Pedang Tanpa Perasaan 2

Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Bagian 2


oleh seseorang. Sehingga belum sempat memperhatikan keadaan di dalamnya.
Saat itu mereka baru melihat kabin perahu itu luas sekali. Di bagian tengah-tengah
terdapat tiga buah kursi. Bagian kiri duduk orang yang menolong mereka tadi.
Sedangkan di sebelah kanan seorang perempuan. Perempuan itu juga mengenakan
pakaian serba hitam serta sebuah topeng berwarna merah muda sebagai penutup
wajah. Kursi yang di tengah kosong.
42 Tampak di sisi kiri kanan ketiga kursi itu berbaris belasan orang seperti elang yang
membentangkan sayapnya. Sebelah dalam orang yang paling tinggi dan terus menurun
ke ujung orang yang paling pendek. Semuanya mengenakan pakaian hitam dan
mengenakan topeng yang sama.
Di hadapan Lie Cun Ju dan Tao Ling berdiri seorang laki-laki bertuhuh pendek dan
gemuk. Bagian wajahnya juga ditutupi topeng merah. Kedua lengannya terjulur ke
depan. Ternyata dia mencapit bagian tengah pedang emas dan perak dengan kedua jari
tangannya. Lie Cun Ju dan Tao Ling sadar, ilmu kepandaian mereka masih cetek. Tetapi
setidaknya mereka yakin ilmu yang diwariskan oleh orang tua mereka bukan ilmu
sembarangan. Saat ini ternyata belum sejurus pun ilmu mereka dikerahkan, tahu-tahu
pedang mereka sudah tercapit oleh laki-laki bertubuh gemuk pendek itu. Hal itu tidak
terbayangkan oleh mereka sebelumnya.
Hati Lie.Cun Ju dan Tao Ling menjadi panik. Dua remaja itu saling melirik seakan
mengambil sebuah keputusan. Lebih baik berusaha menarik kembali pedang, urusan
lainnya belakangan. Tetapi orang bertubuh pendek gemuk itu masih tetap mencapit
tubuh pedang mereka. Meskipun Tao Ling dan Lie Cun Ju sudah mengerahkan seluruh
kekuatan yang dimiliki, pedang itu tidak bergerak sedikit pun. Maju tidak bisa, ditarik
pun tidak bisa.
Tiba-tiba Lie Cun Ju dan Tao I Jug merasa ada serangkum tenaga yang menerpa ke
arah mereka dari bagian tubuh pedang. Tangan mereka merasa kesemutan dan tidak
dapat ditahan lagi kelima jari tangan pun merenggang. Pedang emas dan perak terjatuh
di atas lantai perahu.
Setelah pedang pusaka terlepas dari tangan, hati Tao Ling dan Lie Cun Ju semakin
tercekat. Serentak mereka melangkah mundur ke pintu kabin. Tapi orang-orang yang
berdiri di kiri kanan ketiga kursi langsung bergerak menghadang di pintu.
Mereka sadar, laki-laki bertubuh gemuk pendek itu saja tidak mungkin terhadapi,
belum lagi orang lainnva. Maka pcrcuma saja memberikan perlawanan. Karena itu
mereka membatalkan niat semula dan berdiri tegak menunggu perkembangan
berikutnya. "Mengapa Anda sembarangan merebut pedang pusaka dari tangan kami?" tegur Lie
Cun Ju. Orang bertubuh gernuk pendek itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tawanya aneh
sehingga menimbulkan kesan menyeramkan dan membuat bulu kuduk TaoLing
maupun Lie Cun Ju jadi merinding. Orang itu membalikkan tubuh dan berjalan ke
tengah kabin. Dia duduk di kursi tengah yang kosong itu. Topeng di wajahnya
bergerak-gerak ketika dia menoleh ke kiri dan kanan.
"Kedatangan kita kembali kesini, boleh dikatakan tidak diketahui seorang pun. Tetapi
sekarang malah dipergoki kedua anak muda ini. Kita harus menggunakan cara
membunuh agar ini mulut mereka bungkam. Kalau tidak pasti akan terjadi kerugian
yang besar di pihak kita," ujar orang bertubuh pendek gemuk itu.
43 "Apa yang dikatakan toako memang benar!" sahut orang yang duduk di sampingnya,
sambil menganggukkan kepala.
Pembicaraan mereka seperti diucapkan sepatah demi sepatah. Tetapi bagi pendengaran
Tao Ling dan Lie Cun Ju, justru menimbulkan kesan menakutkan. Ada satu hal lagi
yang membuat pikiran mereka resah, yaitu mereka belum pernah mendengar orang
menceritakan tokoh-tokoh seperti orang-orang di hadapan mereka. Tampang dan
penampilan mereka begitu misterius.
Tampak laki-laki bertubuh gemuk pendek itu mendongakkan wajahnya. Matanya
menyorotkan sinar yang tajam menatap Lie Cun Ju serta Tao Ling lekat-lekat.
Pandangan matanya membuat bulu kuduk Tao Ling meremang kembali. Diam-diam
Tao Ling mengulurkan tangannya dan meraih semua senjata rahasianya yang ada
untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan.
"Sebetulnya, kami tidak ingin turun tangan mencelakai siapa pun. Akan tetapi gerak
gerik kami ini tidak ingin diketahui oleh orang lain. Sedangkan tanpa disengaja kalian
sudah naik ke atas perahu kami. Biar bagaimana pun jejak kami sudah bocor. Terpaksa
kami memilih jalan membunuh agar mulut kalian bungkam. Seandainya kalian masih
mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada sanak saudara, silakan katakan saja.
Kami pasti akan menyampaikannya!" ujar lelaki bertubuh pendek gemuk itu.
"Kami . . ." ujar Lie Cun Ju terputus.
Orang bertubuh gemuk pendek itu menjulurkan tangannya menahan perkataan Lie
Cun Ju. "Tidak perlu mengatakan apa-apa. Seandainya kau ingin mengatakan bahwa kalian
berjanji tidak akan mengatakan kepada siapa pun apa yang kalian lihat, kami tetap
tidak percaya. Seandainya masih ada pesan yang hendak kalian sampaikan, cepat
utarakan!"
Lie Cun Ju merasa ada serangkum hawa dingin menyelimuti perasaannya.
"Entah kalian ini sahabat dari mana?" tanyanya berusaha mengulur waktu.
"Seandainya kami mengatakan, kalian pun pasti tidak mengetahuinya. Seandainya
kalian ingin kematian kalian diketahui oleh orang tua kalian, aku bisa
menyampaikannya," kata laki-laki aneh bertubuh gemuk pendek itu.
Lie Cun Ju melirik Tao Ling sekilas. Dia melihat wajah gadis itu berubah hebat,
seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. Diam-diam dia juga berpikir dalam hati,
betapa tragis apabila mati tanpa sebab musabab yang pasti. Tapi bila mendengar
ucapan orang yang sombong itu, tampaknya mereka juga tidak memandang sebelah
mata terhadap orang tua mereka. Daripada mati penasaran, mengapa tidak
mengadakan perlawanan?"
Watak Lie Cun Ju sehari-harinya sangat lembut. Bahkan terkadang lebih lembut dari
anak gadis. Tetapi dalam keadaan terdesak, dia bisa mengambil keputusan secara
44 dewasa. Saat itu dia berdiri berdampingan dengan Tao Ling. Tiba-tiba dia mendorong
tubuh gadis itu dan berteriak dengan suara keras, "Tao kouwnio, cepat lari!"
Tangannya mendorong Tao Ling, setelah itu dia mencabut pedang emasnya.
Kemudian menggunakan jurus Tanah merekah melancarkan sebuah serangan kepada
si laki-laki bertubuh gemuk pendek.
Sedangkan tangan Tao Ling sejak tadi sudah menggenggam senjata rahasia. Dia
memang sudah bersiap diri melontarkannya. Dia melihat Lie Cun Ju sudah bertekad
mengadu nyawa. Dalam keadaan genting Lie Cun Ju masih memikirkan keselamatan
dirinya. Gadis itu malah tidak sanggup lari. Setelah tubuhnya terdorong oleh tangan
Lie Cun Ju setengah langkah, jari tangannya langsung mengibas. Seluruh senjata
rahasia yang ada padanya dilontarkan ke depan. Sasarannya ketiga orang yang duduk
di atas kursi. Kedua orang itu hampir serentak melancarkan serangan. Lie Cun Ju menghantamkan
sebuah pukulan. Meskipun tenaganya tidak seberapa kuat, tapi kecepatannya boleh
juga. Serangannya terlebih dahulu sampai daripada senjata rahasia yang dilontarkan
Tao Ling. Orang bertubuh gemuk pendek itu masih duduk dengan tenang. Ketika serangan Lie
Cun Ju sudah hampir mengenainya, dia baru menggeser tubuhnya sedikit. Kemudian
menghantamkan sebuah pukulan pula ke depan. Lie Cun Ju merasa ada serangkum
angin kencang yang menerpa dadanya. Tubuhnya limbung kemudian terpental ke
belakang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan pandangan matanya berkunangkunang.
Dadanya terasa sakit. Dia membuka mulutnya lehar-lebar dan tanpa dapat
ditahan lagi segumpal darah segar mengucur keluar dari tenggorokannya.
Tepat di saat tubuh Lie Cun Ju terpental, perempuan yang duduk di sisi kanan orang
bertubuh gemuk pendek berdiri dari kursinya. Dia maju selangkah dan menjulurkan
lengan bajunya. Seluruh senjata rahasia yang dilontarkan Tao Ling langsung
menyusup ke dalam lengan baju yang longgar tanpa tersisa satu pun.
Tao Ling tertegun sesaat, lalu menatap Lie Cun Ju terkulai di atas lantai perahu. wajah
gadis itu pucat pasi. Dengan tergesa-gesa dia menghambur mendekatinya. Dia
berjongkok di depan pemuda itu.
"Lie toako, bagaimana keadaanmu?" tanya Tao Ling gugup.
"Tao kouwnio, mungkin kita harus mati di atas perahu ini!" jawab Lie Cun Ju sambil
menarik napas panjang.
Sembari berkata Lie Cun Ju mengulurkan tangannya dan menggenggam telapak
tangan Tao Ling erat-erat. Tangan itu bergetar, sedangkan matanya menyorotkan sinar
yang lembut kepada gadis itu. Sinar mata demikian bukan sinar mata yang seharusnya
tidak disorotkan orang yang menjelang kematian.
Tao Ling merasa jantungnya berdegup-degup. Keadaan mereka memang terlalu
membahayakan. Tetapi kalau toh harus mati, Tao Ling merasa tidak perlu takut lagi.
45 Seakan di dalani kabin perahu itu hanya terdapat mereka berdua. Gadis itu malah
tersenyum manis.
"Lie toako, di antara kedua keluarga kita terselip permusuhan yang demikian dalam.
Tidak di-sangka kita malah bisa menemui kematian bersama," katanya.
Lie Cun Ju juga memaksakan seulas senyuman. Darah masih menetes di ujung
bibirnya. "Tao kouwnio . . . meski . . . pun ada . . . per . . . musuhan ... di an ... tara keluarga ki . .
. ta, tapi hubungan . . . ki . . . ta baik . . . sekali, bukan?"
Tentu saja Tao Ling mengerti maksud yang terkandung di balik ucapan pemuda itu.
Wajahnya merah padam.
"Benar!" Tao Ling menganggukkan kepala.
"Tao kouwnio . . . suruhlah . . . mereka . . . turun . . .tangan . . .sekarang juga."
Tao Ling menggunakan ujung lengan bajunya mengusap darah yang merembes dari
sudut bibir pemuda itu.
"Baik," sahutnya lembut. Dia mendongakkan wajahnya. Dia ingin memuaskan hatinya
memaki-maki ketiga orang itu sebelum kematian menjemput. Tiba-tiba dia melihat
mimik wajah ketiga orang kapal menyiratkan kejanggalan. Kata-kata yang sudah
tersedia di ujung lidah akhirnva ditelan kembali.
Tampak ketiga orang itu sudah berdiri dari kursi masing-masing dan saling
berkerumun. Di atas telapak tangan perempuan tadi ada benda yang berkilauan.
Ternyata mutiara yang dipungut Tao Ling di tepi sungai tadi malum. Mimik wajah
ketiga orang itu seakan tertegun memandangi mutiara. Tao Ling memperhatikan
sejenak kemudian membentak dengan suara keras.
"Sam moay, urusan sudah menjadi sedemikian rupa. Kita harus segera mengambil
keputusan!" Suara lelaki gemuk pendek dengan nada keras.
"Toako, aku rasa kita harus mempertimbangkannya kembali," sahut lelaki tinggi kurus
yang tadi menolong Tao Ling dan Lie Cun Ju dengan nada bimbang.
"Kalau kita masih ragu-ragu, kemungkinan kita bertiga akan menemui kematian yang
mengerikan."
Mendengar ucapan laki-laki bertubuh gemuk pendek itu, seakan urusan yang sedang
mereka hadapi gawat sekali. Tetapi Tao Ling justru tidak mengerti mengapa tiba-tiba
mereka jadi sedemikian panik.
"Apa yang dikatakan toako memang benar!" sahut perempuan bertopeng merah muda.
Baru saja kata 'benar!' selesai diucapkan oleh perempuan itu. Tiba-tiba terdengar suara
trak! trak! sebanyak dua kali. Dia sudah menghunus dua batang golok pendek dari
46 selipan ikat pinggangnya. Tubuh perempuan itu berkelebat seperti gulungan asap
hitam. Tahu-tahu dia sudah melesat ke depan pintu kabin.
Tao Ling melihat perempuan itu mencabut sepasang goloknya, hatinya menjadi
tercekat. Tapi keadaan perempuan itu tidak seperti akan menghadapi dirinya. Hatinya
dilanda kehingungan. Tampak belasan orang yang tadinya berdiri di kanan kiri ketiga
buah kursi itu tiba-tiba mengeluarkan suara raungan. Suara itu seperti hendak
mengadakan pertarungan. Tetapi tubuh perempuan tadi berkelebat seperti terbang.
Dalam sekejap mata terdengar suara jeritan mengerikan. Tiga orang pun rubuh di atas
lantai perahu dengan dada terkoyak. Setelah berkelojotan beberapa kali, orang-orang
itu pun menghembuskan nafas terakhir.
Tao Ling tidak mengerti mengapa mereka malah menyerang orang-orangnya sendiri.
Tao Ling hanya melihat sisa belasan orang itu kembali mengeluarkan suara raungan
keras. Laki-laki ber-tubuh gemuk pendek tadi tampak menggenggam sepasang pedang.
Sekali dikelebatkan kembali pedang itu dua orang sekaligus rubuh bermandikan darah.
Meskipun orang-orang itu juga memberikan perlawanan dengan sengit, tapi apa daya
karena kepandaian mereka terpaut jauh. Laki-laki bertubuh gemuk pendek itu kembali
menggerakkan pedangnya. Dua orang pun tertebas dan mati seketika.
Tampak sepasang telapak tangan laki-laki bertubuh tinggi kurus seperti beterbangan
ke mana-mana. Seluruh ruangan kabin dipenuhi bayangan pukulan dan angin yang
menderu-deru. Setiap kali terdengar suara Plak! Pasti ada satu orang yang menjadi
korban. Dalam sekejap mata saja belasan orang tadi sudah terkapar di lantai perahu
menjadi mayat. Ketiga orang itu menghentikan gerakan tangannya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus
dan perempuan tadi menghambur ke bagian geladak perahu. Tidak lama kemudian,
mereka sudah kembali lagi.
"Toako, perahu sedang mendekati tepian sungai. Di tempat itu banyak tukang perahu,
tetapi semuanya sudah dibunuh oleh kami."
"Untung saja kita turun tangan dengan cepat. Tidak ada seorang pun yang sempat
lolos. Urusan ini hanya diketahui oleh langit dan bumi, tidak ada orang lain lagi yang
tahu kecuali kita bertiga!" kata lelaki pendek gemuk dengan napas lega.
"Toako, bagaimana dengan kedua orang ini?" ujar perempuan itu seraya menunjuk ke
arah Tao Ling dan Lie Cun Ju.
Mendengar pertanyaan perempuan itu, Tao Ling segera menyadari bahwa yang akan
melanda dirinya dan Lie Cun Ju. Tetapi dia seperti diselimuti awan tebal. Tidak
rnengerti sama sekali terhadap rentetan kejadian yang mereka lakukan.
