Kisah Si Rase Terbang 14

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 14


ghela napas. "Jika sebenta Ma Kouwnio tidak dapat ditolong lagi,
jangan kau salahkan aku," bisiknya.
Mendadak Ouw Hui berkata: "Baiklah! Walau-pun aku
belum bisa menangkap seluruhnya, biarlah kita menempuh
bahaya dan mencoba-coba."
"Apa?" tanya si adik yang tidak mengerti mak-sud
kakaknya. "Aku ingin merebut kursi Ciangbunjin dari See-gak Hoakun-
bun," jawabnya. "Jika, dengan berkah Tuhan, aku
berhasil, mereka akan dengar semua perintahku."
Si nona jadi girang bukan main. Sambil menepuk-nepuk
pundak kakaknya beberapa kali, ia berkata: "Kau pasti
berhasil! Pasti berhasil! Orang-orang itu bukan tandinganmu."
"Jie-moay, kau tak tahu kesukarannya," kata Ouw Hui
sambil tersenyum. "Yang paling sukar adalah aku mesti
berkelahi dengan menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun.
Dalam tempo yang begitu pendek, mana aku bisa ingat semua
pukulan-pukul-an" Menghadapi orang-orang yang
berkepandaian rendah masih tak apa. Tapi kalau berhadapan
dengan pentolan-pentolannya, topengku pasti akan terlucut
karena aku belum biasa menggunakan ilmu silat itu.
Celakanya, jika aku tidak diakui sebagai murid Hoa-kunbun,
biarpun menang, mereka tentu tak sudi mengangkat aku
sebagai Ciangbunjin." Berkata sampai di situ, mau tak mau ia
ingat Wan Cie Ie, yang paham dengan ilmu silat dari berbagai
cabang dan partai persilatan. Jika nona Wan yang maju,
kemungkinan berhasil banyak lebih besar.
Mendadak terdengar teriakan "Aduh!" dan seorang
terpelanting ke bawah panggung.
"Kurang ajar! Mengapa memukul begitu he-bat?" teriak
seorang. "Sesudah bertempur, mana ada berat enteng?" bentak
seorang lain. "Jika kau mempunyai kepan-daian, naiklah!"
Beberapa orang di bawah panggung lantas saja bertengkar
dengan sengit. "Jie-moay," bisik Ouw Hui. "Kalau temponya tiba dan aku
belum dapat merebut Ciangbunjin, kau boleh segera
mengobati Ma Kouwnio di sini."
"Baiklah," kata si adik sambil tersenyum. "Orang lain sudah
berhasil menjadi Ciong-ciang-bun dari tiga belas partai.
Masakah satu saja kau tak mampu merebutnya?" Dengan
"orang lain" si nona maksud-kan Wan Cie Ie. Melihat kakaknya
maju ke depan panggung dengan tindakan lebar, hati Leng So
girang, kagum, bereampur duka.
Sebelum Ouw Hui keburu melompat ke atas panggung,
seorang lain yang barusan bereekeok sudah mendahului.
"Kalau tunggu sampai salah satu ada yang kalah, aku kembali
menyia-nyiakan tempo yang berharga dan keadaan Ma
Kouwnio jadi seinakin berbahaya," pikirnya. Memikir begitu,
lantas saja ia mengenjot badan dan selagi tubuhnya masih
berada di tengah udara, tangannya sudah menyam-bar
punggung orang itu seraya berkata: "Suheng tahan dulu. Biar
aku yang mencoba lebih dulu." Dalam cengkeramannya itu,
Ouw Hui menggunakan ilmu Toakin-na Chiu-hoat dari
keluarga Ouw. Jempolnya menekan jalan darah Siok-ciat-hiat,
sedang kelingkingnya menotok jalanan darah Sin-to-hiat,
sehingga orang itu tak bisa bergerak lagi.
Berbareng dengan hinggapnya di atas panggung,
tangannya mengebas dan tubuh orang itu melayang ke bawah
dan jatuh duduk, tepat persis di sebuah kursi yang kosong.
Kepandaian yang luar biasa itu sudah mengejut-kan semua
orang, sehingga beberapa antaranya dengan serentak bangun
berdiri untuk bisa melihat-nya secara lebih tegas. Tapi Ouw
Hui mengenakan topeng kain kuning, sehingga para hadirin
merasa kecewa. Hanya dengan melihat taocangnya yang
besar dan hitam jengat, mereka dapat menebak-nebak, bahwa
jago yang lihay itu bukan seorang tua. Pentolan-pentolan Hoakun-
bun yang banyak pengalaman jadi semakin heran, karena
hampir tak dapat dipereaya, bahwa seorang yang berusia
muda bisa memiliki Lweekang yang begitu tinggi.
Sambil merangkap kedua tangannya, Ouw Hui berkata
kepada orang yang berdiri di hadapannya. "Murid Thian-ciepay,
Thia Leng Ouw, ingin meminta pengajaran dari Suheng,"
katanya. Mendengar perkataan "Thia Leng Ouw," Leng So
tersenyum, tapi di lain saat, parasnya berubah duka. "Kalau
benar-benar aku mempunyai kakak kandung seperti dia, aku
boleh tak usah merasakan banyak kedukaan seperti
sekarang," katanya di da-lam hati.
Sebelum bergebrak, lawan Ouw Hui sudah merasa keder. la
membalas hormat seraya berkata: "Kepandaian siauwtee
masih sangat cetek, maka siauwtee mohon Suheng menaruh
belas kasihan."
"Bagus! Bagus!" kata Ouw Hui yang tanpa sung-kansungkan
lagi karena ia perlu memburu tempo, lantas saja
menyerang dengan pukulan Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan.
Orang itu buru-buru meng-angkat lututnya dan menangkis
dengan kedua te-Iapak tangan dalam gerakan Pek-wan Taotho
Pay-thian-teng (Kera putih mencuri buah tho, menyembah
Langit), yaitu semacam pukulan yang lebih
mengutamakan pembelaan diri daripada penye-rangan. Ouw
Hui melompat dan menyerang pula dengan pukulan Gouw-ong
Sit-kiam Pek-giok-coan (Gouw Ong mencoba pedang menebas
giok). Orang itu tetap tidak berani menyambut kekerasan
dengan kekerasan.
Buru-buru ia melompat ke belakang untuk menyingkir dari
serangan itu. Ouw Hui sungkan mem-beri kesempatan lagi
kepadanya. Sambil melompat ia meninju dengan pukulan Siasin
Lan-bun Ca-tiat-soan (Miringkan badan berdiri di pintu
memasang tapal). Orang itu coba menangkis, tapi dengan
sekali mengerahkan Lweekang, Ouw Hui melontar-kannya ke
bawah panggung.
Hampir berbareng, di bawah panggung ter-dengar
bentakan keras dan orang yang pertama dilemparkan Ouw
Hui, coba melompat naik. "Bang-sat! Jangan kurang ajar kau!"
cacinya. Ouw Hui meloncat ke pinggir panggung dan
menghantam dengan pukulan Kim-peog Tian Cie Teng-tiongcan
(Garuda emas membuka sayap berdiri di tengah ruangan),
sehingga orang itu lantas saja jatuh lagi ke bawah. Karena
mendongkol atas caciannya, Ouw Hui memukul dengan
menggunakan tiga bagian tenaga dan orang itu ambruk di
atas dua kursi yang jadi hancur berkeping-keping.
Sesudah rubuhnya dua orang itu, para hadirin lantas saja
bicara bisik-bisik satu sama lain dan banyak sekali yang
menanyakan murid-murid Thian-cie-pay tentang asal usulnya
jago bertopeng itu yang mengaku sebagai murid partai
tersebut. Tapi tak seorang pun yang dapat memberi
keterangan. "Menurut penglihatanku, dia tidak begitu paham
de-ngan ilmu silat partai kita," kata seorang Cianpwee dari
Gee-cie-pay. "Kalau tidak salah, dia baru ber-guru pada tetua
Thian-cie-pay sesudah memiliki ilmu silat dari partai lain.
Sepuluh sembilan dia adalah murid baru dari Kie Loosam."
"Kalau benar begitu, itulah salahnya Kie Loosam sendiri,"
menyambung seorang tua dari Seng-cie-pay. "Bahwa seorang
murid coba merebut ke-dudukan Ciangbunjin dengan
menggunakan ilmu silat lain partai, sebenarnya sangat
menurunkan derajat ilmu silat partai kita."
Orang yang dipanggil "Kie Loosam" adalah tetua dari Thiancie-
pay. Dalam kalangan See-gak Hoa-kun, dapat dikatakan ialah
yang memiliki ke-pandaian palirq tinggi, hanya sayang,
semenjak pu-luhan tahun hers.' -;;, kedua kakinya lumpuh.
Sekarang, walaupun ia sendiri tidak menghadiri per-temuan,
tapi karena namanya sangat besar, orang-orang sekaum
masih tetap mengindahkannya. Melihat kelihayan Ouw Hui,
sedang putera Kie Loosam belum juga datang, maka banyak
orang menduga, bahwa orang yang bertopeng itu adalah
murid Kie Loosam. Mereka tentu saja tak pernah mimpi,
bahwa Kie Siau Hong putera Kie Loo-sam sedang rebah di
belakang gunung-gunungan akibat totokan Ouw Hui.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Kie
Loosam mempunyai satu cacad, yaitu adatnya yang agak
sombong dan ia tidak meman-dang sebelah mata kepada
saudara-saudara separ-tainya yang agak sombong dan ia
menutup pintu dan sungkan menemui siapa pun jua, sedang
seantero kepandaiannya ia turunkan kepada putera-nya.
Untuk menghadiri pertemuan memilih Ciangbunjin, See-gak
Hoa-kun-bun, ia mengirim putera-nya itu, yang merasa pasti,
bahwa kursi Ciangbunjin akan dapat direbutnya.
Meskipun ilmu silatnya sudah hampir menan-dingi ayahnya,
sifat Kie Siauw Hong tidak sejujur orang tua itu. Diam-diam ia
bersembunyi di belakang gunung-gunungan dengan niat
mempelajari dulu kepandaian orang lain dan kemudian
barulah turun tangan. Tidak dinyana, seperti diantar ma-laikat,
Ouw Hui dan Leng So yang membawa Ma It Hong datang ke
situ dan akhirnya ia rebah tanpa bisa berkutik lagi.
Tapi, walaupun tubuhnya tidak berdaya, ku-pingnya dapat
mendengar setiap perkataan dari pembicaraan antara Ouw Hui
dan Leng So. Hatinya panas karena ia menduga, bahwa Ouw
Hui adalah seorang pentolan dari lain partai yang sengaja
datang untuk merubuhkannya guna merebut kedu-dukan
Ciangbunjin. Waktu ditotok, ia sama sekali belum mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya. Maka itu, ia
jadi semakin gusar. Sesudah mendengar rubuhnya beberapa
orang, ia menganggap bahwa dalam See-gak Hoa-kun-bun,
hanyalah ia seorang yang dapat menandingi Ouw Hui. Memikir
begitu, ia segera mengempos semangat untuk coba
menjalankan aliran darah yang sena ditotok.
Akan tetapi, ilmu menotok Ouw Hui didapat dari leluhurnya
dan sangat berbeda dengan ilmu yang dimiliki Siauw Hong.
Andaikata Siauw Hong mengerahkan Lweekang dengan pikiran
tenang, belum tentu ia bisa membuka jalan darahnya. Dengan
kegusaran meluap-luap, ia mengempos semangat dengan
menggunakan seantero tenaganya dan baru selang beberapa
saat, hatinya mencelos karena napasnya tiba-tiba menyesak
dan tak ampun lagi ia pingsan.
Kejadian yang serupa itu sudah lebih dulu di-alami
ayahnya. Dalam usahanya untuk mendapat kemajuan secepat
mungkin, pada suatu hari, ketika sedang melatih Lweekang,
Kie Loosam telah mem-buat kesalahan, sehingga "api" dalam
tubuhnya telah "membakar" dirinya sendiri dan kakinya
menjadi lumpuh. Keadaan Siauw Hong pada saat itu adalah
lebih berbahaya daripada apa yang telah dialami oleh
ayahnya. Sementara itu, dengan penuh perhatian, Leng So
mengawasi jalan pertempuran di atas panggung. Ia mendapat
kenyataan, bahwa setiap pukulan yang dikeluarkan Ouw Hui
adalah pukulan Hoa-kun-bun yang baru saja dipelajarinya.
"Toako sungguh ber-bakat," ia memuji di dalam hati. "Hoakun-
bun adalah ilmu silat yang sulit, tapi dengan melihat
sekelebatan saja, ia sudah dapat memahaminya."
Pada saat itulah, kupingnya tiba-tiba menang-kap suara
"huh" dari orang yang sedang rebah di tanah. Mendengar
nada luar biasa, ia melirik dan lantas saja ia terkejut, karena
mata orang itu ter-tutup, lidahnya melelet keluar, sedang
bibirya mengeluarkan darah dan badannya bergemetaran
seperti orang demam.
Sebagai seorang yang mahir dalam ilmu peng-obatan, si
nona segera mengerti sebab musababnya. Jika tidak lekas
ditolong, Siauw Hong bisa jadi gila, atau paling sedikitnya,
ilmu silatnya akan musnah sama sekali. "Aku dan dia sama
sekali tidak ada bermusuhan," pikirnya. "Adalah tidak benar,
jika dalam usaha menolong satu manusia, lain manusia jadi
celaka." Buru-buru ia mengeluarkan jarum emas dan menusuk
jalan darah Liam-coan, Thian-tou. Kie-bun dan Thay-hun.
Selang beberapa saal, Siauw Hoong tersadar. Melihat dirinya
ditolong oleh si nona, ia berkata dengan suara perlahan:
"Banyak terima kasih untuk pertolongan nona." Leng So buruburu
menaruh jari tangannya di bibir untuk melarang ia bicara.
Mendadak terdengar suara Ouw Hui: "Peratur-an merebut
kedudukan Ciangbunjin sudah ditetap-kan, tapi kalau
bertanding secara begini, sampai kapan baru bisa selesai" Jika
para Supeh, Susiok dan saudara-saudara masih ingin memberi
pelajaran kepadaku, naiklah beramai-ramai, tiga empat orang
juga boleh. Jika kalah, sedikit pun siauwtee tidak merasa
menyesal."
Mendengar perkataan itu yang kedengarannya sombong
sekali, orang-orang dari keempat partai jadi gusarbukan main.
Memangjuga jika satu lawan satu, tiada seorang pun yang
berani naik lagi. Se-sudah mendapat tantangan begitu, tanpa
sungkan-sungkan lagi beberapa orang lantas melompat ke
atas dan mengerubuti Ouw Hui.
Tapi sebenarnya Ouw Hui bukan sombong atau
memandang rendah ilmu silat Hoa-kun-bun. Ia menantang
begitu karena terpaksa. Sebagaimana di-ketahui, ia belum
mahir dalam ilmu silat itu dan ia mengerti, bahwa jika
bertanding satu lawan satu, lama-lama rahasianya akan
terbuka. Dalam pertem-puran beramai-ramai, ia dapat
menggunakan tipu dan orang sukar melihat gerakangerakannya.
Di-samping itu, dengan melayani orang-orang itu
terus-menerus, biarpun memiliki Lweekang yang sangat tinggi,
lambat laun ia akan menjadi lelah. Tapi apa yang paling
penting ialah dilangsungkannya per-tempuran dalam tempo
lama akan mengakibatkan celakanya Ma It Hong.
Dengan mengamuk seperti harimau edan, dalam sekejap ia
sudah merubuhkan sejumlah orang. Dalam pertempuran itu,
murid-murid Thian-cie-pay tidak turut serta, karena mereka
menganggap, bahwa Ouw Hui adalah murid Kie Loosam.
Dalam keempat partai lainnya, orang-orang muda semua
sudah dirubuhkan, sedang pentolan-pentolan yang sudah
berusia lanjut tidak berani sembarangan maju, sebabjika
dijatuhkan, habislah nama besar mereka yang sudah
dipertahankan selama banyak tahun.
