Pendekar Sakti 8

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Aduuuuuuhhh?"..!" Toat-beng Hui-houw memekik lalu menggereng seperti seekor
harimau dicabut jenggotnya. Sebagian bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng!
Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai mengeluarkan air mata. Pedas dan perih. Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa dan begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!
Kwan Cu dan Sui Ceng tidak mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga ketika Toat-beng Hui-houw menekan pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.
Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan menggairahkan!
Sui Ceng yang tak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa ibunya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 juga telah digigit lehernya dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Adapun Kwan Cu yang dielus-elus kepalanya, bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan ini seperti ancamannya tadi.
"Ha, ha, ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama enaknya, sama manisnya!" kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!
"Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak kasihankah kau melihat dia" Tak malukah kau membunuh seorang anak
perempuan kecil seperti dia?" kata Kwan Cu karena biarpun dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, namun kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi penapasan dan tidak kehilangan suara mereka dan masih dapat bicara.
Kwan Cu hendak menolong Sui Cneg, rela dia sendiri mati. Akan tetapi tidak disangkanya, anak perempuan itu memiliki keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,
"Kwan Cu, kaukira aku takut mati" Biar iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya dan sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan menjadi setan
penasaran!"
Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he-he sambil memandang bergantian kepada dua anak itu.
"Hm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!" katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.
"Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau mengganggu Sui Ceng, hmmm".. kurasa kau takkan lama dapat mempertahankan
kepalamu yang botak, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu akan mengejar-ngejarmu selalu!"
Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek ini.
Matanya jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.
"Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!" katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi uuntuk memukul pecah kepala gundul itu. Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan tenaga dan menjerit keras sekali.
"Suthai"..! Tolong teecu!"
Mendengar jerit itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu bahkan sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik leher anak itu.
"Jangan membuka mulut, kau?".!"
Akan tetapi, jeritan tadi telah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya seperti mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Tiba-tiba ia mendengar jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 tubuhnya berkelebat ke arah suara muridnya.
"Toat-beng Hui-houw, lepaskan muridku kalau kau tak ingin mampus!" bentaknya marah dan disusul oleh bunyi "tar! tar! tar!" keras sekali. Dalam kemarahannya, Kiu-bwe Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu cambuk menyambar-nyambar
mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.
Kakek berkuku panjang itu melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan berkata menyeringai.
"Kiu-bwe Coa-li, siapa mau mengganggu muridmu! Aku hanya main-main saja."
"Bangsat tua bangka! Siapa tidak mengenal watakmu yang curang" Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku lamban berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!" Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan sikap garang sekali.
"Ha-ha-ha! Kalau aku curang, apakah kau juga boleh dipercaya" Muridmu berada di dalam tanganku dan cobalah kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, nayawa muridmu akan melayang lebih dulu!"
"Apa yang kau kehendaki manusia jahat?" Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum bahwa Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.
"Aku mau melepaskan muridmu ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya baik sekali untuk punggungku yang suka sakit di musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan pula, sebelum aku melepaskan muridmu, kau harus berjanji takkan menyerangku!"
Kiu-bwe Coa-li memutar otaknya. Ia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,
"Kau mau bawa anak gundul itu, bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, akupun tak sudi berurusan dengan orang macam kau lagi!"
Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li amat membutuhkan bantuan Kwan Cu, akan tetapi sekarang anak itu sudah memberi tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa lagi membawa anak itu" Membikin repot saja!
Setelah mendengar kata-kata gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.
"Suthai jangan berikan Kwan Cu kepadanya! Siluman itu hendak memcahkan kepala Kwan Cu dan hendak makan otaknya!"
"Peduli amat! Aku tidak perlu lagi dengan anak itu!" jawab subonya. Adapun Toat-beng Hui-houw setelah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi girang dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengepit tubuh Kwan Cu, pergi dari situ sambil berkata,
"Selamat tinggal, Kiu-bwe Coa-li!"
"Siluman jahat, lepaskan Kwan Cu!" Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.
"Sui Ceng, jangan kejar dia!" Gurunya mencegah.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 "Suthai, dia hendak membunuh Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku!
Bagaimana teecu harus diam saja?"" Kembali Sui Ceng menggerakkan kadua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba gurunya memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.
"Tidak, Sui Ceng. Aku sudah memberi janjiku tidak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah saja. Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia takkan ku beri ampun lagi. Kali ini aku terpaksa melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu dibunuhnya."
Sui Ceng memandang ke arah bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya membanjir keluar.
"Kwan Cu"..! Kwan Cu?".!" Ia menjerit-jerit dengan hati perih.
*** Kwan Cu yang dikempit oleh Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa mendongkol sekali kepada Kiu-bwe Coa-li.
"Kiu-bwe Coa-li benar-benar orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Biarpun ia mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana bisa ia membacanya" Dan orang macam Toat-beng Hui-houw ini dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana bisa dia menjagoi di dunia kang-ouw?"
Mendengar kata-kata ini, Toat-beng Hui-houw melepaskan kempitannya dan menurunkan Kwan Cu di atas tanah.
"Kau bicara apa tadi?" tanyanya.
"Aku bicara sendiri, apa hubungannya dengan kau?"
"Aku hendak makan otakmu, akan tetapi kalau otakmu miring, jangan-jangan aku ikut menjadi gila. Kau bicara seorang diri, kalau tidak miring otakmu, apa lagi" Kau sebut-sebut Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau tahu apakah tentang kitab itu?"
"Toat-beng Hui-houw, kau mengimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah kalau tidak menghendaki kitab itu" Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu.
Sayang kitab itu akan terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya, karena mendiang Gui-siucai hanya mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang," Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik perhatian orang menyeramkan ini.
"Apa maksudmu" Apakah benar-benar di dunia ini terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?"
"Tentu saja ada! Lima tokoh besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang mendapatkannya dan dapat membacanya, tentu akan memiliki kepandaian yang tak terlawan oleh siapapun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan otak dan darah, perlu apa bertanya-tanya" Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw untuk mencarikan kitab itu dan untuk menterjemahkannya!"
"Benarkah kau bisa mencarikan kitab itu, bocah gundul" Di mana adanya kitab itu?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 "Mau apa kau bertanya-tanya?"
