Kisah Si Rase Terbang 17

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 17


a jaman itu. Tahun itu Wan-seng meminta permisi dari guru-nya untuk
pergi ke Tionggoan guna membalas sakit hati mendiang
ibunya. Waktu mau berangkat, Lok Peng menyerahkan kuda
putih kepadanya dengan permintaan supaya kuda jempolan
itu diserahkan kepada Ouw Hui. Tapi Tio Poan San telah
membuat sedikit kesalahan - ia memberi pujian terlalu tinggi
kepada Ouw Hui, sehingga si nona merasa sangat penasaran
dan mengambil keputusan untuk men-jajal kepandaian
pemuda itu. Di luar dugaan, begitu bertemu, mereka saling
tertarik satu sama lain dan belakangan di dalam hati mereka
mulai bersemi perasaan cinta. Waktu tersadar, Wan-seng
men-dapat kenyataan, bahwa dirinya sudah terikat erat
dengan tali asmara. Maka itu, dengan hati pedih, ia
membatasi diri dan tidak berani terlalu sering bertemu muka
dengan pemuda itu. Tapi diam-diam ia mengikuti dari
belakang. Tak lama kemudian Ouw Hui bertemu dan
bersahabat dengan Leng So. Hati-nya sangat terluka, tapi
sebagai seorang manusia yang berhati mulia dan mencintai
Ouw Hui dengan setulus hati, ia bahkan merasa syukur,
bahwa pemuda itu telah bertemu dengan nona Thia. Tapi
tanpa diketahui orang, ia telah mengucurkan ba-nyak air
mata. Dalam usahanya untuk membalas sakit hati, ia sebenarnya
bisa membinasakan atau meracuni Kam-lim-hui-cit-seng Tong
Pay. Tapi ia merasa, bahwa manusia itu yang selalu berpurapura
sebagai seorang mulia harus dilucuti topengnya di
hadapan orang banyak. Jika ia bisa berbuat begitu, ia akan
merasa lebih senang daripada membunuhnya secara diamdiam.
Kesempatan datang sendirinya. Hok Kong An ingin
mengadakan Ciangbunjin Tayhwee dan telah mengirim surat
undangan ke berbagai tempat. Wan-seng mengerti maksudmaksud
pembesar itu. Ia tahu, bahwa pertama, Ciangbunjin
Tayhwee ingin digunakan untuk mengumpulkan orang-orang
ga-gah guna menghadapi Ang-hoa-hwee dan kedua, untuk
memecah belah orang-orang Rimba Persilat-an supaya tenaga
untuk melawan pemerintah Boan-ciu menjadi hancur atau
sedikitnya menjadi lebih lemah. Bagi Wan-seng, pertemuan
Ciangbunjin itu merupakan kesempatan yang sangat baik
untuk membuka topeng Tong Pay di hadapan segenap orang
gagah. Begitu tiba di Pakkhia, ia segera menyelidiki keadaan Tong
Pay. Di Ouw-pak, dalam gedungnya sendiri, Tong Pay
mempunyai banyak kaki tangan, sehingga tidaklah gampang
untuk mengintip di ge-dung itu. Tapi di kota raja, dia hanya
mengambil sebuah kamar di salah satu rumah penginapan
kelas satu. Dengan menyamar sebagai seorang lelaki, Wanseng
bisa keluar masuk di rumah penginapan tersebut tanpa
dicurigai oleh siapa pun jua. Dari pembicaraan-pembicaraan
Tong Pay, ia mendapat tahu, bahwa manusia busuk itu ingin
mengabdi kepada Hok Kong An untuk memanjat tangga kepangkatan
dan kemewahan. Dengan cermat dan hati-hati, ia
segera bekerja. Ia membuat surat palsu, menukar kopiah dan
kejadian- kejadian selanjutnya adalah sedemikian kebetulan,
sehingga sekarang, biarpun mempunyai seratus mulut, Tong
Pay tak akan bisa membela diri dari tuduhan yang hebat itu.
Sebenarnya, ia sudah menghitung untuk menye-ret juga
Hong Jin Eng. Akan tetapi, antara ayah dan anak memang
terdapat semacam ikatan yang sukar diputuskan dengan
begitu saja. Biarpun manusia she Hong itu sangat jahat dan
dia belum pernah melimpahkan rasa cintanya terhadap si
anak, tapi perkataannya yang sudah berada di bibir Wan-seng
sukar diucapkan.
Keadaan Tong Pay pada saat itu adalah seperti seorang
yang sedang kelelap di dalam sungai. Apa saja, biarpun
selembar rumput, akan dijambretnya dan dicekalnya erat-erat.
Demikianlah sambil menuding, dia segera berteriak: "Hong Jin
Eng! Jawab pertanyaanku: Apa dia anakmu atau bukan?"
Hong Jin Eng mengangkat kepala dan lalu mengawasi Wanseng
dengan mata tidak berkedip.
"Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay. "Bapak dan anak itu
telah mengatur tipu untuk mencelaka-kan siauwjin."
"Perlu apa aku mencelakakana kau?" tanya si orang she
Hong dengan gusar.
"Karena perbuatanku, sehingga isterimu bina-sa,"
jawabnya. Hong Jin Eng tertawa dingin. "Huh-huh...!" ia
mengeluarkan suara di hidung. "Siapa kata pe-rempuan itu
isteriku" Begitu kudapat, aku melem-parkannya lagi...." Tibatiba
ia menggigil dan tidak dapat meneruskan perkataannya,
karena kedua mata Wan-seng yang bersinar dingin dan tajam
bagaikan pisau, menatap wajahnya.
"Baiklah," kata Tong Pay. "Keadaan sudah jadi sedemikian
rupa, sehingga aku pun tidak perlu melindungi kau lagi.
Sekarang jawablah pertanyaanku: Siapa yang melepaskan Bueng
Gin-ciam, kau atau aku" Jika kau mampu melepaskannya,
coba-lah! Timpuklah aku dengan jarum itu!"
Pembukaan rahasia itu disambut dengan suara ramai dari
para hadirin. Baru sekarang mereka tahu, bahwa jarum aneh
itu sebenarnya dilepaskan oleh Tong Pay.
Sesudah punggungnya kena jarum, Ouw Hui tahu, bahwa
yang melepaskannya bukan Hong Jin Eng, karena waktu itu ia
berhadapan dengan lawan-nya. Tapi ia sedikit pun tidak
menduga Tong Pay, lantaran tadi si orang she Tong telah
bertengkar dengan Hong Jin Eng. Yang diduga olehnya adalah
Hay Lan Pit. Latar belakang dari muslihat licik itu adalah begini: Waktu
kabur dari Hud-san-tin dan lewat di Ouw-pak, Hong Jin Eng
menginap beberapa malam di rumah Tong Pay. Secara
kebetulan, ia mendengar pembicaraan antara dua orang
pembantu rumah tangga yang berbincang-bincang mengenai
keadaan di Hud-san-tin. Waktu Hong Jin Eng mendekati dan
menanya ini itu, mereka memperlihatkan sikap yang
mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng
mendekati dan menanya ini itu, mereka memperlihatkan sikap
yang mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng
selalu ketakutan dan berwaspada. Dengan menghadiahkan
seorang lima puluh tahil perak, ia mendapat tahu peristiwa
yang terjadi atas din Gin Kouw. Tapi ia tidak menjadi gusar,
karena Gin Kouw dianggapnya sebagai ba-rang mainan
belaka. Ia pun tidak menanyakan hal itu kepada Tong Pay.
Setibanya di Pakkhia, dengan mengeluarkan sejumlah
besar uang, ia meminta bantuan Ciu Tiat Ciauw dan kawankawannya
untuk mendamaikan sengketanya dengan Ouw Hui.
Tapi pemuda itu ternyata laki-laki sejati yang tidak
memandang segala harta dunia.
Ia ketakutan setengah mati. Ia mengerti, bahwa sebegitu
lama Ouw Hui masih belum disingkirkan, ia tak akan bisa
hidup tentram di dalam dunia. Ia segera berdamai dengan
Tong Pay. Ia sengaja mengatakan, bahwa Ouw Hui pasti akan
menghadiri Ciangbunjin Tayhwee untuk mengacau. Tapi Tong
Pay tidak mudah dibujuk. Akhirnya ia menyebutkan persoalan
Gin Kouw. Dengan kata-kata halus, ia memberi isyarat, bahwa
jika Tong Pay tidak mau menolong, ia akan membuka rahasia.
Tapi jika jago itu bisa membinasakan Ouw Hui, sesudah
kembali di Hud-san-tin, setiap tahun ia akan memberi selaksa
tahil perak kepadanya.
Dalam pergaulannya yang sangat luas, Tong Pay
memerlukan banyak uang. Untuk mempertahankan "nama
harumnya", ia tidak bisa bersepak terjang seperti Hong Jin
Eng, misalnya membuka tempat judi, menguasai pelabuhan
dan Iain-lain. Mende-ngar janji itu, hatinya tergerak juga.
Dengan di-dorong oleh kekhawatiran mengenai rahasianya
sendiri, ia segera menyanggupi. Tong Pay berotak sangat
lihay. Ia segera membuat alat rahasia untuk melepaskan
jarum dan memasang alat tersebut di dalam sepatunya. Selagi
berjalan tumit sepatunya tidak menyentuh tanah, sebab begitu
lekas, tumit itu tertekan, jarum perak lantas saja keluar
menyambar. Muslihat itu memperoleh hasil luar biasa,
sehingga orang-orang seperti Ouw Hui dan Leng So masih
kena dikelabui.
Tapi siapa yang menyebar angin akan mendapat taufan.
Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa puteri Gin Kouw bakal
muncul di dalam Ciang-bunjin Tayhwee. Dalam bingungnya,
mendadak ia dapat meraba, bahwa Wan-seng adalah puteri
Hong Jin Eng dan ia segera membuka rahasia. Dalam
pembukaan rahasia itu, ia pun mempunyai per-hitungan
sendiri. Ia menganggap, bahwa kedosaan mencelakakan
seorang wanita dan main gila dalam pertandingan Ciangbunjin
Tayhwee, banyak lebih enteng daripada kedosaan bersekutu
dengan Ang-hoa-hwee, sehingga ia bisa mengharap untuk terlolos
dari hukuman mati.
Tapi Hong Jin Eng pun bukan manusia tolol. Begitu
diserang, ia segera mengerti maksud lawannya. "Binatang!
Kau sungguh manusia busuk," teriaknya. "Sesudah aku tahu
rahasiamu, rahasia persekutuanmu dengan Ang-hoa-hwee,
kau sudah berusaha untuk membeli aku dengan memberi
bantuan dalam pertandingan. Tapi Hong Jin Eng bukan
seorang peng-khianat. Mana bisa kau membeli... aduh...!"
Tiba-tiba ia berteriak kesakitan dan roboh di lantai. Ternyata,
dalam gusarnya, Tong Pay menjejak kedua tumit sepatunya
dan empat batang jarum menyambar ke-empat jalan darah si
orang she Hong.
Wan-seng melompat dan berseru: "Ayah...!"
Sambil menangis Wan-seng mengangkat tubuh ayahnya
dan meraba dadanya. Segera juga ia mendapat kenyataan,
bahwa sang ayah sudah menghem-buskan napasnya yang
penghabisan. Keadaan dalam ruangan itu lantas saja berubah kacau.
Selagi orang berlomba-lomba bicara, Hok Kong An berpikir:
"Tong Pay pasti mempunyai kawan dan niekouw itu pasti
sudah tahu bunyinya surat, sehingga dia bisa membocorkan
rahasia. Tak dapat aku membiarkan dia hidup terus." Memikir
begitu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan kepada
An Teetok: "Tutup semua pintu. Tak seorang pun boleh
keluar." Ouw Hui yang bermata sangat awas segera mengetahui,
bahwa keadaan sudah sangat berba-haya. Ia melompat
mendekati Wan-seng dan berbisik: "Kita harus kabur
selekasnya, kalau terlambat kita bisa celaka." Wan-seng
mengangguk dan mereka lalu mendekati Leng So. Sekonyongkonyong
tangan Wan-seng berkelebat dan jerijinya menotok
jalan darah Coa Wie yang lantas saja terjungkal.
Ouw Hui terkejut dan mengawasi Wan-seng dengan sorot
mata menanya: "Ouw Toako," kata Wan-seng. "Dialah yang
telah membocorkan ra-hasia dan diam-diam mengantar
pulang kedua anak-nya Hok Kong An."
"Ah! Betul-betul kurang ajar!" kata Ouw Hui dengan gusar
dan lalu mengirim tendangan hebat. Tubuh Coa Wie terpental
dan meskipun tidak menjadi mati, dia terluka berat dan ilmu
silatnya musnah. Dalam kekalutan, dihajarnya Coa Wie tidak
diperhatikan orang.
Tiba-tiba terdengar teriakan An Teetok: "Tuan-tuan!
Duduklah! Jangan ribut!"
Sementara itu, Leng So sudah menghisap hunwee dan
mengepul-ngepulkan asapnya. Ia pergi ke tengah ruangan, ke
kiri dan kanan sambil mengepulkan asap.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang: "Aduh...!
Aduh!" Ia berteriak sambil memegang perut. Teriakan itu
disusul dengan teriakan seorang lain dan sesaat kemudian,
ruangan itu seolah-olah digetarkan oleh teriakan-teriakan
"perut sakit" dan semua orang memegang perutnya. Seraya
memberi isyarat dengan lirikan mata, Leng So pun turut
berteriak, diturut oleh Ouw Hui dan Wan-seng.
Orang yang mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong" juga tidak
terluput dan sambil membungkuk karena menahan sakit, ia
mengeluarkan seikat rum-put dari sakunya dan lalu
membakarnya. Ia mengerti, bahwa itu adalah akibat racun
dan dengan rumput itu, ia berusaha untuk memunahkannya.
Melihat begitu, Leng So lantas berteriak: "Celaka! Tok-chiu
Yo-ong melepaskan racun! Lihat! Dia melepaskan racun!"
"Lekas! Tahan dia! Dia mau meracuni Hok Thayswee,"
menyambungi Ouw Hui.
Dalam bingungnya, para Wie-su tentu saja tak tahu dari
mana datangnya racun. Tapi, karena Cio Ban Tin sudah
dikenal sebagai si raja racun dan juga sebab dia sedang
membakar rumput, maka mereka lantas saja pereaya teriakan
Ouw Hui. Di lain saat, puluhan senjata rahasia sudah
menyambar ke arah Tok-chiu Yo-ong tetiron itu.
Tapi Cio Ban Tin memang bukan sembarang orang. Dalam
bahaya, ia tak jadi bingung. Sekali membungkuk, ia
mengangkat sebuah meja yang lalu digunakan sebagai
tameng, sehingga semua senjata rahasia menancap di papan
meja. "Hei! Jangan kamu menuduh buta-tuli," teriaknya. "Ada
orang menaruh racun di air teh dan arak."
Di antara para hadirin ada banyak juga yang merasa curiga
terhadap Hok Kong An, kalau-kalau Ciangbunjin Tayhwee mau
digunakan untuk membasmi orang-orang gagah dalam Rimba
Persilatan. Semenjak dahulu, banyak raja atau menteri besar
coba membasmi para sasterawan atau orang-orang gagah,
jika mereka tidak bisa mendapat bantuan kaum sasterawan
atau orang gagah itu. Di Tiongkok terdapat sebuah pepatah
yang mengatakan begini. "Dengan ilmu surat, seorang
sasterawan dapat mengacaukan ketentraman dan dengan ilmu
silat, seorang gagah bisa mengacaukan keamanan." Jika
sasterawan atau orang gagah tidak bisa ditaklukkan, mereka
bisa mengacau, sehingga oleh karenanya, mereka harus
dibasmi. Demikianlah kecurigaan yang dikandung oleh
sebagian orang yang menghadiri Ciangbunjin Tayhwee itu.
Maka itulah, begitu mendengar teriakan Tok-chiu Yo-ong,
bahwa, "ada orang menaruh racun di air teh dan arak",
banyak orang jadi ketakutan. Mereka tentu saja tak tahu,
bahwa Hok Kong An dan para Wie-su sendiri sedang sakit
perutnya. Kekalutan makin menjadi-jadi.
