Pedang Tanpa Perasaan 5

Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Bagian 5


Tiba-tiba I Ki Hu menolehkan kepalanya sambil tersenyum.
"Tao kouwnio, ada sedikit ucapan yang ingin kusampaikan. Entah Tao kouwnio
bersedia meluluskannya atau tidak?"
Tao Ling melihat sepasang mata I Ki Hu menyorotkan sinar yang ganjil, ketika
mengucapkan kata-kata itu. Jantungnya langsung berdebar-debar.
"Urusan apa?" tanyanya lirih.
I Ki Hu melangkah setindak ke depan.
"Tao kouwnio mempunyai wajah yang cantik. Dari luar terlihat lembut, di dalam
bijaksana. Aku sudah lama menduda, karena itu watak Giok Hong menjadi manja dan
liar. Apakah Tao kouwnio bersedia mengikat diri denganku menjadi suami istri?"
Mendengar kata-katanya, persis seperti orang yang disambar petir. Mulutnya melongo,
lidahnya kelu. Mana sanggup dia mengucapkan apa-apa"
I Ki Hu tersenyum.
"Tao kouwnio tidak mengucapkan sepatah kata pun, pasti hatimu sudah setuju. Kita
menyembah langit dan bumi di sini saja. Bagaimana menurut pendapatmu?" Sembari
berkata, dia mengulurkan tangannya menarik Tao Ling.
"Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling ketika kelima jari tangan I Ki Hu hampir menyentuh
pergelangan tangannya. I Ki Hu menggerakkan tangannya ke depan, tidak
dibiarkannya Tao Ling menghindar. Sekejap saja pergelangan tangan Tao Ling sudah
tercengkeram olehnya.
"Mengapa tidak?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas ketika I Ki Hu berhasil
mencengkeram pergelangan tangannya. Tubuhnya bersandar di tempat duduk kereta
dan hanya bisa berteriak dengan gugup.
163 "Tidak! Tidak!" teriak Tao Ling lagi.
I Ki Hu tersenyum tipis. Sepasang matanya menatap Tao Ling lekat-lekat. Kalau
dinilai dari usianya, memang I Ki Hu pantas menjadi ayah Tao Ling. Tetapi karena
tenaga dalamnya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, kelihatannya justru seperti
laki-laki yang usianya belum mencapai empat puluhan tahun. Lagi pula wajahnya
sangat tampan, sehingga orang tidak akan sebal melihatnya. Dan senyumannya
barusan justru membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Tao Ling jadi meremang.
Dengan lemas dia memejamkan matanya, telinganya mendengar I Ki Hu berkata
kembali. "Tao kouwnio, apabila kau bersedia mengikat diri menjadi istriku, dendam
permusuhan kedua orang tuamu yang aneh baru bisa terbalas."
Mendengar kata-katanya, Tao Ling jadi heran. Diam-diam dia bertanya kepada dirinya
sendiri. "Dendam permusuhan orang tua" Apakah kedua orang tuaku sudah menemui
bencana?" Rasa terkejut di dalam hatinya semakin bertambah.
"Apakah ayah ibuku telah dicelakai orang?" tanya Tao Ling.
"Urusan ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Sejak semula kau seharusnya sudah
dapat menduganya," jawab I Ki Hu.
Tao Ling tahu kekuasaan I Ki Hu besar sekali. Apa pun tidak ada yang sulit baginya.
Meskipun dia menginginkan Tao Ling menjadi istrinya, dan sekarang masih belum
kesampaian, dia tetap tidak perlu mengucapkan kata-kata yang demikian untuk
menakut-nakutinya. Hati Tao Ling semakin tercekat justru karena percaya apa yang
dikatakan I Ki Hu.
"Ka . . . lau begitu, siapa . . . orang . . . nya yang a ... akan mencelakai ke . . . dua orang
tua . . . ku?" tanyanya gugup.
"Untuk sementara aku masih belum tahu. Tetapi asal kita sudah sampai di Si Cuan,
semuanya akan menjadi jelas. Ini urusan kecil, kalau kau sudah menjadi istriku,
mungkinkah aku tidak membalaskan dendam kedua orang tuamu?"
Tao Ling terdiam beberapa saat. Dengan perasaan seorang gadis, ia
mempertimbangkan situasi yang dihadapinya. Dia sudah melihat bahwa keinginan I Ki
Hu tidak dapat dicegah. Jangan kata padang rumput ini begini sepi dan terpencil.
Biarpun di depan khalayak ramai atau kota besar, kalau I Ki Hu sudah mempunyai
ingatan untuk mengambilnya sebagai istri, siapa lagi yang dapat mencegahnya"
Perlahan-lahan dia memejamkan matanya. Dalam benaknya langsung terbayang wajah
Lie Cun Ju. Mereka sudah mengalami suka duka bersama selama satu bulan lebih.
Bahkan kaki mereka sama-sama pernah menginjak di pintu kematian, yang akhirnya
mereka bisa meloloskan diri dari maut. Dalam hati Tao Ling, tadinya dia sudah yakin
bahwa seumur hidupnya ini, ia tidak akan berpisah lagi dengan Lie Cun Ju. Taruhlah
dirinya harus menjadi dayang I Giok Hong dan Lie Cun Ju harus menjadi penjaga
164 malam di lembah Gin Hua kok, asal dapat bersama-sama untuk selamanya, ia tetap
rela. Tetapi, ia tidak pernah menduga bisa terjadi perkembangan seperti sekarang ini.
Hati Tao Ling sedang merindukan Lie Cun Ju, tetapi telinganya justru mendengar I Ki
Hu berkata lagi.
"Tao kouwnio masih tidak bersuara, itu tandanya sudah setuju. Cayhe memberi hormat
dulu kepadamu."
Tao Ling membuka matanya, dia melihat I Ki Hu sedang membungkuk dalam-dalam
memberi hormat kepadanya. Perlahan-lahan dia menarik nafas panjang. I Ki Hu
menegakkan tubuhnya dan berjalan pergi. Tao Ling tidak tahu apa yang hendak
dilakukannya. Karena itu ia hanya melihat saja. Ternyata I Ki Hu menghampiri
sebongkah batu besar dan mengguratkan jari tangannya di sana. Dalam sekejap mata
sudah terbaca sebuah huruf 'hi' di atas batu besar itu. Kemudian I Ki Hu balik lagi.
Tanpa dapat mempertahankan diri, Tao Ling membiarkan dirinya diseret oleh I Ki Hu
dan melakukan penyembahan dengan menundukkan kepala tiga kali di atas tanah.
Mereka menjalani upacara pernikahan dengan menyembah langit dan bumi.
Dalam satu malam saja, Tao Ling sudah berubah menjadi istri resmi si raja iblis I Ki
Hu. Tiba-tiba saja hatinya terasa kebal. Dalam satu malam seolah-olah hatinya berubah
menjadi kaku dan membeku seperti salju di pegunungan Thai san. Tetapi bukan berarti
hatinya tidak ada perasaan lagi. Paling tidak, jauh di lubuk hatinya, dia masih
mengingat Lie Cun Ju.
Terdengar suara derap kaki kuda. Ternyata I Ki Hu sudah naik ke atas kereta dan
melarikannya dengan kencang menuju Si Cuan. Kereta terus bergerak ke depan,
sedangkan hati Tao Ling terus merindukan Lie Cun Ju. Pemuda yang pernah
dicintainya, bahkan masih dicintainya sampai sekarang.
Tetapi di mana Lie Cun Ju sekarang" Mungkin pemuda itu berada pada jarak sejauh
ribuan li, tetapi mungkin juga begitu dekat sekali sehingga hanya ada di sekitarnya.
Hanya saja Tao Ling tidak tahu. Namun, bagaimana pun juga pemuda itu tidak ada di
sisinya lagi. Pemuda itu sudah terpisah dengannya. Tetapi, seberapa jauh pun mereka
berpisah, kasih sayang yang pernah terjalin di dalam hati mereka masih tetap terjalin
dengan indah. Berpikir sampai di sini, Tao Ling tidak dapat menahan keperihan hatinya. Dia menarik
nafas panjang-panjang.
Helaan nafasnya justru mengejutkan I Ki Hu. Laki-laki itu segera menolehkan
kepalanya. "Hu jin, apa yang membuat hatimu gundah?" tanya I Ki Hu.
"Tidak apa-apa," sahut Tao Ling cepat.
165 I Ki Hu turun dari kereta dan menghampirinya. Pada saat itu kereta kuda sudah sampai
di tepian sungai. Mereka harus menyeberangi sungai itu baru dapat melanjutkan
perjalanan. Jarak dari seberang sungai ke Si Cuan di mana keluarga Sang tinggal,
hanya seratusan H. Tao Ling sendiri tidak tahu sudah berapa hari mereka menempuh
perjalanan. Perasaannya seakan tidak berfungsi lagi. Ketika I Ki Hu menghampirinya,
ia segera memalingkan wajahnya. Tampak air sungai beriak-riak, ombaknya
bergulung-gulung. Arusnya deras sekali. Air mengalir ke bagian timur. Benak Tao
Ling segera teringat pengalamannya ketika terhanyut arus sungai tempo hari. Kejadian
itu pula yang mempertemukannya dengan Lie Cun Ju. Kembali hatinya terasa perih.
"Hu jin, kita menikah sudah enam hari. Tetapi setiap hari kau terus menghela nafas
pendek, menghembuskan nafas panjang. Apakah hatimu sedang merindukan
seseorang?" tanya I Ki Hu.
Tao Ling tertegun. Diam-diam dia berpikir, bagaimana I Ki Hu hisa tahu perasaannya.
Sebetulnya, kalau melihat keadaan Tao Ling sekarang, jangan kan I Ki Hu yang
demikian cerdas, orang biasa pun dapat menduga apa yang menjadi ganjalan hatinya.
Sampai sekian lama Tao Ling tidak memberikan jawaban.
"Hu jin, apakah pemuda yang sedang kau rindukan itu Lie Cun Ju?" tanya I Ki Hu
lagi. "Bukan, bukan dia!" jawab Tao Ling dengan terkejut.
I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman.
"Semakin Hu jin tidak berani mengakui, aku justru semakin yakin. Memang dialah
orangnya. Tapi, Hu jin ... apakah kau tahu siapa pemuda itu sesungguhnya?"
"Aku tidak tahu," jawabnya singkat, tetapi Tao Ling seakan sudah mengakui bahwa
memang Lie Cun Ju yang dipikirkannya. Tadi dia tidak berani mengakui karena
merasa takut apabila I Ki Hu sudah mengetahuinya maka iblis itu akan membunuh
kekasih hatinya. Selesai berkata, dia baru menyadari ucapannya barusan salah. Dengan
panik ia menarik tangan I Ki Hu.
"Jangan kau celakai dia!" katanya gugup.
I Ki Hu mengembangkan seulas senyuman kepadanya.
"Apabila dia bukan putra tocu Hek cui to, tentu saja aku tidak akan mencelakainya.
Tetapi kalau dia ternyata orang yang kucari-cari selama ini. He ... he ... he ... Api yang
liar tidak dapat dipadamkan, angin musim semi terus silih berganti. Biar bagaimana
pun, aku tidak akan membiarkan ia hidup di dunia ini."
Tubuh Tao Ling langsung gemetar mendengar kata-kata I Ki Hu. la sadar dirinya tidak
mungkin bisa membujuk I Ki Hu. Karena itu dia pun tidak mengatakan apa-apa lagi.
166 Seorang diri I Ki Hu berjalan di tepi sungai.Tampak ada sebuah perahu melaju dari
tengahtengah sungai. Gerakannya cepat sekali. Sekejap saja perahu itu sudah mulai terlihat
jelas. Tubuh I Ki Hu berkelebat menghampiri kereta. Disingkapnya sebuah papan lalu
mengeluarkan segulungan tali. Setelah itu dia melesat lagi ke tepi sungai. Gerakan
tubuhnya bukan main cepatnya. Pada saat itu, perahu tadi kebetulan sedang melaju
lewat. Tubuh I Ki Hu berputar, tangannya dihentakkan ke depan, terdengar suara
desiran. Tali itu pun melayang ke arah perahu. Rupanya sejak tadi I Ki Hu sudah
mengadakan persiapan. Tali yang dipegangnya mempunyai cantolan dari besi pada
bagian ujungnya. Sentakannya begitu kuat, ujung tali itu pun langsung menancap di
bagian geladak perahu.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. Ujung tali yang satunya juga mempunyai cantolan
besi. I Ki Hu menancapkannya di atas tanah.I Gerakan perahu pun tertahan oleh kedua
tali yani saling berkaitan itu. Gulungan tali itu sekarang berbentuk titian yang panjang.
Tubuh I Ki Hu bergerak kembali. Dia mencelat ke atas tali dan berjalah dengan cepat
menuju perahu. Baru mencapai setengahnya, terlihat seseorang muncul dari dalam kabin perahu.
Ketika melihat I Ki Hu berjalan di atas tali dan menuju keperahu, orang itu tertegun
sejenak. Cepat-cepat dia menyingkapkan pakaiannya dan menghunus sebilah golok.
Tangannya mengayun ke depan untuk menebas tali yang mengait di geladak perahu
itu. Kalau ditilik dari gerakan tangan orang itu yang begitu cepat dan reaksinya yang
spontan, kemungkinan besar seorang tokoh bu lim juga. Lagipula bukan tokoh
sembarangan. Pada saat itu, I Ki Hu baru mencapai setengah jalan, apabila orang itu berhasil
menebas tali yang dijadikannya titian, pasti dia akan tercebur ke dalam sungai.
Sedangkan arus sungai itu begitu deras. Meskipun I Ki Hu memiliki ilmu yang tinggi
sekali, tetap saja dia akan seperti tikus yang tercebur di parit.
Tetapi bagaimana pun ilmu kepandaian I Ki Hu memang sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali. Baru saja orang itu muncui dari dalam kabin, dan I Ki Hu melihat
gerakan tubuh orang itu yang demikian gesit, ia langsung tahu ilmunya tinggi sekali.
Dia sendiri sudah mempunyai persiapan. Ketika melihat orang itu mengeluarkan
goloknya, dia langsung berseru
"Ada tamu yang berkunjung, masa tidak diterima?" Jari tangannya menyentak ke
depan. Sebatang senjata rahasia melayang di udara dan meluncur tepat mengenai
golok di tangan orang itu.
Tampak orang itu terhuyung-huyung kemudian menyurut mundur beberapa langkah.
Golok di tangannya terlepas dan terdengarlah suara Trak! kemudian terbelah menjadi
dua bagian. Dalam waktu yang singkat itu, I Ki Hu sudah mencelat ke atas perahu.
167 Orang itu terkejut setengah mati. Kepalanya langsung didongakkan.
"Siapakah Tuan?" tanya orang itu.
Padahal, I Ki Hu hanya sembarangan menarik perahu mana saja yang lewat guna
menaikkan kereta kudanya ke atas agar bisa menyeberangi sungai. Dia tidak perduli
siapa penumpang perahu itu. Lagi pula, di dalam hatinya, siapa pun orangnya, asal dia
mengangkat tangannya, dia dapat membunuh orang itu seenaknya. Memang
selamanya I Ki Hu tidak pernah memandang mata pada siapa pun. Tetapi ketika
mendengar pertanyaan orang tadi, dia merasa logat suaranya agak asing. Karena itu
dia segera mendongakkan wajahnya, tampak tubuh orang itu demikian kekar dan
warna kulitnya agak kegelapan. Ternyata bukan orang Tiong goan.
"Cayhe she I."
Perlahan-lahan orang itu menyurut mundur lagi satu langkah.
"Mengapa Tuan menahan perahu kami?"
"Sungai ini sangat dalam, arusnya pun deras. Kami butuh perahu untuk
menyeberangkan kereta kuda, karena itu meminjam perahu Tuan sebentar."
