Pedang Darah Bunga Iblis 7

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 7


"Kau tidak perlu kesusu, segera akan sampai giliranmu!" "Tutup
mulutmu!" "Bagaimana?" "Aku tiada ikatan atau hubungan
apa2 dengan Racun
diracun, aku tidak sudi menerima budi luhurnya ini." "Jadi
maksudmu..." "Lepaskan dia pergi, kau urusan dengan aku saja!"
"Tapi dia sendiri mengatakan berhubungan erat dan kental
dengan kau?" "Dia bohong dan membual!" Segera Racun diracun
menyela berkata: "Suma Bing, tidak
perlu main sangkal, aku tidak takut kepadanya!" Rasul penembus
dada mendengus dongkol, desisnya: "Tidak perduli bagaimana
adalah kau sendiri yang mencari
kematian!"
Darah bergolak merangsang jantung Suma Bing, saking gugup ia
berteriak panjang:
"Jangan?" " sambil berteriak ia kerahkan seluruh tenaganya sekali
berkelebat ia maju menubruk sambil kirim serangan kearah Rasul
penembus dada. Rasul penembus dada ganda tertawa ejek, enteng sekali sebelah
tangannya diayun bergelombanglah angin pukulannya bagai hujan
badai derasnya...
Ditengah suara mengguntur dari benturan kedua pukulan yang
dahsyat itu, Suma Bing melolong panjang kesakitan, darah
berhamburan dari mulutnya, badannya terpental terbang dan
terbanting keras dikejauhan sana.
Agaknya Rasul penembus dada belum puas begitu saja, lagi2
kakinya mendesak maju kearah Racun diracun.
Segera Racun diracun angkat sebelah tangannya berseru:
"Nanti dulu!" "Kau masih ada pesan apa yang perlu
disampaikan?" "Kuharap tuan suka memberi kelonggaran
sekali ini kepada
dia." "Jiwamu sendiri sudah diambang kematian, buat apa kau
mintakan belas kasihannya?" Suma Bing mendongak sambil
berteriak menggila: "Aku
Suma Bing tidak perlu mengemis kasihan orang lain!" " karena
mulutnya terpentang darah menyembur lagi sedang tubuhnyapun
tergolek lemas diatas tanah.
Kata Racun diracun lagi: "Jadi tuan tidak mau mengampuni
jiwanya?" "Hm, termasuk jiwamu juga!" "Kalau sementara
bagaimana, boleh bukan?"
"Sementara, apa maksudmu?" "Sasaran tepat yang harus kau
cari sebenarnya adalah Loh
Tju-gi, sedang dia sendiri juga menjadi musuh besar Loh Tju- gi.
Kuharap kau dapat memberi kesempatan untuk dia menunutut
balas. Dan lagi, bukankah tuan juga mendapat perintah orang
lain..." "Tutup bacotmu, hal itu kau tidak perlu urus!" "Tapi
bagaimanapun juga aku minta tuan suka memberi
kesempatan sekali ini, kalau hari ini..." "Bukankah terlalu berabe,
setiap saat setiap waktu aku
dapat mencabut jiwanya, kalau kesempatan hari ini hilang,
bukankah besok sama saja, apa bedanya dan manfaatnya
kelebihan hidup satu hari?"
"Apa boleh buat, aku sendiri juga mendapat perintah untuk minta
belas kasihannya!"
"Mendapat perintah dari siapa?" "Kukira tuan kenal akan
pemilik benda ini?" " habis
berkata ia merogoh keluar sebuah benda dari dalam bajunya terus
disodorkan kedepan mata Rasul penembus dada lalu cepat2
menyimpannya lagi.
Walaupun Suma Bing terluka parah tak mampu bergerak, tapi
setiap pembicaraan kedua orang ini dapat didengarnya dengan
jelas, entah mendapat perintah siapakah Racun diracun untuk
menolong jiwanya" Lebih tidak diketahui lagi benda apakah yang
dipertunjukkan kepada Rasul penembus dada itu"
"Bagaimana?" "Kawan kau adalah..." suara Rasul penembus
dada penuh perasaan heran dan kejut.
"Mengandal benda ini kuharap tuan dapat sementara melepas
tangan?" segera Racun diracun menukas perkataan orang.
Sekian lama Rasul penembus dada ragu2 dan bimbang, akhirnya
berkata: "Baik, tapi hanya sementara saja, kelak sukarlah
dikatakan!!"
"Kalau begitu, kuucapkan banyak terima kasih!" "Tidak perlu!"
" bayangan putih berkelebat bagai
segumpal asap bayangannya menghilang dibalik hutan sebelah
sana. Racun diracun menghampiri kearah Suma Bing serta berkata:
"Lukamu tidak ringan?"
Sambil mengertak gigi, Suma Bing merangkak bangun, sahutnya:
"Tidak menjadi soal, hanya aku berhutang budi sekali lagi kepada
tuan." "Aku bekerja menurut perintah, kau tidak perlu ambil dihati!"
"Tuan mendapat perintah dari siapa?" "Maaf tidak boleh
kuberitahu kepada kau!" Suma Bing menghela napas panjang,
katanya: "Biar kelak
kubalas kebaikanmu ini, selamat bertemu." " lalu dengan
sempoyongan ia berjalan keluar rimba.
"Kau tidak boleh pergi!" Suma Bing melengak dan
menghentikan langkahnya,
tanyanya: "Tuan masih ada omongan?" "Kau harus
berobat untuk memulihkan tenagamu." "Itu mudah dan
dapat kulakukan sendiri." "Yang kumaksud sekarang ini,
biar kubantu kau."
Memang sifat pembawaan Suma Bing angkuh dan keras kepala,
selamanya dia tidak sudi terima budi orang lain, apalagi dia tengah
curiga mungkin Racun diracun mempunyai maksud tersembunyi
yang belum diketahui, maka segera ia menyahut tawa: "Terima
kasih akan kebaikanmu ini!"
"Suma Bing, keangkuhanmu ini tidak akan membawa faedah untuk
kau, kalau kau bentrok lagi dengan orang2 Bwe- hwa-hwe, dalam
keadaan luka parah dan tidak mampu membela diri, apakah sudah
kau bayangkan akibatnya?"
Setelah tertegun sekian lamanya, sikap Suma Bing masih tetap
kukuh: "Hal itu sudah kupertimbangkan." Racun diracun menggeleng
kepala tanpa dapat berbuat
apa2, ujarnya: "Baiklah, kau boleh pergi, jangan kau lupa
selekasnya mencari Bunga iblis, Pedang darah tengah menanti
kau!" Suma Bing membatin, seandainya tidak menemukan Bunga iblis,
Pedang darah adalah milik ayahku, bagaimana juga aku harus
merebutnya kembali. Dalam hati ia berpikir demikian, namun
dimulut ia menyahut: "Baik!" lalu dengan langkah sempoyongan ia
tinggal pergi. Mendadak sebuah bayangan putih berkelebat lagi, tahu2 Rasul
penembus dada sudah melesat tiba lagi dalam rimba.
Kalau Rasul penembus dada sudah pergi dan kembali lagi hal ini
membuat tergetar hati Suma Bing dan Racun diracun.
Segera Racun diracun mendahuluinya menyapa: "Untuk apa tuan
kembali lagi?"
Suara Rasul penembus dada mendesis dingin: "Hampir aku
kelupaan sebuah urusan besar"
"Urusan apa?" "Serahkan Pedang darah
kepadaku?"
Tergetar hebat hati Racun diracun, tanpa terasa kakinya mundur
dua langkah, serunya:
"Mengapa harus kuserahkan kepadamu?" "Kenapa kau tidak
perlu tahu, lekas kau serahkan!" "Tidak bisa" "Kau tahu
akibatnya?" "Barang itu tidak berada padaku, berada di..."
Rasul penembus dada mengekeh tawa dingin, serunya:
"Kawan tahulah diri, benda apa yang kau kempit diketiak kirimu
itu?" Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Racun diracun, sungguh diluar
sangkanya bahwa Rasul penembus dada ternyata telah berhasil
melatih ilmu aneh yang sudah lama menghilang didunia persilatan,
hingga matanya dapat melihat benda tersembunyi dibalik baju.
Dilain pihak, Suma Bing juga tidak kalah heran dan kejutnya.
Muka Racun diracun adalah sedemikian hitam legam bagai arang,
maka susah diketahui mimik wajahnya, tapi karena kena dikorek
kedok rahasianya agaknya ia terkejut dan heran juga.
Rasul penembus dada tidak memberi hati desaknya lagi:
"Kawan, bekerjalah melihat gelagat!" Agaknya Racun diracun
kewalahan, terpaksa ia menyahut: "Tapi terlebih dulu aku harus
melapor kepada pemilik
benda yang kuunjukkan kepadamu tadi..." "Justru karena
memandang muka pemilik benda itu aku
mau melepaskan Suma Bing. Ini sudah melanggar kebiasaanku,
tentang Pedang darah itu, tak peduli siapa
pemiliknya harus diserahkan kepada aku, tiada kesempatan untuk
kamu main debat!"
"Jadi tuan benar2 memaksa?" "Sudah tentu!" Adalah Suma
Bing yang tidak kuat menahan rangsangan
amarahnya, serunya dari samping: "Tuan mengandal kepandaian
hendak merampas dengan
kekerasan..." "Lebih baik kau tutup mulut!" Tubuh Racun diracun
tergetar hebat menahan perasaan
hati, sekian lamanya baru ia kuat menyahut dengan gemetar:
"Tidak sukar tuan mengambil Pedang darah itu, tapi kau harus
mengambil jiwaku dulu!"
"Bukankah itu sangat gampang?" "Perlu dijelaskan terlebih
dahulu, setelah kau memperoleh
Pedang darah, kau takkan kuat berjalan sejauh satu li." "Kau
berani menggunakan racun?" "Ya, karena terpaksa." "Jadi
maksudmu kita gugur bersama?" "Sedikitpun tidak salah." "Aku
kuatir sukar terlaksana keinginanmu itu?" "Ada lebih baik tuan
mencoba?" "Bagus sekali, mari mulai!" dibarengi dengan lenyap
suaranya, Rasul penembus dada mendesak maju secepat kilat,
kelima jari tangannya bagai cakar garuda mencengkram tiba,
dengan kepandaian Racun diracun yang lihay itu ternyata
sedikitpun tidak mampu berkelit atau melawan, tahu2 pergelangan
tangannya sudah dicengkram oleh musuh.
Tapi pada saat itu pula dengan kecepatan luar biasa sebelah
tangan Racun diracun yang lain juga sudah menampar tiba dimuka
lawan. Maka terdengar Rasul penembus dada menggeram keras dimana
pergelangan tangannya menggentak dengan keras, kontan tubuh
Racun diracun disekengkelit jatuh dua tombak jauhnya.
Gebrak pertama ini, kedua belah pihak bergerak sedemikian cepat
seumpama kilat berkelebat, hingga susah diikuti oleh pandangan
mata. Begitu menyentuh tanah, secepat itu pula tubuh Racun diracun
sudah melejit bangun, kontan mulutnya mengoak muntah darah.
Dan sebelum dia bernapas lega, tubuh Rasul penembus dada
dengan kecepatan bagai angin lesus merangsang tiba, dimana
terdengar kain robek, jubah panjang didepan dada Racun diracun
sudah berlobang. Tahu2 Pedang darah sudah berada ditangan
Rasul penembus dada.
Racun diracun berteriak beringas: "Kau sudah terkena Racun
tanpa bajangan, ditambah
Induk-racun-berlaksa-tahun. Ketahuilah, kau takkan bisa keluar
dari rimba ini"
"Sekarang kuperintahkan kau mengeluarkan obat pemunahnya"
suara Rasul penembus dada agak gemetar.
"Kau bermimpi disiang hari bolong!" "Kau tidak mau
keluarkan?" "Tidak!" "Itu berarti kau mesti mati, termasuk dia
juga!" "Kau sudah melulusi untuk melepas dia?" desis Racun
diracun mengertak gigi. "Sekarang kucabut kembali
pernyataanku itu!"
"Kau pelintat pelintut dan menjilat ludahmu sendiri, kau lebih
rendah dari sampah kaum persilatan."
"Pergilah kalian menjadi pahlawan gagah dineraka." - mendadak
sebelah tangannya diayun keatas, maka meluncurlah secarik sinar
merah terang benderang menjulang tinggi kelangit. Lalu katanya
lagi: "Kawan, tanda pertolongan sudah kulepas, sebentar lagi pasti
datang orang untuk mengambil Pedang darah ini, kau tidak
menyangka bukan?" " sekali berkelebat tahu2 tubuhnya sudah
mendekati Suma Bing, sebilah cundrik yang kemilau mengancam
diulu hati Suma Bing.
Racun diracun memekik kejut, serunya: "Baik, kuberikan obat
pemunah!" Sigap sekali Rasul penembus dada membalik tubuh menghampiri
kedepan Racun diracun pintanya: "Serahkan obat pemunahnya!"
Cepat2 Racun diracun menjentik dua butir peles obat. Rasul
penembus dada meraihnya kedalam tangannya dan tidak segera
ditelan, sinar matanya ber-kilat2 menatap Racun diracun, katanya:
"Kawan, kau menyebut diri sebagai Racun diracun, dapatkah aku
percaya akan obat pemunahmu ini?"
Racun diracun mendengus geram semprotnya: "Tuan kau
terlalu memandang rendah orang". "Baik, kupercaya kau takkan
berani main gila, kuingat
kebaikanmu ini!" " habis berkata segera ia telan obat pemunah
itu... "Rasul penembus dada," seru Suma Bing penuh kebencian, "Aku
bersumpah untuk merebut kembali Pedang darah itu!"
"Itu tergantung dari keberuntunganmu!" " lalu bayangan putih
berkelebat ringan sekali tubuhnya melejit hilang dari pandangan
mata. Dengan rasa penuh penyesalan Suma Bing menghadapi Racun
diracun, katanya: "Tuan, aku Suma Bing berhutang budi terlalu
banyak kepadamu biarlah kelak kita bicarakan lagi!" - lalu sambil
ber-ingsut2 ia berjalan pergi.
Racun diracun membanting kaki, lalu secepat kilat iapun melayang
pergi. Sukar sekali Suma Bing menggerakkan kedua kakinya, seakan
berlaksa kati beratnya, setelah berjalan satu li lebih didepannya
menghadang lagi sebuah hutan lebat yang gelap batinnya, aku
harus mencari tempat tersembunyi untuk berobat.
Tengah berpikir itu didapatinya tidak jauh disebelah sana sebuah
pohon besar yang berlobang, bergegas ia menuju kearah pohon
besar itu... Se-konyong2 terdengar suara kesiur angin dibelakangnya, cepat2
Suma Bing membalik tubuh penuh kewaspadaan. Terlihat seorang
gadis cantik bak bidadari tengah berdiri lemah gemulai
dihadapannya terpaut hanya dua tombak.