"Lekas lari! Hok Thayswee mau meracuni kita!"
"Yang masih kepingin hidup lekas lari!"
"Mari!"
Berbareng dengan teriakan-teriakan itu, semua orang mulai
bergerak ke arah pintu.
Sementara itu, Tong Pay dan Wan-seng sudah bertempur


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati-matian. Yang satu coba meloloskan diri, yang lain
bertekad untuk membalas sakit hati. Dalam pertempuran itu,
Wan-seng berada di atas angin sebab, sesudah makan pel
yang diberikan Leng So, ia terbebas dari sakit perut. Tapi
biarpun bersenjatakan kebutan yang dapat menyedot jarum
perak, ia masih merasa jeri terhadap Bu-eng Gin-ciam.
Maka itu, ia tidak berani terlalu mendesak dan
menghantam dengan cambuknya dari sebelah ke-jauhan.
Sementara itu, dengan dilindungi oleh para Wie-su, Hok
Kong An sudah masuk ke ruangan dalam dan segera
mengeluarkan perintah untuk menutup semua pintu dan
melarang keluarnya siapa pun jua. Kemudian ia memanggil
tabib untuk meng-obati perutnya.
Begitu melihat para Wie-su bergerak untuk menutup pintu,
makin keras dugaan para hadirin, bahwa Hok Kong An
menggenggam maksud tidak baik. Untuk menolong jiwa,
sekarang mereka tidak memperdulikan lagi kedosaan
"memberontak". Dengan serentak mereka menerjang ke pintu.
Dari ruangan pertandingan ke pintu luar ter-dapat tiga
buah pintu. Di lain saat, di ruangan-ruangan itu sudah terjadi
pertempuran hebat antara rombongan para Ciangbunjin dan
kaki tangan Hok Kong An.
Dalam kekalutan, An Teetok buru-buru meng-hampiri
kedelapan Ciangbunjin besar dan berkata: "Orang jahat sudah
mengacau dan kuharap kalian tenang-tenang saja. Hok
Thayswee sangat meng-hormati orang-orang pandai dan
kalian jangan mempunyai kecurigaan apa pun jua."
"Kepala penjahat adalah Tong Pay dan kita harus lebih dulu
membekuknya," kata Hay Lan Pit sambil mencabut kedua
tongkatnya. Ia segera ber-tindak untuk bantu mengepung
Tong Pay. Melihat Wan-seng belum juga bisa menjatuh-kan
musuhnya, Ouw Hui segera menghunus golok dan menerjang.
"Sambut jarumku!" teriak Tong Pay.
Ouw Hui, Wan-seng dan Hay Lan Pit terkejut dan mereka
melompat mundur. Dengan mengguna-kan kesempatan itu,
tiba-tiba Tong Pay menjejak kedua kakinya dan badannya
melesat ke luar dari jendela. Ouw Hui dan Wan-seng
mengejar, tapi mereka dipapaki dengan sejumlah jarum.
Dengan berjumpalitan Ouw Hui menolong diri, sedang Wanseng
menyambut senjata rahasia itu dengan kebutannya.
Karena kelambatan itu, Tong Pay ke-buru kabur.
Di lain saat terdengar suara teriakan kesakitan dan tiga
orang Wie-su jatuh dari atas genteng. Mereka ternyata sudah
dirobohkan oleh Tong Pay.
"Hei!" teriak Leng So. "Mengapa kamu tidak mengejar
penjahat yang sudah membinasakan Hok Thayswee dengan
racun?" Semua Wie-su terkesiap. Apa benar Hok Thayswee binasa"
Selagi orang kaget, Leng So menarik tangan Wan-seng dan
Ouw Hui seraya berbisik: "Hayolah!" Waktu mau melangkah
pintu, Wan-seng menengok ke belakang dan untuk
penghabisan kali, melihat wajah mendiang ayahnya. "Kau
sudah mencelaka-kan ibu, tapi, biar bagaimanapun juga, kau
adalah ayahku," katanya di dalam hati.
Di ambang pintu, mereka dicegat oleh tiga orang Wie-su.
Wan-seng merobohkan satu antara-nya dengan menggunakan
cambuk, sedang Ouw Hui menghajar yang dua dengan tinju
dan tendangan. Ketika itu, langit sudah terang benderang dan bala bantuan
dengan beruntun sudah tiba di luar gedung Hok Kong An.
Dengan cepat Ouw Hui bertiga mencari jalan keluar dan
kemudian kabur dengan melalui lorong-lorong kecil.
"Apa yang sudah terjadi atas diri Ma Kouwnio?" tanya Ouw
Hui. "Si tua she Coa telah memerintahkan kaki ta-ngannya
untuk mengantarkan Ma Kouwnio dan kedua puteranya ke
gedung Hok Kong An," menerangkan Wan-seng. "Hal itu
secara kebetulan telah diketahui olehku dan aku lalu mencegat
mereka. Tapi sungguh menyesal, aku hanya berhasil
menolong Ma Kouwnio seorang."
"Di mana kau menyembunyikannya?" tanya pula Ouw Hui.
"Dalam sebuah kelenteng rusak, di luar pintu kota barat,"
jawabnya. "Oleh karena itu, aku datang terlambat, sehingga
bangsat she Tong itu bisa melarikan diri." Kata-kata yang
paling belakang itu diucapkannya dengan suara mendongkol.
"Tapi untuk sementara, kau harus merasa puas,"
membujuk Ouw Hui. "Penjahat itu sudah hancur namanya.
Nona... sebagian dari sakit hatimu sudah dapat dibalas. Kita
akan mencari dia dan kupereaya dia tak akan bisa terlolos."
Wan-seng tidak mengatakan suatu apa, tapi di dalam hati
ia sangat berduka, karena ia tidak dapat berkumpul dengan
Ouw Hui lebih lama lagi.
"Sesudah terjadi peristiwa hebat di gedung Hok Kong An,
pintu-pintu kota pasti akan segera di-tutup," kata Leng So.
"Kita tidak boleh berayal."
Ouw Hui dan Wan-seng membenarkan per-kataan Leng So
dan dengan cepat mereka bertiga menuju ke pintu kota Soanbu-
bun. Untung juga penjaga pintu belum menerima perintah,
sehingga mereka bisa keluar dengan selamat. Mereka kem-bali
ke rumah Ouw Hui, berkemas secapat mungkin dan bersiap
untuk berangkat dengan membawa si putih, hadiah Lok Peng.
"Ouw Toako," kata Leng So sambil tertawa, "gedung ini,
yang telah kau peroleh dengan berjudi, lebih baik
dikembalikan saja kepada Ciu Tayjin."
Ouw Hui turut tertawa. "Dia telah membantu banyak
kepada kita dan adalah sepantasnya saja, jawab dia mendapat
kembali gedung ini," katanya. Biarpun ia bicara sambil
tertawa-tawa, tapi ia tidak berani berbentrok mata dengan
Wan-seng. Dengan Wan-seng sebagai penunjuk jalan, mereka menuju
ke kelenteng rusak itu, yang terpisah jauh dari jalan raya.
Patung malaikat yang dipuja dalam kelenteng itu bermuka
hijau, dengan ping-gang terlibat oyot pohon dan tangan
menggenggam rumput yang ditempelkan pada mulutnya,
seperti sedang mencicipi rumput itu. Malaikat itu ialah Sin
Liong Sie, seorang leluhur ilmu ketabiban di Tiong-kok.
"Thia Moay-moay," kata Wan-seng, "kau seperti pulang ke
rumah sendiri. Kelenteng ini ialah kelenteng Yo-ong."
Mereka segera pergi ke kamar samping, di mana Ma It
Hong sedang rebah di atas rumput kering. Napasnya sudah
lemah sekali, ia tidak mengenali Ouw Hui dan mulutnya
mengacau: "Anakku... mana anakku!" Suaranya hampir tidak
kedengaran. Leng So memegang nadi si sakit dan membuka kelopak
matanya. Sesudah itu, mereka keluar dari kamar tersebut.
Nona Thia menggelengkan kepala dan berkata: "Tak bisa
ditolong lagi. Pukulan-pu-kulan itu terlampau berat untuknya.
Andaikata Suhu hidup kembali, ia pun tak akan bisa berbuat
apa-apa." Tanpa diberitahu, Ouw Hui pun tahu, bahwa keadaan Ma It
Hong sudah tidak memberi harapan lagi. Di depan matanya
kembali terbayang kejadian yang sudah lampau, kejadian di
Siang-kee-po, di-mana ia bertemu dengan It Hong untuk
pertama kalinya. Ia berduka bukan main dan air matanya
mengucur deras.
Sedari bertemu pula dengan Wan Cie Ie, yang sudah
berubah menjadi pendeta, hatinya memang sudah sangat
sedih, tapi sebisa-bisa ia menguatkan hatinya. Sekarang,
begitu air matanya mengalir keluar, ia tak dapat menahannya
lagi dan lantas saja ia menangis terisak-isak.
Leng So dan Wan-seng adalah orang-orang yang sangat
pintar dan mereka lantas saja dapat menebak sebab musabab
dari kedukaan Ouw Hui.
"Aku ingin menengok lagi Ma Kouwnio," kata Leng So
sambil berlalu.
Sesudah nona Thia berlalu, dengan mata merah Wan-seng
berkata: "Ouw Toako, terima kasih untuk... untuk...." Ia tak
dapat meneruskan perkataan-nya.
Dengan air mata berlinang-linang, Ouw Hui mengangkat
kepalanya seraya berkata dengan suara terputus-putus:
"Apakah... apakah kau tidak bisa kembali ke dunia pergaulan
umum" Sesudah mem-binasakan manusia she Tong itu dan
membalas sakit hati ibumu, kau jangan jadi pendeta lagi."
Wan-seng menggelengkan kepala. "Janganlah kau
mengeluarkan perkataan begitu," katanya. "Da-hulu, aku telah
bersumpah di hadapan Suhu untuk mengabdi kepada Sang
Buddha. Kalau sekarang aku berubah pikiran, aku berdosa...
apalagi... apalagi...." Ia menghela napas panjang-panjang dan
menun-dukkan kepala.
Banyak sekali yang ingin diucapkan oleh kedua orang muda
itu, tapi tak sepatah kata keluar dari mulut mereka. Untuk
beberapa lama mereka mem-bungkam. "Thia Kouwnio
seorang baik," kata Wan-seng akhirnya, "kau harus
memperlakukannya baik-baik. Mulai dari sekarang, kau jangan
mengingat-ingat aku lagi dan aku pun tak akan ingat kau
lagi." Hati Ouw Hui pedih, bagaikan disayat pisau. "Tidak,"
katanya, "selama masih bernapas aku tak akan bisa
melupakan kau... tak bisa melupakan kau."
"Guna apa?" kata Wan-seng. "Kau hanya akan lebih
menderita." Sehabis berkata begitu, sambil menggigit bibir, ia
memutar badan dan bertindak ke luar dari ruangan
sembahyang. "Kau mau ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara parau.
"Tak usah perdulikan aku," jawabnya. "Mulai saat ini, kita
harus kembali pada satu tahun ber-selang, di waktu kau
belum mengenal aku dan aku pun belum mengenalmu."
Ouw Hui berdiri bagaikan patung. Dengan mata
membelalak, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang berjalan
terus tanpa menengok lagi.
Entah berapa lama ia berdiri di situ. Tiba-tiba ia terkejut
karena kupingnya menangkap suara tin-dakan kuda. "Apakah
dia kembali?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia segera sadar,
bahwa itu hanya harapan kosong, karena Wan-seng tidak
menung-gang kuda, apa pula, didengar dari suaranya, yang
datang itu bukan hanya seekor kuda. Beberapa saat
kemudian, ia melihat delapan-sembilan penung-gang kuda
muncul dari sebuah jalan kecil. Men-dadak jantungnya
berdebar keras, sebab orang yang terdepan, yang mukanya
tampan dan berusia belum cukup empat puluh tahun, bukan
lain dari pada Hok Kong An!
Darah Ouw Hui lantas saja meluap. "Manusia kejam itu
mempunyai kekuasaan besar dan kedu-dukannya hanya
setingkat lebih rendah dari pada Kian-liong sendiri," pikirnya.
"Dia menjadi kepala dalam penindasan terhadap bangsa Han
dan per-buatannya terhadap Ma Kouwnio kejam luar biasa.
Hm...! sungguh kebetulan aku bertemu dengan dia di tempat
yang begini sepi. Biarpun dia dilindungi oleh tukang-tukang
pukul kelas satu dan walaupun aku hanya dibantu oleh JieTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
moay, aku mesti menurunkan keangkerannya." Berpikir
begitu, sambil menolak pinggang ia segera menghadang di
tengah jalan. Melihat Ouw Hui, sembilan penunggang kuda itu dengan
serentak menahan tunggangan mereka. Orang yang berparas
tampan itu mengangkat kedua tangannya seraya berkata:
"Tuan, selamat bertemu."
"Bagus sekali perbuatanmu!" bentak Ouw Hui. "Apakah kau
masih ingat akan Ma It Hong?"
Paras Hok Kong An tampak bingung. "Ma It Hong?" ia
menegas. "Siapa dia?"
Ouw Hui tertawa dingin. "Huh-huh, bangsat kau!" cacinya.
"Dari Ma It Hong, kau sudah men-dapat dua orang anak. Kau
tak ingat" Kau memerintahkan tukang-tukang pukulmu
membunuh Cie Ceng, suami Ma It Hong. Tak ingat" Bersamasama
ibumu, kau sudah meracuni Ma It Hong. Ini pun tak
diingat lagi olehmu" Benar-benar kau penjahat besar yang
pandai berpura-pura.
Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin
sekali tuan salah mengenali," katanya. Seorang toosu (imam)
berlengan satu yang berada di sampingnya tiba-tiba tertawa
bergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring: "Dia orang
gila yang lagi datang gilanya!"
Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Ouw Hui melompat
dan telapak tangan kirinya meng-hantam muka Hok Kong An.
Pukulan tangan kiri itu hanya pukulan gertakan dan dengan
berbareng, lima jari tangan kanannya, yang dipentang seperti
kuku harimau, coba menyengkeram dada musuh. Ia mengerti,
bahwa jika serangannya yang pertama gagal, para Wie-su
tentu akan segera turun tangan. Maka itu pukulan tersebut --
Houw-jiauw Kin-na (Cengkeraman harimau) " hebat luar
biasa, cepat bagaikan kilat dan disertai dengan Lweekang
yang sangat tinggi, sehingga, dalam perhitungannya, Hok
Kong An tak akan bisa terlolos lagi.
"Ih!" Hok Kong An mengeluarkan seruan ter-tahan. Tanpa
memperdulikan tinju kiri Ouw Hui, ia mementang telunjuk dan
jari tengah tangan kanannya dan coba menotok jalan darah
Hwee-cong-hiat dan Yang-yu-hiat di pergelangan tangan
kanan Ouw Hui. Kecepatan gerakan itu belum pernah dialami
Ouw Hui yang jadi sangat kaget, karena, pada detik itu, kedua
jari tangan lawan hanya ter-pisah kira-kira dua dim dari
pergelangan tangannya. Tapi dalam bahaya, ia tak menjadi
bingung. Secepat kilat, ia mengubah gerakan tangannya dan
coba menyengkeram kedua jeriji musuh dan kalau kena, jeriji
itu pasti akan patah. Tapi di luar dugaan, Hok Kong An benarbenar
berkepandaian tinggi. Sebaliknya daripada menarik
pulang tangannya, ia mementang pula tiga jari tangannya
yang lain, sehingga pukulannya yang tadi, pukulan menotok,
berubah menjadi pukulan telapak tangan dan tanpa
menggerakkan lengan, tenaga pukulan itu sudah menyambar
ke luar. Menurut kebiasaan, seseorang yang ingin mengirim
pukulan telapak tangan, harus lebih dulu menarik mundur
lengannya, kemudian barulah mendorongnya ke luar. Dengan
cara demikian, tenaga pukulan baru bisa "dimuntahkan". Tapi
sung-guh heran, Hok Kong An dapat "memuntahkan"
tenaganya tanpa mengubah kedudukan lengannya yang sudah
diulur ke luar.