"Setan cilik! Kalau kau bisa mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!"
"Sukar, sukar?"! Untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada satu petunjuk yang terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai."
"Dimana adanya kitab sejarah itu" "Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat umpannya nulai berhasil.
"Kitab itu telah dicuri oleh Ang-bin Sin-kai!"
Terbelalak mata Toat-beng Hui-houw mendengar ini.
"Sukar kalau begitu!" ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak lalu memandang ke arah Kwan Cu yang gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi oleh otak di dalam kepala gundul itu.
Kwan Cu cepat berkata, "Apa sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya kitab itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai".." Kakek yang berpenyakitan itu" Ah, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja dia kalah jauh dan tidak dapat menahan serangan nenek itu lebih dari sepuluh jurus!"
"Apa katamu" Ang-bin Sin-kai terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!"
"Toat-beng Hui-houw, kalau tidak percaya sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi."
Toat-beng Hui-houw mulai tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.
"Bocah gundul, betul-betulkah kata-katamu itu?"
"Siapa membohong" Ang-bin Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia melarikan diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan hanya aku yang tahu di mana Ang-bin Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?"
"Di mana?"
"Di kota raja!"
Toat-beng Hui-houw berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapatkan kitab itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah lama dia mendengar tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini dan kalau benar-benar dia bisa mendapatkan kitab itu atas bantuan anak gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan bumi" Ia takkan perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain. Adapun anak ini?" andaikata membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan batok kepalanya dan makan otaknya. Dan apa salahnya kalau kelak setelah dia bisa mendapatkan Im-yang Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga otaknya"
"Kalau begitu, mari kita menyusul ke kota raja," katanya kemudian.
"Apa kau tidak mau makan otakku lagi?" tanya Kwan Cu berani.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 "Tidak, otakmu perlu kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas kalau tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga darahmu kuminum habis-habis!"
Kwan Cu mengangkat pundak, acuh tak acuh. "Apa bedanya" Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing dan darahku diminum semut! Lebih baik kalau kalau dimakan dan diminum oleh seorang manusia seperti kau sekalipun!"
Akan tetapi Toat-beng Hui-houw tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari totokannya, dia lalu menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali menuju ke kota raja.
"Kita harus mendahului Kiu-bwe Coa-li ke kota raja dan merampas kitab sejarah dari tangan Ang-bin Sin-kai!" Kwan Cu berkata berkata dan ucapan ini membuat Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya.
Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan bayangan Kiu-bwe Coa-li. Telah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jeng-kin-jiu atau Lu Thong.
Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana dan mabuk-mabukan seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba dia mendengar suara genteng dibuka orang dan tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul. Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.
"Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!" Toat-beng Hui-houw membentak. Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegang
pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu. Kwan Cu juga maklum akan hal ini, maka dia memandang kepada Ang-bin Sinkai dengan muka khawatir sambil memutar otaknya.
"Kitab sejarah yang mana?" Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya.
"Toat-beng Hui-houw, apakah kau sudah gila" Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar kau sudah miring otakmu!"
Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras pergelangan tangan Kwan Cu, membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.
"Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu kau bawa-bawa selalu" Mengapa sekarang tidak mengaku?"" selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,
"Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya omongannya" Dia
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 membohongimu! Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, tanda dia membohong.
Aku percaya bahwa kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya.
Lekas serang dia dan rampas kitab itu!"
Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak ini. Ia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata terbelalak. Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah orang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia lalu tertawa bergelak sambil berkata,
"Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?"
"Berikan kepadaku!" Toat-beng Hui-houw membentak lalu serentak menubruk maju sambil mengulur sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau. Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.
Kini Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.
"Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu, hingga terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!"
Dengan keterangan ini, makin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan menggunakan akal, Kwan Cu dapat memancing siluman ini untuk mencari dia dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan tempat Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sin-kai.
Adapun Toat-beng Hui-houw mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga membalas
serangan-serangannya dan mendesaknya dengan hebat. Segera Toat-beng Hui-houw
mengeluh di dalam hatinya ketika beberapa kali dia menyerang, selalu dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang mengandung racun! "Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus dalam tanganku!" bentaknya dan Toat-beng Hui-houw lalu menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Silat Hui-houw-lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan).
Sepuluh kuku jari tanganya tiba-tiba mulur panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali. Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga kedua kakinya yang telanjang itu menendang-nendang seperti kaki harimau mencakar! Dari tenggorokan keluar suara gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini. "Toat-beng Hui-houw seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!" Ang-bin Sin-kai balas memaki akan tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang luar biasa ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang belum pernah bertempur melawan kakek berkuku
panjang ini sungguhpun kedua orang kakek ini sudah pernah bertemu, namun baru kali ini Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur tenaga masing-masing!
Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, "Suhu, pukul kepalanya yang botak! Dia telah membunuh Thio-toanio secara keji!
Dia benar-benar siluman jahat menjelma manusia!" Mendengar suara Kwan Cu, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Ia telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sin-kai dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencarinya jalan yang paling mengerikan untuk membikin mampus setan gundul! Maka dia lalu mengeluakan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi seperti ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sin-kai. Namun Ang-bin Sin-kai yang kini sudah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya tersenyum-senyum dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lalu berpoksai (membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang. Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya demikian cepat dan wajar sehingga Kwan Cu menjadi kagum sekali. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat dielakkan dengan mudahnya. Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw mengejar dan menyerang terus, akan tetapi tiba-tiba Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi ada sambaran angin serangan lawan. Ketika kakek ini melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut! "Manusia curang!" Kwan Cu membentak. Ia mainkan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak hebat sekali sungguhpun dalam beberapa jurus dia berhasil menghindarkan diri dari serangan lawan yang ganas itu. "Tua bangka tak tahu diri!" Ang-bin Sin-kai memaki dan menggerakkan kedua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini dapat mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.
Toat-beng Hui-houw terkejut sekali bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sinkai yang lihai. Kemudian dia menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu. Namun Ang-bin Sin-kai kini sudah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke arah kuku lawan dan terdengar suara "kraaak!" maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!
Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu. "Kau mau membalas dendam kematian Pek-cilan" Nah, sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu." Kwan Cu menengok dan memandang kapada Toat-beng Hui-houw yang masih menggeletak pingsan di atas lantai.
Memang mudah sekali baginya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng. Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang
menggeletak di situ. Ia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toat-beng Hui-houw, didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur. Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan dan dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di atas kepala botak Toat-beng Hui-houw seperti topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.
"Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini," kata Kwan Cu sambil meninggalkan musuh besar itu. Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, karena tadi dia memang hanya mencoba saja untuk Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
222 menguji sifat kegagahan muridnya.
"Kalau begitu, hayo kita pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang."
Setelah berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka oleh Toat-beng Hui-houw diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang dapat berkumpul kembali dengan suhunya. Pukulan dari Ang-bin Sin-kai tadi benar-benar hebat dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai satu malam! Hawa pukulan itu demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat-urat dalam tubuhnya. Ketika keesokan harinya pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan berlari keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas bangku menghadapi pintu!
"Tolong"..toloooong"..ada siluman!" teriaknya sambil berlari-lari. Seorang penjaga yang mendengar ini ikut berteriak-teriak sehingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di antara para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah, setelah mendengar penuturan pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman tengah duduk menghadapi meja dan makan minum, dia lalu membuka pintu dapur dan sambil memegang goloknya dia melangkah masuk. Kawan-kawannya menjenguk dari pintu dan tidak berani ikut masuk.
Ketika penjaga yang tabah ini melihat kedalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang menyeramkan sekali mahluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu. Seorang kakek botak yang berwajah menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan mukanya penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan.
"Siluman dari manakah berani mengacau di dapur istana?" Penjaga ini membentak sambil melangkah maju, siap dengan goloknya di depan dada. Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya masih terasa pening. Ia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak. Ia mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan peristiwa semalam. Munculnya penjaga di depan pintu dan teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah dia bahwa dia masih berada di dalam dapur istana. Ia merasa heran sekali mengapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak membinasakannya, padahal dia telah pingsan tidak berdaya!
Sementara itu, ketika penjaga yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa "siluman" itu sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh kuah masakan yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap rasa takutnya. Ia menyangka bahwa kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh masakan sebagai topi"
"Bangsat tua, darimana kau berani sekali mengacau di sini" Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau tidak golokku akan makan kepalamu!" bentak penjaga itu. Namun Toat-beng Hui-houw masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini.
Adapun para penjaga lain ketika mendengar kawannya memaki-maki "siluman" itu, menjadi besar hati dan mulailah mereka memasuki dapur. Melihat kawan-kawannya ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras, "Lihat kupenggal kepala siluman ini!" Sambil berkata demikian, benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu, membacok kepala Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya, juga para penjaga yang sudah memasuki dapur melihat keajaiban yang mengejutkan. Ketika golok itu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
223 menyambar kepala botak yang kelimis, terdengar suara "tak!" seperti golok menyambar batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu terpental dan terlepas dari pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena penjaga itu merasa tangannya sakit! Kejadian aneh ini disusul oleh suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, kemudian ketika kakek itu berdiri, meja yang berada di depannya tiba-tiba terbang melayang ke arah para penjaga yang berkerumun di depan pintu! Tentu para penjaga menjadi kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja yang tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat dilemparkan ke pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu telah lenyap dari dapur itu!
"Celaka, benar-benar siluman"..!" kata mereka. Sayang sekali pada hari sepagi itu, kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tidak dapat menyaksikan peristiwa ini.
Sesungguhnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat menghadapi siluman itu.
Ketika Song Cin diberi tahu, perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga merasa bingung, karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang disangka siluman oleh anak buahnya itu Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini"
Pertanyaan ini selamanya hanya akan tetap tinggal sebagai teka-teki yang tak pernah terjawab olehnya.
*** Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putra mereka kembali dengan selamat. Sebenarnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putra mereka diajak merantau oleh hwesio itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putra tunggal mereka itu takkan pulang kembali. Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidaksenangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.
"Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir.
Segala keperluan untuk latihan itu, Twa-suhu katakan saja dan kami akan sediakan semua."
Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia menjawab. "Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru bisa sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat tanpa ada pengalaman-pengalaman pertempuran menghadapi orang-orang pandai" Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi."
"Betapapun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang."
Lu Thong yang hadir pula disitu, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan kening sambil berkata manja, "Ayah". mengapa ayah melarangku pergi dengan Suhu! Kalau Suhu pergi merantau, aku harus ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini terkurung dan sempit sekali!"
"Ha-ha-ha!" Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, "Memang enak menjadi seperti burung di udara daripada terkurung dalam sangkar emas!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 "Thong-ji!" Lu Seng Hok membentak anaknya. "Apakah kau sudah tak mau menurut
omongan ayahmu lagi" Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau harus belajar ilmu surat dengan baik!" Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja.
Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh kepada muridnya, "Lu Thong, ucapan ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang tidak mempunyai rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan kalau kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan mengecewakan hati leluhurmu."
"Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat daripada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai kepandaian silat yang paling tinggi!" bantah Lu Thong.
Jeng-kin-jiu tertawa. "Enak saja kau bicara. Kaukira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai mencapai tingkat tertinggi" Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi masih ada langit di atasnya, apalagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng"."
Lu Thong tertarik sekali, akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai kepadaku!" Bentakan ini disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan itu.
Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jeng-kin-jiu menjadi terkejut dan tidak berani berlaku sembrono. Ia melompat bangun sambil menyambar toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.
"Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah aku kelihatan seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah" Lebih baik simpan cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!"
"Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam" Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak ada banyak waktu untuk mengobrol. Kau telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di dalam guanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau tidak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!"
Naik ke ubun-ubun darah Jeng-kin-jiu mendengar ucapan ini saking marahnya. Sepasang matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung dan bibrinya gerak-gerak seperti bibir kuda mencium asap. "Kau?"kau".. benar-benar kurang ajar sekali, Kiubwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari selatan" Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?"
"Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!" kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.
