Sepasang Pedang Iblis 26

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 26


agai-mana kami berani menanggung bahwa bukan engkau pembunuhnya" Sungguhpun
hal ini bukan berarti bahwa kami menu-duhmu, untuk itu pun masih belum ada bukti dan
saksinya."
Bukan main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha
mencari sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat
dia malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga
pembunuh suami-nya!
"Pergi! Pergi kalian!" Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya
membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu. Para piauwsu
segera mening-galkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur suami isteri
yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir siapa gerangan pembunuh suami isteri
ini" Mengapa membunuh mereka secara demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada
hubungannya dengan dia" Siapakah pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan
hal itu dengan sengaja untuk merusak namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan
pem-bunuh"
Dengan hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah
selesai mengubur jenazah sua-mi isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan
penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan
penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni dusun-dusun di sekitar telaga
itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari keterangan dari mereka, terdapat
jawaban bahwa suami isteri yang ditanya-kan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun
itu. "Di sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu
tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula." Demikian jawaban yang ia dapatkan.
Menjelang malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada
di sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang
sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan yang
sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan, terbuat dari kayu dan
atap-nya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil itu sunyi, bahkan keli-hatannya
kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk menyelidiki pondok itu dan kalau memang
kosong, akan mele-watkan malam itu di dalam pondok.
Akan tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam
pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini amat
mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok ini.
Setelah malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah
bayangan pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan
penuh perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng me-loncat ke atas
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
709 genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan suara dia
melangkah di atas genteng, kemudian menemukan se-buah lubang di antara genteng dan
meng-intai ke bawah.
Apa yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang
kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik ber-pakaian mewah, dan
indah seperti kebia-saan dara-dara bangsawan atau dara har-tawan di kota besar! Keduanya
merupa-kan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan dan pembunuhan!
Akan tetapi, siapa tahu" Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang
menjadi jai-hwa-cat (penjahat peme-tik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula kakek-
kakek yang suka mem-perkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas genteng
dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang penjahat besar yang
berpakai-an sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok bersama seorang dara cantik,
berdua saja! "Kim Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini" Bukankah kau lebih senang di
kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di sini."
"Mengapa Kong-kong meninggalkan ka-mi dan tinggal di tempat sepi ini" Sejak kecil Kong-
kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastera, setelah Kong-kong (Kakek) pergi, tidak
ada lagi yang me-ngajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan Ibu untuk tinggal bersama Kakek
di sini selama satu bulan."
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam pu-luh lebih,
berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus. "Aneh sekali kau, Kim Bwee. Semua
gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua sudah kuajarkan
kepadamu, apalagi dapat kuajarkan sekarang?"
"Sajak-sajak itu, Kong-kong! Sajak buatan Kong-kong membuat aku rindu kepadamu. Aku
ingin selama sebulan ini Kong-kong membuatkan sajak-sajak un-tukku!"
"Hemm, engkau sendiri pandai mem-buat sajak yang jauh lebih indah daripada buatanku.
Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan masing-masing,
tentu saja untuk menu-angkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf harus ada kepandaian
menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan tercipta sajak yang indah. Perasaanmu
sebagai wanita jauh lebih halus daripada aku, karenanya engkau lebih pandai membuat
sajak yang menyentuh rasa."
"Ahh, Kong-kong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kong-kong yang
selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah
gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak
kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!"
"Itu adalah hasil dari pandangan sese-orang akan sesuatu yang dilihatnya...."
"Pandangan Kong-kong itulah yang hebat, seolah-olah Kong-kong dapat meli-hat sampai
tembus segala sesuatu. Bagai-manakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti itu,
Kong-kong?"
"Hanya dengan membebaskan pandang-an itu sendiri, cucuku yang baik. Biasa-nya, kita
memandang sesuatu, baik itu benda mati mau pun hidup, binatang mau pun manusia,
dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya
melalui tabir yang beru-pa prasangka, penilaian, kesimpulan se-hingga pandangan kita
menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa yang ada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
710 melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita menjadi dangkal,
jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya saja pun masih belum lengkap."
Dengan gerakan lucu dara itu mem-belalakkan matanya dan berkata manja, "Aihhh! Aku
menjadi bingung, Kong-kong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak me-ngerti apa yang Kong-
kong maksudkan. Apakah cara memandang saja pun ada ilmunya?"
Kakek itu tertawa. "Bukan ilmu, ka-takanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga
seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka sudah
sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar ini, yang tak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya."
"Wah, terdengarnya aneh dan lucu, Kong-kong. Masa untuk memandang dan mendengar
saja harus ada seninya" Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia tidak
buta dan tidak tuli."
"Ha-ha-ha, benarkah demikian" Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang
buta dan tuli, sungguhpun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sesungguhnya, sudah
tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa adanya. Yang
kita pandang dan dengar adalah bayangan pi-kiran kita, dan bayangan pikiran kita itu tentu
saja sama sekali bukan hal yang sesungguhnya, bukan apa adanya."
"Aku masih bingung, Kong-kong. Coba beri contoh."
"Biasanya kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian
dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini
dengan pikiran penuh tafsir-an, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar tidaknya,
baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan sesungguhnya dan akan
kehilangan inti-sarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah pertentangan antara tanggapan-
tanggapan-mu, penilaian dan prasangkamu sendiri. Demikian pula kalau engkau
memandang sesuatu. Kalau engkau memandang seseo-rang dengan pikiran berisi
kenangan akan orang itu di masa lalu, maka pandangan-mu akan terisi penuh dengan
prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan orang itu yang kaupandang, melainkan
bayangan melalui kenanganmu! Dengan demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa
khawatir dan lain-lain! Karena itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini."
"Akan tetapi, Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memi-kirkannya,
tanpa menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa yang kita
dengar itu?"
"Nah, itulah salahnya dengan pende-ngaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa yang
baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk ingin kita jauhi, maka
terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita men-dengar suara orang bicara ribut-ribut,
merasa bising dan pening. Mengapa" Ka-rena kita tidak mau mendengarnya, tidak suka
mendengarnya, menganggap meng-ganggu dan sebagainya. Coba kita mendengarkan
tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang mendengar, mendengar apa adanya, takkan
timbul gangguan. Demikian pula dengan seni memandang. Kita memandang penuh
perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari
kenangan, maka tidak akan ada istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan
pandangan kita akan dapat melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya!
Menger-tikah engkau?"
Dengan gerakan lucu, gadis itu meng-garuk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan.
"Dikatakan mengerti, rasanya be-gitu sukar diterima. Dibilang tidak me-ngerti, aku dapat
merasakan kebenaran-nya, Kong-kong. Dan.... heiii!" Gadis itu terkejut dan terbelalak karena
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
711 tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena bulu) yang tadi dipegangnya itu ke atas. Benda
yang biasanya dipergunakan sebagai alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah menjadi
senjata rahasia yang amat hebat, menembus atap dan menyambar ke arah dada Bun Beng!
Pemuda ini tadi mende-ngarkan dengan penuh perhatian. Dia tertarik sekali sehingga lupa
keadaan dan lupa diri, lupa bahwa dia mengintai dan mendengarkan percakapan orang lain!
Maka begitu dia diserang sambaran pit yang cepat, dia terkejut bukan main, tangannya
menyambar cepat dan pit da-pat ditangkapnya! Terkejut juga dia merasakan betapa benda
itu menggetar di tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sin-kang yang kuat
sehingga pit yang sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga yang kuat!
"Locianpwe (Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas
kelancangan saya...." Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin diserang lagi. Dia
sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan kebersihan kakek itu. Orang
yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia
minta maaf. "Sahabat yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!" Suara kakek itu
masih bernada halus akan teta-pi terdengar penuh wibawa. Mendengar ini, Bun Beng
merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa bersalah, maka tanpa
menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan
hati-hati. Kakek itu dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika
meloncat turun itu sudah membuk-tikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat
tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua ta-ngan depan dada memberi
hormat kepada kakek itu, kemudian kepada gadis cantik yang memandangnya dengan
sepasang mata indah terbuka lebar.
"Saya Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya," kata Bun
Beng sambil memberi hormat.
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Menyadari akan kesalahan sendiri berarti
menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tak dapat menghabiskan
urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan penjahat, maka aku merasa
penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa engkau yang muda dan sopan ini
sampai mengintai di atas pondokku."
Maka dengan singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh
yang berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan pembunuhan
kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak pembunuh itu.
"Saya sudah mencari ke sekeliling te-laga, akan tetapi tidak ada apa-apa di dalam dusun-
dusun di sekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang keada-annya berbeda dengan
rumah-rumah pen-duduk, timbul kecurigaan saya dan mela-kukan penyelidikan, harap
Locianpwe suka memberi maaf."
"Aaahh, kalau begitu persoalannya, tidak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hi-langkan
kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal Kaisar
yapg mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku."
Wajah Bun Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat. "Maaf telah
berlaku kurang ajar...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
712 "Tak perlu banyak sungkan, Sicu. Tin-dakanmu benar dan Si Laknat itu harus ditangkap!
Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku mem-bantumu mencarinya. Kim
Bwee, kau menunggu di sini dan berjagalah karena ada penjahat berkeliaran."
Gadis itu mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng. "Mari kubantu
mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan mengelilingi telaga dan
kembali bertemu di pondokku ini."
"Baik, dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka mene-rima kembali
ini...." Bun Beng menyerah-kan pit yang tadi menyambarnya.
Kakek Lu Kiong menerimanya sambil tersenyum. "Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak
akan selihai engkau, Sicu, dan pit-ku akan merobohkannya."
Keduanya lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyeli-dikan
mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di sekeliling telaga
itu. Biarpun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi mela-kukan penyelidikan pada malam
hari dengan mengelilinginya, membutuhkan waktu tidak kurang dari dua jam barulah Bun
Beng tiba kembali di depan pondok kakek Lu tanpa hasil.
"Jahanam keparat....!"
Bun Beng kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apalagi
ketika ada sinar pedang me-nyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik, kiranya gadis
cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, me-nusukkan pedang ke arah dadanya,
dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar angin pukulan dahsyat pula dibarengi
bentakan suara kakek Lu. "Ma-nusia iblis!" Hanya dengan kecepatan gerakannya yang luar
biasa saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pit yang menotok
jalan darahnya secara bertubi dari samping kanannya.
"Eh.... eh.... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?" Bun Beng berseru kaget dan
heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini yang menjadi pembunuh!
Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang lihai, dan gadis yang dikatakan
"cucunya" itu adalah pembantunya!
"Mau bicara apa lagi" Keparat!" Ga-dis itu kembali menyerang dan kini dia mainkan pedang,
membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!
"Nona.... eh, tahan dulu....! Setidak-nya.... aku minta penjelasan lebih dulu....!"
"Penjelasan apa lagi" Manusia bia-dab....!" Pedang itu kembali menusuk dengan cepat
sekali, namun untuk kese-kian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat
jauh ke be-lakang menghadapi Kakek Lu sambil ber-kata dengan suara penuh penasaran,
"Locianpwe, apa artinya ini" Harap jelas-kan, kalau memang aku bersalah aku tidak akan lari
dari hukuman!"
Kakek itu berkata halus kepada cucu-nya, "Kim Bwee, tahan dulu senjatamu. Biar aku
bicara dengan keparat ini!" Ke-mudian dia menghadapi Bun Beng sedang-kan gadis itu
menangis terisak-isak dengan suara penuh kedukaan.
"Gak Bun Beng, sungguh aku tidak mengira bahwa engkau adalah seorang penjahat muda
yang curang dan licik. Engkau sengaja memancing aku keluar dari pondok untuk melakukan
kekejian yang terkutuk, dan masih engkau berani berpura-pura tidak tahu apa-apa! Kiranya
pemerkosa dan pembunuh yang kausebut-sebut tadi bukan iain adalah engkau sendiri
keparat!" Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
713 "Locianpwe....!"
"Sudahlah, tak perlu sandiwara pula. Sekarang juga engkau harus mengambil keputusan
dan pilihan. Menikah dengan cucuku untuk membersihkan namanya atau mati di tangan
kami!" "Locianpwe! Aku.... aku tidak merasa telah melakukan kesalahan...."
"Kong-kong, apa perlunya bicara de-ngan iblis macam dia" Kita bunuh saja dia, kemudian
aku akan membunuh diri....!"
"Tunggu dulu, Kim Bwee! Eh, Gak Bun Beng, apakah engkau hendak menyangkal pula
bahwa engkau tadi telah sengaja memancing aku pergi, kemudian diam-diam kau datang ke
pondok, secara cu-rang menotok roboh cucuku, memadamkan lampu dan memperkosanya?"
"Apa....?" Mata Bun Beng terbelalak lebar dan mukanya pucat sekali. "Aku tidak melakukan
hal itu, Locianpwe. Demi Tuhan....!"
"Bangsat!" Kim Bwee menjerit marah. "Apakah kaukira mataku buta" Sebelum lampu
dipadamkan, aku masih melihat engkau!"
"Benarkah, Nona" Benarkah engkau melihat aku yang melakukan hal itu?"
"Aku melihat pakaianmu, capingmu. Biar kau menyembunyikan muka, aku masih mengenal
bentuk tubuh, pakaian dan capingmu!"
"Fitnah belaka! Aku tidak melakukan perbuatan terkutuk itu. Harap Nona dan Locianpwe


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka percaya kepadaku....!"