Sekonyong-konyong si orang tua she Coa ba-ngun berdiri.
"Thia Suheng," katanya, "Ilmu silatmu memang sangat tinggi
dan aku merasa sangat ka-gum. Akan tetapi menurut
penglihatan mataku yang tua, pukulan-pukulanmu itu agak
berbeda dan ilmu silat dari partai kami...."


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ouw Hui terkejut, sebab memang benar, mes-kipun ia
menggunakan pukulan-pukulan See-gak Hoa-kun-bun, tapi
setiap kali merubuhkan lawan, Lweekang yang digunakan
adalah Lweekang ke-luarga Ouw.
See-gak Hoan-kun-bun adalah semacam ilmu silat Gwa-kee
yang terkenal di seluruh Tiongkok. Dalam tempo yang begitu
pendek, bagaimana ia dapat memahami sampai di dasardasarnya"
Men-dengar perkataan si tua, ia terpaksa
mengambil sikap kepala batu. "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-sengheng-
thia-hee," katanya dengan suara nyaring. "Kata-kata itu
membuktikan, bahwa dalam mempelajari ilmu silat kita,
sesudah berhasil, kepandaian setiap orang agak berbedabeda.
Kalau bukan begitu, cara bagaimana kaum kita bisa
terbagi dari lima buah partai" Dalam ilmu silat, memang tidak
ada per-aturan yang pasti. Kepandaian Thian-cie-pay mungkin
sedikit berbeda dari yang lain." Dengan berkata begitu, ia
bermaksud menarik orang-orang Thian-cie-pay untuk
menyokongnya. Benar saja, sesudah mendengar alasan Ouw
Hui yang merupakan pujian untuk partai mereka, murid-murid
Thian-cie-pay merasa senang sekali.
Si orang she Coa menggeleng-gelengkan kepala. "Thia
Suheng, apakah kau murid Kie Loo-sam?" tanyanya. "Kedua
mataku belum lamur. Meli-hat gerakan-gerakanmu, sepuluh
sembilan kau bukan orang dari kaum kami."
"Coa Supeh, kau salah," jawab Ouw Hui. "Kalau kaum kita
ingin turut merebut kedudukan tinggi dalam pertemuan para
Ciangbunjin dan bertanding dengan partai-partai besar
lainnya, seperti Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan
sebagainya, maka kita harus mengeluarkan kepandaian yang
istimewa, yang lain dari yang lain. Coa Supeh, jika kau
menganggap kepandaian teecu masih rendah, kau merdeka
untuk naik ke sini guna memberi petunjuk."
Orang tua itu kelihatan bersangsi, "Bahwa kaum kita
mempunyai seorang yang berkepandaian begitu tinggi seperti
Thia Suheng, adalah kejadian yang sangat menggirangkan,"
katanya. "Terang-terang aku mengakui, bahwa kepandaianku
masih tidak dapat menandingi kau. Tapi aku tetap bersangsi.
Begini saja: Aku minta kau menjalankan pokok-pokok dari ilmu
silat Hoa-kun-bun.
Beberapa belas saudara kita yang lebih tua akan menjadi
juru pemutus. Jika Lauwtee benar orang dari kaum kita,
akulah yang akan paling dulu memilih kau sebagai
Ciangbunjin."
Ouw Hui terkesiap. Dalam pertempuran, dengan pukulanpukulan
yang cepat, ia masih bisa mengelabui mata orang.
Tapi jika ia mesti menjalankan ilmu silat pokok dari Hoa-kunbun,
to-pengnya pasti akan terlucut. Ia berotak cerdas, tapi
mendengar tuntutan si orang she Coa, ia bergetar.
Selagi ia mengasah otak untuk coba menolak-nya, tiba-tiba
terdengar teriakan di belakang gu-nung-gunungan: "Coa
Supeh! Mengapa kau selalu menyukarkan Thian-cie-pay" Thia
Suheng adalah murid ayahku yang paling utama dan ia sudah
be-lajar enam belas tahun lamanya. Apa Coa Supeh anggap ia
masih belum mampu menjalankan ilmu silat kaum kita?"
Semua orang menengok dan ternyata, bahwa orang yang
berkata begitu dan yang sedang meng-hampiri panggung
bukan lain daripada Kie Siauw Hong, seorang yang sering
mewakili ayahnya dalam berbagai urusan dan pada umumnya
sudah dianggap sebagai tetua Thian-cie-pay.
Begitu tiba di depan panggung, Siauw Hong mengenjot
badan dan hinggap di atas papan dengan gerakan yang indah.
Sambil merangkap kedua ta-ngannya, ia berkata: "Ayahku
menutup pintu dan mengasingkan diri dan telah menurunkan
semua kepandaiannya kepada Thia Suko. Enam belas ta-hun
lamanya Thia Suko melatih diri dan kepan-daiannnya sepuluh
kali lebih tinggi dari pada aku. Kalian sudah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri dan aku boleh tak usah bicara
panjang-panjang."
Mendengar keterangan itu, kesangsian semua orang lantas
saja lenyap. Mereka tahu, bahwa Kie Loosam mempunyai adat
aneh dan memang sangat mungkin, diam-diam ia mengajar
seorang murid berbakat untuk dimajukan secara tidak diduga
juga. Mereka mengenal Kie Siauw Hong sebagai seorang yang
tidak mau kalah terhadap siapa pun jua dan bahwa sekarang
pemuda itu mengaku kalah lebih-lebih menghilangkan
kesangsian orang.
Baru saja si orang she Coa mau membuka mulut, Kie Siauw
Hong sudah mendahului dengan suara nyaring: "Jika Coa
Supeh ingin lihat ilmu silat Thian-cie-pay, biarlah aku yang
mewakili Thia Su-heng." Sebelum si tua keburu menjawab, ia
sudah mulai bersilat. Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan, Kimpeng
Tian-cie Teng-tiong-can... sejurus demi sejurus... kedua
tangannya memperlihatkan dua belas macam Chiu-hoat
(pukulan tangan), setiap ge-rakannya teguh mantap bagaikan
gunung dan lincah gesit seperti sambaran elang atau larinya
kelinci. Para hadirin adalah anggota-anggota See-gak Hoakun-
bun yang mengerti ilmu silat itu, akan tetapi, mereka
semua mengawasi silat Kie Siauw Hong dengan rasa kagum.
Bahkan pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut
manggut-manggutkan kepala-nya dan memberi pujian tinggi.
Begitu lekas Siauw Hong berhenti bersilat, tam-pik sorak
gemuruh terdengar di seluruh lapangan.
Munculnya Siauw Hong sangat mengherankan hati Ouw Hui
karena ia tak tahu dengan jalan apa Leng So sudah
menaklukkan tokoh Thian-cie-pay itu, yang sudah menolong
dirinya dari keadaan terjepit.
Sehabis Siauw Hong jalankan ilmu silatnya, ia juga memuji
di dalam hati: "See-gak Hoa-kun-bun benar hebat. Jika ia
memperkuat ilmunya dengan tenaga Lweekang, ia bisa
menjadi seorang ahli silat yang sungguh-sungguh lihay."
Tapi begitu selesai bersilat, napas Siauw Hong tersengalsengal
dan badannya agak bergemetaran, seperti orangyang
belum sembuh dari sakitnya atau baru saja mendapat luka
berat dan keringat mem-basahi bajunya. Itu semua bukan
menunjukkan tan-da-tanda dari seorang yang berkepandaian
tinggi. Untung juga, kecuali Ouw Hui yang berdiri dekat. para
hadirin yang duduk di bawah panggung tidak lihat gejala itu.
Sesudah menentramkan semangatnya, Siauw Hong berkata
pula: "Jika di antara Supeh, Susiok dan saudara-saudara ada
yang masih ingin menjajal kepandaian Suko, naiklah."
Sesudah mengulangi pertanyaan itu tiga kali, tiada seorang
pun yang melompat ke atas.
Murid-murid Thian-cie-pay lantas saja berso-rak-sorai dan
berteriak-teriak: "Kionghi (selamat)
Thia Suko menjadi Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun!"
Orang-orang dari empat partai lainnya lalu turut bersorak dan
memberi selamat, sehingga de-ngan demikian, Ouw Hui
terpilih sebagai pemimpin besar dari See-gak Hoa-kun-bun.
Kie Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan berkata:
"Kionghi! Kionghi!" Waktu membalas hormat, Ouw Hui
mendapat kenyataan, bahwa pe-muda itu mengawasinya
dengan sorot mata ber-gusar. Tapi karena sedang memikirkan
keselamatan Ma It Hong, tanpa menggubris itu semua, ia
lantas saja berkata: "Kie Sutee, coba kau minta disediakan
sebuah kamar supaya kedua Sumoay bisa mengaso." Siauw
Hong mengangguk dan lalu melompat turun ke bawah. Heran
sungguh, waktu hinggap di tanah, ia terhuyung, sehingga
hampir-hampir jatuh terguling.
Ouw Hui segera maju sampai ke pinggir pang-gung dan
seraya menyoja, ia berkata: "Para Supeh, Susiok dan saudarasaudara
tentu sudah sangat letih dan sekarang kita bubar saja
untuk mengaso. Sebentar malam kita berunding supaya nama
See-gak Hoa-kun-bun bisa diangkat naik dalam pertemuan
para Ciangbunjin." Apa yang dikatakannya keluar dari hati
yang jujur. Ia merasa sangat berterima kasih kepada partai
itu, karena tanpa adanya pe-milihan Ciangbunjin Hoa-kun-bun,
bukan saja jiwa Ma It Hong sukar dapat ditolong, tapi jiwanya
sendiri bersama Leng So pun bisa melayang.
Begitu mendengar perkataan Ouw Hui, semua orang lantas
saja bangun berdiri dan bubar sambil beromong-omong
dengan kawan-kawan sendiri ten-tang kelihayan Ouw Hui,
keanehan Kie Loosam, kepandaian Kie Siauw Hong dan
sebagainya. Mereka semua merasa puas dan bergirang.
Beberapa Cianpwee menghampiri Ouw Hui untuk diajak
omong-omong, tapi pemuda itu buru-buru meng-angkat
kedua tangannya dan lalu mengikuti Kie Siauw Hong masuk ke
dalam gedung. Gedung itu adalah miliknya seorang Boan yang menjadi
anggota Hoa-kun-bun. Tak usah dikatakan lagi, tuan rumah
berlaku sangat hormat kepada Ciangbunjin baru itu. Ouw Hui
tetap mengenakan topengnya dan sesudah berada dalam
sebuah kamar bersama Siauw Hong, Leng So dan It Hong,
barulah ia mencopotkan kain kuning itu. "Kie Toako, ba-nyak
terima kasih atas bantuanmu," katanya seraya menyoja.
"Sesudah urusan beres, aku akan segera menyerahkan
kedudukan Ciangbunjin ini kepada-mu."
Siauw Hong tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara
di hidung. Dengan penuh kekhawatiran, Ouw Hui segera menengok
Ma It Hong. Paras muka nyonya itu yang sudah pingsan,
berbaring hitam dan napasnya lemah sekali. Buru-buru Leng
So merebahkannya di atas pembaringan dan lalu
mengeluarkan sejumlah ja-rum emas dan tanpa membuka
pakaian It Hong. lalu menancapkannya di tiga belas jalanan
darah. Setiap buntut jarum dibungkus dengan kapas dan si nona
melakukan tugasnya dengan paras te-nang, sehingga Ouw Hui
bernapas lebih lega.
Selang kira-kira seminuman teh, darah hitam mulai
mengalir keluar dari buntut jarum dan meresap di kapas itu.
Ternyata, jarum-jarum itu ber-lubang di tengah-tengahnya
dan darah mengandung racun keluar dari lubang itu.
Paras muka Leng So kelihatan girang dan sam-bil
tersenyum ia mengeluarkan beberapa butir yo-wan biru dari
peles obat. Sambil menyerahkan pel itu kepada Siauw Hong,
ia berkata: "Kie Toako, pergilah kau mengaso dalam
kamarmu. Sesudah menelan sepuluh butir yo-san, semua
racun yang mengeram dalam tubuhmu akan hilang." Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, Siauw Hong menyam-buti pel itu
dan lalu berjalan ke luar.
Sekarang baru Ouw Hui mengerti, bahwa si adik telah
menggunakan racun untuk memaksa pemuda itu. Ia tertawa
dan berkata: "Dengan menggunakan racun, kau sudah
berbuat kebaikan untuk sesama manusia. Dalam hal ini,
mungkin sekali kau malah lebih menang dari pada gurumu."
Leng So hanya tersenyum. Sebagaimana diketa hui, ia
sebenarnya bukan semata-mata menggunakan racun, tapi
sudah menaklukkannya dengan mem-buang budi kepada
pemuda itu waktu dia sedang menghadapi bahaya. Sesudah
itu, barulah ia menggunakan sedikit obat yang menimbulkan
rasa gatal, tapi tidak berbahaya. Yowan yang barusan diberikannya
kepada Siauw Hong juga bukan obat pe-munah racun,
tapi hanya pel untuk menyegarkan badan. Tapi Siauw Hong
sendiri menduga, bahwa rasa gatal itu adalah akibat racun
yangsangat hebat dan oleh karenanya, ia tidak berani
membantah segala perintah si nona.
Sambil tersenyum, Leng So berkata dalam hati-nya: "Aku
sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa selama hidup, aku tak
akan menggunakan racun untuk mencelakakan manusia,
supaya orang tahu, bahwa biarpun Tok-chiu Yo-ong lihay luar
biasa, ia belum pernah melakukan perbuatan berdosa."
Dengan menggunakan jepitan, Leng So lalu menukar kapas
yang sudah berwarna hitam. "Toa-koko," bisiknya. "Kau sudah
letih sekali, menga-solah. Biar aku saja yang mengobati Ma
Kouwnio. Legakanlah hatimu."
Ouw Hui memang sudah cape sekali dan tanpa sungkansungkan,
ia segera merebahkan diri di atas dipan. "Ciang-bun
Loo-suhu, aku harap kau suka niemperhatikan sedikit
pesananku," kata Leng So. "Selama dua belas jam, Ma
Kouwnio tidak boleh diganggu dan ia pun tidak boleh bicara.
Jika hawa di dalam tubuhnya buyar, maka racun tidak akan
hisa keluar seanteronya. Kalau sedikit saja keting-galan dalam
badannya, semua ilmu silat yang di-milikinya akan musnah
seluruhnya."
"Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun yang bernama Thia
Leng Ouw menerima baik perintah Thay-siang Ciangbunjin
Thia Leng So," kata sang kakak sembari tertawa. "Semua
perintah akan di-perhatikan betul dan tidak akan dilanggar."
(Thay-siang berarti maha).
Si nona tertawa geli. "Apa benar aku menjadi Thay-siang
Ciangbunjin?" tanyanya. "Bagaimana dengan nona.... Ia tidak
meneruskan perkataannya dan segera membungkuk untuk
melihat keadaan Ma It Hong.
Selang beberapa saat, Leng So menengok. Ouw Hui belum
pulas, ia mengawasi jendela dengan mata mendelong.
"Toakoko, kau lagi pikir apa?" tanyanya.
"Aku sedang memikirkan pertemuan besok dengan orangorang
Hoa-kun-bun," jawabnya. "Begitu melihat wajahku,
mereka tentu akan curiga. Usiaku yang masih terlalu muda
tidak cocok untuk menjadi suheng Kie Siauw Hong. Alasan apa
yang harus diberikan olehku"
Untung juga, Ma Kouwnio hanya memerlukan tempo dua
belas jam. Hatiku merasa sangat tidak enak, tapi karena
terpaksa, paling baik... paling baik...."
"Paling baik kabur dengan melompat tembok," kata Leng
So sambil tertawa.
"Benar!" kata sang kakak seraya tersenyum. "Kita masuk
dengan melompati tembok dan keluar pun dengan melompati
tembok." Si nona mengawasi muka Ouw Hui dan seperti orang yang
sudah mengambil serupa keputusan, ia berkata: "Begitu
sajalah." "Apa?" menegas Ouw Hui.
