Sepasang Pedang Iblis 5

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


kali. "Pulau Neraka" Bocah itu dari Pulau Neraka?"
Orang tertua dari para pejuang itu mengangguk. "Sudah amat lama terjadi-nya. Ketika kami
mencari daun-daun obat di hutan, kami bertemu dengan seorang anggauta Pulau Neraka
yang membutuhkan akar jin-som dan daun pencuci darah yang banyak terdapat di hutan itu.
Kami dan dia berebutan dan bertanding. Karena dia hanya seorang dan kami keroyok, pada
waktu itu ju-mlah kami masih dua puluh lima orang, dia terluka dan melarikan diri. Akan
tetapi, beberapa hari kemudian datang seorang tokoh Pulau Neraka yang bermu-ka kuning,
kami dikalahkan dan dipaksa menukar nyawa dengan penyerahan sepu-luh keranjang akar
dan daun obat setiap tiga bulan. Burung-burung rajawali itu yang datang mengambil dan
sudah dua kali ini yang mewakili Pulau Neraka adalah anak laki-laki itu. Amat sukar
mengumpulkan akar dan daun obat seki-an banyaknya. Tiga orang saudara kami tewas
tergigit ular beracun di waktu mencari obat siang malam, dan yang dua orang terpaksa
membunuh diri seperti yang dilakukan Ciu-twako karena penyetoran obat kurang. Sekarang
Ciu-twako yang mengorbankan diri."
Bun Beng mengepal tinjunya, penasar-an sekali. "Mengapa kalian tidak mela-wan?"
Orang itu menggeleng kepala. "Mela-wan tiada gunanya. Kepandaian mereka hebat bukan
main. Melawan satu orang yang bermuka kuning itu saja kami ti-dak berdaya sama sekali.
Pula, kami sudah berjanji ketika kami dikalahkan.- Ciu-twako membunuh diri untuk
meno-long saudara-saudaranya. Siapa pun di antara kita yang menjadi pemimpin, ten-tu
akan berbuat seperti dia. Kami tidak berdaya....."
Bun Beng menggeleng-geleng kepala-nya. "Sungguh menjemukan kalau begitu, kenapa
Cu-wi tidak pergi saja mening-galkan tempat ini?"
"Pergi ke mana" Kami adalah orang-orang buruan. Di tempat ramai sudah siap orang-orang
pemerintah penjajah untuk menangkap kami," jawab orang itu penuh duka.
Bun Beng bangkit berdiri dan meman-dang orang-orang itu dengan hati pena-saran. Dia
masih kecil, akan tetapi dia sudah tahu apa artinya kegagahan, maka melihat sikap orang-
orang yang dianggap-nya gagah perkasa ini, hilang kesabaran-nya.
"Cu-wi sekalian tadinya kuanggaap sebagai orang-orang yang gagah perkasa dan patut
dikagumi, akan tetapi seka-rang mengapa begini..... pengecut" Se-orang gagah lebih
mengutamakan kehor-matan daripada nyawa! Lebih baik mela-wan penindas sampai mati
daripada membiarkan diri dihina dan ditindas se-perti yang dilakukan orang-orang Pulau
Neraka kepada Cu-wi! Bukankah orang dahulu mengatakan bahwa lebih baik ma-ti sebagai
seekor harimau daripada hi-dup sebagai seekor babi?"
Delapan belas orang itu memandang kepada Bun Beng dengan wajah mu-ram, pemimpin
baru mereka, yang tertua, berkata. "Kami telah menyerahkan jiwa raga untuk negara dan
bangsa, kami akan melawan sampai mati terhadap penjajah. Kami tahu kapan dan terhadap
siapa dapat melawan. Menghadapi Pulau Neraka, kami tidak berdaya, melawan berarti mati
semua. Kalau kami menak-luk, berarti hanya beberapa orang teran-cam bahaya mati, masih
ada sisanya untuk menanti kesempatan melakukan perlawanan terhadap penjajah Mancu.
Kami tidak akan menyia-nyiakan nyawa kami hanya untuk urusan pribadi."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
112 Jawaban ini membuat Bun Beng ter-tegun keheranan dan ia tidak mengerti apakah orang-
orang ini tergolong orang gagah ataukah orang bodoh. Kalau pengecut terang bukan karena
mereka itu takut melawan bukan karena takut ma-ti, melainkan takut kalau mereka mati
dengan sia-sia, bukan mati menghadapi penjajah yang agaknya sudah menjadi cita-cita
hidup mereka. Maka dia tidak membantah lagi dan diam-diam ia me-ngatur persiapan untuk
menghadapi bo-cah penunggang rajawali dari Pulau Nera-ka yang dibencinya itu.
Diam-diam Bun Beng menyembunyi-kan sepasang pedangnya ke dalam sebu-ah guha kecil
yang tidak dipakai, menu-tup guha dengan batu dan menanam rumput alang-alang di
depannya. Kitab Sam-po-cin-keng yang sudah ia hafal di luar kepala isinya itu dibakarnya.
Semua ini ia lakukan tanpa sepengetahuan de-lapan belas orang itu yang kini sibuk
mengumpulkan lagi sepuluh keranjang akar dan daun obat yang sebelum waktu penyetoran
tiba agar tidak jatuh korban lagi di antara mereka. Tiga bulan kemu-dian ketika sepuluh buah
keranjang itu disiapkan di tempat biasa dan delapan belas orang itu berlutut menanti
datangnya burung-burung rajawali yang hendak mengambil keranjang-keranjang itu, Bun
Beng telah berada di dalam sebuah di antara keranjang obat yang tertutup. Diam-diam dia
telah memasuki keran-jang yang telah ia keluarkan isinya dan hal ini dapat ia lakukan karena
ia me-maksa mereka untuk diperbolehkan mem-bantu mereka ketika ia menyusul mere-ka
ke hutan. Bun Beng memiliki jiwa petualang yang besar, yang tumbuh dengan cepat semenjak dia
diajak oleh mendiang Siauw Lam Hwesio ke muara Sungai Huang-ho dan mengalami hal-hal
yang aneh dan melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang luar biasa. Dia telah melihat tokoh-tokoh
Pulau Neraka, bahkan dia tahu bahwa ketika kecil, orang-orang Pulau Neraka ikut pula
memperebutkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa di antara ayah-nya yang disebut Kang-
thouw-kwi Gak Liat, dengan pimpinan Pulau Neraka ten-tu ada hubungannya, karena ibunya
se-orang tokoh Siauw-lim-pai, tentu tidak mempunyai hubungan dengan Pulau Neraka. Kini,
mendengar bahwa bocah yang angkuh dengan burung-burung rajawali besar itu datang dari
Pulau Neraka tim-bul niat di hatinya untuk ikut ke Pulau Neraka, di mana dia akan menegur
cara mereka mengumpulkan obat-obatan de-ngan memeras dan menekan bekas-bekas
patriot atau pejuang itu! Tentu saja Bun Beng tahu bahwa perbuatannya amat berbahaya
bagi keselamatannya, namun dia sama sekali tidak merasa takut. Ka-lau bocah sombong
dan angkuh itu bera-ni menunggang di punggung rajawali, mengapa dia tidak berani
diterbangkan dengan bersembunyi di dalam keranjang akar obat"
Ketika menanti di dalam keranjang jantung Bun Beng berdebar keras, khawa-tir kalau-kalau
ada di antara delapan belas orang itu yang mencarinya dan ada yang memeriksa keranjang.
Akan tetapi hatinya lega melihat dari celah-celah ke-ranjang bahwa ke delapan belas orang
itu berlutut dengan menundukkan kepala, sama sekali tidak memperhatikan sepu-luh buah
keranjang yang kini terisi penuh semua.
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan nyaring yang tersusul suara kelepak sa-yap di atas
pohon-pohon. Burung-burung itu telah terbang datang! Bun Beng cepat merendahkan
tubuhnya dan menu-tupi kepalanya dengan daun-daun obat, jantungnya berdebar tegang.
Burung rajawali yang ditunggangi anak laki-laki itu seperti biasa terbang rendah di atas
keranjang-keranjang itu dan anak laki-laki itu memeriksa isi keranjang dari tutup yang
berlubang-lubang. Kemudian kelepak sayap terdengar makin keras, burung rajawali mulai
menyambar dan membawa terbang keranjang-keranjang itu! Keranjang di mana Bun Beng
ber-sembunyi mendapat giliran terakhir. Ha-tinya lega bercampur tegang ketika ia merasa
tubuhnya terangkat dan terayun-ayun, merasa betapa tubuhnya membu-bung tinggi!
Agak pening juga rasa kepala Bun Beng dan perutnya terasa mual hendak muntah, akan
tetapi kalau teringat kepa-da anak yang menunggang rajawali terbang, ia menguatkan
hatinya dan meng-gigit bibir. Entah berapa lama dia diter-bangkan dan kini dia tidak merasa
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
113 pe-ning atau mual lagi, agaknya dia sudah mulai biasa! Kalau dahulu ia "terbang" sendiri di
atas tebing, tidaklah begini mengerikan karena dia dapat melihat sekelilingnya, tidak seperti
sekarang men-dekam di dalam keranjang.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras sekali dan baru ia tahu bahwa rajawali yang
menggondol keranjang itulah yang mengeluarkan suara keras. Dia mende-ngar pula pekik
rajawali-rajawali lain dan lapat-lapat mendengar suara dua orang saling memaki! Bun Beng
ter-heran-heran. Bagaimana mungkin di angkasa ada dua orang bercekcok" Sa-king
herannya, ia membuka tutup keran-jeng dan betapa kagetnya ketika me-nyaksikan
pemandangan yang amat hebat. Di angkasa itu, anak laki-laki yang ang-kuh dari Pulau
Neraka sedang bertan-ding melawan seorang anak perempuan sebaya yang menunggang
seekor burung garuda putih yang besar. Mereka berdua sama-sama memegang pedang dan
ber-tanding mati-matian sambil saling mema-ki! Juga burung garuda itu membantu
penunggang masing-masing, saling ber-tempur mempergunakan cakar dan paruh!
Tiba-tiba Bun Beng teringat! Burung garuda putih itu! Serupa benar dengan burung
tunggangan Pendekar Siluman! Ahhh! Bukankah dahulu Pendekar Silu-man mencari
muridnya" Murid perempu-an" Agaknya perempuan inilah murid Pendekar Siluman!
