Sepasang Pedang Iblis 22

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun.
Dia hanya mendengar suara Milana ter-isak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai
merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong
dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!" Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat
gerakan hendak melakukan pe-ngejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yangdilakukan
dengan pengerahan tenaga sin-kang mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak
sambil me-nangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya
terpelan-ting. "Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana engkau?" Bun Beng su-dah meloncat
ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari
Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa
melayaninya. De-ngan penasaran dan marah Keng In me-ngerahkan tenaganya,
menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya
pula. "Dessss....!"
Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka meng-adu kedua
telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke
belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun dia tidak
terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya meman-dang
dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak terkejut. Di dalam dunia
ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan
Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seper-ti itu!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
596 Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia
meloncat ke depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!" Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan kiri dan tak
dapat bangkit kembali ter-kena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa
tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main.
Pemuda ini mengerling ke kanan kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju
dan hanya mengurung dari jarak jauh.
Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, ter-senyum
mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati
Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap
gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua
orang keli-hatan menggembirakan. Agaknya wajah-nya yang berseri itu membuat semua
orang terheran-heran dan curiga, sedang-kan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa
gerangan pemuda tampan berseri-seri yang wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan
oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa
lagi di mana dan kapan.
Selain kebahagiaan karena cinta ka-sihnya terbalas oleh Milana, hal yang sa-ma sekali tidak
pernah disangka-sangka-nya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang gembira, juga
Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat
kesempat-an untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok--
mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah
dara itu, Pendekar Super Sak-ti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan
hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak
akan membiarkan kau ter-lepas sebelum memberi hajaran kepada-mu! Dan Thian Tok Lama
agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Su-dah lama aku menanti kesempatan
ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menya-darkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini.
Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan
murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula
ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau
itu. Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah mene-mukan
Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah
akan tetapi yang seka-rang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!" Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu....!"
"Wuuuuttt.... plakkk!" Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok
Lama terpelanting keti-ka dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah
sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh
besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut.
Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilaku-kan dengan jari-jari tangan terbuka se-perti cakar
harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat.
Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri
menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
597 membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan
tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak
dan golok yang dirampas Bun Beng dan di-sambitkan menyambut terjangan mereka.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti se-ekor burung
garuda, dikeroyok oleh pu-luhan orang anak buah pasukan. Tentu saja mereka itu
merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah
ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima.
Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In
menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjata-nya, sebatang golok
melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-
mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Ne-pal
lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan yang juga membentuk
pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat
penjuru, delapan orang meme-gang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut
malam gelap. "Kok-kok-kok heeeehhhh!" Perut gen-dut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok,
kemudian disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memu-kul, tangan kanan
menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg.... syet-syet-syettt....!" Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke
arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan
tubuhnya mencelat ke kanan kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian Tok Lama,
gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak
pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt.... singgg.... cing-cing....!"
"Hemmm....!" Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke
belakang dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan
kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga
dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang
menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menye-rangnya
dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu
melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke
kanan. "Syuuuuutttt.... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia su-dah
bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak
sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In,
serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng.
Dua orang Nepal yang bersorban itu me-nyerangnya dengan senjata mereka yang membuat
mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah
banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan ka-nan kiri. Serangan dari depan
oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka men-jadi
hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menye-rang secara
berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan
lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan
seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti
Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
598 "Heiiittt!" Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan ber-pusing, demikian
cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari
tangannya seca-ra berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan
orang Nepal, merampas golok besar dan me-nangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong
dengan golok itu setelah meroboh-kan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg....!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya
untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh
bangun, terus di-kejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai
mu-suh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
"Singgg....!" Sinar kilat pedang Lam--mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan
nyawa Bhe Ti Kong.
"Cringgg!" Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat,
terpaksa membuang diri sam-bil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali
bertemu dengan Lam--mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
"Trang-trang....!" Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menang-kis dengan
golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng
In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini
membuat Thian Tok Lama terhuyung.
Bun Beng menyambitkan golok bun-tungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu
sudah menerjang la-gi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur
dengan ke-kuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat
menggerakkan Lam-mo-kiam untuk me-nangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah.
Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung, kesempatan ini
dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, meroboh-kan empat orang panglima
dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali
sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat
menghadapi mereka dengan tombak di tangan!
Namun, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng be-nar-benar
kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia
termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah
pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para
pengeroyok. -Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda
Pulau Neraka itu dibantu dleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang
mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapapun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan
sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan
terpaksa dia me-ngamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan,
sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-
mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama.
Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima
dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sam-pai hampir tengah malam!
Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan
tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata, ter-paksa dia
menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri
Wan Keng In satu kali. Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
599 dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng
maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengan-dung
racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur
beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya ber-kurang.
