Pedang Dan Kitab Suci 20

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 20


Tan Keh Lok tak mau sia-siakan kesempatan yang bagus itu, sedangnya keempat orang
itu masih terlongong-longong kesima, dengan bentakan keras dia melesat keluar dari
persembunyiannya, terus menghantam padam obor 2 ditangan ke 2 musuhnya itu.
Sehingga kini ruangan besar itu menjadi gelap gulita.
Dalam kagetnya Ciauw Cong gerakkan ke 2 tangannya untuk melindungi diri seraya
lompat keluar. Dengan Cepat Sam Mo itupun mengikutinya. "Bluk......... aduh!"
Entah siapa dari keempat orang itu yang terbentur kepalanya kepada dinding batu,
hingga menjerit kesakitan.
Pada lain saat ketika tindakan mereka sudah tak kedengaran lagi, tiba-tiba Ceng Tong berseru kaget: "Celaka! Lekas ubar mereka!"
Tan Keh Lok seperti orang disadarkan, sebat sekali dia lari mengejar. Tapi sebelum
sampai diujung gang (lorong), terdengarlah suara berkretekan yang keras sekali dan
tertutuplah pintu batu itu.
SeCepat kilat, Keh Lok menobros, tapi pintu batu itu berat dan tak ada pegangannya.
Biar bagaimana, tetap tak bergeming.
Terpaksa dia balik. Diambilnya setangkai kayu dan dibakar untuk penyuluh. Pada saat
itu Ceng Tong dan Hiang Hiang mendatangi.
"Habislah riwajat kita!" kata Ceng Tong dengan wajah putus asa.
Dibelakang daun pintu batu itu banyak sekali bekas 2 baCokan senjata. Disana sini pun terdapat bekas 2 bagaimana kalap ketika orang-orang yang kini sudah menjadi
rerongkong itu, berusaha untuk mendobrak pintu maut itu.
"Ci, yangan takut!" Hiang Hiang Coba menghiburnya.
"Kita binasa ditempat ini, memang tiada tersangka", kata Keh Lok seraya menjemput
sebuah tengkorak dan dikatakannya: "Loheng, kau dapat tiga sahabat baru lagi!"
Hiang Hiang tertawa riang. Sebaliknya Ceng Tong deliki mata kepada ke 2 orang itu.
"Ayo kita balik kekamar batu itu lagi supaya bisa menenangkan pikiran!" ajaknya
kemudian. Disitu Ceng Tong bersembahyang, lalu memeriksa lagi petanya. Pada pikiran Keh Lok
hanya ada 2 kemungkinan bisa tertolong. Pertama ada pertolongan dari luar, ke 2,
Ciauw Cong berbalik pikiran, datang lagi kesitu untuk menangkapnya.
Tapi rasanya kemungkinan 2 itu tipis. Mengingat tempat itu sangat peliknya dan Ciauw Cong baru saja mendapat rasa kaget. Kebanyak sekalian tentu tak berani datang lagi.
"Aku kepingin menyanyi!" tiba-tiba Hiang Hiang berkata. "Nyanyilah!" sahut Keh Lok.
Dengan duduk bersandar dikursi giok, Hiang Hiang menyanyi. Tapi Ceng Tong seolah 2
tak mau menghiraukan, menunyang kepala dengan ke 2 tangan, ia berpikir keras.
"Ci, mengasolah barang sebentar!" Hiang Hiang berbangkit dari duduknya menghampiri
pembaringan batu giok, katanya kepada rerongkong yang terbaring disitu: "Maaf,
berilah tempat sedikit untuk Ciciku!"
Ketika didorong, rerongkong itu berkerupukan kesudut tempat tidur.
"Ha, apa ini?" seru Hiang Hiang terkejut sambil menyjemput sebuah benda gulungan.
Buru-buru Keh Lok dan Ceng Tong menghampiri. Ternyata gulungan itu sebuah buku
dari kulit kambing yang saking manya, warnanya berobah hitam. Syukur huruf-hurufnya
masih dapat dibaca. Karena huruf-huruf itu dalam bahasa Ui, Ceng Tong yang
membacanya. "Buah tulisan rerongkong itu ketika mau menutup mata. Ia bernama Mamir," kata
sigadis kemudian.
"Mamir?" tanya Keh Lok dengan heran.
"Itu berarti "Cantik sekali". Mungkin semasa hidupnya, ia seorang wanita Cantik,"
menerangkan Hiang Hiang.
Ceng Tong membolak-balik lembaran buku itu serta mempelajari petanya.
"Apakah peta itu me-nyebut 2 tentang jalanan rahasia?" tanya Keh Lok.
"Benar, tapi tak kuketahui letaknya."
Keh Lok mengelah napas. Tiba-tiba ia minta Hiang Hiang baca dan salin isi buku kulit kambing itu.
Hiang Hiang segera memulai: "Puluhan ribu penduduk kota ini binasa semua. Digunung
keramat ini, pasukan penjaga dan pahlawan 2 Islam juga binasa. Ali menghadap
kehadirat Tuhan. Mamir ikut serta. Kutulis semua kejadian itu dalam buku ini, agar kelak anak Cucu baginda sama mengetahui, entah kalah atau menang, kita pejoang 2 Islam
tetap bertempur sampai akhir, pantang menyerah!"
"Ha, selain Cantik nona ini gagah juga," ujar Keh Lok.
Hiang Hiang melanjutkan: "Raja yang jahat itu 40 tahun menindas kita. Dia paksa
ratusan ribu rakyat untuk membuat istana keramat ini di-tengah-tengah gunung Sin-nia ini. Banyak sekali rakyat yang binasa dengan sengsara. Setelah raja gila itu meninggal, puteranya, Sanglapa, menggantikan. Raja baru ini makin ganas lagi. Barang siapa
punya 10 ekor kambing, tiap tahun harus menyerahkan 4 ekor. Punya onta 5 ekor, yang
2 harus disetorkan. Kita rakyat makin melarat. Kambing dan onta kita habis diambil
Sanglapa. Setiap keluarga yang punya anak laki 2 yang sehat, punya anak gadis yang
Cantik, semua dimasukkan kedalam istana ini. Yang masuk, akan tidak keluar lagi se-
lama-lamanya. Pahlawan 2 kita mana mandah dihina begitu" Selama 20 tahun, sudah 5
kali pasukan pejoang kita menyerang kota ini, tapi karena tak paham jalanannya,
mereka tak dapat keluar. Dua kali mereka menyerang Sin-nia ini, entah gunakan siasat apa, Sanglapa telah dapat merampas semua senjata dan membasminya."
"Ya, karena dibawah paseban itu terdapat gunung magnit," kata Keh Lok.
"Tahun ini aku berusia 1delapan tahun," Hiang Hiang lanjutkan bacaannya pula, "ayah
dan ibuku dibinasakan oleh orang-orangnya Sanglapa. Kakakku menjadi pemimpin dari
suku Islam. Tahun ini aku bertemu dengan Ali, seorang gagah dari suku kita. Pernah
dengan tangan kosong, dia dapat membunuh tiga ekor singa. Harimau, serigala dan
kawanan garuda, jeri terhadapnya. Dia seorang yang boleh dibandingkan dengan 10,
bahkan seratus orang. Tubuhnya Cakap, sinar matanya tenang, namun kegagahannya
bagaikan angin badai ditengah padang pasir .................."
"Aha, nona itu terlalu berlebih-lebihan memuji kekasihnya," Keh Lok menyela.
"Mengapa" Masakah didunia tak ada orang semacam itu?" tanya Hiang Hiang, lalu ia
meneruskan membaca : "Ali berunding dengan kakakku untuk menyerang Kota Tersesat
itu. Dia mendapat satu stel buku dengan tulisan huruf Han. Katanya, setelah setahun
mempelajari, kini dia dapat mengerti ilmu silat. Sekalipun dengan tangan kosong, dia sanggup membunuh pahlawan 2 perang dari Sanglapa.
Karenanya, dikumpulkannya lima puluh0 orang gagah, untuk diberi latihan selama
setahun. Kini aku sudah menjadi kepunyaan Ali. Pertama kali kuberjumpa, aku adalah
kepunyaannya. Sejak bertemu dengan aku, katanya, kali ini tentu akan menang.
Sekalipun mereka kini sudah paham ilmu silat, tapi mereka masih belum mengetahui
tentang jalanan 2 dikota. musuh itu, lebih- rahasia dari gunung keramat ini. 10 hari, Ali dan kakak berunding, namun tak berdaya. Setiap orang yang memasuki Kota Tersesat
itu, tentu binasa. "Kak, biarkan aku yang pergi", kataku kepada kakak. Tahu mereka apa yang kumaksudkan dengan kata-kata itu. Ali, seorang pahlawan gagah, tiba-tiba
menguCurkan air mata. Dengan membawa 100 ekor kambing, delapan0 ekor kuda, aku
mengembala diluar Kota Tersesat itu. Pada hari kedelapan, salah seorang ponggawa
Sanglapa menangkap aku dan menyerahkannya kepada Sanglapa. Setelah tiga hari tiga
malam aku menangis, baru aku menurut padanya. Dia sangat menyayang padaku. Apa
permintaanku, tentu diturutinya."
Sampai disini, Keh Lok menyatakan kekagumannya kepada nona itu. Hiang Hiang
membaca terus: "Bermula raja Sanglapa tak mengijinkan aku keluar dari pintu ini. Tapi dia makin
mencintaiku. Setiap hari pikiranku ada pada rahajatku. Kuterkenang akan kegembiraan
mengembala dan menyanyi. Dan yang paling kurindukan adalah Aliku. Ketika
mengetahui makin lama aku makin kurus, Sanglapa telah tanya padaku. "Kuingin jalan 2
keluar", demikian sahutku. Seketika dia menjadi murka dan menampar mukaku. 7 hari
aku tak mau biCara dengannya. Pada hari kedelapan, aku diajaknya keluar jalan 2
dikota. Setiap jalanan, kuingat ba"k 2. Sehingga walaupun mataku buta, masih dapat
kukenalnya tidak sampai tersesat. Setengah tahun kemudian, kurasa kakak dan Ali
tentu sudah tak sabar lagi menunggu. Tapi apa boleh buat, karena aku masih belum
tahu akan rahasia dari gunung keramat itu. Sebulan kemudian, aku mengandung. Itulah
anak Sanglapa. Dia girang sekali, sebaliknya setiap hari kumenangis karena benci.
Kembali dia menanyakan apa permintaanku. "Aku telah mengandung, tapi sedikitpun
kau tak Cinta padaku", demikian sahutku. " "Apa" Aku tidak menyintaimu" Masa aku tak menuruti permintaanmu" Kau ingin mutiara dari dasar laut atau pualam biru dari daerah selatan?" tanya Sang lapa. " "Kata orang, kau punya "Telaga Warna", orang Cantik yang mandi disitu, makin Cantik. Sebaliknya orang yang buruk rupanya, makin buruk. "
Sanglapa puCat, suaranya gemetar dan tanyakan siapa yang memberitahukan.
Kujustainya, dan mengatakan kalau kumendapat impian dari penjaga situ. Sebenarnya,
aku sendiripun masih sangsi entah ada atau tiada telaga itu. Hanya dayang 2 istana
sama mengatakan begitu. Selama itu, Sanglapa melarang orang pergi kesitu.
"Mandi sih boleh. Tapi barang siapa yang melihat telaga itu, harus dipotong lidahnya, agar tidak menguwarkan Cerita pada, lain orang. Ini, adalah peraturan dari kakek
moyang kita", sahut Sanglapa. Beberapa kali dia minta agar aku urungkan saja
keinginanku itu, namun aku tetap berkeras hingga akhirnya terpaksa dia membawaku
kesana. Untuk pergi ke Telaga Warna itu, harus melalui jalanan di Sin-nia (gunung
keramat). Kubawa sebilah badi-badi, niatku akan kubunuh dia ditelaga itu. Tapi ternyata senjata itu jatuh tersedot disitu. Dengan begitu, kuketahui adanya gunung magnit itu.
Setelah mandi, entah apa aku tambah Cantik tidak, tapi nyatanya dia makin
menyintaiku. Sekalipun begitu, lidahku tetap dipotong, supaya tak bisa memboCorkan
rahasia itu. Jadi meskipun kuketahui rahasia itu, tapi tak dapat kuberitahukan pada
kakak dan Ali. "Siang malam kuberdoa pada Tuhan. Dan akhirnya Tuhan mengabulkan, Tuhan
memberikan otok terang dan Cerdas. Kuingat, Sanglapa selalu membawa sebuah
pedang pendek macam badi-badi. Pedang itu mempunyai rangka yang menyerupai
pedang. Kuminta senjata itu, aku menggambar peta. dari Kota Tersesat ini. Peta itu
kubungkus dalam lilin, kususupkan dalam rangka pedang bagian dalam. Setelah tiga
bulan kumelahirkan, dia mengajakku berburu. Sewaktu ada kesempatan, kulempar
pedang itu keluar kota ditelaga Thing-pok-ouw. Sepulangnya, kulepaskan beberapa ekor burung alap-alap yang kakinya kutulisi tiga buah huruf "Thing Pok Ouw"."
Saking asjiknya Ceng Tong melipat petanya untuk mendengari Cerita yang dibacakan
oleh adiknya itu. .
"Ada beberapa ekoi< alap-alap yang kena dipanah oleh ponggawa Sanglapa. Melihat
huruf-huruf pada kaki burung itu, mereka tak mencurigai apa-apa, karena telaga itu
Cukup dikenal oleh vakjat dipadang pasir. KuperCaja, diantara sekian banyak sekali
burung itu, tentu ada salah seekor yang dapat ditangkap oleh rakyat kita. Kakak dan Ali tentu akan menyuruh orang untuk mengambil pedang itu didasar telaga, dan tahulah
mereka akan rahasia Kota Tersesat ini. Ah, tak kunyana, 4 hari 4 malam mereka
menjelajahi dasar telaga itu, tak dapat menemukan suatu apa. Mungkin ditemu oleh
penangkap ikan disitu.
"Karena kakak dan Ali tak dapat menemukan apa-apa, rakyat tak dapat menunggu lebih
lama lagi. Mereka lalu menyerang. Sebagian besar, mereka telah tersesat tak bisa
keluar. Kakakku yang bertenaga besar itu, telah hilang lenyap dikota ajaib itu. Ali
bersama beberapa pahlawannya, telah berhasil menangkap orangnya Sanglapa, terus
dipaksanya untuk menunjukkan jalan. Dipaseban besar, senjata mereka tersedot jatuh,
dan orang-orangnya Sanglapa menyerangnya dengan giok-kiam. Karena Ali telah
melatih pahlawan 2 dengan ilmu silat, maka dengan tangan kosong, mereka telah dapat
memberi perlawanan dan mati bersama musuh. Nampak ponggawanya binasa semua,
sedang Ali terus mengejar, Sanglapa lari masuk kedalam ruanganku akan mengajak lari
ke Telaga Warna.................."
"Ha, kalau begitu didalam sini masih ada sebuah Telaga Warna, disitu tentu ada jalanan keluar. Hiang-moay, teruskan baca!" seru Ceng Tong.
Hiang Hiang tersenyum, ia meneruskan lagi: "Ali menobros masuk, segera kami saling
berpelukan. Dia meraju dengan kata-kata yang manis, tapi karena lidahku tidak ada
lagi, tak dapat kumenjawab. Namun dia mengerti gerak mulutku. Tiba-tiba Sanglapa
yang jahat itu mengampak dari belakang .................."
Membaca sampai disini, Hiang Hiang menjerit dan lemparkan buku itu ketempat tidur.
Wajahnya Cemas ketakutan. Ceng Tong megusap 2 bahunya, buku diambilnya terus
mengganti baca:
............... Sanglapa yang jahat itu mengampak dari belakang, dan kepala Aliku terbelah menjadi 2, darahnya inenyiram tubuhku. Sanglapa mengambil anaknya dari
pembaringan, diserahkan padaku seraya mengajakku lekas-lekas keluar. Tapi kuangkat
baji itu tinggi-tinggi, terus kubanting ketanah dan matilah seketika itu. Sanglapa kaget melihat aku banting mati anaknya sendiri, dengan murka dia akan menghantam dengan
kampak emasnya. Kuberikan leherku supaya ditabas, tapi dia me>Agelah napas, tidak jadi, terus lari keluar.