"Kami menyewa perahu ini justru karena ada urusan yang penting sekali. Mana bisa
meminjamkannya kepada Tuan untuk menyeberangi sungai" Lagipula, geladak perahu
ini juga tidak bisa memuat sebuah kereta," kata orang itu dengan nada marah.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak menjadi persoalan. Asal geladak perahu dihilangkan, kan kereta kuda kami
bisa muat di atasnya."
Sembari berbicara, I Ki Hu maju ke depan dua langkah. Orang itu cepat-cepat
menyurutkan tubuhnya ke belakang karena tadi dia sudah merasakan kehebatan I Ki
Hu. Tiba-tiba I Ki Hu membungkukkan tubuhnya sedikit, telapak tangannya
menghantam ke bagian geladak perahu. Saat itu juga, perahu itu berguncang dengan
dahsyat. Terasa ada angin yang menderu-deru, papan yang menutupi bagian geladak
berhamburan karena pukulan I Ki Hu. Terlihatlah sebuah celah yang besar.
Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Dengan demikian pasti muat, bukan?"
Wajah orang itu pucat pasi seketika. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia
berteriak. Entah bahasa apa yang digunakannya. Tetapi tampaknya I Ki Hu mengerti
juga sedikit-sedikit. Dia seperti mengatakan nyali orang ini besar sekali atau semacam
begitulah. Dia juga menanyakan kepada Lhama yang suci apa yang harus
dilakukannya. Diam-diam I Ki Hu merasa geli. Kepalanya mendongak ke dalam
perahu, tanpa dapat ditahan lagi, hatinya langsung tercekat.
Rupanya tenaga pukulannya begitu kuat sehingga atap perahu itu pun tergetar dan
jebol. Saat itu dia dapat melihat keadaan di dalam kabin perahu. Perabotan yang ada di
dalamnya juga berantakan, tetapi ada tiga buah kursi yang masih terletak pada posisi
semula. Di atas kursi itu duduk tegak tiga orang tanpa bergeming sedikit pun.
168 Justru tadi I Ki Hu melihat ilmu orang yang muncul dari dalam kabin itu cukup tinggi.
Dia tidak ingin menunda waktu lama-lama, karena itu dia ingin orang itu tunduk
kepadanya dengan menghantam ke arah geladak perahu. Pukulannya tadi
menggunakan tenaga sebesar sembilan bagian. Maka dari itu pula, seluruh atap yang
menutupi bagian atas perahu itu ikut jebol saking kuatnya. Begitu kuatnya angin yang
terpancar dari pukulan I Ki Hu, ketiga orang yang duduk di dalam kabin itu seperti
tidak merasakan apa-apa. Hal ini membuktikan bahwa mereka bukan lawan yang
dapat dianggap ringan.
Dengan mengembangkan seulas senyuman, I Ki Hu menatap ketiga orang itu. Tampak
orang yang di tengah sudah tua sekali. Wajahnya sudah penuh dengan kerutan, tetapi
sulit diduga berapa usia yang sebenarnya. Tubuhnya kurus seperti lidi. Dia adalah
seorang pendeta atau lhama dari Tibet. Kedua orang yang di sisi kanan kirinya juga
sama-sama pendeta. Kalau dilihat dari tampangnya, usia keduanya sekitar enam
puluhan tahun. Telapak tangan ketiga orang itu dirangkapkan di depan dada. Maka
mereka terpejam dengan tenang, seakan tidak menyadari apa pun yang terjadi di atas
perahu. Setelah menatap sesaat, hati I Ki Hu semakin penasaran. Segera tubuhnya berputar dan
mencengkeram bahu orang itu.
"Siapa kalian?" bentaknya lantang.
Ketika I Ki Hu mengulurkan tangannya untuk mencengkeram, tampaknya orang itu
ingin menghindar. Tapi gerakan tubuh I Ki Hu terlalu cepat, meskipun orang itu
sempat menggeser ke samping sedikit, tetap saja bahunya kena tercengkeram I Ki Hu.
Dia berusaha memberontak, tetapi kelima jari tangan I Ki Hu mencengkeramnya kuatkuat.
Terdengarlah suara krek! Krek! begitu sakitnya sehingga wajahnya pucat pasi.
Tetapi mulutnya masih memaki dengan garang.
"Sebentar lagi kau akan mati, untuk apa kau sesumbar?"
I Ki Hu memperdengarkan suara tertawa yang dingin. Lengan tangannya dihentakkan.
la bermaksud melemparkan orang tadi ke dalam sungai, tetapi haru saja dia
mengangkat tubuh orang itu, tiba-tiba kedua pendeta yang duduk di sisi kiri dan kanan
membuka matanya. Mata mereka menyorot-kan sinar yang ganjil. I Ki Hu adalah
seorang tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi. Apa pun yang menyangkut ilmu


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat pasti dia tahu. Hatinya kembali tercekat. Diam-diam dia berpikir, ilmu yang
dipelajari kedua pendeta ini mirip dengan ilmu Bit tat sin kang dari kaum pendeta
berjubah kuning di pedalaman Tibet. Sinar mata mereka menyiratkan rona
kekuningan. Dapat dipastikan bahwa kedudukan maupun tenaga dalam mereka dalam
Oey kau (Agama Kuning) sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Berpikir sampai
di situ, tanpa dapat dipertahankan lagi gerakan tangannya jadi lambat. Tampak lhama
yang duduk di tengah-tengah mendongakkan kepalanya dan melirik ke kiri kanan.
Kedua lhama yang duduk di sisinya pun memejamkan matanya kembali. Lhama tua
itu herkata dengan nada perlahan dan seperti keenggan-engganan.
169 "Apabila I sicu ingin meminjam perahu, untuk apa harus melukai orang" Harap cepat
m-nyeberangi sungai. Lo ceng (panggilan kepada diri sendiri yang kedudukannya
seorang pendeta) ingin melanjutkan perjalanan secepatnya."
Tentu saja I Ki Hu menggunakan kesempatan untuk menatap ketiga pendeta itu.
Tampak mereka memang mengenakan jubah pendeta berwarna kuning, tetapi karena
sudah tua sekali, maka warnanya sudah pudar. Apalagi lhama yang duduk di tengah,
bahkan pakaiannya sudah berubah warna menjadi agak kelabu.
Jilid 4________
I Ki Hu yakin mereka memang para pendeta dari Oey kau. Untuk sesaat dia juga tidak
berani sembarangan bertindak, karena ilmu kepandaian yang diturunkan oleh agama
yang satu ini mengandung keanehan tersendiri. Boleh dibilang berbeda dengan ilmu
silat aliran mana pun di dunia ini. Diam-diam hati I Ki Hu juga merasa heran, karena
selama ini para lhama dari Oey kau hanya menetap di wilayah Tibet atau Mongol.
Mereka tidak pernah muncul di luaran. Apalagi kalau menilik usia ketiga orang ini
yang sudah tinggi sekali, kedudukan mereka dalam agama itu jelas juga termasuk
angkatan tua. Entah ada keperluan apa mereka datang ke Tiong goan" Mendengar
nada suara lhama tua itu, tampaknya dia sudah bersedia meminjamkan perahu. Karena
itu I Ki Hu merasa senang sekali. Dia melepaskan cengkeraman tangannya dari bahu
orang tadi. "Apabila Taisu sudah bersedia meminjamkan perahu, cayhe juga tidak akan
menyusahkan lagi." Tubuhnya berketebat ke depan perahu, dan dengan menggunakan
tali tadi sebagai titian, dia kembali ke tepi sungai. Setelah itu dia menarik tali tadi agar
perahu mendekat. Kereta kuda dinaikkan ke atasnya, tali yang digunakan digulung
kembali lalu memutar haluan perahu untuk menyeberangi sungai.
I Ki Hu berdiri di samping kereta, dia khawatir ketiga Ihama itu tiba-tiba akan
menimbulkan kesulitan baginya. Karena itu dia juga berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan. Perahu melaju dengan cepat, sekejap kemudian mereka sudah berada di
tengah-tengah sungai.
"Pukulan I sicu tadi, angin yang terpancar keluar mengandung hawa sesat, apakah I
sicu ini orang dari Mo kau" Entah Mo kau kaucu, si tua Kwe lo sian sing tinggal di
mana sekarang?" tanya pendeta yang duduk di tengah.
Mendengar pertanyaannya, I Ki Hu terkejut setengah mati. Karena si tua Kwe lo sian
sing yang ditanyakan Ihama itu adalah mertuanya sendiri yang terbunuh di tangannya.
Juga merupakan ketua angkatan ketiga puluh sembilan dari partai itu. Kaucu itu
sendiri sudah mati tujuh belas tahun yang lalu. Boleh dibilang selama ini tidak ada
orang yang pernah mengungkit lagi nama 'Kwe kau cu".
"Entah untuk apa Taisu menanyakannya?" tanya I Ki Hu setelah tertegun sejenak.
"Dulu loceng mempunyai kesempatan bertemu satu kali dengan Kwe lo Kau cu. Kali
ini kedatangan kami juga untuk mencarinya, tetapi ternyata setelah mencarinya sekian
lama dan menanyakan kesana kemari, tidak ada seorang pun yang tahu kemana
pindahnya orang tua itu."
170 Hati I Ki Hu langsung merasa bangga mendengar ucapannya. Karena tujuh belas tahun
yang lalu, I Ki Hu memberontak terhadap Mo kau dan membunuh tokoh-tokoh tingkat
tinggi di dalam partai itu. Bahkan mertua dan istrinya sendiri juga dibunuh. Boleh
dibilang hal ini sudah tersebar luas di dunia kang ouw. Tetapi Ihama tua tadi justru
mengatakan 'tidak ada seorang pun yang mengetahui kemana pindahnya Mo kau
kaucu Kwe lo sian sing'. Hal ini membuktikan bahwa namanya benar-benar
menggetarkan dunia kang ouw sehingga tidak ada seorang pun yang berani
mengungkapkan kejadian yang sebenarnya. Karena itu pula, I Ki Hu langsung tertawa
terbahak-bahak.
"Taisu ingin mencari Kwe kaucu, dari sini ambil saja arah timur, kurang lebih tiga
ratusan li, ada sebuah desa bernama Jit Hong ceng. Asal Taisu sudah sampai di sana
pasti bisa tahu sendiri!"
Lhama tua itu tidak tahu bahwa Jit Hong ceng yang dikatakannya itu bukan sebuah
desa, tetapi tanah pemakaman.
"Terima kasih atas petunjuknya," ucapnya.
Ketika pembicaraan berlangsung, perahu sudah berlabuh di tepi sungai. I Ki Hu dan
Tao Ling segera turun dari perahu dengan membawa serta kereta kuda mereka. Perahu
pun meluncur kembali. I Ki Hu memandanginya dengan perasaan ingin tahu.
Setelah perahu itu berada di kejauhan dan tinggal titik hitam, dia baru menolehkan
kepalanya kembali. Diam-diam dia berpikir dalam hati. Dirinya adalah menantu dari
kaucu Mo kau, tetapi dia belum pernah mendengar bahwa antara para pendeta Tibet
dengan Mo kau terjalin hubungan persahabatan. Ketiga pendeta tadi datang ke Tiong
goan, pada suatu hari nanti, mereka pasti akan tahu juga bahwa Kwe kaucu sudah
meninggal tujuh belas tahun yang lalu, bahkan seluruh tokoh penting partai itu juga
mati di tangannya. Apabila ketiga lhama tadi bermaksud membalaskan dendam bagi
kaucu Mokau, berarti dia menemukan lawan berat yang sulit ditandingi.
Sembari berpikir, I Ki Hu menjalankan kereta kudanya. Kemudian dia berpikir lagi,
ilmu kepandaiannya demikian tinggi, rasanya tidak ada orang lagi di dunia ini yang
sanggup menandingi. Lagipula ada beberapa tokoh berilmu tinggi yang dapat
diperalatnya. Seandainya ketiga lhama itu akan mencarinya membalaskan dendam
Kwe kaucu, dia juga tidak perlu takut. Akhirnya perasaan I Ki Hu jadi mantap, dia
meneruskan perjalanan menuju Si Cuan.
Menjelang malam, mereka sudah sampai di sebuah jalan raya yang lurus dan lebar.
Wilayah Si Cuan seperti sebuah perbukitan, jarang ada jalan raya. Tetapi jalan raya
yang mereka lalui ini diatur dengan batu besar kecil sehingga terlihat rapi. Tanahnya
datar, di kedua sisi tumbuh pepohonan yang rindang. Sekali lihat saja sudah dapat
dipastikan bahwa jalan raya itu dibuat oleh seseorang. Kereta kuda yang ditumpangi
oleh I Ki Hu dan Tao Ling dapat melaju cepat di atas jalan raya itu. Tiba-tiba
terdengar suara desiran angin, selembar jala yang besar sekali tahu-tahu melayang
turun dan menghadang di depan kereta.
171 Kejadiannya terlalu mendadak. I Ki Hu cepat-cepat menarik tali kendali kudanya agar
berhenti. Tampak jala lebar itu terbuat dari semacam kawat, di bagian atasnya terdapat
banyak duri tajam dari sejenis paku. Tajamnya bukan main. Dalam waktu yang
bersamaan, mereka juga melihat ada enam-tujuh orang yang muncul dari pohon-pohon
di kedua sisi jalan.
"Siapa yang datang?" tanya mereka serentak.
Melihat penghadangan yang lucu itu, I Ki Hu merasa kesal dan geli. Kereta kudanya
sudah dihentikan. Tampak orang-orang yang muncul dari balik pohon masih mudamuda.
Yang paling tua berumur sekitar tiga puluh tahun. Tampang mereka gagahgagah.
Dua di antaranya paling-paling berusia tujuh belasan tahun. Mereka berdiri di
atas ranting pohon sehingga dapat dihayangkan bahwa ilmu Gin Kang mereka sudah
cukup tinggi. Meskipun sebelumnya I Ki Hu belum pernah mengunjungi keluarga Sang, kalau
dihitung dari perjalanan yang telah ditempuhnya, tempat tinggal keluarga Sang sudah
hampir sampai. Sedangkan jalanan lurus ini pasti milik keluarga Sang, dan tidak perlu
diragukan lagi orang-orang yang muncul dari balik pohon pasti anggota keluarga itu
pula. Mereka membuat jalan raya ini untuk menuju gedung keluarga Sang. Karena itu,
I Ki Hu segera tertawa dingin. Dia menjalankan lagi keretanya maju sedikit.
"Tamu berkunjung dengan baik-baik, mengapa disambut dengan cara demikian tidak
sopan?" katanya.
"Siapa yang Anda kunjungi?" tanya kedua pemuda yang berdiri di ranting pohon.
Jarak I Ki Hu sudah dekat sekali. Dia dapat melihat bahwa kedua pemuda itu tampantampan
dan gagah. Di pinggang masing-masing terselip sebuah gantulan (Besi yang
ujungnya berbentuk bola). Keluarga Sang memiliki dua macam ilmu yang terkenal.
Yang satu justru ilmu gantulan itu, dan yang satunya lagi tujuh puluh dua cara
menotok jalan darah manusia. Usia kedua pemuda ini masih muda sekali. Mungkin
terhitung generasi ketiga dari Kakek berambut putih Sang Hao. I Ki Hu sendiri juga
merasa malu apabila harus bergebrak dengan mereka. Karena itu dia hanya berkata
dengan nada dingin.
"Aku mengunjungi Kakek berambut putih Sang Hao."
"Kakekku tidak menemui siapa pun," sahut kedua pemuda itu.
I Ki Hu tersenyum. "Orang lain boleh dia tolak tetapi terkecuali aku, dia harus mau!"
Kedua pemuda itu memang cucu si Kakek berambut putih Sang Hao. Anggota
keluarga Sang semuanya berilmu, tetapi tinggi rendahnya kepandaian masing-masing
berbeda. Kedua kakak beradik itu bernama Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka terhitung
generasi ketiga dalam keluarga Sang. Kedua pemuda itu juga merupakan cucu
kesayangan Sang Hao. Karena itu, ketiga puluh enam jurus gantulan pemancar angin
juga dikuasai sebagian.