Keadaannya amat berbahaya. Dia ti-dak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa
kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian
dan kepandai-annya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di
antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau me-nyusul Thai Li Lama...!" Tiba-tiba dia berseru ketika
melihat lowongan. Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang
menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo--kiam, menggunakan tangan
kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pen-deta itu terkejut sekali, bukan hanya
karena tahu bahwa yang membunuh sau-daranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi
terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap
dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng,
akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah mengge-rakkan tangan kiri menampar ke arah
kepalanya! Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat
disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu,
sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In me-ngenai tengkuk Bun Beng pada
saat yang amat tepat.
"Desss....!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan
Bun Beng yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak
Thian Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting
dan muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun
Beng terjengkang!
Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan
tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merasa yakin
bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi melihat
pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang di-alami Thian
Tok Lama. Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi,
maka terpaksa dia mema-sang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung
tombak menyentuh tela-pak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil
mengerahkan tenaga sin-kangnya. Pengerahan tenaga ini mem-buat dadanya terasa nyeri
bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya,
akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong
yang terdorong ke depan.
"Crappp..... auggghhh....!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa
tubuhnya dan betapa da-rah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya
itu menyi-ram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus
tom-baknya sendiri.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
600 "Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia....!" Thian Tok Lama mencegah ketika meli-hat Wan
Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng.
Wan Keng In menoleh, menahan pe-dang dan mengerutkan alisnya. "Manusia macam dia
perlu apa dibiarkan hidup" Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak
korban....!" Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang te-lah
merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak
bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di de-pan Koksu untuk meringankan
kesalahan kita...."
"Hmm...." Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan
kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
"Desss!"
Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel. "Biarpun nyawanya rangkap,
pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di da-lam tubuh, akan tetapi tidak membaha-yakan nyawanya.
Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali
yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan
untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok."
Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh
yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu." Thian Tok Lama
membantah dan Wan Keng In men-dengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi
murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia
harus ikut dan ber-temu dengan Koksu. Setelah dia menyak-sikan sendiri betapa lihainya
Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal
menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apalagi ibu Milana Si
Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik
dan harus da-pat mencari kawan, dan agaknya kedu-dukannya akan kuat sekali kalau dia
dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar,
juga mempunyai banyak orang pandai itu.
Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari
hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya
ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal
sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In. Kini mereka siap dengan senjata di tangan
memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In maupun Thian


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tok Lama sudah meng-ambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata
membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini.
Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas
punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia ter-ingat semua
dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang!
Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan
yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya!
Bukan main! Cucu kaisar sen-diri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
601 seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia! Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi
kenyataan yang berbahagia itu" Dan dia telah ber-hasil menyelamatkan Milana. Dara itu
telah bebas! Dia akan menyambut kema-tian atau apapun juga, dengan senyum bahagia!
Ia mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang
sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum
berhasil mem-balas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima
Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya.
Bun Beng mencoba mengerahkan sin-kangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab
pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak
tertahankan! Tahu-lah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat
lagi! Darah mengalir dari dalam leher ke mulut-nya dan dia tahu bahwa dia telah menderita
luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut. Tentu perbuat-an Wan Keng In atau
Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang
memu-kulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda
itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada
harapan untuk meng-gunakan saat terakhir itu mencoba me-lepaskan diri dan membunuh
Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan mati
sebelum sempat bergerak!
Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia pingsan dia
menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya, namun pada saat itu dia
belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum
membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamat-kan
diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan
tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak.
Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini
memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian
Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah
tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar
bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba
terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu
diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia
piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin
besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging,
ba-rulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-
batang bambu yang pan-jang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun
bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu.
Terdengar suara berdebuk disusul roboh-nya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu
dihantam oleh batang bambu.
Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan
daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka
mengge-rakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu
yang besar dan panjang terbang menye-rang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-
daunnya. Tentu saja keduanya men-jadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata
membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng
sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut ter-tembus batang bambu,
sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang,
sudah lenyap! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
602 "Tawanan lenyap!"
"Kejar....!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk
mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh
dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng," kata
Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu.
Thian Tok Lama menahan kudanya. "Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang. "Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin" Kalau dia
muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan sete-lah dia muncul, orang
satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut
bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya
untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!" Tanpa menanti jawaban, Wan Keng
In yang merasa jerih mende-ngar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan
lenyap dari depan Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang,
meng-geleng kepala dan dengan hati risau ter-paksa memimpin sisa pasukannya yang
ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan
tetapi pasukannya pun rusak, ta-wanan lenyap dan banyak panglima te-was, termasuk
pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong.
Sementara itu, jauh dari situ, di da-lam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang
diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun
Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!
*** Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting.
Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usa-hanya untuk
mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah,
mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para
pemban-tunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuh-kannya.
Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang
manusia biasa yang tak terlepas daripada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun
dasar-dasar kekuatan peme-rintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita.
Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi
perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong ada-lah seorang di antara putera-
puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaannya tidak segan-segan melakukan
pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan mengguling-kan
ayahnya sendiri!
Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus
akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-sia-kan oleh mereka yang
ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda
yang cantik jelita untuk dipergunakan sebagai "persembahan", tentu saja dengan harapan
mendapatkan balas jasa. Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pemban-tu yang
palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
603 selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya
terlalu banyak selir, mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya
pe-langgaran dan ketidaksetiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga
keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan
dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda
itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci
Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup
merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang se-perti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh,
saling berbisik memper-cakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu,
semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir
baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas
kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persem-bahan
dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat
sendiri, mendengar penu-turan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga
memiliki ke-cantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan
kulitnya putih kemerahan, seorana dara asing dari see-thian (dunia barat)!
Dan sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan
istimewa. Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu,
bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasa-an iri mereka terhadap selir lain
dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik.
Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekalipun, tahu belaka akan
kekuasaan Koksu yang ditakuti!
Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para
thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar
menerima gadis persembahan Koksu yang datang meng-hadap pagi hari itu, Kaisar
merasakan sesuatu yang lain daripada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang
dara seperti dara peranakan Nepal ini. Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus
menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terang-sang oleh
gairah ingin cepat-cepat ber-dua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan,
dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya
yang isti-mewa dan memerintahkan Si Juita datang menghadap dan melayaninya.
Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias
bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-
satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang me-menuhi bagian tengah,
ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera
ber-sulam indah.
Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu
kamar. Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping
dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu
tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala
meninggalkan depan pintu disusul sua-ranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti
biasa, setiap kali Kaisar berma-lam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga
oleh pengawal-penga-wal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan
wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak berge-rak seperti arca akan tetapi siap untuk
memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan. Empat orang pelayan
wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka yang
duduk bersim-puh itu tak bergerak, akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar
ke arah kamar dan jantung mereka ber-debar penuh ketegangan. Biarpun mata mereka tidak
mungkin menembus dinding kamar untuk menyaksikan apa yang ter-jadi di dalam kamar,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
604 akan tetapi dinding itu terbuat dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat
mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara yang lirih sekalipun, seperti
berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas!
Dara itu benar-benar cantik luar bia-sa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telan-jang dan
bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar,
pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis
menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh yang padat menggairahkan, penuh
lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu tiba di depan pembaringan yang hanya
kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup se-hingga kedua
lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka,
rambutnya terge-rai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus
membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan
keluar dari selimutan Sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin di-raut!
Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil,
tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak men-cium keharuman yang
keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar
Kaisar berkata halus,
"Bangunlah....!"
Tubuh yang berlutut setengah mene-lungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak
bergerak-gerak itu meng-gigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit
duduk, wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerah-an kedua pipinya, mulut yang amat
manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu
gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk
sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang
panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia
duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka
memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juita sayang.... jangan takut dan malu, ke sinilah...." kembali Kaisar ber-bisik.
Muka itu makin meriunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara
menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan
menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah
menerkamnya dengan peluk-an penuh gairah.
Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan
wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keada-an mereka sebagai
orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan
sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis
pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala
kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar. Wajah mereka sebentar pucat
sebentar merah.
Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar
kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar ben-takan tertahan sebelum
para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang diantara para gadis pelayan sempat
men-jerit kecil sebelum dia roboh pula seper-ti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila
kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak
tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai. Bukan hanya ini saja
kelengahan-nya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila,
yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
605 tangan yang membalas belaian-nya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya!
Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini
telah men-jepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap
untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk!
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pe-lukan Kaisar itu
tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat!
Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-mer-ta meloncat, menyambar pakaiannya
dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu
tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya
yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menja-tuhkan diri berlutut ke arah
Kaisar! Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah, "Siapa engkau
sungguh berani mati seka-li! Pengawal....!"
"Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah ter-bunuh dan
nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu." Wanita bermuka putih itu
berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin.
Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi
membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur
telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak
lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan
tubuh itu dan bukan luka itu yang mem-buat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang
menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa.... apa yang telah terjadi....?" Kaisar tergagap karena merasa heran dan tidak
mengerti. "Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang lancang ini. Persekutuan pemberontak
telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki
tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum
beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki
tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja mem-bunuh
Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa...." Pemberontak" Koksu" Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu
sungguh besar....!"
Pada saat itu, muncul dua orang ber-sorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan
tangan dan dua batang pisau terbang melumur ke dalam kamar. Wanita itu berseru,
tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang
pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh
terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri!
Kini barulah Kaisar yakin akan kebe-naran kata-kata wanita aneh itu. "Aihhh.... lekas
ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara ke-betulan saja hamba tahu akan persekutu-an busuk ini.
Pemberontakan direncana-kan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu dan
kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak
ga-bungan, dibantu orang-orang Nepal, Mo-ngol dan Tibet. Hamba tidak tahu ba-nyak, akan
tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
606 "Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu" Engkau wanita
Mancu" Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau
untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Ku-beri kekuasaan kepadamu."
