Kisah Pedang Bersatu Padu 3

Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Bagian 3


u bahwa kau tidak mementingkan
dirimu sendiri?" ia tanya.
Giok Houw menjadi gusar.
"Pulang pergi, nyatanya kau tidak percaya aku!"
katanya keras. "Sekarang ini aku tidak berdaya untuk
menerangkannya tetapi lain kali kau bakal ketahui
sendiri!" Sedang lain orang panas hatinya dan menjadi gusar, si
nona tetap sabar, bahkan lagi-lagi ia tertawa geli.
"Perlu apa menanti hingga di lain kali?" katanya.
"Sekarang juga aku sudah tahu!"
"Kau tahu apa?" Giok Houw heran.
"Tahu bahwa kau benar-benar memenangkan dirimu
sendiri!" Parasnya si anak muda menjadi pucat, tangannya
meraba gagang pedangnya.
"Apakah kau sengaja hendak menghinai aku?" ia
menanya, suaranya dalam.
"Mana aku berani" Mana aku berani?" sahut si nona.
"Aku hanya memikir untuk menanyakan satu hal
padamu..."
"Silahkan!"
"Menurut kata-kata kau.
merampas barang-barang bingkisan karena ada
keperluannya yang besar," berkata si nona. "Dan itu pun
154 bukan untuk kepentingan pribadimu sendiri. Kalau
begitu, maka semua barang bingkisan di kolong langit ini
pastilah kau hendak merampasnya, bukan" Bukankah itu
artinya cuma kau yang diijinkan merampas dan lain
orang tidak boleh?"
"Tidak salah, nona. Memang semua barang bingkisan
hendak aku merampasnya. Lain orang bukannya tidak
boleh turut merampas, hanya perampasan itu mesti aku
ketahui terlebih dulu!"
"Jikalau kau terlebih dulu tidak mendapat tahu?"
"Kalau sampai terjadi begitu maka teranglah sebabsebab
dari perampasan itu tidak sama dengan sebabsebab
perampasanku. Kalau begitu, tidak dapat aku tidak
mencampurinya tahu! Nona, aku tidak tahu apa perlunya
kau merampas barang-barang bingkisan itu, akan tetapi
rasanya perlu aku memberitahukan kau, dengan
perbuatanmu ini kau bakal membangkitkan amarahnya
semua orang gagah di seluruh negeri!"
Nona itu masih tetap dengan sikapnya yang tenang. Ia
tertawa pula "Jangan kau menggertak aku!" katanya. "Aku tidak
takut digertak! Umpama kata benar semua orang gagah
di seluruh negara telah memilih dan mengangkat kau
menjadi kepala perampasan bingkisan ini. itu masih
belum dapat membuat aku puas!"
"Bagaimana, eh" Cobalah kau omong biar jelas!
Sebenarnya di bagian manakah yang aku mementingkan
diriku sendiri" Dan bagaimana caranya supaya aku dapat
membikin kau puas?"
Nona itu tertawa tawar.
155 "Kau bilang kau hendak merampas semua barang
bingkisan dari semua propinsi. Baik! Sekarang aku
hendak tanya kau, kenapa kau bersikap lain terhadap
barang bingkisan dari propinsi Inlam" Kenapa kau
melepaskannya" Bahkan kenapa kau memberikan orang
sehelai bendera sebagai perlindungan untuk barang
bingkisan itu?"
Ditanya begitu, Giok Houw bungkam.
"Di antara aku dengan Keng Sim dan Bhok Lin ada
hubungan yang sulit, mana dapat di dalam satu saat
seperti ini aku menjelaskannya semua?" pikirnya
Nona Liong tertawa terbahak.
"Bagaimana" Bukankah pertanyaanku tepat" Nah.
cukup sudah! Aku tidak mau memperdulikan kau, maka
kau juga jangan memperdulikan aku! Siapa yang
mempunyai kepandaian, dialah yang merampas!-Eh, eh,
dengar itu! Kembali ada langganan datang mengantarkan
diri! Bagaimana sekarang, kau yang merampas atau
aku?" Giok Houw memasang kuping. Benar di luar kuil
terdengar tindakan kaki orang. Ia segera melirik kepada
si nona. "Kita melihat dulu biar terang, baru kita bicara lagi!"
sahutnya. Sembari berkata, ia berlompat ke gorden
malaikat di dalam mana ia menyembunyikan dirinya, la
mengambil tempat di belakang patung. Di dalam hatinya,
ia kata: "Kenapa di dalam satu malam beruntun ada
datang dua rombongan barang bingkisan dari dua
propinsi" Laginya di dalam kalangan Kangouw cuma ada
satu partai Kiangsi Bun yang sesat itu! Apakah mungkin
156 pengantar-pengantar dari lain-lain propinsi mau berlaku
sebagai partai ini yang mondok justeru di dalam sebuah
kuil tua?"
Giok Houw pun berpikir lebih jauh, karena si Nona
Liong tidak mempercayai ia, ia juga sungkan
mempercayai nona itu. Tengah ia berpikir itu, mendadak
hidungnya terhembuskan bau yang harum, hingga ia
terperanjat. Ia lantas mendapat tahu yang si Nona Liong
pun turut menyembunyikan diri di belakang patung
malaikat itu! Tubuh patung bukannya kecil, akan tetapi dua orang
mesti bersembunyi di situ, itulah lain. Dengan begitu,
tidak dapat orang tidak berdiri berendeng dan hampir
nempel rambut di samping kuping dengan rambut di
samping kuping!
Hati Giok Houw berdenyutan. mukanya pun dirasakan
panas. Dengan lantas ia menggeser sedikit tubuhnya,
atau si nona segera berbisik di kupingnya: "Orang yang
datang ini mungkin bukan sembarang orang. Aku hendak
melihat dulu dengan jelas, baru kita bicara pula."
Adalah di itu waktu, dua orang terlihat bertindak
masuk. Kapan Thio Giok Houw telah melihat tegas dua orang
itu, ia sedikit terkesiap. Ia tahu mereka itu, seorang tosu
atau imam, dan seorang mahasiswa usia pertengahan,
ialah Ko In Tojin serta Ku Kiu Gi. Memang mereka bukan
sembarang orang, merekalah murid-murid paling kesohor
dari Butong Pay. Ciangbunjin, atau ketua dari partai itu,
Kiu Ji Totiang, sudah berusia lanjut, kalau ada urusan,
selamanya dua muridnya ini yang mengurusnya. Lebihlebih
si orang she Ku itu, dia paling dipercaya ketuanya,
157 atau gurunya, hingga dia mirip dengan wakil ketua.
Hinggadi dalam kalangan Rimba Persilatan ada sebutan,
"Ingin menghadap Kiu Ji, bertemu dulu Kiu Gi."
Setibanya di dalam, Ko In Tojin memperdengarkan
seruan kaget perlahan.
"Ku Sute. lihat!" katanya. "Bukankah mereka ini orangorangan
kayu dari Ciok Tianglo dari Kiangsi Bun"
Mungkinkah sulap hantu mereka telah ada orang yang
pecahkan?"
Mendengar itu. Nona Liong menoleh kepada Thio Giok
Houw, ia mengasi lihat roman Jenaka, lidahnya pun
diulur. Ialah yang menghajar dua orang itu. Sekarang ia
merasa bahwa pengetahuan atau pengalamannya
tentang dunia kangouw masih berbatas, karena kedua
mayat itu ia tidak sempat membereskannya dulu.
Ku Kiu Gi tertawa lebar.
"Permainan sulap kena dipecahkan masih tidak apa!"
katanya. "Hanya dua manusia kayu ini telah kena didodet
perutnya, dengan hilang jantungnya, itulah hebat!"
Memang barang bingkisan dari propinsi Ouwlam telah
disembunyikan di dalam itu manusia kayu, tentulah si
orang she Ku itu maksudkan barang bingkisannya yang
berharga besar seumpama kata seharga sebuah kota.
Thio Giok Houw hampir tertawa mendengar kata-kata
si mahasiswa she Ku itu. Ia kata di dalam hatinya
"Perkataannya Kiu Gi ini menarik hati! Sama-sama
mahasiswa tetapi dia tidak memuakkan seperti Tiat Keng
Sim!" Ketika itu, air mukanya Ko In Tojin lantas berubah.
158 "Sute, mari kita pergi!" katanya keras. Agaknya
perasaannya tegang sendirinya.
"Eh. suheng, apakah artinya ini?" tanya Kiu Gi.
"Apakah kau telah melupakan urusan yang dijanjikan
kita dengan si dua orang she Ciok dari Kiangsi Bun itu?"
menanya suheng itu. si kakak seperguruan.
"Biarlah mereka itu jalan di muka, untuk menolongi
kita membuka jalan," sahut Kiu Gi tenang, "Kita harus
membantu mereka, untuk saling membantu, benar
begitu, bukan?"
"Tidak salah!" berkata Ko In. "Sekarang ini barang
bingkisan mereka telah kena orang rampas, ruparupanya
si perampas masih belum pergi jauh, maka
mungkin sekali, sedikitnya, kita dapat menyusul mereka.
Umpama kata kita tidak dapat menyandak mereka, kita
pasti akan bertemu sama kedua si Ciok itu, kepada
mereka kita menjadi boleh meminta penjelasan."
"Apakah suheng memikir untuk merampas pulang
barang bingkisan itu?" Kiu Gi menanya kakak
seperguruannya itu. "Harus diingat dengan si Ciok tua
kita tidak membuat itu macam perjanjian. Mereka itu
menggunakan sulap hantu dari mayat hidup mereka,
untuk melakukan perjalanan selaksa li, kalau mereka
kehilangan barang bingkisan yang dilindungi mereka,
pantas saja!"
"Ah, sute, tidak dapat kau bicara secara demikian,"
berkata Ko In. "Benar partai Kiangsi Bun itu tidak disukai
kaum Rimba Persilatan, akan tetapi karena bersamasama
mereka kita terhitung orang-orang yang
melindunginya, setelah kita memberikan janji bantuan
159 kita ---- walaupun sebelumnya tidak ada dibikin
perjanjian ---- tanggung jawab toh kita mesti
menanggungnya bersama."
"Kedua si Ciok itu bukannya orang-orang lemah,"
berkata Kiu Gi, "mereka pun mempunyai senjata mereka
yang beracun, bahkan mereka diiring pula dua murid
kepala mereka, maka kalau mereka toh sampai kena
dirampas, pastilah si perampas mempunyai kepandaian
yang tak di sebawahan kepandaian kita..."
"Kita perduli apa siapa mereka?" kata Ko In, suaranya
tetap. "Kita tidak dapat tidak memegang janji kita
sebagai laki-laki, tidak perduli terhadap pihak Kiangsi
Bun. Kalau kita melenyapkan kepercayaan, mana dapat
kami disebut partai Butong Pay?"
Sebenarnya Kiu Gi masih hendak bicara pula, tetapi
melihat ketegakan suheng itu, ia terpaksa mengalah.
"Jikalau pikiran suheng sudah tetap, baiklah, aku
menurut," katanya.
Giok Houw kaget juga. Benarlah mereka ini ada
pelindung-pelindung yang diundang untuk barang
bingkisan propinsi Ouwpak itu. Hanya aneh mereka.
Kecuali pedang mereka, mereka kelihatan tidak
membawa barang lainnya, dan pakaian mereka juga
tidak mencurigakan ---- ditubuh mereka tidak ada
sesuatu yang munjul. Maka itu, bingkisan itu terdiri dari
barang apa dan di manakah disembunyikannya"
"Bagus, sute!" berkata Ko In Tojin. "Asal kita berdua
bersatu hati dan bersatu tenaga, tidak perduli musuh
bagaimana tangguh, belum tentu mereka sanggup
menindih kita. Maka, apakah yang kita buat takut" Nah,
160 mari kita berpisahan, kita mencari si perampas itu. Siapa
yang melihat musuh, dia mesti memberi isyarat dengan
bersiul panjang!"
Kiu Gi tertawa lebar.
"Buat apa kita mencari jauh-jauh?" katanya. "Aku
kuatir sahabat-sahabat perampas barang bingkisan itu
masih berada di dalam kuil ini..." Dan lantas dia berseru
nyaring: "Sahabat-sahabat, entah sahabat-sahabat dari
kalangan mana, silahkan keluar untuk bertemu sama
kita!" Tidak heran kalau orang she Ku ini berseru demikian.
Giok Houw dan si Nona Liong berdesakan tanpa mereka
merasa, mereka membikin gorden bergerak sedikit, dan
Kiu Gi yang waspada dan matanya jeli lantas saja
melihatnya dan menjadi bercuriga.
Hampir berbareng sama seruan orang itu, tuhuhnya
Giok Houw berlompat keluar dengan pesat sekali.
"Sungguh dia sangat gesit!" pikir Ko In Tojin dengan
kagum. Tapi, setelah melihat rupa orang. Ia agaknya
tercengang. Ia seperti mengenali anak muda ini tetapi
tidak lantas mengingatnya.
Tidak demikian dengan Ku Kiu Gi, yang menjadi
keheran-heranan.
"Kau! Kau Siauw Houw Cu?" tegurnya.
Kiu Gi berotak terang sekali, ingatannya kuat, dari itu
segera ia kenali pemuda itu.
Kira-kira enam atau tujuh tahun dulu, tengah
membuat perjalanan, Thio Tan Hong lewat di gunung
Butong San. Ketika itu ia ada bersama Siauw Houw Cu,
161 yang ia ajak, maka ia ajak muridnya itu mampir di itu
gunung menjenguk Kiu Ji Totiang, ketua Butong Pay. Ko
In dan Kiu Gi -senantiasa mendampingi guru mereka,
mereka melihat Siauw Houw Cu, maka itu, setelah
tercengang sejenak, Kiu Gi segera mengenalinya.
Thio Giok Houw merangkap kedua tangannya
memberi hormat.
"Sudah lama kita tidak pernah bertemu, harap dua


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara baik-baik saja!" katanya sambil tertawa. "Benar
akulah Siauw Houw Cu yang dulu itu."
Ko In membalas hormat.
"Sekarang ini locianpwee Thio Tayhiap ada di mana?"
ia menanya. Ketika itu usianya Thia Tan Hong baru empat puluh
kurang lebih, dia ada terlebih muda beberapa tahun dari
ini imam, akan tetapi nama Tan Hong sangat terkenal
dan dalam tingkat derajat, dia seimbang dengan Kiu Ji
Totiang, gurunya, dari itu, Ko In memanggil locianpwee
terhadapnya. "Guruku masih ada di Chongsan di Tali," sahut Giok
Houw. "Selama beberapa tahun ini suhu tidak pergi ke
mana-mana."
"Eh, Thio Siauwhiap, mengapa kau bersembunyi di
sini?" kemudian Ko In menanya pula. "Bukankah tadi
telah terjadi perampasan barang-barang yang dilindungi
oleh Ciok Ciat dan Ciok Hu?"
"Benar," Giok Houw menjawab.
"Apakah kau melihatnya jelas?" Kiu Gi pun bertanya.
162 "Dari mula hingga di akhirnya, semua aku melihat
tegas sekali," jawab Giok Houw pula.
Mendengar begitu. Ko In Tojin berpikir: "Perampas
barang bingkisan itu mungkin lihai luar biasa, Siauw
Houw Cu ini kebetulan saja melihatnya, karena kaget dia
menjadi menyembunyikan diri..."
Kiu Gi sebaliknya girang.
"Saudara kecil, kau jadinya telah melihat semua!"
katanya. "Nah, siapakah perampas itu" Kau kenal dia
atau tidak?"
Nona Long masih sembunyi di belakang patung, ia
mendengar nyata semua pembicaraan itu, ia terperanjat
juga, maka sambil menggigit giginya, ia kata dalam
hatinya: "Kau boleh sebut namaku, aku tidak takut! Hm,
hm, aku tidak menyangka yang kau bakal membantui
mereka menyaterukan aku!"
Lalu terdengar tertawa nyaring dari Giok Houw. "Aku
kenal dia, kenal sekali!" sahutnya.
"Siapakah dia?" tanya Ko In cepat.
Siauw Houw Cu menunjuk pada hidungnya.
"Dialah aku sendiri!" sahutnya pula.
Ko In dan sute-nya, si adik seperguruan, tercengang.
Hanya sedetik, ia lantas tertawa lebar.
