Pedang Pembunuh Naga 10

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 10


"Tidak perlu, aku bisa menyelidiki sendiri."
"Apakah kau tidak boleh tidak harus bertindak?"
"Sudah tentu, tiada alasan bagiku untuk membiarkanmu hidup lagi."
"Kepandaianmu sekarang mungkin sudah lebih tinggi dariku, tetapi belum tentu kau dapat membunuh aku ...."
"Kenyataan nanti yang akan menjawab!"
"Lihat pedang!"
Di antara suara bentakan, sinar pedang bagaikan segumpalan sinar bintang dengan rapat mengurung Hui Kiam.
Serangan itu dilakukan sedemikian cepat. Karena Hui Kiam tidak membawa senjata ia juga tidak menduga musuhnya itu akan turun tangan secara mendadak, dengan sendirinya ia terpaksa harus melompat mundur.
Hampir serentak pada saat itu Orang Berbaju Lila itu hampir sudah menghilang.
Hui Kiam gusar sekali, ia membentak dengan suara keras:
"Kemana kau hendak lari"!"
Setelah itu dengan cepat ia mengejar. Akan tetapi yang satu karena sengaja mengundurkan diri, dan yang lain bertindak secara tergesa-gesa, sedikit terlambat saja orang berbaju lila itu sudah menghilang di dalam rimba lebat.
Hui Kiam mengejar di dalam rimba, tetapi tidak berhasil menangkapnya. Terpaksa ia balik kembali dan berkata pada diri sendiri dengan hati penasaran.
"Kau sudah tidak bisa kabur. Lain kali apabila berjumpa lagi aku tidak akan memberikan kesempatan sedikitpun juga."
Ia merasa kepandaian orang berbaju lila ini ternyata sudah lebih maju lagi, mungkin ini ada hubungannya dengan kitab pelajaran Thee-hong. Dengan kepandaian yang sudah dimiliki oleh Orang Berbaju Lila, yang memang sudah menggemparkan dunia rimba persilatan dan sekarang ditambah lagi dengan kepandaian yang didapat dalam kitab Thee-hong, kepandaiannya sudah tentu lebih hebat lagi.
Ia berpikir, ia sendiri andaikata lebih dahulu mengetahui maksud musuhnya itu, tidak nanti memberi kesempatan kepadanya sampai bisa lolos melarikan diri sedemikian mudah.
Hui Kiam berdiri termangu-mangu sejenak. Ia melanjutkan perjalanannya untuk mengunjungi gua tempat kediaman Thee-hong, ternyata mulut gua sudah ditutup oleh sebuah batu besar. Tidak jauh dari luar gua, ada sebuah makam yang masih baru, di atas batu nisannya terdapat tulisan yang berbunyi:
"Di sini dimakamkan jenazah Thee-hong, yang semasa hidupnya merupakan seorang luar biasa dalam rimba persilatan."
Siapa pembunuh Tee-hong" Apakah maksud dan tujuannya melakukan pembunuhan itu"
Kedua pertanyaan ini selalu berpuiar dalam otaknya Hui Kiam.
Oleh karena Orang Berbaju Lila yang sudah mengubur jenazahnya lagi pula sudah membuktikan bahwa pada tiga hari berselang ia pernah menolong jiwa Orang Tua Tiada Turunan, nampaknya perbuatan kejam ini bukan dilakukan olehnya. Akan tetapi, kematian Tee-hong itu apakah benar terjadi pada tiga hari berselang, ataukah terjadi pada hari ini" Tiada orang yang dapat membuktikan, juga tidak mungkin jenazah itu dikeluarkan lagi dari kuburannya, karena itu merupakan suatu perbuatan tidak patut bagi orang sudah mati. Sebelum menjadi jelas persoalannya, orang berbaju lila itu masih belum terlepas dari sangkaan. Jika ditilik dari adat dan sepak terjangnya, apapun ia dapat melakukannya.
Hui Kiam merasa sedih terhadap nasib seorang jago luar biasa yang pernah mendapat nama harum di kalangan Kang-ouw. Ia juga bertambah kebenciannya terhadap manusia-manusia yang tamak dan rakus serta kejam.
Kematiaan Tee-hong ini, sebetulnya merupakan suatu hal di luar dugaan Hui Kiam.
Setelah ia melakukan penghormatan yang penghabisan di hadapan makamnya, lalu berlalu.
Baru berada di luar lembah, sudah disambut oleh Ie It Hoan.
"Toako, sudah selesai?"
"Tee-hong sudah meninggal!" jawab Hui Kiam sambil menghela napas.
"Apa" Tee-hong sudah meninggal?"
"Ya."
"Mati secara bagaimana?"
Hui Kiam lalu menceritakan apa yang telah terjadi dalam pertemuannya dengan Orang Berbaju Lila.
Ie It Hoan berdiam sekian lama, akhirnya baru berkata:
"Dimulai dari kematian Sam Goan Lojin, orang-orang berkepandaian tinggi tingkat tua dalam rimba persilatan, dengan
beruntun mengalami nasib buruknya secara aneh. Hal ini rasanya bukan secara kebetulan."
"Bagaimana menurut pandanganmu?"
"Mungkin ada pembunuhan berencana."
"Dengan kepandaian Tee hong, meskipun kedua matanya sudah buta, tetapi orang yang mampu membinasakannya, berapakah jumlahnya dapat dicari dalam rimba persilatan?"
"Tetapi biar bagaimana ia toh sudah mati."
"Kabut yang meliputi rahasia kejahatan ini, aku bersumpah hendak membongkarnya."
"Toako, ini adalah pedangmu!"
Sehabis berkata, ia memberikan sebilah pedang pusaka berikut rangkanya.
Dengan sikap terheran-heran dan pikiran bingung ia bertanya:
"Dari mana aku mempunyai pedang?"
"Pedang ini hadiah dari Orang Menebus Dosa."
Hui Kiam semakin heran. Ia menyambut pedang pusaka itu dan berkata dengan suara gemetar:
"Orang Menebus Dosa?"
"Ya."
"Bagaimana sebetulnya?"
"la menyuruh kita berdua segera berangkat ke kota Lam-yang untuk membebaskan perkumpulan kaum pengemis dari bahaya. Selain daripada itu ia juga berkata, bahwa menggunakan pedang adalah kepandaianmu yang utama, kau tidak boleh membuarg keahlianmu ini, maka ia meninggalkan pedang ini untukmu."
"Sekarang d i mana orangnya?"
"Ia pergi belum lama berselang."
"Bagaimana rupanya?"
"Maaf, aku hanya mendengar suaranya, tetapi tidak melihat orangnya. Pedang ini dia letakkan dalam rimba. Waktu hendak berlalu hanya suruh aku nmengambil sendiri ke dalam rimba itu."
"Apakah kau tidak melihat wajah aslinya?"
"Bayangannya sajapun tidak pernah lihat."
"Aneh, ia sebetulnya orang golongan mana" Adik Hoan, menurut apa yang aku lihat dialah yang benar-benar merupakan Sukma Tidak Buyar, bagaikan hantu saja segala sepak terjangnya tidak dapat dimengerti oleh pikiran biasa, terutama terhadap diriku ia mengetahui begitu jelas. Ini bukan saja sangat mengherankan, tetapi juga menakutkan."
"Memang, di hadapan Orang Menebus Dosa, nama julukan ini sudah tidak berarti lagi. Aku pernah berusaha untuk mencuri lihat wajah aslinya, tetapi sedikitpun tidak berhasil. Ia menyampaikan pesannya dengan menggunakan semacam ilmu kepandaian yang tersendiri, agaknya jauh tetapi kedengarannya nyata, sebentar seperti dari arah kiri, sebentar lagi seperti dari arah kanan. Aku sudah memutar otak, dan memeras keringat, tetapi toh masih belum berhasil menemukan jejaknya."
"Aku memakai nama julukan Penggali Makam, sekarang baru merasa bahwa julukan itu terlalu sombong. Entah berapa banyak orang jahat yang sebetulnya aku dapat mengumpulkannya?"
"Toako, kau jangan berputus asa, Orang Menebus Dosa telah meramalkan kau akan menjadi orang kuat nomor satu dalam dunia"."
"Aku" aih! Di dalam rimba persilatan hanya merupakan seorang yang tak berarti."
"Toako, kita balik ke pokok pembicaraan kita. Kau periksalah pedang ini."
Hui Kiam mengeluarkan pedang dari sarungnya dan memeriksanya dengan seksama. Tiba-tiba di gagang pedang ia menemukan ukiran dua huruf kecil yang berbunyi "To- liong".
Ia segera berseru:
"To-liong Kiam!"
Dari pedang itu ia teringat kepada diri To-liong Kiam Khek Suma suan, yang dalam pesan ibunya merupakan orang harus dibunuhnya, tetapi dari apa yang pernah dilihatnya dapat diduga bahwa orang itu adalah ayahnya sendiri.
Orang Berbaju Lila pernah mengaku bahwa ia adalah sahabat karib To-liong Kiam Khek, tetapi mengapa kemudian ia membunuhnya bersama-sama dengan Penghuni Loteng Merah"
Dan apa sebabnya Orang Berbaju Lila harus membunuh Penghuni Loteng Merah dengan akal keji dan kejam itu"
Orang Berbaju Lila itu juga pernah memberitahukan kepadanya bahwa To-liong Kiam Khek dengan TorgHong Hui-Bun pernah menjadi suami istri, dan melarang dirinya mengadakan perhubungan dengan perempuan cantik itu, tetapi sebaliknya ia sudah tergila-gila dan jatuh cinta kepada si cantik itu....
Berapa bagian ucapan Orang Berbaju Lila dapat dipercaya"
Semua ini membikin kalut pikiran Hui Kiam.
Terdengar suara Ie lt Hoan berkata:
"Toako, apakah kau mengetahui asal-usulnya pedang sakti ini?"
"Tidak tahu!"
"Tetapi kau seperti sudah menemukan sedikit keterangan tentang pedang ini, sehingga sikapmu seperti orang kehilangan semangat, betul tidak?"
"Kau bicara jangan berputar-putar!"
"Menurut keterangan Orang Menebus Dosa, pedang ini adalah senjata To Liong Kiam Khek Suma Suan yang membuat namanya menjadi kesohor, juga merupakan barang peninggalannya."
"Bagaimana?"
"To Liong Kiam Khek adalah ayahmu."
"Oh!"
Keringat membasahi kening Hui Kiam. Ini adalah suatu fakta yang sangat menakutkan. Ia pernah berusaha untuk menyingkirkan, tetapi nyatanya fakta itu memaksa ia harus menerima fakta itu. Dengan hati pilu ia berkata:
"Orang Menebus Dosa berkata apa lagi?"
"Ia berkata semoga kau dapat menggunakan pedang ini sebaik-baiknya!"
"Bagaimana pedang ini bisa berada di dalam tangannya?"
"Hal ini aku tidak tahu lagi!"
"Adik Hoan, kalau teka teki ini tidak terungkap, aku bisa gila. Bicaralah terus terang, Orang Menebus Dosa itu gurumu atau bukan?"
"Bukan."
"Jawablah dengan tegas!"
"Betul, jawabanku ini selalu tidak berubah, Orang Menebus Dosa bukan suhuku!"
Benarkah faktanya demikian" Ini sesungguhnya terlalu kejam. Kalau begitu apa yang disebut "iblis wanita... tusuk konde mas?" dalam pesan ibunya, kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah Penghuni Loteng Merah. Mungkin sekali ibunya itu karena terlalu benci yang sudah ditinggal oleh suaminya, sehingga dalam pesannya juga menyuruh untuk membinasakan ayahnya sendiri. Dan mungkin oleh karena rasa benci, sehingga ia harus menggunakan she ibunya, tidak memakai she Suma.
Tragedi yang menyedihkan ini, masih untung belum terwujud, jikalau tidak ia sendiri bukankah akan menjadi seorang anak berdosa yang membunuh ayahnya sendiri"
Dan bagaimana pula dengan makam di puncak gunung yang sudah dirusak itu"
Orang Berbaju Lila setelah mendengar keterangan bahwa jenasah yang dikubur itu bukan jenasah orang yang sebenarnya, ia lalu demikian gusar dan merusaknya, mengapa"
la tokh bukan orang yang bersangkutan, yang tertipu juga bukan dia sendiri, tetapi mengapa ia berbuat demikian"
Ini merupakan suatu pertanyaan besar. Nampaknya hendak menjernihkan persoalan ini hanya Orang Menebus Dosa. Tetapi sepak terjangnya orang itu, juga merupakan suatu teka-teki besar. Sayang waktunya sendiri ketemu dengannya kedua matanya sedang buta, kalau tidak ia pasti akan dapat mengenali wajah aslinya.
"Apakah Orang Menebus Dosa menyuruh kau dan aku segera berangkat ke pusat perkumpulan kaum pengemis?"
"Ya!"
"Ia sendiri mungkin tidak akan berpeluk tangan dalam soal ini?"
"Itu sudah tentu."
"Mari kita berangkat!"
Sehabis berkata ia lalu menggantungkan pedang pusaka di pinggangnya, lalu berlari dengan serentak.
Pikiran Hui Kiam masih kalut, dia mengharap dalam perjalanan ke kota Lam-yang itu bisa bertemu dengan Orang Menebus Dosa, untuk membuka pikirannya yang pepat, jikalau tidak, penderitaan batin itu benar-benar akan membuat ia gila.
---ooo0dw0ooo---
JILID 20 BANYAK persoalan, nampaknya tiada ujung pangkalnya, tetapi agaknya satu sama lain ada perhubungan. Apa yang membingungkan dirinya ialah tidak jalan untuk mengusutnya.
Ini bukan soal dendam dan permusuhan semata-mata, karena di dalamnya masih terselip asal-usul dirinya.
Hari kedua di waktu tengah hari, mereka sudah melalui daerah gunung Keng-san, setelah beristirahat satu malam, mereka melanjutkan perjalanannya.
Sepanjang jalan ramai orang membicarakan soal didudukinya markas perkumpulan kaum pengemis itu.
Setelah berjalan lagi dua hari dua malam tanpa tidur dan istirahat, bagi Hui-Kiam tidak dirasakan apa-apa, tetapi bagi Ie-It Hoan sesungguhnya sudah letih sekali. Sebabnya Hui Kiam dalam keadaan cemas, ia mengerahkan tujuh bagian kepandaiannya untuk melakukan perjalanan itu sedangkan Ie-It Hoan harus menggunakan seluruh kepandaiannya baru dapat mengikuti jejak toakonya. Dengan demikian meskipun Ie-It Hoan juga merupakan seorang berkepandaian cukup tinggi juga hampir tidak sanggup mengikuti.
Setelah Hui Kiam mengetahui itu, dalam hati merasa tidak enak. Di waktu senja ia mencari rumah penginapan untuk menginap. Hal itu memang yang diharap-harapkan oleh Ie-It Hoan, maka tidak memperdulikan pakaiannya sendiri yang berupa seorang pengemis, iapun makan dengan lahapnya.
Di waktu malam suasana amat sunyi. Kira-kira jam dua malam, suasana semakin sunyi. Hui Kiam karena banyak pikiran, ia tidak bisa tidur, dengan seorang diri duduk menghadapi lampu. Tiba-tiba suara rintihan masuk ke dalam telinganya. Ia lalu pasang telinganya. Suara itu keluar dari sebuah kamar, di ujung seberang kamarnya sendiri.
Suara rintihan itu agaknya ditahan sebisa-bisa namun sudah tidak sanggup menahannya. Jikalau bukan di waktu malam yang sunyi benar-benar tidak akan kedengaran.
"Apakah itu tetamu yang sedang sakit, ataukah orang rimba persilatan yang sedang terluka?"
Suara itu terputus-putus, kedengarannya sangat menyedihkan.
Hui Kiam akhirnya tidak dapat mengendalikan perasaannya. Ia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju ke seberang.