"Ali telah menghadap kehadirai -Tuhan, akupun akan menyusulnya. Pahlawan 2 kita
berjumlah besar, orang-orangnya Sanglapa dapat dibasmi dan orang kejam itu tentu
tidak dibiarkan hidup. Dia takkan menindas kaum Islam kita. Anaknya telah kubanting
mati, tentu akan habislah keturunannya. Biarlah rakyat kita hidup tenang. Biarlah
perawan 2 dapat menyanyi, didalam pelukan kekasihnya. Kakak, Ali dan aku meninggal,
tapi kita telah dapat membasmi raja jahat itu. Istana musuh yang sedemikian kokohnya itu, akhirnya dapat kita bobol. Semoga Al ah melindungi rahajat kita."
Ceng Tong, Tan Keh Lok dan Hiang Hiang ter-menung 2 sampai sekian lama. Mereka
kagum dan menaruh perindahan akan perjoangan suCi dari Mamir yang Cantik itu.
"Untuk menolong rahajat, rela ia meninggalkan kekasih dipotong lidahnya, dan
membunuh anak kandungnya sendiri, demikian terharu, Hiang Hiang berlinang-linangair
matanya. (missing page) DiCobanya untuk menggeser dan mendorong, tapi meja itu seperti terpaku pada tanah.
Ceng Tong Cepat menyuluhi kaki meja dengan obor. Kiranya meja itu seluruhnya
memang dari batu giok yang di-ukir merupakan kesatuan bagian dari lantai. Sudah
tentu, tak terangkat.
Setengah hari ketiga orang itu men-Cari 2, namun sia-sia. Malah perut mereka yang
terasa lapar sekali. Hiang Hiang membagikan dendeng kambing dan ransum kering. Hari
makin siang. Sinar matahari menimpah ke permukaan meja itu.
"Hai, kiranya meja itu diukir sedemikian bagusnya", seru Hiang Hiang tiba-tiba.
Ketika diperiksa, ukir 2an itu melukiskan sekawanan Onta Terbang. Begitu halus ukiran"
itu, hingga kalau tiada sinar matahari, sukar dilihatnya. Kepala onta itu. tak menempel pada badannya, masing-masing terpisah kira-kira belasan senti. Karena heran, Hiang"
Hiang me-mutar 2 meja itu. Karena ternyata meja itu terdiri dari 2 belahan yang bisa digerakkan, gin Hiang Hiang melihat kepala onta itu tersambung dengan badannya,
maka diputarnya. Tapi begitu tepat tersambung, segera terdengar suara berkreotan dan di-tengah-tengah ranyang batu itu tampak sebuah lubang besar.
Mereka bertiga serentak berteriak karena terkejut dan girang.
Dengan menenteng obor, Tan Keh Lok masuk lebih dulu, lalu disusul ke 2 nona itu.
Kira-kira mebiluk lima buah tikungan, lagi 10an tombak dimuka, tiba-tiba tampak udara terbuka yang terang. Sebuah tanah datar yang luas!
Tanah datar itu dikelilingi dengan barisan bukit, seperti sebuah piring. Di tengah 2 itu, terdapat sebuah kolam yang airnya jernih laksana permata hnyau. Ketiga orang itu
makin heran. "Asri, buku itu mengatakan, kalau orang Cantik mandi di telaga ini akan menjadi makin Cantik. Kau mandilah!" kata Ceng Tong tertawa.
"Cici yang lebih tua, mandilah dulu!" sahut Hiang Hiang dengan wajah kemerah-
merahan. "Ah, kalau aku yang mandi, tentu makin jelek nanti!"
"Ai, Coba kau timbang perkataannya itu. Cici menggoda aku, dan mengatakan dirinya
tidak Cantik," kata Hiang Hiang pada Tan Keh Lok.
Keh Lok hanya tersenyum simpul.
"Asri, kau mau mandi apa tidak?" tanya sang enci pula.
Hiang Hiang gelengkan kepala. Ceng Tong menghampiri kedekat kolam untuk
mengambil air. Airnya sejuk sekali. Ceng Tong meminumnya seteguk, dan sekujur
badannya terasa nyaman. Keh Lok dan Hiang Hiang pun ikut minum, Mereka
melepaskan lelah di tepi kolam.
Jilid 36 "KINI KITA harus Cari daya bagaimana bisa terhindar dari pengejaran keempat bangsat
itu (Ciauw Cong dan kawan-kawan)," kata Ceng Tong.
"Bagaimana kalau kita kubur dulu rerongkong Mamir itu?" tanya Keh Lok.
"Bagus, dan sebaliknya Ali pun dikubur didampingnya," seru Hiang Hiang.
Mereka kembali masuk ke ruangan batu tadi. Ternyata rerongkong Ali hampir rusak.
Dibawah rerongkong itu terdapat segulung kertas dari kulit bambu. Tali gulungan itu
sudah lapuk, dan sampul kertas-kertasnya telah berantakan. Tapi kertas bambu itu
masih dapat dibaca, karena dicat hitam untuk menjaga dimakan anai-anai. Tulisan pada kertas 2 itu dalam huruf-huruf Han. Kalimat yang pertama berbunyi:
"Disebabkan utara ada ikan besar, namanya ikan khun." Demikian bunyi tulisan, terpetik dari kitab Lam Hwa Keng karangan Huang Tse (Cong Cu). Tan Keh Lok sejak kecil
sudah paham akan karangan itu. Dia, kira bakal mendapat sesuatu kunCi rahasia,
kiranya hanya begitu. Hal mana membuatnya putus asa.
"Apakah itu?" tanya Hiang Hiang yang tak mengerti huruf Han.
"Sebuah kitab kuno bangsa Han. Sekalipun kitab kuno dan sangat berharga sekali, tapi tak berguna untuk kita."
Dilemparnya bundelan kitab dari bambu itu ke tanah, ternyata dibagian tengahnya
samping dari huruf-huruf itu, terdapat guratan 2 yang merupakan huruf Ui kuno.
Tan Keh Lok kembali memungutnya beberapa, justeru tepat pada bab ketiga dari kitab
Huang Tse, jakni "Yang Seng Cu" dan "Pao Ting melepaskan kerbau."
Huruf-huruf Ui di sebelahnya itu ditanyakannya kepada Hiang Hiang.
"Rahasia menghanCurkan musuh, semua di kitab ini," sahut Hiang Hiang membaca.
Keh Lok melengak dan menanyakan artinya lebih lanjut.
"Bukankah dalam tulisan Mamir, ada disebut, bahwa Ali telah mendapatkan sebuah
kitab orang Han dan dari situ dapat mempelajari Cara bertempur dengan tangan
kotong, mungkinkah yang ini?" tanya Ceng Tong.
"Huang Tse mengajari orang supaya menjalankan kebaikan, jauh bedanya dengan
pelajaran silat," tertawa Keh Lok sambil lempar kitab itu lagi dan memungut beberapa tulang terus berjalan keluar.
Ketiga orang itu menanam ke 2 rangka tulang itu di tepi Telaga Warna.
"Ayo kita keluar. Kuda putih itu seekor Cian-li-ma, entah bisa lolos dari mulut serigala atau tidak," kata Keh Lok.
"Apakah isi tulisan dari kitab Huang Tse itu?" tiba-tiba Ceng Tong bertanya.
"Mengatakan tentang seseorang tukang jagal kerbau yang tangkas. Gerakan dari bahu
dan lengan, maju mundurnya sang kaki dan lutut, suara dari sajatan pisaunya tepat
merupakan noot dari sebuah lagu. Gerakannya tak ubah seperti orang menari," sahut
Tan Keh Lok. "Wah, tentu bagus!" seru Hiang Hiang.
"Kalau berhadapan dengan musuh, bisa berlaku begitu, tentu juga hebat," kata Ceng
Tong. Mendengar itu, Keh Lok terkesiap merenung. Kitab Huang Tse, sejak dulu sudah
dibacanya diluar kepala. Tapi ketika nona yang belum pernah mengetahui sama sekali
kitab itu mengemukakan pendapatnya, serasa hatinya menjadl terbuka. Kata-kata yang
indah dari kitab Huang Tse itu, seperti mengalir dalam ingatannya...................
"Gerakannya pelahan, sedikit saja pisau digerakkan, selesailah sudah, bagaikan tanah menutup bumi, tegak mengangkat pisau, memandang ke-empat penjuru, lenyaplah
segala kesangsian. " Ah, kalau aku bisa berlaku demikian, tanpa melihat lagi, sedikit kugerakkan golok, pasti binasalah bangsat Ciauw Cong itu," demikian pikirnya
merenungkan isi kitab itu.
Nampak perubahan wajah Tan Keh Lok yang bersemangat itu Ceng Tong dan Hiang
Hiang menjadi heran. Beberapa saat dipandangnya sikap anak muda itu.
"Tunggulah aku sebentar!" tiba-tiba Keh Lok berseru seraya lari masuk kedalam
paseban. Sampai lama sekali, belum tampak dia keluar. Ceng Tong ajak Hiang Hiang
menyusul. Di paseban situ, Tan Keh Lok tampak sedang menirukan gerakan tangan dan
kaki dari rerangka.
Hiang Hiang Cemas karena mengira pemuda itu menjadi kurang waras. Ia segera
berseru memanggilnya. Tapi Keh Lok tak menghiraukan, setelah menari-nari sebentar,
dia kembali mengawasi dengan seksama pada sebuah rerangka lainnya.
"Yangan bikin takut orang, kemarilah!" seru Hiang Hiang.
Tan Keh Lok tetap tak mendengarnya. Kembali ia menirukan sikap dan gerakan dari


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rerangka itu. Ternyata setiap gerakan dari orang muda itu menimbulkan samberan
angin keras. Kini sedarlah Ceng Tong bahwa Tan Keh Lok sebenarnya sedang
meyakinkan jurus dari semacam ilmu silat.
"Yangan kuatir, dia tak kena apa-apa. Ayo kita tunggu dia diluar," kata Ceng Tong
seraya tarik tangan adiknya.
Ditepi kolam Telaga Warna, kembali Hiang Hiang tanyakan halnya Keh Lok itu kepada
sang Cici. "Mungkin setelah membaca kitab Huang Tse itu, dia mengerti sesuatu jurus ilmu silat
yang hebat, maka dia lalu menirukan gerak sikap rerangka itu. Baik kita jangan ganggu padanya," Ceng Tong memberi penjelasan.
Hiang Hiang dapat dikasih mengerti. Lewat beberapa saat, kembali ia bertanya: "Ci,
mengapa kau tak ikut meyakinkan?"
"Huruf-huruf Han dalam kitab itu artinya dalam sekali. Aku tak dapat mengerti. Lagi
pula, ilmu yang diyakinkan itu juga dalam, akupun masih belum dapat mengikuti."
"Oh, kini aku mengertilah!" kata Hiang Hiang "Rerangka 2 itu semasa hidupnya
mempunyai ilmu silat yang tinggi. Setelah senjatanya disedot jatuh, mereka bertempur dengan tangan kosong melawan anak buah Sanglapa."
"Benar," sahut Ceng Tong, "mereka bukan berkepandaian tinggi, tapi hanya menguasai
beberapa jurus yang lihai, bila perlu, untuk mati bersama-sama dengan musuh."
"Ha, mereka orang-orang yang gagah berani......... tapi mengapa ia harus belajar ilmu itu, apakah iapun hendak mengajak mati bersama dengan musuh?"
"Bukan begitu," jawab Ceng Tong. "Orang yang tinggi ilmunya, tak nanti berlaku nekad begitu. Dia hanya sedang mempelajari sejurus 2 jurus yang luar biasa lihainya."
"Kalau begitu, legalah hatiku," kata Hiang Hiang. Beberapa saat lagi, ia mengajak
Cicinya: "Ci, bagaimana kalau kita ber 2 mandi dikolam ini?"
"Ah, kau memang anak nakal. Kalau dia keluar, bagaimana kita?"
"Ya, sebenarnya aku kepingin sekali mandi."
Walaupun mulut mengatakan begitu, Hiang Hiang tak berani mandi, kuatir Tan Keh Lok
keburu keluar. Namun sampai sejam lebih, orang muda itu belum juga munCul.
Hiang Hiang lepaskan sepatu, kakinya dimasukkan kedalam air dan kepalanya
direbahkan kepangkuan Ceng Tong memandang kelangit yang putih. Tak berapa lama
tertidurlah ia.
Kita menengok kini pada Li Wan Ci dan Hi Tong yang pergi menCari Ceng Tong.
Tahulah apa maksudnya Thian Hong untuk mengutus mereka ber 2 itu. Dalam hati
sianak muda itu, sekalipun dia merasa berterima kasih atas budi sinona yang telah
menolong dan menyintainya itu, tapi selalu dia berusaha untuk menjauhkan diri.
Mengapa dia harus berlaku demikian" Ya, mengapa" Anehnya, ia sendiripun tak
mengerti sebabnya.
Sepanyang perjalanan itu, Wan Ci selalu mengajaknya berCakap dan tertawa, namun
dia selalu bersikap dingin. Wan Ci masgul dan mendongkol. Sewaktu pagi itu ia bangun, diam-diam ia bersembunyi dibalik sebuah bukit pasir. Ingin ia mengetahui, apakah Hi
Tong menjadi sibuk karenanya. Tak dinyana, kalau anak muda itu tetap tak
menghiraukan. Setelah berkaok-kaok memanggil sinona tak kelihatan, dia terus
melanjutkan perjalanannya dengan seorang diri.
Bukan main Cemasnya Wan Ci. Tahulah ia kini, bahwa Sukonya itu tak mempunyai
perasaan suatu apa kepadanya. Sampai sekian lama ia menangis sedu sedan. Puas
menangis, baru ia menyusul.
"Ah, kau masih dibelakang. Kukira sudah berjalan dulu", kata Hi Tong dengan singkat.
Terhadap orang yang berhati seperti batu itu, Wan Ci kewalahan betul-betul.
"Kalau dia sampai menghilangkan mukaku, pedang ini akan memberi penyelesaian
dileherku," diam-diam nona itu mengambil ketetapan.
Tengah hari, mereka berjumpa dengan seekor keledai yang kurus kecil. Penunggagnya
tengah mengantuk. Orang itu tampaknya aneh. Berpakaian Ui, dibelakang punggungnya
menggemblok sebuah wajan baja yang besar, sedang tangannya kanan memegang
sebuah ekor keledai. Keledai itu sendiri ternyata tak ada ekornya. Yang lebih aneh lagi, kepala keledai itu memakai sebuah topi pembesar gi-lim-kun, memakai mata perhiasan
diujung atas dan ada bulu burungnya. Sipenunggang itu kira-kira berumur 40 tahun
lebih dan berewok. Mukanya berseri-seri dan ter-tawa 2.
Sikapnya peramah.
Melihat topi keledai itu, kagetlah Hi Tong dan Wan Ci dibuatnya. Itulah topi kebesaran yang dipakai oleh Ciauw Cong, sebagai pembesar dari barisan gi-lim-kun. Tapi
mengingat Ciauw Cong kini masih terkepung dimedan Sungai Hitam, Hi Tong mengira,
mungkin topi kepunyaan pembesar gi-lim-kun yang lain.
Teringat bagaimana nama Ceng Tong itu dikenal oleh semua orang Ui, bertanyalah Hi
Tong kepada orang aneh itu: "Toa-siok (paman), maaf, adakah kau mengetahui Chui-ih-
wi-sam berada dimana?"
Orang itu tertawa gelak 2. "Mau apa kau Cari padanya?" balasnya menanya.
"Ada beberapa orang jahat hendak menCelakakan padanya. Kami akan memberitahukan
agar ia dapat berjaga-jaga. Kalau kau melihatnya, maukah menyampaikan berita ini?"
"Baiklah! Ta,pi penjahat macam apa mereka itu?" "Seorang yang bersenjata 'tok-kak-
tong-jin', seorang lagi bersenjata 'lak-houw-jat' dan yang ke tiga seorang Mongol",
sahut Wan Ci. "Ya, mereka bertiga memang jahat, mereka pernah kepingin makan keledaiku ini, tapi
sebaliknya mereka kehilangan topinya," orang Ui yang aneh itu mengangguk-angguk.
