Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 12

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 12


lahar! Dia berada dekat mulut gua, dia merintangi Seng Lam,
yang hendak dicekuk, maka dialah yang lebih dulu menjadi
korban. Di dalam sekejap saja, tubuhnya telah ketutupan,
maka tentulah tubuhnya itu hangus...
Sie Ie kaget, apalagi kapan ia melihat Seng Lam, yang coba
berkelit dari Siang Bok Loo, telah roboh. Setahu dari mana
datang tenaganya, dia berlompat kepada si nona. Biasanya ia
dapat berlompat kira-kira tiga tombak, kali ini sampai kira
enam tombak, maka ia berhasil menyambar tubuh Seng Lam,
untuk diangkat, buat dibawa berlompat balik, untuk terus
dibawa lari menyingkir dari lahar, yang masih keluar terus
bagaikan air banjir...
Lagi sekali terdengar suara menggelegar, kembali terlihat
muncratnya lahar, di waktu muncrat itu, lumpur api itu mirip
dengan sebuah tiang hitam yang naik tinggi, lalu buyar,
hingga di lain saat tampak abu atau bubuk putih
berhamburan. Hebat muncratnya lahar kali ini, pepohonan di dekat situ,
yang kena tersembur, lantas terbakar hangus!
Beng Sin Thong semua menjadi takut sekali, tidak lagi
mereka memikirkan Seng Lam atau Kim Sie Ie, tanpa menoleh
pula, semua lari sekeras-kerasnya ke arah tepi laut.
Sie Ie, dengan membawa Seng Lam, pun lari terus. Di
belakang ia, ia saban-saban mendengar suara bekerjanya
lahar. Dan lahar yang mengalir terus, meminta korban-korban
pepohonan dan juga batu.
Kim Sie Ie lari terus dengan hatinya pepat. Ia merasa
seperti putus asa. Sia-sia belaka percobaannya untuk
mencegah bekerjanya gunung berapi itu. Ia tidak tahu,
umpama kata percobaannya berhasil, akibatnya akan lebih
hebat lagi. Percuma air laut dialirkan ke gunung, bencana tak
dapat dihalangi karenanya.
Tokliong Cuncia, juga Kim Sie Ie ini, ada orang-orang dari
beberapa ratus tahun yang lampau, pengetahuan mereka
tentang gunung berapi tidak seperti sekarang ini. Secara
sederhana mereka berpikir, kalau api disiram air, padamlah.
Mereka tidak menginsyafi, gunung berapi bukanlah api biasa.
Jikalau gunung berapi disiram air, pastilah itu mempercepat
perletusan atau perledakan. Pula tak dapat gunung berapi
dimasuki air...
Syukur mereka cuma dapat membuat satu saluran enam
tujuh tombak dalamnya, sangat sedikit air laut yang dapat
mengalir masuk ke dalam saluran itu, tetapi mesti demikian,
meski itu tidak menyebabkan perledakan, toh mempercepat
juga. Hanyalah ini bukan perledakan, melainkan perletusan,
kalau perledakan, gunung berapi hancur semua dan pulau
akan karam. Maka beruntung juga atas adanya perletusan
kecil ini, goncangan tak menerbitkan gempa bumi hebat.
Tapi Kim Sie Ie semua-semua mereka takut bukan main.
Hebat akan melihat contoh Siang Bok Loo tadi.
Kecuali burung-burung, juga ular dan binatang lainnya,
berebut kabur. Di saat demikian, ular berbisa pun tak ingat
mencari mangsanya, semua lari menyelosor secepat bisa,
siapa tercandak lahar, dia terbinasa...
Kim Sie Ie membawa kabur Seng Lam separuh diseret, si
nona mendapat luka-luka besot. Hampir nona itu tidak dapat
bertindak. Untuk tiba ke tepian, jarak masih sedikit jauh.
Akhirnya Sie Ie menggendong si nona.
'Tutup mata!" ia kata. "Jangan takut! Akan aku bawa kau
menyingkir!"
Benar-benar Tokciu Hongkay lari seperti kalap. Syukur
untuk mereka, mereka mengenakan baju asbes, dengan
begitu, pakaian mereka tidak dimakan muncratan api lahar.
Akhir-akhirnya, tiba juga mereka di tepi laut.
Di laut, angin pun tengah mengamuk, suaranya menakuti.
"Celaka!" Kim Sie Ie menjerit.
Di antara sinar api, disana tertampak Beng Sin Thong
semua sudah naik atas sebuah perahu, dengan menimpuki
sebuah golok, jago itu membuatnya dadung dari sebuah
perahu yang lain menjadi putus, hingga kendaraan air itu kena
tersapu gelombang, bukan terdampar ke darat hanya ke
tengah, tertarik sang ombak.
Sama sekali ada tiga bocah perahu tertambat di tepian itu.
Yang satu yaitu perahunya Sie Ie dan Seng Lam. Perahu ini
telah diperbaiki. Perahu yang lain kepunyaannya keempat
hantu itu dan belum sempat dibikin betul, karena selalu
terdampar pergi pulang, kerusakannya hebat, maka segala
isinya telah dipindah ke perahunya Kim Sie Ie. Perahu yang
ketiga milik Beng Sin Thong berdua Biat Hoa Hwesio. Inilah
perahu yang barusan dadungnya diputuskan Beng Sin Thong.
Sebab Sin Thong sudah naik di perahu Sie Ie yang banyak
barang makanannya. Jago itu tidak membutuhkan perahunya
lagi, dan supaya perahu jangan dipakai Sie Ie, dia
melepaskannya supaya hanyut dan karam. Inilah sebab yang
membikin Sie Ie menjerit mengeluh itu.
Tidak ada lain jalan bagi Sie Ie kecuali perahunya Beng Sin
Thong itu, maka itu habis menjerit, dengan melupai bahaya,
bersama Seng Lam ia terjun ke laut, untuk berenang menuju
ke perahu yang lagi terumbang-ambing menjadi permainan
sang ombak itu. Terpisahnya mereka belasan tombak.
"Kita mesti dapatkan itu!" teriak Sie Ie di kuping si nona. Ia
tidak perduli yang ia digempur pergi datang sang gelombang.
"Lepaskan aku," kata Seng Lam. "Kau bisa berenang lebih
leluasa!" Memang Sie Ie masih belum melepaskan si nona, ketika
nona itu menarik tangannya, hingga terlepas, benar-benar ia
jadi merdeka, bisa ia berenang dengan merdeka. Untung
untuknya, ia sudah biasa berenang di laut, maka ia bisa maju
dengan pesat. Ia tahu baik sifatnya gelombang.
Seng Lam tidak pandai berenang tetapi dengan
kemauannya yang keras, dapat ia mengintil di belakang Sie Ie,
siapa, melihat demikian, hatinya menjadi lega.
Sesudah berkutat sekian lama, dapat juga Sie Ie mendekati
perahu Sin Thong yang kosong dan lagi terumbang-ambing
itu, selagi hatinya mulai lega, mendadak ia melihat benda
seperti bola api menyambar, api menyambar turun, la kaget
sekali, ia berhenti berenang. Ia melihat benda itu, peletikan
suatu batu yang marong, tepat menimpa perahu, maka
hancurlah kendaraan air itu, tenggelam ditelan sang ombak,
kecuali beberapa lembar papan, yang masih mengambang
tetapi ada apinya.
Kecelakaan mereka belum berakhir sampai disitu. Ketika Sie
Ie menoleh kepada Seng Lam, hatinya mencelos. Nona itu,
yang ketinggalan di belakang, lagi digulung arus.
"Jangan takut!" teriak Sie Ie. "Tahan, napas! Nanti aku
tolong kau!"
Tokciu Hongkay berenang sekuatnya, untuk
menghampirkan kawan itu, guna ditolongi. Ia melihat nona itu
seperti lagi melawan sang ombak.
Bahaya masih terus mengancam. Selagi berenang itu, mata
Sie Ie yang celi sekali menyaksikan lain ancaman, yang tidak
kurang dahsyatnya. Di sebelah depan terlihat seekor ikan hiu
mendatangi sambil binatang itu mementang mulutnya yang
lebar dan penuh gigi tajam. Ikan jahat itu menghampirkan
Seng Lam, berenangnya cepat sekali.
Tidak bisa Sie le tiba lantas pada ikan itu. Ia berada di
dalam air, bukan di darat dimana ia bisa lompat mencelat.
Tapi ia tabah, ia tidak jadi putus asa. Ia ingat tongkat besinya,
maka dengan senjata itu ia menimpuk, tepat tongkat tercaplok
ikan, maka di lain saat, sang ikan sudah hilang nyawanya,
tubuhnya ngambang di sisi Seng Lam, terseret arus!
Tengah keadaan sangat berbahaya itu, mendadak terlihat
sebuah perahu muncul dari antara gelombang, lajunya sangat
pesat. "Tolong! Tolong!" Kim Sie Ie menjerit-jerit.
Permintaan tolong itu mendapat sambutan baik, ia bersama
Seng Lam lantas ditolongi, diangkat naik ke perahu itu yang
dilajukan mendekati mereka. Akan tetapi, kapan Kim Sie Ie
telah melihat orang yang menolonginya, ia kaget tidak terkira.
Penolong-penolong itu ialah Beng Sin Thong serta beberapa
hantu. Perahu itu pun perahunya sendiri yang dirampas
mereka itu. Hanyalah ia tidak ketahui sebabnya kenapa
perahu itu balik kembali. Kalau tadinya ia berlega hati telah
mendapat pertolongan, sekejab saja Sie Ie berdua menjadi
berkuatir pula. Kembali mereka terancam bahaya.
Selagi Sie le tawar hatinya, ia melihat Seng Lam
mengeluarkan sehelai gambar. Ia menjadi heran. Ia kenal baik
gambar itu, yang merupakan peta kepulauan sasaran mereka.
Selama di Coato, ialah yang menyimpan gambar itu di dalam
sebuah peti di bagian belakang dari perahu mereka. Ia
menyembunyikannya karena kuatir gambar itu kena terbakar.
Hal itu ia tidak beritahukan Seng Lam, maka heran sekarang
Seng Lam memiliki itu.
"Dari mana Seng Lam mendapatkannya" Mustahilkah dia
mengetahui rahasiaku?" demikian ia menduga-duga.
Seng Lam melemparkan gambar itu ke lantai perahu.
Karena bekas digenggam, gambar itu seperti bergumpal. Pula
nyata terlihat bekasnya terbakar.
Beng Sin Thong menjemput gambar itu. Ia berlaku hati-hati
tetapi tidak urung telah pecah beberapa bagiannya, hingga
sukar untuk melihat tegas rupanya gambar. Hanya samarsamar
saja nampak bayangannya gunung berapi dan
orangnya yang bertubuh besar bagaikan raksasa itu. Saking
mendongkol, Sin Thong menggenggamnya dengan keras,
terus ia melemparkannya ke laut!
"Gambar ini sedikitpun tak ada faedahnya!" katanya,
dingin. "Syukur disini ada orangnya yang ada gunanya!" Ia
menoleh pada Kim Sie Ie dan bertanya: "Kau hendak
melayarkan perahu ini kemana?"
"Pasti pulang ke daratan!" sahut Tokciu Hongkay.
Jago itu menjadi mendelu, tapi ia kata: "Kau pasti tahu
pulaunya Kiauw Pak Beng! Kau tunjukilah arahnya! Mari kita
bekerja sama pergi kesana!"
Sie Ie tertawa.
"Kau bicara enak saja!" ejeknya. "Kau jadi ingin aku
membantui kamu mencari kitab ilmu silatnya Kiauw Pak
Beng!" Sin Thong tertawa dingin.
"Kalau bukan karena ada faedahnya kau bagi aku, perlu
apa aku membiarkan kamu berada di atas perahu ini?"
katanya. "Kau jangan kuatir, kau tetapkan hatimu, tidak nanti
aku mensia-siakan bantuanmu ini! Jikalau kitab silat itu telah
didapatkan, setiap orang di dalam perahu ini ada haknya
masing-masing, aku nanti memberi ijin kamu mendapatkan
sehelai salinannya."
"Hm!" bersuara Sie Ie, yang terus membungkam.
Tapi Le Seng Lam turut bicara. Ia kata: "Kata-katanya
seorang kuncu..."
"Sama dengan dipecutnya sang kuda!" menyambungi Sin
Thong. "Mustahilkah aku akan menipu kamu kedua bocah?"