Dalam kamar itu gelap-gulita. Begitu berada di dekatnya, suara rintihan itu terdengar semakin nyata. Orang itu agaknya sedang menderita hebat.
Hui Kiam selagi hendak mengetok pintu, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara: "St!" yang perlahan sekali. Ketika ia berpaling, ternyata adalah Ie-It Hoan yang entah sekejap sudah berada di belakang dirinya.
"Adik Hoan...."
"St!"
Dengan jari tangan Ie-It Hoan memberi isyarat kepada Hui Kiam supaya jangan bersuara, kemudian tangannya menggapai.
Dengan perasaan heran Hui-Kiam mundur ke samping Ie-It Hoan.
"Apa yang telah terjadi?"
Ie-It Hoan menunjuk dengan jari tangannya. Hui-Kiam melongok ke arah yang ditunjuk olehnya. Seketika itu bulu romanya berdiri mulutnya ternganga.
Di bawah sinar lampu remang-remang, di atas pintu kamar yang mengeluarkan suara rintihan itu, terpancang sepotong pakaian wanita berwarna putih, tetapi pakaian itu terdapat banyak bekas tanda darah yang sangat menyolok mata.
Suara rintihan ditambah dengan sepotong baju berdarah, apalagi kejadian itu di dalam suatu rumah penginapan kecil dekat hutan belukar, keadaan ini sesungguhnya sangat mengerikan.
"Apa yang telah terjadi?" demikian Hui Kiam mengulangi pertanyaannya.
"Mari balik ke kamar kita sendiri...."
"Kau ceritakan di sini bukan sama saja?"
"Toako, suaramu perlahan sedikit!"
"Eh! Kau sebetulnya sedang main sandiwara apa lagi?"
Sikap le It Hoan mengunjukkan perasaan begitu takut bagaikan ada setan di sekitarnya. Ia menyapu keadaan di sekitarnya sejenak, lalu menarik tangan Hui Kiam sejenak balik ke kamarnya sendiri, setelah menutup kamar, dengan sikapnya yang amat tegang ia berkata:
"Toako, kau sudah melihat baju berdarah tadi?"
"Ya! Kenapa?"
"Kita masih ada banyak urusan besar yang belum diselesaikan, tidak ada perlunya mencari orang lagi!"
"Aku tidak mengerti apa maksudnya?"
"Benarkah kau tidak mengerti?" bertanya Ie It Hoan sambil mengerutkan keningnya.
"Kapan aku pernah membohong terhadapmu?"
"Tahukah toako asal-usulnya baju berdarah itu?"
"Apa asal-usulnya?"
"Itu merupakan tanda Hiat-ie Nio-cu...."
"Hiat ie Nio-cu?"
"Ya!"
"Masih sangat asing bagiku."
"Benarkah toako sedemikian dangkal pengetahuanmu...."
"Dalam soal pengalaman dunia Kang-ouw, aku tidak dapat dibandirgkan denganmu, ini tidak perlu dikatakan lagi."
"Hiat-ie Nio-cu adalah seorang hantu wanita yang mempunyai hobi membunuh. Pada dua puluh tahun berselang namanya sudah menggetarkan dan menakutkan orang-orang golongan putih. Sudah duapuluh tahun tidak pernah mendengar orang menyebut namanya, sungguh tak disangka malam ini bisa muncul di sini."
"Baju berdarah itu mengapa harus digantung di pintu kamar?"
"Ini suatu tanda bahwa siapapun dilarang untuk melongok ke dalam kamar itu."
"Apakah kau tadi mendengar suara rintihan itu?"
"Dengar. Menurut pedengaranku mungkin itu adalah seorang orang tua."
"Kita sudah menjumpai urusan ini, bolehkah kita campur tangan?"
"Toako, pada duapuluh tahun berselang di dalam rimba persilatan pernah tersiar suatu pepatah yang mengatakan, "lebih baik bertemu dengan raja akhirat, jangan sampai berjumpa dengan Nyonya Berdarah" ...."
"Apakah Nyonya Berdarah itu lebih menakutkan daripada raja akherat?"
"Benar!"
"Mengapa?"
"Hiat-ie Nio-cu adalah seorang yang kejam dan telengas, siapa yang diketemukan olehnya tidak ada yang hidup. Selain daripada itu, caranya membunuh orang juga sangat aneh, boleh dikata merupakan suatu kekejaman dan keganasan yang sudah tidak ada bandingannya...."
"Kalau begitu aku justru lebih ingin belajar kenal dengannya!"
"Tetapi urusan perkumpulan kaum pengemis tidak dapat ditunda lagi!"
"Aku pikir sekarang ada satu orang yang sedang dianiaya, sebagai seorang gagah mana boleh melihat orang dalam bahaya tidak memberi pertolongan" Selain dari pada itu, kalau benar seperti apa yang kau katakan, dosa hantu wanita itu sudah bertumpuk-tumpuk, kalau kita dapat mengakhiri jiwanya, juga merupakan suatu kebajikan bagi kepentingan orang banyak."
Di luar jendela, suara yang kedengarannya sangat tajam menyeramkan:
"Sungguh sombong!"
Wajah Ie It Hoan berubah seketika.
Hui Kiam membuka pintu kamar. Dengan tenang ia berjalan keluar. Di tengah pelataran di depan jendela, nampak berdiri seorang perempuan tua berambut putih dan bertubuh kurus kering, namun kedua matanya memancarkan sinar tajam. Di atas badannya mengenakan pakaian baju berdarah yang tadi tergantung di depan pintu. Keadaannya pada malam itu, hanya tiga bagian yang mirip manusia, yang tujuh bagian mirip dengan hantu.
"Nyonya adakah Hiat-ie Nio-cu?" demikian Hui Kiam bertanya.
"Benar," jawabnya dingin.
"Ada keperluan apa?"
"Beri tahukan namamu?"
"Penggali Makam!"
"Jadi" kau adalah Penggali Makam yang baru muncul itu?"
"Benar!"
"Aku seorang tua selamanya tidak akan melepaskan begitu saja kepada orang yang melanggar pantanganku"."
"Begitu juga dengan aku, selamanya juga tidak pernah melepaskan orang-orang jahat yang terjatuh ke dalam tanganku!"
"Kau terlalu sombong!"
"Terserah apa yang kau katakan!"
"Wajahmu tidak cocok dengan apa yang tersiar di luar...."
"Ini bukan soal!"
Pembicaraan mereka, telah mengejutkan para tamu yang menginap dalam rumah penginapan itu, tetapi siapapun tidak ada yang berani keluar melihat atau bersuara, apa lagi yang penakut.
Hiat-ie Nio-cu dengan matanya yang bersinar tajam berputaran di badan Hui Kiam, kemudian berkata:
"Kau bersedia mati dengan cara bagaimana?"
"Menurut pikiranmu?"
"Kupotong-potong tubuhmu dan kubelek perutmu!"
"Apakah kau juga sudah memikirkan bagaimana cara kematianmu sendiri?"
"Hemm!"
Bersama dengan itu kuku jari tangannya kurus kering, lambat-lambat menerkam dada Hui Kiam, kukunya sepanjang satu dim lebih begitu runcing bagaikan lima bilah pedang kecil gerakannya itu sangat lambat sekali, akan tetapi luar biasa anehnya. Dengan kepandaiannya Hui-Kiam pada saat itu ternyata merasa sulit untuk menangkis atau menyingkir.
Ie-It Hoan segera berseru:
"Awas! Kuku jari itu ada racunnya!"
Hui-Kiam terkejut. Dengan menggunakan ilmu gerak kakinya, ia sudah menyingkir jauh ke samping.
"Eh!"
Seruan terkejut Hiat-ie Nio-cu itu, karena dikejutkan oleh tipu Hui-Kiam yang belum pernah disaksikannya itu. Namun demikian ia tidak menarik kembali tangannya, bahkan mengejar terus bagaikan bayangan.
Hui-Kiam juga dikejutkan oleh kepandaian hantu wanita itu. Sekali ia loncat menyingkir kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat jari tangannya menunjuk. Ini adalah serangan yang menggunakan jari tangan menurut ilmu yang ditulis dalam kitab Thian-Gee Po-kip.
Hiat-le Nio-cu benar-benar seorang yang sudah banyak pengalaman, dengan cepat ia membatalkan serangannya dan lompat mundur seraya berkata:
"Penggali Makam, kau benar-benar mempunyai kepandaian yang berarti. Munculnya lagi aku kali ini ke dalam dunia Kang ouw, untuk pertama kali gagal dalam seranganku. Kau murid siapa?"
"Tentang ini kau tidak perlu tanya."
"Hm, jangan kau kira aku akan merobah maksudku tidak membunuh kau...."
"Sama-sama."
Pada saat itu terdengar pula suara rintihan. Dengan alis berdiri Hui-Kiam bertanya:
"Siapa yang mengeluarkan suara rintihan di dalam kamar itu?"
"Kau tidak perlu campur tangan."
"Siapa orangnya yang mendapat kehormatan sampai kau bawa ke dalam kamar ini?"
"Kau tidak perlu tanya!"
"Hiat-ie Nio cu, aku berjuluk: Penggali Makam. Menurut perbuatanmu selama ini, ada harganya bagiku, untuk bertindak terhadap dirimu."
"Ha ha ha, kau jangan menggonggong seperti anjing gila. Aku setiap membunuh satu orang, di atas baju berdarahku ini kuberi tanda setetes darahnya, dan kau, hanya merupakan setetes darah saja."
Hui Kiam bergidik. Ditinjau dari keterangannya ini, baju berdarah hantu wanita itu, yang hampir seluruhnya penuh dengan tanda darah, kalau dihitung setetes darah merupakan satu jiwa seorang berkepandaian tinggi, berapa banyak orang rimba persilatan yang binasa di tangannya"!
Karena berpikir demikian, timbul amarahnya. Ia berpaling dan berkata kepada le It Hoan:
"Adik Hoan, kau pergi lihat siapakah yang dianiaya itu?"
"Baik!"
le It Hoan segera bergerak. Hiat-ie Nio-cu membalikkan badannya dan menyambar tubuh le It Hoan, tetapi Hui Kiam yang sudah menduga pasti perempuan itu akan berbuat demikian pada saat yang tepat ia sudah melancarkan satu serangan, Hiat-ie Nio-cu terpental dan mundur terhuyung-huyung. le It Hoan segera melesat ke kamar di seberangnya.
Hiat-ie Nio-cu benar-benar sudah murka. Wajahnya sudah keriputan berkerenyit beberapa kali, lalu membentaknya dengan suara bengis:
"Serahkan jiwamu!"
Sambil membuka kedua tangannya dia menerjang Hui Kiam, nampaknya ia ingin sekaligus dapat membinasakan Hui Kiam.
Hui Kiam sudah siap, menyambut nyonya itu dengan satu serangan hebat.
Terdengar suara benturan keras, Hiat-ie Nio-cu terpental mundur tiga empat langkah, ujung bibirnya mengeluarkan darah, hingga keadaannya semakin menakutkan.
Hui-Kiam maju setindak lagi. Ia berkata dengan suara bengis:
"Sambut sekali lagi seranganku ini!"
Ancaman itu ditutup dengan satu serangan tangan yang lebih hebat....
Tidak kecewa Hiat-ie Nio-cu pernah mendapat nama sebagai hantu yang ganas, hanya dalam satu gerakan saja ia sudah dapat mengukur betapa tinggi dan hebatnya serangan tangan Hui Kiam itu maka kini ia tidak berani menyambuti lagi, ia memiringkan badannya, tangan kanannya bergerak dengan cepat, ilmu jari tangannya disodorkan lempang ke depan, dua kuku jarinya tiba-tiba terlepas dan meluncur lengan cepatnya.
Kepandaian yang sangat ganas ini, benar-benar susah dijaganya.
Hui-Kiam melihat lawannya tidak berani menyambuti serangannya, sudah tentu tidak mencapai maksudnya untuk menjatuhkan perempuan ini. Namun demikian serangan itu ternyata
merupakan suatu serangan luar biasa, sekalipun tidak mengenakan sasarannya dengan tepat tetapi sudah cukup mematikan lawannya.
Pada saat itu dengan serentak terdengar dua kali suara keluhan tertahan, di belakang pundak Hui Kiam terluka oleh kuku jari Hiat-ie Nio-cu seketika itu rasa sakit seperti menusuk ulu hatinya sehingga mengeluarkan keluhan tertahan, diam-diam ia mengeluh semula ia masih mengira musuhnya itu menggunakan senjata rahasia yang kecil bentuknya, tetapi dari perasaannya ia mengetahui bahwa senjata rahasia itu mengandung racun yang sangat berbisa maka ia buru-buru menutup semua jalan darahnya agar racun itu tidak menyerang jantungnya.
Di pihak Hiat-ie Nio-cu, sesaat ketika ia melancarkan serangannya dengan senjata rahasianya yang istimewa itu, juga tersambar oleh serangan tangan Hui Kiam yang hebat, badannya sempoyongan, terdorong mundur ke lain sudut, mulutnya menyemburkan darah.
Tepat pada saat itu, dari dalam kamar terdengar suara jeritan Ie It Hoan.
Hui Kiam terkejut. Dia harus membunuh hantu wanita itu lebih dulu baru bisa pergi menengok Ie It Hoan.
Maka saat itu dengan menahan rasa sakit, ia melesat sambil melancarkan serangannya.
Hiat-ie Nio cu dengan cepat geser badannya menyingkir sejauh delapan kaki.
Hui Kiam karena memforsir tenaganya, racun dalam tubuhnya menjalar, sehingga kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang, kaki dan tangannya kejang.
"Penggali Makm, kau telah paksa aku menggunakan senjata 'kuku terbang" yang tak gampang-gampang kugunakan. Kuberitahukan kepadamu, siapa yang terkena racun senjata itu, tidak satupun yang hidup. Sekalipun dewa juga tidak sanggup bertahan sampai setengah jam, maka aku boleh menunggu kematianmu," demikian Hiat-ie Nio cu berkata.
Mendengar perkataan itu, Hui Kiam sangat murka. Sambil mengeluarkan geraman hebat, dengan beruntun ia mengeluarkan serangan jari tangan sampai lima kali.
Suara seruan tertahan terdengar beberapa kali dari mulut Hiat-ie Nio-cu. Hantu wanita itu masih dapat mengelakkan empat kali serangan Hui Kiam, tetapi serangan yang ke-lima, ia tidak berhasil mengelakkan lagi. Serangan dahsyat itu membuat separuh bajunya yang sudah penuh tanda darah menjadi merah dengan darahnya sendiri.
Hui Kiam sehabis melakukan serangannya, racun masuk semakin dalam, matanya berkunang-kunang semakin hebat, kekuatan tenaga murninya perlahan-lahan mulai membuyar.
"Habislah!" demikian Hui Kiam dalam hati mengeluh.
Sedangkan Ie It Hoan yang pergi menengok orang sakit itu, setelah mengeluarkan jeritan tadi tak terdengar lagi suaranya. Entah bagaimana keadaannya"
Hui Kiam saat itu dalam keadaan sangat berbahaya. Ia tahu apabila ia menunjukkan kelemahannya, akibatnya terlalu besar.
Karena berpikiran demikian, ia terpaksa mempertahankan dirinya sambil mengatupkan gigi, ia berjalan mengampiri Hiat-ie Nio-cu, mulutnya mengeluarkan ancaman:
"Apa kau tidak ada pesan apa-apa yang perlu kau tinggalkan?"
Perbuatannya itu sebetulnya merupakan satu perbuatannya gertak sambal belaka. Hakekatnya ia sudah tak ada tenaga lagi untuk bertindak terhadap musuhnya.
Sebaliknya dengan Hiat-ie Nio-cu, ia sudah dikejutkan oleh kejadian di luar dugaannya itu.
"Kau tidak takut racun?" demikian ia menegur.
