Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 11

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 11


Phang Lim boleh liehay akan tetapi diserang secara
demikian, ia repot juga. Tubuhnya mesti turut bergerak
bagaikan gelombang juga, guna mempertahankan diri dari
kehebatannya Siulo Imsat Kang.
Biat Hoa Hwesio melihat itu, karena dia licik, dia hendak
menggunai ketikanya yang baik, majulah dia, untuk
menghajar si nyonya, yang dia arah punggungnya! Dia
membokong tetapi sambil berseru.
Di dalam keadaannya terdesak itu, Phang Lim masih dapat
melihat aksi si pendeta, maka itu, ia menjadi mendongkol
bukan main. "Hai, keledai gundul, kau juga berani menghina aku?"
bentaknya. Dengan luar biasa sebat, ia meloloskan ikat
pinggangnya, begitu lekas ia menyambar, ia dapat menahan
datangnya tongkat si imam, terus ia menjempar, untuk
membikin imam itu terpelanting.
Biat Hoa liehay, dapat ia mempertahankan diri. Dengan
menarik pulang tongkatnya, dapat dia membebaskan diri dari
libatan, setelah mana, ia maju pula untuk mengulangi
serangannya, tiga kali saling susul, dengan tipu silatnya
"Inliong samhian", atau "Naga di mega muncul tiga kali".
Phang Lim telah didesak terus oleh Sin Thong, begitu ia
dapat meloloskan diri dari serangan orang she Beng itu, ia
juga hampir berbareng membebaskan diri dari tongkat si
imam yang liehay itu, tongkat mana ia libat dengan ikat
pinggangnya. Tepat kedua senjata--tongkat dan ikat pinggang lagi
berkutat, Beng Sin Thong sudah maju pula. Maka melihat
ancaman bahaya, Phang Lim lekas-lekas meloloskan
libatannya. Justeru itu waktu, tibalah si bayangan. Dialah Hian Hong
Toojin. Dia lantas tertawa dan berkata: "Budak Lim, apakah
kau masih kenalkan aku si imam tua?"
Phang Lim segera menoleh.
"Ha, imam hidung kerbau, kiranya kau masih hidup?"dia
menyahuti. "Selama dua puluh tahun ini, kau bersembunyi
dimana saja?"
Hian Hong tertawa pula.
"Aku si imam tua masih belum ingin mati!" katanya. "Aku
ingin menyaksikan kamu si anak-anak muda! Ha, budak Lim,
lagakmu masih tetap seperti pada empat puluh tahun dulu
itu!" Selagi melayani orang bicara, ibunya Kim Bwee terkejut.
Dengan berbicara pada lain orang perhatiannya menjadi
terpecah, maka hebat ia diancam Beng Sin Thong, yang
menggunai ketikanya untuk menyerang, syukur ia masih dapat
berkelit. Maka ia segera berkata:
"Tunggulah aku usir dulu ini dua manusia busuk, nanti aku
melayani kau bicara!"
Hian Hong tidak berhenti sebaliknya dia maju satu tindak.
Dia tertawa. "Sudah lama kita tidak bertemu, sekalinya
bertemu lantas kau merepoti lain urusan!" katanya. "Tidakkah
dengan demikian kau menjadi mensia-siakan aku si imam
tua?" "Tetapi," kata Phang Lim, cepat, "aku tidak mengharapi
bantuanmu!..."
Masih imam tua itu tertawa.
"Aku cuma hendak bicara dengan kau!" katanya. "Siapa
mau membantu kau?"
Dengan enak saja dia bicara, dengan merdeka juga dia
mengajukan diri, untuk menyelak di antara tiga orang yang
lagi bertarung mati-matian itu. Sebab Beng Sin Thong dan Biat
Hoa ingin sekali merobohkan si nyonya, sebaliknya nyonya itu,
walaupun terdesak, tetapi ia dapat melayaninya dengan baik.
Biat Hoa tidak kenal imam itu. Ia melihat bukannya Kim Sie
Ie, ia lantas membentak: "He, dari manakah datangnya ini
imam busuk yang lagaknya mirip orang edan" Apakah kau
mau mencari mampus?"
"Ya," menjawab Hian Hong, lagaknya tetap acuh tak acuh,
"aku si imam sudah berusia tinggi, aku sudah bosan hidup!"
Dan ia maju pula dua tindak. Karena disitu orang tengah
bertempur, tidak dapat ia maju terlebih jauh. Tongkatnya Biat
Hoa segera juga menyambar ke pinggangnya.
"Hai, kau gila!" Hian Hong membentak. "Aku lagi bicara
dengan sahabat lamaku. Kenapa kau mengganggu aku?" Ia
lantas mengebut dengan kebutannya, hingga tongkat si imam
kena terlibat. Baru sekarang Biat Hoa kaget. Dia boleh liehay tetapi ketika
dia menggunai tenaganya, untuk menarik pulang tongkatnya
itu, untuk dimerdekakan, dia tidak sanggup membebaskannya,
dia bagaikah terpaku.
Hian Hong tetap tidak menggubrisnya, dia tertawa pula.
"Budak Lim, aku bukan membantu kau!" katanya. "Adalah
ini bangsat bau yang telah menyerang aku! Jikalau aku
terhajar mampus, bukankah aku menjadi tidak dapat bicara
denganmu" Karena itu, tidak ada jalan lain, terpaksa aku
menahannya dia satu kali! Kau toh tidak akan menyesalkan
aku, bukan?"
Beng Sin Thong terkejut sekali. Ia telah menyaksikan lagak
orang yang keangot-angotan itu. Ia pun heran dan penasaran.
Maka ia lantas menyerang kepada imam itu.
"Hai!" berseru si imam. "Udara begini indah, mengapa tidak
keruan-keruan datang hawa dingin!" Ia terus mengibas
dengan sebelah tangannya.
Beng Sin Thong kembali terkejut. Ia merasakan
sambarannya tenaga, tidak hebat, tetapi tenaga itu
membuatnya seperti sukar menggunai tenaganya sendiri.
Sampokan angin dari kebutan itu terasa bagaikan
berkesiurnya angin musim kemi...
"Ah!" Phang Lim berkata, "oleh karena mengadu birunya
kau ini, kau membuatnya terganggu pertempuran kita ini!"
"Ah, kau aneh!" kata si imam. "Belum aku menegur, kau
telah mendahulukannya!"
"Tetapi kau mengacau kita! Apakah salahku terhadap kau?"
Phang Lim tanya.
Ketika itu, Sin Thong sudah menyerang pula. Dia
penasaran. "Baiklah!" kata si imam tua kemudian. "Budak Lim, jangan
kau gusari aku, sekarang aku membiarkan kau bertempur
sampai puas!"
Phang Lim sendiri lompat berkelit, lincah gerakannya "lepou
hoanheng", atau "memindahkan tindakan, menukar wujud" Ia
menyingkir dari depan, ia pergi ke samping, dari mana, ia
membalas menyerang pada lawannya.
Sin Thong terkejut. Ia merasakan tenaganya berkurang. Ia
menjadi sangat penasaran, hendak ia maju pula, guna
mengulangi serangannya.
Tiba-tiba, Hian Hong menyelak di antara mereka. Dia
tertawa berkakakan dan berkata: "Eh, budak Lim, kau jangan
main berkelahi saja hingga kau tidak meladeni aku pasang
omong!" Agaknya Phang Lim kewalahan. Berat mesti melayani Beng
Sin Thong, sekarang dia "diganggu" si imam tua, maka dia
menjadi mendongkol. Dia menghentikan gerakannya, dia
berkata: "Baiklah, imam tua! Jikalau kau hendak bicara, nah,
bicaralah, terus terang!"
"Baik, kau dengar!" berkata si imam. Ia pun lantas
beroman sungguh-sungguh. "Sekarang aku hendak menegur
kau! Kim Sie Ie menjadi tetamuku, mengapa kau
menghajarnya di depan kuilku" Apakah itu bukan berarti kau
sengaja hendak mengganggu muka terang dari aku?"
"Oh, kiranya, binatang itu tetamumu?" kata Phang Lim.
"Hian Hong, urusan itu baiklah kau jangan campur!"
"Tetapi aku si imam tua seumurku paling aku usilan, paling
gemar aku mencampur tahu urusan orang lain!" menjawab si
imam. "Apapula urusan itu terjadi di depan kuilku! Mana bisa
aku tidak mencampur tahu?"
Asyik sekali kedua orang itu bicara, si imam dan si nyonya
tidak memperdulikan yang Biat Hoa Hwesio, begitu juga Beng
Sin Thong, telah menyerang pula masing-masing dua kali. Si
nyonya senantiasa berkelit, sedang si imam itu tidak
menangkis, hanya karena kelitnya itu, kedua tangannya turut
bergebrak, dan gerakan tangannya itu mendatangkan angin
yang halus, yang membuat serangan Biat Hoa dan Sin Thong
gagal. Bahkan angin itu membantu banyak kepada Phang Lim,
yang menjadi tidak terlalu terancam bahaya.
Beng Sin Thong satu guru besar, ia lantas dapat merasa
dan melihat bahwa imam ini bukan sembarang imam, maka
dengan sendirinya, ia gentar. Ia dapat menduga, kalau si
imam membalas menyerang padanya, akan musnahlah Siulo
Imsat Kang-nya! Terang orang ini jauh lebih liehay daripada
Phang Lim. Melawan si nyonya ia cuma menang unggul tetapi
tidak sanggup merobohkannya walaupun ia mengepung
berdua Biat Hoa.
Ketika itu, Lie Kim Bwee kaget sekali. Sekian lama ia berdiri
di pinggiran menonton pertempuran, mendengari ibunya
bicara dengan si imam tua, waktu ia mendengar halnya ibunya
menganiaya Sie Ie, ia tidak bisa berdiam lebih lama.
"Ibu!" tanyanya, "kenapa ibu menganiaya Kim Sie Ie?"
"Binatang cilik itu bukan manusia baik-baik, dia
membuatnya ibumu gusar," Phang Lim menjawab anaknya.
"Kenapa ibu bilang engko Sie Ie bukan orang baik?" si anak
tanya pula "Tunggu sebentar, habis berkelahi, nanti perlahan-lahan
aku memberi penjelasan ..." menyahut pula ibu itu.
Tepat itu waktu, dari atas puncak terdengar seruan yang
nyaring dan panjang dari Kim Sie Ie, yang Tokciu Hongkay
memperdengarkannya tadi. Mendengar itu Kim Bwee, yang
mengenalinya, menjadi kaget.
"Ah, dia masih ada di atas gunung!" serunya. Hanya,
dengan satu gerakan tubuh, nona ini berlompat, untuk lari
naik! Phang Lim terkejut.
"Anak Bwee!" dia memanggil. "Kembali!"
Kim Bwee tapinya tidak mem-perdulikan ibunya itu, dia lari
terus, bahkan larinya semakin keras.
"Anak, kau tidak dengar kata?" teriak Phang Lim. "Baiklah,
tidak dapat aku berkelahi terus! Kau kembali! Kau kembali!"
Kim Bwee berlari terus.
Ibu ini menjadi bergelisah, dia lompat keluar gelanggang,
tanpa mengatakan apa-apa, dia menyusul puterinya.
Hian Hong tertawa bergelak, ia pun ngeloyor pergi.
Beng Sin Thong dan Biat Hoa terbengong. Tadi Sin Thong
kaget mendengar suaranya Sie Ie itu. Ia ketahui baik sekali,
umpama Kim Sie Ie datang kesitu, terang ia dan Biat Hoa
bakal terkalahkan. Phang Lim seorang sudah sukar
dirobohkan, disana ada si imam tua, apalagi kalau si pengemis
pun tiba" Maka bersyukurlah ia atas perginya Phang Lim itu
disusul si imam...
Phang Lim dapat menyandak anaknya.
"Anak Bwee, jangan kau cari pula dia itu," katanya, lembut.
"Mari pulang!"
"Jikalau ibu tidak mengijinkan aku menemui dia, aku juga
tidak mau turut ibu pulang," berkata sang anak.
"Anak tolol!" kata si ibu. "Dia... dia telah ada orang yang
dicintainya... Mana dia menaruh hati -kepada kau"..." Kim
Bwee tercengang.
"Tidak aku tidak percaya!" dia berseru.
Phang Lim bersenyum sedih.
"Kau tidak percaya ibumu, anak?" tanyanya lembut.
"Meskipun benar dia menyintai lain orang, mesti aku
tanyakan Keterangannya," kata si nona. Ia berkata-kata,
kakinya tidak berhenti berlari.
Phang Lim mengikuti, ia menghela napas. "Anak ini lebih
kukuh daripada Aku..." katanya seorang diri. Ia tidak dapat
mencegah lagi, maka ia mengikuti terus.
Sesampainya di atas puncak, di depan kuil, keadaan sangat
sunyi. Tidak ada Kim Sie Ie disitu.
Kim Bwee berdiri diam, bagaikan semangatnya telah
terbang pergi. "Mari pulang, anak," katanya. "Dia tidak suka menemui
kau, maka tidak ada perlunya kau mencari dia..."
Kim Bwee berdiam, ketika ia berkata-kata, ia seperti omong
sendiri atau menanyakan ibunya. Katanya: "Benarkah dia
menyintai lain orang" Siapa" Siapa"..."
Phang Lim bersusah hati
"Baiklah aku menjelaskan padanya," pikirnya kemudian.
"Biarlah hatinya mati. Dia tentu akan ber-sakit sebentar, tetapi
ini lebih baik daripada ia terus berada dalam kegelapan..."
Maka ia lantas berkata: "Yang dia cintai bukan hanya satu
orang. Disana ada yang dia panggil enci Kok, ada yang dia
panggil enci Le... Tak tahu aku, dia sebenarnya menyintai
yang mana..."
"Enci Kok?" kata Kim Bwee. "Enci Le" Bukankah mereka
Kok Cie Hoa dan Le Seng Lam?"
"Benar, Kok Cie Hoa aku tahu. Dialah murid penutup dari
Lu Su Nio. Dan Nona Le itu pernah aku lihat. Mungkinkah dia
Le Seng Lam."
"Ibu, apakah ibu tidak salah dengar?" Kim Bwee tanya.
"Tidak," sang ibu menjawab. "Aku menguntit mereka
berdua sampai di depan kuil dimana Kim Sie Ie tengah
mengutarakan rasa hatinya terhadap Kok Cie Hoa. Sebenarnya
lucu, mulanya dia mengira Cie Hoa ialah si Nona Le!
Sebenarnya dia datang kemari karena perjanjiannya dengan
Nona Le itu."
Kim Bwee masih seperti melamun.
"Dia bersama Le Seng Lam berjanji akan bertemu disini..."
katanya. "Aku mengerti sekarang!"
"Kau mengerti, itulah bagus," kata sang ibu.
"Eh, bagaimana ini, ya?" Kim Bwee kata pula. "Sedikit juga
aku tidak mengerti, aku tidak mengerti!"
Phang Lim meraba dahi puterinya, ia tidak merasakan hawa
panas. Ia menjadi heran sekali. Terang anak itu tidak sakit.
"Kenapa dia bilang mengerti, lalu tidak mengerti?"
Ibu ini tidak mengerti, itulah tidak heran. Pertama kali Kim
Bwee bilang "mengerti", itulah sebab ia mengerti kenapa Le
Seng Lam menipunya. Kedua kalinya ia membilang "tidak
mengerti", itu benar-benar disebabkan ia tidak mengerti
duduknya hal.

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika itu Hian Hong datang menyusul, kelihatannya dia
bernapas sengal-sengal, tetapi lantas dia tertawa.
"Apakah kamu, ibu dan anak, berselisih karena urusan Kim
Sie Ie?" dia tanya
Lucu imam ini. Dia mempunyai ilmu enteng tubuh tak kalah
dari Phang Lim tetapi dia ketinggalan. Dia pun sengaja seperti
dia bernapas mengorong.
Phang Lim segera berkata kepada anaknya: "Anak Bwee,
mari ketemui ini Hian Hong Tootiang! Kau memanggil empe
tootiang saja padanya!"