Hi Tong dan Wan Ci saling berpandangan. Kata Hi Tong: "Siapakah kawannya lagi?"
"Ialah sipemakai topi pembesar ini. Tapi siapakah kalian ini?" tanya orang itu.
"Kami adalah sahabat dari Bok To Lun loenhiong. Dimanakah ketiga penjahat itu"
jangan kasih mereka sampai bertemu dengan Chui-ih-wi-sam," sahut Hi Tong.
"Kabarnya nona Ceng Tong itu lihai juga. Kalau mereka gagal makan keledaiku ini, tentu perutnya lapar. Dan kalau mereka sampai makan nona itu,'itulah hebat," kata orang itu pula.
Diam-diam Wan Ci timbul pikirannya. Tahu ia bahwa ketiga Sam Mo adalah orang-orang
yang gagah tapi kosong otaknya. "Aku akan berdaya untuk membereskan mereka, agar
Suko-ku yang tak memandang sebelah mata padaku ini kenal akan kelihaianku,"
demikian katanya dalam hati.
"Mereka dimana, tolong antar kami kesana, nanti kuberi sekeping perak," katanya
kemudian. "Perak aku tak dojan. Tapi biarlah kutanyakan pada keledaiku, ini mau pergi atau tidak,"
sahut orang aneh itu. Mulutnya ditempelkan ketelinga keledai, Cuwat-Cuwit omong-
omong sebentar, kemudian dia tempelkan telinga kemulut keledai, seperti mendengari
dengan sungguh-sungguh seraya berulang-ulang mengangguk-angguk.
Melihat sikap orang yang aneh itu, diam-diam ke 2 anak muda itu menjadi geli.
Sementara itu tampak orang itu mengangkat alisnya dan berkata: "Setelah memakai
topi pembesar, rupanya keledaiku ini menjadi Congkak. Dia memandang rendah pada
kuda tungganganmu, tak mau jalan bersama-sama, takut kehilangan muka,
merendahkan harga dirinya."
Hi Tong melengak, pikirnya: "Kelakuan orang ini aneh sekali, kata-katanya mengandung arti yang dalam. Dia memaki orang-orang yang tak kenal selatan. Adakah dia itu
seorang luar biasa yang menyembunyikan diri?"
Sebaliknya Wan Ci yang melihat keledai itu kurus, lagi pinCang serta kotor, toh masih berlagak, tak tahan lagi ketawa lebar-lebar.
"Ha, kau tak percaya" Coba mari keledaiku ini kuadu dengan kudamu," kata orang itu.
Kuda yang dinaiki Wan Ci dan Hi Tong itu, adalah pemberian dari Bok To Lun, jadi
bukan sembarang kuda.
Mendengar orang mau adu lari dengan keledai yang kurus dan pinCang itu, segera Wan
Ci menyanggupi: "Baik, jika nanti kami yang menang, kau harus bawa kami kepada
ketiga penjahat itu."
"Empat, bukan tiga. Tapi kalau kau kalah?" sahut orang itu.
"Terserah apa katamu!" sahut Wan Ci. "Kau harus menCuCi keledai ini bersih 2, biar dia unjuk tampang."
"Baik, jadilah. Bagaimana Cara adunya?"
"Kau menghendaki Cara bagaimana, aku menurut!"
Melihat orang berbiCara dengan nada yang tetap seakan-akan merasa pasti akan
menang, Wan Ci lalu berpikir, apakah betul-betul keledai pinCang itu kenCang larinya.
Tapi dia segera ketawa: "Apa yang kau pegang itu?"
"Buntut keledai," sahut siorang aneh itu sambil mengangkat benda. itu. "Setelah
memakai topi kebesaran, sedikit saja ekornya kotor, dia tak mau memakainya."
Mendengar kata-kata orang itu selalu mengandung arti sindiran yang dalam, makin
menaruh perindahanlah Hi Tong. Dia memberi isyarat dengan mata kepada Wan Ci,
supaya berhati-hati.
"Coba kulihat," kata Wan Ci. Dan ketika orang aneh itu mengangsurkan, ia segera
menyambutinya dan membuatnya main-main . Lalu ia menunjuk pada sebuah bukit
yang berada ditempat jauh dan berkata: "Kita lari kebukit itu. Kalau kau yang sampai lebih dulu, kau yang menang. Jika aku yang tiba dulu, aku yang menang."
"Bagus. Keledai yang tiba lebih dulu, berarti aku yang menang. Kuda yang sampai lebih dulu, kaulah yang menang," sahut orang itu.
Wan Ci minta Hi Tong pergi kebukit itu lebih dahulu, untuk menjadi jurinya.
"Ayo, kita mulai!" seru Wan Ci terus Cambuk kudanya menyongklang dengan pesatnya.
Sekira puluhan tombak jauhnya, ia menoleh kebelakang la lihat keledai itu
berdingklangan jauh ketinggalan dibelakang. Wan Ci tertawa gelak 2, makin
memperkeras Congklang kudanya.
Tiba-tiba sebuah bayangan hitam berklebat disampingnya. Begitu diawasinya, ternyata
siorang aneh itu tengah berlarian dengan memanggul keledainya. Larinya pesat seperti angin puyuh.
Saking kagetnya, hampir saja Wan Ci jatuh dari kudanya. Ia Cambuk sang kuda keras-
kerasnamun orang itu tetap seperti angin Cepatnya berada dimuka. Tak berapa lama,
ke 2nya sampailah kebukit. Kesudahannya, keledai yang naik orang itu lebih dahulu
datang dari orang yang naik kuda. Tapi ketika hampir mendekati garis terakhir, tiba-tiba Wan Ci lemparkan buntut keledai itu jauh-jauh kebelakang, seraya berseru keras-keras:
"Kudalah yang tiba lebih dahulu!"
Baik orang itu, maupun Hi Tong sendiri menjadi heran. Terang keledai yang datang
lebih dulu mengapa Wan Ci mengatakan kudanya yang menang"
"Hai, nona besar, bukankah kita telah berjanji: 'keledai yang tiba lebih dulu, aku
menang. Kuda yang datang lebih dulu, kau menang'. Bukankah begitu?"
Sembari menyingkap rambutnya yang terurai tertiup angin, Wan Ci menjawab:
"Benar!"
"Tidak perduli, keledai yang naik aku, atau aku yang naik keledai, pokoknya keledai itu sampai lebih dulu disini. Ketahuilah, dia memakai topi pembesar. Kalau keledai dungu menjadi pembesar, tentu boleh naik diatas kepala orang."
"Telah kita berjanji dimuka: keledai datang lebih dulu, kau menang. Kuda datang lebih dulu, aku menang, bukan?" tanya Wan Ci mengulangi.
"Benar!"
"Dan tidak kita' sebutkan, bahwa keledai yang tidak lengkap sampainya juga dianggap
menang. Bukankah begitu?"
Orang itu mengurut jenggotnya. "Sungguh pikiranku menjadi kacau. Apakah yang kau
artikan dengan 'keledai tidak lengkap' itu?"
Wan Ci menunjuk buntut keledai yang dilemparkan jauh-jauh itu, katanya: "Kudaku
datang dengan lengkap. Sedang keledaimu kurang sedikit, ekornya masih ketinggalan
dibelakang!"
Orang itu kesima, tapi segera ia tertawa gelak 2, katanya: "Benar, benar! Kaulah yang menang. Akan kubawa kalian kepada ketiga telur busuk itu." Habis itu buntut keledai
dipungutnya, katanya kepada sang keledai: "Keledai dungu, yangan karena kau telah
memakai kopiah pembesar, lalu kau buang ekormu yang kotor itu!
Ketahuilah bahwa orang tetap tak dapat melupakan kau!"
Lalu ia Cemplak keledainya dan kembali berkata: "Keledai tolol, belum lama kau naik
orang- tapi kembali orang menaiki kau lagi!"
Sekalipun keledai itu hanya beberapa puluh kati beratnya, tak lebih berat dari seekor anjing besar, tapi memanggul dan dapat berlari sedemikian pesatnya, terang bukan
seorang ahli silat sembarangan.
Hi Tong buru-buru menjura dan katanya: "Sumoayku ini nakal sekali, yangan loCianpwe
ladeni ia. Harap loCianpwe memberi sedikit petunjuk saja, biar wan-pwe sendiri yang
menCarinya. Wanpwe tak berani mengganggu pada loCianpwe".
"Aku kalah, mengapa ingkar?" orang itu tertawa. Begitu dia putar kepala keledainya,
segera berseru pula: "Ayo ikut aku!"
Melihat orang mau membawanya, Hi Tong girang sekali.
Tahu dia bahwa ketiga Sam Mo itu tangguh 2, kalau kesamplokan ditengah padang
pasir tentu berbahaya. Dengan ada orang Ui berjenggot ini, ia tenteram. Demikianlah
ketiganya berjalan dengan pelahan-lahan. Ketika Hi Tong tanyakan she dan namanya,
orang aneh itu hanya mernyawab seperti orang bersenda gurau saja. Tapi setiap kata-
katanya, selalu mengandung arti yang dalam. Sampai Wan Ci sendiri pun terpaksa
mengangguk. Keledai pinCang itu lambat sekali jalannya. Hampir setengah hari, baru dapat tiga 0 li.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara kelontangan. Thian Hong dan Ciu Ki lari menghampiri. Hi Tong memperkenalkannya kepada orang aneh itu. Thian Hong buru-buru turun memberi hormat.
Tapi orang itu tak mau membalas, hanya tertawa: "Isterimu sudah seharusnya
beristirahat, mengapa kau ajak kemana 2?"
Thian Hong kemekmek, sebaliknya Ciu Ki merah padam mukanya, ia menCambuk kuda
dan lari lebih dulu.
Orang Ui itu kenal baik sekali akan jalan 2 dan tempat 2 dlpadang sahara itu. Petang harinya ia mengajak sekalian orang kesebuah dusun. Ketika hampir dekat, banyak sekali sekali ajam dan anjing lari serabutan. Itulah disebabkan ada sebuah pasukan besar dari tentara Ceng yang baru saja tiba disitu. Penduduk suku Ui sama mengungsi dengan
anak isterinya.
"Sebagian besar tentara musuh telah dibasmi, sisanya yang luka-luka pun sudah
terkepung, mengapa masih ada lagi," tanya Hi Tong dengan heran.
Tepat pada saat itu, disebelah muka ada 2puluhan orang Ui lari dikSjar oleh belasan serdadu Ceng.
Orang-orang itu adalah pengungsi 2. Demi melihat si berewok, jakni sipenunggang
keledai itu, mereka sangat girang. Serunya: "Nasrudin Affandi, tolonglah kami!"
Thian Hong tak mengerti apa maksud jeritan orang-orang itu, keCuali kata-kata
"Nasrudin Affandi" itu. Dia duga, tentulah nama orang berjenggot itu.
"Ayo kita lari!" seru Affandi terus larikan keledainya ketengah gurun.
Pengungsi 2 itu mengikutinya, dan serdadu 2 Ceng itupun tetap mengejarnya. Tak
berapa lama, mereka sudah terpisah jauh dari dusun itu. Selama itu, ada beberapa
wanita Ui yang ketinggalan dan tertangkap oleh kawanan serdadu Ceng. Melihat itu, Ciu Ki tak kuat menahan marahnya, memutar kudanya ia terus menyerang. Seorang
serdadu segera terpapas kutung kepalanya. Kawan-kawan nya segera maju
mengepung, tapi Thian Hong, Hi Tong dan Wan Ci keburu datang menolong.
Sekonyong-konyong Ciu Ki rasakan dadanya sesak, matanya berkunang-kunang.
Melihat orang simpan golok dan meng-urut 2 dada, ssorang serdadu Cepat-cepat maju
menyerang. Rasa muak makin menghebat, dan sekali muntah, ludah terCampur kotoran
keluar dari mulut Ciu Ki tepat menyemprot kemuka siserdadu.
Selagi serdadu itu sibuk menghapus kotoran, Ciu Ki telah menabasnya hingga binasa.
Tapi karena menggunakan kekuatan, tubuhnya kelihatan sempoyongan. Buru-buru
Thian Hong menyanggapi dan menanyakannya.
Pada saat itu, Hi Tong dan Wan Ci pun telah dapat membunuh 2 tiga musuh. Sisanya,
lari ketakutan. Tampak Affandi mengangkat wajan besinya, diputar 2 terus ditutupkan
keatas kepala seorang serdadu seraya berseru: "Dibawah wajan ini ada semangka
busuk!" Dan sekali Wan Ci menusuk, karena kepala tertutup, habislah nyawa serdadu itu.
Kembali Affandi mengangkat wajannya, dan kembali ditutupkannya kepada lain
serdadu. Wan Cipun lagi-lagi tinggal menusuk saja. Entah orang Ui itu pakai ilmu apa, tapi sekali menutup; serdadu 2 itu tak berdaya menghindar.
Demikianlah, kerja sama antara Affandi dan Wan Ci itu, telah berhasil membasmi bersih belasan serdadu. Bukan main girangnya Wan Ci.
"Paman berewok, wajanmu hebat benar!" katanya.
"Ya, pisau pemotong sajurmu, juga boleh," sahut Affandi tertawa.
Wan Ci melengak. Baru ia mengerti, kalau yang dikatakan "pisau pemotong sajor" itu
adalah pokiamnya.
Thian Hong dapat menawan seorang serdadu dan mengompes keterangan. Serdadu itu
ketakutan setengah mati lalu menerangkan bahwa dia adalah Anggota pasukan
balabantuan untuk Tiau Hwi. Thian Hong suruh 2 orang pengungsi yang berbadan
sehat, supaya lekas-lekas kekota Yarkand untuk memberitahukan hal itu kepada Bok To
Lun, agar dapat ber-siap 2.
"Enyahlah!" bentak Thian Hong sembari mendupak serdadu itu hingga bergelundungan
beberapa meter, terus melarikan diri. Setelah itu, Thian Hong lalu menghampiri sang
isteri untuk menanyakan keadaannya.
Ciu Ki kemerah-merahan mukanya, ia melengos tak mau menjawab.
"Kerbau betina akan melahirkan anak kerbau, kerbau jantan yang sedang makan
rumput itu pasti senang sekali. Tapi ada beberapa keledai dungu yang makan nasi,
sedikitpun tak mengerti," kembali Affandi mengoCeh luCu.
Tiba-tiba Thian Hong kegirangan, mukanya berseri-seri tertawa, tanyanya: "LoCianpwe
bagaimana bisa mengetahui?"
"Heran, sikerbau betina hendak melahirkan anak kerbau, kerbau jantan tak tahu,
sebaliknya keledai bisa tahu," tertawa Affandi.
OCehan yang luCu itu, membuat semua orang tertawa geli. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanannya lagi. Menjelang petang hari, mereka mendirikan kemah.
Dalam pada itu, Thian Hong menanyakan lebih jelas kepada isterinya.
"Seekor kerbau dungu, masa bisa tahu?" Ciu Ki menggoda. "Kalau dia seorang anak
lelaki, harus she Ciu. Ayah dan ibu tentu girang sekali. Ha, sekali-kali yangan sampai menurunkan sifat aneh seperti kau."
Thian Hong nasehati sang isteri supaya menjaga diri baik-baik .
Keesokan harinya Affandi berkata kepada Thian Hong: "Sekira tiga 0 li lagi, adalah
rumah tinggalku. Ada seorang isteriku yang Cantik disana.................."
"Benarkah itu" Aku harus menemuinya. Bagaimana ia bisa menyukai seorang berewok
seperti kau?" Wan Ci memutus.
"Ha, ha, itulah rahasia!" Affandi tertawa. "Tak baik kalau isterimu berkuda ikut dalam perjalanan, lebih baik mengasoh dirumahku. Nanti kalau sudah dapat membekuk ketiga
telur busuk itu, kita jemput dia," kata pula Affandi kepada Thian Hong.
Thian Hong haturkan terima kasih. Sedianya Ciu Ki tak mau, tapi mengingat ke 2
engkoh dan seorang adik lelakinya meninggal semua dan kini anak yang dikandungnya
itu bakal memakai she keluarganya, terpaksa ia menurut.
Dimuka rumahnya, Affandi mengetuk 2 wajannya hingga kedengaran suara
berkerontangan yang nyaring. Pada lain saat, munCul ah seorang wanita kira-kira
berumur tiga 0 tahun. Rupanya benar-benar Cantik sekali, kulitannya putih dan halus.
