Pendekar Kidal 7

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 7


ng itu adalah sebuah ruang berhala?"
"Betul, me mang di gedung lapis kee mpat ada ruang pe mujaan,"
sahut Pa Thian-gi.
Ling-san Taysu tersenyum, katanya: "Tidak salah lagi, sarang
rahasia dari komplotan Cin-Cu-ling itu pasti berada di dalam ruang
berhala itu?"
Kaget dan heran oh Siok-ha m, tanyanya:
"Darimana Suheng tahu?"
Ling-san Taysu keluarkan gulungan kertas itu dan diperlihatkan
kepada orang banyak, lalu men-jelaskan kejadian barusan dengan
suara lirih, Sudah tentu orang yang memanggilnya "Hwesio cilik"
tidak diceritakannya.
"Ada orang kosen me mberi petunjuk secara dia m2 kepada kita,
hayolah jangan kita bekerja la mbat2, kita masuk bersa ma
mendobra knya," ajak Tong-lohujin-
Ling-san Taysu berkata: "Kim-sute dan la in2 masih belum
siuman, perlu ada orang jaga di sini, oh-sute, kau bersama The Si-
kiat bertiga tinggal saja di sini.."
Tong-lohujin juga perintahkan Pa Thian-gi bersa ma kede lapan
Busu seraga m biru tinggal di bangsal ini.
Maka dibawah petunjuk Han-koh be ra mai2 orang banyak lantas
menuju ke belakang. Bangunan lapis kee mpat merupakan lapisan
terakhir pula. Pohon2 tua tinggi besar tersebar di pekarangan
belakang, orang akan merasa dingin dan sera m di te mpat yang
le mbab ini. Setelah menyusuri hala man yang penuh lumut hijau, mereka
terus naik keunda kan langsung me masuki sebuah ruangan besar
dan luas, tepat di tengah ruangan memang terdapat sebuah patung
pemujaan, yang dipuja di sini adalah mala ikat ber-tenaga raksasa.
Delapan Busu pere mpuan me langkah masuk lebih dulu terus
berjajar di dua sisi, Tong-lohujin beriring dengan Ling-san Taysu
dan lain2 ikut masuk. Ketua Lo-han-tong Poh-san Taysu jalan pa-
ling belakang, dia me mberi tanda kepada 18 muridnya untuk
bersiaga di luar pe karangan.
Ling-san Taysu maju beberapa langkah lebih dekat dan me mberi
hormat ke arah patung pe mujaan, lalu dia mundur ke mba li.
Sementara Tin-san Taysu juga maju me ndorong patung pe mujaan-
Tapi patung itu tak berge ming sedikitpun.
"Taysu bertiga harap mundur agak jauh," kata Tong-lohujin, "kita tak tahu cara bagaimana me mbuka alat2 rahasia di sini, terpaksa
hancurkan saja Han-koh, kau saja yang turun tangan-"
Sementara itu orang banyak sudah mundur agak jauh, Han-koh
mengiakan, dari dalam kantong kulit harimau dia ke luarkan sebutir
besi bundar sebesar biji kenari, sekali ayun dia timpuk ke arah
patung-pemujaan-
"Dar", hebat sekali ledakan ini, patung pe mujuan yang tinggi
besar itu roboh ber-keping2. Ta mpa k di belakang patung pe mujaan
terdapat sebuah pintu besi, bawah tembok juga sudah berlubang,
tapi pintu besi itu tetap utuh tidak kurang sesuatu apapun, tanpa
disuruh Han-koh timpuk lagi sebutir granat tangan ke arah pintu
besi. Ledakan keras kembali menggetar ruang pemujaan, kedua
daun pintu besi kini roboh berserakan, di belakangnya adalah lorong
panjang yang gelap gulita.
"Kalian geledah ke dala m," Tong-lohujin me m-beri aba-aba
kedelapan Busu pere mpuan-
Di bawah pimpinan Han-koh kede lapan orang itu segera
menerjang ke dala m terbagi dua barisan- Bersa ma Tong Siau-khing
bertiga Tong-lohujin mengiringi Ling-san Taysu masuk lebih jauh,
Poh-san Taysu tetap berada paling belakang, dia suruh delapan
paderi berjaga di ruang pe mujaan ini, lalu kedelapan paderi yang
lain dia ajak masuk ke da la m.
Lorong gelap ini panjangnya puluhan tombak. mereka tiba di
ujung sana dan diadang dinding te mbok. Han-koh lantas timpukkan
granat lagi, debu pasir beterbangan sehingga orang banyak sukar
me mbuka mata. Tapi dinding pengadang ja lan sudah jebol. Lekas
sekali kedelapan Busu pere mpuan yang tetap berkerudung kain
hitam itu menerobos masuk lewat lubang besar itu.
Waktu Tong-lohujin dan Ling-san Taysu be-ramai keluar dari
lubang te mbok, mereka tiba di sebuah ta man bunga yang a mat
luas, mala m re mang2, tampak bayangan pohon dan gardu tersebar
di sana-sini. Waktu orang banyak menga mati keadaan sekelilingnya, mereka
berada di depan sebuah bangunan berloteng yang dibangun megah
dan mewah, di bagian depan terdapat undakan batu me manjang
tinggi, sekarang mereka berada di tengah2 undakan batu yang jebol
oleh ledakan granat tangan tadi.
Di antara bayang2 pohon yang gelap di sekitar mereka ta mpak
bermunculan bayangan puluhan laki2 bersenjata golok, dari
kejauhan mereka merubung maju mengepung.
Pui Ji-ping yang berangasan ajak Tong Siau-khing untuk
me labrak orang2 itu. Tapi Tong-lohu-jin lantas mencegah, katanya:
"Tak perlu kalian be kerja susah payah " Tiba2 tampak orang2 yang-
mengepung mereka itu satu persatu, sama terjungka l roboh tak
bergerak lagi.Jelas semuanya terkena Bu sing-san yang lihay dan
me matikan- Dia m2 berkerut alis Ling-san Taysu, lekas dia bersabda dan
komat-ka mit me manjatkan doa bagi arwah para korban supaya
mendapat te mpat tenteram di ala m baka.
Pada saat itulah dari arah pintu yang terbuka di depan sana
muncul di atas undakan batu dua pelayan perempuan cilik
me mbawa dua la mpion, lalu berdiri di kanan kiri. Segera terdengar
pula suara ge mericik sentuhan batu manika m dan perhiasan yang
bertaburan di tubuh seorang perempuan cantik jelita, seorang
nyonya muda berpakaian puteri keraton pelan2 beranjak keluar,
sebelah tangan terpapah dipundak seorang dayang di sebelahnya.
Yang muncul ternyata Hian-ih-lo-sat, wajahnya nan ayu
mena mpilkan rasa kaget dan heran- na mun mulutnya yang kecil
mungil mengulum senyum, katanya: "Kalian siapa" Ma la m buta
menjebol dinding ma in terjang di rumah orang, mau apa?"
Sementara itu Pui Ji-ping sudah sembunyi di belakang Tong-
lohujin serta berbisik. "Bu, perempuan siluman itulah yang
mena makan dirinya Hian-ih-lo-sat."
"Jangan ribut," Tong- lohujin manggut2, "dengar saja apa yang dia katakan-"
Sementara itu Ling-san Taysu sudah perkenalkan diri dan
nyatakan maksud kedatangannya. Tapi Hian-ih lo-sat malah menista
bahwa kedatangannya mau mera mpok atau me mperkosa kaum
perempuan di sini. Sebagai paderi agung yang alim, sudah tentu
Ling-san me njadi gelagapan dan t idak ma mpu menjawab.
Tong lohujin tertawa dingin, bentaknya: "Nona tidak usah banyak
omong, siapa kau me mangnya ka mi tida k tahu?"
Kerlingan mata Hian-ih-lo sat me mpesonakan, katanya sambil
berpaling ke arah Tong-lohujin: "Apakah nenek tua ini juga orang
dari Siau-lim?"
"Dari keluarga Tong di Sujwan," jenge k Tong-lohujin-
Hian-ih-lo-sat pura2 tidak tahu, katanya: "Keluarga Tong di
Sujwan" Te mpat apakah itu, belum pernah kudengar."
"Itu tidak penting, satu hal perlu kuperingatkan, komplotan Cin-
Cu-ling kalian main culik orang, sekarang kita sudah berhadapan,
lekas kau bebaskan para tawanan, kalau tidak jangan menyesal
kalau ka mi turun tangan keji."
Sambil me mbetulkan sanggulnya, Hian-ih-lo-sat berkata dengan
mengunjuk rasa kaget dan heran: "Apa katamu nenek tua " Siapa
yang harus kubebaskan?"
Pada saat itulah, ke delapan Busu perempuan yang berjaga di
sekeliling Ting- lohujin ere mpak berteriak seraya mengayun tangan
ke udara. Tapi mere ka bukan menimpukkan senjata rahasia, juga
bukan melancarkan pukulan, hanya seperti tanda gerakan tangan
aja, Sudah tentu Ling-san Taysu dan lain2 yang tidak tahu apa2 jadi
heran- Tong-lohujin menyeringai hina, katanya: "Memang sudah kuduga
bahwa Hian-ih-lo-sat pandai menggunakan bubuk racun yang tidak
kelihatan, kepandaian rendah ini me mangnya dapat mengelabui
mataku?" Dengan mengangkat tangan me mbetulkan sanggulnya tadi,
ternyata secara diam2 Hian-ih-lo-sat sudah menaburkan bubuk
beracun yang tidak kelihatan- Keruan kaget dan berubah air muka
para paderi Siau-lim.
Hian-ih-lo-sat sendiri juga berubah air mukanya, tapi segera dia
cekikikan, katanya: "Nenek tua, ternyata kau memang me mada i
untuk lawanku, entah bagaimana kau tahu ka lau aku Hian-ih-lo-
sat?" "Perbuatanmu menawan Cu Cengcu secara licik di Liong-bun-kin
kusaksikan diatas batu bersa ma Ling-san Taysu ini, berani kau
mungkir?" de mikian t imbrung Ji-ping. "Ketahuilah Thong-pi-thian-
ong dan lain2 yang kau bius kini sudah sadar seluruhnya, kalian
masih ma mpu berbuat apa lagi?"
"Nona cilik," ujar Hian-ih-lo-sat cekikikan, "ma la m ini kalian berada di atas angin, aku hanya sendirian, ma mpu berbuat apa lagi"
Tapi kalian harus ingat, Lok san Taysu berempat masih tergengga m
di tanganku, kalau terpaksa, ya apa boleh buat, jangan salahkan
aku bertangan keji."
Dia m2 kaget Tong-lohujin, katanya dengan suara geram: "Kau
berani?" Tengah bicara tiba2 muncul e mpat bayangan orang melayang ke
depan undakan- Itulah seorang Hwesio dan tiga orang preman,
orang terdepan adalah paderi berjubah abu2, tangan menenteng
tasbih, usianya 6o-an- Mereka bukan lain adalah para tamu agung
yang diculik ke Coat Sin-san-ceng, yaitu Lok-san Taysu, Tong Thian-
jong, Un It-hong dan Cu Bun-hoa.
Melihat kedatangan Lok-san Taysu, lekas Ling-san, Po san cian
Tin-san Taysu me mburu ma ju, seru mereka: "Suheng berhasil
menjebol kurungan musuh"
Lok-san Taysu berkata: "Kami bere mpat tinggal di kebun ini,
mendengar keributan di sini segera ka mi datang kemari. Ai,
pengalaman pahit ini agak panjang untuk diceritakan"
Sementara itu, Tong-lohujin juga sudah me lihat suaminya, kejut
dan girang hatinya, serunya: "Loyacu, kau tidak apa2 bukan?"
Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing juga berseru: "Ayah"
"Masih baik," ujar Tong Thian-jong sa mbil mengelus jenggot,
"beruntung kedatangan Ling-lote, dia bantu kami me munahkan
kadar racun yang mengera m dala m tubuh ka mi, kalau tida k mala m
ini tetap takkan bisa ke mari."
Sementara itu Ji-ping sudah me mburu ke de-pan Cu Bun-hoa,
teriaknya: "Ling-toako, kau tahu di mana pa manku dikurung?"
"Ji-ping, akulah pa manmu," ujar Cu Bun-hoa.
Berkedip mata Ji-ping, serunya heran, "Lantas di mana Ling-
toako?" "Paman terjebak oleh pere mpuan siluman itu dan dikurung di
bawah tanah, mala m tadi Ling-lote menolongku keluar, dia sudah
pergi." "Dia tidak bilang mau ke ma na?" tanya Ji-ping gelisah.
"Waktu pa man bangun, Ling-lote sudah t iada lagi."
Mendadak Tong lohujin berseru kaget: "Wah, perempuan siluman
itu sudah merat, hayo kejar"
Melihat gelagat jelek. tahu seorang diri takkan mampu melawan
musuh sebanyak ini, pada saat orang banyak ribut bicara, diam2
Hian-ih-lo-sat kabur bersama ketiga dayangnya.
Un It-hong tida k berbicara, maka dia bertindak lebih dulu, tapi
waktu dia tiba di depan pintu mendadak ia berhentikan- Se mentara
itu Lok -san Taysu, Tong thian- bong, Tong-lohujin Cu Bun-hoa
serta yang lain juga telah me mburu ma ju. Lekas Un It- hong
mencegah: "Se mua berhenti, ada perangkap dalam ruangan-"
Waktu semua berhenti, tertampak di dalam ruangan besar itu penuh
asap hitam seperti kabut tebal sehingga sulit me mandang keadaan
di dala m. "Seperti kabut tebal," ujar Lok-san Taysu.
Tong Thian-jong tertawa dingin,jengeknya: "inilah cek-yu-tok-bu
(kabut beracun) le kas mundur" Lalu dia berpaling, tanyanya: "Hujin me mbawa Lan ling-tan?"
"Barang2 yang diperlukan tentu kubawa seluruhnya," ucap Tong-
lohujin sambil tersenyum, lalu dia me mberi tanda ke belakang. Han-
koh segera tampil ke depan, tangan kiri terayun, tiga bintik cahaya
ke milau biru me luncur kedala m ruangan-
"Blang", terdengar ledakan keras dibarengi dengan muncratnya
ke mbang api. Bintik2 sinar ke milau biru itu segera menyala dan
berkobar waktu terkena asap hitam, terdengar suara mendesis di
tengah kabut hita m itu.
Ternyata Lan ling-tan (granat belerang biru) me mang pe munah
dari cek-yu-tok-bu atau kabut beracun itu, dalam sekejap kabut
gelap yang me menuhi ruangan segera sirna tanpa bekas. Kobaran
apipun lantas padam.
Tanpa diperintah Han-koh, pimpin anak buah-nya menerjang
masuk lebih dulu, Tong Thian-jong sua mi-isteri, Lok-san Taysu dan
lain2 bera mai2 ikut masuk, para paderi Siau-lim menyalakan obor
berada di barisan belakang. Ruang besar seketika terang
benderang, tapi bayangan Hian- ih-lo- sat sudah tak kelihatan lagi.
Berkerut alis Tong Thianjong, serunya: "Lekas periksa rumah
yang ada di sini." -Tangan kiri terayun, dia pukul roboh daun pintu
yang menutup ka mar di sebelah kiri.
Tapi hasil pe meriksaan semua orang tetap nihil, tiada bayangan
seorangpun di da la m perka mpungan sebesar ini. Bukan saja
bayangan Hian-ih-lo-sat tidak kelihatan, para kacung, pelayan dan
penjagapun tiada lagi.
