Kitab Pusaka 3

Kitab Pusaka Karya Tjan Id Bagian 3


rima semua nasehat itu dengan hati yang bersungguh-sungguh,
hingga kini dia baru me ngetahui sejelas-jelasnya watak dari
sepasang kakek bodoh tersebut.
Diam-diam timbul perasaan kagum didalam hatinya, ia
berpikir. "Benar-benar terlalu agung, orang yang benar-benar cerdas
memang mirip bodoh, mengapa aku tidak mempergunakan
ucapan mereka sebagai pedoman hidupku?"
Setelah menyampaikan nasehatnya kepada Suma Thian yu,
Sepasang kakek bodoh dari bukit Wu san sama sekali tidak
menantikan jawaban nya, mereka segera membalikkan badan
dan berlalu dari situ, dalam waktu singkat bayangan tubuh
mereka berdua sudah lenyap tak berbekas.
Memandang bayangan punggung kedua orang kakek itu,
Suma Thian yu merasa seakan-akan kehilangan buah mutiara
yang tak ternilai harganya dan merasa murung dan sedih.
Sekali lagi ia hidup menyendiri dialam semesta yang begini
luas, sampai kapan keadaan seperti ini baru akan berakhir"
Sementara dia masih termenung, mendadak dari kejauhan
sana terdengar suara pekikan nyaring berkumandang
memecahkan kesunyian.
Suma Thian yu merasa amat terperanjat setelah
mendengar suara pekikan tersebut, dengan perasaan tertegun
pikirnya: "Heran, mengapa selama beberapa hari ini bukit kiu gi san
jadi begini ramai" Satu rombongan baru lewat, rombongan
lain menyusul datang, mungkinkah dibukit ini telah ditemukan
suatu benda mestika ?"
Sementara dia masih termenung, suara pekikan tersebut
sudah semakin mendekat, bahkan jumlahnya tidak hanya
satu. Suma Thian yu sudah terbiasa mendengar suara pekikan
tersebut, dia acuh tak acuh, bahkan sambil berpaling dia
memejamkan matanya seperti orang hendak tidur.
Tiba-tiba terlintas satu ingatan didalam benaknya, mengapa
tidak mempergunakan kesempatan itu untuk memeriksa isi
kitab pusaka palsu itu"
Berpikir demikian, dia lantas merogoh ke dalam sakunya
dan mengeluarkan kertas tersebut dan dipegang dalam
tangan. Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras:
"Hei bocah muda, benda apakah yang sedang kau pegang
itu?" Sungguh tak disangka suara pekikan yang kedengarannya
masih jauh tadi, tahu-tahu dihadapan mukanya telah
melayang turun seorang kakek berusia tujuh puluh tahun,
berperawakan tinggi besar, bercambang, bermata besar,
beralis tebal dan bermulut lebar. Orang itu ber tampang
menyeramkan sekali.
Suma Thian yu mencoba untuk memeriksa sekeliling
tempat itu, ketika dilihatnya tak ada orang lain selain kakek
itu, apalagi orang itu pun bermuka bengis dan menyeramkan,
maka timbul satu ingatan dalam benaknya untuk
mempermainkannya dengan menggunakan kitab pusaka palsu
tersebut. Dengan suara nyaring dia lantas berkata.
"Aku tak dapat memberitahukan kepadamu, sebab benda
ini adalah sebuah mestika yang tak ternilai harganya!"
Sambil berkata dengan wajah tersenyum mengejek dia
melirik sekejap kearah kakek itu, kemudian sengaja
menyimpan kertas tadi ke dalam saku.
Setelah itu dengan senyuman aneh menghiasi diujung bibir,
dia berkata lebih jauh:
"Padahal sekalipun kuberitahukan kepadamu juga tak
mengapa, kertas ini isinya adalah ilmu silat peninggalan dari
Ku hay Siansu!"
Mendengar perkataan itu, paras muka kakek tersebut
berubah hebat, mencorong sinar buas dari balik matanya, dia
sepera membentak
"Kau tidak membohongi aku" Bawa kemari!"
Nadanya keras dan bersifat memerintah, seakan-akan
pemuda itu sudah sepantasnya untu menyerahkan kitab
pusaka itu kepadanya.
"Huh...apa yang kau andalkan untuk memerintahku berbuat
demikian" kitab ini toh aku yang menemukan, kenapa harus
kuserahkan lagi kepada orang lain. Heeh, heeh, heh sungguh
menggelikan!"
"Lohu ingin bertanya kepadamu, apakah kitab tersebut
adalah kitab pusaka Kun tun kan kun huan siu Cinkeng?" nada
suara dari kakek tersebut menjadi jauh lebih lembut.
"Aduuh ...dari maka kau bisa tahu?" Suma Thian yu purapura
merasa terkejut, padahal dalan hati kecilnya dia geli
sekali. Selama hidup belum pernah dia permainkan orang iain
seperti apa yang dilakukannya saat ini, ia merasa apa yang
telah dilakukannya benar-benar amat memuaskan hatinya.
Seandainya Suma Thian yu tahu kalau kakek yang berada
dihadapannya sekarang adalah salah seorang dari Ci san su
mo (empat iblis dari bukit Ci san), Jit ci to (pencoleng berjari
tujuh) Tam Yu yang pernah menderita kekalahan ditangan
gurunya Put Gbo cu dimasa lalu, niscaya dia tak akan berani
mempermainkan kakek itu.
Terdengar pencoleng berjari tujuh Tam yu tertawa
terbahak-bahak dengan bangganya.
"Haah...haah....haah...bersusah payah aku mencari kesana
kemari, akrhirnya berhasil kutemukan tanpa susah payah,
nampaknya saat lohu untuk unjuk gigi sudah tiba. Nah bocah
muda, oleh karena kitab pusaka itu berhasil kau temukan,
maka lohu bersedia mengampuni selembar jiwamu, cepat
serahkan kitab tersebut kepadaku!"
Suma Thian yu sudah menduga akan sikap dari kakek
tersebut, maka dia tidak marah atau pun merasa kaget, pelanpelan
dia menarik ke luar kitab itu hirgga muncul separuh dari
balik sakunya, kemudaan berkata lagi.
"Tidak ada pekerjaan yang semudah itu di kolong langit,
tinggalkan dulu nama besarmu, saya ingin tahu cukup
pantaskah kau menerima pusaka ini"
Mendengar perkataan itu, si Pencoleng berjari tujuh Tam
Yu tertawa seram.
"Haah...haah....haah....bocah keparat, tak heran kalau kau
berani bersikap kurangajar kepadaku, rupanya kau belum tahu
siapakah diri ku ini" Lohu she Tam bernama Yu. Coba nilailah
apakah aku pantas untuk mendapatkan kitab pusaka yang
berada ditanganmu itu?"
Haah....haah..." Suma Thian yu tertawa tergelak lagi
setelah mendengar nama tersebut, bila kau tidak
menyebutkan namamu itu, mungkin aku masih akan
menyerahkan kitab tersebut kepadamu, tapi setelah
mengetahui siapa gerangan dirimu itu...Hmm, sauya tak sudi
untuk menyerahkan kepadamu"
"Kenapa?" teriak si Pencoleng berjari tujuh dengan gusar,
"bocah keparat, tampaknya arak kehormatan kau tak mau,
arak hukuman kau pilih. Sebentar jika kau sudah merasakan
kelihayanku, jangan lagi berkaok minta ampun"
Suma Thian Yu kembali tertawa keras.
"Aku tak dapat menyerahkan kepadamu karena kau adalah
bekas panglima yang kalah di tangan Put Gu cu locianpwe,
kalau nyawamu saja berhasil ditemukan secara untunguntungan,
mana ada hak bagimu untuk mendapatkan kitab
pushka tersebut?"
Mendengar ucapan tersebut, si Pencoleng berjari tujuh Tam
Yu menjadi tertegun, kemudian dari malu dia menjadi gusar,
serunya: "Bocah keparat, apa hubunganmu dengan siluman tosu
itu?" Apa hubunganku dengannya lebih baik tak usah kau
campuri, dan kaupun tidak berhak untuk mengetahuinya, lebih
baik jangan semba rangan berpikir. Maaf, sauya tak dapat
menemani lebih lama lagi."
Selesai berkata, dengan langkah lebar dia lantas berlalu
dari tempat itu.
Namun tiba-tiba terdengar suara bentakan keras
menggelegar di udara.
"Berhenti !"
Tampak sesosok bayangan manusia dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat berlelebat lewat dari atas kepala
Suma Thian yu dan menghadang perginya,
Suma Thian yu segera memicingkan mata dan membentak
dengan nada sinis:
"Bagaimana" Ingin merebut dengan kekerasan ?"
"Betul, lohu memang ingin berbuat demikian"
"Hmm! Bagaimanapun juga pencoleng memang berjiwa
kerdil dan tak becus, sekali menjadi bajingan selamanya tetap
bajingan, apakah kau tidak malu" Hmm, terhadap seorang
pemuda pun menggunakan cara kekerasan...."
"Heeeh....heeeh....heeeh.... bocah keparat, tak kusangka
kau memiliki selembar bibir yang pandai bersilat lidah,
selamanya lohu tak doyan dengan permainan semacam ini
lebih baik segera serahkan kitab tersebut ke padaku."
"Huuuh, kau belum berhak!"
Begitu ucapan terakhir diutarakan, tampak bayangan
manusia berkelebat lewat dan "Plok" sebuah tempelengan
keras telah bersarang di atas pipi kakek tersebut.
Paras muka si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu berubah
hebat, mukanya merah padam seperti babi ppnggang, dengan
suara yang meng geledek bentaknya keras-keras.
"Bocah keparat, kau ingin mampus?"
Sepasang lengannya diayunkan kedepan melancarkan
bacokan semen-tara tubuhnya ikut menubruk kemuka
bagaikan harimau lapar menerkam domba, mengerikan sekali
keadaannya. Suma Thian yu sudah mempunyai perhitungan yang cukup
matang dalam menghadapi keadaan tersebut, ia tidak gugup
ataupun panik, menanti sepasang kepalan lawan sudah berada
setengah depa dihadapan nya, mendadak dia menyelinap
kesamping, kemudian mengembangkan ilmu langkah Ciok
tiong tuan poh cap lak sui yang dipelajari dari Sisu yau kay wi
Kian semalam. Baru saja sepasang lengan si Pencoleng berjari tujuh Tam
Yu mengayun kedepan, mendadak serasa bayangan manusia
berkelebat lewat, sementara ia masih tertegun, mendadak
tengkuknya seperti dihembus orang.
Dengan perasaan terkejut buru-buru dia memutar
badannya secepat kilat, kemudian tangan dan kakinya hampir
bersamaan waktunya me nendang ke tubuh Suma Thian yu
keras-keras. Sayang dia cepat, Suma Thian yu lebih cepat lagi, baru saja
lengannya mencapai setengah jalan, kembali tengkuknya
dihajar orang sehingga terasa linu, panas dan perih.
Dengan terjadinya peristiwa itu, semangat si Pencoleng
berjari tujuh Tam Yu menjadi dingin separuh, dia sadar bahwa
pada hari ini telah bertemu dengan musuh tangguh, tak
ampun peluh dingin segera bercucuran keluar membasahi
tubuhnya. Tapi sifat rakusnya dan keinginannya untuk mendapat
mestika membuat dia lupa akan keselamatan akan jiwanya diri
sendiri, dengan mata gelap si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu
mengeluarkan ilmu Thian sai ciang andalannya untuk
melancarkan serangan pukulan dahsyat untuk
menggurungseluruh badan Suma thian yu.
Semenjak mempelajari ilmu langkah Ciok tiang luan poh,
rasa percaya diri Suma Thian yu terbadap kemampuan sendiri
semakin bertambah, pada hakekatnya ia seperti telah berubah
menjadi seseorang yang lain, entah serangan dahsyat macam
apapun yang telah digunakan si Pencoleng berjari tujuh Tam
yu untuk mendesak musuhnya, ia selalu gagal untuk
mendesak lawannya.
Sedangkan Suma Thian yu justru berputar kian kemari
bagaikan kupu kupu yang menari ditengah bebungahan,
setiap ada kesempatan dia selalu menowel, meraba,
mencakar, mencubit seluruh badan kakek tersebut.
Tak selang berapa saat kemudian, keadaan si Pencoleng
berjari tujuh Tam Yu sudah lemas seperti seekor ayam jago
yang kalah bertarung, seluruh badannya basah kuyup oleh
keringat, mukanya pucat pias, napasnya ngos-ngosan seperti
kerbau, mengenaskan sekali keadaannya
Sambil berputar terus kian kemari, Suma Thian yu segera
mengejek sambil tertawa:
"Bagaimana" Terbukti bukan kalau kau masih belum cukup
mampu untuk mendapatkan kitab ini?"
Berbicara sampai disitu, mendadak gerakan tubuhnya
berubah, mendadak ia menerobos masuk ke dalam, kemudian
tangannya mencongkel ke muka...
Jeritan ngeri yang memilukan hati segera berkumandang
dari mulut si pencoleng berjari tujuh Tam Yu.
"Kali ini aku hanya mencongkel sebelah matamu saja
sebagai peringatan, lain kali aku harap kau jangan
menganiaya kaum muda lagi dengan semaunya sendiri" seru
Suma Thian yu. Selesai berkata, pasang kakinya segera menjejak
permukaan tanah dan tubuhnya melambung keudara,
kemudian diringi suara pekikan panjang yang penuh nada
gembira, secepat kilat dia turun dari bukit tersebut.
Sampai lama kemudian, pekikan itu masih saja bergema
ditengah hutan.
Bersamaan waktunya dengan lenyapnya bayangan tubuh
Suma Thian yu di ujung jalan sana, dari atas bukit melayang
turun tiga sosok bayangan hitam yang langsung menghampiri
si pencoleng berjari tujuh Tam yu yang terluka.
Dalam waktu singkat ketiga orang itu sudah berada
ditempat kejadian, seorang diantaranya segera memeluk
tubuh si pencoleng berjari tujuh Tam Yu sambil berteriak:
"Suhu, suhu, kenapa kau orang tua" Siapa yang telah turun
tangan sekeji ini kepadamu?"
Pencoleng berjari tujuh Tam Yu membuka matanya yang
tinggal sebelah dan mengawasi pendatang tersebut, lalu
sahutnya dengan sedih:
"Sudah pergi, bocah keparat itu sudah pergi, dia telah
mendapatkan kitab pusaka Kun tun dan kun huan siu cinkeng


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Ku hau sian siau, muridku, kau tak boleh bertindak
gegabah, kau bukan tandingan bocah keparat tersebut"
Ketika dua orang kakek lainnya mendengar ucapan
tersebut, ternyata tanpa memperdulikan Si Pencoleng berjari
tujuh Tam Yu yang sedang terluka, mereka segera berseru
cepat: "Tam Yu, maaf!"
Begitu selesai berkata, kedua orang itu segera melejit
ketengah udara dan meluncur ke arah dimana Suma Thian yu
melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Si Pencoleng berjari tujuh Tam Yu yang terluka dan
menyaksikan kepergian kedua orang itu segera berseru
dengan penuh kebencian:
"Tak berperasaan tak memperdulikan kesetiaan antar
persaudaraan, baik, selama aku orang she Tam masih hidup,
tak akan kulepaskan kalian berdua. Heehh... heehh... kalian
berani kesitu tak lebih hanya akan menghantar kematian
dengan percuma, tetapi memang paling baik jika kalian bisa
segera melaporkan diri kepada raja akhirat."