Si nona memberi hormat, lantas dia menanya: "Empee
tootiang, apakah kau tahu Kim Sie Ie pergi kemana?"
"Ibumu telah menghajar dia sampai dia lari kabur, mana
aku tahu?" sahut si empee atau paman imam. Tapi, ketika ia
melihat roman si nona, yang mau menangis, ia lantas cepat
berkata: "Dia tinggal denganku disini hampir satu bulan, dia
telah memanggil tukang untuk membuat sebuah perahu. Aku
kira dia sudah pergi berlayar."
Mendengar itu, tanpa bilang apa-apa, Kim Bwee lari turun
gunung. Phang Lim kaget.
"Anak Bwee!" panggilnya.
"Aku hendak menyuruh dia kembali!" sahut si anak sembari
lari terus. Kewalahan ibu ini, terpaksa ia lari mengikuti.
Mereka lari sampai di kaki gunung, di tepi laut.
Di bawah sinar permai dari si Puteri Malam, air laut terlihat
jernih dan tenang, tapi di tepian itu tidak ada lain orang.
Kapan orang memandang jauh ke tengah, samar-samar
tampak sebuah titik hitam.
"Engko Sie Ie! Engko Sie Ie!" Kim Bwee memanggilmanggil.
"Engko Sie Ie, kau dengar aku atau tidak?"
Sia-sia panggilan itu.
Melihat demikian, Phang Lim berdongak, lalu mengasih
dengar suaranya yang nyaring: "Kim Sie Ie, kau kembali!"
Mendengunglah suara yang keras dan nyaring itu, yang
dikeluarkan karena pengerahan tenaga dalam yang mahir
apapula mereka berada di tempat yang sunyi, di antara
gunung dan lautan dimana biasa suara berkumandang. Akan
tetapi titik itu, ialah perahunya Kim Sie Ie, tidak kembali ke
tepian, bahkan di lain saat taklah nampak pula.
Kim Bwee mengawasi jauh, matanya sayup-sayup, air
matanya lantas meleleh keluar...
Suaranya Phang Lim itu terdengar Kim Sie Ie, yang
bersama Le Seng Lam telah mulai dengan pelayaran mereka.
Ia pun mengenali suaranya Phang Lim. Sayang ia idak dapat
mendengar suaranya
Lie Kim Bwee. Ia menyangka si Nona Lie sudah berada di
Souwciu. Ia tidak menduga sama sekali, ibu dan anaknya itu
justeru berada di tepi laut dan bersama-sama memanggil
padanya. Tentu sekali ia tidak sudi menemui Phang Lim,
bahkan sebenarnya, ia hendak menjauhkan diri daripadanya.
"Siapakah nyonya itu?" tanyanya.
"Dialah Phang Lim dari Thiansan," sahut Sie Ie dingin.
Seng Lam tertawa pula.
"Oh, ibunya Kim Bwee! Mertua memanggil menantu,
mengapa kau tidak menyahuti?"
"Kenapa kau ngaco belo?" kata Sie Ie mendongkol.
Seng Lam berdiam, ia tidak menggubris orang marah.
"Kim Sie Ie," katanya kemudian, agaknya bersungguhsungguh,
"pernahkah kau mendengar kata-kata tua, 'Dalam
perahu bersama berlayar"' "
"Bagaimana?" tanya Sie Ie. Untuk sejenak, ia tidak
mengerti. Seng Lam tertawa terkikik.
"Jikalau kau mengerti, itulah bagus!" sahutnya. "Tidak
perduli kau selalu tidak merasa senang terhadapku, akan
tetapi sekarang ini sudah berada bersama dalam sebuah
perahu!" Sie Ie berdiam, ia sangat kewalahan. Ia sekarang
memikirkan, pelayaran ini tentunya akan mengambil waktu
lama dan entah kapan mereka bakal sampai di pulau tidak
terkenal itu. Di dalam waktu yang lama itu, dapatkah ia tidak
berbicara dan tertawa dan terus-terusan bersikap dingin
terhadap Seng Lam.
"Sebenarnya aku tidak memikir apa-apa terhadap kau,
hanyalah kau sangat gemar mempermainkan orang," kata ia
kemudian, kemarahannya pun berkurang.
Seng Lam tertawa.
"Tidak lebih tidak kurang aku menyontoh kau!" sahutnya.
"Bicara dari hal mempermainkan orang, kaulah orang tertua
daripada aku!"
Kim Sie Ie menyeringai. Kembali ia ketemu batunya.
Memang, kalau dipikir-pikir, dulu hari ia sangat usilan. Maka
sambil tertawa dalam hati ia kata: "Inilah pembalasan!"
Le Seng Lam cerdas sekali, dia mengerti segala apa. Dalam
keadaan biasa kata-katanya pun bagaikan bunga segar.
Banyak hal aneh yang ia ketahui. Maka itu, di dalam pelayaran
ini, mereka tidak kesepian.
Perahu buatannya Sie Ie ini lebih kecil daripada
kebanyakan perahu pelayaran di laut yang biasa, akan tetapi
pembuatannya jauh terlebih kuat, sebab bahannya terpilih
semua, dan lajunya juga pesat. Di dalam perahunya ini, ia
mempersiapkan perbekalan untuk dua bulan. Apa yang kurang
ialah daging segar.
Seng Lam tidak mengerti ilmu mengemudikan perahu,
maka itu di waktu iseng, ia mengail ikan, dengan begitu, ikan
itu menggantikan daging yang dibutuhkan itu. Dibalik itu, ialah
ahli masak, santapan yang dibuatnya tidak ada kecelaannya.
Ia memasak nasi dan lauk pauknya, ia bebenah. Ia juga
mencucikan pakaian Kim Sie Ie. Maka itu, cukuplah
rawatannya terhadap Tokciu Hongkay, hingga perbuatannya
ini kembali mengurangi kesan tak manis dari si pengemis edan
itu. Selama beberapa hari pertama itu, untuk melewati waktu
luang mereka, Kim Sie Ie suka menutur pelbagai hal kaum
Rimba Persilatan, sedang Le Seng Lam tidak berkeberatan
menceritakan hal leluhurnya.
Nyatalah leluhur Seng Lam ini orang gagah kaum sesat dari
tiga ratus tahun dulu yaitu Le Kong Thian, yang telah menjadi
murid berbareng koankee, pengurus rumah tangga, dari Kiauw
Pak Beng, jago nomor satu golongan sesat. Hanya sekarang
setelah ratusan tahun berselang, nama kedua keluarga itu
seperti telah dilupakan orang.
Menurut Seng Lam itu, dulu hari itu Kiauw Pak Beng telah
mendapat luka parah, dia telah ditolongi Le Kong Thian, untuk
mana Kong Titian menghadapi bahaya maut. Sejak itu
keduanya, guru dan murid, majikan dan pegawai, lama tidak
pernah berpisah. Mereka baru berpisah setelah di akhirnya
Kiauw Pak Beng mengambil putusan untuk pergi berlayar.
Ketika mereka hendak berpisahan, Pak Beng menyerahkan
semua kitab ilmu silatnya. Ia mengatakan kepada Kong Thian,
ia pergi untuk melatih diri guna menggabung pelbagai ilmu
silat lurus dan sesat, setelah peryakinannya berhasil
sempurna, baru ia mau kembali ike Tiongkok. Akan tetapi ia
pergi untuk selamanya, tidak pernah ia kembali. Le Kong
Thian menyimpan semua kitab itu, tidak pernah ia beritahukan
pada lain orang. Setelah turun temurun, entah bagaimana
duduknya, Beng Sin Thong telah dapat ketahui tentang kitabkitab
itu dan dia merampasnya, untuk mana dengan telengas
dia membinasakan keluarga Le yang terdiri dari beberapa
puluh jiwa pria dan wanita, yang lolos cuma Seng Lam dan
ibunya. Sin Thong berhasil merampas pelbagai kitab silat di
antaranya kitab ilmu Siulo Imsat Kang itu yang terliehay. Ibu
Seng Lam meninggal dunia beberapa tahun yang baru lewat.7'
Nampaknya Seng Lam bangga ketika ia memberikan
penuturan tentang leluhurnya itu. Ia bergembira di waktu ia
menceritakan halnya Kiauw Pak Beng menjagoi, me-nempur
pelbagai musuhnya.
Kim Sie Ie sebaliknya menjadi masgul. Ia jadi memikir jauh.
Umpamanya Seng Lam berhasil mencari kitab-kitab warisan
Kiauw Pak Beng itu dan berhasil juga mewariskan ilmu silat
yang mahir, tidakkah, di sebelah mencari balas, dia nanti
menjadi seorang memedi wanita. Jikalau itu benar terjadi,
tidakkah hebat akibatnya" Tapi ia sudah berjanji
mengantarkan si nona, tidak dapat ia menarik pulang janjinya.
Pula sekarang, mereka tengah berlayar...
Satu hal lain membikin Kim Sie Ie heran. Menurut Seng
Lam ini, setelah Kiauw Pak Beng pergi berlayar, Le Kong Thian
juga pergi menyembunyikan diri di gunung. Sekarang dari
mana Seng Lam mendapat tahu Pak Beng sudah berhasil
dengan minatnya mencari ilmu itu, tanpa menghiraukan
bahaya pelayaran" Pernah ia menanyakannya tapi Seng Lam,
yang sangat cerdik, mengegosinya.
Beberapa hari pertama itu, laut tenang, perahu berlayar
dengan tenang juga. Seng Lam biasa berdiri di kepala perahu,
memandang jauh ke depan.
Di hari pertama, tengah hari, selagi Seng Lam berada di
kepala perahu seperti biasa, mendadak ia melihat sekawanan
ikan berlompatan meletik ke atas permukaan air, ada yang
seperti bersayap, ada yang seperti memakai payung, dan ada
juga yang bacotnya menyemburkan cair hitam. Ia kagum,
hingga ia mau memanggil Sie Ie. Atau mendadak, ia
merasakan perahu goncang keras, hingga ia terkejut.
Justeru itu Sie le berteriak: "Lekas masuk ke dalam!..."
Belum berhenti suara Tokciu Hongkay ini, mereka lantas
mendengar suara sangat keras dan berisik, kepala perahu
lantas tergempur gelombang dahsyat.
Sie Ie berlaku sangat sebat, dia berlompat kepada si nona
dan menariknya ke dalam, tetapi tidak urung, baju nona itu
telah kebanjur air hingga kuyup lepek. Sie Ie pun terlihat
takut, seorang diri ia kata tak tedas: "Langit begini terang
mengapa datang gelombang yang didului deruman laut?"
"Apakah deruman laut?" Seng Lam tanya.
"Itulah akibatnya suatu goncangan di dasar laut," Sie Ie
menerangkan. "Gelombang timbul karenanya, suaranya
terdengar keras sekali. Sekarang ini tidak ada badai.
Mungkinkah gunung berapi itu meletus lebih cepat daripada
mestinya?"
Seng Lam heran, dia menatap.
"Eh, apakah kau ketahui gunung berapi di pulau itu kapan
bakal meletusnya?" dia tanya. "Apakah artinya kau
mengatakan meletusnya terlebih cepat daripada mestinya
itu?" Belum berhenti suara Sie Ie, kembali datang gelombang,
maka perahu mereka terangkat sampai tinggi, bergoncang
keras. Seng Lam belum pernah mengalami pelayaran semacam
ini, meski dia tangguh, dia lantas merasai kepalanya pusing
dan matanya berkunang-kunang, lantas dia roboh di lantai
perahu, kedua tangannya memeluki erat-erat karung beras.
Ketika perahu bergoncang terus, naik dan turun dia juga
merasai isi perutnya jungkir balik! Lantas dia muntah-muntah,
hingga terudal keluarlah barang makanan tadi malam dari
dalam perutnya...
Kim Sie le tetap berdiam pada kemudi. Air laut telah
membanjur tubuhnya, hingga ia bagaikan ayam kecebur
basah semua. Ia telah mengasih turun layarnya, untuk mana
ia mesti membabat putus tiangnya. Di lain pihak, dengan ilmu
silat "Berat Seribu Kati", ia memasang kuda-kuda, membikin
tubuhnya berat, mempertahankan perahunya agar perahu itu
tidak karam. Sekian lama perahu itu terum-bang-ambing, akhirnya dia
lolos juga dari bahaya, cuma disana-sini terlihat lubang,
hingga Sie Ie mesti menggunai karung beras untuk
menyumbatnya. Kemudian baru ia memimpin bangun pada
Seng Lam. Nona itu mengeluh.
"Jikalau aku tahu pelayaran begini sengsara, aku lebih suka
tak menghendaki segala kitab rahasia itu..." katanya. Ketika ia
memandang Kim Sie Ie, ia mendapatkan kawan itu, meskipun
pakaiannya kuyup, wajahnya yang tampan tersungging
senyuman! "Aku bakal lekas mampus, tetapi kau bergirang ya!" kata
nona itu, mendelu.
"Kau tidak bakalan mati!" kata Sie Ie tertawa. "Kau
rebahlah baik-baik. Nanti aku carikan obat untukmu. Ha, kau
tahu kenapa aku bergembira?"
"Siapa tahu kau mengandung maksud jahat apa!" kata si
nona, masih mendongkol.
Sie le tertawa terbahak.
"Memangnya juga aku bukan asalnya orang baik!" ia bilang.
"Tetapi sekarang ini aku mengandung maksud mulia. Apakah
kau telah merasakan" Air laut dingin, bukan?"
"Jikalau air laut bukannya dingin, apakah panas?" si nona
mem-baliki. "Jikalau gunung berapi meletus maka air laut menjadi
panas!" Sie Ie kasih tahu. "Haha, aku keliru melihat! Gunung
berapi tidak meletus! Gelombang barusan, serta derum laut
tadi, rupanya disebabkan gempa bumi di dasar laut, cuma
gempanya tidak hebat."
Ia baru mengatakan begitu, mendadak tampak romannya
berduka, lalu ia mengoceh seorang diri: "Kenapa ada gempa
di dasar laut" Mustahil ini alamat untuk meletusnya gunung
berapi itu" Apakah gunung bakal segera meletus?"
Seng Lam bingung, dia berkuatir.
"Eeh, eh," tegurnya, "kau berulang-ulang menyebut
gunung berapi meletus! Bagaimana sebenarnya?"
Sie Ie tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya ia
menatap sungguh-sungguh.
"Kau takut mati atau tidak?" tanyanya. "Jikalau kau takut
mati, nanti aku perbaiki perahu ini dan mengantarkan kau
pulang! Akan aku berlayar seorang diri."
Seng Lam mengawasi. Tahu ia laut ini berbahaya,
sebenarnya ia ngeri, tetapi, untuk berpisah dari Kim Sie Ie,
inilah ia tidak kehendaki. Ia pun masih mengharap kitab
peninggalannya Kiauw Pak Beng itu.
"Jikalau perahu ini hancur dan karam," katanya, "jikalau
aku mati, kau pun rasanya tidak bakal hidup, maka itu, apakah
kau kira aku takut mati?"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum tentu karena gempuran gelombang perahu karam,"
Sie Ie bilang. "Aku mau maksudkan petualangan kita ini yang
sangat berbahaya, yang mungkin meminta jiwa. Apakah kau
suka mengikuti aku?"
"Jikalau kau dapat pergi, aku juga dapat!" berkata si nona,
memberikan jawabannya. "Untuk mendapatkan kitab
peninggalannya Kiauw Pak Beng itu, aku memang telah
menyediakan jiwaku untuk dikorbankan!"
"Baik!" Sie Ie bilang. "Sekarang kau jangan main tanyatanya
hal gunung berapi meletus, jikalau nanti telah tiba
saatnya, kau bakal mengerti sendiri!"
Seng Lam jadi berpikir: "Di dalam peta gambar ada gunung
berapinya, apakah itu gunung berapi yang dimaksudkan Sie le
ini" Mungkin dia belum pernah pergi ke pulau itu tetapi
kenapa dia tahu, kapan gunung berapi itu bakal meledak?"