"cepat juga perempuan siluman itu me larikan diri," kata Un It-
hong gusar. Sementara itu Cu Bun-hoa masih sibuk lihat sana periksa sini,
akhirnya dia menuju ke belakang pintu angin, ia mene kan dua kaki
di-sela2 dinding, maka terdengarlah suara keresekan, lantai di
tengah ruang tiba2 a mbles ke bawah, muncul sebuah lubang bundar
yang disambung undakan menjurus ke bawah.
"Lorong bawah tanah," seru Tong Thian-jong, "Pere mpuan
siluman, itu lari dari sini."
"Lekas kita kejar," seru Un It-hong.
"Menurut pendapat Siaute," timbrung Cu Bun-hoa, "lorong ini
mungkin mene mbus keluar taman, sekarang tentu perempuan
siluman itu sudah merat jauh."
Tenaga segera dikerahkan, semua orang dibagi tiga ke lompok
mengadakan pengge ledahan, tapi hasilnya tetap nihil, terpaksa
mereka keluar dari lubang ledakan se mula dan ke mba li ke bangsal.
To-pi-wan oh Siok-ha m maju me mberi hor-mat kepada Lok-san
Taysu. Tong Thian-jong lalu periksa keadaan Thong-pi-thian-ong
bertujuh, dalam setengah jam setelah diberi obat, ketujuh orang
berturut2 siuman, melihat orang banyak merubung mereka di dala m
ruangan, mereka merasa heran-
Begitu melihat Un It-hong, Thong pi-thian-ong lantas berteriak:
"Un-lotoa, tempat apakah ini?"
Melihat Lok-san Taysu dan paderi yang lain, sudah tentu Kim
Kay-thay juga kaget dan girang, lekas ia bangkit berdiri, serunya:
"Lok-san Suheng sudah lolos."
Setelah banyak mengala mi kesukaran,panjang lebar
pembicaraan mereka. Bahwa orang2 yang hi-lang kini sudah
dikete mukan dan tertolong semuanya, hanya Ling Kun-gi saja entah
ke mana perginya, maka Pui Ji-ping menjadi masgul, seorang diri
dia menunggu di serambi luar, ia menengadah mengawasi


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rembulan, guma mnya: "Ke manakah Ling-toako?"
Terdengar suara Tong Bun-khing ce kikikan di be lakang, katanya:
"Adik Ji-ping, kutahu apa yang sedang kau pikirkan-"
Merah muka Ji-ping, omelnya: "cis, kau sendiri yang me mikirkan
dia." oood wooo Tepat tengah hari, di depan La m-pak-ho, restoran terbesar di
kota An-khing yang terletak dija lan timur datang seekor kuda putih
yang gagah, sedemikian put ih bulunya laksana saiju, tiada bulu
warna lain di badannya. Penunggangnya seorang pemuda berjubah
hijau, usianya sekitar 19 an, wajahnya putih ha lus, bibirnya merah,
giginya putih, hidang mancung, gagah tapi juga lembut, gerak-
geriknya seperti anak sekolahan, tapi pedang tergantung
dipinggangnya sehingga ta mpak lebih perwira.
Baru saja pemuda jubah hijau melompat turun, pelayan restoran
cepat menyongsongnya, sipemuda serahkan tali kendali kudanya
kepada pelayan terus melangkah masuk langsung naik ke atas lo-
teng, dia pilih meja yang dekat jendela. Waktu itu saatnya makan
siang, tamu penuh sesak. untunglah si pe muda mendapatkan
tempat duduknya. Sambil menunggu hidangan pesanannya, dia
pandang keluar jendela me lihat pemandangan dijalan raya. Tiba2
didengarnya seorang pelayan berkata di sebelah belakang: "Siang
kong ini hanya sendirian, silahkan tuan duduk se meja saja di sana."
Waktu pemuda jubah hijau berpaling, dilihatnya pelayan
mengiringi seorang pemuda berpakaian ketat warna biru mendatang
ke arah mejanya, kursi di seberang mejanya di tarik keluar, lalu
pelayan menyilakan ta mu muda ini duduk.
Usia pe muda ini antara 27, alisnya tegak bermata besar,
wajahnya bersih kelihatan agak kurus, sebuah buntalan tergendang
di pundak. tampak gagang pedang yang beronce menongol ke luar
dari buntalannya. Sekali pandang orang tahu bahwa pe muda ini
pandai main silat, entah murid dari golongan mana dia"
Pemuda baju biru turunkan buntalannya dan taruh di pinggir
meja, katanya tertawa seraya memberi hormat pada pe muda baju
hijau : "Sungguh menyesal harus mengganggu saudara."
Pemuda baju hijau menjawab tawar: "Tidak apa2."
Pemuda baju biru lantas duduk berhadapan dengan pemuda baju
hijau, pelayan menyuguhkan pesanan pemuda jubah hyau sembari
tanya pemuda baju biru ma u pesan ma kanan apa.
Pemuda baju biru berkata, "Aku harus mengejar waktu dan
me lanjutkan perjalanan, arak jangan kau sedia kan, siapkan
makanan apa saja yang cepat, seporsi bak-pau, minum teh saja."
Pelayan mengiakan terus mengundurkan diri.
Setelah meneguk secangkir teh, pemuda baju biru berkata:
"Mohon tanya siapakah she saudara yang terhormat?"
Merah muka pe muda jubah hijau, sahutnya: "Siaute berhama Cu
Jing." "o, kiranya Cu-heng, beruntung bertemu di sini, cayhe Ban Jin-
cun," ujar pemuda baju biru, matanya me lirik cit-sing-kia m milik Cu
Jing yang di taruh dipinggir jendela, lalu mena mbahkan dengan
tertawa: "Cu-heng me mbawa pedang, tentunya mahir bermain
pedang?" Merah muka Cu Jing, katanya: "Siaute hanya belajar berapa jurus
cakar ayam saja, belum se mbabat dikatakan mahir."
Ban Jin-cun tertawa lebar, katanya: "Sekali bertemu rasanya
seperti sahabat lama, Cu-heng tak usah sungkan, cayhe yakin Cu-
heng bukan se mbarang orang, hari ini dapat berkenalan, sungguh
beruntung sekali . . . . " sampai di sini tiba2 sikapnya tampak
masgul, katanya: "Sayang Siaute mengala mi petaka, kalau tidak
ingin rasanya hari ini makan minum sepuasnya dengan Cu-heng . . .
." "Ah, saudara Ban pandai bicara," ujar Cu Jing ma lu2.
Pelayan datang pula me mbawa pesanan Ban Jin-cun, ma ka
mereka lantas makan minum sendiri, begitu lahap dan bernafsu
sekali mere ka ber-santap. tanpa diaadari bahwa seseorang telah
berdiri di sa mping meja mereka. Ban Jin-cun segera menyadari
adanya seseorang disamping mereka, cepat ia angkat kepala. Cu
Jing juga sudah tahu, iapun me lirik ke atas.
Orang yang berdiri di sa mping meja mereka adalah pe muda
berusia 25-an, pakaiannya ketat, warna biru tua, mengenakan
caping ba mbu, pedang besi terselip di pinggang, alisnya tebal,
wajahnya kelam mengkilap. tulang pipinya agak menonjol, mulutnya
yang lebar terkancing rapat, sepasang matanya besar dan
me mancarkan sinar terang lagi mendelik pada Ban Jin-cun tanpa
berkedip. jelas sikapnya yang garang ini t idak berma ksud ba ik.
"Saudara cari siapa?" tanya Ban J in-cun, menghentikan ma kan-
"Kau" sahut pe muda baju biru tua, suaranya kaku dingin.
Merasa belum pernah kenal, Ban Jin-cun merasa heran,
tanyanya: "Ada petunjuk apa saudara mencariku?"
"Kau murid golongan Ui-san?" tanya pe muda baju biru tua.
Setiap murid Ui-san se mua menggunakan hiasan ronce pedang
warna kuning, soalnya tiga puluh tahun yang lalu keluarga Ban dari
Ui-san ber-turut2 pernah menjabat tiga kali Bulim-bengcu, ma ka
ronce kuning menjadi simbol kebesaran margaban dari Ui-san-dan
ini sudah diakui oleh kaum persilatan umumnya.
"Betul," sahut Ban Jin-cun, "cayhe Ban Jin-cun, entah saudara dari aliran mana" Adakah ber-musuhan dengan pihak Ui-san ka mi?"
Pemuda baju biru tua menyeringai,jengeksnya: ."Aku datang dari
Ciok-bun, aku bernama Kho Keh-hoa."
Mendengar orang datang dari Ciok-bun, berubah hebat air muka
Ban Jin-cun, tanyanya dengan suara berat: "Pernah apa kau dengan
Liok-hap-kia m Kho cin-hoan?"
"Beliau ayahku a lmarhum," sahut Kho Keh-hoa.
Mendadak Ban Jin-cun ter-gelak2 katanya: "Ha ha, kebetulan
sekali, orang she Ban me mang-nya mau meluruk ke Ciok-bun."
Keluarga Kho dari Ciok-bun adalah marga terke muka dari Liok-
hap-bun yang sudah termashur di se luruh pelosok dunia, Liok-hap-
kia m Kho cin-hoan terkenal dengan ilmu pedangnya yang menjagoi
Bu-lim, konon tiada seorang musuh yang pernah melawannya lewat
tujuh jurus, oleh karena itu umum lantas me mberi julukan Liok-hap-
kia m (pedang ena m jurus) kepadanya.
Kho Keh-hoa terkekeh, ejeknya: "Akupun dala m perjalanan ke
Uisan untuk mencarimu."
Gemeratak gigi Ban Jin- Cun, desisnya: "Bagus sekali, hari ini kita
bertemu di sini, marilah kita cari tempat untuk menyelesaikan
pertikaian kita ini."
"Boleh kau pilih tempatnya," tentang Kho Keh-hoa.
"Lapangan latihan di pintu selatan, bagaimana?" kata Ban Jin cun
setelah berpikir sejenak.
"Boleh saja, cayhe akan berangkat lebih dulu, kalian boleh makan
minum sekenyangnya dulu," dingin dan congka k seka li kata2 Kho
Keh-hoa. Agaknya dia salah kira bahwa Cu Jing adalah teman Ban
Jin-cun, sembari bicara, dengan hina iapun melirik Cu Jing lalu
me langkah pergi.
Saking gusar muka Ban Jin-cun me mbesi hijau, ingin dia
menje laskan bahwa Cu Jing bukan temannya, tapi Kho Keh-hoa
sudah melangkah turun loteng. Ia menjadi kikuk. katanya menyesal:
"Dia kira Cu-heng adalah temanku, harap saudara cu t idak berkecil
hati." Selamanya belum pernah Cu Jing kelana di Kangouw, tapi dia
merasakan sikap dan pembicaraan kedua orang tadi penuh dendam,
keduanya berjanji due l dilapangan latihan di pintu selatan- Sudah
tentu dia tidak tahu pertikaian apa di antara kedua orang ini" Tapi
dari sikap masing2 ia yakin bahwa permusuhan kedua orang ini
tentu amat mendala m. Maka dengan sikap tak acuh ia berkata: "Dia
telah mengundangku juga, sudah tentu aku harus me menuhi
undangannya."
"Ini. ..... ai," sikap Ban Jin-cun tampak serba salah, "soal ini tiada sangkut pautnya dengan Cu-heng."
Cu Jing tertawa dingin: "Enteng saja saudara Ban bicara, "dia
sudah mengundangku, kalau aku t idak hadir berarti nyaliku kecil"
Ketahuilah se la manya tak pernah aku mengalah terhadap siapapun."
Ban Jin-cun melenggong, katanya tertawa: "Cu-heng me mang
belum tahu duduk persoalannya, keluargaku bermusuhan sedala m
lautan dengan keluarga Kho, hari ini kalau bukan dia yang mati
biarlah aku yang gugur, pertikaian balas me mbalas di ka langan
Kangouw ini, apalagi saudara cu orang luar, lebih ba ik engkau
jangan ikut ca mpur."
Ia rogoh uang receh serta panggil pelayan, katanya: "Rekening
saudara cu ini sekalian kubayar." Lalu ia berpaling ke arah Cu Jing
serta menjura, katanya: "Ber-hati2lah Cu-heng dala m perjalanan,
kalau aku tida k mati, kelak se moga bertemu lagi." Segera dia
panggul buntalannya terus turun loteng.
Lama Cu Jing melongo mengawasi Ban Jin-cun yang menghilang
di bawah tangga, ia berpikir: "Ban Jin-cun adalah anak didik
keturunan keluarga Ban di Ui san, sedang Kho Keh-hoa adalah
keturunan keluarga Kho di cioksbun, keduanya bukan kaum jahat,
me mangnya ada permusuhan mendala m apakah di antara kedua
keluarga besar ini ?"
Bergegas dia berdiri serta menje mput pedang terus me mburu
turun ke bawah loteng. Sementara kuda ia t itipkan kepada pelayan
restoran serta tanya di mana letak lapangan latihan di pintu selatan
itu, lalu dia cepat2 menuju te mpat yang ditunjuk.
Setiba di pintu selatan dia belok menyusuri sebuah gang dan
tibalah dia di sebuah tanah lapang berumput hijau, itulah alun2
yang cukup besar dan luas, sayang tempat ini tidak terawat, banyak
rumput liar tumbuh subur setinggi pinggang.
Tepat di tengah lapangan sana, berdiri berhadapan dua pemuda,
mereka adalah Kho Keh-hoa dan Ban Jin-cun. Karena ingin tahu
sebab musabah permusuhan kedua pe muda ini, dia m2 Cu Jing
merunduk lebih dekat, lalu sembunyi di belakang serumpun pohon
bambu yang lebih dekat dari tengah lapangan.
Terdengar Kho Keh-hoa tengah mengejek: "Kau hanya datang
sendiri?" "Me mang cayhe hanya sendirian," sahut Ban Jin-cun.
"Lalu mana kawanmu itu?" jengek Kho
Keh-hoa, "kau sembunyikan dala m hutan untuk me mbokongku?"
"Kau menista dan me mfitnah orang," da mprat Ban Jin-cun.
"Masa salah tuduhanku?" jengek Kho
Keh-hoa tak kalah
sengitnya. Mengira jejaknya diketahui Kho Keh-hoa, dengan dongkol segera
Cu Jing melompat keluar, dengusnya: "Kau mengundangku ke mari,
me mang-nya salah bila aku hadir?"
Kurang senang ta mpaknya Ban Jin-cun, katanya: "Cu-heng,
kenapa kau-pun ikut ke mari?"
"Apa katamu" Ikut ke mari?" jawab Cu Jing, "kenapa aku harus
ikut orang" orang she Kho tadi menantangku juga, sudah tentu aku
harus ke mari."
Kho Keh-hoe ter-gelak2, serunya: "Baik seka li kau berada di sini,
anggota keluarga Ban tiada seorangpun yang a kan kulepaskan-"
Mencorong benci sorot mata Ban Jin-cun, teriaknya bengis: "Apa
yang kau katakan me mang cocok dengan maksud hatiku, setiap
insan marga Kho takkan seorangpun kua mpuni jiwanya, cuma
saudara cu ini bukan sanak keluarga Ban ka mi, kebetulan tadi ka mi
bertemu di loteng restoran, jadi tiada sangkut pautnya dengan duel
kita ini."
"Baiklah, asal dia tida k ikut turun tangan, aku tida k akan
pandang dia sebagai musuh," ujar Kho Keh-hoa. "Sreng" tiba2 dia me lolos pedang besi yang terselip dipinggang, bentaknya:
"Sekarang kita mulai"
"Bagus sekali," seru Ban Jin-cun, pelan2 ia pun keluarkan pedang
dari buntalannya.