"Singgg....!" Pedang itu telah menyambar dan dari belakangnya, sepasang pit di tangan
kakek itu pun menotoknya. Bun Beng cepat meloncat ke atas, berjungkir-balik dan melesat
keluar. Dia maklum bahwa percuma saja menyangkal fitnah itu, percuma saja meyakinkan
kakek dan cucunya itu bahwa bukan dia yang mela-kukan perbuatan keji itu. Dia maklum
pula bahwa kakek itu memiliki kepandai-an tinggi, dan kalau dia tidak cepat-ce-pat dapat
menangkap penjahat yang melakukan semua perbuatan itu, dia akan terus dimusuhi."Aku
bersumpah akan menangkap penjahat yang melakukan kejahatan dan fitnah terhadap diriku
itu, Nona!" Setelah berkata demikian, Bun Beng berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Kakek dan cucunya berusaha mengejar, namun mere-ka tidak dapat menandingi gerakan
Bun Beng sehingga sebentar saja pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam
Gadis itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Tiba-tiba pedang-nya berkelebat ke
arah lehernya sendiri.
"Tringgg....!" Pedang itu terlepas dari pegangannya ketika disambar oleh sepa-sang pit yang
dilontarkan oleh kakek Lu Kiong.
"Kim Bwee! Jangan putus asa, dan jangan melakukan perbuatan pengecut itu! Kita telah
mengetahui namanya, den andaikata aku sendiri tidak mampu me-nangkapnya, aku
mempunyai banyak te-man-teman yang berilmu tinggi yang tentu akan suka membantuku
mencari Gak Bun Beng dan menuntut dia mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan
menikah denganmu atau mati di tangan-mu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
714 Gadis itu menangis dengan sedih. Be-tapa tidak hancur hatinya" Dia seorang dara yang
menjunjung tinggi nama dan kehormatan, cucu dari bekas pengawal Kaisar yang terkenal.
Kini dia telah di-nodai orang, seorang muda yang tadinya amat menarik hatinya, dan
pemuda itu ternyata seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat yang kejam!
Bukan hanya Kim Bwee dan kakeknya yang berduka dan marah. Bun Beng yang melarikan
diri itu pun marah sekali dan andaikata dia dapat berhadapan dengan penjahat yang telah
memperkosa Kim Bwee, yang dia duga tentulah penjahat yang membunuh suami isteri di
tepi tela-ga siang hari tadi pula, tentu dia akan menerjangnya dan takkan berhenti kalau
belum melihat penjahat itu dapat ditang-kap atau dibunuhnya!
Akan tetapi, kemarahannya itu ber-campur dengan keheranan dan juga ke-bingungan.
Mengapa penjahat yang tentu amat lihai itu seperti sengaja melakukan kejahatan untuk
menjatuhkan fitnah kepa-danya" Agaknya penjahat itu sengaja hendak membikin buruk
namanya dan kalau benar demikian, mengapa dan siapakah orang itu" Dia menjadi bingung,
tak dapat menduga-duga siapa gerangan orang yang memusuhinya secara diam-diam itu,
sukar dia menduga siapa musuh rahasia itu dan dia pun tidak tahu bagai-mana harus
mencarinya dan ke mana karena penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan jejak.
Betapapun juga, dia tidak putus harapan. Setelah dua kali melakukan perbuatan terkutuk
yang agak-nya disengaja untuk merusak namanya, tentu penjahat itu takkan berhenti di situ
saja. Dia mengharap penjahat itu akan turun tangan lagi untuk menjatuhkan fit-nah, atau
bahkan untuk menyerangnya secara langsung agar dia berhadapan muka dengan musuh
rahasia itu. Karena tidak tahu harus mencari ke mana, Bun Beng melanjutkan perjalanannya
ke utara dalam usahanya mencari kekasihnya yang dia duga tentu diculik oleh Wan Keng In,
pemuda iblis dari Pulau Neraka itu.
Dalam perjalanannya ini, Bun Beng bersikap hati-hati sekali karena dia men-duga bahwa
tentu musuh rahasianya itu diam-diam membayanginya. Beberapa kali dia mempergunakan
kepandaian untuk tiba-tiba membalik dan lari ke belakang, bahkan beberapa kali kalau dia
bermalam di losmen, diam-diam dia lolos dari ka-marnya untuk mengintai keluar. Namun tak
pernah dia melihat bayangan orang sehingga diam-diam dia merasa khawatir. Apakah
musuh rahasia itu tidak memba-yanginya, ataukah kepandaian musuh itu amat luar biasa"
*** "Milana, engkau sungguh kejam dan tidak mengenal budi! Kurang baik bagai-manakah aku
terhadap dirimu" Engkau bebas di sini, bahkan selama tiga bulan ini aku membujuk guruku
untuk menurun-kan ilmu-ilmu yang tinggi kepadamu. Aku selalu bersabar, mengharapkan
engkau akan sadar akan besarnya cintaku, dan membalas perasaanku yang suci murni
kepadamu. Akan tetapi ternyata engkau selalu dingin, cintamu tak kunjung datang. Lebih
mudah menanti bertitiknya air em-bun daripada menanti balasan kasihmu. Milana, tidak
kasihankah engkau kepada-ku?"
Milana yang duduk di atas bangku memandang pemuda tampan yang berlutut di depannya.
Dia menghela napas panjang. Harus diakuinya bahwa selama dia berada di Pulau Neraka,
Wan Keng In bersikap baik sekali kepadanya, tidak pernah ber-sikap kasar, tidak pernah
menyinggung perasaannya, apalagi memaksanya, bahkan selalu berusaha untuk
menyenangkan hati-nya. Taman yang indah ini dibuat oleh pemuda itu untuknya! Sebuah
pondok yang mungil dibangun pula oleh anak buah Pulau Neraka atas perintah pemuda itu.
Semenjak Milana berada di pulau itu, anak buah Pulau Neraka sibuk terus un-tuk
menyediakan segala kebutuhan makan dan pakaian dara itu seperti yang dipe-rintahkan
Wan Keng In. Bahkan gurunya, Cui-beng Koai-ong yang berwatak aneh itu dapat pula
dibujuk oleh Keng In sehingga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat aneh yang
lihai kepada Milana.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
715 "Keng In, engkau tahu bahwa cinta tak mungkin dapat dipaksakan. Cinta tidak mungkin
dapat dibiasakan atau di-pelajari! Karena itu, percuma saja engkau membujukku. Aku tidak
menyalahkan kalau engkau cinta kepadaku seperti yang sudah ribuan kali kaukatakan
kepadaku. Aku malah menaruh iba kepadamu karena cintamu yang hanya sepihak dan sia-
sia itu. Keng In, sadarlah engkau. Menurut penuturanmu, di antara engkau dan aku masih
ada hubungan keluarga. Ibumu ada-lah adik angkat ayahku, mengapa kita tidak dapat
menjadi saudara misan yang baik?"
"Tidak!" Tiba-tiba Keng In meloncat bangun, alisnya berkerut dan dia menekan kemarahan
dan kekecewaannya. "Aku tidak ingin menjadi saudaramu! Aku ingin menjadi suamimu!
Perlukah ini kuulangi terus" Pula, ibuku hanya saudara angkat ayahmu, jadi tidak ada
hubungan darah sama sekali. Engkau harus menjadi isteri-ku, Milana. Aku cinta kepadamu,
cinta yang akan kubela dengan darah dan nya-waku."
"Akan tetapi, aku tidak cinta kepadamu, Wan Keng In."
"Asal engkau suka menjadi isteriku, dengan suka rela tanpa paksaan, engkau akan dapat
mencinta kepadaku kelak."
"Tidak mungkin!"
"Milana, seorang wanita memang tak mungkin jatuh cinta kepada seorang pria betapa pun
pria itu mengusahakannya, akan tetapi hanya kalau wanita itu sudah mencinta seorang pria
lain! Apakah eng-kau sudah jatuh cinta kepada seorang pria lain?"
Hati Milana meneriakkan nama Gak Bun Beng akan tetapi mulutnya ditutup rapat dan dia
tidak menjawab. Rahasia itu tidak perlu diketahui orang lain, apalagi diketahui Wan Keng In
yang kadang-kadang amat dibencinya, kadang-kadang dikasihani itu.
"Sudahlah, Keng In. Kalau kau tidak menganggap aku saudara misanmu, sedi-kitnya kita
masih saudara seperguruan. Bukankah aku telah mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari
gurumu, berarti aku muridnya pula" Aku sudah berjanji kepadamu tidak akan melarikan diri
dari pulau ini asal engkau tidak menggangguku. Kalau engkau menggangguku, aku pun
tidak akan suka tinggal lebih lama lagi di sini."
"Aku sama sekali tidak mengganggu-mu, Milana. Berlakulah adil. Aku hanya menghendaki
engkau membalas cintaku atau sedikitnya, menerima pinanganku menjadi isteriku. Kita akan
merayakan pernikahan kita secara besar-besaran! Semua tokoh dunia ilmu silat, baik
golongan putih maupun hitam, akan kuun-dang untuk datang ke sini. Kalau engkau menjadi
isteriku, Pulau Neraka akan ku-bangun kembali, akan kutambah anak buahku sampai pulau
ini menjadi sebuah kerajaan kecil, aku menjadi rajanya dan engkau menjadi permaisuriku!"
"Pikiran gila! Aku tidak mau!"
"Hemm, apakah engkau ingin aku menggunakan kekerasan memaksamu, Milana?"
Dara itu bangkit berdiri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. "Menggunakan
kekerasan" Aku akan me-lawan mati-matian!"
"Ha-ha-ha, Milana! Baru mempelajari sedikit ilmu tambahan dari Suhu, engkau berani
melawanku" Mari kita coba-coba!"
Milana memang sudah menduga dengan hati penuh khawatir bahwa sewaktu-waktu
pemuda yang seperti miring otaknya ini tentu akan mencoba menggunakan keke-rasan.
Karena dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menang menghadapi pemuda itu, apalagi di
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
716 situ terdapat ba-nyak anak buahnya dan ada pula gurunya yang amat lihai, maka dara ini
memper-gunakan akal halus, tidak melawan dan sampai tiga bulan lamanya berhasil
menghindarkan diri dari gangguan Keng In. Dia mempelajari ilmu dengan maksud untuk
memperdalam kepandaiannya agar dapat menghadapi Keng In sambil menan-ti kesempatan
baik untuk meloloskan diri dari cengkeraman pemuda iblis yang kini menjadi Majikan Pulau
Neraka itu. Kini tiba saatnya Keng In kehabisan kesabar-annya dan hendak menggunakan
kekerasan. Melihat bahwa akhirnya toh dia harus membela diri dengan melawan mati-
mati-an, kini Milana tidak berlaku sungkan lagi dan segera menerjang Keng In dengan
pukulan maut! "Haiitt! Gerakanmu cepat bukan main, Sayangku, akan tetapi bagiku kurang cepat!" Keng In
mengelak akan tetapi Milana yang sudah siap secara tiba-tiba membalikkan tubuh dan
menyusul dengan hantaman ke dua dari samping mengarah lambung pemuda itu.
"Dess!" Tubuh Keng In terguling dan pemuda itu rebah miring.
Bukan main girangnya hati Milana akan hal yang tak diduga-duganya ini. Dia menang hanya
dalam dua gebrakan! Cepat dia menubruk untuk mengirim to-tokan yang melumpuhkan
karena betapa-pun juga dia tidak tega untuk membunuh pemuda yang mencintanya dan
yang telah bersikap baik kepadanya itu.
"Heh-heh, pukulanmu keras akan teta-pi tidak cukup keras untukku!" Tiba-tiba kedua lengan
Keng In merangkul dan tak dapat dihindarkan lagi tubuh Milana sudah dipeluknya dan
hidung pemuda itu sudah mengambung pipinya! Milana terkejut dan marah sekali, akan
tetapi sebelum dia sempat bergerak, tubuhnya menjadi lemas dan setengah lumpuh oleh
totokan Keng In yang lihai itu.
"Nah, berontaklah kalau bisa! Ha-ha, siapa bilang aku tidak akan dapat mengu-asai dirimu
kalau aku mau" Milana, Sayangku, setiap malam aku rindu kepa-damu, setiap saat aku
membayangkan betapa akan indahnya kalau kita bermain cinta di taman ini, di tempat
terbuka...." Kembali Keng In menciumi muka dan bibir dara yang sudah tak dapat mengelak
atau melawan itu.
Dengan hati hancur Milana hanya me-mejamkan matanya. Dia maklum bahwa takkan ada
yang mampu mencegah pemu-da itu kalau Keng In hendak memperko-sanya. Bahaya yang
lebih hebat daripada maut berada di ambang pintu dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia
hanya bersumpah di dalam hatinya bahwa kalau Keng In memperkosanya, dia akan
men-cari kesempatan membunuh pemuda itu sebelum membunuh diri sendiri. Pada saat
terakhir itu terbayanglah wajah Bun Beng dan sedu-sedan naik dari dadanya ke dalam
kerongkongannya.
Keng In yang sudah mulai menanggalkan pakaian Milana, tiba-tiba menghenti-kan
tangannya, bahkan menutupkan kem-bali pakaian yang sudah terbuka. Entah mengapa,
mungkin sedu-sedan Milana itu yang membuat dia mengurungkan kehen-dak hatinya dan ia
meninju tanah di sam-ping tubuh Milana. "Tidak! Aku tidak mau mendapatkan dirimu dengan
cara ini! Aku mau engkau menyerah kepadaku dengan suka rela! Aku ingin engkau rebah
dalam pelukanku dengan bibir tersenyum dan suka membalas ciumanku. Aku ingin eng-kau
sebagai seorang kekasih yang hangat dan hidup dalam dekapanku, bukan seba-gai sesosok
mayat yang dingin!" Setelah berkata demikian, Keng In menangis dan membebaskan
totokan pada tubuh Milana sehingga dara itu dapat bergerak lagi.
Milana menyembunyikan kengerian hatinya. Baru saja dia lolos dari lubang jarum, lolos dari
bahaya yang mengerikan. Namun diam-diam dia mengambil kepu-tusan untuk mendahului
menyingkirkan pemuda ini, kalau tidak akan berbahaya sekali. Belum tentu Keng In akan
sadar seperti tadi!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
717 "Sekali lagi engkau melakukan hal seperti tadi aku akan membunuh diri!" Milana berkata
lirih. Keng In menunduk, "Maafkan aku.... tidak kuulangi lagi...."
