Pedang Dan Kitab Suci 19

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 19


Melihat keliCikan orang, .Keh Lok gusar sekali. Dengan tangan kanan ia akan tutuk
pergelangan tangan orang, sedang tangan kirinya menganCam kemuka orang. Itulah
salah satu jurus dari ilmu silat "peh-hoa-jo-kun," yang gunakan ujung jari seperti
pedang. Seumur hidup Kim Piauw belum pernah saksikan ilmu silat yang aneh semacam itu.
Untuk menghindari, terpaksa ia bergerak mundur, dan ini justeru tepat menginjak
kepala seekor serigala. Saking kesakitan, binatang itu meraung keras sekali.
Keh Lok masih gemas, ia rabu lawannya dengan jurus-jurus berbahaya dari "pek-hoa-
jo-kun." Menghantam, menabas, menotok dan menyodok. It Lui dan orang-orang yang
berada dalam lingkaran api itu, bukan main kaget dan herannya melihat gerak ilmu silat sianak muda yang luar biasa itu.
Sepasang jari tangan kiri ketua HONG HWA HWE itu menganCam jalan darah "thay-
yang-hiat" pada pelipis Kim Piauw, siapa buru-buru menangkisnya dengan sebuah
pukulan. Dia pastikan, Tan Keh Lok tentu mundur menghindar. Tapi ternyata tidak,
hanya mengirim sebuah tendangan yang tepat mengenai paha Kim Piauw, siapa
menjadi sempoyongan. Dan dalam saat itu, tahu-tahu pukulannya tadi kena ditangkap
lawan, terus akan ditariknya.
Kim Piauw kaget dan kerahkan tenaga untuk menarik, tapi baru saja dia menarik,
musuh batal menarik dan berbalik mendorongnya. Sudah tentu tak tertahan lagi, ia
terjerumus kebelakang.
Kalau sampai jatuh, hebatlah akibatnya. Dia tentu akan dibuat "pesta" oleh kawanan
serigala. Maka semua orang sama berteriak kaget.
Tapi Kim Piauw juga lihai. Dengan gerak "le-hi-ta-thing" atau ikan lele meletik lonCat keatas, tiba-tiba ia menCelat keatas seraya kasih kerja pukulannya kepada seekor
serigala, dan dengan berjumpalitan, aehirnya dia berhasil jatuhkan kakinya ketanah.
Tan Keh Lok membarengi melesat kesampingnya, 2 kali jarinya menutuk, satu pada
lutut dan satu pada pantat.
"Celaka! Celaka!" seru Kim Piauw yang walaupun tak dapat bertahan untuk berdiri,
masih Coba akan tekankan ke 2 tangannya untuk lonCat lagi keudara.
Kawanan serigala datang mengerumuni lagi, tapi Keh Lok lebih Cepat. Punggung Kim
Piauw diCengkeram, terus diputarkan. Tapi Kim Piauw betul-betul bandel. Sekalipun
separoh tubuhnya bagian bawah tidak dapat berkutik, masih dia Coba berlaku nekad.
Sepasang kepelannya maju berbareng, menjotos dada Tan Keh Lok, maksudnya hendak
mati bersama 2.
"Bangsat keras kepala!" memaki Keh Lok, jari tangan kirinya kembali menutuk jalan
darah "tiong-hu" dan "Soan-ki," sehingga baru kepelan Kim Piauw melayang, lengannya
dirasakan lemas dan teklok.
Dengan memutar tubuh Kim Piauw, Keh Lok lonCat menghindar dari terkaman serigala,
terus akan melemparkan tubuh lawannya itu kearah serigala yang berada ditempat
jauh. "Yangan dibunuh!" Ceng Tong berseru keras-keras.
Kembali Tan Keh Lok disedarkan dari keburu napsunya.
"Ah, dengan membunuh penjahat ini, aku tetap teranCam, terutama mengikat
permusuhan hebat pada Kwantong Liok Mo. Lebih baik kuampuni, dengan budi itu,
mungkin kalau nanti bertempur dengan Ciauw Cong, mereka bertiga tentu berdiri
difihak netral," pikirnya.
Sebagai gantinya, orang she Ku itu dilemparkan kedalam lingkaran api, dengan ia
sendiri terus menyusul masuk.
Haphaptai menyanggapi tubuh Kim Piauw. Dengan begitu, pertandingan kali ini telah
dimenangkan Keh Lok. Segera pemuda ini hendak menghampiri Ceng Tong dan Hiang
Hiang, tiba-tiba Ceng Tong berteriak.
"Awas, belakang!"
Keh Lok Cepat mendek kebawah, dan 2 ekor serigala besar melayang melalui
kepalanya. Kiranya, itulah 2 ekor serigala yang sudah kalap karena laparnya, terus
meneryang masuk. Yang seekor, langsung menerkam Hiang Hiang. Syukur Keh Lok
berlaku sebat, ia lonCat memburu dan menarik ekornya.
Serigala itu menggerung kesakitan, terus balik menyerang. Disamping itu kawannya
juga berbareng meneryang. Tapi Keh Lok menghantam kena leher salah seekor, yang
terus berguling ketanah.
"Sambutlah ini!" Ceng Tong Tong lemparkan badi-badinya, barang mana begitu
disanggapi oleh Tan Keh Lok terus ditusukkan kepada serigala yang meneryang tadi.
Serigala ini luar biasa besarnya, dan gesit sekali. Dua kali Tan Keh Lok menusuk, 2 kali dapat dihindari.
Berbareng itu, kembali ada tiga ekor serigala yang menyerbu masuk. Yang satu, dapat
dibanting keluar oleh Haphaptai. Yang satu lagi dibatas kutung oleh Ciauw Cong,
sedang yang lainnya sedang dihajar oleh It Loei. Buru-buru Haphaptai tambahkan
bongkokan dahan 2 kayu yang dibawa Kiem Piauw tadi ketempat yang berlobang,
barulah kawanan serigala itu menyingkir.
Saat itu Keh Lok pura-pura menyerang kesebelan kiri, ketika si serigala menghindar
kekanan, Cepat sekali badi-badi ditarik dan ditikamkan kesebelah kanan. Karena sukar menghindar, serigala itu pentang mulutnya menggigit ujung badi-badi.
Keh Lok mendorong kemuka sekuat-kuatnya, tapi sekalipun lidah serigala itu kepotong, dia tetap matikan menggigit ba-di-badi-badi. Juga ketika Keh Lok menarik kebelakang, tetap mulut serigala itu tak mau melepasnya. Sampai badan binatang itu terangkat naik, tetap binatang itu pantang lepaskan gigitannya.
Keh Lok agak gelisah, karena serigala yang seekor tadi. menyerang lagi. Buru-buru dia berkelit kesamping, mengangkat kaki dan mendupak keluar serigala itu dari lingkaran
api. Setelah itu, dia gunakan tangan kiri untuk menghantam mata serigala yang menggigit
badi-badinya tadi. Binatang itu mundur ke belakang dan Keh Lok rasakan tangannya
longgar. Sebuah pedang terCabut keluar. Hawa dingin membikin orang-orang merasa
bergidik. Sinarnya memenCar jernih ke-hnyau 2an.
Dan yang tak kurang mengherankan, adalah serigala itu sendiri. Hantaman Keh Lok
telah meremukkan kepalanya, namun mulutnya masih menggigit sebatang badi-badi.
Pada hal terang badi-badi itu ada juga dalam tangan Tan Keh Lok. Dari manakah badi-
badi dimulut serigala itu"
Keh Lok maju selangkah, dengan tiga jari tangan kirinya, dia jepit badi-badi dimulut serigala, terus ditarik sekuat-kuatnya. Dia adalah seorang ahli tutuk yang lwekangnya sangat lihai. Namun mulut serigala yang.sudah putus nyawanya itu, tetap terkanCing
seperti terpaku.
Saking gemasnya, Keh Lok tabas batang kepala binatang itu dengan pedang pendeknya
yang mirip badi-badi itu. Dan buah kepala itu tahu-tahu menggelinding jatuh semudah
memotong sajur. Heran dia dibuatnya atas ketajaman badi-badi itu Ketika diperiksa
agak dekat, segera dia rasakan hawa dingin yang membikin bergidik bulu roma. Ujung
badi-badi itu ber-kilau 2 Cahajanya. Bukan lagi badi-badi pemberian Ceng Tong dulu.
Hanya anehnya, tangkainya masih seperti tangkai badi-badi yang bermula.
Karena penasaran, dipungutnya badi-badi yang terselip dimulut serigala tadi. Ternyata tengahnya kosong, mirip seperti sarung badi-badi. Dimasukkannya badi-badi tadi
kesarung itu, kiranya pas sekali.
Kiranya badi-badi itu adalah sebilah pokiam yang mempunyai 2 lapisan. Sarungnya saja sudah merupakan senjata tajam yang hebat, siapa tahu, dalamnya masih terdapat
sebuah pedang pusaka yang dapat dibuat memotong segala logam.
Ketika menyerahkan kepada anak muda itu, Ceng Tong mengatakan bahwa badi-badi
atau pedang pendek itu, menurut sejarahnya, mengandung rahasia besar. Namun
selama itu, tiada seorang yang dapat menemukan. Kalau tidak ada peristiwa serigala
itu, tiada nanti rahasia itu terbongkar.
Memegang pusaka itu, bukan buatan kegirangan Keh Lok. Dia menggape pada taCi-
beradik itu, dan merundingkan Cara meloloskan diri. Sengaja mereka berbahasa Ui,
sehingga Ciauw Cong dan Sam Mo itu tak mengerti maksudnya.
Waktu itu It Lui telah dapat menghantam mati serigala musuhnya tadi. Dengan belati,
dipotongnya keempat paha binatang itu, lalu dipanggang.
"He, lekas buang, kalau kamu masih ingin hidup!" Ceng Tong berseru tiba-tiba.
"Mengapa?" tanya It Lui.
"Kalau kawanan serigala itu membau daging bakar, mereka pesti tak tahan lagi!" kata
sigadis. It Lui insyap, Cepat ia membuang paha serigala panggang itu.
Sementara itu Kim Piauw telah ditutuk Ciauw Cong supaya jalan darahnya terbuka.
Luka-lukanya digigit serigala dibalut. Perutnya terasa lapar sekali. Ia memungut paha tadi, terus dimakannya mentah 2.
Hiang Hiang me-main-main kan pokiam itu. Ia memuji kebagusan senjata itu. Tanpa
sengaja, dia membuka sarung badi-badi, dan nampak didalamnya terselip sebutir benda
merah. Di-goyang 2 dan dituangkan, tapi tak bisa keluar. Ia mengambil tusuk konde
untuk mengungkit, dan sebutir pil kecil menggelundung keluar. Pil itu terbungkus lilin, oleh Hiang Hiang diberikan pada Keh Lok.
"Bagaimana kalau kita pecah lilin pembungkus ini?" tanya pemuda itu pada Ceng Tong.
Ceng Tong mengangguk.
Sekali pijit, lilin pembungkus itu pecah. Didalamnya terdapat sepulung gulungan kertas kecil. Kertas itu tipis seperti sayap yangkrik. Karena usianya, warnanya ke-ku-ning 2an.
Diatasnya tertulis beberapa huruf Ui, sedang pinggirnya ada sebuah gambar peta yang
memuat gunung, sungai, gurun dan lain-lain.
Ciauw Cong yang sedari tadi pasang mata, tahu bahwa peta itu tentu menyimpan
rahasia. Sengaja ia mondar-mandir untuk menambah kayu bakar, tapi sebenarnya ia
hendak menCuri lihat. Tapi karena bertuliskan huruf Ui, ia keCewa.
Keh Lok bisa tulisan Ui tapi kurang sempurna. Sebagian besar huruf-huruf Ui dikertas itu, adalah huruf-huruf kuno, jadi ia banyak sekali yang tak mengerti. Surat itu lalu diserahkan pada Ceng Tong, siapa setelah melihat dan merenungkan sampai Jama
sekali, lalu menyimpan kedalam bayunya.
"Apa saja yang tertulis disitu?" tanya Keh Lok.
Ceng Tong tak menyahut, hanya terus merenung.
"Cici tengah mengasah otak, yangan diganggu!" kata Hiang Hiang yang Cukup kenal
perangai Cicinya itu.
Jari Ceng Tong tampak meng-gurat 2 dipasir, melukis sebuah bundaran. Tapi terus
dihapus dan menggambar lagi. Setelah itu ia duduk bertopang dagu.
"Badanmu masih lemah, yangan banyak sekali berpikir", Keh Lok memperingatkan.
"Kalau belum ketemu jawabannya, biarlah lain kali saja. Yang penting kita harus Cari daya untuk lolos".
"Justeru daya itulah yang sedang kupikirkan. Kita harus menghindar dari kawanan
serigala yang buas dan orang-orang yang berhati serigala itu", sahut Ceng Tong seraya menuding kearah Ciauw Cong.
Demi mendengar kata-kata manusia serigala yang diuCapkan sang Cici itu, Hiang Hiang
tertawa, karena baru sekali ini dia dengar istilah baru tersebut.
"Coba kau berdiri diatas punggung kuda. Pandanglah arah barat, apakah kau melihat
ada sebuah gunung yang punCaknya putih?" kata Ceng Tong tiba-tiba dengan bisik-
bisik. Tapi Keh Lok tak melihatnya. Dia tunggu dan men-Cari 2, sampai lama, tapi tetap tak
ada. Dia memberi isyarat dengan gelengkan kepala pada Ceng Tong.
"Hm, kalau menurut peta ini, kota kuno itu tak jauh dari sini, tentunya punCak gunung kelihatan", Ceng Tong menggerutu.
"Kota kuno?" Keh Lok lonCat turun dan bertanya.
"Waktu kecil pernah kudengar Cerita bahwa dipadang pasir ini terdapat sebuah kota
kuno. Kota itu dahulunya indah dan kaja sekali. Pada suatu hari, terbit taufan dahsyat dipadang pasir luas ini bukit 2 pasir itu tertiup terbang dan menguruk kota itu. Selaksa lebih penduduk kota binasa semua", berCerita Ceng Tong, lalu berpaling pada adiknya.
"Moay-moay, rasanya kaulah yang paling paham akan Cerita itu, Cobalah kasih tahu
padanya". "Memang banyak sekali macam Cerita orang tentang itu, tapi tiada seorangpun yang
pernah melihat sendiri," demikian Hiang Hiang memulai. "Bukan itu saja, karena banyak sekali sudah orang yang pergi menCarinya, tapi begitu menemukannya, sedikit sekali
yang kembali dengan hidup. Kabarnya, disitu terdapat kumpulan besar harta berharga.
Pada suatu ketika penduduk kota katanya berobah menjadi setan. Begitu Cinta mereka
pada kotanya itu, hingga sampai binasa, tetap mereka tak mau meninggalkan. Ada
beberapa orang yang karena tersesat, tanpa sengaja, masuk kedalam kota itu. Demi
melihat sekian banyak sekali harta kekajaan, mereka terpesona berlutut menghaturkan
terima kasih pada Al ah. Harta itu diangkut keatas onta, akan dibawa pulang. Tapi
mondar-mandir ke-mana 2, mereka tak dapat keluar." "Kenapa?" tanya Keh Lok.
"Katanya, roh 2 penjaga kota tak rela, dan menyesatkan mereka. Kalau harta itu
ditinggal, mereka bisa keluar dengan mudah," sahut Hiang Hiang.