Ternyata kedua orang itu adalah Sam yap koan mo serta
Coa tau jin mo, kedua orang ini pun termasuk anggota Ci san
su mo, jadi sebenarnya adalah saudara angkat sipencoleng
berjari tujuh Tam yu sendiri.
Dalam pada itu, sepeninggal dari lembah Cing im kok,
Suma Thian Yu melanjutkan perjalanannya dengan kecepatan
luar biasa. Tapi tak berapa jauh dia berjalan, mendadak dari arah
belakang terdengar suara pekikkan aneh bergema tiada
hentinya, Suma Thian yu mengira si pencoleng berjari tujuh
yang melakukan pengejaran, maka sengaja ia perlambat
larinya. Dalam sekejap mata, dari arah belakang terdengar suara
ujung baju tersampokangin bergema tiba....
Dengan perasaan terkejut Suma Thian yu segera berpikir:
"Heran, kenapa bukan cuma seorang!"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat didalam
benaknya, mendadak dari arah belakang terdengar seseorang
membentak keras:
"Hei bocah muda, berhenti kau!"
Suma Thian yu segera menghentikan tubuhnya dan
berpaling, tampak olehnya dua orang kakek berdandan aneh
sedang menyusul tiba dengan kecepatan luar biasa.
Kehadiran kedua orang kakek yang tak dikenal itu amat
mencengangkan hatinya, tapi dia tahu pendatang pendatang
tersebut tidak bermaksud baik, mungkin juga disebabkan kitab
pusaka palsu tersebut, maka tegurnya dengan cepat:
Ada urusan apa kalian berdua datang kemari?"
Salah seorang diantaranya adalah seorang kakek berusia
tujuh puluh tahun, menggunakan pakaian dengan tiga warna
yang berbeda dan berwajah seram, dilihat dari dandanannya
dapat diketahui kalau orang itu adalah Sam yap koay mo (Iblis
aneh tiga daun) pentolan dari Ci san su mo.
Disampingnya adalah seorang kakek berusia enam puluh
tahunan, memakai baju panjang model orang desa, bermata
tikus, hidung pesek, kumis melintang dan kepala berbentuk
segitiga, tak disangkal lagi dia adalah manusia paling buas dari
Ci san su mo, Coa tou jin mo atau manuusia iblis berkepala
ular Sim moay him adanya.
Dengan suara sedingin es, Sam yap koay mo segera
menegur: "Bocah keparat, kau tak usah berlagak bodoh lagi, setelah
melukai adik angkatku, apakah kau masih ingin mungkir"
Hmm, tak kusangka seorang bocah busuk yang masih berbau
tetek berani bertindak sekejam itu,
heeeh.....heech....heeeh.....tiada lain, asalkau serahkan kitab
itu yang disakumu itu kepada kami, segala sesuatunya akan
kuanggap impas dan tidak dipermasalahkan lagi, tapi kalau
tidak..." "Haaah...haahh...haahh..kalau kitab pusska ttu tidak
kuserahkan, apakah kalian hendak membalas dendam bagi
sakit hati adik angkatmu itu" kata Suma Thian yu sambil
tertawa terbahak-bahak.
"Betul! Ucapanku selamanya kupegang teguh asal kau mau
serahkan kepada kami, kamipun tak akan mengingkari janji"
"Ciiss, manusia tak tahu malu" dengus Suma Thisn yu
dengan wajah sinis, ia memandang hina terhadap watak orang
yang rendah, "bersa habat dengan manusia macam kau,
sungguh mengenaskan sekali rasanya...sayang Put Gho cu
locianpwe tidak membereskan kalian dimasa lalu, sayang
sungguh amat sayang!"
Seraya berkata dia segera menggelengkan kepalanya dan
menghela napas panjang, sikapnya yang memandang rendah
musuhnya seakan-akan tak akan pandang sebelah matapun
terhadap kemampuan musuhnya itu.
Sam Yap Koay mo menjadi naik darah setelah mendengar
perkataan itu, sepasang matanya berubah menjadi merah
membara, tulang belu langnya bergemerutukan nyaring, tibatiba
ia membentak keras:
"Bocah keparat, serahkan nyawamu!"
Telapak tangannya segera diayunkan kedepan, segulung
angin pukulan yang maha dahsyat dengan cepatnya
menggulung tubuh Suma Thian yu.
Menghadapi ancaman tersebut, pemuda itu mendengus
dingin, sepasang bahunya bergerak dan mundur sejauh satu
kaki lebih, kemudian pedangnya di loloskan dan......."Criiing!"
pedang Kit hong kiam sudah dihunus dari sarungnya.
"Setan tua yang tak tahu malu" teriaknya lantang,
"tampaknya kau belum mengetahui akan kelihayan sauya"
Tidak sukar bila kau mengi nginkan kitab pusaka itu, asal bisa
menangkan satu jurus saja ditangan sauya, kitab tersebut
akan kupersembahkan kepadamu."
Mendengar perkataan itu, Sam yap Kuay mo tertawa
terkekeh-kekeh dengan seramnya.
"Heeeh......heeeh.....heeeh.....dengan mengandalkan
kepandaian mu juga berani berbicara sesumbar" Betul-betul
manusia tak tahu diri, baik, lohu akan memenuhi
pengharapanmu itu"
Selesai berkata dia lantas bergerak maja ke depan dengan
jurus Gi san tiam hay (menggeser bukit membendung
samudera) dia bacok tu buh bagian bawah dari Suma Thian
yu. Anak nuda itu tertawa panjang, pedangnya segera
didorong sejajar dada, tanpa gugup barang sedititpun juga
pedang itu diputar dite ngah jalan menusuk keatas dan
mengancam dada Sam yap koay mo dengan jurus Tan hong
tian yang (burung hong menghadap matahari).
Melihat datangnya ancaman tersebt, Sam yap koay mo
nampak agak tertegun,kemudian sambil tertawa seram
katanya. "Rupanya kau adalah ahli waris dari bajingan anjing
budukan she Wan terebut, ini lebih bagus lagi, lohu akan
membekukmu hidup-hidup untuk menerima pahala sehingga
tidak sia-sia perjalananku kali ini"
Berbicara sampai disitu, dia lantas menggapai kesamping,
si Manusia iblis berkepala ular segera melompat maju
kedepan, dasar memang bermuka tebal, ternyata gembong
iblis dari Liok lim ini telah bekerja sama untuk mengerubuti
pemuda berusia enam belas tahun itu.
Suma Thian yu dihadapkan dua orang gembong iblis
sekaligus bukannya merasa heran malah sebaliknya tertawa
panjang, menyusul kemudian gerakan tubuhnya berubah dan
dia segera mengembangkan ilmu langkah Ciat tiong luan poh
cap lak tui untuk melayani musuhnya.
Dalam waktu singkat seluruh arena sudah dipenuhi oleh
bayangan manusia yang berkelebat kesana kemari menerjang
keluar dari ke pungan kedua orang itu.
Sam yat koay mo serta Coa tau jin mo hanya merasakan
manusia berkelebat lewat, tahu-tahu mereka sudah kehilangan
bayangan tubuh lawan, dengan perasaan terkejut mereka
segera berpaling ke samping.
Tampaklah Suma Thian yu sudah berdiri di luar arena
dengan sekulum senyuman dingin menghiasi ujung bibirnya.
"Aku lihat lebih baik kalian berdua melatih diri selama
sepuluh tahun lagi sebelum datang mencoba sauya mu lagi,
sekarang maaf kalau sauya tak akan melayani lebih lama lagi"
demikian ia berseru.
Selesai berkata, dengan gerakan tubuh yang cepat ia
berlalu dari sana.
Tentu saja kedua orang iblis tersebut tidak bersedia
melepaskan musuhnya dengan begitu saja, melihat kejadian
itu mereka berpekik ke ras lalu melakukan pengejaran.
Suma Thian yu termenung sebentar, kemudian secara tibatiba
menghentikan gerakan tubuhnya, sambil membalikkan
badan ia berseru dengan tertawa terbahak-bahak:
"Haaah..... haaah......haaah.....tidak sulit bila kalian ingin
mendapatkan kitab pusaka itu asal kamu berdua bisa
menangkan satu jurus atau setengah gerakan saja dalam
seratus jurus gebrakan, tanpa banyak berbicara kitab tersebut
akan segera kuserahkan kepada kalian, cuma,.......
Berbicara sampai disita, dia berhenti sebentar, lalu sambil
melirik sekejap ke arah dua orang iblis tersebut, lanjutnya:
"Kitab pusaka itu cuma ada selembar, bagaimana cara
kalian berdua untuk membaginya secara adil?"
Si Manusia iblis berkepala ular Sim Moay him mendengus
dingin. "Hmm, bocah keparat, kau lak usah mencoba untuk
mengadu domba kekuatan kami berdua, aku orang she Sim
bukan manusia sebangsa itu, lohu tidak mau kitab pusaka itu
tapi pedangmu itu akan kurampas."
Suma Thian yu menunjukkan wajah sinis, "Hmm, dimulut
saja berbicara soal kegagahan dan kebenaran, padahal siapa
tahu dalam hati kecilnya" Lebih baik tak usah banyak bicara
lagi, mau turun tangan lebih baik cepatlah turun tangan!"
Begitu selesai berkata, pedang Kit hong kiamnya segera
menyapu tubuh Coa toa jin mo dengan jurus Lip sau ngo gak
(menyapu rata lima bukit), sementara jari tangan kirinya
bagaikan tombak menotok tubuh Sam yap koay mo.
Agak tertegun juga kedua orang iblis tersebut ketika
dilihatnya Suma Thian yu berani melawan mereka berdua
bersama-sama, segenap kepandaian silat yang dimilikinya
segera dikeluarkan untuk mendesak musunnya.
Dalam waktu singkat, ketiga orang itu sudah bertarung
sebanyak dua puluh gebrakan, menang kalah masih belum
bisa ditentukan sedang kekuatan mereka nampak seimbang.
Sambil bertarung melayani serangan-serangan dari kedua
orang iblis tersebut, diam-diam Suma Thian yu merasa
gembira, ternyata ilmu langkah Ciok tion luan pah cap lak tui
yang diwariskan Siau yau kay kepadanya memang terbukti
lihay sekali, bila pertarungan semacam ini dilangsungkan lebih
jauh maka sampai besokpun kedua orang iblis tersebut tak
akan mampu berbuat apa-apa kepadanya.
Maka diapun lantas berseru.
"Aduuh....aku sudah tak mampu lagi, lebih baik aku
mengaku kalah saja!"
Mendengar seruan tersebut, kedua orang iblis itu segera
menghentikan serangannya.
Suma Thian yu segera merogoh kedalam sakunya dan
mengeluarkan kertas kuning itu, kemudian katanya:
"Apa yang sauya ucapkan selama kupegang teguh,
sekarang terbukti aku tak mampu untuk mengalahkan kalian
berdua, maka terpaksa kitab pusaka ini harus kuserahkan
kepada kalian, cuma ada syaratnya.
Apa syaratnya!" teriak kedua orang ituham pir berbareng.
"Setelah berhasil mendapatkan kitab pusaka nanti, kalian
dilarang mengejar sauya lagi, kalau tidak kitab ini akan sauya
robek seketika ini juga"
Sambil berkata, Suma Thian yu segera berlagak hendak
merobek kertas tersebut.
Suma Thian yu tersenyum, dia lantas merogoh kedalam
sakunya dan mengeluarkan kitab tadii, kemudian ujarnya.
"Agar adil, sauya akan menguji secara jujur, disini terdapat
sebiji mata uang, bila kalian bisa menebak secara jitu ditangan
sebelah manakah mata uang itu kugenggam, maka kitab
pusaka itu akan menjadi milik siapa, bagaimana?"
Kedua orang itu segera menyatakan akur, maka Suma
Thian yu memperlihatkan mata uang tersebut, setelah
digoyangkan berulang kali dia melemparkannya ke udara,
setelah di sambut dengan kedua belah tangan, tangan mana
dipisahkan kekiri dan kekanan kemudian di sodorkan kedepan
dua orang iblis tersebut seraya berkata.
"Nah, siapa yang akan menebak lebih dulu?"
"Toako, kau saja yang menebak lebin dulu kata si Manusia
iblis berkepala ular Sim Moay.
Sam yap Koay mo tertawa seram, diapun tidak sungkansungkan
segera menuding tangan kiri Suma Thian yu sambil
berseru. "Tangan kiri!"
Suma Thian yu pura-pura menghela napas panjang, sambil
membuka tangannya dia berseru:
"Aaah, sayang, tebakanmu salah, yang betul ada ditangan
kanan, terpaksa kitab ini harus kuserahkan kepada adik
angkatmu!"
Betapa mendendamnya Sam yap koay mo sewaktu
dilihatnya kitab pusaka tersebut diperoleh adik angkatnya,
Manusia iblis berkepala ular, sekalipun satu ingatan keji segera
melintas dalam benaknya, namun wajahnya sama sekali tak
berubah, bagaikan persoalan itu tak pernah dipikirkan didalam
hati, ia berkata sam bil tertawa:
"Lote, kionghi atas keberhasilanmu, asal tak sampai jatuh
ketangan orang lain, loko turut merasa gembira"
Kemudian sambil menarik muka katanya kepada Suma
Thian yu: "Bocah keparat, serahkan cepat, jangan mencoba
bermaksud jahat, kemudian kau boleh pergi dan sini. Tapi
ingat, hati-hati kalau sampai bertemu dikemudian hari, lohu
tak akan berbelas kasihan lagi kepada dirimu"
Suma Thian yu segera berpikir:
"Huuh, siapa yang takut kepadamu" Dengan
mengandalanmu kepandaianmu itu, meski berlatih sepulun
tahun lagipun, sauya tak akan merasa kuatir."


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelan-pelan dia letakkan kertas itu kebawah kakinya,
kemudian sambil melejit keudara dia berlalu dari situ dengan
kecepatan luar biasa.
Sambil berkelebat pergi kembali Suma Tian yu berpekik
nyaring, sekali lagi dia telah mempermainkan manusia bengis
dan meninggalkan bibit bencana untuk mereka.
Tak bisa disangkal lagi, sepeninggalnya dari tempat itu,
pasti akan terjadi perang urat syaraf antara kedua orang iblis
tersebut, membayangkan apa bakal terjadi antara mereka
berdua, pemuda itu tertawa sendiri, tertawa puas.
Dengan membawa sekulum senyuman yang cerah karena
sehabis mempermainkan iblis keji, pemuda itu melanjutkan
kembali perjalanannya ke depan.
Entah berapa banyak bukit tinggi dan tebing curam yang
telah dilewati.....
Malam, telah mencekam seluruh jagad.
Malam itu adalah sebuah malam yang gelap gulita, tiada
rembulan diangksa kecuali beberapa bintang yang
mengerdipkan sinarnya seperti lirikan anak nakal.
Setelah melalui suatu perjalanan yang amat panjang. Suma
Thian yu mulai merasakan juga badannya letih, diapun duduk
diatas sebuah batu besar untuk melepaskan lelahnya.
Selesai bersemedi mengatur pernapasan, rasa lelahnya
pelan pelan hilang dan badan terasa segar kembali.
Mendadak ditengah keheningan malam yang mencekam
sekeliling tempat itu dia seperti mendengar suara rintihan lirih
bergema dari kejauhan sana.