Demi melihat Affandi, girangnya bukan kepalang. Tapi mulutnya tak henti 2nya memaki:
"Ha, Berewok, kau ngelajap kemana" Mengapa baru sekarang ingat pulang, apa kau
masih ingat padaku?"
"Sudahlah, yangan ribut 2. Apakah sekarang ini saja tidak pulang" Lekas sediakan
makanan. Kaupunya pak Jenggot ini sudah lapar sekali!" sahut si berewok.
"Lihatlah, wajah yang sedemikian Cantik ini, masa belum kenyang bagimu?" sahut isteri Affandi.
"Benar. Wajahmu yang Cantik ini, adalah sajur majur. Tapi jika harus dimakan dengan
roti, tentu lebih Cantik lagi."
Isteri Affandi menjiwir telinga suaminya, ia berkata: "Tak kuijinkan kau pergi lagi!"
Terus wanita itu lari masuk, kemudian keluar lagi membawa macam 2 roti dan kuweh 2,
buah semangka, madu dan daging kambing. Tengah mereka sama makan, diluar
terdengar suara hiruk-pikuk, dan masuklah sekawanan orang
Ui. Mereka saling berebutan melaporkan halnya masings kepada Affandi. Dengan
tertawa 2, Affandi melerai perCideraan mereka. Dan orang-orang itu pergi dengan puas.
Baru saja mereka berlalu, kembali ada masuk 2 orang, seorang anak 2 dan seorang
tukang pengangkut.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nasrudin, Oh-loya mengatakan, wajannya yang kau pinjam itu harus dikembalikan,"
kata sianak. Affandi memandang Ciu Ki sekejap, lalu katanya seraya. tertawa: "Bilanglah pada Oh-
loya, wajannya, sedang mengandung, dan tak lama akan melahirkan anak. Sekarang
tak boleh banyak sekali bergerak." Anak itu melongo heran, tapi terus berlalu pergi.
"Mau apa kau Cari aku," kini Affandi bertanya pada si tukang pengangkut.
"Tahun lalu aku makan seekor ajam disebuah hotel disini," jawab orang itu. "Selesai, makan kuminta sipengurus membuka rekening. Tapi orang itu menjawab lain kali saja,
tak perlu terburu-buru. Kukira pengurus itu seorang baik-baik , kuhaturkan terima kasih padanya. Dua bulan kemudian kudatang akan membajar. Dia menghitung jari, dan
mulutnya tak henti 2nya menyebut jumlah, seakan-akan rekening itu tak terhitung
banyak sekalinya. 'Berapakah harga ajammu itu, bilanglah!' kuberseru. " Pengurus itu memberi isyarat dengan tangan, supaya aku yangan mengganggunya."
"Harga seekor ajam, taruh kata yang paling besar dan gemuk sendiri, paling banyak
sekali hanya seratus uang tembaga!" isteri Affandi menyelak.
"Begitulah memang dugaanku," kata si tukang pengangkut itu. "Tapi ternyata setelah
menghitung 2 hampir setengah hari, pengurus itu berseru: 'Duabelas tail perak' '."
"Astaga!" isteri Affandi menepuk tangan karena terkejut. "Mengapa semahal itu"
Duabelas tail perak dapat dibelikan beberapa ratus ekor ajam!"
"Memang telah kukatakan begitu kepada sipengurus hotel. Tapi apa jawabnya" Ia
berkata: 'Tak salah barang sedikitpun. Coba kau hitung: Andaikata ajamku tak kau
makan, dia tentu sudah bertelur. Dan telur 2 itu tentu akan menetas anak ajam. Kalau anak-ajam 2 itu besar, tentu akan bertelur lagi dan begitu seterusnya! Masih bermacam 2 kata-kata pengurus itu. 'Duabelas tail perak masih! murah!' katanya paling
akhir. "Sudah tentu aku tak sudi digorok begitu. Dia seret aku ketempat hartawan Oh-loya
minta keadilan. Habis mendengar laporan sipengurus, Oh-loya minta supaya aku lekas-
lekas membajar. Katanya: Kalau aku berani main ajal 2an, begitu telur 2 itu menetas, pasti lebih besar lagi jumlah utang yang aku harus bajar. "Nasrudin, tolonglah kau adili urusan ini.........."
Baru ia berkata sampai disini, anak kecil suruhan Oh-loya tadi datang kembali, katanya:
"Oh-loya bilang mustahil wajannya bisa mengandung, dia tak perCaja dan minta supaya
barang- itu lekas-lekas dikembalikan!"
Affandi menuju kedapur, ia mengambil sebuah wajan kecil dan diberikan pada sianak.
"Apa ini bukan anak wajan" Berikanlah ini pada Oh-loya!" katanya.
Dengan setengah kurang perCaja, anak itu membawa pergi anak wajan itu.
"Malam ini mintalah Oh-loya adakan sidang terbuka," kata Affandi kepada si tukang
tadi. "Kalau aku kalah, bukankah malah akan mengganti 24 tail perak?"
"Yangan kuatir, tak nanti kau kalah!"
Orang itu menghaturkan terima kasih dan minta diri. Tiba-tiba Affandi memandang
keatas wuwungan rumah, mulutnya berkemak-kemik.
"Apa kau sudah kenyang?" tanya sang isteri.
Affandi tak menghiraukan.
"Hampir setengah bulan tak pulang, sekali pulang yang disibuki urusan lain orang.
Belum pesanan orang dikerjakan, terus bergegas-gegas mau pergi lagi," isterinya
mengomel. Lalu diambilnya tiga uang tembaga dan sebuah mangkok, diberikan pada
Affandi, katanya: "Belikan aku semangkok minyak, yangan bikin kapiran."
Affandi menurut. Dalam hati Wan Ci timbul rasa kagum dan heran akan jiwa Affandi
yang suka menolong kesukaran orang.
"Aku ikut, paman berewok!" serunya.
Dengan memegang mangkuk dan uang, Affandi menggrendeng sambil berjalan:
"Seekor induk ajam bertelur beberapa butir, menetas jadi beberapa ekor anak ajam.
Anak ajam menjadi besar dan bertelur pula. Ah, bagaimana Cara menghitung
harganya?"
Tiba diwarung, uang Affandi letakkan dia tas meja, dan mangkuk diangsurkan. Si
penjual segera menuangkan minyak. Ternyata mangkuk itu tidak muat.
"Kak Nasrudin, sisa .minyak ini dituang dimana?" tanya sipenjual.
"Setelah bertelur, kembali. menetas anak.ajam lagi........." demikian Affandi
menggumam sambil niembalik mangkuk tanpa pikir hingga minyak d.idalamnya tumpah.
"Tuangkan dilekukan bawah ini," serunya sambil menunjuk kebawah mangkuk.
Melihat itu Wan Ci tertawa keras, namun Affandi tak menghiraukan. "Tuangkan disini!"
katanya pula. Sipenjual segera menuangkan sisa minyak yang tinggal sedikit itu. Setiba dirumah, sang isteri heran.
"Hai, tiga uang tembaga masa hanya dapat minyak sebegini" Kita ada tetamu dan perlu
menggoreng kuweh 2 yang banyak sekali," tanya isterinya.
"Tidak hanya ini, disebelah sini masih ada," kata Affandi sambil membalik mangkuknya.
Dan sisa minyak itu jadi tumpah lagi dan kosonglah isi mangkuk itu.
Isterinya mendongkol dan geli. Buru' 2 dipesutnya badan suar minya yang ketumpahan
minyak itu. Tiba-tiba: "Cup", Affandi mencium muka sang isteri.
"Carilah akal! Lekas gorengkan kuweh!" katanya.
"Minyaknya" tanya si isteri.
"Minyak" Bukankah aku barusan dari warung membeli semangkuk minyak?"
Tapi serta teringat akan kebodohannya tadi, Affandi tertawa ter-gelak 2. Begitu samber mangkuk, dia berlari-lari membeli lagi ke warung.
Tak berapa lama, si tukang tadi munCul lagi, katanya: "Paman Nasrudin, Oh-loya telah memanggil persidangan besar, harap kau lekas kesana."
"Aku masih ada, urusan, sebentar lagi," sahut Affandi.
Orang itu gugup sekali, beberapa kali dia keluar masuk kedalam rumah Affandi, untuk
mendesaknya. Kini baru Affandi terpaksa menurut. Thian Hong dan Kawan-kawan nya
ikut pergi untuk menyaksikan sidang itu.
Dipusat kota sudah berkumpul 7 delapan ratus orang. Di-tengah-tengah itu duduk
seorang gemuk yang berpakaian jubah sutera kembang. Mungkin itulah dia yang
disebut Oh-loya. Nampaknya mereka sudah lama menantikan Affandi.
"Affandi, orang itu mengatakan kau akan jadi pembelanya, mengapa baru sekarang kau
datang?" tanya Oh-loya.
Affandi memberi hormat lalu jawabnya: "Maaf, karena ada urusan penting, aku sampai
terlambat."
"Apa betul ada lain urusan yang lebih penting dari pengadilan ini?"
"Tentu. Coba pikirkan, besok pagi aku hendak tanam gandum. Tapi bibit gandum masih
belum matang. Kubakar tiga taker gandum, lalu kumakan, maka kudatang terlambat,"
kata Affandi dengan, berulang-ulang memberi hormat.
"NgaCo-belo!" seru Oh-loya dan sipengurus rumah penginapan itu. "Gandum sudah
dimakan, mana "bisa ditanam! Orang gila semacam kau, mengapa jadi pembela!"
Semua orang yang hadir disitupun tertawa. Namun Affandi hanya meng-urut 2
jenggotnya dan tersenyum.
Setelah suara tertawa reda, berkatalah Affandi: "Benar, "benar! Lalu ajam yang sudah dimakan orang, dari mana bisa bertelur"!"
Riuh rendah tampik sorak para hadirin. Affandi dipanggul beramai 2 dan di-elu 2 orang banyak sekali. Akhirnya Oh-loya mengeluarkan putusan: "Seekor ajam yang dimakan
orang itu, Cukup dibajar 100 uang tembaga!"
Bukan main girangnya orang tadi. Sebongkok uang tembaga segera diserahkan kepada
sipengurus hotel. "Kelak aku tak' berani lagi makan ajammu!" serunya sambil tertawa.
Terpaksa sipengurus hotel mengambil uang itu, terus berlalu. Semua penduduk yang
hadir dalam sidang itu, mengiringkan dibelakangnya seraya memper-olok 2 dan
memakinya. Malah ada beberapa anak nakal melemparkan batu kepung gurig pengurus
hotel itu. "Sekarang wajanku yang kau pinjam itu melahirkan sebuah anak wajan elok", kata Oh-
loya pula seraya menghampiri Affandi. "Dan kapan dia melahirkan yang ke 2 kalinya?"
Tiba-tiba Affandi kerutkan dahinya, dan berkata dengan sedih: "Wah, Oh-loya, maaf,
wajanmu telah meninggal dunia!" . "NgaCo, wajan bisa mati?" sentak Oh-loya "Mengapa
tidak" Kalau dia bisa beranak, tentu bisa mati juga," sahut Affandi dengan sabar.
"Penipu, kau mau mengelapkan wajanku!" kata Oh-loya. "Baik, mari kita timbang",
Affandi juga mulai berteriak.
Teringat oleh Oh-loya, ia sendiri serakah dan mau menerima anak wajan. Hal itu, kalau sampai diketahui orang, alangkah malunya. Maka seperti "sigagu makan empedu," atau
orang yang tak dapat menyatakan penderitaannya, akhirnya Oh-loya melambaikan
tangan, terus menyelinap pergi diantara orang banyak sekali.
Setelah dapat mengingusi sihartawan Oh-loya yang suka menindas simiskin itu. Affandi girang bukan buatan. Mendongak keatas dia tertawa ter-bahak 2.
Selagi begitu, kedengaran sebuah suara memanggilnya: "Hai, Berewok, kau membikin
onar apa disitu?"
Ketika Affandi berpaling, dia girang sekali, karena orang itu bukan lain adalah Thian-ti-koay-hiap Wan Su Siau.
Ke 2 orang aneh itu, yang satu tinggal disebelah selatan dan lainnya disebelah utara, adalah orang-orang gagah yang menjalankan peri-kebajikan, menolong yang lemah dan
menindas yang jahat. Ke 2nya mempunyai ilmu silat yang luar biasa, dan sama 2 saling mengindahkan. Buru-buru Affandi memegang tangan Koayhiap, seraya tertawa. "Ha,
ha, kau siorang tua ini, Ayo, kepondokku untuk menengok isteriku".
"Apanya yang mengherankan pada isterimu, mengapa selalu kau buat buah tutur saja?"
Kata-kata Koayhiap tak dapat dilanjutkan karena keburu Thian Hong dan Hi Tong
datang memberi hormat. Ke 2 erang ini pernah melihat Tan Keh Lok main Catur dengan
orang tua ini digereja Giok Hi To Wan dulu, maka tahulah mereka bahwa dia adalah
Suhu dari TiongthoCu-nya.
"Sudahlah sudah, aku bukan Suhumu, mengapa kalian menjura 2 begitu" Dan dimana
Keh Lok?" "Tan-CongthoCu berangkat lebih dulu dari kita......... ai, Tan loyaCu dan Lothaythay juga datang!" seru Thian Hong. lalu memberi hormat pada Thiansan Siang Eeng yang
berada dibelakang Koayhiap. Tapi ia segera menjadi kaget demi dilihatnya Kwan Bing
Bwe menuntun kuda putih tunggangan Tan Keh Lok. Tanpa sungkan 2 iapun
menanyakannya. "Kudapatkan kuda putih kepunyaan CongthoCumu ini Q
sedang berlari-lari dipadang pasir. Kami bersusah payah mengejar baru dapat
menangkapnya", sahut Kwan Bing Bwe.
"Ha, apa Tan-CongthoCu dalam bahaya?" tanya Thian Hong dengan kaget.
Lebih dulu rombongan orang-orang itu menuju kerumah Affandi, setelah selesai dahar
segera mereka pergi pula dan Ciu Ki ditinggal disitu.
Melihat baru setengah hari suaminya datang dan segera akan pergi lagi, isteri Affandi menjerit 2 dan menangis seraya memegang jenggot sang suami. Affandi
menghiburinya, namun ia tetap me-ngiang 2.
"Kau minta jenggotku ini" Baiklah!" seru Affandi sambil tiba-tiba menCabut belasan utas jenggotnya, disesapkan ke-dalam tangan sang isteri terus melesat keluar.
Sambil menunggangi keledai pinCang yang besarnya tak melebihi seekor anjing besar
kepunyaan Affandi itu, ke 2 kaki Affandi seperti jujul sampai ketanah. Tampaknya
keledai itu seperti berkaki enam.
"Hai, Berewok, apa yang kau tunggangi itu" KuCing atau tikus?" tanya Koayhiap dengan tertawa.
"Masakah ada tikus sebesar ini?" sahut Affandi.
"Mungkin tikus besar", seru Koayhiap.
Demikianlah sambil berCanda, mereka menuju kesebelah r
barat. Wan Ci yang naik kuda putih kepunyaan Lou Ping itu, dapat berjalan pesat dan
berada disebelah depan.
Sampai hari sudah sore, ternyata mereka baru berjalan tigapuluhan li, hal ini membuat mereka gelisah. "LoCianpwe, CongthdCu kami mungkin dalam bahaya, kami terpaksa
akan berjalan lebih dulu," aehirnya Thian Hong berkata kepada Affandi, karena tak
sabar melihat jalannya keledai yang menggeremet seperti semut itu,
"Baik, baik, sesampai dikota sebelah muka sana, akan kubeli seekor keledai yang
berguna. Keledai bodoh ini tak berguna, tapi dia senantiasa menganggap dirinya jempol sendiri," sahut Affandi. Tapi ternyata begitu keledai dike-prak, binatang itu terus lari menyusul Wan Ci. Tinggi keledai itu hanya separohnya kuda putih.
"Nona, seharian ini mengapa kau kelihatan bermuram durja saja?" tanyanya kepada
Wan Ci. Tiba-tiba teringat oleh Wan Ci, sekalipun orang ini luar biasa kata-katanya seperti orang sinting, tapi mengandung arti yang dalam. Setiap ada orang Ui mendapat kesukaran,
mereka tentu datang meminta pertolongan padanya. Maka berkatalah nona itu: "Paman
Jenggot, terhadap orang yang tak kenal budi, kau akan bertindak bagaimana?"