"Kita pernah menyamar dan sekarang biar kita menyamar
lagi," jawabnya. "Aku akan memasang jenggot (janggut) pada
dagumu dan memberi sedikit warna pada jenggot itu. Aku
tanggung usiamu akan kelihatan lebih tua dua puluh tahun.
Dengan memegang peranan sebagai kakak seperguruan Kie
Siauw Hong, kau harus berusia kira-kira empat puluh tahun."
Ouw Hui jadi girang bukan main. "Bagus!" kata-nya. "Yang


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat jengkel olehku adalah soal ini. Sesudah bermusuhan
dengan Hok Kong An, sukar sekali aku dapat menghadiri
pertemuan para Ciang-bunjin. Jie-moay, jika kau dapat
mengubah paras mukaku sampai begitu rupa, sehingga orang
tak akan dapat mengenalinya lagi wajahku yang asli, maka
sebagai Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun, dapatlah aku turut
serta dalam pertemuan yang ramai itu."
"Perlu apa Toako menghadiri pertemuan itu?" tanya si adik.
"Asal kita bisa mempertahankan diri di tempat ini sampai
besok, sampai Ma Kouwnio terlolos dari bahaya, kita sudah
harus merasa puas. Perlu apa Toako menempuh bahaya?"
Tapi Ouw Hui yang semangatnya sedang meluap-luap
lantas saja bertanya: "Jie-moay, jawab pertanyaanku: Apakah
sesudah mengenakan alat penyamaran, orang masih bisa
kenali aku atau tidak?"
"Apa sukarnya menyamar sebagai seorang yang lebih tua?"
si adik balas tanya. "Yang sulit adalah gerak-gerik dan cara
bicara. Cara-caranya orang tua bereda dengan orang muda.
Dalam hal ini, Toako harus dapat menyesuaikan diri."
"Kakakmu akan berusaha sedapat mungkin," kata Ouw Hui.
"Kita hanya perlu mengabui mereka untuk sementara waktu."
"Baiklah, mari kita coba-coba," kata Leng So. "Toako, jika
kau ingin juga menyaksikan pertemuan para Ciangbunjin,
bolehlah dan aku akan mengikut dengan menyamar sebagai
seorang nenek."
Ouw Hui menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Bagus, Jie-moay,
aku senang rnendengar perkataan-mu," katanya. "Memang
juga kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang begitu
baik." "Sst! Perlahan sedikit," kata si adik sambil menaruh jari
tangan di mulutnya.
Ma It Hong kelihatan bergerak sedikit, untung juga ia tidak
tersadar. "Aku benar gila," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.
Leng So lantas saja mengeluarkan bungkusan alat-alat
menjahit dan mengambil gunting yang lalu digunakan untuk
menggunting secekal rambutnya. Sesudah itu ia mengeluarkan
semacam obat bubuk, menaruhnya ke dalam semangkok air
teh dan lalu merendam rambutnya di dalam air itu. "Kau
menga-solah sebentar," katanya. "Sesudah rambutku betubah
kaku seperti jenggot, aku akan panggil kau"
Ouw Hui segera meramkan kedua matanya. Mengingat
kepintaran matanya. Mengingat kepin-taran adik angkatnya,
hatinya girang bereampur syukur. Karena terlalu capai, tak
lama kemudian ia pulas, tapi sesudah mengalami banyak
ketegangan di siang hari, dalam pulasnya ia mendapat ruparupa
impian. Ia mimpi Ma It Hong mati dalam keadaan
mengenaskan, ia mimpi menyatroni Iagi gedung Hok Kong An
untuk membalas sakit hati, mimpi ditangkap oleh para Wiesu....
Tiba-tiba ia dengar suara orang memanggil di kupingnya:
"Toako, kau mimpi apa?" Ia melompat bangun dan Leng So
berdiri di depannya sambil tersenyum. "Jie-moay, pergi
mengaso, biar aku yang mengawasi Ma Kouwnio," katanya
dengan suara kasihan.
"Sebelum memasang alat penyamaran di muka-mu, hatiku
belum enak," kata si adik yang lalu mengambil rambutnya dari
dalam mangkok, selcni-bar demi selembar, dan memasangnya
di bawah dagu Ouw Hui dengan menggunakan semacam lem.
Pekerjaan itu meminta tempo dan kesabaran. Ber selang kirakira
satu jam, sesudah sinar matahari masuk dari jendela,
barulah ia selesai. Ouw Hui segera menghampiri kaca dan
begitu lihat mukanya, ia tertawa. Bahkan ia sendiri masih tak
bisa mengenali Iagi wajahnya yang berjenggot dan paras
mukanya yang kelihatan terlebih angker. "Jie-moay, aku
senang sekali melihat mukaku ini," katanya. "Di kemudian hari
aku tentu akan memelihara jenggot."
Sesudah tak tidur semalam suntuk, Leng So tak tahan Iagi.
Ia menungkurup di meja dan lantas saja pulas.
Dengan rasa terharu, Ouw Hui mengambil seli-mut dan
menyelimuti tubuh adiknya yang kemudian dipondong dan
direbahkan di atas dipan. Kemudian, sesudah memakai Iagi
topeng kain kuning, ia pergi ke kamar Kie Siauw Hong.
"Kie-heng, kau sudah bangun?" ia memanggil.
"Siapa" Ada urusan apa?" tanya Siauw Hong.
Ouw Hui mendorong pintu dan bertindak masuk. Siauw
Hong kaget dan buru-buru bangun berdiri.
"Kie-heng, kedatanganku ini adalah untuk meng-haturkan
maaf," kata Ouw Hui.
Siauw Hong tidak menjawab, tapi pada kedua matanya
terlihat sorot penasaran dan kegusaran.
Sambil mengawasi pemuda itu, Ouw Hui ber-kata pula:
"Ada suatu hal yang ingin kuterangkan kepadamu. Siauwtee
sebenarnya tidak berniat untuk merebut Ciangbunjin dari Seegak
Hoa-kun-bun. Hanyalah karena terjadinya suatu kejadian
luar biasa dan sebab tak ada lain jalan Iagi, maka mau tak
mau, siauwtee sudah terpaksa merusak urusan Kie-heng."
Sesudah berkata begitu, terang-terangan ia menceriterakan
halnya Ma It Hong dan segala pengalamannya, dari kepala
sampai di bun-tut. Hanya suatu hal yang disembunyikannya,
yaitu nama Hok Kong An. la tidak memberitahukan, siapa
yang meracuni Ma It Hong dan siapa yang mau menangkap
mereka. Mendengar penuturan Ouw Hui, perlahan-la-han paras
muka Siauw Hong berubah sabar. Be-berapa kali ia
mengeluarkan suara "hm", tapi tidak mengatakan suatu apa.
Sehabis menutur, dengan suara sungguh-sung-guh Ouw
Hui berkata: "Kie-heng, perkataan seorang laki-laki berat
bagaikan gunung. Jika dalam tempo sepuluh hari, aku belum
menyerahkan ke-dudukan Ciangbunjin kepadamu, biarlah aku
binasa di bawah senjata tajam dan sesudah binasa, biarlah
aku dicaci oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kangouw."
Dalam Rimba Persilatan, soal mati dianggap sebagai soal
remah. Akan tetapi, dicaci oleh orang-orang gagah adalah
kejadian yang dipandang paling memalukan. Mendengar
sumpah Ouw Hui yang sangat berat itu, Siauw Hong lantas
saja berkata: "Kedudukan Ciangbunjin itu tak usah kau yang
menyerahkannya. Aku tahu, kepandaianmu sepuluh kali lipat
lebih tinggi dari pada aku. Tapi kau bukan orang partai kami
dan kau tak dapat menjadi Ciangbunjin."
"Benar," kata Ouw Hui. "Sesudah pertemuan para
Ciangbunjin berakhir, aku akan mengakui segala apa dan akan
meminta maaf di hadapan para tetua dari partaimu. Kemudian
kalian dapat memilih pula seorang Ciangbunjin dengan jalan
pie-bu (adu silat). Apa kau setuju dengan rencanaku itu?"
Mendengar itu, Siauw Hong senang. Ia meng-anggap,
bahwa dalam Hoa-kun-bun, tiada seorang-pun yang dapat
menandingi kepandaiannya. Merebut Ciangbunjin dalam
sebuah pertandingan terbuka, banyak lebih terhormat dari
pada menerimanya sebagai hadiah. Ia segera mengangguk
dan berkata: "Aku setuju. Tapi Thia Toako...."
Ouw Hui tertawa dan memutuskan perkataan orang: "Aku
she Ouw. Orang yang she Thia adalah adik angkatku." Seraya
berkata begitu, ia membuka topengnya.
Melihat jenggot yang hitam-kasar dan paras muka yang
angker, Siauw Hong merasa kagum. "Ouw Toako, beberapa
Cianpwee dari kaum kami sangat sukar diajak bicara,"
katanya. "Kalau nanti kau mengakui kesalahanmu, aku
khawatir bakal timbul gelombang hebat. Walaupun benar kau
memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi, tenaga satu orang
sukar bisa melawan tenaga banyak orang. Dalam urusan
besar, orang-orang See-gak Hoa-kun-bun selamanya bersatu
padu." Ouw Hui tertawa. "Hal itu sudah dipikir oleh-ku," katanya.
"Dalam pertemuan para Ciangbunjin, aku akan berusaha
sedapat mungkin untuk merebut kedudukan tertinggi, supaya
dengan pahala aku dapat menebus dosa."
Siauw Hong manggut-manggutkan kepalanya dan
kemudian menghela napas. "Sungguh sayang, karena
mengeramnya racun hebat dalam tubuhku, aku tak berani
menggunakan terlalu banyak tenaga," katanya dengan suara
menyesal. "Kalau tidak begitu, aku dapat menjalankan ilmu
silat Hoa-kun-bun untuk diperlihatkan kepada Ouw Toako,
supaya dalam pertempuran nanti, rahasia Toako tak sampai
terbuka." Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. la bangun berdiri dan
menyoja sambil membungkuk. "Kie-heng, aku mewakili Giemoay
untuk menghaturkan maaf kepadamu," katanya.
Siauw Hong membalas hormat dengan perasaan
mendongkol. "Kurang ajar! Aku kena racun, bukan lelucon," katanya di
dalam hati. Dalam kemendongkolannya, parasnya lantas saja
berubah. "Kie-heng, boleh aku lihat lukamu?" tanya Ouw Hui.
Pemuda itu segera menggulung tangan bajunya dan pada
lengannya terdapat bengkak sebesar telur itik yang berwarna
hitam, sedang di bagian yang terluka mengembang darah
hitam. "Dalam menggunakan obat, Jie-moay sungguh-sungguh
jarang tandingan," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Jika aku
mendapat luka begitu, aku pun tak akan enak makan dan
enak tidur." la tersenyum dan bertanya pula: "Bagaimana
dirasakan olehmu?"
"Baal, bebas dari rasa sakit," jawabnya.
Sekarang Ouw Hui baru tahu, bahwa adiknya telah
menggunakan obat yang menimbulkan rasa baal. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia men-cekal lengan Siauw Hong
dan mengisap luka itu.
Siauw Hong kaget tak kepalang. "Hei! Apa kau mau mati?"
teriaknya. Ia coba memberontak, tapi cekalan Ouw Hui keras
bagaikan jepitan besi.
Sesudah mengisap beberapa kali dan mem-buang ludah,
Ouw Hui tertawa bekakakan: "Kie-heng jangan takut, racun itu
racun palsu," katanya.
"Apa?" menegas Siauw Hong.
"Dengan Kie-heng, adikku sama sekali tidak mempunyai
ganjelan," jawabnya. "Tak nanti ia men-celakakan manusia
dengan sembarangan. Ia hanya menggunakan obat baal.
Lihatlah, aku mengisap tanpa takut-takut. Legakanlah
hatimu." Pemuda itu kaget bereampur girang. Tapi dalam
kegirangan itu masih terdapat kesangsian. Sambil mengawasi
Ouw Hui, ia berkata: "Ouw-heng... kau... kau bicara begitu...
apakah kau khawatir aku tidak akan menurut perintahmu?"
"Di dalam pergaulan, seorang lelaki berpegang kepada
kepereayaan," jawabnya dengan suara sung-guh-sungguh.
"Sesudah mendapat kenyataan, bahwa Kie-heng adalah
seorang yang mempunyai pri-budi luhur, aku merasa tak
pantas jika membiarkan kau khawatir lebih lama lagi."
Bukan main girangnya Siauw Hong. Sambil menepuk meja,
ia berkata: "Ouw-heng, mulai detik ini, kau adalah sahabatku.
Andaikata kau berdosa terhadap kaisar, sedikit pun aku tak
akan ragu-ragu untuk memberi bantuan."
"Terima kasih," kata Ouw Hui. "Orang yang dilanggar
olehku, biarpun bukan kaisar, mempunyai kekuasan yang
tidak banyak bedanya dari pada kaisar sendiri. Kie-heng,
dalam silatmu semalam terdapat satu pukulan yang tidak
begitu dimengerti olehku. Kau memutar tubuh, mengangkat
lutut, memukul dengan telapak tangan dan kemudian
melompat maju. Waktu melompat, sedang badanmu berada di
tengah udara, mengapa arah gerakanmu berubah sedikit?"
Pukulan yang dimaksudkan Ouw Hui adalah Ya-ma Hui-siang
Coan-tek-heng (Kuda liar pulang ke kampung halaman),
serupa pukulan yang sangat sulit.
Mendengar pertanyaan Ouw Hui, Siauw Hong terkesiap. la
tak nyana, sahabat baru itu mempunyai mata yang begitu
tajam. Memang juga, waktu melompat, tiba-tiba ia ingat racun
yang mengeram dalam tubuhnya dan dalam jengkelnya,
perhatian-nya terpecah dan gerakannya agak berubah. "Ouwheng,
aku merasa takluk akan ketajaman matamu," katanya
dengan suara kagum. "Memang benar pukulan itu tidak begitu
tepat dijalankannya." Sehabis berkata begitu, ia lantas saja
mengulangi Ya-ma Hui-siang Coan-tek-heng.
Ouw Hui manggut-manggutkan kepala. "Begitu baru
benar," katanya. "Kalau semalam Kie-heng berhadapan
dengan musuh, kesalahanmu itu dapat berakibat jelek."
Sesudah tahu, bahwa dirinya tidak kena racun, semangat
Kie Siauw Hong terbangun dan ia segera jalankan, dari
bermula sampai di akhirnya, dua belas rupa pukulan See-gak
Hoa-kun-bun. Ouw Hui memperhatihan dengan seksama dan
biarpun dalam tempo cepat ia tak dapat ingat semua pukulanpukulan
itu, tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat
menangkap intisari dari ilmu silat itu. "Ilmu silat partaimu
sangat dalam dan jika dipelajari serta diselidiki lebih lanjut,
kemungkinan-kemungkinan-nya tak ada batasnya," katanya.
"Menurut pen-dapatku, jika seseorang bisa menyelami sampai
ke dasar-dasarnya satu saja dari dua belas rupa ilmu pukulan
itu, ia sudah bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan."
Mendengar pujian itu, senang sekali hati Kie Siauw Hong.
"Benar," katanya. "Dalam kaum kami terdapat kata-kata yang
berbunyi begini: 'Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thianhee.'
Empat pu-luh delapan pukulan itu terbagi seperti berikut:
Delapan belas pukulan bagian pertama, dua belas pukulan
bagian atas dan delapan belas pukulan bagian menggunakan
senjata. Dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanya beberapa orang
saja yang paham akan empat puluh delapan rupa pukulan itu."
Semakin berunding tentang ilmu silat, dengan disertai
latihan, mereka merasa semakin cocok dan tanpa merasa,
mereka sudah beromong-omong sampai tengah hari.
Beberapa kali tuan rumah memerintahkan pelayan pergi
mengundang Ouw Hui untuk bersantap, akan tetapi, karena
melihat kedua tetamu itu sedang beromong-omong sambil
berlatih silat, pelayan tersebut tidak berani membuka mulut.