"Ha, rasanya orang yang menemukan harta karun itu, sukar melepaskannya lagi," kata
Keh Lok. "Benar, siapa yang tak ngiler melihat harta karun" Katanya, malah kalau orang berbalik meninggalkan beberapa tail perak disitu, sumur disitu akan memanCurkan air jer nih
untuk mereka minum," Ceng Tong ikut menerangkan "Ah, setan 2 penjaga kota itu
rupanya temaha harta," Keh Lok tertawa, "Ada banyak sekali sekali penduduk suku kita, karena terlibat hutang yang tak bisa dibajar, lalu Coba 2 menCari tempat itu. Tapi sekali pergi, mereka tak kembali lagi. Ada suatu kali, serombongan saudagar telah menolong
seorang yang hampir mati kehausan ditengah padang pasir. Orang itik mengatakan
telah berhasil menemukan kota kuno itu, tapi dia tak dapat keluar dari situ. Dilihatnya dipadang pasir itu ada tapak kaki orang, mengira kalau itu jejak orang lain yang lewat disitu, ia menurutkan jejak itu. Tiada tahunya, jejak itu adalah bekas tapak kakinya sendiri. Mondar-mandir seCara begitu, habislah tenaganya, terus roboh. Rombongan
saudagar kafilah itu minta dia supaya menunjukkan letak kota kuno itu, tapi dia
menolak, dengan alasan, sekalipun nanti seluruh harta karun kota itu diberikan
padanya, sedikitpun dia tak kepingin memasuki kota keramat itu lagi."
"Wah, benar-benar menakutkan," kata Keh Lok.
"Masih ada yang lebih dari itu," sambung Hiang Hiang "Ketika seorang diri orang itu, mengitari padang pasir itu, tiba-tiba seperti ada suara memanggil namanya. Ketika dia menghampiri, suara itu hilang lenyap, dan begitulah dia tersesat ditengah padang
sahara." "Dengan sekonyong-konyong menemu harta karun besar, karena keliwat girang,
mungkin orang menjadi berobah pikirannya. Apalagi jalanan dipadang pasir itu sukar
diturut, jadi mudah tersesat," kata Keh Lok. "Tapi asal saja pikirannya dapat bebas dari godaan harta karun itu, dengan sendirinya tentu jernih dan bisa menCari jalan. Belum tentu kalau disebabkan gangguan setan."
"Peta dalam pedang pusaka itu menunjukkan ada jalan kearah kota kuno itu," sela Ceng Tong.
"Kita tak berhasrat Cari harta karun. Kalau berani mengambil, roh penjaga disitu tentu membikin susah kita. Pedang pusaka ini jauh lebih berguna daripada peta itu. Karena
dapat membaCok putus segala macam senjata musuh," demikian Hiang Hiang tertawa,
lalu menCabut tiga lembar rambut diletakkan pada mata pedang, katanya pula:
"Menurut ayah, pedang pusaka yang aseli dapat membikin putus rambut yang
ditiupkan. Entah ini bisa atau tidak?"
Ketika ia tiup rambutnya itu, rambutnya itu putus menjadi enam potong. Seperti tingkah anak 2, Hiang Hiang ber-tepuk 2 tangan kegirangan. Juga Ceng Tong akan
menCobanya. Diambilnya saputangan untuk dilolos selembar suteranya, lalu dilempar
keatas. Sekali tabas, benang sutera itu putus. Tanpa merasa, Ciauw Cong dan Sam Mo
ikut berseru memuji.
Diam-diam Ciauw Cong mengeluh, pedang "leng-bik-kiam" kepunyaannya itu, sekalipun
dapat menabas kutung lain senjata, tapi masih kalah dengan pedang pusaka ditangan
ketua HONG HWA HWE, tentu saja Ciauw Cong dan Sam Mo sangat mengiri sekali.
"Sekalipun pokiam ini sakti, tapi tak dapat membasmi sekian banyak sekali kawanan
serigala. Tak ada gunanya," kata Keh Lok mengelah napas.
"Peta ini jelas melukiskan bahwa kota kuno itu didirikan disekeliling sebuah gunung
yang punCaknya menjulang kelangit. Dan menurut peta, gunung itu terletak tak jauh
dari sini, semestinya bisa terlihat. Heran, mengapa tidak tertampak?" kata Ceng Tong pula pelahan-lahan.
"Ah, tak perlu kau sibukkan. Taruh kata gunung itu diketemukan, apa gunanya?" ujar
Hiang Hiang. "Kita bisa loloskan diri kesana. Disitu ada rumah dan "bentengnya!" sahut Ceng Tong.
"Benar!"," seru Keh Lok seraya lonCat berdiri diatas pelana kuda. Ia memandang kearah barat, namun seperti tadi, tak melihat suatu apapun lagi.
Selama itu, Ciauw Cong dan Sam Mo terus mengawasi dengan heran. Mereka berempat
pun rundingkan Cara lolos dari situ, tapi tidak memberi hasil. Ketika hari mulai malam, Hiang Hiang membagikan ransum kering pada semua orang. Mereka bergiliran
menjaga. Pada saat itu, Hiang Hiang teringat akan anak rusa piaraannya dirumah, entah sudah
diberi makan entah belum. Ia mendongak keatas, pikirannya melayang jauh kerumah.
"Ci, lihatlah itu!" tiba-tiba Hiang Hiang berteriak seraya menimjuk kelangit.
Ketika Ceng Tong memandangnya, tampak ditengah udara ada sebuah titik hitam yang
diam tak bergerak. Ceng Tong tanyakan benda apakah itu pada sang adik.
"Itu adalah seekor burung alap-alap. Tadi kulihat burung itu terbang lewat disini, heran, mengapa bisa berhenti diatas udara?"
Ceng Tong mengira adiknya salah lihat tadi, tapi Hiang Hiang tetap berkukuh.
Jilid 34 "KALAU bukan burung, titik hitam itu lalu apa" Namun jika burung mengapa "hinggap"
diatas udara. Heran!" Keh Lok ikut biCara.
Selagi begitu, sekonyong-konyong titik hitam itu kelihatan bergerak, makin dekat makin besar. Dan benarlah, benda itu adalah seekor burung alap-alap yang terbang disitu.
Melihat itu, Ke7 orang itu masing-masing punya anggapan sendiri 2.
"Sayang burung itu terlalu tinggi. Coba tidak, tentu akan kusabit dengan kim-Ciam
(jarum emas), biar mata ketiga Sam Mo ini terbuka," pikir Ciauw Cong.
Sebaliknya Sam Mo lagi Cemas, yangan-yangan burung itu piaraan Thian-san Siang
Eng. Kalau sepasang suami isteri itu datang kembali, Celakalah mereka bertiga.
Hiang Hiang KiongCu yang hatinya masih putih bersih seperti anak, ia mengiri betapa
bahagianya burung itu terbang diudara bebas. Tidak seperti ia dan keenam orang itu,
sedang berkutet menghadapi kawanan serigala buas.
Tidak demikian dengan Tan Keh Lok dan Ceng Tong yang rupanya sama pikirannya. Ke
2nya tengah memeCahkan, apa sebabnya burung itu tadi dapat hinggap diatas udara
Angin malam berhembus, Hiang Hiang naikkan tangannya untuk memperbaiki
rambutnya yang kusut tertiup angia itu. Keh Lok mengawasi bagaimana tangan Hiang
Hiang yang putih meletak itu bergerak diantara pakaiannya yang berwarna putih pula.
Tiba-tiba orang muda itu tersedar dan meneriaki Ceng Tong: "Lihatlah tangan adikmu
itu!" "Asri, tanganmu bagus benar!" Ceng Tong memuji dengan elahan napas.
"Ya, memang bagus," Keh Lok tertawa, "tapi tidakkah kau memahami artinya" Karena
tangannya putih, waktu bergoyang dimuka pakaiannya putih itu, sukar dilihat jelas."
Ceng Tong tidak menjawab, ia tidak paham apa yang dimaksudkan Keh Lok.
"Terangnya, burung tadi hinggap pada sebuah punCak gunung yang berwarna putih!"
Keh Lok akhirnya menjelaskan
"Ah, benar, benar! Karena langit disebelah sana berwarna putih, jadi punCak itu sampai tak kelihatan." seru Ceng Tong.
"Ya. Karena burung itu hitam, jadi kelihatan jelas!" Keh Lok menambahkan.
Kini tahulah Hiang Hiang kemana tujuannya perCakapan ke 2 orang itu.
"Tapi bagaimana kita dapat menuju kekota itu?" tali janya.
Ceng Tong tak menyahut, hanya dibebernya peta tadi.
"Kita harus bersabar sampai matahari Condong lagi disebelah barat, kalau betul ada
sebuah punCak gunung, tentu ada bayangannya. Nah, baru kita pelajari lagi perjalanati kekota itu."
"Tapi sekali-kali kita yangan unjuk gerakan apa-apa, agar kawanan bangsat itu yangan sampai mencium bau," kata Keh Lok.
"Benar, kita pura-pura rundingkan soal kawanan serigala itu." Ceng Tong setuju.
Lalu pura-pura Keh Lok menyeret seekor bangkai serigala. Ketiganya kelihatan sedang
memeriksa. Haripun mulai sore. Benar juga, dipadang pasir situ tampak membujur
sebuah ba yangan raksasa.
"Perjalanan kepunCak gunung itu, masih kira-kira 25 li", kata Ceng Tong seraya pura-pura membalik badan bangkai binatang itu.
Sementara Tan Keh Lokpun pura-pura memeriksa Cakarnya yang tajam. "Kalau kita
punya seekor kuda lagi disamping kuda putih itu, mungkin kita bisa lolos kesana,"
katanya bisik-bisik.
"Coba kau atur supaya mereka mau lepaskan kita bertiga," kata Ceng Tong.
Tan Keh Lok mengiakan, ia pura-pura membelek perut serigala ladi.
"Huh, apanya yang aneh pada bangkai itu" Tan-tangkeh, apakah kalian sedang
rundingkan penguburannya?" Ciauw Cong mengejek.
"Kami sedang rundingkan Cara meloloskan diri. Cobalah lihat, perut serigala ini kempes betul-betul," sahut Keh Lok.
"Maka kita akan dnyadikan makanannya," balas Ciauw Cong.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sam Mo tertawa geli.
"Begini kelaparan binatang ini sampai tubuhnya kurus kering. Terang mereka tak mau
lepaskan setiap korban yang bisa dimakannya," kata pula Keh Lok.
"Memang mereka sangat bertekun menanti. Setengah harian kau gunakan memeriksa
bangkai binatang itu, kiranya telah mendapat jawaban "sepenting" itu!" ejek Ciauw Cong pula.
"Kukuatir, keCuali Cara ini, susah kita dapat lolos." sahut Keh Lok.
Sam Mo serentak lonCat bangun, untuk mendengarkan dari dekat.
"Daya apakah yang Tan-tangkeh punyakan?" tanya Ciauw Cong.
"Kita bertahan disini sekarang, tapi begitu bahan bakar habis, bukankah akan habis juga jiwa kita?" kata Keh Lok tertawa.
Ciauw Cong dan Sam Mo mengangguk.
"Sebagai orang kangouw, kita paling menjunjung keadilan dan kebenaran. Rela
korbankan diri untuk menolong orang," kata Keh Lok pula. "Misalnya keadaan kita pada saat ini. Asal ada salah seorang yang berani menjual jiwa untuk menobros keluar, tentu kawanan serigala itu akan mengejarnya. Dengan begitu kita yang enam orang, tentu
ada harapan tertolong."
"Tapi bagaimana nasib orang itu?" tanya Ciauw Cong.
"Kalau nasibnya baik, dia tentu keburu bertemu dengan rombongan penolong. Namun
kalau tidak, kebinasaannyapun takkan sia-sia, karena dapat menolong lain orang.
Bukankah itu jauh lebih berarti daripada mati konyol disini"!" ujar Keh Lok.
"Pendapatmu itu tepat sekali. Tapi siapa yang sudi melakukannya" Karena sembilan dari 10 bagian, dia tentu binasa," It Lui utarakan pikirannya.
"Nah, kita kepingin dengar pendapat Thing-toako yang lebih sempurna," sahut Keh Lok.
Atas itu, It Lui menjadi bungkam.
"Bagaimana kalau kita undi saja" Siapa yang terpilih harus berangkat," tiba-tiba
Haphaptai usul.
Ciauw Cong segera mendapat pikiran. Dia setuju dengan usul itu.
Sedang maksud Keh Lok tadi, ia sendirilah yang akan melakukan usaha itu. Dengan
begitu dapatlah dia suatu jalan untuk lolos bersama-sama ke 2 Cici beradik itu.
Namun untuk tak menerbitkan keCurigaan orang, Keh Lok setuju juga, katanya: "Kita
berlima saja yang berundi. Ke 2 nona ini boleh tak usah."
"Kita toh manusia semua, mengapa ada perbedaan," sahut Kim Piauw.
"Kita adalah orang laki 2, tidak dapat melindungi ke 2 nona itu saja, sudah malu
rasanya. Mengapa kita harus mengharapkan tenaga mereka untuk menolong kita" Aku
lebih suka binasa dimulut serigala, daripada hidup dan dipandang hina oleh sekalian
sahabat kangouw," kata Hap-haptai dengan tegas.
"Meski benar laki 2 dan perempuan itu berlainan jenis, tapi jiwa kita toh masing-masing hanya satu. Kalau diundi, semua harus diundi," It Lui tunyang pendapat Kim Piauw.
Jadi kini ada 2 pendapat. Tan Keh Lok dan Haphaptai disatu fihak, It Lui dan Kim Piauw dilain fihak. Sekalipun ke 2 orang yang belakangan itu bersatu pendapat, tapi pikiran ke 2nya berlainan. Dengan tambah 2 orang lagi, tentu kans terpilihpun berkurang,
demikian It Lui.
Tidak demikian dengan Kim Piauw. Dia benci sekali pada Ceng Tong. Kalau nona Cantik
itu tak bisa jatuh ketangannya, biar dimakan serigala saja.
Karena suaranya berimbang, Ciauw Cong diminta menentukan keputusannya. Ternyata
siang 2 orang she Thio ini sudah punya akal. Dia yakin, dirinya tentu tak bakal terpilih.
Pikirnya, nona yang satu (Hiang Hiang), dimaukan oleh baginda, mengapa ia sendiri tak mau yang lainnya (Ceng Tong)"
Setelah mengambil putusan, berkatalah ia dengan angkuh-nya: "Taytianghu (laki 2
sejati) lebih utamakan nama kehormatan daripada jiwanya. Aku, Thio Ciauw Cong,
adalah seorang laki 2, mengapa harus tawar menawar dengan wanita?"
It Lui dan Kim Piauw serentak bungkam. "Baiklah, kita kasih murah pada ke 2 nona itu,"
kata Kim Piauw,
"Ya biarlah. Dan sekarang kasih aku yang membuat undian itu," It Luipun
menyetujuinya, seraya berjongkok memungut ranting kayu sebagai alat undi.
"Mungkin kepunyaanku ini lebih baik," kata Ciauw Cong sambil mengeluarkan belasan
uang tembaga. Setelah memilih 5 biji, sisanya dimasukkan lagi kedalam kantongnya, katanya: "Inilah 4
buah Yong-Ceng-po (uang tembaga pemerintah kaisar Yong Ceng). Dan ini sebuah Sun-
ti-po (dari pemerintah kaisar Sun Ti). Lihatlah, besar kecilnya sama semua bukan?"
It Lui memeriksa dan memang benar. Dia berkata: "Baik, siapa yang mengambil Sun-ti-
po, dialah yang terpilih."
"Tepat. Thing-toako, masukkanlah kedalam kantongmu," seru Ciauw Cong.
Setelah uang itu dimasukkan, maka Ciauw Cong lalu bertanya siapa yang harus
mengambil lebih dulu. Dia mengawasi Kim Piauw dan menjadi geli ketika nampak
tangannya gemetar.
"Ku-jiko, yangan takut. Mati-hidup itu sudah takdir Yang Kuasa. Mari aku dulu yang
pilih," kata Ciauw Cong dengan tertawa.
Tanpa tunggu jawaban, Ciauw Cong segera masukkan tangannya kedalam kantong.
Sekali tangan menjamah, tahulah ia akan tebal tipisnya mata uang itu.
"Sayang, sayang!" ia tertawa ketika membuka jarinya untuk diperlihatkan kepada semua orang. Ternyata sebuah Yong-Ceng-po.