"Siauw Houw Cu, kau lagi bergurau!" katanya.
"Baiklah kau lekas mengantarkan aku pergi menyusul
perampas itu!"
"Eh, eh, siapa bergurau denganmu?" berkata si anak
muda. "Apakah artinya ini dua mahluk aneh dari partai
163 Kiangsi Bun" Buat bicara terus terang kepada kamu:
Semua barang dari pelbagai propinsi pun aku yang
rampas!" Imam itu menjadi bersangsi. Benarkah orang omong
terus terang"
"Jikalau benar barang bingkisan itu kau yang rampas,"
katanya kemudian, sabar, "aku minta sukalah kau
memandang aku, kau kembalikan barang itu kepada
mereka." "Itulah tidak dapat!" menjawab Giok Houw terus
terang. "Eh, anak, janganlah kau tidak tahu keadaan," berkata
Ko In. "Kau berlakulah baik. kau pulangi itu kepadaku.
Suka aku membantu kau merahasiakan perbuatan kau
ini, aku tidak mungkin memberitahukarnya kepada
gurumu." "Walaupun kau mohon bantuannya guruku, tidak
dapat aku menyerahkan barang bangkisan itu kepada
kau!" kata pula Giok Houw.
Hilang sabarnya si imam.
"Bagus betul!" serunya. "Nama Thio Tan Hong
terkenal di seluruh negara, aku tidak menyangka dia
mempunyai murid semacam kau ini!"
"Eh, aku kenapakah?" Giok Houw tanya.
"Kau berbuat sembarangan saja, kau tidak dapat
membedakan apa yang baik apa yang buruk!" berkata Ko
In. "Apakah kau menyangka aku tidak berani mewakilkan
Thio Tan Hong untuk memberi ajaran kepadamu?"
164 "Tunggu dulu, tunggu!" berkata Giok Houw tertawa.
"Aku masih ada bicara!"
Imam itu menyangka orang jeri.
"Baiklah!" katanya. "Asal kau bisa membedakan yang
baik dari yang buruk, aku tidak akan berlaku keterlaluan
terhadapmu!"
"Mari aku tanya!" berkata Giok Houw tanpa
memperdulikan sikap orang. "Bukankah barang bingkisan
yang kamu lindungi itu barang bingkisan dari propinsi
Ouwpak" Sebenarnya barang itu barang apakah dan di
mana kamu menyembunyikannya?"
Kembali Ko In menjadi gusar.
"Perlu apa kau menanyakan itu?" ia menegur.
"Maaf!" berkata si anak muda. "Dengan memandang
persahabatan di antara guru-guru kita, aku minta sukalah
kamu mengeluarkan barang bingkisan itu untuk
diserahkan padaku. Dengan begini tak usahlah keakuran
kita menjadi terganggu..."
Kemurkaannya Ko In Tojin tak kepalang.
"Apa?" teriaknya. "Juga barang yang dilindungi kami
kau hendak rampas?"
"Terang terang itu ada semacam upeti untuk raja si
bocah, kenapa kau membilangnya itu kepunyaan kamu?"
berkata Siauw Houw Cu yang lagaknyajenaka itu.
"Sebenarnya, raja pun tidak terlalu menghargakan
barang bingkisan dari sebuah propinsimu itu! Untuk aku.
itu justeru ada besar faedahnya! Kau begini ngotot
membelai raja, bagaimanakah kau masih omong tentang
persahabatan denganku?"
165 Ko In Tojin menjadi sangat gusar.
"Ha, Siauw Houw Cu!" serunya. "Berapa banyak tahun
sudah latihanmu maka kau begini berani main gila
terhadap aku?" Ia mencabut pedangnya dan lantas
menikam. "Baiklah!" jawab Thio Giok Houw, secara menantang.
"Dengan memandang kau adalah pihak yang terlebih tua,
suka aku mengalah untuk tiga jurusmu!"
Dengan satu gerakan "Hongtiamtauw," atau "Burung
hong mengangguk." pemuda ini membebaskan diri dari
tikaman si imam.
Karena serangannya gagal. Ko In Tojin maju dengan
tindakannya "Tujuh buah bintang menaik," pedangnya
turut bergerak juga, dengan sabetan dua kali pergi dan
pulang. Untuk partai Butong Pay. serangan ini serangan
sangat berbahaya Itulah salah satu jurus simpanan.
"Suheng, jangan!" berseru Ku Kiu Gic. menasihati. Ia
melihat kakak seperguruannya itu naik darah dan ia
mencegah orang lantas menurunkan tangan kematian.
Ko ln sedang murka, tidak dapat ia menarik pulang
serangannya itu. Ia pun percaya serangannya tidak nanti
gagal. Akan tetapi Siauw Houw Cu dapat menyelamatkan
dirinya. Dengan gesit ia berkelit seraya terus
menggunakan tipu silat enteng tubuh "Coanhoa jiauwsi."
ialah ilmu "Menembusi bunga, mengitari pohon." Itulah
ilmu tubuh lincah yang menjadi keistimewaan ln Loei,
yang telah diwariskan kepada Ie Sin Cu dan pemuda ini
pun dapat mempelajarinya.
166 Kemurkaannya Ko In menjadi bertambah-tambah,
bagaikan lupa diri. ia mengulangi serangannya bertubitubi.
Ia menjadi sangat mendongkol dan penasaran
sekali. "Sudah cukup tiga jurus!" berkata Thio Giok Houw
sambil tertawa, selama mana ia terus main berkelit.
"Maafkan aku yang aku tidak dapat mengalah pula!..."
Kata-kata ini dibuktikan dengan segera. Pemuda ini
segera menggunakan sentilan Itci Siankang!
Ko In Tojin terkejut, dengan sebat ia menarik pulang,
pedangnya, untuk menutup diri. Tapi "Traang!" maka
pedangnya itu telah kena disentil, suaranya pedang
lantas mengalun. Yang hebat, si imam merasai telapakan
tangannya sakit. Tapi dasarnya lihai, ia tidak
menghiraukan itu, dengan bengis ia lantas menyerang
pula. Siauw Houw Cu tidak jeri untuk serangan ini, tidak
perduli itu sangat berbahaya. Ia bahkan menyambutinya
dengan satu pukulan Taylek Kimkong Ciang atau Tangan
Arhat yang ia diajarkan In Tiong. Dengan sambutan ini ia
membuatnya pedang lawan itu menjadi kacau
sasarannya. Ia tidak berhenti sampai di situ. Ia
membarengi maju satu tindak, guna meninju langsung ke
dada orang. Kali ini ia menggunakan tinju Liongkun atau
kuntauw Naga ajarannya Hek Pek Moko.
Kembali terjadi bentrokan di antara pedang dan
tangan kosong, kali ini telah terdengar suara yang jauh
lebih nyaring daripada sentilan tadi. Kesudahannya pun
terlebih hebat pula. Tubuh Siauw Houw Cu limbung
karenanya Tapi lebih hebat adalah si imam, dia tergolek
mundur tiga tindak!
167 Sampai di situ. Thio Giok Houw hendak membuka
mulutnya, untuk bicara, atau mendadak ia menampak
berkelebatnya satu sinar hijau. Sebab Ku Kiu Gi telah
maju menyerang secara tiba-tiba. Pula ia terperanjat
akan melihat gerakan pedang, yang tak ketentuan
tujuannya, ke kiri atau kanan.
"Ah, dia lebih lihai daripada kakak seperguruannya," ia
berpikir. Ia sempat berkelit dengan tipunya "Coanhoa
jiauwsi". Sekarang ia tidak mau memandang ringan lagi,
dengan lantas ia menghunus senjatanya, golok mustika
yang menjadi golok pusaka. Dengan menggunakan golok
ini, tempo Kiu Gi menyerang pula ianya dengan jurus
"Hunsim kiam" atau "Memecah Perhatian," ia dapat
menghalaunya sambil terus menghalau juga tikamannya
Ko In, yang maju menyusuli sute-nya. Pedangnya imam
itu lantas kena dibikin terpental!
Thio Tan Hong lihai sekali dengan ilmu pedangnya,
tetapi ialah seorang cerdas, karena Siauw Houw Cu,
muridnya itu, bersenjatakan golok, ia lantas menciptakan
Hian Ki Tohoat," ilmu silat "Golok Hian Ki," yang
dasarnya iaambil dari Hian Ki Kiamhoat. "Ilmu Pedang
Hian Ki." Biar bagaimana, dengan menggunakan pedang, Ie Sin
Cu ada terlebih lihai daripada Siauw Houw Cu. Bahkan
dia pun menang dalam ilmu ringan tubuh dan
kepandaian menggunakan senjata rahasia. Kemenangan
Siauw Houw Cu atas suci, atau kakak seperguruannya
itu. ialah dalam halnya tenaga, yang jauh lebih kuat dan
beberapa pukulan istimewa ajarannya Hek Pek Moko dan
juga ilmu yoganya.
168 Pertempuran itu, satu lawan dua, atau dua
mengepung satu, dengan lantas menjadi seru. Karena di
samping Siauw Houw Cu lihai. Ko In Tojin dan Ku Kiu Gi
tidak boleh dipandang enteng, sebab merekalah jagojago
Butong Pay dari generasi kedua, orang-orang yang
paling lihai di antara sepantarannya. Kiu Gi sangat mahir
dalam Lianhoan Toatbeng Kiam. atau ilmu pedang
berantai "Merampas Jiwa," yang semuanya terdiri dari
tujuh puluh dua jurus. Inilah ilmu yang ia keluarkan
untuk melawan muridnya Thio Tan Hong.
Selagi bertempur itu, Thio Giok Houw tertawa lebar
dan berkata dengan nyaring: "Setelah merampas barang
bingkisan belasan propinsi, baru ini hari aku bertemu
sama dua orang yang benar-benar mempunyai
kepandaian berarti! Haha! Inilah pertempuran yang
paling menggembirakan, yang paling mempuaskan!"
"Sungguh satu mulut yang besar!" kata Kiu Gi, sambil
ia menyerang. Itulah serangan sangat berbahaya, sebab sasarannya
adalah tiga anggauta tubuh.
Siauw Houw Cu tidak takut, bahkan dengan berani ia
melawan keras dengan keras. Ialah ia menyambut
serangan dengan tangkisan goloknya.
Begitu lekas kedua senjata beradu hingga menerbitkan
suara berisik, begitu lekas juga Ku Kiu Gi menjadi
terkejut. Ia mendapatkan telapakan tangannya sakit
sekali dan nyer-nyaran dan pedangnya pun
meninggalkan sebuah cacad. Oleh karena ini, ia menjadi
terlebih waspada.
169 Pertempuran berlangsung terus, Siauw Houw Cu tetap
dikerubuti berdua. Tanpa merasa mereka melalui seratus
jurus tanpa ada kesudahannya.
Ku Kiu Gi tahu, sebagai muridnya Thio Tan Hong,
Siauw Houw Cu mestinya lihai, hanya ia tidak menyangka
orang ada lihai demikian rupa. la menjadi penasaran. Ia
berpikir: "Kita berdua, kalau kita tidak dapat
mengalahkan satu bocah, sungguh' inilah suatu malu
bagai perguruan kami!" Karena ini, ia mulai menyerang
dengan menggunakan pelbagai jurus dari ilmu
pedangnya itu. Siauw Houw Cu tahu orang mendesak keras, ia
berlaku sabar dan tenang. Ke mana juga pedang panjang
dari Kiu Gi menuju, ke sana golok pusakanya menangkis.
Kelihatannya gerakan goloknya itu tidak ada yang luar
biasanya tetapi hasilnya tidak pernah gagal. Goloknya itu
pun selalu menghalau pedangnya Ko In Tojin.
Di matanya Kiu Gi, Siauw Houw Cu bergerak sangat


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lincah seperti tidak menggunakan senjata akan tetapi
kenyataannya anak muda itu mesti bersilat dengan
sungguh-sungguh dan mengeluarkan banyak tenaga,
sedang matanya dipentang awas dan kupingnya
mendengari dengan saksama.
Lagi seratus jurus telah lewat.
"Inilah hebat," akhirnya Siauw Houw Cu berpikir.
"Siapa sangka mereka ini benar-benar lihai sekali.
Sayang tadi aku sudah lantas memunculkan diri, kalau
kesudahannya aku tidak bisa mengalahkan mereka ini,
tidakkah aku bakal ditertawai Nona Liong?"
170 Selagi Thio Giok Houw berpikir, Ku Kiu Gi melirik
kepada suheng-nya, si kakak seperguruan, terus ia
berseru keras, pedangnya dipakai menyontek ke perut
lawannya itu. Berbareng dengan itu Ko In Tojin juga
membacok, dari atas ke bawah. Maka juga kedua pedang
dua saudara ini bergerak dengan sama cepatnya.
Hebat ancaman bahaya itu yang bisa merobek perut
atau memapas kepala atau pundak. Akan tetapi orang
yang dikepung itu tidak takut bahkan dia tertawa. Sambil
berkelit Giok Houw menangkis pedangnya Kiu Gi. Dengan
satu suara nyaring, pedang itu kena dibikin mental.
Pedangnya Ko In membacok terus. Pedang ini tidak
ada yang mencegahnya, pundaknya yang diarah si imam.
Giok Houw berkelit dengan mengeluarkan ilmu yoga
ajarannya Hek Pek Moko. Ia tidak menyingkirkan diri, ia
cuma menggeraki tubuhnya. Ia membuatnya dagingnya
melesak. Maka ketika bacokan tiba, melainkan bajunya
yang menjadi sasaran, jangan kata dagingnya, kulitnya
pun tidak lecet.
Melihat kesudahan bacokannya itu, Ko In kaget sekali.
"Marilah upeti itu!" sekonyong-konyong Giok Houw
berseru. Ia membarengi melonjorkan tangannya yang
kiri. Kali ini ia menggunakan jurus Houwjiauw Kimna
ajaran Tantai Biat Beng --- Tangkapan Kuku Harimau.
Ko In terancam bahaya. Kalau dia kena disambar,
celakalah dia, sedang Kiu Gi. yang pedangnya mental,
tidak dapat menolongi padanya. Karena ini, ia telah
mengeluh di dalam hatinya, semangatnya bagaikan
terbang. 171 Di saat imam itu hampir menerima nasibnya,
mendadak terdengar suara tertawa nyaring halus dari
belakang patung, lantas satu nona berlompat keluar,
tangan kanannya diulur, mencegah sambaran Giok
Houw, tangan kirinya dikibaskan, untuk menangkis
pedangnya Kiu Gi, yang mencoba untuk menolongi
suheng-nya sambil menyerang lawannya.
Itulah Nona Liong, yang munculnya membuat dua-dua
pihak heran. Giok Houw sampai melengak.
Si nona tertawa tanpa memperdulikan keheranan
orang. "Eh, dua telur dungu, apakah kau masih tidak mau
kabur?" kata nona itu. "Apakah kamu hendak menunggu
sampai orang dapat merampas barang antaran kamu?"
Ko In tersadar, ia mengeluarkan seman perlahan,
habis mana dia lantas lari kabur.
Kiu Gi tapinya masih membuka mulutnya.
"Kami kaum Boctorig Pay, kalau ada budi kami
membalas budi, kalau ada sakit hati kami membalas sakit
hati!" katanya. "Aku mohon tanya she dan namamu,
nona!" "Aku melepas budi tanpa mengharapi pembalasan
budi!" sahut si nona. "Apakah kau tidak mau lantas
menyusul kakak seperguruanmu itu" Apakah kau masih
hendak menerima dua bacokan dari ini orang yang
derajatnya lebih tua daripada kamu?"
Selagi berkata begitu, si nona sendiri berkelahi terus,
tiga kali ia menangkis serangan Giok Houw, sebab
172 pemuda ini menyerang kepada lawan yang belum mau
menyingkir itu.
Belum pernah Kiu Gi mendapat ini macam
penghinaan, ia jadi panas hati. Terhadap si nona, ia
gusar berbareng bersyukur. Karena sangat terpaksa,
dengan sengit ia kata: "Baiklah, hitunglah hari ini aku
roboh!" Terus ia lompat, lari keluar dari kuil rusak itu.
Giok Houw tidak mengejar tetapi ia lompat ke
samping. "Apakah artinya ini?" ia tanya si nona, matanya
bersorot gusar.
Nona Liong tertawa.