"Bagus!" seru Seng Lam. Ia terus menoleh pada Sie Ie dan
kata: "Engko Sie le, kau pernah omong padaku bahwa kau
ketahui letaknya pulaunya Kiauw Pak Beng itu, maka itu
dengan memandang kepadaku, aku minta sukalah kau
menujukan perahu ini ke pulau itu! Kitab ilmu silat warisannya
Kiauw Pak Beng itu ialah milik keluargaku, jikalau itu bisa
didapatkan, meski juga harus dibagi kepada lain orang, itu
terlebih baik daripada lenyap sama sekali!"
Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Dasar Nona Le yang terlebih mengerti!" katanya, riang.
Kim Sie Ie dapat melihat sinar matanya Seng Lam
bercahaya lain daripada biasanya, ia menduga pada sesuatu.
"Baiklah!" ia kata. "Dengan memandang kepada Nona Le,
suka aku mengemudikan perahu ini ke gunung berapi itu!-
Nona Le, tolong kau mengambilkan obat, sekalian kau
membawa kompas kemari."
Kunlun Sanjin terperanjat.
"Apakah gunung itu pun ada apinya?" dia tanya.
"Apinya sudah meletus sejak banyak tahun!" kata Sie Ie
dingin. "Tak nantilah kau ketambus mampus!"
Seng Lam pergi ke dalam gubuk perahu. Hanya sebentar,
ia telah kembali.
"Celaka betul! Celaka betul!" katanya, menyesal,
mendongkol. "Kenapa, eh?" tanya Sie Ie. "Apakah obat telah habis?"
"Obat dan kompas ada, tetapi air tak ada barang setetes!"
Tak heran mereka kehabisan air. Tidak ada rencana mereka
untuk berangkat itu hari, mereka berangkat secara tiba-tiba,
maka itu, mereka belum menyediakan air.
Mendengar keterangan itu, semua orang terkejut. Bahkan
heran sekali, lantas mereka merasa berdahaga, ingin minum!
"Kalau begitu," kata Sie Ie, "baik berikan mereka obat
pusing kepala."
Seng Lam lantas mengeluarkan obat untuk mabuk laut. In
Leng Cu semua mengawasi, mata mereka mendelong tetapi
mereka tidak berani menyambuti obat itu.
"Kepalaku juga pusing sedikit, mari bagi aku!" kata Beng
Sin Thong. Dan ia makan obat pusing kepala itu, sedikitpun
tak terlihat ia ragu-ragu. Dan selang tidak lama, ia tertawa
bergelak dan kata: "Bagus! Benar-benar kepalaku sembuh!"
Melihat Sin Thong berani makan obat si nona, ketiga hantu
pun lenyap kekuatirannya, mereka mengambil obat itu dan
menelannya. Sin Thong beranggapan lain daripada ketiga hantu itu. Ia
mempunyai kepercayaan Seng Lam atau Sie Ie tidak berani
mencelakai padanya. Di samping itu, ia juga tidak takut.
Tenaga dalamnya demikian mahir hingga ia tak takuti racun.
Ia merasa pasti, umpama kata racun bekerja, sebelum ia
roboh, bersama-sama Biat Hoa dapat ia membinasakan Sie Ie
dan Seng Lam. Sementara itu kendaraan air berlayar terus. Badai pun telah
berkurang, hingga gelombang menjadi rada tenang.
Ketiga hantu, habis makan obat, merasakan tubuhnya
sehat, tetapi dahaga mereka menjadi semakin hebat. Kunlun
Sanjin tak dapat bertahan lebih jauh, terpaksa ia mencegluk
air laut yang asin, tetapi justeru karena minum air asin, ia
menjadi gelagapan, ia merasakan kerongkongannya panas
bagaikan dibakar...


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Thong tertawa.
"Apakah kau sangka air laut dapat melenyapkan dahaga?"
katanya. "Kamu sabarlah, nanti aku berdaya!... Ia pergi ke
tepi perahu, matanya memandang tajam ke air.
Ketika itu sering terlihat ikan-ikan berlompatan mengikuti
aliran gelombang. Tepat ada ikan meletik, Sin Thong
menggeraki kedua tangannya, menyambar sambil menarik.
Hebat tangannya itu, ada beberapa ekor ikan yang seperti
tersedot. Sie Ie terkejut di dalam hati menyaksikan liehaynya jago
she Beng ini. "Dia baru saja menderita tetapi nyatanya dia masih kuat
sekali," pikirnya.
Sin Thong mencekal seekor ikan, ia tertawa dan kata:
"Makan ikan hidup dapat buat sementara waktu mengurangi
dahaga!" Ia terus merobek ikan itu, untuk dimakan mentahmentah.
"Jangan! Jangan!" Sie Ie berteriak dengan cegahannya.
Sin Thong sudah menggayam ikannya dan telah menelan
sarinya. Ia membuka lebar matanya dan kata: "Kenapa tak
boleh" Bukan main segar dan lezad rasanya!"
Sie Ie tidak menyahuti, hanya menarik tusuk kondenya
Seng Lam, lalu dengan itu ia menusuk seekor ikan, ketika ia
mencabut tusuk konde itu, yang terbuat dari perak, tidak ada
perubahan apa-apa.
Menyaksikan demikian, Sin Thong tertawa pula.
"Apakah yang kau coba itu?" katanya. "Mungkinkah ikan di
laut pun ada yang meracuni?"
Hati Sie Ie pun tenteram. Pikirnya: "Rupanya racun ular
dari kobakan itu sudah terbakar habis hingga tak ada yang
mengalir dan melulahan ke laut..." Karena ini, ia pun menjadi
lega. Kalau begitu, perledakan tak sedemikian hebat seperti
disangka gurunya Maka ia juga mulai makan ikan hidup itu...
Habis itu Sie Ie memernahkan kompas, lalu sambil
menyerahkan itu pada Sin Thong, ia kata: "Kau lajukan perahu
kita ini ke arah yang ditunjuk jarum kompas ini. Jikalau tidak
ada rintangan badai dan gelombang, di dalam tempo kira-kira
dua puluh hari kita dapat tiba di pulaunya Kiauw Pak Beng itu.
Nona Le sudah letih sekali, aku hendak beristirahat bersamasama
dia. Malam ini kau yang memegang kemudi, umpama
kata ada bahaya, kau lekas membanguni aku."
Sin Thong menurut, dalam hatinya ia kata: "Ya, kamu
kedua bocah, kamu beruntung sekali!..." Biar bagaimana, di
tengah laut ini, ia membutuhkan bantuan orang, terpaksa ia
menyabarkan diri dan mengalah. Maka ia pergi pada Biat Hoa,
untuk bekerja sama. Bergantian mereka memegang kemudi.
Sie Ie berdua Seng Lam masuk ke dalam gubuk perahu.
Gubuk itu terpecah dua, bagian depan dan belakang. Maka di
bagian pemecahannya, yang merupakan pintu, Seng Lam
menumpuk beberapa karung beras.
"Apakah kau takut sebentar malam mereka diam-diam
masuk kemari untuk mencelakai kita?" tanya Sie Ie tertawa.
"Aku percaya, selama mereka belum diantar pulang dan
mendarat, tidak nanti mereka berani menurunkan tangan
jahat." "Aku juga percaya mereka tidak nanti berani mencelakai
kita," kata si nona, "hanya kita berada bersama mereka dalam
sebuah perahu, tak dapat aku menenteramkan hatiku. Sedikit
pemisahan berarti menambah ketenangan."
Itulah maksudnya Sie Ie mengapa ia ajak si nona pergi ke
ruang belakang ini. Ia memang ingin si nona tenang hatinya.
Di antara mereka sekarang tak ada perasaan likat lagi.
"Kau tidurlah lebih dulu!" kata si pengemis edan.
"Aku tak dapat tidur, aku lagi pikirkan..." kata si nona.
"Kau lagi pikirkan apa?" Sie Ie tanya.
"Kalau enci Kok dan adik Lie kau mengetahui sekarang ini
kau ada bersama-sama aku disini, entah bagaimana mereka
membenci aku..." kata nona itu.
"Kau ngaco!" Sie Ie membentak. Meski begitu, ia toh lantas
ingat Cie Hoa dan Kim Bwee. Memang, bagaimana nanti ia
menjelaskannya kepada kedua nona itu"
"Sudahlah?" kata Seng Lam tertawa melihat orang
terbengong, "aku tidak mau menyebut-nyebut lagi urusan enci
Kok dan adik Lie kau itu, cuma-cuma mendatangkan kedukaan
kau saja. Sebenarnya aku lagi memikirkan satu hal yang
penting." "Mati dan hidup kita juga masih belum ketentuan, ada apa
lagi yang terlebih penting?" kata Sie Ie.
"Apa yang aku pikir itu ada sangkut pautnya sama soal mati
dan hidup kita," berkata Seng Lam. "Apakah kau pernah
memikirkan dengan cara bagaimana kita dapat lolos dari
rombongan hantu ini?"
Kim Sie Ie menyeringai.
"Ada daya apakah?" katanya. "Kecuali kita nyebur ke
laut..." "Setelah kita sampai di pulau sana, bukankah masih ada
daya?" tanya si nona.
Sie Ie terperanjat.
"Kenapa kau menganjurkan aku mengajak mereka ke itu
pulau?" ia tanya, perlahan. "Jikalau Beng Sin Thong berhasil
mendapatkan kitab silatnya Kiauw Pak Beng itu, bukankah dia
bakal menjadi terlebih liehay, hingga dia mirip harimau yang
tumbuh sayap" Siapa nanti dapat menaklukkan dia?"
"Tetapi jikalau kau membawa perahu kembali," berkata si
nona, "asal dia dapat mendarat, pasti dia tidak bakal memberi
ampun padamu! Oleh karena itu, sama-sama bakal mati, lebih
baik kita membawa dia ke pulau itu. Mungkin disana kita
dapat pikiran baru untuk menolong diri... Bagaimana dengan
peta kita itu, kau sudah simpan atau belum" Hati-hati, dia tak
dapat diberitahukan!"
Kim Sie Ie mencari-cari dengan tangannya, ia lantas
menjadi heran. Ia dapat meraba peta itu. Lantas ia berbisik di
telinga si nona: "Bagaimana ini" Bagaimana dengan petamu
itu"..."
Seng Lam menyahuti: "Itulah peta palsu yang aku tiru. Aku
tidak sangka bahwa hari ini aku dapat menggunainya."
Kim Sie Ie menjadi bertambah heran. Ia menanya dalam
hatinya. "Kapan Seng Lam membuatnya" Di atas pulau Coato
toh tidak ada kertas dan alat tulis" Jikalau dia telah
membuatnya semenjak siang-siang, habis sebelumnya ini, dari
mana dia dapat aslinya" Dimana dia pernah melihat peta itu?"
Seng Lam dapat melihat keheranan kawannya itu, ia
memencet tangan orang.
"Sudah, jangan kita bicarakan urusan ini," katanya
perlahan. "Nanti, setibanya di pulau itu, kau cuma tahu
mendengar dan menuruti apa kataku. Lihat, malam ini sang
rembulan indah!"
Kata-kata yang belakangan ini diucapkan nyaring.
Sie Ie cerdas sekali, ia mengerti, maka ia pun menyahuti,
cukup keras: "Di tengah laut, apabila sang badai dan
gelombang telah berlalu, cuaca mesti bagus. Ya, menggadangi
sang Puteri Malam di tengah laut memang menarik
hati." Ketika itu di luar gubuk perahu terdengar suara perlahan
sekali, cuma sejenak, lantas lenyap pula. Kim Sie Ie menduga
kepada Beng Sin Thong, yang mencuri dengar pembicaraan
mereka berdua. Ia berpura-pura tidak tahu, ia terus membawa
sikap seperti biasa, bersama Seng Lam ia berpegangan loneng
menggadangi rembulan,
Tiba-tiba Seng Lam menanya: "Bukankah kau sebenarnya
mengajaki enci Kok Cie Hoa untuk pergi berlayar?"
"Ah! Inilah urusan yang sudah lewat, buat apa ditimbulkan
pula?" sahut Sie Ie masgul.
Seng Lam tertawa.
"Sudah, jangan kau sembunyikan pula rahasia hatimu
padaku!" ia kata. "Kok Cie Hoa ialah muridnya Lu Su Nio, dia
dengan pihak gurumu ada hubungannya yang erat.
Sebenarnya juga kamu berdua cocok segalanya, apa yang
harus disayangi dari dia ialah soal ayahnya..."
Kata-katanya Seng Lam dikeluarkan dengan keras.
"Sudah, aku minta kau jangan timbulkan pula soal itu," Sie
Ie minta, agaknya dia mendongkol. "Seumurku rasanya aku
tidak bakal bertemu pula dengannya. Maka, apakah yang
hendak dibicarakan lagi?"
