagus sekali! Aku berterima kasih
dapat menerima pengajaran kau ini! Karena gunung hijau dan
air biru itu kekal adanya, sampai lain kali kita bertemu pula!"
Kata-kata yang pertama ditujukan kepada Lam Ce In, akan
tetapi di waktu mengakhirinya, pemuda itu memandang Nona
He, atas mana bibir si nona bergerak, hanya batal ia
mengucapkan sesuatu, sebab si anak muda sendiri sudah
lantas lari kabur. Ia nampak bingung...
Lam Ce In menyerahkan goloknya kepada Tiat Mo Lek, untuk
ditukar dengan goloknya sendiri. Ia sebenarnya heran tetapi ia
kata pada si nona, "Nona, terima kasih banyak untuk
bantuanmu!"
Mo Lek heran, tak dapat ia menahan diri.
"Nona He, apa nona kenal penjahat itu?" dia tanya.
Muka si nona merah, ia menjawab likat, "Pernah aku
bertemu dia satu kali, kita bukannya sahabat satu dengan
lain..." Ce In heran tetapi ia tidak berani menanyakan.
Sampai disitu, ketiganya bertindak ke kereta.
Toan Kui Ciang sudah menanti, begitu orang tiba, ia
menanya, "Inikah Nona He?"
Leng Song menyahuti, "Ya," lalu ia memberi horrhat dengan
merangkap kedua tangannya kepada Kui Ciang. Ia pun lantas
rrienanyakan kewarasannya Kui Ciang kepada siapa ia
memanggil pehu, paman tua.
Melihat nona itu, Kui Ciang teringat kepada Pek Ma Liehiap
Leng Soat Bwe, Jago Wanita Kuda Putih. Sekarang ia dipanggil
pehu, kesangsiannya lantas lenyap.
"Bukankah ibumu she Leng dan namanya Soat Bwe?" ia
tanya terus terang, tanpa ragu-ragu.
Leng Song kembali menyahuti, "Ya," lalu ia tertawa dan kata,
"Setiap orang membilang bahwa aku mirip ibuku, ternyata Toan
Pehu melihatnya sama!"
Kui Ciang berdiam sejenak. Ia terganggu kesangsian lainnya.
Tapi akhirnya ia menanya juga, "Aku belum menanyakan
tentang ayahmu..."
"Ayahku she He asal dari Louw-liong," sahut si nona,
"Namanya ialah Seng To. Ketika aku dilahirkan, ayah sudah
menutup mata..."
Kui Ciang heran hingga ia berpikir, "Ketika itu malam mereka
menikah, baru saja He Seng To masuk dalam kamarnya, dia
lantas nampak bencana, kenapa sekarang b
Pendekar Riang 11 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Rajawali Hitam 6
^