Sekalipun mata uang Yong-Ceng dan Sun-ti sama besar kecilnya, tapi Sun-ti-po lebih
tua seratus tahun. Karenanya agak tipis. Memang tebal tipisnya mata uang itu, sukar
dikenal oleh orang kebanyak sekalian, tapi tidak demikian dengan Ciauw Cong. Dahulu
ketika masih diperguruan, sebelum meyakinkan ilmu jarum hu-yong-Ciam, lebih dulu dia harus "berlatih pakai mata uang tembaga. Jadi tangannya sudah keliwat paham
menjamah uang tembaga.
Orang ke 2 yang mengambil, adalah Tan Keh Lok, siapapun dapat mengambil juga
Yong-Ceng-po. "Sekarang, Ku-jikolah!" kata Ciauw Cong.
Mendadak Kim Piauw hunus lak-houw-jah, dikibaskan dan berkata: "Sun-ti-po itu
sengaja dibikin supaya kita bertiga yang mengambil, ha, akalan busuk!"
"Itu se-mata 2 mengandalkan peruntungan masing-masing, bagaimana dikatakan akal
busuk?" menegas Ciauw Cong.
"Oho, mata uang itu milikmu, dan kau pulalah yang pertama mengambil. Siapa mau
perCaja kalau kau tak main gila memberi tanda pada mata uang itu?" sahut Kim Piauw
murka. Merah selebar muka Ciauw Cong karena geram. "Baik, ambil ah uangmu, kita pilih lagi!"
katanya kemudian.
"Tidak, kita masing-masing mengeluarkan sebuah mata uang. Jadi tak ada orang yang
bisa menCelakakan lainnya," bantah Kim Piauw.
"Baik! Kalau memang mati, biarlah! Seorang laki 2 mengapa begitu rewel!" ejek Ciauw
Cong. Masing-masing kini mengeluarkan sebuah Yong-Ceng-po, hanya Tan Keh Lok yang
kebetulan tak membawa uang. Maka katanya: "Aku tak membawa uang, Thio-toako,
pinjamilah uangmu itu. Aku tak kuatir kau main gila."
"Memang Tan-tangkeh berbeda dengan orang kebanyak sekalian. Nah, saudara-
saudara, disini telah ada 4 buah Yong-Ceng-po. Untuk Sun-ti-po, pakailah ini saja. Ku-lbji, kau setuju apa tidak?" demikian Ciauw Cong membikin panas hati orang.
"Siapa sudi pakai Sun-ti-po! Bukankah kau punya Yong-Ceng-po dari tembaga putih"
Yang empat lainnya, dari tembaga kuning. Nah siapa yang memilih tembaga putih,
dialah yang terpilih!" seru Kim Piauw dengan marah.
Sejenak merehung, tertawalah Ciauw Cong.
"Baiklah, nemua menurutkan kau seorang!. Memang kemungkinan besar, kaulah yang
akan jadi santapan serigala nanti!" ojeknya.
Sambil berkata, tangan Cauw Cong memnyat pelan-pelan tembaga putih itu sehingga
agak lekuk. Setelah itu lalu diCampur dengan 4 uang tembaga biasa.
"Kalau pilihan tidak d jatuh padamu atau aku, kita ber 2 masih ada lain penyelesaian lagi!" Kiem Piauw menantang.
"Dengan segala senang hati akan kupenuhi, sahabat!" sahut Ciauw Cong. Segera kelima
buah mata uang Yong Ceng-po itu dimasukkan kedalam kantong Haphaptai, dan
katanya: "Kalian bertiga yang ambil dulu, baru aku dan akhirnya Tan-tangkeh. Jadi tidak ada mulut usil lagi yang menuduh aku main gila!"
Pada pikiran Ciauw Cong, dari sisanya yang 2 buah itu, tentu dia akan dapat
mengambil yang tembaga kuning. Dan dia telah memperhitungkan, bahwa Tan Keh Lok
tak nanti mau rojokan siapa yang lebih dulu mengambilnya.
Ketiga Sam Mo menurut.
"Losu, ambil ah dulu!" It Loei minta pada Haphaptai, siapa sebaliknya minta Toakonya itu yang ambil lebih dahulu.
"Dulu atau belakangan, serupa!" Ciauw Cong menertawakan.
Melihat sikap orang she Thio yang tenang 2 saja menghadapi kematian, ketiga Sam Mo
itu malu hati. Segera Haphaptai ulurkan tangannya kedalam kantong.
Tiba-tiba kedengaran Ceng Tong berseru dalam bahasa Mongol: "Yangan ambil yang
lekuk!" Haphaptai melengak dan memang pertama-tama tangannya menjamah sebuah mata
uang yang agak lekuk. Buru-buru dia Cari lainnya, terus diambilnya keluar. Memang
benar, itu yang dari tembaga merah, bukan yang putih.
Kiranya diantara sekian suku bangsa didaerah Hwe, ada juga sekelompok suku Mongol.
Juga ketika Ceng Tong pe-Cahkan barisan Tiau Hwi, ia mempunyai beberapa kompi
anak orang Mongol. Karenanya, bisa jugalah nona itu berbahasa Mongol. Tadi dengan
matanya yang lihai, dapat ia ketahui perbuatan Ciauw Cong untuk memnyat matauang,
maka ia tak tega melihat Haphaptai sampai memilih keliru. Diantara Sam Mo itu, orang"
Mongol itulah yang paling lurus hatinya. Beberapa kali, ketika ditawan, Kiem Piauw
hendak mengganggunya, namun setiap kali Haphaptai selalu menentang. Dan kali ini
juga orang Mongol itulah yang membukakan tali ikatannya. Maka dengan peringatannya
itu. Ceng Tong bermaksud untuk membalas budi.
Giliran ke 2, jatuh pada Kiem Piauw. Haphaptai gunakan bahasa rahasia kaum hek-to
didaerah Liauwtang, untuk memperingatinya: "Yangan pegang, lingkaran berputar!"
Artinya: yangan ambil benda yang lekuk. Kiem Piauw dan It Lui mengawasi Ciauw Cong
dengan gusar. Tapi ke 2nya berhasil dapat mengambil yang tembaga merah.
Baik Tan Keh Lok maupun Ciauw Cong, sama mengunjuk keheranan. Bermula Ceng
Tong pakai bahasa Mongol, kemudian Haphaptai gunakan kata-kata rahasia. Sedikitpun
mereka tak tahu artinya. Tan Keh Lok memandang Ceng Tong.
"Yangan ambil uang yang lekuk!" Hiang Hiang mendahului berseru dalam bahasa Ui.
"Yang tembaga putih sudah dipenCet lekuk oleh bangsat itu!" Ceng Tong menjelaskan.
Diam- Keh Lok girang. Karena justeru itulah yang dinantikannya. Mereka bertiga
memang akan angkat kaki dari situ. Terang nanti, orang she Thio itu tentu mengambil
yang tembaga (merah). Dengan alasan undian itu, mereka tentu tak menghalangi
kepergian mereka bertiga.
"Ha, kalau nanti kau berada didalam perut serigala, yangan sesalkan aku", sebaliknya Ciauw Cong berpikir demikian. Dan tangannyapun segera akan diulurkan kekantong
Haphaptai. Pada saat itu Keh Lok perhatikan bagaimana sinar mata yang ber-apia dari Kim Piauw
itu diarahkan kepada Ceng Tong.
"Ah, kalau mereka berkeras tak mau lepaskan Cici-beradik itu ikut padaku, Celakalah!"
tiba-tiba dia berpikiran lain.
Tangan Ciauw Cong sudah masuk kedalam kantong, waktu tiba-* Keh Lok
meneriakinya: "Ambil ah yang lekuk, dan tinggalkanlah yang rata untukku!"
Ciauw Cong terkejut, tanpa merasa, tangannya ditarik keluar iagi.
"Apa yang lekuk, apa yang rata itu"!" tanyanya berlagak pilon.
"Dalam kantong itu masih ketinggalan 2 buah mata uang. Sebuah telah kau pijet
sampai lekuk. Aku maukan yang masih rata saja!" katanya sembari sebat sekali sang
tangan masuk kedalam kantong Haphaptai dan mengambil keluar sebuah uang tembaga
merah. Segera katanya pula dengan tertaw^: "Aha, kau gali lubang untuk kematianmu
sendiri. Sekarang yang tembaga putih itu, untukmulah!"
Wajah Ciauw Cong puCat lesi, seketika, diCabutlah pedangnya.
"Telah ditetapkan, aku dulu yang mengambil. Mengapa kau berani lanCang
mendahuluiku?" teriaknya murka.
UCapan itu ditutup dengan sebuah serangan dalam gerak "jun-hong-ho-liu," angin Chun
menghembus pohon liu, batang leher Keh Lok teranCam.
Sambil tundukkan kepala, Keh Lok ulur 2 buah jari tangan kanannya untuk menutuk
jalan darah "thian-ting-hiat" disebelah leher orang. Ciauw Cong tak mau menghindar,
begitu pedang ditarik balik terus dipapaskan kejari musuh. Tapi ketua HONG HWA HWE
itupun pantang menghindar. Sebat sekali, tangan dibalik untuk tangkiskan pedang
pendeknya keatas, "trangng........." pedang Ciauw Cong telah terbabat kutung,
membarengi itu Keh Lok terus jujukan ujung pokiamnya kemuka. Belum lagi ujungnya
tiba. Ciauw Cong sudah rasakan tiupan hawa dingin menyampok mukanya.
Namun Hwe-Chiu-poan-koan itu lihai sekali. Dalam kekalahan dia tetap berusaha
merebut kemenangan. Lima jari tangannya kiri maju menyukil sepasang mata lawan,
hebatnya bukan terkira, Tan Keh Lok sedikit ajalkan tusukannya, karena gerakkan
bahunya menyampok serangan musuh tadi. Dan sedikit kelambatan ini sudah Cukup
memberi kesempatan, pada Ciauw Cong untuk lonCat mundur tiga tindak.
Menyaksikan perkelahian yang berlangsung dalam gerakan yang serba Cepat itu, ketiga
Sam Mo maupun Ceng Tong kesima dan kagum.
Keh Lok kembali merangsek maju. Tapi Ciauw Cong telah mendahuluinya, ia lemparkan
kutungan pedangnya yang tinggal separoh itu kepada Ceng Tong. Dan ternyata tipu itu
telah memberi hasil yang diharapkan. Karena kuatir Ceng Tong yang masih lemah itu
tak dapat menghindar, buru-buru Tan Keh Lok melesat kemuka sinona. Sekali kibaskan
tangan, kutungan pedang Ciauw Cong itu, kena kesampok jatuh ketanah.
Tapi ternyata serangan Ciauw Cong itu adalah gerak siasat yang disebut "suaranya dari sebelah timur, tapi yang diserang sebelah barat." Setelah Keh Lok kena diakali untuk menolong Ceng Tong. Ciauw Cong melesat kesamping Hiang Hiang terus menangkap ke
2 tangan nona itu.
"Lekas keluar sana!" bentaknya sambil berpaling pada Keh Lok, siapa nampak kesima.
"Kalau kau tetap membangkang, nona ini segera akan kulempar pada serigala!" anCam
Ciauw Cong. AnCaman itu dibuktikan dengan mengangkat tubuh Hiang Hiang keatas. Sekali ayun,
nona itu pasti terlempar keluar.
Darah didada Keh Lok seakan-akan mendidih. Seketika ia kemekmek, tak tahu apa yang
harus dilakukan.
"Lekas naiki kudamu menobros keluar!" Ciauw Cong ulangi anCamannya.
Keh Lok Cukup kenal isi perut Ciauw Cong, Apa yang dikatakan tentu dikerjakan. Apa
boleh buat, kuda putih segera dituntun keluar.
Kembali tubuh Hiang Hiang diputar sekali oleh Ciauw Cong, seraya berkata: "Akan
kuhitung sampai tiga . Kalau kau tetap tak mau, akan kulempar tubuh nona ini. Nah,
satu...... 2........."
Belum lagi hitungan ketiga diserukan, tahu-tahu 2 ekor kuda meneryang keluar.
Kiranya, selagi mata semua orang ditujukan pada Tan Keh Lok dan Ciauw Cong, Ceng
Tong telah dapat menghampiri kuda, sembari memutar obor, terus mereka meneryang
keluar. Diantara jeritan kaget dari ketiga Sara Mo, Tan Keh Lok telah dapat menCengkeram
batang leher dari 2 ekor serigala yang saat itu lagi meneryang masuk. Sekali kaki Keh Lok menjepit perut kuda, binatang sakti itu bebenger keras lalu melonjak keatas. Dan membarengi itu, 2 ekor serigala tadi, ditimpukkan pada Ciauw Cong.
Kesima dengan kesaktian kuda putih itu, ditambah pula ditimpuk 2 ekor serigala, Ciauw Cong lepaskan Hiang Hiang untuk menghindar kesamping. Tan Keh Lok tak mau kasih
hati. Sepasang tang"annya saling susul-menyusul menawurkan biji Catur pada
musuhnya itu. Sedang bijis Catur itu masih me-layang 2, dia membongkok kebawah
untuk sambar pinggang Hiang Hiang keatas kuda. Dan ketika ujung kakinya
menCongkel perut kuda, binatang itu kembali membubung keatas terus lonCat keluar
dari lingkaran api itu.
Sementara itu Ciauw Cong kibaskan tangannya, seekor serigala terbalik jungkal, dan
sembari bongkokkan badan, dia memburu maju. Karena dalam keadaan gugup, biji
Catur Keh Lok tadi tak ada sebuahpun yang mengenai, dan sebagaian dapat dibikin
jatuh oleh Ciauw Cong.
Begitu dekat, tangan kiri Ciauw Cong segera membetot ekor kuda itu sekuat-kuatnya
supaya tertarik balik kedalam lingkaran lagi. Tapi ia menjadi kaget tidak kepalang bila ia sendiri rasakan seperti ditarik pergi sekeras-kerasnya, sehingga sempoyongan hampir
terseret keluar.
Ini disebabkan, pertama kakinya belum menginjak betul ditanah. Dan ke 2, ia salah
taksir akan tenaga kekuatan kuda putih yang sakti luar biasa itu.
Ketika kakinya terangkat, segera Ciauw Cong malah mau meneruskan dengan
berjumpalitan lonCat kepunggung kuda, untuk merampas Hiang Hiang kembali.
Tapi tiba-tiba dibelakang terasa ada angin mernyambar. Itulah sabetan pedang dari Tan Keh Lok, yang yakin kali itu tentu berhasil. Tapi tak disangkanya, jago Bu Tong Pai itu luar biasa uletnya. Tatkala ujung pedang hampir mengenai, ia jejakkan pula kakinya
keatas untuk berjumpalitan kebelakang. Dan begitu melayang kebawah sebelah kakinya
tepat menginjak diatas kepala seekor serigala. Belum lagi binatang itu sempat meronta, kaki Ciauw Cong telah dienjot lagi, melayang kembali kedalam lingkaran api.
Lepas dari serangan jagoan Bu Tong Pai itu, Tan Keh Lok Cepat keprak kudanya untuk
mengejar Ceng Tong yang sementara itu sudah jauh meneryang kedalam kepungan
serigala dengan memutar obornya.
Sebelum dapat menyusul, tak sedikit kesibukan Keh Lok menghadapi serangan
berpuluh-puluh 2 ekor serigala. Tapi berkat kesaktian pedang pusaka yang luar biasa
itu, semua serigala itu dapat disingkirkan. Ada yang terpotong tenggorok-annya, kutung kakinya dan putus tubuhnya. Keh Lok sampai heran sendiri, karena binatang 2 itu dapat dibunuhnya semudah orang membelah buah semangka dan mengiris sajuran.
Sekejab saja, ke 2nya dapat menobros keluar dari kepungan. Namun kawanan serigala
itu tak mau melepaskannya mentah 2 dan terus mengejarnya. Tapi lari ke 2 ekor kuda
itu lebih pesat, sebentar saja kawanan serigala itu sudah ketinggalan berpuluh-puluh 2 li dibelakang.