Sambil angkat pedangnya, berkata Kho Keh-hoa dengan
mengertak gigi: "orang she Ban dengarlah, Dengan pedang besi di
tanganku ini Kho Keh-hoa akan menagih 28 jiwa besar kecil
keluarga kho terhadap marga Ban ka lian, setiap insan she Ban
merupakan musuh bebuyutan keluarga kami, kau boleh tumple k
seluruh ke ma mpuan yang terang takkan kulepas kau pergi dengan
selamat." Menunjuk sorot gusar pada sinar mata Ban Jin-cun, bentaknya
beringas: "Tutup bacotmu, bapakmu Kho cin-hoan yang me mimpin
segerombolanbangsatberkedok.mala m2menggerebek
perkampungan keluarga Ban ka mi, ayah bundaku dan 19 jiwa
lainnya dibantai habis2an, aku bersumpah menuntut balas atas
ke matian keluargaku itu, kini kalau tidak kuhancur leburkan
tubuhmu, tidak terla mpias denda m kesumatku."
"Keparat kau," damprat Kho Keh-hoa, "yang terang bapakmulah
yang me mbawa gerombolan bandit menyerbu ke rumah ka mi, 28
jiwa tua muda dicacah hancur luluh, berani kau me mfitnah piha k
kami ma lah."
Kaget dan heran Cu Jing mendengar caci-maki dan saling tuduh
ini, ia me mbatin: "Kedua-nya bilang ayah mereka me mbawa
gerombolan dan ma in sergap di mala m hari, bukan mustahil dala m
persoalan ini ada latar belakangnya?"
Terdengar Ban Jin-cun berjingkrak gusar, ma kinya: "Kau kunyuk.
kau yang main tuduh dan me mfitnah."
"Perang mulut tiada gunanya, lihat pedangku" bentak Kho Keh-
hoa. "Sret", pedangnya yang pan-jang segera menusuk.
"Serangan bagus." seru Ban Jin-cun, segera ia balas menyerang.
Musuh besar berhadapan, mata sama me mbara, ma ka serangan
kedua pihak sa ma2 ganas tanpa kenal a mpun lagi, terdengar
rentetan bunyi benturan nyaring, keduanya sama menge mbangkan
ilmu pedang warisan keluarga masing2 dan saling labrak dengan
sengit. Menyaksikan pertarungan sengit ini, berkerut kening Cu Jing,
teriaknya keras: "Hai, kalian le kas berhenti, dengarkan omonganku."
Tapi kedua pe muda ini sa ma berdarah panas, sudah kesetanan
lagi oleh denda m keluarga yang tidak terla mpias, mereka tida k
hiraukan seruan Cu Jing, malah gerakan pedang mereka semakin
gencar untuk merobohkan musuh.
Melihat seruannya dire mehkan, Cu Jing naik pitam, dengusnya:
"Patut ma mpus, kalian tida k mau dengar nasihatku, boleh sila kan
saling ganyang, mati hidup kalian me mangnya tiada sangkut
pautnya dengan aku" Karena marah, dia putar badan hendak tinggal
pergi. Tiba2 seseorang seperti berbisik di pinggir telinganya: "Kau
ke mari sebagai penengah, belum me misah kenapa di tingga l pergi"
Cu Jing tertegun, dia berpaling dan Celingukan, tapi tiada
bayangan orang lain, keruan ia bingung dan heran- Kalau kuping
sendiri salah dengar, tapi jelas ada orang berbisik di pinggir
telinganya, tak mungkin salah lagi.
Tengah dia celingukan dengan bingung, suara itu berkata pula
"Hai, Buyung, kenapa melongo saja" Tidak lekas kau maju
me misah, satu di antara mereka mungkin bisa mati konyol."
Kali ini Cu Jing mendengar jelas, orang di belakangnya. Dengan
sigap dia me mba lik badan, tapi tetap tidak melihat bayangan
seorangpun, keruan ia terkejut, jelas orang itu bicara di
belakangnya, kenapa tidak kelihatan, dengan merinding dia
bertanya: "Siapakah kau?"
"Aku ya aku," suara itu berbisik pula.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masa kau tidak punya she dan na ma?" ta-nya Cu Jing.
"Betul, aku orang tua me mang tidak punya she dan nama," sahut
suara itu dengan tertawa.
Di kala orang bicara, dengan gerakan cepat Cu Jing me mbalik
badan, tapi tetap tidak melihat bayangan orang. Malah suara orang
berkumandang di telinganya: "Kau tidak usah berpaling, umpa ma
kau putar2 sampai pusing tujuh keliling juga tidak akan bisa melihat
aku orang tua."
"Me mangnya kau setan" seru Cu Jing. Tanpa terasa dia
merinding. "Di siang hari bolong mana ada setan" seru suara itu. "Aku orang tua ini adalah dewa hidup sungguhan, kau percaya tidak?"
Cu Jing geleng kepala, katanya: "Aku t idak percaya."
"Tida k percaya tidak jadi soa l, lekas me lerai mereka."
"Mereka lagi
berhanta m sengit, bagaimana aku bisa me misahnya?"
"Kau tidak usah kuatir, loloslah pedangmu, gunakan jurus Thian-
to-tiong-ho terus terjang ke tengah mereka, aku akan membantumu
secara diam2."
Segera bisikan suara itupun menerangkan lebih lanjut: "Thian-to-
tiang-ho adalah sejurus ilmu pedang dari Bu-tong-pay, kau bisa
ma inkan t idak" Yaitu pedang tusuk lurus ke depan, la lu ujung
pedang mendongak ke atas terus di sendal saja begitu."
"segampang itu?" seru Cu Jing tidak percaya.
"Kan ma ksudmu me misah" sudah tentu se makin ga mpang
semakin bermanfaat. Ai, buyung, jangan banyak bertanya, cukup
asal kau bergaya dan berpura2 saja, biar a ku yang me mbantumu. "
"Umpa ma berhasil me misah mereka, apakah mereka mau di
lerai?" tanya Cu Jing.
"Setelah mereka kau pisah, bekerjalah lebih lanjut menurut
petunjukku."
Dengan seksama Cu Jing dengarkan suara orang, terasa serak
dan rendah berat, ia tahu pasti seorang cianpwe kosen yang aneh
tabiatnya, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, aku akan bekerja
menurut petunjukmu " Setelah berpikir la lu dia bertanya pula
"Apakah nanti kau tida k akan unjukkan dirimu?"
"Kau Buyung ini mewakilkan aku bekerja kan sudah cukup,
muncul atau tida k bagiku sa ma saja. Nah, lekas maju, ingat jangan
pedulikan jurus serangan apapun yang tengah mereka lancarkan,
kau tetap gunakan jurus Thian-to-tiong-ho saja."
Dengan heran dan penuh tanda tanya Cu Jing keluarkan pedang
terus mendekati gelanggang.
Waktu itu pertempuran Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa sudah
mencapai babak genting me nentukan, pedang mereka dengan
berlomba kecepatan merobohkan lawan, lingkaran sinar pedang
laksana ke lebat kilat menyamber.
Ui-san kia m-hoat menguta makan ketenangan dan ke mantapan-
Sebaliknya Liok-hap-kia m dari keluarga Kho yang tersohor
menguta makan tusukan dan menutuk. oleh karena itu murid
didiknya semua menggunakan batang pedang yang tipis dan
panjang, begitu ilmu pedang dike mbangkan, bagai bint ik2 sinar
perak bertaburan. Konon kalau Liok-hap-kia m-hoat diyakinkan
sampai taraf tertinggi, sejurus gerakan pedang sekaligus dapat
menusuk telak 36 Hiat-to musuh, maka dapatlah dibayangkan
betapa cepat gerak serangannya.
Kira2 tujuh kaki di luar gelanggang pertempuran Cu Jing sudah
merasa silau dan tersampuk oleh angin kencang yang me mbendung
langkahnya, bayangan orang dan sinar pedang sukar dia bedakan,
sesaat ia berdiri me longo tak tahu apa yang harus dia kerjakan"
Baru saja ia merandek, suara tadi lantas mendesaknya: "Sudah
kubilang jangan kau pedulikan mereka. Nah, bersiaplah, angkat
pedangmu dan cungkil." -Begitu suara orang masuk telinga, tanpa
kuasa tangan kanan Cu J ing yang me megang pedang tiba2 bergerak
terus menyongke l ke depan-
Kalau dituturkan me mang aneh, dengan serampangan
pedangnya menyongkel, tapi justru menimbulkan kejadian aneh.
Terdengar "trang-tring" dua kali, kedua batang pedang Ban Jin cun
dan Kho Keh-hoa yang sedang saling labrak dengan sengit itu
lengket seperi tersedot oleh besi sembrani, se muanya menindih
pada ujung pedang Cu Jing tanpa bisa berge ming lagi.
Keruan kedua orang sa ma terbelalak kaget, mereka kerahkan
tenaga dan menarik sekuatnya, tapi pedang mereka seperti
me lengket di ujung pedang Cu Jing, tak kuasa mereka menariknya.
Merah mata Ban Jin-cun, serunya: "Cu-heng, aku takkan hidup
berjajar dengan dia, lebih baik jangan kau turut ca mpur."
Kho Keh-hoa juga menggerung murka, teriaknya:. "Apa2an
maksud saudara ini?"
Pada saat itulah, suara tadi mengiang pula di telinga Cu Jing:
"Buyung, sekarang beritahu mereka bahwa atas perintah gurumu,
kau disuruh me lerai perke lahian mereka."
Cu Jing merasa heran, batinnya: "Masa kedua orang ini juga
tidak me lihat bahwa di belakangku ada orang?" Maka sa mbil
menuding pedangnya ia berkata: "Kalian harap berhenti dulu, atas
perintah guru cayhe sengaja kemari untuk me lerai permusuhan
keluarga ka lian."
"Cu-heng," kata Ban Jin-cun, "Sakit hati ke matian orang tua
setinggi langit, ini bukan permusuhan biasa, buat apa Cu-heng
menca mpuri urusan ini"
"Betul,"jengek Kho Keh-hoa, "aku pantang berdiri sejajar di dunia ini dengan dia, kalau bukan aku yang gugur, biar dia yang mampus,
tak usah orang lain melerai segala."
Cu Jing tersenyum, katanya: "Kalian sama2 menuduh ayah lawan
menyerbu rumah kalian serta me mbunuh segenap anggota
keluarganya, kukira dala m peristiwa ini ada latar bela kang ....."
Tiba2 suara tadi terke keh dipinggir telinganya, katanya: "Tepat
sekali ucapanmu Buyung."
"Me mang betul omongan Cu-heng, ayahku almarhum sudah
meninggal setahun yang la lu karena sakit, mana mungkin
me mimpin orang menyerbu ke C iok-bun segala, keparat ini hanya
me mbua l be laka."
"Kaulah yang me mbuat," maki Kho Keh-hoa, "Sudah terang
bapakmu me mbawa gerombolan penjahat menyergap rumah ka mi,
seluruh keluargaku tiada yang ketinggalan hidup, ayahku jelas
meninggal di bawah pedang bangsat she Ban, mana mungkin
me mbawa orangnya menyerbu ke Ui-san, jelas kau me mfitnah dan
cari alasan belaka untuk menista pihak ka mi, aku bersumpah takkan
hidup berda mpingan dengan keluarga Ban kalian- Keparat, lihat
pukulan" Karena pedang mereka lengket dengan pedang Cu Jing dan tak
kuat ditarik ke mbali, saking murka Kho Keh-hoa lantas ayun kepalan
menggenjot ke muka Ban Jin- cun, Sudah tentu Ban Jin-cun tak
mau kalah, jengeknya: "Me mangnya aku takut pada mu?" iapun
ayun tangan kiri balas me nyerang.
Jarak kedua orang cukup dekat, maka kedua pihak lantas beradu
pukulan- Tapi begitu kepalan saling sentuh, seketika mereka
merasakan sesuatu yang ganjil, hakekatnya kepalan sendiri tida k
bersentuhan dengan kepalan lawan, di tengah antara mereka se-
olah2 ada lapisan lunak yang tida k ke lihatan me mbendung pukulan
mereka, musuh jelas terlihat di depan mata, tapi pukulan sukar
mencapai sasaran. Hati mereka sa ma2 mencelos, pikirnya: "Entah
siapa orang she cu ini" Usianya masih begini muda, tapi me mbeka l
Lwekang begini tinggi. "
Sudah tentu Cu Jing juga menyaksikan dengan jelas, dia tahu
bahwa tokoh di belakang dirinya yang me misah pukulan kedua
orang, dan anehnya mereka berdiri di samping dirinya, kenapa tidak
me lihat tokoh yang ada dibe lakangnya.
Maka didengarnya suara tadi berkata pula: "Nah, sekarang boleh
kau turunkan pedangmu, katakan urusan ada pangkal ujungnya,
utang bisa ditagih, ka lau mau berke lahi juga boleh setelah terang
persoalannya,"
"Harap kalian berhenti dulu," kata Cu Jing menurut petunjuk itu,
"utang jiwa bayar jiwa, utang uang harus ditagih, kalau mau
berkelahi boleh juga, tapi urusan harus dibikin terang lebih dulu."
Lalu pe lan2 dia turunkan pedangnya.
Begitu pedangnya ia tarik, kedua orang segera merasa longgar,
cepat mundur seraya menurunkan pedang .
Kata Ban Jin-cun- "cara bagaimana Cu-heng hendak me mbikin
terang urusan ka mi?"
Belum Cu Jing menjawab, suara tadi sudah berkata: "Suruh
mereka menceritakan kejadian yang menimpa keluarga mereka
masing2?" Cu Jing lantas berkata: "Siaute ke mari atas perintah guru,
soalnya urusan kalian terlalu janggal, banyak liku2 yang
mencurigakan, sudikah kalian menuturkan dulu peristiwa yang
menimpa keluarga kalian masing2?"
Terpaksa kedua orang memasukkan pedang kedala m sarung
serta mundur lagi selangkah.
Ban Jin-cun lantas berkata: "Boleh cu- heng suruh dia men-
jelaskan lebih dulu."
Kho Keh-hoa menyeringai dingin: "Boleh saja, kenyataan
terpampang di depan mata, me mangnya kau dapat mungkir?"
"Marilah kita duduk di sini," ajak Cu Jing.
Ban Jin- Cun dan Kho Keh-hoa menurut, mereka bersimpuh di
atas rumput tanpa bicara. Terdengar suara tadi me mbisiki pula:
"Suruhlah bocah she Kho tuturkan pengala mannya."
"Kho- heng," kata Cu Jing segera, "boleh kau bercerita lebih
dulu." Terpancar sinar beringas dari mata Kho Keh-hoa menatap Ban
Jin-cun, katanya penuh kebencian.