"Adik Sian, kau... kau..." "Engkoh Bing!" Kiranya gadis cantik
itu bukan lain adalah Phoa Kin sian
yang sudah ada ikatan jodoh sebagai istri Suma Bing. Secara
tiba2 Phoa Kin sian muncul dalam rimba itu benar2


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diluar dugaan Suma Bing. Seketika teringat akan adegan dalam
rimba diluar kuil bobrok dulu, tanpa terasa merah jengah wajah
mereka. "Adik Sian, bagaimana kau bisa datang kemari?" "Kulihat ada
beberapa orang anggota Bwe-hwa-hwe
meronda diluar hutan, saking kepingin tahu, ku-coba2 kemari
memeriksa. Eh, engkoh Bing, kau terluka?"
"Benar!"
"Terluka oleh siapa?" Suma Bing menutur secara ringkas jelas.
Berkerut dalam alis Phoa Kin-sian, katanya penuh kasih
sajang: "Engkoh Bing, kau perlu segera berobat!" " Lalu dengan
langkah lemah gemulai ia datang menghampiri dan payang Suma
Bing masuk kedalam lobang pohon. Seumpama seorang istri setia
tengah melayani suaminya dengan penuh rasa cinta kasih, timbul
suatu perasaan manis mesra dalam benak Suma Bing. Apalagi bau
harum yang memabukkan perasaan itu lebih2 membuat hati syur
me-layang2. Lobang pohon itu cukup besar lebih setombak luasnya, cukup luas
untuk mereka mengumpat sementara disitu. Phoa Kin-sian
keluarkan dua butir pulung obat lalu per-lahan2 dijejalkan kedalam
mulut Suma Bing, serta katanya lemah lembut:
"Engkoh Bing, biar kubantu kau..." "Tidak perlulah, dengan
keampuhan Kiu-yang-sin-kang
dibantu khasiat obatmu, kukira cukup berlebihan!" "Baiklah, biar
aku yang menjaga diluar!" " lalu ia
menggeser maju kemulut lobang. Sedang Suma Bing segera
duduk semadi mengerahkan tenaganya.
Sang waktu berjalan dengan cepat, siang sudah berganti malam,
dalam kegelapan malam didalam lobang pohon itu, sepasang
kekasih tengah berindehoy tenggelam dalam perasaan bahagia
yang tak berujung pangkal.
Sambil menggelendot didada Suma Bing, Phoa Kin-sian berkata
malu2: "Engkoh Bing, agaknya aku..."
"Kau kenapa?" "Aku... aku..." setengah harian Phoa Kin-sian
tergagap tak kuasa mengeluarkan kata2. Dalam pandangan Suma Bing yang
berkepandaian sedemikian tinggi, kegelapan malam tidak
menjadi soal dalam pandangan matanya, samar2 masih terlihat
olehnya sikap malu2 dari wajah kekasihnya ini.
"Adik Sian, sebenarnya ada apakah?" "Agaknya, aku... aku
sudah punya..." "Punya apa?" Kepalan Phoa Kin-sian memukul
agak keras didada bidang
Suma Bing, serunya agak gemetar: "Dungu, aku tidak tahu!"
Keruan Suma Bing melengak dan garuk2 kepala, entah
mengapa mendadak Phoa Kin-sian ngambek, maka per-lahan2
tangannya meng-elus2 rambutnya sambil ujarnya:
"Mengapa perkataanmu sendlap-sendlup tak karuan?" "Apa
betul kau tidak tahu?" "Kalau tidak kau katakan masa aku bisa
tahu, toh aku bukan cacing dalam perutmu!" "Aku sudah mengandung!" "Apa,
kau sudah mengandung?" Suma Bing memeluk Phoa Kin-sian
dengan kencang, saking
girang badannya gemetar dan mulutnya menggumam. "Kita bakal
punya anak..." Bagai seekor domba yang aleman Phoa Kin sian
membiarkan Suma Bing memeluknya semakin kencang hingga
susah bernapas.
"Adik Sian, kau bertempat tinggal bersama Bibi Jui?" "Ya."
"Dimanakah?" "Suhu menyuruh aku sementara tidak
memberitahu kepada
kau." "Mengapa?"
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ "Aku tidak tahu!" "Kalau aku ada urusan..." "Suhu atau aku
dapat mencari kau, ai, Engkoh Bing,
katamu Pedang darah sudah terjatuh ditangan Rasul penembus
dada?" "Begitulah kenyataannya." "Biar kulapor kepada suhu untuk
merebutnya kembali..." "Jangan, aku bersumpah untuk
merebutnya sendiri." Malam terus merayap mendekati pagi,
sang surya sudah
muncul dari peraduannya, jagat raya sudah terang benderang.
Suma Bing berjalan keluar dari lobang pohon menggandeng
tangan Phoa Kin-sian. "Engkoh Bing saat ini kau hendak kemana?"
"Aku hendak ke Bu-kong-san mengadu peruntungan,
mungkin aku dapat mencari jejak Bunga iblis siapa tahu?" "Aku
pergi bersama kau, kita dapat saling membantu?" "Tidak, adik
Sian, apa kau lupa kau sudah ada..." "Itu tidak menjadi halangan"
Phoa Kin-sian memberikan sebuah senyuman manis mesra
yang menggiurkan kepada Suma Bing, tak tertahan Suma Bing
lantas memeluk dan menciumnya sekali.
Begitulah mereka bergandengan menyusuri rimba menuju kejalan
raya, lalu ambil perpisahan dengan rasa berat dan haru.
23 SEORANG KORBAN CINTA YANG SAMPAI LUPA AKAN
USIA SENDIRI Siang dan malam Suma Bing menempuh perjalanan menuju ke
Bu-kong-san. Bu-kong-san adalah gunung-gemunung yang
ber-lapis2 dan bersusun menjulang tinggi keangkasa.
Tidak perlu dipersoalkan apakah Bu-siang-sin-li si manusia aneh
berusia seabad itu masih hidup didunia fana ini atau tidak. Hanya
untuk mencari gua tempat dia semayam diantara sekian luas hutan
dan dataran tinggi serta lembah2 dialas pegunungan yang belum
pernah dijajaki manusia, seumpama mencari jarum dilautan. Sejak
beranjak memasuki pegunungan Suma Bing langsung memanjat
kepuncak tertinggi melalui jurang2 dan hutan2 lebat, tak mengenal
lelah ia menjelajah dan mengarungi kesegala penjuru, tidak
ketinggalan tempat2 yang mencurigakan telah diselidiki. Satu hari "
dua hari " tiga hari " tahu2 sebulan sudah berlalu dengan cepat
tanpa terasa. Selama ini sedikitpun Suma Bing belum mendapat
hasil yang diharapkan. Keputus-asaan sudah mulai merangsang
benaknya. Hari itu Suma Bing tengah menjelajah sampai dipinggir sebuah
jurang yang dalam tak terlihat dasarnya, memandangi kabut tebal
yang ber-gulung2 didepan matanya ini, terasa seakan dirinya
berada di-awang2.
Se-konyong2 sebuah helaan napas panjang yang penuh
mengandung kegetiran hati samar2 terdengar dalam kupingnya.
Helaan napas itu membuat pendengarannya merasa seakan ia
semakin tenggelam kedalam lembah sunyi yang tak berujung
pangkal, seumpama pula kepala diguyur air dingin dimusim dingin,
gemetar dan membeku seluruh tubuh.
Pandangan Suma Bing menjelajah keempat penjuru, terlihat diatas
sebuah batu cadas besar yang menonjol keluar dipinggir jurang
sebelah sana, berdiri tegak mematung bayangan seseorang. Dari
pakaian yang me-lambai2 dihembus angin pegunungan, tidak perlu
diragukan itulah seorang wanita adanya.
Aneh dan mengherankan, dilembah pegunungan diatas batu cadas
ini, darimana datangnya seorang wanita yang menghela napas
sedemikian sedih memilukan"
Timbul rasa heran dan ingin tahu Suma Bing, per-lahan2 ia
menggeremet mendekati. Dari jarak dekat inilah baru ia melihat
tegas kiranya itulah seorang wanita setengah umur berambut
setengah ubanan, tengah asyik memandang kabut didepannya
yang ber-gulung2 mengambang bebas ditengah udara. Dari
bangun tubuhnya yang ramping semampai dapatlah dibayangkan
pasti semasa mudanya wanita ini adalah seorang gadis yang ayu
rupawan. Lama dan lama sekali kedua belah pihak tetap membisu tanpa
buka suara. Batu cadas dimana wanita setengah ubanan itu berdiri luasnya
tidak lebih tiga kaki dibawahnya adalah jurang yang dalam yang
tak kelihatan dasarnya, jikalau terpeleset jatuh pastilah tubuhnya
akan hancur lebur. Tak urung timbul secercah kekuatiran dalam
lubuk Suma Bing.
Akhirnya terdengar wanita tua itu membuka suara juga: "Siapa
itu?" " suaranya dingin tanpa emosi. "Aku yang rendah Suma
Bing!" "Enyah dari sini!" Suma Bing melengak, agaknya orang
tengah menanti seseorang, maka segera ia bertanya: "Apakah Cianpwe
tengah menantikan seseorang?" "Apa kau memanggil
Cianpwe kepadaku?" "Apa tidak pantas?" "Berapa
usiamu tahun ini?" "Belum cukup sembilan belas
tahun!" "Cianpwe" Apakah aku sudah tua?" wanita tua itu bicara dan
menggumam sendiri.
Suma Bing tergerak hati, ucapan yang sangat ganjil sekali,
dikolong langit ini masa ada orang yang tidak mengetahui usianya
sendiri, apa mungkin, dia seorang linglung yang tidak waras
pikirannya... Sejenak merandek lantas wanita tua itu menggumam lagi: "Aku
Giok-li Lo-Ci ternyata sudah tua, tidak, aku belum tua, aku tidak
boleh tua, mengapa dia tidak kunjung datang juga?"
Suma Bing berpikir: kiranya perempuan tua ini bernama Giok-li Lo
Ci, entah siapakah orang yang dimaksudkan itu"
"Lo-cianpwe..." Mendadak Giok-li Lo Ci berpaling kearah Suma
Bing sorot matanya ber-kilat2: "Siapa kau, darimana kau tahu aku she Lo?"
Suma Bing menjadi bingung, dilihat dari sorot mata orang
yang terang dan jernih, pastilah bukan orang yang linglung atau
gelap pikiran. Apalagi Lwekangnya sudah sempurna, justru yang
mengherankan cara bicaranya membuat orang tidak habis
mengerti. Maka segera sahutnya:
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan?" "Apa betul?"
"Lo-cianpwe tengah menanti seseorang?" "Benar!"
"Siapakah dia" "Usianya mungkin lebih tua sedikit dari
kau..." "Apakah putramu?" "Hus, kurang ajar!"
"Siapakah namanya, mungkin aku dapat membantu?"
"Namanya Sia-sin Kho Jiang!" Suma Bing melonjak kaget dan
mundur tiga langkah,
hampir dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, seketika ia
terhenyak ditempatnya tanpa kuasa mengeluarkan suara kiranya
perempuan ini tengah menanti suhunya"
Sejak kena dibokong hingga menjadi invalid sampai mati suhunya
belum pernah muncul dikalangan Kangouw selama dua puluh
tahun. Secara diam2 Sucinya Sim Giok-sia bertunangan dengan
Tiang-un Suseng, maka akhirnya dikurung subonya selama tiga
puluh tahun, saat mana usianya pun sudah mendekati lima
puluhan. Sebaliknya Giok li Lo Ci mengatakan bahwa orang yang
dinantikan kedatangannya ini berusia sedikit lebih tua dari dirinya.
Jikalau itu benar, bukankah itu berarti dia telah menanti dan
menanti selama lima puluh tahun lebih. Kabarnya suhu dan
subonya bertengkar dan berpisah, apa mungkin karena perempuan
ini" Mendadak Giok-li Lo Ci berteriak melengking bergegas
meninggalkan batu cadas itu dan melompat maju kehadapan
Suma Bing serta serunya gemetar:
"Benda apa yang kau pakai dijari tengahmu itu?" Suma Bing
terperanjat, sahutnya: "Cincin Iblis!" "Cincin iblis?" "Benar!"
"Darimana benda itu kau dapatkan?" Semakin besar dan
tepatlah dugaan Suma Bing bahwa
perempuan tua yang bernama Giok li Lo Ci ini, adalah kekasih
suhunya semasa masih muda dulu. Kalau begitu, apa benar dia
sudah menunggu selama lima puluh tahun" Dalam secercah
ingatannya bayangan wajah suhunya semasa masih muda pada
lima puluh tahun yang lalu. Maka tidak menjawab
dia balik bertanya: "Jadi Cianpwe selalu menunggunya ditempat
ini?" "Disinilah kita mengikat jodoh, dia mengatakan pasti akan datang,
aku percaya dia takkan menipu aku!"
"Sudah berapa lama Cianpwe menunggu disini?" "Aku tidak
tahu!" "Yang kutanyakan tadi bagaimana Cincin iblis ini bisa
berada ditanganmu?" Giok-li Lo Ci kembali mengalihkan
pembicaraan pokok.
"Sebab aku adalah muridnya!" Giok-li Lo Ci terharu dan
bergirang: "Kau adalah murid engkoh Jiangku?" "Benar!"
"Dimana dia berada?" "Dia..." "Katakanlah dimana dia?" Tanpa
terasa Suma Bing merasa mendelu dalam hati,
kerongkongannya seperti disumbat sesuatu, bahwa suhunya
sudah menutup mata, apakah hal ini harus diberitahukan
kepadanya" Apa dia kuat menerima pukulan batin ini" Atau
membiarkan dia menunggu lagi dengan penuh harapan yang tak
mungkin harapan itu kunjung datang" Apakah penipuan demikian
tidak terlalu kejam" Sesaat dia menjadi bimbang, entah
bagaimana dia harus memberi jawaban yang positif.
Lima puluh tahun, ya selama lima puluh tahun dia telah
menunggu, sampai usia sudah tuapun tidak disadari olehnya,
betapa besar pengorbanan yang telah dikeluarkan demi cintanya.
Cinta itu buta dan cinta memang dapat membuat jiwa orang
gersang, ah, sungguh kasihan!
Giok-li Lo Ci mendesak maju dua langkah, suaranya berteriak
hampir menggila:
"Katakan, dimana Sia-sin Kho Jiang berada?" "Dia... dia..." "Dia
bagaimana?" Benak Suma Bing bekerja keras, daripada
membiarkan ia meninggal secara mengenaskan dengan putus harapan adalah
lebih baik memberikan secercah harapan untuk hidup. Kalau toh
dia sudah menanti selama lima puluh tahun, apa pula halangannya
untuk menanti lagi entah sampai berapa lama, kalau dikatakan
secara kenyataan tindakannya ini memang agak terlalu kejam, tapi
apa boleh buat, maka segera sahutnya lantang: "Dia orang tua
tengah menutup diri karena tengah melatih suatu ilmu!"