Perasaan kagum dan sukanya terhadap Pendekar Siluman oto-matis tertumpah kepada
murid perempu-an pendekar itu, apalagi lawan anak perempuan itu adalah anak laki-laki
yang angkuh dan yang dibencinya. Dia sam-pai lupa menutupkan kembali tutup ke-ranjang,
lupa bahwa keranjang yang di-dudukinya itu dicengkeram oleh kaki rajawali yang besar dan
kuat, dan dia asyik menonton pertandingan sambil mendengarkan percekcokan mulut.
Agaknya kedua anak itu sama-sama galak dan pandai memaki!
"Iblis cilik! Rajawalimu akan mampus oleh garudaku seperti juga engkau akan mampus di
tanganku!" Bentak anak perempuan itu.
"Ha-ha-ha, kau perempuan kuntilanak! Hanya galak dan main gertak saja. Pe-dangku akan
membuat kau terguling, dan tubuhmuakan hancur gepeng terban-ting ke bawah!" Anak laki-
laki itu balas memaki.
"Mampuslah!" Anak perempuan itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya, tangan kiri
mencengkeram bulu leher garudanya, pedangnya menusuk dengan dahsyat. Karena
tubuhnya condong ke depan, maka serangannya itu amat hebat, mengarah tenggorokan
lawan. "Tranggg!" Anak laki-laki itu menang-kis, akan tetapi pedang di tangan anak perempuan itu
secara aneh dan cepat sekali menyeleweng dari atas membesut melalui pedang lawan dan
langsung me-nikam dada!
"Celaka....!" Anak laki-laki itu berte-riak, lalu menggerakkan tubuhnya melon-cat ke kanan.
Dalam kegugupannya menghadapi serangan maut itu, dia lupa bahwa dia duduk di atas
punggung raja-walinya yang sedang terbang, maka keti-ka ia meloncat ke kanan, otomatis
tu-buhnya melayang jatuh dari punggung rajawali!
Betapapun bencinya terhadap anak laki-laki yang angkuh itu, hati Bun Beng merasa ngeri
juga menyaksikan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas punggung rajawali, padahal tanah
di bawah sedemi-kian jauhnya sampai hampir tidak tam-pak teraling awan! Akan tetapi, anak
laki-laki itu ternyata hebat, tenang dan cekatan. Juga rajawali tunggangannya sudah terlatih.
Cepat ia menggerakkan tangan dan berhasil memegang kaki ra-jawali dengan tangan
kirinya. Melihat ini, anak perempuan itu marah dan kem-bali mendoyongkan tubuh ke depan
untuk menusukkan pedangnya. Sambil bergan-tungan kepada kaki rajawalinya, anak laki-
laki itu menangkis.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
114 "Cringgg!" Sepasang pedang bertemu dengan kerasnya sehingga bunga api ber-pijar.
Melihat kemenangan majikannya, garuda putih itu kelihatan bersemangat. Paruhnyamenghunjam ke arah kepala rajawali. Rajawali cepat mengelak, akan tetapi paruh
garuda itu masih mengenai pinggir sayapnya sehingga banyak bulu burung rajawali
membodol dan berham-buran melayang. Rajawali memekik dan terbang menjauh, dikejar
oleh burung ga-ruda.
Agaknya melihat kawannya bertem-pur, rajawali yang mencengkeram keran-jang Bun Beng
hendak membantu. Keti-ka garuda putih itu kembali menerjang rajawali yang kini sudah
diduduki lagi punggungnya oleh anak laki-laki yang kelihatan marah sekali, rajawali yang
membawa Bun Beng menerkam dari be-lakang, menggunakan kaki kiri dan pa-ruhnya
karena kaki kanannya mencengke-ram keranjang terisi Bun Beng. Garuda putih tak sempat
menghadapi lawan dari belakang ini karena pada saat itu dia harus menghadapi serangan
balasan la-wannya yang marah. Melihat ini, anak perempuan itu memutar pedangnya
menusuk ke arah rajawali ke dua. Burung rajawali ini menggerakkan paruhnya me-nangkis.
"Trangg....! Aihhhh.... pedangku!" Anak perempuan itu berteriak marah dan ka-get karena
pedangnya terpental, terle-pas dari tangannya dan melayang turun lenyap ditelan awan.
Kini burung garuda itu memekik-mekik siap menghadapi penggeroyokan dua ekor burung
rajawali. Setiap ada lawan mendekati, kedua kakinya menerjang secepat kilat dan tentu
berhasil merontok-kan beberapa helai bulu lawan. Menyak-sikan kegarangan garuda ini,
kedua ekor burung rajawali hanya terbang mengeli-lingi dan mengancam. Kini anak laki-laki
itu tertawa-tawa mengejek kepada anak perempuan yang sudah tak bersenjata lagi.
"Ha-ha-ha-ha, kuntilanak kecil! Eng-kau telah terkurung sekarang. Mana ke-garanganmu
tadi" Hayo bersumbarlah se-karang, ha-ha-ha! Engkau tahu rasa sekarang. Apa kaukira
semua orang takut kepada penghuni Pulau Es" Ha, ha, mu-kamu sudah pucat! Betapapun
juga, wajahmu manis sekali. Kalau kau menye-rah dan ikut bersamaku ke tempatku, aku
akan menjamin bahwa engkau akan diampuni, akan tetapi untuk itu aku min-ta upah dan
balas jasa. Tidak sukar, asal engkau kelak suka berlutut dan mengangguk-angguk delapan
kali di de-pan kakiku, menyebut aku Koko yang baik kemudian membiarkan aku menci-um
kedua pipimu, engkau bahkan akan kujadikan sahabatku dan....."
"Tutup mulutmu yang busuk! Berani engkau memandang rendah Pulau Es" Biar aku mati,
Suhu tentu akan mencari-mu dan merobek mulutmu serta membu-nuhi semua nenek
moyangmu, kalau eng-kau begitu pengecut untuk menyebutkan nama dan tempatmu?"
Gadis cilik itu terpaksa harus miring-kan tubuh dan mencengkeram bulu leher burungnya
ketika burungnya terserang dari atas bawah dan menukik miring untuk menghindarkan diri
dan balas menyerang. Sebuah tusukan dari anak laki-laki itu berhasil dia tangkis dengan
tendangan mengarah pergelaingan tangan, namun anak laki-laki itu sudah cepat menarik
kembali tangannya sambil menyeringai.
"Ha-ha-ha! Kematian sudah di depan mata, engkau masih menyombongkan Pulau Es! Dan
engkau menyombongkan Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tentu dia Gurumu, bukan"
Ha-ha-ha, tunggu saja. Kelak pimpinan kami akan membasmi seluruh penghuni Pulau Es,
termasuk Pendekar Siluman."
"Keparat sombong! Aku tahu seka-rang! Engkau tentu seorang di antara anggauta Thian-
liong-pang yang sombong!"
"Heh-heh-heh, boleh kauterka, bocah manis! Engkau tidak akan tahu!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
115 "Dia dari Pulau Neraka!" Tiba-tiba Bun Beng tak dapat menahan kemarahan-nya lagi
sehingga ia l?pa diri dan berte-riak.
"Hahh....?" Kini anak laki-iaki itu memandang dan baru tahu bahwa keran-jang terakhir itu
bukan berisi akar dan daun obat, melainkan terisi seorang anak laki-laki! "Kau.... siapa....?"
Sementara itu anak perempuan itu tersenyum mengejek, "Aha, kiranya eng-kau keturunan
orang-orang buangan itu" Pantas seperti iblis!"
Bun Beng yang kini tidak meragukan lagi bahwa gadis cilik itu tentulah mu-rid Pendekar
Siluman yang dikaguminya, ketika melihat betapa pengeroyokan dua ekor rajawali
membahayakan garuda dan gadis cilik itu, segera menggerakkan tangan menghantam ke
arah perut raja-wali yang membawa keranjangnya.
"Bukkk!" Pukulan Bun Beng di luar tahunya kini berbeda dengan pukulannya sebelum ia
mempelajari Sam po-cin-keng. Tenaga sin-kangnya bertambah kuat sekali berkat
bertelanjang selama setengah ta-hun dan mempelajari ilmu silat yang mu-jijat. Begitu
terkena hantaman ini, raja-wali memekik dan otomatis cengkeramannya pada keranjang itu
terlepas dan tubuh Bun Beng ikut meluncur ke bawah dengan kecepatan yang membuat ia
su-kar bernapas! Akan tetapi rajawali itu sendiri yang sudah terluka dan terkejut oleh pukulan
Bun Beng, segera kabur terbang secepatnya. Ditinggalkan kawannya, burung rajawali
pertama menjadi jerih, juga anak laki-laki itu agaknya menjadi jerih setelah rahasianya
terbu-ka, maka ia menyuruh burungnya ter-bang pergi meninggalkan garuda dan anak
perempuan yang menungganginya. Anak perempuan itu terbelalak penuh kengerian dan
berusaha mengikuti keran-jang terisi anak laki-laki yang jatuh de-ngan pandangan matanya.
Akan tetapi jatuhnya keranjang itu terlampau cepat dan sudah lenyap ditelan awan, maka ia
menggerakkan pundaknya dan menyuruh garudanya terbang pergi juga dengan ce-pat
sekali. "Bibi Pek-eng (Garuda Putih), bawa aku pulang ke Pulau Es. Sudah terlalu lama kita pergi,
aku khawatir Suhu akan marah sekali kepadaku!" Bisik anak perempuan itu kepada
garudanya. Anak itu, tepat seperti dugaan Bun Beng, ada-lah Giam Kwi Hong, keponakan
dan ju-ga murid dari Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, To-cu (Majikan Pulau)
Pulau Es. Anak ini telah dibawa olah Suma Han ke Pulau Es di mana dia digembleng oleh
pendekar sakti itu sebagai muridnya. Karena dia amat disa-yang oleh gurunya yang juga
menjadi pa-mannya, dan karena semua penghuni Pu-lau Es juga sayang dan takut
kepada-nya, maka Kwi Hong memiliki watak yang agak manja sehingga dia berani
meninggalkan Pulau Es di luar tahu gu-runya. Hal ini adalah karena dia selalu dilarang untuk
meninggalkan pulau dan memang anak yang ditekan dan dilarang, biasanya setelah agak
besar akan beron-tak karena larangan itu justru menim-bulkan daya tarik dan gairah untuk
me-ngetahui bagaimana macamnya dunia di luar Pulau Es! Kwi Hong menunggang garuda
betina putih meninggalkan pulau untuk "melihat-lihat".