Memang, untuk menobros keluar dari kawanan serigala itu tidak sukar. Hanya saja
sukarlah kiranya untuk lolos betul-betul dari pengejaran binatang 2 yang menderita
kelaparan itu. Siang malam, mereka tak henti 2nya mengejar korbannya itu sehingga kalau tak
dapat bertahan, orang tentu kepayahan dan akhirnya jatuh menjadi mangsa mereka.
Tan Keh Lok bertiga lari.} kesebelah barat. Tapi didaerah situ, batu-batu pegunungan makin banyak sekali, jalanan makin berliku 2. Memang untuk menCapai punCak gunung
yang menjulang keatas itu, tak sedekat seperti pandangan sang mata. Kira-kira tengah malam, baru tampak punCak itu dengan jelas menjulang dihadapan.
"Menurut peta, kota itu didirikan disekeliling gunung itu yang nampaknya hanya 10an li jauhnya!" Ceng Tong mengeluh.
Mereka mengaso untuk memberi minum kudanya. Keh Lok meng-elus 2 bulu suri kuda
putih itu dengan rasa terima kasih yang tak terhingga. Kalau tiada bantuan kuda yang sakti itu, taruh kata dia dapat lolos, tapi Hiang Hiang pasti akan terampas oleh bangsat she Thio itu.
Beberapa saat kemudian, ke 2 kuda itu tampak segar lagi, tapi dalam pada itu lolong
serigala kembali terdengar.
"Mari!" seru Keh Lok seraya naik keatas kuda Ceng Tong.
Ceng Tong tahu maksud orang muda itu. Ia segera pondong adiknya untuk bersama
naik kuda putih tunggangan Keh Lok tadi. Kembali mereka teruskan perjalanannya
kearah barat. Malam itu CuaCa terang. Dewi malam penCarkan Cahajanya yang gilang gemilang.
PunCak gunung Pek-giok-nia itu tampak putih seperti salju.
"Ci, kukira dipunCak gunung tentu ditinggali oleh para dewa bukan?" kata Hiang Hiang sambil memandang kepunCak gunung.
Sebelah tangan Ceng Tong memegang kendali, sedang lain tangannya merangkul
adiknya. "Coba saja kita lihat nanti, entah dewa entah dewi," sahutnya dengan tertawa.
Tengah ber-Cakap 2 itu, bayangan dari gunung itu menimpali pada tubuh mereka.
Ketiganya mendongak, sama memandang dengan penuh kekaguman. Sekalipun dekat
nampaknya, namun untuk menCapai kekakinya saja bukan perjalanan yang mudah,


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena disitu terdapat banyak sekali bukit 2 dan tanjakan yang Curam. Keadaannya
jauh berbeda dengan padang pasir yang luas bebas.
Disitu terdapat banyak sekali sekali jalanan 2 gunung yang sukar didaki. Dan yang
paling memusingkan, entah jalanan mana yang dapat menuju keatas. punCaknya.
"Dengan adanya sekian bjtnyak jalanan ini, pantas kalau banyak sekali orang yang
tersesat," kata Keh Lok.
"Menurut peta ini," kata Ceng Tong sembari membuka pula peta, "jalanan kekota kuno
itu adalah "kiri-tiga-kanan- 2"."
"Apa artinya itu?" tanya Keh Lok.
"Disini tak diberi keterangan apa-apa,?" sahut sigadis.
Saat itu, suara lolong serigala makin riuh, seperti menjadi kalap.
"Hai, mengapa pinatang itu begitu Cepat larinya", Keh Lok terkejut.
Sesaat lagi, alun lolong? serigala itu kedengaran menyedihkan, sehingga mereka bertiga terCekat hatinya.
"Mereka melolong sedemikian sedih, karena apa?" tanya Hiang Hiang.
"Ha, mungkin karena perutnya merintih," "tertawa Keh Lok.
"Sekarang tepat tengah malam, mereka berhenti karena akan melolong pada rembulan.
Begitu lolong itu sirap, mereka tentu mengejar lagi. Ayo, kita lekas Cari jalan kedalam gunung," menerangkan Ceng Tong.
Disebelah kiri ini ada 5 buah jalanan. Kalau didalam peta tadi disebut "kiri tiga, kanan 2," kita ambil saja jalanan yang nomor tiga ini," kata Keh Lok.
"Kalau sampai jalanan itu buntu, mungkin kita tak sempat balik kemari," kata Ceng
Tong. "Kalau begitu, kita bertiga mati bersama," sahut Keh Lok.
"Ya, Cici, mari kita jalan."
Jalanan nomor tiga itu ternyata makin kemuka makin sempit. Pada ke 2 tepinya, adalah batu-batu pegunungan yang ber-jajar 2 merupakan dinding. Terang kalau dibuat oleh
manusia. Tak berapa lama, disebelah kanan kembali tertampak tiga buah jalanan.
"Kita ketolongan!" seru Ceng Tong kegirangan.
Mereka keprak kudanya untuk mengambil jurusan nomor 2. Ternyata disitu merupakan
jalanan yang jarang didatangi orang. Ada sebagian tempat, penuh ditumbuhi rumput
setinggi orang, ada pula sebagian yang seluruhnya tertutup pasir". Untuk melalui itu, terpaksa mereka turun dan menuntun kudanya.
Kira-kira lima-enam li lagi, disebelah kiri kembali kelihatan tiga buah simpang jalan.
Tiba-tiba kedengaran Hiang Hiang menjerit keras. Kiranya dimulut jalan itu, terdapat setumpuk tulang belulang. Tan Keh Lok buru-buru memeriksanya dan dapatkan bahwa
tulang belulang itu berasal dari seorang manusia dan seekor onta.
"Dia tentu tersesat tak dapat keluar dari sini," katanya.
Kali ini mereka mengambil persimpangan nomor tiga . Jalanan itu terbentang panyang.
Sedang hawapun terasa makin dingin. Tiba-tiba ditepi jalan, kembali ada setumpuk
tulang putih yang di-sela 2nya tampak berkilau 2. Kiranya disitu terdapat banyak sekali batu mustika yang berharga.
"Orang itu beruntung mendapatkan banyak sekali sekali barang berharga, tapi
Celakalah, dia tak dapat keluar," kata Ceng Tong.
"Yang kita ambil adalah jalanan yang benar, tapi disana sini masih terdapat tulang
rerangka. Apalagi pada jalanan yang keliru, tentu penuh berserakan tulang 2 semacam
itu," kata Keh Lok pula.
"Nanti kalau keluar, kita yangan membawa barang-barang berharga itu," ujar Hiang
Hiang. "O, kau takut pada penunggunya bukan?" Keh Lok menggoda. Namun dia terpaksa
mengiakan ketika Hiang Hiang memintanya lagi.
Setelah malam mereka berjalan dnyalan yang ber-liku 2 itu. Menjelang fajar, ketiga
orang dan ke 2 ekor kuda itu nampak kepayahan. Ceng Tong mengajak mengaso. Tapi
Keh Lok usul, nanti saja kalau sudah ketemukan rumah.
Tak berapa lama, mereka tiba pada sebuah tanah lapang. Sinar matahari pagi terang
benderang kelihatannya. Sebuah punCak gunung yang putih warnanya, menonjol
kelangit. Disebelah mukanya, penuh dengan deretan perumahan. Se
kalipun rumah 2 disitu kelihatan rusak karena tak terawat, namun bangunannya mewah
dan besar. Merupakan bekas kota yang dahulunya sangat indah megah. Anehnya, dari
situ tak kedengaran suatu suarapun. Ja, sampai suara seekor burungpun tak ada.
Seumur hidup, baru pertama ini mereka melihat pemandangan yang sedemikian
seramnya, hingga tanpa terasa, mereka tak berani bernapas keras-keras. Setiba disitu, adalah Keh Lok yang pertama masuk kedalam kota.
Tempat itu kering, tiada tumbuh 2an yang hidup. Alat perkakas dalam rumah itu, masih utuh, sekalipun entah sudah berapa lama usianya. Mereka bertiga masuk kedalam
sebuah rumah yang terdekat. Dimana ruangannya Hiang Hiang melihat sepasang
sepatu wanita bersulamkan bunga, yang nampaknya masih segar. Karena ketarik,
didekati dan disentuhnya, tapi bunga itu segera hanCur berobah menjadi abu. Bukan
main terkejutnya Hiang Hiang.
"Sekalipun hujan angin tak dapat merembes masuk kemari, tapi bahwa segala benda itu
masih tetap utuh dalam usianya beribu tahun, sungguh ajaib sekali," kata Keh Lok.
Kini mereka menyusur disepanyang jalan. Ditepi jalan banyak sekali berserakan tulang belulang, golok, tombak dan lain-lain alat perang.
"Menurut yang kalian Ceritakan tadi, kota ini teruruk oleh badai pasir. Tapi menurut keadaannya, tidak begitu," kata Keh Lok.
"Ya, benar. Tiada tampak bekas urukan pasir, tapi mirip dengan suasana sehabis perang besar. Seluruh penduduk dikota ini, habis terbinasa," kata Ceng Tong.
"Pada sebelah luar dari kota ini, dibuat ratusan jalanan yang menyesatkan. Siapa saja mudah tersesat. Entah bagaimana musuh bisa masuk kemari," bantah Hiang Hiang.
"Ah, tentu ada penghianatan," sahut Ceng Tong.
Masuk kedalam sebuah rumah, ia beber petanya diatas sebuah meja, akan diperiksanya
lagi. Tapi begitu tersentuh, meja itu roboh hanCur karena sudah lapuk.
"Rumah 2 disini sudah lapuk semua. Kendati rumah batu. tapi dikuatirkan tentu akan
roboh diteryang kawanan serigala itu," kata Ceng Tong sambil pungut peta itu. "Ini
pusat kota, sekian banyak sekali tanda-tanda ini, kebanyak sekalian adalah tempat 2
penting. Bangunannya kebanyak sekalian pun kokoh 2. Lebih baik kita kesana," katanya pula.
Dengan menurutkan petunjuk pada peta itu, mereka berjalan lagi Jalanan dalam kota
kuno itu, juga ber-biluk 2, hampir merupakan dalam istana rahasia. Sehingga tanpa
peta, mereka pasti akan tersesat.
Kira-kira setengah jam, sampailah mereka ketengah kota. sebagaimana diunjuk oleh
pertandaan dalam peta. Ketika diperhatikan, ketiganya mendelu putus asa. Karena itu
adalah kaki dari Giok-nia (punCak putih seperti batu giok warnanya). Sekali-kali tiada istana apa-apa.
Dilihat dari dekat, punCak Giok-nia luar biasa bagusnya. Seluruhnya tertutup salju putih dan bening Cahajanya. Kalau ada orang menemu segumpal batu giok, seumur hidupnya pasti tak habis dimakan. Tetapi siapa nyana, disitu terdapat gunung batu giok yang tak terhitung banyak sekalinya.
"Kawanan serigala! Adakah mereka juga punya peta" Heran!" tiba-tiba Hiang Hiang
berteriak demi didengarnya lolong serigala dari kejauhan.
"Hidung mereka merupakan peta, karena mereka dapat membaui jejak kita,"
menerangkan Keh Lok.
"Ha, tubuhmu mengeluarkan bau harum. Dengan itulah mereka dapat membaui untuk
mengejar kita," Ceng Tong menggoda adiknya. Tiba-tiba tangannya menunjuk pada
peta, katanya kepada Tan Keh Lok. "Lihatlah ini! Terang sebuah punCak gunung,
mengapa banyak sekali diCorat-Coret dengan sekian banyak sekali jalanan 2".
Tan Keh Lokpun ikut memeriksa." "Apakah punCak itu kosong dan boleh dimasuki?"
tanyanya. "Kalau tidak begitu, apa lagi......... Sekarang, bagaimana kita dapat memasukinya?"
tanya Ceng Tong.
Diperiksanya peta itu sekali lagi dengan Cermat, lalu dibacanya dalam bahasa Han:
"Kalau akan masuk kedalam keraton, boleh memanjat keatas punCak puhun, berseru
tiga kali kepada dewa penunggu: "Ay-liong-bing-pat-seng!"
"Huh, apa artinya itu?" kata Hiang Hiang. . "Mungkin suatu tanda rahasia. Tapi mana
disini ada puhun?" balas bertanya Ceng Tong. Sementara itu, lolong serigala makin
dekat. Akhirnya berkatalah ia: "Ayo, kita tak boleh berajal, lekas masuk kedalam
rumah!" Mereka bergegas-gegas lari kedalam sebuah rumah yang terdekat. Baru saja kaki Keh
Lok melangkah 2 tindak, tiba-tiba dilihatnya dibawah situ terdapat sebuah benda yang menonjol, buru-buru ia membongkok memeriksanya.
"Hola, ada sebuah puhun besar disini!" serunya.
"Benarlah, puhunnya sudah roboh, tinggal akarnya yang besar!" kata Hiang Hiang
menghampiri. "Panjatlah kepunCak puhun itu, berserulah dan keratin itu tentu terbuka............ Kalau begitu, keraton itu pasti
berada didalam punCak gunung. Adakah kata-kata itu merupakan kunCi-pembuka,
mungkinkah segala doa dan jampe itu ada?" tanya Ceng Tong.
Hiang Hiang memastikannya, karena ia paling perCaja akan adanya roh 2 dewa.
Sebaliknya Tan Keh Lok menerangkan, bahwa tentu didalam keraton itu ada orangnya,
begitu mendengar tanda-rahasia itu, mereka tentu segera membukainya.
"Masa setelah berabad 2 lamanya, orang itu masih hidup," bantah Hiang Hiang. Ia
mendongak keatas untuk melihatnya. Tiba-tiba ia berseru: "Mungkin pintu goa itu disini, lihatlah, diatas itu bukankah ada bekas tapak kaki orang?"
Keh Lok dan Ceng Tongpun segera dapat melihatnya. Mereka girang.
Keh Lok membekal pedang pusakanya tadi, terus merajap keatas tembok untuk
memeriksanya. Beberapa tombak lagi, berhasil ah dia sampai ditempat bekas tapak kaki itu. Ceng Tong dan Hiang Hiang bersorak kegirangan.
Keh Lok melambai tangannya, lalu mulai memeriksa dinding punCak itu. Bekas 2 tanda
pintu gua, tampak dengan jelas. Hanya karena saking lamanya, gua itu terpendam
pasir. Sembari memegangi tonjolan pada dinding punCak, dia pakai pedang untuk
membersihkan pasir 2 itu. Pecahan batu-batu giok disebelah gua, diCukil dan
dilemparkan kebawah. Tak berapa lama, pekerjaan itu telah menghasilkan sebuah
lubang yang Cukup dimasuki orang. Segera Keh Lok masuk kedalam, diambilnya Cu-
soh, lalu di-sambung 2 untuk diturunkan kebawah.
Pertama kali, Ceng Tong ikat adiknya yang terus diangkat naik oleh Tan Keh Lok.
Hampir tiba dimulut gua, mendadak Hiang Hiang menjerit keras. Buru-buru Keh Lok
sambar tubuhnya untuk diangkat naik.
"Yangan takut!" hibur sipemuda.
"Serigala!" kembali Hiang Hiang berteriak, wajahnya puCat.
Ketika Keh Lok melongok kebawah, dilihatnya Ceng Tong sudah bertempur dengan 7
ekor serigala. Kuda putih meringkik nyaring, menCongklang ber-putar 2 ditengah
ruangan rumah itu.
Tan Keh Lok menjemput beberapa butir batu giok, terus di-timpuk 2kan pada kawanan
serigala itu. Setelah binatang 2 itu lari, Cu-soh diturunkannya. Ceng Tong masih kuatir tenaganya belum Cukup kuat untuk memanjat Cu-soh, maka pedang dipindah ketangan
kiri, sedang dengan tangan kanan tali Cu-soh itu di katkannya pada pinggang.