"Racun begini saja, apa yang ia bisa perbuat terhadap diriku" Hiat-ie Nio cu, hari kematianmu sudah tiba!"
Sehabis berkata demikian, ia mengangkat tangannya perlahan-lahan.
Hiat-ie Nio-cu yang lukanya tidak ringan, ia mengerti bahwa ia tidak sanggup menerima serangan itu, maka dengan cepat ia lompat melesat ke atas genteng dan menghilang dalam kegelapan. Sekalipun dalam keadaan terluka parah, ia toh masih bisa bergerak sedemikian gesit. Kepandaian hantu wanita itu benar-benar sangat mengagumkan.
Hui Kiam menyaksikan berlalunya Hiat-ie Nie-cu. Ia menarik napas panjang, badannya terhuyung-huyung lalu duduk di tanah, tidak bisa bangun lagi, keringat dingin membasahi dahinya.
"Toako!" demikian terdengar suara Ie It Hoan yang lari keluar dari kamar.
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku"."
"Eh, toako kau kenapa?"
"Aku terkena serangan 'kuku terbang" Hiat-ie Nio-cu."
"Aaaa! Ini...."
"Siapa yang terluka dalam kamar itu?"
"Orang Tua Tiada Turunan locianpwee."


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa" Orang Tua Tiada Turunan locianpwee?"
Hui Kiam berusaha hendak berdiri, tetapi baru saja bergerak, sudah duduk lagi.
"Toako, racun dari 'kuku terbang" itu, bukan saja sangat berbisa, tetapi juga bisa merusak kekuatan tenaga dalam orang."
"Bagaimana dengan Orang Tua Tiada Turunan locianpwee?"
"Ia telah dipaksa dengan menggunakan siksaan oleh hantu wanita itu supaya mengaku. Lukanya sangat parah!"
"Dipaksa mengaku" Disuruh mergaku apa?"
Pada saat itu tiba-tiba satu benda putih melayang ke arah Ie It Hoan. Sukma Tidak Buyar itu segera menyambarnya. Ternyata adalah gumpalan kertas putih. Entah siapa yang menyambitnya.
"Adik Hoan, apa itu?"
"Hanya segumpal kertas!"
"Coba kau buka apa isinya?"
Ie It Hoan lalu membuka gulungan kertas itu. Setelah dilihatnya tiba-tiba ia berseru girang!
"Toako, kau tertolong!"
"Bagaimana sebetulnya?"
"Berita dari Orang Menebus Dosa!?"
"Lagi-lagi dia! Apa yang ditulisnya?"
"Racun 'kuku terbang' juga dapat disembuhkan dengan obat pemunah racun dedaunan itu!"
Semangat Hui Kiam mendadak terbangun, tetapi badannya sangat letih. Perbuatan Orang Menebus Dosa itu, benar-benar sangat membingungkan.
Perjalanannya sendiri kali ini memang benar dengan membawa obat pemunah racun itu, yang sedianya hendak diberikan kepada Tee-hong untuk mengobati matanya. Tidak disangka Tee-hong sudah mati teraniaya, sehingga pengharapannya tersia-sia. Dan tak disangka lagi bahwa obat itu untuk kedua kalinya telah menolong dirinya sendiri. Apakah itu memang kehendak takdir"
Ia lalu mengeluarkan satu botol kecil dari dalam sakunya, mengeluarkan isinya yang ternyata hanya tinggal dua butir saja. Dengan tanpa ayal lagi, obat itu lalu dimakannya.
le It Hoan menyaksikan dengan hati terharu.
Obat pil itu setelah masuk ke dalam perut, di luar dugaan akibatnya tidak sedemikian hebat seperti dahulu, hanya hawa panas yang terasa dalam perutnya. Sebentar saja, rasa lemas dan sakit di
sekujur badannya sudah lenyap sama sekali, begitupun kekuatan tenaganya, juga sudah pulih seperti biasa. Ia segera melompat bangun dan berkata:
"Adik Hoan, tolong kau ambilkan pedangku, untuk menjaga kedatangan Hiat-ie Nio cu lagi, aku hendak tengok Orang Tua Tiada Turunan!"
Sehabis berkata, ia lalu bergerak menuju ke kamar seberang.
Pelita dalam kamar sudah dinyalakan kembali oleh le It Hoan. Ketika Hui Kiam berada di dalam kamar segera dapat lihat tubuh Orang Tua Tiada Turunan yang penuh darah, rebah terlentang di pembaringan, matanya suram, seolah-olah orang tua biasa yang sedang menderita sakit payah.
"Lociacpwe, aku adalah Hui-Kiam!"
Mata orang tua itu berputaran sejenak, lalu berkata dengan suara dalam:
"Aku tahu!"
"Bagaimana cianpwee bisa terjatuh dalam tangan hantu wanita itu?"
"Ah, panjang ceritanya. Urusan perkumpulan kaum pengemis apakah kau sudah tahu?"
"Ya, justru karena itu boanpwee melakukan perjalanan ke kota Lam-yang!"
"Tidak perlu pergi lagi!"
"Mengapa?"
"Perkumpulan pengemis itu sudah masuk menjadi anggota perkumpulan Bulan Emas. Sesepuhnya Co-Hoa Si Kuping Sakti sudah diangkat sebagai "lengcu' bendera kuning...."
Hui-Kiam merasa gusar dan kecewa. Katanya:
"Sungguh tidak disangka, perkumpulan kaum pengemis yang begitu besar pengaruhnya, ternyata sudah bertekuk lutut karena tidak tahan tekanan."
"Siaohiap, itu diambil karena terpaksa!"
"Terpaksa?"
"Anak murid perkumpulan kaum pengemis tersebar dari dimana-mana. Apabila Persekutuan Bulan Emas melancarkan aksi pembalasan, kau pikir, bagaimana akibatnya?"
"Maka ia terpaksa masuk menjadi anggota."
"Masih ada pangcu Ma Bun Pok sekarang dijadikan sebagai barang tanggunggan, anak murid kaum pengemis tidak berani menggunakan jiwa pangcunya sebagai barang taruhan!"
"Oh! Melihat gelagat, nampaknya Bulan Emas tidak lama lagi benar-benar akan menguasai dunia rimba persilatan."
"Belum tentu, ini harus dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Semua partai persilatan yang masuk menjadi anggota persekutuan itu, semata-mata karena tak sanggup menerima tekanan yang hebat sekali, sehingga terpaksa menurut kehendaknya, bukan dengan suka rela, apabila ada kesempatan mereka bisa memberontak memukul ke dalam."
Hui Kiam menganggukkan kepala.
"Marilah kita bicarakan urusan yang menyangkut diri locianpwe!"
Saat itu Ie It Hoan masuk ke kamar danmemberikan pedang kepada Hui Kiam kemudian berdiri di luar kamar untuk melakukan penjagaan.
Orang Tua Tiada Turunan memejamkan matanya, kemudian baru membuka suaranya:
"Apakah kau masih ingat, maksudku pergi kepada perkumpulan kaum pengemis?"
"Ingat, terima kasih atas bantuan locianpwe."
"Setelah aku tiba di perkumpulan kaum pengemis, aku lalu memberitahukan maksud kedatanganku. Permintaanku segera diterima baik oleh ketuanya, Si Kuping Sakti Co Hoa serta merta mengumpulkan anak buah yang pilihan, mereka lalu diberi petunjuk untuk mengadakan penyelidikan yang luas. Suma Suan sejak menghilang, memang betul sehingga sekarang belum ketahuan jejaknya"."
"Suma Suan sudah binasa di tangan Orang Berbaju Lila, dengan menggunakan akal keji."
"Oh! Sudah berapa lama terjadinya perkara ini?"
"Beberapa bulan berselang!"
"Ya!" Selanjutnya, Hui Kiam menceritakan bagaimana Orang Berbaju Lila itu menggunakan dirinya memancing penghuni Loteng Merah ke dalam gua batu di atas gunung Keng-san dan kemudian gunung diledakkan.
Urusan di dalam dunia memang apa saja bisa terjadi perobahan tanpa diduga-duga.
"Harap locianpwee ceritakan lagi."
"Tentang tusuk konde emas kepala burung Hong seperti apa yang kau katakan oleh hantu wanita untuk membunuh ibumu, iblis wanita itu adalah ...."
Baru berkata sampai di situ, matanya tiba-tiba membalik, badannya kejang, mulutnya mengeluarkan rintihan.
Hui Kiam sebetulnya masih ingin bertanya, tetapi karena melihat keadaan orang tua itu yang sangat menyedihkan, terpaksa membatalkan maksudnya, lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Hoan:
"Adik Hoan."
Belum menunggu Hui Kiam melanjutkan ucapannya, sudah dipotong oleh le It Hoan:
"Toako, ia terluka parah di bagian dalamnya. Tadi ia pernah mengatakan sedikit kepadamu, Si Iblis Gajah yang kini menjadi anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas, adalah orang bertanggung jawab dalam perbuatannya yang menumpas perkumpulan kaum pengemis. Locianpwee ini, sebagai tetamu perkumpulan kaum pengemis itu, juga menjadi sasaran serangan mereka. Meskipun sudah berhasil ditolong oleh Orang Berbaju Lila, tetapi ia sudah terluka parah di dalamnya. Demi untuk merawat luka-lukanya dan menghindarkan kejaran musuh, barulah berdiam di rumah penginapan dekat rimba ini, dianggapnya dapat mengelabui musuh-musuhnya, tidak diduga telah diikuti oleh Hiat-ie Nio-cu. Hantu itu dengan menggunakan cara siksaan yang paling kejam supaya mendapat keterangan dari mulutnya ...."
"Apakah Hiat-ie Nio-cu juga menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas?"
"Bukan!"
"Kalau begitu ia paksa orang memberi keterangan apa?"
"Ia menyuruh locianpwe menyerahkan tusuk konde emas berkepala burung Hong, selain itu juga menerangkan asal-usulnya tusuk konde itu!"
Dengan mata beringas dan suara gemetar Hui Kiam berkata:
"la suruh Orang Tiada Turunan locianpwee menyerahkan tusuk konde emas?"
"Ya!"
"Kalau begitu Hiat-ie Nio-cu ini adalah musuh besarku yang membinasakan ibu?"
"Mungkin dugaanmu itu tidak keliru, ia mengaku bahwa tusuk konde emas itu adalah barang kepunyaannya!"
"Ow! Aku tadi salah sudah melepaskannya."
"Di kemudian hari pasti bisa bertemu lagi."
Badan Hui-Kiam gemetar, karena musuh besar yang membunuh ibunya sudah diketahui jejaknya, untuk menuntut balas hanya tinggal soal waktu saja. Apa yang tidak dimengerti ialah apa sebabnya Hiat-ie Nio-cu minta tusuk konde emas berkepala burung hong itu kepada Orang Tua Tiada Turunan" Apakah Orang Tua Tiada Turunan sudah menerangkan kepadanya peristiwa yang menyedihkan itu" Ataukah ia sudah mengetahui maksud Orang Tua Tiada Turunan yang minta kepada perkumpulan kaum pengemis menyelidiki dirinya" Sayang".
Sambil mengerutkan keningnya Hui-Kiam berkata:
"Adik Hoan, locianpwe nampaknya sangat menderita, sekarang bagaimana?"
"Aku sudah memberikan kepadanya beberapa buah pil yang sangat mujarab untuk mengobati lukanya, sayang belum kelihatan hasilnya. Hantu wanita itu menggunakan siksaan menotok jalan darahnya, pengobatan cara biasa sama sekali tidak ada gunanya."
"Tetapi biar bagaimanapun juga kita harus berusaha menyembuhkan luka-lukanya. Aku hendak menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk membantu."
"Tidak boleh. Lukanya sudah sampai ke bagian ulu hatinya, apabila kemasukan tenaga dari luar, itu berarti mempercepat kematiannya."
"Kalau begitu ia sudah tidak dapat ditolong lagi?"
Sambil menggaruk-garuk kepalanya Ie It Hoan menjawab:
"Soalnya memang sangat penting, aku sedang mencari daya upaya."
"Jikalau ia ada apa-apa atas dirinya, akan membuat penyesalan besar bagiku untuk selama-lamanya."
"Ow! Andaikata...."
"Andaikata apa?"
"Andaikata pada saat ini Orang Merebus Dosa ada di sini, ia mungkin dapat menolongnya."
"Apakah kau kira Orang Menebus Dosa bisa datang kemari?"
"Seharusnya bisa datang...."
"Mengapa?"
"Menolong orang harus menolong sebenar-benarnya. Sudah satu kali ia menolong diri Orang Tua Tiada Turunan locianpwee, seharusnya ada awal pasti ada akhirnya. Selain dari pada itu, karena ia sudah menunjukkan diri di tempat ini, bahkan sudah memberitahukan kepada kita caranya mengobati atau menyembuhkan racun dari kuku terbang, tidak mungkin ia tidak mengetahui urusan ini."
"Sukar untuk dikatakan."
"Bagaimana kita harus bertindak?"
"Kita harus segera balik, harap dapat menjumpai seseorang, jikalau kita menjumpai orang itu segera tertolong."
"Berjumpa dengan orang bagaimana?"
"Orang itu tidak suka orang lain mengetahui asal-usul dirinya."
"Lagi-lagi teka-teki. Jikalau tidak berhasil menjumpainya?"
"Ini...."
Hati Hui Kiam sangat cemas, katanya tanpa banyak pikir lagi:
"Tidak bisa, apapun yang harus terjadi aku harus menolongnya."
Ie It Hoan dengan suara sedih ia berkata:
"Toako, hal ini tidak bisa dipaksa."
Pada saat itu bibir Orang Tua Tiada Turunan tiba-tiba nampak bergerak. Dengan suara sangat perlahan ia berkata:
"Hui Kiam, dengarlah kataku. ..."
"Cianpwee hendak pesan apa?"
"Hiat-ie Niocu .... adalah musuh besarmu yang membunuh ibumu!"
Hui Kiam tidak dapat menguasai perasaannya yang bergolak hebat. Ia berkata:
"Bagaimana harus menyembuhkan luka locianpwee?"
"Barangkali... sudah tidak tertolong. Kau... dengarlah, aku telah mendapat keterangan anak murid perkumpulan kaum pengemis yang diutus untuk mencari keterangan, bahwa hantu wanita itu kali ini mengunjukkan diri di dunia Kang-ouw lagi setelah dengan senjata tusuk konde emas membinasakan Manusia Romantis Teragung, aku segera menduga pasti bahwa dia adalah orang kau cari itu. Selagi aku menerima utusan untuk mengabarkan kepadamu, sangat kebetulan perkataanku kepada orang itu dapat didengar oleh hantu wanita itu. Demikian, ia... tidak mau melepaskan aku, bahkan sudah membunuh mati orang yang kusuruh membawa berita itu. Ia... sudah mengaku sebagai pemilik tusuk konde emas itu...."
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa menyindir yang jelas keluar dari mulut Hiat-ie Nio cu.
Hantu wanita itu setelah pergi balik kembali.
le It Hoan lebih dulu lompat melesat ke atas genteng. Hui Kiam segera menyusul sambil menghunus pedangnya.
Setelah berada di atas genteng, ternyata tidak tampak bayangan seorangpun juga.
le It Hoan sekonyong-konyong tersadar lalu berkata:
"Celaka, lekas balik ke kamar."
Hui Kiam juga agaknya ia mendapat firasat jelek, dengan cepat ia melompat turun naik ke kamar. Tiba di dalam kamar, ia berdiri ternganga, ternyata tempat tidur sudah kosong, Orang Tiada Turunan sudah tidak ada di tempatnya. Ia lalu berkata sambil menggentak kaki.
"Sungguh licin hantu wanita itu."
Dengan suara cemas le It Hoan berkata:
"Toako, Orang Tua Tiada Turunan loocianpwe sudah terjatuh lagi di tangan hantu wanita itu, akibatnya kita tidak dapat bayangkan. Mari kita ...."