Garuda itu terbang menuju ke timur laut, akan tetapi karena dia merasa le-lah setelah
bertempur, tanpa diperintah setelah terbang setengah hari lamanya, dia menukik turun dan
hinggap di atas gunung karang dekat laut untuk beristi-rahat. Burung ini biarpun terlatih dan
kuat sekali, namun dia tetap seekor binatang yang bergerak menurutkan kebu-tuhan
tubuhnya. Dia lelah dan harus ber-istirahat sebelum melanjutkan penerbang-an ke Pulau Es
yang jauh. Karena lelah kedua-duanya, baik ga-ruda itu maupun Kwi Hong tidak tahu bahwa dari
depan tampak dua titik hi-tam yang terbang cepat sekali. Ketika Kwi Hong melompat turun
dari pung-gung garudanya, dua titik hitam itu telah berada di atas dan ternyata itu ada-lah
dua ekor burung rajawali, ditung-gagi oleh anak laki-laki bekas lawannya tadi sedangkan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
116 yang seekor lagi ditunggangi oleh seorang wanita yang cantik sekali. Dua ekor rajawali itu
meluncur turun dan tak lama kemudian hinggap tak jauh dari situ.
Melihat bekas lawannya, garuda putih memekik dan menerjang maju, akan te-tapi wanita itu
menggerakkan tangan dan tampak berkelebat bayangan hitam kecil panjang yang
menyambut tubuh garuda. Di lain saat, garuda itu telah terbeleng-gu kedua kaki dan
paruhnya sehingga ti-dak mampu bergerak, hanya kedua sayapnya saja bergerak-gerak dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya meronta-ronta.
"Diam engkau!" Wanita cantik itu tiba-tiba mencelat ke dekat garuda, se-kali tangannya
menotok burung itu rebah miring tak mampu menggerakkan kedua sayapnya lagi.
"Setan! Kau apakan burungku....?" Kwi Hong marah sekali dan melangkah maju dengan
kedua tangan terkepal.
"Inikah anak perempuan itu?" Wanita cantik itu bertanya kepada anak laki-laki yang cepat
mengangguk. "Dialah kuntilanak kecil itu. Biar aku membunuhnya!" Berkata demikian, anak laki-laki itu
sudah menerjang maju dengan pedangnya, menusuk dada Kwi Hong yang cepat mengelak
dan mengirim tendangan yang juga dapat dielakkan oleh anak laki-laki itu.
"Engkau setan iblis cilik kurang ajar! Kau kira aku takut padamu" Biar kaubawa semua
penghuni Pulau Neraka ke sini, aku tidak takut!" Kwi Hong balas memaki dan kini biarpun
bertangan kosong, dia menerjang maju dengan ganas dan dahsyat. Setelah turun dari
pung-gung burung, barulah ia tahu bahwa anak laki-laki itu lebih muda darinya, maka
ke-beraniannya makin membesar. Masa dia takut terhadap anak kecil"
Ilmu silat Kwi Hong saat itu sudah mencapai tingkat hebat juga berkat gemblengan paman
atau gurunya. Selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga dia me-miliki sin-kang yang jauh lebih
kuat dari-pada lawannya, di samping gerakan gin-kangnya yang membuat tubuhnya ringan
dan gesit bukan main. Biarpun lawannya memegang pedang, namun setelah ber-tanding
tiga puluh jurus yang ditonton wanita cantik penuh perhatian, kini dia mulai mendesak terus
sedangkan anak laki-laki itu sibuk memutar-mutar pedang-nya menjaga diri dari serangan
yang datang bertubi-tubi dari segala pihak itu.
"Mundur kau!" Tiba-tiba wanita can-tik itu mendorongkan tangannya dan tu-buh Kwi Hong
terpental ke belakang. Dia marah sekali.
"Engkau siluman!" Dan ia maju lagi, akan tetapi tubuhnya tidak dapat maju, seolah-olah ada
dinding tak tampak yang menghadang di depannya. Ia mencoba melompat mundur, juga
tidak berhasil. Tubuhnya telah dikurung hawa yang amat kuat yang tidak memungkinkan dia
lari ke manapun juga!
"Bocah liar, apakah engkau murid Suma Han, Pendekar Siluman itu?" Wa-nita itu bertanya,
suaranya dingin sekali.
Kwi Hong mengangkat muka meman-dang. Dia maklum bahwa wanita itu memiliki kesaktian
hebat, akan tetapi sebagai murid Pendekar Super Sakti, dia tidak takut dan memandang
wanita itu penuh perhatian. Wanita itu belum tua, belum ada tiga puluh tahun, memiliki
kecantikan luar biasa sekali, dengan se-pasang matanya yang lebar, bening dan bersinar
tajam akan tetapi juga menge-rikan. Tubuhnya ramping dan padat, di-tutup pakaian yang
serba hitam sehing-ga wajahnya yang sudah putih menjadi makin jelas warna putihnya.
Diam-diam Kwi Hong bergidik. Warna putih wajah wanita itu tidak wajar! Bukan putih su-su,
bukan pula putih karena pucat, melainkan putih sama sekali, seperti putih-nya kapur!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
117 "Benar, aku adalah murid Pendekar Super Sakti, To-cu dari Pulau Es. Seba-iknya engkau
yang memiliki ilmu silu-man jangan mengganggu aku kalau sudah mengenal betapa lihainya
Guruku agar kelak tidak menyesal."
"Heh-heh, kuntianak cilik! Engkau masih berani menggertak Ibuku?" Anak laki-laki itu
mengejek. "Keng In! Diam engkau!" Wanita itu membentak dan Kwi Hong memandang heran.
"Ah, jadi bocah nakal ini anakmu" Kalau begitu apakah engkau ini Majikan Pulau Neraka?"
Wanita cantik bermuka putih itu mengangguk.
"Tidak salah, akulah Majikan Pulau Neraka dan engkau harus ikut bersama-ku ke Pulau
Neraka" "Aku tidak sudi!" Kwi Hong melotot dengan berani.
Wanita itu tersenyum dan makin he-ranlah Kwi Hong. Kalau wanita itu diam, wajahnya yang
putih tampak dingin menakutkan, akan tetapi kalau tersenyum bukan hanya mulutnya yang
tersenyum, melainkan juga matanya, hidungnya dan seluruh wajahnya. Cantik dan manis
bukan main! "Mau tidak mau harus ikut."
"Ahh, tidak malukah engkau sebagai Majikan Pulau Neraka hanya pandai me-maksa
seorang anak kecil" Kalau eng-kau memang sakti seperti dikabarkan orang, coba kaulawan
Guruku, tentu da-lam sepuluh jurus engkau mati!"
"Anak, engkau menarik! Engkau pe-nuh keberanian. Hemm, agaknya Suma Han masih
belum dapat mengatasi kega-lakan anak perempuan, hanya pandai melatih silat tidak pandai
mengekang keliaranmu. Siapa namamu?"
"Aku Giam Kwi Hong!"
Wanita itu mengerutkan kening. "Eng-kau masih mempunyai hubungan keluar-ga dengan
Gurumu?" Kwi Hong membusungkan dadanya yang masih gepeng dan berkata bangga. "Benar! Nah,
engkau tidak boleh main-main dengan aku, karena Pamanku ten-tu akan marah kepadamu."
Kembali wanita itu tersenyum. "Me-mang aku ingin membuat dia marah, aku ingin dia
mencoba-coba merampasmu dari tanganku, ingin Pendekar Silu-man berani datang ke
Pulau Neraka dan menghadapi kami. Hayo!"
Kwi Hong hendak meronta dan meno-lak, akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu tubuhnya
terlempar ke depan disam-but lengan wanita itu dan tahu-tahu ia telah dibawa mendekati
garuda putihnya. Sekali wanita itu menggerakkan tangan, tali hitam dari sutera yang
mengikat kaki dan paruh burung itu terlepas dan totokannya pun bebas pula.
"Pulanglah engkau lapor majikanmu!" Wanita itu menepuk punggung garuda putih yang
agaknya maklum akan kelihai-an wanita itu karena dia memekik kesa-kitan lalu terbang ke
arah timur. Wani-ta itu lalu meloncat ke punggung rajawali bersama Kwi Hong yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
118 dikempitnya, lalu burung itu terbang cepat ke atas, disusul oleh anak laki-laki bernama Keng
In yang juga sudah meloncat ke punggung rajawalinya.
Dari atas punggung rajawali itu, Kwi Hong melihat betapa mereka menuju ke sebuah pulau
di tengah laut. Pulau itu dari atas kelihatan hitam sekali, menja-di lawan Pulau Es yang
kelihatan putih dari atas. Di sekelilingnya terdapat pulau-pulau mati yang tidak ada tumbuh-
tumbuhannya. Setelah burung itu berada di atas pulau hitam, tampak olehnya bahwa
tumbuh-tumbuhan di situ berwar-na hijau gelap mendekati biru sehingga dari atas tampak
hitam, apalagi karena di atas pulau itu terdapat awan hitam yang seolah-olah selalu
menyelimuti pulau. Kedua burung rajawali itu melun-cur turun dan setelah tidak begitu ting-gi
tampak oleh Kwi Hong betapa pulau itu dikelilingi tepi laut yang merupakan tebing-tebing
batu karang, sedangkan secara aneh sekali ombak besar menghantam tepi pantai dengan
dahsyat dari segala penjuru. Dia bergidik. Pulau yang buruk dan menyeramkan. Bagaimana
mungkin ada perahu dapat mendarat di pulau ini kalau ombaknya demikian be-sar" Tentu
perahu itu akan dihempaskan ke batu karang dan hancur lebur!
Kini tampak rumah-rumah di pulau itu. Gentengnya terbuat dari kayu yang hitam pula, atau
dicat hitam" Dan begi-tu burung itu menukik turun dan hinggap di pekarangan sebuah rumah
besar seper-ti istana, tampak banyak orang berlari-an datang menyambut.
