Kisah Si Rase Terbang 1

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 1


"Hoei-Ho-Gwa-Toan
Kisah Si Rase Terbang
Karya : Chin Yung
Saduran : Boe Beng Tjoe
"Ouw It To, Kietie, Thiankie!"
"Biauw Jin Hong, Teecong, Hapkok!"
Demikian terdengar teriakan seorang, disusul dengan
berkelebatnya sinar emas yang menyambar ke arah dua
papan kayu dan empat kali suara "tuk". Sinar yang
menyambar itu adalah senjata rahasia Kimpiauw.
Di atas sebuah papan dilukiskan peta badan seorang lelaki
brewokan yang berbadan kasar dan di pinggir papan terdapal
tiga huruf: "Ouw It To." Dilain papan terdapat lukisan seorang
lelaki yang bertubuh tinggi kurus dengan tiga huruf "Biauw Jin
Hong." Pada peta badan kedua orang itu digam-barkan pula
jalan-jalan darah. Di bawah papan itu dipasangkan gagang
yang dipegang oleh dua orang laki-laki dan papan itu dibawa
lari berputar-putar di seluruh Lian-bu-teng (ruangan tempat
berlatih silat).
Di pojok utara timur terdapat sebuah kursi yang diduduki
oleh seorang nenek berambut putih dan berusia lima puluh
tahun lebih. Nenek itulah yang barusan berteriak-teriak
memberi komando dengan menyebutkan nama-nama Ouw It
To dan Biauw Jin Hong.
Seorang pemuda yang berparas cakap dan ber-usia kirakira
dua puluh tahun, menimpukkan Kimpiauw menurut
komando si nenek. Kedua orang yang menyekal gagang
papan, memakai jala kawat baja di masing-masing kepalanya,
sedang pakaian mereka adaiah baju kapas yang tebal. Mereka
ber-pakaian begitu karena khawatir si pemuda kesalahan
tangan. Di luar, seorang wanita muda dan seorang pemuda sedang
mengintip melalui lubang di kertas jendela. Melihat jitunya
timpukan Kimpiauw itu, mereka saling mengawasi dengan
paras muka kaget dan kagum.
Di luar rumah, hujan turun seperti dituang-tuang dan
saban-saban terdengar gemuruh geledek yang sangat nyaring.
Karena besarnya hujan, air bereipratan ke badan dua orang
muda itu yang memakai jas hujan dari kain minyak. Mereka
mengintip terus dan mendengar si nenek berkata: "Jitu sih
sudah jitu, hanya kurang tenaga. Hari ini cukuplah berlatih
sampai di sini." Sehabis berkata begitu, perlahan-lahan ia
berbangkit. Dua orang muda di luar jendela itu, buru-buru menyingkir
dan berjalan ke arah pekarangan luar.
"Sumoay (adik seperguruan)," kata si pemuda. "Permainan
apakah itu?"
"Permainan?" yang ditanya menegasi. "Kau toh melihat
sendiri, orang itu sedang berlatih piauw. Timpukannya cukup
jitu." "Kau kira aku tak tahu orang sedang berlatih piauw?" kata
pemuda itu. "Apa yang aku kurang mengerti adalah namanama
di atas kedua papan itu. Apa artinya Ouw It To dan
Biauw Jin Hong?"
"Kalau kau tidak mengerti, apakah kau kira aku mengerti?"
jawab si nona. "Lebih baik tanya kepada ayah."
Muka pemudi itu yang berusia kurang lebih delapan belas
tahun, berpotongan telur, parasnya cantik, kedua pipinya
bersemu dadu dan pada ke-seluruhannya, gerak-geriknya
lincah dan muda segar. Si pemuda bermata besar, dengan dua
alis yang tebal, sedang mukanya penuh jerawat yang berwarna
merah. Usia pemuda itu kira-kira enam tujuh tahun
lebih tua daripada si nona dan meskipun parasnya kurang
cakap, ia bersemangat dan gagah sekali.
Selagi mereka berjalan melewati pekarangan, hujan turun
semakin deras, sehingga muka mereka menjadi basah.
Dengan sapu tangan, gadis itu menyusut air di mukanya yang
bersemu dadu dan yang kelihatannya menjadi lebih segar
serta ayu. Melihat kecantikannya, pemuda itu mengawasinya
dengan mata mendelong. Ketika mengetahui dirinya sedang
dipandang, gadis itu tertawa dan sembari berkata "tolol!", ia
lari masuk ke dalam sebuah ruangan.
Di tengah-tengah ruangan terdapat perapian yang dikitari
oleh dua puluh orang lebih, yang sedang mengeringkan
pakaian basah. Di sebelah timur berkumpul sejumlah orang
Rimba Persilatan yang mengenakan pakaian ringkas pendek
dan bersenjata semua. Di sebelah barat terdapat tiga orang
yang memakai seragam pembesar tentara Boan. Mereka baru
saja datang dan belum membuka pakaian mereka yang basah.
Begitu melihat masuknya si nona, mereka memandangnya
secara kurang ajar sekali.
Nona itu segera menghampiri seorang tua yang berbadan
kurus dan segera menceritakan apa yang dilihatnya barusan.
Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun,
kelihatan bersemangat dan gagah, tingginya belum cukup lima
kaki, rambutnya masih hitam jengat dan kedua matanya bersinar
tajam. Mendengar penuturan wanita muda itu, ia segera
mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara perlahan:
"Lagi-lagi kau mencari gara-gara. Jika ketahuan, bukankah
bakal jadi rewel?"
Gadis itu meleletkan lidahnya dan berkata sem bari
tertawa. "Ayah, selama mengikuti kau po-piauw (mengantar
barang barang-barang dari satu ke lain tempat oleh orangorang
Rimba Persilatan) kali ini, sudah delapan belas kali aku
dimaki." "Jika kau sedang berlatih silat dan diintip oleh orang luar,
bagaimana perasaanmu?" tanya sang ayah.
Begitu mendengar perkataan ayahnya, nona yang sedang
tertawa-tawa itu, lantas saja heruhah paras mukanya. la ingat
kepada suatu kejadian. Tahun yang lalu, ada seorang
mengintip dari luar. di waktu ayahnya berlatih. Ayahnya
mengetahui itu, tapi berlagak pilon. Beberapa saat kemudian,
selagi berlatih melepaskan panah tanah, mendadak ia
memanah mata orang itu yang segera menjadi buta Masih
untung ayahnya berlaku murah hati dan tidak mengerahkan
seantero tenaganya, sehingga orang itu terluput dari
kebinasaan. Harus diketahui bahwa dalam kalangan Rimba Persilatan,
mengintip orang berlatih silat dianggap sebagai kedosaan
yang lebih besar daripada mencuri uang.
Gadis itu merasa agak menyesal, tapi ia sungkan mengaku
salah. "Ayah," katanya. "Ilmu melepas piauw orang itu, lumrah
saja. Tak ada harganya untuk dicuri."
Si orang tua menjadi gusar. "Budak kecil!" ia membentak.
"Kenapa kau begitu iseng mulut, mencela-cela kepandaian
orang lain?"
Nona itu tertawa dan berkata dengan suara aleman: "Siapa
suruh aku menjadi anak Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw."
Selagi ayah dan anak itu berbicara, ketiga per-wira Boan
yang tengah mengeringkan pakaian, terus memasang kuping,
tapi mereka tak dapat mendengar pembicaraan mereka,
karena mereka ber-cakap-cakap dengan suara perlahan. Tapi
kata-kata terakhir nona itu, diucapkan agak keras.
Begitu mendengar "Pek-seng Sin-kun Ma Loopiauwtauw",
seorang antara mereka segera menc-ngok ke arah si orang
tua dan kemudian mengawasi bendera piauw natar kuning
dengan sulaman hitam. "Pek-seng Sin-kun?" katanya di dalam
hati. "Sombong benar!"
Orang tua itu adalah seorang she Ma, namanya Heng Kong
dan dalam kalangan Kang-ouw ia diberi julukan Pek-seng Sinkun
( si Tinju malaikat yang tidak terkalahkan). Si nona adalah
puteri tung-galnya yang diberi nama It Hong, sedang pemuda
itu, yang barusan turut mengintip orang berlatih piauw, adalah
muridnya, seorang she Cie bernama Ceng.
Melihat perwira Boan itu saban-saban melirik It Hong, Cie
Ceng jadi mendongkol dan terus mengawasi dengan sorot
mata gusar. Di lain saat, ketika perwira itu menengok, dua
pasang mata mereka jadi kebentrok. Ia gusar dan mendeliki
murid Ma Heng Kong ini, yang dianggapnya mau mencari
gara-gara. Cie Ceng adalah seorang pemuda yang ber-darah panas
dan karena berdampingan dengan gurunya, nyalinya menjadi
lebih besar lagi. Maka itu, lantas saja ia membalas delikan
dengan delikan juga.
Perwira tersebut, yang berbadan tinggi besar, agaknya
mempunyai ilmu silat yang tidak cetek. la tertawa berkakakan
dan sembari menengok kepada kawannya, ia berkata dengan
suara cukup keras. "Eh, coba lihat bocah itu yang bermata
seperti mata bangsat. Apakah kau sudah mencuri perempuannya?"
Kedua kawannya lantas saja turut tertawa besar.
Dengan gusar, Cie Ceng meloncat bangun, "Apa kau kata?"
ia membentak. Perwira itu menyengirdan berkata: "Bocah, aku sudah
bicara salah. Maaflah." Mendengar orang itu mengakui
kesalahannya, amarah Cie Ceng lantas menjadi reda, tapi
selagi ia mau duduk pula, orang itu berkata lagi "Aku tahu,
orang bukan mencuri perempuanmu, tapi mencuri adikmu."
Cie Ceng kembali meloncat, tapi sebelum ia sempat
menubruk orang yang mulutnya iseng itu, Ma Heng Kong
sudah keburu membentak: "Ceng-jie! Duduk!"
"Suhu (guru)! Apakah kau tak dengar?" kata Cie Ceng
dengan muka merah.
"Para Tayjin (orang berpangkat) hanya guyon-guyon, tak
ada sangkut pautnya dengan kau," kata sang guru dengan
suara tawar. Cie Ceng tak berani membantah pula. Dengan sorot mata
gusar ia mengawasi ketiga perwira itu dan kemudian duduk
pula. Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak dan mata
mereka melirik It Hong secara lebih kurang ajar lagi.
Ma It Hong pun sangat gusar, tapi ia mengetahui, bahwa
ayahnya paling sungkan berurusan dengan pegawai kerajaan.
Selagi memutar otak untuk mencari daya guna menghajar tiga
perwira itu, tiba-tiba suatu sinar terang berkeredep, dibarengi
dengan menggelegarnya halilintar yang nya-ring luar biasa.
Sementara itu, air hujan masih tetap turun seperti dituangtuang.
Di antara berisiknya hujan, sekonyong-konyong terdengar
suara rhanusia di depan pintu. "Besar sungguh hujan ini," kata
orang itu. "Bolehkah aku numpang meneduh di sini?"
Seorang bujang lelaki dari gedung itu, lantas saja ketuar
menyambut sambil berkata: "Masuklah, tuan. Di sini ada
perapian yang hangat."
Pintu ditolak dan masuklah dua orang, satu lelaki dan satu
perempuan. Yang lelaki, seorang yang berusia kira-kira tiga
puluh tahun dengan badan tinggi besar, cakap dan ganteng,
menggen-dong sebuah bungkusan di punggungnya, sedang
yang perempuan adalah seorang wanita cantik elok yang
berusia kira-kira dua puluh dua tahun. Ma It Hong sudah
boleh dikatakan cantik, tapi dibanding dengan wanita itu,
puteri Ma Loopiauwtauw ini masih kalah jauh sekali.
Mereka lantas saja membuka baju hujan mereka. Tubuh
wanita itu dikerebongi baju luar si lelaki, tapi seantero
pakaiannya, luar dalam, semua basah kuyup.
Lelaki itu masuk sambil menuntun tangan wanita tersebut
dan dilihat dari gerak-geriknya, tak bisa salah lagi mereka
adalah sepasang suami isteri.
Sesudah menggelar rumput kering, lelaki itu segera
membimbing isterinya duduk di atas lantai. Pakaian mereka
indah sekali, sedang di leher wanita tersebut terdapat seuntai
kalung mutiara, yang bun-dar-bundar dan besar dan harganya
tentu mahal sekali.
Ma Heng Kong tereengang. "Daerah ini tidak aman,"
katanya di dalam hati. "Kalau bukan orang hartawan, mereka
tentu orang berpangkat. Kenapa, tanpa membawa pengiring,
mereka berani jalan di sini?" la sudah berpengalaman luas
dalam dunia Kang-ouw, tapi tak juga ia dapat menebak, siapa
adanya pasangan itu.
Nyonya tersebut kelihatnanya sangat mende-rita, kedua
matanya merah akibat sampokan angin dan hujan. Dengan
memakai terus pakaian basah itu, tak bisa tidak, ia akan
mendapat sakit.
Melihat itu, Ma It Hong jadi merasa kasihan. Ia membuka
tempat pakaiannya dan Sesudah mengeluarkan seperangkat
pakaian, ia mendekati wa-nita itu sambil berkata: "Nyonya,
pakailah ini. Sesudah pakaianmu kering, kau bisa menukar
lagi." Nyonya itu sangat berterima kasih. Ia berbang-kit sembari
tertawa dan melirik suaminya, seperti orang ingin minta
permisi. Lelaki itu manggutkan kepalanya dan menghaturkan
terima kasih sembari tertawa. Nyonya itu lalu menarik tangan
Ma It Hong, mereka berdua pergi ke ruangan belakang dan
meminjam kamar untuk berganti pakaian.
Ketiga perwira Boan itu mengawasi dengan sorot mata
kurang ajar. Orang yang barusan bereekeok dengan Cie Ceng
dan nyalinya paling besar, lantas saja berkata dengan suara
perlahan. "Aku mau mengintip."
Seorang kawannya menyengir. "Jangan cari urusan, Looho,"
katanya. Tapi sembari mengedip-ngedipkan matanya,
orang she Ho itu terus ber-bangkit. Baru berjalan beberapa
tindak, ia rupanya ingat akan sesuatu dan kembali lagi untuk
meng-ambil goloknya, yang lantas digantungkan di
pinggangnya. Melihat musuhnya pergi ke belakang, Cie Ceng yang masih
mendongkol, lantas melirik gurunya. Ia ini ternyata sedang
bersemedhi, sambil meramkan kedua matanya. Dua piauwtauw
lainnya, seorang she Cek dan yang seorang lagi she Yo,
bersama lima pembantu dan belasan tukang kereta, tengah
bertiduran di sekitar kereta barang.
Melihat begitu, Cie Ceng buru-buru bangun dan terus
mengikuti perwira she Ho itu.
Mendengar bunyi tindakan, perwira itu menengok. Ia
tertawa dan menanya: "Bocah, kau baik?"
"Pembesar bau, kau baik"!" Cie Ceng mencaci.
"Kepengen dihajar?" tanya orang she Ho itu sembari
menyengir. "Tak salah," jawab Cie Ceng. "Guruku melarang aku
menghajar kau. Apakah kau setuju jika kita membereskan
sengketa ini secara diam-diam?"
Perwira itu yang menganggap ilmu silatnya ting-gi, tentu
saja tak memandang sebelah mata kepada satu "bocah"


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti Cie Ceng. Apa yang ia kha-watirkan hanyalah jumlah
rombongan Cie Ceng yang agak besar, sehingga kalau mesti
bertempur secara campur aduk, pihaknya yang hanya terdiri
dari tiga orang, sudah pasti akan menderita ke-kalahan. Maka
itu, ia girang mendengar usul pemuda itu.
Ia manggut-manggutkan kepalanya dan berkata: "Baiklah.
Kita pergi jauhan. Jika kedengaran gurumu, pertempuran ini
tak mungkin kejadian."