Sie le berdiam terus, sampai nona kawannya itu sudah salin
pakaian. Ia ambil obatnya, ia memberikan beberapa butir pel
untuk si nona telan.
Seng Lam merebahkan diri, untuk beristirahat. Tidak lama,
ia tidur pulas. Ketika besoknya ia mendusin dan pergi ke
kepala perahu, jauh di depannya ia menampak daratan
dengan warna hijaunya...
Angin laut bertiup tetapi hawanya panas, panas sekali.
"Sie Ie! Sie Ie!" tiba-tiba Seng Lam memanggil. Agaknya ia
mendusin dengan kaget. Ketika ia berpaling, ia mendapatkan
Sie Ie berada di belakangnya, lagi tertawa.
"Ada apa kau nampakaya kaget?" tanya kawan itu.
"Udara di laut ini aneh," berkata si nona. "Begini pagi tetapi
hawanya sudah panas begini! Kita sekarang telah sampai
dimana?" "Sebentar lagi hawa bakal menjadi terlebih panas," sahut
Sie Ie. Ia tidak membilangi mereka sudah sampai di tempat
apa. Ketika itu pulau di depan mereka nampak semakin tegas.
Disana warna hijau bercampur dengan warna merah. Yang
merah itu ialah puncak gunung yang gundul, benar saja, hawa
mulai menjadi semakin panas, hingga Seng Lam bermandikan
peluh. "Tempat setan apa ini?" kata si nona. "Mari kita lekas
meninggalkannya!"
Sie Ie tidak menyahuti, ia hanya mengangkat layar, untuk
membikin perahunya justeru menghampirkan pulau.
Seng Lam heran.
"Mungkinkah ini pulaunya Kiauw Pak Beng itu?" pikirnya.
"Hawa begini panas jangan-jangan gunung itu gunung
berapi..."
Ia belum sempat berpikir lebih jauh, ia mendengar Sie le
tertawa "Inilah kampung halamanku!" katanya gembira. "Inilah
tempat yang indah sekali! Mengapa kau menyebutnya tempat
setan?" Si nona benar-benar heran.
"Jadinya kau dibesarkan disini?" ia tanya. "Heran kau dapat
bertahan untuk hawa begini panas..."
"Benar," sahut Sie Ie. "Disini aku tinggal selama tiga belas
tahun. hanya dulu hari itu, hawa tak panas begini. Tak perduli
apa juga, aku telah tiba di kampung halamanku, aku mesti
menjenguknya! Kau mau atau tidak menjadi tetamuku?"
Seng Lam tak setuju singgah di pulau itu tetapi Sie Ie
nampak keras keinginannya, tidak ada daya, ia terpaksa
mengiring. Di tepi laut, pasir panas seperti bara, Seng Lam merasai
kakinya sakit, maka Sie Ie membantui dengan
mempepayangnya.
Senang si nona dipegangi si pemuda, ia jadi merasa
kurangan panasnya...
Jalan di darat, mereka mendapati angin laut membawa bau
harum, lepat mereka sampai dimana terdapat rumput dan
pepohonan, lantas Seng Lam menjadi kaget hingga dia
berteriak-teriak: "Ular! Ular!"
Di depan mereka, di atas pohon, di cabang-cabang, disanasini
ular melulu yang tampak, hingga pohon-pohon itu mirip
pohon ular! Ada ular yang pendek, ada yang panjang,
melingkar melilit dan mereyot, lidahnya pun ditarik masuk dan
dikeluarkan tak hentinya.
Anehnya, bau harum itu datangnya dari pepohonan itu!
Sie Ie tidak memperdulikan si nona kaget, ia melainkan
memegang erat-erat, tetapi ia pun tidak berdiam saja,
mendadak ia bersiul keras dan lama.
Mendadak, mendadak saja, sekalian ular itu pada bergerak,
berlompat dan merosot turun, semua menggeleser ke arah
dua orang itu! Seng Lam kaget sekali, ia lantas saja mengayun tangannya,
untuk menyerang dengan jarum Bweehoa ciam, akan tetapi
Sie Ie segera menyentil ke telapakan tangannya, dengan
begitu semua jarumnya itu melesat ke udara!
"Jangan serang mereka!" kata Tokciu Hongkay tertawa.
"Mereka semua sahabat-sahabat kita! Dengan aku berada
disini, tidak nanti mereka pagut kau! Tapi, kalau kau
membunuh atau melukai mereka, tak sanggup aku menjamin
lagi!" Sekumpulan ular itu menggeleser terus, langsung mereka
menghampirkan Sie Ie, lantas mereka berhenti, lantas semua
mengangkat kepala mereka, dengan memainkan lidah mereka,
mereka pada mengasih dengar suara sas-sus. Benar-benar
lagak mereka seperti lagaknya sahabat kekal, tidak ada yang
mengganggu si nona.
Seng Lam heran, ia mengawasi mendelong, hatinya masih
tak tenteram. "Kamu masih tidak melupai aku, terima kasih!" kata Sie Ie
tertawa. Ia menoleh kepada si nona dan kata: "Mari turut
aku!" Dan ia bertindak ke arah semua ular itu, yang lantas
saja bergerak membuka jalan, akan kemudian semuanya
menggeleser pula mengikuti, mengiringi.
Dengan tubuh lemas, Seng Lam menggelendot pada tubuh
Sie Ie. Dengan perlahan-lahan barulah ia mendapat pulang
ketabahannya. Sie Ie mengajak si nona berjalan terus ke tengah pulau.
Sekarang, setelah hilang kuatir-nya, Seng Lam merasai pula
hawa panas. Banyak pohonnya pulau ini tetapi dalam sepuluh,
delapan atau sembilan gundul, tinggal cabang-cabangnya
saja, yang kuning dan kering, seperti bekas digarang.
Melainkan pohon-pohon yang mirip ular, yang tetap berdaun
subur dan berkembang, bunganya harum. Hanya, walaupun
bunga harum, kapan Seng Lam menyedot harumnya, ia
merasai kepalanya pusing. Saking terpaksa, ia menurut ketika
Sie Ie ajak ia meneduh di bawah sebuah pohon.
"Janganlah kau sebal terhadap ini pohon yang aneh," kata
si pengemis edan-edanan, tertawa. "Inilah pohon moahong
yang menjadi obat manjur untuk penyakit kusta!"
Seng Lam heran.
"Benarkah ini pohon moahong?" tanyanya "Hebat!"
Sie Ie tertawa pula
"Guruku korban kusta paling hebat," katanya, "syukur dia
sampai di pulau ini, setelah makan obat ini, dia sembuh
seluruhnya. Guruku yang menyebut nama pohon moahong
dan Pulau Ular ini!"8)
Biar bagaimana, Seng Lam jeri mendengarnya.
"Marilah kita kembali ke perahu," katanya. "Badai dan
gelombang menakuti tetapi itu masih lebih mending daripada
daratan pulau ini..."
"Aku justeru hendak berdiam di daratan pulau ini," Sie le
bilang. "Apa?" tanya si nona terkejut. "Kau hendak tinggal disini"
Berapa lamakah?"
"Sedikitnya sepuluh hari atau setengah bulan," menjawab si
anak muda. "Atau setengah atau satu tahun, lihat saja nanti."
Seng Lam melengak, hampir ia menangis.
"Kalau begitu kau menipu aku!" katanya sengit. "Kau
bersakit hati aku mempermainkan kau, lantas kau bawa aku
kemari! Hm, sungguh liehay pembalasan kau ini! Kenapa kau
tidak mau menikam mati saja padaku?"
"Aku tidak menipu kau," kata Sie Ie.
"Masih kau mengatakan tidak menipu! Kau toh telah
menerima baik mengikut aku mencari kitab warisannya Kiauw
Pak Beng?"
"Memang aku hendak membantu kau. Cumalah kau harus
mengerti, tidak apa andaikata kita mencari sampai lagi satu
atau dua tahun..."
"Kau gila! Apakah sakit hatiku, yang mesti dibalas, urusan
tidak perlu?" kata si nona, keras. "Tidak ada alasan sama
sekali untukmu mau tinggal disini sampai satu tahun atau
lebih! Jadinya bagimu, menjenguk ular-ular beracunmu ini
lebih penting daripada urusanku!"
"Memang, ini memang lebih penting daripada urusan
pembalasan sakit hatimu," sahut Sie Ie, sungguh-sungguh.
Seng Lam melengak melihat kesungguhan orang itu. Ia
hendak mendamprat, lalu batal sendirinya.
"Sekarang ini mari kita masak nasi dulu," kata Sie Ie, sabar.
"Habis dahar, aku mau pergi melihat perahu kita sekalian
merondai pesisir, untuk memeriksanya."
"Sebenarnya bagaimana ini?" kemudian si nona tanya,
mulai sabar. "Jikalau kau tidak memberi penjelasan, aku tidak
mau dahar!"
Sie Ie memungut cabang-cabang kering, ia menyalakan
api. Ia membekal sekantung beras, maka ia menyuruh si nona
menanaknya, ia sendiri pergi menangkap beberapa ekor
burung, kemudian sembari masak, baru ia bicara.
"Ketika dulu pertama kali guruku tiba di pulau ini, hawanya
sangat dingin," ia kata. "Lalu hawa udara berubah setiap
tahun, dari hangat menjadi panas. Tempo aku datang ialah
waktu hawa paling nyaman. Bunga-bunga tak musnahnya
selama empat musim dan rumput-rumput hijau selamanya
setahun penuh. Selama itu sang ular tidak pernah mencelakai
kami. Maka untukku, tempat ini seperti tempat dewa. Baru
sekarang hawa begini panas... Ah, tahukah kau sebabnya ini?"
"Mana aku tahu?" sahut si nona. "Sudah, jangan main
putar-putar, lekas bicara langsung!"
"Itulah sebab di dasarnya Pulau Ular ini ada gunung
berapinya."
Kembali si nona terkejut.
"Ada gunung apinya?" ia tegaskan.
"Ya! Di dasar laut ada banyak gunung berapi. Kalau lain
gunung berapi di atas pulau meledak mencelakai cuma ikanikan
di pesisirnya, maka pulau ini lain, akan hebat sekali
akibatnya. Pulau ini terpisah dari daratan cuma seperjalanan
beberapa hari..."
Seng Lam bersangsi.
"Kenapa kau ketahui di dasar pulau ini ada gunung
berapinya?" ia tanya.
"Mari aku ajak kau menyaksikannya!"
Habis bersantap, si pengemis edan benar-benar memimpin
si nona memasuki rimba, sampai di bagian tengah sekali pulau
itu, di kaki puncak, dimana ada kedapatan sebuah liang mirip
gua yang dalam. Di situ pepohonan gundul, dan di dalam gua
tak ada rumputnya. Sebaliknya disitu kedapatan bangkai ular
tak kehitung banyaknya, baunya busuk dan sangit yang
memuakkan. "Aku tidak mau melihat ini lama-lama! "kata Seng Lam,
menutup hidung. "Mari!"
Sie Ie mengeluarkan dua tangkai bunga moahong, bunga
yang harum yang paling tepat untuk melawan dan menghapus
bau busuk, ketika Seng Lam mencium itu, ia lantas tak merasa
bau lagi bahkan menjadi segar.
"Coba kau lihat pula," kata Sie Ie. Ia tarik si nona hingga ke
mulut liang. Di dalam situ terlihat cahaya merah guram.
Sekarang Seng Lam tidak takuti lagi bau busuk, sebaliknya,
tak tahan ia dengan hawa panas, hingga kepalanya menjadi
pusing, hingga Sie Ie mesti lekas menarik ia menyingkir dari
mulut liang itu, dibawa ke dalam rimba dimana kedapatan
sebuah pengempang yang airnya jernih dan hawanya pun
paling adem untuk pulau yang panas itu.
Nona Lee lantas jongkok membungkuk, guna
membasahkan kepalanya, sesudah mana baru ia dapat bicara.
"Sungguh menakuti! Sungguh menakuti!" katanya.
"Mulanya aku pun tidak tahu hal adanya gunung berapi ini,"
Sie Ie menjelaskan. "Guruku tinggal disini beberapa puluh
tahun, selama itu berkat ketelitiannya, setelah menyelidiki
seluruh pulau ini, baru ia mendapatkan itu. Mulutnya gunung
berapi ialah gua yang barusan kita lihat. Ular beracun di dalam
situ tak terhitung banyaknya, mungkin sekarang sudah mati
semuanya. Pernah guruku menggunai dadung turun ke dalam
gua, setelah penyelidikannya itu, ia percaya gunung berapi ini
akan meledak belasan tahun setelah ia menutup mata..."
"Sudah berapa lama gurumu menutup mata?" tanya Seng
Lam, memotong. "Lagi beberapa bulan tepatlah sepuluh tahun," sahut Sie le.
Si nona terkejut, ia menjadi berkuatir.
Sie le dapat melihat roman orang, ia tertawa.
"Syukur sekarang ini gunung berapi itu belum meledak!"
katanya. "Melihat suasana disini, tempo meledaknya mungkin
lagi setengah tahun atau lebih... Kau lihat sendiri, api atau
laharnya masih belum muncrat!"
"Meski demikian, berdiam disini berarti menghadapi
ancaman bahaya," kata si nona, yang tetap takut.
"Kau benar. Justeru karena itu, aku datang kemari..."
Seng Lam heran, ia mengawasi muka orang.
"Di dasarnya gua tadi ada banyak racunnya ular," Sie le
menjelaskan, sabar. "Racun itu merupakan sebuah kobakan
kecil. Itulah berbahaya. Jikalau gunung berapi ini meledak,
bukan melainkan pulau ini yang musnah tetapi bahayanya
mengancam juga lautan di sekitar ini sampai di pesisir-pesisir
Laut Kuning, terutama bangsa ikannya! Bukankah racun ular
itu bakal melulahan ke seluruh laut dan akan meracuni dan
membikin mati semua binatang di dalam laut ini" Maka juga,
guruku memikir menghindarkan malapetaka itu. Daya untuk
itu ialah seorang yang tak takut racun, beberapa bulan
sebelum gunung meledak, mesti menggali tanah, guna
menyalurkan air laut ke dalam gua itu, di lain pihak, liang lain


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus dibikin supaya kalau gunung api bekerja, apinya bisa
menyembur keluar. Cara begini ia harus dapat mengurangi
bahaya perledakan itu. Usaha itu bergantung dengan saat
yang tepat. Disini pun kita dapat mengumpulkan asbes, untuk
membikin pakaian melawan api..."
Seng Lam lantas saja mengerti.
"Kalau begitu kau sekarang hendak mewujudkan pesan
gurumu!" katanya. "Jadi kau mau berdaya melenyapkan
ancaman bahaya itu?"
"Aku cuma memikir menghindarkan bahaya untuk orang
banyak itu," sahut Sie le tenang. "Aku pun tak dapat menolak
pesan guruku. Ah, kasihan guruku itu, dia sangat menyayangi
aku, maka semasa hidupnya tak pernah ia memberitahukan
aku halnya gunung api ini..."
Tentang gunung berapi di Coato, yaitu Pulau Ular, Tokliong
Cuncia telah membuat catatan dalam sebuah buku catatan
hari-hari, catatan mana berdasar penyelidikan dan
pengalamannya bertahun-tahun mengenai pulau itu. Pada
lembaran yang terakhir ada dugaan tentang kapan
meledaknya gunung berapi itu serta rencana pencegahannya
menurut anggapannya sendiri. Itulah berbahaya tetapi ia ingin
mencobanya, guna menghindarkan malapetaka, la
menyayangi Kim Sie Ie seperti anak sendiri, maka itu, ia tidak
ingin muridnya ini menempuh bahaya, maka juga kecuali ia
tidak memberitahukan Sie Ie tentang rahasia itu, di saat
hendak menutup mata ia berpesan agar muridnya lekas
menyingkir dari pulau itu. Belakangan buku catatan itu
didapatkan di Coato oleh Tang Tay Ceng, ialah muridnya
Patpie Sinmo Sat Thian Cie. Orang she Sat ini sahabat kekal
dari Tokliong Cuncia. Belakangan lagi, dengan cara berlikuliku,
akhirnya buku itu terjatuh dalam tangannya Kim Sie Ie.