Tiba-tiba Kwi Hong tertawa saking geli hatinya. Dia melihat wajah anak yang bernama Keng
In itu biasa saja seperti orang lain, hanya ibunya yang mengaku Majikan Pulau Neraka itu
wajahnya ber-warna putih seperti kapur, seperti dicat putih. Kini, orang-orang yang lari
berda-tangan itu memiliki wajah yang berane-ka warna. Ada yang mukanya berwarna hitam
seperti arang, ada yang biru, ada yang merah, ungu, hijau, kuning. Akan tetapi terbanyak
adalah warna-warna yang gelap, sedangkan muka yang berwar-na terang, terutama yang
kuning, tidak banyak. Tidak ada seorang pun yang berwarna putih mukanya seperti wanita
ibu Keng In itu.
"Hi-hi-hik! Alangkah lucunya. Me-ngapa kalian penghuni-penghuni Pulau Neraka mencat
muka kalian" Apakah hari ini akan diadakan pesta dan pang-gung sandiwara dan kalian
semua ikut bermain?"
Semua orang yang datang menyam-but To-cu mereka itu melotot mendengar ucapan ini.
Seorang wanita cantik, yang mukanya berwarna merah muda sehingga warna ini amat
menguntungkan karena menambah kecantikannya, bertanya.
"Twanio, siapakah bocah kurang ajar ini?"
Dari pandang mata semua orang, jelas bahwa pertanyaan yang diajukan kepada ketua ini
mewakili suara hati semua orang.
"Dia" Dia ini adalah murid dan juga keponakan dari Pendekar Siluman...."
Mendengar wanita itu menyebut julukan gurunya yang amat tidak disuka-nya, Kwi Hong
memotong cepat, "Beliau adalah Pendekar Super Sakti tanpa ta-ding, To-cu dari Pulau Es
yang terkenal di seluruh pelosok dunia!"
Akan tetapi ucapannya itu seolah-olah tidak terdengar oleh mereka karena mendengar
disebutnya nama Pendekar Siluman itu saja para penghuni Pulau Neraka sudah menjadi
amat terkejut dan saling pandang. Dari sinar mata me-reka jelas tampak betapa mereka itu
terkejut dan jerih. Melihat ini, Kwi Hong melanjutkan kata-katanya.
"Awas kalian kalau mengganggu aku! Guruku akan datang dan membasmi Pulau Neraka ini
beserta seluruh penghu-ninya!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
119 Akan tetapi Ketua Pulau Neraka itu dengan tenang berkata, "Kwi Hong, eng-kau anak kecil
tahu apa" Tidak perlu membuka mulut besar karena aku senga-ja membawamu ke sini agar
Gurumu datang. Hendak kulihat apakah dia akan mampu merampasmu kembali. Dan
eng-kau bebas di sini, mau ke mana pun boleh."
Kwi Hong cepat memutar tubuhnya menghadapi wanita mukra putih itu. "Aku boleh pergi?"
Wanita itu tersenyum. "Silakan!"
"Terima kasih!" Kwi Hong lalu me-loncat dan lari pergi meninggalkan pekarangan rumah itu.
"Biarkan dia pergi ke mana dia suka, akan tetapi awasi baik-baik agar dia ti-dak sampai
celaka. Persiapkan anak panah dan semua senjata rahasia. Begitu ada burung garuda
muncul di atas pulau, sambut dengan anak panah dan senjata-senjata rahasia, terutama
anak panah berapi. Kalau Pendekar Siluman mampu menerobos masuk ke Pulau Neraka,
aku sendiri yang akan menandinginya!"
Para penghuni pulau itu bubar dan sibuk melaksanakan perintah Ketua mere-ka. Mereka
kelihatan panik karena nama besar Pendekar Super Sakti sudah lama mereka dengar dan
mereka rata-rata merasa jerih terhadap pendekar itu. Yang kelihatan tenang hanyalah Si
Ketua dan beberapa orang yang tingkatnya sudah tinggi, yaitu mereka yang mukanya
ber-warna kuning, hijau pupus atau merah muda. Penjagaan ketat dilakukan siang malam,
dan persiapan menyambut lawan istimewa itu dilakukan dengan rapi.
Dengan hati girang Kwi Hong berlari keluar dari kelompok bangunan itu, me-masuki sebuah
hutan. Tidak disangkanya bahwa Ketua Pulau Neraka itu demikian baik hati sehingga dia
diperbolehkan per-gi begitu saja! Tiba-tiba ia berhenti ber-lari dan memandang terbelalak ke
depan karena di depannya menghadang barisan ular yang berwarna merah dan hitam,bukan
main banyaknya! Ada ribuan ekor dan mereka mengeluarkan suara mendesis-desis dan
tampak uap hitam keluar dari moncong mereka! Kwi Hong meng-gigil dan cepat membelok
ke kanan, akan tetapi di mana pun penuh ular, demikian pula di kiri. Terpaksa ia memutar
tubuhnya dan lari ke lain jurusan. Meli-hat sebuah hutan lain yang berdekatan, dia masuk
dan hatinya lega karena ti-dak melihat ular seekor pun. Akan tetapi,hutan ini amat gelap dan
tidak ada lo-rong bekas kaki manusia, maka ia ma-suk secara ngawur saja. Tiba-tiba
terde-ngar suara mengaungyang makin lama makin keras. Suara itu seolah-olah datang dari
segenap penjuru, membuat telinga-nya serasa akan pecah dan kepalanya pening. Selagi ia
kebingungan, tiba-tiba ia melihat ribuan ekor lebah berwarna hitam beterbangan
mengejarnya! Celaka, pikirnya. Lebah tidak seperti ular yang dapat ditinggal lari begitu saja.
Tentu akan mengejarnya dengan kecepatan ter-bang dan kalau dia dikeroyok, celaka! Ia
membalikkan tubuhnya dan lari hen-dak keluar dari hutan. Akan tetapi beta-pa kagetnya
ketika dia tidak tahu lagi mana jalan keluar. Lama ia berlari ce-pat dengan ribuan lebah
terbang menge-jarnya, dan dia masih belum keluar dari hutan, bahkan mungkin tersesat
makin dalam! Ketika lebah-lebah itu sudah dekat sekali, ia mencium bau amis dan wangi. Makin takutlah
dia karena maklum bahwa lebah-lebah itu adalah binatang ber-bisa, jangankan dikeroyok
begitu banyak. Disengat oleh seekor pun bisa berbahaya. Saking bingung dan gugupnya, ia
tersan-dung dan jatuh menelungkup. Lebah-lebah sudah mengiang di atas kepalanya
sehingga dengan hati ngeri Kwi Hong menggunakan kedua tangan menutupi ke-palanya.
Kedua matanya dipejamkan dan hatinya mengeluh, "Mati aku sekarang!"
Akan tetapi, tiba-tiba suara itu meng-hilang berbareng dengan timbulnya suara melengking
tinggi seperti suara suling. Ia membuka mata dan bangkit duduk. Ribuan ekor lebah berbisa
itu benar-benar telah pergi dan tampak olehnya sesosok bayangan seorang laki-laki tua
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
120 bermuka hijau pupus berkelebat pergi ke arah kiri. Dia mengerti bahwa tentu orang itu
mengusir lebah dengan tiupan suling, maka ia pun mengikuti bayangan orang Pulau Neraka
yang menolongnya itu. Benar dugaannya, orang itu meme-gang suling dan agaknya sengaja
menan-ti dia karena beberapa kali berhenti agar Kwi Hong tidak sampai tertinggal. Kira-nya
jalan keluar dari hutan itu tidaklah semudah ketika masuk. Laki-laki tua itu membelok ke kiri,
ke kanan, sampai ber-ulang kali, ada kalanya seperti memutar dan bahkan mengambil arah
yang berten-tangan dengan arah tadi. Kwi Hong mengikuti terus dan betapa girang serta
he-ran hatinya ketika dalam waktu seben-tar saja dia sudah keluar dari hutan!
Akan tetapi kakek muka hijau itu pun sudah lenyap. Kwi Hong dapat mengerti bahwa ten-tu
kakek itu diperintah oleh ketuanya untuk menolong dia, maka kembali ia merasa berterima
kasih dan tidak me-ngerti mengapa Ketua atau Majikan Pulau Neraka itu mula-mula
menculik-nya kemudian kini membolehkan dia pergi malah menyuruh orang menolongnya
dari bahaya maut. Dia berjalan terus, mengambil jurusan yang berlawanan dengan hutan-
hutan yang dimasukinya tadi. Ia melihat daerah yang berbatu dan ke sanalah ia menuju.
Biarpun batu-batu itu kelihatan hitam menyeramkan, namun dia tidak takut. Dia harus keluar
dan pergi dari pulau ini.
Kakinya mulai terasa lelah, namun Kwi Hong tidak mau berhenti dan men-daki pegunungan
kecil dari batu-batu karang hitam itu. Ketika ia tiba di bagi-an yang paling tinggi, tampaklah
air laut membentang luas jauh di depan ba-wah. Dari tempat itu kelihatan air laut tenang dan
hanya di pantai tampak membuas putih. Hatinya menjadi girang, akan tetapi begitu ia mulai
menuruni ba-tu-batu itu, tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara menggereng yang
meng-getarkan batu karang yang diinjaknya. Ketika ia memandang ke bawah, ia ter-pekik
dan mukanya menjadi pucat. Di depannya, di antara batu-batu karang itu, terdapat binatang-
biatang yang ben-tuknya seperti cecak, akan tetapi besar sekali, panjangnya dari dua meter
sam-pai tiga meter. Ada ratusan ekor banyak-nya, baris memenuhi jalan di depannya,
dengan mulut terbuka, lidahnya keluar masuk dan tampak gigi yang runcing mengerikan.
"Ohhhh....!" Kwi Hong cepat memba-likkan tubuhnya dan lari pergi dengan maksud
mengambil jalan lain yang tidak melalui tempat berbahaya itu. Dilihat-nya daerah yang
penuh dengan tanam-an menjalar dan kelihatannya bersih, tidak terdapat binatang-banatang
buas. Ke sinilah ia berlari. Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit karena ketika kakinya menyentuh
tanaman menjalar itu, tiba-tiba kedua kakinya terlibat dan tanaman itu seperti hidup! Ujung
ranting-ranting tanaman yang lemas dan panjang itu seperti tangan-tangan setan
menyergap-nya dan melibat seluruh tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa, seolah-olah
memiliki daya menempel dan menyedot.
