Pendekar Kidal 21

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 21


lik bukan olah2 dahsyatnya, kalau tidak mau
dibilang berlipat ganda ma lah, keruan kagetnya bukan main.
Pikirnya: "Toa-kok-su pernah bilang bahwa Toa-jiu-in adalah ilmu
sakti dari Ih-ka-bun yang tertinggi, tiada ilmu pukulan maca m lain
dikolong langit ini yang ma mpu menandinginya, memangnya ilmu
apa pula yang di-pertontonkan pemuda ini" Ta mpaknya dia belum
lagi me lontarkan kekuatan pukulannya, lantas me mbatalkan niatnya.
Kepada siapa pula dia me manggil Suhu?"
Kiranya dia tida k mendengar suara serak tua yang kumandang
seperti dari tempat jauh, karena ilmu gelombang suara itu hanya
ditujukan kepada seseorang, maka hanya Kun-gi saja yang
mendengarnya. Sudah tentu Yong King-Tiong dan Thi-hujin juga tidak
mendengar, tapi "Ya, Suhu" seruan Ling Kun-gi tadi jelas didengar
oleh se mua orang.
Terunjuk mimik bingung dan heran pada wajah Thi-hujin,
tanyanya: "Anak Gi, apakah maksudmu Taysu juga datang?" Sudah
tentu pertanyaan ini juga dia kirim dengan ilmu ge lombang suara.
Kun-gi mengangguk, dia balas menjawab dengan ilmu yang
sama: "Ya, barusan sebelum ana k me lancarkan serangan kudengar
peringatan Suhu yang me larang anak menggunakan Mo-ni-in."
"Aneh kalau begitu," ucap Thi hujin..
Cui Kin in juga tahu diri, lekas dia tarik serangannya, tanyanya
sambil menatap Kun-gi: "Kau berani turun ga langgang mewakili
Yong King-tiong, kenapa berhenti setengah jalan?"
Menghadani tatapan mata orang yang bundar jeli, diam2
terkesiap Kun-gi, sesaat dia menjadi bingung, katanya kemudian :
"Bukankah Cui-tongcu juga berhenti setengah jalan?" Sudah tentu
dia tidak mau me njelaskan duduk persoalan sebenarnya.
Berkedip mata Cui Kinin, katanya : "Ingin a ku tanya, ilmu apa
yang barusan hendak kau lancarkan?"
Sudah tentu Kun-gi tidak mau berterus terang, katanya tertawa
tawar : "Sungguh menyesal, jurus yang akan Cayhe lancarkan tadi
tidak punya na ma."
Sedikit berubah rona muka Cui Kinin, katanya sambil menjengek:
"Kenapa tidak kau bilang tak sudi me mberitahu" Tidak ma u
menje laskan ya sudahlah, memangnya siapa yang pingin tahu?"
tanpa menunggu reaksi Ling Kun-gi dia mena mbahkan: "Kau berani
tampil ke muka, tentu ingin bergebrak dengan aku, biarlah kita
tentukan siapa menang dan ka lah."
Dengan kale m tapi angkuh Kun-gi berkata "Caybe menurut saja
kehendak Cui-tongcu."
"Kudengar ilmu pedangmu a mat lihay, marilah kita bertanding
senjata?" "Katakan saja caranya, pasti Cayhe iringi keinginan Cui-tongcu."
Dengan lekat Cui Kinin menatap Kun-gi se kilas, katanya sambil
mencibir: "Hm, kau angkuh se kali."
"Sela manya me mang beginilah watak Cayhe," sahut Kun-gi.
Terunjuk rasa gusar pada wajah Cui Kinin, dia mela mbai ke arah
dayang berpakaian hijau di belakangnya. Tampak seorang gadis
baju hijau segera maju sambil menjinjing sebilah pedang, dengan
hormat dia angsurkan senjata itu kepada majikannya.
Pelan2 Cui Kinin me lolos pedangnya, sebilah pedang panjang tiga
kaki me mancarkan ke milau hijau menyilaukan mata, itulah sebilah
pedang yang tipis taja m luar biasa. Tiba2 Cui Kinin pegang gagang
pedang dengan kedua tangannya terus dibentang ke samping,
ternyata pedang seta serangka ini merupakan sepasang pedang,
dengan tangan kirikanan masing2 me megang sebatang pedang, Cui
Kinin melangkah maju beberapa tindak. katanya dingin: "Ling Kun-
gi, keluarkan senjatamu"
Kun-gi tertawa lebar. "Creeng", tangan kanannya terangkat,
tahu2 Ih-thiankia m sudah terlolos.
Terbeliak Cui Kinin, tanpa terasa dia berseru me muji: "Pedang
bagus!" Dengan menenteng pedang Kun-gi tida k me mbuka jubah juga
tidak pasang kuda2, hanya seenaknya saja dia menjura dan
berkata: "Silahkan Cui-tongcu!" Makin wajar seenaknya dia menjura, semakin kentara sikapnya yang gagah dan ta mpan.
Sesaat Cui-Kinin melenggong dibuatnya, kedua tangan tetap
terbentang, me megang sepasang pedang, sesaat wajahnya
bersemu merah jengah, tanyannya: "Kau tidak menanggalkan
jubah?" Umumnya orang yang turun gelanggang mau bertandang harus
mencopot jubahnya, kecuali yakin akan kepandaian sendiri yang
lebih unggul daripada lawannya, kalau tida k jubah itu a kan
me mpengaruhi gerak-geriknya. Tapi hal ini apa pula sangkut
pautnya dengan Cui Kinin, kan menguntungkan dia ma lah"
Kun-gi tertawa lebar, katanya: "Tidak apa lah"
"Ini kan bertanding pedang, senjata tak bermata, kau tidak kuatir
aku me mungut keuntungan dala m hal ini?"
"Tida k apa, tidak apa," jawab Kun-gi.
"Kau sombong." jenge k Cui Kinin mencibir pula sekali gentak,
kedua bilah pedang ditangannya bergetar menggaris bundar
menciptakan dua lingkaran sinar pedang sebesar mulut mangkuk,
tapi dia belum me nyerang, kedua pedang tetap berhenti di depan
dada, katanya dingin: "Ling Kun-gi, apakah aku yang harus turun
tangan lebih dulu?"
"Boleh silakan Cui-tongcu," ucap Kun-gi.
Terpancar sinar me mbara pada sorot mata Cui Kinin. "Baik,"
serunya. Lenyap suaranya pedang di tangan kanan mendadak me mbentuk
tabir cahaya kemilau, deru hawa dingin setajam pisau dengan
secepat kilat menya mbar ke depan.
Ling Kun-gi bergerak mundur, miring setengah langkah,
sementara Ih-thiankia m sudah pindah ke tangan kiri, ujung pedang
menegak ke atas terus menyampuk ke depan. Panjang Ih-thiankia m
ada empat kaki, satu kaki lebih panjang daripada pedang umumnya,
maka sebelum pedang Cui Kinin menyerang tiba sudah kena diketuk
pergi. "Trang", ternyata sepasang pedang Cui Kinin juga pedang
mestika, kalau tidak seka li bentur tadi tentu sudah terpapas kutung.
Lenyap suara benturan, Cui Kinin lantas mengejek, bayangannya
berkelebat lincah, tahu2 dia menyelinap ke samping kanan Kun-gi,
pergelangan tangan berputar, secepat kilat ia menusuk iga kanan
lawan. Gerakan tubuh serta gaga pedangnya sungguh lincah
menakjubkan. Yong-King-tiong yang menonton di luar gelanggang sampai
berjingkat kaget, teriaknya tanpa terasa: "Awas Ling-kongcu! "
Belum habis dia bicara, keadaan sudah berubah..
Ternyata setelah pedang di tangan kiri Kun-gi berhasil
menya mpuk pedang Cui Kinin, waktu Cui Kinin menyelinap ke
kanan, cepat sekali diapun sudah pindah pedang ke tangan kanan
pula dan menahan ke bawah, "Trang," kembali kedua pedang
beradu. Tusukan Cui Kin in ke mba li dipatahkan, tapi Cui Kinin me mang
hebat, selicin belut badannya tiba2 berputar, kakinya seperti tidak
menyentuh tanah, tahu2 bayangannya sudah berada di depan Kun-
gi. Seiring dengan putaran tubuhnya pedang kanan ikut berputar
menusuk ke punda k kiri, sementara pedang kiri ditarik mundur lalu
me mbabat pinggang.
Bukan saja cepat perubahan tipu serangannya kedua pedangpun
bergerak menyilang dengan tusukan dan me mbabat dengan lihay
dan sukar diduga.
Agaknya Kun-gi sengaja pamer kepandaian, pedang kembali dia
geser ke tangan kiri, tusukan pedang lawan kearah pundaknya
ke mbali ditangkisnya, lalu dia ke mbalikan pula pedang ke tangan
kanan untuk menangkis tebasan pedang lawan yang mengincar
pinggangnya. "Trang, tring!" dua kali secara beruntun ha mpir terjadi bersama,
suara pertama adalah tangkisan pada pedang lawan yang menusuk
pundak, suara kedua yang lebih keras adalah sampukan keras pada
pedang lawan yang me mbabat pinggang.
Karena kedua kali bentrokan keras ini, kedua pedang Cui Kinin
tergetar sehingga tak kuasa mengendalikan badan, langkahnya
tersurut mundur, terpaksa dia tarik kedua pedang sambil menatap
tajam Ling Kun-gi, katanya dingin: "Kau me mang hebat sekali."
"Cui-tongcu terlalu me muji!", ucap Kun-gi tawar.
"Kenapa kau hanya bertahan dan tidak balas menyerang?"
"Gerak pedang Cui-tongcu teramat lincah dan cepat, bahwa
Cayhe mampu menangkis sudah beruntung, mana ada kese mpatan
balas menyerang?"
Cui Kinin tertawa, tawa manis karena umpakan ini, katanya:
"Ternyata kau pandai merendah juga." Tiba2 kuncup senyumannya,
katanya pula dingin: "Setelah saling gebrak, kita harus menentukan
siapa unggul dan asor, Nah, hati2lah."
Pada ucapannya terakhir, sebat sekali dia lantas menubruk maju,
pedang kiri menusuk dan pedang kanan menabas, kalau tangan
kanan me mbabat tangan kiri me nyontek, serangan yang kiri lebih
cepat dari yang kanan, menyusul serangan kanan melebihi melebihi
kecepatn yang kiri, disa mping ganas dan keji, serangan inipun
tambah gencar, sekaligus dia sudah menyerang delapan belas jurus.
Ling Kun-gi ternyata tidak berebut mendahului, dia tetap
bertahan dengan mantap dan tenang, pedang dia pindah ke tangan
kiri seenaknya dia menge mbangkan Tat-mo-hoanjiu-kia m, ilmu
pedang Tat-mo-co-su yang dima inkan dengan tangan kidal, berbeda
dengan ilmu pedang aslinya yang dimainkan dengan tangan kanan,
tipu2nya serba berbeda, isi kosong sukar dijajagi, belum lagi jurus
yang satu dilancarkan tahu2 sudah berganti jurus yang lain, apalagi
setiap gerakannya mengandung perubahan, menyerang juga
bertahan, di waktu bertahan ada pula gerak menyerang.
Permainannya sungguh amat indah dan lihay. Karena dia ber-main
pedang dengan tangan kidal, Cui Kinin menjadi kebingungan dan
tidak tahu arah mana yang dituju serangan lawan.
Semakin tempur kedua orang bergerak se makin cepat dan sengit,
yang kelihatan melulu sinar hijau dan cahaya perak yang melingkar,
selulup timbul silih berganti, deru angin pedang bergolak menim-
bulkan angin kencang, suaranya semakin ribut seperti benda keras
yang tiba2 sobek tergetar, lama kela maan menjadi sukar dibeda kan
mana lawan dan mana pula kawan.
Pertempuran berjalan lagi tiga puluhan jurus, keadaan tetap
berimbang sa ma kuat. Cui kinin ta mpak se makin bernapsu, selebar
mukanya me mbara, tiba2 dia menjerit sambil menggentak pedang,
permainan pedangnya mendadak berganti, kini dia bergerak
selincah kupu2 terbang di atas rumpun bunga, menyelinap kian
ke mari dan menari dengan le mah ge mulai, gerak sepasang
pedangnya semakin lincah dan cepat, bukan saja lebih aneh dan
banyak ragamnya, setiap gerakan pasti mencari peluang menyerang
ke pertahanan lawan. Suatu ketika Ling Kun-gi bergerak sedikit
la mbat, "cret", pedang Cui Kin in segera menyelonong masuk, jubah hijaunya tertusuk robek.
Tidak kepalang kaget Kun-gi, baru sekarang dia benar2 insaf
akan perma inan pedang Cui Kinin yang lihay ini, mau t idak mau dia
lantas berpikir, "Untuk mengalahkan dia, terpaksa aku harus
menge mbangkan Hwi-liong-kia m-hoat." Segera ia bersiul panjang,
tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, sejalur cahaya pedang
lantas me mbumbung ke udara laksana naga sakti me nga muk.
Agaknya Cui Kinin tidak menduga pada saat menghadapi
serangan segencar ini, Ling Kun-gi masih se mpat me la mbung ke
udara, terdengar ia menggerung lirih, tiba2 iapun tutul kedua
kakinya, sepasang pedang menggaris lintang, menyusul kedua
tangan menggapa i dengan kedua pedang berputar mirip sayap
burung hong lagi terbang.
Sementara itu Kun-gi tengah menge mbangkan jurus Sinliong-jut-
hun, waktu badan mencapai ketinggian tiga tombak, dia lantas
pemukik balik, pergelangan tangan bergetar, pedang mengeluarkan
sinar cemerlang la ksana pancaran kembang api yang meledak,
berubah menjadi hujan cahaya yang bertebaran di angkasa.
Waktu Cui Kinin menyusul keatas, kebetulan dia papak Kun-gi
yang menukik turun, karena berada di tengah udara, menghadapi
serangan lihay lagi, ternyata sedikitpun dia tidak jeri dan gugup,
kedua pedangnya masih terus bergerak dengan garis silang dan
naik turun mirip burung Hong yang sedang terbang di udara.
Kalau yang lelaki la ksana seekor naga me-lingkar2 di tengah
mega, maka yang perempuan mirip burung Hong yang terbang di
angkasa. Gerak pedang kedua pihak sama2 cepat laksana kilat,
dengan benturan senjata berkumandang menimbulkan ge ma
nyaring di le mbah pegunungan.
Air muka Yong King-tiong ta mpak berubah berulang ka li, katanya
dengan penuh keheranan: "Aneh, me mangnya dia me ma inkan Hwi-
hong-kia m-hoat?"
Bahwa Cui Kinin ma mpu menandingin Hwi-liong-sa m-kia m
warisan keluarganya, ini sudah me mbuat Thi-hujin ikut berubah a ir
mukanya, kini mendengar Yong King tiong menyebut na ma Hwi-
hong-sam-kia m, tanpa terasa ia bertanya: "Hwi-hong-kia m-hoat"
Kenapa na ma ini t idak pernah kudengar?"
"Hwi-hong-kia m-hoat," ujar Yong King-tiong, "adalah ciptaan
Soat-sansinni dulu, Sinni adalah sahabat karib Tuan Puteri,
bagaimana mungkin anak murid didiknya bisa berkiblat kepada
pihak kerajaan. . . . ."
"Kulihat dia me mang seorang Kinjin," kata Thi-hujin.
Sambil menge lus jenggot Yong King-tiong mengangguk, katanya:
"Sejak tadi Losiu sudah curiga a kan ha l ini."