"Akan tetapi Paduka" Hamba harus menjaga Paduka...."
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir,
sebentar lagi pengawal-penga-walku akan membantumu sehingga tidak seorang pun
pembunuh akan lolos. Laku-kanlah perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat
lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini
telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di
balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar.
Dengan gerakan ringan bagaikan se-ekor burung walet, Lulu meloncat keluar dari dalam
kamar. Sambaran senjata ra-hasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali
meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang
bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok me-reka itu berlepotan darah dan
dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing.... crak-crakkkk!" Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah ter-timpa senjata
tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang
dua orang Nepal membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang
bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri
dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han dan semua thaikam yang menjaga di istana
bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka
memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok.
Akan tetapi yang mereka hadapi ada-lah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki
kesaktian luar biasa. Biarpun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu
balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak bahkan mengembangkan
kedua tangan menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok
mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan
tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-
urat leher putus terkena "bacok" kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia....!" Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di
sudut. Orang ini, berbeda de-ngan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia
sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian
terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga
orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur.
Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur
anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan!
Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas, diam tak bergerak, hanya ke-dua matanya
saja yang bergerak mengerling ke kanan kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia
melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti
bernya-nyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguhpun dia bersikap hati-
hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
607 suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti
menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek
Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke
bawah sambil ber-nyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu
mem-pergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya.
Tak tertahankan lagi kepeningan ke-palanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya.
Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal
menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang
menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ke tiga menghantamkan
sebuah ruyung! Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan
datangnya serangan. Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit
melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak,
melainkan langsung menubruk maju menyambut se-rangan-serangan itu dengan kedua
lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan!
Tanpa disengaja, Lulu telah mem-buyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung
ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khi-kang saking marah tadi.
Akibat dari terjangan-nya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke
belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari
tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh
tam-paran yang mengenai kepala, sedangkan orang ke tiga terhuyung-huyung mundur
ketakutan! Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat
ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu, sudah datang pula
senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang
amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat
laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah
meja! Orang-orang Nepal itu cepat mengu-rung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi
kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah
meninggalkan meja dan me-ja itu bergerak menerjang ke kanan kiri, melayang-layang
menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali.
Karena dia selalu berada di atas meja tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya
tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan me-ngandung hawa sin-kang yang dilancarkan
Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat,
kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum
rahasia yang di-lepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu. Betapapun juga, karena rata-rata
orang-orang Nepal itu memiliki kepandai-an tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono
dan memandang rendah. Dia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan
setiap kali para pe-ngeroyoknya berusaha untuk mengepung-nya. Ketika dia berhasil
merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau
terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa
kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran
sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak melon-cat menyambut Lulu yang
melayang ber-sama mejanya ke atas loteng, dan disem-burkanlah arak dari mulutnya ke
arah Lulu. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
608 Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia
menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan
menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sin-
kang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu
seo-lah-olah hidup, terpecah-pecah dan seper-ti serombongan ular terbang, terus
menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang
kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desss!" Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia
meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian
di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi,
langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun!
Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu me-mandang
rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor.
Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil
memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia
terkekeh, lalu melonjorkan tangan me-nyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap
tangan wanita itu!
"Plakkk!" Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu
terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat,
sama sekali tidak mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak
tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat
ber-bahaya. Lulu memperoleh ilmu pukulan mujijat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan
setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa bera-cun.
Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di
dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka
seperti itu. Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya
se-ketika kaku seperti kemasukan api hali-lintar dan begitu tangan kiri Lulu me-nyusul
dengan tamparan mengenai kepa-lanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi
terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam!
Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya
berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, mero-bohkan tiga orang lagi.
Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh
Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam ka-mar peraduan, maka maklumlah mereka
bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan ber-usaha
untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah meneri-ma perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia
selalu berkelebat me-nyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak
lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu
samping! Pasukan pembunuh menja-di makin kacau, mereka melawan mati-matian akan
tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang!
Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang ter-akhir pasukan
pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke
ruangan itu. Lulu memandang kaget ketika mengenal bahwa yang baru masuk melalui
jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara
jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, se-kutu pemberontak!" Tiba-tiba kaisar membentak
marah. Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang
tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Akan tetapi setelah kini ternyata
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
609 Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan
agak-nya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya
menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan
seorang wanita berkeru-dung yang penuh rahasia.
Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata
terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!" Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil meng-gerakkan
tangan kiri dan lima orang pe-ngawal itu terpelanting ke kanan kiri! Melihat ini para pengawal
terkejut dan Kaisar sendiri pun kaget sekali.
"Biarkan hamba yang menghadapinya!" Lulu berkata lantang dan sekali kakinya bergerak,
tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, da-lam keadaan dan
tempat yang jauh ber-lainan dari yang pertama, dua orang wa-nita sakti ini saling
berhadapan! Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ
bersama puterinya" Seperti kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi
pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan
pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu
oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Ni-rahai dan Bu-
tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol
keluar dari ke-pungan. Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil
membunuh Bhong-koksu yang telah mem-berontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk
membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang, akan tetapi ketika mendengar betapa
pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang, dia menjadi
khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia
membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan.
Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek
aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, mem-buat kepungan Bhong-koksu dan
kaki ta-ngannya kurang kuat dan akhirnya, sete-lah merobohkan banyak lawan, dua orang
sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang
istana Koksu. Mereka lari berpencar. Nirahai lang-sung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke
markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja un-tuk mencari jejak
muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang
berlari-lari. "Milana....!" dia memanggil dengan hati tidak enak. Puterinya bertugas men-jaga di markas
dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-
liong-pang. "Ibu....!" Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai ma-kin tidak enak
lagi. "Apa yang terjadi?" Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis
terisak-isak. Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang
dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah
mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri.
Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
610 "Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun....!" Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu." Milana berkata
penuh sakit hati.
"Bagaimana engkau dapat lolos?" Ti-ba-tiba Nirahai bertanya.
Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng. "Dia
memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan
kepada Ayah."
"Hemmm...., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak tersangka. Milana, sekarang juga
kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan,
membantu ke-rajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana
menjelang pagi. Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat
menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di
waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat
banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang ber-sorban tewas, bahkan
di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar
yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal.
Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Kok-su dan
perintah Kaisar untuk membunuh-nya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima
orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di de-pannya dengan sikap
menantang! "Hemm, sungguh tak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu!
Lebih-lebih lagi tidak ku-sangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan
pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih
banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!" Lulu berkata,
dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam
puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!" Kaisar berseru lagi ketika dari
pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di
istana ba-gian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh
dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar
Pagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah un-tuk mati!" Lulu membentak dan tubuhnya sudah
menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia
maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah
mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu
Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-
liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga
pukulan yang sama!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
611 "Aihh, ternyata betul kabar yang ter-siar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu
yang tak tahu malu!" bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!" Ti-ba-tiba suara di balik kerudung ini beru-bah halus dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lulu tersentak kaget.
"Kau.... kau.... siapakah....?"
Pada saat itu, Milana sudah menja-tuhkan diri. berlutut menghadap kepada Kaisar sambil
menangis dan berkata,
"Mohon Sri Baginda sudi mengampun-kan hamba dan ibu hamba....! Thian-liong-pang sama
sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan!
Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang di-serbu dan dihancurkan oleh pasukan
pemberontak Koksu pengkhianat, para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun
nyaris tewas.... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu.... Ibu.... selamanya.... setia
kepada Paduka...." Mi-lana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis
tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih
kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan
dia, melainkan merasa berduka dan ter-haru.
Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berke-rudung itu
dengan bingung. Kini wanita berkerudung itupun menjatuhkan diri berlutut menghadap
Kaisar dan terdengar suaranya lantang,
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu,
hamba adalah puteri Paduka yang setia...." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi
mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderita-an batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)....!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak
pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai....!" Kaisar juga berseru gi-rang, lalu melangkah maju. "Aihhh.... jadi engkaukah
yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang" Dan gadis ini.... dia anakmu....?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap dah berlutut di depan Kaisar.
"Harap Paduka sudi mengampun-kan hamba, Milana adalah anak hamba dan...."
"....dan dia cucuku! Ahhhhh!" Kaisar menyentuh kepada Milana dengan ujung jari
tangannya. "Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, kuserahkan seluruh
pengawal. Seperti dahulu, pimpin mereka membersihkan pemberon-tak-pemberontak laknat
itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan.... wanita
ber-nama Lulu ini, siapakah dia" Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan.... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah
dibasmi oleh pasukan kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menja-tuhkan diri berlutut.
Kaisar mengelus jenggotnya dan me-narik napas panjang. "Hemm...., semua adalah gara-
gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau
Es dan Pu1au Ne-raka merupakan kekuatan-kekuatan ber-bahaya dan perlu dibasmi, dan
aku selalu percaya kepadanya. Apalagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau
Es.... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!"
Nirahai berkata dan Lulu ha-nya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
612 bingung sekali sete-lah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai.
Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai" Dan anak Nirahai berarti
anak.... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah sucinya itu pernah menjadi
isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti"
"Si keparat Bhong Ji Kun yang ber-dosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas
dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pembe-rontak. Setelah itu barulah
kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!" Kaisar
meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan
pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh
pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu me-ngajak Lulu
dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap
Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai
dan mereka girang sekali mendapatkan pim-pinan wanita sakti ini karena yang mere-ka
lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang di-bantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin
pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua
pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan me-larikan diri ke utara untuk
bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan
secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan,
me-lakukan pengejaran ke utara, tetap di-bantu oleh Lulu. Adapun Milana tidak ikut
membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, me-nyerahkan pedang
Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama
sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya.