"Kita kejar secara berpencaran, kau pikir bagaimana?"
"Baik, kita akan berjumpa di bawah bukit Bu-ling-san."
"Kit ajangan ayal lagi, mari kita berangkat sekarang juga!"
Karena kedua orang itu tidak membawa barang, setelah balik ke kamarnya membawa barang yang diperlukan dan meninggalkan uang kamar dan makan, lalu keluar melalui lubang jendela ke barat.
Tindakan yang mirip dengan tindakan membabi buta itu, mereka sudah tahu tidak ada gunanya tetapi toh tidak boleh tidak harus dilakukan sekedar menuruti kehendak hati mereka.
Terutama Hui Kiam yang begitu sedih dan marah, karena dengan jatuhnya lagi Orang Tua Tiada Turunan itu ke tangan Hiat-ie Nio-cu, sudah tentu tidak terhindar dari kematian, dan semua itu boleh dikatakan karena urusannya, maka hal ini benar-benar merupakan suatu pukulan hebat bagi dirinya.
Hiat-ie Nio-cu minta tusuk konde emas berkepala burung hong kepada Orang Tua Tiada Turunan, sedangkan tusuk konde itu berada di badan Hui Kiam, apakah maksud dan tujuan hantu wanita itu"
"Musuh yang membunuh ibunya ini sudah merupakan satu musuh terbesar, dan sekarang ditambah lagi dengan perbuatan terhadap Orang Tua Tiada Turunan, ini berarti menumpuk dosanya itu."
Semula ia salah menduga bahwa Penghuni Loteng Merah adalah pembunuh ibunya, tidak disangka bahwa dugaannya itu keliru semua. Urusan di dalam dunia kadang-kadang memang tidak dapat ditafsir dengan pikiran biasa, entah apa maksud dan tujuan Hiat-ie Nio-cu membunuh ibu Hui Kiam"
Sambil memikirkan persoalan itu, Hui Kiam sudah lari sejarak sepuluh pal, tetapi tidak menemukan bayangan seorangpun juga. Dengan berkepandaian seperti Hiat-ie Nio-cu itu, sesungguhnya juga sulit dikejarnya, apalagi tidak diketahui arahnya, dengan mengejar secara membabi-buta tentu akan membuang tenaga cuma-cuma.
Ia kini benar-benar baru merasakan bahwa seorang sekalipun berkepandaian sangat tinggi jika tidak mempunyai pengalaman dunia Kang-ouw yang cukup luas, boleh dikata hanya berhasil separoh saja. Andaikata kejadian ini, andainya sendiri mempunyai pengalaman luas, tatkala le It Hoan keluar kamar pergi memeriksa, ia sendiri seharusnya jangan bergerak untuk menjaga keselamatan orang yang sakit, dengan demikian Hiat-ie Nio-cu pasti tidak akan berhasil.
Tetapi menyesal sudah tidak ada gunanya. Jiwa Orang Tua Tiada Turunan telah berkorban karena keteledoran.
Ia hanya mengharap supaya orang tua itu suka menerangkan di mana adanya tusuk konde emas itu agar Hiat-ie Nio-cu bisa mencari dirinya. Akan tetapi, pengharapan ini tipis sekali, Orang Tua Tiada Turunan yang belum tahu Hui Kiam sudah berhasil memiliki kepandaian seluruhnya dari kitab Thian Gee Po-kip, pasti tidak akan mau mengaku memberi keterangannya, dengan demikian sudah dapat diduga orang tua itu pasti akan disiksa sampai mati.
Semakin berpikir Hui-Kiam semakin merasa tidak enak terhadap orang tua itu. Peristiwa itu merupakan suatu siksaan batin baginya. Ia menyesal tidak bisa menjumpai hantu wanita. Jikalau tidak, ia pasti akan dicincangnya.
Selagi berjalan, dari jauh tiba-tiba terdengar beberapa kali suara jeritan ngeri.
Dengan cepat ia menghentikan kakinya, matanya mencari ke tempat sekelilingnya.
Terdengar pula suara jeritan ngeri di selang dengan suara saling bentak, jelaslah sudah bahwa di tempat dekat itu ada terjadi pertempuran.
Dengan mengikuti arah datangnya suara, ia bergerak bagaikan binatang kelelawar yang terbang di waktu malam.
Kira-kira setengah pal, di depan matanya tampak sebuah kuil tua. Suara jeritan dan bentakan itu keluar dari dalam kuil itu.
Siapakah yang bertempur di tempat dan waktu seperti ini"
Sesosok bayangan orang tiba-tiba lari menghampiri dengan badan terhuyung-huyung.
Hui Kiam segera membentaknya:
"Diam jangan bergerak!"
Bayangan orang itu dengan badan sempoyongan menghentikan kakinya. Ternyata adalah satu padri muda yang sekujur badannya penuh darah.
Hui Kiam setelah menatap padri itu sejenak, lalu bertanya:
"Siao suhu, apakah yang telah terjadi?"
Dengan sinar mata terheran-heran padri muda itu mengawasi Hui Kiam, kemudian berkata dengan suara gemetar:
"Tuan orang gagah dari mana?"
Nada suara pertanyaan padri itu, sedikitpun tidak mirip dengan orang yang menyucikan diri. Hui Kiam mengerutkan alisnya, sementara dalam hatinya berpikir. Karena pada saat itu ia memakai kedok muka Ie It Hoan yang mungkin sudah pernah dipakainya, maka ia akan meminjam nama julukan adik angkatnya itu.
"Aku adalah Sukma Tidak Buyar!" demikian jawabnya dingin.
Padri muda itu nampaknya terkejut, lalu berkata:
"Tuan Sukma Tidak Buyar?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Ada keperluan apa datang kemari?"
"Eh! Bukankah di sini terjadi pertempuran?"
"Apakah kedatangan tuan karena mendengar suara pertempuran?"
"Tepat!"
"Kalau begitu silahkan balik."
"Mengapa?"
Badan padri muda itu terhuyung-huyung. Ia tidak menjawab, tapi segera roboh di tanah.
Hui Kiam memeriksa, ternyata nyawanya sudah melayang. Sejenak ia nampak sangsi, kemudian melesat ke pintu kuil.
Di depan pintu kuil terdapat enam buah bangkai manusia, semua mati dalam keadaan remuk batok kepalanya, keadaan itu sangat mengerikan.
Di dalam pintu kembali terdapat tiga buah bangkai yang kematiannya lebih mengerikan, semua bangkai itu dalam keadaan hancur, perutnya diduet sehingga isi perutnya berserakan di tanah.
Hui Kiam melihat sejenak, lalu masuk terus. Di situ terdapat pekarangan yang cukup luas, di dalam pekarangan itu terdapat pula bangkai manusia yang jumlahnya lebih dari lima puluh jiwa.
"Orang yang beribadah mengapa mengalami nasib demikian?"
Selagi Hui Kiam masih dalam keadaan terheran-heran, matanya dapat melihat sesuatu. Ia lalu mengangkat kepala. Di pintu tengah yang menuju ke pekarangan, ada berdiri sesosok bayangan orang yang bentuknya langsing. Dapat diduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang wanita. Apakah wanita itulah yang melakukan kejahatannya"
Ia lalu menghampirinya. Ketika ia mengetahui siapa adanya wanita itu, hampir saja ia menjerit, karena wanita itu bukan lain daripada Siu-Bi, murid kepala Penghuni Loteng Merah.
Saat itu Siu Bi sedang berdiri sambil melintangkan pedangnya. Wajahnya menunjukkan kegusarannya.
Tatkala Penghuni Loteng Merah terjebak dan mati di dalam goa, pengikutnya yang mengikuti hanya Siu Bi seorang yang terhindar dari bahaya. Hui Kiam segera menegurnya:
"Nona Siu."
Siu Bi nampaknya terperanjat. Dengan perasaan terheran-heran ia bertanya:
"Tuan siapa?"
Hui Kiam kini baru sadar bahwa dirinya sudah ganti muka, maka jawabnya dengan nada suara dingin:
"Sukma Tidak Buyar."
"Tuan adakah Sukma Tidak Buyar?"
"Benar!"
"Bagaimana tuan tahu aku seorang she Siu?"
"Aku mendapat gelar Sukma Tidak Buyar, apakah nona kira soal itu kudapatkan dengan mudah" Kau adalah murid kepala Penghuni Loteng merah, betul tidak?"
Siu Bi semakin terkejut, ia berkata dengan suara gemetar:
"Dengan maksud apa tuan datang kemari?"
"Apakah orang-orang beribadat ini kau yang membunuh?"
"Sebagian besar benar!"
"Kalau begitu, orang yang melakukan perbuatan ini tidak cuma kau seorang saja?"
"Juga tidak banyak, hanya dua orang saja!"
Pada saat itu, dari ruangan dalam terdengar pula suara jeritan ngeri. Di waktu malam yang sunyi dan keadaan yang menyeramkan itu, suara itu kedengarannya semakin menyeramkan.
"Aku harap nona suka menerangkan apa sebabnya melakukan pembunuhan ini?"
"Kalau aku tidak suka?"
"Siapa yang membunuh harus dibunuhnya. Nona tentunya mengerti faIsafat ini...."
"Eh! Suara tuan kedengarannya tidak asing!"
Hui Kiam tertawa dingin. Sejak ia masuk ke dalam kuil itu, ia tidak merubah suaranya, maka Siu Bi yang mendengarkannya itu tidak merasa asing lagi.
"Perbuatan nona ini, yang nona lakukan terhadap orang yang beribadah agaknya terlalu kejam."
"Orang beribadah" Hem! Sukma Tidak Buyar, kau nyatakan seorang yang mengetahui segala-galanya sehingga namaku dan asal-usulku juga kau ketahui, tetapi mengapa tidak mengetahui asal-usul kawanan pandri palsu ini?"
"Apa" Padri palsu?"
"Kau tentunya tidak akan dapat menduga kuil Thian-ong-gie ini tempat apa?"
"Tempat apa?"
"Cabang ke-empat Persekutuan Bulan Emas. Kau tentunya tidak menduga, bukan?"
Hui Kiam benar-benar terperanjat. Ia sesungguhnya tidak menduga bahwa kuil itu digunakan sebagai sarang kaum jahat. Kalau begitu kawanan padri yang dibunuh itu, seharusnya adalah anak buah Persekutuan Bulan Emas. Persekutuan yang bercita-cita hendak menguasai dunia, dengan secara ganas menundukkan berbagai partay persilatan dan membunuh orang-orang kuat yang tidak sepaham dengannya. Semua sepak terjangnya itu telah menimbulkan kemarahan orang-orang rimba persilatan.
"Benarkah katamu ini?"
"Percaya atau tidak, terserah kepadamu!"
"Tetapi apakah maksud nona bertindak begitu?"
"Tentang ini tuan agaknya tidak perlu bertanya...."
"Jikalau aku pasti ingin mengetahui?"
"Perlu apa tuan mencari mati?"
"Mencari mati" Mustahil!"
"Aku peringatkan kau sebaiknya kau lekas menarik diri dari sini."
"Jikalau tidak?"
"Barangkali tidak bisa berlalu dari sini lagi!"
Hui Kiam pada saat itu sudah tentu tidak takut lagi kepada Siu Bi. Sekali lagi ia memperdengarkan suara tertawa dingin, lalu berkata:
"Apakah yang berada di dalam ruangan belakang itu adalah kawau nona?"
"Benar!"
"Siapa?"
"Apakah tuan benar-benar hendak mencari mati"
"Anggaplah begitu!"
"Jikalau aku sebutkan nama orang itu, kematianmu sudahlah pasti!"
"Aku tidak percaya, siapakah orang itu?"
"Hiat-ie Nio-cu!"
Hui Kiam seketika itu darahnya seperti mendidih, nafsunya membunuh berkobar, ia sungguh tidak menyangka di tempat itu akan menemukan orang yang sedang dicari.
"Hiat-ie Nio cu?"
"Hmmm!"
"Bagus sekali, aku justru sedang mencarinya!"
Setelah mengucapkan demikian ia bergerak hendak menerjang.
"Jangan bergerak!" demikian Siu Bi coba mencegah. Tetapi Hui Kiam tidak ambil pusing. Sebentar kemudian ia sudah berada di
dekat pintu pertengahan. Siu Bi segera menggerakkan pedangnya menyerang diri Hui Kiam sambil berseru: "Kau cari mampus!"
Hui Kiam mengibaskan tangannya untuk mengelakkan serangan tersebut, sehingga Siu Bi terdorong mundur. Dengan menggunakan ilmu gerakan kaki yang luar biasa, Hui Kiam berhasil melalui Siu Bi dan terus masuk ke pekarangannya.
Siu Bi setelah menenangkan pikirannya, lalu mengejarnya sambil menghunus pedang.
Dengan cepat Hui Kiam menghunus pedang To-liong Kiam, dengan perlahan menangkis serangan Siu Bi.
Tangkisan itu ternyata hebat sekali, Siu Bi mundur sampai empat langkah baru bisa berdiri tegak, pedang di tangannya hampir terlepas jatuh.
Di dalam ruangan itu kembali terdapat beberapa puluh bangkai manusia.
Seorang padri tua berjubah warna abu-abu terikat di sebuah tiang, mulutnya mengeluarkan suara rintihan. Di depan padri tua itu berdiri orang yang sedang dicari, ialah Hiat-ie Nio-cu si Hantu Wanita Baju Berdarah.
Dengan sinar mata dingin Hui Kiam mengawasi Siu Bi sejenak lalu berkata kepadanya:
"Aku tidak ingin membunuh kau, menyingkirlah agak jauh sedikit!"
Sehabis berkata ia segera melesat menghampiri hantu wanita itu.
Hiat-ie Nio cu sekonyong-konyong membalikkan badannya. Dengan sinar mata terheran-heran ia menegurnya:
"Kau?"
"Benar, kau tidak menduga tentunya?"
"Ha ha ha, memang benar tidak kusangka malam-malam kau hendak mengantarkan jiwa!"
Dengan mata beringas Hui Kiam menatap wajah hantu wanita. Sepatah demi sepatah ia bertanya:
"Hiat ie Nio-cu, kau perlakukan bagaimana Orang Tua Tiada Turunan?"
"Apa" Apakah anjing tua itu sudah mampus?"
"Aku bertanya kepadamu, bagaimana kau perlakukan dirinya?"
"Omong kosong, bukankah ia berada di kamar rumah penginapan?"
"Hem, sungguh tidak kusangka seorang kenamaan seperti kau juga meniru kelakuan manusia golongan rendah. Kau telah menggunakan akal tipu memancing keluar kita...."
"Aku tidak mengerti apakah katamu?"
"Kau tidak berani mengakui?"
"Bocah, apa kau sedang mengoceh" Aku justru ingin minta keterangan tentang dirinya darimu."
Hati Hui Kiam tergerak. Nampaknya Orang Tua Tiada Turunan tidak dibawa kabur oleh hantu wanita ini. Tetapi siapakah yang melakukan perbuatan itu" Sedang suara tertawa dingin yang memancing keluar ia sendiri dan Hui Kiam, jelas adalah suaranya hantu wanita ini.
"Tunggu, aku hendak membereskan urusan dengan kepala gundul ini."
Sehabis berkata, ia lalu berpaling dan berkata kepada padri tua yang terikat di tiang itu.
"Anjing tua, kau mau menjawab atau tidak" Di mana orang berbaju lila itu sekarang berada?"
Kembali Hui Kiam dikejutkan oleh pertanyaan hantu wanita itu. Hantu wanita itu ternyata sedang mencari orang berbaju lila dengan minta keterangan dari padri tua itu. Orang berbaju lila itu juga merupakan salah satu musuhnya, yang sedang dicarinya.
Nampaknya padri tua itu tentu adalah ketua cabang Persekutuan Bulan Emas. Apakah hubungannya dengan orang berbaju lila"
Saat itu terdengar suara jeritan ngeri, kedua daun telinga padri tua itu telah ditarik sehingga putus oleh Hiat-ie Nio-cu.