Suma Thian yu merasakan sekujur badannya bergetar
keras, ia segera mendusin kembali dan lamunannya, dengan
suatu gerakan kilat dia melompat bangun lalu memperhatikan
dengan seksama.
Tapi suasana disekitar itu menjadi sepi. "Aneh" dia segere
bergumam, "sudah terang kudengar suara rintihan, kenapa
secara tiba-tiba bisa lenyap tak berbekas" Zungkinkah aku
telah salah mendengar?"
Mustahil kalau dia salah mendengar, karena dengan tenaga
dalam yang dimilikinya sekarang, ketajaman pendengarannya
amat diandalkan, bunga yang jatuh berapa puluh kaki dari
situpun dapat ia dengar dengan jelas.
Sementara dia masih termenung, mendadak terdengar
suara rintihan tersebut kembali berkumandang datang.
Mendadak Suma Thian yu menggerakkan tubuhnya dan
melesat kedalam hutan disisi tebing sebelah sana dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Setelah masuk kedalam hutan dan menyaksikan
pemandangan di sekitar lempat itu, darah panas yang
menggelora dalam tubuhnya merasa mendidih, amarahnya
memuncak, apa yang terpapar didepan matanya sekarang
benar-benar merupakan suatu pemandangan yang
mengerikan sekali.
Ternyata ditengah tanah lapang dalam hutan tersebut,
nampak mayat bergelimpangan disana, bahkan disitupun
penuh dengan kutungan kaki atau potongan lengan, darah
kental telah menggenangi seluruh permukaan tanah.
Suasana disekeliling tempat itu sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suarapun, hanya angin gunung yang
meaehembus menderu-deru,
Bangkai kuda, mayat manusia, membuat suasana menjadi
seram, mengerikan dan mendirikan balu roma orang.
Suma Thian yu adalah seorang pemuda yang berjiwa
pendekar, benci segala kejahatan dan bernyali besar, tapi
setelah menyaksikan pe mandangan yang terpapar didepan
matanya, tak urung bergidik juga hatinya.
Namun dia masih tetap berusaha untuk menenangkan
hatinya, ia berusaha untuk menekan perasaan kaget, gugup
dan seramnya, kemudian selangkah demi selangkah
menelusuri mayat yang bergelemparan di tanah dan berusaha
menemukan sumber dari suara rintihan tersebut.
Dia berdoa semoga berhasil menemukan salah seorang
korban kekejian itu dalam keadaan hidup, agar perbuatan
biadab tersebut terkubur bersama jasad.
Agaknya Yang Maha Kuasa telah mengaturkan segala
sesuatu bagi umatnya, apa yang di harapkan ternyata tidak
sia-sia..... Akhirnya Suma Thian yu berhasil menemukan sesosok
tubuh manusia sedang menggeliat diantara tumpukan mayat
yang hancur dengan darah kental yang berceceran ditanah.
Menolong orang brgaikan menolong api, penemuan
tersebut membuat Suma Thian yu buru-buru berjalan
mendekati korban tersebut.
Rupanya dia adalah seorang lelaki setengah umur yang
berperawakan tinggi besar dan bermuka cambang, darah
kental masih mengotori bibirnya, tapi ia masih bernapas meski
berada dalam keadaan tak sadar.
Suma Thian yu segera meraba dada lelaki setengah umur
tersebut, terasa hawa hangat masih ada sedang debarang
jantungnya lemah sekali.
"Untung saja masih bisa tertolong!"
Buru-buru dia membopong tubuh lelaki setengah umur,
membangunkannya, kemudian dari dalam sakunya
mengeluarkan sebuah pil Ku goan cing wan peninggalan dari
Kit hong kiam kek Wan Liang semasa hidupnya dan dijejalkan
kedalam mulut lelaki tersebut.
Dengan mengikuti air liur, pil tersebut segera hancur dan
mengalir masuk kedalam perut.
Dan tak selang beberapa saat kemudian, laki-laki setengah
umur itu sudah menggerakkan badannya, diatas wajahnya
yang pucat terlintas warna merah dadu, pelan-pelan dia
membuka madanya yang sayu dan memandang sekejap
kearah Suma Tnian yu, sorot mata itu penuh dengan pancaran
rasa terima kasih yang amat tebal.
Namun sejenak kemudian, ia memejamkan kembali
matanya dan memperdengarkan suara rintihan.
Menyaksikan keadaan itu, Suma Thian yu segera menyadari
kalau lelaki ?setengah umur itu sudah menderita luka dalam
parah, nyawanya amat krins dan tak mungkinbisa
disempuhkan hanya mrngandalkan khasiat obat.
Maka diapun bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya,
kemudian sambil menempelkan telapak tangannya keatas
jalan darah Mia bun hiat di tubuh lelaki itu, ia salurkan hawa
sakti Bu siang sinkang untuk membantu lelaki itu.
Segulung hawa panas yang menghangatkan badan segera
mengalir lewat jalan darah Mia bun hiat dan menyusup
kedalam tubuh lelaki itu.
Sejak makan buah mestika Jin sian kiam lan jalan darah
penting Jiu meh dan tok meh yang berada dalam tubuh Suma
Thian yu telah tem bus, kesempurnaan tenaga dalam yang
dimilikinya sekarang sudah tidak bisa ditandingi oleh umat
persilatan lainnya.
Tak sampai seperminum teh, seluruh wajahnya telah basah
oleh keringat hawa panas mengguap dari atas ubun-ubunnya,
betul juga, paras laki-laki setengah umur itu dari pucat pasi
kini berubah menjadi merah padam kembali.
Terdengar orang itu merintih dan memuntahkan darah
yang berwarna hitam, begitu darah hitam tersebut keluar, rasa
menderita pun segera lenyap, orang itu sadar kembali dari
pingsan Tampak orang itu segera melompat bangun, kemudian
sambil menyembah didepan anak muda itu seruny:
"Tio Ci bui dari Sin liong piau kiok mengucapkan banyak
terima kasih atas budi pertolongan siauhiap."
Buru-buru Suma Thian yu menyingkir kesamping untuk
menghindarkan diri, lalu katanys tersipu sipu.
"Aaah, saling menolong di kala orang sedang mengalami
kesulitan sudah merupakan kewajiban dari setiap umat
persilatan, kebetulan saja aku lewat disini, buat apa mesti
ucapkan terima kasih?" Perkataan Tio cianpwe terlalu
berlebihan"
"Boleh saya tahu siapakah nama siauhiap?"
"Boanpwe Suma Thian yu!"
Ternyata Tio Ci hui yang terluka ini adalah saudara angkat
dari cong piautau perusshaan ekspedisi Si liong-piaukiok di
kota Heng-ciu yang disebut orang Mo im sin-liong (naga sakti
penggosok awan) dalam masa berkelananya dalam dunia
persilatan, dengan dua puluh empat jurus ilmu pena pembetot
sukmanya sudah amat tersohor dalam dunia persilatan, orang
persilatan menjulukinya sebagai Si Berewok berpena baja.
Si Berewok berpena baja Tio Ci-hui yang menyaksikan tuan
penolongnya masih begitu muda, diam-diam timbul perasaan
malu dan menyesal dalam hati kecilnya.
Katanya, enghiong kebanyakan muncul dan kaum muda,
ketika dilihatnya orang itu mana usianya muda juga tak
bersikap sombong atau tinggi hati, kenyataannya mana
membuat hatinya makin kagum lagi.
Buru-buru dia berseru kembali:
"Suma siauhiap masih muda tapi berjiwa be sar,
kegagahanmu benar benar amat mengagumkan, terimalah
sebuah persembahanku lagi."
Seraya berkata, sekali lagi dia menjatuhkan diri berlutut.
Tindakkan tersebut kontan saja membuat Suma Thian yu
menjadi amat gelisah, saking gelisahnya, selembar wajahnya
berubah menjadi merah padam lantaran tersipu-sipu, sambil
membangunkan si Brewok berpena baja, serunya cepat:
"Tio cianpwe, kau kelewat sungkan, apalah artinya sedikit
bantuan yang kuberikan?"
Dengan sikap yang menaruh hormat sahut si Berewok
berpena baja: "suma siauhiap berkali kali menyebutku sebagai cianpwe,
akupun merasa tak berani untuk menerimanya. Andaikata kau
tiak menampik keinginanku, tolong janganlah memanggil
cianpwe lagi kepadaku, bagaimana sebut saja aku sebagai
saudara Tio"
Menyaksikan ketulusan dan kesungguhan hati orang, Suma
Thian yu pun tidak bersikeras lagi, sahutnya kemudian:
"Saudara Tio, bila kau menghendaki demikian, baik, thian
yu akan menuruti perintah."
TATKALA si Berewok berpena baja menyaksikan sikap
menghormat kepadanya, iapun tak sungkan lagi, dia tahu bila
ia sendiri selalu bersikap hormat, hal mana justeru membuat
suasana akan bertambah canggung, asal budi kebaikan
tersebut dibalas pada suatu saat, rasanya hal itupun tidak
terlalu berlebihan.
Apalagi dia menyaksikan suma Thian berwajah tampan dan
menawan hati, hal mana semakin menimbulkan perasaan
simpatik didalam hatinya.
Ketika Suma Thian yu menyaksikan Berewok berpena baja
Tio Ci hui hanya mengawasinya dengan termanggu, dengan
cepat dia menegur:
"Saudara Tio, silahkan beristirahat sebentar, kemudian kita
harus membereskan mereka yang telah tewas"
Mendengar ucapan tersebut, si Berewok berpena baja Tio
Ci hui merasa tertegun, hatinya merasa sedih sekali.
Selama ini dia selalu cekatan dan pandai bekerja dalam
dunia persilatan, kali ini dia mendapat tugas lagi untuk
mengawal barang penting menuju ke Kwang-say kota
Kiongshia, sebelum berangkat kakak angkatnya Mo im sin
liong telah berpesan bahwa barang kawalan mereka kali ini
amat penting artinya, sebab berhasil atau tidak sangat
mempengaruhi nama baik perusahaan mereka.
Maka sengaja dia mengundang si Berewok berpena baja
Tio Ci hui dengan memimpin sejumlah jagoan kelas satu untuk
berangkat me lindungi mestika yang tak ternilai harganya.
Sepanjang jalan menuju keselatan, tak nyana sewaktu
berjalan sampai di wilayah Kiu gi san telah terjadi peristiwa
tragis, bukan cuma barang kawalannya kena dibegal, bahkan
dia pun kena dipecun-dangi secara mengenaskan sekali.
Memandang mayat-mayat yang tergelepar memenuhi
seluruh tanah, si Berewok berpena baja Tio Ci hui menghela
napas panjang Setelah mengalami peristiwa berdarah ini, dia tak tahu
bagaimana harus mempertanggung jawabkan diri terhadap
kakak angkatnya Mo im-sin liong, coba kalau bukan ditolong
oleh pemuda yang berada didepan mata sekarang, mungkin
diapun akan kehilangan selembar jiwanya ditengah bukit yang
terpencil ini. Teringat akan hal-hal yang memedihkan hatinya, dia segera
mera-sakan hatinya bergejolak keras, air matanya bercucuran
dan seluruh badannya gemetar keras.
Suma Thian yu yang turut menyaksikan kejadian itu, diamdiam
ikut merasa berduka, pikirnya: "Selama aku masih hidup,
aku berte kad akan membantu Sin liong piau kiok untuk
menemukan kembali barang kawalan yang di begal
orang......."
Berpikir sampai disitu, dia lantas menghibur si Berewok
berpena baja Tio Ci bui dengan suara lembut.
"Saudara Tio, kejadian toh sudah berlangsung, disedihkan
juga tak ada gunanya, asal kita bisa menemukan sebuah titik
terang saja, biar pembegal-pembegal itu kabur keujung
langitpun, aku percaya duduknya perkara pasti akan
terbongkar juga......Sekarang keadaan ma sih belum
terlambat, mengapa kau tidak menmbangkitkan semangatmu
untuk melakukan sesuatu usaha yang lebih bersemangat.
Si Berewok berpena baja Tio Ciu hui segera manggutmanggut,
sahutnya kemudian:
"Apa yang Suma siauhiap katakan memang benar, cuma
pembegal pembegal itu hampir semuanya mengenakan kain
kerudung hitam serta tidak meninggalkan jejak apapun, kalau
dibilang sungguh memalukan, mereka semua rata-rata berilmu
tinggi, orangnya banyak lagi, aku Tio Ci hui betul-betul tak
berdaya dan tak berkemampuan untuk menahan salah
seorang saja diantara mereka"
Sambil berkata wajahnya menunjukkan perasaan menyesal,
kecewa, sedih dan menyalahkan diri.
Suma Thian yu adalah seorang yang cerdas, begitu
mendengar pembegal-pembegal tersebut berkerudung,
lagipula terjadi dibukit Kiu gi san, satu ingatan dengan cepat
muncul dalam benaknya, dia tahu peristiwa ini pasti luar biasa,
siapa tahu ada hubungannya dengan ke matian paman
Wannya yang mengenaskan......


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teringat akan paman Wan, hatinya merasa sedih sekali,
raut wajah penuh kasih sayang yang telah memelihara dan
mendidiknya selama sepuluh tahun segera muncul kembali
dalam benaknya, dia tidak dapat mengendalikan rasa pedih
dalam hatinya lagi, sambil mengepal tinju dan mendongak ke
angkasa, lirihnya:
"Aku hendak membalas dendam ..." Waktu itu si Berewok
berpena baja Tio Ci hui sedang tercekam dalam kesedihan,
ketika secara tiba tiba dilihatnya pemuda di hadapannya
menunjukkan wajah gusar dengan hawa pembunuhan
menyelimuti wajahnya, bahkan menggumam hendak
membalas dendam, terkejutlah dia, diam diam pikirnya
dengan perasaan bergidik:
"Betul betul amat tebal hawa pembunuhan yang
menyelimuti wajahnya, kalau dilihat dari keadaannya, dia
mempunyai asal usul yang amat mengenaskan atau suatu
pengalaman hidup yang memedihkan hatinya, jikalau tidak,
mana mungkin dia menunjukkan emosi yang be gitu besar dan
mengerikan?"
Tiba-tiba terdengar burung gagak berkaok.
Kedua orang itu segera tersentak kembali dari lamunan
masing masing. Suma Thian yu memperhatikan suasana malam yang
mencekam sekeliling tempat sekejap, lalu ujarnya kepada
siberewok berpena baja:
"Saudara Tio, malam sudah semakin kelam, mari kita harus
selesaikan pekerjaan yang paling penting"
Maka kedua orang itupun menggunakan pedang masingmasing
membuat liang lahat....
Tak selang berapa lama kemudian, mereka telah
menyiapkan tiga belas buah liang lahat.
Yaa, angka tiga belas, suatu angka yang di anggap
membawa sia. Sambil membopong mayat-mayat rekannya
yang telah kaku, satu persatu siberewok berpena baja
memasukkan jenasah-jenasah tersebut ke dalam liang lahat,
dalam keadaan demikian, dia tak dapat membendung rasa
sedihnya lagi sehingga menangis tersedu-sedu.
Manusia adalah mahkluk berperasaan, walaupun
kedudukan si Berewok berpena baja dalam perusahaan Sik
liong piaukiok amat tinggi, namun dia adalah seorang yang
berjiwa terbuka, dalam waktu-waktu biasa dia tak pernah
membedakan hubungan tingkat kedudukan, pergaulannya
dengan para piausu itu amat akrab, sehingga bukan saja ia
dicintai juga dihormati oleh semua orang.