Orang di luar perahu itu benar Beng Sin Thong. Dia
mendengar pembicaraan orang hanya bagian yang belakang
saja, yang diucapkan dengan keras. Mendengar itu, hatinya
bercekat. "Kiranya anakku menyintai dia?" pikirnya. "Pantas anakku
juga mau pergi ke Laosan, ke kuil Siang-ceng Kiong... Menurut
pembicaraan mereka ini bukankah mereka telah ketahui Cie
Hoa anakku?"
Maka ia menjadi merasa tidak enak hati. Sama sekali ia
tidak menduga, kata-katanya Le Seng Lam itu justeru
disengaja, untuk ia dengar.
Hati Sie le pun tidak tenang, ia juga merasa aneh akan
tindak-tanduk Seng Lam. Hati si nona sulit untuk diterka.
Karena ini, malam itu sukar ia tidur pulas. Tidak demikian
dengan Seng Lam, mungkin dia terlalu letih, dia tidur nyenyak
sekali. Hal ini membuat lega hati Sie Ie. Ia mengambil selimut
dengan apa ia mengerebongi tubuh si nona. Di dalam hatinya,
ia kata: "Dia muda sekali, dia menderita dari gunung berapi
dan laut yang galak, dia harus dikasihani..." Tapi segera dia
berpikir pula: "Di antara ketiga nona, yang aku benci justeru
dia, tetapi justeru dialah yang sekarang ini senantiasa
berdampingan denganku... Oh, benar-benar Thian pandai
sekali mempermainkan hidupnya manusia." Mendadak ia
terkejut. Tiba-tiba telinganya seperti mendengar pertanyaan
ini: "Eh, eh, apakah benar-benar kau membenci dia?" Maka
hatinya menjadi tidak tenang.
Mendekati fajar, barulah Sie Ie dapat tidur, walaupun
layap-layap. Belum lama, lantas ia sadar, disebabkan
gempuran ombak kepada perahunya bagian depan, yang
mana disusul suara orang yang berisik.
Seng Lam pun mendusin, bahkan sembari tertawa, dia
kata: "Mari kita pergi nonton pertunjukan!"
Ketika mereka keluar, mereka melihat Beng Sin Thong
dirumung Kunlun Sanjin bertiga. Kebetulan itu waktu Kunlun
Sanjin berkata: "Lao Beng kau bilang kau mempunyai obat
pemunah racun, aku minta sukalah kau serahkan itu pada
kami!" Mereka bertiga terkena jarum Ngotok Ciam dari Seng Lam,
setelah diganggu badai, mereka jadi sangat letih, karenanya
mereka menjadi sangat lemah, tubuh mereka seperti
tubuhnya orang yang sakit berat, hilanglah tenaga
perlawanannya, bahkan mereka merasa sakit. Pula, luka-luka
mereka mulai nowah. Maka itu sekarang mereka mendesak
meminta obat. Beng Sin Thong itu mengerti obat-obatan disebabkan dia
melihat sisa-sisa kitab ilmu silat Keluarga Kiauw, kebetulan
disitu ia membaca cara pengobatan luka-luka keracunan
jarum, tetapi tentang obat pemunahnya, ia tidak mengerti
sama sekali. Ketika di Coato, Pulau Ular, ia dikepung Kim Sie
Ie serta keempat hantu, untuk membikin keempat hantu itu
berbalik berontak terhadap Kim Sie Ie, sengaja ia mendustai
mereka itu bahwa ia mempunyai obat pemunah. Sekarang,
didesak oleh Kunlun Sanjin, dalam bingungnya, ia mendapat
akal. Ia memang sangat cerdik. Ia mengulapkan kedua
tangannya dan berkata: "Obat pemunahku itu telah ludas
dihanyutkan gelombang! Kemarin badai hebat sekali,
menolong jiwa ialah yang paling penting! Siapa sempat
memperhatikan obat pemunah itu?"
Ketiga memedi itu nampak bersangsi. In Leng Cu berkata:
"Habis, apakah sekarang kau hendak mengawasi saja
kematian kami" Lao Beng, tenaga dalammu sangat mahir, aku
minta sukalah kau mengobati kami dengan jalan tenaga
dalammu itu. Untuk sementara, bantuanmu itu perlu sekali.
Mungkin kami tak luput dari bercacad, tetapi jiwa kami dapat
tertolong..."
Sin Thong memang mempunyai kekuatan tenaga dalam
untuk menolongi mereka itu, akan tetapi ia tidak suka
membantu secara demikian. Ia tahu baik sekali, ia bakal
mengorbankan hebat tenaga dalamnya, hingga kalau ia
bentrok dengan Kim Sie Ie, pasti ia tidak akan sanggup
bertahan. Biat Hoa Hwesio seorang diri tidak dapat melawan
pihaknya Sie le itu, maka itu pihaknya bakal bercelaka...
Adalah di itu waktu, Sie Ie dan Seng Lam muncul. Lantas
Sin Thong mendapat akal. la tertawa lebar dan berkata: "Nona
Le, telah aku katakan, kita naik perahu bersama, senang dan
susah bersama juga, oleh karena itu, tidak dapat kita saling
bermusuh lagi! Kau telah melukai mereka dengan Ngotok
Ciam, sekarang aku minta sukalah kau mengeluarkan obat
pemunah-nya!"
Ketiga hantu sebenarnya pun pernah memikir demikian
akan tetapi mereka malu untuk minta sendiri kepada Seng
Lam, maka itu, mendengar perkataannya Beng Sin Thong itu,
lantas mereka mengawasi si nona.
Seng Lam tahu akalnya Sin Thong itu, ia juga lantas
memikir memakai akal serupa. Ia mengulap-kan kedua
tangannya, ia kata dengan dingin: "Aku telah terapung-apung
di tengah laut, sekalipun peta lukisanku tidak dapat aku
lindungi, apapula obat pemunah!"
Mendengar itu, hatinya kawanan hantu itu mencelos.
Mereka menjadi hilang harapan. Karena ini, sinar mata mereka
lantas mulai berubah menjadi bengis.
Itu waktu, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Seng Lam, ketika
kemarin ini kau bebenah, aku melihat kau menggantung satu
bungkusan di para-para di perahu belakang, coba kau lihat,
mungkin disana masih ada sisa obat pemunah keracunan
Ngotok Ciam..."
Seng Lam cerdas sekali, ia mengerti maksudnya Sie le di
balik kata-katanya itu, ia hanya belum mengerti betul,
mengapa kawan itu berniat menolongi ketiga hantu itu.
"Benar! Aku sampai lupa!" katanya. "Baiknya kau
mengingatkan aku. Mungkin benar di dalam kantung itu masih
ada obat pemunahnya..."
Seng Lam lantas pergi ke belakang. Tapi ia cuma jalan
selewatan, lantas ia kembali, wajahnya terang, tersungging
dengan senyuman, sembari tertawa ia berkata: "Dasar untung
kamu bagus! Di dalam kantung itu ada obat pemunahnya,
yang tidak sampai basah terkena air!"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kawanan hantu itu tidak tahu bahwa mereka lagi "dijual".
Obatnya Seng Lam, cuma beberapa butir yang kecil,
memangnya dibungkus dengan kertas minyak dan diselipkan
di ikat pinggangnya, maka obat itu tidak kemasukan air.
Ketiga hantu girang bukan main, mereka menyambuti obat
itu, lantas mereka telan seorang satu butir.
Seng Lam juga berlaku baik hati, dengan besi berani ia
mencabuti jarumnya yang melukai mereka itu, setelah mana,
luka-luka mereka itu diborehkan obat bubuk.
Lewat seminuman teh, Seng Lam kata pada kawanan hantu
itu: "Coba sekarang kamu raba punggung kamu, di antara
sambungan tulang yang ke tujuh dan ke delapan, lantas kamu
menyedot napas kamu."
Ketiga hantu itu menurut, mereka meraba ke punggung
dan menarik napas dalam. Mereka mendapat kenyataan,
mereka tidak merasa sakit dan pernapasan mereka berjalan
lurus. Mereka menjadi girang sekali. Mereka percaya si nona
telah memberikan obat yang tepat. Karena ini, mereka
bersyukur terhadap Kim Sie Ie, sedang kebenciannya terhadap
si nona sendiri lantas berkurang banyak.
Tengah hari itu kembali datang angin besar dan turun
hujan lebat. Kim Sie Ie segera mengambil kemudi dari tangan
Biat Hoa Hwesio, untuk ia sendiri yang menguasai perahu
mereka. Seng Lam sendiri lantas mengeluarkan dua bocah
jambangan, ia letaki itu di kepala perahu, untuk menadahkan
air langit. Kim Sie Ie memegang kemudi dengan pandai, ia
membuatnya gangguan hujan dan angin tidak menyulitkan
mereka. Kedua jambangan pun lantas penuh air.
Tidak lama, berhentilah hujan dan angin. Semua orang
girang, dapat mereka minum air tawar, hingga juga, tak
usahlah mereka makan ikan mentah lagi...
Demikian, seterusnya, Kim Sie Ie dan Seng Lam, hidup
bersama di tengah laut dengan kawanan hantu itu. Lama-lama
mereka dapat bicara satu dengan lain secara baik dan
tertawa-tawa, kesan mereka tak seburuk semula. Cuma Biat
Hoa masih sangat membenci Kim Sie Ie, sebab dia tidak bisa
melupai halnya Sie Ie menyuruh murid-muridnya mencaci dia
habis-habisan! Juga Beng Sin Thong, berubah sikapnya terhadap Kim Sie
Ie, hingga ia suka mengajak si anak muda berunding tentang
ilmu silat. Meski demikian, di mulut dan di muka mereka baik, di
dalam hati, mereka masing-masing sama-sama berjaga diri.
Dengan lewatnya banyak hari, ketiga hantu menjadi biasa
juga dengan hawa udara di tengah laut, gangguan gelombang
tak lagi menyiksa mereka, sedang Kim Sie Ie dengan baik hati
mengajari mereka bagaimana harus memegang kemudi,
hingga selanjutnya mereka bisa bergantian mengurus perahu
mereka itu. Lantaran begini, Sie le dapat lebih banyak tempo
untuk beristirahat, kecuali bila datang badai, baru ia yang
berada pula di buntut perahu.
Berselang dua puluh hari, ketika Kim Sie Ie pergi ke kepala
perahu dan memandang jauh ke timur, samar-samar ia
menampak sesuatu yang berwarna hijau.
"Itulah dia pulau yang di tempati Kiauw Pak Beng tiga ratus
tahun yang lampau!" katanya nyaring. "Ha! Gunung berapi di
atas gunung itu pun telah padam!"
Girang sekalian hantu itu mendapat tahu pulau yang dicari
itu sudah berada di depan mata, lantas mereka membantui
menggayuh perahu. Maka, di saat matahari selam, di depan
mereka telah tampak tegas sebuah pulau.
Segera perahu di kepinggirkan dan jangkar lantas
diturunkan. Di atas pulau itu tampak sebuah gunung besar, puncaknya
gundul, berwarna merah darah. Tidak ada rumput atau pohon
tumbuh di atas itu. Kalau ada datang angin bertiup dari arah
atas gunung, hidung orang dapat mencium sedikit bau
belirang. Sebaliknya di lereng gunung terlihat segala apa
hijau, sebab disitu tumbuh pepohonan bagaikan rimba. Pulau
itu penuh dengan pepohonan. Tidak heran kalau dari dalam
rimba sering terdengar suara-suara yang menyeramkan, ialah
suaranya pelbagai beburonan.
Disana pun ada harumnya bunga-bunga, ada yang baunya
luar biasa, yang sedikit berbau amis. Kalau Coato
membuatnya orang jeri, pulau ini agaknya aneh, hingga hati
menjadi kurang tenang...
Oleh karena sudah mendekati sore, walaupun keinginan Sin
Thong keras sekali untuk segera mencari warisannya Kiauw
Pak Beng, ia mesti menguasai dirinya. Ia tidak berani lancang
mendaki gunung itu. Maka semua orang terpaksa berdiam
terus di perahu mereka. Sesuatu dari mereka merasa hatinya
tegang sendirinya, girang bercampur kekuatiran...
Kim Sie Ie cuma menguatirkan Beng Sin Thong berhasil
mendapatkan kitabnya Kiauw Pak Beng itu, ia kuatir jago itu
nanti tak ada yang dapat menaklukkan.
Melainkan Seng Lam seorang yang tenang-tenang saja.