Selagi Kie Siauw Hong menyapu dengan kakinya sambil
melompat tinggi, tiba-tiba terdengar seruan: "Sungguh indah
Hong-coan Pek-lek Siang-Kie-thian (Angin memutar, geledek
menyambar naik sampai di sembilan lapisan langit) itu!" Ouw
Hui menengok dan melihat, bahwa orang yang memuji adalah
si kakek she Coa. Buru-buru ia merangkap kedua tangannya
dan lalu menggapai sambil ter-tawa.
Orang tua she Coa itu, yang bernama Wie, mempunyai


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedudukan tinggi dalam See-gak Hoa-kun-bun. Melihat Ouw
Hui sudah melepaskan to-pengnya, dengan sorot mata tajam
ia mengawasi muka pemuda itu yang penuh jenggot kasar dan
kelihatannya angker sekali. "Aku ingin melaporkan kepada
Ciangbun, bahwa Hok Thayswee telah mengirim surat,"
katanya. Ouw Hui terkejut, tapi dengan paras tidak berubah, ia
menanya: "Surat apa?"
"Surat itu dialamatkan kepadaku dan menanya-kan soal
pemilihan Ciangbunjin kita," menerangkan Coa Wie. "Di dalam
surat dilampirkan empat lembar undangan dengan
permintaan, supaya pada harian Tiong-chiu, Ciangbunjin kita
menghadiri Thian-hee Ciangbunjin Tayhwee dengan mengajak
tiga orang murid."
Ouw Hui lega hatinya. Semula ia menduga rahasianya
bocor dan Hok Kong An menulis surat untuk membekuk
dirinya. Ia adalah seorang yang hati-hati dan lalu mengambil
surat itu dari tangan Coa Wie dan membacanya beberapa kali.
"Kalau begitu, biarlah Coa Supeh dan Kie Sutee yang
mengikuti aku," katanya. "Bersama Sumoayku, kita berempat
menghadiri pertemuan para Ciangbunjin itu." Coa Wie dan Kie
Siauw Hong girang sekali. Mereka menghaturkan terima kasih
berulang-ulang untuk kehormatan yang diberikannya.
Sesudah mereka selesai bicara, seorang pelayan yang
menunggu di pinggiran, segera mendekati dan berkata: "Thiaya,
Coa-ya dan Kie-ya diundang untuk bersantap."
Ouw Hui manggutkan kepalanya, tapi baru saja ia hendak
memanggil Leng So, tiba-tiba terdengar suara si adik: "Toako,
coba ke mari!"
"Jie-wie pergi duluan, aku akan menyusul," kata Ouw Hui
yang buru-buru pergi ke kamar Leng So, karena mendengar
nada suara kebingungan dari adiknya. Begitu menyingkap
tirai, ia dengar suara Ma It Hong: "Mana anakku" Mana.... Aku
ingin bertemu dengan mereka...."
Alis Leng So berkerut: "Sedari tadi ia menyebut-nyebut
kedua puteranya," bisiknya. "Ia bisa celaka."
"Kedua anak itu berada dalam tangan perem-puan kejam,"
kata Ouw Hui. "Untuk merebutnya, kita tidak boleh bertindak
secara ceroboh."
"Ma Kouwnio tidak sabaran," kata pula Leng So. "Jika ia
berteriak-teriak, racun yang masih mengeram dalam tubuhnya
dapat mengambil jiwa-nya...."
Ouw Hui berpikir sejenak dan kemudian berkata: "Coba aku
membujuk dia."
"Menurut penglihatan, Ma Kouwnio was-was dan ia sukar
dapat disadarkan dengan bujukan," kata si adik. "Jika ia
bersedih, racun tidak bisa keluar seanteronya dari badannya
dan obatku tak akan bisa masuk ke semua bagian tubuhnya."
Ouw Hui bingung bukan main, ia tak dapat lihat jalan yang
baik. Selang beberapa saat, ia berkata: "Jalan satu-satunya
adalah menyatroni lagi gedung Hok Kong An dan coba
merebut kedua anak itu dengan kekerasan. Tapi paling cepat
kita harus menunggu sampai malam ini."
Leng So terkesiap. "Menyatroni lagi gedung Hok Kong An?"
ia menegaskan. "Apa kau mau cari mati?"
Sang kakak tertawa getir. Ia bukan tidak tahu, bahwa
sesudah terjadi peristiwa semalam, gedung itu pasti dijaga
luar biasa keras. Menerjang masuk ke gedung itu dapat
dikatakan suatu kemustahilan Kalau ia mempunyai sejumlah
kawan yang berke pandaian tinggi, mungkin juga masih bisa
berhasil. Tapi sekarang, ia hanya seorang diri dan ditambah
dengan adiknya serta Kie Siauw Hong, paling ba-nyak hanya
tiga orang, yang sudah pasti tidak akan bisa berhasil.
Untuk beberapa lama, ia menundukkan kepala dan
mengasah otak. Sementara itu, Ma It Hong terus menerus
memanggil-manggil puteranya. Ia mengerutkan alis dan
berkata dengan suara kha-watir: "Jie-moay, bagaimana
baiknya?" "Jika ia terus berada dalam keadaan begini, tiga had lagi
racun yang masih mengeram dalam tubuh-nya akan
mengamuk," jawabnya. "Seorang manusia hanya bisa
berusaha sedapat mungkin. Manakala kita gagal menolong
jiwanya... ya! apa mau dikata" Itulah sudah nasib, kita harus
menunduk terhadap takdir."
"Mari kita bersantap dulu, sebentar baru kita berdamai
lagi," kata Ouw Hui.
Sesudah makan, Leng So memberikan obat pula kepada It
Hong. Sekarang nyonya itu memanggil-manggil Hok Kong An:
"Kong-ko.... Kong-ko... mengapa kau tidak meladeni aku"
Kamu membawa anakku... di mana adanya mereka" Ayo...
bawa ke mari...."
Ouw Hui gusar bereampur duka, sehingga paras mukanya
merah padam. Leng So menarik tangan kakaknya dan
mengajaknya ke sebuah kamar yang kecil. "Toako," katanya
dengan paras muka sung-guh-sungguh. "Apakah aku pernah
bicara main-main denganmu?"
Ouw Hui heran dan sambil mengawasi adiknya, ia
menggelengkan kepala. "Tidak, belum pernah," jawabnya.
"Baiklah," kata si adik. "Sekarang aku ingin
memberitahukan suatu hal kepadamu. Dengarlah! Jika kau
pergi ke gedung Hok Kong An untuk merebut kedua anaknya
Ma Kouwnio, maka kau harus mengundang lain tabib dan aku
sendiri akan segera berangkat pulang ke Selatan."
Ouw Hui terkejut, tapi belum sempat ia bicara, adiknya
sudah meninggalkan kamar itu. Ia mengerti, bahwa si nona
mengeluarkan ancaman karena kha-watir ia menyatroni
gedung Hok Kong An dan mengantarkan jiwa. Akan tetapi,
apa yang sudah terjadi menyentuh jiwa ksatrianya. Di depan
mata-nya kembali terbayang kejadian pada dahulu hari, di
Siang-kee-po, pada waktu Ma It Hong berusaha untuk
menolong dirinya yang sedang digantung dan dipukuli. Ada
budi tidak dibalas, bukan perbuatan laki-laki sejati. Ia
sebenarnya sudah mengambil keputusan untuk menempuh
bahaya, akan tetapi, tiba-tiba Leng So mengeluarkan ancaman
itu. Jika ia menyatroni gedung Hok Kong An dan si adik benarbenar
meninggalkannya, jiwa Ma It Hong tetap sukar ditolong.
Dengan pikiran kusut dan hati bersangsi, ia berjalan keluar
sambil menundukkan kepala. Ia berjalan terus tanpa
juntrungan. Tanpa merasa, kedua kakinya membawanya ke
dekat gedung Hok Kong An. Ia mendapat kenyataan, bahwa
setiap lima sampai sepuluh tindak, dijaga oleh dua orang, Wiesu
yang bersenjata lengkap. Penjagaan adalah sedemikian
keras, sehingga, jangankan masuk, sedangkan mendekati saja
gedung itu orang bisa di-tangkap.
Ouw Hui tidak berani berdiam iama-lama di situ. Dengan
pikiran bingung, ia berjalan terus dan sesudah membelok di
dua tikungan, ia bertemu dengan sebuah ciu-lauw (restoran
berloteng). Ia masuk dan minta makanan kecil serta arak
untuk menghibur hatinya yang berduka. Baru saja men-ceguk
beberapa gelas, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di
ruangan sebelah. "Ong Toako, cu-kuplah, kita tidak boleh
minum terlalu banyak," kata seorang. "Sebentar kita harus
bertugas dan jika muka merah lantaran arak, kita bisa
mendapat celaan."
Seorang lain tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Baiklah. Kita minum lagi tiga cawan dan sesudah itu, kita
boleh lantas makan nasi."
Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Ong
Tiat Gok. "Hm... dalam dunia ini memang sering terjadi
kejadian kebetulan," katanya di dalam hati. "Tak dinyana, aku
bisa bertemu de-ngannya di tempat ini."
"Ong Toako," kata pula orang yang pertama. "Kau
mengatakan, bahwa kau kenal Ouw Hui. Ma-nusia bagaimana
sih dia?" Mendengar orang menyebut namanya, Ouw Hui terkejut
dan lalu memasang kuping terlebih terang. Tiat Gok menghela
napas panjang dan berkata dengan suara perlahan: "Ouw Hui
benar-benar seorang luar biasa. Dalam usia yang masih begitu
muda, dia bukan saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi,
tapi juga sangat pandai bergaul, se hingga tidaklah salah jika
dikatakan, bahwa ia adalah seorang gagah. Tapi mengapa dia
bermusuhan dengan Hok Thayswee dan semalam dia masuk
ke gedung Thayswee untuk melakukan pembunuhan?"
Kawannya tertawa. "Ong Toako, andaikata sesudah makan
kita bertemu dengan Ouw Hui dan berhasil membekuknya,
kita pasti mendapat hadiah yang berharga," katanya.
Ong Tiat Gok tertawa bekakakan. "Ha-ha-ha! Enak sungguh
kau menggoyang lidah!?" katanya dengan suara menjengeki.
"Orang yang berkepan-daian seperti Thio Hek, dua puluh Thio
Hek masih belum tentu dapat menangkapnya."
Thio Hek mendongkol. "Dan kau?" tanyanya. "Berapa
banyak Ong Tiat Gok baru bisa membekuknya?"
"Aku lebih-lebih lagi, empat puluh Ong Tiat Gok tak usah
harap bisa menyentuh tubuhnya." jawabnya.
"Apa dia memiliki tiga kepala enam tangan, sehingga kau
jadi begitu jeri?" tanya Thio Hek sambil tertawa dingin.
Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba saja Ouw Hui
mendapat serupa ingatan dan tanpa memikir panjang-panjang
lagi, ia segera pergi ke ruangan sebelah. "Ong Toako!"
serunya. "Sungguh kebetulan, kau pun berada di sini,
bersama-sama Thio Toako. Siauw Jie" Siauw Jie! Bawa
makanan dan arakku ke mari."
Melihat masuknya Ouw Hui, Tiat Giok dan Thio Hek
terkesiap. Mereka tak kenal orang yang berjenggot itu, tapi
samar-samar Tiat Gok merasa, bahwa suara si jenggot tidak
asing lagi bagi kuping-nya. "Di Kie Eng Lauw aku pernah
bertemu dengan Ciu Tiat Ciauw Toako dan Can Tiat Yo Jieko,
sedang kita berdua pernah makan-minum bersama-sama,"
kata Ouw Hui. Ong Tiat Gok mengangguk dan terus mengasah otak, tapi
tak dapat ia menebak siapa adanya orang itu. Didengar dari
perkataannya, orang itu menge-nal baik kedua kakak
seperguruannya dan ia sendiri. Tapi mengapa ia tak ingat
siapa orang itu"
Sementara itu, pelayan rumah makan sudah memindahkan
makanan dan arak Ouw Hui ke ruangan itu.
"Sudah lama aku tidak makan-minum dengan Ong Toako
dan Thio Toako, biarlah hari ini aku yang menjadi tuan
rumah," kata Ouw Hui seraya melemparkan sepotong perak
yang beratnya sepuluh tahil ke atas meja dan berkata pula
seraya menengok kepada pelayan restoran: "Kau pegang uang
itu. Bawa kemari sayur-sayur yang paling lezat dan arak yang
paling baik."
Melihat keroyalan tamu itu, si pelayan jadi girang dan
sambil manggut-manggut berulang-ulang, ia berjalan ke luar
untuk memenuhi pesanan itu. Tak lama kemudian, di atas
meja sudah diatur makanan dan arak yang sedap-wangi.
Ouw Hui beromong-omong sambil tertawa-tawa. I a
menyebut-nyebut Cin Nay Cie, In Tiong Shiang, Ong Kiam
Eng, Ong Kiam Kiat dan sebagainya, seperti juga ia
bersahabat baik dengan orang-orang itu, sebentar ia bicara
tentang ilmu silat, sebentar tentang judi. Ong Tiat Gok jengkel
dan bingung. Si jenggot bicara seperti seorang sahabat lama
dan jika ia menanyakan namanya, ia melanggar adat istiadat.
Tapi jika tidak menanya, sungguh-sungguh ia tak ingat siapa
adanya orang itu. Di lain pihak, Thio Hek menganggap, bahwa
Ouw Hui adalah sahabat Tiat Gok dan melihat keroyalan serta
cara-cara yang terbuka dari sahabat baru itu, ia jadi gembira
dan turut bicara secara bebas.
Sesudah makan-minum beberapa lama, Ong Tiat Gok tak
dapat menahan sabar lagi. Dengan suara terputus-putus, ia
segera berkata: "Toako... harap... harap kau suka maafkan
aku... aku benar-benar seorang... edan...!" Ia menabok
mukanya yang bersemu merah dan berkata pula: "Aku tak
ingat she dan nama Toako... aku minta dimaafkan... aku
benar-benar gila...!"
Ouw Hui tertawa. "Orang yang mempunyai ba-nyak
pekerjaan, memang sangat pelupaan," kata-nya. "Bukankah
semalam Toako turut bersantap dalam rumahku" Hanya
sayang, Pay-kiu tidak di-teruskan."
Bukan main kagetnya Tiat Gok. "Kau...! kau...!" serunya
dengan suara tertawan.
"Siauwtee memang Ouw Hui!" jawabnya seraya tersenyum.
Tiat Gok dan Thio Hek serentak melompat bangun, mereka
mengawasi dengan mata membe-lalak, tanpa dapat
mengeluarkan sepatah kata. Ke-jadian semalam sudah
menggemparkan seluruh kota raja dan malam-malam telah
diadakan razia besar-besaran. Hampir setiap penduduk " apa
pula Wie-su " sudah tahu, bahwa dengan seorang diri Ouw
Hui telah menyatroni gedung Hok Kong An untuk coba
membunuh pembesar itu.
"Mengapa kalian begitu kaget?" kata Ouw Hui sambil
tersenyum. "Siauwtee hanya memakai jenggot."
"Sst! Perlahan!" bisik Tiat Gok. "Ouw Toako, semua orang
sedang coba cari kau. Kau sungguh bernyali besar. Bagaimana
kau masih berani datang ke sini untuk makan-minum?"
"Takut apa?" Ouw Hui balas menanya. "Ong Toako saja
masih tidak dapat mengenali aku. Apa lagi orang lain?"
"Di kota Pakkhia kau tidak boleh menaruh kaki lagi," kata
Tiat Gok dengan suara khawatir. "Le-kaslah berlalu."
"Terima kasih atas perhatian Ong Toako ter-hadap
keselamatanku," kata Ouw Hui yang diam-diam memuji
kebaikan hatinya orang she Ong itu.
Tapi paras muka Thio Hek lantas saja berubah. la
menundukkan kepala dan tidak turut bicara.