Berangkatlah pasukan besar yang di-pimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan
utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka
menaruh keperca-yaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal
sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa. Apalagi karena Puteri Nirahai
adalah puteri kaisar sendiri!
*** Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini
maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu
siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini, bulan
sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung
bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang
tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya.
Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan
ram-but riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang
lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi pe-rang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul
kotor dilanda barisan bala ten-tara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu lalu
mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru ge-rakan pasukan berbaris. Bambu
panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul
tombak, mulutnya meniru aba-aba ko-mandan pasukan, "Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut
terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya makin pe-ning! Celaka, pikirnya,
kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak,
atau memang otaknya agak miring! Sukar diduga apa yang akan menimpa dirinya yang
terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
613 dalam yang amat parah sehingga jangankan mempergunakan tena-ga dan kepandaiannya,
bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap
pengerahan sin-kang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka diapun tidak bergerak
dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau orang belum tiba saat-nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun
Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi
tawanan dan tiada ha-rapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali,
ketika dia me-nolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada
sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum. Sepasang mata itu
adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Kalau saja
Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan
Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apalagi menolong
Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu,
menimbulkan kekaguman dan rasa suka, akan tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan
dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu mengha-dapi Wan Keng In dan
Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan
betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak
menghadapi pedang Lam-mo-kiam di ta-ngan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan
itu dapat menawannya. Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin
sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia
mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan
kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan
Keng In, murid suhengnya itu!
Setelah kini Bun Beng dapat diculik-nya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang
harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang
tertangkap, diba-wa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apalagi ketika
matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita
luka pu-kulan yang amat hebat, dan untuk me-nyembuhkannya bukan merupakan hal yang
mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu. Ketika Bun
Beng dan Milana berca-kap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri
dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggul-nya ini saling mencinta dengan puteri
Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Ten-tu pendekar itu akan girang kalau dia beri "hadiah"
calon mantunya ini!
Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit
kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super
Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya
diangkat memandang ke arah bulan sepo-tong, diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya
yang panjang putih itu ter-timpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti
perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpe-gang pada lengan kiri. Hanya ujung
rambutnya yang putih panjang itu saja ber-gerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!" Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun
Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan
tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang
terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan meng-hampiri
Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek
itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama
sekali. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
614 Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat
ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia meng-hampiri pendekar kaki buntung
itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ter-nyata
sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka!
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu
sambil menaruh kedua ta-ngan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan
pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya
berulang kali meng-hela napas panjang, kembali ia mengge-leng-geleng kepala dan berjalan
hilir-mu-dik lagi.
Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang
rebah miring itu memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting!
Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja" Apakah mereka telah saling
mengenal" Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main
kalau sam-pai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar
Siluman! Akan tetapi, sungguh sama se-kali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu
bersikap luar biasa sekali. Pen-dekar kaki buntung itu tetap berdiri te-gak sedangkan kakek
cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai
sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak
didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
"Sekali hidup siapa minta"
segala macam peristiwa menimbulkan suka duka salah siapa"
Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka mengapa
susah" Kakek bulan pun tidak selalu sempurna mengapa kecewa"
Tuhan tidak mengharuskan setan tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh tapi yang berduka lebih tolol lagi!"
Kini tubuh Suma Han bergerak. Ter-dengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan
muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang
menonton me-mang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela,
semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah
dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar
Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu
engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kaurasakan. Kalau begitu,
me-ngapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
615 "Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempu-nyai pikiran,
apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan
duka" Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seper-ti itu, jauh lebih baik dipergunakan
untuk memikirkan mengapa kita sampai berdu-ka! Karena sesungguhnya, suka maupun
duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas
daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi
isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?" Suma Han
menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia,
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan,
kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang.
Sungguh mengherankan sekali, engkau yang mem-buka hati dan pikiranku di dalam kamar
tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri ti-dak tahu
akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nye-nyak. Ternyata engkau
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang
terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan ke-nangan
masa lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!" dan
pendekar ini menjatuhkan tu-buhnya duduk bersils di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali
membuktikan kelemahanmu, eng-kau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku,
tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan."
Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan "bruuk!" dia sudah duduk pula di atas sebongkah
batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring,
mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia
menyaksikan, bah-kan mengharapkan terjadinya perang tan-ding di antara dua orang yang
memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kece-wa! Ternyata kedua orang itu mulai
ber-tanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin dide-ngar,
makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-
hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbu-kalah mata batin pemuda ini
sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang
dengan suara mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah ke-pada pikiran yang
kaukatakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku
selama ini, kita manu-sia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan
oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini,
keadaan pikiran kita. Memang hidup mem-butuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat
dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan
lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun
terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup
menja-di rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!" Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang
mencengkeramnya. "Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu" Hati-hatilah engkau
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
616 bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak se-nang. Aku tidak ingin
kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap.
Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukan-lah aku yang
mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang men-jadi biang keladi
segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran
kita sendiri, karena itu, se-bagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa
mau saja diper-budak oleh pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa
tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu" Dan siapakah itu yang kausebut aku yang
mempunyai pikiran" Pendekar Super Sak-ti, dengarlah baik-baik segala yang hen-dak
kukemukakan, karena semua kesadar-an ini kudapat setelah mendengar petun-jukmu di
dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa
kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu,
bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada
aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun
yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang
menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. De-ngan sendirinya pikiran menciptakan
Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak
menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana
tidak akan timbul suka dan duka" Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan
sengsara?"
"Nanti dulu!" Suma Han berkata nya-ring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima
ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran
mula-mula mengemudi-kan dan menguasai kita."
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi aki-bat sesuatu
yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran
membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan
karena pikir-an berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu
keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya
sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus
berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang,
disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya
tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman
masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang
menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang
sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku,
se-hingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
617 menimbulkan pertentangan-pertentang-an. Benar sekali! Akan tetapi, apa hu-bungannya
dengan iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat
yang menyenangkan dimi-liki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri
tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana dengan dendam dan ben-ci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun
ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, menge-nangkan hal-hal tidak
menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci-an kepada seseorang akan
melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya
itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan
memperkuat ini dan menimbul-kan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan
pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut
kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh
kesadarannya, na-mun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im
dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu,
dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan" Hemmmm.... kedukaan-mu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, se-olah-olah ada
sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar
tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin
lebar-lebar dan menghilangkan segala pengha-lang yang menutupi dirinya sendiri sela-ma
ini. Maka pertanyaan itupun mem-buatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab
lancar, "Sebelumnya maaf-kan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya
seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama
persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati" Bagaimana timbulnya dan dari mana
timbulnya" Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah
pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku
dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbul-nya duka, bukan" Dan
bagaimana keduka-an timbul" Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan
hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah
per-mainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-
tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan,
karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah
menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya
dapat menangkap semua percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama
keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih,
kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup
di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran.
Suara daun ge-merisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang
menyam-but malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari
sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian
melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri. Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti
yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
618 lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini
menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu,
tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus ber-debat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu
saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua penge-tahuan filsafat yang
dimilikinya, untuk melawan ucapan kaken yang selalu me-ngemukakan fakta apa adanya,
bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin
yang terbuka lebar, tidak lagi di-gelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan
pelajaran hafalan yang te-lah lalu. Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan
karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia
telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan
ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali reng-gut saja akan putus
ikatan kaki tangan-nya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga
nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu
tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng perlahan-lahan meng-gulingkan
tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai meng-gosok-gosokkan tali
pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam. Karena tidak
berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya
mengandal-kan tenaga luar. Tekun sekali dia me-ngerjakan semua ini sehingga hanya kalau
dia berhenti mengaso saja dia da-pat mendengar percakapan dua orang itu sekarang.
Baginya, lebih penting melepas-kan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat
membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu
ini, maka sete-lah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan
tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah
pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua
orang sakti itu masih berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda pende-titaan batin
seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena
memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku" Terhadap
orang seper-ti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kaudengarlah dan coba
pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?" Pendekar Super Sakti
yang sedang tenggelam dalam ke-dukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya
kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi
sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar
penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak
disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah
seorang yang telah di-landa kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena
aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksa-nya untuk menikah
dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan
kedu-dukannya sebagai puteri kaisar dan pa-nglima besar untuk menjadi isteriku. Namun,
hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai
jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua
perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan ter-hadap isteriku. Aku berusaha
mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih
terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik
angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang
gugur dalam perang kare-na patah hati, dan ternyata adik angkat-ku itu pun menderita
karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau
Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan,
anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi
semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
619 Sejenak keadaan sunyi, yang terde-ngar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang
sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh, aku sendiri
selamanya tidak bera-ni berurusan dengan wanita, Taihiap. Me-nurut dongeng, wanita
adalah satu-satu-nya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling
aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia
maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak
tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya
tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau
membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan
pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang
pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti eng-kau pun roboh dan merana karena
wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku
memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huh, mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa
mempertimbangkannya, apalagi memberi nasihat aea yang harus kaulakukan!"
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-
masing, memikirkan jalan apa yang terbaik menghadapi dua orang wani-ta yang
menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu. Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring,
"Seorang isteri harus dalam keadaan apapun juga ikut dengan suaminya! Se-orang kekasih
harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari
daripada pertanggungan jawabnya dan tidak meng-ingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-
tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk
bersila di atas tanah.
"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin berta-nya heran
dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.
Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Ha-rap Suma-
taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-
tek Siauw-jin Locian-pwe yang telah menolong saya."
"Engkau.... Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pe-muda itu di
bawah cuaca yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe
(orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek
itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
620 "Tahukah engkau mengapa aku me-nolongnya, Pendekar Siluman" Setelah engkau
ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong
pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadi-nya aku tidak tahu
bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."