"O, aku tidak dapat menyalahkan dia, dia pasti datang!" Suma
Bing benar2 sudah tak dapat menahan suasana yang
menyedihkan ini, cepat2 ia memberi hormat terus berkata:
"Wanpwe minta permisi!" "Baik, bila kau ketemu dia katakan
bahwa aku tengah
menunggunya." Suma Bing mengiakan terus bergegas berlari pergi
meninggalkan Giok-li Lo Ci, sambil ber-lari2 kecil ia menyusuri
pinggir jurang.
Jurang itu agaknya luas sekali dan tak berujung pangkal, sekian
lama sudah ia berlari masih belum sampai pada ujung
pangkalnya... Sang surya mulai meninggi, sinar matahari yang terang mulai
mengurangi kabut yang tebal itu. Alam sekelilingnya mulai jelas
terlihat, Suma Bing menghentikan langkahnya dan mendongak


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat situasi sekitarnya, tanpa terasa dia tertawa geli sendiri.
Sudah setengah harian ia ber-putar2
kiranya baru mencapai setengah dari lingkaran jurang itu, dimana
tempat dia berada sekarang tepat berhadapan dengan tempat
dimana ia tadi berpisah dengan Giok-li Lo Ci, malah samar2
terlihat juga tubuh yang berdiri menyendiri bagai tonggak diatas
batu cadas itu.
Suma Bing geleng2 kepala, gumamnya: "Korban cinta yang
mengenaskan!"
Se-konyong2 beberapa bayangan manusia berkelebatan tengah
meluncur datang dengan kecepatan seperti bintang terbang
tengah melesat mendatangi kearah puncak dipinggir jurang
dimana dia berada ini. Dalam waktu yang pendek orang2 itu sudah
mendatangi semakin dekat. Dimana sorot pandangan Suma Bing
melintas sontak timbullah nafsu membunuh yang ber-kobar2.
Kiranya para pendatang itu adalah para jagoan dari Bwe-hwa-hwe
yang berjumlah tujuh orang.
Agaknya seorang tua seragam kuning sebagai pimpinan dari
rombongan keenam orang lainnya yang masing2 bertubuh tinggi
tegap. "Berhenti!" tiba2 Suma Bing menghardik dengan kerasnya!
Tujuh orang itu segera menghentikan langkahnya, si orang
tua yang memimpin itu berseru kaget: "Sia-sin kedua!" Sontak
keenam laki2 tegap lainnya berobah airmukanya,
ter-sipu2 mereka menyebar diri bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Suma Bing sendiri sesaat melengak heran, bahwa musuh ternyata
menyebut dirinya sebagai Sia-sin (malaikat sesat) kedua. Karena
menurut anggapannya bahwa perbuatannya toh tidak
menyeleweng, dengan alasan apa mereka menyebut dirinya
sebagai Malaikat sesat kedua"
Si orang tua pemimpin itu segera menggerakkan sebelah
tangannya, selarik sinar merah segera meluncur tinggi ketengah
angkasa. Diam2 Suma Bing mengumpat kelicikan musuh ini, sungguh diluar
prasangkanya bahwa para jagoan Bwe-hwa-hwe ini ternyata
mengikuti jejaknya memasuki pegunungan Bu-kong- san ini juga.
Pertanda sinar merah itu sudah terang kalau memanggil bala
bantuan untuk menghadapi dirinya. Maka segera ia mendesak
maju serta tanyanya dingin:
"Kalian mengikuti jejakku ya?" Serta merta ketujuh orang itu
melangkah mundur
ketakutan, si orang tua pemimpin mendesis geram: "Suma Bing
diempat penjuru sudah dijaga ketat dan penuh jebakan,
seumpama kau tumbuh sayap juga jangan harap dapat lolos!"
Hawa membunuh diwajah Suma Bing semakin tebal, tawanya
menjengek dingin:
"Maka perlu kusilahkan kalian membuka jalan bagi tuan besarmu
ini..." Belum habis ucapannya kedua tangannya beruntun bergerak
menyodok kedepan. Bukan saja serangannya ini sangat aneh dan
dahsyat, kekuatannyapun bukan olah2 hebatnya. Si orang tua
pemimpin berlaku sangat cerdik, sebat sekali ia mendahului
melompat nyingkir, lain dengan keenam anak buahnya yang tidak
sempat lagi menyingkir, mereka tergulung sungsang sumbel
keempat penjuru.
Begitu pukulan pertama dilancarkan, gesit sekali Suma Bing
mendesak maju sambil berputar secepat kilat tangannya
melancarkan sebuah hantaman. Dimana terdengar teriakan ngeri,
dua diantara enam laki2 tegap itu mencelat setinggi dua tombak
terus melayang masuk jurang yang tidak kelihatan dasarnya.
Keruan lima orang kawannya ketakutan setengah mati. Si orang
tua pemimpin segera berseru keras:
"Mundur!" "Mimpi!" " sambil membentak ini, badan Suma Bing
melesat cepat bagai bayangan setan, sigap sekali tahu2
pergelangan tangan si orang tua sudah dicengkram olehnya.
Kesempatan untuk berkelit belum ada tahu2 dirinya sudah kena
teringkus oleh lawan, keruan pucat pasi dan ketakutan setengah
mati si orang tua pemimpin itu, keringat dingin membanjir
membasahi tubuhnya.
Saking gentar dan ketakutan, empat laki2 tegap lainnya sampai
kesima berdiri bagai patung dengan tubuh gemetaran.
Derap langkah ramai dari kejauhan semakin dekat... Mendadak
Suma Bing menggentakkan tangannya, bagai
sebuah bola besar si orang tua dilemparkan masuk kedalam
jurang yang dalam. Pekik panjang yang menyayatkan hati
menggema jauh dari ketinggian semakin mengecil lirih terus
menghilang didasar jurang.
Bagai tersadar dari mimpi keempat laki2 tegap segera melarikan
diri pontang panting seperti dikejar setan...
"Lari kemana kalian!" " ditengah bentakan yang menggeledek ini,
lagi2 Suma Bing melesat tinggi dan jauh berbareng dikirimnya
empat kali pukulan jarak jauh yang dahsyat, empat gelombang
angin pukulannya hampir bersamaan melanda keempat sisa
anggota Bwe-hwa-hwe yang lari ketakutan itu.
Dilain saat segera terdengar jerit dan pekik kesakitan yang riuh
rendah, empat tubuh manusia seperti juga kawan2nya melayang
jatuh kedalam jurang.
"Buyung, kejam benar perbuatanmu ini!" sebuah suara dingin
sedingin es mendengus tiba.
Sigap sekali Suma Bing membalikkan tubuh, maka terlihat dua
diantara empat Setan gantung, yaitu Heng-si-khek dan Hui-bing
khek telah berdiri tak jauh dihadapannya. Tubuh
mereka kurus kering dan pucat pasi bagai mayat hidup, dilehernya
masih terikat tali gantungan, tanpa terasa melonjak kaget benak
Suma Bing. Satu diantara keempat Setan gantung saja
berkepandaian lebih tinggi dari Bu-lim-su-ih tingkatan gurunya,
maka sudah terang kalau dirinya bukan tandingan mereka.
Akan tetapi sifat pembawaannya yang keras kepala dan congkak
membuatnya tidak mengenal akan arti takut, dengan beringas dan
gagahnya ia berdiri tegak sekokoh gunung.
Heng si khek menyeringai tawa seram, desisnya: "Buyung,
bencana susah dihindari, lebih baik kau mandah
saja terima kematianmu!" Dibarengi dengan kata2nya ini, kedua
tangannya secepat
kilat mendorong kedepan, kecepatan cara turun tangannya ini
benar2 menakjubkan hingga waktu berpikir bagi musuhpun tidak
sempat lagi. Agaknya Suma Bing juga tidak mau kalah perbawa, dipusatkannya
seluruh kekuatan tenaga Kiu-yang-sin-kang kearah tangan dan
disertai dengan dengusan keras ia songsongkan kedua tangannya
kedepan juga, dorongan disambut dengan dorongan.
Tapi sebelum dorongan dahsyat kedua belah pihak saling bentur
mendadak Heng si khek merobah cengkraman tangannya menjadi
pukulan. Dentuman dahsyat segera terjadi dialas pegunungan yang
sunyi hingga suaranya menggelegar terdengar jauh, Tubuh
Heng-si-khek bergoyang limbung, adalah Suma Bing tersurut
mundur delapan kaki jauhnya.
Dan hampir dalam waktu yang bersamaan, dari samping sebelah
sana Hui-bing-khek juga lancarkan sebuah hantaman keras bagai
topan badai menggulung kearah Suma Bing yang belum sempat
dapat berdiri tegak. Lagi2 Suma Bing mencelat sejauh beberapa
tombak baru dapat berdiri tegak, mulutnya menghambur darah
segar. Heng-si-khek sudah mendesak maju hendak menyerang lagi...
"Lo-toa, tahan dulu!" mendadak Hui-bing-khek berseru mencegah.
"Kenapa?" "Apa tidak kita ringkus hidup2 saja?" "Ketua kuatir
akan membawa buntut yang susah
dikendalikan, dia ingin kematian bocah kerdil ini." "Tapi kau ingat,
dia orang tua..." Untuk kedua kalinya Suma Bing mendengar 'Dia
orang tua' dari mulut musuh2nya ini, disinilah letak kunci daripada Bhehwa-
hwe mengejar dan hendak membunuh dirinya. Tokoh macam
apakah sebenarnya orang yang disebut sebagai 'dia orang tua' itu"
Mengapa dia mengutus orang untuk membunuh dirinya" Dengan
kedudukan dan ketenaran nama Si-tiau-khek empat gembong iblis
yang kenamaan ini saja masih rela tunduk dan terima perintahnya,
maka dapatlah dibayangkan tentu tokoh itu bukan sembarang
orang... "Lo-sam, tapi ini perintah Ketua!" kata Heng-si-khek. Agaknya
Hui-bing-khek bersungguh hati, sahutnya: "Kalau dia orang tua
menyalahkan..." "Biar Ketua yang bertanggung jawab!" "Kita
berempat saudara boleh dikata mendapat perintah
hanya untuk membantu Ketua..." "Lo-sam, bocah ini agak
misterius, ternyata sedemikian
banyak orang2 kosen sebagai dekingnya, sampai Rasul penembus
dada yang baru saja muncul di Kangouw agaknya juga melindungi
bocah ini. Sekarang kesempatan yang susah, dicari ini, janganlah
kita abaikan begitu saja, kesempatan seperti ini susahlah dikatakan
lagi kapan dapat kita peroleh!"
Sungguh geram Suma Bing bukan alang kepalang, tidak kira bahwa
musuh berani begitu takabur tengah merundingkan nasib mati
hidupnya, maka dengan penuh kebencian dan gusar mulutnya
mendesis: "Si-tiau-khek, kalau aku Suma Bing tidak sampai mati, awas
kalian akan kubeset kulit kalian hidup2..."
"Hehehehe, Buyung, sayang kematianmu sudah pasti!" Kedua
tangannya bergantian menyodok dan mendorong
kedepan. Pukulan Heng-si-khek kali ini bertujuan hendak
menamatkan riwayat hidup Suma Bing.
Suma Bing mengertak gigi, kedua tangan ditekuk lalu didorong
kedepan juga secara keras lawan keras.
Dar...! diselingi pekik kesakitan yang menyayat hati, tubuh Suma
Bing terpental setinggi dua tombak terus melayang jatuh masuk
jurang yang dalam itu.
Bermula ingatannya masih sadar, seakan tubuhnya mengambang
naik awan me-layang2 ditengah udara, tanpa terasa dia
menggembor keras: "Masa aku harus mati secara begini" O, aku
mati penasaran!" " jeritan yang mengerikan ini hampir dia sendiri
juga tidak mendengar jelas... akhirnya dia kehilangan
kesadarannya. Dalam pada itu setelah memukul jatuh Suma Bing kedalam
jurang, segera Heng-si-khek berkata kepada Hui-bing-khek:
"Tugas sudah selesai, mari kita pergi..."
"Pergi?" mendadak sebuah suara dingin menyelak dibelakang
mereka, "jiwa kalian juga harus ditingggalkan!"
Per-lahan2 kedua Setan gantung ini membalik tubuh, tampak oleh
mereka seorang bertubuh tinggi lencir bewarna serba hitam berdiri
tiga tombak dibelakang mereka, kedua mata manusia serba hitam
ini memancarkan kebencian yang me-nyala2. Manusia kejam dan
telengas seperti kedua Setan gantung inipun tak urung bergidik
seram dan gentar.
Mata Hui-bing-khek melebar memandang kearah lawan, serunya:
"Tuan inikah yang bernama Racun diracun..."
"Ya, benar." "Tuan sombong dan takabur, berani bermulut
besar hendak mengambil jiwa kita bersaudara, apa kau sudah bosan hidup?"
"Tidak, hanya kalian berdua..." Heng-si-khek perdengarkan suatu
tawa ngekek, jengeknya:
"Agaknya tuan hendak menuntut balas bagi si sesat kedua, Suma
Bing itu?"
"Ucapanmu tepat sekali." "Tidak perlu banyak bacot lagi,
silahkan tuan turun
tangan?" Racun diracun mendengus keras, tanpa sungkan2 lagi
segera ia kirim sebuah hantaman mengarah Heng-si-khek, betapa
besar dan dahsyat perbawa angin pukulannya ini seakan dapat
membelah gunung dan menghancurkan batu.
Heng-si-khek ada hati hendak mencoba kekuatan lawan, maka
segera tangannya pun disurung kedepan, dorong mendorong
secara keras lawan keras.
Begitu angin pukulan kedua belah pihak saling bentur dan
menimbulkan gelombang angin lesus membumbung tinggi
keangkasa, tubuh Racun diracun hanya, goyah sedikit, lain halnya
dengan Heng-si-khek, badannya limbung satu langkah.
Bahwasanya kepandaian dan Lwekang Si-tiau-khek sudah jarang
tandingan dikalangan Kangouw, salah satu diantara Setan gantung
saja cukup membuat kuncup nyali para musuhnya. Adalah dalam
gebrak pertama ini kelihatan jelas bahwa kepandaian Racun
diracun ternyata masih lebih unggul seurat dari mereka.
Agaknya Racun diracun sudah bertekad bulat hendak melenyapkan
jiwa musuh2nya, beruntun ia lancarkan lagi tiga rangkai pukulan
dahsyat. Kali ini agaknya Heng-si-khek sudah merasakan kelihayan lawannya
dan kapok, sebat sekali tubuhnya melejit menyingkir dua tombak
jauhnya tak berani beradu pukulan lagi. Pada saat Heng-si-khek
melejit menyingkir itu, dari samping Hui-bing- khek malah
mendesak maju sambil ulur cengkraman tangannya langsung
mencengkram punggung Racun diracun. Cara cengkramannya ini
boleh dikata sangat cepat hingga susah diikuti oleh pandangan
mata. Tapi kepandaian Racun diracun juga menakjubkan, tahu bahwa
dirinya dibokong dari belakang, pukulan tangannya mendadak
dirobah mencengkram juga ditengah jalan sambil berputar
memapak kearah musuh...