"Tariklah!" serunya.
Sekali tarik, tubuh Ceng Tong melambung keatas. Pada saat itu, 2 ekor serigala
melonCat. Cepat Ceng Tong ayun pedang, seekor serigala dapat ditusuk jatuh. Tapi
yang seekor lagi, telah berhasil menggigit sepatu Ceng Tong.
Lekas-lekas Ceng Tong meronta kuat 2, begitu serigala itu ikut terangkat naik, segera dibabatnya hingga kutung menjadi 2. Namun separoh tubuh bagian muka dari binatang
itu, masih tetap tak mau melepaskan gigitannya dan ikut terangkat naik. Tan Keh Lok
berusaha membuka gigitan serigala itu, tapi sia-sia.
"Terluka?" tanyanya.
"Untung tidak berat!" sahut Ceng Tong sembari meminjam pedang pusaka, lalu
ditabaskan kemonCong serigala. Dua larik gigi tampak menjepit sepatunya, ada sedikit darah mengalir keluar.
"Ci, kakimu terluka!" seru Hiang Hiang sambil bantu membuka sepatu dan membalut
lukanya. Tan Keh Lok melengos. Tak berani dia memandang kaki Ceng Tong yang telanyang itu.
Habis membalut, Hiang Hiang me-maki-maki kawanan serigala itu. Tan Keh Lok dan
Ceng Tong hanya ganda tertawa saja mendengarnya. Dalam gua itu ternyata gelap
gulita. Ceng Tong mengambil geretan api untuk menyuluhi. Ia melengak, karena tempat
itu tingginya tidak kurang 7 atau delapan belas tombak dari tanah dibawah sana.
"Gua ini lama sekali tak kemasukan angin, hawanya tentu jahat, tak boleh buru-buru
dimasuki." kata Ceng Tong.
Setelah lewat beberapa lama, Keh Lok menyatakan biar dia saja yang akan
memasukinya lebih dulu.
Hendak Ceng Tong menCegahnya, tapi Keh Lok berkeras. Segera Cu-soh di katkan pada
sebuah batu, lalu ia melorot turun. Sampai diujung Cu-soh, ternyata masih ada kira-kira 10 tombak untuk menCapai tanah. Terpaksa ia lepaskan genggamannya, untuk
melayang turun.
Tanah dibawah situ, Cukup keras. Hendak ia gunakan geretan api untuk menyuluhi, tapi ternyata sudah habis. Dia kaoki Ceng Tong supaya memberi geretan api. Diantara
Cahaja api itu, tampak olehnya bagaimana empat penjuru dinding tempat itu terbuat
dari batu giok putih yang gemilang. Disitu pun terdapat beberapa meja dan kursi.
Dirabanya meja itu, ternyata masih kokoh. Ini disebabkan karena tertutup rapat, gua itu tak kemasukan hawa dari luar. Dipotongnya sebuah kaki meja, dibakar untuk digunakan
sebagai obor. Setelah itu dia teriaki ke 2 Cici-beradik itu supaya turun.
Lebih dulu Ceng Tong suruh adiknya turun. Ketika akan melunCur kebawah, Hiang
Hiang meramkan mata dan tahu-tahu ia rasakan sepasang tangan yang kuat merajjgkul
tubuhnya dan terus diletakkan ditanah. Setelah itu, lalu Ceng Tong.
Ketika Keh Lok menyanggapi dan memeluk tubuh sigadis harum itu, merah padamlah
selebar mukanya.
Pada saat itu, lolong serigala sudah hampir tak kedengaran lagi Pada keempat penjuru dinding batu giok itu, Keh Lok dapat melihat bayangannya sendiri didampingi oleh ke 2
nona yang Cantik jelita. Hati pemuda ini diliputi 2 macam perasaan, bahagia dan
Cemas. Dengan membekal beberapa potong kaki kursi lagi, Keh Lok ajak ke 2 nona itu masuk
kedalam sebuah lorong yang panyang. Sampai diujung lorong, kelihatan ada setumpuk
benda mengkilap seperti emas. Kiranya itu adalah seprangkat pakaian perang yang
terbuat dari emas. Dibawahnya, ada seonggok tulang manusia.
"Semasa hidupnya, orang ini tentu seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi," kata
Hiang Hiang. Ceng Tong lihat pada dada rerongkong orang itu, ada sebuah perisai-dada yang terukir lukisan onta terbang.
"Mungkin dia seorang raja atau putera raja. Menurut Cerita, pada jaman dahulu itu
hanya raja 2lah yang berhak mengenakan ienCana "onta terbang"," katanya.
"Ah, seperti orang Tionggoan dengan IenCana "liong"nya," seia Keh Tok.
Dipinjamnya obor dari Hiang Hiang untuk menyuluhi kalau 2 ada pintu atau pesawat
rahasianya. Benar juga, diatas "kim-kah" (pakaian perang dari emas) itu ada sebatang kampak panyang, juga terbuat dari emas, yang tertanCap pada putaran sebuah pintu.
"Pintu!" seru Ceng Tong kegirangan.
Obor diberikan pada Ceng Tong, dan Keh Lok lalu Coba menCabut kampak itu. Tapi
ternyata kampak itu tertanCap mati pada daun pintu besi yang sudah karatan. Sia-
siasaja dia kerahkan seluruh tenaganya. Lebih dulu dikoreknya karatan itu, lalu diCoba pula untuk menCabut kampak itu, namun masih lak berhasil.
"Kalau kampak emas ini benar senjatanya, nyata tenaga raja itu besar luar biasa sekali,"
katanya. Pintu batu itu, dikanan kirinya masih ada 4 buah gerendelnya, yang masing-masing
di kat dengan rantai. Rantai diangkat dan grendelnya ditarik, tapi tidak berkutik.
DiCobanya lagi mendorong daun pintu itu sekuat-kuatnya, dan akhirnya jerih payahnya
itu berhasil. Pintu itu berkerotakan, pelahan-lahan terbuka. Kiranya pintu batu itu
tebalnya diantara satu kaki, terbuat dari batu karang.
Dengan obor ditangan kanan dan pedang ditangan kiri, Keh Lok melangkah masuk.
Serentak dia dikagetkan oleh suara benda retak dibawah kakinya. Itu ternyata seonggok tulang 2. Obor disuluhkan kesegala sudut, nyata ia tengah berada disebuah lorong yang hanya tiba Cukup dilalui seorang saja. Disekelilingnya, rerongkong tengkorak
berserakan. Ceng Tong pinjam obor dari pemuda itu untuk menyuluhi beiakang pintu. "Lihat!"
?erunya tiba-tiba.
Dibelakang daun pintu batu itu penuh guratan dan bekas baCokan goiok.
"Orang-orang ini memang dijebloskan disini oleh raja. Mereka rupanya menCoba akan
keluar, tapi pintu batu dan dinding batu giok itu tak dapat ditembus," kata Keh Lok.
"Sekalipun mereka punya berpuluh golok, tak nanti dapat membobol pintu semacam
ini," sahut Ceng Tong.
"Dan akhirnya satu demi satu mereka binasa."
"Sudah, sudahlah!" buru-buru Hiang Hiang menCegah karena tak tahan mendengari,
rupanya ia menjadi ngeri.
"Tapi anehnya, mengapa raja itu tetap menunggu diluar pintu dan bersama-sama
binasa dengan mereka?" Ceng Tong ajukan persoalan, seraya mengeluarkan peta.
"Disini tertulis: Pada ujung lorong itu, dimukanya adalah istana."
Segera mereka terus berjalan, melalui onggok 2 tulang rerongkong dan setelah 2 kali membiluk, benar juga mereka sampai kesebuah ruangan besar. Disitupun penuh
dengan rerongkong manusia, senjatanya berserakan ditanah, seperti habis terjadi
pertempuran besar.
"Ah, mengapa harus berkelahi, hidup damai dan senang bukankah lebih berbahagia?"
kembali Hiang Hiang utarakan perasaannya.
Masuk kepaseban itu, tiba-tiba Tan Keh Lok rasakan pedangnya seperti dibetot oleh
suatu tenaga yang kuat, hingga terlepas dan jatuh ketanah. Juga pedang Ceng Tong
seperti berontak dari sarungnya, terus memberosot jatuh.
Kaget mereka dibuatnya. Ketika Ceng Tong membongkok kebawah untuk
memungutnya, mendadak berpuluh-puluh 2 thi-lian-Cu (piauw yang berbentuk seperti
biji teratai) keluar dari kantong berhamburan ketanah.
Makin terkejut ketiganya. Keh Lok dan Ceng Tong adalah ahli silat, tanpa merasa,
mereka lonCat mundur dan serentak bersiap. Hiang Hiang dnyambretnya supaya berada
dibelakang Tan Keh Lok. Tapi sampai beberapa saat, keadaan masih sunyi saja.
"Kami bertiga melarikan diri dari kejaran serigala, sedikitpun tak mengandung maksud jelek. Apabila ada kesalahan, mohon dimaafkan," seru Keh Lok dalam bahasa Ui.
Tapi sampai sekian lamanya tiada jawaban apa-apa.
"Silakan tuan rumah suka nampakkan diri, agar kami bisa menghadap," kembali Keh Lok
berseru. Dari arah belakang paseban terdengar suara gemuruh. Bukan jawaban, melainkan
kumandang. Ceng Tong agak tenang, lalu menghampiri untuk memungut pedangnya. Tapi ternyata
senjata itu seperti melekat ditanah, sekalipun ditarik sekuat-kuatnya, begitu tangan agak kendor, tentu kembali jatuh tersedot ditanah lagi.
"Ha, gunung ini tanahnya mengandung magnit," seru Keh Lok.
"Apa itu gunung magnit"!" tanya Ceng Tong.
"Semasa kecil pernah kudengar orang-orang yang pernah mengraungi lautan, diujung
utara dunia ada sebuah gunung magnit dapat menyedot semua besi yang digantung
diatas tentu menjurus keutara. Untuk pelajaran, digunakannya kompas, yang jarumnya
selalu menjurus keselatan. Itulah karena adanya gunung magnit tersebut,"
menerangkan Keh Tok.
"Jadi artinya, karena didasar tempat ini terdapat sebuah bukit magnit, maka senjata kita kena tersedot?" Ceng Tong menegaskan.
Tan Keh Lok mengiakan dan mengambil pokiam dan sebuah kaki kursi. Ke 2 benda itu
digenggamnya. Begitu genggaman itu dibuka, maka pokiam lalu melayang jatuh,
sedang kaki kursi tetap tak bergerak.
"Lihatlah betapa besar tenaga penarik bukit magnit ini!"
"Lekas, kemarilah!" tiba-tiba kedengaran Ceng Tong berteriak.
Ketika Keh Lok menghampiri, dilihatnya Ceng Tong menunjuk pada sebuah rerongkong.
Pakaian dan dagingnya hanCur, tapi rerangkanya masih utuh, tangan kanannya
memegang sebuah pedang yang berwarna putih, seperti sedang menusuk lain rerangka,
yang rupanya akan dibunuhnya.
"Inilah sebilah giok-kiam (pedang pualam)," Ceng Tong berteriak.
Keh Lok menCabutnya pelan-pelan , namun begitu tergoyang, rerangka itu segera


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguruk jatuh menjadi tumpukan tulang.
Pedang dari batu giok (giok kiam) itu sangat tajam, tak kalah dengan pedang biasa.
Namun kalau diadu dengan logam, terang tentu rusak.
Sedang Tan Keh Lok tengah terbenam dalam keheranan, adalah Ceng Tong dan Hiang
Hiang telah menemukan banyak sekali sekali macam 2 alat- senjata yang terbuat dari
giok. Hanya saclja bentuknya agak berlainan dengan senjata 2 yang biasa digunakan
oleh orang-orang biasa. Kembali Tan Keh Lok men-duga- akan kegunaan senjata 2 itu.
"Aku tahu!" sekonyong-konyong Ceng Tong berseru. "Pemilik gunung ini entah karena
apa, telah mengadakan penjagaan yang sedemikian rapihnya!"
"Apa?" lanya Keh Lok.
"Dengan andalkan kesaktian gunung magnit ini, musuh dapat tersedot senjatanya,
setelah itu, orang sebawahannya diperintahkan pakai senjata dari giok untuk
membunuhnya," menerangkan Ceng Tong.
"Ya, lihatlah ini! Musuh 2 itu memakai thiat-kah, jadi tambah mudah kesedot, sampai
untuk merajap bangun mereka, tak mampu," kata Hiang Hiang. Kata-katanya ini
diulangkannya kepada sang Cici. ketika Cici itu masih tak menyahut.
"Masih menjadi pikiranku, mengapa orang-orang yang memegang senjata giok itupun
juga ikut mati disamping korbannya?" tanya Ceng Tong.
Hiang Hiang tak dapat menyahut, juga tidak Tan Keh Lok. Sampai disitu, Ceng Tong
mengajak memeriksa kebelakang.
"Yangan!" seru Hiang Hiang.
Ceng Tong bermula melengak, tapi akhirnya dia menghibur sang adik supaya yangan
takut. Dibelakang paseban besar itu, terdapat sebuah paseban yang agak kecil. Suasana disitu lebih menyeramkan. Berpuluh-puluh rerongkong memenuhi ruangan. Kebanyak sekalian
dalam sikap seperti orang berdiri. Ada yang memegang senjata, ada yang tangan
kosong. "Yangan sampai menyentuh! Cara kematian mereka itu, mungkin terdapat sesuatu
rahasia," Keh Lok memperingatkan.
"Dilihat sikapnya, mereka seperti saling berhantam dengan sengit!" kata Ceng Tong.
"Ya, memang begitulah kalau 2 jago yang sama tang-guhnya saling berhantam, tentu
nekad mati bersama-sama. Tapi sekian banyak sekali orang berlaku seperti itu, sungguh sukar dimengerti," jawab Keh Lok.
Masuk kesebelah dalam lagi, mereka membiluk pada sebuah tikungan, dibukanya
sebuah pintu. Tiba-tiba tampak sinar terang" benderang menyorot masuk dari tempat
berpuluh-puluh 2 tombak tingginya. Ternyata disitu merupakan sebuah ruangan batu,
yang sengaja dibuat di-tengah-tengah gunung Gok-nia-san itu.
Sinar matahari itu tidak langsung menyorot kebawah, karena lobang 2 diatas ruangan
itu, ada 2 buah lekukan, sehingga dari bawah, orang tak dapat langsung melihat pada langit diatasnya.
Dalam ruangan batu itu terdapat tempat tidur, meja. kursi yang kesemuanya dibuat dari bahan batu giok dengan diukir luar biasa indahnya. Diatas pembaringan itu, membujur
sebuah rerongkong. Pada salah satu ujung kamar itu, ada 2 buah rerongkong, satu
besar, lainnya kecil. Kepala rerongkong besar itu terbelah menjadi 2.
Sampai beberapa jurus Tan Keh Lok bertiga memandangnya. Pada lain saat, obor
segera ditiup padam, dan ke 2 anak perempuan itu diajaknya mengaso disitu sambil
menikmati roti kering dan minum air.
"Kawanan serigala itu entah masih tetap menunggui kita diluar entah tidak. Tapi biar bagaimana, lebih baik kita berhemat dengan air dan makanan," kata Ceng Tong.
Karena beberapa hari ini, mereka hampir tak dapat tidur pulas barang sejenak, maka
pada saat itu, rasa kantuk menCengkeram mata, dan sebentar kemudian ketiganya
jatuh pulas. Kini balik menengok pada Ciauw Cong dan ketiga Sam Mo tadi. Sekalipun hati mereka
merasa sayang akan kaburnya ke 2 gadis Ui yang Cantik itu, namun sedikitnya mereka
merasa Syukur karena pada saat itu diri mereka sudah terhindar dari kepungan
kawanan serigala yang waktu itu semua sama lari mengejar pada Tan Keh Lok bertiga.