Setelah melewati cimehe dan selagi mencari tempal yang
cocok, dari sebuah lorong, tiba-tiba muncul seorang, yang
berpakaian indah, usianya kira-kira tujuh belas tahun,
parasnya cakap dan ia ini bukan lain daripada pemuda yang
tadi berlatih melepas piauw.
"Ah, kenapa aku tidak mau meminjam ruangan
berlatihnya?" kata Cie Ceng dalam hatinya. Ia menghampiri
dan berkata sembari memberi hormat: "Hengtiang (kakak),
selamat bertemu."
Pemuda itu membalas hormat dan menanya: "Siapa adanya
tuan?" "Dengan tuan perwira itu, aku mempunyai sedikit
sengketa," jawab Cie Ceng sembari menunjuk si perwira.
"Bisakah aku meminjam Lian-bu-teng Hengtiang?"
Pemuda itu merasa agak heran. "Darimana ia mengetahui,
bahwa aku mempunyai Lian-bu-teng?" tanyanya pada dirinya
sendiri. Akan tetapi, seperti biasa, orang yang berkepandaian
silat, paling senang menonton perkelahian. Maka itu, lantas
saja ia menyahut: "Bagus! Bagus!" Tanpa berkata suatu apa
lagi, ia mengajak kedua tamunya masuk ke ruangan berlatih.
Ketika itu, Lian-bu-teng sudah kosong. Di ping-gir empat
penjuru tembok terdapat rak-rak senjata, karung pasir,
kantong anak panah, cio-so (batu yang dibuat seperti kunci
untuk berlatih silat) dan Iain-lain alat. Di sebelah barat
ruangan itu terdapat panggung Bwee-hoa-chung dengan tujuh
puluh lima pelatoknya. (Bwee-hoa-chung, atau panggung bunga
bwee, dibuat dari pelatok-pelatok kayu. Orang yang
berlatih silat atau bertempur, harus berdiri di atas pelatokpelatok
itu). Melihat perlengkapan itu, si perwira yakin, bahwa keluarga
tersebut adalah keluarga kalangan persilatan yang tidak boleh
dipandang ringan. Ia berpaling kepada tuan rumah dan
berkata sembari merangkap kedua tangannya: "Aku datang di
rumah tuan untuk numpang meneduh dari serangan hujan.
Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama tuan yang
besar?" Pemuda itu buru-buru membalas hormat. "Aku yang rendah
she Siang bernama Po Cin," jawabnya. "Siapakah nama kedua
tuan ini?"
"Namaku Cie Ceng," jawab murid Ma Heng Kong. "Guruku
adalah Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong, Cong-piauw-tauw
(pemimpin) dari Hui-ma Piauw-kiok." Sembari
memperkenalkan diri, ia meng-awasi lawannya dengan sikap
bangga. "Sudah lama aku mendengar nama besar itu," kata Siang
Po Cin sembari menyoja, "Dan tuan?"
"Aku adalah Gie-cian Sie-wie (Pengawal Kai-sar) kelas dua
dari pasukan golok, namaku Ho Sie Ho," jawabnya.
"Ah, kalau begitu aku sedang berhadapan dengan seorang
Sie-wie Tayjin," kata tuan rumah. "Aku dengar, di kota raja
terdapat delapan belas ahli silat utama dalam islana. Ho Tayjin
tentulah juga mengenal mereka."
"Ya, aku kenal sebagian besar," sahut Ho Sie Ho.
"Siang Kongcu," kata Cie Ceng dengan suara keras.
"Kumohon kau sudi menjadi saksi. Aku dan orang she Ho itu
sudah mufakat untuk menjajal tenaga secara adil. Tak perduli
siapa yang menang, siapa yang kalah, kejadian ini tidak boleh
diuwarkan di luaran."
la mengajukan syarat tersebut oleh karena kha-watir
diomeli gurunya.
Ho Sie Ho tertawa terbahak-bahak. "Memang berkelahi
melawan bocah cilik bukan suatu hal yang dapat
dibanggakan!" katanya. "Tak ada harga untuk
menyombongkan diri di depan orang banyak. Bocah! Hayo
maju!" Sesudah berkata begitu, ia menyelipkan jubah panjangnya
di pinggang, sedang Cie Ceng lalu mem-buka thungshanya,
melilit thaucangnya (kuncir pada jaman pemerintahan Boan)
di kepalanya dan me-masang kuda-kuda.
Melihat lawannya memasang kuda-kuda menurut ilmu silat
Cap-kun, hati Ho Sie Ho menjadi lega. "Hm! Sebegitu saja
murid Pek-seng Sin-kun?" ia menggerendeng. "Anak umur tiga
tahun juga sudah mahir dalam ilmu itu."
Harus diketahui, bahwa "Tam-cap-hoa-hong" (Tam-tui,
Cap-kun-Hoa-kundan Hong-bun) adalah empat rupa pelajaran
silat yang di Tiongkok Utara merupakan pokok ilmu silat dan
harus dikenal oleh setiap orang yang belajar silat.
Tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, Sesudah ber-kata
"sambutlah", Ho Sie Ho segera menyerang dengan pukulan
Siang-po Ya-ma Hun-cong (Kuda liar membelah suri), pukulan
dari Thay-kek-kun, ilmu silat Lweekeh yang pada masa itu
sangat di-gemari orang. Buru-buru Cie Ceng menggeser kaki
kirinya ke belakang untuk mengegos pukulan tersebut dan
hampir berbareng dengan itu menyabet dengan tangan
kirinya. Sambil memutarkan badan, dengan gerakan Coan-sin
Pauw-ho Kwie-san (Memutar badan memeluk harimau pulang
ke gunung), Ho Sie Ho berkelit. Tapi, dengan gerakan yang
luar biasa cepatnya, Cie Ceng mengulangi serangannya
dengan jotosan ke arah muka lawannya. Kali ini. Ho Sie Ho
tidak keburu mengegos lagi dan harus menangkis dengan
lengannya. Begitu kedua lengan mereka beradu, ia merasakan
pundaknya kesemut-an. "Ah! Tak dinyana bocah ini
mempunyai tenaga yang begitu besar," katanya di dalam hati.
Dalam tempo cepat, mereka sudah bergebrak belasan
jurus. Siang Po Cin yang menonton di pinggir, mendapat
kenyataan, bahwa tindakan Cie Ceng sangat mantap dan
pukulannya bertenaga, sedang gerakan Ho Sie Ho enteng
lincah, suatu tanda, bahwa ia mempunyai ilmu
mengentengkan badan yang lumayan.
Sesudah saling menyerang beberapa jurus lagi, dengan
suatu bentakan keras, Ho Sie Ho meng-hantam pundak Cie
Ceng, yang lalu berkelit sembari menendang, Ho Sie Ho
mengegos dan mengirim pula tinjunya dengan pukulan Gioklie
Coan-so (Dewi menenun), yang telak mengenai lengan Cie
Ceng. Tapi pemuda itu, yang bertenaga besar, seperti tidak
merasakan suatu apa dan terus menjotos dengan pukulan
Kiong-po Pek-tah (Memukul sembari menindak). "Duk!" tinju
Cie Ceng mampir jitu di dada Ho Sie Ho yang lantas saja
terhuyung beberapa tindak, akan kemudian jatuh terduduk di
atas lantai. "Bagus!" demikian terdengar seruan seorang wanita.
Siang Po Cin menengok. Ternyata, di depan pintu berdiri
dua orang wanita, seorang nyonya dan seorang gadis, yaitu
Ma It Hong dan si nyonya muda yang baru saja selesai
menukar pakaiannya yang basah. Pujian "bagus!" itu
diucapkan Ma It Hong yang merasa girang melihat suhengnya
memperoleh kemenangan.
Ho Sic Ho yang dadanya sakit berbareng malu, lantas saja
jadi mata gelap. Sembari meloncat ba-ngun, ia menghunus
goloknya dan tanpa berkata suatu apa, segera membacok. Cie
Ceng tidak men-jadi gentar. Dengan ilmu Kong-chiu-jip-pek-to
(De-ngan tangan kosong masuk ke dalam rimba golok), ia
melayani musuhnya dengan waspada. Melihat kekalapan
perwira itu, sedang suhengnya tidak ber-senjata, Ma It Hong
jadi khawatir. Tapi, selagi ia mengawasi jalan pertempuran dengan penuh
perhatian, nyonya muda itu menarik tangannya seraya
berkata: "Hayolah! Aku paling sebal melihat orang berkelahi."
"Tunggu sebentar," Ma It Hong menolak. Nyonya itu
mengerutkan alisnya dan lantas berlalu sendirian.
Selain It Hong, Siang Po Cin pun mengawasi segala
gerakan-gerakan kedua lawan itu dengan menggenggam
sebatang Kimpiauw, siap-sedia untuk menolong Cie Ceng, jika
perlu. Dalam gelanggang, Cie Ceng sedang mencurah-kan seluruh
perhatiannya kepada golok musuh. Suatu ketika, Ho Sie Ho
membacok mukanya. Cie Ceng miringkan badannya sembari
menendang, sedang Ho Sie Ho lantas saja memutarkan
senjatanya dan membabat kedua kaki pemuda itu. Bagaikan
kilat, sambil melompat, Cie Ceng menjotos dengan tinjunya
yang sekali lagi tepat mengenai hidung Iawannya. Sedang
kaki tangan Ho Sie Ho kalang kabut, tangan kanan Cie Ceng
meluncur dan dilain saat, golok itu sudah kena dirampasnya.
Ho Sie Ho terkesiap dan buru-buru meloncat mundur
beberapa tindak, sembari mengusap hidungnya yang
berlumuran darah.
"Apakah sekarang kau masih berani memaki orang?" tanya
Cie Ceng sambil melemparkan golok orang.
Paras muka perwira Boan itu menjadi merah seperti
kepiting direbus dan ia tak berani mengeluarkan sepatah kata.
Sambil mengedipkan matanya, Siang Po Cin buru-buru
menarik baju Cie Ceng seraya berkata dengan suara agak
nyaring: "Ho Tayjin salah tangan. Kedua belah pihak
sebenarnya belum ada yang kalah atau memang. Sudahlah.
Ilmu kedua saudara sama-sama tingginya, aku merasa kagum
sekali." "Kenapa begitu?" tanya Cie Ceng, tidak mengerti.
"Masing-masing mempunyai kebagusan sendiri," kata Siang
Po Cin sambil tertawa. "Cap-kun dari Cie-heng sangat bagus,
tapi Thay-kek-kun dan Thay-kek-to Ho Tayjin juga tidak
kurang lihaynya. Cic-heng, kau hanya beruntung karena
sedetik Ho Tayjin tidak berwaspada. Tapi, mengenai ilmu yang
sesungguhnya, adalah Ho Tayjin yang lebih unggul." Sehabis
berkata begitu, ia mengeluarkan sapu tangannya yang lalu
diberikan kepada Ho Sie Ho untuk menyeka darah dari
hidungnya. Cie Ceng sebenarnya ingin menarik urat lagi, tapi Ma It
Hong sudah menarik tangannya sembari berkata: "Suko,
hayolah!" Karena tidak mengerti maksud Siang Po Cin, Cie Ceng
merasa mendongkol sekali dan berlatu bersama Ma It Hong
sembari mengawasi tuan ru-mah dengan sorot mata gusar.
Selagi mereka ber-jalan melewati cimehe, mendadak guntur
berbunyi dan di antara suara guntur terdengar pula suara
tertawa Ho Sie Ho dan Siang Po Cin, yang agaknya sedang
mentertawakan mereka berdua.
Demikianlah, walaupun menang berkelahi, Cie Ccng jadi
semakin mendeluh dan dengan uring-uringan ia duduk di
pinggir perapian. Ia melirik dan melihat gurunya masih tetap
bersila dengan meram-kan mata. Dilain saat, Ho Sie Ho
masuk, ia lalu kasak-kusuk dengan kedua kawannya dan
kemu-dian tertawa berkakakan bertiga-tiga, sedang mata
mereka tak hentinya melirik nyonya muda yang cantik itu.
Berselang beberapa saat lagi, Pek-seng Sin-kun agaknya
mendusin. Ia berbangkit dan sesudah mengulet beberapa kali,
menghampiri kereta piauw.
"Ceng-jie, kemari kau!" ia memanggil. "Coba lihat, kenapa
ini?" Cie Ceng buru-buru menghampiri dan menanya: "Kenapa?"
Dengan muka menghadapi tembok dan mem-buat gerakan
seperti sedang membetulkan kereta, Ma Heng Kong berkata
dengan suara perlahan: "Anak tolol! Kenapa tadi
tendanganmu miring" Jika tidak, tak usah kau menggunakan
tempo begitu lama."
Cie Ceng terkesiap. "Suhu... li... hat?" tanyanya dengan
suara gemetar. "Hm! Jangan kau kira bisa main gila di hadapan gurumu!"
Sang guru menggerendeng.
"Jika nyalimu tidak terlalu kecil dan takut mam-pus,
sebenarnya siang-siang kau sudah menang."
Biar bagaimanapun juga, Cie Ceng harus meng-akui jitunya
perkataan itu. Memang benar, pada gebrakan-gebrakan
pertama, ia berlaku luar biasa hali-hali karena ia belum dapat
meraba "isi" lawan-nya.
"Sekarang kau lekas menghaturkan terima kasih kepada
pemuda she Siang itu," perintah Ma Heng Kong. "Lain orang
usianya banyak lebih muda, tapi otaknya jauh lebih cerdas
daripada kau."
Cie Ceng kembali terkejut. "Suhu," katanya. "Terima kasih
apa" Orang she Siang itu kurang baik hatinya, bukan manusia
baik-baik."
"Hm!" Ma Heng Kong kembali menggerendeng. "Benar
hatinya kurang baik, tapi kurang baik untuk melindungi kau,
Cie Toaya!"
Si murid tergugu, ia mengawasi dengan mata niendelong,
tanpa mengerti apa yang dimaksudkan gurunya.
"Siapa yang kau hajar tadi?" tanya Ma Heng Kong. "Dia
adalah Gie-cian Sie-wie kelas dua dari pasukan golok. Dan
kita" Kita adalah orang-orang yang mencari sesuap nasi dari
pekerjaan po-piauw. Jika tuan tuan besar itu ingin
menyusahkan kau, apakah kau kira bisa mencari makan"
Dengan kata-katanya yang manis, pemuda she Siang itu
sudah menolong muka paduka Sie-wie itu dan maksudnya
adalah, supaya kau tak usah berabe di hari kemudian."
Cie Ceng mendusin dan lantas saja berkata: "Benar, benar,
kau benar Suhu!" Tanpa menunggu perintah untuk kedua
kalinya, buru-buru ia berlari-lari ke Lian-bu-teng, di mana
Siang Po Cin masih berlatih ilmu silat Cap-kun yang barusan
diguna-kannya sendiri.
Melihat datangnya Cie Ceng, paras muka Siang Po Cin jadi
bersemu merah dan segera menghentikan latihannya.
"Siang Kongcu," kata Cie Ceng sambil merang-kap kedua
tangannya. "Guruku memerintahkan aku datang
menghaturkan banyak terima kasih kepada mu. Oleh karena
tidak mengerti maksudmu yang sangat mulia. tadi aku sudah
berlaku kurang ajar dan untuk itu, aku mohon kau sudi
memaafkannya."
"Cie Toako, jangan kau bicara begitu," kata Siang Po Cin
sembari tertawa dan membalas hormat. "Ilmu silatmu adalah
sepuluh kali lebih tinggi daripada orang she Ho itu. Siauwtee
sungguh merasa kagum."
Mendengar pujian itu, Cie Ceng jadi merasa girang sekali.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian ia bereakap-cakap dengan pemuda itu.
"Siang Lauwtee (adik)," katanya. "Ilmu cabang persilatan
mana yang kau pelajari?"