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jawab!"
"Aku tidak tahu!"
Tangan kanan Hiat-ie Nio cu menusuk ke ketiak kiri padri tua itu, hingga padri tua itu kembali mengeluarkan suara jeritan ngeri, kemudian menundukkan kepalanya, entah ia sudah mati atau masih hidup. Perbuatan hantu wanita itu benar-benar memang sangat kejam, seluruh penghuni dalam kuil yang sudah dijadikan cabang Bulan Emas itu, nampaknya sudah tidak ada yang hidup.
Hui Kiam agaknya sudah tidak sabar lagi. Dengan suara bengis ia berkata:
"Hiat-ie Nio-cu, aku tidak sabar menunggu lebih lama lagi ...."
Hiat-ie Nio cu berpaling dan berkata kepadanya:
"Aku hendak mengantar kau jalan lebih dulu."
"Kau sedang mimpi. Kuberitahukan kepadamu, malam ini kau sudah tidak mendapat kesempatan lagi!"
"Bocah, kau jangan berlagak sombong, aku benar-benar tidak tahu dengan cara bagaimana memperlakukan dirimu untuk melampiaskan rasa benciku."
"Sama-sama! Tetapi ada beberapa hal kau harus bereskan sebelum kau mati."
"Kau benar-benar mencari mampus!"
Setelah membentak demikian dengan kecepatan bagaikan kilat, tangan Hiat ie Nio-cu menyambar kepala Hui-Kiam.
Hui-Kiam sudah bertekad tidak akan memberikan kesempatan kepada musuhnya itu. Ia sudah siap dengan pedang To-liong Kiamnya, maka sebagai hantu wanita itu sedang bertindak ia sudah
menggerakkan pedangnya. Karena ilmu pedang Thian Gee Kiam Hoat merupakan suatu ilmu pedang yang sangat istimewa, maka gerakan serangan yang dilakukannya itu hebat sekali.
Hiat-ie Nio cu dapat merasakan betapa hebatnya serangan itu, maka ia buru-buru lompat mundur.
Hui Kiam mengejar, ia tarik kembali pedangnya dan berkata:
"Dengan suaru cara yang sangat kejam kau perlakukan Orang Tiada Turunan, apakah maksudmu semata-mata hendak mencari sebuah tusuk konde berkepala burung Hong saja?"
Mula-mula Hiat ie Nio-cu tercengang mendengar pertanyaan itu, kemudian baru menjawab:
"Benar!"
"Mengapa?"
"Apakah itu perlu aku memberitahukan kepadamu?"
"Perlu sekali!"
"Sebabnya?"
"Aku dapat menjawabmu di mana adanya tusuk konde emas yang kau maksudkan itu, akan tetapi kau harus menjawab dulu beberapa pertanyaannya."
"Kau... tahu, di mana tusuk konde emas itu berada?"
"Tahu!"
"Aku juga ingin bertanya kepadamu...."
"Jawablah dulu pertanyaanku dulu!"
"Katakanlah!"
"Apakah tusuk konde emas berkepala burung Hong itu senjata rahasiamu yang tunggal?"
"Bukan senjata rahasia, melainkan senjata terampuh!"
"Sepuluh tahun berselang, apakah kau pernah menggunakan senjata itu untuk membunuh seorang wanita?"
"Selama duapuluh tahun lamanya baru kali ini aku mengunjukkan diri lagi di dunia Kang-ouw!"
"Apa selama dua puluh tahun itu kau tidak pernah melakukan pembunuhan?"
"Tidak!"
"Kau mempunyai turunan?"
"Ada!"
"Juga pandai menggunakan senjata tusuk konde itu?"
"Tusuk konde emas berkepala burung Hong ini semuanya ada dua buah. Sebuah berada di badanku, yang lain kuberikan kepada anak perempuanku yang sulung...."
Darah Hui Kiam bergolak, ia bertanya dengan suara gemetar:
"Ia bernama siapa?"
"Pek-leng-lie Khong Yang Hong!"
"Pek-leng-lie Khong Yang Hong?"
"Benar!"
"Apakah ia mempunyai tanda konde semacam itu?"
"Benar!"
"Di mana ia sekarang berada?"
Hiat-ie Nio cu tiba-tiba melompat merghampiri.
"Inilah justru yang hendak kutanya kepadamu!" demikian katanya.
Sementara itu Siu Bi tiba-tiba menyela:
"Aku tahu kau siapa, pantas suaramu tadi aku merasa tidak asing lagi."
Hui Kiam melirik kepadanya sejenak, lalu berkata:
"Nona Siu, kau seharusnya sudah harus mengenalnya baru benar."
Pada saat itu beberapa bayangan orang tiba-tiba menerobos masuk. Ketika Hui Kiam mengetahui kedatangan orang-orang itu, terperanjatlah ia sehingga mundur empat-lima langkah, sekujur badannya merasa kaku.
Orang yang baru datang itu, bukan lain daripada kekasihnya yang tercantik Tong-hong Hui Bun. Di belakangnya si cantik jelita itu diikuti oleh empat pelayan wanitanya.
Munculnya Tong-hong Hui Bun pada waktu dan tempat seperti ini, sesungguhnya di luar dugaannya.
Pikirannya yang tenang sekian lama tergoncang pula, hampir ia tidak mampu menguasai dirinya sendiri.
Cinta yang sudah begitu mendalam, kenangan indah di masa yang lampau, kembali menggoda hatinya lagi.
Ia tidak mengetahui betapa dalam cintanya kepada si cantik itu, tetapi ia tahu untuk memutuskan percintaan itu tidaklah mungkin dapat dilakukan.
Nasetat yang diterimanya dari banyak orang pada saat bertemu muka dengan perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa itu, seketika telah lenyap seluruhnya.
Usia yang sudah lanjut, asal-usulnya yang sangat misterius, sepak terjangnya yang mendekati kekejaman dan desas-desus mengenai pernilaian martabatnya, semua ini, telah tidak dihiraukan seluruhnya. Cinta, telah menolak segala-galanya, juga menggoyahkan hasratnya yang pernah diputuskannya. Untung, pada saat itu mukanya tidak mudah dikenali, sehingga ia masih mendapat kesempatan untuk berpikir bagaimana harus bertindak.
"Apakah maksud kedatangan Tong hong Kui Bun?"
Perempuan cantik bagaikan bidadari itu, dengan sinar matanya yang tajam menyapu keadaan di situ sejenak. Ketika sinar matanya menatap wajah Hui-Kiam, pemuda itu merasakan kebingungan, hampir tidak bisa bernapas tetapi itu hanya sejenak saja, mata si cantik itu sudah beralih di atas diri Hiat-ie Nio-cu.
Hiat-ie Nio-cu agaknya terpesona, mungkin selama hidupnya ia belum pernah menyaksikan wajah sedemikia cantik.
Tong-hong Hui-Bun membuka mulut, suara yang amat merdu tetapi mengandung hawa nafsu pembunuhan melontar keluar:
"Hiat-ie Nio-cu ganas sekali perbuatanmu."
Hantu wanita itu masih tetap dengan sikapnya yang galak. Dengan suara seram ia membalas bertanya:
"Kau siapa?"
"Kau jangan perdulikan aku siapa, aku hanya ingin bertanya kepadamu, bagaimana kau harus menyelesaikan hutang darah ini?"
"Kalau begitu, kau adalah orang dari Persekutuan Bulan Emas?"
"Boleh dikata begitu!"
Hui Kiam yang berdiri di samping, hatinya berdebar keras, nampaknya perempuan cantik ini erat sekali hubungannya dengan Persekutuan Bulan Emas. Persekutuan itu merupakan musuh bersama orang-orang rimba persilatan, juga merupakan musuh besarnya sendiri. Bagaimana ia harus menghadapi perkembangan selanjutnya?"
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah berkata lagi:
"Apakah kau sengaja hendak bermusuhan dengan Persekutuan Bulan Emas?"
"Tidak perduli kawan atau lawan, aku bertindak selalu menuruti pikiran sendiri."
"Mengapa kau melakukan pembunuhan ini?"
"Kawanan padri yang tidak punya mata ini telah melindungi musuh besarku seorang berbaju lila."
"Apa" Orang Berbaju Lila musuh besarmu?"
"Benar."
"Bagaimana kau tahu kawanan padri itu melindungi Orang Berbaju Lila?"
"Ketika aku mengejar Orang Berbaju Lila, orang itu sudah masuk ke dalam kuil ini, dan kemudian menghilang."
Tong hong Hui Bun setelah berpikir sejenak berkata pula sambil tertawa dingin:
"Kau menjadi algojonya Orang Berbaju Lila."
"Apa artinya?"
"Orang berbaju lila itu dengan Persekutuan Bulan Emas bagaikan api dengan air. Ia sengaja berbuat demikian, hendak meminjam tanganmu, membikin hancur tangan ini. Tetapi bagaimanapun juga, pembunuhan terhadap orang-orang cabang ini kau harus tanggung jawab sepenuhnya."
"Bagaimana caranya bertanggung jawab?"
"Hutang darah bayar darah."
"Hahaha. Suruh aku si nenek membayar hutang darah, ini merupakan satu berita aneh!"
"Bukan berita aneh, kenyataan nanti akan membuktikan perkataanku ini!"
"Aku sesungguhnya tidak tega turun tangan terhadap seorang yang mempunyai kecantikan seperti kau ini...."
"Memaafkan musuh, itu berarti berlaku kejam terhadap diri sendiri."
"Sungguh tajam lidahmu!"
"Dua orang ini apakah muridmu?"
"Apa, bocah ini bukan orang Persekutuan Bulan Emas?" tanya Hiat-ie Nio-cu sambil menunjuk Hui Kiam.
Mata Tong-hong Hui Bun dialihkan ke wajah Hui Kiam. Katanya dengan suara hambar:
"Sahabat dari golongan mana?"
Hati Hui Kiam seperti mau melompat keluar. Sambil mengatupkan gigi, ia menjawab dengan suara yang sudah dirubah:
'"Sukma Tidak Buyar!"
Tong hong Hui Bun mengamat-amati Hui Kiam dengan seksama. Katanya dengan tenang:
"Sahabat adalah Sukma Tidak Buyar yang selalu berobah-robah muka itu?"
"Benar!" jawab Hui Kiam sambil menganggukkan kepala, selanjutnya ia bertanya: "Dalam Persekutuan Bulan Emas nyonya berkedudukan apa?"
"Tentang ini ... biarlah akan merupakan satu teka-teki bagimu untuk selama-lamanya."
"Hutang sahabat dengan Bulan Emas juga tidak sedikit, biarlah malam ini kita perhitungkan sekalian."
---ooo0dw0ooo---
JILID 21 HATI Hui Kiam bergidik, apakah ia sendiri benar-benar harus turun tangan terhadap kekasihnya itu" Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil. Tetapi pendirian perempuan cantik itu sudah nyata, berdiri di pihak Persekutuan Bulan Emas. Dan kedatangannya malam ini, sudah jelas karena mendapat kabar terjadinya pertempuran dalam kuil ini. Jika ia hendak menghindarkan pertempuran dengannya, satu-satunya jalan ialah kabur, tetapi persoalan tusuk konde emas berkepala burung hong itu, harus dibereskan lebih dulu....
Mata Tong-hong Hui Bun beralih ke wajah Siu Bie, kemudian berkata kepadanya:
"Nampaknya kau adalah anak murid Penghuni Loteng Merah?"
"Benar!" jawab Siu Bie sambil mengertak gigi.
Tong-hong Hui Bun beralih pula pandangan matanya ke arah Hiat-ie Nio-cu seraya berkata:
"Kau mengejar Orang Berbaju Lila apakah karena hendak membalas dendam Penghuni Loteng Merah?"
Mata Hiat-ie Nio-cu segera menunjukkan kebuasan, katanya dengan suara gemetar:
"Tidak salah!"
"Ada hubungan apa kau dengan Penghuni Loteng Merah?"
"Tidak perlu kau tahu!"
"Hem, aku juga tidak mempunyai kegembiraan untuk mencampuri urusanmu! Di sini ada seratus jiwa lebih, hanya kau berdua yang bisa dibuat ganti, ini terlalu murah. Hiat-ie Nio-cu dua puluh tahun berselang, namamu sudah menggetarkan dunia Kang-ouw karena perbuatanmu yang terlalu kejam dan ganas. Malam itu kau boleh merasakan sendiri bagaimana caranya diperlakukan sekejam itu seperti apa yang dahulu pernah kau lakukan terhadap orang lain."
Sehabis berkata, ia lalu memberi perintah kepada empat pelayannya:
"Tangkap hidup-hidup!"
"Baik!"
Dengan serentak empat wanita muda maju menjadi dua rombongan, untuk menghadapi Hui Kiam dan Siau Bie.
Ketika empat pelayan wanita itu sudah serempak, suasana menjadi tegang.
Hiat-ie Nio-cu agaknya sudah marah benar-benar. Sambil menggeram hebat dan pentang jari tangannya menubruk Tong-hong Hui Bun.
Begitu dua jago betina itu bertarung, terjadilah suatu pertempuran yang jarang tampak dalam rimba persilatan.
Siu Bie sambil menenteng pedangnya menyambut kedatangan dua pelayan wanita itu. Tiga bilah pedang bagaikan tiga ekor ular
yang baru keluar dari gua, saling tikam dan saling menyambar, hanya sinarnya saja yang tampak berkelebatan.
Hui-Kiam merasa ragu-ragu. Ia sedang memikirkan baik turun tangan atau tidak"
Sebelum dapat meggambil keputusan, dua bilah pedang sudah mengancam dirinya. Ia segera menggeser kakinya bagaikan seekor belut sudah melesat ke lain tempat, menyingkir dari serangan tersebut.
Dua pelayan perempuan itu dikejutkan oleh gerak kaki Hui-Kiam yang luar biasa itu. Mereka segera mengetahui bahwa lawan ini bukanlah lawan sembarangan. Namun demikian, mereka tidak takut, lagi sekali melancarkan serangannya yang lebih hebat.
Dengan tenang Hui-Kiam berkelit kesana kemari. Meski dua pelayan perempuan itu sudah mengeluarkan seluruh kepandaian mereka namun masih belum berhasil menyentuh bajunya.
Siu-Bi yang menghadapi dua lawan, meski sukar merebut kemenangan, tapi juga tidak akan kalah. Untuk sementara keadaan masih berimbang.
Tong-hong Hui Bun dengan Hiat-ie Nio-cu yang merupakan tandingan setimpal, mereka bertempur sengit sekali. Nampaknya kekuatan kedua pihak berimbang, tetapi dari sudut kelincahan, Tong-hong Hui Bun nampak lebih unggul.
Pertempuran berjalan belum beberapa lama, dua pelayan wanita yang melawan Hui Kiam sudah terengah-engah napas mereka. Keringat membasahi sekujur badan, karena lari kesana kemari tanpa berhasil menyentuh Hui Kiam.
Dua pelayan itu tidak menyangka bahwa kepandaian Sukma Tidak Buyar itu ternyata jauh lebih tinggi dari apa yang pernah didengarnya. Lawannya itu sejak mulai pertempuran belum pernah balas menyerang, hanya menggunakan kelincahan gerak kakinya, lari berputar-putaran, seolah-olah tidak pandang ilmu pedang kedua lawannya. Seandainya lawan itu mau turun tangan, mungkin mereka sudah tidak dapat melanjutkan pertempurannya lagi.
Karena Hui Kiarn tidak ingin melukai mereka, tetapi juga tidak mau membuang tempo, maka lalu membentak dengan suara keras.:
"Tahan!"
Seruannya itu berhasil. Dua pelayan wanita itu segera menarik kembali serangannya dan lompat mundur dengan berbareng. Satu di antaranya berkata dengan suara gemetar:
"Sukma Tidak Buyar, apa maksudmu?"