Bukan main kagetnya Ouw Hui. Ketika itu tubuhnya sedang


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di tengah udara dan ia tidak bisa meminjam tenaga.
Karena sudah kesusu, ia terpaksa menghantam dengan
telapak tangan kirinya dan "plak!", dua tangan itu beradu. Ia
merasa dadanya menyesak dan darahnya meluap ke atas.
Tapi dengan meminjam bentrokan tenaga itu, badannya
melesat dua tom-bak lebih dan selagi masih berada di tengah
udara, ia menarik napas dalam-dalam, sehingga pada waktu
kedua kakinya hinggap di tanah, jalan pernapasan-nya sudah
tenteram kembali.
"Bagus!" delapan-sembilan orang itu memuji.
Di lain pihak, sebagai akibat dari bentrokan tangan itu,
tubuh Hok Kong An pun bergoyang sedikit, tapi sesaat
kemudian, ia sudah bisa duduk lagi dengan tetap di atas
tunggangannya. Pada paras mukanya kembali terlihat
perasaan heran.
Peristiwa barusan itu sudah terjadi dalam sekejap mata.
Tapi dalam tempo sependek itu, kedua belah pihak sudah
saling menjajal kepandaian dengan menggunakan beberapa
macam pukulan yang tertinggi dan tersulit dalam dunia
persilatan. Dan dari hasilnya, ternyatalah, bahwa Ouw Hui
masih kalah setingkat.
Ouw Hui tak pernah mimpi, bahwa Hok Kong An memiliki
ilmu silat yang sedemikian tinggi. Ia heran bereampur kagum,
tapi kedua perasaan itu tidak dapat menghapus amarahnya.
"Anak tolol!" kata si imam yang berlengan satu. "Apakah
sekarang kau mengakui, bahwa kau sudah salah mengenali
orang" Ayo, lekas berlutut untuk minta maaf!"
Ouw Hui mengawasi lawannya. Tak bisa salah! Orang itu
memang Hok Kong An. Muka orang itu penuh debu dan
pakaiannya agak kotor, tapi muka itu, bukan saja muka Hok
Kong An, tapi juga mempunyai sinar keangkeran seperti Hok
Kong An. Muka bisa sama, tapi sinar muka tak bisa sama.
Untuk sejenak, Ouw Hui berdiri bengong. "Ah! Dengan
membawa tukang-tukang pukul lain dan berlagak gila, bangsat
Hok Kong An pasti sedang menjalankan siasat busuk,"
pikirnya. "Aku tidak boleh terjebak." Begitulah, ia lantas saja
berteriak: "Hok Kong An, kau memiliki kepandaian tinggi dan
aku tidak bisa menandingi kau. Tapi kau terlalu jahat. Biarpun
aku kalah, aku tidak bisa melepaskan kau dengan begitu saja."
"Saudara kecil," kata orang itu, "kau pun memiliki
kepandaian tinggi. Aku bukan Hok Kong An. Bolehkah aku
mengetahui she dan namamu yang mulia?"
"Jangan berlagak gila kau!" bentak Ouw Hui.
"Saudara, sikapmu pantas untuk menjadi seorang gagah
dan aku merasa sangat takluk," menyelak salah seorang yang
berdiri di dekat Hok Kong An.
Ouw Hui melirik orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan
berusia kira-kira empat puluh tahun. Yang luar biasa adalah
sinar kedua matanya yang tajam dan berkilat, sehingga dia
pasti seorang yang berkepandaian tinggi. "Tuan memiliki
kepandaian tinggi, hanya sayang Tuan rela menjadi anjing
bang-sa Boan," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.
Orang itu tersenyum seraya berkata: "Kau sung-guh berani.
Di wilayah kota Pakkhia kau sudah berani mengeluarkan
perkataan itu. Apakah kau tak takut dihukum mati?"
"Sesudah terjadi apa yang terjadi hari ini, kalau kamu mau
membunuh aku, cobalah," jawabnya.
Ouw Hui sebenarnya bukan seorang sembrono. bahkan
dapat dikatakan ia seorang yang berhati-hati. Tapi biar
bagaimanapun jua, ia seorang muda yang masih berdarah
panas. Sesudah menyaksikan penderitaan Ma It Hong,
darahnya meluap dan otaknya yang dingin telah tertutup
hawa amarahnya. Di samping itu, soal Wan-seng pun
menambah sedih hatinya, sehingga ia tidak dapat berpikir lagi
dengan tenang. Sambil menggenggam golok, ia mengawasi ke-sembilan
orang itu dengan sorot mata gusar. Tiba-tiba toojin yang
berlengan satu itu melompat turun dari tunggangannya dan
tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar hijau. Sekali lagi Ouw Hui terkesiap.
karena kecepatan. menghunus senjata itu belum pernah
disaksikannya. "Bagaimana Hok Kong An bisa mempunyai
begitu banyak orang pandai?" tanyanya di dalam hati.
"Mengapa orang itu tidak muncul dalam Ciangbunjin
Tayhwee?" Karena khawatir diserang secara membokong, ia
mundur setindak dan memasang kuda-kuda.
"Jagalah!" seru si toojin sambil melompat. "Trang...!
trang...! trang...!" Ia mengirim delapan serangan dengan
beruntun. Dengan kecepatan yang luar biasa, gerakan
serangan-serangan itu hampir tak bisa dilihat dengan mata.
Tapi ilmu golok Ouw-kee To-hoat yang dirniliki Ouw Hui juga
bukan ilmu golok sembarangan. Sambil mengempos
semangat, ia menangkis dan berhasil mempunahkan delapan
serangan lawan. Dalam bentrokan senjata yang ke sembilan
kali, ia menggunakan seluruh Lweekang-nya dan kedua
senjata itu lantas saja saling menempel dengan keras.
"Bagus!" teriak delapan orang dari pihak lawan. "Kiam-hoat
yang indah dan To-hoat yang tidak kurang indahnya!"
"Tootiang, sudahlah!" kata Hok Kong An. "Mari kita
berangkat."
Imam itu tidak berani membantah, dan segera menarik
pedangnya sambil mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata
heran. Setelah bertemu dengan tandingan setimpal, agaknya
ia merasa berat untuk mundur dengan begitu saja. "Anak
muda, kau memiliki ilmu golok yang sangat tinggi," ia memuji.
"Toojin, kau pun mempunyai ilmu pedang yang sangat
tinggi," balas Ouw Hui. Ia berdiam sejenak dan kemudian
berkata pula sambil tertawa dingin: "Hanya sayang, sungguh
sayang!" "Sayang apa!" bentak si toojin dengan mata mendelik.
"Apakah kiam-hoatku ada cacadnya?"
"Bukan, ilmu pedangnya, tapi manusianya," jawab Ouw
Hui. "Aku merasa sayang, bahwa seorane pentolan Rimba
Persilatan rela menjadi budak bangsa Boan."
Si imam mendongak dan tertawa terbahak-ba-hak. "Anak
muda, sedap sungguh cacianmu!" kata-nya dengan suara
yang bernada girang. "Anak muda. apakah kau berani
bertanding lagi denganku?"
"Mengapa tidak?" jawab Ouw Hui.
"Baiklah, sebentar, tengah malam, aku akan tunggu kau di
samping To-jian-teng," kata si imam. "Kalau kau jeri, kau
boleh tak usah datang."
"Seorang laki-laki tulen hanya takut terhadap seorang
kuncu," kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Dia tak nanti
gentar terhadap kawanan budak!"
Orang-orang itu mengacungkan jempol. "Bagus!" kata
mereka sambil mengeprak kuda dan cepat-cepat pergi.
Selagi Ouw Hui bertempur dengan toojin itu. Leng So
sudah keluar dari kelenteng. Melihat Hok Kong An, ia kaget
dan heran. "Toako, apa bisa jadi Hok Kong An datang ke
mari?" tanyanya. "Apakah malam ini kau mau pergi ke To-jianteng?"
Ouw Hui mengerutkan alis. "Mungkinkah die bukan Hok
Kong An?" katanya dengan suara per-lahan. "Kurasa tak
mungkin. Tapi... tapi, ketika aku mencaci para Wie-su itu
sebagai budak-budak bangsa Boan, mengapa sebaliknya dari
bergusar. mereka memuji aku?"
"Tapi apakah Toako mau pergi juga ke To-jian-teng?" tanya
pula si adik. "Tentu," jawabnya. "Jie-moay, kau berdiam saja di sini
untuk merawat Ma Kouwnio."
"Ma Kouwnio sudah tak usah dirawat lagi,"
Kata Leng So. "Menurut penglihatanku, ia tak bisa bertahan
sampai besok pagi. Sedang kau mengha-dapi lawan berat,
bagaimana aku bisa tidak meng-ikut?"
"Tapi aku tidak setuju," kata sang kakak. "Kau sudah
menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee dan sekarang mereka
tentu sudah tahu siapa yang telah menggagalkannya. Jawab
kau mengikut, apakah tidak terlalu berbahaya?"
"Aku tetap ingin mengikut sebab aku sangat khawatir jika
Toako pergi sendirian," kata nona Thia.
Melihat adiknya sudah tidak dapat dibujuk lagi, Ouw Hui
mengangguk seraya berkata: "Baiklah."
Waktu mereka masuk pula ke kamar samping untuk
menengok Ma It Hong, nyonya itu sedang berteriak-teriak
dengan suara lemah: "Anakku...! Mana anakku..." Hok
Kongcu...! Hok Kongcu... sebelum mati, aku ingin bertemu
mula lagi dengan kau...."
Bukan main terharunya Ouw Hui. "Inilah yang dinamakan
cinta buta," katanya di dalam hati. "Hok Kong An telah
memperlakukannya secara begitu kejam, tapi sampai pada
detik mau melepaskan napas pernghabisan, ia masih tak
dapat melupakan manusia itu."
Sesudah berdiri beberapa lama, sambil meng-hela napas
mereka keluar dari kamar itu untuk mencari makanan. Tak
jauh dari kelenteng itu ter-dapat sebuah rumah petani, di
mana mereka bisa membeli nasi dan sayur yang sederhana.
Sesudah makan kenyang, mereka kembali ke kelenteng Sin
Long itu. Sesudah berdamai, mereka mengambil keputus-an untuk
berangkat sebelum tengah malam. Mereka merasa, bahwa
dalam pertandingan kali ini, para Wie-su Hok Kong An pasti
mengandung maksud jahat dan mungkin sekali mereka
mengatur siasat busuk. Maka itu, mereka ingin tiba di To-jianteng
lebih siang untuk mengamat-amati persiapan pihak
lawan. To-jian-teng, atau Pendopo Bahagia, adalah sebuah biara
pendeta wanita yang diberi nama Cu-pie-am (Biara Welas
asih). Di sekitar biara itu tumbuh alang-alang yang setiap kali
tertiup angin. menari-nari dan mengeluarkan suara gemerisik
sedih di tengah malam yang sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar suara "a-a-a!", seekor burung gan dari
utara terbang ke selatan.
"Burung itu terpisah dari rombongannya. dan meskipun
tengah malam dia terbang juga untuk mencari kawankawannya,"
kata Leng So dengan suara perlahan.
Mendadak, dari antara alang-alang terdengar suara
manusia: "Tak salah, tak salah. Di dunia. alang-alang
berombak-ombak karena tertiup angin. di angkasa, burung
gan lebih enteng dari pada manusia. Kalian sungguh boleh
dipereaya dan siang-siang sudah datang untuk menepati
janji." Ouw Hui dan Leng So terkejut. Mereka datang lebih siang
untuk mengamat-amati gerakan lawan, tapi sang lawan
ternyata sudah datang terlebih dulu. "Didengar dari
perkataannya, sekali membuka mu-lut menggubah sajak, dia
kelihatannya bukan sem-barang orang," kata Ouw Hui dalam
hatinya. Sambil mundur setindak, ia lantas saja berkata:
"Sesudah menerima tantangan, aku memang sengaja datang
lebih siang."
Hampir berbareng dengan jawaban Ouw Hui, seorang lelaki
yang bertubuh kate kurus muncul dan berkata: "Selamat
bertemu. Aku mohon kalian suka menunggu karena saudarasaudaraku
sedang ber-sembahyang."
Ouw Hui heran. Di kuburan siapa Hok Kong An
bersembahyang" Mengapa dia datang di tengah malam buta"
Tiba-tiba kupingnya menangkap suara seseorang yang
berkata-kata dengan suara parau:
"Di dunia yang luas,
Nyanyian berakhir,
Rembulan somplak,
Dalam kota indah. ( Kota indah = Kuburan)
Terdapat darah ksatria. )
Batu giok bisa hancur,
Darah bisa kering,
Tapi roh nan harum hidup abadi.
Bukankah begitu"
Bukankah begitu"
Akhirnya berubah menjadi kupu-kupu."
Waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir, orang itu
menangis segak-seguk dan di antara ta-ngisnya itu, Ouw Hui
juga mendengar hela napas atau tangisan perlahan dari
belasan orang. Apa yang lebih mengherankan lagi, ia juga
mendapat kenyataan,
bahwa di antara orang-orang itu terdapat
beberapa wanita.
Mendengar sajak itu, Ouw Hui turut merasa terharu. Ia
tahu, bahwa orang-orang itu sedang bersembahyang di
kuburan seorang wanita dan dengan disebutkannya "darah
ksatria" (Pek-hiat), wanita itu tentulah juga sudah mati bukan
secara wajar. Di tengah malam yang sunyi, sajak dan tangisan
itu sangat menyayat hati.
Selang beberapa lama, suara tangisan mereda dan
berhenti. Sesaat kemudian, Ouw Hui melihat munculnya
belasan orang yang mendaki segunduk-an tanah tinggi.
"Tootiang!" seru si kate. "Sahabat yang mem-buat janji
dengan kau sudah tiba di sini."
"Bagus!" kata imam berlengan satu itu. "Mari kita mainmain
tiga ratus jurus."
Seraya berkata begitu, ia berlari turun dari tanah tinggi itu
dan begitu berhadapan dengan Ouw Hui, ia menyerang sambil
melompat tinggi. Selagi tubuhnya berada di udara, ia
menghunus pedang dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Melihat begitu, semangat Ouw Hui terbangun dan ia pur. lalu
melompat tinggi sambil mencabut golok. Sehingga sebelum
kaki mereka hinggap dibumi. kedua senjata itu sudah
kebentrok dua kali. Mereka meng-injak tanah dengan
berbareng dan suatu pertem-puran yang sangat dahsyat
lantas saja berlangsung.
Begitu bergebrak, si imam lantas saja memper-lihatkan
kecepatannya - Ouw Hui menyerang satu kali, ia membalas
dengan empat-lima kali serangan. "Kau menggunakan
kecepatan, apa kau kira aku tak mampu?" kata Ouw Hui di
dalam hati dan ia segera mengeluarkan ilmu golok Ouw-kee
Kway-to. Dengan cepat melawan cepat, gerakan mereka sukar dilihat
nyata lagi dan orang hanya bisa men-dengar suara "trang...
trang... trang...." yang tak habis-habisnya. Sambil bertempur,
si imam ber-teriak-teriak dengan gembira: "Sungguh menyenangkan!
Sungguh menggembirakan!"
Ouw Hui kaget bereampur kagum. Seumur hi-dupnya,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum pernah ia bertemu dengan lawan yang begitu lihay. Ia
lantas saja mengeluarkan se-mua ilmu golok yang telah
dipelajarinya. Diam-diam ia merasa heran bagaimana ia
sekarang bisa bersilat begitu cepat, karena dalam latihanlatihan,
belum pernah ia mampu berlatih dengan kecepatan
itu. Pada hakekatnya, ia sendiri belum dapat menyelami Ouwkee
To-hoat (Ilmu golok keluarga Ouw) sampai di dasarnya.
Ilmu golok itu mempunyai banyak keluarbiasaan. Seorang
lawan yang kepan-daiannya biasa saja sudah dapat dijatuhkan
dengan jurus-jurus yang biasa pula. Tapi sekarang, dalam
menghadapi si imam yang luar biasa, keluarbiasaan Ouw-kee
To-hoat lantas saja muncul dengan sen-dirinya.