(Sebagaimana penjelasannya terdapat dalam buku cerita Peng
Coan Thian Lie). Bahwa Sie Ie suka turut Le Seng Lam
berlayar, sebagian disebabkan gunung berapi itu lagi
mendekati waktu meledaknya dan ia ingin melihat pula sekali
lagi. Apabila Le Seng Lam telah mendengar keterangan Kim Sie
Ie itu, walaupun ia bersifat sesat, ia toh gentar juga hatinya.
"Siang-siang aku telah menanya kau, kau takut atau tidak,"
berkata Kim Sie Ie. "Kau bilang kau tidak takut, karenanya aku
menemani kau datang kemari. Apabila kau menyesal, biarlah,
besok aku nanti perbaiki perahuku, lalu aku mengantarkan kau
pulang." "Jikalau aku pulang jikalau aku bertemu Beng Sin Thong,
pasti aku bakal mati," berkata Seng Lam. "Pula ketika aku mau
berlayar ini, aku telah mengangkat sumpah, kecuali aku
mendapatkan kitab ilmu silat warisan Kiauw Pak Beng itu,
tidak sudi aku kembali." Ia berhenti sebentar, untuk berpikir,
terus ia tanya: "Bukankah tadi kau membilang, gunung berapi
ini akan meledak baru nanti, lagi satu atau setengah tahun?"
Mendengar pertanyaan itu, Kim Sie Ie dapat menebak hati
si nona. Ia tertawa.
"Jadi kau tetap hendak mencari dulu kitabnya Kiauw Pak
Beng, baru kau mau pulang, bukankah?" ia tanya.
Seng Lam mengangguk. Tapi ia kuatir Sie Ie keliru
mengerti, ia lekas menambahkan: "Setelah mendapatkan kitab
itu, tidak nanti aku membiarkan kau seorang diri menghadapi
ancaman marabahaya."
Kim Sie Ie sebaliknya berkata di dalam hatinya: "Jikalau
kau meninggalkan aku, itulah hal yang aku minta pun tak
berani..." Tetapi, ia pun menggeleng kepala dan berkata:
"Tidak dapat!"
"Mengapa tidak dapat?"si nona tanya.
"Jikalau aku antarkan kau pulang, paling lama akan makan
tempo pergi pulang dua puluh hari lebih," menjawab Kim Sie
Ie. "Sebaliknya jikalau kita pergi mencari kitab warisannya
Kiauw Pak Beng itu, kita bakal menghadapi laut yang luas
dimana pun ada ancaman badai dan gelombang, yang
bahayanya tak dapat diduga-duga, sedang tempo
pelayarannya tidak ketentuan, dalam tempo setengah tahun
belum tentu kita ilapat kembali ke Coato ini. Masih wla lagi,
ialah ini: Ketika aku masih kecil, aku pernah turut guruku
lewat pulau aneh itu, biar bagaimana juga, guruku melarang
aku pergi mendarat disana. Mendengar lagu suaranya guruku
itu, rupanya pulau "lu sangat berbahaya. Aku bukannya takut,
hanya daripada aku In binasa disana, lebih baik aku disini.
Disini aku masih mempunyai harapan untuk menyingkirkan
ancaman malapetaka."
"Biar ada bahaya apa juga," berkata Seng Lam, mendesak,
"itulah tak terlebih hebat daripada di dalam tanah ada gunung
berapinya dan di atas buminya ada ular-ularnya yang berbisa!"
Kim Sie Ie kewalahan. Ia lantas berpikir.
"Kau sangat bernapsu mendapatkan kitabnya Kiauw Pak
Beng ilu, kau juga tidak ingin tinggal disini," katanya
kemudian. "Baiklah, disini ada daya yang mempunyai dua
kebaikan."
"Bagaimana?"
"Di dalam tempo sepuluh hari atau setengah bulan, aku
tanggung kau sudah dapat mengemudikan perahu sendiri.
Selama itu, kau juga mesti rajin belajar renang. Nanti aku
perbaiki perahuku itu, untuk aku serahkan pada kau. Jikalau
kau benar tidak takut bahaya, boleh sendiri pergi berlayar ke
pulau itu. Aku masih ingat, keletakannya pulau ialah di
utaranya Coato. Jikalau kau menemukan angin baik, kau
memerlukan tempo berlayar empat sampai lima puluh hari..."
"Jangan kau mengusir aku!" berkata si nona tanpa menanti
orang menutup mulutnya. "Jikalau kau sudah berkeputusan
tetap untuk berdiam disini, baiklah, aku pun tetap akan
menemani kau!"
"Bukankah kau membenci tempat ini?" tanya Sie Ie, dingin.
"Aku membenci tempat ini tetapi aku tidak membenci kau!"
sahut si nona. Ia hening sejenak, lantas ia menambahkan:
"Sejak aku dilahirkan, meski aku tidak pernah melakukan
kejahatan besar, aku pun belum pernah berbuat kebaikan,
maka jikalau kali ini aku dapat membantu kau menyingkirkan
ancaman bahaya, mati pun ada harganya."
Nona ini bicara dengan sungguh-sungguh, tetapi ini pun
setelah dia menerka hati Tokciu Hongkay.
Mendengar itu, Sie Ie girang berbareng mendongkol.
Benar-benar Le Seng Lam ini menjadi bayangannya. Teranglah
sudah, sangat sukar menyingkir dari dianya.
"Eh, kau baliklah tubuhmu!" sekonyong-konyong terdengar
suara Seng Lam, yang tertawa.
Sie Ie heran, hingga ia melengak.
"Kau hendak bikin apa?" ia tanya.
"Ah, sungguh kau sangat memperhatikan aku!" berkata
pula si Nona, kembali dia tertawa. "Apakah setiap apa yang
aku lakukan, mesti aku beritahukan kau?"
Sembari berkata si nona mem-bukai kancing bajunya,
melihat mana, Kim Sie Ie lantas mengerti bahwa orang
hendak mandi, maka sendirinya mukanya menjadi merah,
lekas ia memutar tubuh, untuk membalik belakang, untuk
kabur ke antara pepohonan!
Segera juga terdengar suara air berjebur, tandanya Le
Seng Lam sudah terjun. Pula itu disusul tertawanya nona yang
binal dan nakal itu, Jenaka tetapi juga telengas...
"Bagus, bagus!" suara si nona terdengar. "Air ini sangat
jernih dan adem! Kim Sie Ie, kau aneh, kau seperti juga tidak
takut hawa panas!"
Sie Ie tidak menyahuti. Ia sekarang melihat tegas sifatnya
nona ini. Dia sangat bebas, dia merdeka dari adat istiadat, dia
bukan seperti Kok Cie Hoa yang lemah lembut, tidak miripnya
Lie Kim Bwee yang polos. Dia mendekati keberan-dalannya
sendiri, tetapi aneh, ia tak cocok dengan si nona, ia bahkan
merasa jeri... Malam itu Sie Ie membuat dua bocah gubuk di dekat
telaga, untuk di tempati masing-masing oleh ia dan si nona.
Akan tetapi tengah malam, tengah ia tidur layap-layap, ia
terperanjat karena telinganya mendengar suara apa-apa, baru
ia memasang kuping, atau ia telah ditubruk dan dipeluk orang,
hanya segera juga ia dengar suaranya Seng Lam: "Mati aku!
Lekas kau usir itu ular-ular jahat!"
Suara si nona menyatakan dia takut sekali. Sebab barusan
ada ular masuk ke dalam gubuknya, saking takut dia lari pada
kawannya yang satu-satunya itu...
Sie Ie lekas menolak tubuh orang.
"Buat apa takut pada ular?" katanya tertawa
"Mereka sahabat karib dari kau, pasti kau tidak takuti
mereka," kata Seng Lam. "Aku lain, aku takut!..."
"Baiklah, besok aku nanti carikan kau daun obat-obatan,
untuk kau tumbuk halus, lantas kau sebar di seputar
gubukmu, ular nanti tidak berani datang masuk."
"Sekarang bagaimana" Aku takut..."
Sie Ie habis akal.
"Baiklah, sekarang kau tidur di gubukku ini. Nanti aku jaga
malam." Benar-benar malam itu, sampai pagi Sie Ie duduk bercokol
di luar gubuk dengan mata terus melek, Seng Lam sebaliknya
tidur sangat nyenyak. Pernah dua kali Sie Ie melongok, ia
mendapatkan nona cantik itu tidur bersenyum.
Besoknya Sie Ie pergi mencari asbes sedang Seng Lam
diperintah pergi ke perahu mengambil barang makanan serta
perabotan. Sekarang beradalah ia di tempat yang lama,
hingga ia ingat pula segala pengalaman dulu hari ketika ia
mengikuti gurunya sambil belajar silat. Ia pun ingat hal
gurunya mencari tahu rahasia gunung berapi serta pesan
terakhir dari guru itu untuk menghindarkan meledaknya
gunung itu. "Biar bagaimana, aku mesti dapat jalankan pesan suhu itu,"
katanya, dengan ketetapan hati, "maka sayang sekali orang
dengan siapa aku hidup bersama disini bukannya Kok Cie Hoa
hanya Le Seng Lam."
Setelah berpikir demikian, Sie Ie dapat juga kesan baik
mengenai si Nona Le. Sebab si nona telah bersedia untuk
bersama ia menempuh bahaya besar...
Tiba-tiba jauh disana terdengar jeritan Nona Le. Ia terkejut.
"Apakah dia ketemu ular pula?" ia menduga-duga. Karena
berkuatir, ia lantas lari ke pesisir, akan melihat nona itu.
Begitu, ia keluar dari rimba yang lebat, paling dulu Sie Ie
melihat sebuah perahu rusak yang kandas, rupanya bekas
dihajar gelombang dan didampar arus hebat. Ia terkejut.
Adanya sebuah perahu lain daripada perahunya sendiri
menyatakan bahwa disitu ada orang lain juga yang mendarat
seperti ia. Maka itu, ia lari lebih cepat pula.
Belum lagi Tokciu Hongkay sampai di tepian dimana ia
tambat perahunya, dari masih jauh ia sudah dapat melihat Le
Seng Lam berlari-lari dengan rambut riap-riapan, sembari lari,
nona itu terus berkaok-kaok minta tolong. Di belakang si nona
ada berlari mengejar empat orang, pria dan wanita. Ketika
mereka itu hampir menyandak, Seng Lam menyerang dengan
senjata rahasianya yang istimewa, Tokbu Kimciam Hweeyam
tan, yaitu peluru kabut jarum beracun. Begitu peluru itu
pecah, asapnya pecah juga dan apinya muncrat, terus jarum
rahasianya menyambar. Sie Ie kenal baik senjata rahasia itu
dan ia merasa jeri. Tapi liehay empat pengejar itu, begitu
mereka diserang, mereka lompat berpencar ke empat penjuru
seraya terus menyerang dengan pukulan udara kosong,
hingga anginnya serangan mereka memukul buyar dan runtuh
kabut dan jarum maut itu. Mereka selamat, tetapi Seng Lam
terhuyung-huyung karena terhembus angin tangan mereka
itu, kebetulan dia kesandung, lantas dia roboh terguling.
Seorang di antara empat pengejar itu, seorang tua yang
rambutnya merah, tertawa terbabak-bahak, terus dia
berlompat maju, untuk mencekuk si nona. Dia mengulur
tangannya yang panjang, menjambak ke punggung.
Sie Ie kaget bukan main. Ia masih terpisah kira sepuluh
tombak dari mereka itu. Tidak dapat ia berlompat, untuk
mencegah jambakan si tangan panjang itu. Syukur kebetulan
ia memegang sebutir batu, maka ia lantas menimpuk dengan
batu itu. Ia tidak dapat dibanding dengan Phang Lim, yang
bisa menimpuk dengan lembaran bunga atau daun, tetapi ia
menimpuk dengan batu, dapat dimengerti hebatnya itu.
Orang tua rambut merah itu berani sekali, ketika dia
mendengar suara batu menyambar, lantas dia mengulur
tangannya, untuk me-nyambuti, hanya begitu batu kena
terpegang, baru dia menjadi kaget sekali. Dia merasai
tangannya sakit, sebab telapakannya pecah terluka. Dia kaget
dan sakit berbareng gusar. Maka batal dia mencekuk Seng
Lam, terus dia maju untuk menghadapi orang yang
menimpuknya itu.
Sie Ie terkejut untuk mendapatkan orang berani
menyambuti batunya itu. Sementara itu, segera mereka berdiri
berhadapan, hingga si rambut merah itu, begitupun kawankawannya,
terlihat tegas.
"Hm!" Sie Ie mengejek. "Kiranya kamu segala hantu tak
tahu hidup atau mampus!"
Dari empat orang itu, Tokciu Hongkay mengenali dua, ialah
orang-orang dengan siapa ia pernah bertempur, yaitu Kunlun
Sanjin serta Siang Bok Loo. Dua yang lain itu ialah si orang
tua rambut merah serta seorang wanita dengan muka biru
dan rambut terurai.
"Enci, apakah binatang ini Kim Sie Ie?" tanya si wanita
muka biru dan rambut riap-riapan itu.
Itulah pertanyaan untuk Siang Bok Loo. Belum lagi Siang
Bok Loo menyahuti, Kim Sie Ie sudah mendahului, sembari
tertawa melenggak, ia berkata: "Aku Kim Sie Ie, aku duduk
tidak mengubah nama, berjalan tidak menukar she! Jikalau
kamu takut, lekas kamu berlutut dan mengangguk meminta
ampun!" Wanita itu mengertak gigi, dia tertawa dingin hingga tiga
kali. "Tahun dulu itu di Tibet tidak dapat aku mencari kau,"
katanya, "itulah untung bagusmu, hingga kau dapat hidup
terus untuk beberapa tahun!"
"Adik Ceng, tunggu dulu!" berkata si rambut merah, yang
terus menghadapi si pengemis edan, untuk berkata: "Thian itu
maha murah, maka lekas kau serahkan gambarnya Chong
Leng Siangjin, suka aku memintakan keampunan untukmu,
supaya kau bebas dari kematian!"
Kim Sie Ie menyambut dengan tertawa dingin.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Angin busuk!" ejeknya. "Kau makhluk apa" Kau lihatlah
siapa yang nanti minta-minta ampun!" Ia terus mengangkat
tongkat besinya, untuk berkata pula: "Apakah kamu hendak
maju berbareng berempat?"
Si wanita muka biru gusar sekali.
"Bocah jumawa!" dia mendamprat. Lantas dia meloloskan
ikat pinggangnya yang merah, terus dikibaskan, maka di
tengah udara seperti terlihat menyambarnya sinar bagaikan
bianglala, terus menyambar ke pinggang Tokciu Hongkay!
Kim Sie Ie mencoba menangkap ikat pinggang itu, yang
bekerja bagaikan joanpian, atau ruyung lunak, akan tetapi
lolos. Ikat pinggang itu licin sekali, sangat bagus digunainya,
maka kembali ujungnya menyambar, sekarang ke arah mata.
"Pantas siluman wanita ini bicara besar!" pikir Sie le.
Wanita itu ialah Siang Ceng Nio, adik dari Siang Bok Loo.
Dialah isterinya In Leng Cu, ketua dari partai Lengsan Pay.