Kwi Hong meronta-ronta, mengguna-kan kekuatan kaki tangannya untuk me-lepaskan diri,
namun sia-sia karena lilit-an "tangan-tangan" tanaman itu makin erat saja. Dan dilihatnya
tanaman yang tumbuh di sekitarnya sudah bergerak-gerak seolah-olah tanaman-tanaman itu
hidup dan kini berusaha untuk melepas-kan diri dari tanah dan mengeroyoknya!
"Iiiihhh....!" Ia menjerit ketika sehelai di antara "tangan-tangan" itu merayap dan akan melilit
lehernya. Pada saat itu tampak berkelebat si-nar hitam, terdengar suara keras dan tanaman yang
melilitnya itu jebol dari tanah berikut akar-akarnya. Begitu jebol, tannaman itu seolah-olah
kehilangan te-naganya dan dengan mudah Kwi Hong melepaskan diri lalu meloncat
menjauhi tanaman-tanaman berbahaya itu. Dia merasa betapa kulit bagian tubuh yang terlilit
tadi terasa gatal-gatal panas, tanda bahwa tanaman itu pun mengandung racun jahat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
121 Dia tidak peduli lagi ketika melihat sesosok bayangan berkelebat pergi, ha-nya dapat
menduga bahwa tentu bayang-an itu yang tadi menolongnya. Dia lari cepat, ingin menjauhi
tempat berbahaya itu secepat mungkin. Kini hanya tinggal satu jurusan lagi yang dapat ia
ambil. Kembali ke belakang berarti kembali ke perkampungan penghuni. Ke kiri berarti
memasuki hutan-hutan yang penuh bina-tang-binatang berbisa, di antaranya ular-ular dan
lebah yang telah dijumpainya. Entah binatang-binatang berbisa menge-rikan apa lagi yang
berada di situ, dia tidak mampu membayangkan. Kalau ke kanan berarti dia harus melalui
tanaman-tanaman hidup itu atau binatang-bina-tang cecak raksasa! Kini dia berlari ke
depan, satu-satunya daerah yang belum dilaluinya. Tampak dari atas daerah ini seperti
daerah aman karena tidak tam-pak tanaman, tidak ada binatang hidup, melainkan pasir
bersih yang terus membentang sampai ke laut. Itulah agaknya jalan keluar!
Betapa girang hatinya ketika ia su-dah menuruni pegunungan dan tiba di dae-rah pasir itu.
Bersih tidak ada bahaya. Biarpun dia sudah lelah sekali dan napas-nya masih terengah
karena merasa ngeri oleh pengalamannya tadi, namun dalam girangnya Kwi Hong tidak
merasakan kelelahannya dan ia berlari terus, hen-dak mencapai tepi laut secepatnya. Pasir
yang terbentang luas dan selalu tertim-pa sinar matahari itu terasa hangat dan lunak.
"Aihhhh....!" Tiba-tiba Kwi Hong men-jerit karena kakinya amblas ke dalam pasir sampai
selutut tingginya. Cepat ia berusaha menarik kaki kirinya yang ter-jeblos ini ke atas, akan
tetapi begitu ia mempergunakan tenaga pada kaki kanan untuk menekan pasir dan menarik
kaki kirinya, kini kaki kanannya juga ambles ke bawah, malah melewati lututnya! Ia terkejut
sekali, mengerahkan tenaga un-tuk keluar. Akan tetapi, makin banyak ia mengeluarkan
tenaga, makin dalam ke-dua kakinya amblas ke dalam pasir se-hingga setelah tubuhnya
masuk ke pasir sampai pinggang, Kwi Hong diam tak berani bergerak lagi dan hanya
meman-dang ke sekeliling dengan mata terbelalak seperti kelinci masuk perangkap!
Keadaan sekelilingnya sunyi, yang ada hanya pasir dan terdengar lapat-lapat mendeburnya
ombak di pantai depan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan ke-ras. Ia memutar tubuh atas
dan terbela-lak memandang dengan hati penuh kengerian. Seekor binatang seperti anjing
hu-tan datang berlari, matanya merah, mon-congnya menggereng-gereng dan binatang
itulari ke arah dia terbenam di pasir! Tak dapat diragukan lagi niat yang ter-bayang di mata


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang itu, tentu akan menerkamnya! Binatang itu meloncat, Kwi Hong menjerit dan
dengan mata terbelalak ia melihat betapa kaki binatang itu amblas pula ke dalam pasir,
hanya dalam jarak dua meter di sebelah kirinya! Kini binatang itu melolong-lolong, meronta-
ronta namun tubuhnya makin amblas ke bawah. Makin dalam sehingga yang tampak hanya
lehernya saja. Binatang itu memandang kepada-nya dengan marah dan gerengannya ma-kin
hebat. Seolah-olah terasa oleh Kwi Hong hawa panas yang menyembur dari mulut yang
terbuka lebar itu. Kwi Hong hampir pingsan, matanya tak pernah berkedip memandang
binatang itu yang ternyata adalah seekor anjing srigala yang berbulu hitam. Tubuh binatang
itu makin amblas, lolongannya makin dah-syat dan akhirnya gerengannya berhenti karena
kepalanya mulai terbenam, mu-lutnya kemasukan pasir, hidungnya, ma-tanya dan akhirnya
yang tampak hanya ujung kedua telinganya yang masih bergerak-gerak dalam sekarat.
Akhirnya ke-dua ujung telinganya itu pun lenyap. Bi-natang itu telah ditelan pasir, tanpa
me-ninggalkan bekas!
"Tolong....!" Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa
tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu. Ber-diri bulu
kuduknya karena timbul dugaan-nya bahwa srigala itu telah menjadi se-tan dan kini setan
penasaran itu mena-rik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang
amat berbahaya daripada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di de-pan
mata, sedikitnya orang dapat men-jaga diri. Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak,
kelihatan tenang dan aman, akan tetapi, sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di
bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbe-nam di dalamnya dan tentu
saja akan mati!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
122 Karena panik dan tubuhnya mene-gang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam
sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara "wirrrr!" Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu
dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar
dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Ma-jikan Pulau Neraka,
telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanan-nya dan menggunakan tali sutera
hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuh-nya sudah tertarik keluar dan diseret sampai
ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.
"Ohhhh.... ahhhh...." Kwi Hong me-rangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia
berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang
ramping sambil me-mandang kepadanya.
"Aku mengerti sekarang....." Kwi Hong berkata marah. "Kiranya engkau tidak sebaik yang
kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi
dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermain-kan aku!"
"Sudah puaskah engkau sekarang" Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu
dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa
lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi baha-ya-bahaya yang lebih hebat daripada
yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang
sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah
yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu"
Kau kuta-han di sini untuk melihat apakah Guru-mu akan mampu merampasmu kembali."
Kwi Hong bergidik, kemudian berku-rang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia
kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya
lawan dengan pen-culikan seperti yang dilakukan atas diri-nya. Betapapun juga, ia harus
mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.
"Sungguh mengherankan. Kalau Pulau Neraka ini begini berbahaya, melebihi gambaran
neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?" Tanyanya sambil
memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna
pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.
"Engkau takkan mengerti. Marilah ki-ta pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"
Kwi Hong mengerutkan keningnya. "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan
engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"
"Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman...."
"Pendekar Super Sakti!" Kwi Hong memotong.
Wanita aneh itu tersenyum. "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau be-bas,
tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang
sekali kalau engkau menja-di muridku, menjadi teman puteraku."
"Aku tidak sudi! Terutama sekali ti-dak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"
Sejenak wanita itu mengerutkan alis-nya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan
sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarah-annya dan berkata. "Dia
nakal dan man-ja, akan tetapi tidak kurang ajar. Mari-lah!"
Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan
tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
123 Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mere-ka
sudah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-
laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi
Hong, ia tertawa dan mengejek.
"Aha, engkau datang lagi" Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"
"Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan meng-ganggu Kwi
Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau-ajak dia bermain-main dengan
baik, akan tetapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia
menghajarmu, aku tidak akan membela-mu!" Wanita itu berkata dan Keng In membelalakkan
mata memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak
pernah menegur-nya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan
kecewa, mulutnya merengut, akan tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih, "Baik,
Ibu." Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau seka-rang, pikirnya!
Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak
membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi
Hong tadinya tidak mengharapkan ma-kanan yang baik. Akan tetapi betapa heran dia dan
juga girang hatinya keti-ka menghadapi meja, dia melihat hi-dangan yang serba lezat dan
mahal! Ba-ru masakan ikan udang dan kepiting ser-ta penghuni laut lainnya saja sudah ada
belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba leng-kap. Benar-
benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak
malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji
ka-rena selain serba lengkap, juga masakan-nya amat enak, tidak kalah oleh masak-an di
Pulau Es! Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlaku-an yang baik,
mendapat kamar di sebe-lah kiri, kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In
tinggal di ka-mar sebelah kanan. Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi
sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mem-pertahankan apabila Suma Han datang! Namun
Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam
mengawasinya, ter-utama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi.
Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bah-kan setelah
kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas
sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari
Keng In. Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada
sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya menta-ati perintah
wanita majikan pulau, pute-ranya, dan empat orang tokoh muka ku-ning saja. Terhadap
perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apalagi terhadap perintah Kwi Hong yang
mere-ka anggap sebagai musuh! Maka lenyap-lah harapan Kwi Hong untuk dapat me-larikan
dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian ter-latih burung-burung
itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang dl-berikan Kwi Hong.
Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan
orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu -adalah anak-anak dari para
anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah
menjadi semacam "pangeran". Betapapun juga, ada beberapa orang di antara me-reka yang
menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.
"Semua orang di sini mengecat muka-nya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?" Pada
suatu hari Kwi Hong berta-nya kepada Keng In.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
124 "Mengecat muka" Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni
Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sin-
kang mereka me-ningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan
kedu-dukan mereka."
"Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mem-punyai warna putih merupakan orang yang paling
pandai?" "Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul pa-ra tokoh
bermuka kuning dan merah mu-da, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna
mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggauta yang
sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sin-kang yang khas sehingga ada warna
timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggauta paling rendah yang belum berhasil
memi-liki sin-kang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di
pulau, melainkan di sekitar Pulau Nera-ka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewak-tu-waktu
kalau tenaga mereka dibutuh-kan, baru mereka dipanggil. Yang berha-sil, mula-mula
mukanya hitam, lalu me-rah dan selanjutnya, jangan kau meman-dang rendah. Warna-warna
itu menanda-kan bahwa kami telah memiliki sin-kang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"
"Hemmm..... dan engkau sendiri menga-pa belum memiliki warna pada muka-mu?"