172 Sebetulnya keluarga Sang terkenal karena ilmu ruyung saktinya. Tetapi senjata yang
satu ini dianggap kurang praktis dibawa ke mana-mana dan juga tidak sesuai
digunakan generasi muda. Karena itu kemudian hari Sang Hao mengubahnya dengan
menggunakan gantulan sebagai senjata.
Bentuk ruyung dan gantulan memang hampir sama. Bedanya yang satu panjang,
sedangkan yang lainnya pendek. Kepandaian Sang Cin dan Sang Hoat malah lebih
tinggi bila dibandingkan dengan beberapa anggota dari generasi kedua. Karena
keduanya mendapat didikan langsung dari si kakek berambut putih Sang Hao. Tentu
saja Sang Hao sendiri memiliki kepandaian yang sudah mencapai taraf tinggi sekali.
Tetapi orang tua itu tidak berminat mencari nama di dunia kang ouw. Dia memilih
menetap dengan tenang di gedung keluarga Sang di wilayah Si Cuan. Dia pun
melarang anggota keluarganya atau murid-muridnya berkecimpung di dunia kang
ouw. Karena itu pula Sang Cin dan Sang Hoat tidak tahu siapa I Ki Hu.
Mendengar nada bicara I Ki Hu yang sombong, kedua pemuda itu merasa jengkel.
"Pokoknya Yaya kami sudah mengatakan tidak ingin menemui siapa pun."
I Ki Hu merasa geli sekali.
"Kalau dia tidak sudi menemuiku juga, terpaksa aku menjadi tamu yang tak
diundang."
Begitu I Ki Hu mengeluarkan perkataan tadi, orang-orang yang ada di atas pohon
langsung mengeluarkan suara bising, mereka memaki-maki seenaknya.
"Dia kira dirinya hebat sekali, berani berbuat macam-macam di tempat tinggal
keluarga Sang."
I Ki Hu tetap enggan berdebat dengan mereka. Dia hanya tersenyum dingin sedikit.
Pada saat ini, jala besar yang terbuat dari kawat itu masih merintangi jalanan di depan
mereka. Tentu saja kereta kuda tidak dapat dijalankan melewatinya. Tetapi dengan
kepandaian I Ki Hu yang tinggi, untuk meloncati jala sepanjang tiga depaan saja tentu
tidak jadi masalah. Ketika suara teriakan orang sudah reda, dia segera menyingkapkan
tirai kereta. "Hu jin, di depan ada jala kawat yang menghadang. Kereta tidak bisa maju lagi. Tetapi
untung saja gedung kediaman keluarga Sang sudah dekat. Kita jalan saja sembari
menikmati pemandangan alam," katanya kepada Tao Ling.
Perasaan hati Tao Ling terasa hampa, apa pun yang terjadi di depannya seakan tidak
menarik perhatiannya. Apa pun yang dikatakan oleh I Ki Hu, dia hanya mengikuti
saja. la tidak pernah membantah. Mendengar perkataan I Ki Hu barusan, dia hanya
menganggukkan kepalanya. I Ki Hu membimbingnya turun dari kereta dan berjalan ke
depan beberapa langkah.
Ketika melihat Tao Ling, orang-orang yang muncul dari balik pohon tadi langsung
berteriak lagi. Suaranya bising sekali. Salah satunya bahkan berteriak sekeraskerasnya.
173 "Wan! Tua bangka itu malah mempunyai istri yang begitu muda. Pasti bukan orang
baik-baik jangan biarkan dia lolos!"
"Tentu saja. Yaya toh sudah berpesan, siapa pun tidak boleh maju selangkah dari
tempat ini, tidak perduli dia orang baik-baik atau bukan, pokoknya sama saja."
Ketika orang-orang itu berbicara, I Ki Hu tetap membimbing Tao Ling melangkah ke
depan. Dia memperhatikan jala kawat yang membentang di depannya dengan
seksama. Tingginya mencapai tiga depa. Lebarnya mencapai empat-lima depa. Kedua
ujungnya dikaitkan pada pepohonan di kedua sisi jalan. Apabila dia nekat menerobos
ke depan, bagi I Ki Hu sendiri tentu tidak jadi masalah. Tetapi kalau baru berjalan
setengahnya, tiba-tiba orang-orang yang ada di atas pohon menjatuhkan jala itu, tentu
Tao Ling akan terluka parah terkena duri-durinya yang tajam. Mungkin malah bisa
mati di tempat itu.
I Ki Hu tidak ingin menempuh resiko itu. Tiba-tiba dia mendapat akal. Dipungutnya
beberapa butir batu di tepi jalan. Tangannya mengibas dan pinggangnya meliuk. Batubatu
itu pun melayang ke arah pepohonan di sisi jalan. Tahu-tahu keenam-tujuh orang
yang ada di sekitar pepohonan sudah tertotok jalan darahnya.
Melihat dirinya sekali turun tangan sudah mencapai hasil yang gemilang, hati I Ki Hu
terus bangga sekali. Dia tertawa terbahak-bahak. Diraihnya pinggang Tao Ling,
sembari menghimpun hawa murninya. Dia mencelat setinggi satu depa lebih. Dengan
menggunakan kawat jala sebagai tumpuan kakinya, dia mencelat lagi ke atas setinggi
dua setengah depa. Sekejap mata saja dia sudah melayang turun kembali di seberang
jala. Setelah berhasil melewati jala kawat itu, I Ki Hu baru menolehkan kepalanya sambil
tertawa. "Kalian semuanya pasti keturunan Kakek berambut putih Sang Hao. Tentunya sudah
mem-punyai dasar ilmu silat yang cukup kuat. Totokanku tadi tidak terlalu berat. Asal
tenaga dalam kalian sudah mencapai tingkat yang lumayan, pasti bisa membebaskan
sendiri totokanku tadi. Aku masih ingin menikmati keindahan pemandangan daerah
ini, setelah berhasil melepaskan totokan kalian, silakan menyusul aku nanti!".
Tentu saja anggota keluarga Sang yang ada di atas pohon mendongkol sekali
mendengar kata-kata I Ki Hu. Tetapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Hanya Sang Cin dan Sang Hoat berdua yang mengedarkan hawa murninya untuk
membebaskan diri dari totokan. Pertama, memang tenaga dalam mereka yang paling
kuat. Kedua, tempat mereka berdiri juga paling tinggi. Jadi batu yang disambitkan I Ki
Hu tadi hanya mengenai mereka dengan ringan. Setelah menghimpun hawa murninya
sejenak, tubuh pun terasa pulih kembali.
"Jangan kabur!" teriak mereka.
Tubuh mereka berkelebat dari atas pohon dan melayang turun. Secepat kilat keduanya
berlari mengejar I Ki Hu dan Tao Ling.
174 Selesai berkata tadi, I Ki Hu langsung berjalan ke depan. Baru menindak beberapa
langkah, dari belakang sudah terdengar suara teriakan Sang Cin dan Sang Hoat. Dia
merasa kagum juga melihat cucu Sang Hao yang masih demikian muda dapat
melepaskan diri dari totokannya dalam waktu yang demikian singkat.
I Ki Hu menolehkan kepalanya. Tangan kirinya tetap membimbing Tao Ling. Tangan
kanannya mengibas. Terasa ada serangkum angin yang kencang menahan gerakan
Sang Cin dan Sang Hoat.
Meskipun kedua pemuda itu masih belia dan tidak banyak pengetahuannya, mereka
bukan orang bodoh. Saat itu mereka sudah bisa membayangkan bahwa ilmu
kepandaian lawannya tinggi sekali dan mereka pasti bukan tandingannya. Karena itu
mereka menghentikan gerakannya.
"Siapa Tuan sebetulnya?" tanya kedua pemuda itu.
Melihat kedua anak muda itu bisa melihat gelagat, I Ki Hu juga tidak mendesak lebih
jauh. la tertawa terbahak-bahak.
"Siapa pun aku ini, apa persoalannya. Apakah ada sebagian orang yang tidak diijinkan
mengunjungi keluarga Sang?" ucap I Ki Hu.
Sang Cin tersenyum ramah.
"Harap Cianpwe jangan salah sangka. Yaya pernah berpesan bahwa ada beberapa
orang yang dikecualikan!"
"Siapa saja orang-orang yang dikecualikan itu?" tanya I Ki Hu.
"Salah satunya, Bok Cin sian siang dari Bu Tong san," sahut Sang Cin.
I Ki Hu mendengus dingin.
"Mengapa Lo Sang (Si Sang tua) bisa memandang tinggi hidung kerbau itu?"
"Ada lagi Bu Kong Taisu dari Ngo Tay san," kata Sang Cin kembali.
I Ki Hu mendengar Sang Cin berturut-turut menyebut dua orang tokoh yang
kepandaiannya memang tinggi dan sangat terkenal di dunia kang ouw, tetapi namanya
sendiri masih belum disebutkan, wajahnya mulai menyiratkan kemarahan.
"Siapa lagi?"
Sang Cin dan Sang Hoat saling pandang sekilas.
"Yang satunya lagi tentu Tuan sendiri!"
I Ki Hu tahu kata-kata ini hanya ditambahkan kedua anak muda itu barusan saja.
Tetapi dia senang melihat kecerdasan keduanya yang pandai mengambil hati.
175 "Apakah kalian tahu, siapa aku?" tanya I Ki Hu.
Kedua pemuda itu tersenyum lagi.
"Langsung menyebut nama di hadapan orang yang lebih tua, sangat tidak sopan."
"Kalau kalian memang tidak tahu, untuk sementara aku juga tidak akan
memberitahukan. Cepat antarkan kami menemui kakekmu!"
Wajah keduanya menyiratkan kebimbangan sekilas. Tetapi sekejap mata sudah pulih


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali seperti biasa.
"Baiklah. Harap Tuan mengikuti kami!"
I Ki Hu bukan tokoh sembarangan, meskipun perubahan wajah kedua pemuda itu
hanya sekilas, dia sudah menduga bahwa mereka akan menggunakan akal licik lagi.
Tetapi dia hanya tertawa dingin. Dengan membimbing Tao Ling, tanpa tergesa-gesa
sedikit pun, dia mengikuti Sang Cin dan Sang Hoat dari belakang.
Sebentar saja mereka sudah berjalan sejauh satu li. Tiba-tiba tampak Sang Cin dan
Sang Hoat membelok ke kiri. Dari jalan besar mengambil jalan kecil.
Jalan itu bukan saja berkelok-kelok, bahkan setelah berjalan dua-tiga depa, tampak di
depan merupakan sebuah hutan bambu.
Pohon bambu di dalam hutan tidak banyak, tetapi batangnya besar-besar dan lurus
sekali. I Ki Hu terus mengikuti dari belakang. Melihat kedua pemuda itu masuk ke
dalam hutan, dia pun mengajak Tao Ling ikut masuk juga. Tetapi baru saja masuk dua
langkah dia merasakan sesuatu yang kurang beres. Di sekitarnya hanya terlihat batang
bambu yang warnanya hijau dan mereka tidak bisa menentukan arah yang harus
dipilih. I Ki Hu yakin batang-batang bambu itu disusun sesuai dengan bentuk semacam
barisan. Dan sekarang dia bersama Tao Ling sudah terjebak ke dalam barisan itu.
Mengingat kedua pemuda yang masih ingusan itu menjebaknya masuk ke dalam
barisan bambu, I Ki Hu merasa geli.
"Bocah-bocah busuk, kemana perginya kalian?" ucap I Ki Hu pura-pura marah.
Terdengar suara Sang Cin menyahut.
"Ilmu kepandaian tuan sungguh mengejutkan. Mengapa tidak berusaha menemukan
kami?" sahut Sang Cin.
Hati I Ki Hu sendiri juga geli namun jengkel. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun
dia memutari batang-batang bambu itu. Setiap kali berputar, dia menggunakan
tangannya mengerat batang-batang bambu itu.
Tidak lama kemudian, seluruh batang bambu yang ada dalam hutan itu sudah terkerat
oleh tangannya. Kemudian dia memperdengarkan suara tertawa terbahak-bahak.
176 Begitu suara tertawanya sirap, sepasang lengan bajunya langsung mengibas, berpuluh
batang bambu seperti diterpa angin kencang secara tiba-tiba. Terdengarlah suara
bergemuruh, lalu batang-batang bambu itu pun rubuh semuanya di atas tanah.
Ada yang saling bertumpuan, ada pula yang melayang di udara. Dalam sekejap mata
saja, suasana di dalam hutan itu persis seperti terjadi gempa yang hebat. Boleh
dibilang tidak ada sebatang pun pohon bambu yang utuh.
Rupanya ketika mengerat batang-batang bambu sambil berputar tadi, I Ki Hu sudah
mengerahkan tenaganya untuk mengguncangkan akar yang tertanam di bawah tanah
sehingga terlepas. Begitu dikibas dengan lengan bajunya, otomatis seluruh batang
bambu itu rubuh tidak karuan.
Suara yang bergemuruh itu mengejutkan Sang Cin dan Sang Hoat. Mereka memang
sudah menduga kepandaian I Ki Hu sangat tinggi, tetapi tidak menyangka tenaga
dalamnya bisa sekuat itu. Belum lagi sempat keduanya berteriak, tiba-tiba tampak
bayangan berkelebat, gerakannya seperti terbang. I Ki Hu mengulurkan sepasang
tangannya dan tahu-tahu leher baju Sang Cin dan Sang Hoat sudah tercengkeram
olehnya Kedua pemuda ini sungguh tidak menyangka bahwa barisan Telaga Bambu yang
selama ini sangat dibanggakan oleh keluarganya ternyata dapat dihancurkan dalam
waktu yang singkat, wajah mereka pun tampak pucat pasi.
Hati I Ki Hu bangga sekali melihat rasa terkejut kedua anak muda itu. la tertawa
terbahak-bahak.
"Ibarat jangkerik menghadang kereta. Ternyata kalian berani menjebak aku ke dalam
barisan bambu itu. Ini namanya mencari penyakit sendiri, tahu?"
Sembari berkata, I Ki Hu segera mengerahkan tenaga dalamnya. Tanpa dapat ditahan
lagi tubuh Sang Cin dan Sang Hoat melayang sejauh dua depa dengan menimbulkan
suara desiran angin kemudian terbanting di atas tanah. Wajah keduanya langsung
bengap dan memar di sana sini.
Untung saja kedatangan I Ki Hu ke tempat tinggal keluarga Sang memang tidak
bertujuan mencari permusuhan dengan Kakek berambut putih, Sang Hao. Karena itu,
tindak tanduknya pun tidak berniat mencelakai kedua pemuda itu. Seandainya dia
membanting kedua pemuda itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya lebih banyak
lagi, tentu mereka sudah mati saat itu juga.
Sementara itu, Sang Cin dan Sang Hoat berusaha bangun. Namun baru saja terduduk
tegak, I Ki Hu sudah melayang turun di hadapan mereka. Keduanya terkejut setengah
mati. Dalam keadaan gugup, mereka masih herusaha mengadakan perlawanan.
Masing-masing segera mencabut gantulan yang terselip di pinggang kemudian
dihantamkan ke arah I Ki Hu. Sekali lagi I Ki Hu tertawa terbahak-bahak, tubuhnya
berkelebat, sepasang tangannya menjulur ke depan. Bret! Bret! Tahu-tahu kedua
gantulan itu sudah tergenggam di telapak tangannya.
177 Sejak tadi I Ki Hu sudah mengerahkan tenaga murninya ke dalam telapak tangan.
Kedua gantulan itu bukan saja tidak sempat melukainya, bahkan tenaga pantulan dari
telapak tangannya begitu kuat, hingga kedua gantulan itu terhentak ke depan dan tepat
mengenai wajah Sang Cin dan Sang Hoat.
Keduanya langsung memekik kesakitan. Tampak hidung dan bibir mereka berdarah.
Kedua gantulan tadi kembali melayang di udara setelah menyampok muka keduanya.