Untuk mengisi sang perut, diambilnya beberapa ekor serigala yang sudah binasa tadi,
dibakar dan dimakannya. Waktu itu bahan bakar sudah hampir habis. Rupanya It Lui
merasa ogah 2an untuk menCari dahan kayu. Diambilnya kotoran serigala saja untuk
dimasukkan kedalam api. Dalam sekejap saja, membubunglah segumpal asap besar
keudara. Jilid 35 TENGAH memakan daging serigala itu, tiba-tiba dari arah timur kelihatan debu
mengepul. Mengira kalau itu kawanan serigala yang datang kembali, keempat orang itu
tersipu-sipumenCari kudanya. Kuda ternyata hanya 2 ekor, jalah yang dibawa oleh Sam Mo tadi. Ketika Ciauw Cong menyambuti tali kendali dari salah seekor kuda,
Haphaptaipun melesat tiba dan menjambret tali itu, bentaknya: "Kau mau berbuat apa?"
Ingin Ciauw Cong ayunkan kepelannya, tapi batal karena dilihatnya It Lui dan Kiem
Piauw menghampiri maju dengan membolang-balingkan senjatanya. Ciauw Cong kini
tak punya senjata lagi, karena pedangnya tadi sudah dibabat kutung oleh pokiam Tan
Keh Lok. Dalam saat-saat yang mendesak, timbul ah pikirannya, dia berseru. "Hai,
mengapa gugup, itu bukan serigala!"
Ketika Sam Mo berpaling, dan melonCatlah Ciauw Cong keatas pelana. Sekali pandang,
tahulah dia bahwa rombongan yang mendatangi itu bukan kawanan serigala melainkan
kelompok besar dari Kambing-kambing. Sebenarnya, tadi dia akan menipu ketiga Sam
Mo itu, siapa tahu, kata-kata yang diuCapkan seCara sembarangan tadi, ternyata benar adanya.
Tanpa sangsi 2, dia keprak kudanya menuju arah gerombolan itu.
"Biar kulihatnya dulu!" serunya.
Kira-kira satu li jauhnya, seorang penunggang kuda mendatangi dengan kenCangnya.
Sekali tarik, penunggang itu dapat memberhentikan tunggangannya. Diam-diam Ciauw
Cong memuji akan kepandaian menunggang kuda dari orang tersebut. yang ternyata
seorang tua dengan pakaian warna kelabu. Melihat Ciauw Cong berpakaian seperti
pembesar militer Ceng, orang itu menegur dalam bahasa Han: "Kawanan serigala itu
menuju kemana?"
Ciauw Cong menunjuk kebarat. Saat itu, rombongan kambing dan onta sudah
mendatangi. Dibelakangnya tampak seorang tua mukanya merah dan kepalanya pelontos serta
seorang wanita tua. Kambing-kambing itu sama mengembik ramai sekali. Hendak Ciauw
Cong menegur, tapi ketiga Sam Mo tadi sudah maju menghampiri sambil menuntun
kudanya. Demi melihat siorang tua, bergegas-gegas ketiga orang itu menjalankan
penghormatan. "Ha, kembali kita berjumpa, kiranya kau orang tua baik-baik sajakah?" sapa Sam Mo.
"Hm, tidak apa-apa," sahut siorang tua pakaian kelabu itu, yang bukan lain adalah
Thian-ti-koay-hiap Wan Su Siau.
Kiranya sehabis tinggalkan Tan Keh Lok dan Hiang Hiang, Thian-san Siang Eng buru-
buru kembali menengok bagaimana nona itu sedang menderita sakit. Dua hari dalam
perjalanan, bertemulah ke 2 suami isteri itu dengan Thian-ti-koay-hiap.
Untuk tidak menyakiti hati sang isteri yang diCintainya itu, Tan Ceng Tik sengaja berlaku baik terhadap Thian-ti-koayhiap, bekas saingannya dalam perCintaan itu. Sudah tentu
Koayhiap merasa heran melihat perubahan sikap dari Ceng Tik itu, apalagi tampak juga Kwan Bing Bwee hanya tersenyum simpul saja.
"Wan-toako, untuk apakah kau giring onta dan Kambing-kambing ini?" tanya Ceng Tik.
"Kau telah bikin aku rudin", sahut Koayhiap dengan mata meiotot.
"Ha, apa?" tanya Ceng Tik.
"Tempo hari telah kubeli sejumlah besar onta dan kambing, agar kawanan serigala
pengganggu itu dapat masuk perangkap. Tak tahunya.................."
"Kalau begitu, jadi kebaikan dari seorang tua seperti aku ini, telah merusakkan usahamu yang besar itu", Ceng Tik memotong pembiCaraan orang.
"Apa tidak begitu" Tapi apa dayaku" Terpaksa kukumpulkan uang lagi untuk
membelinya!" sahut Koayhiap.
"Ha, Wan-toako telah rugi berapa, nanti aku yang menggantinya", kata Ceng Tik
tertawa. Sejak sang isteri menunjukkan sikap mencinta, Ceng Tik telah robah sikap garangnnya
seperti yang sudah 2. Dia bertekad akan merebut kasih sang isteri. Karena itulah maka dia bersikap luar biasa baiknya terhadap Koayhiap.
"Siapa kesudian terima uangmu!" sahut Koayhiap.
"Nah, kalau begitu, kita tebus dengan tenaga! Kita akan dengar perintahmu untuk
bersama-sama Cari kawanan serigala itu, bagaimana?"
Mata Koayhiap melirik pada Kwan Bing Bwe, siapa kelihatan tersenyum sambil
mengangguk. "Baiklah!" akhirnya Koayhiap menerima.
Demikian mereka bertiga dengan menggiring rombongan onta dan kambing itu,
berusaha untuk menCari jejak kawanan serigala. Pada hari itu karena menampak ada
long-yan (asap dari kotoran serigala), menduga kalau disitu kawanan serigala sedang
mengepung orang, buru-buru mereka menghampiri. Tidak tahunya, disitu mereka
berjumpa dengan Ciauw Cong dan Sam Mo.
Ciauw Cong belum mengenal siapa ketiga orang tua yang luar biasa itu, tapi demi
melihat sikap Sam Mo yang begitu menghormat sekali, tahulah dia bahwa mereka tentu
bukan sembarang orang.
Setelah memeriksa sebentar tempat itu, berkatalah Thian-ti-koayhiap: "Kita akan
menangkap kawanan serigala, Ayo kamu ikut!"
Kaget sekali keempat orang itu, hingga sampai beberapa detik mereka tak dapat
menguCap apa-apa. Dalam hati mereka sama mengira kalau Koayhiap itu seorang tua
yang sinting. Sedang untuk menghindari serbuan kawanan binatang itu saja sudah
susah setengah mati, apalagi untuk menang kapnya.
Karena pernah mendapat pertolongan dan tahu pula dengan mata kepala sendiri
bagaimana lihai Thian-ti-koayhiap, ketiga Sam Mo itu tak berani banyak sekali rewel.
Tapi tidak demikian dengan Ciauw Cong, yang terus mengeluarkan suara dari hidung
dan katanya: "Aku masih ingin makan nasi untuk beberapa tahun lagi, maaf, tak dapat
mengawani."
Habis berkata, dia terus memutar diri akan berlalu.
Ceng Tik murka, terus akan menjambret pinggangnya sembari membentak: "Jadi kau
berani membangkang perintah Wan-tayhiap" Yangan ngimpi kau bisa bernapas lebih
lama lagi"!"
Ciauw Cong kerahkan tenaga ketangan kanan, dengan gerak "membakar awan menarik
rembulan" dia miring sedikit sembari tabas tangannya Ceng Tik. Ketika hampir
mengenai, tiba^ dilihatnya kelima jari Ceng Tik yang tertuju sinar matahari itu, kaku seperti Cakar garuda. Bukan main terkejutnya, sukar ia bisa berlaku sebat untuk tarik kembali tangannya, terpaksa ia ganti menghantam lengan orang.
Luput menCengkeram, Ceng Tik segera robah tangannya menjadi pukulan. Begitu ke 2
lengan saling beradu, ke 2nya sama terkejut dalam hati. Dua-tiga mundur tiga tindak, masing-masing saling mengagumi tenaga sang lawan.
"Sahabat, silakan memberi tahu namamu?" tanya Ciauw Cong.
"Siapa sudi menjadi sahabat orang semacam kau!" memaki Ceng Tik. "Pendek kata, kau
turut apa tidak perintah Wan-tayhiap tadi?"
Dengan ujian tadi, tahulah Ciauw Cong bahwa kepandaian orang itu berimbang dengan
dirinya. Tapi yang membuat dia heran, mengapa orang itu selalu menyebut siorang tua
berpakaian kelabu "Wan-tayhiap" dengan begitu menghormat sekali. Dia duga, orang
tua berpakaian kelabu itu, tentu seorang istimewa. Tapi siapakah gerangan Wan-tayhiap itu"
Beberapa saat, tak dapat dia menjawab. Memang banyak sekali kali orang kangouw
suka gunakan gertakan kosong, tapi rupanya tidak kali ini, karena kalau mereka
berserekat, terang ia akan Celaka. Akhirnya ia mengambil putusan.
"Aku yang rendah ini lebih dulu akan mohon tanya gelaran yang mulia dari Wan-
tayhiap, apabila benar seorang Cianpwe, sudah tentu aku akan menurut," katanya
kemudian. "Hahaha," tertawa Koayhiap, "jadi kau akan menguji seorang tua! Aku siorang tua ini
biasanya senantiasa menguji orang, belum pernah diuji orang. Coba jawab. Tadi kau
gunakan "ang-hu-tho-gwat" (membakar awan mendorong rembulan) kemudian berobah
"swat-jung-lan-kwan", kalau aku dari sebelah kiri menyerang dalam gerak "sia-san-Cam-houw" (turun gunung bunuh harimau), dan dari sebelah kanan menotok jalan darahmu
"sin-thing-hiat", kakiku kanan berbareng lututmu sebelah bawah, bagaimana kau akan
menghadapinya?"
"Kakiku kugerakkan dalam "ban-kiong-shia-tiu" (pentang gendewa memanah meliwis),
ke 2 tangan kugerakkan dalam ilmu "kin-na-hwat" untuk merangsang mukamu,"
demikian jawab Ciauw Cong.
"Menjaga sambil menyerang itulah Caranya ahli dari Bu Tong Pai," kata Wan Su Siauw.
Ciauw Cong terkejut, pikirnya: "Kukatakan sebuah gerakan untuk menjawab
pertanyaannya, dan tahulah dia Cabang perguruanku, sungguh hebat!"
"Ketika di Ouwpak, pernah aku saling menguji dengan Ma Cin Totiang," kata pula Wan
Su Siauw. Hati Ciauw Tong tergetar, mukanya puCat seperti kertas mendengar nama Suhengnya
disebut. Sementara itu terdengar Wan Su Siau telah menyambung: "Tanganku kanan dengan
pukulan Bian-Ciang punya "im-Chiu", kugunakan untuk menangkis seranganmu "kin-na"
tadi. Kemudian siku kiri kuajukan untuk makan dadamu..............."
"Itulah gerakan "Ciu Chui" (siku) besi dari ilmu silat Tay-ang-kun," potong Ciauw Cong.
"Benar," sahut Wan Su Siauw, "tapi "Ciu-Chui" itu adalah serangan kosong, begitu kau sedot dadamu kebelakang, segera pukulanku kiri kukirim kemukamu. Itu waktu Ma Cin
Totiang tak keburu berkelit untuk serangan ini. Setelah kita saling tukar menukar
pelajaran sampai sebulan lamanya, baru berpisahan."
Ciauw Cong berpikir keras, lewat beberapa saat lagi berkatalah ia: "Kalau perubahan
gerakanmu tadi Cepat, sudah tentu aku tak dapat menghindar. Tapi akan kugunakan
gerak "wan-yang-thui" dan menyerang igamu kiri, hingga kau tak boleh tidak, tentu
menarik balik seranganmu untuk menghindar."
Wan Su Siauw tertawa lebar-, katanya: "Gerakanmu itu tepat sekali. Dalam Cabang Bu
Tong Pai, mungkin kaulah orang nomor satu."
"Dan kulanjutkan pula untuk menolak jalan darah "hian-ki-hiat" didadamu!" sambung
pula Ciauw Cong.
"Bagus! Yang dapat menyerang "lemas seperti kapas tapi dahsyat seperti sungai" itulah seorang ahli yang jempol. Kubergeser pada kuda 2 "kui-mui" menyerang kakimu," seru
Wan Su Siauw. "Aku mundur ke-kuda 2 "song-wi", maju lagi ke-kuda 2 "gwan-ong", menotok jalan darah
"thian-twan"," balas Ciauw Cong.
Mendengar ke 2 orang itu saling berdebat dengan kata-kata yang aneh, Kim Piauw dan
Haphaptai bingung tak mengerti. Haphaptai kutik- lengan It Lui meminta penjelasan.
"Bukan kata-kata rahasia, melainkan ke-enam4 kedudukan dari kuda 2 ilmu silat dan
bagian 2 jalan darah dari tubuh manusia," menerangkan It Lui. Dengan itu kini
mengertilah ke 2 jago dari Kwantong tadi.
Memang ke 2 orang itu, Wan Su Siauw dan Ciauw Cong, tengah pi-bu dengan mulut.
Ada orang rundingkan soal barisan perang dengan gunakan kertas, tapi pi-bu (adu silat) dengan mulut, baru pertama kali dijumpainya.
"Aku maju kesebelah kanan "beng-ih", mengambil jalan darah "ki-bun"," berkata pula
Wan Su Siauw. "Aku mundur ke "tiong-hu", menangkis dengan ilmu silat "hong gan Chiu"," jawab Ciauw Cong.
"Maju ke "ki-Ce", menotok jalan darah "hoan-thiao", berbareng tangan kiri dirangsangkan pada jalan darah "jiok-gwan"."
Sampai disini, wajah Ciauw Cong ber-sungguh-sungguh beberapa jurus lagi, barulah ia
berkata. "Mundur ke "tin-su", lalu ke "hok-wi" terus ke "mo-Ce"."
"Huh, mengapa dia terus main mundur," bisik Haphaptai.
It Lui memberi isyarat dengan tangan supaya Sutenya itu diam.
Ke 2 orang itu makin seru berdebat. Kalau Wan Su Siauw tetap ke-tawa 2 dengan muka
berseri-seri, adalah Ciauw Cong peluhnya ber-ketes 2 mengalir dari keningnya. Ada
kalanya untuk sejurus pukulan saja, dipikirnya sampai sekian lama baru dapat.
"Wah, kalau berkelahi sungguh-sungguh, mana dia bisa berpikir sampai sekian lama.
Sedikit berajal saja, pasti akan tertutuk oleh musuh," diam-diam Sam Mo itu berpikir.
Setelah beberapa jurus berdebatan lagi, berkatalah Ciauw Cong: "Maju ke "siao-ju",
untuk pura-pura menjaga bagian perut."
"Salah, gerakanmu itu jelek, tentu kalah," kata Wan Su Siauw sambil gelengkan kepala.
"Mohon pengajaran!" kata Ciauw Cong.
"Masuk ke "pun-wi", kaki menendang jalan darah "im-si" dan menutuk jalan darah ,"hwa-kay" didada. Kau pasti tertolong!"
"Memang dalam kata-kata, hal itu benar. Tapi dalam kedudukan kuda 2 "pun-wi,"
dikuatirkan siku lenganmu takkan sampai untuk menghantam dadaku," balas CiaUw
Cong. "Tidak perCaja, boleh Coba! Hati-hatilah!" seru Wan Su Siauw, terus layangkan kakinya kanan, menendang jalan darah "im-si-hiat", yaitu yang terletak tiga dim dibawah lutut kaki.