"Siauwtee baru saja belajar dan tak dapat bicara tentang
cabang ini atau cabang itu," jawabnya. "Barusan aku merasa
kagum melihat pukulanmu yang sangat lihay. Bukankah
begini?" Sembari berkata begitu, ia menendang dengan kaki
kanannya, membabat dengan telapakan tangan kanannya dan
mendorong ke alas dengan telapak tangan kirinya.
Dapat dimengerti, bahwa hal itu sudah lebih-lebih
menggirangkan hati Cie Ceng yang lantas saja berkata:
"Pukulan itu mempunyai dua baris Kouw-koat (teori) yang
berbunyi: Daratan lautan mendekati pintu, tiga tidak
memperdulikan, menjotos dan membabat jangan sungkansungkan."
Begitu perkataan tersebut keluar dari mulutnya, ia
ingat, bahwa itu adalah rahasia pelajaran yang tidak boleh
sembarang dibuka terhadap orang luar dan oleh karena itu,
buru-buru ia berputar haluan: "Apa yang kau jalankan barusan
adalah sangat tepat."
"Tapi, apakah artinya Daratan lautan mendekati pintu, tiga
tidak memperdulikan?" tanya Siang Po Cin.
"Aku... aku juga tak tahu," jawabnya dengan muka
bersemu merah, karena ia tidak biasa berdusta.
Siang Po Cin yang mengetahui, bahwa pemuda itu tak mau
membuka rahasia, tidak mau mendesak terlebih jauh dan
terus mengumpak-umpak, sehingga Cie Ceng merasakan
dirinya seolah-olah mumbul di awang-awang.
"Siang Lauwtee," katanya. "Sekarang baik kita jangan
membicarakan segala hal yang tak ada artinya. Cobalah kau
menjalankan ilmu silatmu dan jika ada apa-apa yang kurang
betul, aku akan memberi petunjuk-petunjuk."
Siang Po Cin menjadi girang dan lantas saja
mempertunjukkan ilmu silat Tam-tui yang mempunyai dua
belas jalan. Ternyata, ia sudah hapal ilmu tersebut dan dapat
menjalankannya tanpa membuat kekeliruan. Hanya sayang,
pukulannya tidak mantap dan tindakan kakinya agak
melayang, sehingga jika digunakan dalam pertempuran yang
sungguh-sungguh, silat itu yang kelihatannya sangat indah,
sedikit pun tiada gunanya.
Cie Ceng menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesudah
Siang Po Cin selesai menjalankan dua belas jalan itu, ia
berkata sambil menghela napas: "Saudara, janganlah berkecil
hati jika aku berterus terang. Guru yang mengajar kau, hanya
membuang-buang tempomu yang sangat berharga." Selagi ia
hendak memberi penjelasan terlebih lanjut, tiba tiba Ma It
Hong muncul di depan pintu dan berkata: "Suko, ayah
memanggil kau."
Cie Ceng lantas saja pamitan dan butu burn kembali
kepada gurunya. Dalam ruangan itu so karang bertambah pula
dua orang yang numpang meneduh dari serangan hujan.
Seorang di antara mereka itu hanya mempunyai sebuah
lengan, lengan kiri. Suatu bekas bacokan golok yang sangat
panjang, dari alis kanan ke pinggir mulut kiri, melewati
hidung, tampak pada mukanya, sehingga di bawah sinar api,
parasnya kelihatan menakutkan sekali.
Seorang lagi adalah bocah yang berusia kira-kira 14 tahun.
Badannya kurus dan kulitnya kuning. Satu-satunya persamaan
antara kedua orang itu adalah pakaian mereka yang sangat
rombeng. Cie Ceng melirik mereka dan terus menghampiri gurunya.
"Suhu, ada apa..." tanyanya.
"Kenapa kau pergi begitu lama..." tanya Ma Heng Kong
dengan suara gusar.
"Kau mengagul-agulkan kepandaianmu, bukan?"
"Mana murid berani?" jawabnya. "Tuan rumah she Siang itu
mempunyai ilmu melepas piauw yang boleh juga, hanya
sayang, ilmu silatnya terlalu cetek."
"Anak tolol!" bentak sang guru. "Dengan kepandaianmu
yang tiada artinya, dua orang seperti kau masih belum tentu
dapat menandingi dia."
Cie Ceng tertawa. "Mungkin sekali tidak begitu," katanya.
"Tam-tui yang diajarkan gurunya, hanya bagus dilihat, tapi
tak dapat digunakan."
"Kau tahu siapa gurunya?" tanya Ma Heng Kong.
Cie Ceng heran. "Apakah Suhu tahu siapa guru Siang Po
Cin, sedang ia sendiri belum pernah bertemu dengan orang
she Siang itu dan yang belum pernah melihat ilmu silatnya"''
tanyanya di dalam hati.
"Entah, murid tak tahu," jawabnya. "Tapi mesti-nya bukan
seorang pandai."
"Hm! Bukan seorang pandai!" Ma Heng Kong mengcluarkan
suara di hidung. "Lima belas tahun berselang, gurumu telah
dibacok dan digebuk orang, sehingga harus berobat tiga tahun
baru menjadi sembuh. Siapakah orang itu?"
"Pat-kwa-to (si Golok Pat-kwa) Siang Kiam Beng," jawab
Cie Ceng. 'Tak salah," sang guru berbisik. "Siang Kiam Beng adalah
orang Bu-teng-koan, propinsi Shoa-tang. Bukankah tempat ini
Bu-teng-koan" Ketika baru masuk di sini, aku tidak
memperhatikan. Coba lihat: Bukankah lukisan di penglari itu
merupakan Pat-kwa?"
Cie Ceng berdongak dan lihat gambar Pat-kwa dari air
emas di atas penglari itu. "Suhu, lekas bersiap!" katanya,
tergugu. "Kalau begitu, kita sudah masuk ke dalam sarang
musuh." "Jangan ribut, Siang Kiam Beng sudah dibinasakan orang,"
kata gurunya. Cie Ceng memang pemah mendengar penuturan gurunya,
bahwa selama hidupnya, guru itu baru sekali dirubuhkan
orang dan orang itu adalah Siang Kiam Beng. Tapi, oleh
karena kejadian tersebut adalah kejadian yang memalukan
dan gurunya tidak pernah menyebut-nyebut lagi, ia pun tak
berani menanyakan pula. Baru sekarang ia mengetahui,
bahwa Siang Kiam Beng sudah binasa.
"Apakah dibinasakan oleh Suhu?" tanyanya, berbisik.
"Andaikata aku belajar lagi sampai ajalku, tak dapat aku
menandingi kepandaian Siang Kiam Beng," jawab Ma Heng
Kong dengan suara tawar.
"Orang yang kepandaiannya secetek aku, mana mampu
mengambil jiwa orang she Siang itu?"
Cie Ceng tereengang dan menanya pula: "Kalau begitu,
siapa yang membunuh dia?"
"Orang yang namanya tertulis di atas papan itu," jawabnya.
"Siang Kiam Beng telah dibinasakan oleh kedua orang itu."
Cie Ceng membuka kedua matanya lebar-lebar. "Ouw It To
dan Biauw Jin Hong?" tanyanya.
Sebagai murid, Cie Ceng memandang gurunya bagaikan
malaikat. Ia menganggap, dalam dunia ini, jarang ada
manusia yang dapat menandingi kepandaian Pek-seng Sin-kun
Ma Loopiauwtauw. Tapi sekarang, dari mulut gurunya sendiri,
ia mendengar, bahwa ilmu silat Pat-kwa-to Siang Kiam Beng
masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian gurunya itu,
sedang Ouw It To dan Biauw Jin Hong bahkan lebih atas lagi
dari Siang Kiam Beng. Maka itu, tidak mengherankan, jika ia
jadi terperanjat.
"Orang apakah itu, Ouw It To dan Biauw Jin Hong?" ia
menanya pula. "Kepandaian Ouw It To lebih tinggi sepuluh kali lipat
daripada aku," gurunya menerangkan. "Hanya sayang,
belasan tahun berselang, ia sudah meninggal dunia."
"Mati sakit?" tanya Cie Ceng.
"Dibinasakan oleh Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, Kimbian-
hud Biauw Jin Hong," jawabnya. (Tah-pian Thian-hee Butek-
chiu berarti tiada tandingannya di kolong langit. Kim-bianhud
berarti Buddha muka emas).
Perkataan "Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud
Biauw Jin Hong" diucapkan hampir berbareng dengan
menyambarnya kilat yang disusul menggelegarnya guntur.
Selagi Cie Ceng hendak membuka mulut lagi, dari sebelah
jauh mendadak terdengar derap kaki kuda dan sesaat
kemudian ternyata. bahwa yang datang itu tidak kurang dari
belasan penunggang kuda.
Begitu mendengar bunyi kaki kuda, suami isteri yang
berparas cakap itu saling mengawasi dan walaupun mereka
coba menekan perasaannya, semua orang dapat melihat,
bahwa mereka sedang berada dalam ketakutan hebal. Seperti
orang yang takut akan panasnya hawa api, yang Iclaki
menarik tangan si wanita dan mereka berkisar ke pojok yang
agak jauh. Belasan kuda itu berhenti di depan rumah dan sesudah
terdengar beherapa teriakan, tujuh delapan orang pergi ke
belakang dengan mengambil jalan memutar.
Ma Heng Kong berubah paras mukanya. "Hati-hati," ia
berbisik. "Siapa yang datang?" tanya Cic Ceng dengan suara
gemetar. Ma Heng Kong tidak menjawab pertanyaan muridnya, tapi
lantas memberi komando dengan suara keras: "Siapkan
senjata! Lindungi piauw!"
Keadaan lantas saja menjadi kalut. Dua piauw-tauw she
Cek dan she Yo segera memerintahkan tukang kereta piauw
itu menjadi satu dan semua orang lantas saja menghunus
senjata. Tapi Ma It Hong justru menjadi girang dan sembari
mencabut senjatanya, golok Liu-yap-to, ia menanya: "Ayah,
orang dari mana?"
"Belum tahu," jawab sang ayah, yang kemudian
menambahkan: "Sungguh heran! Tanpa lebih dulu ada anginanginnya,
mereka datang begitu menda-dak."
Dilain saat, tujuh delapan orang yang mengena-kan
pakaian serba hitam dan bersenjata golok, sudan berada di
atas tembok luar. Ma It Hong lantas saja mengayun
tangannya untuk melepaskan panah tangan, tapi ia keburu
dicegah oleh ayahnya yang membentak: "Jangan
sembarangan! Ikuti gerakan-ku!"
Orang-orang yang berada di atas tembok itu mengawasi ke
dalam ruangan tanpa berkata suatu apa.
Mendadak, pintu depan didorong orang dan ke dalam
ruangan itu lantas masuk seorang lelaki yang mengenakan
pakaian sutera berwarna biru, tapi mukanya sangat
menakutkan, sehingga pakaiannya yang indah itu sungguh
tidak sesuai dengan mukanya. Sebelah tangannya mencekal
baju hujan yang baru dibukanya. Begitu masuk, ia mendongak
dan tertawa terbahak-bahak.
Ma Heng Kong merangkap kedua tangannya dan berkata:
"Sahabat, harap kau sudi memaafkan mata Loohan yang tak
ada bijinya, sehingga Loohan belum datang berkunjung untuk
memberi hormat. Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama
sahabat yang mulia dan di mana adanya pesanggrahan
sahabat." Sementara itu, tuan muda dari Siang-kee-po, Siang Po Cin,
yang mengetahui kedatangan pe-nunggang-penunggang kuda
itu, sudah berada di depan ruangan tersebut dengan
membekal Kim-piauw dan menyoren golok di pinggangnya.
Kepala perampok itu tidak bersenjata. Ia memakai cincin
Giok putih pada salah sebatang jeriji-nya, kancing emas pada
jubahnya dan tangan kirinya mencekal Pit-yan-hu kristal
(semacam pipa), sehingga ia kelihatannya seperti seorang
saudagar kaya raya.
"Namaku yang rendah Giam Kie," ia memper-kenalkan diri.
"Bukankah Looenghiong yang mena-makan diri sendiri sebagai
Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong?"
"Mana berani aku menamakan diri sendiri secara begitu,"
jawab Ma Heng Kong sembari merangkap kedua tangannya.
"Julukan tersebut telah diberikan oleh sahabat-sahabat Kangouw
guna membikin terang muka Loohan, tapi sebenar-benarnya
julukan itu adalah kosong belaka." Sedang mulutnya
berkata begitu, hatinya penuh dengan keheranan, oleh karena
nama Giam Kie sama sekali tidak dikenal dalam kalangan
Kang-ouw. Giam Kie tertawa besar dan menuding kawan-kawannya
yang berdiri di atas tembok. "Saudara-saudaraku itu sedang
kelaparan dan kedatangan katni adalah untuk meminta
makan," katanya.
"Giam Ceecu jangan terlampau merendahkan diri," kata Ma
Heng Kong. "Ceng-jie! Lekas ambil lima puluh tail perak untuk
saudara-saudara Giam Ceecu."
Ma Heng Kong bertindak sesuai dengan kebiasaan dalam
kalangan Kang-ouw, akan tetapi ia sendiri merasa, bahwa
kawanan itu tak akan merasa puas dengan uang sebegitu.
Giam Kie tertawa terbahak-bahak. "Ma Loo-enghiong
melindungi piauw, sekali melindungi tak kurang dari tiga puluh
laksa tail," katanya dengan suara tawar. "Walaupun aku,
orangshe Giam, hanya seorang miskin, tapi aku tidak
memandang sebelah mata lima puluh tail perak."
Ma Heng Kong terkejut. Cara bagaimana Giam Kie bisa
mengetahui, bahwa ia sedang melindungi tiga puluh laksa tail
perak" "Aku si tua sebenarnya tidak mempunyai kepandaian suatu
apa," kata pula Ma Heng Kong dengan suara merendah. "Di
sepanjang jalan aku hanya mengandal kepada sahabatsahabat
yang sudi mem-beri muka kepadaku. Aku merasa
beruntung sekali, bahwa hari ini aku bisa berkenalan dengan
Giam-heng, sehingga mendapat seorang sahabat baru.
Perintah apakah yang Giam-heng ingin memberikan
kepadaku?"
"Kata-kata 'perintah' tak tepat untuk diguna-kan oleh
Looenghiong," jawab Giam Kie. "Selama hidup, kedua mataku
selalu terbuka lebar-lebar jika melihat harta. Mana boleh tiga
puluh laksa tail perak lewat dengan begitu saja di depan
hidungku" Ma Loopiauwtauw agaknya suka sekali bicara
tentang sahabat ini, sahabat itu, sahabat entah mana lagi.
Begini saja: Aku hanya berani mengambil separoh dan mohon
meminjam lima belas laksa tail untuk sementara waktu."
Tanpa menunggu jawab, ia mengulapkan tangannya dan
kawan-kawannya yang berdiri di atas tembok, lantas saja
meloncat turun.
"Ambil semuanya?" tanya seorang. "Tidak," jawabnya.
"Separoh saja. Ada rejeki harus dinikmati beramai-ramai."
Kawanan perampok itu lantas mengiyakan dan segera


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampiri kereta-kereta piauw.
Karuan saja, Ma Heng Kong lantas naik darah. Barusan,
demi menyaksikan cara loncatan, kawanan kecu itu, ia
mengetahui, bahwa di antara mereka tidak terdapat ahli silat
yang berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi agak lega.
"Apakah Giam-heng benar-benar mau mende-sak aku
sampai di pojok?" tanyanya.
"Kenapa kau bicara begitu?" Giam Kie berbalik menanya
sembari menyengir. "Aku toh hanya mengambil separoh."
Cie Ceng yang berdarah panas, tak dapat menahan sabar
lagi. Ia loncat ke depan dan membentak: "Sebagai orang yang
berjalan di jalan hitam, apakah kau pernah mendengar nama
besar Hui-ma Piauw-kiok?"