Terdengar suara berdengung-dengung dan timbul dua gurat cahaya seperti pelangi
yang melintas. Kali ini, Sang Cin dan Sang Hoat tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan. I Ki Hu
mengeluarkan suara bentakan. Sekali lagi dia menerjang ke depan untuk
mencengkeram kedua pemuda itu. Tetapi baru saja tubuhnya bergerak, dari
belakangnya terdengar seseorang berkata.
"Jangan turunkan tangan keji!" Suara terdengar, orangnya pun tiba.
Tampak sesosok bayangan melesat datang ke arah mereka. Tetapi mana mungkin I Ki
Hu memandang sebelah mata. Dia tetap menerjang ke depan dan mencengkeram
lengan Sang Cin dan Sang Hoat. Setelah itu dia baru menolehkan kepalanya.
Tampak dua orang laki-laki berusia setengah baya dan seorang perempuan yang
usianya sekitar empat puluhan tahun sudah berdiri di belakangnya dengan wajah
menyiratkan perasaan terkejut.
I Ki Hu tahu ketiga orang ini pasti masih turunan si Kakek berambut putih Sang Hao.
Karena itu dia segera tertawa dingin.
"Dengan maksud baik aku datang kemari mengunjungi Kakek berambut putih, Sang
Hao. Tetapi kedua bocah ini sungguh kurang ajar. Berani-beraninya mereka
mengurung aku dalam barisan bambu. Karena itu aku memberi pelajaran sedikit
kepada mereka agar kelak mereka tahu bahwa di atas gunung masih ada gunung, di
antara yang jago masih ada orang yang lebih jago."
Wajah perempuan setengah baya itu menyiratkan kepanikan.
"Apa yang dikatakan Tuan memang tidak salah. Kedua bocah ini memang agak nakal.
Lagipula pengetahuannya cetek. Punya mata tapi tidak bisa melihat Thai san.
Akibatnya malah menimbulkan kesulitan bagi Tuan." Berkata sampai di sini, dia
mendelik kepada Sang Cin dan Sang Hao.
"Kalian berdua, cepat minta maaf kepada Cianpwe ini!" bentak perempuan itu.
I Ki Hu tertawa lebar.
"Tidak perlu sampai minta maaf. Cayhe hanya ingin bertemu dengan Lo Sang."
Tangannya mengendur, kedua pemuda itu didorong ke depan dan tepat berdiri di
samping kiri kanan perempuan setengah baya itu.
Mimik wajah perempuan itu tampak agak lega.
178 "Tuan ingin bertemu dengan ayah . . . sebetulnya tidak menjadi masalah, tetapi ayah . .
." "Apakah Lo Sang tidak bersedia menemui siapa pun?" tanya I Ki Hu.
Wajah perempuan itu langsung berubah menjadi murung.
"Sebetulnya hal ini merupakan rahasia keluarga kami, dan kami tidak ingin orang luar
me-ngetahuinya ..."
"Piau moay (adik sepupu), masa kau akan menceritakan urusan ini kepada orang luar,"
tukas salah satu laki-laki setengah baya yang datang bersama perempuan itu.
Sepasang alis perempuan itu berkerut-kerut sekilas.
"Kalau tidak mengatakan secara terus terang, apakah kalian bisa menahan keinginan
Tuan tamu ini?" sahut perempun itu.
Kedua laki-laki setengah baya itu menatap kepada I Ki Hu sejenak, kemudian mereka
menundukkan kepalanya.
"Piau moay, bahkan namanya saja kau belum tahu, masa kau sudah ingin
menceritakan urusan ini kepadanya?" kata salah satu laki-laki itu lagi.
I Ki Hu mendengar pembicaraan yang berlangsung di antara mereka. Diam-diam
hatinya menjadi penasaran. Dia berpikir, kalau mendengar nada pembicaraan mereka,
tampaknya telah terjadi sesuatu yang luar biasa dalam keluarga Sang. Sedangkan
keluarga Sang ingin menutupi kejadian ini dari orang luar.
Setelah berpikir sejenak, I Ki Hu tahu bahwa ilmu kepandaian si Kakek berambut
putih Sang Hao sangat tinggi. Apalagi anggota keluarga Sang semuanya mengerti ilmu
silat. Bahkan ada beberapanya yang merupakan jago kelas satu. Seandainya ada
seseorang yang bisa menimbulkan masalah di keluarga Sang, I Ki Hu benar-benar
tidak sanggup membayangkan siapa orang itu.
"Entah siapa nama Tuan tamu yang mulia?" tanya perempuan itu.
"Cayhe she I, tinggal di lembah Gin Hua kok, wilayah barat."
Kedua laki-Iaki dan perempuan setengah baya itu terkejut setengah mati. Wajah
mereka langsung pucat pasi. Bahkan tanpa disadari mereka menyurut mundur dua
langkah. Apalagi Sang Cin dan Sang Hoat, wajah keduanya persis seperti mayat
hidup. I Ki Hu menyunggingkan seulas senyuman tipis. Setiap ada orang yang mendengar
namanya langsung memperlihatkan perasaan terkejut, baginya merupakan sebuah
kebanggaan. 179 "Kalian bertiga tidak perlu takut. Kedatangan cayhe tidak mengandung maksud jahat,"
ujar I Ki Hu. Mimik wajah si perempuan yang paling cepat pulih kembali. Tetapi masih
memperlihatkan sedikit ketegangan.
"Entah ada keperluan apa I sian sing mengunjungi kami" Tadi kedua putra kami
berbuat kesalahan, harap I sian sing dapat memaafkan . . ."
I Ki Hu tidak memberi kesempatan kepada perempuan itu untuk menyelesaikan katakatanya.
Dia melirik sekilas kepada Sang Cin dan Sang Hoat. Wajah kedua pemuda itu
tampak semakin tidak enak dilihat.
"Orang yang tidak tahu, tidak bersalah. Kalian tidak perlu khawatir."
Perempuan setengah baya itu memang putri si kakek berambut putih Sang Hao.
Namanya Sang Ling. Begitu mendengar bahwa orang yang ada di hadapannya ternyata
si Raja Iblis Gin leng hiat dang I Ki Hu, rasa terkejutnya benar-benar tidak terkirakan.
Peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia benar-benar mengkhawatirkan
keselamatan kedua putrinya. la juga tahu watak I Ki Hu yang senang orang bersikap
rendah di depannya, maka dari itu cepat-cepat dia meminta maaf. Setelah mendengar
jawaban I Ki Hu, hatinya baru merasa lega.
"Seandainya dari tadi kami tahu bahwa tamu yang berkunjung adalah I sian sing,
seharusnya kami segera mengadakan penyambutan, tetapi sayangnya . . . keluarga
Sang sedang tertimpa musibah . . ."
"Sebetulnya apa yang terjadi" Dapatkah kau mengatakannya kepada cayhe?"
"Ayah ... Sang Hao sudah meninggal beberapa hari yang lalu."
Mendengar keterangan Sang Ling, tanpa dapat ditahan lagi bibir I Ki Hu
mengeluarkan seruan terkejut. Seandainya orang lain yang mendengar berita itu,
biarpun terkejut tetapi tidak seperti keadaan I Ki Hu saat itu. Mereka pasti bisa
menduganya karena usia Sang Hao memang sudah lanjut. Biarpun ilmu
kepandaiannya tinggi sekali, setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Tetapi
bagi I Ki Hu lain. Sebab dari semua jejak yang telah berhasil ditelusnya, dia sudah
menduga bahwa telah terjadi sesuatu dalam keluarga Sang. Karena itu pula, ketika
mendengar cerita Sang Ling tentang kematian ayahnya, ia sudah membayangkan
bahwa orang tua itu mati tidak wajar. Pasti ada sesuatu yang luar biasa.
Dan yang membuat I Ki Hu terkejut justru karena kepandaian Sang Hao yang sudah
tinggi sekali. Bukankah aneh apabila seseorang yang ilmunya demikian tinggi bisa
mati secara mendadak tanpa mengalami penyakit apa pun" Bukankah aneh apabila
orang yang kepandaiannya demikian tinggi bisa mati tidak wajar"
"Bagaimana Lo Sang menemui kematiunnya" Dapatkah kau menceritakannya?" tanya
I Ki Hu setelah perasaan terkejutnya reda.
180 Sang Ling melirik sekilas kepada I Ki Hu. Sepertinya dia merasa heran mengapa orang
itu bisa menduga ada yang tidak wajar pada kematian ayahnya. Dia menarik nafas
panjang. "Sebetulnya memalukan kalau cerita ini tersebar di luaran, ayah ... mati karena ter . . .
kejut." I Ki Hu yang mendengarnya benar-benar merasa di luar dugaan. Dia malah mengira
pende-ngarannya yang salah.
"Mati terkejut?" Diam-diam hatinya berpikir, entah urusan apa di dunia ini yang dapat
membuat si Kakek berambut putih Sang Hao demikian terkejutnya sehingga menemui
kematian. "Tidak salah," sahut Sang Ling. "Meskipun saat itu ayah tidak sempat mengucapkan
sepatah kata pun, tetapi kami melihat dengan jelas mimik wajahnya yang menyorotkan
perasaan terkejut, Kemudian langsung mati. Di sini bukan tempat bicara yang leluasa,
I sian sing. Bagaimana kalau I sian sing dan I hu jin mampir sebentar di tempat
kediaman kami?"
Sebetulnya kedatangan I Ki Hu mempunyai tujuan tersendiri. Tetapi setelah
mendengar berita dari Sang Ling bahwa ayahnya mati karena terkejut, timbullah
perasaan ingin tahu di dalam hatinya. Malah dia mengenyampingkan dulu urusannya
sendiri. "Baik!" Dengan membimbing Tao Ling, dia mengikuti di belakang Sang Ling dan
kedua lelaki tadi menuju gedung kediaman keluarga Sang.
Setelah berjalan kurang lebih setengah li, tam-pak sebidang tanah yang luas sekali. Di
atasnya ada bangunan yang besar dengan atap merah dan tembok yang tinggi. Mereka
masuk melalui pintu gerbang besar yang terbuat dari besi. Di dalamnya berjejer-jejer
rumah dengan ukuran yang berbeda. Mereka menuju gedung yang terletak di tengahtengah.
Bentuknya paling besar dan berloteng.
Begitu masuk ke dalamnya, mereka langsung berhadapan dengan sebuah ruang tamu.
Tuan rumah Sang Ling segera mempersilakan para tamunya duduk.
"Tentunya I sian sing merasa heran mengapa ayah bisa mati terkejut, bukan?"
"Ini merupakan berita teraneh yang pernah kudengar." Dia memalingkan kepalanya
kepada Tao Ling. "Hu jin, benar tidak?"
Tao Ling menemui berbagai kejadian yang tidak terduga, belakangan dia malah
menjadi istri I Ki Hu. Sebetulnya tidak ada hal apa pun yang membangkitkan
minatnya lagi. Tetapi mendengar berita kematian Sang Hao, sedikit banyaknya
perasaan ingin tahunya tergugah juga. Karena itu dia pun menganggukkan kepalanya.
"Benar-benar kejadian yang aneh," gumam Tao Ling.
181 "Kalau mempertimbangkan biang bencana ini, seharusnya kesalahan ditujukan kepada
Kuan Hoang Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan!" ucap Sang ling.
I Ki Hu bertambah bingung.
"Nama ketiga orang ini di dunia kang ouw memang cukup terkenal, tetapi tidak
mungkin sampai Lo Sang mati terkejut karenanya," gumam I Ki Hu.
"Di sinilah letak keanehan kejadian ini. Kalau ingin cerita yang lebih jelas, kami harus
memulainya dari setengah bulan yang lalu. Malam itu, tiba-tiba ada seseorang yang
tubuhnya penuh berlumur darah menerjang masuk ke tempat tinggal kami ini. Ketika
sampai di dalam, nafasnya tinggal satu-satu."
"Siapa orang itu?" tanya I Ki Hu.
"Orang itu kakak misan kami yang bernama Sang Cu Ce."
Mendengar Sang Ling menyebut nama itu, sepasang alis I Ki Hu tampak menjungkit
ke atas. Sang Ling pun melanjutkan penuturannya.
"Pada saat itu, seperti biasanya setiap bulan sekali seluruh anggota keluarga Sang pasti
berkumpul. Ayah juga hadir di tempat. Wajah yang lainnya langsung pucat
mengetahui siapa yang menerjang masuk itu. Ayah segera menanyainya. Siapa musuh
yang melukainya sedemikian rupa. Tetapi Sang Cu Ce hanya sempat mengucapkan
beberapa patah kata, suaranya pun lirih sekali. Wajah ayah langsung berubah hebat.
Tampaknya ayah terkejut sekali mendengar kata-kata kakak misan kami itu. Sang Cu
Ce pun menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah mengucapkan beberapa patah
kata tadi. Sikap ayah pun berubah. Tanpa mengucapkan apa-apa, orang tua itu
langsung masuk ke kamarnya. Pertemuan kali itu pun terpaksa dibubarkan."
"Setelah kejadian itu, apakah ayah kalian tidak mengatakan apa yang diucapkan oleh
Sang Cu Ce menjelang kematiannya?"
Sang Ling menggelengkan kepalanya.
"Ternyata I sian sing memang cerdas sekali. Ayah memang tidak mengungkitnya sama
sekali, walaupun kami tahu, ketika Sang Cu Ce mengucapkan beberapa patah kata itu,
suaranya lirih sekali. Orang lain pasti tidak bisa mendengarnya. Tetapi jarak ayah
dengannya begitu dekat, pasti ayah bisa mendengarnya. Tetapi setelah kejadian itu,
ternyata ayah pun tidak mengatakannya kepada kami," ujar Sang Ling menjelaskan.
I Ki Hu menegakkan tubuhnya sedikit. Bibirnya mengembangkan senyuman.
"Hal ini justru membuat urusannya lebih aneh lagi," katanya.
"Tadinya kami mengira ada musuh tangguh yang akan menyatroni keluarga Sang.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, meskipun ayah tidak berpesan apa-apa, kami sendiri segera mengadakan
persiapan untuk menjaga segala kemungkinan . . ." Berkata sampai di sini, Sang Ling
menghentikan ceritanya sejenak. Seakan dia sedang merenungi kembali kejadian saat
itu. Kemudian ia baru meneruskan kembali. "Tetapi beberapa hari telah berlalu,
182 ternyata tidak ada kejadian apa pun dalam keluarga kami. Lima hari berlalu lagi, tibatiba
kami kedatangan tamu. Tetapi yang datang ternyata Kuan Hong Siau dan
pasangan suami istri Lie Yuan. Kuan Hong Siau menjelaskan maksud kedatangannya.
Kepada ayah ia mengatakan bahwa dia mengharapkan bantuan ayah untuk
membebaskan jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan. Tanpa curiga apa-apa, ayah
langsung menyetujuinya. Ayah segera menghampiri pasangan suami istri Pat Kua
kiam, tetapi setelah memperhatikan sejenak, tiba-tiba wajah ayah berubah hebat.
Sesaat kemudian orang tua itu langsung terkulai di atas tanah. Ketika kami
menghampirinya, ternyata ayah tidak tertolong lagi."
Setelah mendengar penuturan Sang Ling, I Ki Hu kembali mengembangkan seulas
senyuman. "Sang kouwnio menganggap kematian ayahmu disebabkan oleh Kuan Hong Siau dan
pasangan suami istri Lie Yuan. Bukankah itu namanya menuduh orang sembarangan"
Lebih baik kalian keluarkan Kuan Hong Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan.
Kedatanganku ke mari justru karena ingin bertemu dengan mereka."
Melihat I Ki Hu dapat menduga semuanya dengan tepat. Sang Ling dan yang lainnya
terkejut setengah mati. Diam-diam mereka juga merasa kagum kepada si raja iblis ini.
"Kami hanya menyuruh beberapa anggota keluarga kami mengawasi mereka, sama
sekali tidak bermaksud mencelakai mereka."
"Jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan masih belum terbuka. Ada baiknya kita
menengok mereka sekarang," kata I Ki Hu kembali
Wajah Sang Ling memperlihatkan kebimbangan. Tetapi I Ki Hu tidak menunggu
persetujuan Sang Ling, ia langsung mengajak Tao Ling berdiri. Sang Ling maklum si
raja iblis ini pantang dilanggar kemauannya.