Melihat sikap nona ini, Kim Sie Ie heran, hingga ia merasa,
Nona Le sama anehnya seperti pulau itu sendiri...
Malam itu, seperti biasa, mereka bergiliran menjaga,
walaupun demikian, tidak ada orang yang lidur nyenyak. Tepat
tengah malam, mereka dibikin mendusin dengan kaget.
Kiranya dua ekor badak muncul dari dalam rimba, datang ke
pinggir laut. Kedua binatang berkulit tebal itu lantas diserbu
dan dibunuh. Binatang itu kuat sekali, mereka membuatnya
semua orang letih. Syukur selanjutnya tidak muncul lain
gangguan. Besoknya pagi, Beng Sin Thong mengumpulkan semua
orang. Ia berkata: "Pulau ini besar sekali, binatang liarnya pun
banyak. Di sumping itu, kita masih belum tahu dimana tempat
simpannya kitab warisannya Kiauw Pak Beng. Maka itu, aku
anggap, tidak dapat kita pergi semua dengan berbareng.
Hagaimana kalau binatang liar datang merusak perahu kita"
Baiklah aku yang pergi lebih dulu bersama In Leng Cu suami
isteri, untuk membuat penyelidikan. Biat Hoa Taysu, kau
bersama Kunlun Sanjin, Kim Sie Ie dan Nona Le, baiklah
berdiam terus di perahu. Untuk mendapatkan kitabnya Kiauw
Pak Beng itu, aku rasa, itu bukan pekerjaan sehari semalam,
maka baiklah kita bergiliran. Jikalau aku belum berhasil, kamu
tunggu sampai aku kembali, nanti aku mengatur giliran siapasiapa."
Beng Sin Thong ada terlalu cerdik untuk tidak bertindak
seperti kata-katanya ini. Ia berbuat demikian karena ia kuatir
Kim Sie Ie yang berhasil mendapatkan warisannya Kiauw Pak
Beng itu, maka tak ingin ia si pengemis edan pergi mencari
bersama. Ia juga kuatir Kim Sie Ie dan Le Seng Lam nanti
pergi seorang diri, ia mengatur agar Biat Hoa dan Kunlun
Sanjin menemani, untuk mengawasi. Kepandaian Biat Hoa
berimbang dengan kepandaian Kim Sie Ie dan Kunlun Sanjin
menang daripada Seng Lam, pengawasan ini, " " dia anggap
?" tepat sekali.
Kim Sie Ie dapat menerka hati orang, akan tetapi karena ia
melihat Seng Lam berdiam saja ia tidak membilang lain
daripada setuju. Ia telah berjanji kepada Seng Lam akan
selalu menuruti nona itu.
Agaknya Beng Sin Thong masih belum tetap hatinya, ketika
ia mau berangkat, ia masih berkata pula: "Sebentar magrib
pasti aku akan kembali, jikalau ada terjadi sesuatu, aku akan
bersiul, begitupun kamu disini, supaya kita dapat saling
menolong."
Seberlalunya Sin Thong bertiga, Sie Ie melewati waktu
nganggur dengan memasang omong dengan Kunlun Sanjin,
bicara mengenai peristiwa-peristiwa dalam Rimba
Persilatan serta tentang keindahan sang laut. Biat Hoa tidak
turut bicara. Ia tetap masih mendongkol terhadap si pengemis
edan. Maka ia duduk bercokol sendirian saja di lain bagian dari
perahu mereka. Hari berjalan seperti biasa. Sebentar saja sudah tengah
hari. Dari pihak Beng Sin Thong tidak terdengar apa-apa,
orangnya pun tidak muncul. Biat Hoa lantas tak tenang
hatinya. Masih sang waktu berjalan, sekarang datanglah sang
magrib. Tetap Beng Sin Thong belum kembali.
Beberapa kali Biat Hoa mendarat, berjalan sampai di
pinggiran rimba, ke dalam mana ia melangak-longok seraya
mementang matanya, mengharap-harap dapat melihat Beng
Sin Thong. Tapi rimba lebat dan gelap, sunyi juga, ia tidak
melihat suatu apa, telinganya tidak mendengar suara ini dan
itu, kecuali kadang-kadang suaranya binatang-binatang liar
atau kutu-kutu. Ia jadi semakin tak tenang hati. la tidak berani
pergi lebih jauh lantaran ia takut Sie Ie nanti diam-diam
melayarkan perahunya. Ia terpaksa ngeloyor kembali ke
perahu ketika cuaca mulai gelap. Sampai itu waktu, Sin Thong
masih juga belum kembali.
"Bukankah si siluman tua she Beng membilangi kita bahwa
dia pasti bakal kembali sebelumnya langit gelap?" berkata
Seng Lam, sengaja menanya.
"Benar, demikian dia membilangnya," sahut Kunlun Sanjin.
"Sekarang sang rembulan telah mulai naik, kenapa dia
belum kembali juga?" si nona bertanya pula.
"Mana aku ketahui?" Kunlun Sanjin membaliki.
"Dia tidak kembali, habis bagaimana kita harus bertindak?"
masih saja si nona menanya.
Kunlun Sanjin tidak dapat menjawab, dia berdiam. Dia pun
agaknya mulai bergelisah. Dia memandangi Kim Sie Ie dan
menanya: "Kim Sie Ie apa kau bilang?"
Belum lagi Sie Ie menyahuti, Biat Hoa sudah berpikir: "Hm!
Dengan tidak ada Beng Sin Thong disini, akulah pemimpin
kamu, kenapa kau justeru berbicara dan berdamai dengan Kim
Sie Ie?" "Jikalau dia tetap tidak kembali, jalan kita ada dua," Kim Sie
Ie menjawab Kunlun Sanjin.
"Apakah dua jalan itu?"
"Kita pergi ke dalam rimba untuk menyusul dan mencari dia
atau segera kita memasang layar untuk berlalu dari sini,"
sahut Sie Ie tenang.
"Ngaco belo!" Biat Hoa membentak. "Beng Sin Thong
gagah luar biasa, bencana apa yang dapat merintangi dia"
Sekarang baru saja dia terlambat, apakah kamu niat
berontak?"
"Menurut kau, bagaimana?"
Kunlun Sanjin tanya pendeta itu.
"Kita tetap menantikan dia! Dia pasti akan kembali?" kata si
pendeta pasti. "Kamu sabar, kamu tunggulah!" kata Seng Lam, tawar.
"Apa" Apakah kau hendak melarikan diri?" Biat Hoa tanya.
"Tidak nanti aku pergi dari sini," sahut si nona, tetap tawar.
"Aku hendak menyaksikan akhirnya Heng Sin Thong!"
"Aku juga mengharap dia dapat kembali," Sie Ie menimpali
si nona, tanpa ia memperdulikan si pendeta sangat panas hati.
"Dengan jumlah kita lebih banyak sedikit, jikalau ada bahaya
apa-apa, dapat kita melayani..."
Kunlun Sanjin menduga ada apa-apa tersembunyi di balik
perkataannya si pengemis edan.
"Mustahilkah di dalam rimba ini, kecuali binatang liar, ada
lainnya makhluk yang sangat berbahaya?" dia tanya.
"Itulah aku tidak tahu," sahut Sie le tenang. "Apa yang aku
ketahui, guruku pernah datang ke pulau ini dan ia tidak berani
masuk jauh ke dalam rimba. Ketika guruku kembali dia
memesan wanti-wanti kepadaku agar aku jangan mencoba
dalang kesini. Jikalau pulau ini tidak berbahaya, buat apa
guruku memesan demikian rupa" Ilmu silatnya liong Laokay
memang liehay tetapi guruku masih menang jauh
daripadanya!"
Kunlun Sanjin bergelisah mendengar juga Tokliong Cuncia
yang liehay tidak berani menjelajah pulau ini.
Biat Hoa tidak dapat bersabar lagi.
"Kim Sie Ie, jangan kau menga-co belo!" dia menegur.
Kim Sie Ie tertawa.
"Jikalau kau tidak suka mendengar, kau sumbatlah
kupingmu!" dia kata tertawa. "Memangnya siapa yang
menggubrismu?"
Bukan main panasnya hati Biat Hoa Hwesio, akan tetapi, ia
mesti menutup mulut. Tidak ada alasan untuknya menentang
terus pada Kim Sie Ie. Ia juga mendongkol terhadap Kunlun
Sanjin, karena orang itu- yang dipandang sebagai kawan "
bukannya membantu ia, sebaliknya dia menanya ini dan itu
kepada Kim Sie Ie.
Sang malam datang. Orang kembali tidak berani tidur
sepuasnya. Sampai malam, Beng Sin Thong terus tidak
kembali, juga tidak ada siulannya. Yang terdengar cuma suara
yang keras dan seram dari pelbagai beburonan, yang
terdengar seperti tak hentinya.
Supaya tidak ada binatang liar itu yang menyerbu ke
perahu, Kim Sie Ie menyuruh Kunlun Sanjin dan Biat Hoa
menyalakan unggun di tepian. Penjagaan ini berhasil, malam
itu lewat tanpa gangguan.
Kunlun Sanjin dan Biat Hoa bergelisah semalaman suntuk,
terus sampai paginya. Sampai matahari terbit, Beng Sin Thong
tetap tidak muncul juga.
"Kunlun Sanjin," berkata Kim Sie Ie, tanpa menghiraukan
kegelisahan orang, "bukankah kau menghendaki memperoleh
warisan kitab ilmu silatnya Kiauw Pak Beng?"
"Apakah artinya kata-katamu ini?" Kunlun Sanjin balik
menanya. "Jikalau aku tidak menghendaki warisan kitab itu,
perlu apa aku berlayar menempuh bahaya ini?"
Biat Hoa mendongkol, tetapi mendengar kata-katanya
Kunlun Sanjin, dia tertawa.
"Ngoceh saja!" katanya, tertawa terbahak.
Kim Sie le tidak menentang, tetapi dengan dingin ia kata:
"Cobalah kau pikir masak-masak, kau nanti dapat mengetahui
itulah bukan ocehan belaka!"
Ketika itu angin keras berkesiur dari atas puncak gunung,
angin itu membawa bau belirang.
Kunlun Sanjin mengawasi ke puncak yang nampak merah
seperti darah, mendadak ia merasakan kekuatiran yang hebat.
Ia bingung karena ia tidak tahu, kekuatiran apakah itu. Lantas
ia kata: "Aku tidak menghendaki pula warisan kitab silat itu!
Aku lebih suka mengangkat kaki dari ini pulau hantu!"
"Bagus!" berseru Kim Sie Ie. Agaknya dia sangat setuju.
"Biat Hoa Hwesio, kau bagaimana?"


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kamu mau bikin apa?" tanya Biat Hoa, gusar.
"Kunlun Sanjin ingin berlalu bersama-sama aku," sahut Sie
Ie. "Jikalau kau tidak suka pergi, nah kau berdiamlah sendiri
disini menantikan Beng Sin Thong!"
Mata Biat Hoa mendelik dan berputar, dengan bengis dia
mengawasi Kunlun Sanjin.
"Benar-benarkah kau hendak turut Kim Sie Ie pergi?" dia
tanya. "Aku... aku..." sahut orang yang ditanya ragu-ragu. Dan ia
bungkam terus. Biat Hoa mendongkol dan sengit, hingga dia berseru:
"Baiklah! Jikalau kau mau pergi, kau boleh pergi! Jikalau Beng
Sin Thong tidak mati, meskipun kau kabur ke pangkal langit,
tidak nanti dia mengampuni kau!"
Kunlun Sanjin menjadi ber-sangsi pula. Ia lantas
menimbang-nimbang apa untungnya akan turut Kim Sie le.
Dengan begitu, ia menjadi membikin Beng Sin Thong
membenci dan memusuhkannya. Sebenarnya, ia jeri terhadap
orang she Beng itu. Di lain pihak lagi, ia masih mengharap
mendapatkan warisan kitab ilmu silatnya Kiauw Pak Beng itu...
"Sebenarnya sekarang ini kita sudah menjadi orang
sendiri," kata Hiat Hoa sesaat kemudian, "maka sudah
selayaknya jikalau ada rejeki kita mengicipinya bersama dan
likalau ada bahaya kita menentangnya bersama juga. Jikalau
sekarang kau turut Kim Sie Ie-Hm! Hm!--selanjutnya kau
terserah kepadanya!"
Hatinya Kunlun Sanjin berdenyut. Kata-kata itu merupakan
satu pukulan untuknya. Hingga timbul pula ragu-ragunya.
"Jikalau kami hendak mempengaruhi kamu, buat apa kami
memberikan obat pemunah kepada kau?" kata Sie le sabar,
tetapi lagu suaranya tetap.