"Bukankah kau telah melihatnya jelas sekali?"
sahutnya, membaliki. "Bukankah aku telah melepaskan
dua orang barusan?"
"Aku hanya hendak menanya kau, kenapa kau
melepaskan mereka itu," tegaskan si pemuda.
"Dengan itu barang bingkisan dari Ouwlam aku mau
melepas budi kepada murid-murid Butong Pay," si nona
menjawab. Giok Houw mendongkol sekali.
"Aku tidak dapat melepas budi tetapi kau dapat!"
katanya. "Apakah hubunganmu dengan partai Butong
Pay itu?" Si nona tertawa.
"Hubungan itu pasti tidak ada terlebih erat daripada
hubunganmu itu!" sahutnya. "Sikapku ialah, bertemu
yang lebih tinggi memberi hormat, bertemu yang lebih
173 rendah, menginjak. Aku merasa dua orang itu
mempunyai pengaruh besar dalam Butong Pay, aku pikir,
pantas kalau aku melepas budi. maka itu, aku telah
melakukannya!"
Giok Houw gusar bukan kepalang.
"Kalau begitu, marilah kita main-main!" ia menantang.
Nona itu tidak gusar, dia bahkan tertawa terpinhkalpingkal,
hingga pinggangnya melengking.
"Kau bergusar tanpa alasan!" katanya. "Apakah cuma
kau yang diijinkan melepas budi dan aku dilarang" Aku
menjual muka kepada Butong Pay, ini jauh terlebih bagus
daripada kau menjual muka kepada Bhok Kokkong!"
Giok Houw mendongkol tetapi sekarang barulah ia
mengerti maksud perkataannya si nona barusan, yang
menyindir padanya.
"Kau tahu apa?" katanya, keras. "Aku benar
melepaskan bingkisan dari Inlam tetapi itu bukannya
untuk Bhok Kokkong!"
"Aku tidak perduli itu untuk siapa," berkata si nona.
"Kau tidak sudi memberi keterangan, aku juga tidak
mempunyai tempo untuk mendengarinya! Maafkan aku,
tidak dapat aku menemani kau!..."
Nona itu menjejak dengan kakinya, lantas tubuhnya
lompat ke luar jendela, selagi keluar, dia berpaling,
tertawa kepada si anak muda, tangannya pun diangkat.
Nyata di tangannya itu ada kantung bingkisan dari
Ouwlam! 174 "Eh, kau pakai aturan atau tidak?" Giok Houw tanya.
"Berhenti dulu, berhenti! Kita mesti omong jelas!" Ia
lantas lari mengejar.
Sambil lari. Nona Liong tertawa.
"Ah, kau sangat rewel!" katanya. "Di waktu begini,
siapa mempunyai kesabaran akan mendengarimu?"
Giok Houw tidak menyahuti ia mengejar terus. Ia
dalam hatinya, ia kata: "Biar aku mengejar dulu, bicara
belakangan!"
Boleh dibilang hampir berbareng dengan itu, terbawa
oleh angin gunung, terdengar caciannya Ko In Tojin:
"Budak mau mampus! Budak mau mampus! Oh, kau
bikin aku mati mendelu!..."
Mendengar itu, Giok Houw heran hingga ia melengak.
"Dia menolong mereka, kenapa sekarang mereka
mendamprat dia?" tanya ia di dalam hatinya. Selagi
berpikir, ia dengar suara kaki berlari-lari keras, disusul
sama suaranya Ku KiuGi: "Sudah! Buat apa mengejar
terus padanya" Seorang laki-laki, dia dapat bengkok dan
dapat lempang! Biarlah bocah yang masih berambut
kuning itu puas sekarang! Biarlah kita bicara pula setelah
nanti kita ketahui tentang asal usulnya!"
"Heran!" pikir pula Giok Houw. "Jadi dia pun telah
merampas bingkisan propinsi Ouwpak itu" Kenapa aku
tidak dapat melihatnya?"
Itu waktu kembali terdengar suara tertawa terkekeh
nyaring dari si nona, yang bayangannya berkelebat di
satu tikungan bukit, karena mana. Giok Houw berlompat
175 untuk mengejar supaya ia tidak sampai kehilangan nona
itu. Mereka berdua lihai ilmunya enteng tubuh, dari itu,
cepat sekali lari mereka, hingga di lain saat jauh sudah
mereka meninggalkan Ko In Tojin dan Ku Kiu Gi. Di situ
pun ada banyak pepohonan di kedua samping.
Nona Liong seperti juga mengandung maksud sengaja
mengadu ilmu lari keras dengan Thio Giok Houw, biar
bagaimana anak muda itu memanggil padanya, ia lari
terus, tidak mau ia berhenti. Karena itu, terpaksa Giok
Houw mengeluarkan tenaganya untuk dapat mengejar
terus. Mereka berlari-lari terus hingga sang fajar
menyingsing. Baru sekarang nona itu memperlahankan
tindakannya. "Kali ini kita mengadu ilmu ringan tubuh, kita seri!"
katanya tertawa, seraya menoleh. "Kau letih tidak?"
Giok Houw melihat ke sekitarnya. Tanpa ia merasa,
mereka sudah melewati kota Sianheekwan. Jadi
sedikitnya mereka sudah melalui dua ratus li lebih.
Sendirinya, hatinya bercekat. Kapan ia mengawasi nona
itu, ia mendongkol berbareng kagum. Nona itu tenangtenang
saja sedang ia sendiri, dahinya mengeluarkan
sedikit keringat.
Nona itu tertawa, ia berkata pula: "Ada pepatah yang
membilang, 'Mengantar tuan sampai seribu li. akhirnya
toh mesti berpisah,' maka itu selagi kita adalah sahabatsahabat
yang baru berkenalan, sedang kau telah
mengantari aku beberapa ratus li, tidak berani aku
membikin kau bercapai lelah lagi. Mengapa kau tidak
176 memberi selamat berpisah" Apakah kau masih hendak
mengantar aku lagi satu rintasan?"
"Sudah, jangan bergurau!" sahut Giok Houw. "Mari
serahkan upeti itu!"
"Upeti dari propinsi yang mana?" si nona menegasi.
Tapi tanpa menanti jawaban, sambil tertawa, ia
mendahului sendirinya. "Benar! Upeti dari Ouwpak itu
aku sendiri belum melihatnya tegas barang apa! Tunggu
sebentar, aku lihat dulu, jikalau itu tak cocok dengan
hatiku, nanti aku serahkan pada kau..."
Ia merogoh ke sakunya, ia mengeluarkan sehelai ikat
pinggang yang bertaburkan kumala ikat emas. Melihat
itu, Giok Houw heran.
"Ikat pinggang itu memang berharga tetapi bukannya
mustika." pikirnya. "Mustahilkah upeti dari Ouwpak cuma
barang semacam ini?"
Sambil berpikir, pemuda ini terus mengawasi. Si nona
memencet pada ikat pinggang itu, yang lebih dulu ia
awasi. Nyata di situ ada dipasangi pesawat rahasia.
Begitu dipencet, ikat pinggang itu terbuka, maka dari situ
keluarlah sinar mencorong berkilauan. Sekarang terlihat
tegas, isinya ikat pinggang adalah mutiara-mutiara
yabengcu yang bundar-bundar dan besar-besar!
"Bagus!" berkata si nona tertawa.
matanya pun memain. "Kiranya barang bingkisan dari
Ouwpak ini jauh lebih berharga daripada kepunyaan
Ouwlam. Di sini ada semuanya tiga puluh enam butir,
kalau ini dijual, aku lihat sebutirnya mungkin berharga
sedikitnya sepuluh laksa tail perak! Pantaslah sunbu dari
177 Ouwpak telah mengganggu murid-murid dari Butong Pay
untuk melindunginya..."
Sekarang Giok Houw bisa menduga. Rupanya selama
di kuil tua itu, berbareng menolongi orang, nona ini
sudah meloloskan ikat pinggang itu yang berada di
pinggangnya Ko In Tojin. Pantas imam itu jadi demikian
gusar. Sebagai muridnya Hek Pek Moko, Giok Houw pun tahu
harga barang. Benar seperti katanya si nona setiap
mutiara mustika itu berharga sepuluh laksa tail perak.
Nona Liong merapikan pula ikat pinggang itu.
"Semua mutiara ini cocok sama hatiku." katanya,
tertawa, "dari itu tidak dapat aku menyerahkannya
kepada kau. Tentang upeti dari Ouwlam, jikalau kau
menghendakinya, suka aku membagi dua."
"Siapa main tawar menawar denganmu?" kata Giok
Houw gusar. "Semua barang yang kau rampas, tidak
perduli dari propinsi yang mana, ingin aku mendapati
semuanya!"
"Aha!" berseru si nona. "Sungguh suara yang besar!
Bagaimana dapat aku serahkan itu padamu! Mana orang!
Tolong! Siang hari bolong ada orang hendak membegal!"
Giok Houw melengak. Ia masih belum sadar ketika
dari samping, di mana ada rimba lebat, ia mendengar
suara jawaban: "Ya, nona, kami datang!"
"Bagus betul!" teriak Giok Houw. "Kiranya di sini kau
menyembunyikan kawanmu! Kau memanggil kawan,
apakah kau kira aku takut?"
178 Belum habis si anak muda berbicara, dari dalam rimba
sudah muncul dua nona, yang usianya rata-rata baru
empat-atau lima belas tahun. Melihat mereka itu, ia


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

heran hingga ia tercengang.
Si nona tidak memperdulikan orang heran.
"Mana Cun Heng dan Tong Bwee?" ia menanya dua
nona itu. Nona yang di sebelah kiri menyahuti: "Enci Cun Heng
dan Tong Bwee pergi merampas upeti dari Kangse.
Katanya, setelah berhasil, mereka akan menanti siocia di
Ciatkang."
"Bagus!" menjawab nona itu, yang dipanggil siocia ---
jadi ialah nona majikan. "Upeti dari dua propinsi Ouwlam
dan Ouwpak ada padaku sekarang, aku letih, pergilah
kamu yang bawa. Kamu juga menantikan aku di
Ciatkang."
Giok Houw tercengang. Ia ingat keterangannya Bhok
Lin. Jadi inilah kedua nona, atau budak, yang telah
merampas upeti dari dua propinsi Inlam dan Kuiciu.
Selagi anak muda in; berpikir, kupingnya mendengar
suara angin "Ser!" lalu matanya melihat gerakan kedua
tangan si nona. Tangan kirinya melemparkan kantung
upeti dari Ouwlam kepada budaknya yang satu,
tangannya yang lain menimpukkan sabuk upeti dari
Ouwpak kepada budaknya yang lainnya.
Karena sangat mendongkol, Giok Houw menjejak
tanah, ia lompat ke arah budak yang mau menyambuti
upeti dari Ouwpak itu. Itulah lompatan "Burung
menyambar kelinci."
179 Si budak kaget, dia berteriak.
"Jangan takut, Hee Ho!" berseru si nona. "Tidak nanti
ada orang dapat merampas barangmu!"
Kata-kata ini dibarengi sama lompatnya si nona, yang
berbareng pun mengibaskan tangan bajunya, maka itu
belum sempat si pemuda dan si pemudi turun di tanah,
tangan mereka sudah bentrok. Nona itu menggunakan
kebutan dengan ilmu silatnya "Tiatsiu kang" atau Tangan
Baju Besi," lengan Giok Houw kena dikibas, meski si anak
muda tidak terluka, dia toh merasakan sakit, sedang si
anak muda telah menggaet robek ujung bajunya si
pemudi. Maka itu, kesudahannya mereka seri, cuma Giok
Houw gagal merampas sabuk mutiara itu.
Kedua budak itu sangat cerdik dan tubuh mereka pun
sangat enteng dan lincah, selagi muda-mudi itu
"bertempur" keduanya sudah lantas lari kabur, hingga di
lain detik, bayangan mereka juga sudah tidak nampak.
Si nona tertawa geli.
"Semua barang bingkisan sudah dibawa pergi!"
katanya. "Apakah kau masih ingin main-main denganku?"
"Aku cuma mau minta dari kau!" sahut Giok Houw
kaku. "Ah," kata si nona menghela napas, "benar aku lagi
malang... Kenapa aku justeru bertemu sama kau"
Sebenarnya pernah aku mendengar di kalangan
Kangouw suka terjadi golongan Hitam makan golongan
Hitam, tetapi belum pernah aku mendapatkan orang
sebengis kau ini!"
Bukan main mendongkolnya si anak muda.
180 "Kau mau serahkan atau tidak?" dia menanya singkat.
"Aku tidak mempunyai tempo untuk kau gerembengi!"
"Eh, kau aneh sekali!" si nona tertawa. "Sebenarnya,
kau yang menggerembengi aku atau aku yang
menggerembengi kau" Kau sudah merampas upeti dari
belasan propinsi dan aku tidak minta suatu apa dari kau!"
"Sudah, sudah!" kata si anak muda, jang kewalahan
mengadu omong. "Kita jangan banyak omong lagi, mari
kita lihat siapa menang siapa kalah!"
Nona itu mengawasi, tenang.
"Bicara dari hal peri kepantasan, kau tidak dapat
melawan aku," katanya, "maka kau jadi hendak
bertempur! Benarkah" Baiklah! Kau bicara tentang
bertempur, aku bersedia! Bagaimana" Kau membilang
hendak bertempur, kenapa kau tidak mau lantas turun
tangan?" "Aku seorang laki-laki, tidak dapat aku menghina
wanita!" sahut Giok Houw. "Kau maju lebih dulu!"
"Kalau pria, bagaimana sih?" tanya si nona. "Aku toh
berdiri di sini! Mana dapat dikatakan kau menghina aku?"
Nona ini membuat main tangan bajunya, matanya
melirik. Dia telah siap sedia, tetapi selama Giok Houw
tidak bergerak, dia pun berdiam saja.
Pemuda itu kewalahan, terpaksa ia tidak mau pakai
aturan kaum Kangouw lagi.
"Awas!" ia berseru seraya terus menyerang, dengan
tipu silatnya "Tujuh bintang menembusi bunga," yang
menggertak berbareng menyerang benar-benar,
datangnya dari samping. Ia menyerang tetapi tidak
181 dengan Seseluruh tenaganya dan gerakannya juga rada
lambat. Ia mau bersedia untuk perlawanan si nona.
Selagi anak muda ini menyerang setengah hati itu,
mendadak dua tangan baju si nona sudah bergerak
saling susul, ia pun berteriak: "Awas!" Kedua tangan
bajunya itu panjang, yang kiri dibikin menggulung, yang
kanan menyerang.
Giok Houw tidak menyangka, hampir saja tangannya
kena digulung. Ia berkelit dengan menggunakan satu
jurus dari Coanhoa Jiauwsi. Dengan tangannya terhindar
dari bahaya, ia tidak bisa menolong pundaknya, yang
disambar ujung baju, tapi ia tidak mendapat bahaya,
karena dengan ilmu yoganya, ia masih dapat berkelit. Ia
segera membalas menyerang, hanya sasarannya ada
tempat kosong, sebab si nona menghalau diri dengan
gesit. "Terima kasih untuk mengalahmu!" berkata nona itu,
suaranya perlahan. Kata-katanya itu diikuti tertawanya
yang merdu. Nyata Giok Houw mendengar suara itu di
kupingnya. Ia menguasai diri, untuk berlaku tenang.
Dengan sebat ia menyambar ke samping dengan
cengkeramannya. Tapi kembali ia menyambar sasaran
kosong. "Hebat nona ini," pikirnya. "Kelihatannya dalam ilmu
ringan tubuh ia tak kalah dengan enci Sin Cu." Sedang ia
berpikir, kembali ia diserang si nona, yang kedua tangan
bajunya menyambar-nyambar pula.
Giok Houw mempunyai banyak guru, pelajarannya
pelbagai macam, tetapi menghadapi Nona Liong ini, ia
heran sekali. Tidak bisa ia menduga orang ada dari partai
mana. Belum pernah ia melihat ilmu silat orang ini.
182 Dalam tempo yang pendek, dua puluh jurus sudah
lewat. Pertandingan ini rada kipa. Benar mereka
bersama-sama bertangan kosong tetapi si nona menang
karena tangan bajunya terlebih panjang dan tangan
bajunya itu merupakan semacam senjata. Dengan
begitu, kedua tangan si anak muda menjadi seperti
terlebih pendek. Beberapa kali hampir ia kena dihajar.