Isi perut Lie Cun Ju tergetar karena pukulan si laki-laki bertubuh gemuk pendek tadi
sehingga terluka cukup parah. Meskipun tubuhnya sulit digerakkan tapi dia melihat
dengan jelas perbuatan ketiga orang yang membunuh rekan-rekannya. Dia merasa cara
ketiga orang itu sungguh keji. Seandainya tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, mungkin dia masih tidak percaya di dunia ini ada orang sekejam itu.
47 Tapi mengapa ketiga orang itu tiba-tiba harus membunuh rekan-rekan atau mungkin
anak buah mereka" Lie Cun Ju dan Tao Ling tidak mengerti. Tetapi diam-diam hati
Tao Ling merasa perbuatan mereka ada hubungannya dengan mutiara yang
dipungutnya lalu tanpa disengaja terlontar bersama senjata rahasia yang ada di saku
pakaiannya. "Tentu mereka tidak boleh dibiarkan hidup!" jawab laki-laki bertubuh gemuk pendek
dengan nada tegas.
Pedang di tangannya digetarkan. Timbul bayangan bunga-bunga cahaya berkilauan.
Hawa pedang dingin menusuk, terus diluncurkan ke bagian ubun-uhun kepala Lie Cun
Ju. Sejak perempuan tadi mengajukan pertanyaan kepada toakonya, Tao Ling sudah
mengetahui bahwa mereka akan turun tangan. Seandainya gadis itu hanya seorang diri,
dia pasti akan mengadakan perlawanan sekuat tenaga. Tetapi saat itu Lie Cun Ju sudah
terluka parah. Tao Ling juga tidak berniat meninggalkannya begitu saja. Akhirnya dia
pasrah terhadap nasib. Dia memejamkan matanya untuk menunggu kematian.
Serangkum angin dingin menerpa bagian atas kepala Tao Ling. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara yang aneh dari lantai perahu tempat kakinya berpijak. Seperti ada
benda keras yang membentur.
Seiring dengan suara benturan tadi, laki-laki bertubuh tinggi kurus dan perempuan tadi
segera berteriak, "Toako, tunggu dulu!"
Pedang di tangan si laki-laki gemuk pendek sudah hampir menyentuh kepaia Tao
Ling. Gadis itu sendiri sudah merasa adanya hawa dingin di kepalanya. Namun ketika
mendengar suara teriakan kedua orang itu, pedangnya langsung ditarik kembali.
"Toako, apakah kau mendengar suara benturan tadi?" tanya perempuan itu kembali.
"Mungkinkah . . .?" gumam orang yang gemuk pendek itu.
"Mengapa kalian berdua tidak keluar untuk melihatnya?" kata perempuan itu.
"Sam moay, mengapa bukan kau saja yang keluar melihat?" bentak si tinggi kurus
dengan nada agak marah.
Ketiga orang itu akhirnya malah saling mendorong satu dan yang lainnya. Kemudian
untuk sesaat mereka terdiam.
"Tidak usah ribut-ribut, rejeki atau bencana, kita bertiga harus menghadapi bersama.
Rasanya juga tidak mungkin begitu cepat datangnya," ujar si gemuk pendek.
"Mudah-mudahan bukan bencana! Ayo kita lihat!" sahut perempuan itu.
Ketiga orang itu keluar bersama-sama. Tao Ling sadar mereka semua memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Untuk memhunuh rekan-rekannya sendiri ataupun membunuh
dirinya dan Lie Cun Ju, orang-orang itu bisa melakukannya dengan kepala dingin. Tao
48 Ling takut sekali. Ketika ketiga orang itu sudah keluar dari kabin perahu, Tao Ling
cepat-cepat menyeret tubuh Lie Cun Ju ke arah jendela. Dia melongokkan kepalanya
keluar. Tampak hari sudah mulai terang, berarti dini hari sudah menjelang. Permukaan
sungai tampak disorot oleh cahaya keemasan.
Kesempatan yang baik bagi Tao Ling, Hanya itu satu-satunya cara untuk melarikan
diri. Dia juga tidak ingin berpikir panjang lagi. Tubuhnya bergerak dan bersiap untuk
meloncat keluar sambil menyeret Lie Cun Ju.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tao kouwnio, se ... pa ... sang . . . pedang ... i... tu ..." Suara Lie Cun Ju tersendatsendat.
Tao Ling menolehkan kepalanya. Dia melepaskan Lie Cun Ju kemudian membalikkan
tubuhnya untuk memungut Kim Gin Kiam. Matanya melirik ke arah mutiara yang
berkilauan tadi. Rupanya masih menggeletak di atas kursi. Sekalian diraihnya benda
itu. Dalam hati Tao Ling tahu bahwa mutiara itu ikut terlontar bersama senjata
rahasianya tadi. Sedangkan ketiga orang itu tampaknya terkesima memandang benda
itu. Mungkin asal usul mutiara itu tidak sembarangan. Karena itu dia merasa sayang
meninggalkannya. Pekerjaan itu menyita lagi waktu beberapa detik.
"Pasti di perahu sebelah ada yang melemparkan sauh, kita sendiri yang terlalu curiga,"
ujar si gemuk pendek berkumandang dari iuar kabin.
Tao Ling sadar, bahwa sebentar lagi mereka akan masuk ke dalam kabin. Dengan
tergesa-gesa dia melesat ke arah jendela. Tetapi karena hatinya panik, tingkahnya jadi
gugup. Tanpa sadar kakinya menendang topeng di wajah salah satu mayat yang
menggeletak. Dalam keadaan seperti itu Tao Ling masih sernpat menolehkan
kepalanya untuk melihat apa yang ditendangnya. Setelah melihat, hatinya tercekat.
Hampir saja dia menghentikan langkah kakinya.
Beberapa detik kemudin, tampak tirai penyekat ruangan kabin mulai tersingkap. Tao
Ling sadar apabila mereka dipergoki oleh ketiga orang itu pasti nyawa mereka tidak
dapat dipertahankan lagi. Dia mengerti tidak boleh menunda waktu lagi. Cepat dia
menghambur ke depan jendela dengan menyeret lengan Lie Cun Ju. Melalui jendela
kabin itu, tubuhnya melesat keluar lalu Plung! Jatuh ke dalam sungai.
Baru saja tubuhnya masuk ke dalam air, telinganya mendengar suara pekikan aneh
ketiga orang tadi. Dia cepat-cepat menekan hawa murni dari dalam perutnya. Dia
berusaha memberatkan tubuhnya agar terus melorot ke dalam dasar sungai. Dia sendiri
tidak tahu sudah berapa jauh dia tenggelam. Di sekelilingnya hanya air yang
menggelembung-gelembung. Sejak tadi Tao Ling sudah menutup jalan pernafasannya.
Hatinya mengkhawatirkan keadaan Lie Cun Ju yang dalam keadaan terluka parah.
Apakah pemuda itu sanggup menahan nafas sekian lama" Seandainya Lie Cun Ju tidak
kuat menahan nafasnya, berarti selamat dari pembantaian ketiga orang tadi, dia malah
mati karena paru-paru dipenuhi air sungai.
Tapi biar bagaimana, Tao Ling tidak berani menyembulkan kepalanya di atas
permukaan sungai. Rupanya ketika dia hampir tersandung jatuh di dalam kabin perahu
tadi, kakinya menendang salah satu topeng penutup wajah mayat-mayat. Dia masih
sempat melihat sekilas. Wajah orang itu kurus, di bagian jidatnya terdapat lima titik
49 hijau seperti gambar bunga Bwe. Tao Ling pernah bertemu dengan orang itu satu kali.
Lagipula titik-titik hijau itu mudah diingat. Asal melihat satu kali, selamanya tidak
akan terlupakan lagi. Orang itu berasal dari Shan Tung. Biasanya bergerak sendirian.
Hatinya keji dan tangannya telengas. Senjatanya sebuah pecut panjang beruntai
sembilan. Kepandaiannya tinggi dan jurusnya aneh-aneh. Tentu saja merupakan tokoh
dari golongan sesat. Julukannya di dunia kang ouw Ceng Bwe atau bunga Bwe hijau.
Nama aslinya Ciok Kun. Setiap kali mengungkit orang yang satu ini, tokoh-tokoh Bu
lim di daerah Shan Tung dan sekitarnya kebanyakan menghindar karena takut timbul
masalah. Tokoh seperti Ciok Kun ternyata tidak sanggup memberikan perlawanan apa-apa dan
mati begitu saja di tangan ketiga orang bertopeng tadi. Dapat dibayangkan betapa
tingginya kepandaian yang mereka miliki.
Lagipula, belasan orang lainnya yang juga mengenakan topeng. Walaupun mungkin
mereka bukan jago kelas satu di dunia kang ouw, tetapi setidaknya pasti tokoh-tokoh
seperti Ciok Kun. Karena itu pula, meskipun Tao Ling tahu Lie Cun Ju tidak sanggup
menahan nafas lama-lama dalam air, dia tetap tidak berani menyembulkan kepalanya.
Sebab bila menelan air beberapa teguk saja masih ada kemungkinan tertolong. Akan
tetapi apabila mereka menyembulkan kepalanya dan tertangkap oleh tiga orang
bertopeng tadi, tidak usah diragukan lagi pasti akan mati seketika.
Tidak lama kemudian, Tao Ling merasa kakinya sudah menyentuh dasar sungai.
Sembari menarik tubuhh Lie Con Ju, Tao Ling berpegangan pada batu-batu di sisi
sungai, dengan demikian dia meramhat perlahan-laban. Tiba-tiba dia mendengar suara
glek dari tenggorokan Lie Cun Ju.
Tao Ling tahu Lie Cun Ju tidak sanggup menahan nafas lagi sehingga terpaksa
menelan seteguk air sungai. Hatinya sangat panik. Tapi dirinya sedang berada di
dalam air, dia tidak bisa berbicara. Pikirnya ingin menyembulkan kepala ke atas
permukaan air. Dia ingin mengadakan perlawanan sengit dengan ketiga orang tadi.
Tapi dia tidak berani menempuh bahaya sebesar itu. Ketika pikirannya sedang ruwet
dan tidak berhasil menemukan apa pun, tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang
lembut.. Ternyata tanaman liar yang biasa banyak terdapat di sungai yaitu Eceng
Gondok. Diam-diam hati Tao Ling melonjak girang. Karena adanya tanaman liar ini pertanda
mereka sudah berada di tepian sungai. Tao Ling masih tidak berani menyembulkan
kepalanya. Dia memutahkan setangkai tanaman itu kemudian mendesakkan hawa
murninya untuk meniup. Bagian tengah tanaman itu langsung menyembur keluar dan
jadilah sebatang pipa dari batang tanaman itu. Cepat-cepat dia memasukkan pipa itu ke
dalam mulut Lie Cun ju. Bagian ujungnya menyembul sedikit di permukaan air, maka
pemuda itu bisa mengganti hawa. Setelah itu dia membuat lagi sebatang pipa dari
batang tanaman tadi. Dimasukkannya pipa itu ke mulut sendiri. Dengan bibir
dikatupkan serta menyedot hawa dari atas, mereka dapat mempertahankan diri untuk
beberapa saat lagi berada di dalam air.
Kurang lebih dua kentungan sudah berlalu. Perlahan-lahan Tao Ling menyembulkan
kepalanya di atas pennukaan air. Ketika matanya sudah dapat melihat, hatinya tercekat
bukan kepalang. Ternyata mereka berada di tengah gerombolan tanaman Eceng
50 Gondok. Matahari sudah di atas kepala. Keadaan di sekitar tepian sungai itu sunyi
senyap. Kecuali suara ikan-ikan yang sedang bercandu di atas permukaan air, tidak
terdengar suara lainnya.
Ketika Tao Ling melihat ke depan, tampak beberapa perahu sedang bergerak. Akan
tetapi karena geromholan tanaman liar itu sangat lebat, maka mereka dapat
bersembunyi di tempat itu tanpa diketahui orang lain.
Tao Ling berpikir dalam hati, "Waktu sudah berlalu sekian lama. Tentunya kami sudah
terlepas dari intaian ketiga iblis itu."
Tao Ling tidak berani menyembulkan diri ke atas permukaan air. Gadis itu hanya
menarik leher Lie Cun Ju agar kepalanya tidak tenggelam.
Dalam waktu sekian lama, Tao Ling tidak mempunyai kesempatan memperhatikan Lie
Cun Ju. Entah pemuda itu masih hidup atau sudah mati. Setelah dia mengangkat leher
pemuda itu agar keluar dari dalam air, dia baru dapat melihatnya dengan jelas. Hatinya
terkejut hukan main. Rupanya saat itu selembar wajah Lie Cun Ju sudah pucat pasi
hahkan keabu-abuan seperti mayat hidup. Meskipun kepalanya sudah timbul di atas
permukaan air, tetapi pipa tanaman liar masih dijepit bibirnya kuat-kuat. Dapat
dipastikan hahwa pemuda itu sudah tidak sadarkan diri sejak tadi.
Tao Ling mengulurkan tangannya untuk merasakan dengus nafas pemuda itu. Ternyata
Lie Cun Ju belum mati. Perasaan Tao Ling pun agak lega. Dia menyibakkan rambut
yang menutupi jidat pemuda itu.
"Lie toako! Lie toako!" panggil Tao Ling dengan suara lirih.
Setelah memanggil sebanyak tujuh delapan kali, baru terdengar suara glek! glek! dari
tenggorokan Lie Cun Ju. Perlahan-lahan dia membuka matanya. Sinar matanya redup,
tanpa sinar kehidupan sama sekali. Hati Tao Ling terasa pilu melihatnya.
"Lie toako, apa yang kau rasakan?" tanyanva lembut.
Lie Cun Ju mengedarkan pandangannya sejenak kemudian memaksakan diri
mengembangkan seulas senyuman yang pahit.
"Tao . . . kouwnio . . . apakah . . . ki . . . ta ma . . . sih . . . hidup?"
"Kita sudah berada di tepian sungai, kita berhasil melarikan diri dari cengkeraman
ketiga iblis itu.
"Lie toako, apakah kau tahu siapa ketiga iblis itu?" tanya Tao Ling.
"Aku juga tidak tahu." Lie Cun Ju menggeleng kepala.
"Aku mengenali salah satu dari belasan anak buah yang mereka bantai. Dia
mempunyai julukan Ceng Bwe dan nama aslinya Ciok Kun, biasa malang melintang di
daerah Shan Tung dan sekitarnya!" kata Tao Ling.
51 Lie Cun Ju terkejut sekali mendengar keterangan Tao Ling.
"Dia" Orang itu bukan saja ahli dalam ilmu pecut beruntai sembilannya, bahkan
dengar-dengar dia mempelajari semacam ilmu kebal yang tidak mempan senjata
tajam." "Mungkin pedang yang dipakai si gemuk pendek itu pedang pusaka." Tao Ling
melihat Lie Cun Ju berusaha berbicara dengannya. Hatinya menjadi iba. "Lie toako,
lebih baik jangan banyak bicara dulu!"
Dengan sorot mata penuh terima kasih, Lie Cun Ju memandangnya sekilas. Kemudian
berkata dengan perlahan, "Tao kouwnio, kebaikanmu ini, untuk selamanya tidak akan
kulupakan!"
"Untuk apa bicara seperti ini dalam keadaan seperti sekarang?" sahut Tao Ling.
Keduanya berdiam diri. Sampai menjelang sore, Tao Ling baru membimbing tubuh
Lie Cun Ju dan diajaknya naik ke atas tepi sungai. Tampak di kejauhan ada asap
mengepul-ngepul, namun jaraknya paling tidak tiga li dari tempat mereka.
Tao Ling melirik Lie Cun Ju. Tampak pemuda itu berdiri di sampingnya dengan tubuh
terhuyung-huyung. Kemungkinan bisa jatuh setiap saat. Cepat-cepat Tao Ling
memapahnya. "Tao kouwnio, lu . . . ka ini terlalu ... pa ... rah, mungkin tidak . . . bisa . . .
disembuhkan lagi," ujar Lie Cun Ju.
Selama dua hari dua malam, Tao Ling dan Lie Cun Ju mengalami berbagai
penderitaan bersama. Dalam hati timbul rasa iba kepada pemuda itu. Hatinya bagai
diiris sembilu.