Sementara itu setelah Ling Kun-gi dan Cui Kinin mengadu pedang
keduanya lantas turun ke atas tanah. Belum lagi Kun-gi berdiri
tegak, Cui Kinin sudah me lompat maju lagi menyerang dengan
gencar. Keruan Kun-gi na ik pitam, kaki menjejak tanah ke mbali ia melejit
ke atas, menyusul dia menukik pula menubruk ke arah lawan.
Karena kedua pedangnya menyerang tempat kosong, Cui Kinin
me lanjutkan me luncur lurus ke depan. Dari atas Kun-gi lancarkan
jurus Lui-kong-pit-bok (geledek me mbe lah kayu)
Tiba2 Cui Kinin me mbalik, kedua pedang tersilang, dengan tepat
dia tahan pedang Kun-gi. Karena sedang terkunci oleh kedua
pedang Cui Kinin hati Kun-gi semakin berang, belum lagi ka kinya
menyentuh tanah, segera dia kerahkan Tay-lik-kim-kong-sim-hoat,
tenaga dikerahkan di lengan, pedang di tekan sekeras2nya ke
bawah. Karena badan Kun-gi masih terapung, sementara tabasan
pedangnya kena dikunci oleh sepasang pedangnya, maka Cui Kinin
dapat meluangkan sebilah pedangnya untuk menyerang sebelum
Kun-gi hinggap di tanah, serangannya pasti akan berhasil, umpa ma
tidak berhasil me mbunuh Kun-gi, sedikitnya kedua kaki lawan dapat
ditabas kutung.
Tidak terduga selagi dia me-nimang2 itulah, terasa berat pedang
Kun-gi yang terjepit di antara kedua pedangnya itu bertambah lipat
seolah2 tekanan ribuan kati, hampir saja kedua tangan sendiri tak
ma mpu me megang pedang, dengan sendirinya tak se mpat
me luangkan sebilah pedang untuk menyerang lawan" Wajahnya nan
molek itu kontan berubah pucat hijau lalu merah, keringatpun
me mbasahi jidat, kedua tangan yang pegang sepasang pedang
yang menyilang itu tampa k ge metar, pelan2 tertekan turun seperti
tak tahan lagi. Kalau ia tak kuasa manahan tekanan pedang lawan,
berarti ia sendiri ba kal terbelah menjadi dua dan binasa.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi pada detik gawat itulah, mendadak terasa tenaga ribuan kati
yang menindih itu tiba2 sirna, sedikit me minja m tenaga pertahanan
pedang Cui-Kinin, Kun-gi terus mela mbung ke belakang. Jelas dalam
gebrak ini dia menaruh belas kasihan.
Hampir meledak tangis Cui Kinin saking dongkol, sejak kecil dia
berlatih pedang, Hwi-hong-kia m-hoat juga merajai Bu-lim, dia kira
tiada tandingan lagi di kolong langit ini, tapi kini dirinya kecundang
dua kali oleh Ling Kun-gi. Dia m2 dia mengertak gigi, tanpa bersuara
mendadak dia me mburu ma ju, sepasang pedangnya menaburkan
cahaya kemilau menggulung ke arah Ling Kun-gi.
Agaknya Cui Kinin benar2 naik pita m sehingga melancarkan
serangan gencar dan sengit, ingin rasanya membikin beberapa
lubang di tubuh Kun-gi yang dibencinya ini.
Tapi Kun-gi juga ke mbangkan ilmu pedangnya, Ih-thiankiam
ditangannya dimainkan begitu rupa sehingga sekujur badan seperti
terbungkus cahaya, deru anginpun me ndengung keras.
Kembali kedua jago pedang ini berhanta m dengan seru, masing2
keluarkan seluruh ke mahiran sendiri, sudah tentu adegan kali ini
jauh lebih me negangkan daripada perte mpuran terdahulu tadi. Tiga
jalur sinar pedang saling gubat. kadang2 seperti rantai perak yang
menjulang ke atas, tiba2 pula la ksana gumpalan mega
menga mbang di udara dengan enteng. Yang satu laksana burung
Hong menari2 di udara, yang lain seperti naga mengaduk sunga i.
Makin sengit pertempuran makin kejut hati Ling Kun-gi, bila dia
belum masuk ke dasar kola m naga hita m dan berhasil me mpelajari
ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin, dengan bekal Hwi-
liong-sa m-kia m saja, terang dia bukan tandingan nona ini. Me mang
sembilan jurus ilmu pedang yang dia pe lajari dari ukiran dinding itu
belum apal dan mahir betul, maka dala m perma inan adu pedang ini
lebih sering dia mengulang permainan Hwi-liong-sa m-kia m.
Sementara enam jurus yang lain karena hanya hanya dilandasi
dengan kecerdasan otaknya saja, maka da la m prakteknya masih
agak kaku, tapi toh tetap dia kembangkan se mbari dise la mi.
Me mang sekaranglah kese mpatan latihan untuk me mperdala m ilmu
pedangnya itu, apalagi lawan tandingannya adalah Cui Kinin, nona
jelita yang berkepandaian ilmu pedang yang tinggi, yang dimainkan
juga ilmu pedang kelas tinggi yang aneh dan banyak perubahan dan
variasi, pula sa ma2 harus dilancarkan dengan cara mengapung di
udara, Hwi-hong-kia m-hoat lawan me mang serasi sebagai kawan
latihan yang se mpurna.
Lekas sekali seratus jurus telah dicapai, lama kela maan Kun-gi
menjadi apal dan le luasa me mainkan Hwi-liong-kiu-sek. Di tengah
pertempuran sengit itu terdengar suara benturan keras dibarengi
cipratan kembang api yang menyilaukan mata, sekonyong2 cahaya
pedang sama kuncup, dua bayangan orangpun terpental mundur.
Rambut Cui Kinin kusut masai, wajahnya tampak me mbesi hijau,
sekilas dia melirik ke atas tanah, mendadak dia merangkap kedua
pedang serta dimasukkan ke dala m sarungnya, lalu berseru lirih:
"Hayo pulang!" Tanpa berpa ling segera dia me langkah pergi.
Di tanah menggeletak secomot rambut, kiranya hasil tabasan
pedang Ling Kun-gi. Tak heran wajahnya bersungut dan uring2an,
maka cepat2 dia me mbawa anak buahnya pergi.
"Cui-tongcu," sera Thi hujin dingin, "kau ingin pergi begini saja?"
Cui Kinin sudah me mutar badan, tiba2 dia menghentikan
langkah, tanyanya sambil berpaling: 'Apa kehendak kalian?"
Yong King- tiong bergelak tertawa, katanya: "Sebagai Komisaris
umum, adalah tidak pantas kalau Cui-tongcu tinggal pergi begini
saja." Rasa marah menjalari selebar muka Cui Kinin, alisnya menegak,
katanya sambil tertawa dingin: "Aku ingin pergi boleh segera pergi,
siapa dapat menahanku"
"Sreng", The hujin melolos pedang, jengeknya: "Urusan sudah
selanjut ini, betapapun kau harus ka mi tawan."
"Bagus seka li! Nah, coba saja kalau ma mpu," eje k Cui Kinin.
Pada saat itulah, mendadak dari te mpat jauh berkumandang
suara serak berkata: "Nona Cui, kau boleh pergi saja."
Thi-hujin dan Ling Kun-gi ta mpak me lenggong, bukankah Put-
thong Taysu yang berbicara"
Terunjuk rasa kaget dan heran, tanya Cin Kui-in sa mbil
mendonga k: "Siapa kau?"
"Tak usah tanya siapa aku," sahut suara serak tua itu, "kau
masih punya urusan sendiri, pergilah, jangan terburu nafsu."
Sekilas me lirik Thi-hujin, Cui Kinin, lantas turunkan pedang dan
me langkah pergi. Empat gadis baju hijau bersa ma delapan laki2
berpedang segera merubung maju berbaris dibe lakangnya dan
angkat langkah.
Karena yang bersuara adalah guru Ling Kun-gi, yaitu Hoanjiu-ji-
lay Put-thong Thaysu, sudah tentu tak enak Thi-hujin merintangi Cui
Kinin, maka dia dia m saja me mbiarkan mereka pergi, na mun tak
tertahan iapun mendongak dan bertanya: 'Kau ini . . . . .
"Jangan banyak tanya Hujin," sahut suara itu, "kalianpun harus lekas pergi." Sa mpai a khir katanya suaranya sudah semakin jauh.
"Kenapa Suhu berulang ka li mena mpilkan diri, me mberi
keringanan kepada Cui Kinin?" de mikian Kun-gi ber-tanya2
keheranan. "Pasti Taysu punya maksud tertentu dengan tindakannya ini,"
ujar Thi-hujin.
"Yang bicara barusan, apakah guru Ling-kong-cu?" tanya Yong
King-tiong. Thi-hujin hanya mengangguk.
Sambil mengelus jenggotnya, tiba2 Yong King-tiong menghe la
napas, katanya: "Berapa tinggi kepandaian nona muda ini sungguh
jarang ada tandingannya jaman ini, hari ini kita tak bisa
me lenyapkan dia mungkin kelak bisa menimbulkan banyak
kesukaran bagi kita se mua."
"'Bahwa Taysu berulang kali me mberi muka padanya, tentu ada
alasannya, kalau betul kela k dia akan mendatangkan kesulitan bagi
kita, kukira Taysu takkan me lepaskan dia pergi," demikian ucap Thi-
hujin, lalu dia menengadah melihat cuaca, katanya pula: "Anak Gi,
sebelum ajal bibimu ada pesan bahwa Bok-tan dan So-yok masing2
diberikan ga mbar peta, sebelum terang tanah seharusnya mereka
sudah kumpul di Hek-liong-ta m, tapi sa mpai sekarang masih belum
kelihatan bayangan mereka, mungkin di tengah jalan mereka
disergap musuh tangguh, bibimu a mat kuatir, maka kau disuruh
me mberi bantuan."
Ling Kun-gi me ngiakan.
"Tadi Han Janto bilang bahwa lorong2 rahasia dala m perut
gunung ini sudah banyak yang di pugar, kalau mereka bekerja
sesuai gambar peta yang diberikan bibimu, tanpa lawan turun
tangan dengan sendirinya mereka akan masuk perangkap dan
mene mui ajal, kukira Yong-lopek tahu liku2 jalan rahasia di sini,
pergilah kau bersa ma Yong-lopek, tolonglah dan kumpulkan dulu
kedua rom-bongan Pek-hoa-pang yang tercerai berai itu,"kata Thi-
hujin pula. "Dan ibu?" tanya Kun-gi, "engkau . . . . . . . "
"Ibu masih ada urusan lain, setelah kalian bertemu dengan
mereka dan berhasil me ngge mpur Ceng-liong dan Hwi liong tong,
bawalah Bok-tan dan So-yok ke Gak-koh bio mene mui aku."
Kembali Kun-gi mengia kan.
Berkata Thi-hujin kepada Yong King-tiong: "Yong Congkoan,
mohon pertolonganmu suka me mbantunya."
Lekas Yong King-tiong menjura, katanya: "Hujin ada urusan
boleh silakan, Losiu a kan me m-bantu Ling-kongcu menyelesaikan
urusan di sini."
Tak banyak bicara lagi Thi- hujin terus melejit jauh berlari
kencang bagai terbang.
'Ling-kongcu, tiba saatnya kitapun harus berangkat" ucap Yong
King tiong. "Dari sini keluar entah mana yang lebih dekat antara Ceng-liong-
tong dan Hwi-liong-tong?" kata Kun-gi.
"Sudah tentu Ceng liong-tong lebih de kat, Ceng-liong-tong
adalah seksi dalam, letaknya di sebelah kiri markas pusat, maka kita
harus ke Ceng-liong-tong menolong orang dulu baru nanti
dilanjutkan menuju ke Hwi liong-tong"
"Masih ada sebuah hal, ingin Wanpwe tanya kepada Yong-
lopek." "Soal apa ingin Kongcu tanyakan?"
"Ada dua teman wanpwe yang tertawan orang2 Hek-liong-hwe,
mereka dianggap orang Pek-hoa-pang, entah di mana sekarang
mereka disekap?"
"Beberapa hari yang lalu me mang pernah kudengar pihak Ceng-
liong-tong berhasil menawan beberapa orang laki-perempuan,
katanya orang Pek-hoa-pang, setiap tawanan yang digusur ke
gunung ini pasti disekap di markas pusat."
"Kalau begitu, marilah Yong-lope k antar aku pergi me nolong
orang saja."
"Ka mar tahanan tidak melulu di markas pusat saja, letaknya yang
tepat adalah di perut gunung sebelah belakang Ceng-liong-tong,
jalan menuju ke sana adalah daerah rawan yang juga dilewati
orang2 Pek-hoa pang, di sana pulalah mereka terjebak dala m
perangkap."
Sembari bicara tanpa terasa mereka sudah tiba pula di pinggir
Hek-liong-ta m.
"Yong-lopek, kita telah berada di Hek-liong-tam pula," ucap K
urngi. "Tiga seksi Hek-liong-hwe se muanya didirikan dala m perut
gunung, hanya Hek-liong-ta m yang letaknya di bagian luar, tapi di
sini dikelilingi dinding gunung yang mencakar langit, putus
hubungan dengan dunia luar, untuk ke luar sudah tentu kita harus
ke mbali ke sini," se mbari mengelus jenggot Yong King-tiong
mena mbahkan dengan tertawa: "Dan lagi, sekarang sudah ha mpir
lohor, marilah kita makan dulu, apalagi selain Siau-tho, Lo-siu masih
ada delapan pembantu, sudah sekian tahun mereka me layani Losiu,
setelah keluar dari sini mungkin Losiu takkan ke mbali lagi,
merekapun harus dibubarkan."
Di bawah petunjuk Yong King-tiong mereka menuju kearah barat,
tak la ma ke mudian ta mpak di bawah dinding cura m sebelah sana
terdapat sebuah lubang gua yang terhimpun dari tumpukan batu2
padas. Mulut gua amat besar, tingginya ada beberapa tombak,
karena di sini ada pancaran sinar mentari, maka keadaan tidak
begitu gelap, tepat di tengah gua terdapat dua baris meja batu dan
beberapa kursi, dinding di kanan kiri masing2 terdapat sebuah
pintu, Yong King tiong bawa Kun-gi masuk ke dala m gua lalu
berhenti, katanya kepada keempat jago pedang baju hita m: "Kalian
pergilah ma kan siang, la lu bebenah be kal kalian masing2, kumpul
lagi di sini, nanti ikut Losiu keluar."
Keempat jago pedang itu mengiakan terus mengundurkan diri.
"Marilah Ling-kongcu ikut Losiu," ajak Yong King-tiong. Dia
me langkah ke pintu sebelah kanan.
Kun-gi ikut di be lakangnya terus melangkah masuk, se mentara
Yong King-tiong mengeluarkan sebuah bumbung obor. "Cres", dia
nyalakan api dan menyulut obor itu. Jelas itulah sebulah lorong,
dinding kedua sisi ditatah rata dan licin, lebarnya hanya tiga kaki,
cukup untuk ja lan dua orang berjajar.
Langkah mere ka a mat cepat, tak la ma ke mu-dian tibalah di ujung
lorong. Yong King-tiong ma ju selangkah, ia mene kan sesuatu di
dinding, maka terbuka lah sebuah pintu. Begitu mereka melangkah
masuk, Siau-tho, pelayan baju hijau itu segera memapak maju,
katanya sambil me mbungkuk: "Cong-koan sudah ke mbali."