"Milana" Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan dia melihat
Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang me-mimpin pasukan
menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa dia telah berhasil pula mengembalikan pedang
Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-
mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu
lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama.
Akhirnya saya roboh dan sebelum terto-long oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah
memukul saya dengan pukulan beracun."
"Heh-heh, agaknya dia memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita
pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah se-tan itu telah memiliki
kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu ter-ancam, Gak Bun Beng," kata Bu-
tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.
"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadap aku sudah ter-lampau besar
sehingga aku rela mengor-bankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana,
telah mengemba-likan Hok-mo-kiam, dan.... dan terutama sekali ucapannya tadi telah
membuka mata batinku, telah mendatangkan kete-gasan dalam hatiku sehingga lenyaplah
segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, engkau harus mem-bantuku
mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani
mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu," kata Suma Han.
"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini.
Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk
bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun
Beng dan berkata, "Kaukerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu
cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suhengku yang amat keji ini."
Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan
mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang
amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya
membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan.
Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu
kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan
tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan
pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa
nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun
Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baik-nya dia masih teringat untuk miringkan
mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek
yang bersila di depannya.
Ternyata pengobatan yang hanya di-lakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik.
Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk
memulihkan tenaga masing-masing. Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang sudah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
621 tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak menanti sampai
mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu kurang lebih dua
jam. Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat
betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali.
Tidak disangka-nya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang
benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga
seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di
hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat
akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik anta-ra puterinya, Milana, dengan Bun
Beng, maka hatinya menjadi bimbang.
"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.
Bun Beng memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi
nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar
itu." "Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, eng-kau harus menerima dan mempelajari ilmu kami
berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta
kembali nyawa yang kaubilang kami berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng
menerima dengan sungguh--sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi
syaratnya."
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Me-reka
berdua semalam suntuk telah berde-bat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan
masing-masing. Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berda-sarkan Im dan
Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang
mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han
yang mem-pergunakan kedua-duanya. Kini, mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga
sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan
Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi
hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar
biasa, memiliki tenaga sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang
sanggup menerima gabungan ilmu mereka!


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bun Beng, kami berdua telah berse-pakat untuk menurunkan inti tenaga ka-mi kepadamu.
Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan
berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kaumainkan ilmu
silat tertinggi yang kaumiliki."
Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di
samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah
dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia "curi" dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-
pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ke-tua
Thian-liong-pang yang ternyata ada-lah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai
diketahui oleh pendekar ini, apa-kah tidak berbahaya baginya" Tentu dia dianggap pencuri!
Akan tetapi kalau tidak dimainkannya, berarti dia menyembunyi-kan sesuatu dan
membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia meng-ambil keputusan nekat. Dia
tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng
yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempela-jarinya
tanpa sengaja mencuri!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
622 "Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang," jawabnya lirih.
"Kau boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han.
Bun Beng menerima tongkat itu de-ngan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan terharu,
bangga, dan gembira hatinya" Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super
Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan pe-nuh keharuan dia mencium tongkat itu,
kemudian memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat ba-ngun dan
mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga
bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gu-lungan sinar yang dibentuk oleh
tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sin-
kang dari pemuda itu sudah amat kuat.
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin me-mandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling
pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggeleng-kan kepala saking
kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia
meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil
memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang tongkat yang ternyata cocok Sekali
dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali
kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena
pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.
"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid" Ha-ha-ha, aku benar-benar
Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh
yang baru kauperlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati
kutu!" Bun Beng menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menerta-wakan teecu yang
bodoh dan teecu mohon petunjuk."
"Ah, aku tidak main-main. Ilmu pe-dangmu tadi hebat, kalau ditambah ga-bungan inti tenaga
sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!"
"Gak Bun Beng, dari mana kau mem-peroleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar suara
Suma Han, suaranya te-gas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena
seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!
"Maafkan, teecu mendapatkannya se-cara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini
bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang
pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini
teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri...."
Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata,
"Mencuri" Dari siapa?"
"Dari Ketua Thian-liong-pang."
"Heh....?" Dua orang sakti itu ter-belalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena
tidak menyangka sama sekali.
Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu
menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu
yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin
tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata, "Dia tersesat,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
623 mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan
terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pemba-lasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau,
bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau
terhitung sute-ku (adik sepergururuanku) sendiri" Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa
kitab itu adalah pening-galan Suhu Koai-lojin."
"Ahhhh....!" Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu.... teecu.... mana
berani....?"
Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bah-wa pemuda ini
memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah
mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.
"Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi su-teku,
ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong"
Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan
semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti
dari kami berdua, hal yang tak mungkin di-temukan oleh orang lain di dunia ini."
Mulailah kedua orang sakti itu mela-tih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-
yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan
Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna
muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sin-
kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam
guha di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga
Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya.
Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri
siang malam tan
Bara Naga 2 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Golok Yanci Pedang Pelangi 8
^