"Jangan bicara dengan nada putus asa. Di kejauhan terlihat asap mengepul. Pasti ada
sebuah kota kecil di depan sana. Ayo, kita kesana sekarang
"Ketiga orang itu membunuh rekan-rekannya sendiri agar mereka membungkam untuk
selamanya. Tentu mereka juga tidak akan melepaskan kita begitu saja. Seandainya kita
bergegas pergi, begitu masuk kota mungkin langsung menemui kesulitan. Biar
bagaimana sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari cengkeraman mereka."
"Apa yang dikatakan Lie Cun Ju memang ada benarnya," pikirnya dalam hati. "Kalau
begitu terpaksa kita menginap satu malam di tepi sungai ini," katanya kemudian.
"Di depan sana ada sebuah hutan kecil, kita bermalam di sana saja," sahut Lie Cun Ju.
Tao Ling memapah Lie Cun Ju berjalan sejauh tiga puluhan depa. Sesampainya di
dalam hutan kecil itu, mereka mencari tempat yang rerumputan yang agak tebal.
Mereka langsung merebahkan diri. Tao Ling tidak perduli Iagi batas antara laki-laki
dan perempuan. Dia menyandarkan dirinya di samping Lie Cun Ju. Meskipun keadaan
mereka masih dikejar-kejar bahaya, namun dengan berdampingan seperti saat itu,
mereka tidak merasa takut Iagi.
52 Waktu terus berlalu, malam semakin merayap, mana mungkin kedua orang itu bisa
tertidur pulas . . ." Angin malam berhembus, pakaian mereka masih belum kering. Hal
itu merupakan siksaan yang berat. Dengan susah payah mereka menunggu matahari
terbit, dengan pakaian mereka masih tetap basah. Sampai siang harinya, barulah
pakaian mereka kering. Tao Ling membantu Lie Cun Ju mengikat rambutnya kembali.
Dia sendiri juga merapikan rambutnya kemudian baru memapah pemuda itu berjalan
keluar dari hutan.
Tidak beberapa lama, Tao Ling dan Lie Cun Ju sudah berada di sebuah jalan raya yang
langsung menuju kota kecil. Kedua orang itu berdiam sejenak di tepi jalan raya.
Mereka melihat banyak kereta yang berlalu lalang. Kedua remaja itu sudah mendapat
pengalaman pahit selama beberapa hari ini. Maka mereka tidak berani sembarangan
menghentikan kereta yang lewat.
Tao Ling dan Lie Cun Ju duduk di warung arak. Kedai itu hanya menyuguhkan teh
dan arak. Tidak lama kemudian tampak belasan kereta dorong berdatangan dari depan.
Di bagian depan ada seorang laki-laki yang mengeluarkan suara teriakan. Teriakan itu
seakan membangkitkan semangat pada anak buahnya untuk mendorong kereta lebih
kuat. Kereta yang paling depan mengibarkan sebuah bendera. Tao Ling membaca
tulisan pada bendera itu, Ling Wei Piau ki. Tao Ling belum pernah mendengar nama
perusahaan itu. Rupanya laki-laki berusia lima puluhan tahun dengan jenggot
menjuntai di bawah dagunya itu adalah pimpinannya.
"Kau tunggu di sini sebentar!" kata Tao Ling kepada Lie Cun Ju.
Kakinya melangkah dengan cepat, dalam sekejap mata Tao Ling sudah sampai di
samping piau tau itu.
"Sahabat, aku mempunyai sedikit keperluan, entah apakah sahabat bersedia
mengabulkannya atau tidak?" sapa Tao Ling.
Laki-laki setengah baya yang menunggang seekor kuda tampak terkejut sekali begitu
ada seorang gadis yang tiba-tiba berhenti di sampingnya. Dia meraba gagang pedang
di pinggangnya dan melihat Tao Ling dengan tatapan curiga. Belasan kereta di
belakangnya pun tampak berhenti.
"Siapa nona ini?" sapa Piau tau tadi.
"Ayah bergelar Pat Sian Kiam, bermarga Tao."
Tadinya wajah Piau tau itu menyiratkan kecurigaan. Dia curiga jangan-jangan gadis
ini pura-pura menanyakan sesuatu padahal tujuannya ingin merampok. Tetapi setelah
mendengar Tao Ling putri Pat Sian Kiam Tao Cu Hun, wajahnya langsung berseriseri.
"Rupanya Tao kouwnio!" ucap lelaki itu setelah turun dari kudanya.
"Anda kenal dengan ayah?" sahut Tao Ling dengan rasa gembira.
53 "Hanya mendengar nama besarnya, belum mempunyai jodoh untuk bertemu
langsung," sahut Piau tau itu.
Mendengar ucapan Piau tau yang sopan itu, Tao Ling segera mengetahui bahwa orang
ini jujur dan berjiwa besar.
"Entah siapa panggilan tuan yang mulia?" tanyanya kembali.
"Aku she Liu bernama Hou, orang-orang kang ouw memberi julukan Tan To Pik Tian
(Sebatang golok menentang langit)."
Di dalam dunia bu lim, entah berapa banyak jago kelas tanggung seperti Tan To Pik
Tian ini. Ayah ibu Tao Ling termasuk jago kelas satu di dunia kang ouw. Tentu tidak
mengenal orang seperti Piau tau ini. Karena itu, Tao Ling juga belum pernah
mendengar nama itu.
"Entah ada keperluan apa Tao kouwnio menghentikan kami?" tanya Liu Hou.
"Aku dan . . ." Berbicara sampai di sini, Tao Ling menjadi ragu. Dia seorang gadis
remaja, tentu tidak enak apabila orang mengetahui dia berjalan dengan seorang
pemuda yang tidak ada hubungan saudara. Karena itu dia menyebut nama 'Lie' dengan
lirih sekali sehingga tidak terdengar oleh yang lainnya. Kemudian melanjutkan,
"Toako dikejar oleh musuh, tubuhnya terluka cukup parah. Kami ingin meminta
bantuan Liu piau tau untuk mengantarkan kami ke dalam kota."
Liu Hou menganggukkan kepala. Dengan kereta mereka menuju kota yang jaraknya
tidak jauh dari tempat itu. Dalam sekejap mata mereka sudah sampai. Tao Ling
menanyakan kepada Liu piau tau, dan ternyata kota ini bernama Sin Tang ceng. Dari
tempat tinggal Kuan Hong Siau hanya seratus li lebih, masih termasuk wilayah Hu
Pak. ***** Tidak sampai setengah kentungan, serombongan orang itu sudah sampai di kota Sin
Tang ceng. Kota itu merupakan salah satu kota yang cukup besar di sebelah timur Pa
Tung. Jalanannya lebar dan bersih. Kotanya ramai, berbagai toko memenuhi sepanjang
jalan. Liu Hou mengajak Tao Ling dan Lie Cun Ju ke depan sebuah gedung yang
besar. "Inilah markas 'Ling Wei piau ki' kami. Cong piau tau (pemimpin perusahaan
pengawalan) berjuluk Harimau Bersayap Emas, namanya Tan Liang. Baik Iwe kang
maupun gwa kangnya tinggi sekali," kata Liu Hou menjelaskan.
Orang yang mempunyai julukan Harimau Bersayap Emas Tan Liang, Tao Ling pernah
mendengarnya. Dia juga seorang tokoh di sungai telaga yang sudah mempunyai nama.
Dia yakin orang itu pasti bersedia menampung mereka dan luka Lie Cun Ju bisa
mendapatkan perawatan yang baik.
Tao Ling memapah Lie Cun Ju berjalan memasuki 'Ling Wei piau ki'. Si Harimau
Bersayap Emas Tan Liang tidak ada di tempat. Akan tetapi gedung itu besar sekali dan
54 mempunyai banyak kamar. Liu Hou membawa mereka memasuki sebuah kamar.
Ketika Lie Cun Ju direbahkan di atas tempat tidur, mulutnya langsung mengeluarkan
suara rintihan. Rupanya sejak tadi dia memang sudah menahan rasa sakitnya. Liu Hou
sendiri masih ada urusan lainnya. Maka terpaksa dia meninggalkan kedua orang itu.
Sedangkan Tao Ling baru merasa kepalanya berdenyut-denyut setelah Lie Cun Ju
dapat berbaring dengan tenang. Matanya bahkan berkunang-kunang.
Selama dua hari itu tidak ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perut Tao Ling.
Hanya karena ingin menjaga Lie Cun Ju, dia terpaksa mempertahankan diri. Sekarang
untuk sementara dia tidak perlu menjaga Lie Cun Ju, dia merasakan seluruh tubuhnya
letih dan tulang helulangnya seperti terlepas dari persendian. Dia duduk di atas sebuah
kursi tanpa bergerak sedikit pun.
Setelah beristirahat sejenak, Tao Ling meminta agar pelayan di Piau kiok itu
mengantarkan sedikit makanan untuk mereka. Seielah hidangan diantar ke kamar,
tampak gadis itu makan seperti orang rakus. Ketika dia menoleh kepada Lie Cun Ju,
pemuda itu juga baru disuapi oleh salah seorang pelayan pedung itu. Keadaannya
tampak sudah lebih segar, walaupun masih lemah sekali.
"Lie toako, apakah kau merasa lukamu dapat disembuhkan?" tanya Tao Ling hati-hati.
Lie Cun Ju mencoba mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Dia merasa hawa
murninya tidak dapat dihimpun malah mengalir secara tidak beraturan. Lie Cun Ju
menarik nafas panjang. "Kalau mengandalkan tenaga dalamku sendiri, mungkin dalam


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga bulan juga tidak bisa sembuh."
"Tidak perlu khawatir. Menurut Liu Hou, pemilik gedung ini, si Harimau Bersayap
Emas Tan Liang adalah seorang yang berbudi luhur. Biar kita tinggal di gedungnya
setengah tahun, dia juga tidak akan menolak."
Lie Cun Ju merasa ada serangkum kehangatan yang melanda hatinya. Dia memandang
Tao Ling. Kebetulan gadis itu juga sedang memandang ke arahnya. Tao Ling langsung
menundukkan kepalanya dengan wajah tersipu.
Tepat pada saat itu, terdengar suara pintu kamar digubrak dengan keras oleh
seseorang. Tao Ling terkejut setengah mati. la segera melonjak bangun dan
menghalang di depan Lie Cun Ju.
Ketika Tao Ling mempertajam pandangan matanya, ternyata yang baru masuk dengan
kasar itu Liu Hou. Tangan laki-laki itu menggenggam sebilah golok lebar. Wajahnya
menyiratkan kegusaran. Di belakangnya mengikuti seorang laki-laki bertubuh pendek
kurus. Tampangnya biasa-biasa saja. Tapi sepasang matanya menyorotkan sinar yang
tajam. Usianya kurang lebih lima puluhan tahun.
Tao Ling jadi terkesima.
"Liu piau tau, kenapa kau . . .?" tanya Tao Ling terkesima.
"Huh! Terus terang saja, Tao kouwnio. Tadi aku tidak tahu persoalan yang
sebenarnya. Boleh dibilang di dalam perusahaan pengawalan ini, aku terhitung
55 setengah pemiliknya juga. Biar bagaimana aku tidak sudi menerima orang seperti
kalian tinggal di sini!" ucap Liu Hou memaki-maki Tao Ling.
"Memangnya orang seperti apa kami ini, coba kau katakan saja terus terang!"
"Urusan ini sudah diketahui seluruh orang bu lim. Dia bertanding ilmu di gedung
Kuan loya namun tidak menggubris peraturan dunia kang ouw, Tao Heng Kan
membunuh Li Po, putra Pat Kua Kim Gin Kiam Lie Yuan suami istri dengan keji.
Setelah itu dia melarikan diri sehingga jejaknya tidak diketemukan. Tidak tahunya
malah bersembunyi di sini. Pokoknya sekarang juga kami akan menggeretnya ke
rumah Kuan loya agar dapat diadili," ujar Liu Hou sambil menudingkan goloknya
kepada Lie Cun Ju.
Saat itu Tao Ling baru sadar bahvva Liu Hou dan Tan Liang berdua salah menduga
Lie Cun Ju dikira abangnya Tao Heng Kan. Hatinya merasa mendongkol juga geli.
Pasti Liu Hou baru kembali dari perjalanan jauh sehingga tidak mengetahui persoalan
ini. Sedangkan Tan Liang tidak kemana-mana. Jarak antara kota ini dengan tempat
tinggal Kuan Hong Siau tidak seberapa jauh. Dia pasti sudah mendengar berita
pembunuhan atas diri Li Po oleh Tao Heng Kan. Karena itu. begitu bertemu dengan
Liu Hou dan mendengar mereka ada di rumahnya, dia langsung menganggap Lie Cun
Ju sebagai abangnya yang sedang buron.
"Kalian berdua salah duga. Tahukah kalian siapa dia?" tanyanya sambil menunjuk
kepada Lie Cun Ju.
Si Harimau bersayap emas Tan Liang maju satu langkah.
"Memangnya dia bukan abangmu Tao Heng Kan?" tanya Tan Liang.
"Bukan. Dia putra kedua pasangan suami istri Pat Kua Kim Gin Kiam Lie Yuan dan
Lim Cing Ing, namanya Lie Cun Ju."
Tentu saja Tan Liang tidak akan percaya begitu saja.
"Apa buktinya?" tanya si Harimau Bersayap Emas Tan Liang.
Lie Cun Ju yang berharing di atas tempat tidur melirik sekilas kepada Tao Ling dan
memberi isyarat kepadanya. Gadis itu langsung mengerti. Dia mengulurkan tangannya
dan terdengarlah Cring! Cring! sebanyak dua kali. Dia mengeluarkan pedang emas dan
perak dari selipan ikat pinggangnya.
"Lie toako terluka parah, pedang Kim Gin Kiam ini untuk sementara aku yang
menjaganya! inilah bukti yang Anda minta!"
Sepasang pedang emas dan perak ini sangat terkenal di dunia bu lim, Juga sulit dihuat
tiruan-nya. Tapi hati Liu Hou dan Tan Liang tidak habis mengerti, mengapa dua
keluarga yang saling bermusuhan sedalam itu, putra putri masing-masing malah bisa
menjalin persahabatan dan tampaknya sudah akrab sekali"
56 Karena Tan Liang adalah penduduk setempat, Tao Ling yakin dia sudah mendengar
peristiwa tentang hancurnya perahu mereka dan terhanyutnya dirinya serta Lie Cun Ju.
"Setelah perahu tiba-tiba terbelah menjadi dua bagian, kami terhanyut sampai jauh.
Entah bagaimana keadaan Kuan tayhiap, orang tuaku, pasangan suami istri Lie Yuan
dan ko . . . ko . . . ku sekarang?"
"Jejak Tao Heng Kan tidak jelas. Keadaan orang tuamu dan Kuan tayhiap baik-baik
saja, hanya pasangan suami istri Lie tayhiap ditotok jalan darahnya dengan cara yang
aneh. Sampai sekarang masih belum sanggup dibebaskan. Keluarga Sang yakni Sang
Cu Ce malah melarikan diri dengan ketakutan ketika diminta bantuannya," sahut Tan
Liang. "Apakah sudah diketahui siapa orangnya yang menotok jalan darah pasangan suami
istri Lie tayhiap?" tanya Tao Ling.
Wajah si harimau bersayap emas Tan Liang jadi kelam.
"Sampai saat ini masih belum diketahui!"
Lie Cun Ju masih sadar. Dia mendengar jalan darah kedua orang tuanya masih belum
terbebaskan sampai saat ini, hatinya menjadi gundah.
"Tao kouwnio, biar bagaimana lukaku ini harus dirawat. Lebih baik kita pergi saja ke
gedung Kuan loya."
Tao Ling mengerti maksud hatinya yang ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah
bundanya Memangnya dia sendiri tidak rindu kepada kedua orang tuanya" Walaupun jarak
antara tempat ini dengan kediaman Kuan loya hanya seratus li lebih, tetapi apabila di
dalam perjalanan kepergok ketiga iblis yang kemarin, jiwa mereka pasti tidak dapat
dipertahankan lagi. Karena itu dia menasehati Lie Cun Ju.
"Lie toako, bahkan Kuan tayhiap saja tidak sanggup membebaskan jalan darah orang
tuamu, apa gunanya kau kesana" Aku rasa Kuan tayhiap dan kedua orang tuaku pasti
akan mencari akal untuk membebaskan jalan darah mereka."