"Pada suatu mala m kira2 setengah bulan yang lalu, baru
kentongan pertama, tanpa sengaja pamanku kedua melihat
bayangan puluhan orang bergerak di bawah gunung dan berlari2
naik ke punca k, waktu itu jaraknya masih beberapa li dari ruma h
kami, pa man tida k tahu pendatang kawan atau lawan" cepat ia
me mberitahukan kepada ayah disa mping me mberi peringatan
kepada semua orang untuk bersiaga. Di bawah pimpinan pa man
sendiri bersa ma beberapa centeng se mbunyi di depan rumah, ka mi
ingin tahu siapakah pendatang itu ....." sekaligus bicara sampa i
disini baru ia berganti napas: "mala m itu kebetulan tanggal 14,
bulan terang benderang, baru saja aku bersama paman dan lain
menye mbunyikan diri, puluhan orang itupun sudah tiba, tampak
yang berlari paling depan adalah seorang laki2 tegap bermuka
merah berja mbang hita m, mengenakan baju hijau, menenteng
pedang beronce kuning, begitu melihat orang ini pa man lantas
bersuara heran, cepat dia melompat keluar menyongsong, serunya:
Ban bengcu ma la m2 berkunjung, Siaute Kho cin-sing terla mbat
menya mbut, harap dimaafkan- Dari seruan paman itu aku baru tahu
bahwa pendatang adalah Thok-tah-thian-ong Ban Tin- ga k. yang
dulu pernah menjabat Bu-lim Bengcu, maka akupun me lompat
keluar ikut menya mbut"
Belum orang selesai bicara tiba2 Ban Jin-cun menyengek: "Kukira
tidak benar, ayahku sudah meninggal setahun yang lalu, mana
mungkin orang yang sudah mati setahun la manya muncul di cioks-
bun?" "Apa yang kututurkan adalah kejadian yang nyata," teriak Kho
Keh-hoa gusar. "Me mangnya aku mengarang cerita bohong?"
Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah bo-cah she Ban itu tidak
menyela lagi, dengarkan dulu cerita bocah she Kho sa mpai se lesai."
Cu Jing lantas berkata: "Kalian tida k usah ribut, di sinilah
kejanggalan yang kumaksud tadi, sementara harap saudara Ban
bersabar, dengarkan dulu cerita saudara Kho sa mpai habis."
Kho Keh-hoa meneruskan ceritanya: "Melihat pa manku, Ban Tin-
gak manggut2 sambil balas hormat, tanyanya: Kho ji-heng jangan
sungkan, apakah kakakmu di rumah" Pa man mengangguk sambil
berpesan padaku: Keh-hoa, lekas lapor pada Toa-ko, katakan Ban-
bengcu dari Ui-san datang. Belum lagi aku sempat mengia kan Ban
Tin-gak telah berkata pula dengan nada berat: Tak usahlah. Belum
habis dia bicara, mendadak ia melolos pedang terus menusuk
paman, karena sedikitpun tidak bersiaga dan tidak menduga, kontan
paman tertusuk mati . . . . "
"Waktu itu saudara Kho kan berdiri di be lakang pa manmu, kau
tidak se mpat turun tangan?" tanya Cu Jing.
"Waktu paman bicara padaku, aku sudah melangkah setindak.
jadi berdiri di sa mping pa man, tapi tusukan Ban Tin-gak me mang
amat cepat, apalagi kejadian teramat mendadak dan di luar dugaan,
baru saja aku mendengar suara pedang terlolos, sinar pedang sudah
berkelebat laksana kilat, tahu2 pamanpun roboh mandi darah,
keruan kagetku bukan ma in, waktu aku mendelik ke arah Ban Tin-
gak, bangsat tua itu menyeringai, kata-nya: Lohu me nga mpuni
jiwa mu, supaya keluarga Kho kalian tida k putus turunan- Menyusul
telapak tangan terayun ke arahku . . . . "
"Tanpa me mba las saudara Kbo lantas terluka?" tanya Cu Jing.
Gemeretak gigi Kho Keh-hoa. "Entah gerakan apa yang
digunakan bangsat tua itu" Hanya terasa dadaku sepeiti dipukul
godam, badan lantas mencelat tiga tombak jauhnya, pikiran masih
sadar, tapi tenaga habis badan lunglai, Lwe kang dan kepandaianku
telah punah dalam sekali pukul tadi, maka dengan mata terbelalak
aku hanya bisa mengawasi bangsat tua itu pimpin anak buahnya
menerjang ke dala m rumah, keadaan menjadi kacau-balau, suara
benturan senjata berkumandang, sungguh mengenaskan 28 jiwa
penghuni perka mpungan ka mi itu tiada satupun yang ketinggalan
hidup oleh sergapan me ndadak ini, ayah-bunda mati tertusuk
pedang . . . "
Terdengar suara tadi berkata: "Suruhlah dia berpikir cermat,
adakah bagian ceritanya yang ketinggalan?"
Cu Jing segera menurut, tanyanya, "coba saudara Kho pikir lagi
lebih se ksa ma, adakah kejadian lain yang terlepas dari ceritamu
tadi." Kho Keh-hoa berpikir sejenak. katanya: "Tiada lagi, kerja
gerombolan itu cukup rapi, di antara 28 korban yang meninggal,
kecuali ayah bundaku yang terbunuh oleh pedang, yang lain terluka
oleh berbagai maca m senjata. ada senjata rahasia beracun lagi, tapi
tiada satupun senjata rahasia yang kute mukan, tiada pula tanda2
lain yang mencurigakan. "
Sampa i di sini, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran,
katanya sambil menuding Ban Jin-cun- "Denda m kesumat sedala m
lautan ini, kaulah yang harus melunasinya . "
Kuatir kedua orang timbul keributan lagi, lekas Cu Jing
me mbujuk: "Harap Kho-heng bersabar sebentar, sekarang giliran
Ban-heng menceritakan pengala mannya."
"Akhir musim se mi tahun yang lalu," de mikian Ban Jin-cun
mengawali ceritanya, "ayahku keluar menya mbangi sahabat, kira2
setengah bulan ke mudian be liau pulang diantar seorang pa man
angkatku, katanya dibokong orang, waktu pulang sampai rumah
sudah tak mampu bicara, akhirnya beliau meninggal karena tidak
terobati."
Terdengar suara tadi berkata kepada Cu Jing "Tanyakan Tok-tah-


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

thian-ong dibokong oleh siapa, di mana letak luka2nya?"
Cu Jing lantas bertanya: "Entah siapakah yang melukai ayahmu,
di bagian mana letak luka2nya?"
"Setiba di rumah ayah sudah tak bisa bicara," demikian tutur Ban
Jin-cun lebih lanjut," menurut pa man, ayah dibokong orang pada
suatu pegunungan, setelah beliau terluka dan lukanya cukup parah,
tak mungkin buru2 pulang ke rumah, ma ka beliau ber-lari ke Kim-
keh-ce, tempat kedia man pa manku itu, dia hanya bilang terkena
pukulan Bu-sing-ciang, jiwanya pasti mangkat dala m tujuh hari,
beliau minta pa man suka me lindungi ke luarganya ........."
"Siapa pa man angkat yang Ban-heng maksudkan?" tanya Cu
Jing. "Pamanku she cek bernama Seng-jiang, kenalan turun temurun,
sejak kecil pa manku itu sudah angkat kakekku sebagai ayah angkat,
pernah dia menjabat suatu pangkat dala m pe merintahan, sekarang
dia sudah pensiun dan menikmati hari tuanya di rumah."
Terdengar suara orang tadi tidak sabar lagi, dia mendesak:
"Suruh dia lekas tuturkan persoalannya, aku masih ada urusan la in-"
"Kapankah keluar Ban-heng mengala mi sergapan musuh?" tanya
Cu Jing segera.
"Pada tanggal 16 ma la m," sahut Ban Jin-cun.
Kho Keh hoa segera menjengek: " Keluargaku mengala mi petaka
pada tanggal 14 mala m, Jadi ayahku sudah meninggal dua hari
la manya, bagaimana mungkin be liau me mbawa orang menyerbu ke
Ui-san me mbunuh keluarga mu?"
Ban Jin-cun tida k hiraukan ucapan, orang tuturnya lebih lanjut:
"Sejak ayah meninggal, ibu sangat sedih dan menangis terus
menerus, akhirnya beliau jatuh sakit dan tak bangun lagi, mala m itu
kira2 baru lewat kentongan pertama, baru saja aku keluar dari
kamar ibu hendak ke mbali ke ka marku, mendadak kudangar suara
ribut dan bentakan orang ramai serta benturan senjata, waktu aku
me mburu keluar, tampak puluhan laki2 berkerudung sedang lari
kian ke mari, melihat orang lantas bunuh, banyak korban sudah
berguguran, gerombolan itu semua berkepandaian tinggi, cara turun
tangannya juga amat keja m.
"Liok-siok (pa man keena m) Lui-kong (aki petir) Ban Liok-jay
tampak sedang berhantam dengan seorang laki2 berja mbang dan
berpedang, kudengar paman mencaci dengan murka: Kho cin-hoan,
keluarga Ban ka mi ada permusuhan apa dengan Liok-hap-bun
kalian" Tanpa hiraukan peraturan Kangouw ma la m2 kau bawa
gerombolan penjahat menyerbu ke mari, me mbantai ke luarga ka mi
......" "Mungkin dia sedang berhanta m dengan setan," ejek Kho Keh-
hoa. Terdengar suara tadi berkata: "Tanyakan, apakah hanya Liok-
hap-kia m Kho cin-hoan saja yang tidak berkerudung?"
Cu Jing lantas tanya: "Ban-heng melihat je las, di antara sekian
banyak : gerombolan berbaju hitam itu, hanya Liok-hap-kia m Kho
cin-hoan saja yang tida k berkedok?"
"Ya, dia tida k me ma kai kerudung."
"Suruh dia me lanjutkan," pinta suara tadi.
"Akhirnya bagaimana?" tanya Cu Jing segera,
"Sudah tentu aku a mat murka," tutur Ban J in-cun, "wa ktu aku me lolos pedang, mendadak kudengar seorang me mbentak
disa mpingku, robohlah kau." Batok kepalaku seperti ditempeleng
sekali, kontan aku jatuh semaput, waktu aku siuman ke mbali hari
sudah terang tanah, kawanan penjahat sudah tak kelihatan
bayangannya, tapi anehnya setelah semaput setengah malaman,
waktu siuman, aku tidak kurang suatu apa2, sampai sekarang aku
masih tak habis mengerti, kenapa orang itu tida k me mbunuhku"
Sedang seluruh penghuni ruma hku se muanya mati dala m keadaan
yang mengenaskan. cepat aku lari ke ka mar ibu, kedua pelayan
pribadi ibu terbunuh dengan senjata rahasia beracun dan ibuku . . .
." Menyinggung ibunya, tak tertahan air mata bercucuran saking
sedih, tuturnya lebih lanjut. "Beliaupun rebah kaku di atas ranjang,
darah hitam mele leh dari pundak kirinya, jelas beliaupun terbunuh
oleh senjata beracun, tapi tak kutemukan senjata rahasia apapun . .
. . akhirnya setelah pikiran agak tenang baru kudapati jari tangan
kanan ibu menggengga m kencang, ternyata dalam telapak
tangannya menggengga m sebuah senjata rahasia."
Tak tahan Kho Keh-hoa menyela: " Liok- hap-kia m sela manya tak
pernah me ma kai senjata rahasia, apalagi beracun, entah senjata
rahasia macam apakah itu?"
"Suatu benda berbentuk bintang sebesar biji melinjo, berwarna
hitam lega m."
Suara tadi berbunyi pula di telinga Cu Jing: "Tanyakan apa dia
me mbawa senjata rahasia itu, suruh dia ke luarkan supaya kulihat."
"Entah senjata rahasia itu Ban-heng bawa atau tidak sekarang?"
tanya Cu Jing. "Selalu kubawa ke manapun aku pergi," sahut Ban Jin-cun.
"Bolehkah Ban-heng perlihatkan pada ku?" tanya Cu Jing.
"Sudah tentu boleh," ujar Ban J in-cun- Lalu di merogoh kantong
menge luarkan sebuah buntalan kecil.
Pada saat itulah, mendadak bayangan seseorang laksana burung
elang menukik dari angkasa meluncur turun cepat dan hinggap di
depan Ban Jin cun, di mana sinar berkelebat, sebatang pedang tipis
panjang tahu2 menyongkel ke depan, maka buntalan ka in di tangan
Ban Jin-cun seketika mencelat ke atas, sekali samber orang itu
menangkapnya dengan tangan lain, berbareng kedua kaki menjeja k
tanah, tubuhnya mencelat pula ke udara.
Kejadian ini terla lu mendadak, gerakan orang-pun teramat cepat
dan tangkas lagi, hakikatnya tiga anak muda itu t idak me lihat jelas
bayangan siapa orang tadi dan tahu2 buntalan ditangan Ban Jin-cun
sudah direbut orang.
Sudah tentu Ban Jin cun yang paling kaget, cepat ia me mbentak
seraya berdiri, baru saja dia hendak mengudak. tiba2 dilihatnya
bayangan orang yang sudah mela mbung ke udara itu berjumpalitan
beberapa kali di atas terus melayang turun pula dan "bluk",jatuh
dengan keras di tanah.
Baru sekarang mereka bertiga sempat melihat jelas orang itu
berpakaian hita m, bertubuh tinggi kurus, wajahnya kuning, gerak-
geriknya gesit, dengan tangkas dia melejit bangun terus henda k
me larikan diri pula, tapi baru saja dia lari beberapa tindak,
mendadak badannya bergetar terus berhenti dan mematung kaku di
tempatnya. Sudah tentu Cu Jing bertiga menyaksikan dengan melongo
keheranan. Mendadak terdengar suara serak tua bergelak tertawa.
katanya: "Dihadapan aku orang tua, dengan sedikit kepandaianmu
ini berani kau bertingkah?" - Suara ini berge ma seperti
berkumandang dari angkasa, tapi seperti juga bicara di sa mping
mereka bertiga, keruan Ban Jin-cun dan Kho Keh-hoa melongo
kaget. tanpa janji mereka celingukan kian ke mari, tapi mana ada
bayangan orang"
Cu Jing maklum Hiat-to la ki2 kurus baju hita m ini terang ditutuk
oleh orang tua yang sejak tadi bicara dengan dirinya itu, diam2 ia
kaget dan kagum luar biasa, bayangan orang tua ini tidak kelihatan,
entah dengan cara apa dia menundukkan orang berbaju hitam ini" .
Terdengar orang berbaju hitam mencaci ma ki dengan beringas:
"Bangsat tua, siapa kau" Ma in se mbunyi, terhitung orang gagah
maca m apa" Me mangnya kau tida k cari tahu siapa tuan besarmu
ini" Suara serak tua itu tergelak2, ujarnya: "Kau bocah ini belum
setimpal tanya siapa aku orang tua ini. Tapi berani kau kurang ajar
padaku, ma ka kau harus kuhukum. Nah, sekarang ga mparlah
mulut mu sendiri"
Sungguh aneh, mendadak si baju hitam angkat kedua tangan
sendiri, "Plak-plok," berulang kali ia benar2 mengga mpar mukanya
sendiri. Cu Jing bertiga yakin si baju hita m terang tak rela mengga mpar
muka sendiri, sorot matanya tampak mena mpilkan rasa kebencian,
tapi juga jeri dan tak berani bersuara lagi. Keruan ketiga anak muda
yang menyaksikan itu sa ma tertegun.
Terdengar suara serak itu berkata "Nah, urusan kedua keluarga
kalian akupun tidak perlu banyak mulut, kalian tidak perlu saling
bunuh pula, sebab musabab peristiwa yang menimpa ke luarga
kalian boleh tanyakan pada kunyuk hitam ini, aku orang tua hendak
pergi." Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa menengadah ke atas, tanyanya
dengan hormat: "Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, mohon
tanya siapakah gelaran engkau orang tua yang mulia?"
Tapi seke lilingnya sunyi senyap. kiranya cian-pwe kosen yang
terdengar suara tapi tak terlihat bayangannya itu sudah pergi entah
ke mana. Ban Jin-cun lantas menjura kepada Kho Keh-hoa, katanya: "Kho-
heng, perihal permusuhan keluarga kita, berkat petunjuk Locianpwe
itu, bukan saja telah menghimpas kesalah paha man kita berdua,
beliaupun telah menawan seorang musuh, pada dirinyalah kita
harus menuntut balas dan menyelidiki siapa gerangan biang keladi
dari se mua petaka yang menimpa keluarga kita ini."