"Hari ini di pintu-pintu kota diadakan pemeriksaan yang
sangat keras," kata Tiat Gok. "Kalau mau keluar kota, kau
harus sangat berhati-hati. Paling baik biarlah aku dan Thio
Toako yang mengantarkan kau. Mana Thia Kouwnio?"
Ouw Hui menggelcngkan kepalanya. "Untuk sementara aku
tidak akan keluar dari kota ini ka-rena masih ada perhitungan
yang belum dibereskan dengan Hok Thayswee," katanya
dengan tenang. Paras muka Thio Hek semakin berubah.
"Ouw Toako," kata Tiat Gok. "Kepandaianku kalah jauh
dengan kepandaianmu, tapi sekarang aku ingin mengutarakan
isi hatiku. Hok Thayswee mempunyai kekuasaan besar dan
kau pasti tak akan dapat melawannya. Aku makan nasinya dan
menurut pantas, tak dapat aku mengambil pihakmu. Hari ini,
dengan menempuh bahaya, aku bersedia untuk mengantarkan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau keluar kota. Dengarlah nasihatku dan lekaslah singkirkan
diri." "Tak bisa, Ong Toako, tak bisa aku berlalu sekarang," kata
Ouw Hui. "Apakah kau tahu, sebab apa aku jadi bermusuhan
dengan Hok Thayswee?"
"Tak tahu, aku justru ingin menanyakan," jawab-nya.
Ouw Hui lantas saja menuturkan dari kepala sampai di
buntut - cara bagaimana pada belasan tahun yang lalu, Hok
Kong An telah bertemu dengan Ma It Hong di Siang-kee-po,
cara bagaimana mereka mendapat dua orang putera dan cara
bagaimana Ma It Hong telah diracuni oleh ibu Hok Kong An,
sedang kedua puteranya dirampas oleh nyonya itu. Akhirnya,
ia memberitahukan, bahwa ia telah mengambil putusan pasti
untuk merampas pulang kedua anak itu untuk dikembalikan
kepada Ma It Hong.
Semakin mendengar cerita itu, semakin panas hati Ong Tiat
Gok. Sehabis Ouw Hui menutur ia menumbuk meja seraya
berkata: "Aku tak nyana, manusia bisa berlaku begitu kejam,
Ouw Toako, kau benar-benar seorang gagah yang harus
dikagumi orang. Tapi gedung Hok Thayswee dijaga sangat
keras oleh banyak sekali orang pandai, sehingga kau tak usah
harap bisa berhasil. Jalan satu-satunya adalah menunggu
sampai keadaan mereda dan sesudah penjagaan kendor,
barulah kau boleh coba-coba menyatroni lagi gedung itu."
"Tapi aku mempunyai serupa rencana," kata Ouw Hui. "Aku
ingin meminjam seragam Thio Toako dan masuk ke gedung
itu dengan menyamar sebagai Wie-su. Untuk bisa masuk, aku
ingin memohon pertolongan Ong Toako."
Paras muka Thio Hek lantas saja berubah gusar, sedang
tangannya meraba gagang golok. Tapi Ouw Hui tetap bersikap
tenang. Dengan tangan kiri ia mengangkat cawan arak dan
menceguk separuh isinya, sedang tangan kanannya
mengangkat sumpit untuk menyumpit sayur. Mendadak,
mendadak saja, tangan kirinya diayunkan dan arak
menyambar muka Thio Hek, yang, sambil mengeluarkan
seruah ter-tahan, segera mengusap muka. Hampir berbareng,
sumpit Ouw Hui menyambar dadanya dan menotok jalanan
darah Sin-cong dan Tiong-teng-hiat. Sesaat itu juga, Thio Hek
tidak berdaya dan badannya rubuh di kursi.
Mendengar seruan Thio Hek, pelayan restoran masuk ke
kamar makan. "Tuan ini mabuk, aku harus cari rumah
penginapan supaya ia dapat mengaso," kata Ouw Hui.
"Lima rumah dari sini terdapat rumah penginapan An Wan,"
kata si pelayan. "Biar aku yang menggendong."
Ouw Hui jadi girang dan memberi sepotong perak
kepadanya. Si pelayan segera menggendong Thio Hek ke
rumah penginapan itu, dengan diikuti Ouw Hui dan Ong Tiat
Gok. Ouw Hui minta sebuah kamar yang paling baik dan
sesudah mengunci pin-tu, ia kembali menotok tiga jalanan
darah Thio Hek, sehingga dalam tempo dua belas jam, ia tak
akan bisa berkutik.
Ong Tiat Gok bingung bukan main, ia merasa seolah-olah
disiram dengan setahang air dingin. Sepak terjang dan
keberanian Ouw Hui dalam menolong sesama manusia,
mengagumkan sangat hati-nya. Tapi, mengingat bahayanya
pekerjaan itu, bulu romanya berdiri semua. Dengan tenang
Ouw Hui membuka pakaian luarnya dan seragam Thio Hek,
akan kemudian, sesudah memakaikan pakaiannya di tubuhnya
Wie-su itu, ia berdiri mengenakan seragam tersebut. Untung
juga besar badannya tidak berbeda dengan besar badan Thio
Hek. "Aku bertugas pada Sin-sie (antara jam tiga dan lima
sore)," menerangkan Tiat Gok. "Temponya sudah hampir
sampai." "Ong Toako, aku minta kau melaporkan, bahwa Thio Toako
sakit dan tidak dapat bertugas," kata Ouw Hui. "Aku
menunggu di sini dan sebentar kira-kira tengah malam, aku
minta kau datang untuk mengajak aku masuk ke gedung Hok
Thayswee."
Tiat Gok mengawasi pemuda itu dengan mata mendelong.
Ia tak dapat segera mengambil ke-putusan. Ia mengerti,
bahwa sepatah kata yang diucapkannya dapat mengubah
seluruh penghi-dupannya, bahkan bersangkut paut dengan
soal mati-hidupnya. Jika ia mau jadi seorang gagah, seorang
ksatria sejati, maka ia harus mencoret setiap impian untuk
memperoleh pangkat dan harta. Jika ia ingin tetap menjadi
pengikut Hok Thayswee yang setia, ia harus melaporkan
kejadian itu. Ouw Hui mengerti apa yang dipikir Tiat Gok. "Ong Toako,"
katanya. "Urusan ini memang sangat sulit dan kau tak usah
mengambil keputusan sekarang juga."
Ong Tiat Gok manggut-manggutkan kepalanya dan lalu
meninggalkan rumah penginapan itu. Ouw Hui segera
merebahkan dirinya di atas pembaringan untuk mengaso. Ia
tahu, bahwa ia sekarang sedang berjudi dan taruhannya
adalah jiwanya sendiri.
Dengan penuh kesangsian, ia merenungkan ke-mungkinankemungkinan.
Mungkin sekali sebentar tengah malam, Ong
Tiat Gok akan datang seorang diri dan mengajaknya masuk ke
dalam gedung Hok Kong An. Akan tetapi, jika begitu, ia
menempatkan dirinya dalam kedudukan yang sangat
berbahaya. Dengan dia dan Ma It Hong, Tiat Gok tidak mempunyai
hubungan rapat. Apakah ia sudi memper-taruhkan
jiwanya untuk kepentingan dua orang yang tidak ada sangkut
pautnya dengan dirinya sendiri" Kemungkinan itu kecil, apa
pula jika di-ingat, bahwa ia sudah bekerja lama di bawah Hok
Kong An dan pada umumnya, manusia sangat ke-maruk akan
pangkat dan harta.
Jika Tiat Gok ingin mendapat pahala, maka sebentar
malam, hotel itu tentu akan dikurung dan ia bakal membuang
jiwa. Ouw Hui mengerti, bahwa bagi Ong Tiat Gok tidak ada
jalan sama tengah. Jika ia tidak melaporkan, Thio Hek tentu
bakal melaporkan soal itu. Bagi Tiat Gok hanya terbuka dua
jalan: Mem-bantu Ouw Hui demi keadilan atau bersetia
kepada Hok Kong An.
Ya! Ia memang sedang memegang beberapa lembar kartu
Pay-kiu. Kalau kalah ia harus mem-bayar dengan jiwanya.
Menang kalahnya tergantung atas keputusan Ong Tiat Gok. Ia
yakin, Tiat Gok bukan seorang jahat, tapi bahaya benar-benar
ter-lalu besar, sedang dari dirinya, Tiat Gok sedikit pun tidak
dapat mengharap balasan apa-apa.
Tapi sebagai orang yang bernyali luar biasa besar, Ouw Hui
segera juga dapat menenteramkan hatinya dan tak lama
kemudian, ia pulas.
Sesudah pulas beberapa lama, dalam keadaan setengah
sadar, ia dengar suara ribut-ribut. Dengan cepat ia melompat
bangun. "Benar, aku ingin cari seorang perwira yang memakai
tanda Hian," de-mikian terdengar suara seseorang. "Kalau
tidak salah, ia di sini. Sekarang ada perintah penting
untuknya. Coba kau tengok."
Mendengar suara itu bukan suara Ong Tiat Gok, Ouw Hui
terkesiap, "Huh-huh! Sekali ini aku kalah," katanya di dalam
hati dan sambil mencekal golok, ia melongok ke luar jendela.
Di luar gelap gulita dan sunyi senyap. Dengan cepat ia
melompat ke atas genteng dan memasang kuping.
Karena Tiat Gok tidak datang sendiri, ia lantas saja
menduga, bahwa orang she Tiat itu sudah mengkhianati
dirinya. Tapi ia merasa heran, mengapa rumah penginapan itu
tidak dikurung musuh. Biar bagaimanapun jua, hatinya merasa
agak lega. Sementara itu, ia lihat seorang pelayan sudah menghampiri
kamarnya dengan tangan mencekal ciak-tay. "Kun-ya (tuan
perwira), ada orang cari kau," katanya sambil mengetuk pintu.
Buru-buru Ouw Hui melompat masuk lagi ke kamarnya
dengan ambil jalan dari jendela. "Siapa" Masuklah," katanya.
Si pelayan lantas saja membuka pintu, ber-tindak masuk
dan menaruh ciak-tay di atas meja. "Apa Kun-ya itu belum
tersadar?" tanyanya. "Kalau belum sadar, apa perlu kubuat
semangkok obat untuk menyadarkannya?"
"Tak usah!" kata Ouw Hui, matanya melirik si perwira yang
berdiri di belakang pelayan itu. Perwira itu berusia kira-kira
empat puluh tahun dan paras mukanya tenang luar biasa.
"Lihay sungguh orang ini!" kata Ouw Hui di dalam hati. "Ia
berani masuk ke dalam kamarku seorang diri dan parasnya
sedikit pun tidak berubah. Apa dia mempunyai kepandaian
luar biasa dan tidak memandang aku sebelah mata?"
"Apa Toako Thio Toako?" tanya Wie-su itu. "Kita belum
pernah bertemu. Aku she Jim, namaku Thong Bu dari Pasukan
Keempat." "Oh, Jim Toako, aku merasa beruntung hari ini bisa
berkenalan dengan Toako," kata Ouw Hui. "Memang karena
dalam pasukan terdapat banyak sekali orang, kita belum
mendapat kesempatan untuk berkenalan."
"Benar," kata Thong Bu. "Atasanku telah memerintahkan
aku membawa sepucuk surat perintah untuk Thio Toako."
Sambil berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah
amplop. Ouw Hui menyambuti amplop itu yang dicap dengan empat
huruf merah "Peng-po Ceng-tong" (Departemen Peperangan)
di sudut kiri atas. Di tengah-tengah amplop itu terdapat tulisan
yang berbunyi: "Untuk Thio Hek, Pasukan Ketiga, di rumah
penginapan An Wan." Sesudah mendapat pengalaman getir di
gedung Hok Kong An, di mana kedua tangannya dijepit
dengan perkakas rahasia, kali ini Ouw Hui berlaku lebih hatihati.
Lebih dulu ia memijit amplop itu dan sesudah mendapat
ke-nyataan, bahwa di dalamnya tidak disembunyikan alat
rahasia, ia segera merobeknya dan mengeluarkan selembar
kertas dari dalamnya. Dengan per-tolongan sinar lilin, ia
segera membaca tulisan di kertas itu. Tiba-tiba jantungnya
memukul lebih ke-ras dan hatinya penuh kesangsian.
Mengapa" Karena di atas kertas itu tidak ada tulisannya dan
hanya terdapat sebuah lukisan tiauw-sie-kwie (setan dari
orang yang mati di gantung) yang sedang meng-gapai-gapai
seorang manusia, supaya dia turut naik ke tiang
penggantungan. Menurut ketahayulan pada jaman itu jika
seseorang mati digantung maka roh-nya akan menjadi setan
yang akan menggunakan segala daya upaya untuk membujuk
seorang manusia lain menggantung diri guna
menggantikannya sebagai setan. Sesudah mempunyai
pengganti, baru-lah setan yang pertama bisa dilahirkan lagi ke
dalam dunia sebagai manusia.
Sesudah berpikir sejenak, Ouw Hui bertanya: "Jim Toako
apa malam ini kau yang bertugas dalam gedung Hok
Thayswee?"
"Benar," jawabnya. "Siauwteesekarang mau pergi ke situ."
Ia memutar badan dan segera bertindak ke luar.
"Tunggu dulu. Aku minta tanya, siapa yang menyuruh
Toako menyampaikan surat perintah ini kepadaku?" tanya
Ouw Hui. "Lim Twie-thio," jawabnya. (Twie-thio = Ke-pala Pasukan).
Sekarang Ouw Hui dapat menebak latar be-lakang lukisan
itu. Rupanya, karena tidak dapat mengambil keputusan sendiri
Ong Tiat Gok telah berdamai dengan Toasukonya, yaitu Ciu
Tiat Ciauw. Mungkin sekali, karena mengingat budi Ouw Hui
yang sudah memulihkan tulangnya yang copot dan
memulangkan Tong-eng Tiat-gan-pay, maka Ciu Tiat Ciauw
sudah mengatur serupa akal yang sangat sagus. Dengan akal
itu, Ong Tiat Gok boleh tak usah menempuh bahaya dan tugas
mengajak Ouw Hui masuk ke dalam gedung Hok Kong An
digantikan oleh satu setan pengganti. Dengan demi-kian tak
perduli Ouw Hui berhasil atau gagal. Su-teenya tak akan
kerembet-rembet. Di atas kertas itu, ia tidak menulis huruf
apa pun jua, sehingga andaikata rahasia bocor, ia tak akan
terseret. Ia memasukkan amplop tersebut ke dalam segabung
surat lainnya yang harus diserahkan kepada pe-mimpin
Pasukan Keempat dan sebelum sampai di tangan Lim Twiethio,
surat-surat itu lebih dulu diantar ke satu dan lain tangan,
sehingga sukar sekali orang dapat mengusut, dari mana
datangnya surat perintah itu. Di lain pihak, begitu melihat cap
"Peng-po Ceng-tong", Lim Twie-thio tidak berani berlaku ayal
dan segera memerintahkan sebawahan-nya untuk
menyampaikannya kepada alamatnya. Tiat Ciauw tahu bahwa
yang menjaga gedung Hok Thayswee pada malam itu adalah
Wie-su Pasukan Keempat, sehingga siapa pun juga yang
diperintah Lim Twie-thio, Ouw Hui pasti akan dapat mengikutinya.
Itulah tebakan Ouw Hui yang cukup jitu, mes-kipun tidak
tepat seluruhnya. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya dan
menganggap Ciu Tiat Ciauw sebagai manusia yang amat licin.
Sebagai seorang yang sudah berdiam di kota raja selama
puluhan tahun, orang tua itu mempunyai pengalaman luas
dan cara bekerjanya lain daripada yang lain, Ouw Hui yakin,
bahwa Tiat Ciauw berusaha untuk mem-bantunya dengan
setulus hati dan untuk itu semua, ia merasa sangat berterima
kasih. Demikianlah, melihat Jim Thong Bu memutar badan, buruburu
ia berkata: "Atas perintah atasan, malam ini aku harus
bantu menjaga gedung Hok Thayswee." Ia berdiam sejenak
dan kemudian berkata pula dengan suara mendongkol. "Gila
sungguh! Malam ini sebenarnya giliran aku mengaso. Mengapa
malam-malam aku dipanggil juga?"