"Apakah selanjutnya kau masih berani memandang
enteng kepada bangsa wanita?" berkata di pemudi
sambil tertawa geli.
Giok Houw mendongkol sekali.
"Apakah kau menyangka benar aku tidak sanggup
melawan kau?" katanya sengit.
Dengan tiba-tiba ia menyerang hebat sekali, sampai
suara anginnya bersiur keras. Ia telah menggunakan satu
pukulan dari Taylek kimkong ciu. Meski begitu, ia cuma
menggunakan tenaga lima bagian.
Benar-benar gesit si nona. Diserang demikian hebat, ia
masih bisa menghalau dirinya, bahkan habis berkelit itu,
ia membalas menyerang dengan sebat.
"Ah, tidak, seberapa lihai!" katanya tertawa. Lalu
kedua tangannya menyerang, pula saling susul,
mengarah dada si pemuda.
Giok Houw menjadi penasaran, setelah berkelit, ia
melanjuti serangannya. Ia terus menambah tenaganya
atas setiap serangannya itu, seperti juga ia tidak
mengenal kasihan lagi.
Si nona melayani dengan air muka terus tersungging
senyuman, tetapi di dalam hati, sebenarnya ia
183 terperanjat. Mulanya, hatinya terkesiap. Ia tidak
menyangka orang sebenarnya demikian lihai.
Sesudah mendesak hingga enam belas jurus. Nona
Liong nampak main mundur saja. meskipun tangan
bajunya yang panjang terus bergerak, ia seperti cuma
dapat menangkis tetapi tidak dapat membalas
menyerang. Toh kelihatan tegas lincahnya tubuh dan
tangannya serta tindakan kakinya. Ia dapat mengimbangi
serangan-serangan dahsyat itu. Tidak pernah si anak
muda dapat menyerang dengan berhasil.
"Dalam tenaga dalam, ia kalah dari aku," akhirnya
Giok Houw berpikir, "hanya dalam ilmu ringan tubuh, aku
benar harus menyerah."
Lantas pemuda ini mengguna siasat. Mendadak saja ia
menarik pulang tangannya, yang baru dipakai menyerang
hebat itu. Nona Liong merasakan kekosongan, karena lenyapnya
desakan, tanpa merasa, tubuhnya terjerunuk ke depan.
Ia kehilangan keseimbangan dirinya. Justeru itu, si
pemuda mengubah cara menyerangnya. Telapakan
tangannya yang terbuka lantas ditekuk tiga buah
jerijinya, yang sepasang lagi ia pakai menyerang dengan
ilmu silat Tiatcikang jurus Tiatcihui atau Sampokan Jeriji
Besi. Ia menyambar tangan bajunya si pemudi, ketika ia
menggores, "Bret!" terdengar suara nyaring. Tangan
baju itu pecah terbelah dua, hingga nampak lengan yang
putih halus dari nona itu!
Mukanya Nona Liong menjadi merah, ia jengah sekali.
Giok Houw menjadi tidak enak hati. Ia menang satu
jurus sesudah ia bekerja keras. Ia sebenarnya mau
184 menghaturkan maaf atau si nona sudah mendahului ia.
Mulanya nona itu memperlihat roman sungguh-sungguh,
habis itu dia tertawa dan kata dengan tampan: "Tidak
apa! Benar kau menggunakan akal tetapi tetap kau
menang satu jurus! Baiklah, sekarang aku mau belajar
kenal dengan senjatamu." Ia tidak menanti jawaban, ia
mendahulukan mencabut pedangnya yang berkeredepan.
"Tunggu, tunggu dulu!" berkata Giok Houw. "Kita
harus omong dulu biar jelas. Umpama kata kau kalah,
bagaimana" Kalau kita main merabu saja, itulah tidak
ada artinya."
"Baiklah." menyahut si nona. "Mari kita bertaruh."
"Taruhan apakah itu?" Giok Houw menanya.
"Kita bertaruh dengan semua barang bingkisan dari
semua propinsi," jawab si nona.
Mendengar itu, Giok Houw tertawa bergelak.
"Taruhan ini cocok dengan hatiku!" katanya. "Kalau
aku kalah, maka semua bingkisan dari belasan propinsi
pun akan aku serahkan padamu!"
Akan tetapi si nona menggeleng kepala
"Aku tidak menghendaki kepunyaanmu itu," katanya.
"Bagaimana?" kata Giok Houw heran. "Kau tidak
menghendaki kepunyaanku sebaliknya aku menginginkan
kepunyaanmu! Kalau begini, apakah artinya taruhan kita
ini?" "Kau dengar dulu aku," berkata si nona sabar.
"Sebenarnya malam ini kita sudah melakukan dua
rintasan. Yang pertama itu ialah mengadu ilmu enteng
tubuh. Mulanya dalam seratus li lebih, kau ketinggalan,
185 kau tidak dapat mengejar aku, kemudian lagi seratus li
lebih, aku mulai tergesa-gesal. Coba kita tidak berhenti
untuk beristirahat, setelah lari-larian lagi seratus li, ada
kemungkinan kau bakal melombakan aku. Maka itu, aku
mau anggap kita seri. Coba bilang, pertimbanganku ini
adil atau tidak?"
Giok Houw berpikir. Sebenarnya ia kalah cepat, kalau
ia toh dapat menyusul, itu disebabkan tenaga dalamnya
yang menang, ia lebih ulet.
"Adil!" ia menyahut, menyeringai. Biar bagaimana ia
rada likat. "Hanya akulah seorang lelaki, di dalam halnya
tenaga, aku menang unggul. Sebenarnya aku malu."
Tapi nona itu tertawa dingin.
"Kalau aku tidak akan menyebut-nyebut perbedaan di
antara pria dan wanita!" katanya. "Hm, hm! Apakah
benar pria selamanya lebih menang dari wanita?" Ia
hening sejenak, lantas ia menambahkan: "Barusan kau
menggunakan akal, biar begitu, aku menganggapnya kau
yang menang. Maka sekarang tinggal rintasan yang
ketiga, umpama kata aku kalah, aku jadi kalah dua kali,
aku tidak akan membilang apa-apa lagi, semua barang
bingkisan dari sembilan propinsi, yang aku telah rampas,
semua akan aku serahkan padamu. Andaikata kau yang
kalah, kita anggap kita seri. Itu artinya, aku tidak
menghendaki barangmu, kau jangan menghendaki
barangku. Beginilah cara pertaruhan kita. Apakah kau
puas?" Pertaruhan itu ada menguntungi Giok Houw, meski
begitu, anak muda ini toh berpikir.
186 "Sudah terang nona ini ada terlebih kepala gede
daripada aku. Bukankah ia sengaja hendak mengalah?"
demikian pikirnya.
Melihat orang berdiam saja, nona itu menuding
dengan pedangnya.
"Kau akur atau tidak?" dia tanya, sikapnya j umawa.
Tapi dia tertawa.
Giok Houw menghunus golok mustikanya. Ia pun
tertawa. "Akur!" sahutnya. "Hanyahendak aku memberitahukan


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau, golokku ini golok mustika!"
"Aku sudah tahu!" jawab si nona. "Kau mulailah!"
Nona ini demikian jumawa hingga ia tak menghiraukan
golok mustika. "Tadi aku yang mulai, sekarang giliranmu." kata si
pemuda. "Aku tidak dapat menang sendiri."
"Baiklah!" kata si nona tanpa sungkan lagi. Ia
membalingkan pedangnya, pedang Cengkong kiam, habis
mana ia menikam dengan jurus "Bintang mengejar
rembulan." Ia mengarah muka.
Di dalam hatinya. Giok Houw tertawa.
"Baru sekarang kau menggunakan kekerasan,"
pikirnya. "Baik aku melayani dengan tenang."
Akan tetapi si nona menggunakan akal. ia cuma
menggertak, sebelum ujung pedangnya mengenai
sasarannya, mendadak ia mengubahnya menjadi "Mega
melintang di atas puncak Cin Na."
187 Serangan ini hebat akan tetapi Giok Houw tidak terlalu
menghiraukannya.
"Ah, kiranya dia pun dari Butong Pay..." pikirnya.
Serangan si nona itu mestinya menyambar ke kiri,
untuk membabat lengan kanan dari lawanan. Giok Houw
menggunakan belakang goloknya, untuk menyampok.
Tapi nona itu berlaku cerdik dan sebat, ia mengubah
tujuannya, dari kiri ke kanan, terus ia menikam ke nadi.
Tentu sekali si anak muda menjadi terkejut, repot dia
membela diri. Serangan ini membikin dia mengeluarkan
keringat dingin. Dengan sukar saja dia dapat melindungi
nadinya itu. Setelah itu, si nona mendesak, menyusuli serangan
yang kedua, lalu datang yang ketiga. Yang kedua kali itu
ada jurus dari ilmu silat Khongtong Pay yang dinamakan
"Bengto cianli," atau "Unta lari seribu li," ujung pedang
menikam ke bawah, mencari dengkul. Giok Houw tidak
mengerti banyak tentang ilmu silat Khongtong Pay, meski
ia kenali jurus ini, ia tidak berani berlaku alpa. Ia
melindungi dengkulnya dengan jurus, "Memindahkan
gunung menguruk lautan."
Aneh ilmu silat si nona setelah bekerja, tikaman itu
bukan lagi tikaman Khongtong Pay. Sebab datanglah
serangan yang ketiga itu, yang berantai. Kali ini Giok
Houw mengenali "Hokmo Kiamhoat," ilmu pedang
"Menakluki Siluman" dari Siauwlim Pay Utara Itulah jurus
"Wi To hangmo," atau "Malaikat Wi To menakluki hantu."
Ujung pedang membabat ke bawah.
Untuk membela dirinya, Giok Houw menangkis dengan
jurus "Dengan sebuah tihang menahan langit."
188 Kali ini, pemudi itu cuma menggertak, pedangnya
ditangkis tetapi lolos.
Giok Houw menangkis sambil memutar tubuh, lalu ia
merasakan hawa dingin di bebokongnya. maka lekaslekas
ia berkelit pula. Hampir saja tulang punggungnya
kena disontek pecah!
Si nona tertawa seraya berkata: "Kalau harimau galak
tidak ditaklukkan sekarang, hendak menanti sampai
kapan lagi?"
Tentu sekali ia menjadi gusar, sebab ia telah
dipermainkan. Segera ia menyerang secara bengis,
sambil menyerang ia kata dengan dingin: "Marilah lihat,
aku dapat membekuk naga atau kau dapat mencekuk
harimau!" Giok Houw menang tenaga daripada si Nona Liong, ia
hanya kalah enteng tubuh dan belum mengenal ilmu silat
pedang orang yang luar biasa itu, tetapi sebagai seorang
yang. cerdas, setelah banyak jurus dilewatkan, ia bisa
lantas mengambil keputusan. Pikirnya: "Aku boleh tak
usah perdulikan lagi dia dari partai mana, cukup asal aku
melayani dia dengan ilmu golok Hian Ki Tohoat. Pula
tidak perlu aku mencapaikan hati untuk memecah setiap
serangannya itu, hanya baiklah aku tonton dia
mempunyai berapa banyak macam jurusnya yang anehaneh
itu." Putusan ini lantas diwujudkan.
Hian Ki Tohoat meminta tenaga besar tetapi Giok
Houw dapat melayani itu, maka itu belum lama, kedua
pihak menjadi sebanding. Sama-sama mereka bisa
menyerang dan membela diri. Kedudukan Giok Houw
189 menjadi teguh, bahkan kadangkala dengan golok
mustikanya itu ia dapat mencoba untuk membentur
pedang si nona.
Sembilan belasjurus telah dikasih lewat, selama itu
Nona Liong sudah menggunakan juga sembilan belas
macam jurus yang berlainan, yang terang ada dari
sembilan belas partai, maka itu Giok Houw heran sekali.
"Nona ini berusia tak berbedajauh daripada usiaku,
kenapa dia dapat menggunakan ilmu silat dari demikian
banyak partai dan bahkan banyak pula perubahannya?"
ia menanya dirinya sendiri.
Habis sembilan belas jurus itu. Nona Liong masih
dapat membuat perubahannya.
Giok Houw berpikir keras sekali.
"Ah!" katanya pula dalam hatinya. "Sekarang aku
ingat, ini macam ilmu silat pedang campuran pernah aku
melihatnya, hanya entah di mana..."
Oleh karena mengingat demikian, ia berpikir lebih
jauh. "Hok Thian Touw!" pikirnya tiba-tiba. "Ya, Hok
Thian Touw! Ketika pertama kali aku bertemu
dengannya. Thian Touw sudah dapat mengumpul ilmu
pedang dari tiga belas partai, kemudian setelah dia
memperoleh petunjuk dari guruku, hingga dia menginsafi
sarinya Hian Ki Kiamhoat, dia dapat pula ilmu silatnya
empat partai lain. Dengan begitu, sama sekali, dia telah
dapat mencangkok pelajaran dari tujuh belas partai. Dan
tahun yang baru lalu, menurut enci Sin Cu, Cio Keng To
pun telah memberi pinjam kitab ilmu pedangnya, sedang
Ceng Yang Cu telah memberikan dia salinan kitab pedang
Cengshia Pay. Dengan begitu, semua-semua dia telah
190 mendapatkan pelajaran dari sembilan belas partai. Maka
itu, mungkinkah dia ini ada hubungannya sama Hok
Thian Touw?"
Sampai di situ, pemuda ini dibuatnya ragu-ragu. Ia
ingat satu hal lain.
"Nampaknya tak cocok," demikian pikirnya pula.
"Selama diadakan rapat besar, Hok Thian Touw suami
isteri telah diminta bantuannya, dan mengenai urusan
merampas barang-barang bingkisan pelbagai prooinsi,
mereka juga telah memberikan janjinya. Kalau nona ini
ada hubungan sama mereka suami isteri, kenapa
sekarang dia menentangi aku?"
Selama itu pertandingan berjalan terus. Nona Liong,
yang menang gesit, menang juga kedudukan. Dengan
kecerdikannya, dia mengambil tempat yang
membelakangi matahari, yang dari fajar telah menaik
tinggi. Dengan pedangnya, dengan kesehatannya dia
menyerang berulang-ulang. Di sebelahnya, Giok Houw
berlaku tenang. Ia menangkis setiap kali ia diserang. Ia
tetap membawa sikap membela diri, ia berlaku waspada
agar tak sampai salah tangan. Kalau sewaktu-waktu ia
berhasil membentur pedang si nona. ia membuatnya
tangan nona itu sakit dan sesemutan, nyer-nyeran.
Lama-lama kedua pihak saling mengetahui kelebihan
atau kekurangan mereka tapi umumnya si nona yang
kalah imbangan. maka kalau dia bukannya
membelakangi matahari, tentulah dia sudah kalah.
Giok Houw bisa melihat orang mulai kalah unggul, ia
terus melawan dengan tenang tetapi dengan semangat
terlebih mantap. Adalah si nona yang gede kepala,
penasaran kalau dia sampai kalah, maka dia mencoba
191 untuk merubah keadaan kipa itu. Dia mengeluarkan pula
pelbagai jurusnya yang aneh-aneh.
Dengan begitu, banyak jurus telah dilewatkan pula.
Nona Liong mulai bernapas sengal-sengal. Ia telah
memaksakan tenaganya, maka itu keringan tubuhnya
tidak dapat menolong terus padanya.
Inilah benar pertarungan "Naga berebutan, Harimau
bergulat." She nona itu, Liong, berarti "naga," dan
namanya si pemuda Houw, berarti "harimau."
Biar bagaimana. Giok Houw mengagumi lawannya ini.
Semenjak dia muncul dalam dunia Kangouw, inilah
lawannya satu-satunya yang paling tangguh.
Selama melayani itu, untuk berlaku waspada, Giok
Houw beberapa kali melepaskan saatnya yang baik,
adalah kemudian, mendadak ia berseru keras, goloknya
menyambar ke kiri ke arah mana si nona berkelit. Itulah
serangan dari jurus "Memegat pedang hijau," dan
sasarannya ialah ujung pedang.
Nona Liong itu berkelit seraya terus mengelit juga
pedangnya, setelah itu ia membalas, ia berbalik menikam
jalan darah jiki hiat di rusuk kiri si pemuda. Ia
menggunakan jurusnya "Jarum emas menusuki benang."