"Apa yang dikatakan Ban-heng me mang benar," ujar Kho Keh-
hoa. Mereka lantas mengha mpiri si baju hita m, Ban Jin-cun merogoh
kantong orang menga mbil balik buntalan kainnya tadi dan dibuka,
isinya me mang benda hita m berbentuk bintang sebesar biji me linjo."
Haru dan pedih hati Ban Jin-cun, katanya berlinang air mata:
"Silakan periksa Kho-heng, inilah senjata rahasia yang kuperoleh
dari tangan ibuku.."
"Simpanlah dulu saudara Ban," kata Kho Keh-hoa, "tawanan
hidup ada di depan mata, me mang-nya berani dia tidak mengaku."
Ban Jin-cun segera bungkus lagi senjata rahasia itu dan disimpan
dalam baju. Dengan ujung pedangnya Kho Keh hoa ancam tenggorokan
orang berbaju hitam, desisnya dengan penuh dendam: "Kau sudah
berada di tangan kami, mau hidup atau ingin mati, terserah padamu
mau tidak menjawab pertanyaan ka mi."
Waktu mereka mendekat, orang kurus berbaju hitam lantas
pejamkan mata tanpa bersuara sekecap-pun-
Dingin suara Ban Jin cun- "Apa yang dikatakan saudara Kho
sudah kau dengar bukan" Yang ingin ka mi cari adalah biang
keladinya, asaikan kau terangkan siapa perencana peristiwa ini,
kami a kan a mpuni jiwa mu."
Orang itu tetap berdiri tegak, bibirnya tetap terkancing rapat, se-
olah2 buta dan tuli, anggap tidak dengar semua pertanyaan
mereka.. . Kho Keh-hoa naik pitam, ujung pedangnya yang mengancam
tenggorokannya bergetar, bentaknya: "Keparat, dengar tidak
pertanyaan kami?" Betapa runcing ujung pedangnya itu, sedikit
menggunakan tenaga saja kulit daging teng gorokan si baju hita m
sudah terluka, tampa k darah hita m me mbasahi dada.
Manusia umumnya berdarah merah, tapi la ki2 kurus berbaju
hitam ternyata mengeluarkan darah warna hitam, darah hita m
kental seperti tinta.
Tergerak hati Ban Jin-cun, katanya gugup: "Kho-heng, agak
ganjil keadaannya" Kho Keh-hoa melongo, tanyanya: "Apanya yang
ganjil?" Hanya beberapa patah kata bicara, tertampak darah kental hitam
yang mengucur dari tenggorokan laki2 baju hita m itu sema kin deras
me mbasahi se kujur badan, segera hidung mereka mengendus bau
busuk. Sebetulnya tenggorokannya hanya tertusuk sedikit, tapi
dalam sekejap luka itu sudah me lebar dan me mbusuk. darah yang
me leleh keluar se makin banyak, bau busuk se makin keras dan
menja lar ke sekujur badan. Ban Jin-cun jadi curiga, tanyanya: "Kho-
heng, pedangmu kau lumuri racun?"
Kho Keh-hoa sendiri terkesima sahutnya gugup: "Belum pernah
kulumuri racun pedangku ini ..... " sembari bicara dia angkat
pedangnya, ternyata ujung pedangnya telah berwarna hitam legam.
seketika ia bersuara kaget dan heran-
Sudah tentu Ban Jin-cun juga kaget dan heran pula, mendadak
tergerak pikirannya, tanpa bicara dia angkat pedang dan menggores
pundak serta lengan la ki2 baju hita m, ke mbali darah hita m mele leh
keluar. Ternyata ujung pedang Ban Jin-cun juga segera berubah hitam
legam, mirip dengan ujung pedang Kho Keh-hoa, seperti pernah
direnda m dala m racun- Tak kepalang kagetnya, serunya: "Racun
yang jahat sekali"
"Me mangnya dia sudah ma mpus?" tanya Kho Keh- hoa.
"Ya, mungkin tahu tiada harapan hidup, dia telan racun yang
keras sekali bekerjanya."
Kho Keh-hoa menghela napas, katanya: "Dia sudah mat i, tak
mungkin dimintai keterangan lagi."
"Dia meninggalkan sebatang pedang," ujar Ban Jin-cun, "tidak
sukar mencari tahu asal usul-nya dari senjatanya ini." Tiba2
mulutnya bersuara seperti ingat apa2, katanya pula: "Saudara cu
ke mari atas perintah gurunya untuk melerai permusuhan kita, kukira
gurunya pasti tahu siapa musuh kita bersa ma?"
Kho Keh-hoa me mbenarkan, berbareng mereka me noleh ke sana.
Selama beberapa saat itu Cu Jing tidak ikut ke mari, dikiranya dia
sudah pergi, tak tahunya dia sedang berdiri menengadah sambil
me la mun, entah apa yang sedang dipikirkan. Te mpat di mana dia
berdiri jaraknya hanya dua tombak dengan Ban dan Kho berdua,
jadi badan laki2 kurus berbaju .hita m yang mula i me mbusuk itupun
tidak dilihatnya.
Me mang dala m sekejap ini kulit daging si baju hita m bagian atas
sudah mula i jadi cairan darah dan membusuk dengan cepat sekali,
tulangnya ====================================
Jilid 10 Halaman 55/58 Hilang
====================================
--rangan tangan- Soalnya gerakan Jiau-kau-sek ini terlalu
gampang, sekali belajar siapapun pasti bisa, selanjutnya dia ulangi
jurus kedua Bak-kau-sek. tangan kiri pe lan2 terayun ringan ke
belakang, sudah tentu gerakan ini dia sudah mahir seka li.
Setelah beberapa kali dia ulangi kedua jurus ini, terasa tiada
sesuatu yang istimewa dala m ke-dua tipu silat ini" Ia heran kenapa
si orang tua berpesan sedemikian serius padanya, nadanya malah
seolah2 bila dirinya berhasil meyakinkan kedua jurus ini takkan
mendapatkan tandingan di kolong langit ini.
Tapi Cu Jing yakin si orang tua tak mungkin berdusta, bisa jadi
kedua jurus yang kelihatan sangat sederhana ini mengandang
intisari ilmu silat kelas tinggi yang tersembunyi" Mengingat hal ini,
tak tertahan dia ulangi berlatih sekali lagi kedua jurus Jiau-kau-sek
dan Bak-kau-sek tadi.
Aneh juga, semakin merasa gerakannya sederhana, semakin
lancar dan enak dilatih, tapi setelah diselami, kenyataan tidak
segampang dugaan semula. Tapi hanya sampai taraf sekian saja,
yang kalau ditanya di mana letak ga mpangnya gerakan jurus2
pemukul anjing itu ia sendiripun tak ma mpu me mberi penjelasan-
Cu Jing me mang bukan orang bodoh, otaknya encer, dari kedua
gerakan sederhana yang sebenarnya sukar disela mi ini dia se makin
yakin dugaannya pasti tidak me leset, bahwa di dalam kedua jurus


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu silat yang sederhana ini tersembunyi ilmu silat taraf tinggi.
Sesaat dia menengadah, me longo mengawasi langit.
Begitulah, waktu Cu Jing me mburu kesana, sementara itu yang
berbaju hitam sudah tinggal tulang yang berwarna hitam, berdiri
tegak dan seram kelihatannya, keruan dia bergidik serunya kaget:
"kenapa dia?"
"Mati minum racun," kata Kho Keh-hoa.
Ban Jin-cun sedang ambil pedang milik laki2 berbaju hitam tadi
katanya: "Pedang inipun dilumuri racun, racunnya bukan sembarang
racun, belum banyak orang2 Kangouw ya me maka i racun, seperti
ini, maka tidak sulit untuk menyelidiki asal-usulnya."
"Waktu ibunda saudara Ban meningga l, tangannya menggengam
senjata rahasia yang dilumuri racun juga, dalam Bu-lim yang
terkenal suka me ma kai racun hanya ke luarga Tong di Sujwan,
marilah kita me luruk ke Sujwan saja," ajak Kho Keh-hoa.
Karena badan sudah luluh menjadi cairan darah hitam. ma ka
sarung pedang si baju hita m yang se mula tergantung di
pinggangnya ini terjatuh di tanah dan berlumuran darah kotor, Ban
Jin-cun tidak berani menga mbilnya, maka dia tetap genggam
pedang milik si baju hita m, katanya sambil me mberi hormat pada
Cu Jing, "Berkat usaha saudara cu yang mulia dan bijaksana sehingga
permusuhan keluarga ka mi berdua tida k sa mpai berlarut2
menimbulkan korban pula, bangsat inipun sudah mati minum racun,
tiada keterangan yang dapat kita peroleh, oleh karena itu, kumohon
Cu-heng suka menje laskan satu hal"
"Ban- heng mau tanya soal apa?" jawah Cu Jing.
"Cu-heng ke mari atas perintah guru untuk me lerai permusuhan
kedua keluarga kami, jadi mestinya tahu siapa sebetulnya musuh
keluarga ka mi bukan?"
"Wah, maaf, aku justeru tidak tahu apa2," ucap Cu Jing sambil
mengge leng, "Cu-heng mungkin tidak tahu, tapi gurumu pasti tahu, entah
siapakah gelaran na ma gurumu?"
Merah muka Cu Jing, karena tidak biasa berbohong, terpaksa ia
berterus terang apa yang terjadi sebenarnya.
"Jadi Cu-heng juga tidak tahu siapa gerangan cianpwe kosen
itu?" tanya Kho Keh-hoa. Cu Jing mengia kan sa mbil me nggeleng.
"Aku yakin be liau pasti tahu siapa musuh keluarga ka mi, tapi
tiada harapan lagi untuk mene mukan jejak orang tua ini," de mikian
keluh Kho Keh-hoa.
"Menurut apa yang kutahu," ujar Ban Jin-cun sesaat ke mudian
setelah merenung, "banyak sekali tokoh2 kosen yang lihay dalam
Bu-lim, tapi yang memiliki kepandaian sakt i seperti orang tua itu
hanya ada seorang saja, malah dari cara beliau campur tangan tadi,
tak ubahnya seperti sepak terjang cianpwe kosen yang suka
menge mbara itu .... ..".
"Siapakah cianpwe kosen yang saudara Ban maksudkan?" tanya
Kho Keh-hoa. "Hoan jiu ji lay," sahut Ban Jin-cun.
"Betul," tukas Kho Keh-hoa, "cuma orang tua ini mirip naga yang hanya kelihatan eklornya dan menyembunyikan kepala, entah
ke mana saja dia pergi, cara bagaimana kita mene mukan be liau?"
Cu Jing jarang berke lana di Kangouw, dia tidak tahu siapa Hoan
jiu ji- lay yang dibicarakan ini, tapi dia ma lu untuk bertanya.
"Di atas Pak-sia m-san ada bersemayam seorang kosen bergetar
Cu-ki-cu, dia amat apal terhadap segala peristiwa yang terjadi di Bu-
lim, kejadian masa sila m dan apa yang bakal terjadi pada masa
yang akan datangpun dapat dia ramal dengan tepat, dari sini ke
Pak-sia m-san tidak jauh lagi, marilah kita ke sana dan tanya
padanya, mungkin dari mulutnya kita bisa mendapat keterangan
asal-usul racun dan senjata rahasia seperti bintang itu. Bagaimana
pendapat Kho-heng?"
"Akupun pernah dengar na ma Cu-ki-cu ini" ujar Kho Keh-hoa,
"konon sangat luas pengetahuannya dan tinggi ilmunya, mahir
me mecahkan segala kesulitan di dunia ini, tiada jele knya kita
mengadu untung dan tanya padanya."
Ban Jin-cun melirik ke arah Cu Jing, tanya-nya: "Apakah Cu-
heng, ada minat ikut bersa ma ka mi ke Pak sia m-san?"
"Aku masih punya urusan lain, maaf tak dapat mengiringi
perjalanan kalian," sahut Cu Jing.
"Baiklah kita berpisah di sini saja, semoga jaga diri baik2 dan
selamat berte mu pula," ujar Ban Jin-cun.
Kho Keh-hoe juga menjura, katanya: "Ber-hati2lah saudara cu."
Maka merekapun berpisah, Cu Jing sendiri tidak punya tujuan
pasti, dia ingat si orang tua pernah bilang "kalau se mpat pulang,
nanti ma la m kita bertemu di La m-pa k-ho," ma ka dia berkeputusan
untuk mene mui si orang tua misterius itu nanti ma la m di restoran
Lam-pak ho. Waktu itu sudah magrib, Cu Jing langsung kemba li ke La m-pak-
ho menga mbil kuda terus cari penginapan, dia me milih ka mar yang
terletak di ujung be lakang, tempatnya nyaman dan sepi.
Setelah me mbersihkan badan, untuk me mbuang waktu, Cu Jing
tutup pintu, seorang diri dia ulangi latihan kedua jurus Jiau kau-se k
dan Bak-kau-sek itu, sekarang dia betul2 yakin, walau kedua jurus
itu namanya aneh dan lucu, ternyata mengandung ilmu silat tingkat
tinggi yang tiada tara-nya, maka kali ini dia betul2 tumple k seluruh
perhatian untuk mengulang ke mbali, gerakannya kini jauh lebih
la mban dan ma ntap.
Tak terduga setelah sekian la ma ia mengulang beberapa kali,
meski diketahui bahwa di balik gerakan sederhana itu mengandang
intisari yang mendala m, tapi se makin dianggap t inggi dan
menda la m kenyataan berbalik terasa sepele dan biasa saja, tiada
tanda2 mukjijat yang dia te mukan- Begitulah setelah dia latihan
beberapa kali, keringat sudah gemerobyos baru dia menemukan
letak rahasia sebenarnya dari kunci kesederhanaannya.
Yaitu jangan kau pandang kedua jurus sederhana ini begitu tinggi
dan mujijat, semakin mujijat yang kau tafsirkan, maka kau akan
mengerahkan hawa murni dan mengerahkan tenaga, gerakanpun
jadi la mban, itu berarti permainanmu menjadi kaku dan kurang
wajar, kurang variasi dan tiada perubahan- Tapi sebaliknya jika kau
pandang kedua gerakan sederhana ini sebagai sangat gampang dan
sepele saja, maka dengan mudah pula kau akan menguasai setiap
gerak tipunya. Dengan penemuannya ini, tidak kepalang senang hati Cu Jing,
pikirnya: "Setengah harian aku bersusah-payah, meraba sana sini,
tak tahunya be-gini mudah dipecahkannya."
Hari sudah gelap. pelayan datang me mbawakan makan ma la m,
tapi Cu Jing menolaknya dengan alasan sudah janji makan di
restoran dengan seorang kenalan- Cu Jing lantas bawa cit-sing-kia m
dan keluar. Sinar la mpu sudah menerangi segenap pelosok kota, orang yang
lalu lalang dijalan raya semakin ra mai, lebih berjejal dari siang hari,
banyak muda mudi yang pe lesir dan berbelanja di toko2, tapi Cu
Jing tiada minat melihat kerama ian kota, langsung ia menuju ke
Lam-pak-ho terus na ik ke loteng tingkat dua
Pelayan yang siang tadi melayani Cu Jing me milih meja dekat
jendela, kali ini Cu Jing tidak ma u banyak bicara, setelah me mesan
beberapa masakan dan melongok pe mandangan jalan raya di
bawah sana. Pada saat dia melihat2 itulah mendada k didepan sebuah toko
kain sana berdiri seorang berbaju hita m, orang itu tengah
menengadah mengawasi ke arah dirinya. Semula dia tidak a mbil
perhatian dan melengos kejurusan lain, tapi pikirannya tiba2
tergerak, dandanan dan muka si baju hitam ini mirip benar laki2
kurus, berbaju hita m yang mati ditanah lapang tadi siang itu, lekas
dia melongok ke sana pula, tapi bayangan orang berbaju bitam itu
sudah tiada lagi, entah ke mana"
Kebetulan pelayan menyuguhkan hidengan yang dia pesan-
Dengan peja m mata Cu Jing coba menghirup seteguk arak. Kiranya
dia belum pernah minum arak. baru hari ini akan coba2 seorang diri.