"Akan kukerudungi dengan wajanku ini, dan kaulah yang menusuknya."
"Bukan begitu," sahut Wan Ci sambil gelengkan kepalanya. "Misalnya orang itu adalah
orang............ orang yang paling akrab denganmu. Makin kau berlaku baik kepadanya, makin dia unjuk tingkah seperti keledai."
Affandi tertawa mengurut jenggotnya. Segera dia dapat menangkap maksud sinona itu,
katanya: "Setiap hari kumenunggang keledai, jadi tahulah aku akan watak keledai. Ja, memang ada Caranya, hanya saja tak boleh Cara itu sembarangan kuajarkan padamu."
Wan Ci tertawa riang, .lalu membujuk dengan lemah lembut: "Paman Jenggot, apa
sjaratnya agar kau mau mengajarkan?"
"Harus melalui perlombaan lagi, kalau kau menang baru kuajarkan."
"Baik, kita berlomba lari lagilah," kata Wan Ci tertawa 2.
"Lain macam perlombaan saja, lomba lari sekali ini kau tentu kalah," kata Affandi seraya mengeluarkan buntut keledainya, "karena sekarang aku pasti tak dapat kau akali."
"Kalau tak perCaja, mari kita boleh Coba lagi," Wan Ci membandel.
"Baik, akan kulihat kaupunya ilmu apa lagi." Affandi menunjuk pada sebuah desa yang
berada disebelah muka, lalu katanya: "Siapa yang menCapai dirumah pertama, dia yang
menang!" "Baik, Paman Jenggot, kau tentu kalah lagi!" seru sigadis.
Dan sekali kaki Wan Ci. dikempitkan, kuda putih itu melesat kemuka seperti anak panah pesatnya. Pada lain saat, Affandipun segera 1 memanggil keledainya, terus menyusul.
Kuda putih itu adalah seekor kuda sakti yang tak ada taranya. Larinya benar-benar
seperti kilat, maka sekalipun ilmu mengentengi tubuh dari Affandi itu sudah sempurna sekali, namun tetap tak dapat nienyusulnya. Baru dia berlari setengah perjalanan. kuda putih itu sudah sampai didusun itu.
"Ha, kembali aku diakali nona kecil itu. Kutahu kuda putih itu kuda sakti, tapi tak
mengira kalau larinya sedemikian pesatnya," kata Affandi dengan tertawa.
Thiansan Siang Eng terkesiap menyaksikan itu. Memanggul seekor keledai, itu masih tak mengherankan. Tapi bagaimana orang Ui itu seperti orang terbang larinya, sungguh
membuat mereka tunduk. Jika bukan kuda putih itu, pasti akan terkalahkan.
Tepat pada saat itu, kuda putih kedengaran bebenger keras serta kakinya depan
melonjak 2 keatas. Wan Ci Coba menahan lesnya, tapi tak kuat. Dalam sekejap saja,
kuda putih itu sudah menCongklang keluar dari desa itu. Hal itu telah membuat Cemas
semua orang yang segera sama mengejarnya.
Kuda putih itu menCongklang pesat kearah padang pasir. Dia lari menuju kearah
beberapa orang, dan tiba-tiba berhenti. Wan Ci turun dan berbiCara dengan mereka.
Thian Hong cs yang menyusul dari belakang itu, tak dapat melihat jelas siapakah orang-orang itu. Tapi segera kuda putih itu kelihatan lari balik, begitu dekat, barulah Thian Hong mengetahui bahwa penunggangnya sudah berganti dengan Lou Ping. Dan malah
dibelakangnya, tampak pula Bun Thay Lay, Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi. Sementara
yang paling belakang sendiri, ada seorang penunggang yang rambutnya sudah putih,
menggendong pedang, dan sedang memimpin Wan Ci dan ber-Cakap 2 dengan
asjiknya. Kiranya, dia adalah Liok Hwi Ching.
Hi Tong buru-buru menghampiri Hwi Ching dan menjura: "Susiok!" serunya terus
menangis dengan sedihnya.
Hwi Ching mengangkatnya bangun, ia, sendiripun menguCurkan air mata.
"Telah kudengar akan perihal suhumu, maka bergegas-gegas kususul kemari.
Ditengah'jalan kubertemu dengan Bun-suya yang kebetulan pun akan menangkap
bangsat itu............ sudahlah, kita tentu dapat membalaskan sakit hati suhumu!"
menghibur Hwi Ching" dengan tak lampias.
Thian Hong dan lain-lainnya pun menghiburi, baru Hi Tong menjadi tenang.
Dengan adanya sekian banyak sekali jago-jago yang kosen itu, Ciauw Cong pasti tak
dapat lolos. Hanya yang menjadi pikiran mereka adalah keadaan Tan Keh Lok dan Ceng
Tong yang masih belum diketahui itu.
Setiba didusun itu, mereka mengaso. Affandi betul juga membeli lagi seekor keledai,
selama itu diam-diam Wan Ci mengikutinya. Affandi seperti tak menghiraukan, dibelinya seekor keledai yang 2 kali gemuknya dari keledainya yang lama, lalu keledai kerdil itu dijualnya.
"Kopiah pembesar telah menyilaukan keledai dungu ini, maka takkan kubiarkan dia
memakainya lagi," katanya sembari membanting kopiah milik Thio Ciauw Cong itu
Setanah dan di-injak 2nya sampai rusak.
Setelah Affandi membajar harganya, Wan Ci bantu menuntun keledai itu.
"Dulu kupelihara seekor keledai," demikian Affandi ber Cerita, "wataknya bengal tak
mau tunduk pada orang. Kusuruh jalan, dia berdiri. Kalau kusuruh berdiri, dia berputar 2. Pada suatu hari, kusuruh dia menarik pedati kepeng gilingan yang letaknya tak jauh, tapi entah apa sebabnya, dia membangkang. Makin kupaksa, makin dia berkeras
membelot, tidak maju malah mundur. Aku menjadi serba salah, mau meng-elus 2 atau
menghajarnya. Coba kau terka, apa dayaku?" tanya Affandi.
Tahu Wan Ci bahwa orang Ui itu tengah berCangkeriman dengan kata-kata kiasan.
Maka ia mendengarinya dengan teliti, tak berani tertawa.
"Kau orang tua, tentu punya akal," demikian jawabnya.
"Waduh, kalau nona besar pingin menjadi menantu, apa saja tentu mau melakukan.
Dulu memanggil aku 'Paman Jenggot', kini panggil 'kau orang tua'."
Selebar muka Wan Ci menjadi merah jengah.
"Aku bertanya tentang keledaimu," katanya kikuk.
"Baiklah. Kemudian kumenCari akal, dan berhasil ah! Kutarik keledai itu berputar kearah belakang. Penggilingan disebelah timur, kuhadapkan keledai itu kebarat, lalu kumaju
menCambuknya. Keledai itu membangkang dan malah setindak demi setindak mundur,
dan mundur hingga sampai ketempat penggilingan itu."
Wan Ci mendengarkan dengan asjiknya, mulutnya berkemak kemik: "Kau suruh dia
ketimur, dia senantiasa menuju kebarat .................. kalau begitu, suruhlah dia menuju kebarat."
"Bagus, memang begitu," kata Affandi sembari unjuk jempolnya. "Kemudian, aku
mendapat akal baru."
"Bagaimana?" buru-buru Wan Ci bertanya.
"Kuikatkan sebuah lobak pada ujung peCut, dan kupasang disebelah mukanya. Karena
ingin memakannya, keledai itu terus maju sampai berpuluh-puluh 2 li. Sampai ditempat yang kukehendaki, baru kuberikan lobak itu padanya."
Seketika itu tersedarlah Wan Ci. Ia tertawa.
"Terima kasih kau orang tua memberi pengajaran padaku."
"Sekarang t jarilah lobak pengumpan itu!" tertawa Affandi.
Wan Ci merenung dalam hati. "Apakah yang paling dikangeni oleh Ie suko itu" Tadi
waktu ketemu Suhu, dia menangis sedih, kalau begitu, membunuh Ciauw Cong itu
merupakan hal yang mutlak baginya. Aku harus menCari akal untuk itu."
"Ah, tapi Ciauw Cong sedemikian tangguhnya, mana aku bisa membunuhnya" Dan lagi,
andaikata bisa, paling banyak sekali Suko tentu hanya menghaturkan terima kasih saja.
Tak nanti dia seperti keledai yang mengejar lobak itu," tiba-tiba hatinya membantah.
"Semasa kecil, pernah kulihat anak dari pelayanku ber-main-main boneka. Kumintanya,
tapi sampai kumenangispun dia tak mau memberikan. Kata-kata paman Jenggot ini
memang benar, makin kudekati, makin dia men-jauhi. Kalau begitu, biarlah aku
bersikap dingin saja. Nanti kalau ia menganggap perlu padaku, tentu ia akan datang
me-minta 2 sendiri padaku. Coba, keledai itu masih segan pergi ketempat penggilingan atau tidak?"
Dengan keputusan itu, sepanyang jalan Wan Ci kini bersikap dingin kepada Hi Tong. Hal itu telah membuat Lou. Ping dan Thian Hong heran. Tapi sebaliknya Affandi ter-senyum 2 mengurut jenggotnya.
Perjalanan sehari itu, telah membawa rombongan mereka kegunung Pek-giok-nia. Kuda
putih itu nyata masih jeri dengan serigala. Setiba dipersimpangan jalan masuk kedalam kota kuno, binatang itu berhenti. Berulang-ulang Lou Ping roe-nepuk 2nya, tapi kuda itu tetap tak mau jalan.
"Kawanan serigala itu pernah masuk kemari, kita ikuti bekas kotorannya masuk
kedalamnya," kata Koayhiap.
Setelah berlika-liku sampai setengah harian, tiba-tiba kuda putih yang berada paling belakang sendiri, meringkik keras. Dan seketika itu, terdengarlah suara tindakan kaki orang. Pada sebuah tikungan, munCul ah empat orang. Orang yang dimuka sendiri,
adalah Hwe-Chiu-poan-koan Thio Ciauw Cong.
Segera Thian Hong bersuit, suruh Jun Hwa, Ciang Cin dan Sim Hi berpenCar, untuk
menghadang dibelakang Ciauw Cong. Sebaliknya demi melihat rombongan orang-orang
gagah itu, bukan kepalang kagetnya Ciauw Cong. Terutama, ketika melihat Liok Hwi
Ching, Suhengnya, ikut serta, ia takut bagaikan melihat setan, wajannya pilas seketika dan keningnya mengalirkan keringat dingin.
Sementara itu dengan kim-tioknya, terus saja Hi Tong hendak meneryang, tapi
dnyambret kebelakang oleh Koayhiap.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ketika bertemu padamu beberapa waktu yang lalu, kuanggap kau seorang jago lihai
dari Bu Tong Pai, tak taliunya kalau bangsa bajingan, sehingga Suheng sendiri tegah
kau membunuhnya. Rupanya kau ingin hidup senang sendiri!" dengan keren Thian-ti-
koayhiap memaki.
Melihat bahwa dalam rombongan musuh itu, sekurang 2nya ada 5 orang yang
kepandaiannya sama dengan dirinya, sedang ada lagi seorang yang diatas tingkatannya, gentarlah Ciauw Cong. Tapi dia masih tak mau unjuk kejerian, katanya: "Fihakku hanya 4 orang, kamu andalkan jumlah banyak sekali untuk merebut kemenangan. Aku Thio
Ciauw Cong, sekalipun nanti binasa, takkan malu rasanya!"
Thian-ti-koayhiap murka, pikirnya: "Kawannya yang tiga itu, juga tergolong keras-keras.
Kalau mereka berempat maju mengerubuti, aku pasti tak dapat melayanni. Tapi ada
Jenggot Panyang, tak apalah."
Maka katanya lantas: "Hm, ketika aku berusia tiga 0 tahun, dapat aku melayani orang
dengan berimbang. Tapi setelah lewat usia itu, tak pernah'aku bertanding satu lawan
satu. Tantangan inipun tak terkeCuali berlaku untuk bangsa bebodoran semacam kau.
Kau berempat boleh maju berbareng, aku bersama saudara Jenggot ini akan
melayaninya. Asal kau berempat dapat melawan, tak usah menang, Cu-kup berimbang
saja, akan kulepaskan kauorang. Nah, bagaimana?"
Ciauw Cong memandang tajam 2 pada Affandi. Ia lihat orang Ui ini wajannya hitam,
segompjok brewoknya menutupi hampir separoh mukanya dan kalau ketawa matanya
berobah menjadi 2 larik sinar, nampaknya seperti orang biasa yang tak punya
kepandaian apa-apa. Maka berpikirlah ia:
"Orang she Wan ini berkepandaian jauh diatasku. Tapi masa masih ada orang lihai yang ke 2 lagi" Kalau salah seorang dari Kwantong Sam Mo itu mau membantuku, aku dapat
melayani siorang she Wan. Sedang yang 2 orang lagi bisa meladeni orang Ui itu. Ah,
bolehlah."
Memang Ciauw Cong tak ada pilihan lain, keCuali berbuat begitu. Maka berkatalah dia:
"Kalau begitu, baiklah diCoba. Harap Wan............ Wan-tayhiap berlaku murah."
"Tanganku tak1 mau disuruh berlaku murah!" jawab Koayhiap dengan bengis.
"Ayo Berewok, dimuka sekian banyak sekali sahabat 2 baru, yangan sampai kita
membikin keCewa mereka," serunya pada Affandi.
"Aku seorang dusun tua, melihat bangsa pembesar agak merasa jeri, kuatir
mengeCewakan," sahut Affandi, dan entah bagaimana dia bergerak, tahu-tahu sudah
turun dari keledainya.
Melihat gerakannya itu, tiba-tiba teringatlah Ciauw Coug akan siorang aneh yang
menyaru menjadi orang mati dikuburan tempo hari. Serasa berCekatlah hatinya.
"Ayo, kamu berempat segera maju. Supaya ber-hati-hati, yangan pikirkan untuk lari,
karena ditanganku, orang tak nanti bisa lolos," seru Koayhiap.
Haphaptai maju selangkah dan memberi hormat, katanya: "Wan-tayhiap telah melepas
budi menolong jiwa kami bertiga saudara. Sekali-kali kami tak mau berkelahi dengan
kau orang tu,a. Apa lagi dengan orang she Thio itu, kamipun. baru berkenalan saja,
sedikitpun tak ada hubungan apa-apa. Kami tak mau membantunya."
Kembali Haphaptai menjura, lalu undurkan diri berja jar dengan ke 2 saudaranya.
Sikapnya hanya sebagai penonton belaka.
"Ah, mereka tak mau," Koayhiap kerutkan keningnya. "Jadi hanya. kau seorang,
bagaimana ini" Aku telah bersumpah dihadapan Cusouwya, sekali-kali tak mau
bertempur melawan satu orang. Hai, berewok, terpaksa ku-akan minta kau saja yang
main-main ."
Affandi mengambil wajan dibelakangnya, ia tertawa. "Baik, baik.baik," katanya.
Dan ucjapan itu ditutup dengan suara menderu dari wajan yang akan dikerudungkan
diatas kepala Ciauw Cong, siapa buru-buru menghindar kesamping seraya mengawasi
senjata aneh yang dipakai penyerangnya itu. Benda itu hitam bundar, jeglong kedalam.
Bagian jeglongannya itu penuh dengan hangus hitam, mirip dengan wajan.
"Ha, kau tentu berpikir: apakah ini" Mengapa mirip wajan" " Nah, biar kuberitahukan, memang ini wajan. Kamu tentara Ceng, tanpa suatu alasan apa-apa mengaduk
kedaerah Ui sini, hingga merusakkan tak sedikit wajan, dan menyebabkan kami orang
Ui tak bisa makan nasi. Nah, sekarang wajan ini akan menghajar tentara Ceng itu!"
/>Berbareng dengan uCapan itu, kembali wajan melayang keatas kepala Ciauw Cong.
Dengan gerak "sian-ho-liang-ki," burung ho pentang sayap, Ciauw Cong megos sembari
balas menyerang puifidak Affandi.