"Aku tidak ingin mengambil jiwa kalian berdua. Kalau kalian tahu diri, lekas mundur ke samping untuk beristirahat!" jawabnya dingin.
Dua pelayan wanita itu meski tahu bukan tandingan lawannya, tetapi di bawah perintah keras Tong-hong Hui-Bun, siapa yang berani mundur"
Satu di antaranya lalu menyahut:
"Apa kau kira ucapanmu ini cukup kuat memerintah kami?"
"Hm! Kalau tidak percaya kalian boleh keluarkan seluruh kepandaian kalian. Kalau kalian sanggup meryambut seranganku sekali saja, aku akan melemparkan pedangku."
Hati kedua perempuan itu tergerak. Dengan kepandaian mereka berdua yang di dalam kalangan jarang menemukan tandingan, apakah benar sampai tidak mampu menyambut serangan lawannya itu satu kali saja" Kesombongan lawannya itu merupakan satu kesempatan baik, maka mereka berdua saling berpandangan sejenak, satu di antaranya lalu berkata:
"Katamu hanya satu kali saja?"
"Benar, mungkin juga sudah cukup setengah saja!"
"Ucapan ini apa benar?"
"Aku tidak perlu main-main!"
"Kalau begitu silahkan tuan bertindak!"
Hui-Kiam perlahan-lahan mengangkat pedangnya. Katanya dengan suara dingin:
"Avvas, aku hendak mulai!"
Setelah itu, pedangnya diputar dan membuat garis setengah lingkaran.
Dua pelayan itu mungkin karena terlalu tegang perasaannya, kedua-duanya sudah siap dengan pedangnya untuk menuntut serangan Hui-Kiam.
Sesaat kemudian, terdengar suara "Trang! Trang!" lalu disusul oleh dua kali jeritan terkejut. Pedang dua pelayan itu terlepas dari tangannya dan terbang sejauh dua tombak. Orangnya juga terpental mundur satu tombak lebih. Kedua-duanya berdiri terpaku dengan paras pucat pasi.
Hui Kiam hanya sejenak saja melirik kedua lawannya itu, kemudian mengalihkan pandangan matanya ke medan pertempuran yang lain.
Tong-hong Hui-bun agaknya dikejutkan oleh kejadian di luar dugaannya itu, hingga gerakannya agak terlambat. Kesempatan itu memberikan kesempatan bagi lawannya, Hiat-ie Nio-cu, merebut posisi yang menguntungkan. Ia terdesak mundur. Setelah menggunakan tiga rupa gerak tipunya yang terampuh, baru berhasil memperbaiki kedudukannya.
Di lain pihak, Siu-Bi yang melawan dua pelayan wanita, masih berjalan seru dalam keadaan berimbarg.
Hui-Kiam menenangkan pikirannya. Ia mulai menganalisa persoalan yang menyangkut tusuk konde emas berkepala burung hong. Dari ucapan Hiat-ie Nio-cu, taksirannya yang semula nampaknya saling bertentangan, agaknya sudah menemukan sedikit titik terang.
Siu Bie adalah murid kepala Penghuni Loteng Merah, dan munculnya kembali Hiat-ie Nio-cu ke dunia Kang-ouw, hanya semata-mata hendak menuntut balas kepada Orang Berbaju Lila atas kematian Penghuni Loteng Merah. Hiat-ie Nio-cu mengaku bahwa tusuk konde emas termaksud adalah senjata tunggalnya. Menurut dugaan yang sudah-sudah, dimisalkan To Liong Kiam Khek
adalah ayahnya sendiri, dan Penghuni Loteng Merah itu adalah kekasih ayahnya, mungkin karena ingin mendapat cinta kasih sepenuhnya dari sang ayah atau sebab lain, sehingga membunuh ibunya, semua ini mungkin saja bisa terjadi.
Menurut keterangan Hiat-ie Nio-cu, tusuk konde emas itu hanya ada dua buah. Sebuah di badannya sendiri, satu langkah diberikan kepada putri sulungnya Pek-leng lie-Kong Yong Hong. Sedangkan tusuk konde yang digunakan oleh Penghuni Loteng Merah untuk membunuh ibunya mungkin didapatkan dari Pek-leng-lie. Tetapi menurut Hiat-ie-Niocu, Pek leng-lie itu agaknya sudah menghilang tidak diketahui jejaknya, maka ketika-Hiat-ie Nio cu mendengar kabar bahwa Orang Tua Tiada Turunan sedang melakukan penyelidikan tentang siapa pemilik tusuk konde emas itu, sehingga ia turun tangan dan memaksa Orang Tua Tiada Turunan untuk memberitahukan dimana adanya tusuk konde itu.
Dalam hal ini, sudah tentu kalau Pek-leng-lie itu yang melakukan kejahatan tersebut, kemungkinan juga ada.
Pendek kata, Hiat-ie Nio-cu dan putrinya tidak terlepas dari sangkaan tersebut. Kini Penghuni Loteng Merah sudah binasa, maka soal menuntut balas itu cukup ditujukan kepada mereka berdua.
Ia teringat pula kepada diri Orang Tua Tiada Turunan. Hian-ie Nio-cu telah menyangkal membawa lari orang tua itu, kalau begitu siapakah yang melarikan dirinya seorang tua yang sudah terluka parah itu"
Ini kembali merupakan suatu teka-teki yang memusingkan kepala.
Suara rintihan perlahan, telah memutuskan lamunan Hui Kiam. Ia segera dapat melihat Tong-hong Hui Bun yang parasnya sudah berobah dan mundur terhuyung-huyung....
Hiat-ie Nio-cu setelah memperdengarkan suara tertawanya yang mengunjukkan kepuasan hatinya, lalu berkata:
"Sayang parasmu yang cantik ini, akan rusak membusuk bersama-sama dengan daging tubuhmu!"
"Tua bangka, kau menggunakan senjata rahasia beracun apa?" demikian Tong-hong Hui Bun bertanya dengan suara bengis.
"Tidak halangan kuberitahukan kepadamu. Senjata itu bernama kuku terbang. Paling lama kau cuma bisa hidup setengah jam lagi, tetapi jika tidak ingin kau menderita lebih lama, sebaiknya kau turun tangan sendiri untuk mengakhiri hidupmu!"
Dua pelayan yang sedang bertempur dengan Siu Bi segera meninggalkan lawannya, bersama-sama dengan dua pelayan lain lompat melesat ke samping Tong-hong Hui Bun untuk memberi pertolongan kepada majikannya.
Hui Kiam sendiri hampir saja binasa oleh senjata beracun istimewa itu, ketika menyaksikan kekasihnya terluka oleh senjata itu, merasa sangat pilu, juga merasa gemas......
Hiat-ie Nio-cu maju lagi satu langkah.....
Empat pelayan wanita itu dengan serentak mengambil tindakan untuk melindungi Tong-hong Hui Bun.
Hiat-ie Nio-cu ayun tangan kirinya, tangan kanannya menyambar. Tiga pelayan perempuan itu segera terpental mundur, dan yang satu lagi tersambar mukanya.
Pelayan yang malang itu menjerit ngeri, mukanya rusak karena tersambar oleh jari tangan Hiat-ie Nio-cu yang berkuku runcing itu. Ia bergelimpangan di tanah dalam keadaannya sangat mengerikan.
Hampir bersamaan pada waktu pelayan itu tersambar, Tong-hong Hui Bun menggunakan seluruh sisa kekuatan tenaganya melancarkan satu serangan.
Hiat-ie Nio-cu terpental mundur empat lima langkah, sedang Tong-hong Hui Bun setelah melancarkan serangannya itu, badannya sudah sempoyongan hendak roboh.
Keadaan serupa itu sudah pernah dialami sendiri oleh Hui Kiam, karena menggunakan kekuatan tenaga dalam, sehingga racun di dalam tubuhnya menjalar semakin kuat.
Hiat-ie Nio-cu tertawa terbahak-bahak. Ia maju lagi sambil mementang jari tangannya, hendak menyambar Tong-hong Hui Bun.....
"Kau cari mampus!"
Itu adalah suara bentakan yang keluar dari mulut Hui Kiam. Secepat kilat ia telah bertindak, pedangnya menyerang Hiat ie Nio-cu.
Hiat-ie Nio-cu dapat merasakan bahwa serangan Hui Kiam itu luar biasa hbebatnya. Dengan tanpa banyak pikir, ia segera melompat mundur. Meskipun gerakannya itu sudah cukup gesit, tetapi pedang Hui Kiam bergerak lebih cepat.
Di antara suara seruan terkejut, Hiat-ie Nio-cu berdiri di tempat sejauh delapan kaki. Baju berdarahnya robek sebagian, darah merah menetes keluar. Hantu wanita yang biasa menggunakan darah musuhnya untuk menandai bajunya, sekarang baju itu sudah menjadi merah oleh darahnya sendiri. Kalau semula baju itu masih putih dengan bintik-bintik warna merah, tetapi sekarang sudah menjadi merah seluruhnya.
Hui Kiam berpaling kepada Tong-hong Hui Bun dan bertanya kepadanya:
"Bagaimana lukamu?"
Paras Tong-hong Hui Bun pucat pasi, keringat dingin membasahi badannya. Dengan tidak bertenaga dia memandang Hui Kiam sejenak, lalu berkata:
"Kau....mengapa sudi menolong aku?"
Hui Kiam sedih sekali. Ia ingin membuka kedoknya dan memeluk Tong-hong Hui Bun....
Tong-hong Hui Bun sudah berkata lagi:
"Sukma Tidak Buyar, aku.... sebetulnya hendak membunuh kau."
Hui Kiam sebisa-bisa menindas perasaannya sendiri, supaya suaranya tidak gemetar. Dengan tenang ia menjawab:
"Aku tahu."
"Kalau begitu kau masih hendak menolong aku?"
"Sebab aku hendak membunuhnya."
Jawaban itu tidak tepat, tetapi tidak disadari olehnya.
Tong-hong Hui Bun mengunjukkan senyumnya. Ia berkata:
"Aku ingat budimu ini!"
"Tidak perlu!"
"Kekuatanmu sesungguhnya di luar dugaan."
"Kau terlalu memuji!"'
"Aku harap kau selanjutnya tidak bermusuhan lagi dengan Bulan Emas!"
"Ini barangkali tidak mungkin!"
"Mengingat akan bantuanmu ini, aku beri sedikit nasehat kepadamu. Dalam rimba persilatan dewasa ini tiada orang yang sanggup melawan kekuatan pemimpin Bulan Emas. Bagaimana akibatnya orang yang berani bermusuhan dengan persekutuan itu, kau dapat membayangkan sendiri."
"Terima kasih atas nasehatmu. Tetapi seorang yang ingin menguasai dunia dengan tangan berlumuran darah, bagaimana akhirnya juga dapat kau bayangkan sendiri. Sejak dahulu kala kejahatan tidak bisa memenangkan kebenaran, keadilan dan kebenaran tidak bisa musnah untuk selama-lamanya."
Tong-hong Hui Bun agaknya sudah tidak sanggup menahan penderitaannya lagi. Badannya gemetaran, sehingga perlu segera dibimbing oleh pelayan-pelayannya.
Pada saat itu, Hui Kiam baru mengetahui bahwa Hiat-ie Nio-cu dan Siu Bi, sudah menggunakan kesempatan selagi ia bicara dengan Tong-hong Hui Bun diam diam sudah berlalu!
Dengan berlalunya hantu wanita itu, agaknya sulit untuk menemukan lagi, dengan demikian maka teka teki meliputi tusuk konde emas itu, akan diperpanjang waktunya lagi.
Ia juga menyesal, karena seluruh perhatiannya tadi ditujukan kepada Tong-hong Hui Bun, sehingga agak lengah terhadap dirinya hantu wanita itu.
Tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya sendiri, maka segera berkata dengan hati cemas:
"Dalam waktu setengah jam, apa kau dapat mencari sesuatu barang?"
Tong-hong Hui Bun coba kuatkan dirinya. Ia bertanya dengan perasaan heran:
"Barang apa?"
"Obat pemunah racun dedaunan!"
"Kau maksudkan obat pemunah racun dedaunan rumput?"
"Benar!"
"Untuk apa?"
"Racun kuku terbang ini, siapapun tidak sanggup bertahan Iebih dari setengah jam, tetapi obat itu dapat menyembuhkan racun yang amat berbisa ini!"
Hingga saat itu, Hui-Kiam baru menyadari gawatnya kejadian ini. Apabila dalam waktu setengah jam tidak mendapatkan obat pemunahnya, Tong-hong Hui-bun pasti akan binasa.
Berpikir demikian, hatinya merasa sangat gelisah. Apabila benar ia akan mati karena racun itu, apakah ia sendiri masih ada keberanian untuk hidup terus!
"Kataku, dalam waktu setengah jam, setengah jam!"
Tong-hong Hui-bun menunjukkan sikap agak bingung. Katanya dengan suara perlahan:
"Boleh!"
"Itu... bagus sekali!"
Dahulu ketika kedua mata Hui-Kiam buta karena racun si Iblis Singa, Tong-hong Hui Bun pernah menyatakan keyakinannya bahwa ia sanggup menyembuhkan matanya, maka dia mengetahui bahwa Tong-hong Hui Bun pasti sanggup mendapatkan obat pemunah itu. Apa yang dikhawatirkan hanya soal waktu, tetapi setelah ia memberi keterangan, kini boleh merasa lega.
Tetapi apa yang ditunjukkan oleh Hui Kiam itu, sangat membingungkan Tong-hong Hui Bun dan para pelayannya, sebab belum lama berselang Hui Bun, merupakan orang yang harus disingkirkan juga, sudah tentu Tong-hong Hui Bun tidak menduga sama sekali bahwa orang yang kini berada di hadapan matanya itu adalah kekasihnya sendiri, si Penggali Makam Hui Kiam.
Tong-hong Hui Bun segera pamitan dengan Hui Kiam. Dia berlalu di bawah bimbingan para pelayannya.
Pelayan wanita yang tadi kena tercakar oleh jari kuku Hiat-ie Nio-cu, entah sekejap sudah putus jiwanya.
Hui Kiam dengan hati pilu mengawasi berlalunya sang kekasih itu. Ia ingin membuka kedoknya sendiri, untuk merawat kekasihnya itu tetapi ia mengendalikan perasaannya. Ia ingat masih banyak urusan yang belum diselesaikan, terutama Cui-Wan Tin, tadi di dalam makam pedang itu, ia merasa, ia harus berlaku hati-hati, jangan sampai menimbulkan rasa dengki Tong-hong Hui-Bun, karena kalau hal itu itu terjadi, akibatnya hebat sekali.
Beberapa lama ia berdiri terpaku, pikirannya sangat kalut.
Akhirnya ia dapat juga mengambil keputusan, lain kali apabila bertemu lagi dengan Tong-hong Hui-Bun, harus minta keterangan kepadanya mengenai hubungannya dengan Persekutuan Bulan Emas dan asal-usulnya yang sebenarnya.
Jikalau kedua belah pihak berdiri berhadapan sebagai musuh, akibatnya sudah dibayangkan.
Ia juga teringat akan diri Sukma Tidak Buyar yang juga mengejar Hiat-ie Nio-cu. Karena hantu wanita itu sudah diketemukan olehnya, sudah tentu Sukma Tidak Buyar tidak mendapatkan apa-apa. Keduanya sudah berjanji akan berjumpa di bawah bukit Bu-ling-san untuk merencanakan usahanya mencegah gerakan Im-hong-tui, yang dipimpin oleh Bi-mo, salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik. Apabila gerakan iblis itu berhasil, lebih sulit lagi ditumpasnya.
Kalau hanya dengan satu dua orang saja tidak mungkin dapat mencegah sepak terjang kawanan penjahat yang sudah mulai menjalar pengaruhnya ke seluruh negri itu.