Tiba2 terdengar seorang bersenandang dengan suara seperti
bambu pecah: "Hwesio kere (miskin), kere Hwesio, tak punya batok
tiada pondok. Tidak sembahyang, tidak menabuh genta, Telanjang
kaki, kelana ke-mana2. jubah koyak untuk menahan angin kencang,
demi me mbangun kelenteng bobrok. cari sedekah di rumah arak,
bertemu dengan orang berjodoh (dermawan), daging arak harap
menyuguh" Menyusul di ujung tangga loteng lantas muncul pula seorang
Hwesio kelilingan-
Hwesio ini mengenakan kopiah rombeng, jubah ke labu yang
dipakainyapun sudah berta mbal sula m, tapi badannya gemuk putih,
alisnya nan uban menjuntai panjang ke samping, kedua tangan
terang kap didepan dada dengan cengar-cengir dia mondar-mandir
di antara tetamu yang me menuhi meja makan, lalu katanya dengan
suara lantang: "Silakan, silakan, Hwesio kere berke lana di dunia
fana, sebelum pulang ke ala m ba ka, entah tuan dermawan mana
yang berjodoh dengan sang Buddha, semoga dapat rejeki besar dan
bernasib baik. Siancay, Siancay, omitohud" sembari mengoceh
kakinya melangkah ke sana-sini, dan sepasang matanya berjelilatan
kian- ke mari. Pada suatu meja, kebetulan dua orang tamu sedang saling
dorong menyodorkan cangkir arak, Hwesio keretiba2 berhenti di
sana, dengan kedua tangan dia jemput kedua cangkir arak itu
sembari berkata dengan tawa lebar: "Kalian tidak perlu sungkan,
kedua cangkir arak ini biar aku Hwesio kere yang minum saja" Satu
tangan satu cangkir-ganti berganti dia tenggak habis isi kedua
cangkir arak. Sudah tentu kedua tamu itu gusar, orang disebelah kiri
menghardik murka: "Hwesio je mbe l, apa2an kau ini?"
Si Hwesio kere tertawa lucu, katanya: "De mi secangkir arak
kalian tolak sana dan dorong sini hingga muka merah pada m,
Hwesio kere orang beribadah dan suka menolong sesa ma manusia,
biarlah aku mewa kili ka lian minum arak ini, kan beres?" se mbari
bicara tahu2 tangannya, mencomot sepotong daging terus dijejal ke
mulut. Tamu di sebelah kanan menggebrak gusar, bentaknya: "Kenapa
kau a mbil ma kanan dengan tangan telanjang?"
"Setelah minum arak harus didorong dengan daging baru arak
bisa turun ke perut." de mikian kata Hwesio itu. "Sede kah sepotong daging ini akan Hwesio kere bawa kedunia akhirat, sebagai sangu
untuk menghadap sang Buddha, bukankah berarti kau telah
berdarma bagi sesamanya, budi kebaikanmu akan dikenang
sepanjang masa." Habis berkata, dia terus me langkah pergi
Kedua tamu itu hanya mencaci ma ki tanpa bisa berbuat apa2.
Hwesio itu tidak hiraukan kedua tamu yang mencak2 itu, kemba li
mulutnya tarik suara bersenandung pula: "Daging harus
dipanggang, arak harus dimasak, makan daging minum arak di
dunia fana. biar sepatu butut, jubah koyak ditertawakan orang,
me mangnya aku bukan manusia gede atau orang kaya"
Tenggorokannya mengeluarkan suara serak aneh dan sumbang
seperti bambu pecah, tapi dia justeru bersenandung dengan
gembira sa mbil berjoget segala.
Sembari ja lan matapun jelatatan, ia longok sana toleh sini yang
diperhatikan hanya meja para tamu, akhirnya dia menuju ke meja
yang ditempati Cu J ing, mendadak ia berhenti serta ter-gelak2
riang, katanya: "Me mang di sini lebih sunyi dan bersih"
Kepada Cu Jing dia me mberi sala m lalu berkata: "Sicu duduk
sendirian di sini, agaknya ada jodoh dengan sang Budha, hidangan
untuk Hwesio kere hari ini agaknya tidak. . menjadi kapiran-" ..
Tanpa tunggu jawaban Cu Jing, dia tarik kursi terus duduk
dihadapannya. Tingkah laku Hwesio miskin ini kelihatan sinting, tapi kata2
senandungnya tadi me mang tepat, mau tida k mau timbul rasa
hormat Cu Jing terhadap Hwesio ini, lekas Cu Jing menjura, ka-
tanya: "Silakan duduk. Toasuhu."
Hwesio kere menyengir, katanya manggut2: "siausicu me mang
berbakat sejak kecil, kau me mang berjodoh dengan ajaran Budha,
terpaksa aku Hwesio miskin mengganggumu saja." Habis berkata
dia lantas menggebrak meja, serta menggembor keras2: "Pelayan- .
. . pelayan....."
Seorang pelayan berlari datang, serunya sambil mengerut
kening: "Hwesio, kenapa berkaok2?"
Berdiri alis panjang si Hwesio, katanya dengan mendelik:
"Pelayan, restoran ini kan me layani orang , makan minum" Bahwa
Hwesio kere sudah datang kemari juga berarti tamu, kenapa seenak
perutmu ma in panggil Hwesio segala?"
"Habis harus kupanggil apa ?" tanya sipelayan bingung..
"Lain kali kalau ada Hwesio ke mari, kau harus me manggilnya
bapak Taysu, kalau yang datang Hwesio setua diriku ini, maka kau
harus me mangilnya kakek Taysu."
"Sering kudengar orang hanya memanggil Tay-su saja, mana ada
yang memanggil bapak Taysu atau kakek Taysu?" sipelayan
menggerunde l. "Hai jadi kau sudah tahu, lalu apa bedanya Taysu dan bapak
Taysu" Me mangnya ayahmu bukan bapakmu?"
Sipelayan tidak sabar lagi, serunya: "Sudahlah, kau ma kan apa?"
"Kau tidak me manggilku kakek Taysu, kalau sang Buddha marah,
kau akan dihukumnya terperosot jatuh."
"Sudah puluhan, tahun aku jadi pelayan di sini, belum pernah
terpeleset jatuh, lekaslah kau pesan apa", cuma di sini tida k sedia
hidangan ciacay (vegetarian)."
"Ya, ya Hwesio kere me mang tidak pernah me mbaca mantra,
sudah tentu tak perlu ciacay segala"
"Baiklah, lalu kau pesan apa?" tanya sipelayan, dia tetap tak mau
panggil Taysu. "Nah, dengarkan, seporsi daging e mpal, satu porsi sayap bebek.
dua kati arak. tapi suruh koki masak dulu seporsi paha aya m
panggang, semangkok besar kuah ikan, udang, jamur dan daging
babi,." seorang diri tapi santapan yang dipesan ternyata sangat
banyak. pelayan mangiakan saja terus putar tubuh menuju ke belakang.
Tak la ma ke mudian dia sudah balik dengan tangan kosong. Tapi
sebelum dia datang ke depan si Hwesio, tiba2 kakinya keserimpet,
kontan tubuhnya terbanting jatuh. Untung dia tidak me mbawa
nampan hidangan,jatuhnya amat keras, dengan menyengir
kesakitan pelayan itu merangka k bangun, tangan meraba2 pantat
serta mengha mpiri dengan ter-pincang2.
Hwesio tadi tergelak2, serunya: "Nah, tadi Hwesio kere sudah
bilang, kau tida k mau panggil kake k Taysu. padaku, sang Buddha
kini betul2 marah serta menghukummu." Tiba2 dia bersuara kaget
dan tanya: "He, mana pesananku, kenapa tidak kau bawa ke mari?"
Dia m2 tergerak hati Cu Jing, dia duduk di depan si Hwesio,
hakikatnya dia tida k me lihat Hwesio itu menunjuk gerak apa2. Tapi
sipelayan di-buatnya jatuh bangun.
Dengan mendongkol si pelayan tertawa dingin: "Masakan yang
kau pesan se mua berharga dua tahil, bayar dulu."
Mendelik si Hwesio, teriaknya marah: "Me mangnya kau kira
Hwesio kere makan tak me mbayar?"
"Sudah sering orang gegares gratis di sini, kau seorang diri, tapi
pesan hidangan terlalu banyak. terang sengaja . . . . "
Si Hwesio berjingkra k marah, dia cengkera m dada baju sipelayan,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriaknya gusar: "Kau kira aku mau ma kan gratis" Hwesio kere
me mang miskin, tapi kebetulan aku bertemu dengan seorang
dermawan yang ada jodoh, tanpa tanya kau lantas pandang orang
rendah dengan mata anjing, kalau aku masih muda seperti dulu,
sudah kule mpar kau ke luar jendela, tahu?" Sembari bicara, seperti
menjinjing seekor ayam dia angkat tubuh pelayan terus diulur ke luar
jendela sehingga kontal-kant il di udara.
Sudah tentu sipelayan menjerit ketakutan setengah mati,
ratapnya: "Kakek Taysu, ampunilah jiwaku, hamba ada mata tidak
me lihat gunung, kau. . . . .jangan kau lepaskan peganganmu.."
Sudah tentu semua tamu yang ada di atas loteng sama kaget
dan melongo heran melihat Hwesio ini me miliki tenaga begitu besar
serta me mpermainkan sipelayan-.
Hwesio itu ce kakakan, dia tarik tangannya dan turunkan
sipelayan di lantai, katanya: "Sejak tadi kau panggil kakek Taysu
kan beres?" Lalu dia tuding Cu Jing dan katanya pula: " Kau tanya
Sicu ini, maukah dia me mbayar semua rekeningku nanti?" saking
ketakutan, begitu diturunkan segera sipelayan mendeprok di lantai.
Lekas Cu Jing berkata: "Ucapan Taysu ini me mang tidak salah,
apa yang dimintanya boleh kau sediakan, rekeningnya aku yang
bayar." Sudah tentu si pelayan jadi kapok betul2, le kas dia kerja kan apa
yang dipesan. Agaknya memang t idak sabar lagi, begitu arak
diantar, Hwesio itu lantas angkat poci terus tuang arak langsung
ke mulut sa mpai habis, katanya sambil seka mulut dengan lengan
bajunya yang kotor: "Sedap. Segar Hayolah Siausicu jangan
sungkan, mari, mari" paka i sumpit atau sendok segala, kedua
tangannya bekerja bergantian mencomot daging dan menggaruk
ikan ke dala m mulut, begitu lahap dia makan sambil mulut kecap2
keras seperti induk babi.
Dia m2 Cu Jing me ngerut kening melihat cara ma kan seperti
orang kelaparan itu, mulut Hwesio itu terus be kerja, belum lagi paha
ayam dilalap habis, arak sudah dituang ke mulut lagi, lalu
menyeruput semangkok kuah ikan pula, begitu sibuk dia sikat
semua hidangan dihadapannya tanpa rikuh sedikitpun- .
Me mang saatnya orang makan mala m, maka restoran ini penuh
sesak. keadaan menjadi ribut dan gaduh, Cu Jing tidak hiraukan si
Hwesio yang sibuk makan seadiri, dia Celingukan kian ke mari,
matanya sibuk me ncari si orang tua misterius yang ternyata tidak
kunjung tiba. Sementara hidangan si Hwesio sudak dilalapnya habis satu
persatu, sambil tertawa dia me micing mata si Hwesio tepuk2
perutnya yang gendut, katanya sambil ngaka k: "Hari ini kau sudah
kenyang dan puas bukan" Semua ini berkat kebaikan Siau-sicu. ini
yang berjodoh dengan sang Buddha, me mberi sedekah dan
me mbayar rekening, tak terbalaslah luhur budinya, omitohud" Lalu
dia rangkap kedua tangan sambil mundur tiga langkah, setelah
me mberi sala m terus tinggal pergi dengan langkah se mpoyongan..
Tapi, baru tiga langkah mendadak dia berpaling katanya, sambil
pandang Cu Jing dengan sikap lucu seperti mabuk:." Siausicu tida k
perlu menunggu pula, orang yang kau tunggu mala m ini tidak a kan
datang lagi." .
Cu Jing melenga k. tanyanya "Darimana Taysu tahu ". ."
Hwesio je mbe l tertawa lebar, ujarnya: "Yang kau tahu sudah
tentu Hwesio juga tahu, apa yang kau tidak tahu Hwesio tetap tahu,
kalau Hwesio kere tidak tahu, me mangnya siapa yang tahu?" -
Sembari bicara dengan sempoyongan dia melangkah ke arah
tangga. Melihat tingkah orang yang angin2an itu, tiba2 tergerak hati, Cu
Jing, dia ingat apa yang pernah dikatakan Ban Jin-cun bahwa orang
tua misterius itu mungkin adalah Hoan-jiu-ji-lay, walau dia tida k
tahu siapa itu Hoan jiu ji-lay, tapi kalau dia berjuluk "Ji-lay" tentu dia seorang Hwesio mungkinkah Hwesio kere inilah Hoan-jiu-ji-lay".
"Tak salah lagi, kalau tidak bagaimana dia tahu aku ada janji
dengan orang, iapun tahu orang tua itu tidak akan datang lagi"
Setelah datang dan pergi dengan kenyang dan mabuk, sudah tentu
dia tidak akan datang pula, maka diriku disuruh jangan menunggu
lagi." cepat Cu Jing berdiri, teriaknya: "Pelayan, berapa
rekeningnya." Dia rogoh sekeping uang perak terus ditaruh di meja.
"Sisanya buat kau" habis berkata dengan setengah berlari dia
terus turun loteng.
Hanya beberapa detik saja jarak antara si Hwesio pergi dan dia
berlari menyusul ke bawah, tapi waktu dia tiba di bawah sana,
bayangan si Hwesio sudah tida k kelihatan lagi"
Pasar ma la m masih ra mai di luar, orang berlalu la lang berjejal, ke
mana lagi dia akan mencari si Hwesio. Pula orang sengaja tidak mau
bicara lebih lanjut, umpa ma dikejar juga orang t idak ma u
mene muinya. Sekian la ma Cu Jing berdiri melongo me ngawasi orang2 yang
bersimpang siur dijalan raya, sesaat kemudian baru dia beranjak ke
ujung jalan sana langsung ke mbali ke tempat penginapannya .
Mala m sudah larut, para tamu yang lain sudah masuk ka mar dan
tidur, maka Cu Jing langsung menuju ke ka marnya, waktu dia
me mbuka pintu ka mar dan ha mpir me langkah masuk, tiba2 dia
tertegun dan berdiri me matung.. Dilihatnya seseorang duduk dikursi
didekat jendela sana. Lampu me mang tidak dinyalakan tapi sinar
rembulan di luar jendela cukup menerangi keadaan kamar sehingga
tertampak re mang2. .
Terlihat jelas oleh Cu Jing orang yang berada dika marnya ini
berpakaian hita m, bermuka kuning, orang ini adalah orang yang
dilihatnya berdiri di depan toko kain tadi, diam2 Cu Jing mengumpat
dalam hati, batinnya: "Kiranya dia me mang hendak- cari perkara
padaku." Si baju hitam angkat kepala, katanya tersenuyum: "Kau hanya
berdiri di luar pintu, me mang-nya tidak berani masuk?"