Kini, mereka telah meninggalkan dunia ini, akan beristirahat
untuk selamanya ditengah bukit yang terpencil dan jauh dari
keramaian manusia, untuk selama-lamanya.....
Tak heran kalau dia menangis semakin sedih setelah
menyaksikan rekan-rekan senasib sependeritaanya seperi
harus berpisah untuk selamanya.
Siapa bilang enhiong tidak melelehkan air mata" Mesti
mereka baru akan mengucurkan air mata bila keadaan sudah
amat memedihkan.
Kesedihan yang muncul dari dalam hati sanubari pun
merupakan kesedihan yang paping mencekam perasaan,
Suma Thian yu mulai terpengaruh juga oleh suasana yang
mengharu itu sehingga tanpa terasa titik air mata pun turut
jatuh berlinang.
Pekerjaan akhirnya diselesaikan dalam suasana yang penuh
kesedihan dan kedukaan...
Ditengah bukit, dalam lapangan yang luas, kini telah
bertambah dengan tiga belas buah kuburan baru, disanalah
tiga belas orang piau su yang setia sampai mati beristirahat
untuk selamanya.
Suma Thian yu mendongakkan kepalanya memandang
kegelapan malam yang semakin mencekam, kabut telah
menyelimuti permukaan, pakaian merekapun telah basah, ia
tahu fajar tak lama lagi akan menyingsing, buru-buru dia
berjalan mendekati si Berewok berpena baja.
Waktu itu si Berewok berpena baja berdiri termangu-mangu
didepan kuburan sambil menahan rasa sedih yang luar biasa.
Orang yang sedih selamanya memang paling gampang
menaruh simpatik dan memahami kesedihan orang lain.
Suma Thian yu menepuk bahu siberewok berpena baja
pelan, lalu hiburnya dengan lembut:
"Saudara Tio, harap kau tak usah bersedih hati lagi,
sekalipun peristiwa ini terjadi diluat dugaan, janganlah kau
bawa kesedihan menuju ke hal-hal yang negatip. Asal kita bisa
melacak peristiwa ini sehingga duduknya perkara menjadi
jelas, dan kita pun bisa membalas kan dendam untuk mereka,
aku yakin arwah sahabat-sahabat ini dialam baka pasti akan
terhibur juga"
Setelah mendengar kata-kata hiburan dari Suma Thian yu
tersebut, si Berewok berpena baja Tio Ci hiu menghentikan
isak tangisnya, sa hutnya kemudian dengan suara parau:
"Baik, selama Tio Ci hui masih hidup. aku pasti akan
berusaha dengan sekuat tenaga untuk membunuh kawanan
pembegal berkerudung itu untuk membalaskan dendan bagi
ketiga belas saudara ini"
Sekalipun harus naik kebukit golok atau meyeberangi
lautan minyak mendidih, aku Sama Thian yu pasti akan
membantu dengan segala kemampuan yang kumiliki"
Janji sianak muda itu dengan bersungguh sungguh.
Nadanya selain tulus wajahnyapun serius, sama sekali tidak
bersikap pura-pura.
SiBerewok berpena baja Tio Ci hui merasa terharu sekali,
dia tak menyangka kalau pemuda tersebut bukan saja amat
membenci kejahatan juga suka membantu orang, dia
bersyukur karena dalam usahanya membalas dendam dan
merebut kembali barang kawalan yang dibegal, ia telah
memperoleh bantuan dari seorang tokoh yang gagah dan
lihay. Sehingga hal mana membuat hatinya yang sedih merasa
agak terhibur juga, sambil menjura serunya.
"Terima kasih banyak atas bantuan siauhiap, selumnya aku
Tio Ci hui atas nama seluruh anggota perusahaan Sin liong
piaukiok mengu capkan banyak-banyak terima kasih
kepadamu" Aaah, saudara Tio terlalu sungkan, bagikmu persoalan
semacam ini sudah merupakan suatu kewajiban"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya lebij jauh:
"Mari kita pergi! Fajar sudah hampir menyingsing, luka
dalam yang saudara Tio derita baru baru sembuh, kau harus
mendapat banyak waktu untuk beristirahat"
Si Berewok berpena baja Tio Ci hui manggut-manggut, dia
mengambil kembali pena bajanya lalu memandang sekejap
kearah tiga belas buah kuburan itu dengan termangu,
akhirnya dia bergumam:
"Saudara-saudaraku, beristirahatlah dengan tenang disini!"
Sekalipun aku Tio Ci hui harus mengorbankan jiwa, badan
harus hancur remuk, pasti aian membalaskan dendam untuk
kalian!" Selesai bergumam, bersama Suma Thian yu berangkatlah
dia meninggalkan tempat itu.
Angin dingin menghembus lewat mengibar ujung baju,
suasana ditempat penjuru tampak gelap gulita.
Inilah saat-saat menjelang rintangnya fajar.
Bila fajar hampir menyingsing, kadangkala saat-saat
terakhir itulah merupakan saat yang paling gelap....
Mereka berdua segera mencari sebuah gua untuk
beristirahat, karena tubuh memang sudah penat, tak lama
kemudian merekapun tertidur nyenyak sekali.
Bangun dari tidurnya, sinar matahari sudah memancar
masuk kedalam gua, buru-buru mereka berdua mengisi perut
dengan rangsum sambil bersiap siap untuk melanjutkan
perjalanan lagi.
Terdengar Suma Thian yu berkata:
"Saudara Tio, mari kita berangkat!"
Baru saja ucapan terakhir diutarakan, tiba-tiba dari luar gua
terdengar seseorang menegus sambil menyeringai
menyeramkan. "Heehh.. heehh...heehh...tidak sukar kalau ingin pergi, tapi
tinggalkan dulu pedang Kit hong kiam tersebut!"
Mendengar perkataan tersebut, Suma Thian yu maupun si
Berewok berpena baja merasa tertegun, mereka heran kenapa
kehadiran orang itu sama sekali tidak diketahui oleh mereka"
Itu berarti orang tersebut tentu mempunyai aeal usul yang
luar biasa. Tanpa terasa kedua orang itu bersama-sama berpaling
kearah mana berasalnya suara tersebut.
Didepan depan gua tampak berdiri seorang manusia aneh
berbaju hitam yang mengenakan kain kerudung, sepasang
matanya yang nampak dari luar memancarkan cahaya tajam
yang menggidikkan.
Si Berewok berpena baja Tio Ci hui yang menjumpai
kehadiran manusia berkerudung itu, tanpa mengucapkan
sepatah katapun segera bertindak lebih dulu, diam-diam ia
menghimpun tenaga dalamnya lalu dengan gaya harimau
lapar menerkam domba, sebuah pukulan dahsyat yang di
sertai tenaga penuh langsung di ayunkan ke tubuh manusia
aneh berkerudung itu.
Serangan tersebut dilancarkan dengan mempergunakan
segenap tenaga dalam yang dimiliki si Berewok berpena baja
Tio Ci hui, maksudnya ingin membunuh, manusia aneh
berkerudung hitam itu tertawa dingin, sepasang tangannya
masih lurus kebawah dan sama sekali tidak menggubris atau
pun berkelit kesamping. kalau dilihat dari sikapnya itu, dia
seakan akan tak memandang sebelah matapun terhadap si
Bere wok berpena baja.
Waktu itu si Berewok berpena baja Tio Ci hui baru sembuh
dari luka parahnya, melihat sikap lawannya yang begitu
memandang hina, amarahnya kontan saja membara, api
untuk membalas dendam membangkitkan suatu kekuatan
besar dalam tubuhnya.
Begitu serangan pertama belum berhasil, bagaikan seekor
burung raksasa dia keluar dari gua tersebut.
Pada saat yang bersamaan pula Suma Thian yu melompat
keluar juga dari dalam gua.
Si Berewok berpena baja Tio Ci hui belum mengalami
keadaan seperti ini, sikap memandang rendah yang
diperlihatkan manusia aneh berkerudung itu membuat
amarahnya semakin membara, tampak rambutnya pada
berdiri, tiba-tiba ia menerjang kedepan manusia aneh
berkerudung itu, kemudian sepasang telapak tangannya
didorong kedepan, sekali lagi tampak segulung angin pukulan
yang termaha dahsyat menghantam atas tubuh manusia aneh
berkerudung itu.
Menyaksikan datangnya ancaman, manusia aneh
berkerudung itu pun mengayunkan pula telapak tanganya
untuk menyambut datangnya serangan tersebut, ketika dua
gulung angin pukulan dahsyat saling bertemu satu sama
lainnya, tiba-tiba saja....."Blaaamm" suatu benturan dahsyat
menimbulkan hembusan angin puyuh yang menerbangkan
batu serta pasir.
Sepasang bahu manusia aneh berkerudung itu tampak
bergetar sedikit, ujung bajunya berkibar kencang, sebaliknya
si Berewok berpena baja Tio Ci hui kena terhantam mundur
sejauh tiga langkah dengan sempoyongan, dia bersusah payah
sebelum berhasil berdiri tegak.
Suma Thian yu yang menyaksikan jalannya pertarungan itu
dari sisi arena dapat melihat keadaan tersebut dengan lebih
jelas lagi, dia tahu ilmu silat yang dimiliki manusia aneh
berkerudung itu masih setingkat lebih lihay dibandingkan
dengan kepandaian silat yang dimiliki Tio Ci hui, diam-diam
dia merasa gelisah.
Begitu berhasil berdiri tegak, tiba tiba si Berewok berpena
baja meloloskan senjata andalannya dari belakang punggung,
tangan ka nannya diayunkan kedepan, pena dengan
hembusan angin dahsyat segera meluncur kedepan menotok
tubuh manusia aneh berkerudung tersebut, bentaknya dengan
penuh kegusaran:
"Pembegal yang tak tahu malu, serahkan nyawa anjingmu!
Sejak kedua buah pukulannya gagal menimbulkan sesuatu
kerugian bagi musuhnya, amarah dalam dada si Berewok
berpena baja sudah berkobar, maka sekarang dia lantas
mengembangkan ilmu pena Ji cap si si Thi pit hoat (dua puluh
empat jurus ilmu pena baja) yang amat termashur itu dengan
harapan bisa merobohkan musuhnya itu.
Dalam suasana ini, rasa ingin menangnya membara amat
dahsyat dalam dadanya, segenap perhatian maupun
tenaganya tertuju kedepan, dia bertekad hendak mengalahkan
musuhnya, itulah sebabnya tenaga serangan yang
dipergunakan pun amat besar.
Mencorong sinar tajam dari balik mata manusia aneh
berkerudung hitam itu, tampaknya dia sudah dapat menebak
maksud hati siBerewok berpena baja tersebut, setelah tertawa
seram tubuhnya melejit keudara untuk menghindarkan dari
ancaman tersebut, kemudian dari udara sebuah pukulan
dilancarkan keatas kepala Si Berewok berpena baja dengan
jurus Hu im sip gwat (awan tebal menutupi rembulan).
Bagaimanapun juga, si berewok berpena bajaTio ci hui
memang tak malu disebut jagoan lihay didalam dunia
persilatan, sudah belasan tahun lamanya dia melatih diri
dalam permain baja tersebut, baik ilmu tenaga maupun dalam
Ilmu tenaga luar telah berhasil mencapai puncak
kesempurnaan. Maka begitu dilihatnya manusia aneh berkerudung hitam
itu menerkam kebawah sambil melancarkan serangan, buruburu
dia melompat keatas sambil melepaskan tusukan dengan
pena bajanya. Berada ditengah udara, kekuatan manusia aneh
berkerudung hitam itu sangat berkurang banyak, buru-buru
dia pergunakan jurus To yu cian hui (membalikkan sayap
terbang ke depan) buru-buru melayang tiga kaki ke depan----
Begitu berhasil mendesak lawan, si Berewok berpena baja
memutar pena ditangan kanannya membentuk lapisan
bayangan senjata yang sangat tebal, sekali lagi dia menerjang
kearah manusia aneh ber kerundung hitam tersebut.
Dalam teori ilmu silat, yang menjadi faktor utama adalah
mengendalikan musuhnya, maka setelah melayang turun


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebawah, manusia aneh berkerundung hitam itu segera
mengayunkan kembali tangannya berusaha untuk merebut
posisi yang lebih menguntungkan.
Jilid 6 suma thian yu yang menyaksikan jalannya pertarungan dari
sisi arenapun tak berani bersikap santai waktu itu, dengan
sorot mata yang tajam, dia mengawasi terus jalannya
pertarungan dengan harapan andaikan siberewok berpena
baja tak sanggup mempertahankan diri, maka dia akan
membantu setiap saat.
Dalam pada itu, pertempuran yang berlangsung ditengah
arena sudah mencapai puncak keseruanya.
Si Berewok berpena baja dengan mengandalkan pena
bajanya memainkan serangkaian serangan berantai untuk
mendesak lawannya, sedangkan manusia aneh berkerudung
hitam pun memainkan sepasang telapak tangan kosongnya
untuk menahan datangnya serangan pena lawan.
Dalam waktn singkat, seluruh arena telah dipenuhi oleh
bayangan manusia serta angin pukulan yang menderu deru,
lima kaki di sekitar arena diliputi oleh debu dan pasir yang
berterbangan memenuhi angkasa, pertarungan tersebut
benar-benar merupakan suatu pertarung an yang jarang sekali
dijumpai kehebatannya.
Mendadak terdengar manusia aneh berkerudung hitam itu
meraung gusar, sepasang telapak tangannya melancarkan
serangkaian yang berantai, dalam waktu singkat dia sudah
melepaskan tiga buah serangan dahsyat yang kesemuanya
menggunakan jurus jurus mematikan, kontan saja si Berewok
berpena baja kena di desak sampai mundur sejauh satu kaki
lebih dari tempat semula.
Mempergunakan kesempatan itu, si berewok berpena baja
segera mundur tiga langkah dan kemudian ia menarik napas
panjang-panjang danmenghimpun segenap tenaga dalam
yang dilatihnya selama puluhan tahun ini keujung senjatanya.
Begitu senjata pena baja itu digetarkan kembali ditengah
udara, dalam dalam waktu seluruh angkasa seraya dilipati oleh
angin puyuh yang dahsyat, bayangan pena yang berlapis-lapis
hampir seluruhnya mengurung tubuh manusia aneh
berkerudung hitam itu rapat-rapat.
Merasakan tenaga kurungan yang semakin besar
menggencet tubuhnya, kemarahan manusia aneh itu semakin
membara, tubuhnya segera melompat kedepan, tiba-tiba
dengan suatu gerakan cepat tangannya menghantam kedepan
dadanya si Berewok berpena baja dengan jurus Lip pei thay
san (mencabut keluar bukit Thay san.)
Segulung kekuatan yang maha dahsyat bagai hancurnya
bendungan, langsung saja meluncur kedepan dengan
kekuatan yang mengerikan.
Menanti si Berewok berpena baja menyaksikan datangnya
ancaman tersebut, untuk menghindar sudah tak sempat lagi,
tanpa terasa dia menjerit kaget:
"Habis sudah riwayatku kali ini!"
Sepasang telapak tangannya segera didorong kedepan,
sambil memejamkan mata dia menanti saat kematianrya tiba.