"Bagaimana kau bisa melukai aku.........?" seru Ciauw Cong dengan membalik tubuh
menghindar. Namun belum sampai Ciauw Cong mengakhiri ejekannya, tangan Wan Su Siauw diulur
untuk menutuk jalan darah "hwa-kay-hiat" didadanya. Berasa dada sakit, Ciauw Cong
terus menerus batuk. Buru-buru dia tutuk dadanya sebelah kiri, untuk membuka jalan
darah, barulah berhenti batuknya.
"Bagaimana?" tanya Wan Su Siauw.
Tadi semua orang hanya menyaksikan bagaimana orang she Wan itu hanya sedikit saja
bergerak, dan jarinya telah dapat menutuk jalan darah musuh. Ini membuktikan betapa
sempurna kepand^iannya. Hal itu tefah membuat semua orang berCekat.
Wajah Ciauw Cong masgul, tak berani dia bersikap membangkang lagi. Katanya: "Aku
yang rendah akan menurut kata-kata Wan-tayhiap!"
"Kepandaianmu tadi, sebenarnya jarang terdapat dika-langan kangouw. Siapakah kau
ini?" tanya Ceng Tik.
..Aku yang rendah adalah Thio Ciauw Cong, dan mohon tanya akan gelaran yang mulia
dari sam-wi."
"Ah, kiranya Hwe-Chiu-poan-koan. Wan-toako, dia adalah Sute dari Ma Cin Totiang,"
kata Ceng Tik. Wan Su Siauw anggukkan kepalanya. "Hm, Suhengnya mungkin tak nempil dia. Ayo,
kita berangkat," katanya terus keprak kudanya kemuka.
Dalam rombongan onta dan kambing tadi terdapat juga beberapa ekor kuda. Ciauw
Cong dan Haphaptai memilih 2 ekor, terus gabungkan diri dalam rombongan pengikut
Wan Su Siauw. Lewat beberapa saat, bertanyalah Ciauw Cong pada Ceng Tik: "LoyaCu,
kawanan serigala berjum-lah besar, bagaimana akan menangkapnya?"
Pertanyaan semacam itupun ada pada ketiga Sam Mo, tapi telah keburu didahului oleh
Ciauw Cong. "Lihat saja nanti bagaimana Wan-tayhiap akan mengurus kawanan binatang itu. Kamu
tak usah kuatir!" sahut Ceng Tik.
Ciauw Cong tak mau banyak sekali bertanya lagi. Diapun tak mau dikatakan berhati
kecil. Sebenarnya Ceng Tik sendiripun belum tahu bagaimana nanti Wan Su Siauw akan
menangkap kawanan serigala itu. Dia hanya menyahut sekenanya saja. Karena kalau
mengingat bagaimana buas kawanan binatang itu, dalam hati kecilnya iapun agak jeri
juga. Kwan Bing Bwe tahu juga bahwa suaminya itu sengaja membual, menaikkan harga


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-ti-koayhiap dimata orang lain, diam-diam iapun tertawa geli.
Lewat beberapa lama, Wan Su Siauw kelihatan keprak kudanya kembali dan berkata
pada semua orang: "Disini terdapat kotoran serigala yang masih segar, terang binatang itu belum lama lewat disini. Mungkin dalam 20 li lagi, kita dapat menemukannya. Nanti setelah 10 li, harap kalian semua tukar kuda yang segar!"
Ketika semua orang mengangguk, kembali Wan Su Siauw berkata: "Kalau nanti bertemu
kawanan binatang itu, aku dulu yang maju, kalian berenam, tiga dikiri, tiga dikanan, supaya menggiring kawanan onta dan kuda itu ketengah, tapi yangan sekali-kali
binatang 2 itu terpenCar, agar kawanan serigala itu tidak ikut terpenCar."
It Lui orangnya paling Cermat, hendak dia tanyakan lebih jelas, tapi Wan Su Siauw
sudah putar kudanya lari kemuka. Apa boleh buat, keenam orang itupun mengikutinya.
Kira-kira delapan atau sembilan li lagi, kotoran serigala yang berserakan disepanyang jalan makin banyak sekali.
"Kawanan serigala itu berada disebelah depan. Mengapa mereka tak mau keluar
mendengar ringkik kuda dan onta kita ini?" tanya Kwan Bing Bwe.
Ceng Tikpun merasa heran, Lagi beberapa li, jalanan berganti keadaannya. Kini tampak deretan bukit mengelilingi sebuah gunung yang punCaknya putih seperti batu giok.
Bagi suami isteri Thian-san Siang Eng yang sudah lama menetap didaerah padang pasir, tahulah mereka akan dongeng disekitar gunung Giok-nia itu. PunCaknya yang tertojoh
sinar matahari, memberi pemandangan warna-warni yang indah sekali.
"Kawanan serigala itu masuk kedalam "bi-kiong" (istana sesat) ini. Yangan turut masuk, karena keluarnya sangat sukar. Ayo kita Cambuki binatang 2 kita itu!" kata Wan Su
Siauw. Dengan naik turunnya Cemeti 2 dari ke7 orang itu, hiruk pikuklah suara kuda dan onta.
Tak lama kemudian, benar juga ada seekor serigala lari keluar dari tengah gunung. Wan Su Siauw mainkan Cambuknya diudara, dan membarengi dengan bunyi Cambuk yang
menggeletar itu dia berteriak keras, terus larikan kudanya kearah selatan. Thian-san Siang Eng, Ciauw Cong dan ketiga Sam Mo segera halau rombongan onta dan kuda itu
mengikutinya. Beberapa li kemudian, suara kawanan serigala yang mengejar terdengar riuh sekali dari sebelah belakang. Ketika Ceng Tik berpaling, dilihatnya entah berapa puluh ekor
serigala dengan mulut menganga, lari mengejar. Dikepraknya kudanya untuk
membarengi Ciauw Cong dan Sam Mo. Tampak olehnya, bagai mana sekalipun sikap
keempat orang itu berlaku setenang mungkin, namun wajah mereka putih puCat seperti
kertas. Sepasang mata dari Haphaptai seperti bersorot merah darah. Dia menjerit dan berteriak kalang kabut untuk menghalau rombongan onta dan kuda itu. Dia asalnya memang
seorang pengembala, jadi mahirlah dia dalam pekerjaan itu. Ada beberapa ekor onta
dan kuda yang Coba merat, tapi dapat dipanggilnya lagi dengan aba 2 atau dengan
Cemetinya. "Hap-toako, bagus sekali pekerjaanmu!" Kwan Bing Bwe memuji.
Sekalipun kawanan serigala itu luar biasa ganasnya, tapi kekuatan larinya tak seberapa.
Kira-kira 10an li jauhnya, mereka sudah jauh ketinggalan dibelakang. Dan 10 li lagi, mereka tak kelihatan lagi bayangannya. Pada saat itu Wan Su Siauw memerintahkan
mengaso. Buru-buru mereka minum dan makan. Sedang Haphaptai masih berusaha
mengumpulkan binatang 2nya.
"Ah, sungguh menyusahkan kau saja!" kata Wan Su Siauw dengan tertawa.
Pada saat kawanan serigala datang, rombongan Wan Su Siauw sudah mengaso Cukup.
Begitulah dengan kejar mengejar seCara begitu, mereka berlari sampai ratusan li
kesebelah selatan. Tiba-tiba dari arah muka ada 2 orang pemburu bangsa Ui
menyambutnya. "Wan-loyaCu, berhasilkah?" demikian tanya mereka. "Lekas, lekaslah! Suruh mereka
bersiap!" kata Wan Su Siauw.
Ke 2 pemburu itu berjalan lebih dahulu. Melihat disitu sudah ada persiapan, legalah hati Anggota rombongan Wan Su Siauw itu.
Tak berapa lama lagi, tampak sebuah benteng pasir. Benteng itu tingginya diantara 4
tombak, bentuknya bulat. Ketika menghampiri dekat, ternyata pada dinding benteng itu terdapat sebuah pintu kecil. Kesitulah lebih dulu Wan Su Siauw masuk, di kuti oleh
rombongan onta dan kuda tadi. Ketika rombongan binatang ini hampir masuk semua,
kawanan serigalapun sudah tiba.
Thian-san Siang Eng dan Haphaptai ikut masuk, tapi begitu sampai diambang pintu,
Ciauw Cong merandek. Kendali kuda ditahannya, lalu dia lonCatkan kudanya keatas
dinding dipinggir dan mengitarinya. Perbuatan itu diturut juga oleh It Lui dan Kim
Piauw. Pada lain saat, berpuluh-puluh 2 ribu ekor serigala itu menyerbu masuk kedalam
benteng pasir, untuk menerkam korban 2nya. Ketika serigala yang paling akhir sudah
ikut masuk, tiba-tiba terdengarlah bunyi terompet tanduk. Dari parit pada 2 tepiannya, sekonyong-konyong beberapa ratus orang Ui tampak munCul. Mereka masing-masing
menggendong sekarung pasir terus dilemparkan kearah pintu benteng. Sekejab pula,
pintu itu tertutup rapat-rapat.
Melihat orang-orang Ui itu sama bertepuk tangan kegirangan, diam-diam Ciauw Cong
bertanya pada diri sendiri, bagaimana dengan orang-orang tua yang luar biasa tadi.
Tapi ketika dilihatnya orang-orang Ui sama menuju dipunCak tembok benteng, Ciauw
Cong turun dari kudanya terus lari menghampiri. Ternyata disitu, orang-orang Ui itu
tengah menarik Wan Su Siauw berempat dengan tali panyang.
Ketika dia melongok kebawah, terbanglah semangatnya. Ternyata kota pasir, itu
melingkar ratusan tombak panyangnya. Dinding disekelilingnya, pada bagian dalam
nampaknya liCin sekali, terbuat dari semen. Kawanan serigala yang tengah berpesta
pora dengan daging onta dan kuda itu, ramainya bukan buatan.
Pada saat itu Wan Su Siauw, Thian-san Siang Eng dan Haphaptai sudah terangkat naik
dan sedang berdiri diatas dinding temboknya. Haphaptai nampaknya girang sekali.
"Kawanan binatang itu berpuluh-puluh 2 tahun merupakan benCana didaerah Thian-san
yang sukar di basmi. Kini Wan-toako telah berhasil mendirikan tiang keamanan untuk
beberapa abad yang akan datang", kata Ceng Tik.
"Kita disini makan nasi dari saudara-saudara Ui hingga berpuluh tahun. Biarlah hal ini merupakan sedikit pernyataan terima kasih kita", sahut Wan Su Siauw. Selanjutnya
iapun kemukakan juga bantuan keenam kawannya itu.
Menurut perkiraan rakyat Uigor disitu, setengah bulan kemudian, serigala 2 itu pasti sudah mati kelaparan. Untuk rajakan kemenangan itu, mereka menyanyi dan me-nari 2.
Ada beberapa wakilnya yang menghaturkann terima kasih kepada Thian-ti-koayhiap,
siapa bersama Kawan-kawan nya dnyamu dengan hidangan daging kambing dan susu
kuda. Berkata salah seorang wakil dari orang Ui itu: "Kita disini mengepung kawanan serigala, sedang Chui-ih-wisam di Sungai Hitam sedang mengepung pasukan Ceng. Kalau urusan
disini sudah beres, kita akan membantu pada nona Chui-ih".
Tiba-tiba kata orang itu terputus demi matanya melihat bahwa Ciauw Cong
mengenakan pakaian pembesar Ceng itu. Tapi ia tak berani menanyakannya, karena
orang itu (Ciauw Cong) datang bersama Thian-ti-koay-hiap.
"Wan-toako, aku ada sedikit urusan yang harus kukatakan padamu. Harap kau yangan
marah," kata Ceng Tik.
"Ha, kini sesudah tua, kau rupanya belajar main sungkan 2," sahut Koayhiap dengan
tertawa. "Muridmu itu, kelakuannya buruk sekali! Harus kau didik yang bengis!" ujar Ceng Tik.
"Apa" Kau maksudkan Keh Lok?" Wan Su Siauw menegas dengan kagetnya.
"Ya!" Lalu Ceng Tik menarik Koayhiap kesamping, bagaimana perhubungan antara Tan
Keh Lok dan Ceng Tong yang kemudian beralih pada Hiang Hiang itu, dituturkannya.
"Keh Lok seorang yang mengenal budi, dia pasti takkan melakukan hal itu!" seru
Koayhiap ragu-ragu.
"Kesemuanya itu kita saksikan dengan mata kepala sendiri!" buru-buru Kwan Bing Bwe
menyanggapi. Wan Su Siauw melengak dan baru mau perCaja. Katanya dengan geram: "Aku telah
memberi kesanggupan pada gihunya (ayah angkat), untuk mengasuhnya. Kalau dia
berkelakuan sedemikian rendahnya itu, pasti aku tak ada muka untuk kelak menemui
Sim-toako dialam baka!"
Melihat sikap Koayhiap yang ber-sungguh-sungguh dan air matanya berlinang-
linangkarena putus asa itu, hendak Kwan Bing Bwe menghiburnya, tapi Koayhiap
keburu memberi pernyataan lagi, katanya: "Kita nanti Cari ketiga orang itu untuk
dipadu. Aku pasti takkan membiarkan dia berlaku begitu keji."
"Ya, kita berbiCara seCara hati terbuka yangan mendendam dihati. Sesuatu yang selalu didendam, tidak saja menCelakakan lain orang, pun menyiksa diri sendiri," kata Kwan
Bing Bwe. Memang demikian pada hati sanubari Thian-ti-koayhiap. Berpuluh-puluh 2 tahun dia
selalu sesali dirinya mengapa dulu ketika masih muda, dia berlaku begitu Ceroboh
sekali, sehingga dengan gadis yang dikasihinya itu, tidak bisa terangkap jodoh. Sampai pada saat itu, sekalipun Kwan Bing Bwe itu sudah nenek 2 yang berambut putih, namun
dalam mata Wan Su Siauw, ia tetap merupakan seorang gadis Cantik dalam masa
remajanya. Matanya memandang kemuka, merenung jauh sekali. Dengan mengelah
napas dalam 2, akhirnya berkatalah ia :
"Kalau hari ini kita masih bisa berjumpa, puaslah sudah hatiku. Biarlah -sisa hari tuaku ini dapat kulewatkan dengan bahagia."
Mata Kwan Bing Bwe jauh memandang keCakrawala, diujung padang pasir yang luas
bebas itu, sambil berkata dengan suara tak lampias: "Segala itu memang sudah takdir.
Dulu memang sering aku berduka, tapi kini aku merasa berbahagia," tangannya
dnyambret pada sebuah kanCing baju Tan Ceng Tik yang kelihatannya sudah kendor,
lalu katanya pula: "Banyak sekali orang yang menginginkan kebahagiaan, mengimpikan
sesuatu diatas awang 2 yang tak mungkin diCapai. Tidak sekali mereka menginsyapi,
bahwa mustika kebahagiaan itu sebenarnya sudah berada disampingnya. Kini aku
insyapkan sudah!"
Merah padam selebar muka Ceng Tik, tanpa merasa ia memandang dengan kasih mesra
kepada sang isteri, siapa kelihatan maju menghampiri pada Wan Su Siauw, katanya :
"Kalau seorang telah menyiksa diri sendiri sampai Berpuluh-puluh tahun, andaikata dia merasa berdosa, akan sudah himpaslah dosanya itu. Apalagi memang dia itu
sebenarnya tak berdosa. Aku merasa bahagia, kuharap yanganlah kau menyiksa dirimu
lebih lama lagi!"
Tak berani Wan Su Siauw berpaling memandangnya. Sekonyong-konyong dia lonCat
kekudanya. "Ayo kita Cari mereka!" teriaknya.
Thian-san Siang Eng segera mengikutinya.
Kepergian ketiga jago yang kosen itu, membikin semangat Ciauw Cong timbul lagi.
Baginda Kian Liong mengutusnya untuk menCari Tan Keh Lok dan Hiang Hiang. Kini ke
2 orang itu entah masih hidup atau sudah dimakan serigala, perlu diCari tahu untuk
dilaporkan kepada baginda.