Dingin suara Cu Jing: "Rasanya aku kesasar, salah masuk ke
kamar orang lain."
Pelan2 si baju hitam berbangkit, katanya: "Kau tidak kesasar."
Cu Jing beranjak masuk- katanya sambil menatap orang: "Jadi
saudara yang kesasar ke ka marku?"
"Akupun tida k kesasar," ujar si baju hita m, "Sebab aku sedang menunggumu."
"Ada urusan apa kau menungguku" tanya Cu Jing.
Berkedip2 mata si baju hitam, katanya setelah menatap lekat2
sebentar: "Aku ingin bicara dengan kau."
Mendadak si baju hitam tertawa lebar, katanya: "Agaknya kau
curiga bahwa aku bermaksud tidak baik, terhadapmu?" Tawanya
manis sehingga kelihatan baris giginya nan putih rata dan a mat
kontras dengan kulit mukanya yang kuning. "Kalau dia seorang
perempuan, mestinya dia pere mpuan cantik, molek. sayang giginya
yang rajin dan putih itu tumbuh di mulut laki2 yang bermuka jele k
dan me muakkan-
Tapi Cu Jing tidak perhatikan senyuman yang kaku, iapun tak
pedulikan gigi orang yang putih indah, sikapnya tetap dingin,
dengusnya: "Umpa ma betul kau bermaksud jahat, me mangnya
kenapa?" Agaknya si baju hitam me mang tidak bermaksud jahat, kemba li
ia me mandang Cu Jing,
katanya:"ini ka marmu, aku ke mari sebagai tamu, sikapmu begini
kaku, apa begini layaknya kau melayani tamu?"
Cu Jing habis sabar, katanya sambil berkerut alis: "Ada omongan
apa lekas katakan saja."
"Kukira kau tidak asing lagi dengan dandananku ini bukan2" ujar
si baju hitam: "Kutahu ke dua, temanmu sudah berangkat ke Pa k-
siam san-"
Cu Jing mendengus sambil mengawasi muka orang yang kuning
kaku itu: "Hm, agaknya kau serba tahu."
"Apa yang kutahu, belum tentu kaupun tahu," ujar si baju hita m.
"Apa pula yang kau ketahui?" tanya Cu Jing.
Kata si Baju hita m sungguh2: "Kedua te manmu itu mungkin
takkan ke mba li lagi."
"Apa katamu?" Cu Jing mende lik :"Ban Jin-cun. . . mereka
menga la mi bahaya?"
Mendadak dia maju se langkah, berbareng ta-ngan kiri
mencengkeram perge langan tangan si baju hita m, sekenanya dia
menggentak mundur ke bela kang se mbari lepas ke lima jarinya,
dalam keadaan tidak siaga dan tak terduga2 si baju hitam kena
disengkelitnya jatuh di lantai.
Karena, gugup, tanpa sadar Cu Jing melancarkan gerakan Jiau-
kau-sek. dan hasilnya betul2 di luar dugaannya. Tapi dia tida k
pedulikan keadaan si korban, "sret" dia melolos pedang serta
menganca m tenggorokan orang, bentaknya: "Lekas katakan, kalian
mengatur muslihat apa ....."
Tak tahunya bahwa kepandaian silat si baju hita m ternyata juga
cukup lihay, walau pecundang dalam keadaan tidak siaga, waktu
ujung pedang Cu Jing menganca m, cepat dia mengkeret mundur.
Selicin belut tiba2 badannya meluncur di lantai dan mundur
beberapa kaki jauhnya. Dengan tangkas dia melompat berdiri, "s
reng", iapun cabut sebatang pedang panjang, katanya dongkol:
"Kau tidak tahu diri, kalau aku mau mencela kai kau, sejak tadi
jiwa mu sudah melayang, tahu2 Seperti tidak mendengar apa yang
dikatakan orang, Cu Jing malah tertawa dingin, jengeknya: "Aku
tidak akan me mbunuhmu, katakan muslihat apa yang kalian
rencanakan untuk me ncelaka i jiwa Ban Jin-cun berdua"
Si baju hita m acungkan pedangnya, katanya dingin: "Tidak sukar
jika kau ingin tahu, pertama kau harus kalahkan dulu pedangku, hal
kedua umpa ma aku yang menang, aku akan tetap menerangkan
padamu," Agaknya, dia penasaran karena barusan kena disengkelit jatuh
oleh Cu Jing, ma ka setelah menang baru dia mau menerangkan
maksud kedatangannya.
Tapi Cu Jing berwatak keras, Tak mau kalah, "kalau aku kalah,
kaupun tida k perlu jelaskan-"
"Jadi kau tidak ingin tahu berita tentang temanmu itu?"
Menyinggung Ban Jin cun, entah kenapa Cu Jing jadi naik pita m,
katanya dengan mata mendelik: "Kau kira aku tidak bisa
menga lahkan kau?" tiba2 pedangnya bergetar terus, menusuk ke
depan. Si baju hita m miringkan badan tida k mundur dia ma lah mendesak
maju, sinar pedang berkelebat, menghindari tusukan se mbari balas
menyerang. Sasarannya adalah pundak kiri Cu Jing.
Terkesiap hati Cu Jing me lihat gerakan lawan yang aneh dan
cekatan, badan setengah berputar, gerakan dipercepat, dalam
sekejap dia berturut menika m tiga kali. Ternyata permainan pedang
si baju hitam juga lincah dan gesit, tiga kali tikaman Cu Jing meleset
semua di samping tubuhnya, ujung bajupun tidak kena. Kini berbalik
sinar pedang lawan berkelebat cepat dan ganas serangannya, Hiat-
to me matikan di tubuh Cu Jing menjadi sasaran-
Namun setiap serangan ganas selalu ditarik lagi di tengah jalan,
jelas lawan sengaja mengalah..
Cu Jing jadi marah, segera ia ke mbangkan ilmu pedangnya,
gerakannya semakin gencar dan sengit, ingin rasanya sekali tika m
dia bikin ma mpus lawannya, begitulah mereka serang menyerang,
maju mundur silih berganti, belasan gebrak telah berlangsung di
dalam ka mar yang se mpit itu.
Keringat sudah me mbasahi badan Cu Jing, dia sudah keluarkan
seluruh ke mahiran ilmu pedang-nya, tapi si baju hitam tetap tak
dapat dirobohkan, keruan ia gemas dan gelisah. Mendadak tergerak
pikirannya, sengaja dia melakukan gerakan lambat dan
menunjukkan lubang ... .
Perlu diketahui pedang yang digunakan si baju hitam lebih
pendek daripada Cit-sing-kia m Cu Jing yang panjangnya tiga kaki
lebih itu, oleh karena itu baik maju mundur, menyerang atau
me mbe la drii, gerakannya selalu berpadu dengan gemulai tubuhnya
yang lincah dan licin itu, setiap ada kese mpatau tentu diterobosnya.
Kini melihat Cu Jing ada lubang kele mahan, cepat ia menyelinap
maju, pedangnya dari menabas berubah menjadi mengetuk. dengan
batang pedang dia mengetuk Hiat-to pergelangan tangan Cu Jing
yang me megang pedang.
Kalau serangannya berhasil mengenai sasaran, maka pedang cu-
Jing pasti terketuk jatuh. Tak ter-duga2 tiba2 ia merasakan
pergelangan tangan kanan sendiri kese mutan kaku, entah
bagaimana Cu Jing telah menangkap urat nadinya, berbareng ujung
pedang menganca m tenggorokannya. Terdengar Cu Jing berkata
dengan nada ke menangan dan puas: "Tak kau lepaskan
pedangmu?".
Kiranya dala m keadaan terdesak. serta merta Cu Jing
me lancarkan gerakan Jiau-kau-sek, betul juga dengan mudah dia
berhasil me mbe kuk si baju hita m. ....
Berkedip mata si baju hitam yang besar dan jeli itu, pancaran
sinarnya marah, tapi juga kagum dan me muji, na mun mulutnya
menjenge k: "Hanya gerakan begini saja ke ma mpuanmu. ."
"cukup Asal bisa me mbekukmu" jawab Cu Jing "Le mpar
pedangmu dan bicaralah terus terang."
Si baju hita m sedikit meronta, katanya: "Lekas lepaskan, baiklah
akan kukatakan, me mangnya Aku ke mari henda k me mberi kabar
padamu, ka lau tidak buat apa aku menunggumu di sini?"
"Kau henda k me mberi kabar padaku?" Cu Jing menegas. .-. . .
Terpancar rasa masgul pada sorot mata si baju hitam, katanya:
"Kau masih tidak percaya?"
"Mengapa tingkah la kunya seperti anak perempuan,?" de mikian
batin Cu Jing. Segera ia turunkan pedangnya, katanya: "Asal kau
bicara terus terang, kulepas kau pergi."
"Baiklah, lepaskan dulu tanganmu."
Yakin orang takkan bisa meloloskan diri, Cu Jing lantas lepaskan
peganannya. Si baju hitam lantas simpan juga pedangnya, lalu dia
meraih kain hita m yang mengikat kepa lanya, rambut panjang hita m
kilap seketika terurai di pundaknya. . . Cu Jing berseru kaget: "Kau
perempuan?"
Si baju hitam tertawa lebar, kembali ia menanggalkan kedok
mukanya yang tipis. Wajahnya yang tadi kuning kaku mengkilap kini
berubah seraut wajah molek seorang gadis, tampaknya ma lu2 dan
ingin bicara tapi urung.
Heran Cu Jing mengawasi orang sekian la manya, tanyanya:
"Siapakah kau sebetulnya?"
"Aku berna ma Hek-bi-kwi (ma war hita m)."
"Kalian se muanya pere mpuan"
"Bukan, mereka adalah orang2 Hek-liong-hwe (sindikat naga
hitam)." "Kau sendiri bukan anggota Hek-liong-hwe?"
Hek-bi-kwi atau si mawar hita m mengge leng, katanya sungguh2:
"Terus terang, aku sebetulnya, orang Pek- hoa-pang, tapi bertugas
di dala m Hek-liong-hwe, kini tugasku sudah selesai, saatnya aku
harus kembali." Tanpa menunggu Cu Jing bertanya, dia
mena mbahkan lagi: "Soalnya kedua temanmu yang pergi ke Pek-
siam-san sudah diketahui oleh pihak mereka, Hek-liong-hwe sudah
mengirim berita dengan merpati pos, sebelum kedua te manmu t iba
di Pak sia m-san mereka sudah pasang jala henda k menjaringnya,
aku tak dapat membantu, terpaksa menyerempet bahaya
mengabarkan hal ini kepadamu, syukur kalau engkau bisa menyusul
mereka serta me mbujuknya agar me mbatalkan nitanya untuk
menyelidiki senjata rahasia beracun itu, kalau t idak. orang2 He k


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liong- hwe pasti t idak a kan berpeluk tangan, demikian pula kau
sendiri kuberitahu supaya jangan mencampuri urusan ini .... . "
sembari bicara dengan cekatan ia sudah menggelung ra mbut serta
me mbungkusnya dengan kain hita m, katanya pula: "Sudahlah, apa
yang ingin kusa mpaikan sudah kusa mpaikan, sekarang aku mohon
diri, harap engkau jaga dirimu baik2."
Habis berkata dengan cepat dia melangkah keluar. Tapi di
ambang pintu dia berpaling serta pandang Cu Jing lekat2. Hanya
sekejap ini mukanya sudah ke mbali menjadi kuning kaku dan
mengkilap. tapi matanya yang bundar besar itu me mancarkan
perasaan berat dan kasih mesra, lalu dengan cepat ia berkelebat
keluar dan menghilang.
Dia m2 Cu Jing tertawa geli, batinnya: "Agaknya bocah ayu ini
menaruh hati kepadaku."
Si mawar hita m melompat ke atas genting terus keluar dari hotel,
seringan kapas ia me lompat turun dijalan raya yang sepi terus ber-
lari2 menpuju ke selatan- Setiba di daerah Sam-koan-tia m takjauh
di depannya dilihatnya bayangan dua orang mengadang di kiri-
kanan jalan. Dala m kegelapan darijauh pasti tidak akan melihat dua orang di
depannya ini, untung mala m ini ada sinar bulan, maka mawar hita m
segera melihat bayangan kedua orang dari kejauhan..
Betapa cerdik si mawar hitam, me lihat dua orang berdiri di
pinggir jalan, karena kawan atau lawan sukar diraba, sudah tentu
dia tidak berani mendekat secara gegabah, segera dia berhenti
beberapa jauh dari mereka. Begitu dia berhenti, ke dua bayangan
orang itu mulai bergerak dan pelahan2 mende kati dirinya. . .
Mawar hita m tetap berdiri tak bergerak. tapi jari2, tangan
kanannya sudah menggengga m gagang pedangnya. Cepat sekali
seperti bayangan setan kedua orang itu sudah berada
dihadapannya. Kini mawar hitam me lihat jelas kedua orang ini sa ma
mengenakan seraga m hita m, mukanya juga kuning seperti mala m,
seorang lagi mukanya malah lebih legam sehingga tertampak
menyeramkan- Kini mawar hita m dapat me lihat je las kedua orang ini teman yang
tadi bertugas bersama dirinya, yaitu dengan kode huruf kuning
nomor 27. "Bukankah mereka bertugas menguntit Ban Jin-cun dan
Kho Keh-hoa menuju ke Pak-sia m-san" Tapi kedua orang itu
mendadak muncul di sini," keruan ia kaget, lekas dia me mberi
hormat, katanya: "Hamba huruf kuning 29, menyampa ikan hormat
kepada Sincu"
Ternyata laki2 muka kuning kelabu berna ma Sin-cu "sincu adalah
suatu jabatan tertentu di dala m He k-liong-hwe.
"Nomor28," desis la ki2 muka kelabu, "Kau tahu apa dosamu?"
Bergetar hati mawar hitam, tapi dia me makai kedok, sudah tentu
perubahan air mukanya tidak -kelihatan, tapi sikapnya kelihatan
gugup, sahutnya: "Entah ha mba melanggar kesalahan apa?"
"Budak bernyali besar," damperat
laki2 muka kelabu, "dihadapanku masih berani mungkir."
"Harap Sincu periksa yang betul, ha mba betul2 tidak tahu
berbuat kesalahan apa" Memangnya melanggar peraturan
organisasi" "
si muka ke labu menjengek dingin: "Apa betul kau tida k tahu"
Baiklah, nornor 27 jelaskan padanya."
Laki2 muka lega m mengia kan, dengan menyertingai dia berkata:
"Sebelum berangkat
menunalkan tugas kali ini ha mba menerima
perintah rahasia Ji
tongcu, beliau merasa nomer 28 agak
mencurigakan, maka ha mba diperintahkan me mperhatikan gera k-
geriknya . . . ."
"Aku toh bukan anak buah Ji-tongcu," debat mawar hita m, "dari mana dia tahu letak ke le mahanku sehingga menaruh curiga padaku"
"Kau adalah anak buah cui tongcu," kata laki2 muka lega m,
"sudah tentu perintah Ji tongcu ini juga setahu cui tongcu sendiri."
Lalu dia mena mbahkan: "Setelah nomor sembilan mati mene lan
racun, sengaja hamba bilang mau menguntit kedua bocah Ban dan
Ko itu, sebetulnya di Kim-sim-tun piha k kita juga ada orang,
hakikatnya tidak perlu me nguntit mereka segala, apa yang hamba
lakukan hanya untuk mengelabui nomor 28 dan mengawasi tingkah
lakunya apakah betul dia melanggar. ..."