Semasa di Tibet, suami isteri ini beberapa kali bertempur
dengan Tong Keng Thian, hingga pernah mereka dikalahkan
oleh Tong Keng Thian yang bekerja sama Pengcoan Thianlie,
hingga untuk banyak tahun mereka hidup menyembunyikan
diri. Siang Ceng Nio mempelajari Jiukang, atau ilmu lunak, dari
partai Biteong di Tibet, dia lebih kosen dari Siang Bok Loo,
kakaknya itu. Siang Bok Loo bersama Kunlun Sanjin pernah dikalahkan
Kim Sie Ie ketika mereka kedua pihak bentrok di kecamatan
Tong-peng propinsi Shoatang. Kemudian mereka mendapat
tahu Chong Leng Siangjin sudah mati, maka mereka
menduga, gambar rahasianya Chong Leng mesti jatuh di
tangannya Kim Sie Ie atau Kok Cie Hoa. Lantas mereka
memperhatikan gerak-geriknya dua orang itu, setelah mana
Siang Bok Loo minta adiknya, Siang Ceng Nio dan In Leng Cu,
membantu mereka. Di kaki gunung Laosan mereka pernah
memegat Cie Hoa, Siang Bok Loo berdua Kunlun Sanjin
menyerang nona itu. Syukur untuk Cie Hoa, ia ditolongi Phang
Lim, hingga mereka itu kabur dengan ketakutan.
Oleh karena jeri terhadap Phang Lim, tidak lagi mereka
berani menguntit dengan cara yang biasa, mereka berlaku
terlebih teliti. Baru paling belakang mereka melihat Kim Sie Ie
bersama Seng Lam pergi berlayar, maka besoknya mereka
lantas menyusul. Untuk itu, mereka merampas sebuah perahu.
Mereka tidak bisa memegang kemudi, mereka menampak
kesukaran, meski di dalam perahu itu ada dua anak bocahnya.
Mereka ini dipaksa mengeluarkan tenaga dan kepandaian
mereka, hingga mereka kewalahan, maka di hari ke tujuh,
kebetulan datang badai, mereka kabur dengan menggunai
papan. Dua hari dua malam perahu itu terumbang-ambing di laut,
hampir mereka menemui ajal mereka lantas mereka
ketolongan angin besar, yang mendampar perahu mereka ke
tepian, hingga perahu itu kandas dan rusak. Lantas mereka
mendarat. Segera mereka mendapatkan perahu Kim Sie le.
Tapi mereka mengharap mendapatkan perahu lain, untuk
merampas barang bekalannya berikut awak perahunya.
Sementara itu mereka mau mencari tahu keadaan pulau itu,
atau dengan kebetulan mereka bertemu Le Seng Lam. Tidak
berani nona ini melawan empat hantu itu, maka juga ia lari
sambil berteriak-teriak, sampai munculnya Kim Sie Ie.
Siang Ceng Nio percaya betul kepandaiannya, dialah yang
maju paling dulu. Tapi, begitu Sie Ie menggunai tongkatnya,
dia terperanjat segera dia terdesak. Ilmu ikat pinggangnya itu,
yang liehay, belum ia latih mahir.
In Leng Cu melihat gelagat jelek, ia mengeluarkan
sepasang poankoan pit dengan apa ia maju membantui
isterinya. Sie le menyambut dengan berseru, dengan menggunai tipu
silat "Guntur menggelar, kilat menyambar", hingga kedua
senjata beradu. In Leng Cu ingin menotok, siapa tahu,
sepasang pit-nya mental. Bagus ialah seorang guru besar,
masih bisa ia menyingkir dari tongkat si pengemis edan.
"Hm!" Sie Ie mengejek, terus tertawa berkakak. "Kiranya
ketua Lengsan Pay yang datang kemari! Benarlah, mendengar
tak sama dengan melihat, melihat lebih menang daripada
mendengar!"
Muka dan telinga In Leng Cu menjadi merah.
"Kim Sie Ie, jangan bertingkah!" dia berteriak. "Kau
sambutlah lagi!" Dengan memutar pit-nya, dia menerjang
pula, menotok ke jalan darah di kiri dan kanan tubuh lawan.
Ketika itu, Siang Ceng Nio, menyerang pula dengan ikat
pinggangnya, untuk melibat musuh yang dianggapnya jumawa
itu. Karena dia menyerang dari belakang, dia sekalian hendak
memegat jalan mundur lawan itu. Dalam hal mengepung
musuh ini, mereka telah mempunyai latihan yang baik.
Digencet dari depan dan belakang, Kim Sie Ie tidak maju
atau mundur, bahkan ia tertawa lebar dan berkata nyaring:
"Lihat. Ilmu silatnya si tua bangka dikeluarkan! Nah, kamu
juga lihat kepunyaanku!"
Tokciu Hongkay mengasih dengar suaranya sambil
menggeraki kedua tangannya. Dengan tongkatnya ia
menghalau ikat pinggang, berbareng sambil berkelit ke
samping In Leng Cu, ia membalas menyerang dengan tangan
kirinya, guna juga menotok jalan darah. Jikalau musuh
mencari tujuh jalan darahnya, ia mencari hanya lima, ialah ke
lima jalan darah ciangtay, bengmui, koankie, yangpek dan
wietiong. Itulah tipu silat menotok ajarannya Tokliong Cuncia
yang istimewa, yang dapat memecahkan ilmu tubuh kedot.
Gagallah serangannya Siang Ceng Nio sedang In Leng Cu
mesti lompat untuk menyingkir dari serangan pembalasan si
pengemis edan. Dengan begitu mereka sama-sama luput dari
bahaya. Setelah itu, Sie Ie memutar tubuh, guna menyerang
pula si wanita muka biru.
Siang Ceng Nio menjadi repot. Dengan ikat pinggangnya,
tidak dapat ia melibat tongkat lawan, bahkan sebaliknya, ia
yang kena dirangsang. Satu kali bisa juga ia melibat, ia girang
sekali, tapi celaka, ketika Sie Ie mengerahkan tenaganya, ikat
pinggang itu kutung, dan tongkat bebas.
In Leng Cu kaget melihat isterinya terancam bahaya.
"Apa benar Kim Sie le lebih liehay daripada Tong Keng
Thian?" pikirnya. Dulu hari di Tibet, bersama isterinya ia
menempur Keng Thian. Kalau satu lawan satu, ia kalah desak,
kalau dengan mengepung, mereka merasa bakal menang,
tetapi mereka toh dikalahkan Keng Thian dan Pengcoan
Thianlie. Sekarang, berdua mereka menempur Kim Sie Ie
merekalah yang kalah angin...
Ilmu silat Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie sebanding,
hanya dulu hari itu, Tong Keng Thian masih muda,
kepandaiannya belum mahir seperti sekarang, dari itu, repot ia
sendirian melayani In Leng Cu dan Siang Ceng Nio. Sekarang
lain, kalau umpama ia dikepung pula suami isteri itu, pasti ia
sanggup bertahan. Kim Sie Ie lain lagi, dia memperoleh
kemajuan pesat hingga ilmu lurus dan sesat ia berhasil
menggabungnya menjadi satu, sedang ilmu totoknya itu
dimalui In Leng Cu. Demikian ia menang unggul.
Bertempur lebih jauh, ikat pinggang Siang Ceng Nio
kembali kena dibikin kutung, hingga ikat pinggang itu menjadi
bertambah pendek. Sebenarnya Kim Sie Ie lagi menghadapi In
Leng Cu ketika ia diserang itu, ia menggunai tipu silat
"Ciethian watee" atau Menunjuk langit, menggaris bumi".
Ujung tongkat meluncur terus, mengarah dada si wanita tua,
hingga nyonya itu menjadi sangat terancam. Justeru itu
terdengar suara nyaring dari bentroknya senjata.
"Hahaha!" Kim Sie Ie tertawa. "Terima kasih untuk
hadiahmu uang emas! Sayang disini pulau kosong, emas ini
tidak dapat dipakai belanja!"
Apakah yang telah terjadi" Siang Bok Loo hendak
menolong saudaranya, untuk mencegah ujung tongkat Sie Ie
mengenai dada saudaranya itu, ia menyerang dengan dua
batang gelang emas, gelang mana tepat mengalungi ujung
tongkat. Dengan begitu, arah tongkat jadi mencong dan si
wanita muka biru ketolongan. Akan tetapi gelang diam terus
pada tongkat dan kena terampas sendirinya!
Selagi bergurau itu, Sie Ie diterjang pula oleh Siang Bok
Loo. "Tak tega kau menyerahkan gelang emasmu?" Tokciu
Hongkay mengejek.
Siang Bok Loo penasaran, ia mengajukan tangannya
dengan sepuluh jeriji tangan berikut kuku-kuku yang tajam.
Sie Ie alpa, hampir ia celaka, meski benar ia telah berkelit,
bajunya toh kena terobek. Ia menjadi kaget, maka, kecuali
tongkatnya itu, ia juga menghunus pedang pendeknya.
Samar-samar ia mendapat cium bau amis, dari itu ia
menduga, kukunya si nyonya mesti ada racunnya.
Siang Bok Loo benar penasaran, lagi sekali ia mendesak.
Sekarang Sie Ie dikepung bertiga.
"Kim Sie Ie!" Kunlun Sanjin membentak. "Apakah kau
masih tidak mau menyerah kalah" Ketahui, lain tahun pada
hari ini ialah hari ulang mampusmu satu tahun!" Lalu, dengan
menghunus pedangnya, dia maju mengeroyok.
Sebentar saja, ramai bunyinya senjata-senjata mereka,
yang sering bentrok satu pada lain.
Dikerubuti empat musuh, Kim Sie Ie mesti menggunai
benar-benar kedua senjatanya, tongkat di tangan kiri dan
pedang pendek di tangan kanan. Di pihak sana, poankoan pit
In Leng Cu bergerak-gerak bagaikan ular, selalu ujungnya
mencari jalan darah. Siang Ceng Nio tetap menggunai ikat
pinggangnya yang buntung itu. Kunlun Sanjin menggunai
pedangnya diiring tangan kirinya, yang pun senantiasa
mengarah jalan darah. Yang istimewa adalah Siang Bok Loo,
dia maju selalu dengan jambakan jeriji tangan yang kukukukunya
kuat. Maka selang tiga puluh jurus, kelihatan Tokciu
Hongkay mulai terdesak.
"Kim Sie Ie!" berkata pula Kunlun Sanjin, maksudnya
mengejek, "jikalau kau memikir untuk jiwamu diberi ampun,
lekas kau serahkan peta gambarnya Chong Leng Siangjin!"
Le Seng Lam jadi berkuatir sekali. Sekian lama ia berdiam
saja, baru sekarang ia memikir untuk memberikan
bantuannya. Justeru ia mau turun tangan, justeru ia dengar
Kim Sie Ie bersiul, terus dia tertawa bergelak-gelak dan
berkata nyaring: "Kasihan, kasihan'.... Kematian kamu lagi
mendatangi tetapi kamu tidak mendapat tahu!..."
Suaranya si pengemis edan ini lantas disusul suara sas-sus
atau sar-ser tak hentinya, datangnya dari arah rimba, dari
mana lantas terlihat munculnya banyak sekali ular, yang
semua menyelosor ke arah gelanggang pertempuran, lalu di
lain saat, gelanggang itu sudah kena dikurung!
Siang Bok Loo semua kaget dan ketakutan, tidak demikian
dengan Kim Sie Ie, yang telah berlompatan keluar kalangan,
melewati kurungan ular itu, ia terus menarik tangan Seng
Lam, untuk diajak mementahkan diri. Apa yang aneh, dimana
kaki Sie Ie tiba, semua ular pada menyelosor minggir!
"Hahaha!" Sie Ie tertawa. "Aku bilang semua ular ini
sahabatku, kau tidak percaya, sekarang kau tentu percaya
bukan?" Le Seng Lam menutup rapat matanya.
"Engko Sie Ie," katanya, "kalau sebentar mereka semua
mampus digigit ular, baru kau beritahu padaku agar aku
membuka mata dan melihatnya! Aku takut menonton orang
digigiti ular!..."
Kim Sie Ie bersiul dua kali, kembali ia tertawa.
"Ah, kiranya hatimu tidak buruk!" kata ia.
Siulan itu hebat akibatnya. Tadi semua ular cuma
mengurung, sekarang empat antaranya lantas bergerak.
Merekalah ular-ular yang besar, yang panjangnya kira-kira dua
tombak. Mereka menghampirkan ke empat hantu itu, untuk
masing-masing melilit setiap hantu.
Siang Bok Loo mencoba mempertahankan diri, ia
memegang leher ular, untuk dicekek dan dijauhkan, agar ia
tidak sampai tergigit. Perbuatan serupa dilakukan In Leng Cu,
Siang Ceng Nio dan Kunlun Sanjin. Karena dikurung rapat,
semenjak tadi mereka tidak dapat berlompat, untuk melarikan
diri. Untuk itu, tidak ada tempat buat mereka menaruh kaki.
Siang Bok Loo mempunyai kuku tajam dan tangan kuat, ia
mencakar luka leher binatang itu, tetapi ia tidak bisa
membinasakan-nya, bahkan sebaliknya, ia membuatnya sang
ular kesakitan dan menjadi gusar. Binatang itu mengulur
lidahnya, dia menjilati seluruh muka si nyonya. Sekarang tak
dapat lagi ia membela diri, saking takut, ia roboh pingsan!
Aneh adalah keempat ular itu, mereka melilit, mereka
mengancam, akan tetapi mereka tidak menggigit, mereka
cuma berontak tempo leher mereka dicekek. Tentu sekali
semua orang disitu tidak ketahui bahwa keempat ular itu ialah
ular piaraannya Kim Sie le, hingga mereka dapat diperintah
menangkap binatang liar. Dengan sempurna mereka telah
dididik, hingga mereka mengerti segala titah.
Sie Ie tertawa pula. "Mari kita lihat, sebenarnya siapa yang
bakal minta-minta ampun!" katanya.
Kecuali Siang Bok Loo, tiga hantu yang lainnya belum
roboh, mereka melainkan menanti kematian ketika mereka
mendengar suaranya Kim Sie Ie, mendadak lega hati mereka,
lantas hilanglah keeongkakan mereka.
"Kim Tayhiap, tolong, tolong!" mereka berseru. "Ampun!"
"Kamu dapat ampun kalau kamu mau dengar
perkataanku!" jawab Sie Ie.
"Jikalau kita diberi ampun, meski mesti mati, kita akan turut
titahmu!" ia mendapat jawaban. Sie Ie bersiul, dua kali
beruntun. Keempat ular besar itu lantas meloloskan lilitan
mereka, untuk kembali kepada bundaran kurungan.
Bagaikan kehabisan tenaga, ketiga hantu itu roboh terkulai,
begitupun Siang Bok Loo. Karena berkutat sekian lama, ratarata
mereka mendapat luka-luka di beberapa tempat akibat
sentuhannya dengan mulut ular yang bergigi tajam.
Le Seng Lam baru membuka matanya ketika rombongan
ular telah dibubarkan Kim Sie Ie. Ia tertawa.
"Benarlah, hatimu lebih murah daripada hatiku!" katanya.
"Aku cuma tak tega melihat mereka digigiti ular hingga mati.
Kau dapat mengampuni mereka..."
"Kita kekurangan bujang, kebetulan Thian
mengirimkannya," kata Sie Ie. "Dengan dikasih tinggal hidup,
mereka lebih berharga daripada kawanan binatang bertubuh
panjang dan licin itu..."
Kunlun Sanjin sudah lantas menolongi Siang Bok Loo,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga isteri itu sadar dan membuka matanya. Nyonya ini
melihat ke sekitarnya. Ketiga kawannya berdiam saja, dan Sie
Ie berdiri berendeng bersama Le Seng Lam.
Kim Sie Ie maju ke depan empat hantu itu.
"Aku menjadi orang baik hati, aku hendak berbuat baik
untuk seterusnya," ia berkata. "Sekarang aku hendak
mengobati kamu, setelah mana kamu boleh bersantap hingga
kenyang." "Mari aku yang menolong mengobati mereka," kata Seng
Lam. "Mari obatnya, kasih aku!"
Sie Ie hendak menanyakan sebabnya kenapa si nona mau
berbuat begitu, atau nona itu sudah mendahului: "Aku tidak
percaya mereka! Kalau kau yang mengobati lantas mendadak
mereka membokong kau, bukankah celaka" Aku tidak dapat
memerintahkan semua ular itu..."