Biarnya serangan ada sangat Iiehay, si Nona Liong
masih bisa menghindarkan dirinya. Karena ini, lagi sekali
Giok Houw maju, tangan kirinya menjambak, tangan
kanannya membacok. Itulah bacokan "Burung bangau
mementang sayap." Ia percaya, kali ini ia tidak bakal
gagal lagi. 192 Sudah lama mereka bertanding. Giok Houw mulai
mengerti ilmu silat si nona, maka itu ia telah cari saatnya
yang baik itu. Mendadak saja si nona menjerit, tubuhnya terhuyung
ke depan, seperti mau roboh.
Giok Houw kaget.
"Ah, dia tak kenal jurusku ini!" pikirnya. "Benarkah
golokku ini melukai dia?"
"Tentu sekali ia merasa sayang kalau lengan si nona
cantik itu sampai terbabat kutung...
Kejadian itu ada cepat sekali, bagaikan kilat
berkelebat. Dalam kagetnya, Giok Houw segera menarik pulang
goloknya. Belum sempat ia melihat, si nona terluka di
mana, mendadak nona itu tertawa haha-hihi, tubuhnya
bangun berdiri, pedangnya menyambar! Dan belum
sempat Giok Houw mengetahui apa, ujung ikat kepalanya
telah terpapas kutung. Tentu sekali ia kaget bukan main.
"Terima kasih, kau telah mengalah!" berkata si nona
perlahan, kembali tertawa.
"Apa artinya ini?" tanya Giok Houw setelah dia sadar.
"Maaf, kali ini akulah yang menang!" berkata si nona,
tertawa. "Selanjutnya kita merampas masing-masing, aku
larang kau mengganggu aku pula!"
Giok Houw melongo mengawasi nona itu. Ia kalah
karena diakali, tapi apa ia bisa bikin! Di dalam
pertempuran, orang tidak dapat dilarang menggunakan
tipu daya. Percuma ia penasaran.
193 "Aku tahu kau tentulah tidak puas!" berkata nona itu.
"Maka aku akan berikan kau ketika sekali lagi! Mari, mari,
kita berjanji dengan menepuk tangan!"
"Apakah artinya itu?"
Si pemuda mendongkol tetapi ia menanya juga.
Si pemudi tertawa.
"Kau jangan marah, bisakah?" ia kata, sabar. "Dengan
sikapmu ini, kau mensia-siakan maksud baik orang... Ah,
benarkah ini yang disebut, 'Anjing menggigit Lu Tong Pin
karena tak tahu hati baik manusia'?"
"Baiklah!" kata Giok Houw akhirnya. "Kau bicaralah!"
"Kita menetapkan tempo tiga bulan, nanti kita
bertemu pula di Pakkhia!" berkata si nona. "Sampai itu
waktu kita nanti membuat perhitungan, kita melihat
barang rampasan upeti siapa yang terlebih banyak..."
"Jadi kau tetap hendak bertaruh denganku?" tanya
Giok Houw panas.
"Apakah itu tetap atau tidak tetap?" kata si nona
bersenyum. "Apakah kau masih hendak memaksa aku.
melarang aku merampas upeti?"
"Sebenarnya apa maksudnya pertaruhanmu ini?"
"Aku artikan, siapa yang merampas lebih banyak upeti
dialah yang menang!"
Giok Houw mendongkol. Kata ia dalam hatinya:
"Bukankah dengan begini kau hendak mempersulit aku"
Kau sudah dapat merampas banyak, masih kau hendak
merampas lebih jauh! Bagaimana aku nanti dapat
194 memberikan pertanggungan jawabku kepada semua
orang gagah yang menghadiri rapat?"
Hampir pemuda ini tak dapat menguasai dirinya lagi.
Baiknya si nona lantas berkata pula setelah dia tertawa
cekikikan. "Aku lihat kau kelabakan tidak keruan, maka itu aku
hendak bertaruh lagi denganmu..." katanya. "Aku hendak
memberi ketika satu kali lagi. Kalau barang rampasanmu
lebih banyak daripada barang rampasanku, maka semua
barang rampasan itu akan aku serahkan pada kau.
Sebaliknya demikian juga!"
Giok Houw mengawasi nona itu. Ia seperti tidak mau
mempercayai kupingnya sendiri.
"Benarkah itu?" ia menegaskan.
"Jikalau kau tidak percaya, marilah kita bersumpah
dengan menepuk tangan!" berkata si nona.
"Mari memastikan dulu!" kata Giok Houw. "Kita
menetapkan dari harganya semua upeti atau dari
banyaknya setiap propinsi?"
"Dari banyaknya setiap propinsi!"
Giok Houw pikir, pertaruhan itu menguntungi


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pihaknya. "Bagaimana" Kau masih memikirkan apa?" tanya si
pemudi, mendesak. "Apakah kau takut keok hingga
kedua tanganmu menjadi kosong melongpong" Ah, aku
tidak menyangka, kau sangat menghargai barang
sampiran melebihkan segala apa!"
"Aku hanya meminta penetapan," Giok Houw
menerangkan. "Aku tidak mau menang unggul..."
195 "Nah, kau bicaralah!"
"Aku mempunyai banyak kawan dan barang
rampasannya itu termasuk atas namaku."
"Siang-siang aku telah mengetahui itu! Aku sendiri
mempunyai empat budak dan semua barang rampasan
mereka terhitung rampasanku juga. Aku hanya kuatir
budak-budakku yang kasar itu belum tentu kalah dari
orang-orang gagahmu itu!..."
"Baiklah!" kata Giok Houw cepat.
"Seorang ksatria tidak omong main-main! Mari kita
berjanji dengan menepuk tangan! Apakah kata-katanya
janji itu?"
Si pemudi melonjorkan kedua tangannya, sembari
tertawa ia kata: "Kata-kata itu ialah: Menang senang,
kalah puas, tak menyesal selama-lamanya!"
Giok Houw menepuk satu kali, ia menyebutkan janji
itu. Kemudian, memenuhkan tepukan tangan, mereka
saling menepuk tiga kali lagi. Selama tangan mereka
beradu, Giok Houw merasakan ada hawa hangat yang
pindah bersalur ke tangannya terus ke seluruh tubuhnya
hingga hatinya goncang.
"Bagus!" berkata si nona. "Sekarang aku hendak lekas
pergi merampas barang-barang bingkisan beberapa
propinsi di Kanglam, kita masing-masing mengeluarkan
kepandaian sendiri-sendiri! Kau jangan ikuti aku ya!"
Ia tertawa, selagi tertawa tubuhnya berlari pergi,
hingga kelihatan bajunya saja berkibar-kibar.
196 Giok Houw berdiri di atas batu yang tinggi, mengawasi
orang berlalu. Ia bingung, ia tidak tahu ia mesti
berdongkol atau bergirang terhadap nona itu...
Tidak lama, pemuda ini pun berangkat, menuju kc
propinsi Ciatkang. Di sepanjang jalan ia masih terus ingat
si nona. Ia mengharap-harap di Ciatkang akan bertemu
pula dengan dia itu. Karena ini, urusan merampas upeti
jadi seperti urusan yang nomor dua...
IV. Gelombang di Laut Timur.
Beberapa hari kemudian maka di tepian telaga Seouw
di Hangciu telah terlihat munculnya seorang muda yang
pakaiannya sederhana mirip seorang tani, hanya biar
bagaimana, dandanan itu tidak dapat melenyapkan
romannya yang gagah. Sebab ialah Siauw Houw Cu alias
Thio Giok Houw yang tengah bertaruh sama Nona Liong,
bertaruh siapa lebih banyak dapat merampas barang
bingkisan propinsi untuk kaisar...
Di kota Hangciu ini Giok Houw telah mengatur
orangnya hidup bersembunyi guna mencari tahu halnya
upeti propinsi Ciatkang dan sekarang ia datang untuk
menemui pembantunya itu. Ia ingin ketahui, upeti sudah
diberangkatkan atau belum dan siapa pengantarnya. Ia
ingin mendahului Nona Liong merampasnya.
Ketika itu ada di pertengahan musim semi, di manamana
di telaga Seouw itu, bunga-bunga bwee dan li
sedang mekar dan bunga bwee belum lagi rontok. Maka
indahlah pemandangan alam di situ. Tapi Giok Houw
tengah berpikir, ia tidak menghiraukan pemandangan itu,
197 ia berjalan terus melewati beberapa tempat kesohor,
terus menuju ke barat sampai di bukit Samtay San.
Tengah ia berjalan itu, ia mendengar tertawanya orangorang
yang lagi pesiar.
Seorang yang dandan sebagai seorang mahasiswa,
berkata: "Tahun ini telaga Seouw tambah satu tempat
kesohor, yang menambahkan bukan sedikit
keindahannya telaga."
"Apakah kau maksudkan kuburannya Ie Kiam?" tanya
seorang. "Itukah tepat! Ie Koklo paling menyukai Seouw,
maka ia memesan supaya dikubur di sini, untuk ia
menemani kuburan Gak Hui. Mari kita menjenguk ke
sana!" Setelah matinya Ie Kiam, karena tahu rakyat tak puas,
kaisar Eng Cong mengijinkan Co Thaykam
menguburkannya dengan baik di tepi telaga Seouw itu.
Kemudian setelah tukar kaizar, kaizar yang baru mencuci
penasarannya Ie Kiam itu, dia dianggap berjasa dan
dihormati dan anak angkat Ie Kiam diperkenankan
mendirikan rumah abu untuk Ie Kiam itu, rumah abu
yang diberi nama Sengkong Si. Maka di samping
kuburannya pula ada rumah abunya.
Mendengar itu, Giok Houw mengingat suatu apa,
maka ia kata dalam hatinya: "Meski penasaran Ie Koklo
dilampiaskan, sekarang toh anak dan menantunya masih
terlunta-lunta, maka itu perbuatan raja ini masih palsu
juga!" Mahasiswa itu lalu bersenandungkan syairnya Ie Koklo
yang memuji keindahan Seouw, sedang kawannya
berkata pula: "Setelah menutup mata, Ie Koklo dapat
bersemayam di Seouw ini, ia tentu legajuga hatinya."
198 Diam-diam Giok Houw mengikuti dua orang itu sampai
di kuburan Ie Kiam dan rumah abunya, di depan itu,
yang merupakan lapangan, ada berkerumun banyak
orang, entah apa yang dilihat. Supaya tidak menarik
kecurigaan orang. Giok Houw tidak pergi menghunjuk
hormat ke kuburan Ie Kiam itu. Ia Cuma memuji di
dalam hati, ia terus menghampiri orang banyak itu, yang
ternyata lagi menonton tukang jual silat, rupanya kakak
dan adiknya wanita. Mereka itu mau bertanding dengan
tangan kosong merebut golok.
Girang Giok Houw melihat dua orang itu, ialah orangorang
yang ia justeru lagi cari. Mereka itu bernama Cu
Poo dan Cu Leng. Mereka pun lantas melihat dia tetapi
mereka berlagak pilon.
Dua orang itu memang asal tukang menjual silat,
maka bisa sekali mereka berbicara rapi dan hormat,
untuk menyenangkan para penonton. Cu Poo kata, kalau
pertunjukannya bagus dilihat, ia minat dibagi sedikit
uang, kalau jelek, ia minta dimaafkan. Setelah itu. ia
membacok kepala Cu Leng, adiknya.
"Aduh, engko!" si nona menjerit.
"Tega kau membacok aku!..." Tapi ia berkelit sebat
sekali, hingga bunga bwee saja yang ditancap di
rambutnya ini yang kena terbabat.
Orang banyak kagum, sedang mereka yang mengerti
silat, bersenyum, sebab itu dua sedang bergurau.
Lantas keduanya bertempur terus, dengan seru.
"Ah, engko, kau kejam sekali!" kemudian kata pula si
nona, si adik, yang terus mencoba merampas golok
orang. 199 Cu Poo melawan, ia meloloskan diri.
Mereka bertempur puluhan jurus, sampai banyak mata
penonton kabur.
Kembali terdengar si nona menjerit, sebab goloknya
sang kakak mengancam, hanya kali ini berkesudahan
golok itu kena dirampas nona itu. Nona itu berkata: "Kau
tidak berhasil membacok aku!" Ia terus tertawa.
Dan penonton pun pada tertawa, bersorak memuji.
Sambil tertawa Cu Poo lantas menghadapi orang
banyak, untuk memberi hormat dan mengucap terima
kasih. "Semua tuan memuji kau, lekas kau menghatur terima
kasih!" kemudian katanya pada adiknya kepada siapa ia
berpaling. Cu Leng melepaskan sepasang goloknya, ia
mengambil tetampan sebagai gantinya, sambil membawa
itu kepada para penonton, kepada siapa ia pun memberi
hormat, ia kata dengan manis: "Terima kasih! Terima
kasih!" Beberapa penonton melemparkan uang ke dalam
tetampan itu. Selagi ucapan terima kasih si nona masih terdengar
terus, mendadak seorang yang tubuhnya besar lompat
masuk ke dalam gelanggang, untuk menegur Cu Poo:
"Kan bernyali besar! Kau berani melanggar undangundang!"
Cu Poo heran. "Undang-undang apakah itu tuan" Benarkah orang
dilarang menjual silat?" ia tanya.
200 "Kita di Hangciu melarang itu!" membentak orang itu.
"Tapi sudah beberapa kali kami membuka pertunjukan
di sini," kata pula Cu Poo. "Banyak penonton di sini yang
mengenali kami. Belum pernah aku mendengar ada
larangan. Tuan, kau..."
"Perduli apa kau terhadapku!" bentak orang itu.
"Akulah yang mengurus kau! Mungkin kau tidak ketahui
larangan itu, yang baru diumumkan hari ini!"
"Oh, begitu" Maaf, aku tidak tahu..."
"Tapi dapat kau lantas diberi ampun! Kamu berdua
turut aku ke kantor!"
Menduga orang ada orang polisi, Cu Poo berkata pula:
"Baru hari ini kami datang pula ke mari, benar-benar
kami tidak tahu larangan itu, maka itu, Toako, tolong kau
maafkan kami..."
"Ya, siapa tidak tahu dia tidak bersalah," kata
beberapa penonton. "Toako, kau maafkanlah mereka"
"Tidak bisa!" membentak orang itu.
"Benar-benarkah Toako mau paksa membawa kami ke
kantor?" tanya Cu Poo. "Kau lihat, kami belum dapat
sebanyak satu tail perak! Apa guna membawa kami ke
sana" Baik begini saja, uang ini Toako ambil untuk
minum teh!..."
Cu Poo menunjuk uang saweran.
"Hm, siapakesudian uangmu itu!" kata orang itu, tetap
galak. Tapi mendadak dia menyengir dan menambahkan:
"Memandang kepada itu nona, baiklah, aku ampunkan
kau kali ini! Dengan apa kau akan membalas budi?"
201 "Budimu ini yang besar tidak nanti kita lupakan." kata
Cu Poo terpaksa. Bukan main ia menahan sabar.
"Siapa kesudian ucapan terima kasih kosong!"
"Habis Toako menghendaki apa?"
"Aku ingin supaya adikmu ini menjadi budakku selama
tiga bulan. Namanya saja budak, sebenarnya tidak nanti
aku sia-sia dia! Kau jangan takut! Nona, sukakah kau
mengikut aku?" Lalu dengan ceriwis ia ulur tangannya
untuk mencolek pipi si nona.
"Plok!" demikian suara keras, dari tangan Cu Leng
yang melayang ke pipi orang itu, hingga dia kaget dan
kesakitan dan menjadi gusar sekali.
"Budak kurang ajar!" teriaknya. "Kau berani memukul
aku!" Dia mementang kedua tangannya, menubruk ke
arah si nona. Cu Poo tak ingin berselisih, toh ia habis sabar.
"Kurang ajar! Kau berani menghina adikku?" katanya
gusar. Dengan tangan kiri menolak tubuh adiknya,
dengan tangan kanan ia meninju.
Orang itu menangkis, hingga dua-duanya sama-sama
mundur tiga tindak.
"Kurang ajar!" dia mendamprat, terus dia menyerang
dengan jurusnya "Harimau hitam mencuri jantung."