Milana membalikkan tubuh dengan ma-rah lalu meninggalkan pemuda itu. Dia maklum
bahwa biarpun Keng In kelihatan begitu menyesal, begitu merendah, namun sekali dia
menimbulkan kemarahan dan kebencian di dalam hati pemuda itu, tentu pemuda itu tidak
akan segan-segan untuk melakukan apa saja terhadap diri-nya, tidak hanya memperkosa
bahkan menyiksanya dengan penghinaan lain lagi kemudian membunuhnya. Kalau dia
ter-ingat akan perbuatan Keng In ketika memperkosa wanita di depan dia dan gurunya, dia
mengkirik (meremang bulu tengkuknya) dan merasa takut sekali. Dia tidak takut mati, akan
tetapi menghadapi ancaman siksaan yang merupakan penghi-naan hebat, benar-benar dia
merasa ngeri dan takut.
"Aku harus membunuhnya!" Demikian dia mengeraskan hatinya. Kalau tidak lekas dibunuh,
bagaikan seekor ular ber-bisa, makin lama makin mengerikan dan berbahaya pemuda gila
itu. Soalnya seka-rang tinggal siapa yang lebih dulu berge-rak dan berhasil! Biarpun Cui-
beng Koai-ong jauh lebih lihai dan berbahaya, akan tetapi kakek itu biasanya tidak peduli
kepadanya, sedangkan anak buah Pulau Neraka yang lain akan mudah dapat dia kalahkan.
Satu-satunya yang paling mem-bahayakan dan mengancam dia adalah Wan Keng In.
Karena itu, dia harus dapat menyingkirkan pemuda itu, harus dapat membunuh pemuda itu!
Milana mulai mencari kesempatan. Untuk mencari kelengahan pemuda itu, agaknya tidak
mungkin! Biarpun dalam keadaan tidur nyenyak, kesiapsiagaan sudah mendarah daging di
tubuh pemuda yang semenjak kecil tinggal di Pulau Neraka yang penuh bahaya itu. Biarpun
sedang tidur pulas, pemuda itu akan mampu mempertahankan diri jika diserang seolah-olah
sudah memiliki indra ke enam yang membuat dia dalam tidur sekalipun dapat "mencium"
datangnya bahaya! Ka-lau dia harus menggunakan kekerasan secara berdepan, mana
mungkin dia dapat menangkan pemuda yang selain lebih li-hai ilmu silatnya, juga amat
cerdik itu"
Beberapa hari kemudian, selagi Milana berjalan-jalan di tepi pantai sambil me-mutar otak,
tiba-tiba dia melihat gulung-an ombak laut yang seolah-olah membisikkan sesuatu
kepadanya. Di laut! Me-ngapa tidak" Kalau di darat dia bukan lawan pemuda itu, belum
tentu dia kalah kalau melawan pemuda itu di laut, di air! Semenjak kecil dia memang suka
renang, bahkan oleh ibunya dia dilatih menahan napas di dalam air. Biarpun dahulu dia tidak
melihat kegunaan ilmu ini, sekarang barulah ilmu di air ini me-nimbulkan harapannya untuk
dapat me-ngalahkan Keng In! Memang seringkali, dia mengukur dengan pandang matanya
apakah sekiranya dia akan dapat melolos-kan diri dari Pulau Neraka dengan bere-nang.
Akan tetapi segera dia membuang jauh-jauh pikiran itu. Melarikan diri dengan jalan berenang
pergi dari Pulau Neraka sama saja dengan membunuh diri! Tidak saja lautan disekitar pulau
itu amat ganas, juga jarak dari pulau ke daratan besar amat jauhnya, belum lagi bahaya
mengerikan dari ikan-ikan raksasa yang akan menghadangnya di tengah laut! Melarikan
dengan perahu juga tidak mungkin karena semua perahu dikumpul-kan menjadi satu dan
selalu dijaga. Akan tetapi, mengalahkan Keng In di air, ini mungkin sekali! Betapapun juga,
dia harus melihat dulu sampai di mana kepandaian Wan Keng In bermain di air. Dia tidak
boleh gegabah (sembrono) dan dia tidak boleh gagal kali ini!
Dengan adanya rencana menggunakan akal ini mulai hari itu Milana seringkali berjalan-jalan
di tepi laut. Beberapa kali Keng In datang menjumpainya di situ, akan tetapi karena
kebetulan pantai itu ramai dan di situ terdapat beberapa orang anak buah Pulau Neraka,
Milana terpaksa menunda siasatnya. Pada suatu pagi, ketika Milana sedang duduk
terme-nung seorang diri di tepi pantai, merenung ke arah selatan membayangkan ibu-nya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
718 dan Bun Beng dengan penuh kerinduan, tiba-tiba terdengar suara Keng In di belakangnya,
"Milana, mengapa engkau termenung di sini sepagi ini?"
Milana mengerling ke kanan kiri. Tempat itu sunyi sekali. Inilah kesempat-an baik untuknya.
Sambil mengerling ta-jam dia berkata, suaranya sengaja dibuat manja, "Pegilah kau, Keng
In. Aku mau mandi."
Keng In tersenyum nakal. "Mandilah aku tidak akan mengganggumu."
"Kaukira aku begitu tidak tahu malu" Hemm, kalau kau berkeras, aku dapat saja mandi
tanpa melepas pakaian." Sete-lah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Milana sudah
lari menyambut air laut yang didorong gelombang ke pantai pasir. Melihat gadis itu berlari
sambil mengembangkan kedua lengan, kelihatan begitu gembira, Keng In tertawa senang.
Dia membayangkan betapa akan senang-nya kalau gadis itu sudah menyerah ke-padanya,
dan mereka mandi bersama di pinggir laut. Milana tidak berpakaian lengkap seperti
sekarang ini. Tentu akan dipondongnya dara itu, dibawa lari me-nyambut ombak sambil
bersendau-gurau.
"Heiiii! Milana! Berhenti di situ sa-ja....!" Tiba-tiba dia berseru nyaring melihat betapa Milana
terus berlari me-nyambut ombak yang menyerangnya, bah-kan kini gadis itu berenang ke
tengah dengan gerak renang yang kaku menanda-kan bahwa gadis itu tidak dapat berenang
dengan baik. "Celaka....!" Keng In berseru penuh kekhawatiran sambil melompat dan lari ke laut ketika dia
melihat betapa ombak menyambar tubuh Milana, dilontarkan ke atas dan dihempaskan
kembali ke bawah. Tahu-tahu kini tubuh Milana sudah berada agak jauh ke tengah, gadis itu
kelihatan ketakutan, tangannya menggapai-gapai dan terdengar jeritannya lemah,
"Tolooonggg!"
Tanpa berpikir panjang lagi karena khawatir melihat kekasihnya terancam bahaya maut
ditelan ombak atau ikan raksasa, Keng In cepat berenang sekuatnya melawan ombak. Dia
sama sekali tidak tahu betapa Milana diam-diam memperhatikan gerakannya ketika dia
berenang untuk menolong kekasihnya itu dan tidak tahu betapa gadis itu bersinar-sinar
pandang matanya, merasa girang melihat bahwa kepandaiannya berenang biasa saja!
Memang Keng In bukanlah seorang ahli renang yang pandai. Dia dapat berenang
sekedarnya, dan bukan seorang ahli biarpun sejak kecil dia ting-gal di Pulau Neraka. Hal ini
karena ibu-nya selalu melarangnya kalau melihat puteranya yang dimanjakan itu bermain-
main di laut, khawatir kalau puteranya dihanyutkan ombak atau diserang ikan besar.
Tentu saja kalau hanya untuk bere-nang menolong Milana, Keng In merasa dapat
melakukannya. Dia sama sekali tidak menaruh kecurigaan melihat gadis itu dipermainkan
ombak dan berteriak-teriak minta tolong. Kecemasan yang hebat akan kehilangan wanita


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dicintanya itu membuat pemuda yang biasanya cerdik ini menjadi lengah dan sama
sekali tidak menduga akan adanya siasat yang dilakukan oleh dara yang masih belum mau
menyerah kepadanya itu.
"Milana....! Di mana engkau....?" Keng In berteriak dengan hati penuh kecemasan. Dia
sudah tiba di bagian gadis itu tadi dipermainkan ombak dan sekarang dara itu tiba-tiba
lenyap, seolah-olah tenggelam!
"Milana....!" Keng In memandang ke kanan dan ke kiri dengan mata liar penuh
kekhawatiran. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
719 "Haiii!" Dia berteriak akan tetapi teriakannya segera lenyap ketika tubuh-nya diseret ke
bawah. Keng In gelagapan dan cepat menutup mulut menahan napas sambil berusaha
untuk menggerakkan kaki kanannya yang telah ditangkap orang dari bawah!
Milana yang tadi menyelam dan kini sudah menangkap sebelah kaki Keng In,
mempertahankan. Untuk menyerang lawan ini dengan pukulan, masih terlalu berba-haya
karena dia tahu bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat, maka dia
mempergunakan akal, menangkap kaki lawan dan menyeretnya ke bawah agar pemuda itu
tak dapat bernapas dan mati lemas! Terjadilah pergulatan di dalam air laut. Milana berusaha
mempertahankan kaki itu dan menarik ke bawah sedangkan Keng In meronta-ronta dan
menarik kaki-nya sekuat tenaga agar dapat terlepas. Dia masih belum dapat menduga
bahwa Milana yang menangkap kakinya. Dia mengira bahwa kakinya dililit oleh ikan gurita
atau ular laut, atau digigit ikan yang besar.
Akan tetapi Milana salah duga kalau dia mengira akan dapat membuat Keng In kehabisan
napas dengan cara menarik-nya ke bawah. Pemuda ini biarpun tidak pernah mempelajari
ilmu di dalam air, namun sin-kangnya sudah mencapai ting-kat tinggi sekali sehingga dia
amat kuat menahan napasnya di dalam air, mungkin tidak kalah kuat dibandingkan dengan
Milana sendiri! Karena itulah, usaha Mi-lana untuk membuat pemuda itu lemas kehabisan
tenaga tidak berhasil, bahkan tarikan-tarikan kaki Keng In yang amat kuat itu menghabiskan
tenaga Milana yang menahannya sehingga akhirnya dia sendiri terbawa timbul ke
permukaan air! Hanya bedanya kalau Milana masih dapat menguasai diri dan sadar
sepenuhnya, sebaliknya Keng In menderita kegelisahan luar biasa, membuat pemuda itu
gelagap-an ketika berhasil timbul di permukaan air dan dia tidak melihat betapa sebuah
kepala lain, kepala Milana, juga tersem-bul di belakangnya.
"Dessss!" Milana tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia sadar dan dalam ke-adaan
segar. Melihat Keng In masih megap-megap dan gelagapan menyedot hawa sebanyaknya,
dia sudah mengirim pukulan ke punggung pemuda itu.
"Aduhhhh....!" Keng In berteriak, akan tetapi tiba-tiba rambutnya dijambak (dicengkeram)
tangan yang halus dan ke-palanya ditekan ke bawah permukaan air lagi!
Bagaikan orang sekarat, tangan Keng In meraih-raih dan memukul-mukul. Ter-paksa Milana
melepaskan cengkeramannya dan menyelam ke bawah, menyambar kaki Keng In dan
menyeretnya ke bawah lagi. Sesampainya di dasar laut yang belum begitu dalam, paling
dalam empat meter itu, dia melepaskan kaki Keng In sambil mengikuti tubuh lawan yang
me-luncur ke atas itu.
"Plak-plak! Desss!" Dua kali tamparan mengenai kepala Keng In dan hantaman ke dua
dengan tepat sekali mengenai leher pemuda itu.
"Augghhh....!" Kepala Keng In menjadi pening dan tubuhnya mulai menjadi lemas. Dia
masih belum tahu apa yang menye-rangnya. Selagi dia gelagapan, kembali diseret ke
bawah tanpa dapat dia lawan, karena kakinya telah dipegang dari bawah bukan hanya satu
melainkan keduanya, sekali ini tanpa dicegahnya lagi, Keng In terpaksa banyak menelan air
laut, dan kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang dan napasnya hampir
putus, perutnya makin penuh air.
Milana masih memegangi kaki kiri Keng In. Terpaksa dia melepaskan kaki kanan pemuda
itu karena dalam kepanik-annya Keng In menendangkan kaki kanan. Ketika terasa oleh
Milana betapa kaki kiri itu berkelojotan, semua kebencian dan kemarahannya lenyap tertutup
oleh rasa jijik, ngeri dan juga kasihan! Sungguh jauh bedanya dengan merobohkan lawan
dalam pertandingan. Sekali tangan bergerak memukul, atau pedang menem-bus dada
lawan, beres. Akan tetapi sekarang, memegang kaki seorang lawan yang berada dalam
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
720 keadaan sekarat, berkelo-jotan, benar-benar terasa sekali betapa dia akan menjadi seorang
pembunuh yang amat kejam! Dalam keadaan seperti itu, terbayanglah dia akan kebaikan
Keng In, betapa manis dan ramah sikapnya, betapa besar kasih sayang pemuda itu
kepadanya, sungguhpun dia tidak dapat membalasnya. Teringat pula dia betapa ibunya
adalah seorang puteri Kaisar yang amat terkenal, yang tentu tidak sudi melakukan
pembu-nuhan secara pengecut seperti yang seka-rang dilakukannya itu. Apa pula ayahnya!
Ayahnya adalah Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es yang namanya sudah terkenal di
seluruh dunia! Tidak mungkin ayah kandungnya itu akan sudi melakukan pembunuhan
securang yang dilakukannya ini. Kiranya ayah dan ibunya akan lebih suka berkorban nyawa
daripada melakukan perbuatan serendah itu!