"Betul," tukas Tan Liang. "Kuan tayhiap sendiri sudah bersiap-siap mengantarkan
kedua orang tuamu ke Si Cuan untuk meminta pertolongan si Kakek berambut putih.
Sang Hao telah merundingkan masalah ini."
Lie Cun Ju baru agak lega mendengar keterangan orang itu. Sedangkan dia juga
maklum larangan Tao Ling adalah untuk kebaikan dirinya sendiri. Oleh karena itu dia
tidak berkata apa-apa lagi.
"Tao kouwnio, apakah aku perlu menyuruh orang menyampaikan beritamu kepada
kedua orang tuamu" Jarak dari sini ke tempat tinggal Kuan tayhiap hanya memakan
waktu tiga ken-tungan apabila menunggang kuda pilihan," tanya Tan Liang kembali.
57 Tao Ling sadar, apabila orang tuanya sanipai datang kemari, pasti dia tidak bisa
bersama-sama Lie Cun Ju lagi. Karena itu dia menyahut cepat.
"Tidak usah!"
Tan Liang dan Liu Hou masih duduk di dalam kamar dan menanyakan masalah Tao
Heng Kan yang membunuh Li Po tanpa sebab musabab. Karena urusan ini sudah
tersebar kemana-mana dan menjadi tanda tanya bagi setiap orang. Tentu saja Tan
Liang dan Liu Hou juga ingin mengetahui hal yang sebenarnya. Tao Ling hanya dapat
menceritakan kejadian yang berlangsung saat itu, sedangkan apa sebabnya kokonya
sampai membunuh Li Po, dia sendiri tidak habis mengerti.
Jilid 2________
Baru saja selesai bercerita, tiba-tiba dua orang petugas piau kiok masuk ke dalam
kamar dengan sikap gugup.
"Tan . . . cong piau . . . tau, di... luar .. . ada orang ... yang ingin ... ber... temu dengan
...Anda!" "Ada orang ingin bertemu saja, mengapa kau sampai segugup ini?" bentaknya kesal.
"Begitu masuk ke dalam halaman, orang itu sudah menghancurkan patung singa di
depan dengan sekali hantam!" kata yang satunya.
Wajah Tan Liang langsung berubah mendengar keterangan anak buahnya. Dia
langsung berdiri dari tempat duduknya. "Bagaimana rupa orang yang datang itu?"
"Yang ... satu bertubuh tinggi kurus, satunya lagi . . . gemuk pendek, sedangkan yang
terakhir ... tampaknya seorang perempuan. Wajah mereka tidak terlihat karena
mengenakan sebuah topeng berwarna merah darah."
Tan Liang dan Liu Hou tampak merenung memikirkan kira-kira siapa orang yang
berpenampilan demikian di dunia kang ouw. Tetapi wajah Tao Ling langsung pucat
pasi. Tidak disangka-sangka dengan susah payah dia berhasil melarikan diri dan
bersembunyi di gedung itu. Ternyata ketiga iblis itu masih mengejar mereka. Dalam
keadaan panik, dia sendiri sampai kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Kalau mengingat suara tawa si gemuk pendek yang aneh dan menyeramkan, seluruh
bulu kuduk Tao Ling langsung merinding. Bagi dia sendiri masih tidak apa-apa, tetapi
Lie Cun Ju sedang terluka parah. Mana mungkin dia sanggup mendengar berita yang
mengejutkan itu. Begitu perasaannya kacau, kembali dia memuntahkan darah segar.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang aneh itu, dan ketiga iblis itu pun sudah berdiri
di depan pintu kamar.
Melihat ketiga orang itu langsung menerobos ke dalam kamar, mula-mula Tan Liang
agak tertegun, kemudian wajahnya menyiratkan perasaan kurang senang.
"Siapa kalian?" bentaknya sinis.
58 Tetapi si gemuk pendek itu tidak menyahut, dia saling lirik dengan kedua saudaranya.
Tubuh si laki-laki tinggi kurus langsung berkelebat. Sebelah lengannya menjulur ke
depan, dia langsung menyerang Tan Liang.
Selama hidupnya, entah sudah berapa banyak mara bahaya yang dihadapi si Harimau
Bersayap Emas Tan Liang. Tentu saja dia tidak merasa takut, malah tertawa terbahakbahak.
Tubuhnya bergerak sedikit untuk menggeser ke samping, tetapi lengan si lakilaki
kurus yang panjang itu memainkan jurus yang aneh. Padahal terang-terangan
sebuah pukulan sedang diarahkan kepada Tan Liang, tetapi di tengah jalan, telapak
tangannya itu mengatup dan berganti menjadi tinju. Tangannya seperti mempunyai
mata dapat menggeser ke arah mana pun Tan Liang bergerak. Lagipula serangannya
tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Tan Liang bukan jago kelas satu di dunia kang ouw. Dia sebagai seorang Cong piau
tau dari perusahaan piau kiok. Pengalamannya cukup banyak dan pengetahuannya juga
luas sekali. Setidaknya setiap ilmu pukulan yang terkenal di kolong langit ini, dia
pernah mendengarnya. Akan tetapi jurus partai mana yang dikerahkan laki-laki
bertubuh tinggi kurus ini" Dia tidak pernah mendengar ada ilmu pukulan seaneh ini di
dunia kang ouw.
Tan Liang tidak berani menyambut dengan kekerasan. Dia berusaha menghindar dari
serangan laki-laki bertubuh tinggi kurus itu. Tetapi orang itu masih juga memainkan
jurus yang sama. Hanya saja tinjunya membuka dan jari tangannya melakukan
penyerangan dengan mencengkeram
Tiga kali perubahan ini membuat hati Tan Liang tercekat. Ilmu kepandaiannya sendiri
terhitung tidak rendah, tapi tidak pernah dia menyaksikan perubahan jurus seaneh ini.
Sekitar kurang dari satu depa Tan Liang dengan penuh pukulan, tinju, dan cakar. Dia
menyadari bahwa dirinya telah berhadapan dengan musuh yang tangguh. Terdengar
suara Crep! Pecut lemasnya segera dilepaskan dan tidak mau menghadapi lawan
dengan tangan kosong.
Tetapi ketika Tan Liang baru saja melepaskan pecut lemasnya, tiba-tiba dia
mendengar suara jeritan ngeri dari mulut Liu Hou. Hubungan Tan Liang dengan Liu
Hou sangat akrab, bahkan sudah seperti saudara kandung. Mendengar suara jeritan
sahabatnya itu, pikirannya langsung terpecah, tangannya tanpa sadar merenggang dan
tahu-tahu pecut lemasnya sudah direbut oleh si laki-laki bertubuh tinggi kurus.
Kemudian disusul dengan suara Blam! Dadanya telah terhantam telak oleh pukulan
lawan. Dalam keadaan panik, Tan Liang masih sempat menolehkan kepalanya. Dia melihat
Liu Hou sudah terkulai di atas tanah, mati dengan bersimbah darah.
Rupanya ketika laki-laki bertubuh tinggi kurus mulai bergebrak dengan Tan Liang,
perempuan yang dipanggil 'sam moay' segera menghunus sepasang goloknya dan
menerjang ke arah Liu Hou. Liu Hou yakin terhadap kekuatan sendiri. Dia menangkis
serangan perempuan itu dengan golok lebarnya. Tidak disangka begitu saling
membentur, goloknya langsung terpental. Golok di tangan kiri perempuan itu langsung
menancap ke dalam ulu hatinya!
59 Sedangkan Tan Liang yang terkena hantaman si laki-laki tinggi kurus langsung merasa
dadanya seperti mendidih. Tubuhnya terhuyung-huyung. Si Tinggi kurus
mengeluarkan suara tawa yang aneh. Pukulan kedua langsung dilancarkan. Kali ini,
Tan Liang bahkan tidak sempat bersuara sedikit pun. Tubuhnya terpental ke dinding
kamar dengan keras, kemudian terkulai jatuh dan mati seketika dengan beberapa
tulang belulang yang patah.
Keempat orang itu hanya bergebrak dalam waktu yang singkat. Ternyata sudah
berhasil memperlihatkan pihak mana yang kalah dan pihak mana yang menang. Tao
Ling yang duduk di samping Lie Cun Ju merasa hatinya diguyur air dingin. Tetapi biar
bagaimana pun dia tidak bersedia melarikan diri atau meninggalkan pemuda itu.
Tampak perempuan tadi dan si laki-laki tinggi kurus membalikkan tubuh dan berlari
keluar. Baru saja mereka meninggalkan kamar itu, dari luar berkumandang serentetan
jeritan yang menyayat hati. Keadaan di luar sana tampaknya kalang kabut. Si laki-laki
bertubuh gemuk pendek malah tertawa terkekeh-kekeh. Dia melangkahkan kakinya
menghampiri Tao Ling dan lie Cun Ju.
Tao Ling sadar mereka sulit menghindarkan diri dari ancaman bahaya kali ini.
Daripada mati konyol, lebih baik mengadu jiwa, pikirnya dalam hati. Dia segera
melepaskan pedang ernas dan perak dari selipan pinggangnya kemudian menerjang ke
arah si gemuk pendek. Tetapi baru saja ruangan kamar itu dipenuhi cahaya yang
berkilauan, orang itu sudah menghantamkan sebuah pukulan dan membuat sepasang
pedang Kim Gin Kiarn itu terpental jauh.
Belum sempat Tao Ling berdiri dengan mantap, sebuah pukulan lainnya sudah
meluncur ke arahnya. Tao Ling merasa telapak tangan orang itu masih belum
menyentuh dadanya. Hanya serangkum kekuatan telah menerpanya dengan kencang.
Tubuhnya bagai ditimpa besi seberat ribuan kati. Matanya langsung berkunangkunang,
tubuhnya limbung dan Hooaakkk! Dia memuntahkan segumpal darah segar.
Tapi gerakan tubuhnya masih belum berhenti, kakinya terhuyung-huyung ke belakang,
kemudian secara kebetulan jatuh menimpa tubuh Lie Cun Ju. Terdengar pemuda itu
menjerit histeris. Tampaknya tekanan tubuh Tao Ling membuat lukanya bertambah
parah beberapa kali lipat!
Tao Ling merasa dirinya hampir jatuh tidak sadarkan diri begitu tubuhnya menimpa
Lie Cun Ju. Tetapi dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, dia masih sempat
mendengar suara perempuan itu berkata.
"Toako, satu pun tidak ada yang tertinggal, mari kita pergi!"
Tao Ling masih berusaha memberontak, tetapi tiba-tiba dadanya terasa sakit, si Gemuk
Pendek sudah melancarkan kembali pukulannya yang kedua. Dia hanya merasa isi
perutnya seperti membrendel dan kacau balau. Tubuhnya hanya sempat bergerakgerak
sedikit kemudian terdiam.
***** Entah berapa lama telah berlalu, Tao Ling tersentak sadar oleh rasa sakit dan perih.
Dia ingin membuka matanya, tetapi kelopak matanya tidak bisa digerakkan sedikit
pun. 60 Seluruh tubuhnya bahkan seluruh isi perutnya bagai ditusuk ribuan jarum yang telah
dipanaskan di atas bara api. Karena sakitnya sehingga sulit diuraikan dengan kata-kata.
Dalam tenggorokannya seakan ada segumpal darah yang telah membeku, sehingga
sulit baginya meskipun hanya menelan ludah saja. Jangan kan berbicara, merintih pun
Tao Ling tidak sanggup.
Tetapi, ketika dia sudah tersadar. Meskipun matanya tidak bisa membuka, mulutnya
tidak bisa bicara, tetapi telinganya masih bisa mendengar, walaupun suara yang ada di
sekelilingnya hanya sayup-sayup seakan jauh sekali. Dia merasa ada seseorang di
dalam kamar itu yang terus bolak balik. Kadang suara langkah kakinya berhenti di
sampingnya, kemudian menjauh lagi seakan meninggalkannya.
Saat itu, kecuali pasrah pada nasibnya sendiri, Tao Ling tidak sanggup melakukan apaapa
lagi. Tidak lama kemudian terdengar seseorang berkata. "Meskipun kedua orang
ini masih ada setitik nafas, tapi seluruh isi perutnya sudah tergetar. Meskipun bisa
mendapatkan obat yang mujarab, takutnya nyawa mereka hanya tinggal beberapa
kentungan saja." Suara itu terdengar terlontar dari mulut orang yang sudah tua.
"Belum tentu. Aku juga tidak mengharapkan mereka tertolong. Pokoknya salah satu
dari mereka bisa berbicara beberapa patah kata, cukup." Suara yang satu ini terdengar
nyaring dan merdu. Seakan terlontar dari mulut seorang anak gadis berusia lima
belasan tahun. "Kalau begitu kita coba saja." Terdengar orang yang sudah tua berkata lagi.
Tao Ling merasa ada sebuah telapak tangan yang panas membara menempel di
punggungnya. Lukanya saat itu memang parah sekali, sampai dia sendiri tidak dapat membayangkan
keparahannya itu. Kalau dalam keadaan seperti ini, dia tidak mengalami kematian,
boleh dibilang merupakan suatu keajaiban. Ketika tangan itu menempel di
punggungnya, gadis itu merasa nyeri yang tidak terhingga. Sesaat kemudian dia jatuh
tidak sadarkan diri lagi.
Ketika Tao Ling tersadar kembali, rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Tapi seluruh
persendian dan tulang belulangnya masih ngilu dan lemas, seperti terlepas atau
beruraian di dalam kulit. Tao Ling tidak mempunyai tenaga sedikit pun. Niatnya ingin
membuka mata untuk melihat dimana dirinya berada, tetapi tidak ada kekuatan sama
sekali. Sedangkan tubuhnya terasa terguncang-guncang dan terdengar suara berderakderak.
Rasanya dia berada di dalam sebuah kereta yang sedang melaju. Tao Ling


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menenangkan pikirannya. Mula-mula dia mencemaskan keadaan Lie Cun Ju.
Dengan menenangkan perasaannya, Tao Ling mencoba mengingat pembicaraan kedua
orang yang didengarnya tempo hari. Kemungkinan Lie Cun Ju belum mati, hanya dia
tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.
Dalam hati Tao Ling menarik nafas panjang, Kembali gadis itu merasa ada orang yang
membuka mulutnya dan menuangkan sejenis cairan. Cairan itu harum dan
menyejukkan perutnya. Perasaannya juga lebih segar. Dia mendengar anak gadis itu
berkata. 61 "Lihat! Dia tidak mati kan" Malah sudah jauh lebih segar dari beberapa hari
sebelumnya."
"Meskipun tidak mati, tetapi takutnya dia tidak bisa bergerak lagi selamanya dan
menjadi orang cacat yang tidak dapat berbicara!" Terdengar suara orang tua menyahut.
Selesai pembicaraan, keadaan menjadi hening kembali. Hati Tao Ling dilanda rasa
sedih yang tidak terhingga mendengar pembicaraan mereka. Diam-diam dia berpikir
dalam hati. "Waktu itu aku datang ke Si Cuan mengikuti kedua orang tuaku. Kata mama ada
urusan yang penting sekali. Tetapi aku tidak tahu urusan apa yang dimaksudkan.
Malah tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Padahal kota Si Cuan saja
belum sampai. Bahkan aku sendiri tidak tahu dimana sekarang aku berada?" Hati Tao
Ling kembali terasa pilu mengingat nasibnya.
Tujuh-delapan hari telah berlalu, Tao Ling masih belum sanggup membuka kedua
matanya. Kadang-kadang dia jatuh tidak sadarkan diri. Tapi kadang-kadang dia
tersadar kembali. Hanya satu hal yang disadarinya, bahwa dia memang berada di atas
sebuah kereta kuda. Lagipula selama tujuh-delapan hari ini, kereta kuda itu tidak
pernah berhenti sekalipun!
Setiap kali mengingat dirinya akan menjadi orang cacat, hati Tao Ling terasa perih
kembali. Kalau ditilik dari kecepatan kereta itu dan tidak pernah berhenti melakukan
perjalanan selama tujuh-delapan hari, rasanya mereka sudah menempuh ribuan li.
Entah kemana kedua orang itu akan membawa dirinya"
Tiga-empat hari kembali berlalu. Tao Ling merasa nyeri di seluruh tubuhnya sudah
lenyap. Dia berniat membuka matanya. Karena itu dia mengerahkan semua
kekuatannya dan ternyata dia berhasil.