Jim Thong Bu tertawa. "Gedung Hok Thayswee disatroni
pembunuh, sehingga sudah sejamaknya kalau kita bekerja
lebih keras," katanya. "Untuk pekerjaan itu kita pasti akan
mendapat hadiah yang setimpal."
Ouw Hui turut tertawa. "Jim Toako, aku baru saja dapat
uang," katanya. "Mari kita makan minum sekadarnya. Aku jadi
tuan rumah. Jim Toako, apa kesukaanmu yang terutama"
Suka judi" Arak?"
Perwira itu tertawa berkakakkan. "Semua suka, semua aku
suka," jawabnya sambil menyeringai.
Sambil menepuk pundak Jim Thong Bu secara hangat, Ouw
Hui berkata; "Jim-heng kita berdua sangat cocok. Sayang baru
sekarang kita bertemu muka. Siauw Jie! Ambil arak?"
Perwira itu kelihatan sangsi. "Malam ini aku bertugas,"
katanya. "Jika Twie-thio tahu aku minum arak, mungkin ia
akan menegur."
"Kita hanya minum tiga cawan, mana dia tahu?" bisik Ouw
Hui. Di lain saat, pelayan sudah datang dengan mem-bawa arak


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan sepiring daging sapi asin. Sesudah minum tiga cawan,
Ouw Hui melemparkan sepo-tong perak ke atas meja seraya
berkata: "Ambil lebihnya!"
Melihat persenan yang besar itu, si pelayan girang bukan
main, tapi sebelum ia keburu meng-haturkan terima kasih, Jim
Thong Bu sudah men-dului mengambil perak itu. "Thio Toako,
tanganmu terlalu terbuka," katanya. "Apa kita yang bekerja
pada Hok Thayswee, mesti merogoh saku untuk beberapa
cawan arak saja" Hayo berangkat!" Dengan tangan kirinya ia
menarik Ouw Hui, sedang tangan kanannya memasukkan
potongan perak itu ke dalam sakunya sendiri! Si pelayan
mengawasi dengan mata mendelik, tapi tak berani mengeluarkan
sepatah kata. Ouw Hui tertawa. Melihat kerakusan orang itu, ia merasa
girang karena terhadap orang semacam itu, ia dapat
menjalankan peranan terlebih mudah. Dengan bergandengan
tangan mereka berjalan ke-luar dari rumah penginapan. Baru
belasan tombak, kuping Ouw Hui yang sangat tajam
mendadak men-dengar suara kresekan di atas genteng. Ia
tahu suara itu suara kaki manusia. "Jim Toako, tunggu dulu di
sini," katanya. "Aku kelupaan membawa serupa barang.
Tunggulah sebentar. Ia memutar badan dan kembali ke
kamarnya. Dalam kegelapan, samar-samar ia lihat
berkelebatnya badan manusia yang kurus kecil keluar jendela.
Dengan gerakan yang gesit luar biasa. Dilihat dari potongan
badan dan gerakannya orang itu seperti juga Ciu Tiat Ciauw.
"Perlu apa dia menyatroni kamarku?" tanya Ouw Hui di dalam
hati. Ia menyingkap kelambu dan meraba hidung Thio Hek.
Benar saja Thio Hek sudah tidak bernyawa lagi! Ia binasa
karena to-tokan, Ouw Hui bergidik dan berkata dalam batinnya:
"Orang itu licin, pintar dan kejam. Memang, jika Thio Hek
tidak disingkirkan rahasia pasti akan bocor. Hanya aku tidak
menduga, baru aku melangkah pintu, dia sudah berani turun
tangan." Biar bagaimanapun juga, sekarang hatinya jadi lebih
lega, karena ia yakin bahwa dengan setulus hati Ciu Tiat
Ciauw ingin membantu sahabatnya. Ia segera membalikkan
tubuh Thio Hek supaya meng-hadap ke dalam dan sesudah
menyelimutinya, ia keluar lagi dari kamarnya dan menghampiri
Jim Thong Bu. "Jim Toako, maaf kau mesti menunggu lama,"
katanya. "Hayolah."
"Thio Toako, dengan kawan sendiri jangan kau berlaku
begitu sungkan." kata Thong Bu. Dengan berendeng pundak,
mereka segera menuju ke ge-dung Hok Kong An.
Depan gedung dijaga belasan Wie-su yang ber-senjata
lengkap. Begitu mereka mendekati pintu, pemimpin pasukan
membentak: "Wie-tin...!"
".... Su-hay!" menyambungi, Thong Bu.
Pemimpin itu mengangguk. "Malam ini kita harus menjaga
hati-hati sekali," katanya.
"Tentu," kata Thong Bu.
"Twie-thio," kata Ouw Hui. "Apa malam ini penjahat bakal
menyatroni lagi?"
Pemimpin itu tertawa.
"Mungkin kalau dia sudah makan nyali hari-mau,"
jawabnya. Ouw Hui tertawa terbahak-bahak dan lalu ma-suk ke
dalam. Setibanya di pintu tengah, wakil pemimpin pasukan yang
menjaga di situ membentak dengan suara perlahan. "Wietin...."
".... Coat-shia!" menyambungi Jim Thong Bu.
"Jim Thong Bu, siapa orang itu?" tanya Wie-su itu. "Aku
tidak kenal."
"Thio Toako, dari Pasukan Ketiga," jawabnya.
"Hm... jenggotnya sangat keren," kata si wakil pemimpin.
Sambil tersenyum mereka berjalan terus mem-belok ke kiri
dan sesudah melewati dua pintu sam-ping, mereka tiba di
taman bunga. Pintu taman dijaga oleh seorang wakil pemimpin yang
menegur dengan kata-kata "Wie-tin" juga. ".... Cian-chiu,"
jawab Thong Bu. Diam-diam Ouw Hui merasa syukur, bahwa
ia datang bersama-sama Jim Thong Bu, sebab kalau bukan
begitu, ia pasti tak akan bisa masuk ke gedung yang dijaga
sedemikian keras dengan menggunakan kata-kata rahasia
yang berbeda-beda.
Begitu masuk di dalam taman Ouw Hui segera mengenali
jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Untuk menenteramkan hati
It Hong dan Leng So, ia segera mengambil keputusan untuk
bekerja selekas mungkin, dan dengan tindakan cepat, ia
menuju ke gedung ibu Hok Kong An.
"Thio Toako, mau ke mana kau?" tanya Thong Bu dengan
perasaan heran.
"Aku mendapat perintah untuk melindungi Tayhujin,"
jawabnya. "Oh begitu?" kata Thong Bu. Sesaat itu dua Wie-su
menghampii i. "Siapa kau?" tanya salah seorang. "Jim Thong
Bu dari Pasukan Keempat." "Thio Hek dari Pasukan Ketiga."
Ouw Hui memperkenalkan diri.
Wie-su itu mengeluarkan seruan terlalian clan meraba
gagang golok. "Apa" Siapa namamu!" bentaknya.
Ouw Hui terkejut. Ia mengerti, bahwa pengawal itu
mengenal Thio Hek dan rahasianya sudah terbuka. Ia maju
setindak dan berbisik. "Namaku Ouw Hui."
Wie-su itu kaget tak kepalang, ia mengawasi dengan mata
membelalak. Sebelum ia sempat ber-gerak, jalan darahnya
sudah ditotok Ouw Hui yang dengan sekali menggerakkan
sikutnya, sudah meru-buhkan pula Wie-su yang satunya lagi.
Jim Thong Bu menggigil bahna kaget dan takut. "Kau...
kau..." katanya dengan suara terputus-putus.
"Laki-laki tidak menukar she atau mengubah nama," kata
Ouw Hui dengan suara dingin. "Aku adalah Ouw Hui." Sambil
berkata begitu, ia menyeret tubuh kedua Wie-su itu ke dalam
gerom-bolan pohon-pohon bunga.
Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya,
Thong Bu menghunus golok. "Semua orang sudah lihat,
bahwa kaulah yang mengajak aku ke sini," kata Ouw Hui.
"Perlu apa kau ribut-ribut" Paling selamat kau menutup
mulut." Thong Bu menggigil, rasa kaget dan takutnya semakin
menjadi-jadi. "Kalau kau masih kepingin hidup ikutlah aku!" bisik Ouw
Hui. Dalam kebingungan yang sangat hebat, Jim Thong Bu tak
tahu apa yang harus diperbuatnya. Melihat lihaynya Ouw Hui,
ia mengerti, bahwa jika melawan, jiwa bisa melayang.
Kedatangan Ouw Hui pasti mengandung mak-sud kurang
baik, sehingga ia yang sudah mengajak pemuda itu masuk ke
gedung Hok Kong An, pasti kerembet. Dalam ketakutannya
itu, bagaikan seorang Hnglung, ia segera mengikuti Ouw Hui.
Dengan cepat Ouw Hui menghampiri pintu depan gedung
Nyonya Siangkok yang ternyata dijaga oleh tujuh-delapan
Wie-su. Ia bersangsi, ka-rena jika ia menggunakan kekerasan,
belum tentu ia dapat merubuhkan mereka dalam tempo lekas.
Mendadak ia mendapat serupa ingatan dan sambil mengajak
Jim Thong Bu, ia segera pergi ke samping gedung. Tiba-tiba ia
berteriak. "Jim Thong Bu! Perlu apa kau datang ke sini" Mau
memberontak?"
Thong Bu terkesiap. "Aku... aku..." katanya terputus-putus.
"Tahan! Hei! Jangan bergerak kau!" teriak pula Ouw Hui.
Mendengar teriakan itu, karuan saja tujuh-delapan
pengawal yang menjaga di pintu dengan lantas meiuruk ke
belakang. Ouw Hui mengangkat tubuh Jim Thong Bu dan
melemparkannya ke jendela dan lantas saja menjadi hancur.
"Tangkap! Lekas tang-kap!" teriaknya.
Bagaikan kawanan harimau, para Wie-su menu-bruk dan
membekuk si orang she Jim.
"Jangan mengagetkan Tayhujin," kata Ouw Hui seraya
melompat ke dalam kamar dari jendela yang berlubang.
"Ada apa?" tanya ibu Hok Kong An sambil memeluk kedua
puteranya Ma It Hong yang sudah menangis keras dan sudah
memanggil-manggil ibu-nya.
"Ada pembunuh!" jawab Ouw Hui. "Siauwjin sengaja
datang untuk melindungi Tayhujin dan kedua Kongcu. Di sini
penuh bahaya kalau perlu segera menyingkir ke tempat yang
lebih selamat."
Nyonya itu kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang
berpengalaman, dia lantas saja ber-curiga. "Siapa kau" Di
mana adanya pembunuh itu?" tanyanya.
Ouw Hui mengerti, bahwa dia tak dapat meng-hilangkan
tempo. Mengingat kekejaman nyonya tua itu, darahnya agak
meluap dan sambil melompat, ia mengayun telapak
tangannya. Nyonya besar itu adalah isteri seorang perdana menteri dan
kecintaan kaisar, sedang ketiga puteranya semua berpangkat
tinggi dan dua orang menantunya adalah puteri kaisar. Selama
hidupnya, ia selalu diliputi kekuasaan dan kemewahaan dan
belum pernah ia menerima hinaan yang begitu besar. Di lain
pihak, karena hatinya mendongkol, waktu menggaplok Ouw
Hui sudah menggunakan seba-gian tenaganya, sehingga
begitu kena, pipi nyonya itu lantas saja bengkak dan dua
giginya rontok. Dalam kegusaran yang melampaui batas,
hampir-hampir si nyonya pingsan.
"Mari ikut aku untuk menemui ibumu," kata Ouw Hui sambil
membungkuk dan memeluk kedua bocah itu dengan lengan
kirinya. Pada saat itu, dua orang Wie-su sudah masuk ke dalam
kamar. Ouw Hui mengerti bahwa tanpa menggunakan siasat,
tak gampang-gampang ia dapat ke luar dari gedung itu.
Sambil mencengkeram baju Tayhujin, ia membentak:
"Tayhujin berada dalam tanganku. Majulah! Mari kita mampus
ber-sama-sama." Seraya berkata begitu, ia melompat keluar
dengan menenteng nyonya tua itu.
Dengan mata membelalak, para Wie-su meng-awasi Ouw
Hui menerjang ke luar sambil men-dukung kedua puteranya
Ma It Hong dan menyeret tangan Tayhujin. Pengawalpengawal
dari Iain-lain bagian gedung mulai memburu ke situ.
Mereka mengurung dari sebelah kejauhan dan meskipun
kedua tangan Ouw Hui tidak dapat memberi per-lawanan
karena yang satu mendukung dua bocah itu dan yang lain
mencekal Tayhujin mereka masih belum berani turun tangan.
Ouw Hui bingung bukan main. la mengerti, bahwa semakin
lama jumlah Wie-su yang mengepung akan jadi semakin besar
dan keadaannya semakin berbahaya. Setindak demi setindak
ia maju terus sambil mengasah otak. la tahu bahwa sekali ini
ia harus mempertaruhkan jiwanya.
Mendadak, baru saja ia mengambil putusan nekat
menerjang mati-matian, di sebelah kiri ter-lihat mengepulnya
asap dan berkobarnya api sedang di antara suara ribut
terdengar teriakan: "Awas! Penjahat coba membunuh Kongcu!
Penjahat mem-bakar gedung Kongcu!"
Ouw Hui kaget. Ia kenali bahwa suara itu suara Ciu Tiat
Ciauw. Kongcu adalah puteri kandung kaisar Kian-liong dan
jika sang puteri binasa dalam tangan penjahat, seantero Wiesu
dalam gedung Hok Kong An akan mendapat hukuman mati.
Maka itu, teriakan Ciu Tiat Ciauw sudah mengejutkan sangat
hatinya semua orang.
"Kalian semua pergi padamkan api dan lindungi Kongcu
biar aku sendiri yang menolong Tayhujin," demikian terdengar
pula teriakan Ciu Tiat Ciauw. Dalam kalangan pengawal Hok
Kong An, Ciu Tiat Ciauw mempunyai kedudukan tinggi dan disayang
oleh menteri itu, sehingga ia sangat disegani oleh
kawan-kawannya. Maka itu, begitu mendengar perintahnya,
para Wie-su lantas saja meninggalkan Ouw Hui dan memburu
ke tempat kebakaran.
Ouw Hui mengerti, bahwa Ciu Tiat Ciauw telah
menggunakan tipu "memancing harimau keluar gu-nung"
untuk menolong dirinya dan ia merasa sangat berterima kasih.
Di lain saat, Tiaut Ciauw sudah membacok sambil berteriak
keras. Ouw Hui ber-kelit seraya mendorong Tay Hujin yang
jatuh teng-kurep di tanah. Tiat Ciauw buru-buru membangunkan
dan menggendong nyonya tua itu yang lalu dibawa
pulang ke gedungnya. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik dan segera kabur dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan.
"Jumlah penjahat tidak sedikit!" demikian terdengar pula
teriakan Tiat Ciauw. "Semua orang tetap pada tempat
penjagaannya. Lindungi Hok Thayswee dan Jie-wie Kuncu!
Jangan kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar
dari gu-nung," mendengar teriakan itu, semua wie-su tidak
berani sembarangan mengejar.
Sambil mendukung kedua bocah, Ouw Hui lari ke belakang
taman. Dengan cepat ia sudah tiba di tembok pekarangan dan
dengan sekali mengenjot tubuh, kedua kakinya hinggap di
atas tembok. Tiba-tiba ia mengeluh sebab di sebelah timur
dan barat dijaga oleh sejumlah besar Wie-su! Buru-buru ia
melompat turun dan melewati sebidang tanah la-pang
secepat-cepatnya, akan kemudian masuk ke sebuah lorong.