Si imam sendiri juga tereengang dan kagum. Dalam
menjelajah dunia Kang-ouw, entah sudah berapa kali ia
berhadapan dengan lawan yang berat. Tapi belum pernah ia
bertemu dengan lawan yang selihay Ouw Hui. Sambil
mengempos semangat dan memusatkan seluruh perhatiannya,
ia coba mencari kelemahan Ouw Hui. Tapi Ouw-kee To-hoat
teguh dan kokoh, menyerang dan membela diri dengan
berbareng dan setiap gerakan mengandung per-ubahan yang
tidakdiduga-duga. Sesudah bertempur beberapa lama, ia
belum juga melihat kelemahan dalam ilmu golok itu.
Kalau diukur dalam Lweekang, tenaga dalam si imam
sebenarnya banyak lebih tinggi daripada Ouw Hui, sehingga
jika dalam pertandingan itu mereka mengadu tenaga dalam,
siang-siang si imam sudah memperoleh kemenangan. Tapi
sebab yang diadu adalah kecepatan dan Ouw Hui melayani
dengan Ouw-kee To-hoat yang sangat luar biasa, maka jalan
pertandingan lantas saja berimbang.
Bagian Kwa-to (ilmu golok yang mengutama-kan
kecepatan) dari Ouw-kee To-hoat digubah oleh Hui-thian Holie
(si Rase Terbang), seorang pen-dekar yang hidup pada
akhir kerajaan Beng. Waktu ilmu tersebut turun kepada Ouw
It To, ayah Ouw Hui, banyak perubahan yang aneh-aneh telah
di-tambahkan oleh Ouw It To. Dan dalam kepan-daiannya.
Apa yang masih kurang hanyalah Lweekang.
Baru saja kira-kira seminuman teh, kedua lawan itu sudah
bertempur lima ratus jurus lebih. Dalam jangka waktu yang
begitu pendek, selebar muka si imam sudah mengeluarkan
keringat, sedang badan Ouw Hui pun sudah basah dengan
keringat. Makin lama bertempur, rasa hormat menghormati di
an-tara mereka jadi makin besar.
Selagi mereka bertempur dengan dahsyatnya. sekonyongkonyong
terdengar siulan nyaring, di-susul dengan suara
beradunya senjata di tempat yang agak jauh. Sambil tertawa
si imam melompat ke luar dari gelanggang dan berkata.
"Tahan! Sau-dara kecil, ilmu golokmu sangat tinggi, tapi kita
mesti berhenti dulu, karena musuh sudah datang."
Ouw Hui terkejut. Di lain saat, ia melihat bergeraknya
bayangan-bayangan manusia di sebelah timur laut dan
tenggara. Enam-tujuh orang kelihatan mendatangi sambil
berlari-lari dan mereka semua memegang senjata, karena di
antara kegelapan terlihat kilat golok. Hampir berbareng, di
sebelah belakang juga terdengar bentakan-ben-takan. Ouw
Hui memutar badan dan melihat, bahwa dari sebelah barat
laut dan barat daya juga sedang mendatangi sejumlah orang.
Dihitung sepintas lalu, jumlah mereka paling sedikit ada dua
puluh orang. "Cit-tee, mundur kau!" seru si imam lengan satu. "Biar Jieko
saja yang melavani mereka."
Orang yang dipanggil "Cit-tee" adalah si kate kurus yang
tadi bersembunyi di alang-alang dan paling dulu menemui
Ouw Hui. Ia bersenjata golok dan tongkat besi dan sudah
bergerak untuk men-cegat musuh yang datang dari jurusan
barat laut. mendengar teriakan si imam, ia segera menjawab:
"Baiklah!" Sehabis berkata begitu, ia mendaki gun-dukan
tanah tinggi sambil berlari-lari dan kemudian berdiri
berendeng dengan kawan-kawannya.
Di bawah sinar rembulan. Ouw Hui melihat legas, bahwa
Hok Kong An berdiri di atas tanah tinggi itu dengan dikitari
oleh belasan orang, an-taranya terdapat liga-empat wanita. Ia
girang dan berkata dalam hatinya: "Orang gagah dari mana
yang datang untuk menghajar Hok Kong An" Di-lihat dari ilmu
ringan badan mereka, mereka pasti memeiliki ilmu silat yang
tinggi. Biarlah aku mem-bantu mereka untuk membekuk
penjahat kejam itu." Tapidi lain saat, ia mendapat pikiran lain:
"Aku tak nyana Hok Kong An memiliki kepandaian begitu
tinggi dan kaki tangannya pun jago-jago pilihan. Dilihat dari
sikap mereka yang tenang-tenang saja, apakah tak bisa jadi
mereka sudah mengatur jebakan?"
Selagi ia bersangsi, orang-orang itu yang me nyerbu dari
empat penjuru, sudah datang dekat. Begitu melihat tegas, ia
kaget bukan main, karena di antara dua puluh lebih orang itu,
sebagian mengenakan jubah merah dari pendeta Lhama dan
yang lainnya memakai seragam pengawal dari ke-raton kaisar
Boan. "Jie-moay," bisiknya, "Benar-benar kita masuk ke dalam
jaring. Apa kita akan bisa menerjang ke luar?"
Sebelum si adik keburu menjawab, seorang Sie-wi yang
bertubuh tinggi besar dan berkumis hitam sudah melompat
dan membentak: "Apa kau Bu-tim Toojin" Sudah lama
kudengar, bahwa ilmu pedangmu yang diberi nama Tui-hui
Tok-beng Kiam-hoat (ilmu pedang mengejar roh dan membetot
nyawa) tiada tandingannya di dalam dunia. Malam ini
kita bertemu dan aku ingin belajar kenal dengan ilmu pedang
yang tersohor itu."
"Kau sungguh bernyali besar," kata si imam sambil lertawa
dingin. "Sesudah mengenal aku, kau masih berani menantang.
Siapa kau?"
Mendengar disebutkannya nama "Bu-tim To-|in," Ouw Hui
terkejut dan tanpa merasa ia berseru: Apa Bu-tim Tootiang?"
"Benar!" jawabnya sambil tersenyum. "Tio Sam-ice telah
memuji kau sebagai seorang gagah dan benar saja pujian itu
bukan pujian kosong."
Ouw Hui heran tak kepalang. Dengan mata membelalak, ia
berkata: "Tapi... tapi... itu.... Hok Kong An.... Di mana adanya
Tio Samko?"
Selagi Ouw Hui terheran-heran, Sie-wie itu menjawab
pertanyaan Bu-tim. "Namaku Teh-pu."
"Aha! Kalau begitu kau Teh-pu," kata Bu-tim. "Di
Hweekiang aku pernah mendengar cerita orang. bahwa kaisar
telah mendapat seekor anjing yang kukunya tajam, bahwa
anjing itu bernama Teh-pu. bahwa dia dikatakan sebagai
"Jago Boaneiu nomor satu" dan bahwa dia menjadi kepala dari
pasukan Sie-wie yang bersenjata golok. Kalau begitu kau yang
dinamakan Teh-pu?"
"Benar!" bentak Teh-pu dengan gusar. Kau sungguh
bernyali besar. Sesudah mengenal aku. Kau masih berani main
gila di daerah kota raja...." Ia tak dapat meneruskan
perkataannya, karena Bu-tim sudah menikam. Sambil
mengerahkan Lweekang. ia mengangkat pedangnya dan
"Trang!" kedua sen-jata kebentrok keras.
"Bagus!" memuji si imam sambil mencecar lawannya
dengan serangan-serangan kilat yang dikirim saling susul.
Gerakan Teh-pu tidak secepat Bu-tim, tapi dia dapat membela
diri dengan bagus sekali dan tempo-tempo mengirim serangan
membalas yang sangat hebat.
Sementara itu. Ouw Hui mengawasi si imam dengan rasa
kagum. Ia ingat, bahwa dahulu Tio Foan San pernah memuji
tinggi sekali ilmu pedang Bu-tim Toojin yang dikatakan tiada
tandingannya dalam dunia ini. Ia tak nyana, bahwa malam ini
ia sudah bisa melayani imam itu lebih dari lima ratus jurus. Ia
jadi girang dan berkata dalam hatinya: Baik juga tadi aku
belum tahu, bahwa ia adalah Bu-tim Tootiang. Kalau aku tahu,
mungkin sekali aku jadi keder dan tak mampu melayaninya
begitu lama."
Selagi Ouw Hui menonton pertempuran itu dengan penuh
perhatian, dua Sie-wie mendekatinya dan membentak:
"Lemparkan senjatamu!"
"Apa?" menegas Ouw Hui.
"Kau berani melawan?" bentak salah seorang.
"Kalau aku melawan, mau apa kau?" Ouw Hui balas
membentak. "Bangsat!" teriak Sie-wie itu yang lantas saja membacok
dengan goloknya. Ouw Hui berkelit dan balas membacok. Siewie
yang satunya lagi, yang mencekal martil besar, tiba-tiba
menyerang dari samping, sehingga golok Ouw Hui beradu
dengan martil itu. "Trang!" golok terlepas dan terpental ke
tengah udara. Ternyata Sie-wie itu bertenaga sangat besar
dan menggunakan senjata berat. Dilain pihak, sesudah
bertempur mati- matian melawan Bu-tim, tenaga Ouw Hui
sudah berkurang banyak dan oleh sebab itu, ia tak dapat
bertahan terhadap pukuJan Sie-wie itu.
Tapi meskipun senjatanya terlepas, pemuda itu bersikap
tenang-tenang saja. Sekali mengegos, ia menyelamatkan diri
dari hajaran martil dan dengan berbareng, ia menyikut
pinggang lawannya. "Aduh!" teriak Sie-wie itu, martilnya
harnpir-hampir terlepas.
Dua Sie-wie lain lantas saja menerjang, yang satu
bersenjata cambuk, yang satunya lagi memegang tombak
pendek. "Toako, mari kubantu!" seru Leng So seraya menghunus
golok Liu-yap-to. "Tak usah," kata sang kakak.
"Jie-moay, kau lihatlah cara bagaimana kakak mu melayani
mereka dengan Kong-chiu Jip-pek-to" (dengan tangan kosong
masuk ke dalam rimba golok)."
Mendengar penolakan itu, si nona lantas saja membatalkan
niatnya. la mendapat kenyataan. bah wa meskipun dikepung
oleh empat musuh, sang kakak tetap bersikap adem dan
setiap serangan dapat dielakkannya dengan mudah sekali
Ouw Hui melayani keempat lawannva dengan
menggunakan ilmuSu-siang Po-hoat (Tindakan empat
penjuru) yang telah dipelajarinya di waktu masih kecil.
Dengan maju mundur setengah tindak.. ia mengegos bacokan
tikaman sabetan empat jago keraton itu. Senjata-senjata
menyambar-nyambar dari berbagaijurusan bagaikan kilat
cepatnya. Tapi dengan menggunakan ilmu luar biasa itu,
semua senjata lewat di pinggir badannya dalam jarak hanva
satu dua dim dan ia sendiri bersikap acuh tak acuh. Dalam
gebrakan-gebrakan pertama. Leng So masih sangat
berkhawatir. Tapi makin ia memperhatikan jalan pertempuran,
hatinya jadi makin lega.
Keempat Sie-wie itu bukan sembarang orang Mereka
adalah orang-orang Boan dan sebelum bekerja di keraton
kaisar, dalam dunia Kang-ouw. mereka dikenal sebagai "Liaotong
Sukiat" (Empat jago Liao-tong). Dalam Rimba Persilatan,
mereka boleh dikatakan sudah masuk dalam kalangan ahli
silat kelas satu.
Dalam melayani lawannya dengan Su-siang Pohoat. setiap
kali mendapat kesempatan, Ouw Hui mengirim seranganserangan
membalas. Tapi pu-kulan-pukulannya tidak bisa
keluar menurut ke- inginannya. Sesudah memikir sejenak, ia
mengerti sebab musababnya. Ia tahu, bahwa setelah menghabiskan
tenaga dalam pertempuran melawan Bu-tim,
Lweekangnya belum pulih, sehingga pukulan-pukulannya tidak
bisa mengeluarkan hasil yang memuaskan. Maka itu, ia lantas
saja mengubah siasat. Ia sekarang hanya membela diri, tanpa
menyerang, dan sambii mengcgos ke sana sini, ia mengatur
jalan pernapasannya.
Di lain pihak, Sesudah mencecar Iawannya de-ngan
puluhan serangan hebat, Bu-tim belum juga mendapat hasil,
sehingga ia jadijcngkeldan berkata dalam hatinya "Apakah
sesudah sepuluh tahun tidak datang di Tionggoan,
kepandaianku sudah banyak mundur" Apakah aku sudah
terlalu tua dan tidak berguna lagi?" Ia tak tahu, bahwa sedang
ia merasa tidak sabaran, Iawannya lagi kebingungan, sebab
hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi dari serangan
yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Dalam
kalangan pemerintahan Boan, Teh-pu mempunyai nama besar
dan keduduk-an tinggi. Ia mempunyai baju Ma-kwa kuning
hadiah kaisar, ia berkedudukan sebagai Cong-koan, atau
pemimpin, dari delapan belas jago utama istana kaisar dan ia
pun dikenal sebagai orang gagah bangsa Boan yang noraor
satu. Kalau ia sampai dijatuhkan oleh si imam, di mana ia mau
menaruh muka" Memikir begitu, jantungnya berdebar keras
dan keringat dingin mengucur dari dahinya.
Makin lama Bu-tim jadi makin jengkel. Ia melihat, bahwa
dengan bertangan kosong Ouw Hui dapat meladeni empat
Iawannya, tapi ia sendiri masih belum memperoieh
kemenangan dalam pertandingan satu lawan satu. Ia adalah
seorang yang beradat tak mau kalah terhadap siapa pun juga.
Makin tua adat itu makin menjadi-jadi. Dalam jcngkelnya,
sambil menggigit gigi ia mengempos semangat dan memutar
pedangnya bagaikan kitiran, sehingga bagian-bagian tubuhnya
yang lemah ter-tutup dengan sinar pedang yang kadangkadang
menyambar ke arah lawan dengan dahsyatnya.
Pakaian Teh-pu sudah basah dengan keringat. Berulang kali
ia niat berteriak "serbn ramai-ramai", tapi ia selalu
mengurungkan mat itu karena merasa malu. Sebisa-bisanya ia
coba mempertahankan diri untuk menunggu lelahnya Bu-tim.
Ia menganggap, bahwa sebagai seorang yang sudah lanjut
usianya, imam itu tentu kalah ulet dari dia sendiri.
Para Sie-wie menyaksikan pertempuran itu dengan mata
membelalak. Sinar pedang berkelebat-kelebat sedemikian
cepatnya, sehingga mereka tak tahu lagi, siapa yang
menyerang dan siapa yang membela diri. Orang-orang yang
berkumpul di atas tanah tinggi juga menonton tanpa
mengcluarkan sepatah kata. Dengan girang mereka mendapat
kenyalaan, bahwa Bu-tim sudah berada di atas angin. Mereka
merasa kagurn akan orang tua itu yang sampai sekarang
niasih tetap gagah seperti di waktu muda.
Tiba-tiba Bu-tim berteriak "Kena!" Seccpat kilat, pedangnya
menikam dada Teh pu Tapi... "Tak!" pedang itu patah dual
Ternyala, di dada Teh-pu dipasang lembaran baja tipis,
sehingga biarpun ter-tikam, bukan saja ia sendiri tidak terluka,
malah senjata lawan yang menjadi rusak. Bu-tim terkesiap.
Pada detik itu, Teh-pu menikam dan ujung pedang mengenai
tepat di pundak Bu-tim.
Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi kaget bukan
main, dua antaranya segera berlari-lari untuk memberi


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertolongan. "Hidung kerbau! Sambut tempulingku!" bentak Bu-tim
sambil menimpuk dengan potongan pedang yang mampir jitu
di tenggorokan Teh-pu. Sambil berteriak keras, jago bangsa
Boan itu roboh ter-guling.