Begitu matanya membuka, Tao Ling merasa ada seberkas cahaya putih yang menutupi
pandangannya. Mula-mula dia terkejut sekali. Untuk sesaat dia sampai tertegun. Tetapi
setelah terbiasa, dia baru dapat melihat dengan jelas. Rupanya cahaya putih yang
terlihat olehnya adalah tirai kereta. Begitu putihnya sehingga menyilaukan mata. Entah
terbuat dari bahan apa. Di bagian jendela dan atas pintu kereta juga terdapat rumbairumbai
berwarna putih keperakan. Indah sekali. Meskipun Tao Ling sudah sanggup
membuka mata, namun kepalanya masih belum sanggup digerakkan. Jadi yang dapat
terlihat olehnya hanya atap kereta. Pokoknya sebatas kerlingan matanya.
Tiba-tiba angin berhembus, rumbai-rumbai dari benang putih tersingkap karena
hembusan angin itu, Tao Ling dapat melihat bahwa udara saat itu cerah sekali. Dia
juga melihat hamparan cakrawala yang putih membentang.
Dia tidak tahu dimana dirinya berada. Ingin sekali dia memhuka mulut mengatakan
sesuatu, tetapi sedikit suara pun tidak dapat tercetus dari tenggorokannya.
Dalam keadaan seperti itu, kembali beberapa hari dilewati. Kereta itu masih terus
melaju. Sekarang Tao Ling sudah dapat membedakan arahnya. Mereka menuju ke
62 barat. Dan setiap menjelang malam ada seseorang yang menyuapkan cairan yang
harum ke mulutnya.
Tao Ling memperhatikan orang yang menyuapkan cairan kepadanya. Tetapi kedua
orang itu seakan menghindarkan pandangan matanya. Karena itu Tao Ling hanya
dapat melihat tangan mereka. Tangan yang satunya kurus seperti tengkorak. Uraturatnya
yang berwarna hijau bersembulan. Warna kulitnya kusam. Tetapi tangan yang
satunya justru halus seperti sutera. Warnanya merah dadu yang segar dan kukunya
panjang-panjang berbentuk indah. Malah diusapkan sejenis cairan dan bunga-bungaan,
terlihat seperti merah menyala. Sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa tangan itu
milik seorang gadis yang cantik. Dan Tao Ling yakin suara gadis itulah yang
didengarnya beberapa hari yang lalu. Tetapi dia tidak habis pikir siapa kedua orang
itu" Beberapa hari kemudian, kepala Tao Ling mulai bisa digerakkan. Dia juga melihat
kereta tempat dirinya terbaring merupakan sebuah kereta yang mewah. Di samping
bantalnya menggeletak sepasang pedang emas dan perak. Di bagian kepalanya duduk
dua orang yang mengenakan pakaian putih keperakan. Namun mereka mebelakangi
Tao Ling sehingga gadis itu tidak dapat melihat wajah mereka.
Tao Ling hanya dapat melihat sekilas orang itu dari samping. Yang satu adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya penuh dengan uban berwarna keperakan.
Yang satunya lagi mepunyai rambut sehalus sutera, hitamnya bekilauan. Tentu saja
gadis bertangan indah yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Keempat ekor kuda
yang menarik kereta itu juga berwarna putih keperakan. Derap kaki kuda itu teratur
dan larinya cepat sekali. Selama dua puluhan hari ini, kemungkinan mereka sudah
menempuh perjalanan sejauh tiga ribuan li.
Tao Ling ingin menggunakan kesempatan ketika disuapi cairan harum untuk melihat
jelas wajah kedua orang itu. Tetapi malam itu mereka tidak menyuapinya apa-apa.
Pagi hari keduanya, Tao Ling merasa perutnya nyeri karena kelaparan. Tanpa sadar
dia mengeluarkan suara rintihan.
Boleh dibilang ini merupakan pertama kalinya mulut Tao Ling mengeluarkan suara
selama dua puluhun hari belakangan. Begitu mulutnya mengeluarkan suara rintihan,
gadis itu membentak nyaring kemudian, Sret! Seberkas cahaya keperakan memercik
berkilauan. Ternyata sebuah pecut panjang berwarna keperakan pula. Keempat ekor
kuda itu langsung menghentikan derap kaki mereka. Gadis itu pun menolehkan
kepalanya dan bertemu muka dengan Tao Ling.
Tao Ling merasa pandangan matanya menjadi terang. Seakan dirinya berada di
khayangan. Perasaannya menjadi nyaman dan lega. Ternyata kecantikan gadis itu sulit
diuraikan dengan kata-kata. Begitu cantiknya sampai Tao Ling merasa dirinya bertemu
dengan bidadari. Rambutnya terurai sepanjang bahu, dia tidak mengenakan perhiasan
apa-apa. Alisnya melengkung indah dan bulu matanya lentik. Bola matanya berkilauan
seperti sebuah telaga yang bening. Hidungnya mancung, bibirnya tipis mempesona.
Begitu cantiknya sampai-sampai Tao Ling curiga dirinya bukan bertemu dengan
manusia biasa, melainkan peri atau dewi khayangan. Padahal Tao Ling sendiri bukan
gadis yang jelek, tetapi kalau dibandingkan dengan gadis itu, ternyata tidak ada apaapanya.
63 "Akhirnya kau bisa berbicara juga, bukan?" ujar gadis itu tersenyum.
Selama dua puluh hari lebih, sudah berkali-kali Tao Ling mendengar suara gadis itu.
Hatinya ingin sekali berbicara dengannya. Oleh karena itu, dia berusaha dengan susah
payah untuk menyahut.
"I"ya?"
Suara itu begitu lirih sampai Tao Ling sendiri hampir tidak mendengarnya. Tetapi
gadis berpakaian putih ternyata dapat mendengarnya.
"Bagaimana menurut pendapatmu, akhirnya aku bisa menolongnya juga, bukan?"
Gadis itu tertawa cekikikan seakan senang sekali. Dia memalingkan kepalanya
kembali. "Kalau kau sudah bisa berbicara, dapatkah kau menjawab pertanyaanku?"
Tao Ling menganggukkan kepalanya. Keadaan Tao Ling sekarang ini, kalau
dibandingkan dengan dua puluhan hari yang lalu, yang boleh dibilang sebelah kakinya
sudah menginjak di alam kematian, tentu jauh lebih baik. Tetapi apabila ingin
membuka mulut berbicara, tentu harus mengerahkan seluruh kekuatannya. Tetapi
meskipun suara gadis itu lembut dan merdu didengar namun di dalamnya seakan
terkandung kekuatan yang memaksa siapa pun menuruti kehendaknya.
Walaupun Tao Ling juga seorang gadis, tapi dia merasakan bahwa pengaruh nada
suara gadis itu yang seakan tidak boleh dibantah. Karena itu sekali lagi dia berkata
dengan susah payah.
"Katakanlah!"
Tiba-tiba tubuh gadis itu berkelebat. Tao Ling belum sempat melihat gerakan apa yang
digunakan gadis itu, tahu-tahu orangnya sudah berada di sampingnya. Dia bertanya
dengan suara berbisik.
"Apakah kau mengenal Seebun locianpwe?"
Tao Ling tertegun. Kemudian dia berpikir. "Siapa Seebun locianpwe yang
dimaksudkannya?" Dia sendiri belum pernah mendengar nama orang ini. Karena itu
dia menggelengkan kepalanya.
Wajah gadis itu memperlihatkan mimik yang aneh. Tetapi dalam sekejap mata sudah
pulih kembali seperti semula.
"Tahukah kau, siapa orang yang melukaimu?"
Tao Ling menggelengkan kepalanya kembali. Karena dia memang tidak tahu siapa
ketiga orang yang menggunakan topeng merah itu.
Tiba-tiba wajah gadis itu menyiratkan kepanikan. Dalam sesaat, hampir saja Tao Ling
tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Karena di wajah gadis yang secantik
bidadari itu tiba-tiba terlihat senyuman yang dingin.
64 Walaupun dalam sekejap mata keadaan gadis itu sudah pulih kembali seperti sedia
kala. Tetapi Tao Ling sudah merasakan berbagai penderitaan selama hari-hari
belakangan ini. Karena itu timbul kewaspadaan dalam hatinya. Apalagi bila ia ingat
gadis itu pernah mengucapkan kata-kata 'Aku juga tidak ingin mereka tertolong,
pokoknya salah satu dari mereka bisa berbicara beberapa patah kata, cukup', ketika dia
tersadar setelah terkena pukulan si laki-laki bertubuh gemuk pendek itu.
Kalau begitu, selama dua puluh hari ini mereka berusaha susah payah membangkitkan
dirinya dari jurang kematian hanya ingin mendengar beberapa patah kata dari
mulutnya. Sama sekali bukan karena ingin menolongnya. Tapi, Tao Ling juga merasa
bingung, apa yang ingin diselidiki gadis itu dari mulutnya" Di saat itu pikiran Tao
Ling sangat bingung.
"Apakah kau juga tidak ingat, bagaimana rupa orang itu?" tanya gadis itu.
"Kouwnio, di . . . mana Lie . . . toako?" Tao Ling balik bertanya.
"Maksudmu, orang yang terluka bersama-samamu itu?"
Tao Ling menganggukkan kepalanya.
"Lukanya terlalu parah, meskipun kami berniat menolongnya juga tidak mungkin
berhasil. Belasan hari yang lalu, kami sudah melemparkannya di tepi jalan."
Hati Tao Ling terasa pilu. Di benaknya terbayang sinar mata Lie Cun Ju. Meskipun
gadis itu mengatakan lukanya parah sehingga sulit tertolong lagi, karena itu mereka
melemparkannya ke tepi jalan. Kalau dibayangkan, lebih banyak kemungkinan sudah
matinya daripada hidupnya. Mengingat hal yang menyedihkan, pelupuk matanya jadi
basah. Dua bulir air mata menetes dari sudut matanya. Terdengar dia menarik nafas
panjang. "Cepat kau katakan, siapa yang melukai kau dan orang she Lie itu, juga yang
membunuh Harimau Bersayap Emas Tan Liang, kemudian wakilnya Liu Hou dan
belasan orang pegawai 'Ling Wei piau ki'?" tanya gadis itu kembali.
Hati Tao Ling terkejut sekali mendengar kata-katanya. Ternyata karena dirinya
menumpang di gedung itu, belasan orang sampai kehilangan nyawanya. Cara turun
tangan ketiga orang itu benar-benar keji dan bedarah dingin.
"Jum . . . lah musuh . . . ada tiga . .. orang . . . Dua . . . laki-la . . . ki dan sa . . . tu pe . .
. rem ... pu ... an, se . . . muanya . . . me . . . ngena . . . kan to ... peng . . . berwar . .. na
me ... rah da ... rah!" jawab Tao ling.
"Rupanya mereka!" Gadis itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bagus. Semuanya sudah jelas. Kita sudah boleh melanjutkan perjalanan," sahut orang
tua dengan tanpa menolehkan kepalanya sama sekali.
65 "Betul," sahut gadis itu. Cahaya perak berkelebat, gadis itu sudah kembali ke tempat
semula. Tao Ling tidak mengerti apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba pecut keperakan di
tangan gadis itu melayang ke atas, Creppp! arahnya menuju Tao ling.
Tentu saja Tao Ling terkejut sekali. Tetapi tubuhnya tidak dapat bergerak sama sekali.
Terpaksa dia membiarkan perbuatan gadis itu. Ketika pecut itu mengenai dirinya, dia
tidak merasa sakit. Tetapi Tao Ling merasa kalau pecut itu menekuk dan melilit
tubuhnya. Kemudian gadis itu menghentakkan tangannya sehingga tubuh Tao Ling
pun terangkat. Begitu gadis itu mengibaskan tangannya, tubuh Tao Ling terlempar
sejauh dua depa dari kereta, terhempas di tanah. Dari dalam mulutnya menyembur
darah segar dalam jumlah yang sangat banyak.
Secara sekonyong-konyong gadis itu mengulurkan pecutnya melemparkan' tubuh Tao
Ling keluar dari kereta. Meskipun kejadiannya hanya sekejap mata, namun pikiran
Tao Ling masih sadar. Dia teringat sepasang pedang emas dan perak yang
menggeletak di samping bantalnya. Sepasang pedang itu membawa pengaruh besar
bagi dirinya. Biar bagaimana pun dia tidak ingin kehilangan pedang itu.
Tapi baru saja tubuhnya menghempas di tepi jalan, tiba-tiba matanya melihat dua
berkas cahaya yang berkilauan. Gerakannya seperti cahaya kilat. Cep! Cep! terdengar
suara sebanyak dua kali. Ternyata sepasang pedang emas dan perak itu juga
dilontarkan keluar dengan pecut di tangan gadis tadi. Sedangkan jatuhnya tepat di
samping leher Tao Ling.
Tubuh Tao Ling tidak dapat digerakkan. Dengan mata membelalak dia melihat kereta
kuda itu meluncur pergi dengan cepat. Pada saat itu, dia baru melihat bahwa kereta
kuda itu juga berwarna putih keperakan. Rumbai-rumbai benang yang menghiasi
tepian kereta melambai-lambai ketika kereta itu bergerak. Tidak lama kemudian,
kereta kuda itu hanya tinggal tampak setitik warna perak di kejauhan.
Tao Ling berusaha mempertahankan kesadarannya. Dia benar-benar tidak dapat
menduga apakah gadis dan orang tua itu terhitung orang dari golongan lurus atau
sesat. Dia juga tidak dapat menduga siapa mereka"
Tadinya dalam hati Tao Ling timbul kebencian yang dalam. Tetapi setelah dipikirkan
matang-matang, dia merasa tidak sepantasnya membenci mereka. Biar bagaimana
mereka telah menolongnya. Bila tidak mungkin di gedung "Ling Wei Piau ki' dirinya
sudah terkapar menjadi mayat. Walaupun akhirnya dia harus mati juga, namun
setidaknya dia sudah memperpanjang kehidupannya selama dua puluh hari lebih.
Hatinya menertawai dirinya sendiri. Apa artinya hidup lebih lama dua puluhan hari"
Sedangkan dirinya sendiri tidak tahu dimana sekarang dia berada, apalagi setelah mati,
tidak mungkin ada yang menemukannya. Beberapa tahun kemudian, dirinya hanya
tinggal onggokan tengkorak dan tulang-tulang putih.
Dengan perasaan sedih Tao Ling memejamkan matanya. Selama beberapa kentungan
dia berada di antara sadar dan tidak. Hari lambat laun menjadi gelap. Rembulan jernih
66 seperti air telaga. Sinarnya menyoroti sepasang pedang emas dan perak di samping
lehernya sehingga tampak berkilauan.
Tao Ling menolehkan kepalanya menatap sepasang pedang emas dan perak itu, di
dalam hatinya timbul lagi secercah harapan. Sepasang pedang emas dan perak ini
sangat terkenal di dunia kang ouw. Seandainya ada orang yang melewati tempat ini,
kemungkinan dirinya akan tertolong.
Mata Tao Ling masih mengerling ke samping menatap sepasang pedang itu lekatlekat.
Tiba-tiba angin berhembus. Hidungnya mengendus serangkum hawa yang
harum. Hanya mencium baunya saja perasaannya sudah jauh lebih nyaman dan segar.
Ketika matanya memperhatikan dengan seksama, dia melihat ada semacam tumbuhan
disamping sepasang pedang emas dan perak. Daunnya berwarna ungu, ukurannya
lebih tinggi sedikit dari rum put biasa. Tanaman itu melambai-Iambai karena gerakan
angin, pemandangan pun menjadi indah sekali.
Di bagian atas tanaman itu tumbuh empat butir buah berwarna merah sebesar
kelengkeng. Merahnya demikian indah. Meskipun Tao Ling harus memiringkan
kepalanya dan melihat dengan susah payah, tapi rasanya sayang untuk mengalihkan
pandangannya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara pletok! yang lirih, sebutir buah pecah. Buah
itu meneteskan air yang baunya harum sekali. Kebetulan tetesannya jatuh di bibir Tao
Ling. Gadis itu segera menjulurkan lidahnya dan menjilat cairan buah itu. Rasanya
manis, begitu masuk ke dalam mulut harumnya semakin menjadi-jadi.