"Belum," jawab Giam Kie. Mendadak badannya berkelebat
dan tangannya mencabut bendera Hui-ma Piauw-kiok yang
ditancapkan di atas sebuah kereta. la memotes bendera itu
yang kemudian dilemparkan ke lantai dan diinjaknya dengan
sebelah kaki! Itulah suatu hinaan besar! Hinaan yang melanggar
kebiasaan kalangan Kang-ouw. Merampas piauw adalah
kejadian lumrah, akan tetapi jarang ada perampok yang
berbuat sedemikian kurang ajar. Semua anggota piauw-hang
lantas saja berteriak-teriak mencaci dan bergerak untuk
bertempur. Tanpa berkata suatu apa lagi, Cie Ceng segera
menghantam dada kepala perampok itu dengan tangan
kirinya. Giam Kie berkelit dan berkata dengan suaradingin:
"Bocah! Galak juga kau!" Tangan kirinya meluncur untuk
mencengkeram lengan Cie Ceng yang lantas buru-buru
merubah gerakan tangan kirinya dan menghantam janggut
musuh dengan tangan kanan. Giam Kie miringkan kepalanya
sembari menjotos dengan tinju kanan. Pukulan itu aneh sekali
jalannya dan walaupun Cie Ceng sebisa-bisa meloncat
minggir, tak urung pundaknya kena dihantam juga. Badannya
lantas saja bergoyang-goyang, tapi untung ia masih dapat
mempertahan-kan diri. Saat itu juga, ia merubah gerakannya.
Ia menekuk dengkul kanan dan menyodok dengan tangan
kirinya. Itulah gerakan Hui-tui-coan-ciang (Menekuk lutut
menyodok dengan tangan) yang sangat lihay dari Cap-kun
Siauw-lim-pay. Tapi Giam Kie bersikap acuh tak acuh. Sembari mesem, ia
menendang dengan kaki kirinya. Ten-dangan itu sangat luar
biasa dan menyambar dari jurusan yang tidak terduga-duga,
sehingga Cie Ceng jadi kelabakan. Tanpa menyia-nyiakan
tempo, Giam Kie mengirimkan jotosan lurus yang tepat
mengenai dada pemuda itu yang lantas saja jatuh kejengkang
dan muntahkan darah hidup. Melihat seorang lawan sudah
dirubuhkan, kawanan perampok itu lantas bersorak-sorai
dengan girangnya.
Melihat tangan Giam Kie yang sekejam itu, orang-orang
piauw-hang menjadi kaget berbareng gusar. Ma It Hong lari
menghamiri Cie Ceng yang lantas dibangunkannya. "Suko,
bagaimana keadaanmu?" tanyanya kebingungan.
Ma Heng Kong adalah seorang kawakan dalam kalangan
Kang-ouw dan ia sudah mengalami banyak hujan angin serta
gelombang. Tapi dengan segala pengalamannya itu, ia masih
belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dipergunakan
Giam Kie. Biar bagaimana juga, Ma Heng Kong mengerti, sekali ini ia
tak dapat menyingkir lagi dari pertempuran mati hidup. Lantas
saja ia maju beberapa tindak dan berkata sembari menyoja:
"Giam-heng benar-benar mempunyai kepandaian yang tinggi
dan aku menghaturkan terima kasih untuk pelajaran yang
telah diberikan kepada muridku. Pengalaman ini ada baiknya,
agar ia tahu, bahwa dalam kalangan Kang-ouw terdapat
banyak sekali orang pandai."
"Ah! Kepandaianku hanya kepandaian seekor kucing kaki
tiga," kata si perampok sembari tertawa. "Sekarang aku
memohon pelajaran Pek-seng Sin-kun Looenghiong."
Ma Heng Kong mengawasi kepala kecu itu yang mukanya
berminyak dan tampangnya seperti tampang bangsa buaya.
Betul ia merasa heran, bagaimana manusia semacam itu bisa
memiliki ilmu silat yang begitu luar biasa. Sebagai seorang
berpengalaman, lantas saja ia mengambil putusan untuk,
dalam pertempuran babak-babak pertama, hanya membela
diri tanpa menyerang dan berusaha menyelami ilmu silat
musuh. Demikianlah, sambil memusatkan semangatnya, ia
menunggu. Ketiga Siewie, Siang Po Cin dan orang-orang Hui-ma Pauwkiok
mencurahkan perhatian mereka kepada gelanggang
pertempuran. Mereka mengetahui, bahwa pertempuran itu
bukan saja akan memutuskan nasib tigapuluh laksa tail perak
itu, tapi juga jiwa Ma Heng Kong. Tapi, tidak semua orang di
dalam ruangan itu tetarik perhatiannya oleh pertempuran
yang akan terjadi. Si lelaki cakap dan si wanita cantik tetap
berbicara bisik-bisik dengan berendeng pundak, tanpa
menghiraukan segala apa.
Giam Kie mengetahui, bahwa ia akan menghadapi lawan
berat. Perlahan-lahan ia masukkan Pit-yan-hunya ke dalam
kantong dan melibat thaucang-nya di kepalanya.
"Kawanan buaya memang tak membicarakan soal
kebajikan, mencari makan selalu dilakukan dengan mengadu
jiwa!" ia berseru sembari melompat dan mengirim tinjunya ke
arah Ma Heng Kong.
Pada saat tinju musuh tinggal terpisah setengah kaki dari
dadanya, bagaikan kilat dengan gerakan Pek-ho-liang-cie
(Bangau putih membuka sayap). Ma Heng Kong memutarkan
badan ke sebelah kiri dan kedua tangannya mendorong ke
atas. Pukulan itu adalah pukulan Cap-kun yang biasa saja dari
Siauw-lim-pay, akan tetapi, digunakan oleh orang tua itu,
bukan saja gerakannya indah, tapi pu-kulannya pun dahsyat
luar biasa. Melihat begitu, si lelaki cakap yang tadi tidak menggubris,
sekarang mengawasi dengan penuh perhatian. Si wanita yang
agaknya merasa sebal menowel pemuda itu dan berkata: "Kui
Long, Kui Long." Ia menyahut, tapi matanya tetap mengawasi
medan pertempuran.
"Apa toh menariknya perkelahian antara seorang tua
bangka dan seorang perampok?" tanya wanita itu, uringuringan.
Mendengar gerutuan itu, lelaki tersebut mene-ngok dan
berkata sembari tertawa. "Ilmu silat pen-jahat itu agak luar
biasa. Juga, rasa-rasanya aku kenal dia."
"Hai!" wanita itumenghela napas. "Kamu, orang lelaki,
rupanya menganggap, bahwa yang paling penting di dalam
dunia, adalah membunuh orang dan berkelahi."
"Baiklah," kata si lelaki. "Jika kau tak suka aku melihat, aku
juga tidak mau melihat. Tapi kau harus menengok kemari,
supaya aku dapat sepuas hati memandang mukamu yang
bundar telur."
Wanita itu tertawa perlahan dan mendongak-kan
kepalanya, sehingga dua pasang mata mereka lalu saling
memandang dengan penuh kecintaan.
Sementara itu, pertarungan antara Giam Kie dan Ma Heng
Kong sudah mencapai babak-babak yang hebat. Ma Heng
Kong sudah mengeluarkan hampirseluruh pukulan Cap-kun,
tapi masih belum bisa berada di atas angin. Dilain pihak, ilmu
Giam Kie ternyata hanya terdiri dari beberapa belas ma-cam
pukulan. Ho Sie Ho, Gie-cian Siewie kelas dua itu, juga sudah
dapat melihat terbatasnya kepan-daian perampok itu dan ia
merasa heran, kenapa Ma Heng Kong belum juga dapat
merubuhkan musuhnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, Ma Heng Kong
menyerang dengan gerakan ma-tong-tui-kun (Dari atas kuda
mengirim tinju), yaitu badannya bersikap seperti orang
menunggang kuda, lengan kanannya ditarik ke belakang,
sedang tangan kiri-nya mendorong ke depan.
"Turunkan sikut, menangkap musuh!" seru Ho Sie Ho.
Benar saja, sikut Giam Kie turun agak ke bawah dan
tangannya coba mencengkeram pergelangan tangan Ma Heng
Kong dengan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap).
Ma Heng Kong buru-buru menarik pulang tangannya dan
mengegos. "Menekuk lutut, menendang balik!" Ho Sie Ho berseru pula
sembari tertawa.
Tepat dengan dugaan itu, Giam Kie menekuk lutut kanan
dan menendang ke belakang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Ma Heng Kong adalah
jauh lebih tinggi daripada Ho Sie Ho. Akan tetapi, sedang Ho
Sie Ho sudah dapat men-duga lebih dulu gerakan-gerakan
Giam Kie, apakah Ma Heng Kong tidak mampu menduganya"
Sung-guh mengherankan, terang-terang sudah bisa ditak-sir
bahwa perampok itu akan menekuk lututnya dan menendang
ke belakang, tapi tak mampu merubuh-kannya!
Sebagai seorang yang bergelar Pek-seng Sin-kun, ia mahir
dalam segala macam ilmu silat Siauw-lim-pay. Melihat Cap-kun
tak dapat mengalahkan kepala rampok itu, lantas saja ia
merubah cara bersilatnya dan menggunakan Yan-ceng-kun
yang gerakannya cepat luar biasa.
Yan-ceng-kun adalah ilmu silat Yan Ceng, salah seorang
gagah dari rombongan Liangsan (Song Kang) dimasa kerajaan
Song. Pada jaman itu, Yang-ceng-kun terkenal karena
kegesitannya yang tiada bandingannya di seluruh Tiongkok.
Walaupun sudah berusia agak lanjut, gerakan-gerakan Ma
Heng Kong masih lincah sekali dan dalam menggunakan ilmu
silat tersebut, ia seakan-akan seekor kucing.
Melihat musuhnya merubah ilmu silalnya, Giam Kie tetap
bersikap acuh tak acuh dan terus melayani dengan belasan
pukulan yang dimilikinya.
Bukan main herannya Siang Po Cin, Cie Ceng, Ma It Hong
dan semua orang dari Hui-ma Piauw-kiok. Setiap orang sudah
dapat menduga lebih dulu pukulan yang akan dikeluarkan oleh
Giam Kie, tapi toh Ma Heng Kong tidak dapat berbuat banyak.
Berturut-turut Ma Heng Kong menghujani musuhnya dengan
pukulan-pukulan hebat, tapi dengan tenang kepala rampok itu
dapat memecahkan serangan-serangan tersebut.
Orang yang tangannya kutung sebelah dan si bocah kurus
juga menonton pertempuran itu dari tempat mereka.
"Siauwya (majikan kecil)," bisik si lengan satu.
"Perhatikanlah kepala perampok itu. Jangan melupakan
mukanya." "Kenapa, paman Peng Sie?" tanya si bocah.
"Perhatikan dan jangan lupa," jawabnya.
"Apakah dia orang jahat?" tanya pula bocah itu.
Orang yang dipanggil paman Peng Sie meng-gertak
giginya. "Inilah maunya Tuhan!" katanya. "Maunya Yang
Kuasa, sehingga kita dapat bertemu di sini! Perhatikan
padanya! Hati-hati, jangan sam-pai dia mengetahui!"
Selang beberapa saat, si buntung berkata pula: NKau selalu
mengatakan latihanmu kurang benar. Sekarang,
perhatikanlah. Mungkin kau akan bisa berlatih secara tepat."
"Kenapa begitu?" tanya si bocah.
Mata si lengan satu kelihatan mengembang air mata.
"Sekarang aku belum dapat menceritakan," jawabnya. "Nanti,
nanti jika kau sudah besar dan kau sudah memiliki ilmu yang
tinggi, aku akan menuturkan dari kepala sampai di buntut."
Dengan memperhatikan kaki tangan Giam Kie, bocah itu
dapat melihat gerakan-gerakan yang luar biasa, akan tetapi
mula-mula ia belum dapat mengerti maknanya, kemudian ia
seperti mendusin dari tidurnya.
"Peng Sie-siok (paman Peng Sie)!" mendadak ia berseru
dengan suara tertahan. "Ilmu orang itu rasa-rasanya aku
mengerti."
"Tak salah," kata si buntung. "Perhatikanlah terus. Kitab
ilmu silat dan ilmu golokmu hilang dua halaman, sehingga kau
selalu mengatakan tidak begitu mengerti isinya. Dua halaman
yang hilang itu berada di badan Giam Kie!"
Bocah itu terkejut dan mukanya yang kurus kecil tiba-tiba
bersemu merah, sedang kedua mata-nya yang bersinar tajam
mengawasi Giam Kie tanpa berkesip.
"Kenapa berada pada dia?" tanya pula anak itu.
"Di kemudian hari aku akan memberi kete-rangan yang
sejelas-jelasnya kepadamu," jawab si lengan satu. "Dia dahulu
tidak mempunyai kepan-daian suatu apa, akan tetapi, sesudah
memperoleh dua halaman kitab itu, ia memiliki belasan
macam pukulan dan dapat menanding ahli silat kelas satu.
Cuba kau pikir: Kitab ilmu silat dan ilmu golok itu terdiri dari
dua ratus lebih halaman. Bayangkanlah, betapa tinggi
kepandaianmu, jika kau sudah dapat menyeiami seluruh kitab
itu." Bocah itu girang bukan main dan mencurahkan seluruh
perhatiannya kepada gelanggang pertempuran.
Yang berharga untuk ditonton, dalam pertempuran itu,
sebenarnya hanyalah seorang. Belasan macam pukulan yang
diulangi dan diulangi lagi oleh Giam Kie, sudah menyebalkan
semua penonton. Dilain pihak, pukulan-pukulan Ma Heng Kong
ber-aneka warna dan sedap dilihatnya. Sesudah gagal dengan
Yan-ceng-kun, ia kembali menukar ilmu silatnya dan
menggunakan Louw-tie-cim-cui- tiat (Louw Tie Cim, juga salah
seorang gagah dari kalangan Liangsan, mabuk arak). Dengan
ilmu silat tersebut, ia menyerang bagaikan seorang mabuk
arak, sempoyongan kian kemari, sebentar bergu-lingan,
sebentar meloncat bangun, sedang kaki ta-ngannya
menyambar-nyambar laksana topan. Dice-car begitu, Giam Kie
perlahan-lahan jadi terdesak juga.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Ma
Heng Kong membentak: "Kena!" Jitu sekali kakinya mampir di
pinggang musuh berkat tendangan Lee-hie-hoan-sin (Ikan
gabus membalik badan). Sambil berteriak, Giam Kie
membungkuk untuk menahan sakit. Ma Heng Kong
mengetahui, bahwa lawannya berkepandaian tinggi, sehingga
meskipun tendangannya mengenai tempat berba-haya, musuh
itu belum tentu mendapat luka berat. Menurut peraturan adu
silat yang biasa, begitu salah sepihak kena dipukul, pihak yang
menang harus segera menghentikan kaki tangannya. Akan
tetapi, pertaxungan itu adalah pertarungan mengenai tiga
puluh laksa tail perak, sehingga sikap sung-kan-sungkan bisa
membawa akibat rewel. Memikir begitu. Ma Heng Kong segera
meloncat dan me-ngirimkan pula suatu tendangan hebat ke
punggung musuh.
Kawanan perampok itu serentak berteriak. Mereka
menganggap serangan Ma Heng Kong mele-wati batas-batas


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepantasan. Pada saat yang sangat berbahaya itu, di luar
segala dugaan, Giam Kie menekuk lututnya dan menendang
ke belakang. Tendangan itu yang dilakukannya mendadakan
dan cepat luar biasa, sudah membikin Ma Heng Kong yang
berpengalaman tak keburu mengegos lagi. Kaki Giam Kie
mampir tepat di kempungan Pek-seng Sin-kun yang lantas
saja jatuh kejengkang.