Pada saat itulah terdengar teriakan orang: "Tangkap!
Tangkap pembunuh!" Diiring dengan teriakan-teriakan,
sejumlah Wie-su mengejar dari belakang. Setibanya di ujung
lorong, Ouw Hui mera-belok ke sebuah jalan raya dan
mendadak hatinya girang karena di pinggir jalan kelihatan
berhenti sebuah kereta keledai. Cepat-cepat ia melompat naik
ke dalam kereta sambil berkata pada si kusir: "Lekas! Hayo
lekas! Aku akan memberi hadiah besar." Di tempat duduk
kusir duduk dua orang dan begitu mendengar perkataan Ouw
Hui, orang yang duduk di sebelah kanan, yang tubuhnya
kurus, lan-tas saja mengedut les dan keledai lantas saja lari.
Begitu duduk di dalam kereta, Ouw Hui meng-endus
bebauan yang tak enak. Setelah memper-hatikan ia mendapat
kenyataan bahwa bebauan itu keluar dari beberapa tahang
kotoran manusia. Ia kini mengerti bahwa kereta itu adalah
kereta yang biasa mengumpulkan kotoran manusia dari
rumah-rumah penduduk untuk dijadikan pupuk. Semen-tara
itu suara teriakan semakin hebat kedengaran-nya.
Ia menengok dan melihat pengejar-pengejar-nya sudah
datang sangat dekat.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Ia meng-angkat sebuah
tahang dan sambil mengerahkan Lweekang, melemparkannya
ke belakang. Dua Wie-su yang paling depan rubuh
terjengkang dengan tubuh penuh kotoran, sedang kawankawannya
lantas saja berhenti mengejarnya. Mereka itu


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah orang-orang pilihan yang bernyali besar, tapi menghadapi
kotoran manusia, mereka jadi keder juga.
Kereta terus dilarikan secepatnya tapi tak lama kemudian di
sebelah belakang kembali terdengar teriakan dan sejumlah
Wie-su sudah mengejar pula. Hok Kong An adalah seorang
Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan) yang berkuasa
angkatan pe-rang seluruh kerajaan Ceng. Dapat dimengerti,
bahwa pengawal-pengawal pribadinya bukan sembarang
orang dan dipilih dari orang-orang ternama dalam Rimba
Persilatan, sehingga pengacauan Ouw Hui selama dua malam
berturut-turut dianggap mereka sebagai suatu hinaan besar
yang sangat memalukan. Maka itu, seusainya menolong kedua
kawan yang rubuh, mereka segera mengejar pula dengan
kegusaran meluap-luap.
Ouw Hui mulai bingung lagi. "Jika mereka masih mengejar,
aku tentu tidak boleh pulang," katanya di dalam hati. "Ma
Kouwnio masih belum sembuh dan setan-setan itu tak boleh
tahu tempat bersembunyinya. Tapi kalau tidak pulang, ke
mana aku harus pergi?" Sementara itu, para Wie-su sudah
hampir dekat dan hanya karena takut dihantam dengan
tahang kotoran, mereka belum berani ter-lalu mendesak.
Mereka rupanya tahu, bahwa dengan membuntuti dari
kejauhan, Ouw Hui pasti tidak akan bisa keluar dari kota
Pakkhia. Beberapa saat kemudian, kereta itu tiba di sebuah jalan
yang bereagak tiga dan di tengah-tengah jalan itu berhenti
sebuah kereta keledai lain. Begitu lekas kereta yang diduduki
Ouw Hui ber-dempetan dengan kereta itu, si kusir menggapai
seraya berkata: "Pindah!" Ia melompat ke kereta itu, diturut
oleh Ouw Hui yang mendukung putera-nya Ma It Hong.
Sebagaimana diketahui, di kereta pertama ter-dapat dua
orang kusir. Begitu lekas kusir pertama dan Ouw Hui
berpindah ke kereta lain, kusir kedua segera mengedut les dan
mengaburkan kereta itu ke jurusan barat, sedang kereta yang
ditumpangi Ouw Hui dilarikan ke arah timur.
Dilain pihak, setibanya di jalan bereagak, para Wie-su jadi
bingung sebab dua kereta yang bentuk dan warnanya
bersamaan lari ke dua jurusan. Mereka tak tahu kereta yang
mana memuat orang yang sedang dikejar. Sesudah berdamai
sebentar, rom-bongan dipecah dua yang masing-masing
mengejar ke barat dan ke timur.
Mendengar suara dan pula cara melompatnya si kusir
kurus, bukan main girangnya Ouw Hui, sebab ia segera
mengenali, bahwa kusir itu bukan lain daripada adiknya
sendiri. "Aduh Jie-moay! Sungguh aku tak duga!" katanya
dengan suara kagum.
Leng So hanya mengeluarkan suara di hidung.
"Bagaimana keadaan Ma Kouwnio?"
"Tak tahu!" jawab si adik.
Ouw Hui tahu si adik sedang mendongkol. "Jie-moay, aku
mengaku salah dan kuharap kau sudi memaafkan," katanya
dengan suara yang halus.
"Aku tak akan menarik pulang perkataanku," kata si nona.
"Aku tetap tak akan mengobati pada-nya. Apa kau kira
omonganku bukan perkataan manusia?"
Selagi Leng So berkata begitu kembali kereta tiba di jalan
bereagak dan di tengah jalan terdapat sebuah kereta yang
lain. Kali ini si nona tidak menukar kereta. Dengan sekali
berseru dan meng-ulapkan tangan, kedua kereta itu
berpencaran dengan berbareng, yang satu ke selatan yang
lain ke utara. Waktu menyusul sampai di jalan bereagak itu, para Wie-su
itu jadi lebih kaget dan gusar. Mereka tak dapat berbuat lain
daripada memecah lagi rom-bongan untuk mengejar kedua
kereta itu. Semenjak Pakkhia menjadi ibukota negara pada jaman
Kerajaan Goan, jalan-jalan dalam kota itu dibuat dalam bentuk
garis-garis papan catur, yaitu membujur dari selatan sampai
ke utara dan melintang dari timur ke barat. Dari sebab itulah,
kereta yang ditumpangi Ouw Hui dan Leng So lagi-lagi
bertemu dengan jalan bereagak dan di tengah-tengah jalan
terdapat pula kereta lain yang ben-tuknya sama. Kejadian itu
berulangkali. Kalau para pengejar sudah datang dekat sebab
khawatir di-kenali, Leng So tidak menukar kereta hanya
memerintahkan supaya kedua kereta itu berpencaran dengan
berbareng dan lari ke dua jurusan. Tapi kalau pengejarpengejar
masih agak jauh mereka pindah kereta supaya dapat
lari terlebih cepat dengan keledai yang masih segar.
Demikianlah setiap kali bertemu dengan jalan bereabang,
jumlah pengejar berkurang separuh sehingga pada akhirnya,
mereka hanya dikejar oleh lima enam Wie-su yang sudah cape
lelah dan napasnya tersengal-sengal.
"Jie-moay, sungguh lihay tipumu ini," memuji Ouw Hui.
"Jika kau tidak menggunakan kereta pengumpul kotoran,
kereta itu bisa dicurigai oleh tentara peronda."
"Biar dicurigai," kata si adik dengan suara di-ngin. "Kau
tidak menyayang jiwa dan memang pan-tas kalau kau mati
dalam tangan tentara negeri."
"Aku memang pantas mati," kata Ouw Hui sambil
tersenyum. "Hanya jika aku mati, bakal ada seorang nona
yang bersedih hati."
"Hmmm," Leng So mengeluarkan suara di hidung. "Kau tak
dengar omonganku dan kalau kau sampai mengantarkan jiwa,
siapa pun boleh tak usah bersedih... kecuali nona Wan yang
cantik manis. Tapi mengapa ia sekarang tidak menolong kau?"
"la tidak tahu, bahwa aku sudah begitu tolol untuk
menyatroni gedung Hok Thayswee," kata sang kakak. "Di
kolong langit hanya ada seorang gadis yang tahu ketololanku
dan hanya ia yang dapat menolong jiwaku pada saat yang
berbahaya."
Mendengar pujian itu, Leng So merasa sangat senang, tapi
paras mukanya masih tetap dingin dan ia hanya mengeluarkan
suara di hidung. "Karena dulu Ma Kouwnio pernah menolong
kau, maka kau tidak dapat melupakan budinya dan bertekad
untuk membalas budi itu, bukankah begitu?" tanya si nona.
"Mengenai budi, mana Ma Kouwnio dapat di-rendengkan
dengan adikku?" kata Ouw Hui.
Di tengah gelap Leng So tersenyum, tetapi suaranya masih
tetap kaku. "Huh! Karena masih memerlukan bantuanku untuk
mengobati Ma Kouwnio, kau sudah mengeluarkan perkataan
ma-nis-manis," katanya. "Sesudah kau tidak perlu lagi dengan
tenagaku, segala omonganku pasti lebih-lebih tidak digubris
lagi olehmu."
"Jika aku bicara tidak setulus hati, biarlah aku mati dengan
jalan yang tidak baik." Ouw Hui ber-sumpah.
"Kalau benar ya sudah, perlu apa kau ber-sumpah," kata si
nona dengan suara terlebih lunak.
Sesudah melewati sebuah jalan bereagak lagi, Wie-su yang
mengejar hanya ketinggalan dua orang. "Jie-moay," kata Ouw
Hui sambil tertawa. "Coba kau tahan larinya keledai sebentar,
aku ingin mem-perlihatkan sebuah pertunjukan." Leng So
menarik les dan keledai itu lantas saja menghentikan tindakannya.
Di lain saat, kedua pengejar sudah hampir
menyusul dan waktu mereka hanya terpisah beberapa tombak
dari kereta, mendadak Ouw Hui mengangkat sebuah tahang
kosong yang lalu di-lontarkan dan masuk tepat di kepala salah
seorang Wie-su. Kawannya mengeluarkan teriakan kaget dan
memutar badan, akan kemudian lari lintang pukang.
Melihat pertunjukan yang lucu itu, Leng So tertawa geli dan
sisa kedongkolannya lantas saja hilang seperti disapu angin.
Tak lama kemudian kereta sudah tiba di depan gedung di
mana mereka menginap. Leng So segera menyerahkan les
kepada si kusir dan menghadiah-kan beberapa tahil perak.
Sesudah itu, dengan masing-masing mendukung seorang
bocah, mereka4 masuk dengan melompati tembok. Siapa pun
tak pernah mimpi, bahwa dua orang itu baru saja mengacau
di rumah menteri pertahanan.
Melihat kedua puteranya, bukan main girang-nya Ma It
Hong memeluk kedua bocah itu erat-erat dan air matanya
mengucur deras. Kedua bocah itu pun balas memeluk ibu
mereka dengan penuh ke-cintaan.
Leng So terharu dan berbisik: "Toako sekarang aku tidak
menyalahkan kau lagi. Memang kita harus merampas pulang
kedua bocah itu, supaya ibu dan anak dapat berkumpul
kembali." "Tapi hatiku tetap merasa kurang enak, sebab aku sudah
tidak dengar perkataanmu," kata sang kakak.
Leng So menjebik dan berkata sambil tertawa: "Huh! Toako
memang pandai bicara. Waktu kita pertama bertemu, kau
sudah tak dengar omonganku. Aku minta kau jangan berpisah
dari sampingku dan jangan turun tangan tapi semua
permintaanku tidak digubris olehmu."
Sesudah bertemu dengan kedua puteranya, Ma It Hong
sembuh dengan cepat sekali. Setelah Leng So "menciam"
(menusuk dengan jarum emas) lagi beberapa kali dan
memberi beberapa macam obat, racun yang mengeram dalam
tubuhnya telah dapat dikeluarkan seanteronya. Sesudah
ingatannya kem-bali, ia menanyakan sebab musabab
mengapa mereka berada dalam gedung itu dan mengapa Hok
Kong An tak pernah datang menyambanginya, tapi baik Ouw
Hui maupun Leng So sungkan memberi keterangan.
Sedang beberapa had tibalah harian Tiong-chiu. Pada hari
itu dengan mengajak Leng So, Coa-wie dan Kie Siauw Hong,
Ouw Hui pergi ke gedung Hok Kong An guna menghadiri
pertemuan para Ciangbunjin.
Penyamaran Ouw Hui pada hari itu agak ber-lainan dari
biasanya. Ia mencukur sebagian jeng-gotnya dan mengenakan
pakaian sulam yang sangat indah sedang tangan kirinya
mencekal pipa pit-yan-hu dan tangan kanannya memegang
kipas berwarna emas, sehingga orang yang tak tahu pasti
akan menduga, bahwa ia adalah seorang hartawan besar.
Leng So sendiri menyamar sebagai seorang wanita setengah
tua dengan badan agak bongkok dan muka kisut-kisut.
Setibanya di depan gedung Siang-kok-hu, mereka
mendapat kenyataan, bahwa semua Sie-wie sudah ditarik
mundur dan di depan pintu berdiri delapan orang yang
bertugas sebagai penyambut tetamu.
Ouw Hui segera menyerahkan surat undangan. Melihat
pakaiannya yang mewah dan mengetahui, bahwa tamu itu
adalah Ciangbunjin dari Hoa-kun-bun, dengan sikap hormat
lantas saja mengantarkan mereka ke sebuah meja di sebelah
timur, di mana sudah duduk empat tetamu lain. Mereka
segera berkenalan dan tetamu yang datang lebih dulu itu
adalah orang-orang Kauw-kun Tay-seng-bun (par-tai ilmu silat
kera). Pemimpin partai itu seorang tua yang kepalanya lancip,
mulutnya monyong dagunya merah dan lengannya sangat
panjang sehingga menyerupai seekor kera. Melihat begitu,
Leng So merasa geli di dalam hatinya.
Dalam ruangan yang luas itu, sudah berkumpul banyak
orang dan tamu-tamu yang baru datang masuk dengan
berturut-turut. Mereka dilayani oleh perwira-perwira di bawah
perintah Hok Kong An.
Dengan matanya yang sangat tajam Ouw Hui menyapu
seluruh ruangan. Tiba-tiba ia lihat masuk-nya Ciu Tiat Ciauw
dan Ong Tiat Gok yang mengenakan pakaian perwira dan
dilihat dari topinya mereka baru mendapat kenaikan pangkat.
Waktu lewat di samping meja Ouw Hui, mereka tidak
mengenali pemuda itu.
Dua orang perwira menyambut mereka dan berkata sambil
tertawa: "Selamat Ciu Toako, selamat Ong Toako! Semalam
kalian telah membuat jasa yang sangat besar."
Ong Tiat Gok tertawa lebar. "Jasa apa" Hanya kebetulan
saja," katanya dengan merendahkan diri.
Seorang perwira lain menghampiri seraya berkata: "Yang
satu menjadi Thong-peng yang lain menjadi Hu-ciang.
Sungguh hebat! Di antara pah-lawan-pahlawan Hok
Thayswee, kalianlah yang naik pangkat paling cepat."
"Peng Toako, jangan kau guyon-guyon," kata Ciu Tiat
Ciauw dengan suara tawar. "Kami berdua mendapat hadiah
tanpa berjasa. Mana bisa kami dibandingkan dengan Peng
Toako yang sudah mem-buat pahala besar di medan perang?"
Perwira itu merasa agak jengah dan ia segera berkata pula
dengan paras sungguh-sungguh: "Ciu Toako telah menolong
Siang-kok Hujin sedang Ong Toako melindungi Kongcu.
Bansweeya sendiri yang sudah memberi pangkat kepada
kalian. Mana dapat siauwtee berendeng dengan Jie-wie
Toako?" Dengan beruntun-runtun kedua saudara itu mendapat
pemberian selamat dari para perwira. Dapat dimengerti jika
tamu-tamu jadi merasa heran dan mereka lalu mencari
keterangan dari beberapa orang yang lantas saja
menceritakan peristiwa yang terjadi semalam di gedung Hok
Thayswee, ditambah dengan bumbu yang sedap. Cerita itu
juga didengar Ouw Hui dan kawan-kawannya.