Cu Poo menangkis dengan jurus "Ji Long memanggul
gunung." lalu menyerang pula dengan "Tangan mementil
piepee." Tapi orang itu masih dapat berkelit, kembali dia
menyerang. Maka itu, mereka jadi bertarung.
Giok Houw menonton, ia heran.
202 "Kenapa Cu Poo tidak dapat mengalahkan orang ini?"
pikirnya. "Jangan-jangan orang ini bukan sembarang
orang polisi..."
Di tempat ramai itu, tidak dapat Giok Houw
sembarang memperlihatkan diri.
Lagi beberapa jurus, pundak Cu Poo kena tertinju. Cu
Leng jadi penasaran, ia mau maju membantu kakaknya
itu. Atau ada orang yang mendahului ia. Dari luar
kalangan orang itu berlompat masuk, terus dia kata:
"Lepas tukang silat ini! Mari bersamaku pergi menghadap
sunbu!" Orang itu muda, giginya putih, bibirnya merah,
romannya tampan. Melihat dia itu, Giok Houw girang.
Orang adalah Bhok Lin. Pantas dia segera mengajak
pergi pada sunbu yaitu gubernur.
"Bhok Lin biasa tidak dapat mencegah mulutnya, aku
tak boleh terlihat dia," pikir Siauw Houw Cu. Maka ia
mencoba menyembunyikan diri.
"Kau siapa, tuan" Kelihatannya mulutmu besar sekali!"
kata si orang bertubuh besar itu, yang serangannya
gagal. Ia mendongkol.
"Perlu apa kau tahu diriku siapa?" Bhok Lin membaliki.
"Kau mau melepaskan orang ini atau kita menghadap
sunbu?" "Hm! Aku justeru menerima titah sunbu untuk
menangkap dia!" seru orang itu. "Kau jangan usilan!"
"Jadi kau menerima titah sunbu untuk menghina
wanita muda?" kata Bhok Lin tertawa. "Haha! Kalau
begitu, tidak dapat aku tidak mengurusnya!"
203 Orang itu penasaran, ia menyambar pula ke si nona.
Bhok Lin pun tidak tinggal diam saja ia melindungi si
nona dengan satu totokannya. Tepat ia mengenai


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sasarannya, hingga orang itu terkejut. Inilah dia tidak
sangka, sebab dia mengira orang muda ini lemah. Dia
sengaja menggertak tapi orang tidak kena digertak.
Lekas-lekas dia membebaskan sendiri totokan itu. Selagi
dia berbuat begitu, tangannya si anak muda melayang ke
kupingnya, hingga dia merasakan sakit, kupingnya lantas
bengap. Dia pun memuntahkan darah, karena dua
giginya rontok. Hajaran ini lebih hebat daripada
gamparan Cu Leng tadi.
Bukan main gusarnya orang bertubuh besar ini. Ia
memang guru silat di kantor sunbu. Tidak tempo lagi, ia
menyerang pula. Tangannya yang dijaga Bhok Lin ia
telah mendahulukan menarik pulang.
Bhok Lin menghalau serangan itu.
Cu Poo hendak membantui tapi Bhok Lin, yang
melihatnya, lantas berkata: "Cu Toako. jangan kau
merusak aturan kaum kangouw! Kalau kita mengepung
dia, dia kalah tak puas!"
Mendengar ini, Giok Houw tertawa dalam hatinya:
"Baru ia dapat beberapajurus dari suhu, sekarang dia
coba muncul di dunia kangouw. Ah, dia bakal merasakan
banyak pahit getir!..."
Mereka lantas bertempur. Benar seperti dugaan Siauw
Houw Cu, putera Hertog dari Inlam itu lantas keteter.
Guru silat dari sunbu ternyata lihai, kalau tadi dia kena
digaplok, itulah sebab dia seperti dibokong.
204 Selagi keadaan kipa itu, orang bertubuh besar itu
menyerang semakin hebat. Dia mendesak sangat kepada
bagian yang lemah dari hertog muda itu. Ketika
kemudian dia menghajar bergantian dengan tangan kiri
dan kanan, dan itu disusuli sama satu tendangan, Bhok
Lin menjadi kelabakan. Baru dengan menggunakan tipu
berkelit "Coanhoa jiauwsi" ajarannya Sin Cu, bisa juga ia
meloloskan diri dari rangkain itu di bagian atas, sedang di
bagian bawah, ia terus terancam bahaya.
Adalah di saat sangat berbahaya untuk si hertog
muda, ada terdengar seruan: "Pouw Loji, jangan kurang
ajar!" Seruan itu disusul sama berlompat masuknya satu
orang ke dalam kalangan. Dia melompati kepala banyak
penonton. Tepat dia menaruh kaki di antara Bhok Lin dan
penyerangnya itu, ketika dia menolak, si penyerang
lantas roboh terlentang!
Giok Houw heran atas kejadian itu. Orang yang datang
sama tengah itu justeru Seng Hay San, adik seperguruan
dari Tiat Keng Sim. Tapi yang terlebih aneh lagi adalah
munculnya Cio Bun Wan, isterinya Hay San itu, bersama
seorang opsir kelas tiga.
"Toako," kata isteri itu, yang menyesali suaminya,
"kenapa kau begini sembrono" Tidak dapatkah kau
memisahkan saja" Kenapa kau lantas membuatnya orang
roboh?" Hay San menyeringai, kulit mukanya merah.
"Menyesal, aku terpaksa." sahutnya. "Aku melihat
suhu ini hebat sekali, aku kuatir Bhok Kongcu terluka,
205 terpaksa aku menggunakan tenaga sedikit besar. Aku
tidak menyangka dia tidak, dia tidak..."
Ia tidak meneruskan perkataannya itu, sebenarnya
hendak dia meneruskan: "...punya guna."
Orang bertubuh besar itu bangun dengan berlompat.
Ia menjadi gusar sekali.
"Kelinci dari mana berani menghina Pouw Toaya?"
katanya nyaring, dan ia mengawasi dengan bengis
kepada Haj' San. Justeru itu, matanya bentrok sama si
opsir kelas tiga, yang berdiri mendampingi Hay San,
maka hatinya jadi terkesiap. Dia mengenali orang itu
adalah Ong Ciauw, guru silat di kantor sunbu yang
berbareng menjadi tongleng atau komandan dari barisan
serdadu pengiringnya sunbu sendiri. Dia bukan
sebawahan opsir itu tetapi dia dapat diperintah ia itu.
Pula ialah yang tadi menyerukan dia jangan kurang ajar.
Untuk sekejap, Ong Ciauw memandang bengis kepada
sersi itu, habis itu dia tertawa dan mengulurkan
tangannya akan mengusap-usap bajunya Bhok Lin, yang
penuh debu. "He, kau bikin apa?" ia menanya.
"Bhok Kongcu, kau kaget!" kata Ong Ciauw tetap
tertawa. Bhok Lin heran.
"Aku tidak kalah, aku kaget kenapa?" ia menanya
pula. Karena tidak dapat muka, Ong Ciauw memandang
pula si orang she Pouw.
206 "Eh, Pouw Loji, tahukah kau siapa tuan muda ini?" ia
menanya suaranya bengis. "Dialah Bhok Siauwkongtia,
putera dari Bhok Kokkong dari Inlam! Kau tidak mau
lekas-lekas menghaturkan maaf?"
Sersi itu menjadi ketakutan, maka juga ketika ia
berbicara, suaranya menggetar: "Maaf. Aku yang rendah
Pouw Eng, aku mempunyai mata tetapi tidak mengenali
gunung Taysan. Siauwkongtia, maaf."
"Aku tidak mau mempersalahkan kau," kata Bhok Lin.
"Aku hanya mau minta ini saudara dan adiknya
dimerdekakan."
"Boleh, boleh!" berkata Pouw Eng, yang terus
memberi hormat pada Cu Poo berdua, sedang di atas
tetampannya Cu Leng ia meletakkan sepotong uang
perak. Nona itu tertawa
"Aku toh tak usah lagi menjadi budakmu, bukan"
Terima kasih!" katanya jenaka.
Cu Poo lantas membenahkan segala alat
pertunjukkannya, yang ia gendol di pundaknya.
Melihat pertunjukan sudah berhenti, orang banyak
lantas bubaran.
Cu Poo tidak membuang tempo, bersama adiknya dia
berlalu dengan cepat. Mereka ambil jalan tanah
pegunungan. Selagi lewat di samping Thio Giok Houw
tadi, ia mengangkat pikulannya tiga kali, memberi tanda
rahasianya, tandanya ia berada di Samthian Tiok.
Bhok Lin sendiri sudah lantas belajar kenal dengan
Seng Hay San. Ia kata: "Bagus sekali gerakan tanganmu
207 barusan. Bolehkah aku mengetahui she dan namamu
yang besar?"
Putera Kokkong ini belum tahu Hay San ialah sute,
adik seperguruan, dari Keng Sim.
"Namaku tidak berharga, tak usahlah dipikirkan."
sahut Hay San. "Inilah Seng Toako," si opsir mengajar kenal. "Ya, ya,
ialah sahabatku."
Meski begitu, ia tidak mau menyebutkan namanya Hay
San. Giok Houw heran.
"Seng Hay San dan isterinya adalah pembantu yang
diandalkan Yap Toako," pikirnya. "Kenapa mereka berada
di kota Hangciu ini dan menunjuki diri di tempat umum
bahkan bergaul sama opsir tentera kelas tiga" Inilah
heran..." Tentu sekali, di waktu begitu, ia tidak dapat menemui
Hay San. untuk minta keterangan, bahkan ia lantas
menyingkir dari orang she Seng itu. Ia pergi ke Sengkong
Si, di situ ia pinjam pit dan kertas dari biokong, penjaga
rumah abu itu, kemudian ia lekas keluar lagi. Ia melihat
Hay San belum jalan jauh. Lekas-lekas ia menulis
alamatnya, terus ia meletakkan pitnya, kemudian dengan
melesakkan kopiahnya hingga mukanya tak nampak
nyata, ia menyusul dengan larinya limbung, tetapi lekas.
Tepat selagi lewat di samping Hay San, hingga tubuh
mereka saling bentur perlahan, ia selipkan kertasnya di
tangan orang. 208 "He, kau jalan tanpa mata?" membentak si opsir kelas
tiga. Ia melihat orang jalan terhuyung-huyung dan
melanggar sahabatnya.
Giok Houw tidak meladeni, sekejap saja ia sudah pergi
jauhi menikung di tikungan gunung, hingga opsir itu
menjadi heran. Orang bergerak bagaikan bayangan.
"Eh, orang itu seperti aku kenal!" mendadak Bhok Lin
berseru. Ia pun melihat orang lewat.
"Tidak bisa jadi!" kata si opsir. "Dia orang tani, mana
Siauwkongtia kenal dia?"
Meski begitu, ia agaknya curiga.
Bhok Lin lantas tertawa. Ia ingat sekarang.
"Ya, mataku kabur!" katanya. "Dia mirip budakku.
Tentu saja budakku tak dapat datang ke mari."
"Hanya orang dusun itu cepat sekali jalannya..." kata
si opsir, yang masih curiga
Giok Houw sendiri melintasi Lengin Si, dari barat ia
mendaki bukit, untuk pergi ke Thianbun San, di mana di
sekitarnya banyak puncak, yang umumnya disebut
gunung Thiantiok San. Itulah gunung yang menjadi pusat
dari dua cabang gunung selatan dan utara dari
pegunungan di Seouw itu.
Samthian Tiok adalah nama gabungan dari Siangthian
Tiok, Tiongthian Tiok dan Heethian Tiok, ketiga kuil yang
berada terpisah di dalam rimba lebat di gunung Thiantiok
San. Cu Poo mengangkat pikulannya tiga kali, yang dua
kali rendah, yang satu kali tinggi, itulah isyarat hahwa ia
tinggal di dekat kuil Tiongthian Tiok. Mulai dari kuil
Lengin Si, ke sana Giok Houw menuju. Ia mendaki
209 gunung, melintasi puncak Hoatin Hong, naik pula di bukit
Hongsi Nia, terus ke puncak Tiongin Hong, sampai di
Heethian Tiok. Dari sini ia jalan kira seratus li, baru
tibalah ia di Tiongthian Tiok, atau kuil Thiantiok Si
Tengah. Di tanah pegunungan ini, pepohonan tinggitinggi,
pemandangan alam indah. Dari depan Tiongthian
Tiok dapat dipandang puncak Goatkui Hong dari mana
tersiar harumnya bunga kui, sedang bunga-bunga liar
tersebar di sana sini.
Menyaksikan keindahan alam yang mentakjubkan itu.
Giok Houw pikir: "Hangciu benarlah daerah yang indah
permai, dialah sorga di muka bumi. Pantas Ie Koklo telah
memesan untuk dikubur di tepinya telaga Seouw."
Giok Houw berjalan di rimba di belakang kuil, tidak
lama ia menemui sebuah rumah yang di tembok
tanahnya ada dilukiskan sebuah bundaran. Ia
menghampirkan rumah itu. Baru ia hendak mengetok
pintu atau Cu Poo berdua adiknya sudah muncul.
"Tadi hampir terbit onar!" kata kawan ini tertawa.
"Apakah Tocu tidak terlihat siapa juga?"
"Tidak," sahut orang yang ditanya, yang sebelumnya
bertindak masuk menggusak dulu tanda bundaran itu.
Setelah berduduk, mereka memasang omong.
Nyatalah Cu Poo dan adiknya telah mendapat tahu
adanya larangan dari wedana dari Hangciu, yang dilarang
bukan cuma pertunjukan silat hanya segala macam
pertunjukan lainnya dari orang kaum kangouw
sampaipun segala tukang sulap dan lainnya lagi. Cu Poo
tahu Giok Houw bakal sampai, dia memilih muka kuburan
Ie Koklo untuk membuka pertunjukannya itu. Dia sengaja
tidak memperdulikan larangan itu.
210 Giok Houw heran atas larangan itu.
"Kenapa kota Hangciu mengadakan larangan sekeras
ini?" pikirnya. "Kenapa orang kangouw dijaga begini
keras" Apakah telah terjadi sesuatu" Aku mesti
memperhatikannya."
Lantas ia menanyakan halnya bingkisan dari Ciatkang.
"Untuk itu telah diundang dua guru silat kenamaan,"
sahut Cu Poo. "Cuma sampai sekarang, barang belum
diberangkatkan, entah apa sebabnya."
"Siapakah kedua pelindung itu?"
"Yang satu ialah Jitgoat Lun Touw Kong dan yang
lainnya Imyang Ciu Tie Pa," menyahut Cu Poo.
"Untuk dunia kangouw, mereka itu tergolong kelas
satu," berkata Giok Houw. "Kalau sunbu telah
mengundang mereka, kenapa keberangkatannya
bingkisan diperlambat" Ah, jangan-jangan dia
menggunakan akal. Terangnya jalan di Cianto, diamdiamnya
menyeberang di Tinchong.' Dia sengaja mengundang
kedua guru silat itu sebagai pelabi, agar orang
mengetahui merekalah si pelindung, tetapi sebenarnya
dia telah memakai lain orang dan barangnya sudah
diberangkatkan..."
"Ini tidak mungkin," menjelaskan Cu Poo. "Aku telah
mengunjungi pangcu dari ketiga partai Hayyang Pang,
Cengko Pang dan Cihoay Pang, mereka itu banyak
kupingnya, semua perahu dan kereta di dalam dan di
luar kota Hangciu merekalah yang menguasainya tetapi
mereka tidak pernah melihat orang yang mencurigai
211 meninggalkan kota Hangciu. Juga menurut Pangcu dari
Cihoay Pang, di antara barang hadiah itu ada sebuah
sekosol kumala untuk mengukir mana baru dua hari yang
lalu sunbu mengundang beberapa tukang ukir yang
pandai untuk mengerjakannya."
"Raja naik di tahta sudah hampir tiga bulan, cara
bagaimana hadiahnya masih belum di kirimkan?" kata
Giok Houw. "Kalau begitu, terpaksa kita mesti menanti
tibanya dua sahabatku untuk minta keterangan dari
mereka, mungkin tahu apa-apa mereka tentang ini."
"Siapakah itu yang dijanjikan. Tocu?"
"Dialah yang tadi memisahkan pertempuran. Dialah
adik seperguruannyaTiat Keng Sim."
Tidak ada jalan lain, mereka lantas menantikan.