Dengan hati mencelos Ma It Hong dan Cic Ceng memburu
dan membangunkan orang tua itu yang mukanya berubah
pucat pias dan napasnya tersengal-sengal. "Lindungi piauw
mati-matian," ia berkata dengan suara serak.
Dengan golok terhunus, Cie Ceng dan Ma It Hong berdiri di
samping Ma Heng Kong. Dilain pihak, Giam Kie pun mendapat
luka yang tidak enteng. Ia mengulap-ulapkan tangannya
beberapa kali dan berteriak: "Rampaslah piauw itu! Mau
menunggu sampai kapan?"
Mendengar perintah itu, kawanan perampok itu lantas saja
menerjang orang-orang Hui-ma Piauw-kiok, disambut oleh Ma
It Hong, Cie Ceng. Cek dan Yo Piauwtauw serta yang Iain-lain.
Siang Po Cin tak dapat menahan sabar lagi. "Ketiga Siewie
Tayjin!" ia berseru sembari meng-hunus Pat-kwa-to. "Mari kita
turun tangan!"
"Bagus!" sahut Ho Sie Ho yang, bersama dua kawannya,
lantas saja terjun ke dalam pertempuran. Ketiga perwira itu
hanya memiliki kepandaian biasa, tapi Siang Po Cin dengan
Pat-kwa-tonya benar-benar merupakan banluan yang sangat
berharga. Melihat Ma It Hong didesak oleh dua perampok dan
gerakan kaki tangannya sudah mulai kalang kabut, ia
menerjang sambil membentak: "Binatang! Tak malu, kamu
dua lelaki mengerubuti seorang nona?" Berbareng dengan
cacian itu, Pat-kwa-tonya menyambar kepala seorang
perampok yang lantas menangkis dengan pecutnya. Baru saja
beberapa gcbrakan, tangan Siang Po Cin mampir telak di dada
penjahat itu yang segera rubuh terguling. "Bagus!" kata si
nona, tersengal-sengal. "Ini satu aku dapat
membereskannya." Pemuda itu lantas loncat menyingkir
sembari tertawa dan segera membantu Cie Ceng yang tengah
dikepung beberapa penjahat. Dalam beberapa jurus saja, ia
dapat merubuhkan seorang perampok, sehingga Cie Ceng
merasa sangat berterima kasih dan kagum akan ketajaman
mata gurunya. Benar-benar, ilmu silat Siang Po Cin banyak
lebih unggul daripada ia.
Demikianlah dengan bantuan empat tenaga, keadaan jadi
berubah, pihak perampok terdesak mundur dan dalam tempo
cepat, mereka akan dapat diusir pergi.
Sekonyong-konyong, di antara suara bentrok-an-bentrokan
senjata, terdengar satu seruan. "Ta-han! Aku mau bicara!"
seru seorang. Tapi semua orang yang sedang bertempur,
mana sempat meladeni seruan itu.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan
manusia, seseorang menghadang di depan Siang Po Cin.
Tanpa menegur lagi, pemuda itu membacok. Tapi... dengan
sekali menggerakkan langannya, orang itu berhasil merampas
golok Pat-kwa-tonya yang kemudian dilemparkan ke lantai.
Bukan main kagetnya Siang Po Cin yang lantas meloncat
minggir sembari mengawasi orang itu, yang bukan lain
daripada si lelaki cakap yang ber-pakaian indah. Orang itu lalu
terjun ke dalam pertempuran dan dengan Kin-na-chiu-hoat, ia
merampas macam-macam senjata yang kemudian
dilemparkan ke lantai semua. Semua orang kaget berbareng
heran dan buru-buru menyingkir sambil mengawasi orang
yang luar biasa itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba pada belasan
tahun berselang. "Tian Siangkong (tuan Tian)!" ia berteriak.
"Kau?"
"Bagaimana kau bisa mengenal aku?" tanya pemuda itu.
"Apakah kau lupa?" kata Giam Kie dengan tertawa. "Tiga
belas tahun berselang, aku pernah melayani kau di Ciangchiu-
hu." Orang itu menunduk seakan-akan berpikir, "Ah! Benar!"
katanya sesaat kemudian. "Bukankah kau tabib yang
mengobati orang kepukul" Tapi, bagaimana kau sekarang
pandai silat dan menjadi Ceecu?"
"Semua itu adalah berkat bantuanmu," jawab-nya.
Orang itu adalah Ciang-bun-jin (pemimpin uta-ma) cabang
Utara dari partai Thian-liong-bun, namanya Tian Kui Long.
Melihat perubahan yang tak terduga itu, orang-orang Huima
Piauw-kiok menjadi bingung. Tian Siangkong yang ilmu
silatnya tinggi, ternyata mem-punyai hubungan dengan kepala
perampok itu. Dengan berbisik. Ma Heng Kong memerintahkan
orang-orangnya berkumpul di sekitar kereta-kereta piauw
untuk menunggu perkembangan selanjutnya.
Mata Tian Kui Long menyapu ke seluruh ruang-an dan
sesudah mengawasi sang hujan yang masih turun deras, ia
berkata: "Giam-heng, jual beli hari ini sudah ditetapkan
olehmu, bukan?"
"Harap Loojinkee (orang tua) jangan kecil hati," jawab
Giam Kie sembari nyengir. "Oleh ka-rena saudara-saudaraku
kelaparan dan tidak mem-punyai jalan lain, maka mau tak
mau, kami melakukan pekerjaan yang tidak bermodal ini. Kami
berjanji akan merubah cara hidup kami dan tentu juga tak
akan melupakan budi Siangkong."
Tian Kui Long mendongak dan tertawa berka-kakan.
"Kenapa kau ngaco, di hadapanku?" katanya. "Loo-giam! Kau
mengambil lima laksa tail. Cukup tidak?"
Giam Kie terkejut. "Loojinkee jangan guyon-guyon,"
katanya, tertawa.
"Kenapa guyon-guyon?" kata Tian Kui Long, sungguhsungguh.
"Di sini ada tiga puluh laksa tail. Aku mengambil
separuhnya, lima belas laksa, kau ambil lima laksa. Sisanya
masih ada sepuluh laksa. Bagaimana sisa itu dibaginya?"
Sekarang Giam Kie kegirangan setengah mati. "Loojinkee
ambillah semuanya," jawabnya, menye-ringai. "Bagi-bagi apa
lagi?" Tian Kui Long menggeleng-gelengkan kepala-nya dan
berkata: "Tidak, tidak bisa begitu. Jika aku mengeduk
semuanya, aku melupakan pribudi Kang-ouw. Barusan, ketika
masuk di sini, aku... isteriku basah bajunya...."
Mendengar kata-kata "isteriku" paras muka wa-nita cantik
itu jadi bersemu merah dan ia mesem mengawasi Tian Kui
Long. Sesudah berdiam sejenak, Tian Kui Long melanjutkan
perkataannya: "Orang yang memberi per-tolongan adalah
Nona Ma yang meminjamkan baju kering kepadanya. Budi itu
tak dapat tidak dibalas. Biarlah nona tersebut mengambil lima
laksa tail. Di sini terdapat tiga Siewie Tayjin. Orang kata: Siapa
yang nadir mempunyai bagian. Maka itu biarlah setiap orang
mendapat satu laksa. Sisanya yang dua laksa kita serahkan
saja kepada tuan rumah gedung ini! Bagaimana pikiranmu"
Pantas tidak?"
Giam Kie menepuk-nepuk tangan. "Pantas! Adil!" teriaknya.
"Dari dulu aku sudah bilang, Tian Siangkong adalah orang
yang paling royal di dalam dunia."
Mendengar kata-kata itu, Ma Heng Kong dan kawan-kawan
merasakan dada mereka seperti mau meledak. Seolah-olah
tiga puluh laksa tail perak itu adalah harta benda Tian Kui
Long sendiri! Dalam gusarnya, hampir-hampir Ma Heng Kong
pingsan. Cie Ceng melirik gurunya. "Bagaimana Suhu"
Bagaimana?" tanyanya kebingungan.
"Apa bagaimana?" bentak Ma It Hong dengan gusar. Lalu ia
memungut sebatang golok yang meng-geletak di lantai.
"Orang she Tian!" ia berteriak. "Apakah kau kira kami ini
mayat-mayat yang sudah busuk?" Ia mengangkat goloknya
dan menubruk. "Jangan memaksa aku turun tangan," kata Tian Kui Long
sembari tertawa. "Bisa-bisa isteriku ma-rah."
"Fui! Rewel kau!" bentak wanita cantik itu sembari mesem
manis, karena hatinya girang.
Ma It Hong adalah seorang gadis yang beradat keras.
Tanpa menyahut, ia membabat terus.
"Aduh! Celaka!" seru Tian Kui Long, nyengir-nyengir kuda.
"Isteriku melarang aku berkelahi dengan orang perempuan."
Sembari berkata begitu, ia menyentil belakang golok Ma It
Hong, lantas saja terlepas. Gerakan orang she Tian itu cepat
luar biasa. Tangan kanannya menyambar gagang golok,
tangan kirinya mencekal pergelangan tangan si nona dan
kemudian ia mengangkat golok itu, seperti juga mau
menebas. Tapi golok itu berhenti di te-ngah udara dan Tian
Kui Long menghela napas panjang. "Ah! Bagaimana aku bisa
tega membinasa-kan nona yang cantik bagaikan bunga!"
katanya. Melihat Ma It Hong dipermainkan, Siang Po Cin dan Cie
Ceng segera meluruk. Siang Po Cin mengayun tangan
kanannya dan sebatang Kim-piauw menyambar mata kiri
orang she Tian itu, sedang Cie Ceng yang tak sempat
memungut sen-jata, sudah mendupak punggung musuh.
Tepat pada saatnya, Tian Kui Long melem-parkan golok
dan memutarkan badan, lalu menangkap pergelangan kaki Cie
Ceng dan sekali tangannya diangkat, tubuh Cie Ceng
terjungkir ba-lik. Hampir berbareng dengan itu, murid Ma
Heng Kong ini mengeluarkan teriakan kesakitan, karena lutut
kanannya tertancap Kimpiauw. Tian Kui Long tidak berhenti
sampai di situ. Sekali dilontarkan, tubuh Cie Ceng terbang ke
tengah udara, akan kemudian menimpa badan Ma It Hong,
sehingga mereka terguling di lantai bersama-sama.
Melihat cara Tian Kui Long mempermainkan kedua orang
itu, yang lain tak berani maju menerjang pula.
"Giam-heng," kata orang she Tian itu. "Bagilah perak itu
menurut pengaturan tadi. Sediakan satu kereta yang baik
untuk mengangkut aku dan isteri-ku. Oleh karena ada urusan
penting, kami ingin berangkat sekarang juga."
Dengan girang Giam Kie lantas saja mengajak kawankawannya
bekerja. Mereka mengeluarkan bungkusanbungkusan
perak dan membuat dua tumpukan dari lima laksa
tail, satu tumpukan dari dua laksa dan tiga tumpukan, masingmasing
selaksa tail perak. Sesudah beres, Giam Kie
membentak tukang-tukang kereta: "Sekarang kamu mesti
menurut perintah dan jangan membandel."
Harus diketahui, bahwa menurut kebiasaan Liok-lim (Rimba
Hijau kawanan perampok) di dae-rah Utara, dalam setiap
perampokan, tukang kereta tidak boleh diganggu
keselamatannya, jika ia menurut perintah.
Melihat keadaan begitu, dapat dimengerti jika tukangtukang
kereta itu tidak berani membantah lagi. Tanpa
menghiraukan hujan, mereka lalu men-dorong kereta-kereta
piauw keluar ruangan itu.
Sakit sungguh hati Ma Heng Kong, melihat kereta piauw
didorong keluar satu demi satu. Tidak lama kemudian, sebuah
kereta keledai berhenti di depan pintu dan sambil memimpin
wanita cantik itu, Tian Kui Long segera berjalan menuju ke
kereta itu. Pek-seng Sin-kun yakin, bahwa begitu kereta tersebut
berangkat, bukan saja namanya runtuh. tapi bakul nasinya
pun akan terbalik. Sambil menahan sakit, ia berdiri.
"Biarlah aku mengadu jiwa tua ini!" ia berteriak sambil
menubruk Tian Kui Longdan coba menceng-keram dengan
sepuluh jcrijinya. Wanita itu keta-kutan dan mengeluarkan
teriakan kaget. Tian Kui Long berkelit sembari menghantam
pundak Ma Heng Kong dengan telapak tangannya. Jika belum
terluka, dengan gampang Ma Heng Kong akan dapat
mengelakkan pukulan itu. Tapi, waktu itu otot-ototnya tidak
menurut kemauannya dan mes-kipun matanya melihat
sambaran tangan musuh, tak bisa ia berkelit atau meloncat
minggir. Dengan mengeluarkan bunyi "buk", badannya
terpental dan jatuh ngusruk di luar pintu.
Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suatu suara
menyeramkan: "Bagus!" Dan sungguh heran, hampir
berbareng dengan terdengarnya suara tersebut, paras muka
Tian Kui Long dan wanita itu mendadak berubah pucat-pias
dan badan mereka bergemetar!
Dengan cepat, orang she Tian itu mendorong si wanita ke
dalam kereta, sedang ia sendiri lalu meloncat ke punggung
kelcdai. Sembari menggen-cet perut hewan itu dengan kedua
lututnya, ia mencambuk keledai tunggangannya. Tapi aneh,
baru melangkah dua tiga tindak, si keledai lantas berhenti dan
tak dapat maju setindak juga, mes-kipun dicambuk berulangulang.
Sementara itu, semua orang sudah berkumpul di pintu,
menyaksikan apa yang terjadi. Mereka melihat seorang
jangkung kurus sedang menahan roda kereta dengan tangan
kanannya, sedang ta-ngan kirinya mendukung sebuah
bungkusan. Di-sabeti oleh Tian Kui Long, keledai itu berusaha
mati-matian untuk bergerak, sehingga punggung-nya
meiengkung, tapi kereta tersebut seperti juga terpaku di tanah
dan tidak bergeming sedikit pun.
"Masuk!" orang itu membentak dengan suara yang
membangunkan bulu roma. Tian Kui Long kelihatan bersangsi,
tapi wanita itu sudah turun dari kereta dan tanpa menengok,
ia masuk lagi ke dalam ruangan tadi. Ogah-ogahan Tian Kui
Long turun dari keledainya dan menyusul wanita tersebut. Pakaiannya
basah kuyup, tapi ia seakan-akan tidak merasakan
itu dan berdiri dengan mata mendelong serta mulut
ternganga, seolah-olah kehilangan semangat. Wanita cantik
itu menggapai dan menyuruh Tian Kui Long duduk di
sampingnya. Orang jangkung kurus itu pun lantas masuk ke dalam
ruangan dengan tindakan lebar dan duduk di samping
perapian. Tanpa menengok kepada siapa-pun juga, ia
membuka bungkusan itu yang isinya... adalah seorang anak
perempuan berusia kira-kira dua tahun! Agaknya, karena
khawatir anak itu kedinginan, begitu masuk ia duduk di pinggir
perapian. Anak itu sedang tidur pulas, tapi di kedua matanya
terdapat bekas-bekas air mata.
Ma It Hong, Cie Ceng dan Siang Po Cin buru-buru
membangunkan Ma Heng Kong. Melihat Tian Kui Long begitu
takut terhadap si jangkung kurus, mereka kaget berbareng
girang. "Thia (ayah)," kata Ma It Hong. "Bagaimana lukamu"
Orang... orang itu siapa?"
"Dia..." jawabnya, terputus-putus. "Dia.... Tah-pian Thianhee
Bu-tek-chiu.... Kim.... Kim-bian-hud Biauw Jin Hong!"
Sehabis berkata begitu, ia pingsan.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam ruangan itu, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok berdiri
di sebelah timur, Giam Kie dan ka-wannya berkumpul di barat,
sedang ketiga Gie-cian Siewie bersama Siang Po Cin berdiri di
belakang kursi. Tanpa kecuali, semua mata mengawasi Biauw
Jin Hong, Tian Kui Long dan wanita cantik itu.