Gerak gerik kedua belah pihak boleh dikata secepat kilat. Dimana
terdengar suara mendehem keras. Cakar tangan Hui- bing-khek
dengan telak mencengkram amblas kepundak Racun diracun,
dimana kelima jarinya melesak amblas merembes keluar darah
segar bagai air ledeng. Terpaut sedetik, kelihatan cakar Racun
diracun yang berwarna hitam legam itu juga mencengkram keras
dilengan lawan...
Heng-si-khek menjerit kaget, serunya: "Lo sam, cepat lepas
tangan, Racun..." Sambil berpekik ini tubuhnya meluncur ditengah
udara seraya mengirim tendangan dan pukulan mengarah kepala
dan dada Racun diracun.
Mendadak dua bayangan mencelat berpencar. Terdengar
Hui-bing-khek menggembor keras, tangan kirinya segera diayun
memapas putus lengan kanannya sendiri. 'Peletak' kontan lengan
kanannya sendiri terjatuh buntung sebatas pundaknya, lalu
beruntun ia menutuk beberapa jalan darah dipundak untuk
menghentikan mengalirnya darah. Lalu serunya dengan bengis:
"Racun diracun, akan datang suatu
hari aku Hui-bing-khek akan membeset tubuhmu menjadi berkeping2."
Racun diracun menyeringai sinis, sahutnya: "Sekarang juga
hendak kubuat kalian Setan2 gentayangan mampus menjadi abu!"
Tapi sebelum Racun diracun melaksanakan ancamannya,
Heng-si-khek sudah membentak keras, tangannya panjang yang
kurus kering bagai kayu bakar itu sudah bergerak sebat hingga
bayangan pukulan tangannya bertumpuk berlapis bagai gunung
langsung menungkrap keatas kepala Racun diracun, perbawa dan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerak geriknya seperti harimau gila yang kelaparan.
Sejenak Racun diracun melengak, sebat sekali tubuhnya
jumpalitan mundur kebelakang sejauh satu tombak...
Peluang inilah digunakan oleh Heng-si-khek untuk menarik
Hui-bing-khek terus melarikan diri secepatnya bagai meteor
terbang. Nada suara Racun diracun penuh mengandung nafsu membunuh,
berkatalah ia kearah kedua Setan gantung yang tengah melarikan
diri itu: "Kalian takkan dapat lolos dari tanganku!" Habis berkata ia
melangkah maju kepinggir jurang
memandang kedasar jurang yang tertutup kabut tebal, dengan
sedih ia menghela napas panjang.
Bertepatan dengan itu, dua bayangan manusia satu tua dan yang
lain masih muda belia tengah melangkah ringan mendekati
ketempat dimana Racun diracun berada.
"Lo-cianpwe, apa benar engkoh Bing berada di pegunungan
Bu-kong san ini?"
"Tidak akan salah, kusaksikan sendiri pihak Bwe-hwa-hwe tengah
mengerahkan bala bantuannya mengobrak-abrik dan mengepung
gunung ini untuk mencari jejaknya!"
"Tapi sudah tiga hari lamanya tanpa kita menemui jejak atau
bayangannya!"
"Sedemikian luas dan besar lingkungan gunung ini, diapun tidak
mempunyai tujuan tertentu, kita harus bersabar dan per- lahan2
mencarinya!"
"Apa maksud tujuan Bwe-hwa-hwe mencari dan mencegat dia?"
"Mana dapat kita ketahui!" Kedua orang tua dan muda ini
ternyata tak lain adalah si
maling bintang Si Ban tjwan dan Siang Siau-hun adanya, mereka
bertemu ditengah jalan tanpa berjanji sebelumnya, lalu sama2
memanjat gunung hendak mencari dan mengikuti jejak Suma
Bing. Tiba2 si maling bintang Si Ban-tjwan angkat sebelah tangannya
menghentikan langkah Siang Siau-hun sembari berkata:
"Nanti dulu nona jangan ceroboh, lihatlah bayangan siapa yang
berada dipinggir jurang itu?"
"Peduli siapa dia!" "Dialah Racun diracun yang lebih berbisa
dari Racun utara
itu!" "Oh!" Siang Siau-hun berseru kejut, sepasang matanya
yang jeli bening lantas memancarkan nafsu membunuh menyala2,
serunya gemetar: "Racun diracun?"
"Benar, manusia serba hitam didunia ini hanya dia seorang!"
"Aku hendak membunuhnya"
"Untuk apa?" "Aku hendak menuntut balas bagi adikku dan Li
Bun siang." "Tapi nona ayu, seumpama iblis jahat ini tidak
menggunakan racun, kepandaian silatnya saja masih lebih unggul
setingkat dari Bu-lim-su-ih. Ketahuilah ketua Bwe-hwa- hwe yang
menggetarkan nyali orang itupun rada2 takut dan gentar
menghadapi dia, apalagi kau."
"Tak peduli aku harus membunuhnya!" " mulut berkata begitu
tubuhnyapun segera berkelebat lari kedepan secepat anak panah.
"Budak ingusan, percuma saja kau mengantar kematian!" Si
maling bintang Si Ban-tjwan mengulur tangan hendak
menjambret tapi tak kena, secepat itu Siang Siau-hun sudah tiba
dibelakang Racun diracun sejauh beberapa meter. Terpaksa ia
mengeraskan hati dan menebalkan muka mengikuti maju!
Racun diracun se-olah2 tidak merasa dan tidak mendengar, ia
masih tetap berdiri tegap kesima.
Karena besar tekadnya hendak menuntut balas bagi adik dan Li
Bun siang, Siang Siau-hun sudah melupakan segala keselamatan
sendiri, suaranya membentak bengis dibelakang Racun diracun:
"Racun diracun, iblis laknat, nonamu ingin membeset dan
menghancur leburkan tubuhmu!"
Pelan2 Racun diracun membalik tubuh menghadapi Siang
Siau-hun yang mendelik gusar, lalu tanyanya dingin:
"Apa kau hendak membunuh aku?" "Tidak salah, hendak
kuhancur leburkan tubuh iblis laknat
seperti kau ini"
Sekilas si maling bintang menyapu pandang kesekitarnya tampak
olehnya ditanah banyak berceceran noktah darah dan sebuah
lengan buntung, lantas terlintas sebuah pertanyaan yang
menakutkan dalam benaknya, serunya terkejut: "Disini tadi
pernah terjadi pertempuran seru?"
Pandangan dingin dengan sorot mata yang menyedot semangat
Racun diracun beralih kearah si maling bintang sahutnya:
"Memang benar, pertempuran berdarah!" "Apa termasuk juga
si sesat kedua Suma Bing?" "Memang ada!" Melonjak kaget si
maling bintang serta Siang Siau hun,
cepat2 Siang Siau-hun bertanya: "Lalu kemana dia sekarang?"
"Siapa?" "Suma Bing!" "Sudah mati." Bagai disamber geledek,
tubuh Siang Siau-hun terhuyung
lima langkah, pandangannya terasa gelap dan tubuhpun hampir
roboh, wajahnya ber-kerut2 hebat, sesaat itu terasa seakan dirinya
terjatuh kedunia lain... Sungguh tak terduga kekasihnya yang
sangat dicintainya sekarang ternyata sudah mati!
Terasa hatinya membeku, kaki tangan dingin, seluruh tubuh
mengejang linu, otaknya pun men-dengung2, jantung ber-denyut2
keras, segera ia menggembor histeris:
"Tidak, dia belum mati, engkoh Bing ku tidak mungkin mati, dia...
tak mati..."
Suaranya memilukan hati benar2 membuat orang lain turut
berduka dan bersedih.
Sepasang mata si maling bintang membelalak besar, wajahnya
merah padam penuh kegusaran, serunya gemetar:
"Tuan yang turun tangan..?" Segera Racun diracun
menggelengkan kepala, ujarnya: "Heng-si dan Hui-bing dua
Setan gantung itu jagoan kelas
satu dari Bwe-hwa-hwe." "Si-tiau-khek?" "Tidak salah." "Mana
jenazahnya?" "Terjungkal masuk jurang, dibawah sanalah." Akhirnya
pecahlah tangis Siang Siau-hun yang
menyayatkan hati. Sedemikian sedih ia menangisi kekasihnya yang
pergi mendahuluinya. Tangisnya ini suatu pertanda betapa besar
rasa cinta kasihnya terhadap Suma Bing.
Begitu sedih ia menangis hingga suaranya serak dan airmatapun
kering! "Engkoh Bing, tunggu aku!" ratap Siang Siau-hun dengan suara
serak terus berlari kebibir jurang...
"Budak goblok, jangan kau berbuat begitu bodoh!" - si maling
bintang Si Ban-tjwan membentak keras terus menyambar
pergelangan Siang Siau-hun.
"Lepaskan aku!" "Apa yang hendak kau lakukan?" "Mencari
engkoh Bing-ku!" "Apa kau tahu tempat apa ini?" "Tempat...
apa?" "Lembah kematian. Inilah lembah kematian salah satu
dari tiga tempat keramat dari Bu-lim. Keempat penjuru dari
lembah ini merupakan tebing dan dinding batu yang curam tiada mulut
lembah, selain melompat turun dari atas batu cadas itu tiada jalan
lain untuk turun kebawah. Selama beratus tahun tiada seorangpun
yang memasuki lembah ini masih bisa tinggal hidup. Lembah
kematian merupakan salah satu tempat bertuah bagi kaum
persilatan yang mengandung banyak teka- teki dan misterius."
Siang Siau-hun mematung dan mengigau: "Aku, apa
faedahnya aku hidup merana didunia fana ini?" "Kau salah,
kalau kau benar2 cinta Suma Bing, kau harus
berusaha menuntut balas. Apalagi agaknya nasibnya tidak begitu
jelek, mati hidupnya masih merupakan pertanyaan, buat apa kau
menyiksa diri?"
Sementara itu, Racun diracun tengah melangkah mundur
meninggalkan pinggir jurang lalu menuju kearah samping sana
meninggalkan mereka...
Se-konyong2 Siang Siau-hun menjerit beringas, serunya: "Iblis
laknat, tidak demikian gampang kau hendak tinggal
pergi." Segera Racun diracun menghentikan langkahnya dan
membalik, tanyanya:
"Bagaimana?"
24. NASIB SIAL SUMA BING MEMBAWA KEBERUNTUNGAN
Sebat sekali Siang Siau-hun melejit maju kedepan Racun
diracun langsung ia tamparkan sebuah tangannya mengarah dada
lawan sambil memaki gemas:
"Aku inginkan jiwamu."
"Nona, goblok, jangan, beracun..." si maling bintang Si Ban-tjwan
berteriak gugup dan berjingkrak kalang kabut.
Meskipun si maling bintang Si Ban-tjwan sudah berusaha
mencegah tapi sudah terlambat telapak tangan Siang Siau-hun
sudah menekan tiba didada Racun diracun.
"Blang" Racun diracun tersurut mundur tiga langkah darah segera
meleleh dari ujung bibirnya.
Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan terhenyak heran. Siang
Siau-hun sendiri juga tertegun dan kesima
ditempatnya. Bahwa dengan kekuatan Siang Siau-hun dapat
sekali pukul membuat Racun diracun muntah darah, kejadian ini benar2 susah
dimengerti dan agaknya tak mungkin terjadi, tapi toh kenyataan.
Racun diracun tidak berkelit atau menyingkir, mandah saja dipukul
tanpa mengerahkan tenaga atau balas menyerang, mengapa"
"Racun!" " tiba2 si maling bintang Si Ban-tjwan berpekik kaget.
Sontak Siang Siau-hun juga mendadak sadar dari kagetnya. Benar
juga, lengan kanannya itu sudah membengkak berwarna merah
kehitaman besar dan linu tanpa dapat digerakkan lagi.
Racun diracun mengayun sebelah tangannya berkata kepada si
maling bintang Si Ban tjwan:
"Inilah obat pemunahnya, ambillah!" Cepat2 si maling bintang
Si Ban-tjwan meraih obat itu
kedalam tangannya. Walaupun luas pengalamannya dikalangan
Kangouw, tak urung dia heran dan bertanya2 tak dapat menyelami
sebab dari kejadian semua ini. Mengapa Racun diracun bisa
mengeluarkan obatnya"
Setelah melemparkan obatnya, Racun diracun melejit terbang
menghilang, kecepatan gerak tubuhnya itu benar2 membuat orang
merasa kagum, hanya dua kali berkelebat bayangannya sudah
menghilang dari pandangan mata. Biasanya si maling bintang
paling membanggakan akan ilmu ringan tubuhnya, kalau
dibandingkan dengan apa yang disaksikan sekarang ini, diam2 ia
menghela napas mengakui keunggulan orang.
Siang Siau-hun hampir tidak percaya dengan kenyataan ini,
tanyanya: "Lo-cianpwe, mengapa iblis laknat ini bisa berbuat begitu?" Si
maling bintang tertawa pahit, sahutnya sambil
menggeleng: "Aku si maling tua juga tidak mengerti latar
belakangnya, paling perlu kau segera telan obat pemunah ini."
"Tidak mau." "Ha, mengapa?" "Dendamku sedalam lautan,
mana boleh aku menerima
obatnya..." "Apa kau sudah bosan hidup?" Pertanyaan ini
membuat jantung Siang Siau-hun melonjak
berdenyutan, rona wajahnya berobah tak menentu sahutnya:
"Tapi aku bersumpah untuk membunuhnya?" "Itu lain persoalan,
paling penting kau makan dulu obat
ini." "Apa aku dapat mempercayai obatnya itu?" "Pasti dapat
dipercaya, dengan Lwekang dan kepandaian
Racun diracun, bila dia mau mencabut jiwamu segampang
membalikkan tangan. Aku si maling tua juga belum tentu dapat
selamat. Tapi kenyataan bahwa dia mandah saja kau pukul
sampai muntah darah tanpa membalas, hal ini tentu ada
latar belakangnya yang susah dimengerti, kau kena racun karena
tanganmu menyentuh badannya, kalau dia mengandung maksud
jahat, buat apa dia berbuat demikian ini, maka legakanlah hatimu,
marilah kau telan obat ini"
Apa boleh buat akhirnya Siang Siau-hun terima juga obat
pemunah itu terus ditelan kedalam mulut. Sebentar saja rasa linu
dan bengkak itu mulai hilang tak membekas.
"Nona baik, mari kita pergi!" "Tapi engkoh Bing...?" merah
mata Siang Siau-hun hampir
menangis, berat rasanya untuk tinggal pergi. "Orang baik tentu
akan mendapat restu tuhan, kalau
seumpama memang dia sudah menemui ajalnya didasar jurang,
maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah nenuntut balas
bagi kematiannya itu."