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai magrib, orang yang ditunggu itu belum juga
muncul. Kemudian ada terdengar siulan halus.
Giok Houw segera membukai pintu.
"Kenapa baru sekarang kamu datang?" ia menanya.
Itulah SengHay San dan isterinya. Mereka menemui
dulu Cu Poo kakak beradik.
"Siauwkongtia itu lucu," kataHay San. "Dia
menanyakan aku panjang lebar, dia malah minta aku
memberi petunjuk tentang ilmu silat. Maka itu, aku
memerlukan waktu untuk dapat meloloskan diri."
"Memang begitu adatnya Siauwkongtia!" kata Giok
Houw tertawa. "Kalau, tidak begitu, aku pun tidak nanti
menjadi sahabatnya."
Lantas mereka berduduk.
212 "Siauw Houw Cu," kata Cio Bun Wan. "Eh, salah,
sekarang kaulah Congtocu! Ketika pertama kali aku
bertemu denganmu, kaulah seorang kacung yang nakal
sekali. Sekarang"
Kaulah si pemimpin utama perampasan barang-barang
hadiah untuk raja! Sungguh, seorang Enghiong asalnya
ialah si orang muda! Tidak kecewa kau menjadi adik
seperguruan dari enci Ie kami!"
"Apakah enci Ie baik?" Giok Houw tanya.
"Baik! Ia bersama Yap Toako ketahui kau
mengusahakan perampasan barang bingkisan itu,
mereka berterima kasih, kepadamu. Hanya sayang
bingkisan dari Ciatkang, tidak dapat kau merampasnya."
Giok Houw heran.
"Kenapa?" dia menanya. "Apakah mereka hendak
turun tangan sendiri?"
"Bukan, mereka hanya tidak mau merampas. Bahkan
melarang lain orang merampasnya."
Giok Houw menjadi bertambah heran.
"Tidakkah dengan begitu mereka menjadi
pelindungnya sunbu dari Ciatkang?"
"Begitulah kira-kiranya. Hanya ada satu batasnya,
ialah batas laut Tanghay."
"Ah, mengapa begitu?" Giok Houw tanya untuk ke
sekian kalinya "Kau dengar keteranganku," berkata Seng Hay San.
"Selama beberapa tahun ini, pekerjaan kita sulit sekali. Di
satu pihak kita mesti menangkis perompak kate, di lain
213 pihak kita mesti juga melayani tentera air dari
pemerintah. Bukankah kau pun ketahui itu" Tapi paling
belakang ini Thio Sunbu dari Ciatkang itu secara rahasia
telah mengutus orangnya kepada kami, mengajaki
membuat suatu perjanjian."
"Inilah aneh!" Giok Houw tertawa "Bukankah sunbu itu
hendak melakukan suatu tukar menukar dengan kita"
Perdagangan apakah itu?"
"Memang! Mulanya kita pun heran. Kemudian ternyata
dia minta supaya kita melindungi barang bingkisannya
sampai di kota raja dengan selamat. Untuk itu dia
berjanji, selama satu tahun dia tidak bakal menyerang
kita." Giok Houw menggeleng kepala.
"Cuma satu tahun?" tanyanya. "Hm! Jual beli itu tidak
dapat dilakukan!"
"Tetapi Yap Toako kami telah menerimanya!" berkata
Seng Hay San. "Yap Toako terlalu jujur, kali ini ia salah menghitung!"
kata Giok Houw.
"Yap Toako mempunyai hitungan lain," Hay San
menerangkan. "Ia kata kita setiap tahun telah dipaksa
bertempur dengan tentera negeri, dari kedua pihak mesti
ada yang binasa imbangannya yaitu kita satu. pihak
tentera sepuluh. Itulah imbangan setiap kali bertempur.
Kalau dijumlah satu tahun, kematian dikedua pihak ialah
beberapa ribujiwa. Menurut Yap Toako. kematian mereka
itu sangat kecewa!"
214 "Mereka itu?" Giok Houw mengulangi. "Kau hendak
mengatakan..."
"Benar! Dengan mereka itu Yap Toako maksudkan
orang pihak kita berikut tentera negeri itu. Menurut toako
serdadu negeri juga ada sama-sama bangsa kita Kita
saling bunuh di antara bangsa sendiri, itulah terlalu
menyedihkan. Setiap tahun telah terbinasa beberapa ribu
jiwa. Alangkah baiknya jikalau mereka itu dapat dicegah
kematiannya dan tenaganya dipakai untuk bersama-sama
menangkis penghinaan dari luar?"
Giok Houw tertawa dingin.
"Tetapi pihak pembesar negeri tidak berpikir secara
demikian! Mereka memandangnya dari sudut lain!"
"Yap Toako membilang juga, umpama kata mereka
tidak dapat dipakai menangkis penghinaan dari luar, asal
jiwa mereka dapat diselamatkan, itu masih lebih menang
daripada mereka membuang jiwa secara sia-sia. Laginya
dengan bertempur sama tentera negeri, meski juga
perbandingan kerugiannya ada satu lawan sepuluh, di
pihak kita tetap ada yang berkurban jiwa. Itu artinya
kerugian yang sangat tidak berarti! Makajuga Yap Toako
kata kalau pihak pembesar mau berjanji tidak berperang
selama satu tahun, artinya mereka tidak, datang
menyerang, itu berarti kita mendapat keringanan tak
kehilangan beberapa ribu jiwa. Barang permata ada
harganya, jiwa manusia tidak! Jiwa manusia tak
tertaksirkan harganya! Kita memberi pinjam jalanan, kita
membiarkan pengangkatan barang bingkisan lewat di
wilayah kita. Dengan memberi jalan, kerugian kita cuma
beberapa laksa tahil perak harganya barang-barang
bingkisan itu. sebaliknya kita dapat menolong beberapa
215 ribu jiwa manusia. Nah, bagaimana kau bisa bilang sikap
kita ini tak dapat diambil?"
Giok Houw berdiam sekian lama, lantas dia menepuk
meja. " Yap Toako sangat mulia hatinya, aku kalah!"
serunya, "Dialah baru satu orang gagah yang budiman!
Nyatalah kalau begini bagaimana cupatnya
pandanganku."
"Kalau begitu Thio Siauwhiap," menegaskan Hay San,
"kau toh meluluskan, berjanji tidak akan merampas
barang-barang bingkisan negara itu?"
Anak muda itu tertawa
"Aku masih akan merampasnya!" jawabnya.
Hay San heran hingga ia mementang lebar matanya.
Giok Houw tertawa.
"Tetapi aku tidak akan membikin sulit pada Yap
Toako," ia menambahkan. "Bukankah kan telah
membilang bahwa Yap Toako cuma memberikan
tanggungannya selama barang hadiah itu masih berada
di dalam bilangan laut Tanghay?"
"Benar. Karena daerah itu ialah daerah laut di mana
kita dapat berkuasa. Selewatnya Laut Kuning maka itu
ialah bilangannya beberapa rombongan bajak lainnya,
tidak leluasa untuk pihak kita turut mencampurinya.
Sebenarnya Sunbu dari Ciatkang itu mempunyai
hitungannya sendiri yang dia jerikan adalah Yap Toako.
Pihaknya beberapa rombongan bajak itu tidak dilihat
mata. Sunbu pun telah mengundang dua piauwsu yang
ilmu silatnya lihai..."
216 "Aku sudah tahu," berkata Giok Houw. "Kedua
piauwsu itu ialah Jitgoat Lun Touw Kong si Roda
Matahari Rembulan serta Kimkong Ciu Tie Pa si Tangan
Arhat." "Touw Kong bersama Tie Pa itu bukan melainkan ilmu
silatnya lihai juga mereka pandai berenang dan selulup,"
Seng Hay San menjelaskan. "Untuk membawa bingkisan
itu. sunbu telah menggunakan sebuah perahu perang
besar yang dia ambil dari pasukan laut negara. Katanya
anak buah perahu perang itu terdiri dari tiga ratus
tukang panah pilihan serta perahu perangnya
diperlengkapi dengan meriam panah. Maka cobalah pikir,
mana kawanan perompak biasa dapat mendekati
mereka?" "Kapankah keberangkatannya perahu perang itu?"
"Sebentar malam jam empat. Mungkin setelah terang
tanah, dia akan sudah muncul di permukaan laut. Thio
Sunbu sangat berhati-hati.
Teluk Hangciu termasuk wilayah angkatan lautnya
tetapi karena kuatir nanti ada bahaya, ia mau keluar dari
wilayahnya itu sebelum fajar."
"Malam ini jam empat aku menghendaki sebuah
perahu." kata Giok Houw pada Cu Poo. "Apakah di antara
tukang-tukang perahu di Seouw ada orang kita?"
"Ada." menjawab Cu Poo. "Dari tepi jembatan Seleng
Kio. kalau kita maju ke kiri, kita menghitung pohon
yangliu yang ketiga, perahu di bawah pohon itu ialah
perahu orang kita. Anak buahnya bernama Thio Hek. Dia
kata dia kenal tocu."
"Bagus, aku menghendaki perahunya dia itu!"
217 "Eh, Thio Siauwhiap," tanya Seng Hay San, "apakah
benar-benar kau hendak merampas perahu bingkisan itu"
Ada situ hal yang aku belum memberitahukan kepada
kau. Yap Toako bilang, karena semua bingkisan dari
pelbagai propinsi hendak dirampas menurut keputusan
rapat umum orang-orang gagah, mengenai itu ia telah
memikirnya. Ia mengerti, karena ia melindungi bingkisan
dari Ciatkang ini pihak kamu tentulah tidak merasa puas,
sebaiknya, apabila kamu berhasil, sebagian dari hasil
usaha kamu pasti bakal dibagi separuh kepadanya
berhubung dengan itu. ia hendak memberi penjelasan,
katanya sekarang juga ia menganggapnya ia sudah
menerima bagiannya itu untuk mana ia menghaturkan
terima kasihnya. Mengenai ini Yap Toako sudah omong
jelas dengan semua saudara kita dan semua saudara
menginsafinya dan rela akan tidak menerima bagian
beberapa laksa tail itu. bahwa mereka relajuga hidup
lebih menderita dari sebagaimana seharusnya asal tidak
usahlah terjadi kehilangan beberapa ribu jiwa manusia.
Thio Siauwhiap, Yap Toako telah memikir demikian jauh,
dapatkah kau memberi sedikit muka kepadanya?"
Thio Giok Houw tertawa.
"Di samping itu kau harus ketahui, umpamakan aku
tidak merampasnya, ada lain orang yang akan merampas
juga. Tapi kau jangan kuatir, tetapkan hatimu! Telah aku
bilang bahwa aku tidak bakal membikin sulit Yap Toako,
inilah aku akan jaga baik-baik. Aku memikirnya
merampas sebelumnya perahu pengangkut itu keluar
dari teluk Hangciu. Atau jikalau perahu itu sudah keburu
lewat, aku akan menyusulnya aku nanti turun tangan
sesudah dia keluar dari wilayah laut Tanghay."
218 Seng Hay San berpikir. Kemudian ia kata: "Dengan
begitu, meskipun pihak pembesar negeri tidak dapat
menyesalkan Yap Toako, peristiwa toh menjadi peristiwa
juga!" "Tidak!" kata Giok Houw. "Baiklah kau mengerti, kalau
aku berhasil merampasnya, bingkisan itu tetap aku akan
peserahkan kepada Yap Toako. hingga ada terdapat
alasan bahwa Yap Toako sudah merampasnya kembali.
Bahkan dengan begitu, usaha kau ini jadi berharga lebih
besar lagi. kau dapat menaiki harga, umpama pihak
pembesar negeri itu dipaksa supaya dia tidak menyerang
Yap Toako selama tiga tahun!"
Hay San mendengar alasan orang itu dan
keputusannya pun telah menjadi keputusan, setelah
berpikir sebentar, ia tidak mau mencegah lagi. Ia hanya
tanya: "Kabarnya semua bingkisan dari propinsi
Tiangkang ke selatannya kaulah yang mengepalai
perampasannya, benarkah itu?"
Giok Houw tertawa ketika ia memberikan jawabannya:
"Juga yang di Tiangkang dan utaranya, sampai di wilayah
sungai Honghoo, aku hendak merampasnya. Tugas yang
diberikan hanya tugas belaka berlebihan sedikit tidak ada
soalnya. Umpama kata Kimto Cecu Ciu San Bin hendak
pergi merampas bingkisan ke Selatan, mustahil aku
dapat tidak mengijinkannya?"
"Kimto Cecu mana ada tempo luang untuk pergi
merampas ke Selatan?" kata Hay San. "Kau barusan
membilang, jikalau kau tidak merampas, ada lain orang
yang bakal merampasnya. Pasti orang itu bukannya
Kimto Cecu, bukan?"
"Pasti bukan!"
219 Hay San menjadi heran.
"Siapakah dia?" tanya ia. "Benarkah dia bukannya
orang dari pihakmu?"
"Adakah kau kenal satu nona semacam begini?" Giok
Houw balik menanya. Ia melukiskan potongan nona itu,
tinggi dan romannya, la menanya halnya si Nona Liong.
"Aku tidak kenal dia. Ah. mungkin kakakmu
seperguruan mengenalnya. Dalam satu dua hari ini kakak
seperguruanmu itu bakal tiba di sini, baiklah kau
menantikan dia, untak minta keterangannya."
"Tidak dapat aku menunggu dia!" kata Giok Houw
tertawa. "Biarlah nanti, habis merampas, aku datang
menemui kakakku itu."
Habis bersantap malam, setelah beristirahat sebentar,
belum lagi jam tiga. anak muda ini sudah pamitan, untuk
berlalu dengan cepat.
Hay San dan isterinya tidak turut, mereka berdiam
terus di rumah Cu Poo.
Belum Lama Thio Giok Houw sudah sampai di tepi
Seouw atau Telaga Barat. Ia dongak melihat langit, ia


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendapatkan rembulan ada di tengah-tengah, menjadi
masih ada waktu untuknya.
"Aku belum pergi menyambangi kuburan le Koklo,
untuk mengunjuk hormatku." ia berpikir. "Justeru masih
ada tempo dan malam sunyi, baik aku pergi ke sana
dulu". Oleh karena ini. ia tidak lantas mencari perahu dulu
hanya pergi ke bukit Samtay San di mana berada
kuburannya Ie Kiam.
220 Malam itu rembulan indah sekali. Justeru itu di
otaknya Giok Houw berpeta romannya Nona Liong yang
cantik, yang sepak terjangnya membuat ia heran dan
kagum. Ia mengelamun: "Coba aku bisa berdiam
bersama ia dengan memain perahu di malam indah
seperti ini, bagaimana menariknya..."
Di malam seperti itu, di tep'ian Telaga Barat itu pula
ada seorang lain yang keisengan seperti pemuda she
Thio ini. Dialah Tiat Keng Sim, kunma atau menantunya
Bhok Kokkong dari Inlam. Bahkan dia kelelap lebih dalam
daripada Giok Houw, ia lagi memikirkan peristiwaperistiwa
yang telah lalu...
Rumah tua dari Keng Sim ini berada di tepian telaga
itu. Mengenai rumahnya itu, ada satu urusan yang ia
sukar untuk melupakannya. Itulah bukan sebab di rumah
itu ia telah melewatkan masa kanak-kanaknya yang
menggembirakan, juga bukan karena itulah rumah tua
warisan ayahnya, hingga ia dapat teringat kepada
ayahnya yang jujur, hanya di rumahnya itu pernah satu
malam Ie Sin Cu menumpangnya. Dan adalah malam itu,
oleh karena Sin Cu mendapat tahu ia telah membocorkan
rahasia tentera rakyat, si nona berlalu dengan diam-diam
dengan cuma meninggalkan surat...
Malam itu, untuk Keng Sim. dirasai pahit-pahit manis.
Sudah tujuh tahun ia menikah tetapi peristiwa itu belum
pernah lenyap dari otaknya, ia masih merasa tersiksa
karenanya Ini sebabnya, dalam perjalanan ke Pakkhia ini
bersama Bhok Lin. sang engku atau iparnya itu, mesti ia
mau singgah di kota Hangciu ini, supaya ia bisa tinggal
dua malam di rumahnya, supaya ia dapat memimpikan
pula peristiwa yang berkesan dalam itu. Ia seperti ingin
221 mengicipi pula impian yang getir tetapi manis itu, yang
telah lenyap...