Sisa cairan itu menetes di atas tanah lalu meresap ke dalam dan menjadi kering. Pada
saat itu Tao Ling sudah tahu bahwa keempat butir buah itu adalah buah sian tho atau
buah dewa yang langka. Kemungkinan apabila dia makan semua buah itu, lukanya
bisa lebih cepat pulih atau mungkin tenaga dalamnya bisa bertambah.
Walaupun jarak buah itu sangat dekat, tetapi Tao Ling tidak menemukan akal untuk
memakannya. Dia hanya dapat memandang lekat-lekat seperti orang rakus.
Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara pletak! sebutir buah pecah lagi, dan
cairannya pun menetes ke dalam mulut Tao Ling. Dengan rakus Tao Ling
menjilatinya. Jarak pecahnya buah yang satu dengan buah yang lainnya hanya kurang
lebih sepeminum teh. Tao Ling merasa jantungnya berdebar-debar. Di dalam tubuhnya
mengalir hawa yang hangat.
Perasaan ini pasti dimiliki oleh orang yang normal. Padahal selama dua puluhan hari,
Tao Ling justru tidak merasakannya. Bahkan sebelumnya detak jantungnya merasa
lemah seperti lampu kehabisan minyak.
Kali ini, Tao Ling semakin yakin dengan dugaannya. Buah itu pasti buah langka yang
mempunyai khasiat besar untuk menyembuhkan luka dalam. Dia hanya meneguk
belasan tetes cairan dari buah itu, tetapi perasaannya sudah jauh lebih segar. Berarti
faedah buah itu sudah terlihat. Seandainya dia bisa makan sisa buah yang tinggal dua
butir lagi, bukankah keadaannya akan semakin baik"
67 Apabila seseorang mencapai detik kematian, pasti akan memikirkan cara untuk
menyelamatkan diri sendiri. Pasti ada semacam kekuatan yang mendesak hati kecilnya
untuk mempertahankan nyawanya. Begitu pula Tao Ling, kehangatan yang mengalir


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam tubuhnya seakan memberinya kekuatan. Dengan sekuat tenaga dia memiringkan
kepalanya. Walaupun dia belum sanggup mengangkat kepalanya, tetapi dia berusaha
untuk menjulurkan lehernya agar dapat menggigit buah itu. Tetapi biar bagaimana dia
berusaha, jaraknya dengan buah itu masih terpaut sedikit. Persis seorang anak berusia
dua tahun ingin meraih suatu benda di atas meja. Apalagi keadaan Tao Ling sedang
terluka parah. Dia ingin meraih buah itu rasanya sesulit terbang di angkasa.
Hampir kehabisan tenaga Tao Ling meluruskan kepalanya kembali. Dia beristirahat
sejenak. Sesaat kemudian dia memberontak lagi untuk berusaha mencapai buah tadi.
Kali ini, dia benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Matanya melihat
bibirnya hampir menyentuh buah itu. Dia membuka mulutnya lebar-lebar tetapi tetap
saja masih terpaut sedikit.
Tao Ling membuka mulutnya lebar-lebar menunggu. Dalam hati dia berpikir,
seluruhnya ada empat butir buah, sekarang yang dua sudah pecah dan cairannya
menetes ke dalam mulutnya. Mungkin apabila dia menunggu sebentar lagi, salah satu
dari buah itu pasti akan pecah pula. Demikian pula buah yang satunya. Asal dia
menunggu dengan mulut terbuka, apabila kedua butir buah itu pecah, tetesannya pasti
akan jatuh ke mulutnya pula.
Tetapi sampai cukup lama dia menunggunya, kedua butir buah itu tidak pecah-pecah
juga. Begitu tegangnya hati Tao Ling, sehingga hampir saja dia semaput. Di saat hatinya
sedang gelisah, tiba-tiba telinganya mendengar suara dentingan. Ting! Ting! Ting!
Suara itu lirih tapi beruntun. Sumber suara itu dari samping tubuhnya. Ketika dia
menolehkan kepalanya untuk melihat bunyi apa yang terdengar di telinganya, Tao
Ling tiba-tiba tercekat hatinya.
Rupanya dia melihat seekor ular kecil sebesar telunjuk tangan. Tubuh ular itu belangbelang
kombinasi merah putih. Merahnya seperti bunga Tho, sedangkan putihnya
seperti salju. Di bagian ekor ular itu terdapat sepasang keliningan kecil yang terikat.
Ular itu sedang melata ke arah tanaman tadi. Setiap kali tubuhnya bergerak, keliningan
di ekornya pun saling membentur dan menimbulkan suara dentingan.
Dalam sekejap mata, ular itu tampak semakin mendekat. Dengan menggunakan bagian
ekornya, ular itu mendongakkan kepalanya ke atas. Dua kali mencaplok, kedua butir
buah yang masih tersisa itu langsung masuk ke dalam mulutnya.
Tao Ling yang sudah bersusah payah menunggu di bawah tanaman itu tidak berhasil
mengangkat kepalanya untuk menggigit buah itu. Namun ular kecil itu datang dengan
menggerak-gerakkan ekornya memaplok seenaknya. Hati Tao Ling benci sekali. Dia
melihat ular kecil itu kembali menggerak-gerakkan ekornya melata dengan tenang
setelah menikmati kedua butir buah tadi. Lagaknya seakan mengejek Tao Ling. Hal ini
membuat perasaan si gadis semakin mendongkol.
68 Tanpa disadari mulut Tao Ling masih terus membuka. Ular kecil itu merayap di
lehernya dan hampir saja menyentuh giginya. Tiba-tiba hati Tao Ling tergerak,
seandainya buah itu memang buah dewa yang langka, sedangkan saat ini baru saja
masuk ke dalam mulut ular kecil itu, pasti khasiatnya masih ada. Mengapa dia tidak
menggigit ular itu saja sampai putus" Bukankah sama saja dia yang menelan buah
tersebut" Diam-diam Tao Ling sudah mengambil keputusan. Demi mempertahankan nyawanya,
otak Tao Ling tidak memikirkan hal lainnya lagi. Dia terus membuka mulutnya lebarlebar
dan menanti ular itu merayap lewat sekali lagi. Padahal di hari biasa, jangan kan
menggigit seekor ular. bahkan menyentuhnya saja, Tao Ling merasa jijik.
Tiba-tiba ular itu merayap ke atas leher Tao Ling, kemudian mendongakkan kepalanya
seakan ingin memandang gadis itu dengan seksama. Tanpa menunda waktu lagi, Tao
Ling mengerahkan seluruh kekuatannya dan dicaploknya kepala ular itu bulat-bulat.
Ketika Tao Ling mencaplok kepala ular itu, keadaannya sendiri sudah setengah sadar.
Bahkan seperti orang gila. Padahal kalau dilihat dari bentuk ularnya saja, siapa pun
bisa menduga bahwa ular itu seekor ular yang sangat berbisa. Kalau Tao Ling sadar,
dia juga tidak akan menelannya bulat-bulat.
Dalam pikiran Tao Ling, yang penting dia harus mendapatkan kedua butir buah yang
sudah masuk ke dalam mulut ular itu. Karenanya, Tao Ling menggigit dengan giginya
kuat-kuat, sampai sekian lama dia tidak melepaskannya. Terdengar ekor ular itu
mengeluarkan suara dentingan yang terus menerus. Ular itu rupanya kesakitan dan
berusaha memberontak. Bahkan berkali-kali ekornya sempat menghempas pipi dan
kening Tao Ling. Gadis itu tidak perduli. Dia terus menggigit kepala ular itu. Sesaat
kemudian dia merasa ada cairan yang masuk ke dalam tenggorokannya. Entah darah
ular atau air buah tadi, Tao Ling tidak sempat merasakannya lagi. Hampir dua
kentungan lamanya dia menggigit kepala ular itu, kemudian lambat laun dia tertidur.
***** Entah berapa lama kemudian, Tao Ling merasa kelopak matanya terasa perih. Ketika
dia membuka matanya kembali, ternyata matahari sudah tinggi. Jadi saat itu adalah
siang hari keduanya.
Begitu Tao Ling memperhatikan ternyata mulutnya masih menggigit kepala ular itu.
Dengan gugup memuntahkannya, puih! Kepala ular yang sudah terputus itu
termuntahkan keluar, tetapi bagian tubuh dan ekor ular itu masih menggeletak di
lehernya. Tao Ling merasa bagian lehernya agak gatal, tanpa sadar dia mengulurkan tangannya
dan membuang tubuh ular itu jauh-jauh. Ketika ular itu sudah melayang jauh, dia baru
tersentak sadar, hatinya gembira sekali, dengan nada parau dia berteriak, "Aku bisa
bergerak!"
Sebelurn tertidur, Tao Ling telah berusaha sekuat tenaga untuk mendongakkan
kepalanya karena ingin mencaplok kedua butir buah dewa tadi. Tetapi biar tenaganya
sampai habis, dia tetap tidak sanggup menggigit buah itu. Padahal bagi orang lain
69 hanya perlu memhungkukkan tubuhnya untuk memetik, namun bagi Tao Ling justru
sulitnya bukan kepalang. Padahal saat ini, tanpa disengaja dia membuang bangkai ular
tadi, ternyata dia sudah bisa bergerak seperti orang biasa. Bagaimana hatinya tidak
menjadi senang.
Cepat-cepat Tao Ling menumpu kedua tangannya di atas tanah kemudian bangun dan
duduk. Dengan tanpa menguras tenaga, kemudian dia berdiri, perasaannya seperti
orang yang baru bangun tidur. Apa yang dialaminya selama dua puluhan hari seperti
sebuah mimpi buruk yang panjang.
Di lain pihak, apa yang dialaminya selama dua puluhan hari ini memang merupakan
kenyataan. Tao Ling tidak ingin memikirkan hal-hal lainnya. Dia segera duduk bersila
dan mencoba peredaran hawa murni da lam tubuhnya. Padahal bagi setiap pesilat
asalkan latihan, hawa murni di dalam tubuh otomatis akan beredar sendiri. Tetapi kali
ini meskipun Tao Ling telah mengosongkan pikiran dan memusatkan perhatian,
namun dia tidak merasakan apa-apa. Persis orang yang tidak mengerti ilmu silat sama
sekali. Rasanya hawa murni di dalam tubuhnya terlalu meluap sehingga bergerak
dengan kacau tanpa bisa dihimpun.
Ilmu kepandaian Tao Ling pada dasarnya belum tinggi. Dia juga tidak tahu apakah
yang dirasakannya ini merupakan bencana atau keberuntungan, yang paling penting
dia sudah bisa bergerak. Cepat-cepat dia mencabut sepasang pedang emas dan perak.
Ketika dia melirikkan matanya, dia melihat tanaman buah dewa itu sudah layu.
Meskipun tanaman itu sudah layu, tetapi Tao Ling bisa bergerak pasti karena khasiat
buahnya. Tao Ling berpikir dalam hati, buah yang demikian berkhasiat, pasti daun dan
akarnya berfaedah juga. Karena itu, Tao Ling segera menggunakan salah satu
pedangnya untuk mengorek tanaman itu. Bahkan akarnya pun dicabutnya sekaligus.
Setelah itu dia mengepal-ngepalkannya sehingga menjadi bulatan kecil lalu
dimasukkannya ke dalam saku pakaian.
Setelah itu Tao Ling memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dia baru memperhatikan
dirinya berada di sebuah padang rumput yang luas. Di kejauhan terlihat pegunungan
menjulang tinggi yang bayangan puncaknya penuh diselimuti salju yang putih bersih.
Pemandangan yang indah sekali, tetapi tidak terlihat adanya seorang manusia pun atau
asap yang mengepul dari rumah penduduk.
Tao Ling merenung. Kereta itu sudah melakukan perjalanan selama dua puluh hari
lebih. Apahila berangkatnya dari Hu Pak dan terus menuju ke arah barat, pasti jarak
yang ditempuhnya sudah hampir mencapai tiga ribuan li. Berarti dirinya sekarang
berada di wilayah Si Yu (Sekarang disebut Tibet). Sekarang dirinya sudah sehat. Yang
paling penting tentu mengambil jurusan timur, dia ingin mencari Lie Cun Ju yang
dilemparkan oleh gadis cantik itu ke tepi jalan. Karena itu, dia segera memasukkan
sepasang pedang emas dan perak ke dalam selipan pinggangnya dan berjalan menuju
timur. Hampir setengah harian dia berjalan, bahkan dia sempat memburu beberapa ekor
kelinci yang kemudian dibakarnya dengan api unggun dan dijadikan pengisi perut.
70 Perasaannya sudah jauh lebih segar. Tenaganya juga pulih kembali. Tetapi bagian
lehernya masih terasa gatal sekali.
Selama setengah harian Tao Ling berjalan, tidak menemukan sebuah sungai pun.
Karena itu Tao Ling tidak dapat melihat apa yang terdapat di bagian lehernya yang
masih terasa begitu gatal. Di permukaan tanah yang penuh dengan rerumputan masih
terlihat jejak roda kereta. Tao Ling berpikir, seandainya dia mengikuti jejak kereta itu,
pasti ada harapan menemukan Lie Cun Ju. Walaupun kemungkinan pemuda itu sudah
mati, setidaknya Tao Ling dapat menguburkannya dengan layak.
Ketika malam tiba, dia menemukan sebuah hutan kecil dan terpaksa bermalam di sana.
Pagi-pagi dia sudah bangun. Baru berjalan tidak seberapa jauh, tiba-tiba dia melihat
dua ekor kuda pilihan yang berlari ke arahnya dengan cepat. Penunggang kuda itu
terus melarikan kudanya sembari menundukkan kepalanya ke bawah seakan sedang
mencari sesuatu.
Tao Ling seorang gadis yang berotak cerdas. Dia langsung mengerti apa yang sedang
dilakukan kedua penunggang kuda itu. Akh! Orang-orang itu pasti mengikuti jejak
roda kereta. Mungkinkah mereka sedang mengejar si orang tua dan gadis yang cantik
itu" Ketika Tao Ling memutar pikirannya, kedua ekor kuda itu sudah sampai di depan
matanya. Tao Ling mendongakkan kepala. Kedua orang itu juga sudah melihatnya,
tetapi yang aneh mereka menatapnya dengan mimik wajah menyiratkan perasaan
kaget yang tidak terkirakan.
Wajah kedua orang itu hampir mirip, kemungkinan memang dua bersaudara. Usianya
sekitar lima puluhan. Wajah mereka bersih dan lembut. Seandainya mereka tidak
menunggang kuda dan di bagian pinggang tidak menyembul sebuah senjata yang
bentuknya aneh, Tao Ling pasti mengira kedua orang itu pelajar atau sastrawan yang
tidak mengerti ilmu silat.
Kedua orang itu menatap Tao Ling sekilas, kemudian salah satunya berseru.
"Lie kouwnio, apakah kau melihat sebuah kereta berwarna keperakan yang ditarik
empat ekor kuda berwarna putih lewat di tempat ini?"
Ketika mendengar kedua orang itu menyapanya 'Lie kouwnio', Tao Ling agak
tertegun. Tetapi setelah dipikirkan sejenak, dia langsung mengerti. Pasti karena
sepasang pedang emas dan perak yang terselip di pinggangnya maka kedua orang itu
mengira dia keturunan Pat Kua Kim Gin Kiam Lie Yuan. Dia segera mendongakkan
wajahnya dengan maksud ingin menjelaskan siapa dirinya.
Tidak tahunya, begitu dia mendongakkan kepala, kedua orang itu langsung menarik
tali pe-ngendali kudanya dan mundur beberapa tindak. Wajah mereka menyiratkan
perasaan takut. Setelah saling pandang dengan saudaranya sekilas, mereka langsung
menarik kembali tali laso bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Hei! Kalian ingin mengejar kereta itu" Tapi harap kalian beritahukan dulu, tempat
apa ini?" teriak Tao Ling.
71 Salah satu dari orang itu langsung menghambur ke depan sejauh tiga-empat depa.
Sedangkan yang satunya lagi malah berhenti sejenak kemudian berkata.
"Lie kouwnio, ini wilayah Tibet. Kau lihat gunung itu" Itulah gunung Thian San. Lie
kouwnio, apabila kau tidak menemui Leng Coa ki cu jin (Pemilik rumah ular sakti)
untuk mengobati penyakit keracunanmu itu, mungkin tidak sampai sore hari kau akan
menemui kematian. Kami sudah lama mendengar nama besar ayahmu, sengaja
memberitahukan hal ini!"