Teringat akan semua ini, Milana menggigil seluruh tubuhnya. Dilepaskannya kaki yang
mulai lemah gerakan sekarat-nya itu sehingga tubuh Keng In meluncur ke atas! Dia juga
menggerakkan kaki menyusul ke atas. Dia memang harus membebaskan diri dari
kekuasaan Keng In, akan tetapi tidak begini caranya! Un-tuk menyelamatkan diri melakukan
pem-bunuhan keji dan curang seperti ini, betapa rendahnya itu! Selama hidupnya dia tentu
akan tersiksa oleh bayangan Keng In yang dibunuhnya secara pengecut dan curang. Tidak!
Dia tidak boleh mela-kukan kecurangan yang rendah dan hina itu!
Ketika kepalanya tersembul ke permu-kaan air dan menyedot napas dalam-da-lam, Milana
melihat tubuh Keng In ham-pir tenggelam lagi. Pemuda itu telah pingsan! Cepat dia
menyambar rambut pemuda itu yang riap-riapan karena ge-lungnya terlepas, kemudian
melawan ombak menyeret tubuh Keng In berenang ke darat.
Sejam kemudian, setelah Milana me-ngeluarkan air dari dalam perut Keng In dengan jalan
menindih perut pemuda yang ditelungkupkannya itu sehingga air keluar dari mulutnya, Keng
In siuman kembali. Dia membuka matanya dan sebagai seo-rang ahli silat tinggi, biarpun
kepalanya masih agak pening, sekali bergerak dia telah meloncat bangun dan siap
mengha-dapi lawan! Melihat Milana duduk di atas rumput dengan pakaian masih basah
kuyup, dia terheran dan teringatlah dia akan semua yang dialaminya.
"Ahhh, kau.... kau selamat, Milana?" tanyanya.
Milana tersenyum mengejek untuk menyembunyikan rasa malunya. Dia ham-pir membunuh
pemuda ini dan pertama kali yang keluar dari mulut pemuda itu setelah siuman dari
pingsannya adalah menanyakan keselamatannya! Betapa be-sar cinta pemuda itu
kepadanya dan betapa besar bencinya kepada pemuda itu. Dan dalam hal perasaan ini,
lepas daripada jahat tidaknya kelakuan pemuda itu, dia harus merasa malu! Bukankah cinta
merupakan perasaan yang semurni-murninya, sedangkan benci merupakan perasaan yang
sekotor-kotornya"
"Tentu saja aku selamat, Keng In. Bermain dalam air merupakan permainan-ku sejak kecil!"
"Ehhhh" Dan engkau tadi hampir saja tenggelam ditelan ombak!"
"Hanya dugaanmu saja, memang aku sengaja memancing engkau agar mengira demikian."
"Tapi.... tapi.... apakah kau tidak di-serang gurita, atau ular, atau ikan besar seperti yang
kualami" Aku.... aku sampai pingsan dan.... entah bagaimana aku dapat selamat sampai di
sini. Apakah Suhu yang menolongku?"
Milana menggeleng kepala. "Tidak ada ikan menyerangmu. Yang ada hanya aku. Bukan
ikan yang menyerangmu, melainkan aku."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
721 "Heehhh....?" Keng in terbelalak ka-get. "Engkau yang menarik kakiku, dan engkau
memukulku?"
Milana mengangguk. "Dan betapa mu-dahnya kalau aku mau, betapa mudahnya
membunuhmu."
"Kenapa tidak" Kenapa aku tidak ma-ti" Kenapa kau tidak membunuhku dan.... siapakah
yang menolongku?"
"Aku yang menyeretmu kembali ke darat selagi engkau pingsan."
"Mengapa, Milana" Bukankah amat mudah kalau hendak membunuhku yang sudah
pingsan" Kenapa kau malah menolongku?"
"Aku bukan seorang pembunuh berda-rah dingin yang kejam seperti engkau, Keng In.
Melihat engkau tidak berdaya, aku malah tidak tega membunuhmu dan menyeretmu ke sini."
"Milana....!" Keng In hendak memeluk dara itu, akan tetapi Milana mengelak. "Itu berarti
bahwa engkau pun cinta ke-padaku, Milana! Ha-ha-ha, rela aku mati tiga kali rasanya kalau
ditebus dengan cintamu kepadaku."
"Hemmm, jangan mengira bahwa tidak tega membunuh berarti jatuh cinta. Tidak Keng In.
Aku tidak membunuhmu karena aku merasa terlalu rendah dan hina kalau membunuh
seorang lawan yang tidak ber-daya. Andaikata aku memiliki kepandaian lebih tinggi darimu,
sudah lama engkau tewas olehku dalam sebuah pertandingan. Aku bukan keturunan
pengecut!" Setelah berkata demikian, dara ini cepat lari kembali ke pondoknya untuk
menukar pakaiannya yang basah kuyup dan ketat menempel di tubuhnya itu.
Keng In terkulai penuh kekecewaan. Harapannya akan cinta kasih Milana yang tadi
membubung setinggi gunung kini pecah berantakan dan terhempas rata seperti air tumpah.
Dengan perasaan ter-tekan kekecewaan dan kedukaan, pemuda ini pergi menemui Cui-
beng Koai-ong, gurunya yang bersamadhi di dalam sebuah gua di pantai Pulau Neraka,
kemudian menangisi gurunya sambil minta bantuan gurunya agar kerinduan hatinya terobati
dan keinginannya memperoleh Milana dengan penyerahan bulat itu terpenuhi.
Kakek yang seperti mayat itu tidak bergerak, juga tidak membuka matanya. Bahkan bibirnya
tidak bergerak, namun ada suara terdengar keluar dari dalam perutnya!
"Goblok engkau untuk jatuh cinta ke-pada seorang wanita! Betapa mungkin memaksakan
cinta dalam hati wanita yang selalu mudah berubah seperti angin, sebentar bertiup ke timur
sebentar ke barat" Mengikatkan diri dengan wanita berarti membuka pintu neraka yang akan
menyiksamu!"
"Biarlah, Suhu. Apa pun akibatnya akan teecu hadapi asal teecu bisa men-dapatkan diri
Milana, dapat menerima penyerahan dirinya secara suka rela. Tee-cu tidak dapat melakukan
paksaan karena teecu cinta kepadanya, teecu ingin dia menyerah bulat-bulat tanpa
paksaan." "Hemm, hanya ada satu jalan. Tanpa siasat tak mungkin niatmu terlaksana. Gadis puteri
Pendekar Siluman itu memiliki kekerasan di balik kelembutannya, kekerasan melebihi baja
yang takkan dapat ditundukkan. Kaucari kumpulan racun di dalam peti simpananku.
Pergunakan bubuk racun merah dua bagian dicampur dengan sari racun lima warna,
campurkan dalam makanan dan berikan kepadanya."
"Aihh....! Racun-racun itu adalah pem-bunuh-pembunuh yang tidak ada obatnya, Suhu!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
722 "Memang demikian. Akan tetapi kalau sudah dicampur dengan takaran itu, akan saling
memunahkan dan berubah menjadi racun perampas ingatan. Gadismu itu akan lupa segala
kalau kau beri racun campuran itu."
"Akan tetapi, apa gunanya kalau dia hilang ingatan, Suhu?"
"Tolol! Kalau dia lupa lagi siapa eng-kau, lupa siapa yang dibenci dan dicinta, apa
sukarnya?"
"Tapi.... tapi...."
"Sudah! Pergilah, dan jangan ganggu aku!"
Keng In tidak berani membantah lagi. Sampai dua hari lamanya dia termenung memikirkan
jalan terbaik. Dia ingin Mi-lana menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya, bukan
membuat dara itu se-perti boneka tanpa ingatan! Tiba-tiba dia teringat ketika dahulu
bersama Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan pasukan penga-wal menawan Milana.
Kemudian muncul Gak Bun Beng, pemuda yang sejak kecil selalu menghadapinya sebagai
musuh! Dan pemuda itu telah menyerahkan Hok-mo-kiam kepada Milana, menolong gadis
itu membebaskan diri dan rela mengorbankan diri menjadi tawanan. Bahkan dia telah
memukul Bun Beng dengan pukulan Toat-beng-tok-ci, akan tetapi Bun Beng yang sudah tak
berdaya itu di tengah jalan dapat lolos berkat pertolongan orang sak-ti yang dia sangka
tentulah paman guru-nya sendiri, Bu-tek Siauw-jin. Ah, ada hubungan apakah antara Bun
Beng dan Milana" Mudah saja diduga bahwa Bun Beng tentu mencinta Milana, kalau tidak,
tak mungkin pemuda itu selain menyerah-kan Hok-mo-kiam, juga membiarkan dara itu lolos
dengan rela mengorbankan diri-nya sendiri! Akan tetapi bagaimana de-ngan Milana"
Cintakah Milana kepada pemuda itu" Dia harus mengetahui lebih dulu akan hal ini sebelum
dia mengguna-kan siasat seperti yang dikatakan gurunya.
Beberapa hari kemudian, ketika Milana sedang duduk seorang diri di dalam taman, Keng In
datang menghampirinya dan berkata, "Milana, aku amat berterima kasih kepadamu bahwa
beberapa hari yang lalu engkau telah menyelamatkan nyawaku ketika aku pingsan di
lautan." Milana menoleh, kedua pipinya menja-di merah. "Tak perlu kau mangejek, Keng In. Engkau
pingsan karena kecuranganku dan aku sama sekali bukan menolongmu, hanya
menghentikan niatku untuk mem-bunuhmu secara pengecut."
"Betapapun juga, aku amat berterima kasih kepadamu, Milana. Aku mengerti engkau tentu
jemu melihat betapa aku selalu mengharapkan cintamu. Aku ter-lalu mencinta engkau,
Milana dan hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa engkau belum mempunyai pilihan hati.
Andaikata engkau telah mencinta seorang pria lain, hemm.... agaknya aku akan tahu diri dan
akan mundur."
Tiba-tiba Milana memendang dengan tajam penuh selidik. "Benarkah itu, Keng In" Apakah
engkau akan membebaskan aku kalau aku telah mencinta seorang pria lain?"
"Hemm.... agaknya begitulah. Aku akan malu sekali kalau mengharapkan cinta kasih
seorang wanita yang telah mempu-nyai pilihan orang lain. Hal itu akan amat rendah dan
memalukan bagi seorang pria gagah. Kalau engkau memang telah jatuh cinta kepada orang
lain, aku takkan menjadi penasaran lagi dan mengerti mengapa kau tidak dapat membalas
cin-taku."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
723 "Kalau begitu, Keng In. Dengarlah baik-baik. Aku memang telah mencinta pria lain maka
aku tidak mungkin dapat menerima dan membalas cintamu!"
Kalau saja wajah pemuda itu tidak berwarna pucat selalu, kiranya tentu Mi-lana akan
melihat perubahan mukanya. Jantung pemuda itu seperti ditusuk rasa-nya dan dia harus
mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk menekan perasaan-nya yang tertusuk.
"Hemm.... benarkah itu, Milana" Atau-kah hanya untuk alasan kosong belaka" Kalau
memang benar kata-katamu, engkau harus dapat menyebutkan nama orang yang kau cinta
itu." "Orangnya sudah kau kenal, Keng In. Dia adalah Gak Bun Beng...."
"Aaahhh....!" Seruan sederhana ini bu-kan karena kaget, melainkan karena ke-marahan
yang ditahan-tahannya. Dugaan-nya tidak keliru. Pemuda keparat Gak Bun Beng itu!
"Tapi dia itu anak haram!"
"Wan Keng In! Aku melarangmu me-nyebutnya dengan penghinaan seperti itu!" Milana
bangkit berdiri, bertolak pinggang dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api! Hal ini
tambah meyakinkan hati Keng In bahwa benar-benar dara yang dipujanya ini mencinta Bun
Beng! "Memang kenyataannya begitu! Dia putera mendiang tokoh iblis Kang-thouw-kwi Gak Liat,
sebagai hasil perkosaan iblis itu kepada seorang murid Siauw-lim-pai!"
"Perbuatan ayah atau ibu tiada sang-kut-pautnya dengan anaknya! Apa pun yang menjadi
riwayat hidup orang tuanya, aku tidak peduli dan Gak Bun Beng tetap merupakan satu-
satunya pria yang paling baik bagiku, yang ku.... cinta! Nah, aku sudah mengaku, engkau
harus memegang janjimu, Wan Keng In!"
Keng In menahan kemarahannya yang meluap-luap, timbul dari cemburu dan iri hati. Dia
meninggalkan Milana dan gadis ini diam-diam merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa
seorang yang sudah rusak akhlaknya seperti pemuda Pulau Neraka ini, sukar diketahui isi
hatinya, dan untuk meloloskan diri dari pulau itu seolah-olah tidak ada kemungkinan lagi. Dia
hanya mengharapkan pertolongan dari ibunya, atau ayahnya. Tidak mungkin ayah
bunda-nya, juga Gak Bun Beng akan diam saja. Tentu tiga orang itu akan mencarinya dan
setiap hari dia mengharap-harap munculnya seorang di antara mereka, atau kalau mungkin
ketiganya karena untuk menghadapi Wan Keng In dan guru-nya, kecuali ayahnya, agaknya
belum tentu kalau ibunya atau Bun Beng akan dapat menang. Selain mereka bertiga, dia
pun mengharapkan pertolongan dari Kai-sar yang menjadi kakeknya. Tentu kakeknya itu
kalau mendengar bahwa dia dicu-lik orang akan mengerahkan pasukan mencarinya.