Apabila dilihart dari tindak tanduk Sukma Tidak Buyar, agaknya di belakang layar sudah ada orang kuat golongan benar yang mengatur rencana untuk membasmi kawanan penjahat itu. Kalau itu benar, sesungguhnya merupakan suatu perbuatan yang patut dihargakan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking.
Hui Kiam terkejut, sambil berseru: "Celaka!" segera lompat melesat keluar dari dalam kuil.
Belum lama Tong-hong Hui Bun bersama pelayannya berlalu, dan Hiat-ie Nio-cu yang sudah menyingkir lebih dulu, ada kemungkinan besar, menyembunyikan diri di dekat tempat itu. Suara jeritan itu sudah terang keluar dari mulut pelayan-pelayan Tong-hong Hui-Bun. Hal itu sudah tentu mencemaskan Hui Kiam.
Begitu tiba di luar kuil, suatu pemandangan yang mengerikan terbentang di adapan matanya.
Dua di antara tiga pelayan Tong-hong Hui Bun sudah mati dalam keadaan mandi darah, yang lainnya berdiri terpaku di tempat sejauh dua tombak sedangkan Tong-hong Hui-Bun rambutnya sedang
dipegang erat-erat oleh si Orang Berbaju Lila, ujung pedang mengancam dadanya.
Hui Kiam seketika itu dadanya dirasakan hampir meledak darahnya naik seketika dengan tanpa ayal ia membentak dengan suara keras:
"Bebaskanlah dia!"
Orang Berbaju Lila itu mengangkat kepala. Matanya memancarkan sinar aneh yang tidak dapat dimengerti oleh Hui-Kiam. Lama baru berkata:
"Apa kau kira mungkin akan kubebaskan?"
Hui Kiam sungguh tidak menduga bahwa orang yang menyerang Tong-hong Hui Bun adalah si Orang Berbaju Lila, bukan Hiat-le Nio-cu seperti yang diduganya semula.
Otang Berbaju Lila itu pernah dipaksa terjun ke dalam jurang oleh Tong-hong Hui Bun dan kini mendapat kesempatan menuntut balas, sudah tentu tidak gampang-gampang melepaskannya.
Orang Berbaju Lila itu merupakan musuh besar perguruannya. Hampir setiap saat Hui Kiam memikirkan hendak menuntut balas dendam.
"Lepaskan!"
"Tidak bisa!"
"Kalau kau berani ganggu seujung rambutnya saja, aku akan cincang tubuhmu!"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar bagaimana kau tokh akan membunuh aku, betul tidak" Tidak perduli aku membunuhnya atau tidak, tokh tidak akan berobah hasratmu."
Hui Kiam bergidik, apakah Orang Berbaju Lila itu sudah mengetahui siapa dirinya yang sebetulnya" Jikalau tidak, bagaimana ia berani berkata demikian" Untuk membebaskan Tong-hong Hui Bun dari tangannya, nampaknya tidak mudah lagi.
Waktu itu cuaca sudah mulai remang-remang, agaknya sudah mendekati pagi hari.
Orang berbaju lila itu berkata kepada Tong-hong Hui Bun:
"Tong-hong Hui Bun, jikalau kau ingin hidup, kau harus terima baik syaratku."
Tong-hong Hui Bun yang sudah susah bernapas, berkata dengan suara sangat perlahan sekali:
"Syarat apa?"
"Kau harus bersumpah untuk memutuskan hubunganmu dengan Hui Kiam."
Tergerak hati Hui Kiam, pikirnya: Orang berbaju lila itu belum tahu wajahku yang sebenarnya, apa maksudnya memajukan syarat itu"
Karena rasa dengki" Ataukah belum dapat melupakan Tong-hong Hui Bun"
Mendengar perkataan itu, Tong-hong Hui Bun menjawab dengan suara bengis:
"Tidak bisa, aku cinta kepadanya. Ia merupakan satu-satunya orang dalam seumur hidupku yang kucinta dengan setulus hati, siapapun tidak dapat...."
Hati Hui Kiam tergetar. Tong-hong Hui Bun yang sedang menghadapi ancaman bahaya maut tetapi masih tetap setia kepada cintanya, apakah kecintaan itu dapat diabaikan begitu saja"
Mata Orang Berbaju Lila nampak beringas. Ia berkata dengan suara keras:
"Perempuan hina, apa kau ingin mencari mati?"
"Kau......bunuhlah! Dia nanti juga membunuhmu sebagai pembalasan atas perbuatanmu ini."
"Perempuan hina, tahukah kau sedang berbuat apa?"
"Aku tidak perduli."
"Kalau begitu aku terpaksa harus membunuh kau."
"Kau bisa menyesal!"
"Setidak-tidaknya lebih baik dari pada membiarkan kau hidup melakukan perbuatan durhaka!"
Darah Hui-Kiam dirasakan mendidih. Ia hampir saja menekan hancur gagang pedang yang dipegangnya. Dalam keadaan demikian ia benar-benar tidak berdaya karena ia khawatir akan mencelakakan diri Tong-hong Hui-bun. Ia tidak berani bertindak tetapi ia juga tidak dapat melihat kekasihnya binasa di tangan orang lain ".
Dalam keadaan tidak berdaya itu, ia telah mengambil keputusan untung-untungan.
Tong-hong Hui-bun sudah terkena racun kuku terbang Hiat-ie Nio-cu yang sangat berbisa perlu segera ditolong pada waktunya, apabila diperpanjang lagi waktunya, sekalipun orang berbaju lila itu tidak bertindak, ia juga tidak bisa hidup lagi.
Maka, dengan diam-diam ia mengerahkan semua kekuatan tenaga dalamnya, dan dipusatkan ke jari tangannya sambil menantikan kesempatan baik.....
Orang berbaju lila itu sekonyong-konyong menghela napas panjang, katanya:
"Aku minta, kau jangan berbuat demikian!"
"Kau suruh aku bersumpah?"
"Benar."
"Lepaskan aku dulu!"
Orang berbaju lila itu entah disengaja atau tidak, matanya melirik Hui Kiam sejenak lalu berkata:
"Tidak bisa!"
"Kalau tidak bisa sudah saja. Seumur hidup aku belum pernah minta pertolongan orang, mengapa harus minta belas kasihan?"
"Sekalipun kau mati juga masih belum cukup untuk membayar hutang dosamu. Akhiri sendiri jiwamu yang penuh dosa ini!"
Tepat pada saat itu, Hui Kiam melancarkan serangannya dengan jari tangan.
Tindakannya itu boleh dikata sangat berbahaya. Dengan berkepandaian seperti orang berbaju lila itu, kalau ia mau dapat saja mengambil jiwa Tong-hong Hui-bun, di mana ia merasa dirinya sendiri terancam. Sekalipun serangan Hui Kiam itu tepat, tiada mungkin lebih cepat daripada gerakan ujung pedang Orang Berbaju Lila.
Akan tetapi, apa yang terjadi selanjutnya, ternyata di luar dugaan.
Pada saat serangan jari tangan Hui Kiam meluncur keluar, satu-satunya pelayan Tong-hong Hui-Bun yang masih hidup tiba-tiba mengeluarkan suara jeritan melengking. Suara ini bukan saja sudah mengalihkan perhatian Orang Berbaju Lila tetapi juga menutupi suara hembusan angin yang keluar dari jari tangan itu.
"Ow...." demikian terdengar suara yang keluar dari mulut Orang Berbaju Lila yang segera mundur terhuyung-huyung. Bersamaan dengan itu tubuh Tong-hong Hui-Bun, jatuh rubuh di tanah.
Hui-Kiam dengan cepat segera menubruk sambil berseru:
"Serahkan jiwamu!"
Pedangnya segera menerjang dengan menggunakan gerak tipu melempar pecut memutuskan aliran.
Orang Berbaju Lila menyambut serangan itu dengan pedangnya.
Kedua senjata saling beradu, percikan api memancar keluar, bersamaan dengan itu mata Hui Kiam merasa seperti tertutup, dua jari tangan sudah mengancam di depan matanya.
Bukan kepalang terkejutnya, dengan cepat ia menyingkir menggunakan gerak kakinya yang luar biasa itu.
Sesaat itu ia melihat kelebatnya bayangan berbaju lila, yang segera menghilang dari depan matanya.
Tiba-tiba ia teringat gerak tipu serangan yang digunakan oleh orang berbaju lila itu, adalah serangan yang khusus untuk mengorek biji mata musuh ciptaan Tee-hong, yang telah dicurinya.
Dengan menggunakan waktu beberapa puluh tahun Tee-hong baru berhasil menciptakan gerak tipu serangannya itu" maksudnya ingin mengorek biji mata Thian Hong untuk menunrut balas atas perbuatan yang kejam itu. Ia sebetulnya sudah mendapat petunjuk dari Tee-hong bagaimana harus memecahkan serangan tersebut, akan tetapi dalam keadaan tergesa-gesa ia sudah lupa menggunakan.
Ketika ia ingat itu, ternyata orang berbaju lila itu sudah merat, ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengejarnya.
Karena rimba itu sangat lebat, cuaca juga belum terang, sehingga dalam waktu sekejap mata saja sudah kehilangan jejak si Orang Berbaju Lila.
Ia tahu bahwa ia tidak akan berhasil mengejarnya, sementara itu hatinya memikirkan keselamatan diri Tong-hong Hui Bun. Terpaksa ia balik kembali dengan hati penasaran. Tetapi ketika ia balik di tempatnya, ia berdiri dengan mulut ternganga, karena Tong-hong Hui Bun dan pelayannya sudah tidak tampak bayangannya.
Ia berdiri di situ seperti patung, otaknya bekerja memikirkan kembali setiap patah kata si Orang Berbaju Lila yang diucapkan kepada Tong-hong-Hui Bun. Ia coba menganalisa, ia merasa di antara Orang Berbaju Lila dengan Tong-hong Hui Bun, agaknya pernah terjalin suatu perhubungan, rasanya tidak begitu sederhana seperti yang dibantah oleh Tong-hong Hui Bun tempo hari.
Tetapi, ia segera menghibur dirinya sendiri. Perlu apa menyelidiki asal-usul dirinya yang lalu, asal satu sama lain sudah saling menyinta dengan tulus hati sudah cukup. Sekarang, tetapi sekarang dan yang lalu tetap sudah lalu.
Hanya sayang, sekali lagi musuh besarnya itu dapat lolos lagi. Inilah yang membuat hatinya tetap merasa penasaran.
Pada saat itu, sinar matahari pagi sudah mulai menyinari seluruh jagat, suara burung bersahutan di dalam rimba, mengurangi keseraman yang diciptakan oleh penumpahan darah besar-besaran tadi malam.
Sambil menarik napas dalam-dalam Hui Kiam menyimpan pedangnya, lalu meninggalkan tempat tersebut.
Tiba-tiba satu suara yang dikenal memanggilnya:
"Siaohiap, tunggu sebentar!"
Hui Kiam menghentikan kakinya. Ia merasa heran bahwa ia sendiri sudah merobah mukanya mengapa ada orang yang menyebut dirinya siaohiap" Ketika berpaling, bukan kepalang terkejutnya, karena orang yang memanggilnya itu ternyata justru Orang Tiada Turunan yang sedang dicarinya.
Orang tua itu nampaknya sudah pulih kesehatannya, maka ia segera bertanya dengan perasaan heran:
"Cianpwee, kau...."
Orang Tua Tiada Turunan itu batuk-batuk sebentar baru berkata:
"Kau barangkali merasa heran mengapa aku bisa muncul di sini?"
"Ya."
"Orang yang tadi malam memancing keluar kau berdua dengan menyaru suara tertawanya Hiat-ie Nio cu kemudian membawa lari keluar aku dan menyembuhkan luka-lukaku, adalah orang yang mengaku bernama Orang Menebus Dosa."
"Orang Menebus Dosa?"
"Benar, ia sendiri yang mengaku begitu. Aku sebetulnya juga hanya dengar suaranya tetapi tidak kelihatan orangnya."
"Dia... mengapa harus berlaku demikian misterius?"
"Aku sendiri juga tidak mengerti."
Kembali Hui Kiam harus putar otak. Perbuatan orang yang mengaku sebagai Orang Yang Menebus Dosa itu, sudah jelas memang sengaja menyingkiri dirinya, tetapi mengapa" Dari segala tindak-tanduknya dapat ditarik kesimpulan, bahwa Orang Menebus Dosa itu bukan saja mengetahui jelas asal-usul Hui Kiam, bahkan agaknya tidak jauh terpisah dari dirinya. Hal ini sudah pasti bukan tanpa sebab, tetapi apakah sebabnya"
Orang Tua Tiada Turunan itu berkata pula:
"Orang Menebus Dosa mengatakan bahwa ia ingin agar aku menyampaikan kepadamu...."
"Perkataan apa?"
"Ia minta kau untuk sementara jangan menuntut balas kepada Orang Berbaju Lila."
"Ow! Ini apa sebabnya?"
"Sebab pada dewasa ini tujuan satu sama lain adalah sama."
"Bertujuan sama?"
"Ya, terhadap bencana yang dihadapi dunia rimba persilatan pada dewasa ini, dia merupakan salah satu kekuatan yang tidak boleh dibiarkan begitu saja."
"Orang Berbaju Lila itu berhati kejam dan ganas perbuatannya, kelakuannya rendah, ia tidak pantas turut berbicara dalam soal membasmi kejahatan."
"Sekalipun seorang jagal ada kalanya juga bisa meletakkan goloknya."
"Ucapan cianpwee itu apakah dikarenakan merasa besar hutang budi terhadap Orang Menebus Dosa?"
"Siaohiap, kau sesungguhnya terlalu memandang rendah diriku si tua bangka ini. Aku hanya menyampaikan ucapan Orang Menebus Dosa itu saja."
"Boanpwee minta maaf atas kesalahan omong boanpwee tadi."
"Ini tidak perlu. Sekarang kita ambil cabang Persekutuan Bulan Emas di tempat ini saja. Orang Berbaju Lila itu menggunakan siasat meminjam tangan Hiat-ie Nio-cu menghancurkan markas dan semua orangnya yang berada di cabang itu. Perbuatannya itu di satu pihak menyingkirkan sebagian pengaruh dan kekuatan lawan, di lain pihak, menambah satu lawan kuat bagi Persekutuan Bulan Emas."
"Tetapi perbuatan semacam itu, tidak akan dilakukan oleh orang golongan benar."
"Siaohiap, dengan terus terang pikiranmu itu karena sudah terpengaruh oleh perasaan sentimen!"
"Apakah Boanpwee harus melepaskan musuh perguruan Boanpwe itu"
"Bukan, itu adalah soal lain. Orang Berbaju Lila dahulu telah membunuh tiga supekmu, sekalipun perbuatan itu timbul karena pikiran serakah tetapi biar bagaimana pertempuran itu dilakukan dengan mengandalkan kekuatan dan kepandaian masing-masing. Sementara mengenai suhumu dan supekmu yang terbinasa karena senjata jarum melekat tulang, tentang ini ia telah bersumpah tidak pernah melakukan. Teranglah sudah, di waktu pertempuran sedang berlangsung, diam-diam ada orang lain yang melakukan perbuatan busuk itu. Siapakah orang yang melakukan perbuatan itu, katanya ia sudah mempunyai perkiraan yang mungkin tidak akan keliru...."
"Dalam anggapannya, siapakah orangnya menggunakan senjata jarum melekat tulang itu"
"Sebelum tiba waktunya, ia tidak mau menerangkan."
"Tapi hutang darah ini?"
"Katanya kemudian hari ini akan menyelesaikannya sendiri!"
Hui-Kiam diam-diam berpikir. le-It Hoan pernah menyampaikan pesan suhunya, supaya berserikat dengan Orang Berbaju Lila untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas. Orang Berbaju Lila itu sendiri juga pernah minta diberi waktu, dan sekarang Orang Tua Tiada Turunan itu kembali membawa usul Orang Menebus Dosa.