Bu-tim tertawa terbahak-bahak. "Apa kau yang menang
atau aku yang menang?" serunya.
"Kau yang nu'nang," jawabnya dengan suara perlahan.
"Kau sudah bisa melayani aku begitu lama dan jtiga sudah
dapat melukai pundakku," kata Bu-tim seraya tertawa. "Itulah
bukannya gampang. Baiklah. Dengan mengingat tikamanmu
yang berhasil, aku mengampuni jiwamu!"
Dua orang Sie-wie menghampiri dan mengang-kat
pemimpin mereka.
Bu-tim merasa girang sekali. Meskipun lukanya tidak
enteng, ia tidak memperdulikan dan lalu men-daki tanah tinggi
dengan tindakan pelahan. Be-berapa orang lantas saja
membuka bajunya dan membalut lukanya.
Sementara itu, sesudah menjalankan perna-pasannya
beberapa saat, tenaga Ouw Hui sudah pulih kembaii. Sehabis
menyedot napas dalam-da-lam, tiba-tiba ia balas inenyerang
dengan dahsyat-nya. Dalam sekejap, empat macam senjata -
golok, marlil pecut dan tombak - terbang ke tengah udara,
diiringi dengan teriakan-teriakan kesakitan. Di lain saat dua
orang Sie-wie sudah roboh tertendang, yang ketiga pingsan
karena kena tinju, sedang yang keempat muntah darah akibat
pukulan telapak ta-ngan.
Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi bersorak
sorai. "Ouw Hui kecil!" teriak Bu-tim. "Kau sungguh lihay!"
Belum habis orang bersorak sorai, lima orang Sie-wie sudah
menghampiri Ouw Hui. "Marilah! Tangan kosong melawan
tangan kosong," kata salah seorang.
"Baiklah," kata Ouw Hui. Baru saja perkataan "baiklah"
keluar dari mulutnya, mendadak kedua kakinya dipeluk,
sedang seorang lain, yang menubruk dari belakang, memeluk
lehernya. Hampir berbareng, orang ketiga memeluk pinggang
dan dua orang menarik kedua tangannya.
Dalam usaha untuk menangkap orang, Teh-pu membawa
"delapan belas jago utama dari istana kaisar". Kedelapan belas
jago itu terdiri dari empat orang Boan, lima orang Mongol dan
sembilan pen-deta Lhama dari Tibet. Sesudah mendapat pelajaran
pahit dari Ang-hoa-hwee, Kaisar Kian-liong tidak
pereaya lagi orang Han dan sebagai pengawal pribadinya, ia
belakangan hanya menggunakan orang-orang Boan, Mongol
dan Tibet. Yang sekarang menyerang Ouw Hui adalah kelima
Sie-wie Mongol yang sangat pandai dalam ilmu gulat.
Ketika baru dipeluk, Ouw Hui kaget, tapi ia lantas saja
merasa girang, karena ilmu Kin-na Chiu-hoat (ilmu menangkap
dan membanting, semacam Yudo merupakan salah satu
andalan dalam ilmu silat keluarga Ouw. Dengan cepat ia
melenggakkan kepala dan badannya ke belakang, seperti
orang mau jatuh, dan berbareng, sambil mengerahkan
Lweekang, ia membetot dan merangkap kedua ta-ngannya.
Dibetot begitu, kedua Sie-wie yang menarik tangan Ouw Hui
lantas saja terhuyung dan kepala mereka terbentur keras satu
sama lain, sehingga tanpa ampun lagi, mereka roboh dalam
keadaan pingsan.
Begitu lekas kedua tangannya terbebas, Ouw Hui
mencengkeram tangan musuh yang memeluk batang
lehernya. "Krekkk!" tulang pergelangan ta ngan orang itu telah
menjadi patah. Sesudah itu, bagaikan kilat ia mematahkan
tulang lengan dari Sie-wie yang memeluk pinggangnya.
Kelima jago gulat itu sangat terkenal namanya dan di
seluruh Tiongkok mereka jarang menemui tandingan. Menurut
peraturan gulat, orang hanya boleh membanting dan menindih
musuh, tapi tidak boleh mematahkan tulang. Maka itu, kedua
orang yang tulangnya patah merasa sangat gusar dan berteriak:
"Bangsat! Kau melanggar peraturan."
Ouw Hui tertawa. "Melanggar peraturan?" ia menegas.
"Dalam perkelahian, mana orang mem-perlihatkan peraturan
lagi" Kamu berlima mem-bokong dan mengerubuti aku. Apa
itu tidak melanggar peraturan?" Dijawab begitu, kedua Sic wie
itu tidak bisa bicara lagi.
Sementara itu, Sie-wie yang memeluk masih terus
berusaha untuk menggulingkan pemuda itu. "Mau lepas
tidak?" bentak Ouw Hui.
"Tidak," jawabnya.
Melihat kebandelannya, Ouw Hui segera menotok jalan
darah toa-tui-hiat di punggung orang itu, yang badannya
lantas saja tidak bisa beikutik lagi. Sesudah itu, ia mengangkat
tubuh pecundang-nya dan sambil mengerahkan Lweekang, ia
melontarkannya. Tubuh orang itu "terbang" beberapa tombak
jauhnya dan "byur!" dia jatuh di sebuah kobakan yang penuh
alang-alang. Dengan kepala pusing dan badan penuh lumpur,
dia berteriak-teriak mencaci Ouw Hui.
Kemenangan Ouw Hui yang didapat dalam tempo sangat
pendek dan ditutup dengan peristiwa menggelikan itu, sudah
mengakibatkan gelak tertawa dari orang-orang yang
berkumpul di alas tanah tinggi.
Tiba-tiba, sebelum suara tertawa mereda, di tengah udara
berkelebat-kelebat sinar merah dan sembilan pendeta Lhama
yang mengenakan jubah merah sudah mengurung Ouw Hui.
Mereka memegang macam-macam senjata, go-lok, tongkat
dan Iain-lain, beberapa antaranya senjata anch. Mereka tidak
mengeluarkan sepatah kata, tapi dilihat dari gerakan dan cara
berdirinya, Ouw Hui tahu, bahwa ia sedang dikurung oleh
semacam tin (barisan).
Karena tidak bersenjata, Ouw Hui merasa bi-ngung juga.
Dalam otaknya lantas saja berkelebat niat untuk meminta
senjata dari Leng So, tapi sebelum ia membuka mulut, salah
seorang yang berdiri di tanah tinggi sudah melontarkan
sebilah golok sambil berteriak: "Saudara kecil, sambutlah!"
Golok itu terbang dengan mengeluarkan suara nyaring -
suatu tanda, bahwa orang yang melempar-kannya memiliki
Lweekang yang sangat tinggi. Ouw Hui kagum dan berkata
dalam hatinya: "Sahabat-sa-habat Tio Samko sungguhsungguh
lihay. Melemparkan golok seperti itu tak akan dapat
dilakukan olehku."
Dua Lhama yang berdiri paling depan tidak berani
menyambut golok itu dengan senjata mereka dan dengan
berbareng, mereka melompat ke sam-ping.
Pada detik itu, mendadak saja Ouw Hui men-dapat satu
ingatan" "Aku tidak tahu cara memecah-kan barisan ini yang
mungkin lihay sekali. Inilah kesempatan baik. Biarlah aku
mengacau barisan mereka." Sesaat itu, golok sudah tiba di
hadapannya. Dengan cepat ia mengerahkan Lweekang dan
mementil gagang golok itu, yang lantas saja terpental ke atas.
Kesembilan pendeta Lhama itu merasa sangat heran dan
tanpa merasa, mereka mendongak dan mengawasi golok
tersebut yang meluncur ke atas dengan kecepatan kilat.
Itulah saat yang ditunggu Ouw Hui! Sekali melompat ia
sudah berhasil merebut sebilah golok dan dengan ilmu Ouwkee
Kway-to, dalam kecepatan yang sukar dilukiskan ia
membacok dan mem-babat. Dalam sekejap mata, sembilan
musuh itu sudah terluka semua - ada yang terbacok dadanya,
ada yang putus lengannya, putus kakinya dan seba-gainya.
Mereka sebenarnya ahli-ahli silat yang ber-kepandaian tinggi,
tapi karena lengah, mereka kena dirobohkan secara begitu
mengecewakan. Bagi Ouw Hui, itulah kemenangan gilanggemilang!
Tepat, sesudah semua musuhnya roboh, golok yang tadi
terbang ke atas sudah turun kembali. Ouw Hui segera
melemparkan golok si pendeta Lhama dan lalu menyambuti
senjata yang turun dari atas itu. Golok itu ternyata sangat
berat, banyak lebih berat daripada senjata biasa. Dengan
bantuan sinar rembulan, ia dapat membaca tiga huruf yang
terukir di gagang golok: "Pun-lui-chiu." (Si tangan geledek).
Kegirangan Ouw Hui meluap-luap. "Terima ka-sih atas
bantuan Bun Sie-ya!" teriaknya.
Sekonyong-konyong, hampir berbareng dengan teriakan
itu, di belakangnya terdengar bentakan seorang tua:
"Sambutlah pedangku!" Dari sambaran angin, ia tahu bahwa si
penyerang lihay luar biasa. Tanpa memutar badan, ia
mengibaskan golok ke belakang, tapi ia menangkis angin,
karena pedang sudah ditarik pulang. Di lain saat, pedang
tersebut kembali menikam dan Ouw Hui menangkis pula, tapi
untuk kedua kalinya, ia menangkis tempat kosong.
Ia berusaha untuk memutar badan supaya bisa berhadapan
dengan pembokong itu tapi tak berhasil karena terus dicecar
dengan tikaman-tikaman kilat.
Ouw Hui terkesiap. Dengan menjejak tanah, ia melompat
setombak lebih dan selagi kaki kirinya hinggap di tanah, ia
coba memutar badan. Tapi penyerang itu terus mengikuti
seperti bayangan dan sebelum ia sempat mewujudkan
niatnya, punggung-nya sudah ditikam lima kali beruntun dan
lima kali pula goloknya menangkis angin.
Tapi Ouw Hui adalah seorang yang bisa berpikir dengan
cepat sekali. Dalam menghadapi bahaya, ia bisa bertindak
dengan mengimbangi salatan. Demi-kianlah, ketika pedang
menyambar lagi, ia tidak coba menangkis, tapi melompat ke
depan dan meng-gulingkan badan di tanah. Begitu lekas ia
telentang menghadapi langit, goloknya menyambar dan
menangkis tikaman lawan.
"Bagus!" memuji sang lawan yang segera merangsek dan
menepuk dada Ouw Hui dengan te-lapak tangan. Ouw Hui
menangkis dengan tangan kirinya dan begitu kedua tangan
kebentrok, ia me rasakan benturan tenaga lunak, tapi dalam
keluna-kan itu mengandung "isi" yang sangat hebat. Tiba-tiba
saja ia ingat suatu kejadian dan ia berteriak: "Kalau begitu
kau!" "Kalau begitu kau!" sang lawan berteriak dengan
berbareng. Ternyata pada waktu beradu tangan, kedua belah pihak
mengetahui, bahwa mereka adalali orang-orang yang sudah
menolong Sim Hie dalam gedung Hok Kong An. Sehabis
berteriak, dengan berbareng mereka melompat mundur.
Dengan mat a membelalak Ouw Hui mengawasi orang tua itu
yang jenggotnya putih, mukanya a'neh dan memegang
pedang panjang, karena ia bukan lain daripada Bu-ceng-cu,
Ciangbunjin Bu-tong-pay. Ia bingung sebab tak tahu, apakah
si kakek seorang kawan atau lawan.
Bu-tim Toojin tertawa. "Saudara Hui Ceng," katanya,
"Bagaimana pendapatmu" Bukankab ilmu silat saudara kecil
itu sangat lihay?"
Si kakek turut tertawa dan menjawab: "Dalam dunia yang
lebar ini, hanya beberapa orang saja yang bisa melayani Butim
Toojin dalam lima ratus jurus. Pengetahuanku sungguh
cetek, tak tahu, bahwa dalam Rimba Persilatan muncul
seorang pemuda yang begitu gagah." Sehabis berkata begitu
ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan menarik
tangan Ouw Hui dengan ramah tamah. Sikap dan gerakgeriknya
berbeda jauh dengan apa yang di-perlihatkannya
dalam Ciangbunjin Tayhwee. Ia sekarang angker dan gagah,
tidak seperti di dalam gedung Hok Kong An, di mana ia
membawa lagak seperti manusia penyakitan.
"Saudara kecil," kata Bu-tim, "Pada sebelum menjadi imam,
si hidung kerbau ini bernama Liok Hui Ceng, yang bergelar
Bian-lie-ciam (Jarum di dalam kapas). Kau panggil saja 'Liok
Toako' ke-padanya."
Ouw Hui terkejut. Sudah lama ia mendengar nama "Bianlie-
ciam Liok Hui Ceng," yang pada beberapa puluh tahun
berselang, sudah menggetar-kan Rimba Persilatan. Dengan
tersipu-sipu, ia menekuk kedua lututnya seraya berkata:
"Boanpwee Ouw Hui memberi hormat kepada Tootiang."
"Menurut tingkat, kau memang seorang boanpwee
(seorang yang tingkalannya lebih rendah)," Mendadak
terdengar suara seorang di belakangnya. "Tapi, saudara Ouw,
ia juga salah seorang saudara angkatku."
Ouw Hui bangun sambil melompat dan memutar badan. Di
belakangnya berdiri seorang ge-muk yang mengenakan baju
ma-kwa dan orang itu bukan lain daripada Cian-pie Jie-lay Tio
Poan San! Bertahun-tahun Ouw Hui rindu kepada kakak angkatnya itu.
Ia melompat dan memeluknya. "Aduh Samko!" teriaknya.
"Siawtee kangen sungguh akan kau."
Sambil mengawasi muka si adik, Poan San berkata: "Dik
kau sekarang sudah besar. Malam ini bukan main rasa bangga
kakakmu, karena dengan mata sendiri, aku dapat
menyaksikan bagaimana kau merobohkan delapan belas jago
utama dari istana kaisar."
Ouw Hui segera menarik tangan Leng So dan lalu
memperkenalkannya dengan Bu-tim, Poan San dan Iain-lain.
"Mari aku perkenalkan kalian dengan Cong-tocu kami," kata
Poan San. Ouw Hui terkejut. "Tan Cong-tocu" Apa beliau juga datang
di sini?" tanyanya.
Bu-tim tersenyum. "Begitu tiba di Pakkhia, ia telah dicaci
habis-habisan olehmu," katanya. "Ha-ha...! Selama hidupnya,
mungkin Tan Cong-tocu belum pernah dimaki begitu hebat."
Ouw Hui kaget tak kepalang. Dengan mata membelalak ia
berkata: "Ia... ia.... Hok Kong An...?"
"Wajah Cong-tocu sangat mirip dengan Hok Kong An," Liok
Hui Ceng menerangkan sambil tertawa. "Jangankan kau,
sedang orang-orang yang sudah mengenalnya pun masih bisa
salah mata."
Bu-tim mengangguk dan menyambungi: "Ya, misalnya
dahulu waktu kami menolong Bun Sietee, Cong-tocu telah
menyamar sebagai Hok Kong An dan kami telah berhasil
menawan Ong Wie Yang...."
"Samko," kata Ouw Hui dengan hati berde-baran, "Hayolah
antar aku kepada Tan Cong-tocu untuk meminta maaf."
Sambil menggandeng tangan adiknya, perla-han-lahan
Poan San mendaki tanah tinggi itu.
"Sesudah membentur tanganmu, Cong-tocu memuji tinggi
silatmu," kata Poan San, "Ia pun mengatakan, bahwa kau
seorang ksatria dan ia telah memberi pujian tinggi sekali
kepadamu."
Melihat kedatangan Poan San dan Ouw Hui, dengan
mengajak saudara-saudara angkatnya, Tan Kee Lok berbagai
turun dari tanah tinggi itu. Begitu berhadapan, Ouw Hui
segera berlutut dan berkata: "Mata siauwjin tak ada bijinya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan siauwjin berdosa besar terhadap Cong-tocu Siauwjin
harap...."