'Hidangan makan siang sudah kau siapkan belum' tanya Yong-
King-tiong. "Koki barusan sudah datang dan tanya apakah hidangan siang
perlu diantar sekarang" Karena Congkoan belum pulang, hamba
suruh mereka menunda sebentar."
"Baiklah, sekarang kau suruh koki siapkan pula beberapa maca m
hidangan dan arak, masih ada kerja la in yang akan kusuruh kau."
Siau-tho mengiakan terus me langkah keluar.
Yong King-tiong mende kati dinding, dia me mbuka sebuah pintu
dan beriring melangkah masuk. Ternyata mereka telah berada di
kamar rahasia dimana ke maren mala m mereka berbicara.
"Silakan duduk Kongcu," ucap Yong King tiong, "se mala m suntuk
kau tidak tidur, boleh silakan istirahat sebentar."
"Wanpwe tidak merasa letih," sahut Kun-gi. Mereka duduk
berhadapan menyandang meja kecil.
Tanya Yong King-tiong: "Bagaimana pengala man kau se mala m
waktu selulup ke dasar kola m dan masuk ke ka mar gua itu?"
"Me mang akan kulaporkan kepada pa man." ujar Kun-gi. La lu dia
bercerita ringkas je las pengala mannya di dasar kola m ibtu.
Yong-king-tiong mendengarkan dengan seksa ma, setelah Kun-gi
habis bercerita, baru dia manggut2 sambil menge lus jenggot,
katanya: "Syukurlah kalau sudah kau hancurkan, cita2 Losiu sela ma
ini sudah tercapai. Mengenai tiga ga mbar se madi itu, ke mungkinan
adalah penuntun dasar untuk meyakinkan ilmu pedang dengan jalan
semadi, kalau se mbilan jurus terdepan sudah Kongcu latih dengan
mahir, boleh kau lanjutkan dengan ajaran semadi yang terukir di
dinding itu."
"Pendapat paman me mang betul."
Tengah bicara pintu ke mbali terbuka, Siau-tho melangkah masuk
sambil me mbawa tenong, dia taruh arak dan piring mangkok yang
berisi ber-maca m2 hidangan di atas meja, lalu katanya sambil
me mbungkuk: "Congkoan dan Kongcu silakan ma kan bersa ma."
"Di sini tidak perlu pelayananan lagi, kaupun pergi makan,
setelah itu suruh orang di dapur me mbenahi beka l masing2 dan
kumpul di depan, nanti ikut Losiu pergi."
Siau-thomelenggong,
tanyanya: "Congkoan hendak meninggalkan te mpat ini?"
"Jangan banyak tanya, semua orang akan pergi, kaupun lekas
bebenah, dengarkan pesan Losiu selanjutnya."
Dengan terbelalak heran sesaat Siau-tho menatap Yong King
tiong, akhirnya dia menunduk sa mbil mengiakan dan mengundurkan
diri. "Marilah Ling-kongcu, tidak usah sungkan, lekas kita makan
seadanya."
Masih banyak urusan yang harus dikerjakan, ma ka Kun-gi tidak
sungkan2 lagi, segera mereka makan sekenyangnya. Siau-tho
tampak me langkah masuk pula, me mbawa dua cangkir teh wangi
serta hendak mengangkuti piring mangkok.
"Siau-tho," kata Yong King-t iong setelah meneguk secangkir teh,
"tidak usah diangkuti lagi, pergilah kau bebenah barang2mu saja,
kita akan segera berangkat."
"Kecuali beberapa perangkat pakaian, hamba tidak punya bekal
apa2 lagi," sahut Siau-tho.
"Baiklah mari kita berangkat," ajak Yong King- t iong.
Siau-tho berlari keluar, cepat sekali dia sudah berlari datang pula
dengan menjinjing sebuah buntalan kecil, dipinggang masih
menyoreng sebatang pedang.
Yong King-t iong mendahului berdiri, katanya: "Mari berangkat
Ling-kongcu."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kun-gi ikut berdiri, bertiga mereka keluar dari ka mar rahasia itu,
Yong King-tiong menoleh dengan perasaan berat, katanya lirih:
"Sejak umur likuran tahun Losiu atas perintah perguruan
mendharma-bakt ikan diri di He k-liong-hwe. Empat puluh tahun
la manya tinggal di sini, kini harus pergi takkan ke mbali lagi, hati
merasa a mat berat sekali."
Lalu dia mendahului melangkah keluar menuju ke lorong panjang
sana, kembali ke ka mar batu di bagian luar gua, kee mpat jago
pedang bersama lima laki2 dan dua perempuan tua yang biasa kerja
di dapur sudah lama menunggu dengan menyandang buntalan
masing2. Melihat Congkoan datang sere mpak mereka berdiri.
Yong King-tiong me mbuka pintu sebelah kiri, dari dala mnya dia
menyeret keluar seonggok uang perak terus dibagikan kepada orang
banyak, setiap orang kebagian dua ratus tahil perak, katanya
ke mudian: "Ka lian boleh pergi dan carilah nafkah secara halal,
sekedar pesangon ini boleh buat modal dagang atau untuk usaha
lain, selanjutnya jangan singgung soal He k-liong-hwe." La lu dia
berpesan pula: "Loh Jongi, kau harus mengawal mereka keluar,
pergilah ke Ga k-koh-bio menunggu Losiu di sana."
Salah seorang jago pedang baju hitam mengiakan sa mbil
menjura. Tiba2 Siau-tho maju menjatuhkan diri berlutut, katanya
sambil menye mbah: "Cong-koan yang terhormat, sejak kecil ha mba
dibawa ke mari, entah di mana ayah bundaku se karang, tiada
tempat yang kutuju dan tiada sanak kadang yang bisa kupercaya
biarlah ha mba menda mpingi Cong-koan saja, mohon Congkoan
menaruh belas kasihan, jangan suruh ha mba pergi."
Yong King-tiong menjadi kasihan melihat gadis re maja ini
bercucuran air matanya, katanya: "Lohu akan meninggalkan te mpat
ini, selanjutnya kalian tak usah pangil Congkoan kepadaku, apalagi
kerajaan tidak akan me mbiarkan Lohu, mana boleh kau ikut Lohu
mene mpuh bahaya, akan lebih baik ..."
"Setelah meningga lkan te mpat ini, ha mba akan pandang engkau
sebagai kakek, tolong engkau menerimaku sebagi cucu saja."
Demikian ratap Siau-tho dengan sesenggukan.
Me mang Siau-tho tidak punya sanak kadang, gadis sebatangkara
bagaimana bisa hidup di masyarakat luas yang banyak godaan,
maka Yong King-tiong lantas mengulap tangan kepada Loh Jonggi,
katanya: "Baiklah, kau bawa mere ka pergi lebih dulu."
Loh Jonggi mengia kan, ia pimpin orang banyak keluar dari pintu
sebelah kiri. Bahwa Yong King-tiong menerima permohonannya, keruan Siau-
tho kegirangan, berulang kali dia menyembah pula baru berdiri ke
pinggir. "Phoa Sib-bu, Go Nui-cu, Kik Su-hou boleh ikut lohu, di jalan
peduli siapapun kalau tiada pesan lohu, kularang kalian turun
tangan," kata Yong King-tiong pada sisa ketiga jago pedang uang
masih tingga l.
Tiga jago pedang yang masih berdiri di pojok sana me ngiakan
bersama. "Silahkan Ling-kongcu," kata Yong-t iong lebih lanjut, lalu dia
mendahului menunjuk jalan. Ke mba li mere ka berada di lorong2
panjang yang gelap, cuman lorong di sini cukup luas, rata dan
bersih, jelas lorong ini me njurus ke Ceng-liong-tong.
Yong King-tiong di depan, Kun-gi mengikut di belakangnya, Siau-
tho dan tiga jago pedang baju hitam berada di belakang Kun-gi,
tiada seorangpun yang buka suara, hanya derap langkah mereka
ber-lari kecil saja yang terdengar.
Kira2 setengah li baru lorong ini berakhir, mendadak langkah
Yong King-tiong diperla mbat, lalu berhenti di bawah dinding, ia
menekan pada sebuah sasaran di dinding, la lu terdengar suara
gemuruh terbukalah sebuah pintu di tengah dinding.
Yong King-t iong mendahului melangkah masuk dengan kedua
tangan melintang di depan dada, hanya beberapa langkah saja lalu
dia berhenti. Me mbiarkan Kun-gi, Siau-tho dan ketiga jago pedang sa ma
masuk, lalu dia mene kan pula ke dinding dua kali, pintu batu pelan2
menutup rapat pula. Mendadak dia ayun telapak tangan terus
menghanta m keras2 ke te mpat yang ditekannya tadi. Maka
terdengar suara keras bergema, begitu keras getaran yang
terjangkit akibat pukulan itu sehingga debu beterbangan dari atap
lorong. "Alat rahasia pintu2 lorong yang mene mbus ke Hek-liong-tam
telah lohu rusak, selanjutnya takkan bisa dibuka lagi," de mikian kata
Yong King-tiong dengan nada rawan, lalu dia beranjak mende kati
dinding sebelah kanan, pelan2 mene mpe lkan kuping ke dinding
seperti mendengarkan apa2 sekian la ma, selanjutnya dia pindah ke
dinding sebelah kiri, mene mpelkan kuping pula mendengarkan
dengan seksa ma.
Melihat tinda k-tanduk orang, Kun-gi maklum apa artinya, apalagi
sepanjang perjalanan dan pengalamannya selama di lorong2 ge lap
itu mena mbah pengetahuannya, dia menduga pada dinding di
kanan kiri ini pasti terpasang pintu rahasia.
Setelah mendengarkan se kian la ma, mendadak Yong King-tiong
mengetuk kaki dinding sebe lah kiri dengan tungkak kakinya, pelan2
tangan kananpun mendorong ke depan. Tempat di mana dia berada
ternyata betul, adalah sebuah pintu rahasia, didorong pelan2 pintu
batu yang tebal berat itupun terbuka.
"Tunggu sebentar Ling-kongcu," ucap Yong King-tiong, "pintu ini berputar bolak-balik, setelah lohu masuk ke sana baru boleh
mendorongnya pula" Habis bicara dia terus me langkah ke sana,
pintu itupun terbalik dan menutup rapat.
Menuruti pesan orang, Kun-gi mendorong pintu serta melangkah
ke sana, demikian yang lain2 satu persatu meniru orang yang
duluan. Di balik pintu sudah tentu merupakan lorong panjang pula.
Cuma lorong di sini jauh lebih se mpit, sama2 gelap gulita pula.
Dengan tangan kiri mengangkat tinggi obor, tangan kanan
me lindungi dada, Yong King-tiong berpaling dan berkata lirih:
"Te mpat ini sudah masuk daerah Ceng-liong-tong yang terlarang,
banyak dipasang perangkap, keadaan sebenarnya Losiu tidak begitu
jelas, maju lebih lanjut lagi setiap saat menghadapi sergapan.
Kongcu gengga m saja Le liong-cu, supaya cahaya mutiara itu tida k
terlihat oleh orang lain, lebih baik kau menghunus pedang juga,
supaya tidak menimbulkan suara."
Melihat orang berpesan dengan nada serius, pelan2 Kun-gi
keluarkan pedang serta menanggalkan mutiara dan di gengga m di
tangannya, karena lorong di sini se mpit, Ih-thiankia m terlalu
panjang, maka dia me ma kai pedang pandak.
Sedang Siau-tho dan ketiga jago pedang juga menyiapkan
pedang masing2. Bukan saja gelap gulita, lorong yang sempit dan
panjang inipun terasa sunyi lenggang. Suara pedang terlolos dari
serangka mereka menimbulkan pantulan ge ma yang cukup keras
juga. Maka terdengar sebuah bentakan keras berkumandang dari
arah depan: "Siapa di sana?"
"Lohu", seru Yong King-tiong, suaranya kereng dan berat,
sehingga menimbulkan pantulan suara yang bergema mendengung.
Maka teguran orang di depan tidak bersuara lagi.
Tanpa me mada mkan obor, Yong King-tiong berpaling, katanya:
"Mari ikut aku."
Cepat sekali langkah mereka, kira2 sebidikan panah jauhnya,
mendadak terdengar pula bentakan lebih keras: "Siapa yang
datang" Hayo berhenti!" Ta mpak selarik sinar api dengan
menge luarkan deru angin kencang me luncur tiba. "Blup", api itu
jatuh di depan kaki Yong King tiong, seketika meledak dan apipun
berkobar. Itulah panah buatan khusus, nyala api a mat keras dan besar
sehingga jalan lorong selebar tiga kaki terbendung oleh kobaran api.
Belum api pada m, dari arah depan muncul seorang berpaka ian
hijau, tanyanya: "Siapa kalian?"
Terpaksa Yong King-t iong berhenti, dengusnya: "Memangnya
Tang-heng sudah t idak kenal lagi pada Lohu?"
Si baju hitam me lenggong, serunya: "Apakah Yong-congkoan
yang datang?" Di bawah cahaya api, jarak dalam tiga tombak cukup
terang, tapi karena teraling asap tebal sehingga sukar melihat jelas
orang di seberang.
"Betul, inilah Lohu," kata Yong King-tiong.
Mendengar yang datang betul Yong King-tiong, pejabat Hek-
liong-ta m Congkoan, kedudukannya sejajar dengan para Tongcu
yang mengetuai setiap seksi, sudah tentu orang itu tidak berani
ayal, lekas dia merangkap tangan menjura, katanya: "Ham-ba tida k
tahu akan kedatangan Yong-congkoan, harap dimaafkan kelala ian
ini." Habis kata2nya, kembali terdengar suara "Blub", api yanrg masih berkobar besar itu seketika pada m, asap juga sirna seketika.
Yong King-tiong me muji di dala m hati: "Peralatan senjata api
orang ini me mang lihay."
Dia m2 iapun heran, batinnya: "Setelah mengundurkan diri dari
Say-cu-kau, Cui Kinin sudah berangkat setengah ja m lebih dulu,
seharusnya dia sudah menyampa ikan perintah untuk berjaga lebih
ketat, tapi dari nada Tang Kim-seng, agaknya dia belum tahu ka lau
aku sudah berontak?" Sembari me mbatin segera ia melangkah
maju, katanya: "Apakah Tang-heng berdinas di daerah ini?"
"Ha mba diperintahkan me mbantu Nyo-heng di sini."
"Di mana Nyo Ci-ko se karang"' tanya Yong King t iong.
"Ha mba bertugas jaga pintu ini, Nyo-heng ada di dala m."
Dengan kale m Yong King-tiong mengha mpiri dan berhenti di
depan orang, katanya: "Lohu mendapat perintah kemari untuk
me mbe kuk orang, entah siapa saja yang terperangkap di dala m
sana" "Jumlahnya tidak banyak, tapi Kungfu mereka rata2 tinggi,
agaknya ada Pangcu Pek-hoa-pang, cuma sekarang kita hanya
berhasil mengurung mere ka, belum bisa me mbe kuknya hidup2."
"Baiklah, biar Lohu periksa di dala m," kata Yong King-tiong.
Terunjuk mimik serba salah pada muka Tang Kim-seng, katanya:
"Ha mba mendapat kuasa dari Cui-congka m (komisaris besar) untuk
me larang keras, siapapun tida k boleh masuk kecua li me mbawa
medali e mas, Yong-congkoan . . . . "'
Tanpa menunggu orang bicara habis, Yong King-tiong lantas
menukas: "Cui-tongcu suruh a ku ke mari me mbekuk musuh, sudah
tentu me mberikan meda li kebesarannya" Nah, lihatlah yang jelas
Tang-heng', tangan kanan segera diangsurkan ke muka orang.