Akan tetapi Milana sama sekali tidak tahu bahwa Wan Keng In akan mengam-bil siasat
yang amat keji, yang sama sekali tidak pernah diduganya, yaitu menggunakan racun yang
dicampur dalam makanannya. Tanpa disadarinya, semenjak makan hidangan yang
dicampuri racun oleh Keng In, lambat laun Milana menja-di makin pelupa dan akhirnya dia
telah kehilangan ingatan sama sekali! Hanya samar-samar saja dia masih ingat akan orang-
orang yang paling dekat dengan hatinya, yaitu ayah bundanya, dan teruta-ma Gak Bun
Beng! Setelah melihat hasil dari racun se-perti yang diajarkan gurunya sehingga keadaan dara
tawanannya itu benar-benar tidak ingat apa-apa lagi, Wan Keng In lalu melanjutkan
siasatnya. Malam hari itu dia memasuki kamar pondok Milana, membuka jendela dan
sengaja mengeluar-kan suara. "Sstttt.... Milana....!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
724 Milana yang sudah hampir pulas itu bangun. Biarpun dia lupa ingatan, namun dia tidak
kehilangan kepandaiannya dan sedikit suara itu cukup membuat dia ter-bangun dan siap
menghadapi bahaya yang mengancam!
"Siapa....?" tegurnya.
"Aku.... Gak Bun Beng!"
"Gak.... Bun.... Beng....?" Milana sudah meloncat turun dari pembaringannya dan dengan
mata terbelalak dia melihat laki-laki yang sudah berada di dalam kamarnya itu. Seorang
pemuda berpakaian se-derhana, dengan memakai caping bundar lebar. Keadaan dalam
kamarnya remang-remang sehingga wajah orang itu tidak nampak jelas, akan tetapi
andaikata ke-adaan terang sekalipun, Milana tidak akan mengenal lagi wajah orang yang
dicinta-nya itu. Yang jelas teringat olehnya hanyalah nama Gak Bun Beng! Kini meli-hat
orang yang selama ini dipikirkan dan dirindukannya telah datang, tentu saja dia girang bukan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main! "Milana.... betapa rinduku kepadamu.... aku cinta padamu, Milana. Aku Gak Bun Beng
kekasihmu...."
"Koko....!" Milana berseru lirih dan dalam suaranya ini tercurah seluruh pe-rasaan rindunya.
Ketika pemuda itu me-meluknya, Milana menekan mukanya di dada yang bidang itu sambil
menangis terisak-isak, tangis kegirangan!
Biarpun pada saat itu Milana berada di bawah pengaruh racun perampas ingat-an, namun
perasaannya masih berkesan bahwa dia berada dalam keadaan mengkhawatirkan dan yang
dirindukannya hanyalah ayah bundanya dan Gak Bun Beng, maka begitu pemuda itu
muncul, tentu saja dia menjadi terharu, lega, dan girang. Kegirangan yang meluap ini
mem-buat dia tidak menolak, bahkan menyam-but dengan hangat peluk cium pemuda itu
untuk melepaskan rindunya yang menyesak dada.
"Milana, kekasihku.... jiwaku sayang...." Pemuda itu berbisik penuh gairah, men-cium dahi,
mata, hidung, bibir dengan penuh kemesraan sedangkan dara itu menyambut dengan mata
dipejamkan, pe-nuh penyerahan, penuh kebahagiaan.
Akan tetapi ketika pemuda itu memondongnya ke atas pembaringan, ketika dia merasa
betapa tangan pemuda itu bergerak melanggar batas kesusilaan, bahkan mulai berusaha
menanggalkan pakaiannya, Milana terkejut bukan main, membuka matanya dan meronta
sambil berseru, "Jangan....!"
"Mengapa, Milana" Aku Gak Bun Beng kekasihmu...." Pemuda itu yang bukan lain adalah
Wan Keng In yang menyamar se-bagai Bun Beng, memeluk dan mendesak sambil mencium
dengan nafsu berahi yang sudah memuncak ke ubun-ubunnya.
"Jangan....!" Milana kembali menepis tangan yang nakal itu.
"Milana, bukankah kita saling mencin-ta" Kau akan menjadi isteriku, Sayang...."
"Koko, jangan begini! Biarpun kita saling mencinta, akan tetapi kita belum menikah dan aku
bukanlah seorang wanita rendahan yang dengan mudah dan murah dapat menyerahkan diri
begini saja!" Suara dara itu terdengar tegas bercampur nada tidak senang dan kecewa.
"Milana....!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
725 Kini Milana meronta, melepaskan diri dan meloncat turun dari atas pembaring-an. Sepasang
matanya masih basah oleh air mata kegirangan tadi, akan tetapi alisnya berkerut dan
suaranya tegas,
"Gak-koko! Aku menganggap engkau seorang laki-laki yang paling baik di dunia ini, akan
tetapi mengapa sekarang engkau hendak melakukan hal yang amat keji?"
"Milana.... aku cinta padamu...."
"Gak-koko, apa yang hendak kaulaku-kan ini sama sekali bukanlah cinta, me-lainkan nafsu
iblis....! Apakah engkau hen-dak mengecewakan hatiku dan menodai kasih sayangku?"
Wan Keng In menekan perasaan yang sudah bergelora. Dia telah menggunakan siasat,
meracuni gadis ini agar lupa sega-la, kemudian dia menyamar sebagai Bun Beng. Gadis itu
memang tertipu, meng-anggap dia Gak Bun Beng, akan tetapi tetap saja siasatnya tidak
berhasil mendapatkan diri dara itu dengan suka rela. Tadinya, kalau sampai usahanya
berhasil dan Milana menyerahkan diri kepada "Gak Bun Beng" yang diwakilinya, maka
perlahan-lahan dia akan memunahkan racun yang mempengaruhi diri Milana dan kare-na
sudah terlanjur menyerahkan diri, ten-tu Milana akan menerima kenyataan bahwa dia telah
menjadi milik Wan Keng In! Siapa mengira, biarpun berada dalam keadaan tidak sadar dan
lupa ingatan, ternyata gadis itu masih saja tetap mempertahankan kehormatannya, biarpun
ter-hadap Gak Bun Beng, pemuda yiang di-cintanya!
"Milana, engkau mengecewakan hati-ku!" Dia membentak marah akan tetapi masih ingat
untuk memburukkan nama Gak Bun Beng di depan dara itu. "Berbulan-bulan aku menahan
rindu dan sete-lah sekarang kita bertemu, engkau meno-lak pencurahan kasih sayangku.
Hemm, apa kaukira tidak ada wanita lain yang akan suka melayani cintaku?" Setelah berkata
demikian, Wan Keng In mening-galkan pondok itu.
"Gak-koko....!" Milana menjerit dan mengejar, akan tetapi melihat bayangan pemuda itu
lenyap dalam gelap, dia lalu kembali ke dalam kamarnya, menjatuhkan diri ke atas
pembaringan dan menangis. Milana merasa bingung sekali. Dunia se-akan-akan menjadi
tempat yang tidak menyenangkan baginya. Dia selalu merasa bingung dan meragu,
sekarang ditambah lagi dengan tingkah laki-laki yang paling dicintanya, yang demikian tega
hendak merenggut kehormatannya dengan paksa!
Sementara itu Wan Keng In marah bukan main. Semua ini gara-gara Gak Bun Beng,
pikirnya. Kebenciannya memuncak setelah dia mendengar sendiri betapa Milana mencinta
pemuda yang dianggapnya musuh besar itu. Dia harus mencari Gak Bun Beng, dan
membunuh-nya! Baru puas rasa hatinya kalau saingan itu lenyap dari permukaan bumi. Dia
lalu memanggil Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka berkepala gundul bermuka merah muda
yang menjadi orang kepercayaannya, berpesan kepada pembantu ini agar men-jaga Pulau
Neraka, melayani kebutuhan gurunya, dan selama dia pergi meninggal-kan pulau agar
mencampuri hidangan Milana dengan bubukan obat yang telah disiapkannya, hanya sedikit
perlu untuk menjaga agar ingatah dara itu tetap ka-bur dan pelupa! Setelah meninggalkan
semua pesan itu, malam itu juga Wan Keng In naik perahu meninggalkan Pulau Neraka.
Beberepa hari kemudian, semenjak Wan Keng In mendarat dan mulai dengan
perjalanannya untuk mencari Gak Bun Beng, mulai geger pula dunia kang-ouw dengan
munculnya seorang pemuda yang amat kejam dan ganas, yang menyebar maut di antara
orang-orang gagah, seo-rang pemuda yang lihai bukan main, yang memegang pedang Lam-
mo-kiam dan yang bernama.... Gak Bun Beng!
Tentu saja pemuda itu adalah Wan Keng In! Karena bencinya kepada Bun Beng yang
dianggapnya telah merebut hati kekasihnya, dia sengaja menggunakan nama musuhnya
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
726 untuk malang-melintang, mendatangi perkumpulan-perkumpulan da-ri golongan bersih,
membunuh tokoh-tokohnya yang berani melawannya. Seben-tar saja nama Lam-mo-kiam
(Pedang Iblis Jantan) dikenal oleh dunia kang-ouw dengan hati gentar, dan nama Gak Bun
Beng yang selalu mengaku keturunan atau putera mendiang datuk kaum sesat Gak Liat itu
juga dikenal dengan hati benci. Memang Keng In sengaja memperkenalkan nama Gak Bun
Beng sebagai putera Gak Liat. Biarpun Gak Liat sudah meninggal dunia, namun nama Kang-
thouw-kwi Gak Liat sebagai seorang di antara para datuk kaum sesat amatlah terkenal,
maka tidak ada seorang pun yang meragukan lagi bahwa keturunan datuk itu yang bernama
Gak Bun Beng tentulah juga jahat sekali seperti ayahnya!
Betapa pun jahat perbuatan Wan Keng In itu, namun hal ini tentu saja tidak disadari oleh
pemuda itu sendiri. Dia menganggap bahwa Bun Beng amat jahat, menghancurkan
harapannya, merusak cinta kasihnya, menggagalkan hubungannya de-ngan dara yang
dicintanya. Dia mengang-gap Bun Beng semenjak dahulu menantang dan memusuhinya,
dan dia menganggap sudah sepatutnya kalau Bun Beng dihu-kumnya, di antaranya dengan
merusak namanya di dunia kang-ouw! Dan anggapan Wan Keng In ini bukanlah dibuat-buat.
Sudah menjadi kebiasaan kita yang di-anggap lajim bahwa kita menilai seorang dari
keturunannya, dari masa lalu, dan karena penilaian inilah maka selalu ter-dapat permusuhan
di dunia ini. Wan Keng In sudah mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah seorang anak
haram yang lahir dari seorang wanita yang diperkosa oleh Gak Liat Si Datuk kaum sesat.
Tentu saja dengan sendirinya dia menganggap rendah Gak Bun Beng, dan dianggapnya
seorang yang hina dan sudah sepatutnya kalau jahat!
*** Perahu kecil itu meluncur cepat seka-li di antara gumpalan-gumpalan es besar kecil yang
malang-melintang di atas air laut. Dara muda yang mendayung perahu dengan kedua
tangannya yang kecil halus namun penuh berisi tenaga sakti itu, mendayung sambil
menangis terisak-isak. Dibiarkannya air matanya turun mengalir di sepanjang hidungnya, di
kanan kiri hidung terus ke pinggir mulut dan meni-tik turun ke dada melalui dagunya.
Mata-nya tak pernah berkejap, memandang ke depan dengan kosong.
Setelah perahu kecil itu keluar dari gumpalan-gumpalan es, layar kecil dipa-sang dan angin
mulai menggerakkan pera-hu, dara itu bangkit berdiri, mengemudi-kan layar berdiri
termenung seperti arca. Isaknya tak terdengar lagi, akan tetapi air mata masih bertitik turun
jarang-jarang. Tangan kiri memegangi tali layar tangan kanan meraba gagang pedang di
pinggang. "Singggg....!" Tampak kilat berkelebat ketika pedang itu tercabut keluar dari sarungnya.
Tangan kanan itu membawa pedang di depan dahi, tegak dan seolah-olah hendak
diciumnya. Bibir yang halus tipis agak pucat itu bergerak dan terde-ngar suaranya lirih, "Im-
kan Seng-jin Bhong Ji Kun, aku bersumpah untuk membunuh engkau dan semua kaki
ta-nganmu!"
Agaknya sumpah ini meredakan kema-rahan dan kedukaan hati Giam Kwi Hong. Dia
menyarungkan kembali pedang Lim-mo-kiam dan duduk di perahu yang me-luncur cepat
terdorong angin menuju ke darat. Setelah kini duduk melamun sam-bil memandang ke barat,
arah daratan besar, terbayanglah dia akan wajah seo-rang yang selama ini amat
dirindukannya. Wajah yang tampan gagah sederhana, wajah Gak Bun Beng! Dia mengeluh
keti-ka teringat betapa Gak Bun Beng, pria satu-satunya di dunia ini yang telah ber-hasil
merampas kasih hatinya, telah ditunangkan dengan Milana, puteri pa-mannya. Hancurlah
hatinya. Musnahlah harapan untuk hidup bahagia!
Memang lucu den janggal sekali ma-nusia dan tingkahnya hidup di dunia ini. Kita sebagai
manusia selalu rindu akan kebahagiaan, selalu gandrung dan menge-jar-ngejar apa yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
727 disebut kebahagiaan! Apakah sebenarnya kebahagiaan yang sebutannya dikenal oleh
semua orang, yang selalu dicari dan dikejar oleh manusia, akan tetapi yang agaknya tidak
ada seorang pun manusia memilikinya itu" Apakah sesungguhnya kebahagiaan" Apakah itu
yang disebut hidup bahagia"
Adakah kebahagiaan itu suatu angan-angan kosong yang hanya direka oleh manusia yang
merasa tidak bahagia" Ataukah kebahagiaan itu suatu keadaan tertentu yang dapat
dirasakan dan diha-yati" Orang dalam keadaan remuk redam hatinya karena kegagalan
cinta seperti Kwi Hong, kiranya kebahagiaan berarti kalau dia dapat hidup bersama orang
yang dicintanya! Orang yang men-derita sakit berat, agaknya akan meng-anggap bahwa
kebahagiaan adalah kalau dia sembuh dari penyakitnya! Orang yang kelaparan tentu akan
mengatakan bahwa kebahagiaan adalah sepiring nasi yang akan mengenyangkan perutnya,
atau bagi seorang yang kehausan kebahagiaan ada-lah kalau dia dapat meneguk air jernih
sejuk sepuas perutnya! Orang yang rindu akan kebahagiaan, yang mengejar-ngejar
kebahagiaan, berarti bahwa orang itu tidak mengenal kebahagiaan. Kalau dia tidak
mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin dia akan dapat berhasil mencari dan
menemukan kebahagiaan" Kalau dalam pencariannya dia menemukan, tentu yang
ditemukan itu bukan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang diinginkannya, dan sesuatu yang
diinginkan kebetulan sesuatu yang sudah dikenalnya atau di-alaminya. Tak dapat disangkal
pula kare-na memang kenyataan bahwa terpenuhi-nya keinginan mendatangkan kepuasan,
akan tetapi kepuasan ini disusul dengan kebosanan sehingga timbul pula keinginan untuk
hal-hal iain yang belum dapat diraihnya. Demikian terus-menerus kita terseret oleh lingkaran
setan yang tiada berkeputusan, dan kebahagiaan pun tak kunjung tiba!