Ternyata, dengan perhitungan lihay dan tin-dakan tepat,
bukan saja Ciu Tiat Ciauw sudah dapat mengelakkan mara
bahaya, tapi juga sudah menarik keuntungan besar untuk dia
dan saudara angkatnya. Dengan dia sendiri "menolong"
Siangkok Hujin dan Ong Tiat Gok "melindungi" Kongcu, di
mata Kaisar Kian-liong, mereka berdua telah berjasa sangat
besar, lebih besar dari pada pahala orang yang menang
peang. Mereka bukan saja telah mendapat kenaikan pangkat
tiga tingkat, tapi juga sudah mem-peroleh hadiah emas-perakmutiara
dari Siangkok Hujin, Kongcu dan Hok Kong An sendiri.
Untuk kepentingan sendiri, para Wie-su meniup-niup
kejadian semalam dengan mengatakan, bahwa penjahat yang
menyatroni berjumlah ratusan orang dan bahwa, hanya
sesudah bertempur mati-matian, barulah mereka berhasil
memukul mundur kawanan pengacau itu. Meskipun merasa
mendong-kol karena hilangnya kedua putera itu, tapi mengingat
pengalamannya waktu ditawan oleh orang-orang Anghoa-
hwee pada sepuluh tahun berselang, Hok Kong An diamdiam
bersyukur, bahwa kali ini kawanan penyerang dapat
dimundurkan dan ia terlepas dari bahaya. Maka itulah, ia
sudah ber-laku royal dan memberi persenan besar kepada
para pengawalnya.
Melihat cara-cara orang-orang itu, Ouw Hui dan Leng So
merasa geli dan saling melirik sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, puluhan meja perjamuan sudah penuh


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tetamu. Diam-diam Ouw Hui menghitung. Semua ada
enam puluh dua meja, setiap meja delapan orang, jumlah
tetamu empat ratus sembilan puluh enam dan jika setiap
partai mengirim empat orang wakil, maka jumlah Ciang-bunjin
yang hadir dalam ruangan itu ada seratus dua puluh empat.
Sekarang baru ia tahu, bahwa di seluruh Tiongkok terdapat
begitu banyak partai alau cabang persilatan. Di samping mejameja
yang sudah penuh, juga terdapat meja-meja yang hanya
diduduki oleh empat orang dan yang masih kosong. Tanpa
merasa, ia ingat Wan Cie Ie. "Dia sudah merebut dua belas
kedudukan Ciangbun dan meja-meja yang kosong rupanya
disediakan untuk orang-orang dari partai-partai yang sudah
digebah kabur olehnya," katanya di dalam hati. "Tapi di mana
adanya dia sekarang?"
Melihat kakaknya termenung dengan sorot mata penuh
rasa cinta, Leng So yang sangat cerdas segera dapat
menebak, bahwa Ouw Hui sedang memikir-kan Wan Cie Ie. la
menghela napas dan hatinya sedih. Tiba-tiba otot-otot pipi
Ouw Hui bergerak, paras mukanya berubah dan sinar matanya
seolah-olah mengeluarkan api. Si nona segera memandang ke
jurusan yang sedang diawasi kakaknya dan ia lantas saja
mengetahui sebab musabab perubahan itu. Di sebelah barat,
pada meja keempat, duduk seorang lelaki yang badannya
tinggi besar dan tangannya mencekal dua Tiat-tan dan orang
itu bukan lain dari pada Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houwbun.
Buru-buru Leng So menarik tangan baju kakaknya yang
lantas saja tersadar dan cepat-cepat melengos ke lain jurusan.
Sementara itu, tamu-tamu yang berniat datang rupanya
sudah tiba semua, karena dari luar sudah tidak muncul tamutamu
baru. Ouw Hui memper-hatikan ruangan yang luas itu.
Di tengah-tengah tergantung sehelai kain sulam dengan
tulisan: "Dengan ilmu silat mengikat persahabatan, orangorang
gagah menjadi tuan rumah." Di bawah kain sulam itu
berjejer empat buah kursi indah dengan alas kulit harimau,
tapi semua kursi masih kosong dan rupanya disediakan untuk
orang-orang yang ber-pangkat tinggi.
"Mengapa ia belum juga datang?" bisik Leng So.
Ouw Hui mengerti, bahwa "ia" dimaksudkan Wan Cie Ie,
tapi ia berlagak pilon. "Siapa?" tanya-nya.
Si adik tidak menjawab langsung, tapi berka'a pada dirinya
sendiri: "Sebagai Cong-ciang-bun dua belas partai, dia tak bisa
tak datang."
Beberapa saat kemudian, seorang perwira tim.'-katan
kedua bangun berdiri dan berseru dengan suara nyaring:
"Harap keempat Tay-ciangbunjin (Ciangbunjin besar) masuk
ke dalam ruangan per-temuan!" Seruan itu disambut oleh
Iain-lain Wie-su: "Harap keempat Tay-ciangbunjin masuk ke
dalam ruangan pertemuan!"
Semua jago kaget bereampur heran. Semua orang yang
berkumpul di situ, di samping murid-murid berbagai partai dan
para petugas pihak tuan rumah, adalah Ciangbunjin, atau
pemimpin, partai-partai persilatan. Mengapa orang sudah
mengguna-kan istilah "besar?" Apa ada Ciangbunjin "besar"
dan Ciangbunjin "kecil?"
Seluruh ruangan jadi sunyi senyap dan mata semua orang
mengawasi pintu samping di sebelah timur, dari mana muncul
dua orang perwira ting-katan ketiga yang mendahului
masuknya emp; t orang ke dalam ruangan itu. Setibanya di
bawah kain sulaman itu, dengan sikap sangat hormat, mereka
mempersilakan keempat orang tersebut duduk di kursi yang
dialas dengan kulit harimau.
Antara keempat tetamu itu, yang berjalan paling dulu
adalah seorang pendeta tua yang alisnya putih dan tangannya
mencekal sebatang Sian-thung dari kayu Yang-bok yang
berwarna kuning. Dilihat dari paras mukanya yang welas asih,
pendeta tua itu paling sedikitnya sudah berusia sembilan
puluh ta-hun. Yang kedua adalah seorang Toojin yang kirakira
berusia tujuh puluh tahun, dengan muka mu-ram
berwarna hitam dan mata separuh tertutup separuh terbuka.
Kedua orang itu " yang satu Hweeshio dan yang lain Toojin
" sangat berbeda satu sama lain. Si hweeshio tua bertubuh
tinggi besar dan berparas angker, sehingga sekelebatan saja,
orang segera tahu, bahwa ia seorang beribadat yang berilmu
tinggi. Tapi si Toojin tiada bedanya seperti imam biasa yang
sering memperdayai orang dengan menjual surat jimat atau
obrolan lain. Tapi rru ngapa dia termasuk salah seorang dari
empat Ciangbunjin "besar?" Yang ketiga adalah seorang tua
berusia enam puluh tahun lebih yang kelihatan-nya
bersemangat sekali, dengan sepasang matanya yang berkilatkiiat
dan kedua Tay-yang-hiat yang menonjol ke atas, suatu
tanda, bahwa ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Begitu
masuk, sambil tersenyum-senyum, ia manggut-manggut dan
di an-tara seratus lebih Ciangbunjin itu, tak kurang dari
sembilan puluh yang mengenalnya. Mereka meng-gunakan
panggilan "Tong Toako" atau "Tong Tayhiap" dan hanya
beberapa pentolan yang sudah berusia lanjut menggunakan
istilah "Kam Lim-heng".
Ouw Hui agak terkejut. "Ah! Orang itu tentu bukan lain dari
pada Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay Tong Tayhiap!" katanya
di dalam hati. "Ibu Wan Kouwnio telah ditolong olehnya dan ia
dikenal sebagai seorang pendekar yang berpribudi tinggi.
Sungguh tak dinyana hari ini ia kena ditarik oleh Hok Kong An.
"Tong Pay tidak lantas duduk, tapi menghampiri dan memberi
salam kepada sejumlah Ciangbunjin yang dikenalnya.
Sikapnya yang ramah tamah menimbulkan rasa hormat dalam
hati setiap orang. Waktu tiba di meja Ouw Hui, sambil menarik
tangan Ciangbunjin dari Tay-seng Kauw-kun-bun, ia berkata:
"Kera tua! Kau juga datang" Mengapa tuan rumah tidak
menyuguhkan sepiring buah tho ke-padamu?"
Orang itu membungkuk secara hormat sekali dan berkata
seraya tertawa: "Tong Tayhiap, sudah tujuh tahun aku tidak
pernah'mengunjungi kau untuk menanya keselamatanmu.
Semakin lama ku-lihat Tayhiap semakin gagah."
Tong Pay tertawa. "Bagaimana dengan anak cucu kera
dalam guha Sui-liam-tong gunung Hoa-ko-san?" tanyanya
sambil menepuk pundak orang.
"Dengan bersandar kepada Tong Tayhiap, mereka semua
baik-baik saja." jawabnya.
Tong Pay tertawa terbahak-bahak. Ia berpaling kepada Kie
Siauw Hong dan bertanya: "Apa Kie Loosam tidak datang?"
Pemuda itu buru-buru memberi hormat seraya menjawab:
"Ayah tidak datang. Siang-malam ayah selalu ingat Tong
Tayhiap dan sering mengatakan, bahwa sesudah menelan Jinsom
Yang-eng-wan pemberian Tayhiap, kesehatannya
mendapat ba-nyak kemajuan."
"Apa kau menginap di gedung In Pweecu?" tanya pula
Tong Pay. "Baiklah, besok aku akan memberi beberapa pel
lagi untuk ayahmu."
Kie Siauw Hong membungkuk lagi dan meng-haturkan
terima kasih berulang-ulang. Sesudah manggut-manggutkan
kepalanya kepada Ouw Hui. Leng So dan Coa Wie, Tong Pay
segera pergi ke lain meja.
"Tong Tayhiap bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, tapi sebenarbenarnya,
pengaruhnya melampaui tu-juh propinsi," kata
Ciangbunjin Kauw-kun-bun dengan suara kagum. "Tahun itu,
piauw seharga de-lapan belas laksa tahil perakyang dilindungi
olehku telah hilang di jalan Kamliang. Karena gusar dan
jengkel, hampir-hampir aku mencemplungkan diri ke dalam
sumur. Kalau bukan Tong Tayhiap yang turun tangan dengan
menggunakan jalan lembek dan keras, sehingga ia sampai
mengangkat senjata, mina mau Ciu-coan Sam-houw
memulangkan piauw tersebut?" (Tiga harimau dari Ciu-coan)
Secara bernafsu dan dengan rasa berterima kasih yang sangat
besar, ia segera menuturkan segala kejadian-nya. Sebagai
seorang yang menanggung budi besar, setiap ada
kesempatan, ia selalu menceritakan per-tolongan Tong Pay
kepadanya. Orang yang keempat mengenakan seragam per-wira
dengan topi tingkat keempat. Ia masuk dengan tindakan
mantap dan sikap angker, sehingga seke-lebatan saja, orang
akan lantas bisa lihat, bahwa ia adalah pentolan dalam Rimba
Persilatan. Ia berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya
persegi, kupingnya lebar, kedua matanya bersinar tajam dan
dengan sikap luar biasa tenang, ia duduk di kursi keempat.
"Ah! Dia juga seorang yang sangat lihay," kata Ouw Hui
dalam hatinya. Waktu baru tiba di gedung itu, pemuda itu
tidak memandang sebelah mata kepada Ciangbun Tayhwee
yang dihimpunkan oleh Hok Kong An. Tapi begitu melihat
keempat Ciang-bunjin itu, hatinya lantas saja keder. "long
Tayhiap dan perwira itu saja belum tentu dapat dijatuhkan
olehku," pikirnya. "Si hweeshio dan Toojin yang duduk 1i kursi
yang lebih tinggi, sudah tentu memiliki kepandaian yang lebih
lihay. Hari ini aku harus berhati-hati dan rahasiaku tidak boleh
bocor." Memikir begitu, ia tidak berani menengok ke sana-sini
lagi, karena khawaiir dikenali oleh kaki tangan Hok Kong An
dan lalu meraup kwacie yang lalu dimakannya perlahan-lahan.
Sesudah bersalaman dengan orang-orang yang dikenalnya,
Tong Pay Tayhiap barulah duduk di kursinya. Begitu ia duduk,
orang-orang yang ting-katannya lebih muda dengan beruntunruntun
menghampiri dan memberi hormat dengan ber-lutut.
Tong Pay adalah seorang hartawan yang ta-ngannya sangat
terbuka. Dalam kunjungannya ke pertemuan itu, muridmuridnya
membawa banyak angpauw (bungkusan merah
berisi uang). Kepada setiap orang muda yang baru memberi
hormat kepadanya dengan berlutut, ia menghadiahkan lima
tahil perak sebagai tanda mata untuk perkenalan itu. Selang
beberapa lama barulah pemberian-pem-berian hormat kepada
Tong Tayhiap selesai.
Sesaat kemudian, seorang perwira tingkat kedua berteriak:
"Tuang arak!" Semua pelayan yang bertugas di berbagai meja
lantas saja menuang arak. Sambil mengangkat cawan tinggitinggi,
perwira itu berkata dengan suara nyaring: "Para
Ciangbun dan Busu dari berbagai partai! Hok Thayswee
menyam-but dengan gembira kedatangan kalian di ibu kata.
Sekarang terlebih dulu siauwtee menghaturkan selamat
datang kepada kalian dengan secawan arak ini. Sebentar, Hok
Thayswee sendiri akan meng-angkat cawan dengan kalian."
Sehabis berkata be-gitu, ia menceguk cawannya, diikuti oleh
para ha-dirin. Sehabis minum, perwira itu berkata pula: "Hari ini, yang
hadir dalam ruangan ini adalah orang-orang gagah dari Rimba
Persilatan -- suatu kejadian yang langka dalam sejarah
persilatan. Apa yang paling menggirangkan Hok Thayswee
ialah beliau berhasil mengundang juga empat Ciangbunjin besar.
Dengan menggunakan kesempatan ini, siauw-tee ingin
memperkenalkan keempat Ciangbunjin besar itu kepada
kalian." la menunjuk Hweeshio yang alisnya putih dan
melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Taytie Siansu,
Hong-thio kelen-teng Siauw-lim-sie di gunung Siongsan,
propinsi Holam. Selama lebih dari seribu tahun, Siauw-lim-sie
selalu dianggap sebagai sumber dari ilmu silat. Hari ini, dalam
pertemuan para Ciangbunjin di kolong langit, sudah
sepantasnya saja jika Tay-tie Siansu menduduki kursi
pertama." Para hadirin lantas saja bersorak-sorai sambil menepuknepuk
tangan. Siauw-lim-sie mempunyai sangat banyak
cabang, sehingga dapat dikatakan, bahwa ilmu silat dari
sedikitnya sepertiga orang-orang yang hadir di situ masih
bersangkut paut dengan kelenteng itu. Maka itu, dapat
dimengerti jika pertemuan dengan pemimpin Siauw-lim-sie
sudah menggirangkan sangat banyak orang-orang gagah itu.
Sambil menunjuk Toojin yang duduk di kursi kedua, perwira
itu berkata pula: "Di samping Siauw-lim-pay adalah Bu-tongpay
yang namanya sangat cemerlang. Yang itu adalah Buceng-
cu Tootiang. ketua kuil Giok-hie-kiong di gunung Butong-
san." Bu-tong-pay adalah leluhur dari ilmu silat Lweekang (ilmu
silat "dalam") yang terkenal di seluruh Tiongkok. Akan tetapi,
mendengar, bahwa Toojin yang mukanya mesum itu adalah
Ciangbunjin Bu-tong-pay, semua orang merasa heran. Apa
yang mereka tahu, ialah semenjak sepuluh tahun berselang,
sedari Ciangbunjin Ma Giok meninggal
Bukit Pemakan Manusia 11 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Pendekar Panji Sakti 9
^