Sebelum Ouw Hui selesai bicara, Kee Lok sudah
membangunkannya dan berkata dengan le-mah lembut:
"Seorang laki-laki tulen hanya terhadap seorang kuncu, dia tak
nanti gentar terhadap kawanan budak. Hari ini, begitu tiba di
Pakkhia aku mendengar kata-kata itu. Saudara kecil,
perkataan-mu itu saja sudah membuat perjalananku ke mari
tidak cuma-cuma."
Tio Poan San segera memperkenalkan adiknya kepada
semua jago Ang-hoa-hwee. Sudah lama sekali Ouw Hui
mendengar nama besar mereka dan bahwa malam ini ia bisa
bertemu dengan orang-orang gagah itu sungguh-sungguh
menggirangkan hatinya. Kepada Bun Tay Lay yang
melontarkan golok dan kepada Lok Peng yang menghadiahkan
si putih, ia menghaturkan banyak terima kasih. Di lain pihak,
Sim Hie menghaturkan terima kasih kepadanya untuk bantuan
yang diberikan dalam gedung Hok Kong An.
Antara begitu banyak orang, Bu-timlah yang paling
bergembira. Tidak habis-habisnya ia mence-ritakan
pertempurannya melawan Ouw Hui dan Teh-pu. Ia
mengatakan bahwa selama hidupnya jarang sekali ia bertemu
dengan tandingan yang begitu setimpal.
Selagi semua orang beromong-omong dengan gembira,
adalah Leng So yang terpencil sendiri. Tiba-tiba Liok Hui Ceng
berkata sambil tertawa.
"Tootiang, mengenai ilmu silat, saudara kecil memang
sangat lihay. Tapi selain ia, masih ada seorang gagah lain
yang terlebih lihay lagi. Kita semua tak akan dapat
menandinginya."
Bu-tim girang bereampur penasaran. "Siapa" Siapa?"
tanyanya dengan tergesa-gesa. "Di mana adanya orang itu?"
Hui Ceng menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tak akan
menang," katanya. "Lebih baik kau jangan coba cari padanya."
"Fui!" bentak Bu-tim. "Bertahun-tabun kita ti-dak pernah
bertemu muka. Begitu bertemu, kau lantas saja main gila
kepadaku. Tidak! Aku tidak pereaya, bahwa di dalam dunia
ada manusia yang selihay itu."
"Semalam, dalam gedung Hok Kong An ber-kumpul para
Ciangbunjin dari beberapa partai yang masing-masing memiliki
kepandaian istimewa," kata Liok Hui Ceng. "Apakah kau setuju
dengan pengutaraanku ini?"
"Ya, habis bagaimana?" kata Bu-tim. "Dalam usahanya
untuk mengacau, Sim Hie Lautee telah tertangkap," kata Hui
Ceng. "Tio Sam-tee yang begitu lihay hanya dapat merebut
sebuah cangkir giok. Seecoan Sianghiap, kedua pendekar
saudara Siang, hanya dapat menolong dua orang. Tapi apa
yang telah dilakukan oleh orang gagah itu jauh lebih hebat
daripada yang diperbuat oleh sau-dara-saudara kita, Dalam
sekejap mata, ia telah dapat merampas seluruh cangkir dari
tangan tujuh ahli silat kelas utama dan menghancurkan semua
cangkir itu. Dengan beberapa kepulan asap saja, ia sudah
menghancurkan seluruh Ciangbunjin Tay-hwee. Bu-tim
Tootiang, sekarang katakanlah dengan sejujurnya: Apakah
kalian dapat menandingi orang gagah itu?"
Leng So mengerti, bahwa yang sedang dibicara-kan si
kakek adalah dirinya sendiri. Paras mukanya lantas saja
berubah merah dan ia bersembunyi di belakang Ouw Hui. Tapi
semua orang tidak mem-perhatikannya, karena mereka
tengah memusatkan perhatian kepada Liok Hui Ceng.
"Suhu," kata seorang nyonya muda, "Aku telah mendengar,
Ciangbunjin Tayhwee dikacau orang, tapi tak tahu bagaimana
kejadiannya. Hayolah, beri-tahukanlah lekas-lekas!" Nyonya
itu adalah Lie Goan Cie, isteri Kim-tiok Siucay Ie Hie Tong.
Liok Hui Ceng segera menceritakan sepak ter-jang "orang
gagah" itu. Ia menceritakan bagaimana enghiong tersebut
menghancurkan tujuh cangkir giok, bagaimana ia
mengepulkan asap beracun sehingga semua hadirin sakit
perut dan bagaimana seluruh Ciangbunjin Tayhwee menjadi
gagal dan berakhir dengan suatu kekacauan hebat.
Mendengar penuturan yang sangat menarik itu, semua merasa
sangat kagum. "Liok-heng," kata Bu-tim dengan tidak sabar, "Kau sudah
bicara banyak sekali, tapi kau belum memberitahukan kami,
siapa adanya orang gagah itu."
Hui Ceng tersenyum. "Kalau dikata jauh, ia berada di ujung
langit, kalau dikata dekat, ia berdiri di hadapan kita," katanya.
"Orang gagah itu bukan lain daripada Thia Kouwnio."
Semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan serentak
mereka berpaling ke arah Leng So. Mereka hampir tak
pereaya, bahwa seorang wanita
yang kelihatannya begitu lemah sudah bisa meng-gagalkan
usaha Hok Kong An. Tapi Liok Hui Ceng adalah seorang tua
yang terpandang tinggi dan pasti tak akan berdusta, sehingga
perkataannya boleh tak usah disangsikan lagi.
Liok Hui Ceng adalah salah seorang pentolan partai Butong-
pay. Kira-kira sepuluh tahun ber-selang, partai tersebut
tengah gelap bintangnya. Ma Giok, kakak seperguruan Hui
Ceng, dan Thio Tiauw Tiong, adik seperguruannya, dengan
berun-tun telah menemui ajalnya secara menyedihkan.
Lantaran terpaksa, akhirnya ia setuju untuk memegang
tampuk pimpinan dari Bu-tong-pay. Karena khawatir
mendapat gangguan pemerintah Boan, maka ia segera
menjadi toosu dan menggunakan nama Bu-ceng-cu. Selama
sepuluh tahun ia ber-sembunyi dan bebas dari kecurigaan.
Waktu akan mengadakan Ciangbunjin Tay-hwee, karena
mengingat bahwa Bu-tong-pay adalah salah satu partai
persilatan terbesar yang namanya berendeng dengan Siauwlim-
sie dan mengingat pula jaga-jaga Thio Tiauw Tiong untuk
kerajaan Ceng. maka Hok Kong An mengundang Bu-ceng-cu
dan meminta supaya orang tua itu suka menjadi wash dalam
kedudukannya sebagai salah seorang "Ciangbunjin besar"
dalam pertemuan itu. Ia tentu saja tak tahu siapa sebenarnya
Bu-ceng-cu. Liok Hui Ceng sendiri, biarpun sudah berusia lanjut, masih
mempunyai semangat muda. Ia mengerti, bahwa Ciangbunjin
Tayhwee pasti mempunyai maksud yang tidak baik bagi
seluruh Rimba Persilatan. Kalau ia menolak Hok Kong An pasti
akan bereuriga. Karena itu, ia segera menerima baik
undangan tersebut dan datang di kota raja seorang diri. Ia
telah mengambil keputusan untuk menye-lidiki maksud
pertemuan itu dan akan bertindak dengan mengimbangi
keadaan, Pada waktu Sim Hie ditawan Tong Pay, dengan
diam-diam ia sudah mem-berikan pertolongan.
Kedatangan Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan jago-jago
lain dari Ang-hoa-hwee di Pakkhia adalah untuk
bersembahyang di kuburan Hiang-hiang Kongcu berhubung
dengan ulang tahun ke sepuluh dari meninggalnya Puteri
Harum itu. Hok Kong An bukan manusia tolol. Begitu melihat
munculnya orang-orang An-hoa-hwee dalam Ciangbunjin
Tayhwee, ia segera dapat menebak maksud kedatangan
mereka di Pakkhia. Tapi ia tidak tahu di mana letaknya
kuburan puteri itu. Ia segera memerin-tahkan delapan belas
pengawal utama dari istana kaisar, yang dipimpin oleh Teh-pu,
untuk meronda di luar kota dan membekuk segala orang yang
mencurigakan. Tak dinyana, sebelum Tan Kee Lok bergerak,
delapan belas jago itu sudah dirobohkan.
Sesudah semua kaici tangan Hok Kong An kabur, Tan Kee
Lok dan saudara-saudaranya yang mengenal baik kebiasaan
dalam kalangan pembesar Ceng bersikap tenang-tenang saja
dan terus ber-omong-omong tanpa khawatir diserang lagi.
Mereka tahu, bahwa sebegitu lama mereka belum menyatroni
dan mengacau istana kaisar, para Sie-wie yang keok itu pasti
tak akan memberi laporan yang sebenarnya, bahwa telah
dihajar kucar kacir di To-jian-teng.
Selagi mereka beromong-omong, tiba-tiba ter-dengar dua
tepukan tangan di tempat yang agak jauh. Sesaat kemudian,
pula tiga tepukan. Si kate kurus - yaitu Bu-cu-kat Cie Thian
Hong - segcra menjawab dengan tiga tepukan dan sejenak
kemudian, ia mengulanginya lagi dua kali beruntun.
"Ngotee dan Liokteesudah datang," kata Bu-tim.
Tak lama kemudian terlihat berkelebatnya dua bayangan
manusia yang bertubuh jangkung kurus dan setelah datang
dekat, muka mereka kelihatannya menakutkan sekali. Ouw Hui
lantas saja mengenali, bahwa mereka bukan lain daripada
Seecoan Siang-hiap, Siang Pek Cie dan Siang Hek Cie, yang
pernah dilihatnya dalam gedung Hok Kong An. Di belakang
mereka mengikuti dua orang lain yang masing-masing
mendukung seorang anak kecil. Ouw Hui dan Leng So kaget.
Kedua orang itu ialah Nie Put Toa dan Nie Put Siauw sedang
kedua anak kecil yang didukung mereka adalah putera Ma It
Hong. Sebagaimana diketahui dalam Ciangbunjin Tay-hwee kedua
saudara kembar Nie itu coba merebut kedua bocah tersebut
dari tangan Hok Kong An dan hampir-hampir mereka
kehilangan jiwa, jika tidak keburu ditolong oleh Siang-sie
Hengtee. Sesudah terlolos dari bahaya, kepada kedua saudara
Siang mereka menyatakan hasrat mereka yang su-kar
tertahan untuk mendapatkan kedua bocah itu. Siang-sie
Hengtee pun saudara kembar dan hati mereka lantas saja
tergerak. Tak lama kemudian Ciangbunjin Tayhwee kacau
balau dan para Wie-su repot bertempur atau mencari obat
untuk memu-nahkan racun. Dengan menggunakan
kesempatan tersebut, dua pasang saudara kembar itu lantas
saja menerjang masuk pula ke gedung Hok Kong An. Dengan
kepandaian yang sangat tinggi, dalam sekejap Siang-sie
Hengtee sudah merobohkan tujuh-delapan Wie-su yang
melindungi kedua putera Hok Kong An yang lalu direbutnya.
Begitu melihat kedua anak itu, Ouw Hui lantas saja ingat
Ma It Hong yang ketika itu sudah hampir meninggal dunia.
Tanpa merasa, air matanya keluar - ia girang bereampur
sedih. Mendadak saja dalam otaknya berkelebat suatu
ingatan. Sambil menjura kepada Tan Kee Lok ia berkata: "Tan
Cong-tocu, aku yang rendahmendapatsatu ingatan yang
bukan-bukan dan ingin mengajukan permohonan yang tidaktidak."
"Saudara Ouw, Jc,au boleh bicara tanpa sangsi-sangsi,"
kata Kee Lok sambil tersenyum. "Biarpun kita baru bertemu
muka, pendirian dan cita-cita kita adalah cocok satu sama lain.
Asal saja permintaan-mu itu dapat dilakukan olehku, aku pasti
akan melakukannya." .
Beberapa saat Ouw Hui membungkam. Ia kelihatannya
merasa tidak enak untuk mengucapkan kata-kata yang mau
diucapkannya. "Aku mendapat suatu pikiran yang aneh dan
tidak pantas," katanya akhirnya. "Aku khawatir kalian akan
tertawa, jika aku mengutarakan pikiran itu."
Kee Lok tersenyum. "Saudara Ouw," katanya dengan suara
halus. "Di mata orang lain, setiap perbuatan orang-orang
sebangsa kita selalu aneh dan tidak pantas kelihatannya.
Katakanlah. Kau tak usaha merasa sangsiJ';
"Jika Cong-tocu tidak menjadi gusar... baiklah," kata Ouw
HM,i,;Sarn,bil menunjuk kedua bocah itu, ia berkata pula:
"Kedua anak itu adalah putera Hok Kong An dan pada saat ini,
ibu mereka sedang menghadapi maut." Sehabis berkata
begitu, dengan ringkas ia lalu menuturkan segala kejadian
mengenai Ma It Hong - sedari ia bertemu dengan nyonya itu
di Siang-kee-po sampai kejadian pada malam itu, dan kini Ma
It Hong sedang menunggu ajalnya. Mendengar cerita itu,
semua jago Ang-hoa-hwee jadi gusar tak kepalang. Jika
kemauan Bu-tim diluluskan, malam itu juga ia ingin balik ke
dalam kota untuk mengambil jiwa Hok Kong An.
"Sesudah terjadi kekacauan dalam Ciangbunjin Tayhwee,
kita tidak boleh masuk lagi ke dalam kota," kata Cie Thian
Hong. "Kalau kita menerjang bahaya, mungkin sekali sebaliknya
dari berhasil membunuh Hok Kong An, kitalah yang menjadi
korban." Tan Kee Lok manggutkan kepalanya. "Aku merasa pasti,
bahwa waktu ini gedung Hok Kong An dijaga keras luar biasa,"
katanya. "Bagaimana kita bisa turun tangan" Jangankan
menyatroni gedung itu untuk masuk ke dalam kota pun sudah
tidak gampang. Apalagi maksud kedatangan kita sekali ini
ialah hanya untuk bersembahyang. Maka kita tidak boleh
mengorbankan jiwa saudara-sau-dara kita hanya untuk
melampiaskan nafsu amarah. Saudara Ouw, permintaan apa
yang ingin diajukan olehmu?"
"Cong-tocu dari tempat berlaksa li jauhnya, kau datang ke
mari untuk bersembahyang di kuburan seorang wanita," kata
Ouw Hui dengan suara per-lahan. "Rasa cinta dan pribudi itu
sangat langka dalam dunia ini. Dahulu, di waktu masih kecil,
aku pernah menerima budi Ma Kouwnio. Hatiku merasa sangat
tidak enak, karena aku tidak dapat membalas budi itu.
Sekarang ia sedang menghadapi kematian dan di dalam
hatinya terdapat dua harapan, yang jika belum dipenuhi, ia
tidak bisa mati dengan mata meram. Harapan pertama ialah ia
ingin sekali bertemu dengan kedua puteranya. Atas belas
kasihan Tuhan, Siang-sie Siang-hiap sudah berhasil merebut
pulang kedua bocah itu. Harapan kedua ialah ia ingin sekali
bertemu muka dengan bangsat Hok Kong An. Bahwa sehingga
pada detik penghabisan ia masih juga belum tersadar, adalah
suatu kejadian lucu yang menyedihkan. Untuk itu, ia harus dikasihani.
Akan tetapi, cinta adalah...." Ia tak dapat
meneruskan perkataannya dan dengan air mata berlinanglinang
ia mengawasi Tan Kee Lok.
"Aku mengerti!" kata Kee Lok dengan suara perlahan. "Kau
tentu ingin aku menyamar sebagai Hok Kong An yang kejam
untuk menghibur nyonya itu supaya ia bisa berpulang ke alam
baka dengan hati puas. Bukankah begitu?"
"Benar," jawabnya sambil menunduk.
Semua orang gagah agak terkejut. Permintaan pemuda itu
memang juga permintaan yang tidak-tidak. Tapi mereka turut
merasakan, bahwa permintaan itu diajukan atas dorongan
rasa ksatria yang sangat luhur. Keadaan sunyi senyap, tak
seorang pun membuka mulut.