Siapa tahu disaat yang keritis itulah tiba-tiba terdengar
suara bentakan keras menggema yang pecahkan keheningan,
segulung angin pukulan teah menyambar kedepan, lalu
seorang pemuda tampan tahu- tahu sudah berada
dihadapnnya. Si berewok berpena baja hanya merasakan pandangan
matanya menjadi kabur, seluruh badannya tahu-tahu sudah
didorong oleh segulung tenaga lembut yang halus hingga
tergeser lima depa kesamping, sementara tenaga pukulan
lawan yang maha dahsyat itu sudah menyambar lwat sisi
tubuhnya. "Blaam" terdengar benturan suara keras menggelegar
memecahkan kesunyian, sebatang pohon siong yang berada
dibelakangnya sudah tumbang keatas tanah.
Si berewok berpena baja Tio Ci-hui menjadi amat
terperanjat, mukanya pias seperti mayat, matanya terbelalak
lebar dan mulutnya terngangga.
Si berewok berpena baja Tio Ci-hui hampir tidak percaya
dengan apa yang dilihat, ternyata orang yang mendorong
tubuhnya kesamping dan menyelamatkan jiwanya tak lain
adalah Suma Thian yu.
Tapi yang paling terperanjat bukan dia melainkan manusia
aneh berkerudung hitam itu, dia percaya serangan yang
dilancarkannya ba rusan sudah pasti dapat berhasil
mengalahkan Tio Ci hui, siapa tahu dari tengah jalan telah
muncul seorang Thia Kau kiai, bukan saja usahanya sia-sia
belaka, dia sendiri malah kena tergetar mundur.
Kontan saja seluruh hawa amarahnya dilampiaskan keatas
tubuh Suma Thian yu, hawa pembunuhan dengan cepat
menyelimuti wajahnya, dengan wajah penuh kegusaran
teriaknya. "Bocah busuk, kau pandai sekali menyergap orang......."
"Haaaa.....haaah......haaah, menyergap orang. Hmm, masih
bisanya berkata begitu, untuk menjegal dirimu, buat apa mesti
menggunakan cara main sergap?"
Ucapan yang amat takabur ini kontan saja membuat si
Berewok berpena baja menjadi terkesiap, matanya terbelalak
lebar dan mengawasi Suma thian yu tanpa berkedip, dia kuatir
sianak muda itu akan menderita kerugianbesar.
Walaupun sudah dua kali nyawa si berewok berpena baja
ditolong oleh Suma Thian yu, namun sebelum menyaksikan
kelihayan dari anak muda tersebut dengan mata kepala
sendiri, dia tak percaya kalau bocah tersebut memiliki
kemampuan yang amat lihay.
"Seorang bocah muda berusia enam tujuh belas tahun,
berapa besarkah kemampuan yang bisa dimilikinya?" demikian
dia berpikir. Tapi seringkali kenyataan bisa berbeda jauh dengan apa
yang diduga dalam harinya.
Seketika itu juga suasana dalam arena berubah menjadi
luar biasa heningnya, inilah saat-saat terakhir menjelang
berlangsungnya suatu badai yang amat dahsyat.
Selama ini manusia aneh berkerudung hitam itu cuma
membungkam diri dalam seribu bahasa, sementara sepasang
matanya yang dingin bagaikan es mengawasi pedang Kit
hong kiam yang tersoren dipunggung Suma Thian yu tanpa
berkedip. Menyaksikan keadaan tersebut, Suma Thian yu segera
memecahkan kesunyian itu lebih dulu, katanya:
"Pencoleng berkerudung, tidak sulit jika kau menginginkan
pedangku ini, cuma harus dilihat dulu apakah kau memiliki
kemampuan tersebut, asal kau sanggup menangkan satu jurus
dari sauya, pedang ini tanpa syarat akan kupersembahkan
kepadamu, kalau tidak, hari ini sauya ingin merenggut pula
selembar nyawamu.
Menyinggung soal pedang Kit hong kiam, tanpa terasa arak
muda itu terbayang kembali paman Wan nya yang dikasihi.
Mendadak hawa amarah berkobar didalam dadanya, ia tak
sanggup mengendalikan dirinya lagi, dengan mata melotot
besar dia segera mencabut keluar pedang Kit hong kiamnya
lalu diiringi suara gemerinciug nyaring, serentetan cahaya
tajam kehijau-hijauan memancar ke empat penjuru.
Melihat itu, tanpa terasa manusia aneh berkerudung itu
berseru memuji:
"Betul-betul sebilah pedang bagus"
Berdiri dibawah sinar fajar dengan pedang terhumus, Suma
Thian yu nampak sangat gagah dan penuh memancarkan
sinar kewibawaan.
Si Berewok berpena baja dapat menyaksikan raut wajah
Suma Thian yu penuh diliputi hawa pemenuhan yang sangat
tebal, tahukah dia kalau pemuda itusedang diliputi oleh
amarah yang membara".
Tampaknya manusia aneh berkerudung hitam pun tahu
kalau musuhnya bukan sembarangan musuh, dia tak berani
memandang enteng lawannya, pelan-pelan pedangnya pun
diloloskan keluar.
Suatu pertarungan yang amat seru pun segera akan
berlangsung didepan mata.
Suma Thian yu yang muda dan berjiwa panas tak dapat
menahan diri lebih dulu, dia berpekik gusar, tenaga dalamnya
disalurkan ke dalam lengan kanan, kemudian pedangnya di
putar dengan jurus sin liong jut im (naga sakti keluar dari
mega) tampak selapis bunga pedang yang amat menyilaukan
mata langsung menusuk kearah tenggorokan manusia
berkerudung tersebut.....
"Serangan bagus!" seru manusia berkerudung itu sambil
berkelit kesamping.
Tangan kanannya dengan memainkan jurus Hek coa jut
tong (ular hitam keluar dari guaj menyergap jalan darah Sian
ki niat didalam tubuh Suma Thian yu, pedangnya dilancarkan
bersamaan dengan gerakan tubuhnya.
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu dia
sudah kehilangan bayangan dari Suma Thian yu.
Sementara dia masih tertegun, mendadak dari sisi
badannya terdengar seseorang tertawa nyaring.
"Sauya berada distni!"
Betapa gusarnya manusia aneh berkerudung hitam itu
karena merasa dipermainkan, sambil berpekik nyaring
tubuhnya berputar arah, pedangnya dengan jurus Ya wan
heng tok (sampan kecil menyeberang sungai) membabat
pinggang Suma Thian yu.
Belum kagi serangan itu tiba, Suma thian yu sudah
merasakan desingan angin tajam yang menyambar tiba, ia tak
berani berayal, denga ilmu langkah Ciok yiong koan poh ia
menyelinap kesamping, memakai jurus Hoa sui hong siau
(Bunga berterbangan mengikuti angin) ia menyelinap
kebelakang tubuh manusia aneh berkerudung hitam itu sambil
tertawa dingin.
Padahal manusia aneh berkerudung hitam itu sudah
merasa kalau serangannya dilancarkan dengan cepat dan
tepat, baru saja ujung pedangnya hampir menusuk ditubuh
lawan, tahu-tahu bayangan tubuhnya lenyap tak berbekas,
disusul terdengar pihak lawan tertawa dingin dari belakang.
Rasa kagetnya tak terlukiskan dengan kata, buru-buru
pedangnya dimainkan dengan gencar. Sreet! Sreeet! Sreeet!
Secara beruntun dia melancarkan tiga buah serangan kilat
dengan jurus-jurus Kan kun to cuan (dua berputar balik), Khi
koan tian hong (bianglala memancar diangkasa), Po im kian jit
(menyingkap awan melihat matahati).
Tampak selapis cahaya bintang yang menyilaukan mata,
disertai cahaya pedang yang berkilauan dengan cepat
mengurung Suma thian yu dalam kepungan kabut pedang.
Sekarang, Suma Thian yu baru merasakan kelihayan
lawannya, buru buru ia salurkan ilmu Bu siang sia kang dari
perguruannya kedalam permainan pedang, selapis bunga
pedang diciptakan memenuhi angkasa, lalu disertai desingan
angin tajam langsung menyapu kedepan.
Setika itu juga tampaklah dua belah menari-nari diangkasa,
cahaya tajam berkilauan memenuhi angkasa, bunga pedang
menyusul kemana-mana, pertarungan yang sedang
berlangsung benar-benar merupakan suatupertarungan yang
amat sengit. Selama ini si Berewok berpena baja Tio Ci hui hanya
menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi arena, selama ini
dia amat menguatir kan keselamatan jiwa Suma Thian yu,
bahkan mengucurkan peluh dingin baginya.
Akan tetapi setelah menyaksikan kelihayan yang dimiliki
pendekar cilik ini, dia baru merasa terkejut bercampur girang,
sekarang dia sudah tak bisa membedakan lagi mana yang
Suma thian yu dan mana si manusia berkerudung.
Kecuali dua sosok bayangan manusia yang saling
menyambar dibalik kabut pedang yang tebal, ia hampir boleh
dibilang tidak melihat apapun.
Makin bertarung Surna Thian yu merasa makin perkasa,
rasa ingin menang hampir menyelimuti seluruh benaknya.
Mendadak dia berpekik nyaring, seluruh badannya melejit
ketengah udara, pedang Kit hong kiamnya menciptakan
selapis cahaya tajam yang amat menyilaukan mata, dengan
cepatnya lapisan cahaya itu mengurung seluruh badan
manusia berkerudung itu.
Bagaikan bayangan iblis yang menempeli lawan, manusia
berkerudung hitam itu selalu berputar kesana kemari, kekiri
kekanan mengikuti gerakan dari Suma Thian yu.
Yang seorang adalah manusia aneh berkerudung hitam,
sedang yang lain adalah seorang pemuda berwajah tampan,
saat itu mereka berdua sudah bertarung sampai titik keadaan
yang paling kritis, terlihat lapisan cahaya perak berkilauan dan
amat menusuk pandangan.
Makin bertarung manusia aneh berkerudung hitam itu
semakin ter peranjat, ia tidak nyangka kalau kepandaian silat
yang dimiliki pemuda itu begitu dahsyat, pada hakekat
merupakan musuh paling tangguh yang pernah dijumpainya,
seketika itu juga mencorong sinar keraguan dari balik
matanya. Diam-diam dia lantas berpikir.
"Bocah keparat ini bertarung hanya mengandalkan pedang
Kit hong kiam yang memainkan ilmu pedaog Kit hong kiam
hoat, sudah jelas dia merupakan murid dari Wan Liang. Kalau
dilihat usianya yang muda, ternyata ilmu silatnya sepuluh kali
lipat lebih hebat dari pada Kit hong kiam Wan Liang, bukankah
kejadian ini sangat aneh" Hari ini, kalau ia tidak kubunuh,
sudah pasti dikemudian hari akan jadi bibit bencana bagi
diriku sendiri....."
Berpikir sampai disitu, dia lantas berpendapat bahwa
"menghajar ular tidak mati, bibit bencana tidak ada habisnya",
siapa tahu kkarena pikirannya harus bercabang, permainan
pedangnya menjadi lamban.
Hal mana segera memberikan peluang baik sekali bagi
Suma Thian yu. Dengan pedang Kit hong kiamnya digetarkan
keras, tubuhnya melompat kedepan sambil melakukan sebuah
sapuan kilat, selapis cahaya pedang memancar keempat
penjuru, menanti manusia aneh berkerudung hitam itu sudah
kena disambar lepas oleh cukilan pedang Suma Thian yu.
Dengan cepat terlihatlah selembar wajah yang amat
tampan sekali muncul dari balik kain tersebut.
Peristiwa ini sama sekali diluar dugaan, mimpipun manusia


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aneh berkerudung hitam itu tak menyangka kalau gerakan
lawan bisa secepat itu, buru-buru dia melancarkan sebuah
bacokan kilat, kemudian sepasang bahunya bergerak dan lalu
ia melejit ketengah-tengah udara, dalam beberapa lompatan
saja dia sudah mencapai puluhan kaki dan lenyap dari
pandangan mata.
Tindakan yang sangat tiba-tiba ini diluar dugaan siapapun,
ternyata manusia aneh berkerudung hitam itu bukan kabur
lantaran kalah, melainkan justru karena kain kerudungnya
kena disambar hingga terbuka.
Panjang untuk diceritakan, cepat didalam kenyataaan, sejak
terjadinya peristiwa kain kerudung yang tersingkap sampai
tindak melarkan diri, semuanya dilakukan dalam waktu
singkat, sehingga si Berewok berpena baja Tio Ci hui yang
berdiri disisi arena tak sempat melihat jelas paras muka yang
sebetulnya dari manusia berkerudung itu.
Begitu berhasil menyingkap kain kerukdung lawan, tiba-tiba
Suma Thian yu merasakan ada segulung tenaga pukulan yang
menyergap tubuhnya, buru-buru dia miringkan kesamping
untuk menghindarkan diri.
Tampak serangan tersebut dilancarkan manusia
berkerudung itu dalam keadaan gusar, angin pukulan itu
sedemikian dahsyatnya se hingga sebatang pohon yang
berada dibelakang Suma Thian yu terhajar sampai patah dan
roboh ke tanah.
Melihat kesempatan untuk membalas dendam segera akan
berakhir, buru-buru Suma Thian yu berseru keras.
"Kejar!"
Dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya, dia langsung melejit ke depan.
Si Berewok berpena baja yang menyaksikan rekannya
melakukan pengejaran, diapun dengan perasaan bingung ikut
melakukan penge jaran pula dari belakang.
Ditengah pegunungan sepi, terlihatlah tiga sosok bayangan
manusia secepat sambaran kilat melakukan kejar mengejar,
bagaikan tiga gulung asap hitam, mereka meluncur cepat ke
muka. Makin kabur manusia berkerudung itu semakin cepat,
bagaikan kuda liar dia berlarian tiada hentinya.
Sambil menggigit bibir, Suma Thian yu segera mengejardari
belakangnya dengan ketat.
Lima kaki, tiga kaki, satu kaki....
Tampaknya Suma Thian yuskan berhasil menyusul
dibelakang tubuh manusia aneh berkerudung hitam itu,
seakan akan mempunyai mata dipunggungnya, mendadak dia
merentangkan sepasang tangannya, kemudian bagaikan
seekor burung elang raksasa, dengan kecepatan luar biasa
menerebos masuk kedalam hutan.
Tanpa berpikir panjang lagi Suma Thian yu segera melejit
ketengah udara dengan jurus Cing cian tui hong (Comberet
hijau mengejar angin) diapun ikut mengejar kedalam hutan.
Orang persilatan mempunyai pantangan yang besar, yakni
bila bertemu hutan jangan. Namun Suma thian yu sama sekali
tidak memperdulikan tantangan tersebut.
Begitu masuk kedalam hutan, dia segera kehilangan jejak
dan dari manusia aneh berkerudung hitamitu, untuk sesaat
Suma Thian yu menjadi sangsi...
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras bergema dari
dalam hutan, tiga titik cahaya disertai dengan angin tajam,
dengan berpen car dalam posisi segitiga langsung meluncur ke
arah Suma Thian yu.
Suma thian yu adalah seorang anak mada yang belum
berpengalaman, mimpipun dia tak menyangka kalau manusia
berkerudung hitam itu bakal melancarkan serangan
mematikan seperti ini, menanti dia sadar akan datangnya
bahaya, tiga batang pian beracun telah muncul didepan mata.
"Aaah...!" serunya kaget.
Dalam keadaan yang amat berbahaya, Suma Thian yu
segera ber tindak cepat, dengan gerakan Gi kiong ciu pon
(menggeser posisi maju berlangkah) badannya melejit lima
depa ke samping.
"Sreet! Sreet! Sreet! tiga batang pian terbang telah
meluncur lewat dari sisi tubuhnya dan menghajar diatas dahan
pohon disebelah kanan.