"Ayaaa"." Jeng-kin-jiu menggeleng kepalanya yang bundar, "kau benar-benar telah kemasukan iblis-iblis dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andaikata ada, tak mungkin kuserahkan kepadamu!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 Pada saat itu, Lu Thong yang sejak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak dan perasaan mendongkol berkata, "Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang seringkali Suhu sohorkan" Kalau hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu" Orang sombong biasanya rendah kepandaiannya!"
Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong lalu menampar pipi Lu thong.
Karena pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi siapa kira bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah dapat mengelak dari serangannya! "Bangsat mewah, kau patut diberi hajaran!" Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira. Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh kini bertempur melawan murid Kiu-bwe Coa-li, sungguh merupakan ujian yang baik sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang anak yang sudah bertanding itu lalu tertawa bergelak-gelak.
"Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi" Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!" sambil berkata demikian, toyanya digerakkan dan meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit, beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.
"Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!" Kiubwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan dan menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding. Maka pertempuran terpecah di dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin menyambar-nyambar dan selalu dapat menahan datangnya ujung cambuk yang sembilan ekornya itu. Namun
sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, karena gerakan sembilan ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi. Adapun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum sekali. Sui Ceng memang anak yang memiliki kelincahan dan kecepatan gerakan tubuh dari pembawaanya, kemudian dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka luar biasa sekalilah ginkang dari anak perempuan ini. Tubuhnya berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali. Namun Lu Thong juga
memiliki kepandaian yang cukup tingi. Biarpun matanya agak kabur karena kecapatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis cilik itu.
Tadi ketika melihat Sui Ceng dan mendengar gadis cilik ini bicara, daim-diam Lu Thong merasa kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani. Ia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan manis, apalagi setelah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini. Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis dan membalas sekedar untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biarpun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu Thong besar dan kini pemuda cilik ini telah pandai sekali mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), ilmu silat yang diwarisi dari Ang-bin Sin-kai melalui gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini. Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 Seperti juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang akan menang dua orang murid ini. Orang-orang gedung mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan itu terjadi pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau gerakan toya dan cambuk itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur" Juga Lu Seng Hok berdiri menonton dengan hati gelisah. Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiu-bwe Coa-li yang di anggapnya sebagai seorang kemasukkan iblis, yang menuduh orang sesuka hatinya dan lain-lain. Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
"Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha, ha, ha, mereka memperebutkan sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas saja larinya dahulu itu cepat bukan main," kata Ang-bin Sin-kai.
"Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?"
"Siapa tahu. Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau.
Sudahlah, hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!"
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiubwe Coa-li bertempur mati-matian melawan Jeng-kin-jiu untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega. Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang telah memberi nama kepadanya itu. Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka sebelum dia melompat untuk menyusul suhunya dia berani bernyanyi denga suara keras karena dia mengerahkan khikangnya:
"Anjing-anjing bodoh berebut tulang tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya srigala belang membawa lari tulang sambil tertawa"
Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiu-bwe Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu tinggi ginkangnya seperti Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri. Mereka hanya tahu bahwa di atas genteng terdapat orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka. Akan tetap ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan otomatis mereka menarik senjata masing-masing. "Sui Ceng, berhenti!" seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Adapun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Eh, Kiu-bwe Coa-li, apakah kau masih belum insyaf bahwa kau telah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang telah dibawa lari oleh srigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?"
"Jadi Kwan Cu bernyanyi tadi?" Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 bukan main. Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.
"Bodoh, mereka telah pergi!" kata Kiu-bwe Coa-li. Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tak nampak bayangan seorang manusia pun. Gadis cilik itu turun kembali dan melihat wajahnya nampak girang, Lu Thong manjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kean Cu telah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan!
Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia berkata, "Ah, pengemis kecil gundul itukah" Sayang, kalau dia tidak pergi, akan kuberi kesempatan untuk dia menebus kesalahannya dariku dahulu."
"Sombong! Orang macam kau akan mengalahkan dia?" bentak Sui Ceng, biarpun ia mengerti bahwa Lu Thong memang lebih pandai daripada Kwan Cu, namun ia tidak senang mendengar Kwan Cu dihina.
Adapun Kiu-bwe Coa-li, setelah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan dalam hatinya. Siapa tahu kalau ia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja di adukan dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu" Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh.
"Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?"
Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa. "Bukan hanya sembrono, malahan tadi kukira kau telah kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab" Kalau kitab suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja dan kalau kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam pelajaran itu, boleh kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!"
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. "Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu. Memang benar pinni telah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!" kata Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Lu Thong buru-buru berkata Sui Ceng. "Nona yang baik, biarpun gurumu minta maaf kepada guruku, namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku telah berani bertempur melawanmu, harap kau tidak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik."
"Cih, tak tahu malu!" jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi lebih dulu.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. "Lu Thong, kau suka kepada anak itu?"
tanyanya. Tentu saja Lu Thong tidak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu, ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.
"Siapakah mereka tadi dan mengapa kalian bertempur di sini?" matanya tajam memandang anaknya seperti hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang biasanya hanya bertempur dan membunuh orang.
"Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 tersohor sebagai ahli silat selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, orang lain tentu akan tewas dalam beberapa jurus saja diserang olehnya." Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, seakan-akan dia tadi bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan bertemu dengan seorang anak perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik napas. Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya "menggelundung" ke kamarnya di sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar keatas pembaringan dan sebentar saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.
Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu thong agar anak ini, biarpun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu. "Akan tetapi, ingatlah.
Kau seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau bercampur gaul dengan segala orang kang-ouw yang kotor dan jahat" Apakah kelak kau akan mencemarkan nama nenek moyangmu?"
"Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?"
"Bodoh, kau mau meniru yang buruk" Coba kaulihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sin-kai dan Kong-kongmu Lu Pin!"
"Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!" bantah Lu Thong.
"Bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang ajarnya. Ah, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu?"" Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong menutup mulutnya dan menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hati, anak ini mentertawakan orang tuanya. Dan pada malam harinya, ketika Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya di goyangkan orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhunya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi, lalu melompat keluar dari kamarnya. "Kita pergi sekarang juga!" kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. "Tak usah membawa bekal atau pakaian." Melihat
kesungguhan muka gurunya yang biasanya tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak tertegun.
"Baiklah, Suhu. Akan tetapi, mengapa berangkat malam-malam" Ada keperluan amat pentingkah?"
"Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting. Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?" Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada keesokan harinya.
*** Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 sudi melanggar sumpahnya dan dia tidak mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu. Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apalagi pada jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali, jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau lorong kecilpun belum ada. Perjalanan ke Tibet adalah perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya, melalui gunung-gunung yang luar biasa tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia. Kalau sedang melalui gurun pasir, panas membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti tulang iga!
Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan dan dengan amat sukar dan banyak susah payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet melalu jurusan utara, dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet Utara. Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa amat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan, Ang-bin Sin-kai tak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada muridnya. Kini Kwan Cu telah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi sehingga kepandaiannya maju dengan pesat sekali. Selain itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.
"Lihatlah baik-baik, muridku," katanya jika dia berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk memperlihatkan kepandaiannya. "Betapapun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, namun kesemuanya mendasarkan kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini penting sekali, Kwan Cu. Betapapun bagus dan lihai gaya dan gerakannya, tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia bukanlah seorang ahli silat yang kuat."
Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di mana-mana terdapat sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini, orang harus berlaku hati-hati sekali.
Hampir saja Kwan Cu menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar. Permukaan es itu nampak mengkilap kebiruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke dalam permukaan es. Kwan Cu mula-mula merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya telah kuat sehingga dia tidak khawatir terpeleset jatuh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga masih tipis permukaannya. Ketika dia berlari tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu dan tubuhnya terjeblos ke bawah.
Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan anak ini sseketika menjadi kaku seluruh tubuhnya! Ia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga dan hawa tubuh untuk membuat tubuhnya hangat dan untuk membuat aliran darah di tubuhnya menjadi lebih cepat.
Akan tetapi, hawa dingin dari air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti anak ini takkan tertolong lagi nyawanya. Ang-bin Sinkai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalu dia sendiri sampai terjeblos, biarpun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Ia lalu cepat menggunakan lweekangnya untuk mencabut sebatang akar yang amat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan dengan akar ini dia lalu menolong Kwan Cu. Anak gundul ini biarpun Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat akar, dia cepat menagkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguhpun jari-jari tangannya sudah kaku dan sukar digerakkan lagi dan perasaan kulit tangannya sudah mati!
Ang-bin Sin-kai menarik akar itu dan ketika tubuh Kwan Cu sudah keluar dari sungai es, air yang tadinya membasahi seluruh tubuhnya tiba-tiba menjadi beku dan berubah es sehingga tubuh anak gundul ini terbungkus es tipis! Ang-bin Sin-kai maklum akan bahayanya hal ini, maka cepat dia lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya pada gelas yang menyelimuti tubuh Kwan Cu. Gosokkannya yang cepat dan bertenaga menimbulkan hawa panas sehingga es tipis itu menjadi cair dan ketika beberapan lamanya Ang-bin Sin-kai menggosok-gosokkan seluruh tubuh Kwan Cu, maka darah dalam tubuh anak ini mengalir biasa kembali.
Bocah gundul ini meleletkan lidahnya saking ngeri. Tak pernah di sangkanya bahwa sungai es yang nampak indah ini ternyata berbahaya sekali dan jauh lebih lihai daripada seorang lawan yang bagaimana tangguh pun.
Akan tetapi, ada pula sungai-sungai yang mengalirkan airnya yang amat bening. Sungai-sungai ini sebagian besar mengalirkan airnya ke dalam telaga yang banyak terdapat di tanah datar, di kaki gunung-gunung itu. Sering kali Ang-bin Sin-kai menikmati pemandangan alam yang benar-benar indah mengagumkan. Mereka jarang sekali bertemu dengan orang, hanya jauh di bawah, di kaki pegunungan sebelah utara, mereka bertemu dengan penduduk pribumi yang hidupnya sebagai kelompok yang berpindah-pindah. Banyak sekali suku-suku bangsa yang menuntut penghidupan berpindah-pindah seperti itu, terutama yang datang dari daerah Sin-kiang, seperti suku-suku Tajik, Tartar, Kazak, Hui, Khalkas, Daur, Sibo, Uzbek, dan masih banyak lagi suku-suku bangsa dari daerah barat tanah Tiongkok.
Ketika mereka tiba di puncak yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san, dari jauh mereka melihat seorang berpakaian putih tengah berjalan perlahan-lahan, "Eh, eh, eh, kalau tidak salah lihat, dia adalah Seng Thian Siansu!" kata Ang-bin Sin-kai yang mempercepat larinya menyusul orang berpakaian putih itu. Kwan Cu juga mempercepat larinya agar jangan tertinggal terlalu jauh oleh gurunya.
Setelah mereka berada dekat kakek itu, Kwan Cu melihat seorang kakek yang sudah tua sekali. Rambutnya telah putih, tipis dan jarang, tertutup oleh kain pembungkus rambut yang dibungkusnya pada kepala menutupi kedua telinga untuk mencegah serangan angin dan hawa dingin. Muka kakek ini sudah penuh keriput, berkulit putih dan hanya sepasang matanya saja yang memperlihatkan kehidupan, karena masih amat tajam berpengaruh. Jenggot dan kumisnya tergantung ke bawah, seakan-akan tidak bertenaga lagi, seperti juga tubuhnya yang kurus dan lemah. Benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya dan jalannya pun sudah sukar kalau tidak di bantu oleh tongkatnya yang panjang.
Dengan gerakan yang amat tenang kakek ini menoleh lalu menatap wajah Ang-bin Sin-kai untuk beberapa lama, tidak segera menegur karena dia amat teliti dan tidak mau sembarangan membuka suara sebelum mengenal dan yakin betul siapa adanya orang yang dihadapinya.
"Eh, kau Ang-bin Sin-kai yang menyusul pinto," terdengar kakek itu berkata dan suaranya pun tenang dan perlahan sesuai dengan keadaan jasmaninya. "Bagaimana kau yang berasal jauh dari timur bisa sampai di ujung barat?"