Untuk beberapa saat Tan Kee Lok mengawasi ke tempat
jauh dan paras mukanya diliputi keduka-an. "Kalau waktu mau
berpulang ke alam baka, ia bisa bertemu denganku, ia tentu
akan merasa girang sekali," katanya dengan suara parau.
Sesaat kemu-dian, ia menengok ke arah Ouw Hui seraya
berkata: "Baiklah! Aku akan pergi menemui Ma Kouwnio."
Sehabis berkata begitu, ia segera turun dari tanah tinggi,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diikuti oleh semua orang.
Bukan main rasa terima kasih Ouw Hui. Tan Kee Lok adalah
seorang pemimpin besar dalam kalangan Rimba Persilatan,
sedang ia sendiri hanya-lah seorang boanpwee yang tidak
dikenal. Dalam pertemuan pertama, ia sudah mengajukan
permin-taan yang gila-gila itu. Tapi, tanpa ragu-ragu sedikit
pun jua, Kee Lok sudah segera meluluskan. Bagi Ouw Hui,
budi itu adalah budi yang tak mungkin dapat dibalas. Diamdiam
ia berjanji dalam hatinya, bahwa jika di kemudian hari,
Tan Kee Lok memerlukan bantuannya, biarpun mesti
menerjang lautan api, ia tak akan menolak.
Dengan Ouw Hui sebagai penunjuk jalan, rom-bongan Anghoa-
hwee menuju ke Yo-ong-bio. Menjelang fajar, mereka tiba
di situ. Sambil menuntun kedua putera Ma It Hong, Ouw Hui
mengajak Kee Lok masuk ke dalam ke-lenteng. Mereka pergi
ke kamar samping, di mana terdapat sebuah pelita yang
apinya sebesar kacang dan minyaknya sudah hampir kering.
Bersama kedua bocah itu, Ouw Hui segera bertindak masuk.
Nyonya muda itu, yang rebah di atas pembaringan batu,
ternyata masih bernapas. Sekonyong-konyong kedua anak itu
melompat seraya berteriak. "Ibu...! Ibu...!"
Ma It Hong membuka kedua matanya. Begitu melihat
puteranya, semangatnya pulih dan entah dari mana,
tenaganya pun kembali lagi. Ia memeluk anaknya erat-erat
dan berkata dengan suara lemah: "Nak...! Ibumu sangat
memikirkan kamu...."
Lama juga mereka berpelukan. Tiba-tiba It Hong melihat
Ouw Hui dan ia lantas saja berkata:
"Anak, mulai dari sekarang kamu harus mengikut Ouw
Siok-siokdan kamu harus dengar kata. Kamu... kamu... harus
mengangkat Ouw Siok-siok sebagai... sebagai... ayah...."
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Aku menerima mereka sebagai
anak angkat. Ma Kouwnio, legakanlah hatimu!"
Nyonya itu tersenyum. "Lekas... lekaslah ber-lutut,"
katanya sambil mendorong kedua puteranya.
Kedua bocah itu lantas saja berlutut di hadapan Ouw Hui
yang membiarkan mereka berlutut sampai empat kali.
Sesudah itu, sambil mengangkat mereka, ia berkata dengan
suara perlahan: "Ma Kouwnio, pesan apa lagi yang ingin
diberikan olehmu?"
"Sesudah aku mati, aku harap kau suka mengu-burkan
mayatku di samping... di samping... suami-ku.... Cie Ceng,"
jawabnya. "Kasihan dia! Sedari kecil dia sudah mencintai aku,
tapi... tapi aku sendiri tidak... mencintainya."
"Baiklah, aku akan memenuhi keinginanmu," kata Ouw Hui.
Ia tak nyana, bahwa pada saat penghabisan, Ma It Hong ingat
kepada suaminya. Ia sangat membenci Hok Kong An dan
bahwa nyonya itu tidak menyebut-nyebut lagi lelaki ke-parat
itu, sangat menyenangkan hatinya. Tapi di luar dugaan, tibatiba
It Hong menghela napas dan berkata dengan suara
hampir tidak kedengaran: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu... aku
sungguh ingin bertemu muka denganmu...."
Ketika itu, Tan Kee Lok berdiri di luar pintu, sehingga It
Hong belum melihatnya. Ouw Hui menggeleng-gelengkan
kepala dan sambil mendu-kung kedua bocah itu, ia bertindak
ke luar. Dengan tindakan perlahan, Kee Lok Lalu masuk ke
kamar itu. Baru berjalan belasan tindak, Ouw Hui sudah mendengar
teriakan, "Ah!" yang keluar dari mulut Ma It Hong. Teriakan
itu penuh dengan nada bahagia, girang dan penuh cinta.
Akhirnya, ia ber-temu juga dengan orang yang dicintai....
Sesudah berada di luar kelenteng, tiba-tiba Ouw Hui
mendengar merayunya suara seruling yang ditiup oleh Kimtiok
Siu-cay Ie Hie Tong sambil duduk di bawah pohon.
Jantung Ouw Hui berdebar keras. Ia segera ingat, bahwa
banyak tahun berselang, waktu berada di Siang-kee-po, ia
telah mendengar suara seruling yang semerdu itu. Suara
seruling itu yang ditiup oleh Hok Kong An dalam taman bunga
untuk memancing Ma It Hong sudah berakhir dengan peristiwa
yang sangat mengenaskan.
Bagaikan terpaku, semua orang mendengarkan suara
seruling itu yang merayu di antara kesunyian dan yang seolaholah
sedang menuturkan sebuah cerita pereintaan yang penuh
dengan kehangatan, kedukaan dan penderitaan. Setiap orang
ingat akan pengalamannya sendiri di masa yang sudah silam.
Bahkan Bu-tim Tootiang juga ingat pengalamannya pada
beberapa puluh tahun berselang dengan seorang nona she
Kwan dan pereintaan itu berakhir dengan kegagalan, sehingga
ia memutuskan satu lengannya dan ia sendiri menjadi toosu....
Beberapa lama kemudian, di antara suara seruling yang
mengalun dengan perlahan, Tan Kee Lok bertindak ke luar
dengan paras sedih dan begitu melihat Ouw Hui, ia
manggutkan kepalanya. Pe-muda itu mengerti, bahwa
anggukan kepala itu berarti Ma It Hong sudah berpulang ke
alam abadi dengan hati terhibur, karena ia sudah bisa
berjumpa dengan kedua putera dan "kecintaannya". Kecuali
Tan Kee Lok tiada seorang pun tahu apa yang dikatakan oleh
nyonya muda itu. Apa yang semua orang tahu ialah Tan Kee
Lok dan Ouw Hui sudah berbuat apa yang seorang manusia
bisa lakukan untuk meringankan penderitaan sesama manusia
yang hampir meninggalkan dunia yang fana ini.
Karena masih mempunyai tugas untuk mengu-bur jenazah
Ma It Hong, Ouw Hui tidak bisa meng-ikut rombongan Anghoa-
hwee pulang ke wilayah Hwee. Maka itu, ia meminta
pertolongan kedua saudara Siang dan saudara Nie untuk
membawa dan merawat kedua putera Ma It Hong. Ia berjanji,
bahwa begitu lekas penguburan selesai, ia akan segera
menyusul mereka ke Hweekiang.
Demikianlah, dengan rasa berat, para orang gagah Anghoa-
hwee lalu berpamit kepada Ouw Hui dan Leng So,
kemudian lantas berangkat be-ramai-ramai.
Dalam pertemuan dengan rombongan Ang-hoa-hwee ada
suatu hal yang mengherankan Ouw Hui, yaitu baik Tio Poan
San, maupun Lok Peng atau yang Iain-lain tak pernah
menyebut-nyebut Wan-seng. Apakah Wan-seng sudah
menemui mereka dan meminta supaya mereka jangan
menyebut-nyebut namanya lagi"
Sesudah kawan-kawan Ang-hoa-hwee tak keli-hatan
bayang-bayangannya lagi, Ouw Hui dan Leng So lalu masuk
kembali ke dalam kelenteng. Jenazah Ma It Hong rebah di
atas pembaringan dengan bibir tersungging senyuman dan
paras yang mencerminkan rasa bahagia. "Jie-moay," kata Ouw
Hui dengan air mata berlinang-linang. "Dia minta kita
mengubur jenazahnya di samping kuburan suaminya, tapi diwaktu
sekarang, permintaan itu sukar dilakukan karena kaki
tangan Hok Kong An tentu sedang mencari kita. Jika kita
membawa peti mati dalam perjalanan yang begitu jauh, kita
akan menimbul-kan kecurigaan orang. Menurut pendapatku,
paling baik kita membakar saja jenazahnya dan membawa
abunya untuk dikuburkan."
"Benar," kata Leng So sambil mengangguk.
Ouw Hui segera membungkuk untuk memon-dong jenazah
Ma It Hong. Mendadak Leng So menjambret dan menarik
lengannya. "Tahan!" bisik-nya dengan suara memburu.
Ouw Hui terkesiap. Dengan cepat ia menarik pulang
tangannya dan mundur setindak. "Ada apa?" tanyanya.
Sebelum nona Thia menjawab, kupingnya sudah dapat
menangkap suara napas manusia. Ia memutar badan dan
mengawasi ke arah suara itu. Ternyata, di belakang pintu
bersembunyi dua orang, yang satu perempuan bongkok, yang
lain lelaki jangkung, dan mereka itu adalah Sie Kiauw dan
Boh-yong Keng Gak, Samsuci dan Toasuheng seperguruan
perempuan yang ketiga. (Toasuheng = kakak seperguruan
lelaki paling tua).
Sesaat itu, Leng So mengayun tangannya dan melepaskan
bubuk kalajengking merah ke kolong ranjang.
"Di kolong ranjang pasti bersembunyi musuh lihay," kata
Ouw Hui dalam hatinya.
Selagi Leng So menimpuk, Sie Kiauw mendo-rong daun
pintu dan coba melompat ke luar. Tapi Ouw Hui mendului
dengan kegesitan luar biasa. Setelah memeluk pinggang
adiknya dengan lengan kanan, sekali melompat saja ia sudah
berada di luar pintu. Hampir berbareng, kakinya menendang
daun pintu yang lantas saja menjeblak ke belakang, sehingga
kedua orang itu terpukul dan tergencet di antara daun pintu
dan tembok. Boh-yong Keng Gak masih tak apa, tapi Sie
Kiauw harus merasakan kesakitan hebat sebab punggungnya
yang meleng-kung terpukul keras sekali.
Baru saja kedua kaki Ouw Hui hinggap di lantai, dari kolong
ranjang menghembus ke luar serupa uap merah, suatu tanda,
bahwa tepung kalajengking telah dipukul kembali oleh orang
yang bersembunyi di situ. Sesaat kemudian dari kolong
ranjang muncul tubuh manusia yang segera melompat dan
meng-hantam kepala Ouw Hui dengan tongkatnya. Ouw Hui
segera mengenali, bahwa orang itu adalah Cio Ban Tin yang
mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong".
"Jangan menyentuh badan dan senjatanya!" te-riak Leng
So. Sambil melompat ke samping, Ouw Hui meng-hunus
goloknya dan menyabet dengan pukulan Lian-ko-hwi-kiam.
Karena pukulan itu cepat luar biasa dan lidak keburu dikelit
lagi, Cio Ban Tin lalu menangkis dengan tongkatnya, "Trang!"
berbareng mereka melompat ke belakang dengan badan
terhuyung. Sementara itu Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw sudah
keluar dari kamar dan berdiri di belakang Cio Ban Tin.
Sesudah menjajal tenaga dan merasakan lihaynya Ouw Hui,
sehingga lengannya kesemutan, si orang she Cio tidak
menyerang lagi. Ia mengawasi pemuda itu dengan rasa heran.
Di lain pihak, Ouw Hui pun tak kurang herannya. la mendapat
kenyataan, bahwa lawannya bukan saja pandai menggunakan
racun, tapi juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
"Thia Sumoay, mengapa kau tidak berlutut di hadapan
Susiok (paman guru)?" kata Boh-yong Keng Gak.
"Susiok dari mana?" tanya nona Thia dengan suara dingin.
"Apakah kau belum pernah mendengar nama Tok-chiu Sinsiauw
(Si kokok belok malaikat)?" tanya Cio Ban Tin dengan
mendongkol. "Apakah gurumu belum pernah menyebut nama
itu?" Nona Thia terkejut. "Tok-chiu Sin-siauw?" ia menegas. "Ya!
Suhu memang pernah mengatakan, bahwa dahulu ia
mempunyai seorang sutee. Tapi karena perbuatan adik
seperguruan itu menyele-weng dan banyak membinasakan
manusia yang tidak berdosa, maka Suhu sudah mengusir dia.
Cio Cian-pwee, apa kau Tok-chiu Sin-siauw?"
Cio Ban Tin tersenyum tawar. "Hm!" ia menge-luarkan
suara di hidung. "Golongan kita mempe-lajari penggunaan
racun dan sesudah main-main dengan racun, perlu apa kita
berlagak sebagai orang baik" Aku si orang she Cio, biarpun
dicaci sebagai manusia rendah, sungkan mengikuti jejak
gurumu yang berpura-pura menjadi manusia baik."
Leng So naik darahnya. "Kapankah guruku pernah
mencelakakan manusia yang tidak berdosa?" bentaknya.
"Apakah gurumu tidak membinasakan banyak sekali
manusia?" Cio Ban Tin balas tanya. "Dia mengatakan, bahwa
yang dibinasakannya adalah manusia-manusia jahat yang
pantas mendapat hu-kuman mati. Tapi di mata orang lain,
alasan itu belum tentu dapat diterima baik. Keluarga orang
yang dibinasakan belum tentu menyetujui pikiran gurumu
yang mulia."
Ouw Hui kaget. Ia merasa, bahwa perkataan si tua ada
juga benarnya. "Benar!" kata Leng So, "Guruku juga merasa menyesal,
bahwa ia telah mencelakakan terlalu banyak manusia dan
itulah sebabnya, mengapa be-lakangan beliau mencukur
rambut dan menjadi pen-deta. Beliau telah memesan kami
berempat saudara seperguruan, supaya kalau bukan terlalu
terpaksa, kami tidak boleh sembarangan melukai orang.
Selama hidup, boanpwee belum pernah membinasakan
manusia." Cio Ban Tin tertawa dingin. "Hm! Apa gunanya berpurapura
menjadi orang mulia?" katanya dengan nada mengejek.
"Kulihat kau adalah seorang pandai dalam kalangan kita.
Sepak terjangmu dalam Ciangbunjin Tayhwee bagus sekali,
sehingga aku sendiri yang menjadi Susiokmu hampir-hampir
kena disengkilit."
"Kau sungguh berani mati," kata Leng So. "Kau
menggunakan nama Tok-chiu Yo-ong dan menama-kan diri
sendiri sebagai Susiok. Seorang Tok-chiu Yo-ong yang tulen
mana bisa kena dikelabui oleh-ku" Begitu lekas tangannya
memegang Giok-liong-pwee, ia pasti sudah mengetahui,
bahwa pada cang-kir itu terdapat racun Cek-kiat-hun. Seorang
Tok-chiu Yo-ong mana boleh tak tahu waktu aku mengepulkan
asap Sam-go Ngo-mo-yan." (Sam-go Ngo-mo-yan = Asap
beracun dari tiga macam kelabang dan lima macam kodok
buduk). Disemprot begitu, muka Cio Ban Tin lantas saja berubah
merah. Untuk beberapa saat ia mengawasi nona Thia dengan
rasa gusar dan malu, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
Dahulu, di waktu masih muda, Cio Ban Tin belajar
bersama-sama Bu-tin Taysu yang dijuluki orang sebagai Tokchiu
Yo-ong. Karena ia sering menggunakan racun secara
serampangan dan ba-nyak mengambil jiwa manusia yang
tidak berdosa, ia diusir oleh gurunya. Selama beberapa puluh
tahun, beberapa kali ia menyatroni dan bertempur melawan
Bu-tin. Tapi setiap kali ia selalu jatuh di bawah angin. Kalau
Bu-tin tak ingat sumpahnya di hadapan Sang Buddha, bahwa
ia tak akan mengambil lagi jiwa manusia, ia tentu sudah
membinasa-kan saudara seperguruan itu. Biarpun begitu
dalam pertempuran yang paling belakang, kedua mata Ban
Tin telah menjadi buta sebab rumput Toan-chung-co. Dia
kabur ke Gunung Orang Hutan di Birma dan dengan
menggunakan benang Lawa-lawa Perak perlahan-lahan dia
berhasil menarik ke luar racun rumput itu, sehingga akhirnya
dia bisa melihat lagi. Tapi biarpun tertolong, matanya tetap
lamur. Maka itu, tepung kalajengking merah yang melekat di
cangkir giok tak dapat dilihat olehnya dan warna asap beracun
yang dikepulkan Leng So juga tak dapat dibedakannya.