Kalau dibilang berbahaya, keadaan yang dihadapinya saat
itu benar-benar berbayaha sekali, sedikit saja meleset bisa
mengakibat kan pisau beracun menembusi ulu hatinya.
Peluh dingin bercucuran membasahi seluruh badan Suma
Thian yu, sejak dilahirkan dari rahim ibunya, belum pernah ia
alami kejadian seperti ini, kontan saja amarahnya berkobar.
Dengan cepat ia melejit keudara sambil menerjang kearan
mana datangnya sergapan tersebut, berada ditengah udara
dia berpekik pan jang, sepasang telapak tangannya didorong
ke depan melepaskan sebuah pukulan dahsyat.
Seketika itu juga terdengarlah suara gemuruh yang amat
memekikkan telinga dalam hutan tersebut, lalu beberapa
batang pohon siong bertumbangan ke atas tanah.
Serangan yang dilancarkan Suma Thian yu dalam keadaan
gusar ini telah disertakan tenaga Bu siang sin kang yang maha
dahsyat, kehebatannya benar-benar mengerikan sekali.
Tapi, suasana didalam hutan tersebut masih tetap senyap
tak kedengaran sedikit suarapun, sementara bayangan tubuh
dari manusia aneh berkerudung hitam itu sudah lenyap.
Sambil mendepak-depakkan kakinya keatas tanah dengan
gemas, Suma Thian yu bergumam:
"Bajingan licik yang berotak anjing........hitung-hitung
nasibmu memang lagi mujur!"
Pada saat itulah, si Berewok berpena baja Tio Ci-hui telah
sampai pula ditempat tujuan.
Kepada rekannya yang baru tiba itu, Suma Thian yu
menggelengkan kepalanya berulang kali, rasa kecewa terlintas
di atas wajahnya.
"Sudah kabur!" dia bergumam sambil menghela napas.
"Suma Hiante, tindakanmu melakukan pengejaran tadi
sungguh mencemaskan hatiku! Tahukah kau, mereka adalah
manusia-manusia laknat yang berhati busuk, perbuatan keji
seperti apa saja dapat mereka lakukan, lain kali jika bertemu
lagi dengan peristiwa semacam ini, kau harus berhati-hati lagi"
Mendengar perkataan itu, Suma Thian yu segera teringat
kembali dengan tindakan yang baru saja dilakukan, berbicara
yang sesungguh nya andaikata didalam hutan tadi benarbenar
sudah disiapkan musuh dalam jumlah banyak, bisa jadi
dia menderita kerugian yang amat besat.
Maka dengan perasaan menyesal katanya:
"Tadi aku hanya dibikin jengkel oleh keadaan hingga mata
gelap, lain kali aku pasti akan bertindak lebih hati-hati lagi"
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia teringat akan
sesuatu, segera serunya:
"Tio toako, sungguh tampan wajah orang itu"
"Apa" Kau berhasil melihat jalan raut wajah orang itu"
seru si Berewok berpena baja cepat.
"Yaaa, walaupun hanya sikejap mata, namun aku dapat
melihat jelas raut wajah orang itu.
"Berapa besar usianya?"
"Antara empat puluh tahunan"
"Bagaimanakah tampangnya?"
"Bermata jeli, beralis mata lentik, hidung mancung dan
mulut lebar......."
"Bermata jeli, beralis mata lenting, hidung mancung dan
mulut lebar, mungkinkah dia" Si Berewok berpena baja Tio
Cihui segera bergumam pelan.
"Siapakah dia" Tio toako.... " buru-buru Suma Thian yu
bertanya. "Aaaah, tak mungkin" kembali si Berewok berpena baja Tio
Ci hui menggelengkan kepalanya berulang kali, mustahil bisa
dia, yaa dia adalah seorang Kuncu, seorang lelaki sejati"
"Siapakah dia Tio toako" Siapa yang kau maksudkan?"
melihat si Berewok berpena baja bergumam tiada hentinya,
timbullah perasaan ingin tahu di dalam hati Suma Thian yu.
"Hiante, kau tak usah bertanya, aku hanya salah bicara
saja. Orang itu bernama besar dan berkedudukan terhormat di
dalam dunia persilatan, dia adalah seorang pemimpin dunia
persilatan yang paling dihormati orang selama sepuluh tahun
terakhir ini."
Siapakah dia?"
"Bi ku lun (Kun lun indah) Siau wi goan!"
Oleh karena anak muda itu mendesak terus menerus,
terpaksa si Berewok berpena baja ini harus menyebut juga
nama tersebut. Tetapi selang beberapa saat kemudian, dia berkata lebih
jauh: "Raut wajah Siau Tayhiap mirip sekali dengan orang kau
jumpai itu, maka aku telah salah menduga akan dirinya."
"Siau Wi goan" Suatu nama yang amat dikenal......" sehabis
mendengar perkataan dari si Berewok berpena baja, Suma
Thian yu ber pikir terus tiada hentinya.
Dia merasa seperti pernah mendengar nama itu, ia
berusaha keras untuk menemukan siapa gerangan dia.
Akhirnya dia teringat, bukankah nama tersebut adalah
nama yang seringkali di sumpahi dan dimaki-maki paman
Wan" Yaa, benar! Paman Wan malah pernah berkata begini:
"Siau Wi goan wahai Siau Wi goan! Bagaimanapun licikmu,
tak mungkin kau akan berhasil menemukan aku orang she
Wan" Kejadian itu sudah berlangsung lama sekali, waktu itu ia
dan paman Wan baru selesai membenahi gua mereka.
Maka selapis hawa pembunuhan yang menakutkan dengan
cepat menyelimuti wajah Suma Thian yu, darah panas segera
mendidih dalam dadanya, iapun merasa menyesal.
Ia menyesal mengapa membiarkan manusia aneh
berkerudung hitam itu lolos dari pengejarannya, andaikata
waktu itu dia berhasil membekuknya, bukankah semua
kecurigaan tersebut dapat dipecahkan"
"Suma hiante, mengapa kau?" Ketika si Berewok berpena
baja menyaksikan paras muka Suma Tbian yu berubah aneh,
dia segera ber tanya dengan wajah tercengang.
Suma Thianyu sedang termenung sambil mutar otaknya
keras-keras, cepat-cepat ia menjawab:
"Aaaah, tidak apa-apa!" "
Masih sedih?"
"Yaa, benar"
Dia tak ingin membocorkan rahasia tersebut, terutama
sekali rahasia antara paman Wan dengan Siau Wi-aoan. Tentu
saja alasan yang terutama adalah karena dia belum
memahami secara keseluruhan akan rahasia tersebut, ia kuatir
tindakannya yang kelewat terburu-buru justru akan
ditertawakan orang.
Apa lagi kalau didengar dari ucapan si Berewok berpena
baja Tio Cu hui terhadap Siau Wi goan mendekati rasa hormat
yang berlebihan, dia merasa antipatik yang diperlihatkan bisa
mencurigai orang itu, bahkan akan mempersulit usahanya
untuk membongkar perbuatan jahat yang dilakukan Siau Wi
goan. Si Berewok berpena baja Tio Ci bui belum lama berkenalan
dengan Suma Thian yu, tentu saja dia tak dapat meraba jalan
pikiran dari sianak muda itu.
Dengan nada menghibur, dia lantas berkata: "Adikku,
biarkan saja pencoleng itu kabur, lain kali bila kitasampai
menemukannya kembali, jangan kita biarkan mereka lolos,
mari kita pergi sekarang"
Suma thian yu segera menyarungkan kembali pedangnya
kedalam sarung, kemudian ia memetik sekuntum bunga,
mengendusnya pelan-pelan dan jalan mengikuti si berewok
berpena baja. Bagian Ketujuh Perusahaan Sin Liong piaukiok terletak diujung jalan Heng
yang dalam kota Heng ciu, bangunannya menempati areal
tanah seluas puluhan hektar, dinding pekarangannya terbuat
dari batu hijau, disisi pintu gerbang berdiri sepasang patung
singa batu yang berat nya mencapai puluhan ribu kati.
Setiap orang orang persilatan yang datang di kota Heng
ciu, kebanyakan akan berkunjung keperusahan Sin liong
piaukiok untuk menyambangi cong piauiaunya "Mo im sin
liong" (naga sakti penggosok awan) Wan Kiam Cu.
Seakan-akan siapa saja yang bisa berkunjung ketempat itu,
maka sekeluarnya dari sana maka kedudukkannya akan terasa
lebih tinggi dan terhormat...
Hari itu, ketika cong piautau Mo im sin liong Wan kiam ciu
sedang berancang-bincang dengan seorang tetamu yang
datang ber kunjung, tiba-tiba dari luar pintu muncul anak
buahnya yang segera memberi laporan:
"Cong piautau, Tio piautau telah kembali!" Mendengar si
adik angkatnya telah pulang, Ko im sin liong Wan Kiam ciu
merasa girang sekali, segera serunya:
"Ehmm, sampaikan padanya setelah menyelesaikan urusan,
suruh datang kemari, oh yaa, benar, beritahu kepadanya
sepanjang jalan dia tentu amat lelah.....
Mendengar perkataan itu, buru-buru orang itu berseru lagi:
"Lapor cong piautau, Tio piautau pulang sendirian, dia
datang hanya ditemani orang pemuda."
"Apa?" mendengar 'aporan itu, dengan terkejut Mo im sin
liong Wan Kiamciu melompat bangun, tak sempat minta maaf
kepada tamunya lagi, buru-buru dia lari keluar.
Para ramunya yang menjumpai kejadian itu segera tahu
kalau disana telah terjadi suatu peristiwa.
Karena itulah mereka bersama sama ikut memburu
keluar pintu gerbang. Begitu sampai didepan pintu, Mo im sin
liong Wan Kiamcu saksikan adik angkatnya si Berewok
berpena baja Tio Ci hui berdiri didepan pintu dengan wajah
sedih dan murung, dibelakangnya mengi kuti seorang pemuda
berwajah tampan.
Buru-buru dia menegur: "Hiante, sebenarnya apa yang
telah terjadi?"
Berjumpa kakak angkatnya, si Berewok berpena baja
merasa bagaikan bertemu sanak sendiri, rasa sedih yang tibatiba
mendekam perasaannya membuat ia tak bisa
mngendalikan diri lagi.
Ia segera memeluk saudara angkatnya dengan air mata
berlinang, tak sepatah katapun yang bisa diucapkan.


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat itu, Mo im sin liong Wan Kiam ciu segera berkata
lagi: "Hiante, aku sudah tahu, apakah barang kawalanmu
dibegal orang?"
Si Berewok berpena baja manggut-manggut tanpa
menjawab. "Tidak mengapa" hibur Wan Kiam ciu cepat, "sebagai
seorang lelaki kita harus dapat menghadapi setiap perubahan,
bisa diambil bisa pula dilepas, kau sudah lelah, beristirahatlah
dulu, kemudian baru pelan-pelan menceritakan kisah tersebut
kepadaku" Cong piautau dari perusahaan Sin liong piau kiok memang
seorang lelaki yang hebat dan berjiwa besar.
Suma Thian yu yang berdiri dibelakang Si Berewok berpena
baja Tio Ci hui diam-diam merasa kagum sekali.
Pelan-pelan Si Berewok berpena baja mendongakkan
kepalanya, lalu dengan mata merah katanya sedih.
"Toako, siaute tak becus, ternyata tak mampu melindungi
barang kawalan tersebut, yang lebih tak beruntung lagi,
mereka telah gugur semua ditangan musuh"
Dia lantas menceritakan semua kisah kejadian itu dengan
jelas, ketika berbicara tentang ketiga belas saudara yang
tewas, Tio Ci hui tak dapat membendung air matanya lagi.
Selesai mendengar laporan tersebut, Mo im sin liong wan
Kiam cie menunjukkan pula rasa sedih yang tebal, butiran air
mata tampak mengembang dalam kelopak matanya, tapi dia
masih berusaha keras untuk menahannya agar jangan meleleh
keluar. Sampai lama kemudian, Wan Kiam ciu baru berkata.
"Hiante, aku telah membuatmu susah selama ini, cepatlah
rawat lukamu, kau harus lebih mengutamakan kesehatan
badanmu.... Kemudian sambil menjura ke arah Suma Thian yu,
lanjutnya: "Suma Siauhiap, terima kasih banyak atas bantuanmu,
siauhiap tentu merasa lelah bukan, silahkan mengikuti Tio
hiante masuk kedalam untuk beristirahat!"
Saking terharunya si Berewok berpena baja melelehkan air
mata dengan deras, tentu saja dia rikuh untuk pergi
beristirahat. Tiga belas saudara telah gugur, sepasukan kereta barang
telah hilang....akhirnya ia tertunduk dengan sedih, titik air
mata jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya.
Mo im sin liong Wan Kiam ciu tidak menghalanginya untuk
menangis, dengan membawa perasaan sedih dia berjalan
masuk keruang da lam, sebelum berlalu, pesannya kepada
kasir. "Turunkan bendera perusahaan, naikkan bendera berduka
cita!" Bendera berduka cita merupakan bendera yang dinaikkan
untuk mengenang para piaucu yang tewas, setiap kali ada
yang jatuh korban dalam setiap perjalanan, cong piautau pasti
akan memerintahkan sang kasir untuk mengganti bendera
perusahaan dengan bendera segitiga pertanda duka cita
Malam itu seluruh perusahaan berada dalam suasana
hening, setelah cong piautau memerintahkan orang untuk
mengatur para tamu untuk tidur, dia mengurung diri dalam
kamar baca dan berjalan mondar mandir semalaman suntuk
dengan perasaan sedih.
Keesokan harinya, ketika Mo im sin liong Wan Kiam ciu
sedang berada dalam lamat-lamat tidur, mendadak ia
mendengar suara hiruk pikuk dari luar, Wan kiam ciu segera
tersadar kembali dari tidurnya.
Baru saja dia akan melangkah keluar dari kamar, seorang
pegawainya telah lari mendekat sambil berteriak:
"Aduuh celaka... Cong.... Cong piautau panji duka cita
dicuri orang....
Diam-diam Mo im sin liong Wan Kiam merasa tertegun,
tapi dia masih berusahau untuk mempertahankan
ketenangannya, sambil mengulapkan tangannya dia berseru:
"Pergilah kau! Aku akan segera menyusul..."
Sepeninggal pegawainya, Mo im sin liong Wan Kiam ciu
mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang,
pelbagai pikiran serasa berkecamuk didalam benaknya, ia
tidak habis mengerti siapa gerangan manusia aneh
berkerudung hitam itu" Mengapa pula mereka bermusuhan
dengannya"
Tatkala Mo im sin liong Wan Kiam ciu tiba ditengah
lapangan, ditengah lapangan sudah penuh kerumunan ratusan
orang pegawai dan puluhan orang piausu, diantaranya
terdapat pula jago-jago persilatan yang kebetulan berkunjung
kesana. Tatkala semua orang menyaksikan cong piautaunya
munculkan diri, suasana menjadi hening, sorot mata semua
orang ditujukan kearahnya dan setiap orang membungkam
diri dalam seribu bahasa.
Dengan senyuman getir menghiasi wajahnya, Mo im sin
liong Wan kiam ciu pelan-pelan berjalan ketengah arena dan
manggut-manggut kepada setiap orang yang dijumpainya.