Cepat Affandi mendek sedikit, sembari tangannya kiri digosokkan kepantat wajan, terus diulapkan kemuka Ciauw Cong.
Sejak keluar dari perguruan, banyak sekali kali Ciauw Cong bertempur dengan musuh,
tapi sebegitu jauh, dia belum pernah bertempur dengan orang yang begitu aneh
biCaranya, aneh pula gerakannya. Karena dengan tangan kanan menenteng wajan dan tangan kiri
merabu angus wajan, orang Ui itu ber-gerak-gerak seperti orang sempoyongan,
sedikicpun tak mirip dengan gerakan ilmu silat. Namun sekalipurt begitu, setiap
serangannya yang berbahaya selalu dapat dihindari dengan mudah oleh orang Ui
tersebut. Dari kagum, Ciauw Cong menjadi gusar. Segera dia keluarkan ilmu silat Bu Kek Hian
Kang Kun, sebuah ilmu silat yang paling dibuat andalan oleh kaum Bu Tong Pai. Dengan ilmu pukulan itu, seluruh jalan darah ditubuhnya, tertutup semua, sehingga air
hujanpun tak dapat menembus.
Tempat pertempuran itu sangat sempit, tanahnyapun dari batu-batu padas yang
runCing 2, sedang ke 2 orang itu serangmenyerang dengan ganasnya.
"Ah, bangsat! Dengan kepandaian itu sebenarnya kau tergolong jago lihai yang jarang
ada tandingannya dika-langan kangouw. Tapi sayang hatimu begitu jahat!" diam-diam
Koayhiap menghela napas.
"Kiu-ya, pak Jenggot itu gunakan ilmu silat apa?" tanya Sim Hi pada Jun Hwa.
Jun Hwa menggelengkan kepala tanda tak tahu. Juga Thiansan Siang Eng dan Liok Hwi
Chingpun tak kenal termasuk golongan mana ilmu silat Affandi itu. Tapi mereka sangat mengaguminya.
Pada. lain saat, tiba-tiba kaki kiri Affandi terangkat naik, wajannya menyerang kemuka, sehingga karena tak dapat menghindar, Ciauw Cong menyusup dari bawah wajan. Tapi
diluar dugaan, tangan kiri Affandi diulurkan menjaga dibelakang pantat wajan. Ketika hal itu diketahui oleh Ciauw Cong, ternyata sudah terlambat. Tapi dia masih akan
gunakan gerak "Cong-thian-bao" atau meriam menembak keudara, dengan
menghantamkan tangan kirinya ke wajan.
"Aha, alat pemakan; nasi, yangan dirusakkan!" seru Affandi seraya angkat wajannya
keatas. Membarengi mana, tangannya merabu kemuka Ciauw Cong, hingga seketika itu
muka Ciauw Cong mendapat Cap 5 jari angus.
Habis itu, ke 2nya saling lonCat terpenCar.
"Ayo, mari main-main lagi, 'kan belum tahu siapa yang kalah," seru Affandi.
Ciauw Cong tak mau bergerak. Hanya matanya mengawasi wajan Affandi.
"Ai, ja, kau tak bersenjata, tentu kau tak mau mengaku kalah," kembali Affandi berseru, lalu ia berpaling pada Wan Ci. "Nona, pinjamkanlah pisau pemotong sajurmu itu kepada si 'lobak' ini!"
Tadi sengaja Wan Ci menyaksikan dari dekat, ia tunggu begitu Affandi mengkerukup
kepala Ciauw Cong, ia segera akan maju menabas. Tapi orang Ui aneh itu telah
menelanyangi maksudnya. Sudah tentu mukanya merah.
Sementara, lain-lainnya pun menganggap Affandi itu suka omong ngelantur. Misalnya,
dia namakan Ciauw Cong sebagai "lobak." Tapi mereka sama sekali tak kira, kalau katakata itu. terselip urusan seorang anak dara.
Melihat Wan Ci menjublek, Affandi tempelkan mulutnya kedekat sinona, dan berbisik:
"Pinjamkanlah pisau sajurmu itu. padanya, aku masih dapat mengatasi!"
Wan Ci mengangguk segera serunya: "Ini pedang, sambutilah!"
Sekali ulur sebelah tangan, jari Ciauw Cong telah menjepit tangkai pedang itu.
Sekonyong-konyong dia membalik badan, sekali tangannya mengibas, serumpun hu-
yong-Ciam melayang kearah Jun Hwa, Thian Hong dan Sim Hi.
Tahu kelihaian jarum itu, ketiga orang tersebut buru-buru tengkurepkan tubuhnya. Tapi berbareng itu, diatas kepala mereka terasa ada angin menyambar dan tahu-tahu Ciauw
Cong sudah melesat lolos. Dia lonCat kesamping Haphaptai, terus pegang lengan
kanannya seraya menyentak: "Lekas lari!" Karena dipegang bagian jalan darahnya,
seketika itu Haphaptai tak berdaya dan dapat diseretnya.
Tanpa berpikir panyang lagi, It Kui dan Kim Piauw lon-? Cat mengikuti. Dan bila Thian Hong bertiga dapat berdiri tegak lagi, Ciauw Cong berempat sudah menghilang diti-W
kungan, tapi ternyata Thian-ti-koayhiap dan Affandi telah begitu murka sekali. Sekali tubuh mereka bergerak, bagaikan 2 burung besar, mereka melayang lewat diatas
kepala Thian Hong es.
Luar biasa sebatnya adalah gerakan Koayhiap, belum kakinya menginjak tanah,
tangannya sudah dapat memegang tengkuk It Lui, dan tubuh yang gemuk itu segera
terangkat naik. Jago pertama dari Kwantong Liok Mo itu tidak mengetahui siapakah
yang menCekik lehernya itu. Yang diketahuinya hanya tubuhnya mendadak terasa
terangkat. Tanpa berdaya ia meronta 2.
Dalam kagetnya, ia buru-buru hantamkan tok-kak-tang-jin-nya kebelakang. Hasilnya,
malah lebih tiel"ka lagi. Karena tiba-tiba dia berasa dilempar oleh suatu tenaga yang luar biasa dahsyatnya, Menyusul itu, terdengarlah suara jeritan ngeri, batok kepala It Lui p.eCah menumbuk batu Cadas.
Thian-ti-koayhiap tak mau berhenti sampai disitu dan terus mengejar. Membiluk
ditikungan, dihadapannya terbentang sebuah pertiga-jalan. Tak tahu Ciauw Cong
mengambil jalan yang mana, ia menunjuk kearah kiri seraya berseru: "Berewok, kau
kejar dari sini!"
Dan menunjuk kearah kanan, ia berseru pula pada Thian-san Siang Eng: "Kalian ber 2
mengejar dari situ!"
Habis itu, ia sendiri lalu bergerak Cepat dnyalan yang tengah. Tapi hanya sekejap saja keempat orang itu munCul balik lagi kesitu. Ternyata semua sama keterangannya,
ketika membiluk sebuah tikungan, kembali mereka, masing-masing menghadapi sebuah
perempatan, sehingga sukar untuk melanjutkan pengejarannya.
Setelah memeriksa dengan teliti, berkatalah Thian Hong: Pada kotoran serigala ini ada 2 buah tapak orang. Mereka tentu menurutkan kotoran ini untuk masuk kesana."
Koayhiap membenarkan dan ajak mereka mengejar lagi. Setelah ber-biluk 2 beberapa
kali, akhirnya mereka sampai dimuka Pek-giok-nia. Namun jejak Ciauw Cong bertiga
tetap tak kelihatan.
Ramai 2 mereka memeriksa rumah 2 disitu. Tak berselang" berapa lama, Thian Hong
berhasil menemukan mulut gua yang menuju keperut gunung. Thian-ti-koayhiap dan
Tan Ceng Tik, yang satu berilmu tinggi dan yang lain beradat keras, terus saja lonCat keatas.
Liok Hwi Ching, Bun Thay Lay, Kwan Bing Bwe dan iain 2nya pun menyusul. Yang
ilmunya entengi tubuh masih kurang, ditarik dengan tali oleh Hwi Ching dan Kwan Bing Bwe.
Ketika yang terakhir tiba gilirannya. Sim Hi, berkatalah Affandi deng-an tertawa. "Adik Cilik, akan kuCoba bagaimana nyalimu!"
Sambil berkata, tangan orang Ui yang aneh itu lantas memegang punggung Sim Hi,
terus dilemparkan keatas pada mulut gua: "Sambutilah!"
Diatas, Bun Thay Lay segera menyambutinya. Affandi lonCat menyusul. Saat itu
Koayhiap dan Ceng Tik tengah kerahkan tenaga untuk mendorong pintu batu. Pintu itu
menjeplak terbuka kesebelah dalam. Ternyata pintu itu memang sengaja dibikin begitu, masuk mudah keluarnya susah. Cukup dihadang beberapa orang saja, tak nanti orang
yang sudah berada didalam, sekalipun sebuah pasukan besar, dapat keluar dari pintu
batu itu. Kiranya, ketika rajanya mendirikan istananya diperut gunung itu, untuk penjagaannya
dibuatnya begitu banyak sekali jalanan 2, sehingga musuh pasti tersesat. Tapi raja yang kejam itu tetap merasa kuatir, kalau 2 ada orang dalam yang memberontak, karenanya
dibuatlah pintu batu yang bukannya menjeplak kesebelah dalam. Itulah rahasia
kegunaan pintu batu tersebut.
Dengan dipimpin Koayhiap yang berjalah disebelah depan, rombongan orang itu
menyusup kedalam. Thian Hong me
motes kaki meja untuk dnyadikan obor. Setiap orang diberinya sebuah. Sampai
dipaseban besar, senjata mereka telah tersedot jatuh, hingga mereka kaget. Hanya
Affandi yang bisa berlaku Cekatan, wajan buru-buru ditekamnya kenCang 2 hingga tak
sampai jatuh pecah.
Karena perhatian hanya ditujukan pada Ciauw Cong, mereka tak menghiraukan kejadian
tersebut. Dengan gunakan tenaga, mereka memungut senjatanya lalu masuk kedalam
mangan tidur. Disebelah pembaringan, mereka melihat juga lobang ditanah itu, lobang
mana pun segera dimasukinya.
Selama menyusur didalam lobang itu, mereka tak berani mengeluarkan suara apa-apa.
Tiba-tiba disebelah depan, tampak terang benderang. Disanalah Telaga Warna itu.
Disitu kelihatan berdiri enam orang, sebelah telaga sana berdiri Tan Keh Lok, Ceng
Tong dan Hiang Hiang. Sedang disebelah sininya adalah Ciauw Cong, Kim Piauw dan
Haphaptai. Bukan kepalang girangnya rombongan Koayhiap itu.
"Siaoya, siaoya, kita beramai datang!" seru Sim Hi dengan girang.
Kiranya sesudah bertanding dengan Affandi tadi, tahulah Ciauw Cong bahwa kini dia
berhadapan dengan seorang yang berkepandaian luar biasa. Dia merasa tak ungkulan
melayani, maka timbul ah akal busuknya. Dengan mengandal jalanan disitu yang sangat
menyesatkan itu, dia terus merat. Pikirnya: "Jalan lolos satu 2nya, adalah mengulangi kejadian dipenyeberangan sungai Hoangho ketika bertempur dengan orang-orang
HONG HWA HWE itu. Itu waktu walaupun dirinya terluka berat, tapi dia berhasil
menawan Bun Thay Lay sebagai barang tanggungan, sehingga sekalipun fihak musuh
terdiri dari jago-jago lihai seperti Bu Tim, Liok Hwi Ching. Tio Pan San, Tan Keh Lok, Ciu Tiong Ing, ke 2 saudara Siang dan lain-lain-nya, tapi mereka telah dibikin tak berdaya dan terpaksa memberi lolos padanya.
Untuk mengulangi hal itu, ia harus menCari Tan Keh Lok dan Ceng Tong sebagai
jaminan. Dan ini ia akan melaku-kannya, sekalipun ke 2 orang itu berada diperut
gunung yang penuh rahasia itu. Sekali Tan Keh Lok dapat diringkus, Cukup dengari
memalangkan pedang kelehernya, ia pasti dapat berlalu dengan lenggang-kangkung.
Tahu kalau seorang diri tak nanti dapat menundukkan Tan Keh Lok dengan Ceng Tong,
karenanya ia mengajak ketiga Sam Mo. Tak diduganya sama sekali, kalau perbuatannya
itu telah mengakibatkan tewasnya It Lui.
Pada saat Ciauw Cong bertiga masuk, Keh Lok telah selesai berlatih ilmu pukulan dan
akan menghimpiti ke 2 taCi beradik itu untuk diajak menCari jalan keluar dari tempat itu. SeCara kebetulan Ciauw Cong telah melihat lobang disamping pembaringan dan
memasukinya. Maka munCulnya Ciauw Cong bertiga disitu telah membuat terkejut Tan
Keh Lok; siapa buru-buru menarik Hiang Hiang dan Ceng Tong ketepi sebelah sana.
Ciauw Cong dan Kim Piauw terus berpenCar mengejar dari 2 jurusan. Tapi Haphaptai
segera menentang perbuatan Kim Piauw itu. Dengan mata mendelik, ia mendamperat
kawannya: Belum kita tahu bagaimana nasib Lo Toa. kau sebaliknya akan berserikat
dengan lain orang untuk menguber wanita. Ayo, kita lekas pergi Cari Lo Toa saja!"
Tapi rupanya Kim Piauw membantah. Sedang ke 2 orang itu t jet jok sendiri, Koayhiap
dan rombongannya munCul. Per-tama 2 adalah orang-orang HONG HWA HWE itu yang
segera mendapatkan sang CongihoCu. Tapi tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki yang sangat ter-buru-buru kelihatannya. Itulah Ceng Tik dan Kwan Bing Bwe yang
mendahului maju.
"Ceng-ji, kau bagaimana" seru Kwan Bing Bwe.
"Suhu, Sukong, aku baik-baik saja. Tolong bunuhlah ke 2 penjahat ini," sahut Ceng
Tong dengan terharu seraya menunjuk pada Kiria Piauw dan Haphaptai.
Memang Ceng Tong sebenarnya tak bermusuhan dengan Ciauw Cong. Yang1
dibencinya setengah mati, adalah Sam Mo yang terus menerus mengejarnya itu. Lebih 2
kepada Kim Piauw yang kurangajar itu.
Ceng Tik pernah tempur ketiga Sam Mo, karena berkelahi "dengan tangan kosong,
hampir-hampir ia sendiri mengalami kerugian. Kini tanpa ajal lagi, ia lolos pedang terus menikam pundak Kim Piauw, siapa segera melawan dengan lak-houw-jahnya. Sedang
dilain fihak, Kwan Bing Bwe pun sudah bertempur dengan Haphaptai.
Orang-orang HONG HWA HWE lainnya segera menghunus senjatanya maju
menghampiri dan mata terus mengawasi pada musuh besar, Ciauw Cong. Hanya
Koayhiap dan Hiang Hiang yang tak bersenjata. Wan Ci meskipun sudah serahkan
pokiamnya pada Ciauw Cong, tapi Suhunya (Hwi Ching) berikan lagi sebuah pedang
pusaka. Malah pedang itu pedang Leng-bik-kiam milik Ciauw Cong yang telah
dirampasnya ketika pertempuran dibukit Pak-kao-nia di HangCiu tempo hari.
Hwi Ching sendiri tetap memakai pedangnya, pek-hong-kiam. Sambil mengawasi
jalannya pertempuran, ia tetap arahkan perhatiannya pada gerak-gerik Ciauw Cong.
Kim Piauw dan Haphaptai mati-matian mengadu jiwa untuk bertempur. Tapi pada jurus
ke 2puluh permainan samhun-kiam dari ke 2 suami ?isteri itu kelihatan makin genCar,
hingga ke 2 Sam Mo itu menjadi keripuhan sekali. Kini mereka hanya dapat bertahan
diri, tak dapat balas menyerang.
Tiba-tiba diantara kiblat pedang yang berkilat-kilat itu, Ceng Tik menggerung keras dan merangsang mati-matian. Kim Piauw menjadi nekad hingga matanya merah seakan-akan berdarah. Ceng Tik susuli lagi dengan tusukan kekaki lawan, siapa ketika Coba
menghindar kesamping, telah menyusuli pula dengan sebuah tendangan.