Kunlun Sanjin tertawa.
"Kau terlalu bercuriga, nona," katanya.
Seng Lam tidak menyahuti, ia menyambuti obat dari tangan
Sie Ie, "Bagaimana cara pakainya?" ia tanya.
"Borehkan saja di tempat yang luka dan bengkak," sahut
Sie Ie. Seng Lam lantas bekerja, habis dia tertawa dan kata:
"Sejak sekarang ini kami tidak takut yang kamu tidak
mendengar kata-kata kami!-Baiklah, sekarang kau boleh
memberikan pesan dan titah kepada mereka!"
Kata-kata yang belakangan ini ditujukan kepada Kim Sie Ie.
Kunlun Sanjin dan In Leng Cu adalah orang-orang dengan
kedudukan sebagai guru besar, tentu sekali mereka tak sudi
menjadi budak-budaknya Kim Sie Ie, benar mereka bersikap
menurut, mendengar kata, akan tetapi sinar mata mereka
menunjuki nyata tak puasnya mereka, terang mereka sangat
mendongkol dan penasaran.
Seng Lam melirik mereka itu.
"Coba kamu raba punggung kamu, di antara tulang-tulang
ke tujuh dan ke delapan," katanya, dingin. "Setelah itu kamu
menyedot napas. Lihatlah bagaimana kesudahannya..."
Keempat hantu itu menurut. Di dekat jalan darah tiongkie
terasa sakit sedikit. Di waktu bernapas, napas mereka pun
tidak lancar. Kunlun Sanjin percaya tenaga dalamnya mahir, ia mencoba
mengerahkannya. Tapi ia gagal. Bahkan ia lantas merasa sakit
seperti ditusuk-tusuk jarum, hingga peluhnya keluar
mengucur. Dengan lekas ia melepaskan percobaannya.
Sebagai ahli-ahli, keempat orang itu insyaf bahwa mereka
telah dipermainkan si nona.
Memang selagi mengobati, diam-diam Seng Lam telah
menusuk punggung mereka itu. Ia menggunai ilmu totok yang
berpokok dasar ilmu enteng tubuh. Begitu enteng ia menusuk
hingga korban-korbannya tak merasa. Jarumnya itu kosong di
dalamnya, di dalam situ ada tersimpan racun, maka racun itu
terinjeksikan masuk ke dalam tubuh mereka berempat.
"Apakah kamu pernah mendengar nama racun Ngotok
San?" tanya si nona sambil tertawa. "Siapa terkena racun itu,
dia tidak segera merasakannya, hanya nanti setelah berselang
empat puluh sembilan hari, baru racun itu bekerja. Di itu
waktu, jikalau orang tidak mendapatkan obat pemunahnya,
dia bakal mati dengan tubuhnya rusak nowah. Bisalah
dimengerti siksaan karena itu, sebab orang melebihkan mati
dipagut ular berbisa. Dan obat untuk itu, melainkan aku yang
memilikinya. Maka itu, kamu dengarlah kata, nanti sampai
pada waktunya, aku menolong kamu dengan memberikan
obat itu."
In Leng Cu, yang luas pengetahuannya, kenal racun Ngotok
San itu. Ia pun percaya kata-kata si nona. Sebenarnya ia
sangat mendongkol tetapi ia paksakan diri tertawa.
"Aku tidak membenci kau, nona," ia kata. "Aku mengharap
pertolonganmu."
"Baiklah sekarang terserah kepada kamu, kamu dengar
kata atau tidak."
"Nona mau menitahkan apa" Titahkanlah!"
Seng Lam tertawa.
"Engko Sie le, merekalah budak-budakmu! Maukah kau
menyerahkan mereka padaku untuk aku yang menyuruhnyuruh?"
ia tanya kawannya.
"Kau lebih bisa mengurus mereka, baiklah aku serahkan
mereka padamu," kata Sie Ie. "Kau titahkanlah!"
Si nona mengangguk, ia bersenyum.
"Sekarang pergi kamu membikin betul perahu," kata ia,
yang mulai dengan perintahnya. "Semua barang yang berada
di atas perahu, barang makanan dan segala alatnya, kamu
angkut kemari. Kamu bekerja setelah kamu dahar."
Kunlun Sanjin berempat menurut, mereka lantas bekerja di
bawah penilikan si nona. Habis mengangkuti semua barang,
mereka masak nasi, setelah bersantap, baru mereka pergi
bekerja. Seng Lam membawa sekantung rangsum, bersama Sie Ie ia
pergi ke dalam rimba
Selagi pergi, Sie Ie pesan: "Kamu berempat kerjalah baikbaik.
Sebentar sore kamu boleh beristirahat di panggung di
dalam rimba itu. Kamulah budak-budakku, maka itu kamu
harus dengar kata. Sahabatku ini tidak nanti mengganggumu "
Empat hantu itu gusar sekali, hati mereka panas bukan
main, walaupun begitu, mereka menutup mulut. Mereka tidak
dapat berbuat apa-apa.
Selagi berjalan, Sie Ie kata pada Seng Lam: "Orang
Kangouw menyebut aku Tokciu Hongkay, si pengemis edan
yang bertangan beracun, akan tetapi apabila aku dipadu
dengan kau, aku mesti menyerah kalah!"
Si nona tidak gusar, dia tertawa malah.
"Aku bekerja untuk kebaikanmu!" katanya. "Bukankah kau
tidak dapat menyuruh ular-ularnya terus-terusan menjagai
mereka itu" Pula itu sangat memusingkan kepala. Semua ular
itu cuma mendengar perintahmu, bila kau tidak berada di
dekatnya, mana dapat dipastikan mereka dapat menjagai
terus" Ke empat hantu itu tidak dimusnahkan ilmu silatnya,
setelah perahu betul, bisakah mereka tidak melarikan diri" Aku
pernah memikir untuk memusnahkan kepandaian mereka,
tetapi setelah itu, mana dapat tenaga mereka dipakai" Kalau
tenaga mereka tidak dapat dipakai, apa perlunya kita dengan
mereka?" "Bagus, kau teliti dan memikir sempurna!" Sie le memuji.
"Jarum beracunmu itu pun lebih liehay daripada ularku. Aku
cuma merasa cara itu rada kejam..."
Seng Lam tertawa terkekeh.
"Benarkah itu" Kalau begitu, kau mesti berhati-hati! Kalau
pada suatu hari kau berlaku tak pantas padaku, mungkin
dengan diam-diam aku menusuk padamu! Dengan begituhaha!
-seumurmu, kau bakal menjadi budakku!"
Si nona bicara dengan riang gembira, Sie Ie sebaliknya
gentar hatinya, ia menggigil tanpa kedinginan. Memang hebat
nona ini. Seng Lam berhenti tertawa ia kata, sungguh-sungguh:
"Sayang kau beda daripada empat hantu itu. Menghadapi
mereka, kita boleh tak memperdulikan mereka setuju atau
tidak Menghadapi kau, lain. Jikalau kau tidak menyetujuinya,
apa enaknya untuk memaksa kau?"
"Hm!" Sie Ie memperdengarkan suaranya, tandanya ia
mendongkol sekali.
Seng Lam tertawa pula.
"Aku berguyon, eh!" katanya. "Jangan kau gusar!"
Serba salah Sie Ie. Gusar salah, berdiam salah. Ia pikir:
"Sebenarnya, semenjak ia mengobati aku, sendirinya aku telah
menjadi budaknya, aku sudah tak dapat lolos dari dia..."
Maka ia berdiam, hatinya masgul.
Malam itu Sie Ie dan Seng Lam tidur di tenda masingmasing.
Seng Lam telah mempunyai obat ular, ia tak usah
mengganggu Sie Ie lagi. Sie Ie sebaliknya, satu malam ia tidak
dapat tidur nyenyak. Bahkan mendekati fajar, ia dapat impian
buruk sekali. Ibaratnya Seng Lam telah menginjeksi
punggungnya, hingga ia mendusin dengan kaget. Segera ia
mendengar tertawanya si nona di luar tendanya, dan nona itu
terus menanya: "Kim Sie Ie, kau mimpi apa" Lekas, lekas
bangun!" Sie Ie mengucak-ucak mata. Untuk sejenak, hatinya masih
ber-debaran. Ketika ia menyingkap tendanya, ia tanya:
"Kenapa kau tahu aku mimpi?"
"Aku dengar kau berteriak-teriak dan menyebut-nyebut
namaku," sahut si nona. "Benarkah kau mimpi buruk dan
memanggil-manggil aku untuk menolongi-nya?"
"Justeru kaulah yang paling menakuti!" kata Sie Ie dalam
hati. Ia tidak mengutarakan itu, sebaliknya ia tanya: "Pagipagi
kau membanguni aku, ada apa?"
"Aku mau ajak kau melihat pekerjaan mereka itu," berkata
si nona. "Mereka sudah selesai atau belum."
"Kenapa kau kesusu begini?" tanya si pemuda.
"Jikalau mereka sudah selesai, kau dapat lantas
menitahkan mereka mengumpulkan asbes."
Sie Ie heran. "Ah, mengapa kau dapat menebak hatiku?" ia tanya.
"Apakah perlunya kau menaklukkan mereka?" si nona balik
menanya. "Bukankah kau hendak menitahkan mereka bekerja,
untuk mereka lekas-lekas menggali liang saluran, supaya air
laut masuk ke gunung berapi?"
"Benar." Sie Ie mengaku. "Ah, kau sangat cerdas!"
Tokliong Cuncia ingin memadamkan apinya gunung dengan
kekuatan air, dan menurut perkiraannya cukup tenaga satu
orang untuk menyalurkan air asal itu dilakukan tepat yaitu dua
atau tiga bulan sebelumnya perletusan. la percaya di saat itu
tanah atau batu gunung gampang digali, sebab mestinya
sudah mulai "longgar". Dan sekarang, Kim Sie Ie menduga,
gunung berapi bakal bekerja lagi satu tahun, dari itu karena ia
bekerja dengan beberapa orang, dapat ia memulainya dari
sekarang. Ia bukan ahli, begitupun Tokliong Cuncia, maka
keduanya tak pernah memahamkan terlebih jauh sifatnya
gunung berapi, hingga mereka tidak pernah memikir
kemungkinan ancaman malapetaka lainnya.
Ketika Sie Ie dan Seng Lam tiba di tepi laut, keempat hantu
tengah duduk berangin, begitu mereka itu melihat datangnya
si nona berdua, lekas-lekas mereka berbangkit, hormat sikap
mereka. "Kim Tayhiap, perahu telah selesai dibikin betul," kata satu
di antaranya, "sembarang waktu dapat kita berangkat."
"Coba kamu turun, nanti aku periksa," kata Sie Ie.
"Kim Tayhiap," berkata Kunlun Sanjin, "sekarang kami tidak
menginginkan lagi kitab ilmu silat, kami cuma mengharap kau
membawa kami menyingkir dari pulau ini."
Mereka berempat tidak mengerti ilmu mengemudikan
perahu di tengah laut, dari itu takut mereka nanti ditinggal
pergi, hingga mereka bakal dibiarkan berdiam terus di pulau
mencil itu. "Omonganku tetap satu, tidak dua!" kata Sie le tertawa.
"Asal kamu bersetia terhadapku, di saatnya kami berangkat,
tentu kamu akan diajak bersama!"
Lantas bersama Seng Lam, Sie le naik ke perahu dan
memeriksanya. Benarlah semua bocor telah ditambal.
"Kamu bekerja baik sekali!" Seng Lam puji keempat hantu
itu. "Pikiran mereka sama dengan pikiran kau!" kata Sie Ie
tertawa. "Kamu semua sangat menghendaki lekas-lekas
meninggalkan pulau ini, maka itu ketika kamu ditugaskan
memperbaiki perahu, kamu lantas bekerja dengan sungguhsungguh
hati!" Selesai memeriksa, keduanya turun dari perahu, untuk
menghampirkan Kunlun Sanjin berempat.
"Pekerjaan membetulkan kendaraan air ini kamu telah
lakukan dengan baik sekali," kata Sie Ie, yang pun memuji
mereka itu. "Sekarang masih ada beberapa pekerjaan lain,
apabila semua itu-pun sudah dapat diselesaikan, kita boleh
lantas berangkat berlayar!"
Keempat orang itu merasa kecewa mendengar halnya
mereka tidak akan segera berlayar pulang, mata mereka
menunjuk sinar menyesal berbareng penasaran. Walaupun
begitu, mereka tidak berani mengatakan sesuatu, untuk
menentang atau membantah.
"Hari ini bagus hawa udaranya," berkata Sie Ie kemudian.
"Nah, pergilah kamu mengumpulkan asbes."
Telah beberapa puluh tahun Tokliong Cuncia berdiam di
Coato, Pulau Ular, maka itu ia telah mendapatkan asbes, yang
ia tahu kefaedahannya. Ia hendak membuat pakaian guna
dipakai nanti. Kunlun Sanjin berempat menurut, mereka mengumpulkan
asbes, dari itu Sie Ie dapat menyuruh Seng Lam menenunnya
untuk dijadikan bahan pakaian. Ia juga mengajarkan si nona
berenang di telaga kecil.
Seng Lam tahu, perlu sekali ia pandai berenang, terutama
di laut, maka ia belajar dengan sungguh-sungguh, maka
selang beberapa hari ia sudah mulai dapat mandi dan belajar
berenang lebih jauh di pesisir.
Untuk beberapa hari, udara terus terang, lalu pada suatu
hari, hujan turun besar dan deras, hingga air telaga naik
tinggi. Ketika itu, asbes pun telah dapat dikumpul cukup
banyak. Maka Kim Sie Ie memberikan lain tugas kepada empat
"budaknya". Mereka dititahkan mulai menggali tanah, guna
membuat saluran, guna menyalurkan air keliang gunung
berapi. Yang dialirkan ialah air telaga.
Liang itu tak bertumbuhkan rumput, hawanya sangat
panas, maka itu hebat penderitaannya ke empat hantu,
sedang mereka itu datangnya dari Soatsan, gunung salju, di
Tibet. Beberapa kali mereka berniat mogok saja dan ingin
menentang titahnya Sie le, akan tetapi kapan mereka ingat
ancaman bahaya ular-ular berbisa, terpaksa mereka menutup
mulut. Mereka juga menjerikan bekerjanya racun di punggung
mereka... Siang Bok Loo dan Siang Ceng Nio kepanasan sampai
beberapa kali mereka roboh pingsan. Untuk menolongnya, Sie
Ie mencarikan daun obat-obatan yang dapat melenyapkan
rasa panas, ia memasaknya dan menyuruh mereka minum itu.
Kemudian ia pun bekerja sama, membantui mereka memacul.
Dengan begitu ia membuatnya mereka tidak terlalu penasaran


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Sie Ie tahu orang sangat tidak senang dan sangat
membenci padanya, akan tetapi saking terpaksa, supaya
saluran dapat cepat dirampungkan, ia membiarkan mereka
bekerja terus. Sambil menemani bekerja, Sie Ie selalu
memasang mata. Ia kuatir amarah mereka nanti meledak
seperti gunung berapi...
Lewat lagi beberapa hari, saluran yang digali itu sampailah
sudah di mulut liang gunung berapi, maka itu air lantas
mengalir masuk ke dalam liang, menyapu bangkai-bangkai
ular yang berserakan di sepanjang jalan yang dilewati.
Sie Ie telah bersiap siang-siang ialah ia sudah menyediakan
sejumlah bunga moahong untuk melawan bau busuk dan bau
bacin dari bangkai ular, dari itu ia memberikan masing-masing
dua tangkai kepada mereka berempat, walaupun begitu, dua
kali Siang Ceng Nio masih muntah-muntah. Itu pun suatu
sebab lain yang membuatnya ke empat hantu bertambah
membenci pada si pengemis edan, si majikan...