Ang-bin Sin-kai maju dan memberi hormat dengan sikap sopan sekali. Kwan Cu merasa heran melihat sikap gurunya ini. Biasanya, Ang-bin Sin-kai adalah orang yang sama sekali tidak mau mempedulikan tentang sikap dan sopan-santun. Akan tetapi terhadap kakek yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
231 nampaknya lemah sekali ini, gurunya bersikap amat sopan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ang-bin Sin-kai menganggap kakek ini sebagai orang yang lebih tinggi tingkatnya dari dirinya sendiri, maka dia memberi hormat dengan sikap sopan.
Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua dan pada waktu Ang-bin Sin-kai anak-anak, kakek ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.
Sudah menjadi lajim di jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau lebih tepat lagi, di puncak-puncak gunung yang sunyi paling di suka oleh ahli-ahli silat di mana mereka tinggal. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli tapa dan pendeta suci. Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat yang tinggi.
Dan para pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.
Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa dan banyak sekali di puncak-puncak yang tinggi itu bersembunyi orang-orang yang memiliki kepandaian lihai. Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).
Seng Thian Siansu telah amat tua dan memang kalau di bandingkan, usianya berbeda jauh sekali dengan sute-sutenya, ada lima puluh tahun selisihnya! Bersama sute-sutenya, Seng Thian Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai dan mereka telah banyak menerima murid-murid yang berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan mengharum oleh perbuatan-perbuatan murid-murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.
Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, sudah seratus dua puluh tahun usianya, dia mencuci tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sutenya yang terkenal kemudian dengan sebutan Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam gua, sama sekali tidak mau mencampuri urusan dunia lagi.
Mengapa kini kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari gua dan bertemu dengan Ang-bin Sin-kai" Marilah kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.
"Benar ucapanmu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe berada di sini dalam keadaan hawa sedingin ini. Hendak kemanakah Locianpwe, kalau kiranya teecu boleh bertanya?"
Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak "muda," bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!
"Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang sudah dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa agaknya, maka hari ini pinto terpaksa
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
232 meninggalkan tempat pertapaan dan nasibkulah yang buruk, tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran."
"Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri" Kalau sekiranya teecu boleh membatu, harap Locianpwe beritahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia membantu sekuat tenaga."
Kembali kakek itu tersenyum . "Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Mari kita duduk di sana nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini."
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas batu hitam yang bertumpuk di sebelah kiri lereng itu. Setelah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian Siansu bercerita.


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang berkepandaian tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang Lima Garuda) dan setelah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak dimana Seng Thian Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda dari Kun-lun-san)!
Hal ini tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kun-lun-pai yang terkenal. Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kun-lun-pai, bahkan pernah ada seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang turun gunung, mereka hina dan pukul. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka tidak mau cekcok dengan "tetangga"! Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tidak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai, maka setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurangajaran mereka terhadap Kun-lun-pai.
Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan dari para anak murid Kun-lun-pai bahwa "tetangga" mereka itu sesungguhnya bukanlah orang baik-baik. Bahkan ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa lima orang aneh yang usianya telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, ke atas puncak! Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu mendengar akan maksud tiga orang sutenya ini, dia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lun-san ini memang amat taat kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka, bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.
Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.
Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
233 muda membawa senjata menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka menang" Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini mainkan pedangnya yang lihai, belasan orang roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan diri.
Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!
"Eh, ada apakah ribut-ribut ini?" tanyanya pada orang Hui itu.
Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat, bahwa yang datang adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentu memiliki kepandaian tinggi.
"Lo-enghiong, kami sekeluarga Hui tertimpa malapetaka hebat?"! Anakku perempuan diculik oleh saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan ketika aku dan saudara-saudaraku menyerbu ke sana untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman?""
Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.
"Aneh, siapa orangnya berani berbuat jahat di sini" Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari Kun-lun-pai yang tersohor" Mengapa kau tidak minta tolong kesana?"
"Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tidak mau turun gunung menolong?"."
Siangkoan Hai membelalakkan matanya. "Aneh, aneh! Mengapa begitu?"
"Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!" kata The Kun Beng tidak sabar.
"Memang kita harus lekas menolong, hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin mengapa tidak mau menolong mereka ini." Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.
"Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!"
Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani datang dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.
Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang kesemuanya berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.
"Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai telah datang minta bertemu!" kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi. Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
234 Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
"Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia" Kalau kalian melarang aku masuk, keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!"
Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar tertiup angin gunung, merupakan pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.
"Kami tidak kenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia!
Orang tua pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!" Tiba-tiba lima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu, berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan! Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok telah memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa bendera itu berkibar karena tertiup oleh orang yang memiliki tenaga khikang yang tinggi sekali. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan kepandaian agar dia menjadi ketakutan dan pergi.
Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan setelah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi dan sekali dia mengerahkan tenaga, pohon itu telah tercabut akarnya dari tanah! Ia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas. Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu jauh lebih tinggi daripada bendera-bendera tadi.
"Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!"
Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan di sebelah dalam bangunan, karena terdengar seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan dua orang muridnya mendengar bahwa yang memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih suara anak-anak.
Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
"Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau bisa, masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!" inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kun-lun Ngo-eng.
Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua orang muridnya.
"Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai membunuh orang."
Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk, mereka mengerti akan kehendak suhunya ini.
Kemudian, dua orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh dan belasan orang anak-anak muda yang elok-elok. Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apalagi dua orang wanita, biarpun dari muka mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri pemerah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 bibir dan pipi. Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, kedua berpakaian kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang demi seorang.
Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngo-eng. Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua, rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu.
Pedangnya menempel di punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak gesit. Orang tertua inilah yang di sebut Pek-eng atau Garuda Putih!
Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Biarpun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifat-sifat aselinya. Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik. Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Biarpun sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada pinggir mata dan mulut, namun dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita.
Juga seperti suhengnya, dia memakai pedang di punggung, hanya bedanya, gagang pedangnya memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, sedangkan gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai ronce-ronce benang sutera putih.
Orang ke tiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya lebih muda beberapa tahun dari Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampak jauh lebih muda.
Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri, mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini. Dandanannya jauh lebih "aksi" daripada sucinya yang karena potongan pakaiannya bukan potongan pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan ketat mencetak tubuhnya yang memang baik bentuknya. Rambutnya disanggul seperti dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau tergantung di pinggang kirinya.