Yang terpenting bagi kita adalah un-tuk mengetahui mengapa kita mencari kebahagiaan"
Orang yang mencari keba-hagiaan berarti tidak berbahagia, bukan" Kalau sudah bahagia
tak mungkin menca-ri kebahagiaan lagi! Kalau kita tidak berbahagia, apa sebabnya kita tidak
ber-bahagia" Inilah yang penting! Seperti orang yang mencari kewarasan tentulah orang
yang tidak waras! Dan yang pen-ting adalah untuk mengetahui mengapa kita tidak waras,
dan apa penyakit yang kita derita. Yang penting adalah menghilangkan penyakit itu,
bukannya mengejar kewarasan. Yang penting adalah menghi-langkan penyebab tidak
bahagia atau yang biasa disebut derita dan seggsara itu, bukannya mengejar bahagia! Kalau
tidak ada lagi yang menyebabkan kita tidak bahagia, maka kebahagiaan tentu ada!
Kwi Hong pun dirusak oleh pikirannya sendiri yang seperti semua manusia, tak pernah
mengenal diri dan keadaan sendiri, tak pernah puas dengan keadaan seperti apa adanya.
Kekecewaannya mendengar Bun Beng bertunangan dengan Milana, penyesalannya karena
dia telah tertipu oleh Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya sehingga dia melakukan kesalahan
besar di depan pamannya, membuat dia berduka dan sakit hati. Duka, sakit hati,
penye-salan dan kemarahan akhirnya membentuk watak yang keras di dalam hati Kwi Hong.
Membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan hidupnya, tidak peduli akan keadaan
sekitarnya. Perahunya meluncur cepat, lebih cepat dari tadi setelah berhasil keluar dari gumpalan es
yang mengambang di per-mukaan air kini menuju ke barat, ke arah daratan. Badai yang
mengamuk di bagian selatan Pulau Es tidak mencapai tempat yang dilalui Kwi Hong itu,
akan tetapi tetap saja pengaruhnya ada pada air laut yang bergelombang, akan tetapi tidak
mengganggu Kwi Hong yang pandai me-nguasai perahu layarnya, bahkan perahu itu
terdorong pula oleh lajunya ombak.
Lima orang nelayan yang melihat be-tapa di udara sebelah selatan dan timur gelap, tanda
bahwa ada badai mengamuk, memandang terheran-heran ketika melihat sebuah perahu
layar kecil melaju ke arah pantai. Mereka sendiri sebagai nelayan-nelayan yang
berpengalaman, melihat ancaman badai, tidak berani melanjutkan usaha mereka mencari
ikan, dan hanya menanti di pantai. Tadinya mereka me-ngira bahwa perahu layar itu tentu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
728 milik seorang nelayan yang terserang badai sehingga tersesat sampai ke tempat itu. Akan
tetapi betapa kaget dan herannya hati mereka ketika perahu layar itu tiba di pantai, mereka
melihat seorang dara yang cantik jelita turun dari perahu layar meloncat ke darat dan sama
sekali tidak mempedulikan mereka.
Akan tetapi tiga orang di antara para nelayan itu adalah orang-orang muda yang kasar.
Melihat seorang dara cantik sendirian saja turun dari perahu itu, mereka segera
menghampiri, dan seorang di antara mereka sudah berseru, "Aiihhh, Nona manis, tunggu
dulu!" "A-ban, jangan ganggu orang!" Dua orang nelayan tua yang tidak ikut maju menegur, akan
tetapi A-ban dan dua orang kawannya itu tidak mau peduli akan teguran itu dan berlari
mengejar Kwi Hong yang sudah melangkah hendak pergi. Mendengar seruan itu, Kwi Hong
menghentikan langkahnya, tanpa menoleh, hanya berdiri tegak seperti arca, akan tetapi
sepasang alisnya berkerut dan si-nar matanya mengeluarkan cahaya kilat. Hatinya yang
sedang dilanda duka, kece-wa, penyesalan, kemarahan dan sakit hati itu seperti dibakar
mendengar orang secara kasar dan kurang ajar menyebutnya nona manis!
Tiga orang nelayan muda itu dengan sikap cengar-cengir sudah tiba di depan Kwi Hong dan
mereka makin kagum me-lihat dara ini dari dekat karena Kwi Hong memang memiliki
kecantikan yang mengagumkan. Melihat alis itu berkerut dan bibir manis itu cemberut, tiga
orang itu tersenyum menyeringai. Mereka me-ngira bahwa wanita ini tentu bersikap "jual
mahal" karena jelas bahwa satu kali seruan saja cukup membuat wanita itu berhenti, tanda
bahwa "ada kontak".
"Aihhh, Nona, jangan cemberut. Kalau kau marah makin manis, tidak kuat aku
memandangnya!" kata orang pertama.
"Jangan jual mahal ah, berapa sih harganya?" orang ke dua menyambung.
"Kami hanya ingin bicara denganmu, Nona cantik manis, siapakah nama, di mana tempat
tinggal, berapa usia, sudah menikah atau belum?" orang ke tiga ber-kata dengan suara
dibuat-buat seperti orang bernyanyi.
"Singgg....! Crat-crat-crat....!"
Tiga orang nelayan itu hanya melihat sinar kilat berkelebat menyambar, mereka tidak
sempat lagi terheran karena sinar kilat itu adalah sinar pedang Li-mo-kiam yang sudah
menyambar ke arah leher mereka dan robohlah tiga orang ini ber-gelimpangan dengan leher
hampir putus dan nyawa melayang, seketika itu juga.
"Ahhh....!" Dua orang nelayan tua memandang terbelalak dan seketika me-reka
menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh menggigil.
Kwi Hong sendiri terkejut menyaksi-kan akibat kemarahannya. Sejenak dia tertegun dan
terheran mengapa tiga orang itu dibunuhnya" Memang mereka kurang ajar, akan tetapi dia
sendiri kini merasa betapa dia telah bertindak keter-laluan, karena kesalahan mereka itu
belum patut untuk dihukum dengan kemati-an! Dia menyesal, akan tetapi sudah terlambat.
Kini mendengar seruan kaget itu dia menoleh dan melihat dua orang nelayan tua berlutut
dengan ketakutan, dia lalu berkata, suaranya halus seperti biasa.
"Paman berdua tidak perlu takut. Me-reka ini menghinaku dan sudah mati. Kuburlah mayat
mereka dan ini perahuku boleh kalian ambil. Kuberikan kepada kalian." Setelah berkata
demikian, Kwi Hong berkelebat dan sekejap mata saja dia telah meloncat dan berlari jauh,
ke-mudian lenyap di antara pohon-pohon. Dua orang kakek itu terbelalak, sampai lama tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
729 dapat bangkit berdiri mengira bahwa wanita yang turun dari perahu di waktu laut
bergelombang itu tentu seo-rang siluman atau iblis penghuni lautan!
Semenjak Li-mo-kiam yang sejak di-ciptakannya selalu haus darah itu berhasil minum darah
tiga orang nelayan, pedang iblis itu menjadi makin haus darah. Pengaruhnya ini dengan
cepat dan mudah menjalar ke dalam pikiran Kwi Hong yang pada saat itu pun sedang
dihimpit sakit hati, dendam, kekecewaan, kemarahan dan kedukaan, sehingga dara ini
berubah menjadi seorang dara yang ganas sekali. Pendidikan dasar semenjak dia kecil di
Pulau Es, gemblengan yang didapatnya dari Pendekar Super Sakti, tentu saja cukup kuat
untuk mencegahnya terseret ke dalam lembah kejahatan. Ti-dak, Giam Kwi Hong masih
belum menja-di seorang wanita iblis yang suka mela-kukan kejahatan sebagai
kesenangannya, sama sekali tidak. Dia masih berwatak pendekar yang selalu berhasrat
menentang kejahatan, akan tetapi perubahan watak-nya itu membuat dia menjadi seorang
yang amat kejam dan ganas. Hal ini ter-bukti di sepanjang perjalanannya menuju ke kota
raja. Setiap kali dia bertemu dengan orang yang dianggapnya jahat, dengan perampok dan
bajak sungai, tentu mereka itu menjadi korban kehausan Li-mo-kiam dan dibasminya semua
sampai habis ke akar-akarnya, tidak seorang pun diberi ampun. Maka muncullah nama baru
yang amat ditakuti oleh golongan hitam, julukan yang dengan sendirinya diperoleh Kwi Hong
karena pedang dan keganasan-nya. Perjalanannya ke kota raja dari Pulau Es ini
menggoreskan jejak yang mendalam karena perbuatannya membas-mi para penjahat itu,
dan berkumandang-lah nama julukan Mo-kiam Lihiap (Pendekar Wanita Pedang Iblis)!
Karena merasa menyesal sekali bahwa dia telah tertipu oleh para pemberontak sehingga
dia melakukan kesalahan besar kepada pamannya, bahkan dialah yang menjadi gara-gara
sampai bibi Phoa Ciok Lin tewas, Kwi Hong menjadi seorang pendendam besar dan
perasaan ini ditam-bah kekecewaan dan kedukaan membuat dia seorang yang tidak


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengacuhkan se-gala sesuatu, dan dia menjadi pula seo-rang pembenci!
Beberapa pekan kemudian tibalah dia di kota raja yang sekarang sudah aman. Dia mulai
melakukan penyelidikan dan mendengar betapa pasukan pemberontak sudah hancur sama
sekali oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Hal ini tidak menarik
hatinya karena dia memang sudah tahu. Yang ingin diketahuinya adalah di mana adanya
Milana dan.... terutama sekali Gak Bun Beng. Akhirnya dia berhasil mendapat keterangan
yang mengejutkan bahwa Mi-lana, puteri dari Panglima Wanita Nira-hai, cucu dari Kaisar
sendiri, telah lama lenyap diculik orang! Tidak ada yang tahu siapa penculiknya dan tidak
ada pula yang tahu siapa atau di mana adanya Gak Bun Beng.
Hati Kwi Hong menjadi bimbang. Ka-lau menurut pesan pamannya, dia harus mencari
Milana dan Bun Beng. Tapi kini sudah kurang semangatnya untuk melak-sanakan perintah
pamannya itu. Apa per-lunya mencari mereka" Mereka bukanlah anak kecil. Bertemu
dengan Milana dan Bun Beng, melihat mereka berdua telah menjadi calon suami isteri,
hanya akan menusuk perasaannya sendiri saja. Pa-mannya telah membencinya. Kalau dia
berhasil menemukan Milana dan Bun Beng, berhasil mengajak mereka pulang ke Pulau Es,
tentu dia hanya akan lebih menderita lagi. Lebih baik tidak lagi bertemu dengan Milana, tidak
lagi berte-mu dengan pamannya. Dia tidak lagi akan pergi ke Pulau Es!
Kwi Hong menggigit bibir menahan isaknya yang tersedu dari dalam dadanya. Digunakan
kekerasan hatinya untuk mena-han menetesnya air mata. Tak perlu dia menangis. Dia bisa
hidup sendiri. Memang dia seorang yang sebatangkara, seorang yatim piatu.
Ah, ada gurunya yang ke dua. Bu-tek Siauw-jin! Kakek sinting itulah satu-satu-nya orang
yang baik kepadanya. Teringat akan watak kakek yang sinting dan aneh itu, lenyaplah
kedukaan hati Kwi Hong dan dia tersenyum geli sendiri. Tentu saja! Dia harus pergi mencari
kakek yang menjadi gurunya itu, Bu-tek Siauw-jin, tokoh besar Pulau Neraka. Tentu saja
kakek itu kemungkinan besar kembali ke Pulau Neraka.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
730 Berdebar tegang juga hatinya ke-tika ia mengingat akan hal ini. Juga pemuda iblis itu, Wan
Keng In, dan gurunya yang mengerikan, kakek Mayat Hidup yang berjuluk Cui-beng Koai-
ong, berada di Pulau Neraka! Sungguhpun hal ini pun belum tentu melihat kenyataan betapa
pemuda yang menjadi putera bibi Lulu yang kini menjadi isteri pamannya di Pulau Es itu
seringkali berkeliaran di daratan besar. Andaikata benar berada di sana dan dia berjumpa
dengan pemuda iblis itu, dia pun tidak takut. Dia akan menyampaikan pesan bibi Lulu,
memberi tahu bahwa bekas Ketua Pulau Neraka itu kini telah menjadi isteri Majikan Pulau
Es dan minta supaya pemuda itu suka menyusul ibunya ke Pulau Es. Akan tetapi kalau
pemuda iblis itu tidak mau, dia tidak akan peduli. Kalau pemuda itu masih memusuhinya
seperti dahulu, dia tidak takut menghadapinya. Setelah dia menerima gemblengan Bu-tek
Siauw-jin dan memegang Li-mo-kiam, tidak takut lagi dia berhadapan dengan pemuda iblis
itu atau gurunya sekalipun, atau siapa saja!