Keng In mengerutkan alisnya. "Sebe-lum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh
mempelajari sin-kang itu, bi-sa membahayakan nyawanya. Sin-kang itu dilatih dengan
minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah
berwarna muka-nya boleh tinggal di sini."
Kwi Hong teringat akan segala ma-cam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan
dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan mendengar cara berlatih sin-kang sambil minum racun itu, dia dapat
membayang-kan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa
gurunya akan mampu menandingi mere-ka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng
In. "Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap
bulan?" "Eh, kau tahu juga?"
"Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam di
punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, me-lihat pula betapa di antara
mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan daun obat
se-cukupnya. Mengapa kau begitu jahat?"
"Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau menga-lah bahkan
melukai anggauta kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan daun-
daun obat itu. Eng-kau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya
meng-ancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tan-pa obat-
obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?"
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalah-kan mereka.
Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenar-an yang dipergunakan
sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu de-ngan menekan atau membunuh
yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di mana mahluk harus
menjaga diri sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan di mana satu-satunya yang
dibutuhkan hanya ke-kuatan dan kemenangan! Keadaan seper-ti itu memaksa manusia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
125 mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak
orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam aturan!
*** Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga
orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian.
Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita
muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang
hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.
Dia tahu bahwa pendekar yang dika-guminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali.
Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak tampak sedikitpun
ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang
amat mendalam. Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun
mengerti bahwa majikan-nya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sutenya yang
kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan
pera-saan hatinya.
"Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu
juga tidak berhasil?" Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia sudah
menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil
ditemu-kan. Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pan-dang mata
Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah mem-bayangkan perasaan
hatinya yang terhim-pit, pikirnya. "Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku
tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah
kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga."
Sambil berkata demi-kian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang
kuno na-mun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyam-but
kedatangan Suma Han dengan pan-dang matanya yang bening.
"Kusediakan makan, Taihiap?"
Suma Han menggeleng. "Aku tidak lapar."
"Ingin beristirahat" Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu
disediakan minum" Minum apakah?"
"Tidak usah repot Ciok Lin dan teri-ma kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin....
menyendiri." Suma Han menjatuh-kan diri di atas sebuah kursi dan me-nyandarkan
tongkatnya di meja.
Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya
penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma
Han meng-angkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk
kembali. "Ciok Lin, maaf. Kautinggalkan aku, aku ingin menyendiri." katanya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
126 Gadis yang usianya sebaya, hanya le-bih muda setahun dari Majikan Pulau Es itu, menahan
napas menekan hati yang perih. "Baiklah, Taihiap....." Ia membalik-kan tubuh dan melangkah
pergi dengan muka menunduk.
"Ciok Lin...." Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pemban-tunya ini selain
amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata
memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu
jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap
sedingin itu setelah orang menyambut-nya demikian ramah dan penuh perhati-an.
Dengan gerakan cepat, gadis itu me-mutar tubuh. "Ada apakah, Taihiap?"
Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata. "Aku memang tidak lapar, akan
tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber."
Wajah yang manis itu berseri gembira. "Baik, Taihiap, segera kuambilkan!" Dan kini tubuh
gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan
lenyap laksana menghilang saja. Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh
lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripa-da mengukur dalamnya hati perempuan.
Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik
angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bah-wa dia sama sekali tidak
mengenal isi hatinya sehingga segala jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu
ma-lah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan. Dia berhasil mengawinkan adiknya
dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah per-kasa, berbudi mulia
dan berjiwa pende-kar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan
kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya
sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena
Lulu mencinta dia" Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu" Dan dia.... sudah
lama namun diang-gapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih
murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!
Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita ten-tang Lulu,
Suma Han mengalami pukul-an batin yang amat hebat, lebih hebat daripada
kekhawatirannya tentang keper-gian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan,
minum atau tidur sehing-ga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tu-buhnya menjadi kurus,
mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang
setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mung-kin, dia minta dijauhkan daripada kait-an kasih
sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan
kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung
kepahit-an yang sampai lama terasa di hati.
Berkelebatnya bayangan menyadarkan-nya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di
depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari
sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian
Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di
Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-
diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gu-nung yang cukup jauh,
bahkan telah men-cuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat!
Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu me-minumnya. Segar
dingin terasa sampai ke perutnya.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Ciok Lin."
"Tambah lagi, Taihiap?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
127 "Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."
Sejenak Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang
wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu. "Taihiap, dalam kepergian Taihiap
mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?"
Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik, "Ciok Lin, mengapa
kau menduga demikian?"
Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata, "Semenjak saya berada di sini, saya melihat
Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan
tetapi seka-rang laut itu bergelombang dan digelap-kan awan. Apa lagi yang menimbulkan
kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristi-wa lalu?"
Suma Han menghela napas, "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Se-kali
berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan
tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupa-kan semua itu. Yang
terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri."
"Baiklah, Taihiap." Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan
kata-katanya sendiri. Melu-pakan" Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-
siucai bekas tunang-an Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan
pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang
tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan Lulu" Kalau adik
angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat
melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup
bahagia. Akan teta-pi sekarang" Kebahagiaan itu berantak-an dan betapa mungkin ia dapat
melupa-kannya" Apalagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan
dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan
menggegerkan dunia kang-ouw. Sia-pa lagi yang dapat membongkar kuburan dan
membawa pergi Sepasang Pedang Iblis" Hanya dia dan Lulu yang mengeta-hui di mana
adanya sepasang pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya"
Jangan-jangan...., ah, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya
diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu!
Mengapa dia begitu bodoh" Tentu Lulu orangnya! Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa
menantangnya" Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu
memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat mengherankan
hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa menantang dia"
Menga-pa seperti hendak memusuhinya"
Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari
itu ia mengambil kepu-tusan untuk pergi lagi meninggalkan Pu-lau Es, pertama untuk
mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa
penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah
dugaan-nya tidak salah, tiba-tiba terdengar se-ruan-seruan di luar istana.
"Garuda betina datang....!"
"Nona Kwi Hong tidak bersama dia....!"
Seruan-seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti
bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han
tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
128 di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat
Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan,
kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam
lagi. Suma Han menghampiri, "Apakah Nona ditawan orang?"
Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi.
Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata, "Agaknya Kwi Hong
ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku
pergi takkan lama." Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya. Garuda
jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Su-ma Han telah mencelat ke
atas pung-gung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah
men-dahuluinya.
Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemu-dian
mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah
pulau hitam. "Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan
beraninya mereka!" Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garu-danya menukik ke
bawah. Adapun garu-da betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari belakang.
Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Ka-lau penghuni
Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu ki-ni telah siap untuk
menyambut kedatang-annya, karena sudah tentu mereka ini ta-hu bahwa dia akan menolong
muridnya. Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti
bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati
sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja
dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena
pulau itu dikurung lautan yang bergelom-bang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap
perahu yang mencoba untuk menda-rat. Tentu kini penjagaan ketat dilaku-kan untuk
menyambut kedatangannya
lewat angkasa menunggang burung, pi-kirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak
mungkin didarati, yaitu mela-lui lautan, merupakan tempat yang terbe-bas daripada
penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut
dekat tebing karang yang airnya berombak besar.
Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung,
melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan mengambang.
Bagaikan seekor bu-rung, tubuh Suma Han menyusul tongkat-nya dan kaki tunggalnya
sudah hinggap di atas tongkat yang terombang-ambing ombak. Dengan menekuk lutut ia
menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir
mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehing-ga
tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan
menghancurkan tubuh Pen-dekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan
dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar
tongkatnya. Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan,
ke arah batu karang dan meng-gunakan tenaganya untuk mencelat ke ke atas, menotok lagi
dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing
dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda pelihara-annya itu
telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari
darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang
menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isya-ratnya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
129 Dari atas tebing yang tinggi ini, Pen-dekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm,
benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan ter-atur oleh tangan ahli
karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak
memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur
mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga
memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan akan menyesatkan. Pula,
mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa. Dari sebelah
kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu
amat ber-bahaya karena melalui rawa yang tertu-tup oleh alang-alang orang tak mampu
menjaga diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang
banyak binatang buas. Dari se-belah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi
tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali
karena biasa-nya, di tempat-tempat yang diatur orang--orang pandai seperti pulau itu,
tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling
berbahaya. Adapun pendaratan dari sebe-rang sana, berlawanan dengan tempat ia
mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman,
namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang
tidak akan dapat ber-sembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang
pasir ber-gerak yang dapat menyedot benda berge-rak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa
perhitungan karena memang belum me-ngenal keadaan. Nasib saja yang menen-tukan dan
setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan
gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.
Sampai beberapa lama dia memerik-sa seluruh hutan itu dari atas, mengha-fal letak-letak
kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat
letak mataha-ri. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian se-latan
dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang
penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan
tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak
salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya
me-nandingi garudanya dan di punggung raja-wali itu duduk seorang manusia. Burung itu
terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali
itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu
sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan. Setelah burung itu menukik turun dan
lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu ke-luar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia
memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya ber-gerak ke depan
cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, da-lam kecepatannya yang luar
biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya
daerah yang tak dikenalnya itu.
Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-
daun lebat sehingga su-kar untuk melihat di mana adanya mata-hari. Namun, dari sinar
matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhi-tungkan dan dia terus maju menuju
ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Ka-lau keadaan
sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon
besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan me-lanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba ia berhenti bergerak. "Ular...." bisiknya dan ia sudah siap. Penciuman-nya yang
tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat menangkap
suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke
depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian
yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular--ular itu,
kemudian di seberang sana di-sambung pula dengan hutan lain.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
130 Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana
saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya, ada
ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia
menge-nal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu
me-renggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang
bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kalau kumpulan ular
berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk
melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti
bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau
Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak
diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat
buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.
Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis
dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke
tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke
tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi dareah sepanjang
seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang
sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin.
Akan tetapi dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran.
Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-
geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu. Maka dia lalu
meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa
kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan
cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi
kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang
memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan.
Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali
Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi.
Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di
seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan
membalikkan tu-buh sambil tersenyum memandangi ular--ular yang menjadi kacau dan
membalik, mencari lawan.
"Begini sajakah halangan memasuki pulau?" kata Suma Han sambil melanjut-kan
perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu
gelap seperti hutan pertama.
Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam
semak-semak meloncat kelu-ar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan
amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali ia
merasa ka-gum. Srigala-srigala hitam ini benar--benar merupakan sekumpulan binatang
yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva panjang dan mengingat akan
bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang bu-as ini pun berbisa.
"Bukan main! Benar-benar segala ma-cam binatang berbisa bersarang di pulau ini." pikir
Suma Han. Melihat betapa ka-wanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka
agaknya akan mele-lahkan kalau harus berlari-lari dan meng-elak menghindari mereka yang
tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau
dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon,
berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang srigala-
srigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya. Pemandangan ini lucu bagi
Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui
pohon-pohon. Ka-rena pohon-pohon itu tumbuh berdekat-an, amat mudah bagi seorang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
131 yang ber-ilmu tinggi seperti dia untuk berloncat-an dari dahan ke dahan dan dari pohon ke
pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.
Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, da-tanglah
serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma
Han terkejut, dapat men-duga bahwa sengatan lebah ini pun ten-tu berbisa. Dia memutar
lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya sehingga lebah-lebah
yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan--dahan,
ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia tidak dapat berge-rak dengan leluasa.
Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan
srigaia hitam tentu akan menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan
penge-rahan ilmu Soan-hong-lui-kun. Karena dia meloncat-loncat dengan selalu dike-jar
lebah-lebah yanng terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhati-kan arah lagi dan
dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di
mana dia akan dapat menghalau lebah-lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan
kadang-kadang memutar lengan kiri un-tuk meruntuhkan lebah-lebah itu, diam--diam ia
memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!
Akhirnya dia berhasil juga keluar da-ri hutan itu, di tempat terbuka dan de-ngan hati lega ia
mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing srigala su-dah tak tampak lagi, tentu tidak
sang-gup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan
kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus menge-jarnya.
Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap. Ketika lebah-lebah itu terbang
datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya
sedang-kan tangan kiri tetap memegangi tong-katnya. Kalau dengan tangan saja gerak-an
Suma Han sudah mampu mendatang-kan angin yang menyambar dahsyat apa-lagi kini
menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah-lebah itu terbawa angin yang digerakkan
oleh jubah di ta-ngan Suma Han, sama sekali tidak mam-pu mendekati pendekar itu, bahkan
ketika Suma Han membuat gerakan memu-tar dengan tangannya, jubahnya menim-bulkan
angin berpusing yang membuat lebah-lebah itu terseret angin yang ber-putaran ke atas
sampai tinggi! Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling di-tiup secara
istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah-lebah hitam dari
segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!
"Setan....!" Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat menge-mudi
perasaan lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah--lebah itu datang
makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal
yang tak diinginkannya. Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khi-kangnya dan
keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada suara suling itu sambil jubah di
tangannya masih te-rus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah-lebah itu
menjadi kacau-balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han,
ma-kin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada
yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah
mereka datang! Adapun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung
tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu berjatuhan, bergerak-gerak dan
merayap-rayap di atas tanah karena untuk semen-tara mereka tidak kuasa terbang, bah-kan
merayappun berputaran seperti anak--anak yang mabok setelah bermain putar--putaran!


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan
kacau, Suma Han meng-hentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya
mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya
mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri ta-di, dia tidak lari ke utara melainkan
tersesat lari ke barat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
132 Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di
pinggir hutan yang baru di-tinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena
dari tem-pat itu dia sudah dapat melihat sekelom-pok bangunan berwarna hitam. Akan
tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan-pasukan menghadang jalan.
"Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri
menyambutku. Bagus!" Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan
cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia
tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya
berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali
tiga, bersenjatakan tombak pan-jang yang ada rantainya di ujung.
Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah
Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin
tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han
mengo-mel di dalam hatinya.
"Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!"
Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatang-annya hanya
disambut oleh pasukan ber-muka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke
empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara me-layani mereka, melainkan terus saja
me-langkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya
arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!
Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh
memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu
menggerakkan senjata, ada yang menye-rang dengan tombak, ada pula yang membalikkan
tombak dan menyabat dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Se-rangan mereka amat
cepat dan kuat se-hingga terdengar angin bersuitan me-nyambar ke arah Suma Han yang
menja-di sasaran dari tombak-tombak runcing dan rantai-rantai berat itu.
Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan
serangan mereka, akan tetapi sete-lah senjata-senjata itu datang dekat, dia memutar
tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat,
bertemu dan terus melekat, rantai membelit-belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik
kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan sen-jata karena
telapak tangan mereka tera-sa dingin membeku. Yang bersikeras mempertahankan
senjatanya, menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa mele-paskan tombak karena
kulit telapak ta-ngan mereka berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus,
menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan ki-ri,
terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon-
pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengah-nya lebih!
Mereka yang telah menyerang, belas-an orang itu, meritih-rintih, dan mereka yang belum
menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum
bahwa menyerang seperti kawan-kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah
melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu
meng-gerakkan tombak mereka, melontarkan kuat-kuat sehingga kini ada belasan yang
meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh be-lakang
Suma Han! Seperti tadi, Suma Han tenang-tenang saja, tidak menengok sama sekali sehing-ga seolah-
olah sekali ini dia akan cela-ka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
133 cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi sete-lah ujung tombak-tombak itu tinggal
be-berapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke
depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di
depan kakinya, berja-jar-jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan
berjalan maju terpincang-pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi
sesuatu. "Pendekar Siluman.... kepandaiannya seperti iblis...." Pasukan muka biru muda itu berbisik
dan saling pandang de-ngan mata terbelalak.
Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasu-kan yang
terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pi-kirnya, setingkat lebih
tinggi, akan teta-pi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat
menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih
adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri,
sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk meng-hadapinya. Akan
tetapi muka hijau pu-pus" Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To-cu Pulau Es,
padahal orang--orang Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau
Es! "Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?" Seorang di
antara mereka bertanya.
Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan
melangkah maju terpincang--pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang
yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka
siap mendekati kantung di pinggang yang ia du-ga tentu berisi senjata rahasia berbisa!
Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung.
Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati-hati sekali
sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Su-ma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba
seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing me-nyambar,
diikuti oleh golok-golok lain yang menyambar secara berturut-turut. Hemm, kepandaian
mereka ini sedikit-nya tiga kali lipat daripada tingkat pasu-kan pertama yang bermuka biru
muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua go-lok menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat
ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba--tiba kehilangan lawan
itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan
be-las buah tangan kiri bergerak.
"Ciat-ciat-ciatt!" Belasan batang pi-sau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah
seluruh bagian tubuh Suma Han.
"Trang-cring-cring-trang....!" Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap
penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh
Suma Han sudah mela-yang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar
golok mereka berkeredepan menyilaukan mata. Suma Han memutar tongkatnya sambil
menge-rahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pi-kuk dan setelah suara itu lenyap, delapan
belas orang itu berdiri bengong meman-dangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada
goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua!
Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah
berloncatan ke depan. Me-reka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa
mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan
penjaga lain yang lebih tinggi tingkat-nya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
134 Kini Suma Han melihat pasukan ter-diri dari sembilan orang yang bermuka merah muda,
yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang-kiam (Sepasang
Pedang). "To-cu dari Pulau Es, perlahan dulu!" seorang di antara mereka yang usianya sudah lima
puluh tahun lebih dan berambut panjang riap-riapan sampai ke pundak, menegurnya.
"Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?" Suma Han bertanya, sikapnya
tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im-kang sehingga
sembilan orang yang mendengar suara ini, tergetar jantung-nya dan menggigil kedinginan.
Akan te-tapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini
pasukan itu terpecah menjadi tiga, ma-sing-masing tiga orang, seorang wanita dan dua
orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari de-pan, kanan dan kiri.
"Kami adalah murid-murid tingkat dua!" jawab kakek itu.
"Hemm, Ketua kalian membuang--buang waktu saja. Mengapa tidak dia sen-diri saja yang
maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?"
"Orang muda yang sombong!" Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan
pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar
dan ganas. "Biarpun engkau To-cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, ka-kimu
buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!" Wanita itu sudah
menyerang, disusul dua orang temannya.
Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab-kitab
peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang
bahwa gerak-an mereka kurang sempurna.
"Hemmm, mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio-seng (Sepasang Na-ga Berebut
Bintang)?" Dengan tongkat-nya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya
meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke
tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pe-dang
dengan kedua tangan. "Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepa-sang naga, yang
kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang
kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang me-ngacaukan lawan. Jangan menitik
berat-kan gerakan pedang kanan!"
Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka
terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan
pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus
Siang-liong-jio-seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun mereka
mengenal baik jurus ini, berturut-turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek
dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang
pedang rampasan itu menancap di tanah, den ketika mereka saling pan-dang, tampaklah
betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tem-pat, yaitu di ulu hati dan perut!
Sebagai ahli-ahli pedang yang sudah tinggi ting-katnya, sembilan orang bermuka merah
muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh
dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat
menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan
terpincang-pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning.
Empat orang kakek itu usianya rata--rata sudah lima puluh tahun lebih, sikap-nya gagah dan
angker, pakaiannya seder-hana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka
panjang, kaki me-reka telanjang tak bersepatu den tangan mereka hanya bersenjatakan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
135 sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu sete-ngah meter, terbuat dari kayu hitam atau
ranting yang lemas. Melihat ke-adaan ini, Suma Han bersikap hati--hati karena dia dapat
menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah to-koh-tokoh tingkat satu, hanya di
bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu ke-pandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa
heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak
pasukan pertama, peng-huni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang
yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasu-kan sembilan orang namun pada
dasarnya masih mempergunakan bentuk baris-an tiga bintang dengan gerakan segi tiga. Dia
tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang,
yang seorang telah me-ninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau
atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keada-an kang-ouw yang geger karena
hilang-nya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami
kegagalan di muara Sungai Huang-ho dahulu. Oleh karena itu, kini hanya ting-gal empat
orang saja yang menghadapi-nya sebagai penjagaan terakhir dan me-reka pun kini menjaga
di depan bangun-an besar yang menjadi istana dari maji-kan Pulau Neraka.
Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu
menghadapi empat orang itu dan berkata,
"Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku da-tang, dan
sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su-wi Lo-cianpwe suka
menyampaikan kepada To--cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku."
Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pen-dekar
buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka
melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa,
bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapapun juga, melihat sikap dan
sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Seorang di anta-ra mereka yang
rambutnya sudah ham-pir putih semua, segera mengangkat ke-dua tangan depan dada
sambil berkata, "To-cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama
besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk
menjaga di sini dan kalau To-cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To-cu kami,
harus melalui tong-kat kecil kami."
Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. "Hemm.... agaknya To-cu Pulau
Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku" Nah, lihat
baik-baik, biar-pun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?" Suara Suma Han
mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba-tiba empat orang kakek itu
meman-dang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada
se-orang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi dela-pan
orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sin-
kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja pandang-an mereka tidak berubah,
lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak dari-pada jumlah mereka! Karena bingung,
empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghan-tam Suma
Han yang terdekat. Akan tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan,
mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan ranting itu "lewat" menembus tubuh
orang yang diserang. Hal ini memang tidak menghe-rankan karena yang mereka serang itu
bukanlah tubuh Suma Han yang aseli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh
kekuatan ilmu merampas se-mangat dan pikiran orang yang dilaku-kan Suma Han. Selagi
mereka terheran-heran, Suma Han yang aseli telah meng-gerakkan tongkatnya, empat kali
meno-tok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam
keadaan lumpuh!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
136 "Sudah kalian lihat kepandaian To-cu dari Pulau Es?" Suma Han berkata dan kini empat
orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka,
bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu,
"Kalau To-cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan mengandalkan ilmu
silu-man!"
Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking
herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini,
tentu To-cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih
mendekati iblis daripada manusia. Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang
ia duga tentulah seorang To-cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring
dan merdu! Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek-nenek
karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah
ini" Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda" Suma Han tidak
akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion-liong-pang. Bu-kankah Ketua
Thian-liong-pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu,
adik angkatnya" Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan
kuat kini dipimpin oleh wanita-wani-ta muda! Benar-benar merupakan hal yang sukar
dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi
memang memperguna-kan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui
sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan ha-nya karena dia enggan bertanding
mela-wan mereka. Menghadapi pasukan-pasukan tingkat rendahan tadi, dia masih dapat
melalui mereka tanpa melukai seorang pun. Akan tetapi, dari gerakan empat orang kakek ini
dia maklum bahwa dia menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
untuk me-ngalahkan empat orang ini tanpa melu-kainya merupakan hal yang tidak mudah ia
lakukan. Maka ia mengambil cara pa-ling mudah, yaitu mengalahkan mereka dengan
mengandalkan ilmu kepandaian-nya yang mujijat, yang kini telah menca-pai tingkat amat
tinggi setelah ia menerima gemblengan dan petunjuk terakhir dari manusia dewa Koai Lojin.
Sekarang To-cu Pulau Neraka mencela dan menge-jeknya, kalau dia tidak memperlihatkan
kepandaiannya, tentu saja dia akan merasa malu sekali.
"Begitukah yang kalian kehendaki" Nah, Su-wi Locianpwe, bangunlah!" Tong-katnya
bergerak dan empat orang kakek muka kuning itu dapat bergerak kembali dan mereka
melompat bangun. Kini me-reka bersikap hati-hati sekali. To-cu Pulau Es ini benar-benar
hebat. Sebagai To-cu Pulau Es yang kenamaan, menye-but mereka "locianpwe" ini saja
sudah membuktikan bahwa To-cu Pulau Es ini adalah seorang yang rendah hati dan
karenanya dapat dibayangkan betapa ting-gi ilmunya.
"Maaf, kami hanya pelaksana tugas!" Kakek beruban berkata sebagai pernyata-an
kesungkanan hati mereka, juga ucap-an ini merupakan pembuka serangan kare-na secepat
kilat empat orang itu sudah menyerang Suma Han dari empat pen-juru!
Suma Han cepat menggerakkan tubuh-nya, menggunakan Soan-hong-lui-kun un-tuk
mengelak, akan tetapi tiga orang di antara mereka mengayun tongkat ke atas dan
menghujankan serangan ke atas tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk turun!
Sedangkan yang seorang tetap "menutup" bagian bawah dengan serangan cepat,
rantingnya diputar se-perti kitiran sehingga berubah menjadi gulungan sinar. Suma Han
terkejut bu-kan main. Teringat ia akan gaya serang-an bibi gurunya, Maya, ketika
mengha-dapi ibu gurunya, Khu Siauw Bwee. Mungkinkah tiga orang kakek ini telah
mempelajari ilmu yang khusus dicipta oleh Maya untuk menghadapi Soan-hong--lui-kun"
Namun dia tidak diberi kesem-patan untuk banyak berheran, terpaksa ia menggerakkan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkatnya menotok ranting yang terdekat dan menggunakan tenaga pertemuan senjata itu
untuk men-celat lagi ke samping, kemudian sambil memutar tongkat menangkis keempat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
137 senjata lawan ia turun lagi ke atas ta-nah. Segera ia dikurung dan diserang lagi. Suma Han
memutar tongkat melin-dungi tubuh sambil memperhatikan gaya permainan para
pengeroyoknya dan me-ngukur tingkat kepandaian mereka.
Dia kagum sekali. Ranting di tangan mereka itu kadang-kadang berubah mene-gang keras
seperti baja, kadang-kadang lemas seperti cambuk dan gerakan mere-ka amat ringan dan
cepat, tenaga sin-kang mereka pun amat kuat. Dibandingkan dengan pembantunya, Yap
Sun, agaknya tingkat setiap orang kakek muka kuning ini lebih tinggi, akan tetapi
dibanding-kan dengan Phoa Chok Lin yang dia gembleng sendiri, pembantu utamanya itu
lebih menang setingkat. Betapapun juga, kalau Ciok Lin yang menghadapi pengeroyokan ini,
tentu pembantunya itu akan kalah!
Yang amat membikin dia penasaran dan kewalahan adalah ilmu silat mereka yang istimewa
digerakkan untuk mengha-dapi Soan-hong-lui-kun. Biasanya, dengan ilmu gerak kilatnya ini,
dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan-lawan yang mengeroyoknya. Akan tetapi
sekarang, biarpun dia memiliki gerakan kilat yang jauh lebih cepat daripada ge-rakan
mereka, namun keempat orang itu selalu mendahuluinya, menutup lubang-lubang ke mana
dia dapat mencelat sehingga Soan-hong-lui-kun tak dapat ia mainkan dengan leluasa,
bahkan se-ringkali macet dan tertutup di tengah jalan. Terpaksa Suma Han mengeluarkan
kepandaiannya, memutar tongkatnya melindungi tubuh sehingga beberapa kali terdengar
suara keras bertemunya tong-kat dengan empat batang ranting itu.
Kalau begini keadaannya, aku hanya akan dapat menang dengan merobohkan mereka, dan
hal ini berarti bahwa em-pat orang itu akan terluka. Dia tidak menghendaki hal ini terjadi,
maka sam-bil mengeluarkan lengking panjang, tiba--tiba tubuh Suma Han mencelat ke
bela-kang, membiarkan empat orang itu me-ngejarnya dan dengan gerakan cepat ia
menancapkan tongkat di tanah kemudi-an kedua lengannya ia lonjorkan dengan tangan
terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan lalu membuat gerakan mendorong.
"Aihhh....!" Empat orang yang sedang menerjang maju itu terhenti gerakannya dan terpental
mundur sampai dua lang-kah. Tubuh mereka menggigil karena ada hawa dingin menyambar
mereka. Cepat mereka pun berdiri melonjorkan kedua lengan sambil mengerahkan sin-kang.
Dengan mempersatukan tenaga, mereka mampu mengusir hawa dingin yang menyerang,
bahkan berusaha mem-balas dengan pukulan sin-kang jarak jauh. Akan tetapi, tiba-tiba
mereka terkejut sekali karena dorongan hawa dingin yang menekan dan yang berhasil
mereka lawan itu tiba-tiba berubah menjadi hawa yang amat panas seperti ada api
menerjang mereka. Cepat mereka menyesuaikan diri dengan pengerahan sin-kang
men-cipta tenaga dingin. Namun kembali serangan hawa sin-kang dari majikan Pulau Es itu
berubah dingin, dan sebelum mereka berempat menyesuaikan diri kembali berubah dan
terus berubah-ubah sehingga keempat orang itu akhirnya menjadi kacau pengerahan sin-
kangnya, mempengaruhi jalan darah dan mereka terhuyung-huyung lalu roboh pingsan!
Suma Han menghentikan pengerahan sin-kangnya dan tiba-tiba dari dalam is-tana itu
menyambar sesosok tubuh manu-sia berpakaian hitam dengan kecepatan yang luar biasa.
Menduga bahwa orang yang gerakan-nya secepat kilat ini tentu Ketua Pulau Neraka, maka
melihat tubuh itu melun-cur dan mengirim pukulan ke arah dada-nya, Suma Han tidak berani
memandang rendah dan cepat ia mengangkat tangan kanan menangkis.
"Dukkk!" Ia terkejut karena orang itu pun mempergunakan Im-kang yang amat kuat
sehingga terasa olehnya hawa dingin menyerangnya. Pertemuan dua lengan yang sama-
sama mempergunakan Im-kang itu hebat sekali, membuat Suma Han terpental selangkah ke
belakang akan tetapi lawannya juga terpental tiga langkah! Sebelum Suma Han dapat
meli-hat jelas, orang itu telah menubruk lagi dengan pukulan kedua tangan terbuka. Dia
cepat mengangkat kedua tangannya menerima telapak tangan lawan.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
138 "Plakkk!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat, dua muka berha-dapan dan dua
pasang mata bertemu pandang.
Kalau ada halilintar menyamb
Bentrok Para Pendekar 9 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Petualang Asmara 21
^