"Menuntut balas... benar, tapi bagaimana jenazahnya..."
"Nona, bodoh, kau tidak perlu berputus asa, sedemikian
luhur hatimu, seumpama meninggal juga Suma Bing akan meram.
Lembah kematian merupakan salah satu tempat keramat dan
bertuah bagi kaum persilatan, manusia siapa pun takkan dapat
berkuasa menentang nasib ilahi..." - bicara sampai disini si maling
bintang merandek sebentar lalu katanya pula:
"Nona baik, sedemikian besar rasa cintamu kepadanya, maka kau
harus mewakilinya melaksanakan cita2nya yang belum selesai
dicapainya!"
Siang Siau-hun tertegun, tanyanya: "Cita2 apa yang belum
terlaksana?" "Mencari ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan, entah
sudah mati atau masih hidup". Seketika bergidik tubuh Siang Siau-hun,
suaranya gemetar:
"Apa, jadi dia adalah keturunan Su-hay-yu-hiap Suma
long?" "Benar, mengenai riwayat hidupnya mungkin hanya Lohu dan
seorang misterius lainnya yang mengetahui!"
"Konon kabarnya dikalangan Kangouw, dulu kala itu..." "Kabar
angin itu kebanyakan tidak sesuai dengan
kenyataan, mana boleh dipercaya." Rona wajah Siang Siau-hun
mengeras penuh kebulatan
tekad, serunya: "Lo-cianpwe, mari kita pergi?" "Ya, marilah."
Sejenak Siang Siau-hun memandang kebawah jurang sana
penuh rasa menyesal, lalu sambil mengertak gigi, bersama si
maling bintang dia melompat jauh meninggalkan tempat itu.
Tiba diluar lingkungan pegunungan tak jauh disana terlihat sebuah
jalan raya, dipinggir jalan raya itulah terlihat bergelimpangan
berpuluh mayat manusia, cara kematian mayat2 itu rada2 sama
satu sama lain, rata2 panca indera mereka keluar darah segar
kehitam2an, rada2 seperti terpukul mampus oleh sebuah hantaman
berat! Dari pertanda dipakaian mereka terang bahwa mereka
adalah anak buah dari Bwe-hwa-hwe!
Tanpa terasa Siang Siau-hun berseru kejut: "Inilah buah tangan
Racun diracun!"
Si maling bintang memeriksa dengan teliti, lalu menyahut
manggut2: "Benar, racun tanpa bayangan!" "Untuk apa Racun diracun
turun tangan terhadap anak
buah Bwe-hwa-hwe?" "Soal ini sukar dimengerti, para jagoan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe-hwa-hwe ini
terang juga mengikuti Suma Bing sampai di Bu-kong san ini.
Ditinjau dari serangkaian kejadian ini agaknya memang Racun
diracun sengaja hendak menuntut balas bagi nasib Suma Bing
yang buruk itu, tentang kenapa ia berbuat demikian, soal ini sukar
ditebak dan diketahui."
Siang Siau-hun menggeleng hampa penuh tanda tanya lalu
melanjutkan perjalanan.
Sekarang baiklah kita ikuti keadaan Suma Bing yang terjungkal
masuk jurang. Dalam keputus asaannya, mulutnya menggembor
keras: "Aku tidak bisa mati, aku mati penasaran." " belum lenyap
suaranya tahu2 tubuhnya menumbuk sebuah batu cadas yang
menonjol keluar, seketika ia merasa seakan tubuhnya remuk
redam kesakitan, tangannya meng-gapai2 coba mencakar dan
berpegang, namun tidak membawa hasil, tubuhnya lagi2
terpelanting meluncur kebawah, dan pada lain saat ia sudah
kehilangan kesadarannya.
Entah sudah berselang berapa lama, waktu sepercik kesadarannya
mulai pulih samar2 ia rasakan sejalur hawa hangat ber-gulung2
merembes masuk kedalam tubuhnya melalui jalan darah di-ubun2
kepalanya, sedemikian deras arus panas itu membuat kesadaran
dan semangatnya ber- angsur2 pulih kembali, begitu bisa berpikir
lantas terlintas suatu pertanyaan dalam benaknya: apa aku belum
mati" Terdengar sebuah suara berkata dipinggir kupingnya: "Himpun
semangat dan salurkan tenaga." Ter-sipu2 Suma Bing himpun
semangat dan mulai
menjalankan pernapasan mengatur jalan darah, dengan kekuatan
tenaga murni dalam tubuhnya ia menuntun arus panas itu
mengarungi seluruh tubuhnya, semakin lancar semakin cepat dan
semakin bergolak, tanpa terasa tubuhnya semakin bergetar keras.
Saking tak tertahan ia jatuh pingsan lagi.
Waktu siuman lagi, terasa seluruh tubuh segar bugar dan penuh
semangat dan nyaman, darah berjalan lancar, sedikit
menggunakan tenaga kekuatan dalam badan lantas melanda
bagai gelombang ombak lautan.
Terdengar suara itu berkata lagi: "Sukses, anak muda, jalan
darah mati hidupmu sudah
tembus, bangunlah!" Suma Bing sudah pasrah nasib bahwa
tubuhnya pasti mati
hancur lebur, mimpi juga dia tidak menduga bakal mengalami
keanehan yang membawa keberuntungan, hampir2 dia tidak
percaya bahwa itu kenyataan. Maka begitu membuka mata
bergegas ia melompat bangun tampak dimana dia berada kiranya
didalam sebuah ruang batu yang dipajang sedemikian mewah dan
bersih tanpa berdebu, atas bawah dan sekitarnya berwarna putih
kehijauan seperti batu giok...
"Anak muda, kau dapat datang kemari, ini boleh terhitung ada
jodoh!" Suara itu kedengaran nyaring merdu dan sudah sangat
dikenalnya, naga2nya dia pernah dengar suara itu, entah
dimana... waktu ia celingak-celinguk bayangan seseorangpun tidak
kelihatan, tanpa terasa giris dan kaget hatinya, serunya penuh
hormat: "Cianpwe yang manakah itu, bisakah Suma Bing minta bertemu
untuk menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan ini?"
"Anak muda, apa kau masih belum tahu siapa aku?" Tiba2
Suma Bing berseru kegirangan: "Kau adalah Lo-cianpwe?"
"Benar, memang akulah." begitu suaranya sirap, diatas
ranjang batu yang terletak ditengah ruangan itu samar2
mulai kelihatan bayangan orang, eh, benar juga dia tak lain tak bukan
adalah Giok li Lo Ci.
Suma Bing ter-mangu2 sekian lamanya baru maju memberi
hormat: "Banyak terima kasih atas budi pertolongan Cianpwe yang besar!"
"Tidak perlu banyak peradatan, tentu tadi kau keheranan
mendengar suaranya tak kelihatan ujudnya bukan?"
"Ya, memang begitulah!" "Inilah ilmu Bu-siang-sin-hoat."
"Bu-siang-sin-hoat, Bu-siang-sin-hoat, tanpa ujud..."
berulangkali Suma Bing menggumam dan me-nyebut2 nama
Bu-siang-sin-hoat, agaknya dia menemukan apa2.
Giok-li Lo Ci adalah kekasih Sia-sin Kho Jiang semasa masih
muda, untuk cinta ini dia sudah menanti dibibir jurang selama
lima puluh tahun, wajahnya yang ayu molek dulu sekarang sudah
berkeriput dan rambut juga sudah ubanan.
Suma Bing sendiri juga tidak menduga setelah terjatuh kedalam
jurang, dirinya bisa ditolong olehnya, malah membantu dirinya
menembus jalan darah mati hidupnya, sehingga Lwekangnya maju
berlipat ganda, kini dirinya sudah berganti tulang beralih rupa.
"Nak, Bu-siang-sin-hoat adalah ilmu paling ampuh tiada keduanya
di jagad ini, ilmu ini dapat membuat tubuhmu menghilang dari
pandangan mata biasa, sejak tadi aku berada disampingmu, tapi
selama itu kau tidak melihat aku. Maka itu dinamakan 'Bu-siang'
(tanpa ujud), kau sudah paham?"
Suma Bing tengah berpikir, ia berpikir secara mendalam dan
menyeluruh, mendadak ia tersentak lantas bertanya: "Locianpwe,
konon di Bu-kong-san ini ada seorang Cianpwe aneh
yang menamakan diri Bu-siang-sin-li..."
Berobah wajah Giok-li Lo Ci, tanyanya: "Jadi tujuanmu kemari
adalah hendak mencari jejak Bu-siang-sin li?"
"Benar," sahut Suma Bing penuh haru, "Harap Cianpwe suka
memberi petunjuk..."
"Apa tujuanmu yang utama?" Sekilas Suma Bing berpikir cepat,
lalu sahutnya sungguh2: "Ingin memohon suatu benda."
"Benda apa?" "Bunga-iblis!" Giok-li Lo Ci melompat turun dari
ranjang batu, agaknya
diapun kaget dan heran: "Kau ingin minta Bunga-iblis?" Suma
Bing mengiakan. "Darimana kau bisa tahu kalau Bunga-iblis
berada ditangan
Bu-siang-sin-li?" "Diberitahu oleh Bibi Ong Fong-jui!" "Ong
Fong-jui itu orang macam apa?" "Wanpwe tidak begitu jelas!"
"Berapa usianya?" "Kurang lebih tigapuluh tahun!" "Aneh" Tidak
mungkin, tiada seorangpun yang tahu soal ini
dikalangan Kangouw" Tergerak hati Suma Bing, tanyanya:
"Apakah Lo-cianpwe adalah..." "Bukan. Bu-siang-sin-li adalah
guruku. Sudah setengah
abad yang lalu tidak muncul didunia persilatan, sepuluh tahun
yang lalu dia orang tua meninggal..."
Sungguh girang Suma Bing susah dilukiskan dengan kata2,
sungguh diluar tahunya bahwa Giok-li Lo Ci ternyata adalah murid
tunggal Bu-siang-sin-li. Karena mengalami bencana dirinya malah
mendapat berkah ditambah hubungan dengan gurunya semasa
muda, kejadian ini sungguh sangat kebetulan diluar kebetulan,
hanya entah... Terdengar Giok-li Lo Ci bertanya lagi: "Untuk apa kau hendak
minta Bunga iblis?"
"Mendiang suhu..." setelah membuka mulut baru Suma Bing sadar
telah kelepasan omong, tapi sudah tidak mungkin ditarik kembali
lagi. Sebab pada pertemuan pertama dia pernah membohongi
Giok-li Lo Ci bahwa gurunya tengah melatih semacam ilmu dan
menutup diri. Tapi sekarang tanpa sengaja ia menyebut 'mendiang
guru'. Berobah pucat wajah Giok-li Lo Ci, kedua matanya berkilat2
menakutkan, sekali raih ia cengkeram lengan Suma Bing serta
tanyanya: "Apa katamu?" Suma Bing insaf bahwa tak mungkin ia dapat
mengelabui lagi terpaksa ia menjawab penuh kesedihan: "Dia... dia orang tua
sudah meninggal!" "Apa, dia sudah mati" Mengapa tempo hari kau
mengatakan dia sedang bersemayam melatih ilmu?" "Wanpwe
tidak tega melihat Cianpwe mereras diri karena
putus asa." Giok-li Lo Ci melepas cengkeramannya ditangan Suma
Bing, sambil mendongak dia tertawa ngakak ter-kekeh2, tawanya ini
seperti keluhan binatang yang terluka membuat pendengarnya
merinding seram. Air mata meleleh deras bagai butir2 mutiara
yang putus benang. Hakikatnya tawa itu adalah tangis, tawa yang
lebih sedih rawan dan duka nestapa dari tangis.
Suma Bing terhenyak mematung memandang wanita yang tak
beruntung ini, entah dia harus berkata apa lagi untuk menghibur
kedukaannya itu.
Bagi seseorang selama hidup ini mengejar satu harapan atau cita2,
tapi akhirnya harapan atau cita2 itu menjadi hampa seumpama
impian saja, betapa besar pukulan ini bagi sanubarinya, betapa
perih dan nestapanya dapatlah dibayangkan, rasanya tiada
omongan atau bujukan halus dapat menghibur hatinya yang terluka
itu, dan cara yang terbaik hanyalah melampiaskan dengan tangis
yang memilukan dan merawan hati.
Lama kelamaan berhenti juga suara tawa pilu itu dan berganti
sesunggukkan yang lirih:
"Mati! Hahahaha! Cinta selamanya membawa duka, impian indah
selalu membangunkan tidur, ternyata dia sudah mati!"
Teringat oleh Suma Bing betapa kasih sayang Sia-sin Kho Jiang
mengasuh dirinya sejak kecil, tanpa kuasa airmatanya juga ikut
meleleh turun, tapi akhirnya tertahan juga, bagi seorang gagah
airmata tidak gampang2 dialirkan!
Ruang batu itu sesaat menjadi sedemikian sunyi senyap diliputi
kabut kesedihan. Setengah jam kemudian baru suasana yang
mencekam sanubari ini mulai mereda. Dengan lemah dan lesu
Giok-li Lo Ci kembali duduk diatas ranjang batunya, se-olah2 dalam
sekejap itu usianya bertambah tua dan loyo, pukulan batin yang
berat ini, melampaui apa yang dapat diterima olehnya.
Dengan nada rendah berat Suma Bing berkata: "Cianpwe harap
kau mengekang diri."
Giok li Lo Ci pejamkan mata menenangkan gedjolak hatinya lalu
bertanya: "Nak, teruskan ceritamu, cara bagaimana dia sampai meninggal?"
Beringas wajah Suma Bing, serunya sengit: "Duapuluh tahun yang
lalu dia orang tua kena dikorek sebuah matanya dan dikuntungi
kedua kakinya oleh musuh..."
"Siapa yang turun tangan?" "Suhu terjebak dalam suatu tipu
muslihat, biang keladinya
adalah suheng Loh Tju-gi si murid durhaka. Sebelumnya dia
meracuni mendiang suhu sehingga kehilangan sebagian besar
tenaga dalamnya. Dan secara kebetulan Bu-lim-sip-yu yang
kurang jelas mengetahui duduk perkara sebetulnya datang
menuntut balas..."
"Jadi Bu-lim-sip-yu ikut berkomplot dalam kejahatan itu?"
"Tidak, hakikatnya Bu-lim-sip-yu juga salah satu pihak yang
kena dikelabui dalam peristiwa itu, mereka juga terjebak dalam
adu domba Loh Tju-gi. Sekarang Bu lim sip yu hanya ketinggalan
Tiang-un Suseng seorang. Tapi Tiang-un Suseng sebaliknya
adalah kekasih suci."
"Lalu bagaimana dengan Loh Tju-gi itu?" "Limabelas tahun
yang lalu setelah menggondol gelar jago
nomor satu diseluruh jagat mendadak dia menghilang tidak keruan
paran. Kepandaiannya sekarang mungkin sudah lebih tinggi dari
mendiang suhu. Maka suhu berpesan kepada Wanpwe supaya
berdaya-upaya untuk memperoleh Pedang darah dan Bunga-iblis
supaya dapat melatih kepandaian tinggi tiada taranya untuk
mencuci nama baik perguruan."