Biarpun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li lincah, genit dan gembira, maka boleh di bilang dia lebih menarik daripada sucinya. Iblis Wanita Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai memasuki tempat tinggal mereka.
Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian pendeta tosu, berwarna merah seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada punggungnya. Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw dan seorang perempuan genit.
Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang perguruan dan kelimanya adalah ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).
"He, he, he seperti anak wayang saja!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya aneh itu. "Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan memperebutkan Tulang Anjing)?"" Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai hanya untuk mengejek Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
236 mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika dia melihat sikap mereka ini, semenjak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!
Adapun orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, mukanya menjadi merah dan sekali tangan kirinya bergerak, tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya, menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!
Jarum rahasia yang dilepas oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus dan kecilnya sehingga apabila jarum-jarum ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan darah dan terbawa oleh darah! Dalam hal penggunaan jarum-jarum ini, tenaga lweekang yang tinggi harus dimiliki oleh orang yang melontarkannya dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapat dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!
Orang biasa saja kalau diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong lagi. Bahkan orang-orang ahli silat yang kurang pandai, sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu, apalagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan kaki! Namun, yang diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jerih menghadapi jarum-jarum ini" Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya telah terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan Hai mengebutkan kipas putih di tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu. Aneh sekali, jarum-jarum kecil itu ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, tiba-tiba membalik dan runtuh semua ke bawah.
"Ha, ha, ha, siluman rase! Hendak ku ukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya bedak di mukamu!" Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya. Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai!
Ui-eng Suthai menjerit marah dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya sendiri. Memang semenjak tadi melihat kelihaian lawan, ia telah mencabut pedangnya bersiap sedia. Kemudian, sambil memekik nyaring tokouw ini lalu menggerakkan tubuhnya yang cepat melayang ke atas menyerang Siangkoan hai dengan pedangnya.
Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai telah lenyap dari atas tembok itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan membawa mereka melompat turun ke dalam.
"Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!" bentak Pek-eng Sian-jin yang segera menyerang dengan pedangnya, dan melihat serangan ini, tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai dan tenaganya bahkan lebih kuat daripada Ui-eng Suthai. Maka dia pun tidak berani berlaku ayal. Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia telah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan berkunang-kunanglah padangan mata Pek-eng Sianjin ketika melihat ujung tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi puluhan banyaknya! Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara menyakitkan telinga, sedangkan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 tiap kali pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan. Ketika dengan nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat dengan pedangnya ke arah leher lawannya, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan tertempel dan ikut terputar.
"Turun kau!" bentak Siangkoan Hai dan benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas tanah dengan tubuhnya masih di atas!
Untuk sesaat, seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan kakinya lurus ke atas, akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri lagi lalu mencabut pedangnya.
"Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permaian wayang ini!" Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru
"Aku datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguhpun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang menggembirakan. Akan tetapi, sesungguhnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian suka menculik anak-anak muda" Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?"
Pek-eng Sianjin tertawa mengejek. "Hm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut lancang tangan dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami agar dapat mewarisi ilmu pedang kami, ada sangkut pautnya apakah dengan kau orang tua?"
Mendengar ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat disitu terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan perempuan yang kesemuanya berwajah tampan dan cantik sekali, mereka ini dengan pedang ditangan telah pula mengurung Kun beng dan Swi Kiat!
Sikap mereka itu semua bermusuh, seakan-akan mereka tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!
Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali dalam batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dengan orang-orang muda itu. Ia teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,
"Ah, begitukah gerangan mengapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara cantik?" ia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, "Jadi murid-muridmu semua berjumlah tujuh belas orang?"
Pek-eng Sianjin mengangguk sambil tertawa. "Murid-muridku hebat semua, bukan" Pak-losian, kau juga mempunyai dua orang murid yang baik, tak perlu kau merasa iri hati." Pak-losian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan seakan-akan merasa setuju dengan omongan ini.
Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.
"Ucapanmu benar! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis pula, mendadak timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula!
Eh, Kun-lun Ngo-eng, kalian seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang anak murid perempuan kepadaku!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 Kun-lun Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu tertawa bergelak lalu berkata,
"Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, kau rakus juga ya" Karena kau telah datang dan berhasil masuk kesini, nah".lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita menurut penglihatanmu!"
Ang-eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian kakek kecil ini dan tahu bahwa biarpun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan dapat menang, maka lebih baik kehilangan seorang "murid" daripada harus menghadapi resiko yang lebih berbahaya. Adapun Kun Beng dan Swi Kiat ketika mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan dengan muka melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Kedua orang anak ini sudah mengenal baik kebersihan hati suhu mereka, mengapa suhunya kini berkata seperti itu" Sudah miringkah otak guru mereka ini" Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhunya tentu main-main saja dengan lima orang aneh itu.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah itu, lalu menggeleng kepalanya dan berkata, "Tidak ada yang cocok!
Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau. Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Eh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah kemaren kalian menculik anak perempuan kepala suku bangsa Hui" Di mana dia" Mengapa tidak ada di antara mereka" Coba kau keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!"
Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang pedang dicabut serentak.
"Kau memang mencari mampus!" bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya menyerang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kaukira aku tidak tahu bahwa anak-anak ini telah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri" Kalian benar-benar iblis yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan tombak itu!
Belasan orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat. Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan
tombaknya dan Swi Kiat mempergunakan sepasang kipasnya. Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak memiliki ilmu kepandaian yang berarti. Sebentar saja beberapa orang diantara mereka roboh tunggang-langgang. Baiknya kedua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan oleh suhu mereka agar tidak menewaskan nyawa lawan, kalau tidak tentu mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.
Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kini sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 yang benar-benar jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah sekali dan permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak hebat. Ilmu pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang mempunyai dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapapun juga dalam hal ilmu silat!
Makin lama, gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan mereka berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu
Akan tetapi Pak-lo-sian Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan mereka"
Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan.
Ketika itu, kakek kate ini yang sedang marah agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat ia menyerbu. Niatnya hanya satu, yaitu membasmi lima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang terjatuh kedalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.
Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka lalu meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan pecahlah pintu itu! Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan tiba-tiba dari atas turun batu besar menimpa kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan takkan disebut tokoh terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini. Batu yang beratnya seibu kati itu menimpa kepalanya dari atas dengan tiba-tiba dan agaknya tidak dapat dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya, mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke depan ke arah lima orang lawannya!
Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan main dan cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu tadi.
"Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!"
bentak Siangkoan Hai yang menjadi makin marah, terus kakek ini meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Ruangan ini pintunya dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah. Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun membawa tubuhnya ke bawah pula! Ia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai yang turun ini berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang dindingnya terbuat daripada besi tebal dan keadaan disitu gelap sekali!
Terdengar suara orang-orang tertawa, disusul oelh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring,
"Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
240 Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng itu meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukul-mukulkan tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak berdaya keluar.
Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.
"Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk." Berkali-kali Kun Beng memperingatkan suhengnya, karena Swi Kiat kalau sudah marah, tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua orang muda itu.
Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah mengalami bencana.
"Di mana Suhuku?" seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.
Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan mata kagum.
"Kau benar-benar gagah, orang muda," katanya.
Adapun Jeng-eng Mo-li juga melompat di depan Kun Beng, mengulur tangan untuk meraba pipi pemuda itu, Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita berpakaian hijau ini.
"Kau tampan sekali," kata Jeng-eng Mo-li.
Melihat sikap mereka, Kun Beng tak capat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah disimpan. Apalagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera mengerjakan tombaknya menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
"Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!" kata Ui-eng Suthai sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.
"Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tak tercela. Benar-benar pemuda yang menawan hati!" kata Jeng-eng Mo-li sambil tertawa ha-ha-ha-hi-hi dan menghadapi Kun Beng dengan tangan kosong.
Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh di bilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.
Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai saputangan kuning dari saku bajunya dan sekali ia mengebutkan saputangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
241 lagi dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan dalam pelukan Ui-eng Suthai! Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan saputangannya yang berwarna hijau dan juga Kun Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari kedalam, diikuti oleh pandangan mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun Ngo-eng yang bejat moralnya!
Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan amarah besar kepada Kun-lun Sam-lojin. Mereka menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-lo-sian sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan kalau sampai sekarang orang tua itu mendapat celaka di Kun-lun-san, bukankah itu memburukkan nama Kun-lun-pai"
"Mereka sudah terlalu berani. Kalau didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapat nama buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?"
kata Seng Giok Siansu, orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling keras di antara saudara-saudaranya.
"Habis apakah yang harus kita lakukan" Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri urusan mereka dan mencari permusuhan, kalau kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali," kata Seng Te Siansu hati-hati.
"Memang sukar," kata Seng Jin Siasu, "menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan pribadi tidak mengijinkan. Kalau menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik melanggar larangan daripada melanggar perikemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi perikebajikan! Sekarang twa-suheng sedang bersiulian (bersamadhi) dan tak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diam-diam kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian" Kalau kelak twa-suheng marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat."
Akhirnya dua orang saudaranya setuju dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran hebat sekali antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka juga lebih besar. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin, yakni Seng Giok Siansu, roboh dan tewas oleh jarum lihai dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Adapun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat ditawan!
Setelah terjadi hal yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan turun gunung. Ia memaksa diri biarpun tubuhnya sudah tua dan lemah dan berniat hendak mengadu jiwa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, kakek yang sudah tua sekali ini biarpun kepandaiannya lihai, akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.
"Locianpwe, mereka itu benar-benar jahat dan patut sekali dibasmi. Kiranya tak perlu Locianpwe sendiri mengotorkan tangan, biarlah teecu mewakili Locianpwe untuk
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
242 membereskan persoalan ini, menolong Pak-lo-sian dan sute-sute dari Locianpwe," kata Ang-bin Sin-kai.
"Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Kalau bukan engkau yang mengajukan penawaran membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, biarpun tenagaku sudah lemah. Akan tetapi kepadamu aku pecaya penuh dan kauwakililah aku. Kelak mungkin sekali sebelum aku mati aku akan dapat meninggalkan sesuatu untukmu."
Ang-bin Sin-kai tersenyum lalu menoleh kepada Kwan Cu. "Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima hadiah itu." Setelah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepat-cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng.
*** Ketika siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan yang ditilami oleh kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas, berbau harum sekali. Kamar itupun amat indahnya, dihias dengan dinding yang penuh dengan gambar-gambar pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar seorang puteri bangsawan.
Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening, akan tetapi ketika dia mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari pembaringan dan berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang tertawa-tawa manis kepadanya. Perempuan ini sekarang tidak kelihatan galak, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal dan lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum tahu akan segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasa dan mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.
Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah tertawan dan dibawa kekamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan marahnya.
"Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang pangeran di tempat ini," kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.
"Siluman jahat!" Kun Beng membentak dan pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.
"Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan hidup penuh kesenangan," kata Jeng-eng Mo-li dengan suara membujuk.
"Anjing hina-dina,lebih baik aku mati!" seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
243 Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini, bahkan sekali ia menggerakkan tangan, ia telah dapat menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng tidak berdaya lagi!
"Bodoh, kau menurutlah saja. Aku amat sayang kepadamu karena kau lain daripada pemuda-pemuda yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius.
Kau lihat, orang-orang muda yang berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis, kau tentu akan hidup bahagia di sini."
Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan kedua tangannya sendiri, maka tendangan yang tiba-tiba dan dari jarak dekat datangnya ini, tak dapat ditangkis. Terpaksa ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!
"Bocah tak kenal budi!" Jeng-eng Mo-li membentak keras karena ia pun merasa jengkel sekali menghadapi pemuda yang nekat ini. Dengan sebuah bangku di tangan, ia menangkis serangan Kun Beng dan terdengar suara keras ketika meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.
Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Jeng-eng Mo-li merasa amat tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini, maka ketika Kun Beng menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan saputangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!
Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat tengah digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai. Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang dicampur dengan bisa yang amat luar biasa. Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran sehingga Swi Kiat seakan-akan menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut dan mentaati segala kehendak dan perintah yang dikeluarkan oleh Ui-eng Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan lumpuh itu, satu pikiran terkandung dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.
Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung, bahkan sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu! Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas. Betulkah Siangkoan Hai Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
Hati Budha Tangan Berbisa 2 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Petualang Asmara 10
^