Hati Tao Ling dilanda kebingungan. Dia berpikir dalam hati, kalau dua hari yang lalu,
aku memang hampir menemui kematian, tetapi sekarang aku toh dalam keadaan baikbaik
saja, untuk apa aku memohon seseorang meminta dia untuk menyembuhkan
entah penyakit keracunan apa" Siapa pula pemilik rumah ular sakti yang
dikatakannya"
"Toako, mari kita pergi! Jangan menimbulkan masalah lagi!" ucap penunggang kuda
yang satunya lagi.
"Jite, ucapanmu salah sekali. Kita toh memang harus mati, apalagi yang harus
ditakutkan?" Kemudian keduanya pun menarik nafas panjang.
"Entah siapa nama Hong wi yang mulia" Mengapa aku harus memohon pertolongan
pemilik rumah Ular sakti, dapatkah kalian menjelaskannya?" tanya Tao Ling.
"Kami mendapat julukan Sepasang Elang . . ."
Tao Ling tidak menunggu orang itu menyelesaikan ucapannya, dia segera menjura
dalam-dalam. "Oh! Rupanya Elang Besi Ciang Pekhu?"
Orang itu menganggukkan kepalanya.
"Dia itu adik kandungku, Ciang Ya Hu!" katanya sambil menunjuk ke arah orang yang
satunya lagi. Rupanya kedua orang itu yang mendapat julukan Sepasang Elang dari Hian Tiong.
Mereka berasal dari keluarga Ciang. Mereka tinggal di sebuah pulau di tengah danau
dan hidup dengan mewah. Keluarga Ciang merupakan salah satu keluarga terkaya di
dunia kang ouw. ilmu mereka juga cukup tinggi, maka nama mereka tersohor sekali.
Lagipula sejak kecil senang mempelajari berbagai ilmu dari berbagai aliran. Menurut
selentingan di luaran, kedua orang itu bahkan pernah berguru kepada Pun Cing Sian
Sing dari Bu Tong Pai di Hok Kian. Mereka menjadi murid tidak resmi dari tokoh Bu
Tong Pai itu. Hal ini karena Pun Cing Sian Sing melihat watak kedua orang ini yang
berjiwa pendekar. Juga merupakan tokoh yang disegani baik oleh hek to maupun pek
to di dunia bu lim. Tao Ling merasa gembira dapat bertemu dengan kedua orang itu.
72 "Apakah kalian berdua ingin mengejar kereta itu" Aku justru dilemparkan dari kereta
itu oleh seorang gadis cantik dan seorang laki-laki tua. Tetapi itu terjadi dua-tiga hari
yang lalu!"
Si Elang besi Ciang Pek Hu memandangnya dengan terperanjat.
"Kau dilemparkan dari kereta itu" Dia tidak membunuhmu?" Kedua orang itu
terperanjat. "Mungkin karena dia menganggap aku tidak mungkin hidup lagi, tapi kenyataannya
aku justru hidup kembali." Tao Ling tertawa getir.
Si Elang besi Ciang Pek Hu menarik nafas panjang. Dia tidak bertanya lebih jauh.
"Lie kouwnio, dengarlah nasehatku, dari sini ke arah timur, kurang lebih sepuluh li,
ada sebuah sungai kecil, airnya jernih sekali. Mudah dikenali, di sampingnva ada
heberapa pondok yang dikelilingi pohon Liu. Di sanalah tempat tinggal pemilik rumah
ular sakti. Racun aneh yang mengendap di tubuhmu, kemungkinan hanya dia yang
bisa menawarkannya. Cepatlah kesana memohon pertolongannya!"
"Terima kasih atas petunjukmu, tapi tadi kau mengatakan biar bagaimana kalian toh
akan mati, apa maksudmu?"
"Lie kouwnio, biar kami katakan juga percuma . . ." Berkata sampai di sini, tiba-tiba
seperti ada sesuatu yang teringat olehnya. "Lie kouwnio, ada sedikit urusan yang ingin
kami minta bantuanmu, apakah kau tidak keberatan?"
Tao Ling sendiri seorang gadis yang berjiwa pendekar dan berbudi luhur, seperti
ayahnya. Dia segera menganggukkan kepalanya.
"Harap Ciang cianpwe katakan saja!" jawab Tao Ling.
"Apabila pemilik rumah ular sakti bersedia mengobatimu, tolong kau sampaikan
kepadanya bahwa sepasang elang dari Hian Tiong mengirim salam. Juga katakan
kepadanya bahwa kami saat ini dikejar oleh kereta putih itu. Keadaan kami sangat
gawat. Harap dia mengingat hubungan lama dan datang secepatnva memberikan
pertolongan!" ujar si Elang Besi Ciang Pek Hu.
Tao Ling mendengarkan dengan penuh perhatian sampai Ciang Pek Hu menyelesaikan
kata-katanya. Diam-diam hatinya menjadi bingung.
Ciang Pek Hu mengatakan bahwa mereka dikejar oleh kereta putih itu dan keadaannya
gawat sekali sehingga meminta pertolongan dari pemilik rumah ular sakti. Tetapi
kenyataannya kereta itu sudah lewat tiga hari yang lalu dan jauhnya dari tempat ini
mungkin ada lima ratus li. Apalagi tadi mereka mengatakan bahwa mereka ingin
mengejar kereta itu!
Tampaknya Ciang Pek Hu dapat melihat kebimbangan hati Tao Ling.
73 "Lie kouwnio, usiamu masih muda sekali. Di dalam dunia kang ouw bariyak peristiwa
aneh yang tidak dapat kau pahami. Asal kau sampaikan perkataan kami tadi kepada
orang yang itu, kami sudah terima kasih!" ucap Ciang Pek Hu sambil lertawa getir.
"Baik." Tao Ling menganggukkan kepala. Tao Ling tahu bahwa kedua orang ini
berjiwa pendekar. Kata-katanya tadi pasti mempunyai alasan tersendiri.
Ciang Pek Hu menarik tali kendali kudanya. Kedua ekor kuda pilihan itu pun melesat
pergi bagai terbang. Dalam sekejap mata tinggal dua titik bitam tampak di kejauhan,
Tao Ling berdiri termangu-mangu beberapa saat. Gadis itu ingat ucapan Ciang Pek Hu
yang mengatakan dirinya terkena racun yang aneh, mungkin ada hubungannya dengan
ular kecil yang digigitnya. Tetapi kalau dia pergi menemui pemilik rumah ular sakti,
tentu dia tidak bisa mencari Lie Cun Ju lagi.
Tao Ling teringat ucapan si gadis cantik pemilik kereta perak. Gadis itu melemparkan
Lie Cun Ju ke tepi jalan sudah belasan hari yang lalu. Apabila benar, kemungkinan Lie
Cun Ju saat ini sudah mati. Hatinya menjadi bimbang untuk memutuskan apa yang


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus diperbuatnya.
Tiba-tiba di kejauhan berkumandang suara batuk kecil. Tao Ling menolehkan
kepalanya. Dia melihat di kejauhan ada sesosok bayangan. Bentuk sosok gemuk
membengkak, dengan bertumpu pada sebatang bambu dan menghampiri ke arahnya
dengan lambat. Ketika Tao Ling melihat orang ilu masih berada di kejauhan, hatinya sudah terkesiap.
Karena barusan dia mendengar suara batuk kecil seperti jaraknya tidak seberapa jauh.
Sedangkan di tempat yang demikian terpencil tidak mungkin ada orang tua yang
datang, orang itu pasti seorang tokoh bu lim yang sakti.
Ketika pikiran Tao Ling masih melayang-layang, jarak orang itu sudah semakin dekat.
Tampak tubuhnya seperti limbung, dengan sebatang bambu sebagai penumpu.
Jalannya lambat sekali. Tetapi kenyataannya bahkan cepatnya tidak terkirakan. Karena
dalam sekejap mata, orang itu sudah tidak jauh darinya. Sekali lagi Tao Ling
terperanjat, karena orang yang ketika dilihatnya dari kejauhan itu tampak gemuk
membengkak. Akan tetapi setelah dekat ternyata dia sedang memanggul orang.
Dua orang yang merapat menjadi satu. Dari jauh bentuknya seperti bagian atas tubuh
orang itu membengkak. Pantas kalau pertama-tama Tao Ling terkejut, karena dia
melihat bentuk tubuh orang itu yang aneh dan cara jalannya yang seperti merayap
tetapi kenyataannya cepat bukan main!
Sedangkan orang yang dipanggulnya, kepalanya tertunduk dan wajahnya tidak dapat
terlihat jelas. Tetapi bentuk tubuh dan pakaiannya tidak akan dilupakan oleh Tao Ling.
Dialah Lie Cun Ju yang dirindukannya selama hampir satu bulan.
74 Orang tua itu masih melangkah menghampiri dengan bantuan batang bambu di
tangannya. Dia seakan tidak melihat keberadaan Tao Ling. Dilewatinya gadis itu tanpa
melirik sedikit pun.
Tao Ling termangu-mangu melihat Lie Cun Ju yang dipanggul orang tua itu. Justru di
saat yang beberapa detik itu, tahu-tahu si orang tua sudah melangkah sejauh tigaempat
depa. "Lie toako, lo pek, tunggu dulu!" Tao Ling memanggil dengan panik.
Orang tua itu seakan tidak mendengar panggilan Tao Ling. Dia terus melangkahkan
kakinya. Dengan gugup Tao Ling mengejarnya dari belakang. Tetapi, biar bagaimana Tao Ling
mengempos semangatnya mengejar, tetap saja dia ketinggalan beberapa depa di
belakang orang tua itu. Malah jarak mereka semakin lama semakin jauh. Tidak lama
kemudian, yang tampak hanya bayangan punggungnya. Pakaiannya melambai-lambai,
rasanya sulit menyusul kedua orang itu.
Tapi, mana mungkin Tao Ling menyudahinya begitu saja" Biarpun orang tua itu sudah
jauh sekali, dia tetap mengerahkan segenap kemampuannya mengejar ke depan.
Kurang lebih setengah kentungan kemudian, tiba-tiba dia melihat sebuah sungai kecil.
Jernihnya bukan main. Bahkan batu-batu kerikil yang ada di dalam air bisa dihitung
karena terlihat jelas sampai ke dasarnya. Di seberang sungai ada beberapa batang
pohon Liu yang sudah tua. Pemandangan di tempat itu hampir mirip dengan daerah
Kang Lam. Tiba-tiba hati Tao Ling tergerak. Dia ingat kata-kata yang diucapkan
Ciang Pek Hu. Dia mempunyai dugaan bahwa tempat ini mungkin kediaman Tuan
Ular Sakti. Mungkinkah orang tua yang bertemu dengannya tadi Tuan Ular Sakti"
Setelah merenung sejenak, sepasang kakinya langsung menghentak dan meloncat ke
seberang sungai. Dia mendarat turun di depan pepohonan Liu tadi. Dia melihat di
batang pohon Liu yang terbesar terukir tiga huruf, 'Leng Coa ki' (Rumah kediaman
Ular Sakti). Mungkin ketika mengukir tulisan itu, pohon tersebut belum sebesar
sekarang, karena itu bentuk tulisannya jadi melebar tidak teratur. Tapi untungnya
masih bisa terbaca.
Dugaan Tao Ling tidak salah, apalagi di samping beberapa pohon itu ada beberapa
pondok. Baru saja kakinya berjalan setengah tindak, sekonyong-konyong dia
menyurutkan langkahnya kembali. Ternyata ketika dia mendongakkan kepalanya, di
atas pohon terdapat kira-kira delapan ekor ular yang besarnya selengan manusia
dewasa dan panjang kurang lebih satu depaan. Ular-ular itu sedang merayap turun dan
menghadang jalannya. Warna ular itu sama seperti warna daun pohonnya sehingga
bila tidak diperhatikan dengan seksama, pasti tidak terlihat.
Diam-diam Tao Ling berpikir dalam hati.
Ketujuh-delapan ekor ular itu pasti berbisa sekali. Biarpun ular biasa saja sudah tidak
mudah dihadapi, apalagi ular berbisa. Apalagi kedatanganku kemari, ada sedikit
permohonan kepada pemilik rumah. Kediamannya itu dinamakan Leng Coa ki
(Rumah kediaman Ular Sakti), dengan demikian kemungkinan ular-ular ini adalah
75 peliharaannya. Seandainya aku sampai melukai ular peliharaannya, bukankah mencari
masalah baru dengan pemilik rumah itu"
Dengan dasar pikiran demikian, Tao Ling segera menyurutkan langkahnya mundur
beberapa tindak, kemudian berseru dengan lantang.
"Boanpwe Tao Ling, ada urusan penting ingin menemui cu jin, mohon kesediaan cu
jin mengijinkan boanpwe masuk ke dalam!"
Baru saja ucapannya selesai, segera terdengar sahutan dari mulut seorang kakek tua.
"Biar urusan yang bagaimana pentingnya, tetap harus menunggu beberapa saat!"
Ternyata orang yang tinggal di pondok ini bukan orang yang menyepikan diri dan
tidak bersedia bertemu dengan orang luar. Buktinya sekali mengajukan permohonan,
langsung mendapat jawaban darinya. Suaranya terdengar sudah tua sekali. Mungkin
memang orang tua yang ditemuinya di perjalanan tadi. Dia menyuruh tamunya
menunggu beberapa saat. Toh Tao Ling tidak ada urusan lainnya apa salahnya
menunggu beberapa saat"
Dengan menyilangkan tangannya di depan dada, Tao Ling berjalan mondar mandir di
sekitar pepohonan itu. Saat itu dia baru memperhatikan bahwa di ranting-ranting
pohon itu terdapat ular-ular kecil yang berbisa dan jumlahnya harnpir tidak terhitung.
Melihat ular-ular kecil itu, hati Tao Ling agak takut. Dia terus mengundurkan diri
sehingga tidak terasa sudah sampai di tepian sungai. Saat itu dia baru bercermin pada
permukaan air sungai yang jernih. Saking terkejutnya dia sampai menyurut mundur
beberapa langkah.
Hampir saja dia tidak mempercayai pandangan matanya sendiri. Setelah menenangkan
hatinya, dia baru melangkah mendekati tepian sungai kembali. Sekali lagi dia berkaca
di permukaan sungai. Ternyata apa yang dilihatnya tidak berubah. Entah sejak kapan,
di bagian lehernya penuh dengan bercak-bercak merah yang besar kecilnya tidak
sama. Bentuknya seperti bunga Tho.
Bahkan di wajahnya juga sudah terlihat beberapa bercak yang sama. Padahal Tao Ling
seorang gadis yang cantik. Kulitnya putih bersih. Tetapi dengan adanya bercak-bercak
merah, wajahnya menjadi lain bahkan membawa kesan agak mengerikan.
Saat itu juga, Tao Ling baru sadar mengapa sepasang Elang dari Hian Tiong terkejut
sekali ketika pertama kali melihatnya. Rupanya wajahnya penuh dengan bercak-bercak
merah itu. Mungkin mereka menyangka telah bertemu dengan makhluk aneh. Hal ini
tidak mengherankan, sedangkan Tao Ling sendiri saja sempat terkejut setengah mati
ketika pertama bercermin di permukaan air sungai itu.
Di samping itu, Tao Ling juga bingung, dari mana datangnya bercak-bercak merah
itu" Sampai sekian lama dia berdiri dengan termangu-mangu. Matanya memandangi
permukaan air sungai.
"Siapa yang mencari aku?" Tao Ling mendengar suara.
76 Tao Ling terkejut setengah mati, dia langsung menolehkan kepalanya. Orang yang
berdiri di bawah pohon Liu yang besar itu ternyata memang kakek yang dilihatnya
memanggul Lie Cun Ju tadi. Dia mengenakan pakaian berwarna abu-abu, tubuhnya
kurus seperti lidi. Tangannya masih menggenggam batang bambu. Kakek itu
mengenakan jubah besar. Dilihat dari jauh seperti sehelai jubah yang digantungkan di
bawah pohon. Tao Ling segera maju ke depan dan menjura dalam-dalam.
"Boanpwe Tao Ling menghadap locianpwe!"
"Tidak usah banyak peradatan. Apakah kedatanganmu ini ingin memohon aku
menawarkan racun yang mengendap dalam tubuhmu?" tanya orang tua itu sambil
mengangkat batang bambunya dan menahan gerakan tubuh Tao Ling.