Dengan pikiran ini pergilah Kwi Hong meninggalkan kota raja, kembali ke utara dan kini
tujuan perjalanan hanya satu, yaitu ke Pulau Neraka! Dia maklum bah-wa tidaklah mudah
mencari Pulau Neraka akan tetapi dia pernah dibawa oleh bibi Lulu ke pulau itu, dan dapat
mengira-ngirakan di sebelah mana letak Pulau Neraka.
Giam Kwi Hong melakukan perjalanan cepat, melalui pegunungan dan hutan-hutan yang
sunyi. Pada suatu pagi, ketika dia keluar dari sebuah hutan, dia melihat dari jauh orang-
orang sedang bertempur. Tiga orang yang bersenjata tongkat hitam melawan lima orang
bersenjata toya panjang. Biarpun ilmu tongkat tiga orang itu aneh dan cukup lihai, namun
mengha-dapi pengeroyokan lima orang yang juga memiliki ilmu toya yang mirip-mirip aliran
Siauw-lim-pai, mereka bertiga terde-sak hebat.
Kwi Hong tidak mempedulikan urusan orang lain, akan tetapi melihat betapa pertandingan
itu tidak adil dan berat sebelah, tiga orang dikeroyok lima, dia cepat meloncat ke tengah
arena pertan-dingan sambil berseru, "Tahan....!"
Delapan orang itu yang melihat bahwa yang melerai mereka hanya seorang gadis muda,
tentu saja tidak mau berhenti ber-tanding, bahkan dua orang Pek-eng-pang yang merasa
bahwa gadis itu mengganggu pihak mereka yang sudah hampir menang, mengira bahwa
gadis itu tentu hendak membantu lawan. Dengan marah mereka menggerakkan toya mereka
dan memben-tak, "Pergi kau!"
"Sing....! Trak-trakkk!" Dua batang toya itu patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam.
"Berhenti dan jangan bertempur kata-ku!" Kwi Hong membentak, mengelebat-kan
pedangnya. Dua orang pemegang toya yaitu orang-orang dari perkumpulan Pek-eng-pang,
terkejut dan terbelalak memandang toya yang sudah buntung di tangan mereka. Toya
mereka terbuat dari baja murni yang kuat, mengapa bertemu de-ngan pedang di tangan
gadis itu seolah-olah berubah seperti sebatang bambu saja.
"Siapa kau?" Seorang di antara lima orang Pek-eng-pang yang menjadi pemim-pin mereka
berkata. Orang ini berpakaian seperti jubah pendeta, rambutnya digelung melengkung ke
atas. "Mengapa kau bera-ni mencampuri urusan kami?"
"Aku siapa bukan soal, yang jelas kalian adalah orang-orang tak tahu malu dan pengecut,
mengeroyok dengan jumlah lebih besar. Karena itu, aku tidak senang dan kalian harus
berhenti bertempur. Kalian boleh bertempur kalau satu lawan satu, atau tiga lawan tiga."
"Perempuan muda yang sombong! Be-rani sekali kau menghina kami dari Pek-eng-pang,
ya" Apakah kau sudah bosan hidup?" Orang yang dandanannya seperti seorang saikong itu
membentak. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
731 "Bukan aku yang bosan hidup, akan tetapi kalian!" bentak Kwi Hong yang sudah marah
sekali, pedang Li-mo-kiam di tangannya sudah menggetar.
"Siluman betina, kau boleh bantu tikus tikus Koai-tung-pang ini kalau sudah bo-san hidup!"
Orang itu berkata dan mem-beri isyarat kepada empat orang kawannya.
"Tidak perlu dengan mereka, aku sen-diri sudah cukup untuk melenyapkan kali-an orang-
orang sombong!" Kwi Hong bergerak cepat sekali, pedangnya berubah menjadi kilat
menyambar-nyambar.
Lima orang itu terkejut dan cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi,
seperti juga tadi, begitu bertemu dengan Li-mo-kiam, toya mereka patah-patah dan sekali ini
Li-mo-kiam tidak hanya berhenti sampai di situ saja, melainkan menyambar ganas ke depan.
Terdengar jerit lima kali disusul robohnya lima batang tubuh para anggauta Pek-eng-pang
dan tewas seketika karena leher mereka ditembus pedang Li-mo-kiam yang ganas dan
ampuh! Melihat dara itu berdiri tegak me-mandang pedang Li-mo-kiam di tangan, pedang yang
kembali sudah minum darah lima orang akan tetapi yang agaknya semua darah disedotnya
habis karena di permukaan pedang itu sama sekali tidak tampak noda darah, tidak ada
setetes pun, tiga orang anggauta Koai-tung-pang menggigil kakinya.
"Mo-kiam Lihiap...." Mereka bertiga berbisik dan menjatuhkan diri berlutut. "Kami
menghaturkan terima kasih atas bantuan Lihiap," kata seorang di antara mereka.
Kwi Hong tersenyum sedikit dan me-nyimpan pedangnya. "Kalian sudah me-ngenalku?"
"Baru sekarang kami bertemu dengan Lihiap, akan tetapi nama besar Mo-kiam Lihiap
siapakah yang tidak mengenalnya. Harap Lihiap tidak kepalang menolong kami. Kami
adalah anggauta-anggauta Koai-tung-pang di Bukit Srigala, sudah lama kami selalu
diganggu oleh pihak Pek-eng-pang yang jauh lebih besar dari perkumpulan kami. Kalau
mendengar bah-wa ada lima orang anggauta mereka tewas, tentu mereka akan ke sini dan
kami akan celaka."
"Lima orang telah mati semua, bagai-mana mereka tahu?"
"Lihiap tidak mengerti. Di samping lima orang ini, tadi masih ada seorang lagi yang
bersembunyi dan melihat kea-daan. Mereka selalu begitu, melepas mata-mata melakukan
penyelidikan. Seka-rang orang itu tentu telah melapor dan kami akan celaka, mungkin
perkumpulan kami akan diserbu! Kini mereka menda-pat alasan yang kuat. Lima orang
ang-gauta mereka tewas, sungguh hebat seka-li...." Pemimpin tiga orang itu berkata dengan
suara gemetar mengandung rasa takut.
"Hemmm, kalian mengira bahwa aku membunuh mereka karena aku membantu kalian"
Sama sekali bukan. Aku tidak mau mencampuri urusan kalian yang tiada sangkut pautnya
dengan aku! Aku tadi melerai bukan untuk membantu kalian, melainkan karena tidak suka
melihat per-kelahian yang berat sebelah. Dan, aku membunuh karena mereka menghinaku.
Sudahlah!" sebelum tiga orang anggauta Koai-tung-pang itu sempat membantah, tubuh Kwi
Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.
Tiga orang itu saling pandang dengan muka pucat. "Celaka....!" kata pemimpin mereka,
"Kalau begini, kita akan celaka. Lebih baik dia tadi tidak muncul, paling hebat kita hanya
dirobohkan oleh orang-orang Pek-eng-pang dan mereka tentu tidak akan membunuh kita.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
732 Sekarang, keadaan lain lagi, bukan hanya kita akan celaka, bahkan seluruh Koai-tung-pang
tentu akan dihancurkan oleh Pek-eng-pang."
"Lebih baik kita melapor kepada Pangcu (Ketua)!" usul seorang di antara mereka. Tergesa-
gesa mereka lalu berlari pergi, meninggalkan lima buah mayat itu untuk cepat-cepat
melaporkan kepada ketua mereka di lereng Bukit Srigala yang tidak jauh dari tempat itu.
Kwi Hong sudah melanjutkan perjalan-annya dengan cepat, tidak mempedulikan dan sudah
melupakan lagi urusan tadi. Akan tetapi tak lama kemudian, tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya ketikar melihat debu mengepul dari depan dan muncullah sepuluh orang berlari-
lari cepat menda-tangi. Mereka dikepalai oleh seorang saikong berjubah lebar yang usianya
sudah lima puluh tahun lebih. Sepuluh orang itu semua memegang sebatang toya panjang
dan melihat ini Kwi Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Pek-eng-
pang, kawan-kawan dari lima orang yang dibunuhnya tadi. Sinar matanya menjadi berkilat
berbahaya karena dara ini telah menjadi marah sekali.
"Dia inilah orangnya!" Seorang di an-tara mereka menuding, agaknya orang inilah yang tadi
menjadi mata-mata dan yang menyaksikan ketika lima orang ang-gauta mereka itu tewas
oleh pedang Li-mo-kiam di tangan Kwi Hong.
Mereka sudah tiba di depan Kwi Hong dan saikong itu membentak marah, "Nona, benarkah
engkau telah membunuh mati lima orang anggauta kami?"
"Kalau benar demikian, kalian mau apakah?"
Saikong itu menjadi makin marah, toya di tangannya sudah bergerak seolah-olah dia
hendak menyerang. "Hemmmm, engkau benar-benar seorang wanita muda yang sombong
sekali. Kalau benar demi-kian, mengapa kau membunuh para ang-gauta kami?"
"Mereka telah menghinaku, tentu saja kubunuh."
"Perempuan rendah, kau sungguh ke-jam. Siluman betina yang harus dienyah-kan dari
muka bumi!" Saikong itu berte-riak dan memberi isyarat kepada anak buahnya. Mereka
menyerbu dengan toya mereka sambil mengurung Kwi Hong.
"Awas pedangnya tajam sekali!" teriak orang yang tadi mengintai dan melihat betapa toya
kawan-kawannya patah semua bertemu dengan pedang.
Akan tetapi teriakannya terlambat karena sudah ada dua batang toya yang patah bertemu
pedang, bahkan pedang itu terus membacok ke depan dan dua orang anggauta terpelanting
mandi darah! "Kurung dan serang! Jangan adukan senjata!" Saikong itu berseru dan dia sendiri
menerjang dengan hebatnya. Ge-rakan saikong ini memang hebat, tenaga-nya besar dan
permainan toyanya adalah permainan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang sudah bercampur
dengan ilmu silat lain dari golongan hitam.
Kwi Hong bersikap tenang dan terpak-sa dia harus mengelak ke sana ke mari karena
datangnya senjata lawan seperti hujan. Mereka berlaku cerdik, mengero-yoknya dari jarak
jauh, tidak mau meng-adu senjata dan mengandalkan toya mereka yang panjang untuk
menyerang darii segenap penjuru.
Tiba-tiba tampak datang delapan orang yang kesemuanya memegang tong-kat hitam. Itulah
rombongan Koai-tung-pang yang juga dipimpin oleh ketuanya. Begitu tiba di situ dan melihat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
733 gadis perkasa itu dikeroyok orang-orang Pek-eng-pang sedangkan dua orang di antara
mereka telah roboh, Ketua Koai-tung-pang berseru,
"Pek-eng-pangcu (Ketua Pek-eng-pang) dia itu adalah Mo-kiam Lihiap, musuh kita bersama.
Mari kami bantu kalian!"
Kini delapan orang Koai-tung-pang itu serentak maju dan mengeroyok Kwi Hong. Tentu saja
gadis ini menjadi marah sekali. "Bagus! Majulah orang-orang pengkhia-nat dan pengecut!"
Dia begitu marahnya sehingga dialah yang menerjang maju ke orang-orang Koai-tung-pang,
mengelebat-kan pedangnya dan menggunakan gin-kangnya.
"Singgg-trang-trang-trakk!"
Tiga batang tongkat patah-patah dan dua orang anggauta Koai-tung-pang roboh dan tewas
seketika oleh babatan pedang Li-mo-kiam. Akan tetapi teman-temannya mengurung ketat.
Kini masih ada delapan orang Pek-eng-pang dan enam orang Koai-tung-pang yang
mengurung, menye-rang dari jarak jauh dan selalu menarik senjata mereka kalau sinar
pedang Li-mo-kiam berkelebat. Menghadapi penge-royokan ini, biarpun tidak terdesak, Kwi
Hong merasa repot juga.
"Wuuuttt.... singgg.... aughhh....!" Te-riakan saling susul terdengar ketika ada sinar kilat
menyambar dari luar kepungan, disusul robohnya dua orang anggauta Pek-eng-pang.
Pengepungan menjadi kacau dan mereka cepat membalik. Kiranya di situ telah berdiri
seorang pemuda tampan yang memegang sebatang pedang yang serupa dengan pedang
yang berada di tangan Kwi Hong, hanya agak lebih pan-jang.
"Nona Kwi Hong, jangan khawatir, aku membantumu!"
Biarpun Kwi Hong terheran melihat Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu
bersikap membantunya, namun dia memang tidak senang kepada pemuda itu, dan
membentak, "Aku tidak butuh bantuanmu!"
"Ha-ha-ha, betapapun juga, aku mau membantumu. Nanti saja kita bicara, sekarang mari
kita berlumba membasmi cacing-cacing ini, kita lihat siapa yang lebih hebat antara murid
Cui-beng Koai-ong dan murid Bu-tek Siauw-jin!"
"Boleh kau coba! Li-mo-kiam ini tidak akan kalah oleh Lam-mo-kiam itu!" jawab Kwi Hong
yang segera mengerahkan se-luruh kepandaiannya untuk merobohkan para pengeroyok.
Wan Keng In juga tidak mau kalah, pedang Lam-mo-kiam di ta-ngannya berkelebatan seperti
naga sakti mengamuk. Yang celaka adalah para pengeroyok itu. Baru mengeroyok gadis
pemegang Li-mo-kiam saja sudah payah, kini ditambah lagi pemuda lihai yang membawa
Lam-mo-kiam, Sepasang Pedang Iblis itu mengamuk dan seolah-olah hidup di tangan
pemuda dan gadis itu. Darah berceceran dan muncrat dari tubuh yang hampir putus, mayat
berserakan dan tak lama kemudian, habislah semua pengero-yok termasuk ketua kedua
buah perkum-pulan itu. Tinggal Kwi Hong dan Keng In yang berdiri memandang pedang
mere-ka yang sedikit pun tidak bernoda darah biarpun Sepasang Pedang Iblis itu telah
minum darah belasan orang!