Di samping itu, Leng So sudah berhasil menanam pohon


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cit-sim Hay-tong, raja dari semua tumbuh-tumbuhan yang
mengandung racun. Dengan mencampur Cek-kiat-hun dan
Sam-go Ngo-mo-yan dengan tepung daun Cit-sim Hay-tong,
kedua racun itu jadi hilang baunya dan bertambah besar
kekuatannya. Sesudah berdiam sepuluh tahun di Gunung Orang Hutan
barulah Cio Ban Tin berhasil menyembuhkan kedua matanya.
Sepulangnya di Tiong-goan ia mendengar tentang
meninggalnya Bu-tin Taysu. Ia merasa girang, karena menurut
anggapan-nya ia sekarang sudah bisa menjagoi dalam
lapangan penggunaan racun. Tapi di luar perhitungannya,
sang Suheng mempunyai seorang "murid penutup" (murid
yang diterima paling belakang) yang sedemikian lihay. Maka
itu, dengan menyamar sebagai seorang nenek, Leng So
mengepulkan asap pipa. Mimpi pun ia tak pernah mimpi
bahwa asap pipa itu akan merobohkannya.
Melihat si tua membungkam Boh-yong Keng Gak segera
berkata: "Sumoay, kau sungguh bernyali besar. Sesudah
berdosa terhadap Susiok, kau tidak buru-buru berlutut untuk
memohon ampun. Jika beliau marah, kau akan mati tanpa
mempunyai kuburan. Aku dan Sie Sumoay sekarang sudah
menjadi muridnya. Kalau sekarang kau menyerahkan Yo-ong
Sin-pian mungkin sekali dalam girangnya beliau sudi
menerima kau sebagai murid."
Nona Thia gusar bukan main. Dalam Rimba Persilatan,
mengkhianati partai sendiri dan masuk ke partai lain
merupakan suatu dosa besar dan hukuman-nya adalah
hukuman mati. Tapi biarpun darahnya meluap, muka si nona
sedikit pun tidak berubah. "Kalau begitu kalian sudah menjadi
murid Cio Cianpwee," katanya. "Dengan lain perkataan, jika
Cio Cianpwee tak suka menerima siauwmoay sebagai murid
maka siauwmoay tidak berhak memanggil kalian sebagai
Suheng dan Suci. Ke mana Kiang Suko" Apakah ia juga sudah
menjadi murid Cio Cian-pwee?"
"Kiang Sutee tidak mengerti urusan dan tak mau menerima
nasihat baik," jawab Boh-yong Keng Gak. "Dia sudah dihukum
mati oleh guru kami."
Hati Leng So mencelos, hampir-hampir ia mengucurkan air
mata. Kiang Tiat San adalah seorang yang jujur dan di antara
ketiga saudara seperguruan, ialah yang paling baik. Tak
dinyana, saudara seperguruan itu telah dibinasakan oleh Cio
Ban Tin. "Sie Samei, di mana adanya puteramu, Siauw Tiat?" tanya
pula Leng So. "Apa ia baik?" "Sudah mati," jawabnya dengan
dingin. "Mati karena penyakit apa?" tanya pula nona Thia. "Dia
anakku, tak usah kau campur-campur," kata Sie Kiauw dengan
suara aseran. "Benar, memang benar siauwmoay tak berhak untuk
mencampuri urusan puteramu," kata Leng So. "Aha! Kulupa
memberi selamat kepada kalian. Lagi kapan Boh-yong Toako
menikah dengan Sam-suci" Kalian sungguh keterlaluan.
Mengapakah tidak mengundang siauwmoay untuk turut
minum arak kegirangan?"
Hubungan antara Boh-yong Keng Gak, Kiang Tiat San dan
Sie Kiauw adalah hebat dan menyeramkan. Semula, Sie Kiauw
mencintai Boh-yong Keng Gak, tapi Boh-yong Keng Gak
menikah dengan wanita lain. Dalam gusarnya, dia meracuni
saingan itu sehingga mati. Boh-yong Keng Gak lantas saja
bertindak untuk membalas sakit hati isterinya. Dengan
menggunakan racun, dia merusak muka dan badan Sie Kiauw,
sehingga ia itu menjadi perempuan bongkok yang bermuka
jelek. Di lain pihak, sudah lama Kiang Tiat San jatuh cinta kepada
sumoaynya. Biarpun Sie Kiauw sudah menjadi perempuan
bongkok, rasa cintanya tidak berubah dan ia lalu
mengambilnya sebagai isterinya.
Di luar dugaan, sesudah Kiang Tiat San dan Sie Kiauw
menikah dan mempunyai seorang putera, rasa cinta Boh-yong
Keng Gak terhadap Sie Kiauw tiba-tiba timbul. Dia ingat
kebaikan-kebaikan su-moay itu pada jaman yang lampau.
Dengan tim-bulnya rasa cinta, tak henti-hentinya dia coba
meng-ganggu Sie Kiauw, sehingga dia bermusuhan dengan
Kiang Tiat San.
Untuk mencegah serangan Toasuheng mereka, Kiang Tiat
San dan Sie Kiauw pernah membuat sebuah rumah besi yang
dikitari pohon-pohon be-racun Hiat-ay-lie. Siapa nyana,
akhirnya Kiang Tiat San telah dibinasakan oleh Cio Ban Tin
dan Boh-yong Keng Gak sendiri menikah dengan Sie Kiauw.
Leng So mengetahui, bahwa dalam peristiwa itu terdapat
latar belakang yang berliku-Iiku. Ia men-duga, bahwa
dibinasakannya Kiang Tian San oleh Cio Ban Tin adalah karena
Jiesuko itu menolak untuk mengkhianati guru sendiri. Tapi
dalam hal itu, mungkin sekali Boh-yong Keng Gaklah yang
menjadi gara-gara dan secara licik menjalankan tipu
busuknya. Karena Sie Kiauwsudah menikah dengan Toasuko
itu, maka bukan tak bisa jadi, si bongkok juga turut berdosa
dalam kematian suaminya. (Jiesuko = kakak seperguruan
lelaki yang kedua).
Memikir begitu, Leng So lantas saja menghela napas dan
berkata: "Waktu Siauw Tiat keracunan, siauwmoay telah
berusaha sedapat mungkin untuk menolongnya. Siapa sangka
ia akhirnya mati juga karena Tho-hoa-ciang (racun bunga
tho). Ya! Mungkin memang sudah nasibnya harus mati karena
racun." Paras Boh-yong Keng Gak lantas saja berubah pucat dan ia
berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... bagaimana...
kau tahu...." Ia tidak menerus-kan perkataannya dan hanya
mengawasi Sie Kiauw.
"Siauwmoay sebenarnya tak tahu, hanya men-duga-duga
saja," kata Leng So.
Nona Thia sudah sengaja menyebutkan "Tho-hoa-ciang",
karena ia tahu, bahwa Toasuheng itu mempunyai racun
tersebut yang paling diandalkan-nya. Boh-yong Keng Gak
mendapatkan Tho-hoa-ciang di daerah perbatasan antara
Inlam dan Kwi-ciu: kemudian, dengan menggunakan itu, dia
mem-buat peluru beracun yang sangat hebat. Sesudah
bertahun-tahun bermusuh dengan Toasuheng mereka, Kiang
Tiat San dan Sie Kiauw berhasil mem-buat semacam obat
untuk memunahkannya.
Karena pikirannya sedang kusut dan perkataan Leng So
diucapkan secara di luar dugaan, maka Boh-yong Keng Gak
lantas saja terjebak dan meng-akui kedosaannya.
Leng So jadi makin gusar. "Samsuci benar-benar kejam,"
pikirnya. "Jiesuko telah memperlakukannya begitu baik, tapi
dia tega bersekutu dengan Toasuko, sehingga Jiesuko dan
puteranya jadi binasa."
Nona Thia berpikir begitu, sebab ia tahu, bahwa Sie Kiauw
mempunyai obat pemunah yang bisa digunakan untuk
menolong Siauw Tiat yang ke-racunan Tho-hoa-ciang.
Terhadap puteranya sen-diri dia sudah begitu tega, maka
Leng So menarik kesimpulan, bahwa meskipun Sie Kia uw
tidak turun tangan sendiri, dia tur^ut berdosa dalam
persekutuan mengambil jiwa ayah dan anak itu.
Dari sini dapatlah dibayangkan betapa pintar-nya nona
Thia. Dari beberapa perkataan yang ter-lepas dari mulut Bohyong
Keng Gak, ia sudah bisa melihat latar belakang dari
pembunuhan kejam itu. Biar bagaimanapun jua, Sie Kiauw
merasa je-ngah karena ingat perbuatannya yang terkutuk.
Buru-buru ia coba membelokkan pembicaraan dengan
berkata: "Sumoay, guruku menaruh belas ka-sihan dan
bersedia untuk menerimamu sebagai mu-rid. Inilah nasibmu
yang baik. Mengapa kau tidak lantas berlutut?"
"Jika aku tidak mengangkat dia sebagai guru, bukankah
aku akan bernasib seperti Jiesuko?" tanya Leng So.
"Bukan begitu," kata Boh-yong Keng Gak. "Ka-lau kau
menolak rejeki, orang lain tentu tak dapat memaksanya. Tapi
sekarang menurut pantas kau harus segera menyerahkan Yoong
Sin-pian. Guruku adalah seorang yang mulia. Jika kau
menyerahkan kitab itu, dosamu terhadap beliau dalam
Ciangbunjin Tayhwee boleh tak usah diperhitung-kan lagi."
Nona Thia manggut-manggutkan kepalanya. "Tak salah
perkataan Toasuko," katanya. "Tapi Yo-ong Sin-pian adalah
sejilid kitab yang ditulis sendiri oleh Bu-tin Taysu. Manakala
kita bertiga saudara seperguruan sudah mengangkat Cio
Cianpwee sebagai guru, kita harus membuang semua
pelajaran Siansu (mendiang guru yaitu Bu-tin Taysu) dan
harus mempelajari ilmu Cio Cianpwee. Kuyakin
ilmu Cio Cianpwee berbeda dengan ilmu Siansu dan
meskipun belum tentu bisa mengalahkan ilmu Siansu, masingmasing
mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Kalau Cio
Cianpwee tidak punya ilmu isti-mewa, kalian berdua sudah
pasti tak akan meng-angkat beliau sebagai guru. Di samping
itu, Toasuko pun telah menyebut-nyebut hal 'rejeki' yang katanya,
kalau ditolak olehku, orang lain tentu tidak dapat
memaksanya. Dengan demikian, Yo-ong Sin-pian sudah tidak
berguna lagi dan Siauwmoay lebih baik membakarnya."
Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan sejilid kitab yang
kertasnya sudah ber-warna kuning. Ia menyalakan bahan api
yang kemu-dian lalu digunakan untuk membakar kitab itu.
Waktu baru mendengar perkataan Leng So, Cio Ban Tin
tertawa dalam hatinya. Yo-ong Sin-pian ditulis oleh Bu-tin
Taysu sendiri. Mana bisa jadi Leng So membakarnya" Sesudah
nona Thia menya-lakannya dia masih tersenyum-senyum,
sebab men-duga, bahwa yang dibakar itu adalah kitab palsu.
Setelah kitab tersebut terbuka lembarannya, sebab kena hawa
panas, dan dia mengenali huruf-hu-rufnya sebagai tulisan
tangan Bu-tin Taysu, barulah dia icaget. "Celaka! Budak itu
tentu sudah meng-hafal isinya dan hilangnya kitab itu tidak
menjadi soal baginya," pikirnya. Karenanya ia lantas saja
berteriak: "Tahan!" Ia mengirim pukulan dan angin pukulan itu
dalam sekejap sudah memadamkan api.
"Eh-eh, aku benar-benar tidak mengerti," kata Leng So.
"Kalau ilmu Cio Cianpwee lebih unggul daripada guruku, perlu
apa ia membaca kitab Siansu. Jika ilmu Cio Cianpwee lebih
rendah daripada Siansu, mengapa beliau berani menerima aku
sebagai murid?"
"Ilmu Suhu mamang tidak berada di sebelah bawah
Siansu," kata Boh-yong Keng Gak. "Tapi Yo-ong Sin-pian
adalah hasil jerih payah Siansu selama bertahun-tahun. Ada
baiknyajuga jika Suhu membacanya sambil lalu, supaya beliau
bisa menun-jukkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan
dalam kitab itu."
Leng So manggut-manggutkan kepalanya. "Toasuko, makin
lama pengetahuanmu jadi makin ting-gi," katanya dengan
nada mengejek. "Ha-ha! Dua orang bersembunyi di belakang
pintu, yang ketiga di kolong ranjang, untuk membokong Ouw
Toako dan aku. Cio Cianpwee, boanpwee ingin minta
penjelasanmu mengenai suatu hal. Jika Cianpwee bisa
memberikan keterangan yang memuaskan, maka dengan
kedua tangan boanpwee akan menyerahkan Yo-ong Sin-pian.
Selain itu, boanpwee pun akan memohon supaya Cianpwee
sudi menerima boanpwee sebagai murid."
Cio Ban Tin terkejut. Ia tahu, bahwa per-tanyaan yang
akan diajukan itu pasti pertanyaan sulit yang belum tentu
dapat dijawabnya. Tapi ka-rena melihat Yo-ong Sin-pian
berada dalam tangan Leng So yang bisa segera
memusnahkannya, maka ia tak mau menggunakan kekerasan
yang dapat menggusarkan nona itu. "Soal apa yang mau
diajukan olehmu?" tanyanya.
Nona Thia tersenyum dan berkata: "Di antara suku Biauw
di propinsi Kwiciu terdapat serupa racun yang dinamakan Pekcam
Tok-kouw...." (Pek-cam Tok-kouw = Kupu-kupu beracun
dari ulat sutera hijau).
ilmu Cio Cianpwee berbeda dengan ilmu Siansu dan
meskipun belum tentu bisa mengalahkan ilmu Siansu, masingmasing
mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Kalau Cio
Cianpwee tidak punya ilmu isti-mewa, kalian berdua sudah
pasti tak akan meng-angkat beliau sebagai guru. Di samping
itu, Toasuko pun telah menyebut-nyebut hal 'rejeki' yang katanya,
kalau ditolak olehku, orang lain tentu tidak dapat
memaksanya. Dengan demikian, Yo-ong Sin-pian sudah tidak
berguna lagi dan Siauwmoay lebih baik membakarnya."
Seraya berkata begitu, ia mengeluarkan sejilid kitab yang
kertasnya sudah ber-warna kuning. Ia menyalakan bahan api
yang kemu-dian lalu digunakan untuk membakar kitab itu.
Waktu baru mendengar perkataan Leng So, Cio Ban Tin
tertawa dalam hatinya. Yo-ong Sin-pian ditulis oleh Bu-tin
Taysu sendiri. Mana bisa jadi Leng So membakarnya" Sesudah
nona Thia menya-lakannya dia masih tersenyum-senyum,
sebab men-duga, bahwa yang dibakar itu adalah kitab palsu.
Setelah kitab tersebut terbuka lembarannya, sebab kena hawa
panas, dan dia mengenali huruf-hu-rufnya sebagai tulisan
tangan Bu-tin Taysu, barulah
Pendekar Cacad 1 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bentrok Rimba Persilatan 9
^