Semenjak Keng Sim pergi ke Kunbeng di mana
iamenjadi kunma, menantu hertog, rumah tuanya ini
telah dipercayakan kepada satu bujang tua yang jujur.
Segala apa di rumah itu masih tetap seperti dulu hari itu,
tidak ada satu yang dirobah. Kamar tulis tidak kacau,
tamannya terawat baik, bunga mawarnya seperti musimmusim
semi terdahulu, tetap berpusu. Begitu ia sampai
di rumahnya, lantas ia ingat suratnya Sin Cu. Sekarang ia
kembali berada di rumahnya ini.
Demikian di dalam dua hari. Keng Sim terus seperti
tenggelam dalam kenang-kenangannya yang lama, yang
manis tetapi juga pahit, kecuali satu kali bersama Bhok
Lin ia pergi menyambangi Thio Ki, sunbu dari Ciatkang.
ia lebih banyak mengeram diri di dalam rumah. Telaga
Barat berada di dampingnya, ia tidak ketarik untuk
melihatnya. Ia telah kehilangan kegembiraannya.
Bhok Lin tidak puas dengan sikap cihu-nja itu, ia tidak
mau terus menerus menemaninya, maka itu seharian
suntuk, ia pergi seorang diri pesiar, maiah ada kalanya ia
pulang sampai malam. Dengan begitu, selama dua hari,
ia telah menjelajah telaga yang kesohor itu.
Demikian malam itu-sudah jauh malam-ia pulang
untuk memberitahukan Keng Sim bahwa tadi siang ia
telah menghadapi peristiwa di depan kuburannya Ie Kiam
itu di mana ia telah menolong! dua tukang jual silat,
kakak dan adiknya perempuan. Ia pun melukiskan roman
dan potongan tubuhnya orang yang malang sama
tengah, untuk mendamaikan peristiwa itu.
222 "Apakah dia bukannya Seng Hay San. adik
seperguruanku?" Keng Sim menduga-duga
Begitu ia ingat Hay San, begitu ia ingat Sin Cu, maka
kembali ia berduka Tanpa merasa ia menarik napas.
Bhok Lin heran.
"Kenapa kau berduka, cihu?" tanya ini ipar.
"Tidak apa-apa," menyahut cihu itu. "Untukku susah
akan pulang ke rumahku ini. sekarang kita berada di sini,
mengingat bahwa aku bakal lantas meninggalkannya
pula, aku terharu sendiri...
Ipar itu mau percaya keterangan itu. Ia tertawa.
"Kalau enci ketahui lagakmu ini, enci bisa menegur
kau, kau tahu?" katanya. "Apakah rumah kita bukan
rumahmu juga?"
Keng Sim mengangguk.
"Begitu memang benar." sahutnya.
"Sekarang aku mempunyai satu kabar yang bagus."
sang ipar berkata pula, "maka tak usahlah cihu sabansaban
menghela napas.
"Kabar apakah itu?"
"Sunbu mempunyai sebuah perahu yang bakal
berangkat ke Thiancin, dia telah menyanggupi untuk
mengajak kita menumpang di atas perahu itu. Seumurku,
aku belum pernah melihat laut, maka itu kali ini aku
memperoleh ketika untuk memandangnya. Dengan
begini juga kita menjadi menghemat waktu."
"Kapankah perahu itu bakal berangkat?"
223 "Sebentarjam empat. Sebelum jam tiga akan ada
orang yang memapak kita."
Keng Sim berpikir sebentar.
"Naik perahu pun baik." katanya singkat. Ia tunduk
pula, ia berpikir lagi.
"Tak tega meninggalkan rumah?" kata Bhok Lin
tertawa. "Tidak, hanya aku tidak sangka bahwa kita bakal
berangkat begini cepat..." sahut cihu itu. "Biar aku
melihat dulu telaga, hendak aku pergi ke bukit Kouwsan
untuk memetik dua tangkai bunga bwee."
"Aku turut!"
"Kau sudah keluar satu harian, baiklah kau
beristirahat," kata sang cihu tertawa. "Sekarang sudah
jam dua lewat. Bukankah kau bilang Thio Sunbu akan
menyambut jam tiga" Maka itu baiklah kau menantikan
di sini." "Cihu, kau aneh sekali!" kata ipar itu. "Sekian lama
kau mengeram diri di dalam rumah, tiba saatnya hendak
berangkat kau lantas ingin memandangi telaga! Baiklah,
karena aku sudah pesiar cukup, biar aku berdiam di
rumah, biar kau menggantikan aku keluar!"
Keng Sim lantas bertindak keluar. Ia tidak pergi ke
Kouwsan untuk memetik bunga seperti keterangannya
tadi hanya langsung ia menuju ke kuburan dari Ie Kiam.
Ia kata dalam hatinya: "Aku telah pulang ke Hangciu ini,
sudah selayaknya aku menyambangi kuburan ayahnya..."
Berjalan di tepi telaga, Keng Sim mendapatkan air
telaga tenang sekali dan jernih, indah dengan cahayanya
224 si Puteri Malam. Maka itu ingatlah ia pada saatnya ia
bersama Sin Cu bermain perahu di sungai yang disebut
laut Jihay di Tali. Ia merasa, selama ini beberapa tabun,
hidupnya sendiri mirip dengan air telaga Seouw ini, yang
tenang, indah dan manis, hanya toh, ada sesuatu
kekurangannya...
Tanpa merasa tibalah Keng Sim di bukit Samtay San.
Segera ia mendekati kuburannya le Koklo. Tiba-tiba ia
merandek. Ia mendengar tangisan yang perlahan. Ia
lantas memasang mata.
Di depan kuburan Ie Koklo ada mendekam seorang
wanita. Dialah yang lagi menangis itu. Tetapi dia
berkuping tajam, dia mendengar suara tindakan orang,
segera dia menoleh.
Sinar mata mereka berdua lantas bentrok satu dengan
lain. Hampir Keng Sim tidak percaya kepada matanya
sendiri. Nona itu ialah Ie Sin Cu, yang justeru ia buat
kenang-kenangan...
Keduanya saling berdiam hingga sekian lama, hati si
kunma berdebaran.
"Ah!" Sin Cu mulai bicara "Aku tidak menduga akan
bertemu denganmu di sini! Apakah selama beberapa
tahun ini kau baik-baik saja?"
"Baik!" sahut Keng Sim singkat. "Kau sendiri?"
Sin Cu tertawa.
"Di dalam beberapa tahun ini aku terus bertempur di
dalam gelombang," sahutnya. "Bukankah kau telah
225 melihatnya bahwa kulit mukaku telah menjadi sedikit
hitam?" Keng Sim mengawasi. Benar katanya nona itu-ah, si
nyonya muda... "Penghidupanku pastilah tidak akan ada sedamai
penghidupanmu," kata pula Sin Cu. "Hanya, tentang
penghidupan senang atau tidak, itulah bergantung sama
pandangan setiap orang, yang mempunyai pengl
ihatannya masing-masing..."
Keng Sim berdiam sekian lama.
"Kau benar." bilangnya sesaat kemudian. "Memang
pandangan hidupmu beda dengan pandanganku."
Sin Cu menyusut air matanya. Ia bersenyum.
Keng Sim menghela napas.
"Dengan berani kau datang ke mari. adakah itu cuma
untuk menyambangi kuburan ayahmu?" ia tanya.
Sin Cu tertawa sebelumnya ia menyahuti.
"Mustahilkah untuk hanya memandangi keindahan
sang malam dari Seouw?" sahutnya. "Sekarang ini,
setelah usia bertambah, aku tidak ada seperti kau, kau
tetap masih mempunyai sifatmu yang gemar bersyair."
Sin Cu ada mempunyai lainnya urusan, tetapi ia tidak
hendak memberitahukannya kepada itu menantu dari
raja muda dari Inlam.
Semasa belum bertemu sama Nona Ie, Keng Sim
berkeinginan keras untuk dapat menemuinya dan ia telah
memikir, banyak yang ia hendak bicarakan atau utarakan
kepada nona itu, akan tetapi sekarang, setelah ia
226 berhadapan sama orangnya sendiri ?" dalam ini cara
tiba-tiba --- semua itu seperti lenyap sendirinya. Ia
merasa bahwa ia dan Sin Cu asing satu dengan lain,
hingga tidak dapat ia bicara dengan merdeka. Maka itu,
ia lebih banyak berdiam.
Sin Cu sebaliknya, ia agaknya biasa saja.
"Dan kau?" ia menanya sambil bersenyum. "Apakah
kau datang ke mari sengaja untuk menyambangi
kuburan ayahku ini?"
Mukanya kunma itu menjadi merah.
"Aku ini tengah mengantar barang bingkisan dari
Inlam," ia menjawab terus terang. "Sekalian lewat di
Hangciu ini, aku mampir, aku datang ke mari untuk
menghunjuk hormat kepada arwah ayahmu."
"Oh, begitu!" kata Sin Cu agak terperanjat. "Kiranya
kau pembesar yang berpangkat tinggi yang lagi
mengantar barang bingkisan! Sungguh pertemuan kita ini
pertemuan yang kebetulan!"
Keng Sim menyeringai.
"Hanya sayang," katanya, "aku berangkat belum ada
setengah jalan, barang bingkisanku itu telah dirampas
orang!" Sin Cu nampak heran.
"Mustahilkah Siauw Houw Cu tidak memandang muka
sedikit juga kepadamu" tanyanya. "Habis, kau gusar atau
tidak" Apakah kau menghendaki aku membantu
padamu?" Sebenarnya Sin Cu dan Yap Seng Lim telah memesan
kepada Siauw Houw Cu. kalau pengantar barang
227 bingkisan propinsi Inlam itu Keng Sim adanya kunma ini
boleh dikasi lewat, maka itu sekarang Sin Cu heran,
menyangka Siauw Houw Cu tidak mentaati pesan mereka
"Jikalau Siauw Houw Cu yang merampas, itu masih
ada harganya," kata Keng Sim, menyahuti. "Sayang
bukannya."
Sin Cu benar-benar heran. "Apakah artinya ini?" ia
menanya "Aku tahu bahwa dia merampas itu, sebagian
untuk kamu," berkata Keng Sim. "Sebenarnya, sampai di
saat ini, aku kurang menyetujui sepak terjang kamu itu,
tetapi toh aku mengerti, barang berharga itu bukan
untuk kamu pribadi. Kamu menginginkan itu, apa aku
bisa bilang" Maka kalau barang itu jatuh di tanganmu,
aku bilang ada harganya juga"
Alisnya Sin Cu memain.
"Pandangannya Keng Sim ini sudah berubah sedikit,"
pikirnya. Lantas ia menanya: "Habis, siapakah itu yang
merampas barangmu?"
"Seorang wanita," Keng Sim menjawab. Dan ia
mempetakan romannya nona perampas itu, si Nona
Liong. "Oh, kembali dunia kangouw mempunyai seorang
nona yang demikian gagah?" kata Sin Cu heran.
"Sungguh, buruk sekali pendengaranku..."
Mendengar perkataan nyonya muda ini, Keng Sim
masgul sekali. Ia percaya, seperti kepercayaannya Siauw
Houw Cu, Sin Cu akan kenal atau mengetahui Nona
Liong itu, siapa nyana, dia tidak tahu. Maka ia menjadi
putus asa. 228 Selang sesaat. Sin Cu menanya:


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah beberapa tahun kau tinggal di Inlam, apa
selama itu pernah kau melihat guruku?"
"Belum. Adalah Bhok Lin, yang secara diam-diam
pernah pergi satu kali ke Tali."
"Aku sampai melupakan kedudukanmu!" berkata Sin
Cu tertawa. "Kaulah menantu Bhok Kokkong, dengan
begitu tidaklah cocok untukmu pergi ke gunung
Chongsan untuk menemui guruku."
Mukanya Keng Sim menjadi merah pula
"Dengan sebenarnya, aku kangen dengan Tali."
katanya "Ketika dulu hari kita main perahu di laut Jihay,
kenang-kenangannya sekarang masih seperti berpeta di
depan mata Eh, aku sampai lupa! Apakah Yap Toako
baik-baik?"
"Terima kasih, ia baik," menjawab Sin Cu. "Dia tetap
seperti dulu, setiap hari repot dan tidak mau beristirahat.
Kau ketahui sendiri, gelombang dari laut Tanghay jauh
lebih besar daripada gelombangnya laut Jihay."
"Yap Toako itu sungguh beruntung!" berkata Keng
Sim. "Dengan adanya kau membantu dia biarnya angin
dan gelombang lebih besar lagi, dia tentu dapat
menghadapinya dengan gembira."
"Kau benar juga," Sin Cu bersenyum. "Memang dia
sendiri dapat melayaninya, akan tetapi kalau ada lebih
banyak orang bekerja sama dengannya, itulah terlebih
baik lagi, dia pasti lebih berani pula. Kau pun beruntung,
di sana ada enci Bhok Yan yang sangat baik
terhadapmu."
229 Keng Sim agaknya likat.
"Memang Bhok Yan baik sekali terhadap aku," ia
menyahut kemudian. "Mulanya aku menyangka dia tidak
bakal mengijinkan aku melakukan perjalananku ini. tetapi
dia membiarkannya juga. Dia pun sangat kangen
kepadamu."
"Begitu?" Sin Cu kata. "Sayang, aku kuatir aku tidak
bakal mempunyai ketika untuk melihat dia. Kau saja
tolong menyampaikan terima kasihku yang dia
memikirkan aku."
Keng Sim mengangguk, hatinya tidak keruan rasa.
Benar-benar ia ingin bicara banyak akan tetapi tidak
dapat, ia seperti kehabisan omongan. Tapi ia masih
memikir dengan cara bagaimana ia dapat mencegah
bekas kekasih itu nanti berlalu dari hadapannya ini.
Justeru itu mendadak Sin Cu membungkuk, mulutnya
mengeluarkan bentakan dan tangannya terayun,
menyambarkan dua bunga emasnya, atau kimhoa, yang
mana disusul sama suara seperti tubuh orangjatuh
terbanting. "Ada pembokong!" Keng Sim berseru seraya lantas lari
ke arah dari mana datang suara roboh itu. hingga di sana
ia melihat seorang busu. atau guru silat, rebah pingsan di
tanah, alis dan kumisnya bangun berdiri. Tidak ada
tandanya bahwa orang itu terluka.
"Heran!" kata Sin Cu. yang matanya mendelong.
Keng Sim mengikuti tujuan sinar mata wanita muda
itu. Di kakinya orang yang roboh itu ada menggeletak
sebuah bunga emas. Sekarangpun terlihat baju orang
robek di betulan pinggang, seperti bekas terobek bunga
230 emas, hingga terlihat senjatanya ialah sepasang Jitgoat
lun atau roda matahari rembulan.
Lagi sekali Keng Sira memeriksa, ia tetap tidak
mendapatkan luka apa-apa. Maka itu ia menjadi heran
dan hatinya tegang sendirinya. Terang bunga emas Sin
Cu mengenai senjata model matahari dan rempulan itu
dan jatuh sendirinya. Kalau bunga emas tidak
melakukannya habis siapa yang menghajar roboh busu
itu" Sin Cu tidak berkata suatu apa hanya matanya
mencari, maka juga lekas ia menemui bunga emasnya
yang lainnya, yang menggeletak dekat sebuah thielian ci
atau biji teratai besi. Setelah itu barulah ia berkata:
"Orang ini dapat menggunakan senjata yang langka di
dalam kalangan kangouw, ialah sepasang Jitgoat lun,
mestinya kepandaiannya tidak sembarang. Kenapa tidak
keruan-keruan dia membokong kita?" Baru dia kata
begitu atau sambil memandang ke popohonan lebat di
sampingnya ia kata dengan nyaring: "Orang pandai siapa
telah membantu aku secara diam-diam. aku minta
sukalah datang ke mari untuk kita bertemu!"
Tidak ada jawaban untuk perkataan itu, melainkan
angin halus mendesis membuatnya cabang-cabang
bunga bergoyang.
Di dalam halnya ilmu kepandaian senjata rahasia, Ie
Sin Cu tel Rahasia Ciok Kwan Im 8 Golok Halilintar Karya Khu Lung Bukit Pemakan Manusia 2
^