Saat itulah, seorang kakek munculkan diri dari kerumunan
orang banyak dan berjalan menuju kehadapan Wan Kiam ciu,
setelah memberi hormat katanya:
"Lapor cong piautau, pagi tadi ketika Hui lam keluar hendak
menaikkan bendera, tiba-tiba dijumpai panji duka cita itu
sudah hilang, sementara diujung tiang bendera telah
ditemukan sebatang panah, silahkan congpiau memeriksanya"
Mendengar laporan itu, Mo im sin liong wan Kiam ciu
mendongakkan kepalanya, benar juga, di pucuk tiang bendera
itu telah sebatang anak panah.
Melihat itu, katanya sambil tersenyum:
"Sim suhu, mundurlah dulu"
Menanti piausu yang bernama Sim Hui lam mundur, Mo im
sin liong wan Kian ciu melakukan perondaan ke seluruh
lapangan, kemudian baru berkata dengau suara lantang:
"Saudara sekalian, sejak didirikan hingga kini perusahaan
kita sudah bercokol selama dua puluh tahun lamanya, berkat
bantuan dari saudara sekalian, perusahaan kita baru berhasil
mencapai sedikit kemajuan seperti hari ini, lohu yakin tak
pernah menyalahi sobat sobat dari dunia persilatan, siapa tahu
berapa hari berselang barang kawalan kita dibegal orang,
kemarin panji duka cita juga dicuri orang, rejeki tidak tiba
berbareng, bencana tidak jalan sendiri, jelas hal ini merupakan
suatu pembicaraan dan suatu tantangan buat kita, yang patut
disesalkan hingga kini, kita masih belum mengetahui dengan
jelas siapa gerangan musuh kita tersebut."
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak terdengar
seseorang berseru keras.
"Kalau begitu pembegal itu berkerudung?",
Pelan-pelan Mo im sin liong wan Kian ciu mengangguk,
sambungnya lebih jauh:
"Benar! Mereka adalah sekawanan pencoleng berkerudung
hitam, tanpa kita ketahui siap mereka, mana mungkin kita bisa
turun tangan untuk melacaki jajaknya" Setelah lohu berpikir
keras semalaman suntuk, akhirnya aku berhasil menarik dua
kesimpulan"
Berbicara sampai disini, dia berhenti sejenak untuk
memandang orang-orang yang berada dihadapannya, setelah
itu sambungnya lebih jauh:
"Pertama kita tutup pintu perusahaan untuk mencari jejak
pencoleng, kedua melanjutkan usaha ini sambil menantikan
perubahan selanjutnya"
begitu ucapan tersebut diutarakan, suasana menjadi
gempar, masing masing saling berbisik membicarakan
persoalan itu, ada yang setuju gegasan pertama ada pula
yang menyetujui gagasan kedua, untuk sesaat suasana
menjadi kacau balau tak karuan.
Mo im sin liong sama sekali tidak melakukan tindak
pencegahan apa-apa, sebab ia sendiripun tidak tahu harus
memilih yang manakah diantara kedua macam gagasan
tersebut. Ditengah suasana yang hiruk pikuk, mendadak terdengar
seorang pemuda berseru dengan lantang:
"Harap saudara sekalian sedikit tenang!"
Suara yang menggeledek itu kontan saja membuat suasana
dalam arena berubah menjadi tenang kembali, serentak
semua orang berpaling kearah pemuda itu.
Ternyata pemuda itu tak lain adalah Suma Thian yu yang
diajak datang bersama si Berewok berpena baja Tio Cihui
kemarin. Mo im sin liong Wan Kiam ciu memperhatikan Suma Thian
yu sekejap, lalu tanyanya dengan suara lembut:
"Siauhiap, apakah kau mempunyai suatu pendapat?"
Suma Thian yu segera menjura, kemudian sambil menuding
kearah tiang bendera itu katanya:
"Asal panah tersebut dapat kita ambil, rasanya tidak sulit
untuk mengetahui siapakah musuh kita itu"
Mendengar perkataan itu, Mo im sin liong wan Kiam ciu
menjadi tertegun, ia mendongakkan kepalanya lalu
membungkam dalam seribu bahasa.
Perlu diketahui tiang bendera itu tingginya paling tidak
mencapai dua puluhan kaki bukan suatu pekerjaan yang
sudah untuk memanjat naik ke puncak tiang setinggi itu.
Mendadak dari tengah arena berkumandang suara teguran
yang amat merdu:
"Siauhiap, apakah kau berniat untuk menggajak kami
bergurau" Atau mentertawakan kami yang tak mampu naik ke
atas?" Mendengar ucapan tersehat, Suma Thian yu segera
berpaling, tapi dengan cepat ia menjadi tertegun.
Ternyata dari tepi arena berjalan keluar seorang gadis
berbaju hijau yang cantik rupawan, kulit tubuhnya putih halus,
usianya enam belas tahun, mukanya bulat telur dengan
hidung yang mancung, bibir yang kecil dan mata yang jeli.
Boleh dibilang dia adalah seorane gadis yang cantik
rupawan, membuat Suma Thian yu menjadi tertegun dan lupa
untuk menjawab.
Tiba-tiba terdengar Mo im sin liong Wan Kiam ciu menegur
keras: "Anak Lan, jangan kurangajar!"
Dengan cepat Suma Thian yu menjadi tersadar kembali,
segera pikirnya:
"Ternyata dia adalah putri kesayangan dari Wan cong
piautau, tak heran kalau kecantikannya bagaikan bidadari dari
kahyangan"
Maka dia lantas menjura kepada nona itu sembari berkata:
"Nona telah salah paham, aku hnya bermaksud baik saja"
"Hmmm! Maksud baik?" nona itu menggigit bibirnya
kencang kencang, "tolong tanya, dari mana kau bisa tahu
kalau dengan mengambil panah tesebut maka kita akan
mengetahui siapakah musuh kita itu?"
"Aku hanya berpendapat demikian, karena.....
Belum habis dia berkata, terdengar Mo im sin-Iiong telah
menukas sambil tertawa.
"Saudara sekalian, lupakan saja persoalan hari ini, apalagi
kesempatan sebaik ini juga sukar ditemukan, mengapa tidak
kita gunakan kesempatan ini untuk menggunakan suatu
perlombaan?"
Secara tiba-tiba Mo im sin-Iiong Wan Kiam cui
mengucapkan perkataan itu apalagi dalam suasana seperti ini.
Kontan saja semua orang dibikin kebingungan setengah
mati, semua orang tidak tahu rencana apakah yang terselip di
balik kesemuanya itu"
Setiap orang dengan wajah keheranan bersama-sama
menunggu ia melanjutkan kembali kata-katanya.
Menyaksikan semua orang merasa keheranan, Mo im sin
liong Wan Kiam ciu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh.....haahh......haahh apakah kalian keheranan?"
"Kalian pasti mengira lohu sedang mencari gara-gara dalam
suasana seperti ini bukan?" jangan curiga, ilmu silat memang
melupakan suatu kepandaian yang harus dipacu untuk maju,
mengapa kita tidak manfaatkan kesempatan ini untuk
menyelenggarakan suatu perlombaan untuk memperebutkan
panah" Selain sebagai hiburan juga untuk mengendorkan
pikiran yang sudah penat dan lelah!
"Bagus sekali!" mendengar usul itu, semua orang segera
bersorak sorai dengan gembira.
Hanya siberewok berpena baja Tio Gi-hui seorang yang
memandang Wan Kiam ciu sambil termangu-mangu, dia cukup
mengetahui watak dari kakak angkatnya ini, mustahil dia bisa
melakukan perbuatan semacam ini dalam suasana dan
keadaan semacam ini, maka dalam hati kecilnya dia lantas
berpikir: "Jangan jangan dia mencurigai Suma siaute" Kalau tidak,
mungkin ia sudah mengetahui kalau ada musuh yang telah
menyelundup dibalik kawanan manusia yang hadir sekarang?"
Si Berewok berpena baja Tio Gi-hui memang tak malu
disebut sebagai seorang jago kawakan dalam dunia persilatan,
ternyata apa yang dipikirkan Mo im sin liong Wan Kiam ciu
telah memerintahkan pegawai pegawainya untuk
membereskan lapangan, menyiapkan meja per jamuan dan
memerintahkan koki untuk menyiapkan hidangan dan arak.
Tak selang berapa saat kemudian, sekeliling lapangan
sudah dipenuhi oleh meja kursi, yang tersisa hanyalah tanah
lapang seluas lima kaki dengan tiang bendera itu sebagai
pusatnya. Buru-buru Mo im sin liong mempersilahkan para tamu
untuk duduk, sedangkan dia bersama putri kesayangannya
duduk di meja utama disebelah timur.
Suma Thian yu duduk bersama dengan si berewok berpena
baja Tio Ci hui....
Setelah duduk, dengan suara lirih si Berewok berpena baja
Tio Ci hui segera berbisik kepada Suma Thian yu:
"Hiante, selama berada disini, berhati-hatilah dalam
pembicaraan maupun gerak gerik"
"Kenapa?" tanya pemuda itu keheranan.
"Kau harus tahu, kelewat menunjukkan kelihayanmu hanya
akan menuncing rasa dengki orang lain"
Si Berewok berpena baja Tio Ci hui hanya bisa berkata
demikian, karena dia sendiripun tidak mengerti apa maksud
yang sebenarnya dari kakak angkatnya itu.


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah semua orang duduk dan hidangan di keluarkan, Mo
im sin liong Wan Kiam ciu segera mengangkat cawannya
sambil bangkit ber diri, kemudian kepada semua orang
serunya; "Saudara sekalian, mari kita keringkan secawan arak,
perusahaan kami tak pernah menerima kunjungan kunjungan
yang begitu banyak dari tamu-tamu agung seperti hari ini,
adapun didalam peryelenggaran pertemuan ini, lohu selain
ingin menyelenggaraan permaian perebutan anak panah,
akupun ingin sekali menyaksikkan saudara sekalian bisa
memberikan pertunjukan yang menarik."
Ucapan tersebut mempunyai arti yang mendalam, beberapa
orang diantara mereka yang berperasaan tajam segera dapat
menangkap maksud lain dibalik ucapan tersebut, masingmasing
lantas membicarakannya dengan suara berbisik-bisik.
Selesai berkata, Mo im sim liong segera meneguk habis isi
cawannya, kemudian memandang sekeliling tempat itu sambil
menantikan reaksi.
Dalam waktu singkat, dari meja sebelah barat telah berdiri
seseorang, sambil menjura orang itu berseru:
Cong piauiau, siauloji akan turun kearena paling dulu.
Ternyata orang itu adalah piausu Sim Hui lam. Sambil
menggulung bajunya dia menuju ketengah arena, setelah
memberi hormat katanya:
"Sobat darimanakah yang ingin memberi petunjuk
kepadaku?"
Sim Hui lam merupakan seorang piausu yang paling
sombong dan tinggi hati dalam perusahaan tersebut,
walaupun dia cuma seorang jagoan dari kelas dua, namun
dihari-hari biasa dia sering membentak-bentak anak buahnya
atau mendamprat anak buahnya dengan kata kasar, sebab itu
banyak orang yang tak senang kepadanya.
Sudah banyak tahun dia bekerja dalam perusahaan, tetapi
belum pernah naik pangkat, maka begitu ada kesempatan
untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja dia tak akan
melepaskan kesempatan tersebut dengan begitu saja.
Begitu sampai ditengah arena, semua orang segera berbisik
membicarakan persoalan itu, sayang tak seorangpun yang
menampakan diri.
Melihat tiada orang yang menanggapi tantangannya itu, dia
menjadi rikuh sendiri, dan akhirnya sambil menjura kepada
Cong piautaunya dia berkata.
"Cong piautau, bagaimana kalau Hui lam mainkan
serangkai ilmu pukulan saja untuk menghibur para tamu?"
"Belum sempat Mo im sin liong menjawab, sesorang telah
melayang turun ketengah arena, kemudian sahutnya:
"Tidak perlu, biar aku saja yang menemanimu bermain
beberapa gebrakan....."
Sim Hui lam segera berpaling, ternyata orang itu adalah
seorang lelaki setengah umur yang berbaju perlente, sekilas
pandangan saja dapat diketahui kalau dia adalah tamu yang
berkunjung semalam, buru buru dia menjura sambil bertanya.
"Tolong tanya siapakah nama saudara" Kalau kau bersedia
untuk bermain beberapa geb rakan, hal ini lebih baik lagi"
Lelaki setengah umur itu menjura untuk membalas hormat,
lalu sahutnya. Aku she Kang bernama Pun san, orang persilatan
menyebutku sebagai Cha gi sui (tikus bersayap), silahkan Sim
suhu memberi petunjuk"
"Kalau begitu maaf..." kata Sim Hui lam sambil menjura.
Dengan jurus Hek hou tou sim (harimau hitam mencuri
hati) mendadak kepalan kanannya disodokkan ke perut si
Tikus bersayap Kang Pun san.
Kang Pun san tertawa nyaring, dengan cepat dia memutar
badannya menghindar, kemudian dengan jurus Hay see sian
sian (membunuh ular didasar laut) ia balas menumbuk jalan
darah Tay yang hiat ditubuh Sim Hui lam.
Bagaimanapun juga kalau orang orang dari kelas dua yang
sedang melakukan pertunjukan, pertarungan mereka meski
nampaknya tegang dan seru, padahal bagi orang yang ahli,
pertarungan itu ibaratnya perkelahian anak kecil sedikitpun
tidak menarik hati.
Wan Pek lan, putri kesayangan Mo im sin liong wan Kiam
ciu yang berada disamping ayahnya segera tertawa, serunya.
"Huuh... .pada hekekatnya seperti tombak melawan tombak
mainan, sama sekali tak ada gunanya, ayah! Cepat suruh
mereka berhenti, jangan membuat perusahaan kita betul-betul
sampai kehilangan muka."
Baru saja ucapan gadis tersebut selesai diucapkan,
mendadak terdengar Sim Hui lam yang berada ditengah
arena menjerit kesaki tan:
"Aduuuuh......"
Kemudian sambil memegangi perut sendiri, tubuhnya roboh
ketanah, mukanya pucat dan peluh dingin jatuh bercucuran
dengan derasnya.
Si tikus bersayap Kang Pun san tertawa tergelak-gelak
seraya bsrseru:
"Maaf, maaf......!"
"Bagaikan seorang pemenang yang hebat, dia berdiri
ditengah arena dengan kepala di angkat dada dibusungkan,
tampaknya seperti lagi menunggu orang kedua terjun
kearena. Sikap kekanak-kanakan semacam itu sungguh menggelikan
sekali. Agak mendongkol juga Wan Pek lan menjumpai sikap
orang tua itu, buru-buru serunya kepada ayahnya:
"Ayah, bagaimana kalau Lan ji yang turun kearena untuk
membereskan dia....?"
"Baik!" sahut Mo im sin liong Wan Kiam ciu sambil
mengangguk, "cuma ingat, pertarungan ini hanya terbatas
sampai saling menutul, jangan sampai membuat kesalahan
dengan tamu."
Wan Pek lan bersorak gembira, bagaikan anak panah yang
terlepas dari busurnya dia melesat ketengah udara, kemudian
bagaikan burung merak membentangkan bulu-bulunya, dia
melayang turun ditengah arena.
Gerakan tubuhnya indah dan lincah, segera disambut oleh
para jago dengan tempik sorak yang gegap gempita.