Dengan sorot mata mencinta dan paras welas asih, Biauw
Jin Hong mengawasi anak yang sedang didukungnya itu. Jika
tidak melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ia sudah
menahan roda kereta dengan sebelah tangannya, semua
orang tentu sukar pereaya, bahwa orang yang mempunyai
paras muka begitu mempunyai kepandaian yang sedemikian
tinggi. Si cantik itu kelihatan tenang, kedua matanya mendelong
memandang api, sedang di mulutnya tersungging senyuman
dingin dan hanya seorang yang matanya luar biasa tajamnya,
akan dapat melihat, bahwa kedua bibirnya sedikit bergemetar,
mencerminkan hatinya yang sedang ber-debardebar.
Tian Kui Long, orang ketiga yang ketika itu menjadi
pusat perhatian, pucat-pias mukanya dan kedua matanya
ditujukan kepada tu- runnya sang hujan di luar rumah.
Tiga orang itu, yang masing-masing matanya melihat ke
arah tiga jurusan yang berbeda-beda, duduk diam tanpa
mengeluarkan suara, tapi hati mereka sama-sama bergoncang
keras, ada yang gembira, ada yang sedih dan ada pula yang
ke-takutan setengah mati.
Sambii mengawasi anak itu yang montok dan manis, di
depan mata Biauw Jin Hong terbayang kejadian-kejadian pada
tiga tahun yang lampau. Sudah tiga tahun! Tapi toh seakanakan
baru saja lerjadi kemarin.
Kini sedang turun hujan besar, tapi pada hari itu tiga tahun
yang lampau, yang turun lebat adalah salju.
Ketika itu, kira-kira magrib, seorang diri, de-ngan
menumpang seekor kuda berbulu kuning yang kurus tinggi, ia
sedang berada di jalan Ciang-ciu, propinsi Hopak. Sembari
melarikan tunggangannya melawan serangan salju, ia teringat,
bahwa sepuluh tahun sebelumnya, di bulan Cap-jiegwee
(Bulan ke-12), ia telah mengadu silat di kola itu dengan Liaotong
Tayhiap Ouw It To dan dalam pertandingan tersebut,
secara tak disengaja, ia sudah melukai Ouw It To dengan
golok beracun, sehingga Ouw Hujin (nyonya Ouw) belakangan
menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti suaminya berpulang
ke dunia baka. Dengan Ouw It To, bukan saja kepandaiannya setanding,
tapi juga sama-sama mempunyai sifat-sifat ksatria yang luhur.
Dalam pertandingan itu, dari lawan mereka menjadi kawan
yang paling menghormati. Tapi, tak dinyana, karena salah
tangan, ia sudah melukai Liao-tong Tayhiap yang olehnya
dianggap sebagai manusia satu-satunya di dalam dunia yang
mengenal isi hatinya.
Ia dikenal sebagai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, atau
orang yang tiada tandingannya dalam dunia, dan sesudah
berkelana ke empat penjuru, baru ia bisa bertemu dengan
seorang yang benar-benar merupakan tandingan setimpal
baginya. Tiga hari mereka bertanding, sedang di waktu
malam, mereka tidur di satu pembaringan. Hai! Selama
sepuluh tahun, setiap kali mengingat peristiwa itu, belum
pernah ia tidak menghela napas berulang-ulang dan mengeluh
dengan suara perlahan: "Ouw It To! Ah, Ouw It To!"
Waktu itu sudah mendekati ulang tahun ke sepuluh hari
meninggalnya suami isteri Ouw It To dan tanpa
memperdulikan perjalanan jauh, dari Leng-lam Biauw Jin Hong
pergi ke Ciangciu untuk bersembahyang di depan kuburan
sahabat itu. Kira-kira magrib, semakin mendekati Ciangciu, hati Kimbian-
hud menjadi semakin sedih. Sembari melarikan
tunggangannya dengan perlahan, ia kata dalam hatinya: "Jika
tahun itu aku tidak kesalahan tangan, hari ini tentu aku dapat
malang melintang di kolong langit bersama-sama suami isteri
Ouw dan dengan adanya kita berdua, segala pembesar busuk
dan kawanan kureaci tentu akan jadi ketakutan setengah
mati. Ah, sungguh menggirangkan jika bisa terjadi begitu."
Selagi melamun, tiba-tiba terdengar bunyi pe-cut dan
bentakan-bentakan kusir, beberapa saat kemudian dari antara
kembang-kembang salju yang turun melayang-layang, muncul
sebuah kereta ke-ledai yang dilarikan pesat sekali.
Ketika kereta itu melewatinya, dari dalam kereta mendadak
terdengar suara wanita yang merdu sekali. "Thia (ayah),"
katanya. "Sesudah tiba di kota raja, kau harus mengantar aku
pergi membeli bu-nga...." Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa
suara itu adalah suara wanita kanglam yang sangat ber-beda
dengan suara penduduk Tiongkok Utara.
Baru saja melewati Biauw Jin Hong, kaki depan hewan itu
tiba-tiba kejeblos ke dalam lubang, sehingga dia kenyuk-nyuk.
Dengan tenang si kusir menarik les dan dengan meminjam
tenaga tersebut, keledai itu mengangkat kakinya, untuk
kemudian berlari pula.
Biauw Jin Hong heran. "Dilihat dari gerakan-nya, kusir itu
bukan orang sembarangan," katanya di dalam hati. "Siapa dia"
Aku rasa ada harganya untuk berkenalan."
Sebelum mengambil keputusan, di belakang kereta
mendadak muncul seorang lelaki yang memikul sepikul barang
keperluan pelancong dan mengejar kereta itu dengan tindakan
lebar. Pikulannya yang terbuat dari kayu pohon Angco
kelihatan melengkung, yang menandakan, bahwa barang itu
bukannya enteng, tapi ia dapat berlari-lari cepat sekali dengan
tindakan enteng.
Biauw Jin Hong jadi terlebih heran. "orang itu bukan saja
bertenaga besar, tapi ilmu mengentengkan badannya juga
tinggai sekali," pikirnya.
Sebagai seorang berpengalaman, ia mengetahui bahwa hal
itu mesti ada latar belakangnya. Maka itu, ia segera menepuk
tunggangannya dan meng-ikuti dari belakang.
Sesudah berjalan beberapa li, tukang pikul itu, yang berat
bebannya kira-kira dua ratus kati, masih bisa beriari terus
bagaikan terbang.
Sekonyong-konyong, di sebelah belakang terdengar bunyi
gemerincing dan ketika menengok, Biauw Jin Hong melihat
seorang lelaki lain, yang memikul alat-alat solder, sedang
menyusul dari belakang. Tindakan orang itu malah lebih
enteng lagi dan meskipun kakinya masih meninggalkan tapak
di atas salju, ilmu mengentengkan badannya sudah jarang
terdapat dalam Rimba Persilatan di wilayah Tiong-goan.
"Siapa dia?" tanya Biauw Jin Hongdi dalam hati dengan
kaget. Tudung dan baju orang itu penuh salju dan di tengahtengah
sambaran angin, jalannya miring kian kemari.
Mendadak Biauw Jin Hong mendusin. "Ah!" pikirnya. "Ganheng-
kong (Ilmu entengkan badan seperti burung belibis)
adalah ilmu dari ke-luarga Ciong di Ouwpak Barat!"
Sesudah berjalan pula tujuh delapan li, siang berganti
malam, tapi untung juga, mereka sudah tiba di sebuah kota
kecil. Kereta itu berhenti di depan sebuah rumah penginapan
dan Biauw Jin Hong pun segera turun dari kudanya di hotel
itu. Rumah penginapan itu sangat kecil dan semua tamu
berkumpul di ruangan tengah untuk menghangat-kan badan di
dapur atau makan minum.
Walaupun nama Biauw Jin Hong kesohor di seluruh negara,
ia sendiri tidak banyak mengenal orang-orang Rimba
Persilatan. Si tukang solder sama sekali tidak dikenalnya.
Sesudah minta ma-kanan, seorang diri ia duduk pada sebuah
meja kecil. Ketiga orang luar biasa itu duduk makan pada
meja terpisah dan mereka agaknya bukan berkawan.
Mendadak, di ruangan dalam terdengar suara seorang yang
berkata: "Lam Tayjin, Siocia (nona), penginapan ini sangat
kecil. sehingga kalian, tentu sangat tidak leluasa. Marilah ke
ruangan tengah untuk bersantap." Tirai kain tersingkap dan
seorang pelayan mengantar seorang pembesar dan seorang
nona masuk ke dalam ruangan itu. Melihat ke-datangan
seorang pembesar negeri, para tamu lan-tas saja berbangkit.
Hanya Biauw Jin Hong yang tidak memper-dulikan dan
duduk terus sambil menghirup araknya. Pembesar itu yang
mengenakan jubah kebesaran tingkat ke lima, berbadan
gemuk dengan muka seperti seorang kaya raya, sedang nona
itu sungguh-sungguh cantik, sehingga jangankan di daerah
Uta-ra, di wilayah Kanglam sekalipun jarang terdengar wanita
yang secantik ia. Masuknya mereka sudah membikin para
tamu menjadi kikuk dan beberapa antaranya lantas saja
berjalan keluar.
Si pelayan melayani kedua tamu itu secara luar biasa
hormatnya, dengan mulut tak hentinya menge-luarkan katakata
"Tayjin" dan "Siocia".
Mendengar nada suara pelayan itu yang sangat bertenaga,
tanpa merasa Biauw Jin Hong jadi ke-tarik. Dilihat dari
tindakannya, tak bisa salah lagi, orang itu mempunyai
kepandaian yang tidak cetek. Disamping itu, pada bagian jalan
darah Tay-yang-hiat kulitnya kelihatan agak menonjol,
sehingga bisa dipastikan, bahwa ia itu mempunyai Lweekang
(tenaga dalam) yang sangat tinggi.
Biauw Jin Hong tereengang. "Hm!" ia mengge-rendeng.
"Orang-orang itu tentu mempunyai mak-sud tertentu. Biarlah
aku menonton untuk menyaksikan apa yang mereka ingin
lakukan." Karena perhatiannya tertarik, tanpa merasa ia melirik
beberapa kali ke arah si pembesar dan nona itu.
Sekonyong-konyong pembesar itu menggebrak meja dan
membentak sambil menuding Biauw Jin Hong: "Hei! Siapa
kau" Bertemu pembesar tidak menyingkir, masih tak apa. Tapi
kenapa mata bang-satmu terus mengincar kemari" Aku
melihat kaki tanganmu yang kasar memang pantas sekali
menjadi bangsat. Sekali lagi kau berani mengincar, aku kirim
kau ke kantor pembesar untuk dihajar setengah mampus!"
Biauw Jin Hong tidak meladeni. Sembari menunduk, ia
menghirup araknya.
Pembesar itu jadi semakin gusar. "Hei!" ia ber-teriak.
"Apakah kau tidak bisa minta maaf?"
"Thia," bujuk puterinya dengan suara halus. "Orang dusun
ada juga yang tak mengenal adat. Guna apa meladeni orang
kasar begitu" Hayo mi-num!" Ia mengangkat cawan arak yang
lantas di-tempelkan pada bibir ayahnya.
Sesudah mencegluk arak yang diberikan oleh si nona,
amarahnya agak reda.
Melihat Biauw Jin Hong terus bersantap sembari
menunduk, ia menganggap Kim-bian-hud sudah merasa takut
dan ia sendiri pun lalu makan minum dengan gembira sembari
bereakap-cakap dengan puterinya. Apa yang dibicarakan
adalah rencana sesuatu yang akan dilakukan mereka, Se
sudah tiba di Pakkhia dan memangku jabatan yang baru.
Selagi bereakap-cakap, pintu depan terbuka dan masuklah
seorang pembesar lain, yang badan-nya kurus dan mukanya
kuning. Begitu masuk, ia berseru: "Aha! Lagi-lagi aku bertemu
dengan Jin Thong-heng (Saudara Jin Thong). Sungguh kebetulan!"
Dengan tindakan lebar ia menghampiri, sedang Lam
Jin Thong dan puterinya lantas saja berdiri.
"Tiauw Houw-heng (Saudara Tiauw Houw)," kata Lam Jin
Thong sembari menyoja. "Selamat bertemu! Selamat
bertemu!" Si pelayan segera mengambil piring mangkok dan sumpit
serta menambah arak dan sayur.
"Hm! Dengan Tiauw Houw-heng itu, semuanya sudah ada
lima orang pandai," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya.
"Dilihat gerak-geriknya, ayah dan anak itu sama sekali tidak
mengerti ilmu silat. Tapi, apa mungkin aku salah mata?"
Memikir begitu, lebih-lebih ia berwaspada.
Ha-rus diketahui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Butek-
chiu, atau orang yang tak ada tandingannya dalam dunia
ini, sesungguhnya merupakan duri di mata orang-orang gagah
dalam Rimba Persilatan.
Dapat dikatakan, bahwa tak ada seorang gagah pun yang
tidak ingin mencopot gelaran itu yang merupakan suatu
hinaan bagi mereka. Selama hidup-nya, sering sekali Biauw Jin
Hong harus melawan badai hanya karena gelarannya itu.
"Apakah tak mungkin, bahwa mereka beramai-ramai datang
untuk menyeterukan aku?" tanya Jin Hong di dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang dipanggil "Tiauw Houw-heng"
sudah berbicara serius sekali dengan Lam Jin Thong. Yang
mereka bicarakan adalah soal-soal kalangan pembesar negeri.
Tiba-tiba si tukang pikul dan lukang solder, yang berada di
luar ruangan, bereekeok mengenai soal ada tidaknya golok
mustika yang dapat mem-bacok putus emas dan giok, dalam
dunia ini. "Mana ada golok yang bisa memutuskan besi seperti
membacok lumpur?" seru si tukang pikul. "Apa yang
dinamakan Po-to (golok mustika) hanya golok yang lebih
tajam dari golok biasa."
"Tahu apa kau?" si tukang solder mengejek. "Golok mustika
adalah goiok mustika. Jika tak khawatir kau menjadi ketakutan
aku bisa mem-perlihatkan kau sebiiah mustika, supaya kedua
matamu jadi lebih terbuka."
"Kau punya golok mustika?" si tukang pikul menegas. "Fui.
Jangan suka mengimpi di siang hari bolong! Jika kau
mempunyai Po-to, tak usah kau menjadi tukang tambal pantat
kuali! Kalau dikata-kan kau mempunyai golok sayur yang
tumpul, aku pereaya juga." Mendengar ejekan itu, beberapa
orang lantas saja tertawa berkakakan.
Dengan lagak mendongkol, si tukang solder mengeluarkan
sebilah golok bersarung kulit, dari pikulannya. Begitu dihunus,
golok itu mengeluarkan sinar berkeredep yang menyilaukan
mata. "Benar-benar golok luar biasa!" puji semua orang yang
berada di situ.
Si tukang solder mengangkat goloknya dan ber-lagak
membacok tukang pikul itu yang lantas loncat menyingkir
sembari berteriak: "Aduh! Tolong ibu!" Melihat lelucon itu,
para penonton tertawa ter-bahak-bahak.
Biauw Jin Hong terus memasang mata. "Hm! Tak bisa salah
lagi, mereka adalah sejalan," pikirnya. "Dilihat lagaknya,
permainan itu bukan ditujukan kepadaku."
"Siapa mempunyai golok sayur?" tanya si tukang solder.
"Aku pinjam."
"Ada," jawab si pelayan yang lantas masuk ke dapur dan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar lagi dengan membawa golok.
"Cekal keras-keras," ujar tukang solder itu, sembari
menyabet dengan goloknya. "Trang!" dan golok sayur itu
kutung menjadi dua!