Keinginan ketiga pihak ini serupa, apakah di antara mereka sudah ada persetujuan antara satu sama lain. Ataukah pikiran mereka kebetulan ada sama"
"Bagaimana pikiran cianpwee sendiri?"
"Aku percaya perkataan Orang Menebus Dosa itu tidak bohong. Dewasa ini dunia rimba persilatan memang sudah mendekati jurang kemusnahan. Kita harus bersatu pikiran dan tenaga untuk menolong bahaya. Ini memang suatu pikiran yang tepat, maka aku mengharap supaya siaohiap ingat kepentingan umum lebih dahulu baru mengurusi soal prihadi...."
"Boarpwee bukan dewa juga merupakan manusia biasa. Boanpwee khawatir tidak dapat mengendalikan perasaan sendiri!"
"Siaohiap, sahabat-sahabat dunia Kang-ouw yang sepaham pada dewasa ini, semua memandang kau sebagai tiang penegak kebenaran, mereka mengharap kau dapat mencegah bencana yang mengancam ini"."
"Ini sesungguhnya merupakan penilaian yang terlalu tinggi bagi boanpwee!"
"Tidak, dewasa ini meski siaohiap agak kurang dalam pengalaman, tetapi untuk kepandaian ilmu silat, boleh dikata merupakan orang nomor satu dalam barisan golongan kebenaran."
"Boanpwee bersedia menyumbangkan tenaga tetapi tidak berani menerima pujian ini."
"Ini tidak penting, tidak perlu dihiraukan terlalu mendalam."
"Menurut keterangan cianpwe ini, dewasa ini tentunya sudah ada orang yang diam-diam sudah menyusun rencana untuk menghadapi Persekutuan Bulan Emas?"
"Itu memang benar."
"Mengapa Orang Menebus Dosa tidak mau menampakkan diri?"
"Tentang dia" dia berkata masih mempunyai kesulitan yang tidak bisa dijelaskan!"
"Orang Berbaju Lila itu karena sejilid kitab Thian-khie Po-kip, sudah tidak segan mencelakakan diri suhu dan supek, menteror perkumpulan Sam-goan-pang, membunuh jago kota Go-see membisakan suami-istri Liang gie Sie-seng... dosanya sudah bertumpuk-tumpuk. Orang semacam ini juga berani turut berbicara soal pembasmian kejahatan, bukankah itu merupakan suatu sindiran bagi kaum golongan kebenaran?"
"Ucapan siaohiap ini memang benar. Tetapi aku tadi sudah berkata, seorang jagal ada kalanya juga bisa meletakkan goloknya."
Hui Kiam berpikir sejenak, baru berkata:
"Boanpwee terima baik permintaan cianpwe untuk sementara akan menahan sabar."
"Itu bagus, aku si orang tua, di sini atas nama kawan-kawan persilatan, mengucapkan terima kasih banyak-banyak."
"Ucapan Cian-pwee ini terlalu berat bagi boan-pwee."
"Bagaimana dengan peristiwa yang ada hubungannya dengan tusuk konde emas berkepala burung Hong.......?"
"Aaaaaaa!" demikian Hui Kiam berseru, kemudian mengangguk dalam-dalam dan berkata dengan sikap menghormat:
"Oleh karena urusan ini sehingga Cianpwe dianiaya oleh hantu wanita itu, boanpwee sesungguhnya merasa sangat tidak enak. Budi Cianpwee ini boanpwee hanya dapat mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan akan ingat selama-lamanya."
"Itu adat istiadat yang sudah usang, sudah tidak usah saja! Kau berkata sudah bertempur dengan Hiat-ie Nio-cu, apakah hantu wanita itu tidak mengatakan soal ini?"
"Ia mengaku bahwa tusuk konde emas berkepala burung hong itu senjata tunggalnya. Semuanva ada dua buah, sebuah ada di badannya sendiri, sebuah lagi disimpan oleh putri sulungnya Pek-leng-lie Khong Yang Hong. Tusuk konde yang sekarang berada di tangan boanpwe ini, tidak usah ditanya sudah tentu adalah tusuk konde yang berada di tangan Pek-leng-lie itu. Jadi orang yang
membunuh ibu, sudah tentu adalah Pek-leng-lie. Menurut tindakan hantu wanita pada dewasa ini, kita boleh menarik kesimpulan bahwa Pek-leng-lie itu tentunya sudah menghilang, maka hantu wanita itu baru memaksa cianpwee untuk memberi keterangan di mana adanya tusuk konde itu...."
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak, lalu berkata:
"Pek-leng-lie Khong Yang Hong...."
"Apakah cianpwee kenal dengan perempuan itu?"
"Nanti kupikir-pikir dulu...."
Setelah diam agak lama tiba-tiba ia menepok tangan dan berkata pula: "Betul, ada perempuan semacam itu, sekarang aku sudah ingat. Tetapi, ini adalah kejadian yang sudah lama sekali."
"Coba cianpwee ceritakan."
"Pada lima belas tahun berselang, ada seorang gadis berusia kira-kira duapuluh tahun, datang berkunjung ke gereja Siao-lim-sie, dengan secara paksa minta pil "Tay-goan-tan". Dalam peristiwa itu pihak Siao-lim-sie banyak yang luka. Menurut keterangan murid-murid Siao lim-sie, gadis itu adalah Pek-leng-lie Khong Yang Hong."
"Selanjutnya?"
"Sepuluh sesepuh dan delapan anggota pelindung hukum, telah membentuk barisan Lo-han. Dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari tiga malam lamanya, gadis itu akhirnya tertangkap.
Namun demikian, karena Siao-lim-sie mengerahkan tenaga sepuluh sesepuh dan delapan anggota pelindung hukum hanya untuk menghadapi seorang gadis yang masih muda, maka hal itu pada kala itu merupakan suatu kejadian besar dalam sejarah partay persilatan itu. Bagi Siao-lim-sie sendiri, dan juga merupakan suatu kejadian yang belum pernah dialami."
"Bagaimana setelah Pek-leng-lie tertangkap?"
"Selanjutnya tidak ada kabar lagi tentang diri gadis itu."
"Menurut dugaan boanpwee, setelah Pek-leng-lie tertangkap, kalau tidak dibunuh mati, tentunya dijebloskan dalam tahanan."
"Emmm! Itu mungkin! Hanya, ibumu meninggal pada sepuluh tahun berselang."
"Boanpwee ingin mengunjungi gereja Siao-lim-sie, mungkin bisa dapat sedikit keterangan."
"Kalau Pek-leng-lie sudah dibinasakan pada lima belas tahun berselang, sudah tentu dia tidak dapat melakukan pembunuhan itu setelah beberapa tahun kemudian. Jikalau ditahan mungkin masih dalam tahanan atau sudah bebas."
"Cianpwee benar, semua ini asal sudah berada di Siao-lim-sie, dengan sendirinya akan menjadi terang."
"Apakah kau hendak berangkat sekarang juga?"
"Tidak, boanpwee masih hendak menjumpai Ie It Hoan di bawah gunung Bu-leng-san untuk memenuhi janjinya."
"Ada urusan apa?"
"Empat dari Delapan Iblis negara Thian Tik dahulu, iblis Singa, iblis Gajah, iblis Pie, dan Iblis Siu, kini sudah menjadi anggota Persekutuan Bulan Emas dan diangkat sebagai anggata badan pelindung hukum tertinggi."
"Tentang ini aku sudah tahu!"
"Satu di antara mereka, ialah iblis Pie, kini di gunung Bu-leng-san dengan semacam ilmu hitam melatih serombongan kaum wanita yang dinamakan rombongan Im-hong-tui...."
"Im-hong-tui" Nama ini agak aneh!"
"Kabarnya, barisan Im-hong-tui ini terdiri dari rombongan kaum wanita yang mempunyai bakat sangat bagus. Dengan menggunakan pengaruhnya obat, mereka kehilangan sifat aslinya kemudian dididik ilmu peperangan. Dengan kecantikan paras mereka memancing orang-orang kuat rimba persilatan lalu diisap tenaga murni kaum lelaki yang terjatuh ke dalam tangan mereka
supaya lekas berhasil, setelah itu dididik ilmu hitam. Jika semua latihan itu berhasil, entah bagaimana akibatnya nanti?"
"Ada kejadian demikian, mari kuturut!"
"Ada cianpwee jalan sama-sama sungguh baik!"
''Beritamu ini apakah kau dapatkan dari Ie It-Hoan si setan cilik itu?"
"Ya."
"Emmmm! Kalau begitu bukan bohong. Mari kita berangkat!"
Hari itu, baru saja lewat tengah hari, kota Lam-shia yang terletak kira-kira seratus pal dari daerah gunung Bu-leng-san, kedatangan tetamu seorang tua berambut putih dan seorang sastrawan miskin setengah tua. Mereka berdua adalah Orang Tua Tiada Turunan dan Hui Kiam yang sudah berganti rupa.
Mereka sebetulnya ingin melanjutkan perjalanannya ke desa Ma kee-cip, tempat yang dijanjikan sebagai tempat untuk pertemuan dengan Ie It Hoan, si Sukma Tidak Buyar. Sebab sepanjang yang didengarnya ramai orang bercerita tentang diadakan 'lui-tay' atau panggung pertandingan ilmu silat di kota Lam-shia, maka mereka menuju ke kota tersebut untuk menonton keramaian itu.
Selagi orang-orang dan partay rimba persilatan sedang terancam oleh Persekutuan Bulan Emas yang hendak menguasai rimba persilatan, ternyata masih ada orang yang mempunyai kegembiraan mengadakan permainan demikian. Bukan mustahil kalau dalam hal ini mengandung maksud tertentu.
Dalam kota ramai orang mondar-mandir, sebagian besar orang-orang Kang-ouw yang jalan mendongakkan kepala dan rnelembungkan dada.
Hui Kiam dan Orang Tiada Turunan karena hanya seorang sastrawan miskin dan seorang tua lanjut usianya, sedikitpun tidak menarik perhatian orang.
Mereka masuk ke sebuah rumah makan untuk mengisi perutnya. Para tamu dalam rumah makan itu sedang ramai membicarakan
urusan pertandingan di atas panggung lui-tay itu. Kiranya pertandingan itu sudah memasuki hari ketiga. Hui Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan sebetulnya ingin dengarkan pembicaraan mereka agar mengerti keadaannya, tetapi karena terlalu ramai, hanya sedikit saja yang dapat didengar dari mereka.
Kebetulan seorang pelayan yang membawa makanan untuknya memajukan pertanyaan.
"Tuan-tuan berdua apakah baru tiba di sini?"
"Ya, baru saja sampai!" jawabnya Hui Kiam sambil menganggukkan kepala.
"Ingin menonton pertandingan Lui-tay?"
"Hm, hm!"
"Kedatangan tuan-tuan sangat kebetulan, hari ini boleh menonton dengan puas. Dengan sejujurnya aku sejak dilahirkan di dalam dunia belum pernah"."
"Puas, katamu" Apa maksudmu?"
"Oh! Tuan-tuan kiranya masih belum tahu hari ini taycu (pemimpin atau jagoannya) akan memberikan hadiah kepada pemenang...."
"Apakah yang diherankan?"
Pelayan itu tertawa menyeringai lalu berkata:
"Taysu sejak dimulainya pertandingan itu, hanya sekali menampakkan muka, selanjutnya tidak kelihatan di panggung lagi. Hari ini kabarnya hendak turun tangan sendiri untuk memberikan hadiah kepada yang menang, soal ini menggemparkan seluruh penduduk kota. Tuan-tuan, taycu itu ada aku pikir tentunya entah bidadari siapa yang menjelma di dalam dunia. Kalau manusia biasa, tentu tidak mempunyai kecantikan demikian. Siapa yang melihatnya saja sejenak, pasti akan terbang semangatnya.
"Lho, Taycu seorang wanita?"
"Betul. Ha, ha, ha, bidadari yang turun ke dalam dunia itu kalau aku mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan perempuan secantik itu, tak sia-sia hidupku di dalam dunia."
Mendengar keterangan pelayan itu, Hui Kiam mengerutkan keningnya. Katanya:
"Siapa yang mendirikan Lui-tay itu?"
"Ini.....ha ha, tidak tahu."
"Di mana letaknya Lui-tay itu?"
"Di tanah lapang depan wisma pahlawan."
"Wisma pahlawan?"
"Ya, gedung itu sebetulnya peninggalan seorang pembesar di dalam kota ini, sekarang dirobah jadi wisma pahlawan. Barang siapa yang berkepandaian tinggi dapat memenangkan dalam pertandingan di atas Lui-tay itu, diterima masuk ke dalam wisma pahlawan itu dan akan disambut serta dijamin oleh Taycu sendiri. Ah! Sayang aku tidak mengerti ilmu silat"."
"Di mana letaknya wisma pahlawan itu?"
"Di kota bagian barat. Tuan-tuan boleh mengikuti orang-orang banyak itu ke mana arah mereka berjalan, pasti tidak salah lagi."
Sebelum meninggalkan tamunya pelayan itu menambahkan keterangannya.
"Ini merupakan suatu kejadian besar di dalam kota ini selama beberapa ratus tahun paling belakang."
Setelah pelayan itu berlalu, Hui Kiam berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan dengan suara perlahan sekali:
"Bagaimana pikiran cianpwee dalam urusan ini?"
Orang Tua Tiada Turunan itu berpikir sejenak baru menjawab:
"Menurut keterangan pelayan tadi itu, taycunya adalah seorang wanita, bahkan wanita yang cantik sekali. Selagi rimba persilatan sedang banyak urusan seperti sekarang ini, kejadian ini pasti
mengandung maksud tertentu. Tidak ada larangan, kita coba pergi menyaksikan, mungkin saja bisa menemukan bahan apa-apa."
"Kalau begitu mari kita pergi ke sana!"
Keluar dari rumah makan, jalan besar telah sesak. Orang berduyun-duyun menuju ke barat. Hui Kiam berdua juga mengikuti arus manusia itu, berjalan seenaknya....
Dekat tembok kota bagian barat, ada sebuah gedung tua yang sangat besar bentuknya tetapi gedung itu sudah diperbarui. Di pintu gerbang terpancang satu papan merek besar yang terdapat tulisan huruf emas: Wisma Pahlawan.
Di depan pintu, berdiri delapan orang gagah yang masing-masing membawa senjata pedang.
Di depan wisma itu, ada satu lapangan luas. Di satu sudut lapangan itu berdiri satu panggung. Itulah panggung Lui-tay yang digunakan untuk pertandingan ilmu silat.
Di atas panggung itu juga terpancang satu papan merek yang ada tulisannya, "mengadakan pertandingan untuk mencari kawan".
Di bawah panggung, sudah penuh dengan manusia.
Hui-Kiam dan Orang Tua Tiada Turunan mendesak masuk. Di bawah keadaan demikian bagi orang biasa pasti merupakan suatu usaha yang tidak mudah, karena harus berdesak-desak di dalam gelombang manusia.
Tiba-tiba tangan Hui-Kiam merasa ada barang yang disesakkan. Dalam keterkejutannya ia segera berpaling untuk mencari siapa orangnya yang menyesakkan benda itu. Tetapi orang-orang itu semuanya nampak masih asing, sehingga ia tidak tahu siapa yang telah berbuat. Ketika ia memeriksa benda apa yang diberikan itu, ternyata hanya segulung kertas. Dengan perasaan heran ia membuka dan membacanya. Di atasnya tertulis tulisan yang berbunyi:
"Berusahalah menghancurkan Lui-tay ini, untuk menolong kawan-kawan kita yang tidak berdosa."
Di bawah surat tertanda Orang Menebus Dosa.
Hui-Kiam merasa bingung. Ia berikan surat itu kepada Orang Tua Tiada Turunan seraya berkata:
"Cianpwee, kau pikir bagaimana?"
"Berbuat seperti apa yang tertulis dalam surat itu!"
Petualang Asmara 10 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 14
^