Tak pernah terpikir oieh Tang Kim-seng bahwa orang akan
bertindak mendadak, sambil mengiakan segera ia hendak
menerima. Ta k terduga tangan yang disodorkan ke depan tahu2
terpegang pergelangan tangannya, kelima jari Yong King-tiong telah
menjepit sekeras tangga m, keruan ia berjingkrak kaget, serunya
bingung: "Yong-congkoan . . . . ?"
Yong King-t iong tahu orang ini mahir menggunakan berbagai alat
rahasia yang serba berapi, lihaynya bukan main, begitu berhasil
pegang urat nadi orang, segera dia kerahkan tenaga pada lima
jarinya, katanya sambil tertawa ejek: "Tang-heng tidak usah banyak
bicara, ikuti saja kehendakku." Lalu dia me langkah ke depan.
Karena pergelangan tangan kanan terpegang, badan Tang Kim-
seng menjadi le mas, sudah tentu tak mampu meronta lagi, terpaksa
ia ikuti saja kehendak orang, katanya: "Yong-congkoan, lepaskan
peganganmu, ha mba a kan menunjukkan jalan bagimu."
"Tang Kim-seng," jengek Yok King-tiong, "jangan kau kira Lohu gampang dipedayai, kau dan Nyo Ci-ko adalah ana k buah Cui Kinin
yang diutus kerajaan sebagai cakar alap2 di sini, hayolah ikut i
perintah Lohu, jiwamu masih dapat kuampuni." Sa mbil bicara
mereka sudah tiba di depan sebuah dinding.
Yong King-tiong bertanya: "Di balik pintu ini apakah ada orang2
Ceng-liong-tong yang jaga?"
"Sebelum terang tanah ha mba baru bertugas di sini dan ada
perintah jika ada orang menerjang keluar, siapapun harus dibunuh
tanpa perkara, tentang keadaan di dala m, sungguh ha mba tida k
tahu apa2."
"Kau bicara sejujurnya?" Yong King-tiong me negas.
"Setiap patah kuucapkan dengan sejujurnya," sahut Tang Kim-
seng. "Baik, Ling-kongcu, tolong kau tutuk Ah-bunhiat dan Hong-
bwehiatnya," pinta Yong King-tiong. Ah-bunhiat bikin orang bisu
sementara, Hong-hwehiat bikin kedua lengan se mentara lumpuh tak
bertenaga.. "Congkoan. . . . . . " teriak Tang Kim-seng kaget. Belum selesai
dia bicara beruntun Kun-gi sudah menutuk Hiat-tonya.
Kini Yong King-tiong berani me lepaskan pegangan tangannya, ia
menekan sebuah tombol, segera terdengar suara gemuruh dinding,
dan lantai lorong terasa bergetar, pelan2 terbuka sebuah lubang
pintu di dinding.
Dengan penerangan obor Yong King-tiong menuding ke depan,
bentaknya: 'Tang Kim-seng, kau di depan tunjukkan ja lannya."
Karena Hiat-to tertutuk, tangan tak mampu bergerak dan mulut
tak dapat bicara, sudah tentu Tang Kim-seng t idak berani
bertingkah, terpaksa dia melangkah masuk ke balik pintu. Maklum
meski beberapa hiat-to tertutuk, tapi ilmu silatnya belum punah
seluruhnya, kedua kaki masih dapat berjalan dengan langkah lebar
dan cepat. Semula dia masih berjalan dengan baik, tapi begitu t iba
di balik pintu, langkahnya segera dipercepat, seperti serigala yang
lepas dari kurungan, secepat anak panah dia melesat sejauh dua
tombak. Melihat orang mendada k lari, Yong King-tiong hanya mendengus,
baru saja dia angkat tangan hendak menyusul dari kejauhan Tang
Kim-seng yang sudah sejauh dua tombak itu tiba2 berkelebat ke
tempat gelap, tiga bintik seperti kunang2 mendadak meluncur tiba
menerjang Yong King-tiong dengan formasi segi tiga.
Sudah la ma Yong King-tiong tahu bahwa senjata rahasia berapi
Tang Kim-seng me mang lihay, maka dia suruh Ling Kun-gi menutuk
Hong-hwehiat supaya kedua tangannya tak dapat bergerak,
sungguh tak pernah terpikir bahwa tanpa menggunakan tangan
orangpun dapat menimpukkan senjata rahasia.
Melihat tiga bintik sinar me lesat tiba, ia tak berani
menya mbutnya, sembari me mbentak keras, tangan yang sudah
terayun dia tepuk ke depan. Ke tiga bintik sinar dingin seketika
tersampuk pergi dan "Ting, tring, tring." semuanya terpental balik me mukul dinding, menyusul suara itu terdengar pula tiga kali
ledakan le mah, berha mburlah ke mbang api dan asap tebal yang
menyala di dinding.
Mencelos juga hati Yong King-tiong me lihat kehebatan senjata
rahasia berapi Tang Kim-seng, kalau terkena badan orang tentu
akan terbakar mampus. Karena sedikit gangguan ini bayangan Tang
Kim-sengpun sudah lenyap entah ke mana.
Terpaksa Yong King-tiong hanya angkat pundak saja, setelah
orang banyak masuk ke lorong di balik pintu baru dia berpesan
dengan suara lirih: "Setelah kita masuk ke pintu ini, apalagi keparat
she Tang itu sempat lolos, keadaan selanjutnya pasti amat
berbahaya, sembarang waktu mungkin menghadapi sergapan serta
berhantam sengit dengan musuh, maka ka lian harus lebih waspada,
lebih baik setiap orang menga mbil jarak tertentu, supaya bebas
bergerak."
"Kekuatiran pa man me mang beralasan," Kun-gi menyokong
pendapatnya. Dengan mengacungkan obor Yong King-tiong lantas melangkah
ke depan, sebelah tangannya melintang menjaga dada, mata kuping
di jaga seksa ma me meriksa keadaan sebelah depan. Tak la ma
ke mu-dian, tiba2 terdengar suara hardikan orang, disusul suara


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerungan tertahan, suara gerungan itu seperti suara seorang yang
tenggorokannya tersumbat sehingga susah bersuara.
"Keparat she Tang itu agaknya mengbadapi musuh," kata Kun-gi.
"Betul," sahut Yong King-t iong mengangguk.
Beberapa langkah pula mereka maju, mendadak terdengar
bentakan keras dari lorong depan sana: "Yang merintangi aku
ma mpus!" Berbareng sesosok bayangan orang menerjang datang.
Dengan mengangkat tinggi obornya Yong King-tiong me mapak
maju mengadang di tengah ja lan, bentaknya: "Berhenti!"
Tapi gerak terjangan orang itu amat cepat, baru Yong King-tiong
me langkah setindak me ngadang di tengah lorong, orang itupun
sudah menerjang tiba di depannya, kedua pihak jadi sa ling papak.
Melihat ada orang mengadang jalan, orang itupun me mbentak
bengis: "Minggir!" Tanpa tanya siapa di depannya, jari tangannya
terus menutuk. Di bawah penerangan, obor Yong King-tiong me lihat jari lawan
berwarna merah me nyolok, itulah Hiat-ing-ci (jari bayangan darah).
Sambil tertawa dingin Yong King-tiong menyambut serangan
orang sambil me mbentak: "Siapa kau, kenapa ma in serang?" .
Tutukan jari yang merah mengeluarkan desis angin kencang
seketika bentrok dengan pukulan yang mengeluarkran da mparan
angtin pula. Mulut qpenerjang itu mrasih terus mengoceh: "Yang
merintangi aku ma mpus!?" Tapi badannya terpental mundur t iga
langkah oleh benturan angin keras tadi.
Jarak Kun-gi dengan Yong King-t iong ada beberapa kaki, begitu
mendengar bentakan kedua pi-hak, le kas dia me mburu maju;
teriaknya: "Kendurkan pukulanmu pa man Yong, dia orang Pe k-hoa-
pang." Begitu berdiri tegak pula orang itu lantas me mbentak lagi sa mbil
menerjang ma ju.
Mendengar oraug ini ada lah anggota Pek-hoa-pang, Yong King-
tiong bersuara tertahan dan menyingir ke sa mping. Sementara Kun-
gi sudah melompat maju mengadang di depan orang itu, teri-aknya:
"Liang-heng, lekas berhenti!". Ternyata orang ini adalah Hiat-ing-ci Liang Ih-jun.
Tampak pakaiannya sudah koyak2, badannya terluka puluhan
goresan pedang, kedua bola matanya merah mendelik, seperti tidak
kenal Ling Kun-gi lagi, mulutnya menghardik: "Yang merintangi aku
ma mpus!" Jari tengah disurung ke depan, secepat kilat jari yang
berwarna merah itu menutuk ke muka Kun-gi.
Baru sekarang Yong King-tiong kaget, serunya cepat: "Orang ini
sudah kehilangan ingatan, awas Ling-kongcu."
Ling Kun-gi me ngegos ke sa mping, sebat sekali tangannya
menangkap pergelangan tangan Liang ih-jun, berbareng ia berkisar
me mutar ke belakang orang, sementara jari tangan kanannya
menutuk ke Ling- tai hiat Liang lh-jun. tiga gerakan dia la ksanakan
sekaligus, bukan saja lincah dan gesit juga amat me mpesona,
keruan Yong King-tiong bersorak me muji.
Terpentang mulut Liang Ih-jun me muntahkan sekumur darah,
pelan2 badannya menjadi le mas terus mendeprok duduk di tanah,
kedua matanya terangkat dan jelilalan me ngawasi Ling Kun-gi
sekian la manya, mendadak ta mpak secercah sinar jernih pada sorot
matanya, mulutpun berteriak gi-rang: "Cong-coh . . . . " agaknya dia hendak meronta bangun.
Lekas Kun-gi menahan punda kmya, katanya: "Liang-heng terlalu
capai, setelah mengala mi perte mpuran sengit dan la ma, kini kau
lekas himpun tenaga dan pusatkan hawa murni, jangan bicara lagi."
Tapi Liang Ih- jun masih me maksa bicara dengan tersendat:
"Pangcu . . . . mereka . . . . terkurung di dala m . . . . alat2 rahasia .
. . disini a mat berbahaya."
Kun-gi mengangguk, bujuknya: "Liang-heng tak usah banyak
bicara, keadaan di sini sudah kuketahui."
Liang Ih jun tahu bahwa luka2nya a mat parah, kini setelah
bertemu dengan Ling Kun-gi, hatipun merasa lega, maka dia tida k
banyak bicara lagi, ia duduk bersemedi me mulihkan kesehatan
badan. Yong King tiong me noleh kepada kedua jago pedangnya, dan
me mberi pesan supaya mereka berjaga disini melindungi Liang Ih-
jun, jadi tidak usah ikut maju lebih lanjut. Kedua jago pedang itu
mengiakan. 'Marilah Ling kongcu," ajak Yong King-t iong.
"Paman Yong," ujar Kun-gi, "maju lebih lanjut ke mungkinan akan bersua dengan orang2 Pek-hoa-pang, biarlah wanpwe yang berjalan
di depan supaya tidak terjadi salah paha m."
"Begitupun baik," ucap Yong King-tiong sambil menge lus jenggot,
"tadi kalau aku tidak tahu cara memecahkan Hiat-ing-ci, hampir saja
aku jadi korban."
Tanpa banyak bicara Kun-gi lantas berjalan mendahului, tempat
itu kebetulan berada di belokan, beruntun me mbelok dua ka li,
beberapa tombak ke mudian terdengarlah suara keresek lirih di
sebelah depan. Padahal dalam lorong gelap gulita, tapi karena Kun-
gi pegang Leliong-cu, musuh di te mpat gelap pihak sendiri di te mpat
terang, jadi lebih jelas dan mudah disergap, maka untuk maju lebih
lanjut sudah tentu harus lebih hati2. Mendengar suara keresekan
itu, Kun-gi bertambah waspada lagi, tapi begitu dia pasang kuping
mendengarkan, suara itupun lenyap.
Berkepandaian tinggi nyali Kun-gi pun besar, langkahnya tidak
berhenti, sekejap saja dia sudah tiba di tempat suara keresekan
tadi. Dalam keadaan gelap pancaran sinar Leliong-cu dapat
mencapai tiga tomba k, waktu diba pandang ke dedpan, dilihatnyaa
di sebelah depban ada dinding yang mengadang. Di sebelah kiri
mepet dinding ada bayangan seorang berdiri tegak. Orang ini
berpakaian ketat warna hijau, dari kejauhan Kun-gi sudah melihat
dan mengenali bahwa orang itu berseragam Hou-hoat Pek-hoa-
pang. Maka ia lantas bersuara lantang: "Aku Ling Kun-gi; entah
siapa di depan?"
Sambil berdiri mepet dinding, orang itu tidak hiraukan seruan
Kun-gi, tetap berdiri tak bergeming seperti tida k mendengar dan
me lihat. Waktu bersuara, Kun-gi sudah maju lebih de kat, dalam jarak dua
tombak dia sudah melihat jelas wajah orang itu, dan bukan lain
adalah Yap Kay-sian yang serombongan dengan Pek-hoa-pangcu
Bok-tan, bersama Liang Ih-jun kedua orang ini bertugas melindungi
Pangcu. Tampak mukanya pucat seperti kertas, kedua mata.
terpejam, mepet dinding seperti kehabisan tenaga. Dilihat dari
pakaiannya yang koyak2 disana-sini, sekujur badan berlepotan
darah, paling sedikit ada puluhan luka di badannya, jelas barusan
telah mengala mi pertempuran dahsyat, luka2nya amat parah dan
kini tengah menghimpun tenaga dan me mulihkan se mangat.
Dia m2 Kun-gi kaget dan kuatir, dengan bekal kepandaian Liang
Ih-jun dan Yap Kay-sian yang merupa kan jago2 ke las utama, tapi
kedua orang itu mengala mi luka parah dengan puluhan luka, kalau
tidak kebentur jago ahli pedang, terang mereka baru lolos dari suatu
barisan pedang yang lihay. Maka cepat2 Kun-gi me mburu maju dan
berteriak: "Bagaima na luka mu, Yap-heng . . . . "
Mendadak dilihatnya dua gulung sinar terang meleset keluar dari
bawah ketiak Yap Kay-sian, meluncur ke arah dirinya. Waktu
me lesat keluar kedua gulung sinar itu hanya sebesar kacang, tapi
setelah mencapai satu tomba k bertambah terang dan me mbesar
nyala apinya juga berubah biru terang.
Pandangan Kun-gi taja m luar biasa, sekilas pandang dia sudah
me lihat kedua gulung sinar biru ini ternyata adalah puluhan batang
Bwehoa-cia m warna biru, pada setiap ekor jarum me mbawa
percikan api yang menyala terang.
Pada detik2 genting itu, Yong King-tiong berseru gugup di
belakang: "Awas Ling-kongcu, itulah Ceng-ling-cia m milik Tang Kim-
seng, bila menyentuh benda lantas menyala."
Tapi Kun-gi bergerak lebih cepat dari pada peringatannya, tangan
me mba lik pedang pandak se ketika menaburkan jaring cahaya hijau
di depan badannya.
Dua rumpun Ceng-ling-cia m menyamber datang bagai kilat itu,
begitu menyentuh cahaya hijau la ksana bunga salju yang
beterbangan tertimpa sinar matahari, seketika rontok berjatuhan.
Nyala api di ekor jarumpun seketika sirna tak berbekas.