"Itulah sebab Lao Beng ada bersama-sama disini!" kata Biat
Hoa. Sie Ie tertawa dingin.
"Tak lebih tak kurang, si tua bangka she Beng itu hendak
menghina kamu untuk menghadapi kami!" katanya. "Apakah
kamu percaya benar-benar dia nanti membagi atau mengajari
kamu ilmu silat warisan Kiauw Pak Beng itu" Hm!"
Kedua pihak ini lagi mencoba mempengaruhi Kunlun Sanjin.
Biat Hoa kalah sabar, dia berteriak: "Kim Sie Ie, kau berani
mengaco belo membikin kami renggang" Kau rasailah
tongkatku ini!"
Kata-kata itu dibarengi dengan satu kemplangan.
Kim Sie Ie berani sekali, ia menangkis dengan tangannyamenangkis
dengan menyampok, tetapi hebat serangan si
pendeta walaupun ia bisa membikin tongkat mental, ia sendiri
terhuyung tiga tindak. Tapi juga Biat Hoa terkejut, karena
tongkatnya bagaikan mengenakan batu yang keras.
"Tahan!" Kunlun Sanjin berseru, datang sama tengah. "Kita
masih belum tahu kita bakal menghadapi keberuntungan atau
mala petaka, maka janganlah kamu berkelahi, cuma-cuma
merusak kerukunan kita!"
Justeru mereka lagi berselisih itu, dari dalam rimba
terdengar siulan nyaring dan panjang.
"Lao Beng memanggil kita!" Biat Hoa berseru. Ia bukannya
lantas lompat ke darat, hanya dua kali beruntun ia menghajar
perahu, disusul kemplangannya pada tiang layar hingga tiang
itu patah. "Kim Sie Ie!" katanya kemudian, tertawa dingin. "Aku mau
lihat, kau masih dapat berlayar atau tidak?" Ia lantas lompat
ke darat, sambil menanya nyaring: "Kunlun Sanjin, kau turut
aku atau tidak?"
Kunlun Sanjin melihat perahu rusak, itu artinya perlu tempo
beberapa hari untuk membetulkannya, maka lenyaplah
kesangsiannya, terus ia lompat ke darat, untuk menyusul Biat
Hoa, hingga sejenak kemudian, mereka lenyap bagaikan
ditelan sang rimba
"Bagus! Bagus!" berkata Kim Sie Ie. Sebaliknya daripada
murka, ia justeru tertawa. "Mereka telah pergi semua! Mari
kita menggunai tempo dua hari untuk membetulkan perahu
ini! Asal dalam dua hari Beng Sin Thong tidak kembali, pasti
dapat kita menjauhkan diri dari kawanan hantu itu!"
"Tidak!" berkata Seng Lam, tiba-tiba. "Kita sudah sampai
disini, mana dapat kita pulang dengan tangan kosong?"
"Jadinya kau masih mengharapi kitab warisannya Kiauw
Pak Beng itu?" tanya Sie Ie.
"Semenjak turun temurun, keluargaku mengharap sangat
ilmu silat keluarga Kiauw itu," sahut Seng Lam, "sampaipun
malam dan bermimpi, kami tidak dapat melupakannya, hingga
sekarang tinggal aku satu orang, mana dapat aku membikin
lenyap ini ketika yang baik" Dengan berangkat pergi, apa kata
terhadap leluhurku itu" Bukankah aku menjadi tidak dapat
mewujudkan pengharapan mereka" Di samping itu, sakit
hatiku juga masih belum terbalas!"
"Justeru kau tinggal sendiri, kau tidak dapat
mempertaruhkan jiwamu!" Sie Ie memberi ingat. "Tentang
pembalasan sakit hati, kau perhatikanlah keadaan sekarang
ini. Beng Sin Thong sudah terkurung di pulau kosong ini, dia
tidak mempunyai perahu, meski benar dia mungkin tak
terancam bahaya di dalam rimba, tetapi terang dia tidak dapat
berlayar pergi, tak dapat dia pulang! Bukankah itu berarti sakit
hatimu telah terbalas sendirinya?"
"Tidak!" kata si nona, berkeras. "Tidak dapat tidak, aku
mesti dapatkan kitab warisannya Kiauw Pak Beng itu! Apakah
kau masih ingat bagaimana kau telah menerima baik
sumpahku" Apakah katamu baru ini?"
Kim Sie Ie menghela napas.
"Baiklah," sahutnya. "Aku telah berjanji akan membantu
kau mencari kitab warisan itu, karena kau tidak berniat
melepaskannya, mari kita mencarinya! Kita pertaruhkan jiwa
kita!" "Belum tentu kita akan menjual jiwa kita!" katanya. "Jikalau
toh kita mati, kita akan mati bersama! Tidakkah itu pun
menyenangkan?"
Sie Ie mengeluh dalam hatinya, matanya menyingkir dari
sinar mata si nona.
"Mana gambar peta itu?" Seng Lam tanya.
"Ada. Tapi gambar itu aneh, aku tidak mengerti. Perlu
apakah itu?"
"Jikalau kau tidak menghendakinya, kasihlah padaku," kata
si nona tertawa.
Mustahilkah kau mengerti itu!" Sie Ie menegaskan.
"Itulah kau tak usah perdulikan! Kau serahkan padaku,
nanti ada faedahnya!"
Sie Ie heran. Di dalam keadaan seperti mereka itu, di pulau
terpencil ini, apa ia bisa bikin" Terpaksa ia serahkan gambar
peta itu. Berdua mereka mendarat, memasuki rimba, yang pohonpohonnya
tinggi seumpama kata sundul ke langit. Gelap rimba
itu, sunyi dan seram suasananya. Sie le gagah tetapi ia dapat
juga perasaan tidak enak.
Dengan waspada mereka maju. Beberapa kali mereka
bertemu dengan serombongan binatang liar, mereka
melewatinya terus. Binatang-binatang itu tidak datang
mengganggu, sebab tidak diserang, mereka pun tidak menjadi
galak. Memangnya mereka tidak kenal manusia.
Jalan sampai di satu tempat, Seng Lam berseru kaget,
matanya mengawasi ke depannya.
Sie Ie turut mengawasi, ia pun kaget. Ia melihat satu
mayat terkulai di gombolan rumput. Dan itulah mayatnya
Siang Ceng Nio, isterinya In Leng Cu, yang batok kepalanya
bolong, mungkin bekas disedot polonya. Ia heran karena ia
tahu. Siang Ceng Nio liehay. Singa atau harimau tidak dapat
merobohkan nyonya itu, apapula dia ada bersama Beng Sin
Thong dan suaminya. Habis, kenapakah dia" Siapakah yang
membinasakannya" Benarkah suatu binatang liar"
Tak kuat hati Sie Ie menyaksikan mayat orang, ia lantas
menutupinya dengan daun-daun.
"Mari!"ia mengajak Seng Lam lekas berlalu, untuk melanjuti
perjalanan mereka memasuki rimba itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara meraung keras
bagaikan guntur yang sangat menusuk telinga, dengan lantas
suara itu diikuti suara badai, lalu suara kaburnya ratusan
binatang liar, antaranya harimau dan kera, yang agaknya
seperti kalap, hingga berisiknya bukan main.
Kim Sie le berseru: "Celaka!" sambil ia membetot tangan
Seng Lam, untuk mengajak si nona lompat naik ke atas
sebuah pohon besar.
Segera terlihat pelbagai binatang beburonan lari ke arah
mereka, yang terdepan seekor harimau besar, lalu singa, lalu
biruang, macan tutul dan lainnya, seperti babi hutan dan
badak. Semua binatang itu lan seperti berlomba, semua
nampak ketakutan. Rupanya mereka terancam bahaya besar.
Kim Sie Ie menyalakan api, untuk menyulut cabang kayu,
yang mana ia lemparkan ke bawah pohon dimana api itu terus
berkobar. Di bawah pohon itu ada banyak daun dan cabang pohon
lainnya yang kering.
Seng Lam pun menimpuk dengan sebatang senjata
rahasianya yang dapat meledak mengeluarkan api, tepat
senjata itu mengenai harimau yang terdepan itu, ketika
terdengar perledakan, raja hutan itu ketakutan, dia lari ke lain
arah, hanya baru belasan tombak, dia roboh binasa.
Beburonan lainnya lari terus dengan melompati atau
menginjak tubuh raja hutan itu.
Habis itu barulah hati Seng Lam lega, tetapi ia
mengeluarkan peluh dingin. Katanya: "Syukur harimau itu
menukar haluan, jikalau tidak, pohonku ini dapat digempur
roboh oleh mereka! Sungguh berbahaya!..."
Tapi tak lama, kembali terdengar raungan seperti tadi itu.
Suara itu terdengar lebih dekat, maka itu untuk telinga terasa
lebih hebat, sampai ketulian. Kembali angin menghembus. Kali
ini suara itu disusul dengan munculnya seekor binatang luar
biasa, yang bulunya semua kuning keemas-emasan,
macamnya mirip singa tetapi terlebih kecil, tubuhnya terlebih
panjang daripada tubuh singa hingga dia jadi mirip kera
tangan panjang. Yang hebat ialah larinya keras seperti
terbang. Ketika dia lompat menerkam seekor singa, singa itu
menjadi lemas, terus mendekam, berdiam saja. Belasan ekor
beburonan lainnya pun menjadi takut, semua berhenti berlari
dan mendekam seperti singa itu. Lantas binatang liar itu
menggunai kukunya yang tajam dan kuat, menghajar pecah
batok kepala si singa, untuk disedot polonya! Singa itu
terbinasa tanpa melawan.
Setelah itu, binatang itu menyedot polonya dua ekor
harimau, sedang seekor macan tutul digegares jantungnya, isi
perutnya. "Kiranya yang membinasakan Siang Ceng Nio ialah makhluk
ini," kata Kim Sie Ie setelah ia menyaksikan keadaan bangkaibangkai
singa dan harimau itu, yang lukanya sama dengan
lukanya si nyonya.
Seng Lam agaknya jeri, dia merapatkan tubuhnya pada
tubuh Sie Ie. Dia tanya: "Binatang apa ini begini liehay?"
"Binatang aneh ini dinamakan kimmosoan," menjawab Sie
Ie, "makanannya ialah singa dan harimau. Dulu pernah aku
mendengarnya dari guruku, baru ini hari aku melihat
binatangnya. Mari kita tunggu sampai dia telah makan
kenyang dan dia telah membubarkan semua beburonan itu,
hendak aku membinasakannya."
"Binatang demikian liar, lebih baik kita jangan ganggu,"
berkata Seng Lam.
Habis bersantap, binatang aneh itu menggempur pecah
kepalanya kedua ekor harimau, terus dia meraung keras. Atas
itu, bagaikan orang mendapat keampunan, semua beburonan
lainnya lantas pada bergerak dan lari, kecuali lagi dua ekor
harimau, yang tadi terusap kepalanya, keduanya masih
mendekam terus, tidak berani bergerak...
Kimmosoan itu kemudian menggeraki tubuhnya untuk
bangun, hingga dia dapat berdiri sebagai manusia. Dia
berjalan dua putaran, matanya melihat kelilingan. Dia seperti
dapat menghendus bau apa-apa. Mendadak dia meraung pula,
untuk terus berlompat ke depan.
Kim Sie Ie terkejut. Ia menduga binatang itu telah
mendapat lihat padanya. Lekas-lekas ia mematahkan
secabang pohon. Ia pun berniat berlompat turun, hanya
belum lagi ia berlompat, telinganya lantas mendengar jeritan
yang menyayatkan hati. Untuk kagetnya, ia mengenali
suaranya Kunlun San-in. Suaranya si imam disusul dengan
bentakannya Biat Hoa Hwesio, disusul pula dengan
raungannya binatang liar yang luar biasa itu.
Hebat raungan itu, pohon-pohon bagaikan tergetar goyang.
Segera terlihat tak jauh dari pohon dimana mereka
berlindung, Biat Hoa Hwesio tengah menempur kimmosoan.
Pendeta itu menggunai tongkatnya. Di lain pihak, di antara
pepohonan lebat, Kunlun Sanjin tertampak lagi dililit pohon
oyot seperti rotan, dia meronta-ronta tangan dan kaki, tidak
dapat dia meloloskan dirinya. Imam itu ketakutan bukan main.