"Boleh juga. Tetapi. . . ketika itu kami melihat ayah kami tiba-tiba mati, karena emosi
terjadilah sedikit perselisihan yang mengakibatkan perkelahian antara kami dengan
Kuan Hong Siau. Sekarang dia masih menderita luka-Iuka. Entah ada keperluan apa I
sian sing mencarinya?"
"Urusan ini aku juga sudah menduganya. Tapi tujuanku sebenarnya ingin menanyakan
sedikit persoalan kepada pasangan suami istri Lie Yuan. Pokoknya kalian
mengantarkan kami menemui mereka saja."
Sang Ling tidak berani membantah. Dia mengajak I Ki Hu dan Tao Ling keluar dari
ruangan besar itu, mereka menyusuri sebuah koridor panjang yang menembus ke
sebidang tanah yang luas.
Di atas sebidang tanah itu berdiri sebuah bangunan yang bentuknya kotak seperti
penjara. Bahannya terbuat dari batu, tingginya kurang lebih tiga depa. Ketika tiba di
depan bangunan itu, Sang Ling bertepuk tangan tiga kali. Tampak empat laki-laki
bertubuh kekar muncul dari atap bangunan itu. Sang Ling memberi isyarat dengan
gerakan tangan. Keempat orang itu menyembunyikan diri lagi. Tidak lama kemudian
183 terdengar suara yang bergemuruh. Pintu batu bangunan itu pun dikerek dengan seutas
rantai yang tebal dan menguak terbuka.
Sang Ling menggerakkan tangannya ke samping.
"I sian sing, I hu jin, silakan masuk!"
I Ki Hu melongokkan kepalanya ke dalam. Tampak pintu batu itu tebal sekali.
Sedangkan rantai besi yang mengereknya setebal lengan manusia dewasa. Tampaknya
tidak ada jalan lain lagi kecuali pintu batu itu. Diam-diam dia berpikir dalam hati,
apabila ada orang yang terkurung di dalamnya, benar-benar sulit untuk meloloskan
diri. Sembari berpikir, dia melangkah masuk tanpa ragu sedikit pun.
Keadaan di dalamnya remang-remang. Di tembok batu hanya tergantung sebuah
penerang yang redup. Namun ilmu kepandaian I Ki Hu sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali. Biarpun tempat yang gelap sekali sehingga jari tangan sendiri pun tidak
terlihat, dia masih bisa melihat benda di sekitarnya. Meskipun keadaan di dalam
ruangan bangunan itu hanya remang-remang, tidak menimbulkan kesulitan sedikit pun
bagi I Ki Hu. Dia mendongakkan kepalanya, tampak tinggi bangunan itu mencapai tiga depa. Hanya
satu tingkat. Di langit-langit ruangan terdapat lubang-lubang kecil sebanyak belasan
buah. Ruangan itu sendiri tampak jauh lebih kecil dari bangunan luarnya. Hal ini tidak
perlu diherankan, karena temboknya tebal sekali. Di atas lantai terbaring sepasang pria
dan wanita, sedangkan di sampingnya berdiri bersandar seorang kakek tua, wajahnya
menyiratkan kemarahan. Begitu melihat ada orang yang masuk ke dalam, dia langsung
memaki. "Penjahat keluarga Sang, sebetulnya untuk apa kalian mengurung kami di sini?"
I Ki Hu melihat tampang orang tua itu gagah sekali, tetapi pakaiannya penuh dengan
bercak darah. Dari hal ini saja sudah dapat dibayangkan bahwa sebelum terkurung di
ruangan ini, pasti mengalami pertarungan yang sengit.
Melihat sekilas saja, I Ki Hu sudah tahu bahwa orang tua itu adalah seorang pendekar
tua yang namanya sudah terkenal di wilayah Tung cuan, Kuan Hong Siau. Dan
sepasang pria dan wanita yang terbaring tidak bergerak di atas lantai sudah pasti
pasangan suami istri Lie Yuan.
I Ki Hu tersenyum kepada Kuan Hong Siau.
"Cayhe bukan she . . ."
Belum lagi kata-kata 'Sang' keluar dari mulut-nya, tiba-tiba dia mendengar seruan
terkejut dari bibir Tao Ling. I Ki Hu juga merasa pemandangan di hadapan matanya
agak menggelap. Tetapi perasaan hati laki-laki ini memang sensitif sekali. Dalam
waktu sekejapan mata, dia langsung tahu apa yang telah terjadi. Tanpa membalikkan
tubuhnya, dia berjungkir balik di udara. Sesampainya di depan pintu, dia segera
menghantamkan sebuah pukulan.
184 Tenaga dalam I Ki Hu sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Pukulannya tadi paling
tidak mengandung kekuatan sebesar ribuan kati. Setelah menghantamkan pukulannya
terdengarlah suara Blam yang berat.
Secepat kilat I Ki Hu membalikkan tubuhnya. Ternyata dugaannya memang tidak
salah sedikit pun. Ketika ia dan Tao Ling masuk ke dalam ruangan itu tanpa
pertimbangan apa-apa. Ternyata anggota keluarga Sang satu pun tidak ada yang
mengikutinya. Malah mereka segera merapatkan kembali pintu batu yang tebal itu. I
Ki Hu dan Tao Ling pun terkurung di dalam ruangan batu itu bersama Kuan Hong
Siau dan pasangan suami istri Lie Yuan.
Seumur hidupnya, I Ki Hu belum pernah menemui kerugian sebesar ini. Apalagi dulu
ketika namanya masih menjadi buah bibir setiap umat persilatan. Ternyata tanpa
terduga-duga dia bisa terkurung di dalam ruangan itu. Kemarahannya jangan dikatakan
lagi. Benar-benar sulit menguraikan bagaimana perasaan hatinya saat itu
Saking marahnya, I Ki Hu malah memperdengarkan suara tawa terbahak-bahak. Suara
tawanya bergema di dalam ruangan batu. Tao Ling yang berdiri di sampingnya segera
merasakan gendang telinganya seperti hampir pecah. Darahnya meluap ke atas,
berkali-kali dia menggoyang-goyangkan tangannya. I Ki Hu mengeluarkan suara tawa
lagi sebanyak tiga kali, baru berhenti. Dia menolehkan kepalanya. Tampak jenggot
Kuan Hong Siau yang putih sudah penuh dengan noda darah.
Hal ini membuktikan bahwa luka yang diderita orang tua itu tadinya sudah cukup
parah. Dia tidak tahan mendengar suara tawa I Ki Hu yang dipancarkan dengan
mengerahkan tenaga dalamnya. Lukanya pun semakin parah. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Sejenak kemudian dia baru bisa mempertahankan diri. Dia memandang I Ki
Hu lekat-lekat.
"Tenaga dalam saudara benar-benar jarang ditemukan tandingannya di dunia ini.
Tetapi setelah terkurung di dalam ruangan batu ini, tentu tidak mudah lagi meloloskan
diri," katanya dengan nada dingin.
I Ki Hu tertawa terkekeh-kekeh. Nadanya tajam sekali.
"Kalau aku tidak membasmi seluruh keluarga Sang sampai habis-habisan, aku
bersumpah tidak akan menjadi manusia."
"Bagus sekali. Siapa tuan?" tanya Kakek Kuan.
I Ki Hu tidak menjawab. Tubuhnya berkelebat. Tahu-tahu dia sudah sampai di depan
tembok batu. Sepasang tangannya diangkat, dengan gerakan merayap dia naik ke atas
dan sekejap kemudian dia sudah mencapai langit-langit ruangan itu. Tubuhnya tegak
lurus seperti seekor cicak.
Gerakannya barusan sudah menunjukkan sampai di mana ketinggian kepandaian yang
dimilikinya. Kuan Hong Siau sampai menarik nafas panjang melihatnya. Di langitlangit
ruangan itu terdapat banyak lubang kecil, selain itu satu pun tidak ada jendela.
Kegunaan lubang-lubang kecil itu tentu untuk pertukaran hawa dalam ruangan.
185 Tubuh I Ki Hu tegak lurus. Tangannya menjulur ke atas dan mengait salah satu lubang
kecil di atas langit-langit. Tapi belum sempat dia melongokkan lehernya untuk
mengintip di lubang yang lain, tiba-tiba terdengar kumandang suara dentingan senjata
tajam. I Ki Hu bukan tokoh sembarangan. Begitu mendengar dentingan senjata tajam, dia
langsung tahu bahwa ada orang yang menghunus pedang atau golok untuk menebas
jari tangannya. Cepat-cepat dia menyurutkan tangannya. Telapak tangan kirinya
menjulur ke depan, Plak! Tangannya langsung menempel di langit-langit ruangan
Tenaga dalamnya dialihkan, langsung terpancar daya isap yang kuat sehingga
tubuhnya bergelan-tungan di atas. Tangan kanannya pun ditarik secepat kilat.
Baru saja tangannya menyurut ke belakang, terdengarlah suara Trang! seperti ada
senjata tajam yang dibacokkan ke bagian tembok di balik langit-langit ruangan.
Apabila ia terlambat sedikit saja menyurutkan jari tangannya, tentu saat itu
telunjuknya sudah tertebas putus.
Dari atas langit-langit berkumandang suara seseorang.
"I sian sing, namamu di dunia bu lim tidak begitu harum, tindakan ini kami lakukan
karena terpaksa. Harap I sian sing sudi memaafkan!"
I Ki Hu tertawa dingin.
"Kalian kira ruangan batu ini sanggup mengurung aku selamanya?"
Pada saat itu, Sang Ling dan tokoh-tokoh berilmu tinggi lainnya dari keluarga Sang
sudah berkumpul di atap bangunan. Ketika mendengar nada suara I Ki Hu yang bukan
terpancar dari ruangan bawah, hati mereka merasa heran. Mungkinkah ilmu orang ini
demikian tinggi sehingga bisa terbang" Kalau tidak mengapa suaranya bisa terpancar
dari atas"
Mereka tidak tahu bahwa tenaga dalam I Ki Hu memang sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali. Dia dapat mengedarkan hawa murninya sesuka hati. Karena itu dengan sebelah tangan
bisa menempel di langit-langit ruangan. Tubuhnya bisa menggelantung di udara.
Kemudian terdengar lagi seseorang berkata.
"Moay cu, buat apa banyak bicara dengannya. Dia toh sesumbar kehebatannya sendiri,
kita lihat saja bagaimana dia bisa meloloskan diri dari ruangan itu."
I Ki Hu masih terus tertawa dingin. Telapak tangannya bergeser sedikit, dia mengintip
dari sebuah lubang.
"Kalau aku sudah keluar dari ruangan ini, kalian baru tahu rasa."
186 Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar melihat wajah I Ki Hu tampak dari celah
lubang angin. Dia segera mengeluarkan sebilah pisau kecil kemudian dihunjamkannya
melalui lubang itu.
Dalam pikirannya, I Ki Hu pasti tidak sempat menghindar. Walaupun belum tentu bisa
membunuh si Raja Iblis itu, setidaknya dapat membuat wajahnya menjadi cacat.
Setelah kematian Sang Hao, di dalam keluarga Sang memang masih ada beberapa
orang tokoh yang ilmunya cukup tinggi. Cukupanlah apabila ingin menjual lagak di
dunia kang ouw. Tetapi untuk memahami sampai di mana tingginya kepandaian I Ki
Hu, tentu masih jauh sekali.
Begitu pisau kecil tadi menyusup ke dalam lubang, tiba-tiba I Ki Hu menyurutkan
kepalanya dan jari tangannya menelusup ke dalam celah lalu menjepit pisau itu kuatkuat.
Sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan histeris laki-laki itu. Disusul dengan
suara Bluk! seperti benda berat yang jatuh. I Ki Hu pun tertawa dingin.
"Sudah tahu kehebatanku?" katanya sinis.
Rupanya ketika jari tangan I Ki Hu sudah berhasil menjepit pisau tadi, dia segera
mengerah-kan tenaga dalamnya ke ujung jari. Pisau itu pun terpental membalik dan
menghunjam ke orang itu sendiri. Benar-benar senjata makan tuan.
Kali ini terdengarlah suara bising berkumandang dari atas. Rupanya mereka terkejut
sekali melihat kelihaian I Ki Hu.
"Cepat pergi! Dia toh sudah terkurung di dalam bangunan ini. Cepat atau lambat dia
pasti mati kelaparan," seru seseorang dari keluarga Sang.
Orang-orang itu bergegas meninggalkan atap bangunan. Mereka tidak memperdulikan
I Ki Hu lagi. Tangan I Ki Hu yang sebelah menelusup ke dalam saku. Kemudian
menyusup kembali ke dalam celah lubang angin lalu mengibas. Saat itu juga terdengar
suara pekik kesakitan, juga suara Bak! Buk! Bak! Buk! seperti benda jatuh. Rupanya
barusan dia menyambitkan sejumlah senjata rahasia dan pasti ada beberapa orang yang
menjadi korban. I Ki Hu tersenyum puas, tubuhnya pun melayang turun lagi ke bawah.
Tampak Kuan Hong Siau memandanginya sambil menarik nafas panjang.
"Kepandaian saudara seperti dewa," kata Kakek Kuan.
"Apakah kau bisa menghitung berapa orang yang menjadi korban senjata rahasiaku
tadi?" tanya I Ki Hu dengan tawa datar.
Kuan Hong Siau ikut tertawa.
"Yang jatuh dari atas saja ada sembilan orang, mungkin ada yang mati sebelum sempat
melompat turun," jawabnya.
187 I Ki Hu merasa bangga sekali, dia meremas-remas tangannya sambil tertawa senang.
"Tampang saudara gagah sekali. Ilmu kepandaian juga mengejutkan. Apalagi orangorang
dari keluarga Sang tadi memanggil Anda I sian sing. Jangan-jangan saudara ini
yang mendapat julukan Gin leng hiat ciang I Ki Hu."
"Tidak salah. Sahabat Kuan, tidak disangka kita bisa bertemu di tempat seperti ini,
bukan?" "Memang benar-benar tidak disangka," ucap Kuan Hong Siau dengan tawa getir.
Kuan Hong Siau adalah seorang pendekar dari golongan lurus dan berjiwa besar. la
paling membenci segala macam kejahatan. Sebetulnya bertolak belakang dengan I Ki
Hu. Tetapi justru tidak terduga-duga mereka bisa terkurung dalam ruangan yang sama.
"Sahabat Kuan, mengapa pasangan suami istri Lie Yuan bisa tertotok jalan darahnya"
Dan sebetulnya bagaimana cara Sang Hao menemui kematiannya" Dapatkah kau
menjelaskannya dengan terperinci?" tanya I Ki Hu.
"Baik," sahut Kuan Hong Siau.
Dia langsung menceritakan kedua peristiwa yang disaksikannya dengan mata kepala
sendiri. I Ki Hu mendengarkan dengan penuh perhatian. Kenyataannya apa yang ia
dengar dari Kuan Hong Siau tidak banyak bedanya dengan cerita yang pernah
didengarnya dari orang lain.
I Ki Hu merenung sejenak setelah cerita Kuan Hong Siau selesai.
"Kalau begitu, Lo Sang secara tidak langsung dibunuh oleh perasaan terkejutnya
ketika mengetahui siapa yang menotok jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan?"
tanyanya kemudian.
"Cayhe juga mempunyai pendapat yang sama. Tempo hari ketika pertama kali Sang
Cu Ce melihat totokan yang terdapat di tubuh pasangan suami istri Lie Yuan,
wajahnya langsung berubah hebat. Tetapi rasa terkejut yang diperlihatkan oleh Sang
Cu Ce berbeda maknanya dengan rasa terkejut yang diaiami Sang Hao. Dalam
anggapan Sang Cu Ce, ilmu totokan keluarga Sang terkenal di dunia bu lim. Tetapi
kenyataannya dia tidak tahu jalan darah mana di bagian tubuh pasangan suami istri Lie
Yuan yang tertotok. Belum tentu dia tahu siapa orang yang melakukannya. Bagaimana
menurut pendapat saudara?"