"Sebab itulah maka kau harus memperoleh Bunga-iblis itu?"
Suma Bing mengiakan. Setelah merenung sekian lamanya lalu
Giok-li Lo Ci berkata: "Apakah Pedang darah itu sudah menampakkan diri
dimayapada ini?"
"Enambelas tahun yang lalu" demikian tutur Suma Bing, "benda
bertuah itu diperoleh oleh mendiang ayah Suma Hong, selanjutnya
sudah berganti tangan berulangkali dan yang terakhir direbut oleh
Rasul penembus dada..."
"Rasul penembus dada" Mengenai urusan dunia persilatan aku
sudah lama terpisah dan tidak tahu menahu, orang macam apakah
si Rasul penembus dada itu?"
"Konon kabarnya beberapa bulan yang lalu muncul didunia
persilatan suatu perkumpulan rahasia yang menamakan diri
Jeng-siong-hwe (perkumpulan penembus dada). Rasul penembus
dada adalah duta dari perkumpulan itu, betapa tinggi
kepandaiannya itu memang sangat mengejutkan. Setiap kali
membunuh korbannya dia menggunakan sebilah cundrik
menembusi dada sang korban. Dalam jangka waktu yang pendek
ini, beberapa tokoh2 lihay dari aliran putih atau hitam tidak kurang
dari limapuluh orang kosen yang sudah tertembuskan dadanya oleh
senjatanya yang mengerikan itu"
"O." Giok-li Lo Ci manggut2 paham. "Harap tanya Cianpwe,
bolehkah kiranya Wanpwe minta
Bunga-iblis itu?" "Boleh, tapi ada syaratnya" Suma Bing
membatin: tak peduli syarat apa itu, aku pasti
harus setuju. Bahwasanya Bunga iblis adalah benda yang harus
didapatkan, satu pihak karena pesan suhunya, lain pihak juga
untuk melaksanakan cita2 ayahnya semasa masih hidup, maka
segera ia menyahut tegas: "Harap tanya syarat apakah itu?"
Sejenak Giok-li Lo Ci menatap wajah Suma Bing lalu katanya
per-lahan2: "Syarat ini adalah peninggalan dari mendiang guruku,
tak boleh dirobah lagi..."
"Harap tanya syarat pertama apa?"
"Syarat pertama, kalau kau ingin minta Bunga iblis kau harus
membawa Pedang darah kemari, apa syarat ini mampu kau
lakukan?" Seketika Suma Bing melongo tanpa kuasa membuka mulut.
Pedang darah sudah terjatuh ditangan Rasul penembus dada
momok paling ditakuti oleh kaum persilatan. Kehebatan
kepandaian orang, seumpama berlatih sepuluh tahun lagi juga
belum tentu dirinya dapat menandinginya. Adalah Rasul penembus
dada juga menerima perintah orang lain lagi. Sudah tentu Pedang
darah pasti berada ditangan orang dibelakang layar itu.
Kepandaian seorang Rasul saja sudah cukup malang melintang
menyapu seluruh dunia persilatan maka tidak perlu disinggung
betapa hebat kepandaian orang dibelakang layar itu. Kalau dirinya
hendak merebut Pedang darah dari Jeng-siong-hwe bukankah
bagai memetik bulan dilangit"
Tapi Pedang darah adalah benda peninggalan ayahnya, ayahnya
mati lantaran benda bertuah itu. Sebab itu pula hingga mati hidup
ibunya belum diketahui. Sedang dirinya juga lolos dari renggutan
elmaut karena benda keramat itu juga, tidak perlukah direbut
kembali" "Apa kau ada kesukaran?" desak Giok-li Lo Ci dingin. "Ya"
"Kesukaran apa?" "Pedang darah terjatuh ditangan Rasul
penembus dada

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mudah untuk merebutnya kembali!" "Pesan itu adalah
peninggalan suhu yang tidak boleh
diganggu gugat, dan lagi Pedang darah dan Bunga-iblis adalah dua
benda keramat yang harus disatu padukan, hanya memperoleh
salah sebuah saja berarti barang rongsokan yang tak berguna."
"Ini wanpwe paham!"
"Walaupun aku ada niat membantu kau, tapi aku tidak bisa
melanggar peraturan perguruan."
Suma Bing merenung agak lama, lalu berkata tegas: "Wanpwe
tidak hiraukan akan mati atau hidup, aku
bersumpah akan merebut kembali Pedang darah itu" "Baik sekali,
kutunggu kedatanganmu!" "Harap bertanya syarat yang kedua
itu." "Itu harus menunggu setelah kau menyelesaikan syarat
pertama baru bisa kuberitahukan. Dingin perasaan Suma Bing, tapi
apa boleh buat, ia
menghela napas panjang2, katanya: "Baiklah, kalau begitu
wanpwe minta diri?"
"Permisi" Kau tidak bisa keluar!" "Tidak bisa keluar" Mengapa?"
"Kau tahu tempat apa ini?" "Tempat apa?" "Lembah kematian,
salah satu tempat kramat bagi kaum
persilatan." Betapa kejut Suma Bing susah dilukiskan dengan
kata2, serunya lesu: "Lembah kematian?" "Benar, keempat penjuru
merupakan dinding licin yang
curam tiada jalan keluar atau masuk." "Lalu bagaimana Cianpwe
keluar masuk..." "Terbang merambat dinding." Suma Bing tertawa
ringan, ujarnya: "Kalau Cianpwe bisa keluar masuk, wanpwe juga
akan mencoba sekuat tenaga."
"Kemampuanmu masih terpaut jauh kau takkan berhasil. Kalau
sudah dinamakan lembah kematian salah satu dari tiga tempat
keramat, kalau semua orang dapat semudah itu keluar masuk,
maka lembah kematian dua kata ini boleh dihapus."
"Harap suka memberi penjelasan!" "Meski dinamakan lembah
tapi empat penjuru sekelilingnya
terkepung oleh dinding batu yang tinggi dan lempang menyerupai
sebuah sumur besar, mulutnya besar dasarnya sempit, sedemikian
licin dinding batu itu laksana dipapas golok, seratus tombak
tingginya baru ada batu menonjol untuk berpijak, coba apa kau
mampu sekali loncat dapat mencapai setinggi ratusan tombak
tanpa berpijak benda apa?"
Diam2 Suma Bing melelet lidah, sahutnya: "Hal itu wanpwe
mengakui takkan mampu berbuat begitu" "Maka kukatakan
kau tidak mungkin bisa keluar!" "Lalu wanpwe..." "Kau harus
bersabar setelah satu bulan kemudian baru kau
dapat keluar dengan mudah secara selamat. Menurut apa yang
aku tahu, kau terhitung orang pertama yang dapat keluar dari
Lembah kematian ini dengan masih hidup. Dulu belum pernah
ada, kelak juga mungkin tidak akan ada!"
"Satu bulan, kenapakah?" tanya Suma Bing tidak mengerti.
"Akan kuturunkan dua jenis gerak tubuh kepadamu, setelah
kau berlatih sempurna kau boleh keluar dari sini!" "Ini..." "Suma
Bing," ujar Giok-li Lo Ci menyeringai dingin, "kalau
bukan karena hubunganku dengan Sia-sin Khong Jiang, aku tidak
akan turunkan ilmu rahasia perguruanku kepada kau. Itu berarti
kau juga tidak bakal hidup sampai sekarang, jangan harap lagi
kau dapat keluar dari sini dengan masih hidup"
"Bukan begitu maksud wanpwe. Hanya aku tidak sudi terima budi
orang lain secara gratis"
"Hm, bagus bertulang ksatria, tapi semua pengalamanmu yang
membawa berkah bagi kau ini anggap saja sebagai wahyu dari
suhumu, tadi aku pernah berkata kalau kau bukan murid Sia-sin
Kho Jiang, malah memikul tugas suci yang dibebankan kepada
dirimu, seratus Suma Bing juga harus dikubur didasar lembah ini!"
Ini memang kenyataan dan bukan ancaman atau omong kosong
melulu. Sudah tentu Suma Bing sendiri juga maklum akan hal ini.
Terlintas akan pesan suhunya lantas terpikir juga Bunga- iblis harus
dicapainya. Teringat pula orang telah menyembuhkan lukanya,
malah menolong jiwanya lagi dan menembuskan jalan darah mati
hidupnya, budi sedemikian besar ini, kalau dirinya tidak mau terima
kebaikan orang yang hendak menurunkan ilmu, bukankah terlalu
tidak mengenal budi malah.
Karena pikirannya ini, terunjuk rasa haru dan syukur, katanya:
"Budi Cianpwe yang besar ini, selama hidup ini mungkin tidak
mungkin aku dapat melunasi"
"Ah, omong kosong. Dari sekarang juga, kuturunkan dua gerak
tubuh dari Bu siang sin hoat yang dinamakan Sin-sek dan San-sek
(gerak naik dan gerik kelit). Gerak naik dapat membuat kau
melambung tinggi ratusan tombak tanpa meminjam tenaga luar,
sedang gerak kelit adalah suatu gerakan lihay sedemikian cepat
sampai dapat mengelabui pandangan musuh. Kalau kedua ilmu ini
sudah sempurna kau latih, tidak peduli betapa lihay dan tinggi
kepandaian lawanmu itu, dengan mudah kau dapat selamatkan
diri. Jalan darah mati hidupmu sudah tembus, lebih gampang lagi
mempelajari kedua ilmu itu. Mengandal bakatmu, waktu satu bulan sudah
cukup berkelebihan."
Entah karena girang atau terharu tubuh Suma Bing sampai
gemetaran. Pengalaman yang ajaib ini seolah2 dirasakan dalam
mimpi. Waktu menempuh perjalanan menuju ke Bu-kong-san ini,
harapannya tidak sedemikian besar. Sungguh tak sangka kiranya
bahwa keinginannya bisa terkabul, dari mengalami bencana malah
mendapat rejeki sebesar ini. Bukan saja Bunga-iblis sudah pasti
dapat diketemukan malah memperoleh dua ilmu yang tiada
taranya lagi, hal ini benar2 diluar dugaan sebelumnja.
Oleh karena itu terpaksa Suma Bing harus tinggal dalam gua
didasar lembah kematian itu selama satu bulan untuk mempelajari
dua jenis ilmu dari Bu-siang-sin-hoat.
Sang waktu berjalan sangat cepat, satu bulan dengan cepat sudah
berlalu. Dalam waktu yang pendek itu Suma Bing sudah sempurna
mempelajari gerak naik dan gerak kelit serta intisarinya.
Pada hari ketigapuluh Giok-li Lo Ci bicara sungguh2 kepada Suma
Bing: "Nak, kudoakan tugasmu dapat kau laksanakan secara lancar,
cepat21ah kau merebut balik Pedang darah itu, untuk dipadukan
dengan Bunga-iblis, supaya dapat memperoleh ilmu digdaya yang
merajai segala ilmu silat, maka terkabullah cita2 para almarhum
yang telah mendahului kita. Sekarang kau boleh segera
berangkat!"
"Banyak terima kasih atas budi Cianpwe yang besar dan tak
ternilai ini"
"Tidak perlu sungkan2, kuturunkan ilmu perguruanku karena kau
memikul tugas perguruan, anggaplah sebagai maksud baikku
kepadanya (Sia-sin Kho Jiang). Tentang
Bunga-iblis itu, menurut pesan mendiang Suhu siapapun orang itu
yang dapat memasuki lembah kematian ini dan bermaksud hendak
minta Bunga-iblis itu, setelah dapat memenuhi syarat2 yang
ditentukan, dengan mudah dapat memperolehnya, Maka kaupun
tidak perlu banyak kuatir."
"Meskipun begitu ketentuannya, hal itu tidak akan merobah
pendirian wanpwe akan budi Cianpwe yang besar ini!"
"Marilah, biar kuantar kau keluar lembah!" Keluar dari dalam
gua, tampak keadaan dalam lembah
masih sedemikian pekat akan kabut yang tebal ber-gulung2, bagi
orang yang Lwekangnya, agak rendah pasti tidak dapat melihat
tegas dan membedakan apa yang dipandang didepannya.
Tidak lama kemudian tibalah mereka, dibawah sebuah dinding
tinggi yang sebelah atasnya agak sedikit menjorok kedepan.
Segera Giok-li Lo Ci menunjuk dan berkata:
"Terpaut lima tombak dari kaki dinding, gunakanlah gerak naik
dari Bu siang sin hoat, kau harus berputar melambung tinggi,
kira2 mencapai ketinggian seratus tombak kemudian ada sebuah
batu menonjol keluar, batu itu dapat kau gunakan untuk injakan
dan seterusnya, terpaut delapan atau sepuluh tombak pasti ada
batu2 dapat kau gunakan untuk berloncatan. Pergilah, tapi ingat,
kalau kau datang kembali, kau harus menggunakan jalan ini lagi,
kalau tidak kau takkan mampu masuk kedalam lembah. Dan
masih ada satu soal lagi yang paling penting, keadaan dalam
Lembah kematian ini jangan se-kali2 kau uarkan dikalangan
Kangouw. Awas jangan lupa!"
Setelah memberi hormat, tubuh Suma Bing segera melejit tinggi
beberapa tombak, sambil mengempos semangat dan
mengerahkan tenaga seketika ia rasakan badannya sangat enteng
bagai kapuk se-akan2 badannya melayang tanpa menggunakan
tenaga. Sekali tumitnya menutul dibatu dinding, tubuhnya terus
meluncur lagi lebih cepat menjulang keatas,
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ lompatan kali ini tidak kurang dari tigapuluh tombak tingginya dan
menurut teori pelajarannya, dia berganti napas dan berobah gaya
ditengah udara tubuhnya melengkung membuat setengah
lingkaran, dalam sekejap mata kemudian, dia sudah berputar naik
sekitar ratusan tombak.
Benar juga dilihatnya sebuah batu menonjol keluar, batu ini tidak
lebih dari tiga kaki luasnya, disini ia berhenti sebentar mengganti
napas terus terbang naik lagi tak lama kemudian kakinya sudah
menginjak puncak jurang. Ia masih ingat tempat itu adalah
dimana untuk pertama kali ia berjumpa dengan Giok-li Lo Ci.
Sudah dua bulan sejak dia datang, dan dalam jangka yang pendek
ini se-olah2 Suma Bing sudah berganti tulang dan bersalin rupa.
Bukan saja jalan darah mati hidup sudah tembus malah
memperoleh pelajaran Bu-siang-sin-hoat yang sangat ampuh lagi.
-oo0dw0oo- Jilid 7 25. RASUL PENEMBUS DADA DIGEBAH LARI OLEH
KEHEBATAN ILMU SUMA BING.