"Blung"............... Kim Piauw terjungkal kedalam kolam, air mana segera berobah
menjadi merah warnanya.
Disanapun Haphaptai telah dilihat dengan sinar pedang Kwan Bing Bwe. Ketika
sepasang suami isteri dari Thian-san itu mengaduk dipagoda Liok Hap Ta di Hangijiu
tempo hari, kebetulan Thay Lay dan Hi Tong masih beristirahat karena sakit digunung
Thian Bok San. Jadi mereka tak menyaksikan kepandaian Thian-san Siang Eng itu.
Maka demi tampak oleh mereka, bagaimana seorang wanita yang sudah ubanan itu
mempunyai ilmu pedang yang sedemikian lihainya, hingga lekas juga seorang pria
gagah semacam Haphaptai itu akan kehilangan nyawanya, timbul ah rasa kagum
mereka melihat itu.
Hi Tong menjadi sibuk. Dia teringat bahwa orang Mongol itu sudah beberapa kali
melepas budi padanya, maka Cepat-cepat ia memberi keterangan pada Susioknya (Hwi
Ching), katanya: "Susiok, dia bukan orang jahat, tolonglah dia!"
Hwi Ching mengangguk. Justeru pada saat itu, Kwan Bing Bwe sedang melanCarkan
serangan yang ganas. Menusuk kaki, kesebelah kiri dan kanan tubuh, hingga kepala
Haphaptai mandi keringat dan terus 2an mundur.
Dalam saat-saat yang berbahaya itu, tiba-tiba Hwi Ching melesat maju,
"trangng............" pek liong-kiam telah beradu dan menghadang tusukan Kwan Bing
Bwe yang mematikan itu.
"Toaso, orang ini tidak jahat, ampunilah dia!" seru Hwi Ching.
Melihat Hwi Ching sudah membuka mulut, Kwan Bing Bwe tak mau menghilangkan
muka orang dan terpaksa menyimpan pedangnya.
Hwi Ching berpaling dan dapatkan Haphaptai tersengal-sengal napasnya. Karena keliwat banyak sekali gunakan tenaga, tubuh jago Mongol itu agak terhujung 2.
"Lekas haturkan terima kasih pada Kwan-tayhiap yang mengampuni jiwamu," seru Hwi
Ching padanya. Diluar dugaan, Haphaptai itu seorang lelaki sejati. Dia sangat menjunjung setia kawan.
Bahwa dari keenam Liok Mo hanya ia sendiri yang masih hidup, ia malu untuk hidup.
Golok diangkat dan segera berseru nyaring: "Mengapa kuharus minta belas
kasihannya!"
UCapan itu dibarengi dengan gerakan hendak merangsang maju lagi. Tapi segera
terdengar suara kerupjukan dari dalam kolam, dan munCul ah Kim Piauw yang pelan-
pelan berenang ketepi. Haphaptai Cepat-cepat lempar goloknya, untuk menolongi.
Ternyata Kim Piauw luka parah dan terminum; banyak sekali air. Seolah 2 tak
menghiraukan orang-orang disekitarnya, Haphaptai mengurut 2 dada saudaranya itu.
Tiba-tiba Ceng Tong memburu datang.
"Bangsat busuk!" damprat sigadis terus menikam.
Melihat itu, saking gugupnya Haphaptai menangkis dengan tangannya. Ketika melihat
pedang si nona hampir mengenai lengannya, tiba-tiba teringatlah Koayhiap akan jasa
orang Mongol itu membantu menghalau kawanan serigala tempo hari. Buru-buru
dijumputnya sebuah batu kerikil lalu ditimpukkan. Berbareng dengan suara mendering,
tangan Ceng Tong tergetar kesemutan dan jatuhlah pedangnya. Nona itu terkesiap tak
habis mengerti.
"Bereskan dulu bangsat she Thio itu, ke 2 orang ini tak nanti bisa lolos," seru Koayhiap.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini Ciauw Cong terkepung. Dihadapannya adalah orang besi seperti Bun Thay Lay,
Affandi, Tan Keh Lok, Liok Hwi Ching dan Thian-ti-koayhiap. Harapan untuk lolos,
seperti awan tertiup angin. Dengan mengelah napas putus asa, ia terus akan nekad
mengadu jiwa. Tiba-tiba dari belakang Hwi Ching berkelebat keluar sebuah bayangan. Muka orang ini
putih meletak, matanya indah bening seperti sebuah lukisan. Ia bukan lain ialah puteri Li Khik Siu dari Hangijiu, jakni Li Wan Ci.
Dengan menghunus pedang, nona itu meneryang dan memaki: "Kau ini betul-betul
bangsat busuk!"
Dan sebelum orang-orang dapat berbuat apa-apa, Wan Ci sudah lompat kemuka Ciauw
Cong dan tiba-tiba berbisik: "Kudatang menolongmu!"
Berbareng itu pedangnya menyambar 2. Ciauw Cong berkelit seraya bingung akan
maksud sinona. Tiba-tiba Wan Ci pura-pura tergelinCir, terus sempoyongan maju lagi
dan kembali berbisik: "Lekas ringkus aku!"
Ciauw Cong seperti disedarkan. Begitu tangannya kanan menangkis, tangannya kiri
sebat menangkap lengan sinona.
"Trang!" Pedangnya ternyata terbabat kutung. Untuk kekagetannya, dilihatnya pedang
yang dipakai sinona itu ternyaja adalah pedang leng-bik-kiam miliknya! Karuan bukan
main tambah giranghja.
Tepat pada saat itu, Bun Thay Lay, Hi Tong, Jun Hwa dan Tan Ceng Tik berbareng maju
hendak menolongi sinona. Tapi Ciauw Cong dengan sebatnya telah merampas leng-bik-
kiam, segera memutar dengan serunya. Kim-tiok dan Siangkao senjata lawan terbabat
kutung. Sedang Bun Thay Lay dan Ceng Tik buru-buru menarik senjatanya, hingga, tak
sampai terbabat.
Segera Ciauw Cong tandaskan leng-bik-kiam kepungan Wan Ci dan serunya
menganCam: "Setindak kamu maju, segera, kuhabisi nyawanya. Lekas berikan jalan
padaku!" Perubahan itu sungguh diluar dugaan orang-orang. Pada detik 2 Ciauw Cong akan
sudah dapat diringkus, tak terduga Wan Ci datang mengaduk. Semua orang salah duga
dan sesalkan nona itu yang dikiranya termaha jasa, tapi sebaliknya merusak renCana
serta menjadi barang tanggungan si sangsat.
Wan Ci pura-pura menggelandot dibahu Ciauw Cong sehingga sepintas pandang, ia
seperti kena ditutuk Ciauw Cong, lemas tak bertenaga. Sebaliknya Ciauw Cong dapat
angin. Dilihatnya orang-orang sama melonyo, tak berani menyerang. Hendak ia pikirkan jalan untuk lolos atau Wan Ci kembali berbisik pelan-pelan didekat telinganya: "Kembali kedalam perut gunung lagi!"
Ciauw Cong anggap jalan itu yang terbaik, ia terus langkahkah kaki kedalam
terowongan dibawah tanah.
Koayhiap dan Ceng Tik seperti "semut dipanggang diatas wajan." Bagaimana marahnya,
yangan ditanya lagi. Koayhiap memungut sebuah kerikil sedang Ceng Tik mengeluarkan
tiga batang po-thi-Cu dan serentak ditimpukkan kebelakang Ciauw Cong. Tapi jago Bu
Tong Pai ini Cepat mendekkan badan, sembari Cepatkan langkahnya masuk kedalam
terowongan. "Aduh!" tiba-tiba kedengaran Wan Ci pura-pura menjerit.
Hal ini membuat Hwi Ching sibuk bukan kepalang.
"Yangan mengejar, kita Cari lain jalan!" serunya. Dia sungguh-sungguh berkuatir kalau Ciauw Cong menjadi hilap dan melukai murid kesayangannya itu.
Cepat semua orang masuk kedalam terowongan untuk mengikuti jejak Ciauw Cong.
Tinggal Ceng Tong seorang diri, sambil menyoren pedang mengawasi dengan mata
melotot pada Kim Piauw. Haphaptai asik membalut luka saudaranya, sedikitpun ia tak
menghiraukan akan segala kejadian disekelilingnya tadi.
Kuatir Ceng Tong kena apa-apa, sampai dimulut terowongan Tan Keh Lok merandek,
katanya kepada Hiang Hiang: "Kita turut menunggu disini saja menemani Cicimu."
Hiang Hiang setuju dan ke 2nya balik menghampiri Ceng Tong.
Sementara itu dengan menyeret Wan Ci, Ciauw Cong lari dengan kenCangnya. Sedang
rombongan orang-orang tadi, hanya
mengikuti dari belakang, tak berani terlalu merangsek. Lorong terowongan itu penuh
berliku-liku, sehingga tak dapat melepas senjata rahasia. Habis menyusur lorong, segera akan tiba keluar, dan akan dapatlah Ciauw Cong melintasi pintu batu. Ini berarti,
loloslah sudah.
Koayhiap Cepat akan bertindak. Tapi ketika baru saja ia akan melesat untuk menyerang belakang orang, tiba-tiba di-tempat yang gelap itu ia mendengar suara mengaum
beberapa kali. Tahu kalau musuh melepas senjata rahasia Koayhiap buru-buru
menempel badan didinding terowongan seraya berseru: "Hai, Berewok, wajanmu!"
Sebat sekali Affandi sudah melangkah maju dengan menghadangkan wajan .kemuka.
Segera terdengar suara ber-dering 2 dipantat wajan. Itulah berpuluh-puluh 2 batang
jarum hu-yong-Ciam yang dilepas Ciauw Cong.
"Haha, enak hidangan jarum emas goreng!" Affandi berkaok 2.
Tapi kelambatan beberapa detik karena berhenti mengejar itu telah memberi
kesempatan pada Ciauw Cong dan Wan Ci untuk menerobos kedalam pintu batu, yang
terus ditutup sekuat-kuatnya. Koayhiap dan Ceng Tik memburu untuk mendobrak pintu,
tapi ternyata pintu yang menutup terowongan itu adalah bagian dalam, jadi sangat liCin sekali, tiada pegangannya barang sebuah pun. Ke 2 jago tua itu adalah orang-orang
yang berangasan, sudah tentu mulutnya tak henti 2nya memaki kalang kabut.
Sementara itu, setelah berada diluar pintu, Ciauw Cong segera memantek lubang
tarikan pintu dengan lonjoran emas. Habis itu ia mengelah napas lega, katanya: "Terima kasih atas pertolongan Li-sioCia!"
"Ayahku dan Thio-susiok adalah sama 2 pembesar kerajaan yang sedang menjalankan
tugas. Sudah selajaknya kumenolong," sahut Wan Ci tertawa.
"Kuharap Li-Ciangkun dan Li-thaythay tak kurang suatu apa," kata Ciauw Cong lalu
menjalankan penghormatan seperti lajaknya kepada keluarga pembesar tinggi.
"Kau adalah Susiok (paman guru), tak pantas kumenerima kehormatan begitu.
Sebaiknya kita Cari jalan lolos. Suhu tentu mengerti akan perbuatanku ini, kalau sampai kena ketangkap, aku pasti dibunuhnya."
"Kini mereka berjumlah besar. Kita harus lekas-lekas tinggalkan tempat ini,
mengundang Kawan-kawan yang lihai, baru menangkap mereka lagi," kata Ciauw Cong.
"Saat ini mereka tentu balik ke tepi kolam akan memutar untuk mengejar kemari. Thio-
susiok, Carilah akal, lekas Didaerah padang pasir sini, tak mudahlah untuk meloloskan diri."
Memang ilmu silat Ciauw Cong itu tinggi, tapi dalam hai tipu siasat, dia kurang pandai.
Maka sesaat itu tampak ia mengerutkan keningnya, namun tak dapat segera
menemukan akal. Sebaliknya Wan Ci pura-pura Cemas, tengkurap pada sebuah batu
dan menangis. "Li-sioCia, yangan takut, kita tentu dapat lolos," menghibur Ciauw Cong.
"Sekalipun andaikata kita bisa keluar dari kota tersesat ini, tapi dalam sehari 2 hari, mereka tentu sudah dapat menyusulnya. O, mak, uh, uh ............... mak!"
Dengan ditangisi begitu rupa, bukan main sibuknya Ciauw Cong. Berulang-ulang ia
meng-gosok 2 kepelannya, tapi tetap tak berdaya. Tiba-tiba tangisan Wan Ci tadi
berobah menjadi gelak tertawa, katanya: "Sewaktu kecil apa kau tak pernah main
godak?" Sejak berumur 5 th. ayah Ciauw Cong sudah meninggal dan ikut sang Suhu belajar silat.
Ma Cin dan Liok Hwi Ching jauh lebih tua beberapa tahun dari dia. Oleh karena itulah, ia tak pernah mengeCap kesenangan permainan kanak-kanak. Terpaksa dia gelengkan
kepalanya. "Jalanan 2 di Kota tersesat ini luar biasa ruwetnya. Kita t jari tempat bersembunyi, kira-kira bersembunyi tiga-empat hari Mereka tentu mengira kita sudah berlalu dari sini dan tentu akan pergi mengejar. Pada waktu itu, barulah kita keluar."
Ciauw Cong ulurkan jempol jarinya dan memuji: "Ya, ja, Li-sioCia, kau betul Cerdik
sekali!" " Tapi ia meran-dek dan katanya pula: "Tapi kita tak bawa ransum, selama
tiga-empat hari..............."
"Diatas punggung kuda itu ada ransum dan, air," buru-buru Wan Ci menyanggapi
kekuatiran Ciauw Cong dengan menunjuk kearah kudanya.
"Bagus, mari lekas sembunyi!" seru Ciauw Cong dengan girang.
Begitulah ke 2nya terus lonCat turun dan dengan naik 2 ekor kuda, mereka berlari
keluar. Tiba dipersimpangan jalan Wan Ci berkata: "Coba lihatlah bekas kotoran serigala ini. Jalan keluar sebenarnya kearah kiri, tapi sebaiknya kita ambil jalanan yang disebelah kanan saja......"
Baru ia berkata, tiba-tiba ekor kudanya menjengat keatas, karena binatang itu mau
buang kotoran. Buru-buru Wan Ci ambil ransum dan kantong air dipunggung kuda, dan
tuntun ke 2 ekor kuda itu untuk menghadap kejurusan kiri. Begitu tangannya mengibas
Cambuk, ke 2 binatang itu menCongklang dengan pesatnya kedepan.
"Mengapa?" tanya Ciauw Cong karena heran. "Jika mereka menyusul kemari dani
melihat tapak kuda serta kotoran yang masih segar ini menuju kearah kiri, tak dapat
tidak, mereka tentu mengejar kesana," sahut Wan Ci tertawa.
"Hai, siasat ini hebat benar!" Ciauw Cong memuji kegirangan.
Ciauw Cong dan Wan Ci segera menyusup masuk. Pada setiap tikungan, setiap
pertigan, Wan Ci senantiasa meletakkan tiga buah kerikil ditempat yang agak tak
menyolok. Kerikil 2 itu ditumpuknya merupakan sebuah pertandaan rahasia.
Ciauw Cong anggap perbuatan Wan Ci itu bnyak sekali. Kalau tidak, mereka pasti
teranCam kesesatan jalan. Kira-kira setengah harian kemudian, jalanan makin rumit dan berbahaya. Entah sudah berapa banyak sekali tikungan dan pertigaan yang dilaluinya.
Mendekat petang, Wan Ci mengajak berhenti, untuk beristirahat dan menangsel perut.
"Tadi kuda yang seekor tak kita muati makanan dan air, sayang benar," kata Ciauw
Cong. "Tak apalah, asal kita Cukup menghemat," sahut Wan Ci lalu menarahkan kantong
makanan dan minuman kedekat Ciauw Cong seraya berkata: "Harap jaga baik-baik ,
inilah jiwa kita!"
Habis menguCap, sinona lalu menyingkir agak jauh untuk menCari tempat yang agak
bersih dibuat tidur.
Tengah malam, Ciauw Cong lonCat bangun karena kaget mendengar Wan Ci menjerit.
Buru-buru dihampirinya, dan sinona tampak menuding kearah sana: "Lekas, ada seekor
serigala besar!"