Mo im sin liong Wan Kiam ciu yang menyaksikan gerakan
tubuh puterinya amat indah sehingga mendapat pujian dan
tepuk tangan orang banyak, dalam hatinya merasa girang
sekali, sepasang matanya sampai menyipit karena senyuman
yang kelewat tebal diwajahnya, lama sekali mulutnya
yang tertawa belum juga dirapatkan.
Dengan gerakan Kim ki tok lip (ayam emas berdiri disatu
kaki), Wan Pek lan berdiri dingin arena, kemudian sambil
tertawa dia berkata kepada si Tikus bersayap Kang Pun san:
"Kang tayhiap, boanpwee ingin sekali memohon petunjuk
beberapa jurus darimu, harap tayhiap suka banyak mencari
petunjuk" Semenjak menyaksikan ilmu meringankan tubuh nona Wan
yang lincah dan cepat tadi, diam-diam si Tikus bersayap Kang
Pun san telah merasa gelisah sekali, terutama setelah
mendapat tantangan, diam diam dia mengeluh didalam hati.
Tapi, dengan watak Kang Pun san yang sombong, takabur
dan berlagak sok tentu saja tak mungkin baginya untuk
mengundurkan diri dengan ketakutan, bagaimanapun juga,
dia harus menghadapi kenyataan tersebut sambil menggertak
gigi. Maka setelah balas memberi hormat, dia menyambut
dengan suara agak tergagap.
"Aku orang she Kang beruntung dapat berkenalan dengan
nona, kejadian ini benar-benar merupakan suatu
keberuntungan buat aku orang she Kang...."
Sembari berkata, diapun memasang kuda-kuda yang
rendah dengan sepasang kepalan disiapkan didepan dada,
agaknya dia sudah bersiap siaga menghadapi lawan.
Sesungguhnya nona Wan merasa muak sekali terhadap
kawanan manusia yang sok berjual lagak seperti ini, melihat
sikap lawan, dia sengaja berdiri seenaknya sambil berkata
dengan suara dingin.
"Silahkan!"
Si Tikus bersayap Kang Pun san pun merasa amat
mendongkol menyaksikan sikap menghina dari nona Wan,
dengan perasaan marah yang berkabar dia berseru pula.
"Maaf aku orang she Kang akan menyerang dulu"
Dengam jurus Ji yan jut ciau (burung walet keluar sarang),
kepalan tangan kiri menekan kedada lawan, sementara tangan
kanan mem babat payudaranya.
Bertarung melawan orang, terutama seorang pria
berhadapan dengan wanita, maka menyerang payudara anak
gadis merupakan suatu pantangan yang besar.
Pada dasarnya Kang Pun snn cuma seorang manusia kelas
tiga, lagi pula jarang sekali berkelana didalam duuia
persilatan, dalam gelisahnya ia sudah melupakan pantangan
tersebut. Tapi kawanan jago berpengalaman yang menyaksikan
kejadian itu, kontan saja menjadi marah-marah sambil
menyumpah. Terlebih-lebih nona Wan sendiri, kemarahannya kontan
memuncak, sepasang matanya mengawasi ancaman tersebut
lekat-lekat, kemudian secara tiba-tiba ia membentak keras:
"Roboh kau!"
Tampak sepasang lengannya diayunkan kemuka secepat
sambaran petir, kontan saja si tikus bersayap seakan-akan
benar-benar be tumbuh sayapnya, seluruh badannya mencelat
sejauh satu setengah kaki lalu...."Buk!" badan nya terjatuh
keras keras diatas tanah. Bagaikan anjing budukan yang baru
terserang penyakit parah, sampai lama sekali ia belum juga
bisa merangkak bangun.
Tempik sorak yang gegap gempita kembali berkumandang
diseluruh angkasa, ditengah sorak sorai tersebut, nona Wan
menjura ke empat penjuru, lalu mengulumkamkan senyuman
manis dan merayu.......
Pada saat itulah, mendadak terdengar suara panjang yang
menyakitkan telinga menggema dari meja sebelah barat,
menyusul kemudian tampak seseorang menampakkan diri
dengan berjumpalitan ditengah udara, kemudian meayang
turun tepat lima enam langkah dihadapan nona Wan. Nona
Wan mencoba untuk memperhatikan pendatang itu, ternyata
dia adalah seorang lelaki berusia tiga puluh tahun,
berperawakan setinggi enam depa, memelihara jenggot hitam
dan berdandan sebagai Busu, sebiiah pedang tersoren
dipunggungnya. Begitu turun ke arena, dia segera meujura sambil
memperkenalkan namanya:
"Aku adalah Ban Hoan kiam (pedang selaksa bunga) Tan
Sim dari Thiam cong pay, sengaja datang untuk memohon
petunjuk dari nona."
Ketika Nona Wan menyaksikan potongan wajah orang ini
tidak memuakkan, rasa mendongkolnya seketika hilang
separuh, tapi begitu mendengar orang itu menggunakan nama
Thiam cong pay untuk menakut nakuti orang, seketika itu juga
hatinya jadi tak senang kembali, segera tanyanya dengan
cepat: "Kau hendak beradu senjata" Ataukah beradu tangan
kosong belaka?"
"Kedua duanya sama saja" sahut Ban hoa kiam Tan Sim
dari Thiam cong pay sambii tersenyum, "toh tujuan dari
pertandingan silat yang di selenggarakan ayahmu hari ini
hanya bertujuan untuk menghibur hati, aku lihat lebih baik
kita beradu tangan saja"
Mendengar ucapan tersebut nona Wan termenung sejenak,
dan baru berkata:
"Sudah lama kudengar pihak Thiam cong pay termashur di
dunia persilatan karena ilmu pedangnya, lama sudah boanpwe
mengagumi hal itu, apalagi kesempatan macam ini jarang kita
jumpai, oleh karena itu boanpwe berharap bisa meminta
petunjuk dalam ilmu pedangnya saja, harap Tan tayhiap sudi
memberi muka padaku" Ban hoa kiam Tan Sim adalah adik
seperguruan dari It ci hoa kiam (pedang satu huruf bunga) Yu
Liang Gi, wataknya memang tidak menentu terutama sifat
ingin menang. Mendengar sanjungan dari nona Wan, hatinya menjadi
gembira, paras mukanya ikut pula berubah-ubah, segera
sahutnya: "Senjata tak bermata, seandainya nona terjadi apa
apa......."
Tidak menunggu dia menyelesaikan kata-katanya, dengan
cepat nona Wan berseru kembali:
"Dalam suatu pertarungan, tak urung kedua belah pihak
mungkin akan menderita luka, jika boanpwee sampai
menderita cidera, hal itu merupakan kesalahanku sendiri yang
belajar silat tak becus, mana mungkin aku bakal menyalahkan
Tan tayhiap" Harap kau jangan menampik keinginanku ini."
Ucapan dari nona Wan itu amat tepat dan beralasan sekali,
karena sehabis mendengar ucapan tersebut, Ban hoa kiam
Tan Sim segera berpaling kearah Mo im sin liong Wan Kian
ciu, Wan cong piautau seperti meminta persetujuannya.
Tentu saja Wan Kiam ciu segera manggut-manggut sambil
tersenyum tanda setuju. Melihat Mo im sin liong telah
memberikan persetujuannya, pelan-pelan Ban hoa kiam Tan
Sim meloloskan pedang nya dari sarung.
"Criiing!" berbareng dengan dilolosnya senjata tersebut,
tampak cahaya putih memancar Keempat penjuru dan amat
menyilaukan mata.
Melihat itu, serentak semua orang berteriak memuji.
"Sebilah pedang bagus!"
Ban hoa kiam Tan Sim makin gembira hatinya karena dipuji
orang banyak, pedangnya segera digetarkan ketengah udara
menciptakan selapis cahaya pedang yang amat tebal, tapi
sekejap mata kemudian kabut pedang itu tahu-tahu lenyap tak
berbekas. Sekali lagi para jago yang menyaksikan demonstrasi itu
bersorak sorai memberikan tepuk tangan yang ramai,
kesemuanya ini membuat Ban hoa kiam Tan Sim merasa
senang sekali. Nono Wan sendiri hanya meloloskan pedangnya dengan
suatu gerakan yang sederhana, kemudian sambil


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggenggam pedangnya ia turut menikmati demonstrasi Ban
hoa kiam Tam Sim yang sedang kegirangan itu.
Dalam nada itu, Suma Thian ya yang duduk disamping Si
pena baja bercambang Tio Ci hui bertanya dengan suara lirih:
"Tio toako, bagai manakah kepandaian ilmu pedang yang
dimiliki nona Wan..?"
"Pertunjukan bagus segera akan berlangsung, hiante
mengapa kau mesti terburu napsu?" sahut sipena baja
bercambang Tio Ci hui dengan suara lirih.
Kontan saja Suma Thian yu merasakan wajahnya berubah
menjadi merah padam dan panas sekali, buru-buru dia
mengalihkan kembali perhatiannya ketengah arena.
Si pena baja bercambang Tio Ci hui melirik sekejap kearah
sipemuda itu, kemudian tertawa:
Orang bilang: Cinta yang mendalam, membuat perhatian
semakin menebal.
Tindakan Suma Thian yu yg begitu menaruh perhatian
terhadap nona Wan kelihatan amat menyolok, mungkinkah
secara diam-diam sianak muda itu telah jatuh cinta kepada
sinona" Tidak! Perlu diketahui, partai Thiam cong pay ketika itu amat
termashur karena ilmu pedangnya yang lihay, terutama
beberapa puluh tahun belakangan ini, boleh dibilang banyak
sekali jago lihay dari pihak Thiam cong pay yang bermunculan,
diantaranya nama It ci hoa kiam Yu Liang gi paling termashur.
Oleh karena itu, Suma Thian yu segera menarik kesimpulan
kalau adik seperguruan dari Yu Liang gi ini pastilah seorang
jago yang cu kup lihay pula, padahal nona Wan begitu lemah
gemulai, mungkinkah dia sanggup menghadapi kelihayan dari
seorang jago pedang kenamaan"
Sementara itu pertarungan ditengah arena sudah mulai
berkobar, nona Wan dengan menggunakan jurus Cay hong
tian ci (burung hong mementang sayap) melepaskan sebuah
tusukan mendatar keatas jalan daran Hoa kay hoat di tubuh
Ban hoa kiam Tan Sim.
Ban hoa kiam Tan Sim sebagai seorang jagoan dari Thiam
cong pay, tentu saja bukannya manusia sembarangan, melihat
datangnya ancaman tersebut, ia segera tertawa dingin.
Jilid 7 : Dewi burung hong Wan Pek lan
"SUATU SERANGAN yang amat baik!"
Mendadak kaki kanannya mundur kebelakang lalu
menyelinap kesamping meloloskan diri dari tusukan lawan,
kemudian pedangnya dengan jurus Bei lui cut hong (bunga
mawar baru mekar) pedangnya secepat sambaran petir
menusuk jalan darah Ki kiat dan Kian li hiat ditubuh nona
Wan....... Dia lincah, ternyata nona Wan lebih lincah dia cepat, nona
Wan jauh lebih cepat lagi.
Perlu dlketahui, jurus serangan pertama dilancarkan nona
Wan tersebut pada hakekatnya merupakan suatu pancingan
terhadap mu suhnya, maka sewaktu musuhnya beikelit, tibatiba
ujung pedangnya berputar memainkan jurus Ji lay ciang
tiau (Ji lay menaklukkan rajawali) untuk menusuk ketubuh
lawan secepat kilat.
"Weeesss...." tahu-tahu ujung pedang itu sudah menusuk
ke arah tenggorokan Tan Sim.
Melihat datangnya ancaman tersebut, mau tak mau Ban
hoa Kiam Tan Sim bermandi peluh dingin juga karena
terperanjat. Sungguh hebat manusia yang bernama Tan Sim ini, buruburu
dia menggunakan gerakan jembatan gantung untuk
menjatuhkan diri ke belakang, kemudian sambil menarik
perutnya sambil melompat bangun pedangnya menggunakan
jurus Seng kay tu jin (putik bunga baru me kar) secara
beruntun melepaskan tiga buah serangan berantai.
Sreeeet! Sreeeeet! Sreeeet!" angin serangan yang tajam
bagaikan amukan ombak samudra serentak menggulung ke
atas tubuh nona Wan.
Sekalipun nona Wan merupakan seorang ahli silat, toh dia
merasa tak tahan juga menghadapi serangan lawan yang
beruntun, cepat-cepat dia mundur sejauh empat langkah ke
belakang untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Tapi dengan terjadinya peristiwa ini, maka hal tersebut
segera membangkitkan pula perasaan ingin menang didalam
hati nona Wan. Sebagai putri kesayangan cong piautau, tentu saja nona itu
merasa kejadian yang baru di alaminya merupakan suatu
kejadian yang amat memalukan, maka dia bertekad untuk
merebut kembali keadaan tersebut dari lawannya.
Terdengar gadis itu berpekik nyaring, lalu pedangnya
menggunakan gerakan Po hong pat ta (angin puyuh meryapu
delapan penjuru) dan tubuhnya menggunakan gerakan
Hwesio hong luo liu (angin puyuh menggoyangkan liu) segera
meneroros masuk kedalam pertahanan lawan, setelah itu
secara beruntun dia lancarkan empat buah serangan berantai,
serangan demi serangan, jurus demi jurus dilancarkan secara
gencar dan amat dahsyat.
Ban hoa kiam Tan Sim hanya merasakan cahaya pedang
yang berada didepan matanya amat menyilaukan mata dan
desingan angin dingin menyayat badan, untuk sesaat dia
menjadi gugup dan tak sempat melihat jelas ancaman lawan,
serta merta dia melompat mundur kebelakang untuk berusaha
menghindarkan diri dengan, tindakannya itu dia justeru
terjebak kedalam perangkap nona Wan, mendadak terdengar
nona Wan berpekik nyaring, ujung bajunya berkibar
terhembus angin, secepat kilat pedangnya menusuk ke tubuh
lawan. Selama hidup belum pernah Ban hoa kiam Tan Sim
menyaksikan gerakan tubuh secepat ini, menanti dia sadar
kalau nana Wan sedang menerjang tiba, waktu sudah
terlambat. Dalam keadaan begini, dia segera terpekik nyaring.
"Mampus aku kali ini!"
Belum habis teriakan itu bergema, terdengar suara baju
yang robek kemudian sirapnya cahanya pedang Nona Win
telah berdiri ditengah arena dengan senyum dikulum.
"Maaf, maaf!" katanya.
Ban hoa kiam Tan Sim masih saja berdiri dengan wajah
kebingungan, sampai-sampai pakaian bagian dadanya yang
robek memanjangpun sama sekali tidak dirasakan olehnya,
sungguh mengenaskan sekali keadaannya.
Menanti semua jago mentertawakannya, Ban hoa kiam Tan
Sim baru tahu kalau baju bagian dadanya sudah robek, tentu
saja rasa malunya bukan alang kepalang. Dalam keadaan
begini, setebal tebalnya muka, diapun merasa rikuh untuk
tinggal disitu lebih lama lagi, terpaksa sambil menjura
katatanya : "Ilmu pedang yang nona miliki sungguh hebat sekali, aku
orang she Tan benar-benar merasa kagum sekali, dikemudian
hari bila ada kesempatan lagi aku pasti akan memohon
petunjuk lebih jauh, maaf, aku mohon diri lebih dulu!"
Tanpa memberi hormat lagi kepada semua orang, dia
segera membalikkan badan dan berlalu dari sana.
Kepergian Ban hoa kia
Pendekar Bayangan Setan 12 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Setia 5
^