Disini ia berdiri sebentar merenungkan apa2, terus
mengembangkan ilmu ringan tubuhnya berlarian cepat keluar
pegunungan. Selama dalam perjalanan, dia berpikir dan menimang
langkah2 selanjutnya yang harus dilakukan;
Pertama, sudah tentu harus mencari tahu dimana alamat dari
perkumpulan Jeng siong hwe untuk minta kembali Pedang darah.
Kedua mencari ibunya, entah sudah mati atau masih hidup. Sejak
kematian Iblis timur maka putuslah sumber penyelidikannya untuk
menuntut balas, kalau ibunya belum ketemu, maka dendam
kesumat ini akan selamanya tenggelam ditelan masa, selain ada
kejadian diluar dugaan, hakikatnya tak mungkin dia dapat
menyelesaikan semua urusan ini secara sempurna.
Dan yang ketiga adalah menyirapi dimana sekarang Loh Cu gi
berada. Dengan kehebatan ilmu ringan tubuhnya, tak lama kemudian dia
sudah menginjak jalan raya dan menempuh perjalanannya yang
tiada tujuan yang tertentu.
banyak urusan yang harus dikerjakan, namun setiap pekerjaan itu
sangat sukar dan rumit, entah dari mana ia harus mulai turun
tangan. Hari itu tengah ia melakukan perjalanan, tiba2 dilihatnya didepan
jalan sana terpaut puluhan tombak tengah berlari kencang dua
bayangan orang yang sangat dikenal, tergeraklah hatinya. begitu
mengembangkan gerak kelit dari pelajaran Bu siang Sin hoat,
sedemikian hebat dan menakjupkan gerakan itu tahu2 dia malah
sudah melampaui didepan kedua orang itu, terus membalik tubuh
menghadang ditengah jalan.
Keruan kedua orang itu berseru kaget dan lekas2 menghentikan
langkahnya, waktu ditegasi kiranya kedua orang itu bukan lain
adalah Siang Siau hun dan Tou sing to gwat Si Ban cwan si maling
bintang. Bahwa Siang Siau hun bisa berjalan bersama Si maling bintang Si
Ban cwan, hal ini benar2 mengejutkan dan mengherankan Suma
Bing. Setelah melihat jelas orang yang menghadang mereka ditengah
jalan itu ternyata adalah Suma Bing, seketika Siang Siau hun dan
Si Ban cwan terhenyak melongo terbelalak...
Segera Suma Bing memberi hormat kepada Si maling tua lalu
dengan riang gembira berseru menyapa: "Adik Hun!"
Wajah Siang Siau hun kelihatan agak kurus pucat, air mukanya
tengah ber-kerut2, tubuhnyapun ikut gemetar, matanya, yang
bundar jeli dan bening dengan nanap mengawasi wajah Suma
Bing, per-lahan2 airmata meleleh keluar dengan derasnya.
Keadaan ini membuatnya melengak dan tak habis herannya.
"Apakah ini bukan mimpi?" akhirnya tercetus juga ucapan Siang
Siau hun. Lebih besar lagi rasa heran dan kejut Suma Bing, tanyanya tak
mengerti: "Adik Hun, apakah yang telah terjadi?"
"Buyung," si maling bintang akhirnya ikut bicara, suaranya
gemetar: "Apa kau belum mati?"
"Mati" Mengapa aku harus mati, apakah maksudnya ini"."
"Bukankah kau sudah terjungkal masuk Lembah kematian
oleh keroyokan dua diantara Si tiau khek?" Baru sekarang Suma
Bing sadar dan paham, sahutnya:
"Memang begitu kejadiannya, dari mana Cianpwe bisa mendapat
tahu?" "Aku si maling tua bersama nona Siang mengejar jejakmu ke Bu
kong san, dibibir jurang lembah kematian bersua, dengan Racun
diracun, dari mulutnyalah kita ketahui bahwa kau sudah jatuh
masuk jurang. Waktu itu nona Siang hampir tidak ingin hidup
lagi..." Suma Bing berpaling kearah Siang Siau hun, suaranya ringan
halus: "Adik Hun!"
Siang Siau hun mengeluh panjang terus menubruk kedalam
pelukan Suma Bing, katanya sesenggukkan: "Engkoh Bing,
peluklah aku erat2, biar kurasakan kehadiranmu ini, katakanlah
bahwa ini bukan impian!"
Serta merta Suma Bing lantas memeluknya dengan kencang,
kedua tangannya melingkar dipinggangnya katanya penuh haru:
"Adik Hun, tenanglah!"
Pertemuan dalam keadaan kurang wajar ini membuat Siang Siau
hun lupa diri tanpa hiraukan lagi kehadiran si maling bintang dia
terus menubruk kedalam pelukan Suma Bing. Mendengar ucapan
Suma Bing itu, seketika merah jengah selebar mukanya. ter-sipu2
ia dorong Suma Bing terus mundur tiga langkah.
Suma Bing sendiri juga kikuk dan malu2. Si maling bintang Si Ban


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cwan batuk2 lalu berkata: "Cobalah kau tuturkan pengalamanmu
untuk kita dengar!"
"Waktu Wanpwe terjungkal jatuh kedalam jurang oleh pukulan
gabungan Heng si khek dan Hui bing khek, untung tiga puluh
tombak dibawah sana ada sebuah batu besar yang menonjol
keluar, maka selamatlah jiwaku." Terpaksa Suma Bing berbohong
karena ingat pesan Giok Li Lo Ci yang melarangnya membeber
rahasia keadaan Lembah kematian itu kepada orang luar.
"0, memang kalau orang baik pasti mendapat rahmat Tuhan!" puji
si maling bintang lalu katanya kepada Siang Siau hun: "Bagaimana
nona baik, aku pernah berkata bocah ini berumur panjang bukan.
Kalau waktu itu kau benar2 menerjunkan diri masuk jurang,
bukankah kau mati konyol dan penasaran!"
Tanpa merasa Siang Siau hun tertawa geli. wajahnya yang semula
penuh dirundung kesedihan kini berubah cerah dan berseri.
Mendadak si maling bintang bertanya: "Buyung, sebenarnya ada
hubungan apakah antara kau dengan Racun diracun"
"Hubungan, ada apakah?" "Kedatangan Racun diracun dibibir
jurang itu agaknya
hendak menolong kau, tapi dia terlambat setindak. Waktu nona
goblok ini menuntut balas kepadanya dia mandah saja, dihantam
tanpa memberi perlawanan sehingga muntah darah. Maka karena
menyentuh tubuhnya maka tangan nona gendeng ini keracunan
hebat, tanpa, diminta dia malah keluarkan obat pemunahnya terus
tinggal pergi..."
"Ada kejadian demikian?" "Masa aku si maling tua pernah
berbohong?" "Urusan ini sangat ganjil dan susah dijelaskan,
wanpwe juga tidak mengerti" "Dan lagi dalam jangka sebulan lebih ini,
anak buah Bwe hwa hwe yang mati dibawah racun tanpa bayangan tak terhitung
banyaknya. Peristiwa ini menimbulkan gelombang kegusaran dan
heboh yang susah dibendung. Menurut kabarnya pihak Bwe hwa
hwe sudah mengutus gembong2 silat kelas tinggi untuk menuntut
balas kepadanya..."
"Teka-teki yang sukar dipecahkan! Akan tetapi, wanpwe sudah
pasti akan memecahkan teka-teki ini!"
Sebuah lengking tawa yang aneh dan menggiriskan mendadak
terdengar dari kejauhan.
Suma Bing berseru kaget: "Suara tawa Racun diracun, biar
kupergi melihat!" " secepat kilat tubuhnya melenting tinggi terus
berkelebat kearah datangnya suara, dalam sekejap saja
bayangannya sudah menghilang.
Si maling bintang melelet lidah, serunya kagum: "Gerakan apakah
itu. kecepatannya benar2 susah dibayangkan. Apa mungkin dia
ketiban rejeki apa?"
Siang Siau hun juga tidak kalah heran dan kagetnya: "Lo cianpwe,
mari kita ikut melihat kesana?"
"Baik, mari!" tua dan muda ini segera berlarian kencang menuju
kearah yang sama...
Dalam pada itu, Suma Bing kembangkan ilmu dari Bu siang sin hoat
yang belum lama ini dipelajarinya, terus meloncat dengan
kecepatan penuh kearah datangnya suara, kecepatannya ini
se-olah2 meteor terbang, dalam jangka yang pendek tiga li sudah
dicapainya tiba. Didalam sebuah hutan kecil didepan sana terlihat
dua bayangan hitam putih tengah berhadapan dengan bersitegang
leher. Si hitam itu bukan lain adalah Racun diracun, sedang yang putih
tak lain adalah Rasul penembus dada.
Bu siang sin hoat benar2 menakjubkan, Suma Bing sudah
mendesak maju sejauh tiga tombak masih belum ketahuan oleh
kedua tokoh lihay itu.
Terdengar Rasul penembus dada tengah mendesis: "Racun
diracun, kau keluarkan suara iblismu apakah kau hendak
mengundang bala bantuan?"
Suara Racun diracun tidak kalah dingin dan kaku: "Kau tidak perlu
tahu!" "Manusia beracun, sungguh besar nyalimu, berani kau
menggunakan Pedang darah palsu untuk mengelabui Pun si cu
(aku si Rasul)?"
"Hm, Pedang darah itu adakah kau sendiri yang minta dengan
paksa, toh aku tidak memberi pertanggungan jawab akan tulen
atau palsu bukan!"
Tergerak hati Suma Bing yang sembunyi dibelakang pohon,
sungguh diluar sangkanya bahwa Pedang darah yang direbut
Rasul penembus dada dari Racun diracun tempo hari itu ternyata
adalah palsu! Rasul penembus dada mengancam penuh kekejaman: "Kupandang
muka pemilik benda yang kau tunjukkan tempo
hari, kalau kau mau serahkan Pedang darah itu, aku tidak menarik
panjang urusan ini."
"Kalau aku menolak?" jengek Racun diracun. "Kematian bagi
kau!" "Belum tentu!" "Apa benar kau tidak mau serahkan
pedang itu?" "Pedang bertuah itu kuperoleh dari tangan Iblis
timur, tentang tulen atau palsu, lebih baik kau minta pertanggung jawab
Iblis timur saja?"
"Iblis timur sudah mati kutembusi dadanya!" "Kalau begitu,
maaf aku tidak ikut campur dalam urusan itu
lagi." "Kau manusia beracun agaknya sebelum melihat peti mati
kau takkan menangis?" "Sembarang waktu aku bersiap untuk
gugur bersama kau." Mendadak Rasul penembus dada
perdengarkan suara tawa
yang menyedot semangat orang, serunya: "Kau sedang bermimpi,
ketahuilah betapapun berbisanya kau Racun diracun, dapat
mengapakan aku?"
Tergetar perasaan Racun diracun, batinnya, apa kedatangannya ini
sudah siap sedia"
Sementara itu, Suma Bing juga gugup dan bimbang Kalau Pedang
darah itu benar2 sebilah pedang palsu, berarti semua rencananya
akan gagal total. Iblis timur sudah mati, maka Pedang darah yang
tulen akan terpendam selamanya. Karena pikirannya ini tanpa
dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia berkelebat keluar
Racun diracun berseru kaget, berulang ia mundur beberapa
langkah, tanyanya: "Suma Bing, kau belum mati?"
Suma Bing manggut2, "Ya. aku masih hidup!" Agaknya Rasul
penembus dada juga terperanjat.
mengandal kemampuannya ternyata masih tidak mengetahui
kedatangan orang, setelah orang muncul baru dirasakan. Dalam
ingatannya, anak muda ini tidak berkepandaian sedemikian tinggi...
Suma Bing bertanya kepada Racun diracun penuh perhatian:
"Pedang darah milik tuan itu apa benar adalah yang palsu?"
Sejenak Racun diracun ragu2, matanya menatap kearah Rasul
penembus dada lalu berkata: "Dalam hal ini boleh kau bertanya
kepada saudara ini!"
Terdengar lambaian baju berdesir terbawa angin. Siang Siau hun
bersama si maling bintang memasuki gelanggang! Begitu melihat
tokoh2 dihadapan mereka seketika berobah kaget wajah mereka.
Tentang Racun diracun tidak perlu dipersoalkan lagi. adalah Rasul
penembus dada adalah gembong misterius yang paling ditakuti
didunia persilatan. Entah bagaimana Suma Bing bisa ikut terlibat
dalam pertikaian kedua orang kosen ini.
Rasul penembus dada berpaling kearah Siang Siau hun dan si
maling bintang sambil membentak: "Enyah dari sini!" " suaranya
dingin menggiriskan pendengarnya.
Tanpa terasa Siang Siau hun dan si maling bintang tergetar dan
mundur beberapa langkah.
Suma Bing maju dua langkah suaranya berat berkata kepada
Rasul penembus dada: "Dengan bukti apa tuan berani pastikan
kalau Pedang darah itu adalah palsu?"
Kedua mata Rasul penembus dada bercahaya menatap kearah
Suma Bing, ujarnya: "Suma Bing, kau ini seumpama kutu terbang
menyambar pelita, mengantarkan kematianmu sendiri!" " sambil
berkata pergelangan tangan dibalikkan,
entah bagaimana tahu2 tangannya sudah menggenggam sebilah
cundrik yang berkilapan, lalu sambungnya lagi: "Kau harus mati
dibawah cundrik ini!"
Bergolak amarah Suma Bing, saking gusar dia malah tertawa
besar: "Tuan silahkan kau turun tangan!"
"Engkoh Bing!" teriak Siang Siau hun sambil menubruk masuk
gelanggang. "Kembali!" bentak Rasul penembus dada, begitu sebelah tangan
dikebutkan. kontan Siang Siau hun berpekik kesakitan, tubuhnya
terpental balik seperti layang2 yang putus benangnya.
Ter-sipu2 si maling bintang bergerak maju menyambut.
Sedang Suma Bing membentak sengit terus menghantam
sekuatnya kearah Rasul penembus dada. Rasul penembus dada
ganda mendengus ejek, sebelah tangannya bergerak melingkar
terus ditarik balik, gerak gerik yang aneh ini bukan saja dengan
mudah telah punahkan kekuatan pukulan Suma Bing, malah Suma
Bing juga rasakan suatu daya tolak yang sangat kuat menyerang
tubuhnya hingga terdorong mundur tiga langkah.
Dengan berlipat ganda kekuatan Suma Bing ternyata masih belum
kuat menahan kebut sebelah tangan lawan, hal ini betul2 sangat
mengejutkan. Agaknya Racun diracun juga tidak mau tinggal diam melejit maju
ditengah ia mengancam: "Terpaksa aku harus turun tangan!"
"Manusia beracun jangan ter-gesa2," bentak Rasul penembus dada
dingin, "Biar kubereskan yang ini dulu!" " membarengi ucapannya
Rasul penembus dada mendorong sebuah tangannya kearah Racun
diracun. Kekuatan dan kecepatan dorongannya ini boleh dikata
secepat kilat, betapa hebat tenaganya benar2 menggetarkan
semangat orang.