Kunlun Sanjin dan Biat Hoa Hwesio bersembunyi di atas
pohon, hanya keletakan pohon itu lebih dekat dengan si
binatang aneh dibanding dengan tempat sembunyinya Kim Sie
Ie dan Le Seng Lam, maka itu ketika binatang itu mengendusendus,
itulah disebabkan dia mendapat cium bau manusia
dalam dirinya kedua orang suci itu. Dia lantas bertindak
menghampirkan, setelah datang dekat, sambil
memperdengarkan suaranya yang menakuti, dia lompat
menyambar kedua orang itu.
Kunlun Sanjin terkejut hingga ia terjatuh dari atas pohon.
Apa celaka, dia jatuh di pohon rotan itu, pohon mana lantas
bergerak sendirinya, melihat si imam, sebelum imam itu
berdaya, ia sudah terlibat tak berdaya, sia-sia belaka
percobaannya meronta, hingga kemudian, bernapas pun sulit.
Pohon rotan itu apa yang dinamakan "pohon rotan tukang
makan manusia". Sekalipun harimau atau singa, kalau kena
melanggar pohon itu, dapat terlibat dan terbinasa karenanya.
Itulah pohon yang paling menakuti. Siapa terlibat mati, selang
beberapa jam, dagingnya dapat lumer menjadi cair, hingga
merupakan "barang hidangan" untuk pohon itu. Karena
Kunlun Sanjin seorang tangguh, dia masih dapat bertahan.
Biat Hoa Hwesio menyingkir dari terkaman binatang luar
biasa itu, karenanya ia turun ke tanah. Segera ia mesti


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menempur binatang itu. Ia telah mengeluarkan ilmu
tongkatnya. Binatang itu sangat berani dan gesit. Saban-saban
dia dapat berkelit. Dengan kedua tangannya yang berkuku
besar dan tajam, saban-saban dia menerkam. Kedua
tangannya itu dapat diulur panjang.
Dalam bertempur itu, mendadak Biat Hoa menjerit keras.
Itu waktu si pendeta dapat menghajar kepala orang, tetapi
kenanya tidak telak. Binatang itu gusar, dia lompat menerkam,
tangannya menyambar ke pundak hingga pundak itu luka dan
sakit rasanya, sampai si pendeta menjerit saking kaget dan
sakitnya itu. Sama-sama terluka, kedua musuh renggang untuk
sementara. Kimmosoan gusar sekali, sebelum menerjang pula,
ia menyambar sepotong batu besar dengan apa dia
menimpuk. Biat Hoa menangkis. Batu itu pecah tetapi
telapakan tangannya pecah juga, mendatangkan rasa sakit
sekali. Baru sekarang binatang itu meraung pula, kembali dia
menerkam. "Mati aku!" Biat Hoa mengeluh, karena tangannya sakit
begitupun pundaknya. Kimmosoan sebaliknya masih ganas
dan kuat sekali.
Ketika itu Kim Sie Ie sudah keluar dari tempatnya
sembunyi. Ia lari kepada Kunlun Sanjin dengan niat menolongi
imam itu, atau mendadak ia mendengar suara raungan, ketika
ia berpaling, ia mendapatkan Biat Hoa lagi terancam bahaya
maut. Tanpa bersangsi pula, ia segera menyerang dengan
cabang pohon di tangannya. Ia melontarkannya karena jarak
mereka menyukarkan ia berlompat maju.
Bagaikan anak panah, cabang itu meluncur, Kimmosoan
berkulit kuat, dia tidak takuti senjata, tetapi ketika itu dia lagi
menerkam, mendadak ujung cabang mengenai matanya!
Bukan main kagetnya binatang itu, dia kesakitan sangat,
sambil meraung keras luar biasa, tubuhnya roboh bergulingan.
Akan tetapi dia tidak mati, ketika dia berguling bangun, dia
lantas lari ke arah Kim Sie Ie, untuk menerkam. Bukan main
gesitnya dia. Kim Sie Ie mengerti bahaya, maka juga habis menimpuk, ia
lompat kepada Kunlun Sanjin, guna mengambil pedangnya si
imam, dari itu ketika ia diterkam, ia dapat membikin
perlawanan. Ia memutar pedang bagaikan titiran, sampai
binatang itu tahu juga akan rasa ngeri, dia berlompat tinggi
lewat kepala, lalu dari belakang dia menerkam pula. Kim Sie Ie
berkelit, tak urung bajunya kena terobek.
Tengah Kim Sie Ie melayani binatang liar itu, telinganya
mendengar jeritannya Kunlun Sanjin: "Biat Hoa Taysu! Biat
Hoa Taysu!"
Nyata selagi Kim Sie Ie merintangi kimmosoan, pendeta itu
mengangkat kaki, maka melihat kelakuan orang itu, si imam
menjadi gusar sekali, hingga dia mengasih dengar
panggilannya berulang-ulang itu. Di dalam hatinya, imam ini
kata: "Kau senantiasa mengaku kita adalah orang sendiri,
siapa sangka di saat menghadapi bahaya maut ini, kau kabur
seorang diri, kau meninggalkan aku!..."
Coba Biat Hoa menolongi Kunlun Sanjin, lantas bersama
Kim Sie le mereka mengepung kimmosoan, tak sulit untuk
membinasakan binatang itu, sekarang Biat Hoa kabur dan
Kunlun Sanjin tidak berdaya, Kim Sie Ie repot sekali. Ia mesti
lebih banyak membela dirinya.
Sambil mengutuk Biat Hoa, diam-diam Kunlun Sanjin
memujikan kemenangannya Kim Sie le. Ia insyaf,
kegagalannya si pengemis edan berarti kebinasaannya sendiri.
Biat Hoa lari bukan karena ketakutannya melulu. Dia ingin
supaya Kim Sie Ie dan kimmosoan terluka bersama. Tentang
Kunlun Sanjin, ia berpikir masa bodoh, kawan itu terbinasa...
Sesudah bertarung sekian lama, Kim Sie Ie bergelisah
sendirinya. Sia-sia ia mencoba menyerang binatang itu, ia
masih tidak berhasil. Dengan kepalanya bekas dikemplang
tongkat Biat Hoa dan matanya ketusuk cabang pohon,
kimmosoan tetap memperlihatkan ketangguhannya.
Dalam gelisahnya itu, Kim Sie le ingat pesan gurunya
bahwa binatang liar, tak perduli kegalakan dan kekuatannya,
anggauta tubuhnya yang terlemah ialah matanya. Tadi ia telah
melukai sebelah mata binatang itu, maka sekarang ia mau
melukai yang lainnya. Lantas ia menukar siasat berkelahinya.
Ia sekarang lebih banyak menikam.
Kimmosoan berkelahi sebagai manusia, dia berdiri. Dia
tetap gesit dan waspada, senantiasa dia dapat berkelit dengan
lincah. Dia bergerak bagaikan orang yang mengerti ilmu silat.
Kim Sie Ie melayani terus. Baik dengan pedangnya,
maupun dengan kepalannya, ia selalu mengincar ke mata,
cuma kadang-kadang saja tangan kirinya meninju tetapi tanpa
hasilnya, sebab binatang itu kuat sekali. Baru kemudian
nampak beburonan itu mulai letih.
Di dalam saatnya Kim Sie Ie menang di atas angin,
sekonyong-konyong ia mendengar suara meraung seperti
suaranya kimmosoan, hingga ia terperanjat. Ia lantas melihat
munculnya seekor kimmosoan lainnya, bahkan yang tubuhnya
lebih besar daripada binatang yang ia lagi tempur. Itulah
hebat. Yang satu belum dapat dirobohkan, datang yang lain,
bahkan tenaga baru. Ia berpikir: "Bersama Seng Lam mungkin
aku dapat lolos, bagaimana dengan Kunlun Sanjin?" Hatinya
yang mulia berkasihan kepada imam itu meskipun orang
bukanlah kawannya.
Tengah berkelahi itu, binatang itu meraung keras,
tubuhnya roboh terguling. Dengan begitu dapat dia
menjauhkan diri dari lawannya, dia terus lari kepada
kawannya yang baru tiba itu, hingga si kawan tak dapat lari
terus ke arahnya tadi. Lantas kedua binatang itu saling
menjilati, mirip dengan kelakuannya binatang jantan dan
betina, maka itu dapatlah diduga, yang terluka itu jantan,
yang baru muncul betina.
Kim Sie Ie tidak menerjang lebih jauh. Ia mengawasi
dengan waspada, bersiap untuk menempur pula. Dengan
mengawasi itu, lantas ia mendapatkan apa-apa yang luar
biasa. Kimmosoan betina mengasih dengar suaranya. Dia tidak
meraung sebagai tadi, dia hanya merintih, lalu tubuhnya
menggigil, sebagai orang kedinginan sangat. Tubuhnya itu
seperti menjadi ciut. Yang jantan lantas merangkul, seperti dia
hendak menolongi dengan hangatnya tubuhnya sendiri. Hanya
selagi begitu, keduanya, dengan ketiga matanya, mengawasi
Sie le, seperti mereka takut nanti diserbu...
Kim Sie Ie berdiri diam, hatinya bekerja.
"Teranglah si betina ini telah terserang Beng Sin Thong,"
pikirnya selang sesaat.
Kimmosoan kuat dan kebal dan gesit tetapi menghadapi
Siulo Imsat Kang, dia tidak berdaya, maka itu dia rupanya
kabur dari depan Beng Sin Thong dengan membawa lukanya,
dan raungannya yang menyeramkan kemudian berubah
menjadi rintihan.
Ketika itu ialah ketika paling baik buat membinasakan
kedua binatang itu tetapi Kim Sie le tidak mau menurunkan
tangan jahat. Ia menjadi bersangsi karena ia mengingat
keeintaannya suami isteri itu. Ia menjunjung itu pepatah yang
membilang "seorang kuncu tidak mencelakai orang yang lagi
kesusahan". Ia tahu, kalau kedua binatang itu sembuh,
mereka bertiga bisa dapat celaka...
Di saat Sie le terumbang-ambing dalam kesangsian,
kembali ia mendengar suara, yang mengagetkan padanya. Kali
ini bukannya raungan kimmosoan hanya siulan keras dan
panjang, siulan seorang yang tenaga dalamnya mahir luar
biasa. Ia mau menduga, mendengar suara itu, orang mungkin
terpisah sepuluh lie dari ianya...
Sie Ie menjadi ragu-ragu berbareng berkuatir. Suara itu
bukan suaranya Beng Sin Thong. Suaranya Sin Thong ia kenal
baik. Itu pun bukan suaranya In Leng Cu. In Leng Cu tidak
mahir tenaga dalamnya seperti itu. Habis, siapakah orang itu"
Aneh adalah kedua kimmosoan begitu lekas keduanya
mendengar suara itu. Bagaikan ada yang memanggil, yang
jantan lantas menggendong yang betina, setelah memandang
kepada Kim Sie Ie-yang tidak mengejarnya, hingga sinar
matanya adalah sinar mata bersyukur-dia lari ke arah dari
mana siulan datang. Sembari lari itu, dia mengasih dengar
raungannya dua kali, rupanya sebagai jawaban untuk siulan
tadi. "Sungguh berbahaya!" Sie Ie dengar suara di belakangnya,
hingga ia terperanjat. Tapi ia lekas dapat menetapkan hatinya,
karena ia kenali suara itu, yang melanjuti: "Syukur kedua
binatang itu pergi! Hanya siulan barusan, adakah itu siulan
orang atau suara binatang lainnya?"
Kim Sie le tidak menjawab si nona. Ia masih bersangsi,
bahkan berkuatir. Ia lantas menghampirkan Kunlun Sanjin,
guna menolongi imam itu.
Dengan berlalunya kedua binatang luar biasa itu maka
kedua ekor harimau, yang mendekam saja semenjak tadi,
lantas mengangkat kepalanya, melihat kelilingan, kemudian
keduanya bangun berdiri, dengan menggoyang-goyang
ekornya, mereka menghampirkan Kim Sie Ie, yang
dipandangnya dengan sinar mata bersyukur.
Kim Sie Ie pun mengawasi tajam. Ia senang waktu ia
mendapat kenyataan raja hutan itu tidak berniat jahat. Ia
tertawa dan kata: "Binatang penaklukmu sudah pergi, bahaya
untuk kamu sudah tidak ada, maka pergilah kamu!"
Kedua harimau itu mendekam, keduanya menjilati kakinya
si pengemis edan.
Seng Lam menjadi ketarik hatinya, ia mendekati untuk
menepuk-nepuk kepalanya kedua raja hutan itu, yang berdiam
saja, agaknya mereka seperti binatang-binatang piaraan yang
jinak. "Pergilah kamu!" katanya kepada kedua raja hutan itu,
yang terus ngeloyor pergi. Sembari tertawa, ia menambahkan:
"Jikalau bukannya aku kuatirkan kimmosoan, suka aku piara
kedua harimau itu."