Supaya air dapat mengalir banyak, Kim Sie Ie menitahkan
Kunlun Sanjin memacul lebar mulut gua, supaya sinar
matahari dapat masuk ke dalamnya. Maka itu, liang yang
tadinya gelap lantas berwarna terang merah. Sebaliknya,
hawa panas dari dalam menyedak keluar makin keras, hingga
sukar untuk bertahannya.
Sudah setengah bulan keempat hantu berdiam di atas
pulau dan telah lima hari mereka menggali tanah, meski
mereka dapat dibilang sudah biasa lagi dengan hawa panas
itu, kali ini mereka toh merasakannya hebat sekali.
"Kamu pakailah pakaian ini," kata Kim Sie Ie kemudian. Ia
memberikan pakaian asbes buatannya Seng Lam, hingga
mereka menutup semua tubuh mereka kecuali kedua matanya
masingmasing. Mereka juga diberi makan obat guna melawan
racun. "Sekarang masuklah kamu ke dalam," akhirnya Sie le
menitahkan. Ia menghendaki mereka membuat jalan
terowougan di tembok gunung...
In Leng Cu menjadi sangat gusar hingga ia melemparkan
paculnya. "Kim Sie Ie, kau panggillah semua ular beracunmu!" ia kata
nyaring dan dingin. Ia agaknya nekad.
"Apa kau mau?" tanya Sie Ie.
"Biar bagaimana, aku tetap seorang guru besar!" kata
imam itu. "Mana dapat aku diinjak-injak begini rupa olehmu!"
Kunlun Sanjin bertiga juga mengawasi si pengemis dengan
bengis. Rupanya bakal meledaklah mereka...
Sie Ie memandang mereka itu dengan sikap tak berubah.
"Aku menitahkan kamu bekerja begini juga untuk kebaikan
kita bersama!" katanya tawar. "Rupanya kamu masih belum
tahu! Di dasarnya pulau Coato ini ada gunung berapinya!"
Keempat hantu itu terkejut.
"Apa?" berteriak Kunlun Sanjin dengan pertanyaannya.
"Gunung berapi?"
"Tidak salah!" sahut Sie Ie. "Dan mulutnya gunung berapi
itu ialah liang yang kita salurkan air telaga. Maka itu aku
hendak membuka satu jalanan agar hawanya gunung dapat
disalurkankan keluar, supaya hembusan apinya tak keras
sebagaimana layaknya. Kalau hawanya keluar dan apinya
tersiram air, mungkin tak bakal ada bahaya lagi... Maukah
kamu gunung meledak supaya kamu semua menjadi abu?"
Keempat hantu melengak, mereka saling memandang,
terus mengawasi ke mulut liang dimana hawa panas
menghembus naik. Tembok gunung disitu telah berubah
menjadi merah seperti arang batu terbakar. Tidak dapat
mereka tidak percaya si pengemis edan.
"Jikalau begini, mengapa kau tidak mau lekas-lekas
menyingkir dari sini?" kemudian Kunlun Sanjin tanya.
"Karena aku hendak menghindarkan malapetaka!" sahut Sie
Ie keras. "Aku juga akan masuk bersama, buat bekerja sama
dengan kamu! Jikalau mesti mati mari kita mati bersama!"
Keempat hantu itu kembali saling mengawasi.
"Meski gunung ini sangat menakuti," kata pula Sie Ie, "kita
bukannya tak berdaya untuk menentangnya. Bukankah kamu
dapat menahan napas selama setengah jam" Tanpa menyedot
hawa panas, tubuh kita menjadi terlebih kuat. Setiap setengah
jam kita keluar untuk bernapas dan beristirahat. Jikalau kita
berhasil maka kamu pun turut berbuat banyak untuk orang
banyak." Masih keempat hantu itu saling memandang, semua
membungkam. Cuma air muka mereka tak seguram tadi,
suatu tanda mereka telah berpikir dan telah mulai menjadi
sedikit tenang.
"Jikalau kamu tidak sudi bekerja, aku juga tidak akan
memaksa kamu," Sie Ie berkata pula selang sejenak. "Hanya
baiklah kamu menginsyafi, ular-ular berbisa di pulau ini
tentulah tidak tahu hal memberi ampun kepada kamu..."
"Dan kau juga jangan mengharap mendapatkan obat
pemunah-ku." Seng Lam turut bicara. Sampai sebegitu jauh, ia
berdiam saja. Kunlun Sanjin berpikir. Sekarang mereka mau percaya,
paling juga mereka tersiksa hawa panas tetapi tidak akan
sampai hilang jiwa. Kalau mereka menolak, mereka bakal
dikepung ular-ular berbisa. Mana dapat mereka
mempertahankan diri"
Tidak lama mereka berpikir, lantas Kunlun Sanjin mulai
menjemput paculnya, maka ia lantas ditiru oleh ketiga
kawannya. Kim Sie Ie pun lantas bertindak, untuk mulai bekerja, guna
memberi contoh dan bukti bahwa ia tidak membiarkan mereka
itu bekerja sendiri.
Beberapa hari orang bekerja membuka terowongan, maka
dapatlah mereka hasil sepanjang enam atau tujuh tombak.
Usaha mereka itu membikin air laut pun mulai meresap
masuk. Hebat pekerjaan itu, bukan main penderitaannya, meski
benar mereka mengenakan pakaian asbes dan telah makan
obat pelawan hawa panas. Kulit mereka menjadi pada hitam
legam seperti terbakar hangus. Maka berulangkah mereka
menanya, sampai kapan pekerjaan itu baru selesai.
Si Ie tidak dapat menjelaskan, ia kata tunggu saja sampai
air laut sudah dapat mengalir dengan sempurna...
Bukan main gelisahnya ke empat hantu itu. Itu artinya tak
ada batas waktu. Mereka melihat batu tebal-tebal dan
panjangnya tempat yang digali mungkin seribu lebih tombak.
Akhirnya diam-diam mereka bersepakat untuk mencoba
bekerja lagi tiga hari, andaikata tetap air laut tak tersalurkan,
baiklah mereka kepung Kim Sie le...
Itu hari mendekat tengah hari, orang keluar untuk
beristirahat di luar gua. Mereka membasahkan tenggorokan
dengan air telaga yang mereka telah salurkan. Mereka
beristirahat sambil menantikan datangnya Le Seng Lam, yang
sedang menanak nasi untuk mereka bersantap. Mereka sudah
menantikan dengan tak sabaran ketika mereka melihat si nona
lari mendatangi, romannya tergesa-gesa, sedang tangannya
kosong tanpa membawa apa-apa.
Kim Sie le segera menegur: "Ada apakah?"
"Disana ada datang sebuah perahu!" sahut Seng Lam.
Baru si nona menyahut, atau mereka semua mendengar
siulan yang nyaring, yang membuat rimba bagaikan tergetar.
Kim Sie Ie terperanjat, tanpa ayal lagi ia mengasih dengar
suaranya, untuk memanggil berkumpul semua ularnya. Ia
tahu orang mahir sekali tenaga dalamnya, melebihkan ia,
karena ia belum tahu orang kawan atau lawan, ia hendak
bersiaga terlebih dahulu.
Siulan dahsyat itu berbunyi terus, makin lama terdengarnya
makin dekat. Itulah tanda si penghuni perahu lagi
mendatangi. Atau di lain saat mereka melihat munculnya dua
orang. Lantas semua menjadi heran, dan Kim Sie Ie bersama
Seng Lam kaget sekali. Itulah Beng Sin Thong bersama Biat
Hoa Hwesio. Yang mengherankan Sie le, ular yang ia panggil tak ada
yang mengikuti atau mengejar kedua orang itu!
Beng Sin Thong sangat cerdik, ia menyusul begitu lekas
mengetahui Sie Ie dan Seng Lam berlayar. Mereka cuma
menanti dua hari untuk mendapatkan kendaraan air. Mereka
merampas perahu orang. Sin Thong bisa mengemudikan
perahu tetapi tak kenal jalanan, sudah ketinggalan dua hari,
sering dia berputaran. Begitulah ketika Sie le sudah hampir
satu bulan berada di Coato, baru ia tiba di pulau itu. Ia
mulanya melihat asap mengepul. Itu tandanya pulau itu ada
penghuninya. Lantas ia menuju ke tepian. Seng Lam tidak
menyangka apa-apa, ia mendapat tahu sesudah Sin Thong
berdua Biat Hoa menyembunyikan diri di dalam rimba.
Beng Sin Thong dan Biat Hoa heran menemui
rombongannya Sie le itu. Sin Thong tidak lantas mengenali si
pengemis, yang mukanya telah menjadi hitam. Sebaliknya In
Leng Cu lantas menyapa: "Hai, Lao Beng!"
"Oh, In Leng Cu!" seru Sin Thong, yang mengenali suara
orang, hingga ia lantas mengenali juga orangnya. "Ha!
Mengapa kamu berada disini?"
Kuat ingatannya Sin Thong. Pada dua puluh tahun ia
pernah pergi ke Tibet, untuk mencari ilmu silat "Biteong" ialah
ilmu silat kaum Lama Merah. Sebab Siulo Imsat Kang
datangnya dari India dan yang membawa masuknya yaitu
kaum Lama Merah itu. Ia ingin ketahui apa ada Lama yang
mengetahui ilmu silat itu. Hasil penyelidikannya itu
membuatnya berhati lega. Tidak ada Lama yang mengetahui
Siulo Imsat Kang. Selama itu juga ia telah berkenalan dengan
In Leng Cu. Matanya Sin Thong sangat tajam. Segera ia melihat Seng
Lam, yang bersembunyi di belakang Kim Sie Ie. Nona itu
memang tidak mengumpatkan diri. Lebih jauh, ia pun lantas
mengenali Tokciu Hongkay, yang sengaja berdiam saja. Ia
lantas tertawa lebar.
"Sungguh kebetulan aku mendapatkan kamu disini!" kata
jago tua itu. "Lihat, Kim Sie Ie, lihat, di pulau ini kemana kau
hendak menyingkirkan dirimu?"
Mendengar itu, In Leng Cu lantas dapat menduga bahwa di
antara Beng Sin Thong dan Kim Sie Ie ada permusuhan. Ia
jadi berpikir keras, begitupun ketiga kawannya; tak dapat
mereka pikir sikap apa mereka harus ambil. Dengan Sin Thong
bermusuh dengan Sie le, dapat mereka mengambil pihaknya
Sin Thong itu. Cuma mereka terluka di dalam tubuh...
"In Leng Cu, bagaimana dengan kamu ?" Beng Sin Thong
tanya. Ia tidak menantikan jawabannya Sie Ie. "Kenapa kamu
ada bersama Kim Sie le" Apakah kamu tidak tahu dialah
musuh" Dialah yang membunuh Chong Leng Siangjin!"
Matanya In Leng Cu terbuka lebar. Ia tetap bersangsi.
Lebih banyak ia membenci Sie Ie. Akan tetapi, kapan ia
berpaling kepada si pengemis edan, ia mendapatkan orang
tenang-tenang saja.
Baru setelah itu, Sie Ie kata, dingin: "Bangsat tua she
Beng, kau benar! Memang ini pulau mencil sendirian! Meski
begitu, aku kuatir kaulah yang bakal tak dapat menyingkirkan
dirimu!..."
Ketika itu dari dalam rimba segera terdengar suara berbisik
sas-sus. Lantas terlihat empat ular yang mengepalai belasan
ular lainnya yang panjang-panjang. Hanya aneh tubuh ular itu
menggigil dan agaknya semua jeri.
Sie le heran, terutama atas datangnya yang terlambat dari
semua ular itu. Itulah tidak biasanya. Juga yang datang
demikian sedikit. Mungkinkah titahnya telah tak ditaati lagi"
Yang melegakan juga sedikit ialah semua ular ini ular-ular
paling berbisa. Ia percaya, biarnya Sin Thong gagah, kalau dia
dikepung semua ularnya ini, paling celakanya kedua pihak
terbinasa bersama...
Melihat kawanan ular itu, Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Kim Sie Ie, jangan kau mengandali semua ularmu ini!"
kata dia. "Apakah kau tidak takut mendapat malu" Baiklah kau
ketahui bahwa aku, Beng Sin Thong aku mempunyai
kepandaian menaklukkan naga dan harimau! Apakah kau kira
aku takut pada ularmu ini" Hm!"
Sie Ie mau menyangka orang omong besar, akan tetapi
waktu ia mengasih dengar isyaratnya, ia menjadi heran.
Semua ularnya, tak terkecuali yang empat, agaknya takut
pada Beng Sin Thong. Benar ular itu pada maju tetapi sejarak
empat atau lima tombak mereka diam mendekam, tak ada
yang berani maju lebih jauh, cuma kepalanya diangkat,
bunyinya diperdengarkan.
Habis tertawa, Beng Sin Thong membentak. "Binatang, kau
cari mampus?" Lalu tangannya diayun, dipakai menyerang ke
arah semua ular itu. Ia menyerang tanpa maju
menghampirkan. Belasan ular itu pada merengkat.
Sin Thong mengulangi serangannya, karena mana,
walaupun hawa udara panas, orang lantas merasa dingin.
Empat ekor ular yang besar sudah lompat lari ke dalam rimba,
dan yang belasan tetap mendekam saja, tubuhnya kedinginan.
Kembali Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Kim Sie Ie," katanya menantang, "kau masih mempunyai
kepandaian apa lagi" Lekas keluarkan! Atau kau terimalah
mampusmu!"
Selagi Sie le belum sempat menjawab, mendadak Le Seng
Lam berseru kepada Kunlun Sanjin berempat: "Kamu usirlah
dua orang ini dari pulau Coato! Aku akan lantas memberi obat
pada kamu!"
Sie Ie heran, ia tercengang: Tapi segera ia insyaf. Ia pun
berseru: "Usirlah mereka berdua! Akan aku ajak kamu
berlayar!"
In Leng Cu berempat saling mengawasi.
"Baik!" berseru Kunlun Sanjin. "Satu laki-laki, satu kali katakatanya
keluar..."
Kim Sie Ie segera menyambut: "Pasti empat ekor kuda tak
dapat mengejarnya!"
Kunlun Sanjin menghunus pedangnya, perbuatan mana
segera ditiru ketiga kawannya. Maka itu Beng Sin Thong dan
Biat Hoa Hwesio lantas dikurung mereka itu.
"Sahabat baik, mengapa kau membantui orang luar?"
membentak Beng Sin Thong.
Kim Sie Ie tertawa panjang, dengan tongkatnya ia
menghajar. Sin Thong menangkis dengan tangan kosong, membikin


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat mental. Justeru itu, ia merasakan angin menyambar di
belakang kepalanya.
Itulah Siang Bok Loo, yang menyerang dengan sepuluh jari
tangannya dibuka, untuk menyengkeram.
Menyambut bokongan itu, Sin Thong mengibas ke
belakang, atas mana, Siang Bok Loo roboh berjumpalitan,
meski demikian, ujung tangan baju jago tua she Beng itu kena
juga tersambar robek!
Ketika itu Kim Sie Ie maju merangsak. Ia telah mencabut
tongkatnya, maka sekarang ia berge-gaman, tongkat di kiri,
pedang di kanan, dengan kedua senjatanya itu, ia menyerang
hebat. Beng Sin Thong lebih gagah seurat daripada Kim Sie Ie
tetapi toh dia menjadi repot, lantaran Siang Bok Loo maju
pula, mengepung padanya. Sebenarnya dia berniat meminta
penjelasan dari In Leng Cu tetapi sudah tak sempat lagi.
Disana Kunlun Sanjin, dengan menggunai pedangnya,
menempur Biat Hoa Hwesio. Ketika pedang membentur
sianthung, tongkat si hwesio, terdengarlah suaranya yang
nyaring dan terlihat lelatu api muncrat. Biat Hoa menang
tenaga dalam, dia mundur dengan terhuyung setindak,
sebaliknya lawannya sempoyongan beberapa tindak.
In Leng Cu tidak mempunyai niat memusuhkan Beng Sin
Thong, ia lantas maju pada Biat Hoa Hwesio, untuk menotok
pundak kiri si pendeta. Cepat sekali ia mainkan sepasang
poankoan pit, senjatanya mirip alat tulis, yang diperantikan
menotok jalan darah. Sebagai ciangbunjin, ketua ahli waris
sebuah partai, ilmu totoknya ialah ilmu istimewa sendiri.