Sampai2 Racun diracun yang berkepandaian sedemikian tinggi juga
tidak sempat lagi untuk balas menyerang atau menyingkir. 'Blang'
Racun diracun sempoyongan setombak lebih hampir roboh,
mulutnya berpekik tertahan.
Rasul penembus dada mengayunkan cundriknya serta
mengancam: "Suma Bing, serahkan jiwamu."
Dimana cahaya kilat berkelebat, runcing cundrik itu sudah melesat
keluar, cara tusukan ini bukan saja cepat bagai kilat juga aneh,
sehingga orang yang diserang tiada kesempatan untuk berkelit
atau bersiap siaga...
Ramailah teriakan dan seruan kaget, Racun diracun. si maling
bintang dan Siang Siau hun tanpa berjanji berbareng terbang
memburu sambil lancarkan sebuah pukulan.
Hakikatnya bagaimanapun juga tiga orang ini tidak akan mampu
merintangi kecepatan Rasul penembus dada. Diterpa badai
pukulan yang ber-gulung2 dari gabungan tiga orang Rasul
penembus dada mandah saja punggungnya diserang, tubuhnya
bergoyang gontai tanpa tergeser sedikitpun.
Serasa pandangannya kabur, tahu2 Suma Bing yang berada
dihadapannya sudah menghilang, matanya ber-kilat2 menyapu
kesekelilingnya, tampak Suma Bing tengah berdiri tenang
dibelakang Rasul penembus dada. Keruan kejadian ini membuat
ketiga orang itu melongo terkejut.
Kepandaian Rasul penembus dada memang bukan olah hebat,
begitu cundriknya mengenai tempat kosong dan kehilangan
bayangan musuhnya, sebat sekali tubuhnya terus menggeser
kedudukan delapan kaki baru membalik tubuh. Sekarang dia
berhadapan lagi dengan Suma Bing.
"Suma Bing, cundrik penembus dada ini selamanya belum pernah
dilancarkan main2 yang dapat terhindar dari tusukannya terhitung
kau satu2nya ! Tapi..."
"Bagaimana"
"Keajaiban hanya muncul satu kali!" "Kenapa tidak kau coba2
lagi?" ejek Suma Bing. Rasul penembus dada menggeram
gusar, ujung cundriknya
lagi2 meluncur cepat sekali, dibarengi tangan kiri juga melancarkan
sebuah tamparan. Serangan cundrik dan tamparan itu dilancarkan
berbareng. Rasanya tokoh2 silat jaman itu takkan ada seorangpun
yang mampu bertahan, seumpama ada juga dapat dihitung dengan
jari. Tapi sungguh ajaib, begitu Rasul penembus dada turun tangan,
bayangan musuhnya lagi2 menghilang tak keruan parasnya, malah
bertepatan dengan itu kontan ia merasa badai angin pukulan
sudah menerjang tiba dari belakangnya. Keruan bercekat hati
Rasul penembus dada, secepat kilat ia melesat sejauh dua
tombak, begitu ia memutar tubuh... eh heran bin ajaib, lagi2
gulungan angin pukulan menerpa tiba dari belakang.
Tiga orang yang menonton dipinggiran hanya melihat bayangan
Suma Bing berkelebatan, kadang2 muncul tiba2 lenyap lagi bagai
bayangan setan yang selalu membuntuti tubuh musuhnya. Gerak
tubuh semacam ini, jangan dikata melihat, mendengarpun belum
pernah. Ber-ulang2 Rasul penembus dada berkelebatan berusaha
menghindari bayangan lawan, namun sia2 belaka, achirnya karena
kewalahan ia berhenti dan berdiri tenang, kedua tangannya dengan
gerak2 aneh membuat lingkaran2 disamping belakangnya...
Dar... dentuman yang menggelegar menggetarkan bumi, badai
angin segera mengembang keempat penjuru.
Gerak tubuh Suma Bing seketika berhenti juga. Meski gerak
tubuhnya sangat aneh dan menakjupkan, tapi karena tenaga
dalamnya terpaut terlalu jauh dibanding lawan, cukup untuk
membela diri tapi tak bakal kuat untuk menyerang musuh.
Kedua lengan Rasul penembus dada tergetar dan bergerak cepat
saling berlawanan beruntun membuat beberapa lingkar... maka
kekuatan tenaganya ini menimbulkan angin puyuh yang bergulung
saling berlawanan juga, lima tombak sekelilingnya batu pasir
beterbangan. Si maling bintang bertiga juga terdesak mundur
ber-ulang2. Adalah Suma Bing malah seenaknya berdiri diluar lingkungan
putaran angin puyuh itu tanpa bergerak tanpa reaksi sedikitpun.
"Bu siang sin hoat!" tiba2 Rasul penembus dada berseru kejut.
Ketiga orang yang hadir juga tidak kepalang kejut dan tergetar
perasaan mereka.
Menurut kabarnya Bu siang sin hoat adalah pelajaran tunggal dari
Bu siang sin li yang sangat rahasia. Semua tokoh2 silat kosen
jaman ini mungkin sudah tiada seorang pun yang pernah melihat.
Bahwa hari ini bisa dipertunjukan oleh Suma Bing, benar2
membuat orang sukar mengerti.
Sebaliknya Suma Bing sendiri juga diam2 merasa terkejut bahwa
lawan bisa mengenal asal usul ilmu silatnya itu, ini benar2 sangat
aneh dan ganjil.
Sejenak Rasul penembus dada mematung seperti kehilangan sukma
lantas tanpa membuka suara lagi mendadak melejit tinggi terus
menghilang. Gembong silat yang paling ditakuti ini bisa mendadak pergi, malah
membuat semua orang yang tinggal hadir melengah heran dan
bertanya2!

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena gentar akan nama Bu siang sin li ataukah mempunyai
perhitungan lain, ini tidak dapat diketahui.
Ingatan Suma Bing selalu dibayangi oleh Pedang darah, sebab ini
sangat penting demi sukses atau gagal cita2nya untuk menuntut
balas. Maka segera ia menandaskan kepada
Racun diracun: "Pedang darah yang diperoleh Rasul penembus
dada dari tuan itu sebenarnya tulen atau palsu?"
Dingin sikap Racun diracun, "Buat apa kau tanyakan hal itu?"
"Apa tuan sudah lupa akan janji kita itu?" "Tidak!" "Lalu
bagaimana tuan hendak menepati..." "Dalam hal ini kau tidak
perlu kuatir, aku juga perlu tahu
tugasmu yang harus kau laksanakan itu apakah sudah selesai kau
lakukan?" Si maling bintang dan Siang Siau hun bergantian memandang sini
memandang sana, hati mereka bertanya2 entah perjanjian apa
yang telah mereka ikrarkan.
Tapi waktu sorot pandangan Siang Siau hun menatap kearah
Racun diracun, sinar itu mengandung kebencian yang me-nyala2.
Mendengar pertanyaan itu, bergejolak perasaan Suma Bing
suaranya gemetar: "Aku sudah menyelesaikannya!"
"Jadi kau sudah memperoleh Bunga iblis itu?" "Bunga iblis sih
belum kudapat, tapi pemiliknya sudah
berjanji begitu aku memperoleh Pedang darah, segera dia
memberikan Bunga iblis itu."
"Siapakah orang itu?" "Maaf, siapa dia aku tidak bisa
menerangkan." "Suma Bing, dapatkah aku mempercayai
ucapanmu?" "Itu berarti tuan benar2 masih menyimpan
Pedang darah yang tulen itu?"
"Sudah tentu!"
Suma Bing berpikir keras, lalu katanya: "Tuan hendak
menyerahkan Pedang darah itu menurut perjanjian kita atau..."
"Atau bagaimana?" "Kalau tuan dapat menyerahkan secara
perjanjian kita dulu,
aku rela menukarnya dengan segala syarat, kalau bukan, demi
memperoleh Pedang darah itu, aku tidak akan kenal kasihan..."
Racun diracun bicara dengan tenang: "Aku sudah pernah berkata
kuserahkan tanpa syarat, masa kujilat lagi ludahku, tapi..."
"Tapi apa?" "Saat ini tidak kubawa!" "Lalu kapan aku bisa
menerima?" "Kelak kalau kita bertemu lagi!" "Kapan kita
bertemu lagi?" "Sekarang sukar ditentukan, pendek kata tidak
akan terlalu lama." Melihat sorot mata Siang Siau hun yang penuh dendam
kebencian itu, tergerak hati Suma Bing, lantas katanya kepada
Racun diracun lagi: "Setengah tahun yang lalu, tuan pernah
menggunakan Racun tanpa bayangan membunuh Siang Siau moay
dan kekasihnya, aku sudah pernah berkata supaya perhitungan itu
diselesaikan sendiri oleh nona Siang, tapi sekarang niatku itu telah
kurobah..."
"Niat apakah itu?" "Sudah pasti Nona Siang bukan
tandinganmu, maka aku
bersiap untuk mewakili dia..."
"Sekarang juga?"
"Bukan, kelak. Tapi perlu ditandaskan, Jikalau tuan tidak dapat
menyerahkan Pedang darah itu, kuharap secara terus terang tuan
katakan sekarang juga, pasti aku tidak akan memaksa."
Racun diracun mengekeh tawa: "Suma Bing, itu dua persoalan
jangan kau campur adukkan dalam satu penyelesaian. Dengan
senang hati kusambut pernyataanmu ini, Sembarang waktu aku
siap terima pengajaran di kalangan Kangouw, bolehlah legakan
hatimu?" "Tuan sikapmu ini sungguh menggembirakan, tentang piutang kita
berdua kelak pasti aku akan memberikan pertanggungan
jawabku." "Ah, rasanya tidak perlu, antara kita berdua tiada utang piutang
apa!" "Sreng!" Siang Siau hun mencabut pedang sambil maju beberapa
langkah, bentaknya beringas: "Iblis laknat, sekarang tiba giliran
nonamu menuntut keadilan kepadamu."
"Nona Siang, peristiwa dulu hari itu adalah salah paham..."
"Hm, salah paham, dua jiwa manusia lantas dapat
dipertanggung jawabkan dengan kata2 salah paham itu!" "Sukar
aku menjelaskan, tapi aku minta keringanan
kuharap nona Siang dapat melulusi supaya penuntutan balas sakit
hati ini bisa diperpanjang satu tahun!"
"Tidak bisa." Alis putih si maling bintang berkerut, selanya:
"Nona baik
lulusilah!" "Mengapa?" Agaknya Suma Bing juga ingat sesuatu,
tercetus dari mulutnya: "Adik Hun, cepat atau lambat hanya satu tahun
lulusilah!"
Siang Siau hun menatap Suma Bing dalam2 penuh arti akhirnya
pedang disarungkan lagi serta serunya jengkel: "Iblis laknat,
setahun kemudian kalau bukan kau yang mampus biar aku yang
mati!" Dingin Racun diracun menyapu pandang ketiga orang didepannya
lalu perlahan2 memutar tubuh tinggal pergi.
Kata Siang Siau hun tidak mengerti: "Locianpwe, mengapa kau
rintangi aku?"
Si maling bintang tertawa lebar, ujarnya: "Pertama sudah pasti kau
bukan lawannya, bukankah bocah ini (Suma Bing) sudah berkata
saat ini tidak akan menuntut balas kepadanya, itu berarti dia tidak
akan turun tangan membantu kau. Mengandal Lwekang aku si
maling tua mungkin masih kuat bertahan berapa jurus, tapi kau
jangan lupa modal lawan yang terampuh yaitu " Racun. Selain
bocah ini seluruh kolong langit ini siapa yang berani memandang
rendah permainan bisanya. Kedua; dilihat sepak terjang lawan,
agaknya mengandung rahasia yang susah dipecahkan, sebelum
teka- teki ini terpecahkan adalah lebih baik kau jangan ter-buru2
turun tangan."
Mendengar nasehat yang panjang lebar ini. Siang Siau-hun
manggut2 tanpa mengeluarkan suara.
"Adik Hun, hendak kemanakah kau bersama Si cianpwe..."
"Buyung," tukas si maling bintang. "Aku si maling tua
mendapat satu kabar..." "Kabar apa?" "Dalam sebuah gua
dipuncak Siau sit hong digunung Siong
san, terkurung seorang perempuan. Menurut kabarnya sudah
dipenjarakan selama dua puluh tahun, aku si maling tua curiga..."
"Curiga apa?"
"Aku bercuriga mungkin dia adalah ibundamu yang lolos dari
puncak Kepala harimau di Tiam cong san itu!"
Melonjak keras jantung Suma Bing, "Apa betul?" tanyanya penuh
keperihan. "Kenyataan ini sangat bertepatan. Dikatakan dalam waktu, ibumu
sudah menghilang selama enam belas tahun, hampir sama dengan
kabar 20 tahun itu. Dan lagi dalam pengeroyokan dipuncak kepala
harimau dulu ada juga anak murid Siau lim si. Mungkin waktu
ibumu menuju kesana hendak menuntut balas lantas terkurung
didalam gua. itu..."
Mata Suma Bing mendelik bagai dua butir kelereng, seluruh tubuh
bergemetaran. Si maling bintang melanjutkan ceritanya: "Sejak kau terjungkal
kedalam jurang aku simaling tua bersama nona Siang bersiap
hendak mewakili kau melaksanakan cita2 mu yang belum terkabul
itu untuk mencari jejak ibundamu. Sungguh sangat kebetulan
seorang murid preman Siau lim si mengoceh dan membeber
rahasia ini diwaktu mabok, setelah kuselidiki dan kuanalisa, maka
kita berkeputusan hendak meluruk ke Siau lim si untuk membikin
terang rahasia itu. Dan tak tersangka dari kena bencana kau malah
mendapat rejeki, memang ini sudah menjadi kehendak Tuhan!"
"Sedemikian luhur hati Locianpwe selama hidup ini Suma Bing
akan berterima kasih!" saking terharu mata Suma Bing merah
hampir menangis.
"Eh, si maling tua hanya ingin menebus kesalahanku dulu, untuk
mencari ketenangan hidup dihari tua."
"Baiklah. Wanpwe minta diri!" "Minta
diri, hendak kemana kau?" "Ke Siau
lim si!" "Bagus, mari kita pergi
bersama..."
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ "Ini urusan wanpwe pribadi, tidak enak aku menyusahkan kalian
berdua, dan lagi besar hasratku untuk segera terbang tiba di Siau
lim si untuk menyelidiki kebenaran kabar itu."
"Sejarah mengakui Siau lim pay sebagai satu perguruan silat
terbesar yang memimpin kaum persilatan jago2 silat dalam biara
besar itu tak terhitung banyaknya, jangan kau gegabah..."
Suma Bing menjengek dingin lalu menukas ucapan si maling tua:
Amanat Marga 11 Pendekar Kembar Karya Gan K L Hikmah Pedang Hijau 7
^