Ternyata setiap rumpun Ceng-ling-cia m Tang Kim-seng ini
berjumlah tiga puluh ena m batang dengan kedua tangan menyambit
bersama, dua rumpun berarti berjumlah tujuh puluh dua, jika seba-
tang di antaranya mengenai tubuh manusia, api akan segera
berkobar, malah api yang ada pada ekor ja-rum ini sudah dibikin
sedemikian rupa dengan obat beracun, bila sudah nyala, sebelum
habis terbakar api tidak akan pada m.
Tapi kali ini tujuh puluh dua batang Ceng-ling-cia m se luruhnya
kena ditabas kutung oleh ketaja man pedang Ling Kun-gi, ma lah
tepat kena ekor jarumnya, betapapun buas dan besar daya nyala
api beracun ini, sekali tersampuk oleh hawa dingin pedang pusaka
Ling Kun-gi se ketika pada m sendirinya.
Dala m waktu sedetik itulah Ling Kun-gi sudah melihat jelas
bahwa di belakang Yap Kay-sian ada bersembunyi seorang, jelas
orang yang sembunyi ini adalah Tang Kim- seng. .Agaknya Yap Kay-
sian terluka parah, maka dengan mudah dia tertawan oleh Tang
Kim-seng, oleh karena itulah seruannya tadi tidak terjawab.
Mengingat jiwa te man terancam bahaya, mendadak Kun-gi
menghardik sekali, jari tengahnya teracung terus menutuk ke arah
Yap Kay-sian dari kejauhan. Hardikannya itu ditekan keluar dengan
Lwekang, suaranya bagai halilintar menggelegar sampa i Tang Kim-
seng merasakan kupingnya pekak mendengung, sudah tentu
jantungnya serasa hampir me lonjak ke luar. Pada saat itulah
didengarnya pula sejalur angin tutukan mendesis kencang dan
"Crat" mengenai dinding batu di belakang telinga kanannya, batu
seketika muncrat beterbangan, terasa belakang kepalanya sakit
pedas. Ling Kun-gi me mang sengaja mengincar tempat yang miring,
kalau tidak jiwa Yap Kay-sian sendiripun bakarl terancam. Tapi
gertakannya ini justeru bikin Tang Kim-seng kaget bukan ma in, tak
pernah diduganya bahwa pe muda di depannya ini me miliki
kepandaian dan Lwekang setangguh ini.
Walau dalam wa ktu singkat ini dia berhasil me mbuka tiga Hiat-to
yang ditutuk Ling Kun-gi tadi, tapi dika la me larikan diri tadi dala m
lorong kesa mplok dengan Liang Ih-jun, tanpa sengaja dia diluka i
oleh Hiat-ing-ci Liang Ih-jun, maka sekarang dia merasa perlu
menggunakan Yap Kay-sian sebagai tameng untuk menyela matkan
diri, malah dia me mbokong dengan Ceng-ling-ca m yang keji.
Kini mendengar hardikan Ling Kun-gi sekeras halilintar, kepala
menjadi pusing, mata ber-kunang2, ditambah angin tutukan yang
menyakit kan belakang kepalanya, karena sakit dia menjadi nekat
serta ber-teriak: "Rasakan ini!" Tenaga dia sudah kerahkan pada
dua lengan, tahu2 Yap Kay-sian dia angkat terus dilempar ke arah
Ling Kun-gi, berbareng dia lantas mengegos ke sa mping dan baru
saja kedua tangan bergerak hendak menimpuk ... . .. ."
Melihat Tang Kim-seng betul2 terjebak oleh tipu dayanya, Yap
Kay-sian dile mparnya, sementara lawan lantas mengegos ke pinggir,
keruan hatinya senang, dengan tangan kiri Kun-gi menahan ke
depan menyambut badan Yap-Kay-sian yang melayang datang,
tangan kanan menyusul menepuk sekali, segulung angin pukuian
segera menerjang ke arah Tong Kim-seng.
Kejadian ini berlangsung singkat dan cepat, Tang Kim-seng baru
mengegos ke pinggir dan hendak menggerakkan kedua tangan,
mendadak dirasakan segulung tenaga keras menerjang dirinya, tadi
ia sudah merasakan kelihayan tutukan jari Ling Kun-gi, sudah tentu
menghadapi gelombang pukulan orang dia sekali2 tak berani
manya mbutnya dengan keras, tak sempat lagi dia keluarkan senjata
apinya dia berkisar ke sebelah kanan terus menyurut mundur.
Sementara itu tangan kiri Kun-gi sudah ber-hasil menyambut
badan Yap Kay-sian, tapi begitu dia menyambut badan Yap Kay-
sian, Kun-gi tertegun, seketika itu pula hawa amarahnya berkobar.
Ternyata badan Yap Kay-sian yang disambutnya itu sudah dingin
kaku, hanya sesosok mayat belaka.
Biarpun Ling Kun-gi tidak berniat menjadi Cong-houhoat Pek-
hoa-pang, tapi dia pernah bekerja dan menduduki jabatan itu, Yap
Kay-sian adalah Hou-hoat Pek-hoa-pang, jelek2 anak buahnya.
Bukan saja soal dinas, persahabatan mereka sudah terjalin dengan
baik dan akrab, adalah pantas dan menjadi kewajibannya untuk
menuntut ba las ke matian Yap Kay-sian.
Sekejap itu mata Ling Kun-gi mendadak mencorong terang,
tangan kiripun dia tarik mundur terus diangkat tinggi lurus ke atas
kepala, lalu pelan2 bergerak menurun lalu didorong ke depa m.
Tang Kim-seng yang me ngegos tadi berhasil menghindarkan diri
dari pukulan Ling Kun-gi, serentak dia ayun kedua tangan, dari
bawah lengan bajunya tiba2 me lesat keluar puluhan jalur sinar
perak. Itulah tiga belas batang anak panah pendek warna putih perak,
kelihatannya seperti rantai perak, secara beruntun meluncur ke luar
dari lengan bajunya, daya luncurnya keras sekali, tapi belum
seberapa jauh luncurannya mendadak berubah la m-ban. Setelah
yang di depan menjadi la mban, yang di belakang menyusul, tiba
juga ikut bergerak lamban. Maka tiga belas batang anak panah
pendek itu kini berjajar menjadi satu baris berhenti di udara, seperti
kebentur oleh sesuatu dan tak ma mpu maju lagi. .
Rupanya ketiga belas batang anak panah itu terbendung oleh
tenaga pukulan Mo-ni-in yang di-lancarkan Ling Kun-gi, tenaga yang
tidak kelihatan tahu2 menindih tiba bagai gugur gunung dahsyatnya
mendadak ketiga belas anak panah Ginling-cian itu me mutar balik
terus meluncur ke mba li menyerang Tang Kim-seng malah. Kekuatan
atau daya bakar Cinling-cian berpuluh kali lebih besar dari Ceng-ling
cia m, sudah tentu panah perak berapi inipun bisa menimbulkan
daya bakar yang luar biasa.
Melihat Ginling-sian mene mui rintangan dan tak ma mpu melukai
musuh, Tang Kim-seng sudah merasakan gelagat jele k, kini melihat
senjata putar balik hendak ma kan tuannya, keruan ia se makin
gugup, dia hendak berkelit, namun tidak se mpat lagi, dengan
menjerit keras ia roboh ke bela kang.
Waktu pukulannya berhasil menghantam ma mpus Tang Kim-
seng, sementara tangan kiri Ling Kun-gi sudah menurunkan jenazah
Yap Kay-sian, sesaat lamanya dia periksa dengan seksama, ternyata
sekujur badan Yap Kay-sian terdapat delapan belas goresan luka
pedang, luka2 tabasan yang paling berat dan menyebabkan
ke matiannya terletak pada pinggang kanannya, begitu dalam
tabasan pedang di sini sehingga mencapai lima dim. Dari sini dapat
dibuktikan bahwa Yap Kay-sign sebetulnya tidak mati di tangan
Tang Kim-seng, tapi Tang Kim-seng adalah cakar alap2 kerajaan
dengan senjata rahasia jahat yang berapi, manusia jahat seperti ini
me mang pantas mene mui ajalnya oleh senjata keji sendiri.
Yong King-tiong maju mendekat, katanya setelah memeriksa
jenasah Yap Kay-sian: "Apakah dia juga orang Pe k-hoa-pang?"
Dengan prihatin Kun-gi menjawab: "Dia bernama Yap Kay-sian
ialah seorang Houhoat Pek-hoa-pang, ilmu silatnya cukup tinggi,
tapi hampir pada saat yang sama sekujur badannya terkena tabasan
pedang, menurut luka2nya ini dapatlah diketahui kalau ilmu pedang
lawannya itu sangat cepat, telak dan kuat, kukira masih jauh lebih
unggul di-bandingkan Cap-coat-kia m-tin, paling sedikit ada delapan
belas jago pedang ke las tinggi sekaligus mengeroyok dan
menghujani tubuhnya sehingga tak mungkin dia dapat


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyela matkan diri, tubuhnya terluka delapan belas goresan
pedang. Yong-lopek, tahukah kau barisan pedang apakah ini, masa
begini lihay?"
Yong King-tiong geleng2 kepala, katanya: "Cui Kinin adalah
Ceng-liong-tongcu, tapi diapun merangkap Komisaris umum He k-
liong-hwe, tiada bedanya sebagai maha ketua He k-liong-hwe, Losiu
tahu waktu dia datang dari kotaraja hanya membawa seorang La ma
yang mengaku saudara seperguruan dengan dia, dua orang lagi
adalah Nyo Ci-ko dan Tang Kim-seng, kabarnya merekapun anggota
Siwi ke las tiga di istana raja, jabatan dan kedudukan mereka tidak
lebih rendah dari Han Janto, kecuali tiga orang ini, seingatku tiada
orang lain lagi, kecuali itu Ceng-liong-tong hanya ada beberapa jago
pedang dan dayang pribadi Cui Kinin, mengena i jago2 pedang itu
me mang me miliki Kungfu yang tidak le mah, tapi tingkat mereka
setingkat dengan jago2 pedang bawahan Losiu, jadi tiada seorang
kosen yang betul2 dapat diagulkan."
Terkerut alis Kun-gi, katanya: "Aneh kalau begitu, dengan bekal
kepandaian silat Yap Kay-sian, jelas tak mungkin dala m wa ktu
sekejap sekaligus badannya terluka oleh delapan belas serangan
pedang . . . . "
"'Betul", ucap Yong King-t iong manggut2, "Walau Losiu tak
pernah menyaksikan taraf kepandaian orang she Yap ini, tapi ka lau
Ling-kongcu bilang kungfunya tinggi, jelas tak perlu diragukan, tapi
dari delapan belas luka2 ini dapat kita nila i, tampaknya dia tidak
ma mpu lagi me mbe la diri, hanya berdiri dia m saja me mbiarkan
tubuhnya dihujani serangan pedang, kalau tidak tak mungkin
lukanya bisa begini banyak."
Sesaat Ling Kun-gi berdiri me lenggong mengawasi dinding yang
mengadang di depan sana, jelas di dinding ini ada pintu rahasia
pula, mengingat Bok-tan, Giok-lan, Bikui (Un Hoankun) dan lain2
mungkin berada di balik pintu ini, kemungkinan merekapun telah
terluka parah. Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian yang me mbeka l
kepandaian setinggi itupun terluka parah, apalagi mereka yang telah
terperangkap di dalam sana, jelas setiap saat meng-hadapi mara
bahaya juga. Terbayang akan Bok-tan dia teringat kepada Un Hoankun pula,
hatinya menjadi gelisah, katanya: "Yong-lopek, di sini ada pintu
rahasia lagi, entah cara bagaimana me mbukanya, marilah lekas kita
masuk ke sana."
Sekilas Yong King tiong melirik mayat Tang Kim-seng yang
mengge letak di kaki te mbok sana, mendada k tergerak pikirannya:
"Tang Kim-seng berlari sampai di sini, kenapa tidak buka pintu terus
lari ke sebelah dala m" Tapi dia sengaja pakai mayat sebagai tameng
dan main me mbokong" Me mangnya di balik pintu ini ada perangkap
yang amat lihay!"
Karena itu, sambil me ngelus jenggot dia ber-kata : "Losiu tidak
tahu alat perangkap yang terpasang di balik pintu, tapi mengingat
Tang Kim-seng lari sa mpai di sini dan tak berani masuk lebih lanjut,
dapatlah ditarik kesimpulan pasti ada jebakan lihay di sana, setelah
Losiu berhasil me mbuka pintu rahasia ini, jangan Ling-kongcu
berlaku gegabah, lihat dulu keadaan baru masuk."
"Wanpwe sa ma sekali asing mengenai a lat2 perangkap, silakan
paman me mberi petunjuk," kata Kun-gi.
Dengan tersenyum Yong King-tiong lantas maju beberapa
langkah, ia me ngelus dinding lalu menekannya beberapa ka li,
setelah itu tangan kanan melindungi dada, cepat dia menyurut
mundur pula. Dinding batu mula i bergetar dan pelan2 terbuka sebuah celah
pintu, tapi tak nampak adanya reaksi apa2. Sudah tentu di balik
pintu adalah lorong panjang pula, lebarnya juga hanya tiga kaki,
keadaan di sinipun gelap gulita, lima jari sendiripun tidak kelihatan,
keadaan hening lelap, tak terdengar suara apapun.
Sementara itu Yong King-tiong telah merogoh keluar dua
bumbung besi bundar dari tubuh Tang Kim-seng dan beberapa
puluh batang Gin ling-sian, katanya dengan tertawa : "Ling-kongcu,
coba kau mundur beberapa langkah. biar Losiu mencobanya."
Kun-gi lantas mundur dua langkah. Yong-King-tiong lantas maju
pula, ia pegang sebatang Gin ling-s ian terus menimpuknya ke
dalam. Ta mpak sinar perak berkelebat me mecah kegelapan disusul
suara ledakan dari permukaan tanah seketika timbul kobaran api
perak yang menyala cukup besar.
Dala m lorong sempit yang gelap itu. tiba2 timbul cahaya yang
terang benderang dapat mengawasi dengan seksa ma, panjang
lorong itu kira2 ada delapan tombak la lu me mbelok ke kiri,
bagaimana keadaan di balik pengkolan sudah tentu sukar diketahui,
tapi jalan lorong ini kelihatan lurus datar, tiada sesuatu yang
mencurigakan. Setelab ditunggu sekian lamanya tetap tiada reaksi apa2, diam2
Yong King-bong berpikir: "Kalau tidak ada perangkap dalam lorong
ini, kenapa Tang Kim seng tak berani masuk?"
"Marilah pa man Yong, kita masuk me meriksanya," ajak Kun-gi. .
Yang King-t iong cukup tabah, cermat dan hati2, katanya
mengge leng: "Losiu kira Tang Kim-seng pasti tahu cara me mbuka
alat rahasia di sini, tapi dia lebih re la melawan kita secara mati2an
dari pada masuk ke sana, kukira pasti ada sesuatu yang menjadi
sebabnya."
"'Kalau tida k masuk sarangnya, mana dapat penangkap anak
harimau?" de mikian kata Kun-gi. "Yang penting kita harus lebih
hati2, paman boleh tunggu saja di sini, biar Wanpwe coba masuk ke
sana." "Kalau harus masuk marilah bersama supaya bisa saling
me mbantu," ujar Yong King-tiong.
"Jangan, biar Wanpwe masuk sendiri, bila benar ada perangkap,
segera Wanpwe akan mundur, kalau banyak orang yang masuk,
padahal lorong sese mpit itu, kalau menga la mi kesulitan tentu sukar
bergerak, bukankah se muanya akan terperangkap ma lah?"
Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Jika de mikian ke inginan
Ling-kongcu, Losiu tida k akan me maksa, cuma jangan kau masuk
terlalu jauh, bila menghadapi bahaya harus lekas mundur, nanti kita
rundingkan pula cara mengatasinya."
"Wanpwe mengerti." ujar Kun-gi. Sambil me nenteng pedang dan
tangan lain me megang Leliong-cu Kun-gi melangkah masuk ke
dalam lorong. Dengan mendelong Yong King-tiong hanya bisa
mengawasi punggung Ling Kun-gi.
Lorong inipun a mat gelap tapi ada cahaya mutiara di tangan Ling
Kun-gi, ma ka dia dapat maju pelan2, setiap langkahnya a mat hati2
dan diperhitungkan, keadaan terasa tenang dan aman, Yong King-
tiong yang berada di luar pintu se makin terbelalak bingung, ka lau
betul lorong itu tiada perangkap kenapa Tang Kim-seng tidak berani
masuk ke sana" Me mangnya dia tida k tahu cara me mbuka pintu ini"
Dala m pada itu Kun-gi sudah berjalan setombak lebih dan ha mpir
mencapai dua tomba k jauhnya, keadaan tetap tenang dan aman,
tapi dikala langkahnya tepat mencapai jarak dua tombah dari pintu,
tanpa bersuara pintu lorong mendadak bergerak menutup. Berdiri di
depan pintu perhatian Yong King-tiong tertuju kepada Ling Kun-gi,
tak pernah terpikir bahwa daun pintu a kan menutup secara
mendadak, waktu dia sadar dengan kaget, namun tak keburu lagi
berbuat sesuatu apa, dalam hati dia mengeluh: "Celaka!" Cepat dia
ulur tangan ke tombol untuk me mbuka pintu lagi.
Waktu pertama kali dia menekan tomboi ini pintu segera terbuka,
tapi sekarang meski dia ketuk2 sekerasnya tombol itu, daun pintu
tetap tertutup rapat.
Sudab e mpat puluh tahun Yong King-tiong hidup di lorong2 gua
dalam perut gunung ini, sedikit banyak dia sudah cukup apal akan
segala peralatan rahasia yang terpasang di sini, biasanya iapun suka
me mperhatikan, dan me mpelajarinya dengan iseng, maka boleh
dikatakan sekarang cukup ahli, juga tentang peralatan rahasia di
sini. Malah dari hasil penelitiannya itu dia sendiri telah menciptakan
ruang rahasia di kamar pribadinya dengan daun pintu yang amat
berat itu. Beruntun dengan mengguna kan beberapa cara ia berusaha
me mbuka daun pintu, tapi tetap gagal, baru sekarang dia sadar
bahwa peralatan rahasia di sini agaknya berbeda daripada peralatan
di tempat lain, pasti di balik daun pintu ini dipasang peralatan
istimewa untuk me ngendalikan daun pintu ini. Apa yang dinama kan
peralatan khusus tentunya jauh lebih berbahaya.
Kini Ling Kun-gi terperangkap di dala m, tak heran Tang Kim-seng
lebih suka tinggal di luar sini daripada masuk ke sana. Se makin
dipikir se makin gelisah, tanpa terasa keringat membasahi badan
Yong King-tiong. Tiba2 dia mundur dua langkah, obor dia serahkan
kepada Siau-tho, pelan2 dia menarik napas. dua tangan terangkat di
depan dada Jubah hijau yang longgar tiba2 mele mbung, bola
matanya mendelik, tiba2 dia menghe mbuskan napas keras2 dari
mulut, berbareng tenaga terkerahkan pada kedua tangannya terus
mengge mpur ke daun pintu batu.
"Blang" pukulan menimbulkan getaran yang keras, lorong sempit
itu seketika diliputi hawa yang bergolak. Begitu keras pukulan dan
akibat yang timbul sehingga Yong King-t iong sendiri tertolak mundur
selangkah. Obor padam seketika sehingga lorong menjadi ge lap
gulita. Tanpa diminta lekas Siau-tho menyulut obor pula. Yong King-
tiong maju me meriksa, pintu yang terkena pukulan dahsyatnya
masih utuh tak kurang suatu apapun. Sudah tentu dia tidak tingga l
dia m, beruntun dia me mukul lagi lebih keras, tapi hasilnya nihil,
daun pintu tida k berge ming sedikitpun ma lah hawa bergola k
semakin keras, lorong se mpit ini terasa berguncang hebat.
Tiga pukulan Yong King tiong telah dilancarkan dengan seluruh
kekuatannya, akhirnya dia menjadi le mas sendirinya, tiga pukulan
tadi boleh dikatakan telah me meras seluruh kekuatannya, maka
keadaannya sekarang menjadi loyo, wajahaya kelihatan letih.
Siau-tho maju sa mbil angkat
obor, katanya lirih: "Yong- congkoan, istirahatlah sebentar."
Yong King-tiong menghela napas, katanya: "Lohu sudah
menduga pasti di sini ada perangkap yang luar biasa. Ai, kalau Ling-
kongcu sa mpai mengala mi musibah, bagaimana Lohu harus
me mberi tanggung jawab kepada Thi-hujin?"
Siau-tho menggigit bibir, katanya setelah ber-pikir: "Menurut
pendapat hamba, Ling-kongcu me miliki kepandaian tinggi,
me mbawa senjata pusaka lagi, orang baik tentu dikaruniai umur
panjang, semoga Thian se lalu me mberkatinya."
"Ya, semoga seperti apa yang kau doakan," Yong King-tiong
menghe la napas pula.
-oo0dw0oo- Sekarang marilah, kita ikuti pengala man Ling Kun gi di dala m
lorong, cahaya mutiara di tangannya dapat mencapai sejauh tiga
tombak, tapi dalam jarak sepuluh tombak, bila ada musuh sembunyi
pasti dapat diketahui juga oleh ketajaman telinganya, setelah
menyusuri ha mpir dua tombak dia yakin kalau dala m lorong ini tiada
orang bersembunyi, maka hatinya semakin tabah, karena dia tahu
setiap peralatan rahasia menjelang alat itu bergerak pasti akan
menimbulkan suara, meski itu hanya suara gesekan lirih sekali pasti
tidak akan lepas dari pengamatan mata kupingnya, sedikit
peringatan ini sudah cukup baginya untuk secepatnya bersiap
menjaga ke mungkinan, tapi sejauh hampir dua tombak ini, keadaan
tetap tenang dan aman, Kun-gi menjadi geli akan ketegangan
sendiri. Lorong gua di perut gunung dengan segala peralatannya ini
adalah hasil ciptaan Sinswi-cu, pada setiap petak lorong pasti di
pasang sebuah pintu, maksudnya supaya orang luar tidak leluasa
keluar masuk menerjang ke dala m Hek-liong-hwe, pada daun pintu
di sini masing2 juga menggunakan cara yang berbeda untuk
me mbukanya. Sejak masuk dari Ui-liong-tong sa mpai di sini, entah berapa
lorong dan betapa jauh yang telah di tempuh Ling Kun-gi, berapa
pintu pula yang berhasil dia dobrak, kecuali sering disergap oleh
mu-suh, kapan dia pernah menghadapi alat perangkap yang
berbahaya" Karena yakin di depan tiada musuh bersembunyi dan
percaya tiada perangkap apa2 di sini, maka Kun-gi me mpercepat
langkahnya, tapi waktu dia mencapa i dua tombak dari dala m pintu,
mendadak didengarnya daun pintu di bela kang tertutup, seketika
Kun-gi tersentak kaget.
Maklumlah bagi seorang persilatan yang berkepandaian tinggi,
bila bertindak soal pertama yang dia pikirkan adalah jalan mundur.
Bila dia baru mencapai satu tombak lantas tahu daun pintu akan
menutup, mungkin dengan kecepatan gerakannya dia masih sempat
me lompat keluar, tapi kini dia sudah dua tombak jauhnya, umpa ma
segera tahu juga ti-dak mungkin mundur lagi. Kejadian baga i
percikan api belaka, baru saja Kun-gi mencelos kaget, kupingnya
lantas mendengar suara keretekan dari balik dinding di kanan
kirinya. Kejadian teramat cepat, belum lagi suara keretekan itu lenyap
mendadak dilihatnya sinar dingin berkelebat, dari dinding sebelah
kiri mendadak menusuk ke luar pedang yang tak terhitung
jumlahnya, dinding batu di sini tinggi tiga tombak panjang delapan
tombak itu hampir se muanya merupakan dinding pedang, jumlah
pedang yang menusuk keluar dari dinding sedikitnya ada tiga
ratusan batang. Padahal lebar lorong hanya tiga kaki, sedang
panjang pedang juga ha mpir tiga kaki.
Syukur Ling Kun-gi sudah berlaku hati2 dan waspada, begitu
mendengar suara dari balik dinding, betapa cekatan dia bergerak,
belum lagi pedang menusuk badannya, Seng-ka-kia m di tangan
kanannya sudah bekerja, terdengar suara benturan keras disusul
suara gemerantang, pedang panjang yang menusuk keluar, seluas
lima kaki di sekitarnya kena ditabas kutung berhamburan. Tapi
kejap lain, dari dinding sebelah kanan, kemba li muncul sinar dingin,
entah berapa banyak pedang menusuk keluar pula.
Tanpa pikir ke mbali Kun-gi kerjakan Seng-ka-kia m, di mana
pedangnya terobat-abit kemba-li suara gemerentang me meka k
telinga, seluas lima kaki di sekitarnya pedang yang sedang menusuk
dari dinding ke mba li disapunya kutung.
Kini Kun-gi aman di lingkaran seluas lima kaki itu. Hanya di
tempat inilah yang paling a man sepanjang lorong ini, meski
kutungan pedang yang menempel dinding masih mulur, tapi sudah
tak bisa me luka inya lagi.
Kini Kun-gi bisa me mperhatikan dengan se ksa ma, pedang yang
menusuk keluar dari kanan-kiri ternyata bergiliran, itu berarti
siapapun yang masuk lorong ini pasti akan binasa.
Soalnya bila merasa diserang oleh pedang yang me nusuk keluar
dari dinding kiri, dengan sendirinya akan berkelit dan mepet dinding
kanan, lorong lebar tiga ka ki, panjang pedang ada dua ka ki tujuh
dim, di sa mping berkelit kaupun harus menge mpiskan dada dan
perut, tapi pada saat itu pula, dari dinding kanan di bela kang
punggung juga, menusuk ke luar pedang yang tak terhitung
banyaknya. Secara bergiliran maju mundur begini, mustahil ka lau
sekujur badanmu tidak tertusuk.
Setelah melihat keadaan ini baru Ling Kun-gi paha m kenapa
sekujur badan Yap Kay- sian sampai terluka sebanyak delapan belas


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalur pedang. Tapi nyatanya dengan luka2 sebanyak itu dia berhasil
menerjang ke luar dari lorong ini, sungguh sukarnya tak dapat
dibayangkan, sebab selain harus me miliki kepandaian tinggi, juga
kecerdikan tida k kurang pentingnya, di samping itu harus me miliki
Ginkang yang luar biasa pula.
Mengingat Yap Kay-sian, dengan sendirinya dia teringat kepada
Bok-tan dan rombongannya, entah berapa orang sudah menjadi
korban oleh barisan pedang ini. Serasa denyut jantungnya
bertambah kencang, perasaan seperti tertekan. Hal ini ma lah
mena mbah tekadnya untuk menerjang masuk lebih lanjut.. Pedang
di sinipun harus dilenyapkan se luruhnya lebih dulu.
Seng-ka-kia m segera dia pindah ke tangan kiri, tangan kanan
menge luarkan Ih-thiankia m, dengan kedua tangan sekaligus
me ma inkan kedua pedang pusaka segera dia menerjang masuk
lebih dala m. Tampak dua larik cahaya terang menari turun naik, di mana sinar
pedang menyamber, pedang2 selebar itu seketika sa ma rontok
berhamburan. Ling Kun-gi terus menerjang maju, tiba di belokan
lorong, dilihatnya di atas tanah menggeletak sesosok mayat yang
berlepotan darah.
Di bawah pancaran cahaya mutiara tampak jelas bahwa orang
yang menggeletak ini adalah Coh-houhoat Kiu-ci-boankoan Leng
Tio-cong adanya. Punggungnya terluka sembilan tusukan pedang,
dadanya juga tergores beberapa jalur, tapi tusukan dipunggung itu
lebih parah sehingga mena matkan jiwanya. Sebetulnya ilmu silat
orang ini lebih tinggi, tapi selama hidup dia tidak pernah pakai
senjata, maka kali ini menjadi korban secara percuma.
Mungkin dikala menga la mi serangan pedang dari dinding kiri,
dengan tangan kosong terang tak berani melawan senjata tajam.
Jalan satu2nya ialah berkelit dan mepet ke dinding kanan, tak
terduga pedang lantas menusuk keluar juga dari dinding ka-nan
sehingga luka dipunggungnya tampak lebih telak daripada luka2 di
dadanya. Dia m2 Kun-gi menghela napas, dalam hati dia berdoa : "Leng-
heng, istirahatlah dengan tenang!" Kun-gi menerjang maju lebih
lanjut, lorong di situ agak serong dan me mbelok, kira2 de lapan
tombak lagi baru sampai di ujung lorong, ke mbali dia dihadang
sebuah dinding.
Waktu dia berpaling, kutungan pedang berserakan me menuhi
lorong, syukur dia selalu me mbe kal kedua batang pedang pusaka
ini, kalau t idak jangan harap dia bisa mene mbus hutan pedang di
sini. Dikala dia berpikir itulah, suara keresekan di balik dindingpun
berhenti. Sisa kutungan pedang yang masih mene mpel dinding dan
masih bergerak maju mundur itupun kini sudah hilang ke dala m
dinding dan tak berbekas lagi. Keadaan ke mba li tenang seperti
sediakala. Pada saat itulah mendadak didengarnya seruan Yong King-tiong:
"Ling-kongcu .... . " suaranya keras dilandasi kekuatan dalam yang hebat, gema suaranya mendengung di dala m lorong, nadanya
kedengaran gugup dan kuattir.
"Aaaahhh!" sebuah teriakan girang tiba2 berkumandang dari
pengkolan sana. Bayangan Yong King-tiong yang tinggi segera
muncul, sebat sekali dia sudah me lejit tiba di sa mping Kun-gi,
katanya penuh perhatian: "Ling-kongcu, kau t idak apa2."
Terharu juga Kun-gi atas perhatian orang, lekas dia memapak
maju, katanya: "Yong-lopek, beruntung Wanpwe me mbe kal kedua
pedang ini, perangkap pedang di sini kuhancurkan se luruhnya."
Dengan seksama Yong King-tiong awasi badan Ling Kun-gi,
me mang seujung ra mbutpun t idak kurang suatu apa, ma ka dengan
menge lus jenggot dia berkata tersenyum: "Untung yang masuk
ke mari adalah Ling-kongcu, kalau Losiu, tentu sejak tadi sudah
mengge letak tak bernyawa"La-lu dia bertanya: "Jenazah di
pengkolan itu apakah juga orang Pek-hoa-pang?"
"Dia itujah Kiu-ci-boankoan LengTio-cong, Coh-houhoat Pek-hoa-
pang, orang ini dari Eng-jiau-bun, kepandaian yang diyakinkan
menguta makan kekerasan jari tangan, selamanya dia tidak pernah
pakai alat senjata, ma ka di sini dia menga la mi nasibnya yang sia l."