"Betul. Tetapi sekali lihat saja Lo Sang sudah mengenali siapa pelakunya. Karena itu,
saking terkejutnya jantungnya jadi putus seketika. Tampaknya sahabat yang
melakukannya patut bangga juga karenanya. coba aku ingin melihatnya, siapa tahu aku
akan mengikuti jejak Lo Sang?" kata I Ki Hu dengan maksud bergurau.
Sembari berkata, bibirnya menyunggingkan senyuman. Dia berjalan menghampiri
pasangan suami istri Lie Yuan yang terbaring di lantai. Kemudian dia
membungkukkan tubuhnya memeriksa dengan teliti. Padahal senyuman yang
menghiasi bibirnya wajar sekali, namun setelah memperhatikan keadaan pasangan
188 suami istri Lie Yuan, senyumannya langsung terpaku. Mimik wajahnya jadi aneh
sekali. Mirip seseorang yang sedang tersenyum tetapi tiba-tiba tertotok jalan darahnya
sehingga tetap seperti semula tapi kaku.
Kuan Hong Siau yang melihat keadaan itu jadi bingung. Dia mengantarkan pasangan
suami istri Lie Yuan ke Si Cuan ini sebetulnya dengan niat baik. Karena dia sendiri
tidak sanggup membebaskan jalan darah kedua orang itu
Begitu sampai di kediaman keluarga Sang, si Kakek berambut putih yang melihat
keadaan pasangan suami istri Lie Yuan langsung mati terkejut. Hal ini menimbulkan
kemarahan anggota keluarga Sang lainnya. Maka mereka pun terlibat pertarungan
yang sengit, karena seorang diri menghadapi begitu banyak anggota keluarga Sang
yang semuanya berilmu cukup tinggi. Dirinya sampai terluka di sana sini, Akhirnya
mereka dikurung dalam ruangan batu ini.
Hati Kakek Kuan memang merasa heran. Mengapa tokoh seperti Sang Hao yang
menguasai kepandaian tinggi dan namanya sudah demikian terkenal di dunia kang
ouw, juga mempunyai pengetahuan yang luas bisa mati terkejut begitu melihat totokan
di tubuh pasangan suami istri lie Yuan. Sekarang melihat mimik wajah I Ki Hu, dia
semakin kebingungan. Diam-diam hatinya sadar bahwa I Ki Hu pasti sudah


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui siapa orangnya yang menotok jalan darah di tubuh pasangan suami istri
Lie Yuan. Lagipula nama orang penotok jalan darah itu bisa membuat Gin leng hiat ciang begitu
terkejut sehingga wajahnya pucat pasi. Entah siapa tokoh yang misterius itu"
Keheranan di hati Kuan Hong Siau jangan ditanyakan lagi. Dia juga tidak mengerti
apa sebenarnya yang ada di balik semua ini. Tampak I Ki Hu merenung sekian lama,
senyuman di wajahnya baru dikembangkan kembali. Tetapi tampaknya terlalu
dipaksakan. Sepasang tangannya menyilang di depan dada. Di dalam ruangan batu itu
dia berjalan mondar mandir, seakan-akan sedang memikirkan persoalan yang amat
rumit. Sampai lama sekali masih belum terdengar I Ki Hu mengucapkan sepatah kata pun.
"Apakah I sian sing sudah mengenali siapa orangnya yang menotok jalan darah
mereka?" tanya Kuan Hong Siau yang sudah tidak tahan lagi menahan rasa ingin
tahunya. I Ki Hu hanya mendehem satu kali sebagai jawaban.
"Kalau begitu, tentu I sian sing dapat membebaskan totokan mereka, bukan?" tanya
Kakek Kuan kembali.
Mendengar pertanyaan itu, langkah kaki I Ki Hu langsung terhenti. Sepasang matanya
menyorotkan sinar yang dingin. Dari alisnya terpancar hawa pembunuhan yang tebal.
la menatap Kuan Hong Siau lekat-lekat.
Mendapat tatapan sedemikian rupa, tanpa disadari tubuh Kuan Hong Siau bergetar
hebat. 189 "Sahabat Kuan, kau toh tidak mungkin keluar lagi dari ruangan batu ini. Untuk apa
kau masih memikirkan hidup?" ucap I Ki Hu dengan nada suara dingin.
Seumur hidupnya, Kuan Hong Siau tidak pernah meninggalkan dunia bu Lim.
Terhadap ucapan I Ki Hu barusan, ia mengerti bahwa dirinya tidak akan luput dari
kematian. Tetapi hatinya justru merasa heran mengapa tiba-tiba saja timbul niat jahat
dalam hati I Ki Hu kepadanya" Apalagi barusan sikap yang diperlihatkan si Raja Iblis
itu baik-baik saja. Tidak terkandung kesan akan mencelakainya.
"Orang she Kuan itu sudah lama hidup di dunia. Kematian bukan suatu hal yang
menakut-kan. Tetapi cayhe justru ingin tahu mengapa tiba-tiba timbul keinginan
membunuh di hati saudara?" tanya Kuan Hong Siau dengan tawa getir,
"Kau memang tidak malu disebut laki-laki sejati. Terus terang saja aku katakan
kepadamu bahwa aku tidak sanggup membebaskan jalan darah kedua orang itu. Tetapi
aku justru tidak ingin hal ini diketahui orang-orang bu lim. Jangan sampai ada yang
tahu bahwa dengan kepandaian yang kumiliki, ternyata masih ada hal yang tidak
sanggup kulakukan. Karena itu pula, aku tidak akan membiarkan ada mulut yang
hidup." Hati Kuan Hong Siau tercekat. Diam-diam dia berpikir dalam hati. Nama busuk si
Raja Iblis itu ternyata bukan nama kosong. Hanya karena alasan yang sederhana, dia
tidak segan melakukan pembunuhan.
Setelah termangu-mangu sejenak, Kuan Hong Siau tertawa sumbang.
"Kalau begitu, harap I sian sing turun tangan saja!" ucap Kakek Kuan.
Tiba-tiba tubuh I Ki Hu berkelebat ke depan. Lengan bajunya mengibas tepat di jalan
darah terpenting bagian dada Kuan Hong Siau. Orang tua itu juga sadar dirinya sudah
terluka parah, percuma saja menghindar. Karena itu dia memejamkan matanya dan
tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Begitu jalan darah di dadanya terkena kibasan
lengan baju I Ki Hu, orang tua itu pun terkulai jatuh dan mati seketika.
I Ki Hu tertawa seram. Kemudian dia berjalan ke arah pasangan suami istri Lie Yuan.
Langkahnya perlahan tapi pasti.
Sejak masuk ke dalam ruangan batu, kecuali seruan terkejut tadi, Tao Ling tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Ketika ia melihat I Ki Hu menghampiri pasangan
suami istri Lie Yuan, hatinya langsung tercekat. Kedua orang itu, bagaimana pun
merupakan orang tua Lie Cun Ju.
Entah di mana sekarang Lie Cun Ju berada. Tetapi selama Tao Ling masih hidup, ia
tidak ingin bertemu lagi dengan pemuda itu. Sekarang kedua orang tua Lie Cun Ju
sedang menghadapi kesulitan. Tentu saja dia tidak bisa berdiam diri tanpa memberikan
pertolongan apa-apa.
"Hu kun, tunggu dulu!" seru Tao Ling tanpa sadar.
I Ki Hu menolehkan kepalanya.
190 "Apakah Hu jin ingin memintakan pengampunan bagi kedua orang ini?" katanya.
Tao Ling maju selangkah.
"Sekarang jalan darah mereka sudah tertotok, mengapa Hu kun niasih ingin
menurunkan tangan jahat?" ujar Tao Ling.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.
"Hu jin tidak tahu, orang yang menotok jalan darah mereka mempunyai hati yang keji
sekali. Bahkan jauh lebih keji daripadaku. Seandainya mereka dapat berbicara, tentu
mereka memilih mati daripada tersiksa sedemikian rupa. Apabila aku turunkan tangan
jahat kepada mereka sama halnya aku melepaskan mereka dari kesengsaraan. Di alam
baka, arwah mereka malah akan berterima kasih atas budiku ini."
Tao Ling terdiam mendengar kata-katanya. I Ki Hu melanjutkan kemhali. "Tetapi aku
harus membebaskan dulu jalan darah mereka agar bisa menjawab beberapa
pertanyaanku."
Tao Ling terkejut sekali.
"Aih .. . Bukankah tadi kau mengatakan bahwa kau tidak sanggup membebaskan jalan
darah mereka?"
"Aku memang tidak bisa membebaskan jalan darah mereka. Tetapi aku bisa
menggunakan semacam cara untuk mengedarkan hawa murni tubuh mereka, lalu
memutuskan seluruh urat nadi dalam tubuh. Dengan demikian totokan di bagian mana
pun bisa lancar kembali?" tukas I Ki Hu.
Tao Ling memang gadis yang cerdas. Dia langsung memahami maksud I Ki Hu.
"Tetapi .. . dengan cara seperti itu, mereka toh bisa langsung mati."
"Betul. Kalau seluruh urat nadi dalam tubuh sudah putus, mana mungkin seseorang
bisa mempertahankan hidupnya. Tetapi aku masih mempunyai semacam cara yang
bisa menunda kematian mereka sesaat sehingga ada waktu untuk menjawab
pertanyaan yang akan aku ajukan."
Tao Ling merenung sejenak.
"Hu kun, bolehkah kau pandang aku dan menunda sebentar keinginanmu itu?" ucap
Tao Ling. "Hu jin, kau tidak ingin melihat kematian kedua orang ini, apakah karena Lie Cun Ju?"
tanya I Ki Hu tajam.
Mengetahui isi hatinya dapat terbaca oleh I Ki Hu, hati Tao Ling tercekat bukan main.
"Bu . . . bukan." Tao Ling menjawab dengan panik.
191 I Ki Hu tidak memperdulikannya.
"Apabila kedua orang ini tidak menjelaskan riwayat hidup Lie Cun Ju, seumur hidup
aku tidak akan tenang. Aku boleh gagal, membunuh sepuluh orang tetapi tidak boleh
membiarkan seorang musuh yaitu Lie Cun Ju lolos. Tetapi apabila mereka berdua
mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa Lie Cun Ju memang anak kandung mereka,
maka harapan untuk hidup bagi pemuda itu masih ada."
Pikiran Tao Ling jadi ruwet mendengar kata-kata I Ki Hu. Dia tidak ingin pasangan
suami istri Lie Yuan mati begitu saja, justru karena memikirkan Lie Cun Ju. Tetapi
sekarang, setelah mendengar nada perkataan I Ki Hu, dia sadar bahwa Lie Cun Ju
sudah pasti akan dibunuhnya apabila kedua orang ini tidak mati.
Tao Ling melirik sekilas kepada pasangan suami istri Lie Yuan. Wajah mereka pucat
pasi, tubuh keduanya kurus kering. Ditilik dari keadaan ini saja sudah membuktikan
bahwa mereka tidak akan bertahan lama hidup di dunia ini lagi. Kalau dibandingkan
dengan Lie Cun Ju yang masih muda dan sehat, tentu saja Tao Ling memilih yang
terakhir. Karena itu dia hanya dapat menarik nafas panjang mengingat nasib yang akan
dialami kedua orang itu.
"Terserah kau saja!" kata Tao Ling singkat.
I Ki Hu tertawa. Dia membungkukkan tubuhnya untuk mengangkat Lie Yuan dan
disandarkannya ke tembok ruangan. Kemudian tangan kanannya secepat kilat bergerak
menepuk ubun-ubun kepala laki-laki itu.
Ubun-ubun kepala merupakan pusat urat nadi yang berhubungan dengan seluruh
bagian tubuh. Begitu mendapat tepukan oleh tangan I Ki Hu, seluruh tubuh Lie Yuan
langsung bergetar.
Kemudian tampak I Ki Hu menepuk lagi salah satu jalan darah di punggung laki-laki
tersebut. Tampak rona wajah Lie Yuan mulai menyiratkan kemerahan. Kemudian
Hoakkkk! Darah segar pun bermuncratan dari mulutnya.
Tangan I Ki Hu tetap menekan jalan darah di punggung Lie Yuan.
"Sahabat Lie, biar bagaimana kau tetap akan mati. Cepat katakan apakah Lie Cun Ju
anak kandungmu sendiri atau bukan?" tanya I Ki Hu dengan nada membentak.
Rona wajah Lie Yuan yang merah perlahan-lahan memudar lagi. la menarik nafas
panjang. "Siapa kau?" tanya Lie Yuan.
I Ki Hu tidak merasa heran dengan pertanyaannya itu.
Ketika memeriksa keadaan pasangan suami istri Lie Yuan, I Ki Hu mendapatkan
bahwa bukan saja jalan darah mereka tertotok, melainkan pada setiap bagian tubuh
pun terdapat luka yang parah sekali. Tubuh mereka bukan saja tidak dapat bergerak,
bahkan telinga pun tidak dapat mendengar apa-apa. Sebetulnya tidak jauh berbeda
192 dengan mati. Satu-satunya yang dapat dijadikan pegangan bahwa mereka masih hidup,
hanyalah pernafasan yang sudah lemah sekali.
Karena itu pula, meskipun I Ki Hu sudah cukup lama berada di dalam ruangan batu
itu, lie Yuan tetap tidak tahu siapa dia.
Sementara itu, I Ki Hu terus menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh lie Yuan
agar orang itu tidak langsung mati.
"Kau tidak perlu urus siapa aku, tapi aku mempunyai permusuhan yang dalam dengan
tocu Hek cui to, Cin Hu. Cepat kau katakan apakah lie Cun Ju anakmu yang
sebenamya atau anak tocu Hek Cui to itu?" tanya I Ki Hu lagi.
Di wajah Lie Yuan tampak tersirat seulas senyuman yang ganjil.
"To . . . cu Hek .. . cu ... i to ... Ci... Cin . . . Hu . . ." Anak . .. nya ... Mak . . . sud ... mu
. . .?" Kata-kata Lie Yuan dicetuskan dengan susah payah. Suaranya tersendat-sendat. Hati I
Ki Hu justru diliputi ketegangan menunggu ia menyelesaikannya.
Namun di tengah ketegangan hati I Ki Hu terselip beberapa bagian kegembiraan.
Selama dua puluh tahun belakangan ini, dia terus mencari keturunan musuh besarnya itu. Boleh
dibilang ia tidak pernah mendapat berita apa pun. I Ki Hu fanatik sekali dengan
prinsipnya yang dikatakan 'api yang liar sulit dipadamkan, angin musim semi terus
berhembus silih berganti'. Meskipun ilmu silatnya sekarang sudah mencapai taraf yang
tidak terkatakan tingginya, asal masih ada seorang saja keturunan musuhnya yang
masih hidup, dia tidak dapat tidur dengan tenang.
Sebetulnya pendapat I Ki Hu itu salah sekali. Yang membuat hidupnya tidak tenang,
sebetulnya perbuatannya sendiri. Apabila seseorang tidak melakukan kejahatan, tentu
tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan ia pun dapat hidup dengan tenang. Tetapi
sekali seseorang melakukan kejahatan, perbuatannya itu akan membayang-bayangi
dirinya sendiri, perasaan khawatir di dalam hati tidak dapat dihapuskan. Seperti
seorang pencuri, meskipun sudah berhasil, tetapi setiap saat ia khawatir dirinya akan
ketahuan. Sedangkan ketegangan di hati Tao Ling diliputi dengan perasaan takut. Sebab apabila
Lie Yuan mengiakan pertanyaan I Ki Hu, sama saja Lie Cun Ju telah divonis hukuman
mati. Tetapi setelah mengucapkan beberapa patah kata dengan susah payah, Lie Yuan malah
terdiam kembali
"Cepat jawab. Iya atau bukan" Tidak usah bertele-tele!" tanya I Ki Hu lagi dengan
nada tidak sabar.