"Pasti aku terkena sejenis racun yang aneh makanya timbul bercak-bercak merah di
seluruh wajah dan leher. Tapi aku tidak merasakan apa-apa, hanya sedikit gatal di
bagian leher. Lebih penting menanyakan keadaan Lie toako," ujar Tao Ling dalam
hati. "Locianpwe, orang . . . yang kau panggul tadi . . . adalah sahabat baik boanpwe.
Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya gadis itu.
"Hm! Delapan bagian hampir mati," dengus orang berjubah abu-abu itu.
"Locianpwe, apakah masih ada harapan untuk menolongnya?" Tao Ling bertanya
dengan panik. "Kalau sudah sampai di Leng Coa ki otomatis akan tertolong!"
Hati Tao Ling menjadi lega mendengar jawaban orang tua itu. Hitung-hitung rejekinya
dan Lie Cun Ju cukup besar. Setelah melalui beberapa kali cobaan, ternyata masih bisa
meloloskan diri dari kematian. Justru ketika hatinya masih merasa senang, dia
mendengar orang tua itu berkata lagi.
"Tetapi kau sendiri, aku tidak berjanji bisa menyembuhkannya!"
"Apakah racun yang mengendap dalam tubuhku demikian hebat?" Tao Ling bertanya
dengan hati terkesiap.
"Apakah ular yang menggigitmu itu warnanya belang-belang merah putih dan bagian
ekornya terdapat sepasang keliningan serta besarnya setelunjuk tangan" Ular itu
bernama Tho hua mia (Nasib bunga Tho), setelah digigit olehnya, di seluruh wajah
timbul bercak-bercak merah, lalu tidak bisa tertolong lagi!"
"Locianpwe, ular itu tidak menggigit boanpwe, tapi boanpwe yang menggigitnya,"
jawab Tao Ling dengan tertawa getir.
"Omong kosong!" Orang tua itu terkejut bukan main.
77 "Mana mungkin boan pwe berani berbohong?"
Tao Ling segera menuturkan secara ringkas apa yang dialaminya setelah terlempar
dari kereta yang ditumpangi gadis cantik itu. Orang tua itu mendengarkan dengan
penuh perhatian. Sepasang matanya menatap Tao Ling dengan tajam ketika gadis itu
menyelesaikan ceritanya.
"Kalau hegitu, Tho Hua Mia mati di tanganmu?"
Hati Tao Ling terkejut melihat orang tua itu tiba-tiba menjadi marah. Dia
memberanikan dirinya menjawab.
"Boanpwe tidak tahu ular itu peliharaan locianpwe sehingga dalam keadaan terpaksa,
boanpwe menggigitnya sampai mati."
Wajah orang tua itu berubah lembut kembali.
"Mari ikut aku ke dalam pondok." Dia membalikkan tubuhnya dan melalui beberapa
batang pohon liu tersebut. Tao Ling segera mengikutinya dari belakang. Ular-ular
yang melingkar di atas ranting-ranting pohon seakan takut sekali kepada si orang tua.
Mereka menyurutkan tubuhnya dan bersembunyi di balik gerombolan dedaunan.
Diam-diam Tao Ling merasa heran.
Setelah masuk ke dalam pondok, Tao Ling melihat keadaan di dalamnya sangat teratur
dan rapi. Kursi dan meja juga bersih sehingga tidak terlihat setitik debu pun. Tao Ling
sadar orang tua ini pasti menyukai kebersihan.
"Tanpa disengaja kau telah makan dua butir buah merah itu. Namanya Te hiat ko
(Buah darah bumi). Buah itu memang aneh, juga langka. Bila tidak melihat darah
manusia, selamanya buah itu tidak akan matang. Pada saat itu lukamu parah sekali,
kau memuntahkan darah beberapa kali. Darah itulah yang terhisap oleh buah Te hiat
ko itu sehingga secara kebetulan kau berhasil menikmati cairannya yang menetes ke
dalam mulutmu. Hal ini membawa suatu keberuntungan bagi dirimu. Dengan bantuan
cairan buah itu, racun ular kecil itu jadi terdesak di salah satu bagian tubuhmu, tidak
terpencar kemana-mana. Kalau tidak tentu saat ini kau sudah mati. Tidak usah
khawatir, dengan bantuanku, racun itu pasti dapat terdesak keluar. Tapi . . . apakah
akar dan daun pohon Te hiat ko itu sempat kau cabut atau tidak?"
"Ada!" sahut Tao Ling. Dia segera mengeluarkan kepalan akar dan daun tanaman itu
dari dalam saku pakaiannya.
Orang tua itu seakan melihat benda pusaka saja, dia langsung mengulurkan tangannya
menyambut akar dan dedaunan itu
"Ikut aku!" katanya kemudian.
Mereka masuk ke ruangan yang lain. Di sana terdapat berbagai jenis botol yang
terbuat dari batu kumala. Botol-botol itu berjejer pada sebuah rak yang menempel di
78 dinding pondok. Di atas sebuah balai-balai, berbaring Lie Cun Ju. Ketika Tao Ling
memperhatikannya dengan seksama, dia terkejut setengah mati.
Tanpa sadar mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut. Ternyata wajah Lie Cun Ju
saat itu pucat pasi dan demikian putihnya seperti selembar kertas. Tampangnya bahkan
lebih tidak enak dilihat daripada orang mati sekalipun. Padahal ini sudah ada dalam
dugaan Tao Ling, tapi dia tetap merasa terkejut juga ketika melihatnya langsung.
Apalagi di atas tubuh Lie Cun Ju terdapat beberapa ekor ular kecil berwarna kebirubiruan.
Dapat dipastikan semuanya merupakan ular berbisa dan ular-ular itu bukan
hanya merayap di tubuh Lie Cun Ju, bahkan membuka mulutnya lebar-lebar dan
menggigit setiap urat darah yang penting di tubuh pemuda itu.
Melihat keadaan itu, jantung Tao Ling langsung berdegup keras. Perasaannya memang
sangat mengkhawatirkan keadaan Lie Cun Ju. Dia langsung mempunyai pikiran
"Kakek tua ini pasti bukan orang baik-baik." Membawa pikiran itu, dia segera
membalikkan tubuhnya kemudian membentak.
"Apa yang kau lakukan pada diri Lie toako?"
Orang tua aneh itu hanya menundukkan kepalanya mempermainkan akar dan
dedaunan yang diberikan oleh Tao Ling tadi. Terhadap pertanyaan Tao Ling yang
kasar, dia seakan tidak mendengarnya.
"Kau mencelakai Lie toako sedemikian rupa, kau malah mengatakannya sedang
menolongnya!" Tao Ling membentak lagi sambil melangkahkan kakinya.
"Siapa yang mencelakai Lie toakomu?" tanyanya dingin.
Tao Ling tidak tahu masalah yang sebenarnya, dia menganggap orang tua itu
mencelakai Lie Cun Ju malah sengaja mungkir. Pemuda itu sudah melalui berbagai
penderitaan bersama-sama dengannya, meskipun kokonya, Tao Heng Kan membunuh
Li Po, abangnya Lie Cun Ju, tetapi hubungan mereka baik-baik saja. Apalagi di dalam
hati sudah timbul perasaan sukanya kepada pemuda itu, mana sudi dia menerima
begitu saja Lie toakonya dicelakai orang" Pokoknya dia harus membalaskan dendam
bagi Lie toako!
Walaupun Tao Ling menyadari bahwa orang tua itu bukan tokoh sembarangan, tetapi
hawa amarah dalam dadanya telah meluap. Dia tidak berpikir panjang lagi. Cring! Dia
mencabut pedang dari selipan ikat pinggangnya kemudian melancarkan sebuah
serangan ke arah si orang tua!
Wajah kakek itu langsung berubah melihat tindakannya.
"Bocah cilik, tampaknya kau benar-benar sudah bosan hidup?" Tubuhnya hanya
menggeser sedikit. Serangan Tao Ling segera melesat lewat di sampingnya.
Sejak meneguk cairan buah Te hiat ko, tenaga dalam Tao Ling sudah bertambah kuat.
Gerakan tubuhnya juga jauh lebih ringan, hanya saja dirinya sendiri belum
menyadarinya. Sampai keadaannya menjadi panik karena memikirkan keselamatan Lie
79 Cun Ju, dia melancarkan jurus serangan ke arah orang tua tadi. Hatinya baru terkesiap,
diam-diam dia berpikir dalam hati.
Tia sering mengatakan aku tidak becus mempelajari Pat Sian Kiam. Setelah bertahuntahun
melatihnya masih belum menunjukkan kebolehan apa-apa. Kalau dibandingkan
dengan koko, terpautnya jauh sekali. Tetapi seranganku ini cepat dan keji, sehingga
jurus Menteri mempertahankan negara ini menunjukkan kehebatannya.
Nyalinya jadi besar menemukan kemajuan dirinya. Melihat orang tua itu mengelakkan
serangannya, tubuhnya segera berputar dan melancarkan jurus Sastrawan Meniup
Seruling. Pedangnya mula-mula dilintangkan seperti orang yang sedang meniup
seruling, kemudian kakinya maju setengah tindak dan sekonyong-konyong pedangnya
menghunjam ke depan.
Timbul bayangan bunga-bunga dari gerakan pedangnya, cahaya keperakan berkilauan.
Pedangnya bergerak lurus mengancam tenggorokan si Orang tua.
Kakek tua itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
"Benar-benar bocah yang belum mengerti urusan!"
Tubuhnya disurutkan, kakinya tidak bergerak. Dengan mudah lagi-lagi dia
menghindarkan diri dari serangan Tao Ling!
Hati gadis itu semakin lama semakin sewot. "Gerakan kakek ini aneh sekali," pikirnya
dalam hati. Seandainya saat ini dia bisa berpikir dengan tenang dan kepala dingin,
meskipun ilmunya mengalami kemajuan, tetapi dua kali berturut-turut dia
melancarkan serangan dan semuanya dapat dihindarkan dengan mudah oleh orang tua
itu. Hal ini membuktikan ilmu kepandaian orang tua itu jauh lebih tinggi daripadanya.
Apabila dia langsung menghentikan serangannya, mungkin tidak sampai menimbulkan
berbagai masalah di hari kelak. Tetapi sayangnya dia terlalu panik melihat keadaan Lie
Cun Ju. Orang yang dilanda emosi memang biasanya tidak berpikir panjang. Dua kali
serangannya yang gagal malah membuat hati Tao Ling semakin panas. Pergelangan
tangannya digetarkan. Pedangnya diputar kemudian tiba-tiba tubuhnya menerjang ke
depan. Dengan posisi agak miring, dia mengerahkan jurus Kakek Tua Menunggang
Keledai. Serangannya yang ketiga kali ini semakin hebat dan ganas.
Mimik wajah orang tua itu sejak tadi memang sudah tidak enak dipandang. Ketika
serangan ketiga Tao Ling meluncur datang, wajahnya yang tersorot cahaya pedang
malah menyiratkan kegusaran. Tangan kanannya memasukkan akar dan dedaunan Te
hiat ko ke dalam jubahnya. Tubuhnya bergerak sedikit dengan gaya tenang dia malah


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju menyongsong pedang Tao Ling yang sedang meluncur ke arahnya. Tiba-tiba
tangannya yang seperti tengkorak itu mengulur ke depan. Belum sempat Tao Ling
menghindar, tahu-tahu pergelangan tangannya telah dicengkeram oleh orang tua itu.
Tao Ling merasa terkejut, mendadak serangkum angin kencang sudah menahan
gerakan pedangnya. Hatinya terkesiap. Saat itu dia baru teringat, kakek ini berilmu
tinggi. Seandainya dia ingin membunuh Lie Cun Ju, tentu dia tidak akan menggunakan
ularnya yang kecil-kecil tapi berbisa itu. Keadaan Lie Cun Ju sedang terluka parah.
Sekali hantam saja nyawanya pasti melayang
80 Ketika dia ingin menanyakan hal itu sampai jelas, terlambat sudah. Tangan orang tua
yang seperti tengkorak itu telah mencengkeram pergelangan tangannya erat-erat.
Persendian pergelangan tangannya terasa nyeri bukan kepalang. Keringat yang
membasahi keningnya menetes dengan deras.
Orang tua itu memuntir tangan Tao Ling. Gadis itu merasa setengah badannya seakan
lumpuh. Kelima jari tangannya merenggang, pedang perak pun terlepas dari
tangannya. Terdengar orang tua itu membentak dengan suara yang dalam.
"Sudah dua puluh tahun lebih, tidak ada seorang pun yang berani turun tangan
kepadaku. Siapa kau sehingga nyalimu demikian besar, hah?"
Tadinya Tao Ling masih ingin berdebat, tetapi pergelangan tangannya masih
dicengkeram oleh kakek tua itu. Dia mencoba menghimpun hawa murni dalam
tubuhnya untuk memberikan perlawanan, ternyata rasa sakitnya semakin menjadi.
Keringat dingin mengucur semakin deras. Maka dia tak sanggup lagi membuka suara.
Tampak sepasang mata orang tua itu memancarkan hawa pembunuhan yang tebal.
Hati Tao Ling semakin merasa ketakutan. Baru saja dia berusaha berteriak, tiba-tiba
dari luar pondok berkumandang suara seorang gadis yang nyaring dan merdu.
"Apakah Leng Coa Sian Sing ada di rumah" Ular-ular peliharaanmu semuanya tidak
becus." Wajah orang tua itu tiba-tiba berubah. Tangannya yang mencengkeram pergelangan
tangan Tao Ling mengendur. Tetapi belum sempat gadis itu melakukan gerakan apaapa,
jalan darah di bawah leher dan pundaknya sudah tertotok. Cara turun tangannya
cepat sekali. "Antara aku dan kalian selamanya tidak pernah ada hubungan apa-apa. Untuk apa kau
mencariku?" ujar orang tua itu dengan nada marah.
Saat itu jalan darah Tao Ling sudah tertotok. Gadis itu tidak bisa bergerak atau
bersuara. Tetapi telinganya masih dapat mendengar dengan jelas. Dia mengenali suara
di luar pondok seperti suara si gadis secantik bidadari yang melemparkannya keluar
dari kereta. Terdengar gadis itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Leng Coa Sian Sing, tempat tinggal kita demikian dekat, sejak dulu seharusnya kita
mempunyai hubungan. Karena itu, aku sengaja datang berkunjung. Mengapa sian sing
malah tampaknya kurang senang?" ujar gadis yang ada di luar pondok itu sambil
tertawa terkekeh-kekeh.
Leng Coa Sian Sing (si kakek tua) bimbang sejenak, kemudian dia keluar juga dari
ruangan itu sekaligus merapatkan pintunya. Tao Ling tidak bisa melihat keadaan di
81 luar. Akan tetapi dia masih bisa mendengar pembicaraan antara Leng Coa Sian Sing
dengan gadis itu.
"Ada petunjuk apa yang hendak kau berikan" Silakan katakan langsung!" Nada
suaranya terdengar agak angkuh, namun di dalamnya terselip sedikit kekhawatiran.
Sekali lagi gadis itu tertawa cekikikan.
"Aku mendengar berita, bahwa salah satu dari dua orang yang kupungut tempo hari
dan kuanggap akan menjadi mayat, bahkan kau hidupkan lagi. Seandainya orang itu
benar-benar tidak mati, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya."
"Aneh! Aku tinggal di sini sudah lama, selamanya tidak pernah menginjakkan kaki
keluar dari wilayahku ini, mana mungkin ada orang yang kutolong?"
Suara tertawa gadis itu masih terdengar terus.
"Leng Coa sian sing, harap jangan mungkir lagi. Orang yang melihatmu itu sudah
mengatakan terus terang. Masalah ini besar sekali. Selamanya kau hidup
menyempilkan diri di tempat ini, untuk apa tanpa sebab musabab kau mencari perkara
karena orang itu?" ucap gadis cantik itu sambil tertawa terkekeh-kekeh yang tiada
henti-hentinya.
"I kouwnio, apa yang kau katakan, aku tidak mengerti sama sekali!" Leng Coa sian
sing tertawa dingin.
"Leng Coa sian sing, taruhlah di hadapanku kau masih bisa mungkir. Kau sudah
menyembunyikan orang itu, tetapi kau ingin mengelabui aku. Tapi biar bagaimana kau
tidak bisa mengelabui tiga iblis keluarga Lung dari gunung Ling San, Kui Cou," ujar
gadis cantik itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Pedang Dan Kitab Suci 12 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 20
^