Dengan menghunus pokiam, Ciauw Cong sebat memburu. Tapi 2 buah tikungan sudah
dia membiluk, namun tak ada jejak seekor serigalapun. Takut tersesat, dia tak berani mengejar, dan balik ketempatnya tadi. Tapi disitu, tak didapatinya Wan Ci.
"Li-sioCia!" serunya, nyaring 2.
Pada lain saat, ia begitu terkejut demi dilihatnya ditanah situ basah semua, sedang
kantong air kelihatan numplek. Buru-buru dipungutnya, dan didapatinya kantong itu
hanya masih ketinggalan air sedikit sekali. Suatu hal yang menCemaskan hatinya.
Tengah ia masgul, tiba-tiba Wan Ci munCul dari jalanan gunung disana, serunya:
"Disana tadi ada seekor serigala menobros kemari untuk merampas air!"
Sinona duduk numprah ditanah, mukanya muram seperti hendak menangis.
"Karena, kita tak punya air, tak dapat kita tinggal lama-lama disini. Besok kita harus nekad tinggalkan tempat ini," kata Ciauw Cong.
"Biar aku sendiri Coba 2 menyelidiki, tunggulah kau disini," kata Wan Ci kemudian
seraya terus berbangkit.
"Sebaiknya kita pergi ber 2," kata Ciauw Cong.
"Yangan! Kalau kesamplokan dengan mereka, apa kau kira masih bisa hidup" Kalau aku
lain soal lagi," bantah sinona.
Ciauw Cong anggap omongan sinona benar. Maka dia terpaksa tinggal dan hanya pesan
supaya sinona berhati-hati.
"Em, pinjamkan pokiammu padaku!" pinta Wan Ci.
Tanpa Curiga, Ciauw Cong serahkan leng-bik-kiam-nya.
Ketika itu bulan remang-remang, dengan menurutkan batu-batu kerikil pertandaannya,
Wan Ci berjalan keluar. Setiap kali tiba dipertiga jalan, ditumpuknya sebuah batu
pertandaan baru, sedang batu yang lama, diurukinya dengan pasir. Andaikata Ciauw
Cong menyusul, dia pasti akan bingung, dan tak nanti mampu keluar dari situ. Diam-
diam nona nakal itu tertawa, karena ialah sendiri yang sebetulnya mengatakan ada.
serigala dan menumpahkan kantong air dan Ciauw Cong sudah sedemikian perCaja
seperti "kerbau terCoCok hidungnya." Sampai leng-bik-kiam pun diserahkannya kembali.
Dekat fajar, ia sudah berada dnyalan yang benar. Diujung tikungan sana, ia dengar
orang sedang memaki-maki. "Lihat saja, masa aku tak dapat meremukkan tulangnya
dan membeset kulitnya!" demikian terdengar seorang sedang mengomel.
"Ya, untuk meremuk tulang dan membeset kulit, juga harus dapat menCarinya sampai
dapat," kata seorang lagi dengan tertawa.
"Aduh!" tiba-tiba Wan Ci menjerit dan lalu pura-pura jatuh. Yang munCul menolong
dengan seketika, bukan lain adalah Thian-ti-koayhiap dan Affandi. Ketika mendapatkan sinona masih bernapas dari tak terluka, legalah hati ke 2-nya.
Koayhiap segera memberi pertolongan. Sebaliknya Affandi tertawa setengah menyomel:
"Nona yang nakal, kalau seandainya menjadi anakku perempuan, yangan panggil aku
ajab. kalau, tidak kurangket dia."
Namun Wan Ci masih pura-pura tak ingat orang, melihat itu jengkel ah si Berewok.
"Kalau, ia benar-benar pingsan, kuCambuk 10 kali tentu ia masih belum ingat orang!"
katanya. Untuk membuktikan anCamannya si Berewok segera menCambuknya sekali dan tepat
pada pundak sinona. Hendak Koayhiap menCegahnya, tapi untuk keheranannya
dilihatnya Wan Ci sudah membuka mata.
"Ai," sigadis pura-pura menggerang.
"Huh, lihat, Cambukku lebih lihai dari ilmumu thui-kiong-hiat (mengurut jalan darah!"
Affandi mengejek Koayhiap.
"Jenggot Panyang ini benar-benar hebat," diam-diam Koayhiap mengira kalau Affandi
betul-betul punya ilmu Cambukan untuk menolong orang pingsan. Namun ia tak sempat
menanyakan, terus bertanya kepada Wan Ci: "Bagaimana, apa kau tidak terluka"
Dimana sibangsat itu?"
"Ditawan olehnya tadi, bukan main takutku. Ketika kemaren malam ia tengah
menggeros, aku diam-diam melarikan diri," demikian Wan Ci mengarang penyahutan
yang masuk diakal.
"Mana dia, antarkan aku kesana!" kata Koayhiap.
"Baik," sahut Wan Ci terus akan bangkit. Tapi tubuhnya sempoyongan, hingga Koayhiap
buru-buru menyanggapi, dan dipimpinnya.
"Kalian ber 2 pergilah, aku menunggu disini," kata Affandi.
"Ha, pak Berewok mau ongkang 2. Baik, tanpa kau kitapun dapat menghadapinya," kata
Koayhiap. Tak lama dari kepergian ke 2 orang itu, datanglah Liok Hwi Ching, Tan Ceng Tik,
Tan( Keh Lok, Bun Thay Lay dan lain-lainnya. Tak mau Affandi menCampuri
pembiCaraan mereka yang uplek menCeritakan hasil penguberannya yang nihil itu. Dia
tetap tersenyum simpul saja. Ciang Cin dan Sim Hi menggusur datang Kim Piauw dan
Haphaptai dan duduk disebelah sana.
Tak lama kemudian munCul ah Koayhiap serta Wan Ci. Hal mana membikin gembira hati
semua orang. Hwi Ching dan Lou Ping segera datang menghiburi sinona.
"Jenggot Panyang, Cerdik sekali kau, menghemat kaki. Ia tak kenal jalanan lagi. Bilak-biluk dan hampir-hampir tak dapat keluar," seru Koayhiap.
Semua orang mengambil putusan, biar bagaimana tetap akan menCari sampai dapat si
Ciauw Cong itu. Tapi yang menjadi kesulitan, adalah jalanan 2 di Kota Sesat yang
membingungkan itu. Sekalipun Ceng Tong dan Thian Hong yang biasanya paling banyak
sekali akal itu, saat itupun tak berdaya.
"Kalau saja kita punya 2 ekor serigala, tentu bereslah..............."
Usul Thian Hong itu, disambut dengan senyum oleh Affandi. Sudah tentu Thian Hong
merasa tak enak dan buru-buru menghampiri siorang Ui itu untuk minta tolong.
Katanya: "Kita semua sudah tak berdaya, harap LoCianpwe suka memberi petunjuk."
Belum menjawab, Affandi sudah menuding kepada Hi Tong, katanya dengan tertawa:
"PemeCahannya ada padanya. Mengapa tak suruh dia?"
"Aku?" Hi Tong melengak.
Affandi mengangguk, lalu mendongak keatas sambil tertawa panyang. Tanpa berkata
apa-apa lagi, ia terus melang kah kepunggung keledainya, dan pergi tanpa menoleh
pula. Bermula Thian Hong kira kalau Affandi memper-olok 2, tapi setelah dipikirkan sejenak, segera dia mendapat pikiran terang. Dalam kata-kata dan perbuatan Wan Ci selama ini
nampak terselip "apa-apa". Yangan-yangan soal Ciauw Cong itu ada ditangan sinona.
Dengan kesimpulan itu, Cepat ia mendapatkan Lou Ping dan membisikinya. Lou Ping
pun seorang wanita yang Cerdas, seketika iapun dapat menangkap hal itu. Dengan
mengambil semangkuk air dan sepiring dendeng kambing, dihampirinya Wan Ci.
"Li-moaymoay, kau memang hebat. Masa kau bisa terlolos dari tangan Ciauw Cong yang
ganas itu?"
"Ya, waktu itu aku betul-betul Ceroboh. Aku lari sekenanya, asal bisa lolos saja,
sehingga tak kukenal lagi jalanan 2nya. Syukur Tuhan melindungi diriku".
Wan Ci, sinona Cedik itu, telah menduga bahwa Lou Ping tentu akan menanyakan jalan
2nya nanti, maka lebih dulu ia telah memberi keterangan begitu.
Memang Lou Ping tadi sangsi apakah sinona itu sungguh-sungguh mengetahui akan
tempat persembunyian Ciauw Cong. Tapi kini dengan sekali menyahut sinona telah
"menghapus jejak", diam-diam ia geli melihat sinona yang begitu liCin itu. Katanya:
"Semua saudara-saudara kita sangat menginginkan sibangsat itu. Coba kau ingat 2
betul, tentu akan dapat mengenal, jalanan itu".
"Kalau saja pikiran tenang seperti biasa, tentu tak sampai begitu tolol tak ingat
sedikitpun jua," sahut sinona.
"Ayo, yangan ngambek nona manis," kata Lou Ping lalu membisiki ketelinga sinona:
"Apa yang kaukandung dalam hatimu itu, tahulah aku. Asal kau mau membantu kita
orang, kitapun tentu akan menyelesaikan urusanmu itu."
Selebar muka Wan Ci merah, sahutnya dengan suara lemah: "Tak ada orang yang
sayang padaku lagi, mengapa aku begitu bodoh melarikan diri dari orang she Thio itu.
Kan lebih baik binasa ditangannya."
Melihat itu, Lou Ping kewalahan, lalu simpangkan pembiCaraannya: "Adikku, kau
rupanya letih, minum dan mengasolah dulu."
Setelah sinona mau menurut, Lou Ping segera mendapatkan Hi Tong dan berbiCara
sejenak. Wajah pemuda itu kelihatan sungkan dari apa yang dibiCarakan dengan Lou
Ping, giginya dikatupkan kenCang 2 seperti orang berpikir keras. Akhirnya ia menepuk pahanya, katanya: "Baik untuk membalas budi Suhu, apapun aku menurut."
Sementara itu, Wan Ci hanya pejamkan mata untuk mengaso. Ia tak hiraukan orang-
orang itu, maka sekalipun Hi Tong maju menghampiri, tak sekali ia menggubris, kalau
saja sianak muda itu tak membuka mulut.
"Li-sumoay, beberapa kali kau telah tolong jiwaku. Aku bukan seorang yang tak kenal
budi. Kali ini kumohon kau suka membantu lagi," kata Hi Tong.
Habis berkata, pemuda itu menjura.
"Hai, Ie-suko, mengapa berbuat begitu" Kita kan orang sendiri, Cukup menyuruhnya,
masa aku tak mau?" sahut Wan Ci.
UCapan sinona itu terang mengandung ejekan, namun karena satu 2nya jalan harus
minta bantuannya, Hi Tong terpaksa bersabar.
"Ciauw Cong sibangsat itu, telah membunuh Suhuku dengan tidak se-mata 2. Barang
siapa yang dapat membantu untuk membalaskan sakit hatiku, disuruh jadi sapi atau
kudanya, akupun rela."
Diluar dugaan, Wan Ci menjadi gusar, pikirnya: "Ho, jadi kelak kalau kau
memperisterikan aku, kau merasa seperti menjadi sapi dan kuda."


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena pikiran itu, hatinya menjadi tawar dan menyahut: "Dihadapan kita kan ada
banyak sekali Enghiong dan Tayhiap. Disamping itu masih ada CongthoCu" mengapa
tak kau minta bantuannya" Selama dalam perjalanan kau selalu menghindar, seolah-
olah kalau melihat aku, kau bakal Celaka dan sibuk. Mana orang seperti aku begini, bisa membantu urusanmu" Kalau kau tidak menyingkir dari hadapanku, yangan sesalkan aku
kalau nanti memaki kau dengan kata-kata yang kasar!"
Semua orang tadi masih duduk sembari berunding Cara untuk mengejar Ciauw Cong.
Tak mereka hiraukan apa yang dibit j arakan oleh Lou Ping, Wan Ci dan Hi Tong. Tapi
ketika dilihatnya Wan Ci ber-kata-kata dengan suara keras, mukanya merah padam,
sementara Hi Tong tundukkan kepala ber-ingsut 2 menyingkir, mereka menjadi heran.
Juga Thian Hong dan Lou Ping ketika mendapatkan Hi Tong' ketemu batunya, mereka
saling pandang dengan senyuman keCut. Buru-buru Tan Keh Lok ditariknya kesamping
dan diajaknya berunding dengan bisik-bisik.
"Sebaiknya kita minta Liok-loCianpwe untuk mengomonginya, tentu ia mau
tunduk .................."
UCapan ketua HONG HWA HWE itu diputus dengan jeritan kaget dari Ciang Cin dan Sim
Hi. Keh Lok lekas berpaling dan dapatkan Kim Piauw dengan kalap sedang menubruk
kearah Ceng Tong. Cepat sekali ketua itu melesat untuk menarik lengan musuh itu, tapi tak keburu. Juga Jun Hwa yang Coba menghadang, telah kena dijorokkan oleh Kim
Piauw hingga terpental kebelakang.
"Bunuhlah aku!" seru Kim Piauw sembari meneryang. Karena terkejut dan marah, Ceng
Tong tusukkan pedangnya kedada orang. Tapi ternyata Kim Piauw tak mau menghindar,
malah terus menubruknya, hingga tak ampun lagi dadanya tertembus ujung pedang.
Tak sekali Ceng Tong mengira kalau orang itu berlaku begitu nekad. Buru-buru
diCabutnya pedang, darah munCrat mengenai pakaiannya. Ketika orang-orang sama
menghampiri, Kim Piauw sudah menggeletak. Haphaptai sibuk menolong, tapi ternyata
tak dapat tertolong lagi.
"Penasaran, matipun aku penasaran!" Kim Piauw mengeluh.
"Lo-ji, kau minta apa"!" tanya Haphaptai. "Kalau aku bisa mencium tangannya, matipun aku puas!" Napas Kim Piauw ter-engah 2, matanya memandang Ceng Tong.
"Nona, dia. tengah dalam perjalanan ke dunia baka, kasihanilah............," ujar
Haphaptai. Ceng Tong tak mau dengarkan habis uCapan Haphaptai, terus berlalu. Wajahnya pilas
karena menahan amarah. Tan Keh Lok merasa kasihan, dan akan membujuk Ceng
Tong, tapi nona itu makin menyingkir jauh-jauh.
Karena putus asa, Kim Piauw mengeluarkan elahan napas yang panyangi terus
meninggal. Dengan menahan air mata, Haphaptai lonCat bangun menuding kebelakang
Ceng Tong dan memaki: "Kau wanita yang kejam. Kau membunuhnya, aku tak
menjalankan, karena ia memang jahat. Tapi untuk memenuhi permintaan orang yang
sudah dekat ajalnya sebagai dia, mengapa kau keberatan?"
"Yangan ngaCo-belo saja, mengganggu ketenangan!" bentak Ciang Cin.
Tapi Haphaptai tak ambil pusing, terus mendamprat. Ciang Cin hilang sabar, lalu akan menghantam, tapi diCegah Hi Tong.
Dan pada saat itu, Hwi Ching tampil kemuka, serunya: "Kaupunya Ciao Bun Ki samya
itu, akulah yang membunuhnya. Tak ada sangkut pautnya dengan lain orang.
Perserikatan Kwantong Liok Mo, kini hanya tinggal kau seorang. Kita mengetahui kau
seorang jujur, sehingga segan mengganggu. Sekarang pergilah, kalau kelak kau akan
menuntut balas, Carilah. aku."
Tanpa menjawab, Haphaptai memondong mayat Kim Piauw, terus berlalu. Hi Tong
mengambil sebuah kantong air, sebuah kantong makanan dan seekor kuda.
"Hap-toako, aku dapat menghormati kau sebagai seorang laki 2. Kuda ini, harap kau
suka terima," kata Hi Tong.
Haphaptai mengangguk, lalu letakkan mayat Kim Piauw diatas kuda. Hi Tong menuang
semangkok air, diminumnya separoh, lalu diberikan pada Haphaptai dan katanya pula::
"Air mengganti arak, Sebagai tanda perpisahan."
Pukulan Si Kuda Binal 4 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Istana Pulau Es 16
^