Sepasang mata Lie Yuan mendelik marah. Tenggorokannya mengeluarkan suara
Krok! Krok! yang aneh. Melihat keadaannya, sepertinya laki-laki itu sedang berusaha
193 ingin mengatakan sesuatu. Tetapi sampai akhirnya dia tidak sempat mengatakan apaapa
lagi. Kepalanya terkulai dan ia pun menghembuskan nafas terakhir.
I Ki Hu semakin gusar melihat dirinya sudah menghamburkan sekian banyak hawa
murni tetapi tidak ada hasilnya sama sekali. Tenaga dalamnya dikerahkan dan tuhuh
Lie Yuan yang sudah kaku itu pun dipentalkan sampai jauh. Kemudian dia
membalikkan tuhuhnya dan menatap Tao Ling sekilas sambil tertawa dingin. Hati Tao
Ling tergetar. Sekali lagi I Ki Hu memondong tubuh Lim Cin Ing. Dia juga menepuk
ubun-ubun kepala perempuan itu persis seperti yang dilakukunnya pada Lie Yuan.
Lim Cin Ing juga mengeluarkan seruan terkejut, darah merembes dari sudut bibirnya.
Matanya membuka dan melirik ke sekelilingnya.
"Di . . . ma . . . na . . . a . . . ku . . .?" Ketika matanya sempat melihat jenasah Lie Yuan,
sekali lagi mulutnya menjerit.
I Ki Hu menahan hawa amarah dalam dadanya yang hampir meluap.
"Lie hu jin, suamimu sudah mati. Kau juga tidak bisa hidup lebih lama lagi. Apabila
ada kata-kata yang ingin kau sampaikan. Utarakanlah sekarang juga!" katanya.
Keadaan Lim Cin Ing tampaknya lebih lumayan dibandingkan suaminya tadi. Dia
menarik nafas panjang satu kali.
"Tidak ada pesan apa-apa lagi," jawab Lim Cin Ing.
"Kau mempunyai dua orang putra. Yang satu sudah mati terbunuh Tao Heng Kan di
kediaman Kuan Hong Siau. Masa kau tidak mempunyai pesan apa-apa terhadap
putramu yang satunya lagi?" kata I Ki Hu dengan panik.
Mata Lim Cin Ing langsung mengedar ke sana ke mari.
"Di ... ma ... na ... dia sekarang?"
"Dia baik-baik saja. Tetapi dia tidak ingin bertemu dengan kalian lagi."
Wajah Lim Cin Ing tampak menyiratkan penderitaan yang tidak terkirakan mendengar
ucapan I Ki Hu.
"Kenapa?" tanya Lim Cin Ing.
Sepasang mata I Ki Hu menatap reaksi Lim Cin Ing lekat-lekat.
"Dia mengatakan bahwa kalian bukan orang tua kandungnya. Tetapi selama ini kalian
selalu menutupi hal ini. Karena itu dia merasa benci dan tidak ingin bertemu dengan
kalian lagi," sahut I Ki Hu.
Tiba-tiba Lim Cin Ing tertegun. Dia memaksakan dirinya untuk berdiri tegak, tetapi
keadaan-nya sudah lemah sekali. la tidak mempunyai tenaga sedikit pun. Setelah
194 berusaha sesaat, wajahnya jadi merah padam, tetapi tetap saja tubuhnya tidak dapat
ditegakkan. "Mengapa . . . dia . . . bisa berkata demi . . . kian . . .?"
Kata-kata yang diucapkan I Ki Hu seakan dirinya mengandung perhatian yang besar
terhadap Lie Cun Ju. Tetapi sebenarnya semua hanya karangannya sendiri untuk
mengetahui benar tidaknya pendapat hatinya saat itu.
"Cepat katakan, benar atau tidak" Nanti aku bisa sampaikan kepadanya. Meskipun
kalian akan mati, jangan sekali-sekali membuat seorang anak bingung dengan riwayat
hidupnya sendiri." Sungguh ucapan yang man is. Tao Ling yang mendengarkan
sampai meremang seluruh bulu kuduknya.
Sekali lagi Lim Cin Ing menarik nafas panjang.
"Uru . . . san ... ini pan . . . jang seka . . . li apabila dice . . . ritakan."
Tangan I Ki Hu masih menekan jalan darah di punggung Lim Cin Ing. Dia dapat
merasakan detak jantung perempuan itu sudah semakin lemah. Dalam sekejap mata
saja perempuan itu akan menemui kematiannya, karena perasaannya semakin panik.
"Tidak usah panjang lebar, yang penting kau jawab, apakah dia anak kandung kalian
atau bukan?"
Kepala Lim Cin Ing sudah mulai terkulai. Suaranya juga sudah lirih sekali, tetapi
keadaan di dalam ruangan batu itu demikian heningnya sehingga I Ki Hu dan Tao
Ling masih bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
Sekali lagi Lim Cin Ing menarik nafas panjang.
"Di . . .a ... me . . . mang ... bu ... kan ... a ... nak kan . . . dung ... ka ... mi."
I Ki Hu langsung tertawa terbahak-bahak. Tangannya merenggang.
"Aku memang sudah menduganya!"
Lim Cin Ing memang hanya mengandalkan bantuan hawa murni yang dipancarkan
tangan I Ki Hu di punggungnya sehingga masih sempat hidup beberapa saat. Begitu
tangan I Ki Hu merenggang, ia pun mati seketika.
"Apakah dia putra tocu Hek Cui to, Ci Cin Hu?" tanya Tao Ling panik.
Lim Cin Ing sudah mati, mana bisa men jawab pertanyaan Tao Ling. Dengan perasaan
lesu Tao Ling berdiri. Di depan pelupuk matanya seakan terlintas bayangan Lie Cun
Ju yang sebatang kara tanpa perlindungan siapa pun. Dan di sebelahnya seakan ada I
Ki Hu yang siap menghantam batok kepala pemuda itu dengan telapak darahnya.
Hati Tao Ling terasa perih. Sepasang Iututnya jadi lemas. Tiba-tiba dia sudah
menjatuhkan diri berlutut di depan I Ki Hu.
195 "Hu kun, apa yang dikatakan Lim Cin Ing menjelang kematiannya tidak dapat
dijadikan pegangan. Apakah kau tetap akan menurunkan tangan jahat kepada Lie Cun
Ju?" Ucapannya ini benar-benar mengharukan. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan
tergerak hatinya. Tetapi I Ki Hu sama sekali tidak tergugah, bahkan tampak angker.
"Hu jin, kita sudah menjadi suami istri, tentunya kau tidak mengharapkan kelak aku
dicelakai orang, bukan?"
"Hu kun, kau memiliki kepandaian yang sakti. Siapa pula yang sanggup


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencelakaimu?"
"Hal ini sulit dikatakan," kata I Ki Hu dengan nada dingin. "Hampir dua puluh tahun
ini aku mencari jejaknya. Aku berniat membasmi rumput sampai ke akar-akarnya. Itu
bukan hal yang mudah. Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi!"
Tao Ling sadar banyak bicara pun tidak ada gunanya. Terpaksa dia bangun dari
berlutut. I Ki Hu sendiri terus mondar mandir di dalam ruangan batu itu. Suasana di
dalam ruangan itu demikian heningnya. Tao Ling masih berdiri dengan termangumangu.
Perasaan hatinya terlalu galau. Bahkan begitu resahnya ia sampai pikirannya
menjadi kosong melompong. Sampai cukup lama tiba-tiba terdengar suara Bum! Bum!
seperti ada benda-benda yang dilemparkan di depan pintu.
Begitu mendengar suara itu, I Ki Hu langsung menuju depan pintu. Dia menempelkan
telinganya dan mendengarkan suara itu dengan seksama. Tampak wajah I Ki Hu
semakin lama semakin tidak enak dilihat. Tampak menyiratkan kegusaran yang tidak
terkirakan. Kemudian dia mendengus dingin. Tangannya menjulur ke depan dan
diguncang-guncangkannya pintu batu itu.
Tetapi pintu batu itu demikian tebal, beratnya mungkin mencapai laksaan kati.
Meskipun tenaga dalam I Ki Hu sudah hampir mencapai taraf kesempurnaan, tenaga
seorang manusia mana mungkin dibandingkan dengan dinding sekokoh itu. Apalagi di
kiri kanannya dipasang seutas rantai sebesar lengan manusia dewasa. Karena itu, pintu
batu itu tidak bergeming sedikit pun juga.
Kegusaran di wajah I Ki Hu semakin parah, dia terus mondar mandir di dalam ruangan
batu. Langkah kakinya berat sekali. Setiap tempat yang dilaluinya meninggalkan bekas
tapak kaki yang dalam. Seakan-akan ia sedang mengumbar kemarahannya dengan cara
demikian. Tidak lama kemudian, dari luar berkumandang suara pletak! pletok! Tao Ling tidak
mengerti mengapa ketika mendengar suara debuman dari luar, wajah I Ki Hu langsung
tampak menyiratkan kegusaran. Sekarang dia mendengar suara pletak! pletok! dari
luar pintu. Dia langsung tersadar, rupanya keluarga Sang sedang melemparkan kayu
atau balok-balok besar di depan pintu barusan sehingga terdengar suara debuman. Dan
suara yang didengarnya sekarang membuktikan bahwa mereka akan membakar
ruangan batu itu.
196 Meskipun tembok batu ruangan itu sangat tebal, apabila terbakar selama berhari-hari
ber-malam-malam, mungkin tiga hari saja pasti seluruh ruangan batu itu sudah merah
membara seperti tungku perapian. Dan otomatis orang yang terkurung di dalamnya
pun tidak bisa mempertahankan selembar nyawanya.
Hati Tao Ling menjadi gundah mengingat dirinya akan terbakar hidup-hidup di dalam
ruangan batu. Sesaat kemudian sebuah ingatan melintas di benaknya. Perasaannya
menjadi lega. Di bibirnya tersungging seulas senyuman yang sudah cukup lama tidak
diperlihatkan. Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba Tao Ling mengembangkan seulas senyuman yang
manis. Hal ini bukan disebabkan karena jiwanya yang terguncang mengetahui dirinya
akan dibakar hidup-hidup oleh keluarga Sang.
Tao Ling yakin malaikat Elmaut pasti akan menjemputnya beberapa hari kemudian,
namun hatinya tidak merasa takut sedikit pun. Bahkan tersirat kebahagiaan yang tidak
terlukiskan, karena yang akan mati terbakar di dalam ruangan batu itu bukan hanya dia
seorang, tetapi termasuk juga I Ki Hu.
Pada dasarnya Tao Ling tidak mencintai I Ki Hu sedikit pun. Kebahagiaan yang
dirasakannya tentu bukan karena mereka saling mencintai dan dapat mati bersama.
Tetapi karena dia menyadari, apabila I Ki Hu sampai mati, selembar nyawa Lie Cun Ju
dapat dipertahankan.
Lie Cun Ju lah laki-Iaki yang dicintai Tao Ling. Asal Lie Cun Ju dapat meneruskan
kehidupannya dengan tentram, meskipun dia harus terkurung dalam ruangan batu dan
terbakar menjadi abu, hatinya rela sekali.
Di pelupuk matanya kembali melintas bayangan Lie Cun Ju. Cuma kali ini tidak ada
lagi bayangan I Ki Hu yang mengangkat tangannya yang berwarna merah darah ke
atas. Bahkan dalam bayangannya Lie Cun Ju sedang tersenyum.
Senyuman di bibir Tao Ling pun semakin mengembang. Meskipun sadar dirinya pasti
akan mati, tetapi hatinya gembira sekali. Sekarang dia merasa I Ki Hu sama sekali
tidak menakutkan. Karena paling lama tiga hari laki-laki itu juga akan melebur jadi
abu bersama-sama dirinya. Begitu senangnya hati Tao Ling sampai-sampai tertawanya
menimbulkan suara terkekeh-kekeh.
I Ki Hu memandang Tao Ling dengan dingin. Wajahnya juga tersenyum. Tetapi
senyumnya mengandung kemarahan dan menyeramkan.
Sampai cukup lama, Tao Ling baru mendengar kata I Ki Hu.
"Hu jin, apakah kau mengira aku tidak akan keluar lagi dari ruangan batu ini?"
Tao Ling mendongakkan kepalanya, seakan tidak mendengar apa yang dikatakan
suaminya. Sekali I Ki Hu mengeluarkan suara tawa yang dingin dan menyeramkan.
"Hu jin, dugaanmu salah sekali. Aku pasti bisa keluar dari ruangan batu ini. Seluruh
keluarga Sang akan kubunuh sampai binatang peliharaan mereka pun tidak ada yang
197 kulepaskan. Demikian pula Lie Cun Ju, dia juga tidak bisa meloloskan diri dari
kematian."
Kata-katanya demikian tegas. Seperti mengandung keyakinan penuh. Tetapi Tao Ling
hanya menggelengkan kepalanya seakan tidak percaya atas apa yang dikatakannya. I
Ki Hu pun tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itu mungkin di dalam hati I Ki Hu memang ada keyakinan bahwa dia bisa
keluar dari ruangan batu itu. Karena dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan
keluarga Sang di luar.
Di luar ruangan batu, sebatang demi sebatang balok telah disusun setinggi tiga depa.
Keluarga Sang menumpuk balok dan kayu-kayu bukan hanya di depan pintu ruangan
itu saja, tetapi juga sekelilingnya. Bahkan setiap balok dan kayu sudah direndam
sebentar dengan minyak tanah. Mereka menggunakan jenis balok dan kayu dari pohon
siong yang paling cepat menyerap minyak. Karena itu, apabila api disulutkan, kayu
dan balok itu akan bertahan lama dalam pembakaran. Dan sekarang pun pembakaran
telah dimulai. Rumah batu yang mirip penjara itu sekarang berubah menjadi sarana kremasi. Hanya
saja yang dibakar bukan niayat tetapi manusia hidup.
Sang Ling dan anggota keluarga lainnya berdiri di kejauhan. Suara tertawa I Ki Hu
yang menyeramkan berkumandang keluar dan terdengar jelas di telinga mereka.
Walaupun saat ini 1 Ki Hu sudah terkurung di dalam ruangan batu, tetapi nama besar
iblis ini memang menggetarkan. Suara tawanya saja masih sanggup membuat wajahwajah
keluarga Sang pucat pasi.
Bahkan ada seseorang yang berkata dengan suara berbisik.
"Moay cu, meskipun sekarang kita berhasil mengurungya di dalam rumah batu itu,
tetapi kalau dia sampai tidak mati dan berhasil keluar dari sana, seluruh permukaan
tempat tinggal keluarga Sang ini pasti rata menjadi tanah dan jangan harap ada satu
pun dari kita yang berhasil meloloskan diri."
Sang Ling tidak langsung menyahut, di dalam hatinya juga timbul ketakutan yang
sama. Sejak kematian si Kakek berambut putih Sang Hao, secara tidak langsung dia
sudah menjadi kepala dalam keluarga Sang. Dia juga tahu I Ki Hu tidak mungkin
meloloskan diri dari rumah batu itu. Rasa takut dalam hatinya dan dalam hati setiap
anggota keluarganya hanya karena kepandaian I Ki Hu yang terlalu tinggi dan
namanya yang terlalu menggetarkan.
"Kalian tidak perlu cemas!" katanya singkat.
Seluruh anggota keluarga Sang memang berkumpul di tempat itu. Dari kejauhan
mereka melihat api mulai berkobar. Dari kecil api itu membesar. Kurang lebih satu
kentungan kemudian, seluruh rumah batu itu sudah tertutup api.
198 Malam harinya, anggota keluarga Sang masih terus menambah balok-balok dan kayu
yang telah dilumuri minyak. Dengan demikian nyala api bukan mengecil bahkan
semakin lama semakin besar.
Meskipun si jago merah sudah memperlihatkan kegarangannya dan mengurung
seluruh rumah batu itu, lidah api tampak menjilat-jilat dan mengeluarkan suara deruan
yang mengerikan hati, tetapi para jago keluarga Sang masih tidak berani beristirahat.