Semua orang bersorak-sorai sembari menepuk-nepuk
tangan dan memuji ketajaman golok mustika itu.
Si tukang solder kelihatan girang dan bangga sekali. Lantas
saja ia mengebul dan menceritakan bagaimana lihay dan
tajamnya golok itu, sehingga semua orang mendengarkannya
dengan mulut ter-nganga.
Lam Jin Thong yang juga mendengar segala perkataannya,
tanpa merasa mengeluarkan geren-dengan "hm", sedang
bibirnya menjebi.
"Saudara Jin Thong," kata "Tiauw Houw-heng" itu. "Aku
rasa golok itu pantas dinamakan golok 'mustika'. Tak nyana,
orang semacam itu mempunyai senjata yang begitu
berharga."
"Tajam sih memang tajam," sahut Lam Jin Thong. "Tapi
belum tentu dapat dikatakan golok mustika."
"Aku rasa Saudara keliru," kata "Tiauw Houw-heng".
"Saudara sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana
tajamnya golok itu. Apakah di dalam dunia ada senjata yang
terlebih tajam?"
Lam Jin Thong tertawa seraya berkata: "Karena belum
banyak pengalaman, melihat golok begitu saja, Saudara sudah
terheran-heran. Aku...."
"Thia," si nona mendadak memutuskan perkataannya.
"Hayolah cepat minum dan makan. Kau harus tidur siang."
"Anak sekarang pintar menilik orang tuanya," kata sang
ayah sembari tertawa dan mengangkat sumpitnya.
"Hari ini benar-benar aku beruntung karena kedua mataku
jadi lebih terbuka," kata pula "Tiauw Houw-heng". "Aku rasa,
Saudara juga baru pernah melihat golok mustika yang
semacam itu."
"Yang sepuluh kali lipat lebih bagus, aku sering
melihatnya," jawab Lam Jin Thong sembari tertawa dingin.
"Tiauw Houw-heng" tertawa berkakakan. "Saudara benarbenar
suka guyon-guyon," katanya. "Saudara adalah
pembesar sipil. Golok mustika apakah yang Saudara pernah
lihat?" Si tukang solder agaknya juga sudah dapat menangkap
pembicaraan kedua orang itu dan ia lantas saja berteriak:
"Jika di dalam dunia benar- benar ada golok yang bisa
mengalahkan golokku ini, aku rela mempersembahkan
kepalaku kepada-nya. Memang, berapa sukarnya orang
menggoyang lidah. Aku bisa kata, anakku pernah menjadi
pem-besar tingkat kelima."
Melihat keberanian si tukang solder, semua orang jadi
terkejut. "Jangan rewel, tutup mulutmu!" bentak seorang
antaranya. Lam Jin Thong gusar bukan main. Dengan muka pucat, ia
bangun dan berjalan masuk ke kamarnya dengan tindakan
lebar. "Ayah!" puterinya memanggil, lapi dalam kegu-sarannya,
mana ia mau meladeni. Dilain saat, ia sudah keluar pula
dengan menenteng sebatang golok melengkung yang
panjangnya tiga kaki dan bersarung hitam.
"Hei! Tukang solder!" ia membentak. "Aku mempunyai
sebatang golok untuk diadu dengan golokmu. Jika kau kalah,
kutungkanlah kepalamu!"
"Jika Looya (panggilan untuk seorang berpang-kat) yang
kalah?" tanya tukang solder itu.
"Aku juga akan mengutungkan kepalaku," ja-wab Lam Jin
Thong dengan suara gusar.
"Thia," bujuk puterinya. "Kau sudah minum terlalu banyak.
Guna apa rewel dengan mereka" Hayolah kita balik ke kamar."
Melihat Lam Jin Thong sudah bergerak untuk menurut
bujukan puterinya, si tukang solder iantas saja berkata: "Jika
Looya kalah, siauwjin (aku yang rendah) mana berani
menerima kepala Looya" Be-gini saja: Ambillah aku sebagai
menantumu!"
Mendengar kata-kata yang kurang ajar itu, ada yang
tertawa dan ada pula yang menegur padanya.
Lam Siocia sendiri menjadi merah mukanya dan dengan
kemalu-maluan, ia lari masuk ke dalam kamarnya.
Perlahan-lahan Lam Jin Thong menarik keluar golok itu dari
sarungnya. Baru dihunus separuh, suatu sinar hijau yang
dingin berkeredep menyi-laukan mata dan sesudah dicabut
seluruhnya, sinar dingin itu berkeredep-keredep tak hentinya,
sehingga orang sukar membuka matanya.
"Buka matamu!" Lam Jin Thong membentak. "Golokku ini
dinamakan Hui-ho Po-to (Golok mustika si Rase Terbang)."
Golok itu yang tebal belakangnya dan tipis bagian
tajamnya, sungguh-sungguh hebat. Si tukang solder
mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa gagang golok
yang berbentuk rase terbang dibung-kus dengan benang
emas. "Golok Looya benar-benar bagus, tak usah diadu lagi,"
katanya. Melihat siasat orang-orang itu, Biauw Jin Hong Iantas saja
mengerti maksudnya. Tak salah lagi. mereka datang untuk
merampas golok mustika ter-sebut. Sebagaimana diketahui,
orang-orang yang pandai silat menghargai senjata tajam
seperti jiwa-nya sendiri. Maka itu, tidaklah mengherankan, jika
golok mustika itu sudah membikin banyak orang jadi mata
gelap. Akan tetapi, Lam Jin Thong adalah seorang pembesar
sipil. Dari mana ia memperoleh Po-to itu" Dan dengan cara
apa, orang-orang itu bisa mengetahuinya"
Sesudah mengerti, bahwa orang-orang itu bukan hendak
menyeterukan dirirtya, hati Biauw Jin Hong menjadi tenang.
Begitu Hui-ho Po-to terhunus, "Tiauw Houw-heng", si
pelayan, si tukang pikul, si kusir dan tukang solder serentak
mendekati. Biauw Jin Hong menge-tahui, bahwa semuanya
sudah merasa tidak sabar dan mereka belum turun tangan
hanya karena merasa jerih satu terhadap yang lain.
Karena diejek, dalam kegusarannya Lam Jin Thong
memang berniat mengadu goloknya. Tapi sesudah melihat
golok lawan yang juga bukan golok biasa, hatinya khawatir
kalau-kalau senjatanya sen-diri turut mendapat kerusakan.
Maka itu, lantas saja ia berkata: "Sudahlah, jika kau mengakui
kesalahan-mu. Lain kali janganlah bicara yang tidak-tidak."
Selagi Lam Jin Thong ingin masukkan senjata itu ke dalam
sarungnya, "Tiauw Houw-heng" seko-nyong-konyong
merampas golok itu dan dengan sekali menyabet, golok si
tukang solder sudah men-jadi dua potong.
Si tukang solder, tukang pikul, kusir dan si pelayan segera
mengurung "Tiauw Houw-heng" dan bersiap untuk lantas
turun tangan. Melihat begitu, walaupun tangannya mencekal
golok mustika, ia merasa tidak ungkulan dan buru-buru
memulang-kan golok itu kepada Lam Jin Thong sembari
berkata: "Golok bagus! Golok bagus!"
Paras muka Lam Jin Thong berubah. "Hai, kau sungguh
ceroboh!" ia menegur sambil masukkan Hui-ho Po-to ke dalam
sarungnya dan kemudian kembali ke kamarnya untuk
mengaso. Biauw Jin Hong mengerti, bahwa dengan siasat-nya itu,
kelima orang tersebut hanya ingin mencari tahu benar
tidaknya Lam Jin Thong mempunyai golok mustika. Ia
menaksir, bahwa dalam tempo cepat, mereka berlima akan
saling membunuh dalam perebutan. Meskipun Biauw Jin Hong
berjiwa ksatria, tapi karena melihat cara-cara Lam Jin Thong
yang sangat kasar, ia segera memutuskan untuk tidak
mencampuri urusan itu.
Besok paginya, ia mendapat kenyataan, bahwa Lam Jin
Thong dan puterinya sudah berangkat, sedang si tukang
solder dan yang Iain-lain, bahkan si pelayan juga, sudah
menghilang dari rumah penginapan tersebut.
"Ah, benar juga orang kata, bahwa di segala pelosok dunia
terdapat buaya-buaya," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya
sambil menghela napas. Ia lalu membayar uang penginapan
dan berangkat dengan menunggang kudanya. Sesudah
berjalan dua puluh li lebih, di selat gunung sebelah barat
mendadak terdengar teriakan seorang wanita yang
menyayatkan hati: "Tolong! Tolong!" Ituiah teriakan Lam
Siocia! Begitu mendengar jeritan itu, Biauw Jin Hong jadi naik
darahnya. Ia loncat turun dari tunggangannya dan berlari-lari
ke arah suara teriakan itu dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Sesudah membelok dua kali, jauhjauh
ia sudah melihat mayat Lam Jin Thong yang rebah di
atas salju, sedang Hui-ho Po-to menggeletak di samping
mayat itu, agaknya tak ada orang yang berani menjumput
terlebih dulu. Lam Siocia yang sedang menangis, ditekap
mulutnya oleh si tukang solder.
Biauw Jin Hong segera menyembunyikan diri di belakang
sebuah batu besar untuk menyaksikan perkembangan
selanjutnya. "Golok mustika hanya satu, yang menginginkan ada lima
orang," kata "Tiauw Houw-heng". "Bagaimana baiknya?"
"Kita mengadu kepandaian, siapa menang, sia-pa dapat,"
jawab si tukang pikul.
"Tiauw Houw-heng" melirik Lam Siocia dan berkata pula:
"Golok mustika dan wanita cantik adalah benda yang samasama
sukar didapat di dalam dunia."
"Aku tak turut dalam perebutan golok," kata si tukang
solder. "Cukup dengan mendapatkan ini."
"Enak saja kau!" bentak si pelayan sembari tertawa dingin.
"Begini saja: Yang nomor satu dapat golok, nomor dua dapat
si nona." "Bagus! Aku mufakat," kata si kusir.
"Lauw-hia (kakak)," kata si pelayan kepada si tukang
solder. "Lepaskanlah dia. Mungkin sekali aku merebut
kedudukan kedua dan nona manis itu akan menjadi isteriku!"
"Benar!" kata "Tiauw Houw-heng" sembari tertawa.
Mau tak mau, si tukang solder melepaskan Lam Siocia yang
lantas saja menghampiri mayat ayahnya dan menangis.
"Siocia, sudahlah, jangan menangis!" kata si tukang pikul
sembari menarik tangan Lam Siocia dengan cara yang kurang
ajar sekali. Sampai di situ, Biauw Jin Hong tak dapat ber-sabar lagi.
Dengan tindakan lebar, ia keluar dari tempat sembunyinya dan
membentak: "Pergi!"
Kelima orang itu terkesiap.
"Siapa kau?" tanya mereka hampir berbareng.
Biauw Jin Hong yang tak suka banyak berbicara, hanya
mengebas tangannya dan membentak pula: "Pergi semua!"
Antara mereka adalah si tukang solder yang adatnya paling
berangasan. "Kau yang pergi!" ia berteriak sembari
menghantam dada Kim-bian-hud dengan kedua tangannya.
Biauw Jin Hong mengerahkan tenaga dalamnya dan
menangkis kekerasan dengan kekerasan juga. Begitu
kesampok, badan si tukang solder "terbang" ke udara untuk
kemudian jatuh ngusruk di atas salju!
Melihat lihaynya Biauw Jin Hong, keempat orang lainnya
jadi terperanjat. "Siapa kau?" mereka menanya pula.
Biauw Jin Hong tak menyahut, ia terus menerjang. Si kusir
mengeluarkan Joan-pian (cambuk) dari pinggangnya dan si
tukang pikul menarik keluar pikulannya dan mereka segera
menyerang dari kiri kanan. Kim-bian-hud mengetahui, bahwa
lima orang itu semuanya mempunyai kepandaian tinggi dan
jika mereka mengerubuti, belum tentu ia bisa mendapat
kemenangan. Maka itu, begitu berge-brak, ia segera
menurunkan tangan dengan tidak mengenal kasihan lagi.
Sembari mengelit sambaran Joan-pian, tangan kanannya
menangkap ujung pi-kulan yang lantas dibetotnya dan dengan
sekali mengerahkan tenaga, pikulan itu yang terbuat dari kayu
angco sudah dibuatnya patah menjadi dua potong! Hampir
berbareng dengan itu, kaki kirinya menendang si kusir yang
lantas saja jatuh terpe-lanting. Dengan ketakutan, si tukang
pikul coba melarikan diri, tapi Biauw Jin Hong sudah keburu
mencengkeram leher bajunya dan sekali dilontar-kan, badan
tukang pikul itu melayang ke tengah udara bagaikan layangan
putus dan jatuh celentang di tempat yang jauhnya belasan
tombak. "Tiauw Houw-heng" yang bisa melihat gelagat, buru-buru
membungkuk dan berkata dengan suara manis: "Menyerah!
Kita menyerah. Po-to itu seha-rusnya menjadi milik tuan."
Sembari berkata begitu, ia memungut Hui-ho Po-to dan
mempersembah-kannya kepada Biauw Jin Hong.
"Aku tak kesudian!" kata Kim-bian-hud. "Pu-langkan kepada
yang punya!"
"Tiauw Houw-heng" terkejut. "Di dalam dunia, di mana ada
orang yang begitu baik hati!" pikirnya. Ia mengawasi Biauw
Jin Hong yang mukanya ber-warna kuning emas dan parasnya
angker sekali. Mendadak ia sadar. "Ah!" katanya. "Tuan
adalah Kim-bian-hud Biauw Tayhiap!"
"Kami semua mempunyai mata, tapi tak bisa melihat
gunung Thaysan," kata "Tiauw Houw-heng". "Sekarang kami
bertemu dengan Biauw Tayhiap. Apalagi yang kami bisa
katakan." Sehabis berkata begitu dengan kedua tangan ia
meng-angsurkan golok mustika itu seraya berkata pula:
"Siauwjin (aku yang rendah) bernarna Chio Tiauw Houw dan
sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan
Biauw Tayhiap. Terimalah golok ini!"
Biauw Jin Hong yang paling sungkan rewel, lantas saja
menyambuti dengan niatan untuk menyerahkan lagi senjata
mustika itu kepada Lam Siocia.
Dan pada detik itulah, berbareng dengan ter-dengarnya
suara "srr, srr" yang sangat halus, Biauw Jin Hong merasakan
lututnya seperti digigit semut, dan sementara itu, Chio Tiauw
Houw yang sudah loncat minggir, lantas saja kabur sembari
berteriak: "Dia sudah terkena Coat-bun Tok-ciam (jarum beracun)!
Lekas kepung padanya!"
Mendengar kata-kata "Coan-bun Tok-ciam", Biauw Jin Hong
terperanjat. Ia ingat, bahwa paku beracun keluarga Chio di
propinsi Hunlam tersohor lihaynya di seluruh wilayah
Tionggoan. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia loncat
memburu dan dalam sekejap sudah menyusul musuh itu.