"Betul, hutan pedang di sini begini lebat, alat perangkap bergerak
cara hidup, bagi orang yang tidak bersenjata sudah tentu akan
menderita rugi besar," demikian ujar Yong King-tiong.
Tengah bicara, tampak Siau-tho dan seorang jago pedang baju
hitam sudah menyusul tiba.
"Yong-lopek, di sini ada pintu rahasia lagi, tolong pa man
me mbukanya," pinta Kun-gi.
Cepat sekali Yong King-tiong berhasil me m-buka pintu di dinding,
Kembali mereka me masuki sebuah lorong pula. Dengan me me gang
mut iara dan menenteng pedang Kun-gi jalan ke depan, katanya:
"Yong- lopek, biar Wanpwe me meriksanya dulu."
"Biarlah kita masuk bersa ma," ucap Yong King-tiong, "selanjutnya takkan ada hutan pedang atau perangkap lain lagi, karena pintu2 di
sini rada2 sukar dibuka dari luar, orang yang di dalam bila
mende kati segera pintu terbuka sendiri, dari sini dapatlah diduga
bahwa orang2 Pek-hoa-pang pasti terkurung di sini."
"Baiklah, biar Wanpwe me mbuka jalan," lalu Kun-gi beranjak
lebih dulu. Sambil menenteng pedang Yong King-tiong ikut masuk, di
belakangnya adalah Siau-tho dan jago pedang baju hitam yang
terakhir. Ternyata keadaan lorong ini tenang dan aman, kali ini Kun-
gi lebih hati2. Setelah empat tomba k jauhnya tetap tiada kejadian
apa2, maka dia percepat langkahnya.
Panjang jalan ini entah berapa li, kira2 se masakan air telah
mereka te mpuh, tapi bayangan orang Pek-hoa-pang tetap tidak
kelihatan, padahal lorong ini sudah berakhir dan diadang sebuah
kamar batu, sebuah kamar yang luas dan lebar berbentuk segi
enam, di tengah ka mar tertaruh sebuah meja bundar warna hijau
dikelilingi enamkursi batu, kecuali ini tiada benda lainnya. Keadaan
di sinipun gelap gulita sehingga sukar diketahui keadaan
sekelilingnya. Yong King-tiong berhenti di luar pintu. tanpa terasa ia bersuara
heran. Kun-gi berpaling, tanyanya: "Paman Yong, adakah kau melihat
gejala yang tidak beres di sini?"
"Tiga puluh tahun Losiu menjabat Congkoan Hek-liong-hwe tak
pernah kuketahui adanya tempat ini."
"Paman Yong, bukankah Han Janto tadi bilang mere ka telah ubah
lorong gua serta membangunnya lebih rumit, kalau orang2 Pek-hoa-
pang, bergerak menurut peta la ma itu berarti masuk perangkap
sendiri, mungkin di sinilah tempat yang di ma ksud itu"
"Losiu hanya tahu bahwa di belakang Ceng-liong-tong ditambah
bangunan rahasia, tempat untuk menyekap orang, tapi tak tahu
kalau di sini ada tempat seluas ini, dinding segi ena m ini entah
mengapa t idak berpintu, lalu ke mana kita harus pergi?"
Kamar yang luas ini terasa sunyi senyap, tapi di dala m sana
lapat2 terasa adanya hawa yang mencekam, dia mengerut kening,
katanya pula kepada Kun-gi: "Ling-kongcu tunggu saja di sini,
jangan sembarang bergerak, Losiu akan me meriksa ke da la m."
Segera dia kerahkan tenaga dalam, dengan hati2 dia melangkah
masuk pelan2. Kamar ini me mang kosong melompong, kecuali meja kursi tiada
benda lain, tapi Yong King-t iong bertinda k a mat hati2, dengan
cermat dia periksa meja kursi, lalu berjalan mengelilingi dinding
sepanjang ruangan.
Terutama pada setiap sudut segi ena m itu dia berdiri cukup la ma,
matanyapun menatap ke da la m dengan tajam serta mendengarkan
dengan seksama tapi agaknya tetap tidak memperoleh sesuatu yang
diharapkan. Setelah berdiri menunggu sekian la ma, Ling Kun-gi jadi hilang
sabar, baru saja ia hendak menyusul maju mendadak didengarnya
gema suara benturan senjata tajam yang sayup2. Betapa tajam
pendengaran Ling Kun-gi, tiba2 sorot matanya berpaling ke arah
sudut ketiga di sebelah kanan,
Lwekang Yong King- tiong juga cukup tinggi, iapun mendengar
gema suara benturan senjata dari arah yang sama, yaitu dari sudut
ketiga, ma ka iapun me mbalik ke arah sini.
Di antara anggota rombongan yang dipimpin Bok-tan, Coh-
houhoat Leng Tio-cong dan Yap Kay-sian sudah mati, sementara
Liang ih-jun luka parah, yang ketinggalan adalah Bok-tan, Giok-lan,
Bikui ( Un Hoankun) dan Ci-hwi serta Binggwat Suthay dari Ciok-sin
bio yang belum kelihatan muncul.
Suara benturan senjata itu kemungkinan adalah perjuangan para
nona yang kesamplok musuh tangguh dan tengah bertempur sengit,
keruan Lingkun-gi jadi kuatir. Maka tanpa ayal segera dia melayang
ke dalam ka mar serta berkata lirih: "Yong-lope k harap tunggu di
sini, biar Wanpwe masuk menengok ke da la m, mungkin orang Pe k-
hoa-pang sedang me labrak musuh tangguh di dala m sana" Tanpa
menunggu reaksi Yong King- tiong langsung dia berke lebat masuk
ke sudut ketiga.
Melihat betapa rasa kuatir Ling Kun-gi, Yong King-tiong jadi tak
enak merintangi, bahwasanya memang dia tak sempat
mencegahnya karena gerakan Kun-gi terla mpau cepat, terpaksa dia
berpesan dari belakang: "Ling-kongcu harus hati2, Losiu rasa
keenam sudut pintu di sini pasti tidak beres."
Kun-gi sudah melayang beberapa tombak jauhnya, sahutnya
sambil berpaling: "Wanpwe me ngerti."
Lorong di belakang sudut pintu ketiga ini juga selebar tiga kaki,
dengan me mbawa Leliong-cu, mata dan kuping dipasang tajam2,
Kun-gi maju terus ke arah datangnya suara.
Langkahnya cepat sekali, sebentar saja dia sudah mencapai
puluhan tombak, di depan mendadak muncul sebuah lorong se mpit
yang melintang. Di tempat persimpangan ini sulit me mbedakan arah
datangnya suara benturan senjata, sebetulnya gema suara itu lebih
jelas, kadang2 keras tiba2 lirih dan lenyap, dapatlah dibedakan
bahwa dua orang yang lagi berhanta m itu tidak setanding, atau
mungkin seorang me larikan diri dan yang lain mengejar, kini jarak
mereka sudah se makin de kat kearah dirinya.
Setiba dipersimpangan jalan terpaksa Kun-gi harus berhenti dan
menunggu, dengan penuh perhatian dia bedakan arah datangnya
suara, tak nyana waktu dia berhenti dan mendengarkan, itulah
suara benturan itu mendadak lenyap. Sesaat kemudian baru
berkumandang lagi, kini jelas datang dari arah sebelah kiri, cuma
suaranya kedengaran amat jauh.
Kun-gi t idak ayal lagi, lekas dia me mbelok ke kiri terus menyusul
ke sana dengan kencang. Tak terduga baru empat tombak dia
berlari, mendadak di kejauhan sana didengarnya suara hardikan
nyaring. Suara hardikan nyaring ini serasa sudah amat dikenalnya,
cuma sukar dibedakan suara siapa" Keruan dia me lenggong,
ke mbali dia menahan lang-kah dan pasang kuping mendengarkan
pula. Tapi suara hardikan itu hanya sekali saja, lalu tak terdengar lagi.
Dari kecermatan cara Kun-gi me mbeda kan suara, dia yakin kalau
suara, hardikan itu datang dari belakangnya malah, jadi berlawanan
dengan suara benturan senjata tadi.
Sedikit merandek ini suara benturan senjata tadipun sudah
lenyap, malah dia me mperhitungkan suara hardikan, itu tidak terlalu
jauh dari tempatnya berdiri. Otaknya bekerja seeepat kilat, segera
dia putar balik terus menerjang ke persimpangan jalan, kali ini
me mbe lok ke arah kanan.
Kali ini hanya berlari kira2 enam tombak lantas dilihatnya sesosok
bayangan langsing berkelebat keluar dari tikungan sebelah depan
dan berlari me ndatangi. Jadi kedua orang berlari saling papak.
Tangkas sekali gerak-kberik bayangan langsing itu, begitu ada
orang datang dari arah depan, tanpa tanya siapa dia dan tak peduli
apa akibatnya, sekali menghardik kontan dia ayun tangan serta
menepuk ke depan. Tepukan telapak tangan ini ternyata dibarengi
dengan taburan gumpalan asap putih yang menerjang ke muka
orang. Syukur Kun-gi sudah menahan langkah dan berdiri menunggu,
teriaknya: "Adik Hoan, inilah aku!" Gumpalan putih itu bertaburan di muka Ling Kun-gi dan "plak", tepukan tangan orang telak mengena i
pundaknya. Sekilas bayangan langsing itu tampak tertegun, habis itu
mendadak berjingkra k dan menjerit girang, teriaknya: "Toako, kau .
. . . " sambil berteriak segera ia menubruk maju dan menjatuhkan
diri dala m pelukan Kun gi, dengan kencang ia merangkul Kun-gi,
kepalanya mene mpel di pinggir kupingnya, bisiknya lirih penuh rasa
haru dan riang serta lega: "Toako, hampir saja aku tak bisa ketemu
lagi dengan kau." Ternyata dia bukan lain adalah Un Hoan kun yang
menya mar Jadi Bikui.
Tampak oleh Kun-gi pakaian Un Hoankun robek dua tempat,
keduanya tergores pedang hingga kulit badannya terluka, rambut
awut2an, keadaannya kelihatan amat letih dan kehabisan tenaga,
timbul rasa iba dan sayangnya, katanya sambil mengelus ra mbut
orang: "Adik Hoan, kau terluka?"
"Untunglah hanya lecet kulit saja," sahut Hoankun. "Eh, Toako, kapan kau masuk ke mari" Kenapa hanya kau saja?"
"Panjang ceritanya, aku mencari kalian, kalau t idak mendengar
suara hardikanmu, mungkin be lum bisa kutemukan kau?"
Kepala Un Hoakun bersandar dipundak Ling Kun-gi, katanya:
"Lorong2 se mpit di sini simpang siur, seperti berada di sarang
labah2 yang menyesatkan, sukar mene mukan jalan ke luarnya, lama
kela maan rombongan ka mi lantas terpencar satu persatu, apalagi
musuh selalu menyergap dan membokong, kepandaian silat dan
ilmu pedang merekapun tera mat tinggi, kalau aku tida k me mbeka l
obat bius, mungkin aku sudah terluka parah." Setelah merandek dan
menghe la napas, dia menambahkan pula dengan tertawa: "Tadi
dengan obrt biusku juga sudah kubunuh dua orang,"
"Sejak kapan ka lian terpencar?" tanya Kun-gi.
"Entah sejak kapan, yang terang sudah cukup lama, semula Ci-
hwi masih berada di sa mpingku, ke mudian terdengar suara
benturan senjata lawan segera aku me mburu ke sana, tak tahunya
setiba di tikungan musuh lantas menyergap, setelah aku berhasil
me mbereskan orang itu, bayangan Ci-hwipun telah lenyap."
"Jadi kau hanya selalu, berada di lorong se mpit ini."
Suara Un Hoankun seperti minta belas kasihan: "Ya, obor yang
kubawa sudah terbakar ha-bis, seorang diri aku jadi menggere met
di tempat gelap, semakin gugup se makin bingung dan se makin sulit
mene mukan ja lan ke luarnya . . . . "
Kun-gi tertawa, katanya: "Kau sudah tahu takut sekarang?"
MengencangpelukanUnHoankun,katanyasambil
me mbena mkan kepalanya ke dada Ling Kun-gi: "Me mangnya kau
saja yang tidak takut?"
Terasa oleh Kun-gi waktu orang bicara bau badan si nona nan
harum me mbuat hatinya rada terguncang, terutama badan orang
yang padat berisi mene mpel kencang di dadanya, jantung mereka
yang berdetak seakan saling bertautan menjadi satu, seketika badan
terasa hangat. Pelan2 dia angkat muka si nona, katanya lembut:
"Sekarang kau tak usah takut." Empat mata beradu pandang,
tampak bulu mata Un Hoankun yang panjang me lengkung, bola
matanya nan bening dan jeli, bibirnya merah seperti delima
merekah. Muka mereka me mangnya amat dekat, kini se makin
mende kat . . . ."
Badan Un Hoankun seperti mengejang, mulutnyapun mengeluh
lirih. Sayang pada detik2 romantis itu dari tempat yang gelap sana
mendadak ke larik sinar pedang berkelebat, cahaya dingin laksana


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kilat menusuk ke arah mere ka.
Gerak orang ini sangat cepat, kedatangannya tidak menimbulkan
suara, tahu2 serangan pedangnya sudah menya mbar tiba dengan
perbawa yang mengejutkan.
Kun-gi terkejut sadar, lekas, dia miring kekanan sambil menarik
badan Un Hoankun, tiga jari tangan kiri dengan cepat menjepit
ujung pedang lawan, berbareng kaki kanan melayang ke dada
orang. Karena tangan menjepit ujung pedang lawan, telapak tangannya
ikut me mba lik, cahaya mutiara yang se mula teraling kini mendada k
terpancar dan menjadikan lorong se mpit itu terang.
Tampak orang yang menyergap secara licik ini adalah laki2
berbaju hijau, usianya e mpat puluhan, dari serangan pedangnya
yang lihay serta kedatangannya yang tidak me mbawa suara, terang
dia jago kosen dari Ceng-liong-tong yang berkepandaian t inggi.
Sebetulnya si baju hijau ini tadi hanya melihat segumpal
bayangan orang di lorong sempit ini, maka dia m2 dia menggere met
maju terus menusukkan pedangnya, sungguh tak nyana bahwa
yang diserangnya ini adalah sepasang muda-mudi yang sedang
me madu cinta di te mpat gelap ini. Terutama pe muda jubah longgar
ini hanya sekali angkat tangan dan ujung pedang lantas terjepit,
keruan ia kaget, lekas dia miring badan sambil mundur setengah
tindak, berbareng tangan kiri menepuk tendangan kaki Kun-gi,
sedang tangan kanan menggentak keras, pergelangan tangan
berputar dan pedangpun ditarik.
Dengan gentakan yang dilandasi kekuatan hebat ini, ujung
pedangnya bisa menciptakan lingkaran, bagi seorang yang
Lwekangnya rendah, jari2 nya yang menjepit ujung pedang pasti
bisa tertabas kutung. Tapi Ling Kun-gi juga mengerahkan tenaga
saktinya pada ketiga jarinya yang menjepit ujung pedang lawan.
Maka terdengar "pletak", ujung pedang tiba2 patah.
Kejadian cepat sekali, orang itu tergentak mundur dua tindak
baru berdiri tegak, sekilas kelihatan tertegun, katanya dengan
tertawa marah: "Anak bagus, kiranya kau ana k murid Siau-lim."