Mereka ingin menunggu sampai I Ki Hu benar-benar tidak bisa meloloskan diri lagi
baru hati mereka merasa tenang. Cahaya api menyoroti wajah puluhan orang itu.
Tampak mimik wajah mereka menyiratkan ketegangan dan ketakutan yang tidak
terkatakan. Kalau saja I Ki Hu sampai mati, nama keluarga Sang pun akan menjulang
tinggi seketika dalam dunia kang ouw.
Tapi bagaimana kalau I Ki Hu tidak mati, berarti seluruh keluarga itu akan musnah
oleh pembalasannya.
Mereka terus menunggu. Satu hari telah berlalu. Keadaan di dalam rumah batu hening
men-cekam. Tidak terdengar suara sedikit pun. Baru saja anggota keluarga Sang
bermaksud menghembuskan nafas lega, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang dan
kegusaran dari mulut I Ki Hu.
Mereka saling pandang sesaat. Kemudian masing-masing bergegas mengambil balok
dan kayu bakar untuk ditimbun di sekeliling rumah batu itu. Bahkan mereka juga
menyiram minyak tanah bergentong-gentong di atasnya. Api pun terus berkobar dan
berkobar ... Apakah api yang menjulang tinggi itu bisa membunuh atau membakar hidup-hidup
seorang pentolan dunia hitam dan raja iblis yang ditakuti seluruh dunia kang ouw
seperti I Ki Hu" Untuk sementara pengarang sengaja menunda kisahnya.
***** Kita kembali pada I Giok Hong yang tidak sudi berlutut di depan Tao Ling dan
memanggilnya ibu. Begitu kerasnya adat gadis yang satu ini sehingga tulang kakinya
patah tetap rela memutuskan hubungan ayah dan anak antara dirinya dengan I Ki Hu.
Dengan golok pemberian Seebun Jit yang dijadikan tongkat, dia berjalan tertatih-tatih.
Rasa nyeri yang dirasakannya ditahannya kuat-kuat. Akhirnya dia berhasil juga
menempuh perjalanan sejauh tiga-empat li.
Sakit yang dirasakannya semakin menjadi-jadi. Keringat dingin sudah membasahi
seluruh tubuhnya, I Giok Hong benar-benar tidak dapat mempertahankan diri lagi.
la menolehkan kepalanya dan memandang ke sekitarnya. Keadaan di tempat itu sunyi
senyap. Ternyata ayahnya tidak mengejarnya atau memintanya kembali. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyuman. Hal ini membuktikan betapa angkuh dan kerasnya
hati gadis itu.
199 Akhirnya dia duduk di atas tanah, sepasang kakinya yang patah perlahan-lahan
dilonjorkan ke depan. Dengan hati-hati dia menyambung kembali tulang itu. Ujung
pakaiannya dikoyak dan dijadikan pembalut. Setelah selesai, dia beristirahat sejenak.
Kemudian baru meneruskan perjalanannya dengan bantuan golok tadi sebagai
penopang. Ketika hari sudah gelap, dia sampai di tepi sebuah danau. Di sekitar danau itu tumbuh
ber-bagai pepohonan. Dan tanah di sekelilingnya juga ditumbuhi rerumputan yang
cukup tebal. I Giok Hong berbaring di atas rumput sampai cukup lama. Bau harum
yang terpancar dari rerumputan di sekitarnya membuat semangat I Giok Hong bangkit.
Dia mendongakkan kepalanya ke atas. Tampak rembulan sudah menggantung di atas
langit. Cahayanya menyorot ke permukaan danau sehingga air tampak cemerlang
bagai cermin. Dia segera berjalan ke tepi danau. Kemudian dia membungkukkan
tubuhnya dan diminumnya air danau yang jernih itu. Setelah rasa dahaganya hilang,
dia mengayunkan pecutnya ke tengah danau. Dalam beberapa kali gerakan dia pun
mendapatkan tiga ekor ikan yang besar-besar. I Giok Hong mencari ranting-ranting
kering untuk menyalakan api unggun. Dibakarnya ikan-ikan itu lalu dimakannya
dengan lahap. Selama lima hari berturut-turut dia melakukan hal yang sama.
Sampai hari keenam, dia merasa tulang kakinya sudah mulai pulih. Dia pun sudah bisa
meninggalkan tepi danau itu. Sampai saat itu, dia baru merasa bingung. Kemana dia
harus pergi" Biar bagaimana, dia tidak dapat kembali ke Gin Hua kok. Dia merantau
ke mana saja. Bukankah hal itu juga merupakan pengalaman baru yang belum pernah
ia rasakan sebelumnya.
Dengan termangu-mangu I Giok Hong memandangi air danau yang jernih. Hatinya
diliputi kebimbangan. Tiba-tiba di dalam riak permukaan air, sepertinya ada seseorang
yang berjalan dari arah belakang menghampirinya.
Tadinya I Giok Hong mengira orang itu seorang gembala, penduduk di sekitar tempat
itu. Tetapi di bawah sorot matahari, tampak sinar berkilauan terpancar dari pinggang
orang itu. Ternyata kilaunya sebatang pedang yang terpantul sinar mentari.
I Giok Hong cepat-cepat membalikkan tubuhnya. Jarak orang itu dengan dirinya
tinggal dua depaan. Dia juga dapat melihat jelas wajah orang itu. Ternyata seorang
pemuda dengan wajah murung dan tampang pasrah. Siapa lagi kalau bukan Tao Heng
Kan" Melihat Tao Heng Kan muncul di tempat itu, hati I Giok Hong langsung tergetar.
Beberapa hari yang lalu pemuda itu menikam jantungnya dengan pedang. Sekarang
bayangan belum pernah terlintas di benaknya itu menjadi terlihat. Sedangkan adik Tao
Heng Kan, Tao Ling sudah menikah dengan ayahnya. Ingatan itu pun melintas
kembali di benaknya.
Selama lima hari berturut-turut di tepi danau, entah sudah berapa kali I Giok Hong
mengucapkan sumpahnya. Dia akan membunuh Tao Ling, kalau bisa dia akan
mencincangnya sampai tubuhnya tidak berbentuk. Sekarang, begitu melihat Tao Heng
Kan, kebenciannya tiba-tiba saja meluap.
200 Tampaknya Tao Heng Kan juga tidak menyangka bisa bertemu dengan I Giok Hong di
tempat itu. Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya. Begitu melihat I Giok Hong, dia
langsung tertegun.
"I ... kouwnio, rupanya kau . . . ada di sini juga," tegur Tao Heng Kan.
I Giok Hong tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di dalam pandangan
mata Tao Heng Kan, apa yang dilihatnya mirip dengan sebuah lukisan karya pelukis
ternama. Langit yang biru, hari yang cerah, rumput-rumput menghijau, pepohonan
melambai-lambai, dan di pinggir danau berdiri seorang gadis yang cantik jelita. Tapi
Tao Heng Kan justru tidak tahu apa yang terkandung dalam hati I Giok Hong.
Dengan perasaan melayang-layang, Tao Heng Kan menghampirinya.
"I kouwnio, apakah kau . . .menyalahkan diriku . . .?"
I Giok Hong mencibirkan bibirnya. Dia tahu apa yang dimaksud oleh Tao Heng Kan.
"Untuk apa aku menyalahkan dirimu?"
Tao Heng Kan pun tersenyum. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah
kantong kulit. "Luka yang diderita Lie Cun Ju masih belum sembuh. la ada di tempat yang tidak
seberapa jauh. Aku ingin mengambilkan sedikit air minum untuknya."
I Giok Hong memperdengarkan suara tawa yang merdu.
"Air di danau ini toh bukan milikku. Kalau mau ambil, silakan! Tidak perlu menanya
dulu padaku."
Wajah Tao Heng Kan langsung merah jengah. Dia berjalan ke tepi danau dan mengisi
kantong kulitnya dengan air. I Giok Hong berdiri di sampingnya kurang lebih dua
ciok. Tangan kirinya menggenggam golok pemberian Seebun Jit, sedangkan tangan
kanannya memegang pecut lemas.
I Giok Hong tahu, Tao Heng Kan pasti tidak menyangka bahwa ia mengandung niat
jahat kepadanya.
Asal dia menggerakkan goloknya saja, pasti Tao Heng Kan akan rubuh di atas rumput
dengan bersimbah darah. Dan hal ini merupakan urusan yang bukan main mudahnya.
Tetapi bibir I Giok Hong masih tersenyum manis. Tubuhnya atau tangannya tidak
bergerak sedikit pun juga. Bukan karena dia tidak ingin melihat kematian Tao Heng
Kan, melainkan dia tidak ingin Tao Heng Kan mati dengan cara yang begitu asiik. Dia
ingin menyiksa bathin pemuda itu. Dengan demikian kebencian dalam hatinya baru
bisa terlampiaskan.
Lagipula, di dalani hatinya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Baginya,
pemuda itu merupakan sebuah 'teka teki' yang rumit. Siapa suhunya yang berilmu
tinggi itu" Mengapa dia menyuruh Tao Heng Kan menculik Lie Cun Ju"
201 Ketika Tao Heng Kan mengisi kantong kulitnya dengan air danau, dia sudah
mengambil keputusan. Dia tidak akan membiarkan pemuda ini mati begitu saja. Dia
akan menyiksanya secara halus dan menyelidiki semua misteri yang menyelubungi
dirinya. Ketika Tao Heng Kan kembali berdiri, dia pun memandang pemuda itu dengan seulas
senyuman manis.
"Tao kongcu, kemana gurumu?"
Tao Heng Kan seperti terkejut mendapat pertanyaan yang tidak terduga-duga itu
"Ah! Guruku sedang pergi. Aku sendiri tidak tahu dia kemana."
Sekali lagi I Giok Hong tersenyum.
"Tao kongcu, adikmu sudah menikah. Apakah kau sudah mengetahuinya?"
Tao Heng Kan terkejut sekali lagi.
"Sudah menikah?" katanya terhenti sejenak, kemudian dia baru melanjutkan kembali,
"Menikah dengan siapa?"
"Menikah dengan Gin leng hiat dang, I Ki Hu."
Mata Tao Heng Kan langsung membelalak lebar-lebar.
"Menikah dengan ayahmu?"
Wajah I Giok Hong langsung tampak murung.
"Tao kongcu, mengapa kau menyebut I Ki Hu sebagai ayahku" Hubungan kami sudah
putus. Jangan mebuat aku marah!"
Tao Heng Kan tertegun mendengar ucapannya.
"Aku tidak tahu urusan yang sebenarnya, harap I kouwnio sudi memaafkan.
Sebetulnya apa yang telah terjadi. Dapatkah I kouwnio menjelaskannya?"
I Giok Hong dapat mendengar nada suara Tao Heng Kan yang mengandung perhatian


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepadanya. Bibirnya pun menyunggingkan seulas senyuman yang pahit.
"I Ki Hu dengan kejam mematahkan kedua tulang kakiku, tentu saja aku tidak sudi
menganggapnya sebagai ayah. Tao kongcu, kita tidak membicarakan urusan ini. Kau
tadi mengatakan Lie Cun Ju ada di tempat yang tidak jauh. Dimana dia" Mari kita
sama-sama menemuinya!"
Tao Heng Kan pun tidak mendesak lagi. Tadinya dia mengira ucapan I Giok Hong
tentang pernikahan Tao Ling dan I Ki Hu hanya gurauan.
202 "Baik!" Mereka segera berjalan bersama meninggalkan tepi danau itu.
Kurang lebih satu li, tampak sebuah bukit yang luas. Di sana tampak dua ekor kuda.
Tao Heng Kan segera menghambur ke depan.
"Aih!" Tiba-tiba Tao Heng Kan mengeluh.
***** I Giok Hong bingung melihat tingkahnya.
"Ada apa?" tanya I Giok Hong.
Tao Heng Kan menunjuk ke arah gundukan rumput di depannya.
"Ta ... di dia masih tidur di sini. Dia tidak bisa bergerak sedikit pun, sekarang ke rnana
perginya?"
Mendengar ucapan Tao Heng Kan, I Giok Hong langsung tertawa getir.
"Orang itu benar-benar sudah menjadi benda pusaka, di sana sini menjadi bahan
rebutan. Jangan-jangan ada orang yang menculiknya lagi."
Padahal I Giok Hong hanya asal ucap saja, tetapi bagi pendengaran Tao Heng Kan
justru menjadi suatu pertimbangan. Wajahnya langsung berubah.
"I kouwnio, maksudmu ... Lie Cun Ju diculik lagi oleh orang lain?"
I Giok Hong benar-benar bingung melihat sikapnya.
"Kalau benar, memangnya ada apa?"
Tao Heng Kan tidak menjawab. Tubuhnya melesat mendaki ke atas bukit. I Giok
Hong meng-ayunkan pecut di tangannya. Terdengar suara Tar! yang memecahkan
keheningan. Pecutnya sudah menyambar tempat sejauh setengah depaan.
Dengan meminjam tenaga lontaran pecut itu, tubuh I Giok Hong pun mencelat ke
udara. Tiga kali berturut-turut tubuhnya menjungkir balik. Ketika melayang turun
kembali, dia sudah melewati Tao Heng Kan.
Ketika kedua orang itu sudah sampai di puncak bukit, mereka segera mengedarkan
pandangan matanya. Pada jarak kurang lebih dua li di barat daya, tampak debu
mengepul tinggi. Tidak syak lagi ada orang yang menunggang kuda dengan kecepatan
tinggi menempuh perjalanan.
Hati Tao Heng Kan panik sekali
"I kouwnio, aku ingin mengejar mereka."
203 I Giok Hong memang tidak mempunyai tujuan kemana pun. Lagipula hatinya sudah
bertekad untuk menyiksa pemuda ini perlahan-lahan demi membalaskan sakit hatinya
akibat diputuskan hubungan antara ayah dan anak gara-gara Tao Ling.
"Aku ikut bersamamu!" kata I Giok Hong segera.
Kedua orang itu segera menuruni bukit. Di dalam dunia bu lim mereka termasuk
remaja yang sudah memiliki kepandaian tinggi. Bahkan dapat digolongkan jago kelas
satu. I Giok Hong di depan, Tao Heng Kan di belakang. Gerakan tubuh kedua orang
itu persis seperti bintang komet yang melesat. Dalam waktu yang singkat mereka
sudah mengejar sejauh belasan li.
Ketika mereka baru mulai mengejar, kepulan debu karena derapan kaki kuda lawan
masih ter-lihat. Tetapi setelah berlari sejauh belasan li, kepulan debu itu semakin lama
semakin jauh. Akhirnya bukan saja tidak terkejar, bahkan bayangannya pun tidak
terlihat. "Tao kongcu, rasanya tidak mungkin terkejar lagi," kata I Giok Hong.
Begitu paniknya sehingga selembar wajah Tao Heng Kan merah padam.
"Tidak bisa! Kalau tidak terkejar, selembar nyawaku ini pasti hilang."
"Sebetulnya apa yang ada pada diri Lie Cun Ju, mengapa dia menjadi rebutan semua
pihak?" tanya I Giok Hong.
Tao Heng Kan menarik nafas panjang.
"Aku juga tidak tahu. Tetapi apabila aku sampai kehilangan pemuda itu, guruku pasti
tidak akan mengampuni. Aku mati tidak apa-apa, tetapi kedua orang tuaku pasti akan
menemui bencana. Bagai . . . mana baiknya?"
I Giok Hong mendengar suara Tao Heng Kan demikian gugup. Saking paniknya
seluruh tubuh pemuda itu dibasahi oleh keringat dingin. Hatinya semakin penasaran.
Terpaksa ia mengikuti terus pemuda itu. Mereka kembali berlari sejauh belasan li.
Mereka sudah melintas daerah perbukitan. Bahkan sudah sampai di jalanan yang
bertumpur dan becek.
Baru saja mereka berjalan beberapa tindak, tiba-tiba I Giok Hong menarik nafas
Pedang Golok Yang Menggetarkan 23 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 15
^