Kim Sie Ie tidak melayani si nona bicara, ia hanya lantas
bekerja. Ia mesti bekerja banyak untuk membabat kutung
oyot-oyot rotan itu, baru Kunlun Sanjin lolos dari libatan.
Tubuhnya kontan bengkak dan merah.
Le Seng Lam pun merasa kasihan. Ia membekal obat
pemunah racun, maka ia berikan obat itu pada Kim Sie Ie,
untuk dia ini yang mengobati si imam. Dengan begitu
penderitaan imam itu menjadi berkurang, hingga ia berterima
kasih karenanya.
"Seng Lam," kata Kim Sie Ie kemudian, menyeringai,
"apakah kau tetap hendak mencari kitab ilmu silatnya Kiauw
Pak Beng?"
Kunlun Sanjin telah menjadi ciut hatinya, tidak menanti si
nona menjawab, ia mendahului.
"Rimba ini jauh terlebih menakuti dari Beng Laokoay!" ia
kata. "Aku cuma mengharap dapat lekas-lekas berlalu dari
pulau ini! Yang lainnya, segala mustika, tak aku
menghendakinya!"
"Kau tidak menghendakinya, aku sebaliknya!" kata Seng
Lam tertawa. "Kimmosoan dan rotan yang jahat ini, paling
banyak keduanya dapat mengambil jiwaku tetapi tidak
merubah maksudku! Kim Sie Ie, kau takut atau tidak?"
"Jikalau aku mengatakan tidak takut, itulah palsu," sahut
orang yang ditanya. "Aku telah memberikan janjiku membantu
kau, maka itu meski ada yang lebih menakutkan, aku juga
tidak dapat mengubah kata-kataku itu!"
"Kalau begitu, marilah!" kata si nona tertawa. Ia memutar
tubuhnya dan berjalan.
Kim Sie Ie turut mengangkat kakinya.
Melihat dua orang itu pergi, Kunlun Sanjin mengikuti
dengan terpaksa.
Di tengah jalan sambil tertawa, Kim Sie Ie kata:
"Kimmosoan masih dapat dilayani, tetapi majikannya, mungkin
tidak! Apa yang aku kuatirkan ialah manusia yang tidak
dikenal itu..."
"Aku pun menduga siulan tadi siulan manusia," kata Kunlun
Sanjin. "Maka itu, mendengar pengutaraan kau ini, mungkin
dia benar manusia!"
"Apa" Siulan tadi siulan manusia?" Seng Lam tegaskan.
Sie Ie mengangguk seraya ia diam-diam memperhatikan
wajah si nona. Seng Lam terkejut tapi dia tidak menunjuki
roman takut, melainkan sinar mata yang terus memain.
Teranglah si nona, dalam kagetnya itu, ada merasakan
sesuatu yang menggirangkan hatinya. Sinar mata itu cuma
dapat diterka Sie Ie berkat pergaulan mereka berdua yang
lama. Semenjak meninggalkan Coato, Pulau Ular, Sie Ie
memperoleh kenyataan Le Seng Lam ialah seorang yang luar
biasa, dan sekarang itu berlebihan. Ia menjadi mendugaduga:
Mungkinkah Seng Lam telah mengetahui bahwa di
pulau ini bertinggal manusia luar biasa itu" Toh inilah yang
pertama kali si nona pergi berlayar dan sama sekali dia tidak
ketahui keletakannya pulau ini. Jadi sukarlah dipercaya yang
dia ketahui hal adanya si orang aneh...
Dibandingkan dengan Pulau Ular, pulau ini jauh terlebih
besar. Hutannya pun lebat seperti menutupi langit. Hutan ini
mirip dengan "rimba laut", yang tak ada ujung pangkalnya.
Kunlun Sanjin yang tadinya gagah dan berani, sekarang
menjadi kuncup hatinya menghadapi pulau luar biasa ini,
maka juga selagi berjalan ia mengintil rapat pada Sie Ie dan
Seng Lam, ia seperti bocah cilik yang takut ketinggalan orang
tuanya, yang takut nanti disambar setan.
Tiba-tiba, selagi berjalan, mereka mendengar lagi satu
siulan. "Itulah suaranya Beng Sin Thong!" Kunlun Sanjin berseru
cepat. Ia segera bertindak mendahului ke arah dari mana
suara itu datang. Hanya baru beberapa tindak, lantas ia sudah
kembali. Itulah sebab di arah timur terdengar juga siulannya si
orang aneh. Kim Sie Ie berkata: "Si orang aneh tengah mengejar Sin
Thong!" Lantas kedua rupa siulan terdengar saling sahutan, nanti di
timur, nanti lagi di barat. Didengar dari suaranya, tenaga
dalam kedua orang itu rupanya berimbang. Kumandang
siulan-siulan itu terdengar dari delapan penjuru. Maka


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian lantas sukar dibedakan, yang mana siulannya Ben
Sin Thong dan yang mana suaranya si orang aneh, penghuni
pulau yang belum dikenal itu.
"Entahlah, Beng Sin Thong pernah bertemu atau belum
dengan orang aneh itu," kata Kim Sie Ie. "Orang aneh itu
menang setingkat dalam tenaga dalam, dia juga dibantu
kedua binatang luar biasa itu, bila mereka bentrok, belum
tentu Beng Sin Thong dapat melawannya..."
"Perlu apa kau pikirkan dia?" kata Seng Lam. "Dia kalah
terlebih baik lagi!"
"Bukan begitu. Rimba ini sangat berbahaya, untuk kita,
tambah satu tenaga tambah baik. Tentang permusuhanmu
dengan Beng Sin Thong, di belakang hari masih dapat diurus
terlebih jauh."
"Baiklah!" si nona tertawa dingin. "Nah pergilah kau
membantu dia!"
Ketika itu pelbagai siulan sudah berhenti tetapi
kumandangnya masih terdengar. Baru lewat lagi sekian lama,
suara itu menjadi lemah, hingga Kim Sie Ie tidak dapat
memperhatikan lebih jauh orang berada di arah mana.
"Apakah kau masih ingat apa aku kata pada kau selama
kita berada di atas perahu?" mendadak si nona bertanya,
matanya menatap. Tapi ia tidak menanti jawaban. Lantas ia
jalan mendahului si pengemis edan, bahkan dengan tindakan
lebar, seperti juga ia telah kenal baik jalan yang harus diambil
itu! Kim Sie Ie heran. Ia lantas ingat kata-kata si nona di atas
perahu " kata-kata yang si nona tanyakan barusan. Seng
Lam membilang, setibanya di pulau, maka ia- Sie Ie-mesti
turut nona itu.
Sekarang mulailah ia merasa aneh. Si nona benar-benar
luar biasa. Oleh karena mereka ada bersama Kunlun Sanjin, Sie Ie
tidak mau menanya apa-apa, ia bertindak mengikuti.
Sesudah berjalan sekian lama, mereka tiba di satu tempat
dimana rimba tak selebat tadi, bahkan mereka lantas sampai
di depannya sebuah kuburan yang pernahnya di tanah yang
berumput luas belasan tombak di sekitarnya. Teranglah
lapangan itu buatan manusia. Malah ada bagian rumputnya,
yang di tengah, yang tinggi dan rendahnya tak rata, tanda
bekas terinjak-injak orang...
Mulanya Kim Sie Ie menduga kuburannya Kiauw Pak Beng,
setelah ia mendekati dan meneliti, ia mendapat kenyataan
batu kuburan belum ada cacadnya, tanda itulah bukan
kuburan tua, atau paling lama baru belasan tahun, sedang
Kiauw Pak Beng ialah orang yang hidup tiga ratus tahun dulu.
Kiauw Pak Beng pergi ke pulau dalam usia enam puluh,
andaikata dia dapat hidup seratus tahun yang lalu, tidak nanti
kuburannya sebaru ini.
Yang aneh lagi, di depan kuburan itu kedapatan bocah dan
bunga, seperti baru saja orang menyambangi dan
menyembahyanginya. Maka itu, kuburan siapakah itu dan
siapakah yang menjenguknya" Apakah dialah si orang aneh
yang tadi terdengar siulannya itu"
Selagi berpikir itu, mendadak Sie Ie lihat wajah si nona
beda dari biasanya.
"Kenapa disini boleh ada kuburan ini?" kata si nona seorang
diri, suaranya tak tegas. "Kenapa disini boleh ada kuburan
ini?" Kim Sie Ie mendengar kata-kata itu, herannya bertambah.
Belum pernah, semenjak tibanya mereka di pulau ini, si nona
bersikap demikian. Sikap yang aneh! Karenanya, dari heran ia
menjadi bercuriga!
Seng Lam berdiri di depan kuburan, ia mengawasi sekian
lama. Kuburan itu tanpa batu nisan. Mendadak ia
menjatuhkan diri, untuk bertekuk lutut dan menganggukangguk
dua kali. "Seng Lam!" kata Sie Ie heran. "Kuburan ini kuburan
siapakah?"
"Mana aku ketahui?" sahut si nona. Aneh penyahutannya!
"Kalau kau tidak kenal dia, karena dia bukannya sanak
bukannya kadang, perlu apa kau memberi hormat padanya?"
tanya si pemuda.
"Dia telah menutup mata di pulau terpencil ini, kecuali si
orang aneh, siapakah yang menyambanginya, untuk memberi
hormat padanya?" sahut si pemudi. "Kita telah datang kemari,
masih belum didapat kepastian kita bakal dapat pulang
dengan masih hidup atau tiada, dari itu kita jadi mempunyai
pengharapan akan bernasib sebagai dia, mati terlantar di
dalam pulau ini, maka juga aku merasa terharu dan memberi
hormatku kepadanya..."
Sie Ie dapat menduga kata-kata itu karangan belaka, yang
baru saja dapat diingat, bahwa di balik itu mesti ada sebab
lainnya. Kunlun Sanjin terharu mendengar perkataan si nona, ia
lantas meniru nona itu. Ia juga mengangguk dua kali kepada
kuburan tidak dikenal itu, dan kata: "Sahabat yang tidak
dikenal yang berada di dalam kuburan, aku minta sukalah kau
menolongi supaya kami dapat dengan selamat meninggalkan
pulau ini! Jikalau aku telah tiba di kampung halamanku, nanti
aku mengundang pendeta lama dari Istana Potala guna
menyembahyangi arwahmu!..."
Kim Sie le tertawa.
"Cocok kamu berdua!" katanya. "Sikap kamu ini membuat
aku pun merasa seram!-Hayo, mari kita jalan! Mati atau hidup,
itulah takdir, baik kita biarkan saja! Orang di dalam kuburan
itu masih tidak sanggup melindungi dirinya sendiri, mana
dapat dia melindungi kamu?"
Seng Lam mengambil setangkai bunga di depan kuburan
itu, ia tancap di ujung bajunya, habis itu ia mulai lagi berjalan.
Ia tetap jalan di muka, sebagai penunjuk. Ia berjalan dengan
menikung ke kiri dan belok ke kanan, ia berjalan terus, hingga
tanpa merasa sampailah mereka di kaki gunung.
Sekarang terlihat nyata romannya puncak, yang berwarna
merah mirip darah. Dari atas itu terasa angin meniup turun
membawa bau belirang. Di lereng gunung, pepohonan lebat
sekali. "Kunlun Sanjin, jangan takut!" berkata Seng Lam kepada si
imam, tiba-tiba "Gunung berapi ini sudah mati!"
Imam itu dongak, memandang ke puncak. Entah kenapa, ia
merasakan sesuatu yang aneh, hingga hatinya menjadi tidak
tenang. Akan tetapi ia melihat si nona berjalan terus, ia
terpaksa membesarkan hati mengikutinya.
Tiba di tengah jalan, ialah di pinggang bukit, Kim Sie Ie
memasang telinga.
"He, itulah suara orang bertempur!" katanya seraya
tangannya terus menunjuk. Belum suaranya berhenti, segera
terdengar teriakan berulang-ulang: "Tolong! Tolong!" Teriakan
itu panjang dan lemah.
"Itulah In Leng Cu!" teriak Kunlun Sanjin, yang mengenali
suara kawannya.
Ketiganya lantas lompat, untuk berlari-lari ke lembah, lalu
dari sana, melihat ke atas, terlihat dua orang lagi bertempur.
Itulah In Leng Cu serta si orang luar biasa penghuni pulau itu.
Si orang aneh mengenakan baju kulit harimau dan rambutnya
yang panjang meroyot turun, hingga dia nampak tegas sekali.