Sekali ditotok jalan darahnya, Chio Tiauw Houw rubuh
terguling. Mendengar Kim-bian-hud sudah kena senjata beracun, si
tukang pikul dan yang lain merasa sangat girang dan lantas


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja mengurung dari sebelah jauh untuk menunggu sampai
racun bekerja. Biauw Jin Hong menahan napas dan menerjang
maju dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang
paling tinggi. Si tukang pikul ketakutan setengah mati dan lari
ngiprit berputar-putar sekeras-kerasnya mengelilingi kalangan
pertempuran itu. Tapi, mana bisa ia meloloskan diri dari
tangan Kim-bian-hud. Di lain saat, Biauw Jin Hong sudah
menghantam dengan telapak tangan kanannya dan dia
terjungkal binasa dengan isi perut hancur. Kaki Kim-bian-hud
tak berhenti dan beberapa detik kemudian, ia sudah menyusul
si kusir yang dalam keadaan kepepet, terpaksa melawan juga
dengan Joan-piannya. Ia mengharap bisa mempertahankan
diri sampai de-lapan sembilan jurus, untuk menunggu
bekerjanya racun. Tapi Biauw Jin Hong tentu saja sungkan
memberi kesempatan dan sekali berkelebat, ta-ngannya sudah
menangkap ujung pecut yang lantas dibetot dan cepat luar
biasa, ia menghantam kepala musuh dengan gagang Joanpian
itu, si kusir lantas saja terguling dengan batok kepala
hancur. Sesudah membinasakan dua orang, kaki Biauw Jin Hong
sudah mulai kesemutan. la mengetahui, bahwa disaat itu, ia
berada dalam keadaan yang menentukan mati atau hidup dan
sedikit pun ia tidak boleh mengaso. Akan tetapi, si pelayan
dan si tukang solder berada dalam jarak puluhan tombak.
Selama hidup, sedapat mungkin Kim-bian-hud sungkan
mengambil jiwa manusia. Tapi, ia mengerti bahwa jika di
antara lima musuh itu masih ada yang hidup dan ia sudah
keburu rubuh akibat bekerjanya racun, maka jiwanya tentu
tidak dapat ditolong lagi. Mengingat begitu, sambil
menggertak gigi, ia mengejar si pelayan. Orang itu licik sekali,
ia berlari-lari di tempat-tempat becek dan banyak lubang. Tapi
dengan memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat
tinggi, itu semua tidak merupakan rin-tangan besar bagi Kimbian-
hud yang dengan cepat sudah dapat menyusul. Dalam
keadaan putus ha-rapan si pelayan mencabut Citsiunya (pisau)
dan menubruk. Pada saat ditubruk, Biauw Jin Hong
memutarkan badan dan tanpa menengok lagi, ia menendang
ke belakang. Sehabis memandang, ia segera mengejar si
tukang solder. Tendangan itu dengan jitu menghajar ulu hati
si pelayan yang lantas saja rubuh tanpa bernapas lagi.
Meskipun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi, si tukang
solder memiliki ilmu mengentengkan badan Gan-hong-kong
dari keluarga Ciong, yang di-anggap sebagai ilmu luar biasa
dalam Rimba Per-silatan. Disamping itu, pengejaran atas
berapa orang itu barusan sudah mempereepat bekerjanya
racun, sehingga, ketika mengejar si tukang solder, tindakan
Biauw Jin Hong tidak begitu cepat lagi dan ia tak dapat
menyusul musuhnya. Melihat itu, si tukang solder menjadi
girang sekali. "Dengan dipayungi Tuhan, golok mustika dan
nona manis akan menjadi milikku," pikirnya.
Tapi baru saja ia bergirang, ketika serupa benda hitam
sekonyong-konyong datang menyambar ba-gaikan kilat dan
tak dapat dielakkannya lagi. Ter-nyata, benda itu adalah Joanpian
yang dilontarkan oleh Biauw Jin Hong. Setelah
mengetahui, bahwa ia tidak akan dapat menyusul musuhnya,
ia menimpuk dengan menggunakan tenaganya yang
penghabisan dan timpukan itu tepat mengenai kempungan si
tukang solder yang lantas saja menggeletak binasa di atas
tanah yang tertutup salju. Tapi, sekarang Kim-bian-hud sendiri
tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan ia jatuh terduduk.
Sambil menangis di samping jenazah ayahnya, Lam Siocia
memperhatikan jalannya pertempuran dahsyat itu dengan hati
berdebar-debar dan penuh ketakutan. Ketika melihat Biauw
Jin Hong rubuh, buru-buru ia menghampiri dan coba
membangun-kannya. Tapi tubuh Kim-bian-hud yang tinggi
besar, berada di luar batas kekuatan gadis yang lemah itu.
Walaupun bagian bawah badannya mati, pikiran Biauw Jin
Hong masih tetap jernih. "Lekas geledah badannya," ia
memerintah sambil menuding Chio Tiauw Houw yang tak
dapat bergerak, karena jalan darahnya ditotok. "Ambil obatnya
dan berikan ke-padaku." Lam Siocia melakukan itu dan
beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan sebuah botol kristal
dari dalam saku Tiauw Houw.
"Apa ini?" tanya si nona.
Saat itu otaknya Kim-bian-hud sudah mulai butak. "Jangan
mau tahu... kasih... aku... makan," katanya dengan suara
lemah. Lam Siocia lalu membuka tutup botol tersebut dan
menuang yowan yang berwarna kuning ke mulut Biauw Jin
Hong. "Bunuh mati padanya!" memerintah Kim-bian-hud sesudah
menelan obat itu.
Si nona terkejut dan menyahut dengan suara terputusputus:
"Aku... aku tidak berani... mem-bunuh orang."
"Dia yang memhunuh ayahmu!" berkata Biauw Jin Hong
dengan suara keras.
"Tidak... aku tidak berani," jawabnya, tergugu.
"Sesudah lewat enam jam, jalan darahnya akan terbuka
sendiri," kata Biauw Jin Hong. "Aku men-dapat luka sangat
berat... kita bereiua bisa mati tanpa kuburan."
Dengan kedua tangan, Lam Siocia mengangkat golok
mustika itu yang ialu dihunus. Sesaat itu, ia melihat kedua
mata Chio Tiauw Houw mengeluarkan sorot minta dikasihani.
Sebagai manusia yang belum pernah memotong ayam atau
bebek, bagaimana dapat diharapkan agar si nona bisa turun
tangan untuk membunuh orang"
"Jika kau tidak membunuh dia, bunuhlah aku!" bentak
Biauw Jin Hong. Si nona terkesiap, goloknya terlepas dan
jatuh tepat di atas kepala Chio Tiauw Houw. Hui-ho Po-to
adalah golok mustika yang dapat memapas besi bagaikan
lumpur, maka begitu kena, kepala Chio Tiauw Houw lantas
terbelah dua! Lam Siocia menjerit dan rubuh pingsan di atas
badan Kim-bian-hud.
*** Melamun sampai di situ, anaknya yang didu-kung itu
mendadak tersadar dan menangis. "Ayah, mana ibu?"
tanyanya dengan sesenggukan.
Biauw Jin Hong tak menyahut. Anak itu menengok ke sana
sini dan secara kebetulan, ia melihat nyonya cantik itu yang
berada di dekat perapian. Sambil mementang kedua
tangannya, ia berteriak: "Ibu! Ibu! Lan-lan sedang mencari
kau!" Ia meronta-ronta, ingin menghampiri nyonya itu yang
dipanggil ibu. Semua orang heran bukan main. Terang-terang nyonya itu
adalah istri Tian Kui Long. Kenapa anak itu memanggii "ayah"
kepada Biauw Jin Hong dan "ibu" kepadanya" Suasana lantas
saja menjadi te-gang dan semua orang, kecuali anak itu yang
ter-girang-girang, berdebar-debar hatinya.
Perlahan-lahan nyonya itu bangun, menghampiri Biauw Jin
Hong dan lantas saja menggendong anak itu.
"Ibu! Lan-lan sudah dapat mencari kau!" katanya dengan
girang. Si nyonya memeluk anak itu erat-erat. Dua muka yang
cantik, satu besar dan satu kecil, jadi menempel satu pada
yang lain dan air mata si anak yang belum kering jadi
bereampur dengan air mata si ibu yang baru mengucur keluar.
Sementara itu, si lengan satu yang sedari tadi berdiri di
pojok tembok dengan mata waspada, perlahan-lahan
menghampiri Giam Kie. la mem-bungkuk dan berbicara bisikbisik
di kuping kepala perampok itu, yang paras mukanya
berubah pucat dengan mendadak. Sesudah melirik Biauw Jin
Hong dengan sorot mata ketakutan, perlahan-lahan Giam Kie
masukkan tangannya ke dalam saku dan ke-mudian
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kertas minyak. Si
lengan satu mengambil bungkusan itu, yang lalu dibukanya.
Ternyata, di dalamnya terdapat dua lembar kertas yang
sudah agak tua. la manggut-manggut-kan kepalanya,
masukkan bungkusan itu ke dalam kantong sendiri dan
kemudian kembali ke pojok tadi.
Beberapa saat kemudian, nyonya itu menge-ringkan air
matanya dengan lengan baju dan sesudah mencium anaknya,
sekonyong-konyong ia berbangkit dan sambil menahan
turunnya air mata, ia menyerahkan kembali anak itu kepada
Biauw Jin Hong.
"Ibu...! Ibu...! Ibu...!" teriak anak itu sambil meronta-ronta.
Tapi sang ibu tetap berlalu, berlalu tanpa menengok pula.
Biauw Jin Hong menahan sabar sambil menunggu. Ia
menunggu jawaban si cantik, ia menunggu menengoknya ibu
yang telengas itu, untuk melihat puterinya yang sedang
meronta-ronta. Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong ingin sekali menyeret dan
menginjak seorang manusia durhaka dengan kakinya untuk
kemudian dibinasakan. Akan tetapi, ia mengetahui, bahwa
manusia itu tentu akan mendapat pertolongan. Biauw Jin
Hong adalah seorang yang dikenal sebagai tiada tandingannya
dalam dunia ini, tapi hatinya lembek, penuh welas asih dan ia
mencinta, dengan seluruh hatinya, pe-rempuan cantik itu yang
berhati kejam. Demikianlah, sedang puterinya menjerit-jerit memanggil
ibu, ia menunggu dan menunggu terus....
Apakah si cantik tuli"
Apakah dia manusia berhati baja"
Teriakan itu menyayatkan hati, tapi seujung rambut, ia tak
bergerak. Darah Kim-bian-hud bagaikan bergolak-go-lak. Jika
menuruti dorongan hatinya, ia tentu sudah menghantam
hancur puterinya sendiri, agar tak usah mendengar jeritanjeritan
yang mengiris hati.
Demikianlah, seorang gagah perkasa tiada tan-dingan,
seorang ksatria dari ujung rambut sampai ujung jari kakinya,
seolah-olah menjadi linglung. Ia memandang ke depan
dengan mendelong dan di depan matanya kembali terbayang
peristiwa di Ciangciu tiga tahun berselang itu.
*** Ketika itu, di atas tanah yang tertutup salju menggeletak
tak kurang dari enam mayat. Akibat jarum beracun, Biauw Jin
Hong tak dapat berdiri lagi, sedang Lam Siocia berada dalam
ketakutan hebat.
"Tuntun kuda itu kemari," memerintah Kim-bian-hud
dengan suara keras. Buru-buru si nona menuntun kuda itu ke
hadapan Biauw Jin Hong dan kemudian mengangsurkan
tangannya yang lemas halus untuk mengangkatnya. "Minggir!"
perintah Biauw Jin Hong pula.
Sesudah Lam Siocia menyingkir, Kim-bian-hud ialu
mencekal injakan kaki pada pelananya dan dengan sekali
mengerahkan tenaga, tubuhnya ter-angkat naik dan hinggap
di atas pelana.
"Pungut golok itu," kata Biauw Jin Hong dan bagaikan
orang kehilangan semangat, si nona lan-tas saja menurut.
Sesudah itu, dengan sebelah tangan ia mengangkat naik
tubuh Lam Siocia ke atas pelana dan perlahan-lahan ia
melarikan tung-gangannya kembali ke rumah penginapan
yang semalam. Selama dalam perjalanan, dengan mengerahkan tenaga
dalamnya, Biauw Jin Hong tak sampai men-jadi pingsan. Tapi,
begitu tiba di hotel, ia tak dapat mempertahankan did lagi dan
jatuh tergulingdi atas salju di depan rumah penginapan itu.
Dua pelayan lantas saja menggotong ia masuk ke dalam
kamar. Oleh karena menanggung budi yang sangat besar, Lam
Siocia merawat penolongnya ini dengan telaten. Begitu
tersadar dari pingsannya, Biauw Jin Hong segera menggulung
kaki celananya dan men-cabut dua batang jarum beracun
yang masih menancap pada lututnya.
Sesudah itu, ia lalu minta seorang pelayan hotel mengisap
darah beracun dari lukanya. Meskipun
dijanjikan upah besar, pelayan itu tak berani melakukan
pekerjaan tersebut. Tanpa berkata suatu apa, Lam Siocia
segera menempelkan mulutnya yang mungil pada lutut Biauw
Jin Hong dengan penuh kerelaan, ia menyedot keluar semua
darah beracun yang mengeram di lutut sang penolong.
Si nona mengetahui, bahwa dengan berbuat begitu, ia
sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada "si orang
dusun". Tak perduli apakah dia itu seorang perampok atau
buaya, Lam Siocia sudah mengambil keputusan untuk
mengikuti orang yang sudah menolong jiwanya dan
membaiaskan sakit hati ayahnya. Di lain pihak, Biauw Jin Hong
juga mengerti, bahwa berbareng dengan diisapnya darah
beracun oleh nona itu, penghidupannya berkelana di kalangan
Kang-ouw sudah tiba pada akhirnya. Mulai dari sekarang, ia
bertanggung jawab untuk keselamatan wanita itu, suka duka
Ciankim Siocia tersebut adalah suka dukanya sendiri.
Sesudah makan obat Chio Tiauw Houw dan sesudah darah
beracun itu diisap habis, jiwa Biauw Jin Hong boleh tak usah
dikhawatirkan lagi. Akan tetapi, Coat-bun Tok-ciam hebat
bukan main. Dalam sepuluh hari, kedua kakinya tak akan
dapat digunakan sebagaimana mestinya. Ia segera
mengeluarkan beberapa potong perak dan minta pertolongan
pelayan hotel untuk mengurus dan mengubur jenazah ayah
Lam Siocia serta lima orang itu yang ingin merampas Hui-ho
Po-to. Lam Siocia tidur sekamar dengan Biauw Jin Hong dan siang
malam ia merawat Kim-bian-hud dengan telaten sekali.
Sesudah mengalami peristiwa yang sangat... sangat hebat itu,
sering sekali dalam tidurnya ia mengigau, menangis dan
menjerit ke-takutan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang
tidak pandai bicara dan ia sama sekali tidak dapat
mengeluarkan kata-kata untuk menghibur nona cantik itu.
Akan tetapi, setiap kali melihat si nona berparas guram, ia
selalu memandangnya dengan sorot mata mencinta, sehingga
tanpa merasa, hati gadis itu jadi terhibur juga.
Lam Siocia memberitahukan Biauw Jin Hong, bahwa di
waktu menjabat pangkat di Kang-ouw, ayahnya telah
menangkap seorang bajak yang ke-sohor namanya dan dari
bajak itu, ia mendapatkan golok Hui-ho Po-to. Tidak lama
kemudian, ayahnya dipanggil ke kota raja untuk memangku
jabatan yang lebih tinggi. Dalam perjalanan itu, sang ayah
telah membawa juga Hui-ho Po-to dan ia niat mempersembahkannya
kepada orang yang sudah menolongnya
memperoleh kenaikan pangkat. Tapi, tak dinyana, perjalanan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sudah mengakibatkan kebinasaannya.
Biauw Jin Hong segera menanyakan nama bajak itu, tapi
Lam Siocia tidak dapat menjelaskannya. Apa yang
diketahuinya adalah, bahwa si penjahat sudah mati dalam
penjara. Kim-bian-hud menghela napas, "Orang gagah manakah
yang sudah binasa secara begitu menge-cewakan?" ia
menanya dirinya sendiri.
Pada malam hari ke lima, Lam Siocia membawa semangkok
obat ke dalam kamar. Selagi Biauw Jin Hong menyambut obat
itu sekonyong-konyong di luar jendela terdengar beberapa
suara yang halus. Tanpa berubah paras
Rahasia 180 Patung Mas 6 Pendekar Cacad Karya Gu Long Pendekar Riang 13
^