"Me mangnya aku melanggar aturan apa?" tanya mawar hita m.
"Untuk apa ma la m ini kau pergi ke hotel Ko-seng-can?" tanya
laki2 muka lega m. .
"Karena bocah she cu itu tinggal di hotel itu maka ingin aku
menyelidiki gerak-geriknya, me mangnya maksudku ini salah?"
dengus mawar hitam.
"Apa saja yang telah kau bicarakan dengan dia?" tajam
pertanyaan laki2 muka lega m.
"Jadi kau menguntitku secara dia m2, apa yang kulakukan tentu
sudah kau sakslkan, kenapa tanya lagi?"
"Akulah yang ingin tanya padamu," sa mbung laki2 muka kelabu. .
Mawar hitam me liriknya, katanya dengan membungkuk hormat:
"Sin-cu boleh tanya nomor 27 saja, yang terang hamba yakin tida k
me lakukan kesalahan-"
"Kau tidak usah berdebat lagi, serahkan senjatamu, pulang ikut
aku menghadap Cui-tongcu"
Tanpa terasa mawar hitam menyurut mundur selangkah,
semakin kencang jari2nya me megang gagang pedang, katanya:
"Jadi Sincu juga tidak percaya padaku, baiklah aku akan menghadap
cui-tongcu sendiri"
Sorot matanya yang kelabu menatap mawar hitam, tegas suara si
muka kelabu: "28, kau berani melawan perintah?" Dari dala m
bajunya dia keluarkan seutas rantai lembut, di ujung rantai terikat
sebuah gembok kecil, "trang", dia le mpar ge mbok borgol itu ke
tanah, bentaknya bengis: "Belenggu tanganmu sendiri."
Melihat orang ke luarkan borgol, rasanya berdebat juga tak
berguna, maka mawar hita m mundur ber-siap2, katanya tertawa
dingin: "Sin-cu sendiri me ma ksa aku mela kukan pe langgaran-
Baiklah, aku akan ke mbali ke markas saja," Segera dia putar tubuh
dan lari. "Bangsat bernyali besar" bentak si muka kelabu. "Kau mau lari?"
Tanpa diperintah laki2 muka legam melolos senjata terus
me lompat ke depan menghadang si ma-war hita m, Urusan sudah
kadung begini, terpaksa mawar hita m harus bertindak cepat,
mendadak ia menghardik keras "Minggir"
Begitu pedang terlolos dan bergerak, dengan jurus jun-seng-hwi-
hoa segera sinar pedang menggulung ke dada la ki2 muka lega m.
Agaknya orang itu tidak menduga di hadapan sincu orang berani
bergerak senekat ini ehingga si mawar hita m se mpat merangsaknya
lebih dulu, ma ka dia tidak berani menya mbut ecara keras, ia
me lompat mundur beberapa kaki. Begitu kaki turun ke tanah,
pedangnyapun udah terlolos, bentaknya.: "Perempuan keparat,
berani kau melawan?" Tiba2 ujung pedangnya bergetar, dia
menubruk ke arah mawar hita m.
Sebelum lawan menubruk tiba, mawar hita m me mbentak seraya
putar pedang dengan kencang, beruntun dia menusuk dan menika m
delapan kali, Delapan ka li serangan ini dilancarkan secara ganas,
beberapa kaki sekeliling dirinya bertaburan sinar pedangnya yang
ke milau. Karena di dahului, si muka lega m tepaksa hanya me mbela diri
sambil mundur, ia kaget danjeri, sembari bertahan mulutnya
berkaok2. "Sincu, coba lihat ilmu pedang apakah yang dimainkan
keparat ini?"
Tujuan mawar hita m hanya me loloskan diri, sudah tentu
serangannya tak mengenal kasihan, beruntun beberapa kali
serangan pedangnya hampir saja mena matkan jiwa si muka lega m,
tapi begitu orang mundur, sebat sekali dia tutul kedua kaki terus
me la mbung setombak lebih jauhnya. Namun waktu ia henda k
mengenjot ka linya lagi, mendadak badannya bergetar, "bluk", tanpa kuasa ia jatuh terjere mbab.
Terdengar si muka kelabu terkekeh sa mbil mengha mpiri,
suaranya sinis: "Perempuan hina, dengan sedikit ke ma mpuanmu ini,
me mangnya mau lolos dari tangan aku orang she Tin" Lekas kata-
kan, siapa yang mengutusmu menjadi mata2 di perkumpulan kita?"
dia rebut pedang dari tangan laki2 muka lega m, seka li ujung pedang
bergetar, beruntun dia tutuk tujuh kali Hiat-to di tubuh si mawar
hitam. Karena terjatuh ke tangan musuh, mawar hita m peja mkan mata
saja tanpa bicara, dia pasrah nasib . . .
"Dihadapan orang she Tin jangan kau pura2 mampus, kau akan
menderita tanpa bisa berkutik sedikitpun," desis la ki2 muka kelabu,
mendadak ia putar balik pedangnya, dengan gagang pedang dia
mengetuk ke bawah dada mawar hita m. Ketukannya tidak berat,
tapi sasarannya telak. gerakannya-pun berbeda dengan ilmu tutuk
umumnya. Badan mawar hitam seketika mengejang, tanpa kuasa
mulutnya mengerang kesakitan-
Dengan keheranan laki2 muka legam pandang laki2 muka kelabu,
katanya: "Budak keparat ini teramat keras kepala, biar hamba
menyiksanya lebih parah . . "
Laki2 muka ke labu menyeringai: "Tak usah kau turun tangan,
dalam sepe minum teh, mustahil dia tidak mengaku."
Laki2 muka lega m mundur dengan ragu2, tapi dia tida k berani
banyak mulut lagi.
"Nah," ujar laki2 muka ke labu, "sekarang tanggalkan kedok
mukanya, kini dia sudah bukan orang kita, tak boleh mengena kan
kedok ini, nanti akan kukorek kedua biji matanya."
Laki2 muka lega m mengiakan, segera dia mendekat dan menarik
kedok si mawar hita m.
Dilihatnya wajah si mawar hita m yang mole k berubah pucat dan
basah oleh keringat dingin. Dengan hati tak tenteram ia angsurkan
kedok itu kepada atasannya.
Laki2 muka ke labu simpan kedok itu ke dala m bajunya, sikapnya
tampak tenang2, ia berjalan ke sana lalu duduk di atas batu besar
dipinggir ja lan sana.
Sementara itu wajah mawar hitam yang pucat berkerut2 itu
sudah dibasahi keringat dingin, badan mengejang dan bergetar
semakin keras, giginya berkerutuk menahan sakit. Jelas dengan
segala daya dia bertahan akan siksaan yang luar biasa ini. Tidak
merintih juga tidak menjerit, hanya giginya yang berkeriut, dia
terima siksaan ini dengan tabah dan berani. Dia tahu setelah rahasia
dirinya ketahuan, dia terima segala akibat yang bakal menimpa
dirinya. Laki2 muka lega m sa mpai merinding menyaksikan perubahan air
muka si mawar hita m, tapi laki2 muka kelabu justeru tetap
ongkang2 duduk di sana dengan sabar, hatinya seperti terbuat dari
besi tanpa perasaan, seakan2 dia a mat puas dan senang melihat
Keadaan si mawar hitam yang begitu menderita. Dengan
terkekeh dingin tiba2 dia berdiri mengha mpiri, tetap dengan gagang
pedang, kembali dia mengetuk badan si mawar hita m. Kiranya,
ketukan ka li ini untuk me mbuka Hiat-to yang menyiksa mawar hita m
tadi. Si mawar hita m yang sejak tadi duduk bertahan kini menjadi
lungla i dan terkapar di tanah.
Dengan terkekeh dingin si muka kelabu mendelik bengis,
katanya: "Nomor 28, kau sudah rasakan, kenikmatannya"
Ketahuilah, ini baru permulaan supaya kau tahu rasa, yang lebih
enak masih bisa kau rasakan jika kau tetap me mbangkang,
ketahuilah kesabaranku juga terbatas."
"Bunuhlah a ku," teriak mawar hita m serak.
"Me mangnya begini mudah?" jengek muka ke labu. "Sebelum kau
mengaku siapa yang mengutusmu ke mari" Aku tida k akan
me mbikinmu ma mpus,"
Mawar hitam me mbuka pula matanya, mulutnya terkancing
rapat2. "Aku tak percaya, memangnya badanmu ini berotot kawat
bertulang besi," demikian ejek si muka kelabu, "Tak mau bicara,
jangan sesalkan aku berlaku keji. ......" ia angkat pedang pula dan
pelan2 gagang pedang ke mbali henda k menutuk ke dada si mawar
hitam. Pada saat2 genting itulah, tiba2 dari belakang pohon sebelah
kanan sana orang me mbentak nyaring: "Berhenti" - Suaranya
merdu, terang itulah suara perempuan, malah pere mpuan yang
masih muda belia.
Gagang pedang di tangan si muka kelabu yang sudah teracung
berhenti di tengah jalan, ia melirik ke arah datangnya suara, Pohon
di pinggir ja lan itu berada beberapa pelukan orang besarnya,
bentuknya menyerupai payung, Ta mpak dua bayangan orang
me lompat ke luar dari balik pohon besar itu.
Dua bayangan semampai dan ra mping, yang di depan berusia
19-an me makai gaun panjang warna hijau pupus dengan baju
panjang putih mulus, wajahnya tampak jelita dan anggun, di bawah
sinar rembulan yang remang2 kelihatannya dia seperti bidadari yang
baru turun dari kahyangan. Agak di belakang adalah seorang gadis
pula lebih muda berpaka ian serba hijau, kuncir ra mbutnya yang
hitam me njuntai turun menghias dada, dandanannya mirip pelayan,
tapi wajahnya juga cantik molek.
Melihat yang muncul hanya dua gadis ayu, si muka kelabu
tertawa lebar, katanya: "Agaknya kalian me mang sekomplotan,
kebetulan kalian akan punya kawan dala m perjalanan ke alam baka,
supaya aku tidak me mbuang wa ktu di sini"
Menjengkit a lis gadis bergaun panjang, bentaknya: "Kau
me mbua l apa" Kebetulan aku lewat di sini, tak senang kumelihat
perbuatan kejammu ini terhadap seorang gadis lemah yang tak
ma mpu melawan ini."
Si muka ke labu me micingkan matanya, desisnya tertawa:
"Me mangnya kenapa ka lian nona2 cantik ini tida k senang. Aku
justru ingin perlihatkan pada mu." gagang pedang yang sudah
teracung pelan2 bergerak turun pula.
Gadis baju hijau bertolak pinggang, bentaknya: "Kunyuk kurang
ajar, di hadapan Siocia berani kau bertingkah"
"Me mangnya kenapa tuan besarmu ini tidak berani" jenge k si
muka kelabu. "Berani kau menyentuhnya, segera kubuntungi lengan kananmu .
. . . " ancam si nona bergaun panjang dengan gusar..
Si muka kelabu tertawa, katanya: "Budak cilik, kalau tuan
besarmu ga mpang digertak orang, aku takkan berjuluk Thian-kau
(anjing langit). Nah lihatlah"
Gerak gagang pedangnya lambat2, tapi sudah hampir menyentuh
dada si mawar hita m.
Pada saat itulah jari gadis gaun panjang tiba2 terangkat,
bentaknya: "Betul kau berani ."
Gagang pedang si muka ke labu sudah ha mpir mengenai
sasarannya, tapi mendadak dia merasa adanya sesuatu yang ganjil,
lengan kanannya itu tahu2 kaku dan pati rasa, lemas tidak me nurut
perintah lagi. Baru saja ia terkejut, segera pedang yang
dipegangnya berkelontangan jatuh di tanah.
Sudah tentu laki2 muka lega m kaget, tanyanya lirih sambil
me mburu maju: "Kenapa Sincu?"
Pucat dan ketakutan me mbayang pada wajah muka kelabu:


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lekas pergi" Dengusnya pelahan, cepat dia mendahului berlari
pergi .. Melihat pe mimpinnya lari me mbawa luka, sudah tentu si muka
legam tak berani tingga l la ma2, lekas iapun angkat langkah seribu.
Gadis baju hijau cekikikan, katanya:. "Tidak berguna, sekali
gertak lantas lari mencawat ekor."
Gadis majikannya berkata sungguh2: "Jangan kau pandang
ringan mereka, kepandaian mereka tinggi, kalau bertempur betul2
mungkin aku bukan tandingannya." lalu dia menambahkan- "Lekas
kau periksa luka nona itu."
Dengan langkah ringan dia mengha mpiri lalu berjongkok di
samping si mawar hita m, katanya, "Entah di mana luka nona, apa
tertutuk Hiat-to mu. ."
Dengan telentang lemas pelan2 mawar hita m me mbuka mata,
suaranya lemah tak bertenaga: "Terima kasih atas pertolongan
nona, cuma. .... keadaanku sudah payah" matanya berkedip2, tak
tertahan dua titik air mata berlinang dikelopak matanya.
"Di mana luka mu," tanya gadis gaun panjang, "lekas katakan biar kuperiksa?"
Mawar hitam menggeleng, katanya lemah: "Jangan nona
menyentuhku, aku terkena senjata rahasia beracun keparat itu
........" "Terkena senjata rahasia beracun"Jangan kuatir a ku me mbawa
obat mujarab, mungkin bisa menawarkan racun dala m tubuhmu."
"Tak berguna," ujar mawar hitam rawan, "racun dibadanku t iada obat pemunahnya di kolong langit ini, bahwa aku tidak segera mati,
karena Thian-kau-sing (anjing langit) tadi menutuk Hiat-toku
sehingga kadar racun se mentara tidak me njalar ke jantung . ....."
lalu dia pandang gadis penolongnya, "nona baik hati menolongku,
ada pesan ingin kut itipkan pada mu, entah nona sudi me mbantuku
lagi t idak?"
"Pesan apa katakan saja, asal bisa kula kukan pasti kubantu
kau.". . "Terima kasih, di dala m bajuku ada sebuah kantong kain
bersulam, barang ini jangan sa mpai terjatuh ke tangan orang2 He k
liong hwe, oleh karena itu terpaksa kutitipkan pada nona ....."
"Kantong ini tentu penting artinya, entah kepada siapa harus
kuserahkan?"
"Penting sih t idak. juga tidak perlu diserahkan kepada siapa2,
cuma tolong kau me mbakarnya saja, di dala m kantong ada sekeping
besi tipis, di tengahnya ada ukiran sekuntum bunga mawar, besok
pagi tolong adik ini suka cantolkan di mana saja asal dipojok te mbok
di pinggir jalan, harus dicantolkan terbalik ke bawah, lalu dilingkari
tinta hitam, cukup di dua-tiga tempat saja, kawan2ku tentu akan
tahu bahwa aku sudah gugur."
"Baiklah, akan kulakukan pesanmu ini."
"Soal ini a mat rahasia, waktu me mbuat lingkaran hita m jangan
sekali2 dilihat orang."
"Aku dan Siau Yan jarang berke lana di Kangouw," kata gadis
gaun panjang, "entah kau dari Pang atau Pay mana?"
"Aku tak berani mengelabui nona, aku orang Pek-hoa-pang,
harap nona tidak ceritakan peristiwa ma la m ini kepada orang lain-"
"Aku tahu, setiap Pang atau Pay di kalangan Kangouw ada
peraturan dan rahasianya sendiri, aku tidak akan beritahu kepada
orang lain-"
"Baiklah, tolong ke luarkan kantong kain dala m bajuku, waktuku
ta Bentrok Rimba Persilatan 14 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 14
^