"Kau salah satu dari tiga puluh ena m panglima Haek-liong-hwe?"
tanya Kun-gi. Orang itu melenggong, jawabnya ke mudian: 'Darimana kau dapat
tahu?" "Tiga puluh ena m panglima adalah orang kepercayaan Lohwecu,
seharusnya mereka patriot bangsa dan tuan . . . . . . '
Tajam tatapan mata si baju hijau, tanyanya: "Siapa kau?"
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku."
Mendadak beringas sorot mata si baju hijau, bentaknya bengis:
"Kau bocah ini, terlalu banyak yang kau ketahui." Sret, pedangnya
ke mbali menusuk ke arah Ling Kun-gi.
Dengan enteng Kun-gi mengegos kesa mping dan ba las
me mbentak: "Bukan saja banyak yang Cayhe ketahui, hari ini ma lah
aku akan me ncuci bersih na ma baik Hek-liong-hwe di bawah
pimpinan Lo-hwecu dulu, sebagai salah seorang tiga puluh enam
panglima dulu, kini kau rela menjadi antek musuh, ma ka ke matian
adalah bagianmu."
"Toako," seru Un Hoankun di belakang,"orang ini harus kita
tawan hidup2."
Karena tusukannya luput orang itu jadi me lengak, mendengar
ancaman Kun-gi lagi, seketika dia naik pita m, dengusnya: "Anak
muda sombong benar kau!" Sret, sret, kembali pedangnya bergetar
menusuk dua kali.
Di mana tangan Kun-gi terangkat tahu2 pedang pandak sudah
digengga mnya, tapi dia tidak lantas balas menyerang, kaki tida k
bergeming, hanya badan bagian atas bergontai mengikut i gerak
tusukan lawan, dua kali tusukan si baju hijau ke mbali mengena i
tempat kosong. Gerakan bergontai yang ge mulai ini adalah hasil dari
Hwi-liong-kiu-se k yang telah dia cangkok dala m pra ktek.
Dengan gerakan sederhana, tiga kali tusukan lawan yang cukup
deras ini berhasil dihindarkan, keruan hati Kun-gi berta mbah
senang, tangan kanan tiba2 terayun, maka terdengarlah suara
"trang" pedang panjang lawan yang sudah patah ujungnya itu kena
ditekannya ke bawah.
Pada saat itulah, tiba2 terlihat sebuah lengan putih halus terjulur
keluar dari samping Kun-gi, begitu kelima jarinya terpentang,
segumpa l asap berbubuk seketika menya mpuk muka orang itu.
Melihat Un Hoankun menjent ikan bubuk kabut pe mbius, si baju
hijau tahu gelagat tidak menguntungkan, tapi pedang sendiri
tertindih oleh pedang Ling Kun-gi, jangankan mau mundur,
kesempatan menarik pedangpun tak sempat lagi, tahu2 hidungnya
mengendus bau harum yang aneh, seketika pandangan menjadi
gelap. "Bluk", seketika roboh tersungkur.
Un Hoankun berjingkrak kegirangan. "Syukurlah, akhirnya dapat
kita bekuk seorang musuh hi-dup2." demikian teriaknya sambil
berkeplok. "Untuk apa kau me nawannya hidup2?" tanya Kun-gi.
Un Hoankun berseri tawa, katanya: "Lorong sempit ini bercabang
serta me mbingungkan, kalau ada petunjuk ja lankan lumayan?"
Mendadak Kun-gi teringat akan perkataan Yong King-tiong:
"Losiu hanya tahu bahwa di belakang Ceng-liong-tong telah
ditambah bangunan rahasia.. Di sanalah para tawanan disekap, tapi
tak pernah kuduga bahwa di sini ada tempat, seperti ini."
Me mangnya Tong Bunkhing, Pui Ji-ping berdua disekap di mana"
Orang2 Pek-hoa-pangpun terpencar entah ke mana saja di lorong
sempit yang me mbingungkan ini,' baru sekarang dia sadar perlunya
seorang penunjuk jalan di te mpat yang menyesatkan ini. Maka
dengan mengangguk dia berkata: "Untung kau berpikir cermat,
me mang kita perlu bantuannya."
"Se mula a ku a mat benci mereka, maka tiada seorangpun yang
kua mpuni, setelah obor pada m, seorang diri aku putar kayun
kesasar kian ke mari barulah teringat untuk menawan seorang
musuh, tapi tiada musuh ,yang muncul lagi, suara bentakan yang
kau dengar tadi juga kudengar, maka aku me mburu ke mari,
mungkin dia inilah yang sengaja hendak menjebak orang," lalu dia
bertanya lebih prihatin: "Toako, kedua te manmu apakah sudah kau
temukan?" "Belum," sahut Kun-gi sa mbil mengge leng.
"Nah, kan kebetulan" Orang ini besar sekali manfaatnya bagi
kami." "Mungkin dia tidak sudi kita paralat. Hayolah adik Hoan, kita
gusur dia dulu, biar pa man Yong me mbujuk dia, mungkin dia tida k
suka rela menjadi antek musuh."
"Siapakah pa man Yong?" tanya Un Hoankun.
"Dia adalah teman ayahku almarhum, Cong-koan Hek-liong-hwe
yang sekarang, dia berada di luar, tadi kudengar suara benturan
senjata, maka aku me nerjang masuk ke mari."
"Luar" Te mpat apa di luar sana?"
"Luar yang kumaksud sudah tentu masih berada di perut gunung
Kunlunsan, yang kumaksud adalah bagian luar lorong2 se mpit di
sini," lalu Ling Kun-gi mena mbahkan: "Panjang sekali kejadiannya
kalau diceritakan, marilah ke luar dulu saja," Dengan me ngangkat
Leliong-cu dia putar badan terus berjalan balik ke arah datangnya
tadi. Dengan cepat mereka tiba di pintu batu dan ke mbali ke ka mar
segi enam. Yong King-tiong sudah menunggu dengan tida k sabar,
untunglah akhirnya dilihatnya, Kun-gi muncul dengan me manggul
seorang, lekas dia me mapak maju, katanya: "Kenapa Kongcu pergi
selama ini" Losiu sudah ingin menyusulmu ke dala m." Belum habis
bicaranya dilihatnya pula seorang nona berjalan di be lakang Kun-gi,
dia mengangguk dan menyapa: "Apakah nona ini yang bentrok
dengan musuh?"
Kun-gi tertawa, sahutnya: "Bukan, suara benturan senjata itu
semakin menjauh, Wanpwe tidak mene mukannya." Lalu dia
perkenalkan Un Hoankun: "Hoanmoay, inilah pa man Yong." Kepada
Yong King-tiong dia mena mbahkan: "Dia bernama Un Hoankun,
puteri kesayangan Unlocengcu dari Lingla m."
Tertunduk kepala Un Hoankun, sapanya: "Paman Yong!"
Yong King-tiong manggut2, tanyanya heran: "Bagaimana nona
Un bisa masuk ke mari?"
"Paman jangan salah mengerti, untuk me mbantu Wanpwe secara
dia m2, dia menyamar jadi Bikui dan menyelundup ke dala m Pek-
hoa-pang."
"O, kiranya begitu," Yong King-tiong mengangguk.
Sementara itu Kun-gi sudah turunkan tawanannya, tanyanya:
"Paman kena l orang ini?"
"Dia berna ma Tu Hong-sing, salah seorang dari tiga puluh ena m
panglima dulu, sekarang dia salah seorang dari delapan Koan-tai
dari Hek-liong-hwe."
"Apa kerja dan tugas seorang Koan-tai?" tanya Kun-gi.
"Sesuai na manya, seharusnya Koan-tai me mimpin banyak orang,
tapi Koan-tai dari Hek-liong-hwe kira2 setingkat dengan Houhoat,
jabatan ini tidak terhitung rendah, tapi tidak punya tugas tertentu,
semula jabatan ini hanya merupa kan simbol da la m ka langan
pemerintahan kerajaan, yang terang kedelapan Koan-tai seluruhnya
dikerahkan bertugas di Ceng-liong-tong."
"Syukurlah kalau pa man Yong kenal dia, biar kubikin dia
mendusin, Ling-toako bilang supaya engkau me mbujuknya, mungkin
dia mau insaf dan bertobat, karena tidak secara suka rela menjadi
antek musuh," kata Un Hoan-kun.
Yong King-tiong berpa ling kepada Kun-gi, tanyanya: "Ling-
kongcu ingin Losiu me mbujuk dia?"
Maka Kun-gi menjelaskan keadaan di dala m lorong2 se mpit yang
simpang siur seperti sarang labah2, padahal orang2 Pek-hoa-pang
terkurung di dala m dan tak bisa ke luar, di samping dua temannya
lagi yang disekap entah dimana. Kemungkinan Tu Hong-sing bisa
bantu me mbereskan soa l2 ini, jika dapat me mbujuknya, tentu
segala urusan di sini tidak a kan mengala mi kesulitan lagi.
Sambil mengelus jenggot Yong King-t iong manggut2, katanya:
"Sebagai seorang dari tiga puluh ena m panglima sudah tentu Losiu
cukup kena l pribadi Tu Hong-sin, orang ini cupet pikiran dan sempit
pandangan, tamak harta dan gila pangkat. apalagi sekarang sudah
menjadi Koan-tai, jabatan tingkat keena m di istana raja, untuk
me mbujuknya meninggalkan pangkatnya mungkin agak sulit."
Setelah menepekur sebentar akhirnya dia menambahkan: "Ada
satu hal mungkin dapat me mbuatnya tunduk."
Un Hoan-kun lantas tertawa, katanya: "Wan-pwe tahu, Wanpwe
punya cara supaya dia tunduk dan menyerah."
"Kau punya akal apa?" tanya Kun-gi heran.
"Setiap manusia yang gila pangkat dan tamak harta pasti takut
mati," ujar Un Hoan-kun.
Yong King-tiong mengangguk, "Ucapan nona me mang betul."
Un Hoan-kun t idak banyak bicara lagi, dia mendekati Tu Hong-
sing, mendadak dia ulur dua jari tangannya yang lentik putih
beruntun menutuk tiga Hiat-to Tu Hong-sing, lalu ia mengeluarkan
satu botol kecil, dengan ujung kuku dia menga mbil bubuk obat terus
dijentikan ke hidung Tu Hong-s ing.
Sungguh mujarab obat bubuk dala m botol kecil ini, begitu
mencium bau obat itu, Tu Hong-s ing yang jatuh pingsan seketika
berbangkis dua kali lalu me mbuka mata. Sebentar bola matanya
berputar mengerling kian ke mari, akhirnya melihat Yong King-tiong,
Ling Kun-gi, Un Hoan-kun, seketika rona mukanya berubah,
mendadak dia bangun berduduk. Begitu duduk baru dia sadar
bahwa beberapa Hiat-to di tubuhnya telah tertutuk, kaki tangan
hakikatnya tak ma mpu bergerak.
"Tu-heng, sudah siuman kau?" sapa Yong King-tiong.
"Syukurlah Yong-congkoan berada di sini," kata Tu Hong-sing
sambil mengawasinya, "beberapa Hiat-toku tertutuk."-Ternyata
betul dia manusia yang takut mati, berhadapan dengan Yong King-
tiong, nada bicaranya seperti minta tolong dan mohon di kasihani.
Yong King-tiong berdiri kereng, katanya: "Apa-kah Tu-heng tahu
bahwa Han Jan-to sudah ma mpus, sementara Cui Kin-in sudah
merat setelah keok?" Tu Hong-sing ta mpak kaget, katanya: "Apa
betul ucapan Congkoan?"
"Sejak kini aku bukan lagi Congkoan Hek-liong-hwe, maka Tu-
heng jangan me manggilku Cong-koan, empat puluh tahun aku
berkumpul di sini dengan Tu-heng, ma ka ingin kuberi nasehat, kita
kan bangsa Han, sesama anggota Thay-yang-kau dan bersumpah
setia di depan cakal-bakal, adalah tidak pantas rela menjadi antek
dan cakar alap2 musuh.
Berubah hebat air muka Tu Hong-sing, serunya dengan terbeliak
kaget: "Yong-congkoan, kau telah berontak?"
"Betul, dulu bersa ma Tu-heng kita sama2 me ndapat kebaikan
dan bimbingan Lohwecu, tapi sejak Hek-liong-hwe jatuh ke tangan
musuh, maka kau lantas diperalat untuk menjadi algojo terhadap
sesama pahlawan bangsa, kini t iba saatnya kita harus insaf dan
bertobat, tidak pantas selalu tersesat dan diperalat, asal kau mau
bekerja sama dengan kami, aku bertanggung jawab, pasti tidak
akan me mbikin rugi kau seujung ra mbut."
Agaknya terjadi perang batin dala m benak Tu Hong-sing, la ma
sekali dia sukar a mbil keputusan, kedua matanya mere m me lek,
menepekur kebingungan.
Un Hoan kun tahu orang agaknya tengah mengerahkan hawa
murni, maka dengan tertawa dingin dia mengejek: "Orang she Tu,
ketahuilah, Hiat-to yang kututuk adalah ajaran khas keluarga Un
dari Lingla m, kalau kau mengerahkan hawa murni ingin
menjebolnya, awas kalau tersesat dan malah ce laka bagi jiwa mu."
Terbeliak Tu Hong-sing, katanya ke mudian:
"Apa keinginan kalian?"
"Bergantung bagaimana sikapmu terhadap uluran tangan kami,"
jengek Un Hoan-kun.
"Cayhe sudah jatuh ke tangan kalian, mati hidupku berada di
genggamanmu, me mangnya apa lagi yang dapat kulakukan?"
"Hanya ada satu jalan bisa kau te mpuh, yaitu tunduk akan
ke mauanku. Nah, mati atau hidup terserah pada pilihanmu sendiri."
Tu Hong-sing me lirik ke arah Yong King-tiong, Yong King-tiong
pura2 tidak me lihatnya, malah me lengos ke arah lain.
"Se mut saja ingin hidup apalagi manusia, daripada mat i, hidup
sengsara juga mending. . ." de mikian kata Tu Hong-sin. "Cuma
Cayhe ingin tahu soal mati dan hidup tadi, kalau hidup bagaima na"
Jika mati bagaimana pula?"
"Soal sederhana. Pertama, seperti yang dikatakan pa man Yong
tadi, asal kau mau kerja sama dan tidak mengandung maksud jahat
serta tidak berusaha melarikan diri lagi, setelah ka mi keluar dari
Kun-lun-san, peduli kau akan berbuat jahat atau bajik, menjadi
lawan atau kawan, kami tetap akan melepasmu, soal kedua . . . . "
mendadak dia tutup mulut.
"Bagaimana dengan syarat kedua?" tanya Tu Hong-sing.
"Jalan kedua ialah kau harus tunjukkan keadaan di sini yang
simpang siur, di mana pula kalian mengurung tawanan, kalau kau
tidak mau menjelaskan, ka mi akan mengompesmu dengan
kekerasan, menyiksa mu sa mpai mati bila kau t idak me njelaskan."
Terunjuk rasa ngeri pada rona muka Tu Hong-sing, kepala
tertunduk, mulutnya berguma m sendiri: "Orang, she Tu sudah hidup
sekian la manya, me mangnya harus mati di sini tanpa diketahui
orang?"

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Me mangnya, setelah keluar dari sini, kami pasti melepasmu, dari
pada kau mati tersiksa dengan sia2, bukankah sayang?" de mikian
bujuk Un Hoan-kun.
Tu Hong-sing angkat kepala mengawasi Un Hoan-kun,
Pendekar Riang 3 Pendekar Riang Karya Khu Lung Pendekar Cacad 2
^