Biat Hoa terkejut menghadapi lawan imam ini, dengan
lekas ia memutar tongkatnya, guna melawan sambil
mengutamakan pembelaan diri. Ia tidak sudi kasih dirinya
kena ditotok. Kunlun Sanjin, setelah beristirahat sebentar, maju pula. Ia
menggunai pedangnya dan tangan kirinya yang tak
bersenjata. Karena tadi ia kena dibikin terhuyung-huyung,
sekarang ia mengerahkan seluruh tenaganya.
Biat Hoa tetap membikin pembelaan, rangsakannya Kunlun
Sanjin membuatnya terpaksa main mundur. Ia tetap berjagajaga
dari totokannya In Leng Cu. Beng Sin Thong telah melirik
Siang Ceng Nio, mendadak dia berseru, dengan kedua
tangannya dia menyerang kepada musuh yang tenaga
dalamnya lebih lemah ini.
Siang Ceng Nio terkejut, ia lompat berkelit. Sebenarnya ia
mempunyai ilmu ringan tubuh yang sempurna akan tetapi
ujung bajunya, yang terbuat dari sutera merah, kena juga
terobek, hingga dia kaget dan menjerit. Syukur untuknya,
selagi ia berkelit itu, Kim Sie Ie menyerang Sin Thong, hingga
dia ini tidak mendesak terus terhadapnya.
In Leng Cu melihat isterinya menghadapi bahaya, ia
meninggalkan Biat Hoa Hwesio, guna membantu isterinya itu.
Inilah yang dikehendaki Beng Sin Thong.
Ketika itu dengan jurus Kim-kong Hokhouw, atau Arhat
Menak-luki Harimau, Kim Sie Ie menyerang Sin Thong dengan
tongkatnya, menyerang ke bawah. Sedangkan In Leng Cu,
dengan sepasang pit-nya, menotok ke dada, mencari jalan
darah. Serangan ini cuma untuk mencegah orang membikin
celaka isterinya, yang ia ingin lindungi, meski demikian, ia
telah mengerahkan tenaganya.
Dikepung dua musuh yang tangguh itu, Beng Sin Thong
berseru keras, kedua tangannya bekerja secara hebat. Segera
juga kedua pilnya In Leng Cu tersampok mental, sedang
tongkat Sie Ie kena tersampok miring. Kedua senjata itu telah
memperdengarkan suara nyaring. Berbareng dengan itu, Sin
Thong lompat mundur satu tindak.
"In Leng Cu!" ia menegur, "kau memusuhkan aku, maka
janganlah kau persalahkan aku jikalau aku tidak sungkansungkan
lagi terhadapmu!"
"Beng Sianseng!" berkata In Leng Cu cepat, "aku cuma
meminta kau meninggalkan pulau ini, supaya persahabatan
kita tidak sampai terganggu. Aku... aku..."
Ia sebenarnya mau menyebutkan: "Aku terpaksa," akan
tetapi karena malang adanya Sie Ie disitu, batal ia berkata
terlebih jauh meski kata-katanya itu sudah sampai di
bibirnya... Justeru itu Beng Sin Thong sudah mengerahkan tenaganya,
sambil berseru, dia menyerang dengan Siulo Imsat Kang,
hingga hawa yang dingin sekali sudah lantas menyambarmenolak
dengan keras! Kunlun Sanjin berdiri berendeng dengan In Leng Cu,
bersama-sama mereka mempertahankan diri. Kim Sie Ie
sebaliknya, dengan lantas dia meludah terhadap musuhnya
itu: "Fui!" Dan melesatlah reaknya!
Beng Sin Thong telah pernah merasai jarum beracun dari
Tokciu Hongkay, dia mengetahui Iiehay-nya itu, dengan lekas
dia berkelit seraya menyampok dengan tangan kirinya,
membuat ludah atau jarum itu mental ke samping.
In Leng Cu bersama Kunlun Sanjin terus bertahan, benar
mereka dibantu Kim Sie le akan tetapi mereka merasai tubuh
mereka dingin sekali, hingga mereka menggigil-
Kim Sie Ie tertawa dan berkata: "Sekarang aku tengah
kepanasan, kebetulan ada angin dingin ini! Aku menghaturkan
banyak-banyak terima kasih kepadamu!"
Beng Sin Thong merasa dirinya diejek, dia menjadi gusar
sekali. Dia memutar tubuhnya, untuk menghadapi langsung si
pengemis edan, sembari memutar tubuh itu, dia menyerang.
Kim Sie Ie sudah siap sedia, dengan menotok tanah dengan
tongkatnya, tubuhnya berjumpalitan tinggi dan jauh, untuk
menyingkir dari serangan Siulo Imsat Kang itu. Indah cara
jumpalitannya itu.
Justeru itu terdengar suara keras, lantas terlihat
terpentalnya tubuh dari Siang Bok Loo. Ia ini membokong
Beng Sin Thong selagi Beng Sin Thong menyerang Sie Ie,
akan tetapi Sin Thong mengetahui itu, dia terus menyampok
ke belakang, tepat sekali, maka tidak ampun lagi, Siang Bok
Loo kena dibikin terpental.
Menyaksikan demikian liehay-nya Siulo Imsat Kang dari
Beng Sin Thong, semua orang merasa jeri, sebaliknya adalah
Le Seng Lam. Nona ini sudah lantas berkata dengan nyaring:
"Perlu apa takut terhadapnya" Kepandaiannya Siulo Imsat
Kang itu kepandaian boleh mencuri dari keluargaku, jikalau
orang terlukakan pukulannya itu, dapat aku mengobatinya!"
Kim Sie Ie juga menimpali berseru: "Siulo Imsat Kang
paling meminta pengerahan tenaga, lihat saja, berapa lama
dia dapat bertahan" Asal kita tidak kasih diri kita kena terhajar
pukulannya, tuan-tuan dapat melayani terus kepadanya!"
Suaranya Kim Sie Ie ini memberi pengaruh besar, dengan
lantas orang mengambil masing-masing tempatnya, guna
mengurung jago tua itu, sedang Kim Sie Ie sendiri mengambil
kedudukan di tengah, guna membantu ke segala penjuru.
Dengan begitu, Beng Sin Thong berdua Biat Hoa Hwesio kena
dikurung dalam jarak tiga tombak sekitarnya.
Sin Thong tidak berani sembarangan menyerang meskipun
ia tahu, kecuali Kim Sie Ie, semua musuh lainnya dapat ia
robohkan asal ia berhasil menyerang tepat kepada mereka itu.
Pernah ia mencoba menyerang bergantian ke segala penjuru,
guna menoblos kurungan tetapi ia tidak mendapatkan hasil.
Setiap diserang, orang yang diserang itu lekas berkelit,
sebaliknya yang lain, mereka merangsak.
Sesudah berkelahi sekian lama cara begitu, yang untuknya
tidak ada untungnya, Beng Sin Thong menjadi berdebaran
hatinya. Dia memikir: "Inilah berbahaya! Dengan berkelahi
begini macam lama-lama, mungkin sekali aku akan kehabisan
tenagaku sendiri..."
"Lao Beng!" In Leng Cu berkata, "kau baiklah mengaku
kalah saja! Mengapa kau memaksa hendak mempersulit kita di
pulau ini?"
Beng Sin Thong memikirkan kata-kata orang ini. Bukankah
ia tidak berhasil merebut kemenangan dengan kekerasan,
seperti semula ia pikir" Mesti ia menggunai kecerdikannya.
Bukankah agaknya In Leng Cu tidak mengandung permusuhan
terhadapnya" Mungkin demikian juga pikirannya yang lainTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lain. Ia tidak usah mengasah otak lama-lama, atau segera ia
mendapat akal. "Apakah kamu semua telah terkena jarum Ngotok Ciam dari
si perempuan siluman?" ia menatapnya dengan tajam, guna
mengawasi perubahan air muka orang. "Jangan kamu takut!
Aku dapat menyembuhkannya!"
Kata-kata itu mempengaruhkan keempat pengepung,
mereka nampak sangsi, hingga dengan demikian,
pengepungan mereka menjadi lunak sendirinya.
Le Seng Lam kaget, dia lantas berteriak: "Jangan percaya
ocehannya! Di kolong langit ini tidak ada orang yang dapat
menyembuhkan keracunan Ngotok Ciam!"
Beng Sin Thong tertawa ber-gelak.
"Kau sudah lupa!" katanya, menggunai terus siasatnya
perang dingin. "Dari kitab-kitab yang aku ambil dari rumahmu
itu justeru ada sebuah yang memuat resep untuk mengobati
dan menyembuhkan keracunan jarum Ngotok Ciam itu!
Bukankah racun Ngotok Ciam kau dapat membuat tubuh
orang nowa dalam waktu empat puluh sembilan hari hingga
orang lantas terbinasa kerenanya?"
"Hm!" Seng Lam menyambut.
Nona ini mau berkata-kata tetapi Sin Thong dului ia.
"Kamu takut apa?" kata jago ini kepada musuh-musuhnya.
"Apakah kamu jeri untuk ular beracun dari Kim Sie Ie" Apakah
kamu takut tidak ada perahu untuk kamu berlayar pulang"
Mari kamu turut aku si Beng Tua! Apa pun kamu tak usah
takuti! Kecewa kamu menjadi guru-guru besar suatu partai
persilatan, kamu telah dipermainkan dua bocah cilik! Apakah
kamu tidak malu" Mari, mari kita bikin mampus bocah ini! Aku
si Beng Tua, suka aku bersama kamu pergi mengambil kitab
ilmu silat warisan Kiauw Pak Beng itu!"
Hebat kata-katanya Beng Sin Thong ini. Dia telah
menggedor hati orang. Bukankah mereka telah
menyaksikannya bagaimana si orang tua she Beng telah
membikin tak berdaya ular beracun dari Sie le" Dan sekarang
mereka mau dito-longi Sin Thong untuk mengobati dan
memunahkan keracunan jarum Ngotok Ciam...
In Leng Cu lantas berseru dialah yang mulai berlompat
menyerang Kim Sie Ie!
Tokciu Hongkay segera melintangkan pedangnya.
"Tahan!" ia berseru. "Dengar dulu perkataanku..."
Tapi Kunlun Sanjin pun telah maju dengan pedangnya
sambil dia menegur nyaring: "Kemana perginya
keangkaranmu" Siapa kesudian mendengar ocehanmu?"
In Leng Cu juga tidak memperdulikan, dia maju pula,
sembari berseru: "Kau telah menghina kami, itu sudah cukup!
Hari ini kau mesti mampus dengan tak ada tempat untuk
memendam tubuhmu!"
Segera serangan meluruk.
Kim Sie Ie tidak berdaya, terpaksa ia mesti menangkis,
untuk membuat perlawanan. Beberapa kali ia mesti lompat
berjumpalitan, untuk menyingkir dari serangan berbahaya.
Suara bentrokannya senjata-senjata berisik sekali.
Kunlun Sangjin maju terus. Suasana telah berubah
sekarang. Kawan-kawan telah menjadi lawan. Dengan
pedangnya, Sanjin menyerang saling susul hingga tujuh atau
delapan kali, sebab selama itu Sie le melainkan menangkis
atau menghindarkan diri. Dengan tongkat besinya, Sie Ie
membela diri, atau mendadak ia berlompat jauh, memisah diri
dari Kunlun Sanjin hingga beberapa tombak.
In Leng Cu suami isteri memburu.
Kim Sie Ie berjumpalitan lagi, untuk menjauhkan diri, tapi
sekarang ia lantas menunjuk ke arah gua untuk berkata:
"Tidak apa kamu membinasakan aku, tetapi kalau nanti
gunung berapi meledak, maka banyaklah korban yang akan
jatuh! Tidak nanti kamu dapat lolos dari malapetaka itu!"
In Leng Cu tertawa dingin, dia berkata: "Setelah kami
membinasakanmu, kami segera naik perahu untuk berlalu dari
sini! Jikalau benar gunung berapi meletus maka kami sudah
berada jauh di tengah laut!"
"Apakah benar kamu tidak memikirkan lagi jiwanya
penduduk pesisir?" Sie Ie tanya.
Sia-sia Sie Ie mengharap dapat mengingat orang untuk
berlaku murah hati, pertanyaannya itu tidak diambil perduli.
Maka ia lantas lari ke arah gua itu. Ia mengandalkan
perkenalannya dengan gua, ia percaya ia bisa masuk ke
dalam. Setibanya di dalam, tak usah ia berkuatir lagi.
Ketika itu Sie Ie masih terpisah dengan mulut gua sekira
empat tombak. Biat Hoa Hwesio liehay sekali, mendadak dia berlompat
maju, dengan tongkatnya, dia lantas menyerang Sie Ie.
Dengan terpaksa Kim Sie Ie menangkis.
Kedua senjata beradu, bentrokan berimbang karena tenaga
mereka pun bersamaan. Justeru terdengar suara nyaring dan
lelatu api muncrat, mendadak terdengar suara lain, dari
terpental robohnya dua-dua Sie Ie dan Biat Hoa. Karena itu,
Sie Ie jadi datang lebih dekat dengan mulut gua.
Tiba-tiba terdengar gelak tertawa Beng Sin Thong, sebab
dialah yang telah berlompat maju dan datang di sama tengah
di antara Sie Ie dan Biat Hoa dan tenaganya yang besar
memisah mereka, keduanya terpelanting jatuh. Dia tahu baik,
percuma Kim Sie le dikepung Biat Hoa dan yang lainnya,
Tokciu Hongkay tidak bakal terkalahkan, maka ia maju. Ia
sendiri malu untuk mengepung si pengemis edan, sebab dia
merasa dialah seorang guru besar!
Biat Hoa Hwesio berlompat bangun, dia penasaran, maka
dia maju pula, tangannya menuding ketika dia menegur:
"Mana dia keangkaran kau selama di gunung Binsan" Apakah
sekarang kau tidak mau lekas berlutut dan mengangguk
kepadaku?"
Justeru itu, dari dalam gua menghembus keluar hawa
panas. Sie Ie mengenakan baju asbes, ia tidak kurang suatu
apa. Celaka Biat Hoa, yang bajunya terus terbakar, hingga dia
kaget, maka lekas-lekas dia menjatuhkan diri, untuk
bergulingan di tanah, hingga apinya padam.
Sie Ie merasa hawa panas beda daripada biasanya, ia pun
heran. Tengah ia berpikir itu, telinganya mendengar jeritan
kaget dari Seng Lam. Sebab nona itu telah dikejar Siang Bok


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Loo dan kecandak di mulut gua, sepuluh jeriji tangan dengan
kuku-kuku yang tajam dari dia itu sudah mengancam dada
dan punggung! Sie Ie kaget karena ia terpisah beberapa
tombak dari nona itu, hingga tak dapat ia memberikan
pertolongannya. Saking putus asa, ia mengeluh: "Tidak
kusangka sekali, bersama Seng Lam aku bakal terbinasa di ini
Pulau Ular..."
Di saat ia putus asa itu, tiba-tiba Sie le mendengar suara
menggelegar yang datangnya dari dalam tanah...
Suara itu tidak berbunyi cuma satu kali, hanya saling susul,
lalu terasa bumi bergoyang. Tidak lama dari itu, dari dalam
gua terlihat menghembus keluarnya gumpalan asap, lalu
mendadak, mata orang melihat cahaya terang! Kali ini asap
itu, yang menghembus terus, menyemprotkan api yang
muncrat dalam rupa lahar!
Semua orang menjadi kaget, mereka juga merasakan mata
mereka perih. Kejadian terus saling susul. Mendadak orang mendengar
jeritan yang menyayatkan hati dari Siang Bok Loo, tatkala
semua mata berpaling ke arahnya, terlihat dia sudah diterkam
Golok Halilintar 11 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Bentrok Rimba Persilatan 21
^