"Ha-ha-ha! Engkau tidak kecewa menjadi murid Susiok!" Keng In memuji dan bukan pujian
kosong karena dia betul-betul merasa kagum. Diam-diam dia ingin sekali membuktikan
apakah gadis murid susioknya ini akan mampu menandinginya.
Di lain pihak, Kwi Hong juga terhe-ran-heran melihat sikap Keng In yang lain dari dahulu.
Dahulu pemuda iblis itu selalu memusuhinya, akan tetapi mengapa kini membantunya dan
bersikap ramah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
734 Dia tidak peduli akan ini semua dan segera teringat akan pesan Lulu. Dengan pedang Li-
mo-kiam masih di tangan, para korban pedang itu masih berserakan di sekitar kakinya dan
darah masih bercucuran, dia berkata,
"Wan Keng In, kebetulan sekali kita saling bertemu di sini. Aku membawa pe-san dari ibumu
untukmu." Berkerut alis Keng In mendengar ini. Dia juga sedang terheran memikirkan ke mana
perginya ibunya, sungguhpun hal itu tidak menyusahkan hatinya benar.
"Di mana kau berjumpa dengan ibuku" Dan apa yang dipesannya" Eh, Nona. Apakah tidak
lebih baik kalau kita bicara di tempat lain, tidak di antara bangkai-bangkai yang menjijikkan
ini?" "Terserah kepadamu," jawab Kwi Hong singkat. Keng In meloncat dan ber-lari ke dalam
hutan di sebelah kiri, dan Kwi Hong menyusulnya.
Kini mereka berhadapan di bawah sebatang pohon yang besar. "Nah, di sini kan lebih enak.
Akan tetapi mengapa kau tidak menyimpan pedangmu?"
Kwi Hong memandang pedang yang masih dipegangnya. "Hemmm, menghadapi engkau
yang memegang pedang terhunus, lebih baik aku tidak menyimpan pedang-ku."
Keng In mengangkat alisnya, meman-dang pedang Lam-mo-kiam di tangannya dan tertawa.
"Ha-ha, aku sampai lupa. Agaknya kau curiga kepadaku." Dia me-nyarungkan pedangnya
dan diturut pula oleh Kwi Hong.
"Aku bertemu dengan ibumu di Pulau Es...."
"Apa" Ibuku di Pulau Es?" Keng In benar-benar terkejut sekali karena tidak disangka-
sangkanya bahwa ibunya mau pergi ke Pulau Es.
"Benar, tidak itu saja. Malah sekarang Bibi Lulu telah menjadi isteri Paman Suma Han
bersama Bibi Nirahai. Mereka bertiga tinggal di Pulau Es sebagai suami isteri."
Dapat dibayangkan betapa kaget hati pemuda itu. Kaget, malu, kecewa dan marah.
Akhirnya ibunya tunduk juga ke-pada pria yang belasan tahun lamanya membikin sengsara
hatinya. Ingin dia marah-marah, ingin dia memaki-maki ibu-nya. Namun Keng In sekarang
telah menjadi seorang pemuda yang cerdik dan tidak mau memperlihatkan perasaan
hati-nya. Dia hanya menunduk sejenak, kemu-dian ketika dia mengangkat muka lagi,
wajahnya sudah biasa dan tenang kembali.
"Apakah pesan Ibu kepadamu untukku?"
Kwi Hong benar-benar tercengang. Sikap Keng In telah berubah sama sekali, jauh bedanya
dengan dahulu. Dahulu pe-muda itu seperti iblis, akan tetapi kini bersikap biasa dan bahkan
ramah. "Bibi Lulu hanya berpesan kepadaku, kalau aku bertemu denganmu agar mem-bujukmu
supaya engkau suka menyusul ibumu di Pulau Es. Hanya begitulah pesannya."
Keng In tersenyum, dan Kwi Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan sekali,
apalagi kalau tersenyum seperti itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
735 "Tentu saja aku harus menyusul Ibu, dan aku harus memberi hormat kepada Ayah tiriku
yang sudah lama kukenal nama besarnya itu. Ah, kalau begitu lebih girang hatiku bahwa tadi
aku menolongmu. Sekarang kita bukan orang lain lagi. Eng-kau adalah keponakan Pendekar


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Super Sakti, juga muridnya, sedangkan aku ada-lah anak tirinya. Bukankah dengan
demi-kian kita masih dapat dikatakan saudara misan" Apalagi kalau diingat bahwa eng-kau
adalah juga murid Susiok Bu-tek Siauw-jin, berarti kita adalah saudara misan seperguruan
pula. Enci Giam Kwi Hong, kauterimalah hormatku dan maafkan segala kesalahanku yang
lalu." Kwi Hong tercengang dan juga menja-di girang. Ternyata pemuda ini sudah berubah
menjadi seorang yang baik, tidak seperti dahulu, jahat seperti iblis. Dia tersenyum dan
membalas penghormatan Keng In sambil berkata, "Aku juga girang sekali bahwa engkau
bersikap baik, Wan Keng In. Dan memang sudah sepatutnya engkau menjadi adikku. Masih
teringat olehku ketika masih kecil dahulu, ketika aku ditawan ibumu. Nakalmu bukan main...."
"Wah, Enci Kwi Hong, apakah kau tidak mau melupakan hal yang lalu. Biar-lah aku minta
ampun kepadamu." Dan pemuda itu benar-benar menjatuhkan diri berlutut di atas tanah
depan kaki Kwi Hong!
"Ihhh! Jangan begitu, Adikku!" Kwi Hong tertawa, membangunkan Keng In dan keduanya
lalu duduk di bawah pohon, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah.
"Enci Kwi Hong, bagaimana engkau sampai tiba di tempat ini! Tentu bukan untuk mencari
aku di sini!"
Berat rasa hati Kwi Hong untuk me-ngaku bahwa dia tadinya hendak mencari Milana dan
Bun Beng, bahkan agak malu pula dia mengatakan bahwa dia hendak ke Pulau Neraka
mencari gurunya, karena bukankah Pulau Neraka adalah milik pe-muda ini" Maka dia
menjawab, "Aku hendak mencari Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan semua pembantunya."
Keng In mengerutkan alisnya. "Hemmm.... mencari mereka ada keperlu-an apakah, Enci
Kwi Hong?"
"Aku mau bunuh mereka!"
"Ehh! Ada apa" Mereka itu lihai-lihai sekali! Mengapa kau hendak membunuh mereka?"
"Mereka itu terutama Bhong Ji Kun, ketika masih menjadi pemberontak, telah menipu aku
sehingga aku terpikat berse-kutu dengan mereka. Dengan terjadinya hal itu, aku telah
melkukan kesalahan besar terhadap pamanku."
"Hemmm, begitukah" Mereka pun per-nah membujuk aku. Memang mereka harus dibunuh
dan aku akan membantumu, Enci Hong! Bahkan aku dapat membawa-mu kepada beberapa
orang di antara me-reka."
"Apa" Benarkah itu, Keng In?"
"Benar, aku tidak membohong. Bebe-rapa hari yang lalu aku melihat beberapa orang anak
buah Bhong-koksu itu di dekat pantai Lautan Po-hai, dan agaknya mereka itu bersembunyi
di tempat sunyi itu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
736 Berseri wajah Kwi Hong. "Benarkah" Bagus, mari kauantar aku ke tempat itu, Keng In.
Tentu saja mereka itu harus bersembunyi karena mereka adalah pemberontak yang dikejar-
kejar pemerintah."
"Mari, Enci Hong. Tapi engkau benar-benar sudah tidak benci lagi kepadaku, bukan" Sudah
kaumaafkan kesalahanku terhadapmu yang sudah-sudah?"
Kalau memikirkan apa yang telah di-lakukan oleh pemuda ini di masa lalu, memang sukar
untuk melupakannya. Akan tetapi manusia tidak selamanya baik atau buruk, karena keadaan
manusia itu selalu berubah, pikirnya. Sekarang pemuda ini kelihatan berubah sekali,
mungkin hal ini juga terdorong oleh keadaan ibunya yang sudah menjadi isteri Pendekar
Super Sakti. Apalagi pemuda itu jelas ingin membantunya, tentu tidak mempunyai niat buruk.
"Aku tidak lagi memikirkan hal yang lalu, Keng In. Aku percaya kepadamu."
Wajah yang tampan itu berseri girang dan berangkatlah Kwi Hong mengikuti Keng In
menuju ke pantai Lautan Po-hai yang tidak berapa jauh, hanya memakan perjalanan
beberapa hari saja dari situ.
Seperti telah disaksikan oleh Suma Han dan kedua orang isterinya, di sebelah selatan
Pulau Es terjadi badai yang hebat. Ketika itu, perahu besar yang ditumpangi oleh Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun dan teman-temannya sedang berlayar ke selatan. Bekas Koksu ini
dan teman-temannya telah menderita kekalahan total dan ke-gagalan yang bertubi-tubi
sehingga pela-yaran itu dilakukan dengan wajah murung dan hati kesal. Usaha
pemberontakan mereka dengan mengangkat Pangeran Yauw Ki Ong gagal sama sekali, dan
pangeran itu ternyata mempunyai hati khianat sehingga terpaksa dibunuh oleh Bhong Ji
Kun. Setelah tidak ada lagi pangeran itu, tentu saja mereka tidak mempunyai pegangan
untuk memberontak. Bahkan di Pulau Es mereka mengalami pukulan hebat lagi, semua
dikalahkan mutlak oleh Pendekar Super Sakti sehing-ga mereka mendapatkan
pengampunan dan diusir dari pulau sebagai orang-orang yang kalah. Seperti anjing setelah
menga-lami gebukan-gebukan! Bagi orang-orang yang terkenal di dunia persilatan seperti
mereka itu, tidak ada yang lebih mema-lukan dan merendahkan daripada diam-puni lawan
setelah mereka kalah!
Memang mereka sedang sial. Usaha pemberontakan gagal sama sekali, disusul dengan
kekalahan pribadi menghadapi Majikan Pulau Es. Kini, selagi mereka bingung ke mana
harus pergi dengan pe-rahu mereka karena untuk mendarat amatlah berbahaya setelah
mereka kini menjadi orang-orang pelarian, tiba-tiba saja badai datang mengamuk dan
menye-rang perahu mereka!
Perahu itu sebetulnya sudah merupa-kan sebuah perahu besar menurut ukuran perahu
umumnya. Namun, setelah badai mengamuk menimbulkan gelombang-ge-lombang setinggi
anak bukit, perahu itu tidak lebih seperti sebuah mangkuk kecil di tengah telaga. Dan tenaga
orang-orang yang biasanya dianggap orang-orang yang berkepandaian tinggi dan bertenaga
besar, kini tiada bedanya seperti tenaga semut-semut saja menghadapi tenaga air laut yang
digerakkan badai. Perahu dilempar ke sana-sini, dilontarkan ke atas dan diseret kembali ke
bawah, diputar-putar dan akhirnya perahu itu pecah berkeping-keping!
Bhong Ji Kun dan anak buahnya tentu saja dalam keadaan seperti itu hanya dapat
berusaha menyelamatkan diri ma-sing-masing. Mereka tidak dapat saling melihat ketika
perahu itu pecah beran-takan dan mereka terlempar ke lautan yang sedang marah itu.
Barulah mereka saling dapat melihat ketika badai telah lewat ke timur dan lautan di bagian
itu agak tenang dan ternyata bahwa yang berhasil mencengkeram sebagian tubuh perahu
yang pecah, yang hanya merupa-kan beberapa potong papan besar bersam-bung-sambung,
hanya ada lima orang saja. Dalam keadaan setengah pingsan, lima orang ini naik ke atas
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
737 papan-papan ber-sambung itu, terengah-engah. Mereka ini adalah Gozan, orang Mongol
yang bertu-buh tinggi besar itu, Liong Khek, Si Mu-ka Pucat bertubuh kurus yang bersenjata
pancing. Thai-lek-gu, Si Pendek Gendut bekas jagal babi yang bersenjata sepasang golok,
dan dua orang Mongol yang tadinya adalah juru-juru mudi perahu itu.
Berkat pengalaman dan keprigelan dua orang bekas juru mudi inilah, maka pe-cahan
perahu yang kini ditumpangi mere-ka berlima itu akhirnya dapat keluar dari daerah badai,
kemudian dengan susah payah mereka mendayung mempergunakan papan yang berapung,
untuk menggerak-kan perahu istimewa ini ke darat. Dan mereka berhasil setelah melalui
perjuang-an mati hidup selama beberapa hari. Mereka berhasil mendarat di tempat sunyi, di
pantai Lautan Po-hai dalam keada-an tenaga habis dan hampir mati kela-paran!
Kini mereka sudah hampir dua pekan berada di guha-guha pantai Lautan Po-hai. Tenaga
mereka sudah pulih dan pada siang hari itu tiga orang bekas pembantu Koksu bercakap-
cakap di depan guha sedangkan dua orang bekas juru mudi kini bertugas sebagai pelayan,
memang-gang ikan yang mereka tangkap di tepi laut.
"Sudah lama kita menanti di sini, dan Im-kan Seng-jin belum juga muncul," kata Liong Khek
yang sebagai orang terlihai di antara mereka berlima tentu saja otomatis menjadi pemimpin
mereka. "Dalam badai seperti itu, biarpun me-miliki kepandaian selihai dia, kiranya takkan banyak
berdaya," Thai-lek-gu ber-kata menggeleng-gelengkan kepala, masih ngeri kalau
mengenangkan peristi-wa itu. Dia tidak dapat berenang sama sekali, maka dapat
dibayangkan betapa takutnya ketika itu, hanya untung oleh ombak dia dilemparkan dekat
pecahan perahu sehingga dapat menyelamatkan diri.
Petualang Asmara 18 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Amarah Pedang Bunga Iblis 4
^