"Kalau orang she Tan itu sudah binasa, tak menjadi soal. Tapi apabila dia masih hidup, itulah repot. Karena ilmu silatnya terpaut tak seberapa dengan aku. Kalau Ceng Tong
membantunya, pasti kalahlah aku. Lebih baik kuberserikat
dengan ketiga Sam Mo ini," pikirnya. Dan segera dia tarik lengan Kim Piauw untuk
diajak menyingkir ketempat yang agak jauh dari situ.
"Ku-jiko, kau masih inginkan siCantik itu apa tidak?" demikian Ciauw Cong memanCing.
"Kau mau apa?" bentak Kim Piauw yang mengira orang mau. per-olok 2kan padanya.
"Aku mempunyai permusuhan dengan orang she Tan itu. Hendak kubunuh dia. Kalau
kau suka membantu, siCantik itu bagianmulah!"
Kim Piauw bersangsi, katanya: "Kukuatir............ mereka bertiga sudah dimakan
serigala, dan Toako-pun tidak mau ikut."
"Kalau mereka sudah binasa, kaulah yang tidak punya peruntungan. Tentang Toako-
mu, aku yang mengomongi."
Kim Piauw mengangguk. Hatinya bersangsi, apakah Toa-konya itu mau diajak, karena
dia itu seorang yang tak gemar paras Cantik.
"Thing-toako, aku akan Cari dan membikin perhitungan pada orang she Tan itu," kata
Ciauw Cong sembari menghampiri It Lui: "Kalau kau suka membantu, pedang pusaka
itu akan. kuserahkan padamu!"
Tiada seorang kangouw yang tidak mengiler untuk memiliki pedang yang sakti itu.
Andaikata pemiliknya siorang she Tan itu sudah dimakan serigala, tentu pedangnya
masih. Karena, itu, serta merta dia setuju.
Ciauw Cong gembira. Dan malah saat itu It Lui segera ajak Haphaptai pergi. Itu waktu orang Mongol tersebut sedang pasang omong dengan beberapa orang Ui, mendengar
sang Toako memanggil, ia segera menanyakan akan kemana. "Cari ketua dari HONG
HWA HWE itu. Kalau dia sudah binasa di makan serigala, kita kubur mayatnya, demi
persahabatan," sahut It Lui.
Sejak berkenalan dengan Ie Hi Tong dan Tan Keh Lok, Haphaptai merasa suka kepada
orang-orang HONG HWA HWE Maka begitu Toakonya menguCap demikian, ia lantas
menurut saja. Begitulah mereka berempat segera larikan kudanya menuju kesebelah
utara. Kira-kira tengah malam, mereka berhenti mengaso. Ciauw Cong dan Kim Piauw
berkeras ingin jalan terus, terpaksa It Lui menurut. Tak berselang berapa lama,
rembulan bersinar dengan terangnya. Tiba-tiba ditepi jalan tampak sebuah bayangan
berkelebat, lalu menyusup kedalam sebuah kuburan. Keempat orang itu Curiga, mereka
turun dari kudanya dan menghampiri ketempat kuburan.
"Siapa?" tegur Ciauw Cong.
Selang beberapa saat kemudian, seorang Ui yang memakai kopiah berkembang, nongol
dari lobang kuburan itu, sambil tertawa Cekikikan, katanya: "Aku adalah orang mati
dalam kuburan ini!"
Dia berbiCara dalam bahasa Han, hingga membuat keempat orang itu berjingkrak
kaget. "Orang mati" Mengapa malam 2 keluar?" bentak Kiem Piauw.
"Cari angin!" sahut orang itu.
"Orang mati Cari angin?" kembali Kiem Piauw membentak dengan murka.
Orang itu mengangguk dan menyahut: "Ya, ja, kalian benar, aku salah omong. Maaf,
maaf!" Habis berkata, ia terus menyusup masuk lagi.
Haphaptai. tertawa gelak 2, sebaliknya Kiem Piauw makin menjadi marah. Ia segera
turun dari tunggangannya hendak menyeret keluar orang itu. Tapi biar ia sudah ulur
tangannya kedalam liang kuburan itu dan berkutetan bagaimanapun, tetap tak dapat
menyeret orang itu.
"Ku-jiko, yangan pedulikan dia, Ayo kita berangkat!" seru Ciauw Cong.
Keempat orang itu putar kudanya akan berlalu, tiba-tiba tampak seekor keledai yang
kurus kering tengah makan rumput dipinggir kuburan itu.
"Ransum kering membosenkan, daging keledai-bakar rasanya tentu lezat!" seru Kim
Piauw kegirangan.
Kembali dia turun dari kudanya, menuntun tali pengikat keledai itu. Tapi ia segera
terkejut geli melihat binatang itu tak ada ekornya.
"Ha, siapa yang jail memotong ekor keledai ini?" katanya dengan tertawa.
Belum habis kata-kata itu diuCapkan, tiba-tiba terdengar suara angin membrebet dan
dipunggung keledai itu sudah ada penunggangnya. Diantara Cahaja rembulan, orang itu
bukan lain si "orang mati" yang menyusup kedalam kuburan tadi. Begitu tangkas
gerakannya, dalam sekejab mata saja, orang itu sudah memberosot keluar dari
kuburnya terus lonCat keatas keledai.
Ciauw Cong dan ketiga Sam Mo itu adalah jago-jago yang ada nama dalam kalangan
persilatan. Tapi tak urung mereka merasa terkejut melihat ketangkasan gerakan orang
itu. Tahu akan kelihaian orang, mereka tak berani berlaku sembarangan, dan buru-buru
tarik kudanya mundur.
Orang itu tertawa gelak 2, diambilnya sebuah ekor keledai dari bayunya dan
dikibaskannya 2 kali, lalu katanya:
"Ekor keledai ini banyak sekali debunya, jelek sekali kelihatannya, maka kupotong!"
Ciauw Cong perhatikan orang itu seperti orang kurang waras ingatannya, kata-katanya
setengah ngaCo setengah genah. Entah dia itu orang dari golongan mana. Hendak
Ciauw Cong" menguji kepandaian orang itu. Maka begitu kudanya dilarikan kesamping
keledai, ia segera ulurkan sebelah tangannya untuk menepok pundak orang.
Orang itu berkelit, namun tangan kiri Ciauw Cong sudah lantas merebut ekor
keledainya. Dan ketika diperiksanya, memang benar ekor itu kotor sekali.
Tapi lain saat ia rasakan kepalanya agak dingin. Ketika tangannya merabah, ternyata
topinya sudah hilang. Ketika ia memandang kedepan, dilihatnya topinya sudah berada
dalam tangan siorang aneh itu yang nampak sedang tertawa.
"Kau ini pembesar tentara Ceng yang hendak memukul kami bangsa Ui. Topimu ini
bagus sekali, ada bulu burung dan ada bola kaCanya."
Bukan main kaget dan marahnya Ciauw Cong. Belasan tahun ia mengangkat diri
dikangouw, jarang bertemu dengan tandingannya. Siapa kira didaerah gurun pasir ini, ia telah bertemu dengan "Wan-tayhiap" dan kali ini dengan seorang Ui yang aneh. Terang
kepandaian orang ini diatasnya. Dengan gemas ekor keledai tadi ditimpukkannya
kedepan. Orang aneh itu sebat sekali telah menyanggapinya.
Dengan mengosok ke 2 belah tinjunya, segera Ciauw Cong lonCat turun dari kudanya
seraya memaki: "Kau siapa. Mari, mari, kita uji kepandaian!"
Tiba-tiba orang itu pasang kopiah Ciauw Cong keatas kepala keledainya sambil bertepuk tangan dan tertawa lebar: "Keledai dungu memakai topi pembesar! Keledai dungu
memakai topi pembesar!"
Sembari ke 2 kakinya menjepit perut keledai, binatang itu segera menCongklang
dengan pesatnya. Hendak Ciauw Cong mengejarnya, tapi keledai itu sudah lari seperti
terbang. Dengan geram Ciauw Cong memungut sebuah batu kecil terus ditimpukkan
kepunggung orang.
Batu kecil itu nampaknya sudah hampir mengenai, namun orang Ui itu tetap tenang 2
saja. Ciauw Cong girang, pikirnya pasti dapat menghajar punggung orang itu.
Tak terduga, segera terdengar suara "tingng!" yang nyaring.
Batu itu seperti mengenai papan besi, men-dengung 2 tak henti 2nya. Sedang orang Ui
itu lantas berkaok 2: "Aduh, mati wajanku, Celaka, wajanku ini tentu melayang
jiwanya!" Keempat orang- itu saling berpandangan, sebaliknya orang Ui itu tetap lari terus.
"Dia entah setan dari mana!" berkata Ciauw Cong setelah berapa saat kemudian.
Ketiga Sam Mo hanya geleng 2 kepala.
"Ayo kita jalan lagi. Tempat ini rupanya keramat!" kata Ciauw Cong.
Setelah lari beberapa lama, kembali mereka berempat berhenti mengaso. Keesokan
harinya, mereka tiba diluar "Kota Sesat" itu. Karena tak mengetahui akan keadaan kota kuno yang berbahaya itu, mereka terus saja memasukinya. Sekalipun mereka dapatkan
jalanan disitu penuh dengan persimpangan dan tikungan, namun dengan mengikuti
adanya kotoran serigala disepanyang jalan, dapatlah akhirnya mereka menCapai kekaki
gunung Pek-giok-nia itu. Ketika mendongak keatas, merekapun segera mengetahui
akan lubang gua yang dibuka oleh Tan Keh Lok itu...............
Sementara itu, setelah tidur hampir setengah malam, Tan Keh Lok rasakan dirinya
kembali segar. Ceng Tong dan Hiang Hiang masih pulas diatas kursi yang terbuat dari
batu giok putih. Malah dalam keheningan malam ditempat yang sedemikian sunyinya
itu, dengkur ke 2 taCi-beradik itu dapat kedengaran juga. Seluruh ruangan itu, penuh dengan bebauan yang harum, jakni bebauan yang keluar dari tubuh Hiang Hiang
KongCu. Ber-macam 2 pikiran memenuhi kepala Tan Keh Lok: adakah kawanan serigala itu
masih menunggu diluar" Apakah mereka bertiga bisa terhindar dari bahaya" Seandainya
bisa selamat, apakah kaisar itu masih mau menetapi janjinya"
Tengah ia ber-pikir 2 begitu, tiba-tiba didengarnya Hiang Hiang menggigau, berbiCara dengan riang sekali.
"Ah, mengapa anak ini sedemikian gembiranya" Kurasa ia sangat yakin- bahwa aku
tentu dapat menyelamatkan jiwanya dan akan mencintainya seumur hidup. Ah,


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya aku ini mencintai yang mana?" diam-diam Keh Lok berpikir.
"Ah, biar kulihat siapakah yang sungguh-sungguh Cinta padaku. Kalau aku binasa, Asri tentu ikut mati, sedang Ceng Tong tidak. Tapi hal itu bukan dikarenakan Asri lebih
mencintai aku. Waktu aku akan pi-bu dengan keempat saudara Holun, Ceng Tonglah
yang melarang, sedang Asri diam-diam saja. Juga ketika aku ketemu dengan Ciauw
Cong, Asri hanya tertawa saja. Dia masih begitu bersifat ke-kanak-kanakkan. Hatinya
murni hingga mencinta seCara membuta saja. Kalau aku jadi dengan Ceng Tong, Asri
pasti akan mereres. Masa aku tak mau membalas Cintanya yang sedemikian tulusnya!
itu," pikirnya pula. Namun memikir sampai- disini, hatinya sedih.
"Dengan Asri aku telah menyatakan perasaan hati. Ia Cinta padaku, akupun
menyintainya. Sedang pada Ceng Tong belum pernah kunyatakan suatu apa. Ceng Tong
seorang nona gagah dan pandai, aku menaruh perindahan, bahkan agak jeri padanya.
Apa yang ia perintahkan, tentu aku melakukannya. Tapi Asri, ja, nona itu" Kalau ia
maukan aku mati, akupun rela mati untuknya. Ah, apa kalau begitu aku tak Cinta Ceng
Tong" Ehm, entahlah. Ia seorang nona yang halus perasaannya dan pandai, serta Cinta
juga padaku. Ia sampai tumpahkan darah dan hampir saja binasa, apakah itu bukan
karena aku?"
Yang seorang pantas dihormati dan di ndahkan. Yang lainnya pantas dikasihani dan
dikasihi. Sungguh suatu pilihan yang susah. Justeru pada saat itu sinar rembulan
menimpa pada wajah Ceng Tong. Tampak jelas oleh Keh Lok bagaimana wajah yang
aju dari nona itu begitu saju puCat.
"Sekalipun dengannya aku belum pernah menyatakan suatu apa, dan sekalipun
perasaanku agak gonCang karena Cemburu dengan Li Wan Ci, tapi kedatanganku
kedaerah yang ribuan li jauhnya-ini, bukankah karena masih mencintainya" Ia memberi
sebatang pedang pendek, apakah hanya sebagai tanda terima ka&ihnya atas bantuanku merebut kitab suCi itu" Meskipun mulut kita tidak saling biCara, tapi kesemuanya itu bukankah melebihi seribu kata-kata?" pikirnya. Dan makin jauhlah pikirannya melayang.
"Menjelang usaha besar membangunkan kembali kerajaan Han, tentu akan menghadapi
kesukaran 2 yang tak sedikit. KeCerdasan Ceng Tong dapat melebihi Chit-ko. Kalau
sampai ada dia sebagai tangan kanan, alangkah baiknya............ ah, mungkinkah hati kecilku merasa jeri kalau mempunyai isteri yang lebih pandai?"
Sampai disini, ia terkejut sendiri. Tanpa merasa mulutnya berkata pelan-pelan : "Tan Keh Lok, Tan Keh Lok! Mengapa kau tidak berlapang dada?"
Sesaat kemudian sorot rembulan beralih kewajah Hiang Hiang.
"Dengan didampingi Hiang Hiang, perasaanku selalu diliputi oleh kegembiraan saja!"
Demikianlah ketua HONG HWA HWE itu hampir setengah harian terbenam dalam
lamunan, dan tahu-tahu haripun sudah terang tanah. Tampak Hiang Hiang menguap
bangun, seraya bersenyum pada Tan Keh Lok. Wajahnya tak ubah seperti sekuntum
bunga yang baru mekar dipagi hari.
Ketika ia hendak mulai duduk, tiba-tiba ia berteriak: "Dengarlah!"
Jauh dilorong disebelah atas sana, terdengar tindakan kaki orang. Aneh, masa ditempat yang sedemikian rahasia-nya itu, terdapat ora,ngnya. Atau mungkinkah itu roh 2 halus penjaga istana kuno itu"
Jelas kedengaran, tindakan itu makin lama makin dekat. Baik Keh Lok maupun Hiang
Hiang, sama menguCurkan keringat dingin. Malah Keh Lok terus mengutik lengan Ceng
Tong supaya bangun, lalu diajaknya keluar.
Setiba dipaseban besar, Keh Lok memungut tiga batang giok kiam untuk diberikan pada
ke 2 nona itu masing-masing sebatang, katanya dengan berbisik: "Batu giok dapat
mengusir bangsa setan!"
Saat itu tindakan kaki itu sudah tiba diluar paseban. Tan Keh Lok bertiga segera
bersembunyi ditempat yang gelap. Diantara Cahaja api yang remang-remang, masuklah
4 orang. Dua orang yang berjalan dimuka memegang obor, ternyata mereka adalah
Ciauw Cong dan It Lui.
Ketika mereka melihat dipaseban itu terdapat banyak sekali rerongkong, mereka
berempat hendak melihatnya. "Begitu masuk, segera senjata mereka sama
berkerontangan jatuh ketanah. Hanya "tok-kak-tong-jin" dari It Lui yang masih
tergenggam dalam tangannya, tetapi 2belas buah piauw yang didalam kantongnya,
semua sama melonCat keluar.
Pendekar Kidal 21 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Kitab Pusaka 16
^