Waktu itu In Leng Cu sudah terdesak, hingga dia main
mundur saja. "Celaka!" Kunlun Sanjin berteriak.
Menyusuli teriakan itu, disana terdengar suara saling susul.
Yang pertama ialah suaranya poankoan pit terhajar mental,
terbang ke udara, dan yang lainnya tertawa nyaring dari si
orang aneh, yang tangannya lantas dipakai menyambar
lawannya! Tak berdaya ln Leng Cu. Dia kena ditangkap! Lantas
tubuhnya diangkat tinggi ke atasan kepala dan diputar. Di saat
dia hendak dilemparkan, mendadak orang aneh itu ingat suatu
apa, karena itu ia membatalkan niatnya, ia menurunkan
lawannya. "Kau siapa?" dia tanya. "Dari mana kau datang?"
Baru sekarang orang itu membuka mulutnya berbicara dan
lagu suaranya pun lagu orang Siamsay.
Kim Sie Ie mendengar itu, ia menjadi bertambah heran.
In Leng Cu ketakutan.
"Aku datang dari Tibet," sahutnya lekas. "Akulah In Leng
Cu, ketua dari Lengsan Pay."
Partai Lengsan Pay itu untuk di Barat daya besar
pengaruhnya, dari itu In Leng Cu mengharap orang aneh ini
nanti memberi keampunan kepadanya. Siapa tahu begitu ia
memperkenalkan diri, tiba-tiba orang aneh itu berseru, kedua
tangannya digeraki, maka tubuh ketua Lengsan Pay itu lantas
terlemparkan pergi!
Kim Sie Ie terkejut. Jarak di antara mereka jauh, tidak
dapat ia menolongi In Leng Cu. Akan tetapi ketua Lengsan Pay
ini dilemparkan ke arah sebuah tikungan di mana dengan
mendadak muncul satu orang, yang terus menanggapi
tubuhnya. Melihat demikian, lega hatinya Tokciu Hongkay,
apapula penolong itu ialah Biat Hoa Hwesio. Hanya... Hwesio
itu lagi mencari Beng Sin Thong, justeru ia muncul, justeru ia
menampak In Leng Cu dilemparkan. Ia lantas menolongi. Tapi
hebat lemparannya si orang aneh. Tak kuat ia menahan tubuh
kawannya- Tubuh In Leng Cu jatuh terus ke tanah dimana dia
rebah terkulai, tubuhnya sendiri terputar, masih syukur ia
tidak turut roboh terbanting.
Dari situ ternyatalah kuatnya si orang aneh, yang habis itu
lantas berlompat menyusul. Dia lantas memandang tajam
kepada si pendeta, dia menanya nyaring: "Eh, apakah sejak
dilahirkan kau tidak berambut?" Agaknya dia sangat heran.
Rupanya dia tidak pernah melihat pendeta. Habis mengawasi
dia menghampirkan, tangannya diulur, niatnya meraba orang
punya kepala gundul!
Biat Hoa Hwesio gusar sekali. Tak suka ia kepalanya
diusap-usap. Ketika itu ia pun sudah dapat berdiri tetap. Maka
ia menyerang dengan tongkatnya.
Orang aneh itu berseru, tubuhnya berjingkrak, tetapi
tangannya diajukan ke depan, untak dipakai menyambuti
dengan pukulan kepada tongkat itu.
Tongkat dengan tangan bentrok keras, suaranya terdengar
nyata. Tangan itu bagaikan bukan terdiri dari tulang dan
daging, tongkatnya Biat Hoa kena dibikin terpental.
Syukurlah untuk si pendeta, ia tak usah kena diusap-usap
kepalanya... Si orang aneh benar-benar aneh kelakuan atau tabiatnya.
Setelah dia gagal merobohkan Biat Hoa, dia tertawa lebar dan
berkata: "Bagus! Kau orang si tak berambut masih lebih
menang daripada yang ada rambutnya!" Dia maksudkan In
Leng Cu. Tapi sebelum berhenti perkataannya itu, dia sudah
maju menyerang pula!
Biat Hoa kaget bukan main. Karena tongkatnya terpental
walaupun tak terlepas dari tangannya, tubuhnya menjadi
limbung. Di samping itu, ia juga merasakan tubuhnya dingin,
hingga ia menggigil. Untuk menolong diri, terpaksa ia
memutar tongkatnya. Ia bersilat dengan tipu silat Hokmo
Thung-hoat, yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Sambil
membela diri itu, ia berteriak-teriak: "Lao Beng! Lao Beng!
Lekas! Lekas kemari!"
Hokmo Thunghoat, ilmu tongkat Menakluki Iblis, adalah
ilmu ciptaannya Tatmo Couwsu, ketua dari kuil Siauwlim Sie.
Itulah ilmu silat penjagaan diri. Ilmu itu dulu hari oleh Tokpie
Sinnie diwariskan kepada Liauw In, hingga pendeta ini
menjagoi di Selatan dan Utara sungai Besar tanpa lawan,
cuma paling belakang dalam pertarungan di gunung Binsan,
dia terbinasa di tangan Lu Su Nio yang menggunai ilmu
pedang Hian Lie Kiamhoat. Biat Hoa mendapatkan
kepandaiannya dari Liauw In, gurunya itu, dan dia dapat
mewariskan dengan baik, maka itu, dapat dia menggunainya
dengan sempurna. Menyaksikan itu, Kim Sie Ie pun kagum.
Akan tetapi walaupun Biat Hoa kosen, menghadapi orang
aneh dari pulau mencil dan tak dikenal ini, dia kewalahan, dia
cuma dapat membela diri. Ilmu silat si orang aneh, walaupun
ia bertangan kosong, liehay luar biasa, maka juga tangannya
saban-saban dapat meluncur mengancam lawannya.
Sesudah menyaksikan sekian lama, Kim Sie Ie heran dan
mengagumi si orang aneh. Terang dia berkepandaian silat
tinggi dan mahir sekali tenaga dalamnya. Ia menjadi berpikir:
"Mungkinkah orang ini telah mendapatkan kitab ilmu silat
Kiauw Pak Beng dan berhasil memahamkannya" Kalau benar,
siapakah yang memimpinnya" Adakah dia orang yang rebah
tenang di dalam kuburan tadi?" Hanya aneh si orang aneh!
Kenapa dia tidak tahu, dia tidak kenal hwesio, hingga dia
mirip-seumurnya--belum pernah berlalu dari pulau ini" Kalau
begitu, habis dari mana datangnya lagu suaranya orang
Siamsay" Sie Ie tidak cuma memperhatikan jalannya pertempuran.
Diam-diam ia juga memperhatikan Seng Lam, yang berdiri di
sisinya. Nona itu memperhatikan pertempuran itu tak kurang
asyiknya, bahkan istimewa perhatiannya. Ia menjadi heran
hingga ia menanya: "Seng Lam aku rasanya ingat kau pernah
membilangi aku bahwa rumah kau adanya di Soyang tin di
Siamsay Barat?"
"Tidak salah," menyahut si nona. "Setelah Kiauw Pak Beng
pergi berlayar, leluhurku lantas pindah kesana, sampai
sekarang ini sudah kira-kira tiga ratus tahun."
"Mendengar suaranya orang aneh ini, dia mirip dengan
orang sekampung halaman dengan kau," Sie Ie berkata pula.
"Di Siamsay itu masih ada keluarga siapa lagi yang pandai
ilmu silat dan terkenal?"
"Memang, aku pun merasa aneh!" berkata si nona. "Ahli
silat kenamaan di Siamsay tak sedikit jumlahnya, hanya
mereka itu tak ada yang dapat melebihkan keluargaku,
apapula untuk melebihkan ini orang aneh."
Kim Sie Ie berdiam. Ia heran. Pertempuran di antara si
orang aneh dan Biat Hoa Hwesio berjalan terus, hanya tidak
berlangsung lebih lama pula. Untuk kagetnya si pendeta,
tongkatnya telah kena dapat dirampas lawannya, yang dengan
berani dan liehay telah menyambarnya. Ia mundur dengan
terhuyung, mukanya pucat.
Si orang aneh tidak menyusul, untuk menyerang, hanya
dengan kedua tangannya ia mengerahkan tenaga, maka di
lain saat, tongkat besi dari Biat Hoa telah menjadi bengkok


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan melengkung bundar, lalu dimasuki ke lengannya. Dia pun
tertawa lebar dan berkata kegirangan: "Bagus! Bagus!" Dia
mirip seorang bocah yang mendapat gelang permainan!
Kim Sie Ie heran tetapi ia ingin mendapat kenyataan. Maka
ia berniat menghampirkan si orang aneh, untuk berbicara
dengannya. Belum lagi ia bertindak, mendadak ia mendengar
si orang aneh berseru, tangannya melemparkan gelang
istimewanya itu ke depan!
Di tikungan tempat munculnya Biat Hoa tadi muncul pula
seorang lain, ketika ia melihat datangnya serangan, ia
menangkis, maka gelang itu kena terhajar hingga mental ke
lembah! Orang yang baru muncul itu ialah Beng Sin Thong! Habis
menangkis, ia merasai lengannya kesemutan, hingga ia
menjadi heran dan kaget. Itulah sebab ia tidak menyangka
sekali bahwa di pulau kosong itu ada penghuninya dan yang
demikian liehay.
Si orang aneh itu agaknya heran, hingga matanya menjadi
mencilak, terlihat putihnya saja. Cuma sebentar herannya dia,
terus dia mengasih suara "Hm!" dan menanya: "Kaukah si
orang she Beng?"
Sin Thong bertambah heran, tetapi ia tidak mau kalah
jumawa, maka ia tertawa dingin dan menyahuti: "Ha, kiranya
kau seorang biadab pun mengenal aku?"
Orang aneh itu tidak menghiraukan kelakuan orang yang
jumawa, ia berkata: "Ini orang tanpa rambut telah berteriakteriak
meminta bantuan, maka kau tentulah terlebih liehay
daripadanya. Baiklah, kau coba tanganku!"
Kata-kata itu disusuli satu serangan.
Beng Sin Thong menyambut serangan itu.
Tangan mereka bentrok dengan keras, keras juga
suaranya. Akibatnya ialah Beng Sin Thong mundur tiga tindak,
dan si orang aneh terhuyung dua kali, lantas si orang aneh
berteriak saking murkanya: "Ha, kiranya kaulah si jahanam
yang telah melukakan binatang piaraanku!"
Kagetnya Sin Thong tidak terkirakan. Bentrokan itu
membuatnya merasakan hawa dingin menyerang tubuhnya.
Jadi tak dapat disangsikan pula, ini orang aneh juga pandai
Siulo Imsat Kang, bahkan kepandaian mereka sama
tingkatnya... Di dalam otaknya Sin Thong lantas muncul apa yang dipikir
Kim Sie Ie. Ia tanya dirinya sendiri: "Mungkinkah dia telah
mendapatkan kitab ilmu silatnya Kiauw Pak Beng?" Hanya
sejenak kemudian, ia berpikir pula: "Jikalau benar dia telah
mendapatkannya, mestinya kepandaiannya sudah sampai di
tingkat ke sembilan, tingkat terakhir. Sekarang ini dia baru
menyampaikan tingkat ke tujuh. Kenapakah?"
Si orang aneh tak dapat membiarkan orang berpikir
banyak-banyak. Dia sudah maju pula, untuk menyerang lagi.
Dia mengajukan kedua tangannya.
Beng Sin Thong mengerahkan tenaganya, ia menyambut
pula. Kali ini bentrokan terlebih hebat. Si orang aneh pun telah
mengerahkan tenaganya. Sin Thong merasai seperti jungkir
balik semua anggauta dalam tubuhnya. Dan si orang aneh
menggigil. Siulo Imsat Kang dari Beng Sin Thong sudah
menyampaikan tingkat ke tujuh dan lagi meningkat ke tingkat
ke delapan, di samping itu ia telah memperoleh pelajaran
tenaga dalam asli dari Biat Hoa Hwesio, dia mendapat
kemajuan, meski demikian, dalam halnya ilmu dalam, si orang
aneh menang unggul tidak hanya satu lipat, maka itu
terjadilah kesudahan demikian. Tegasnya, Sin Thong menang
sedikit Siulo Imsat Kang tetapi masih kalah tenaga dalamnya.
"Inilah berbahaya," pikir Sin Thong. Sebagai ahli, dengan
dua jurus itu saja sudah cukup untuk ia mengetahui liehaynya
orang asing ini. Maka ia berpikir lebih jauh:
"Dengan Siulo Imsat Kang tidak dapat aku membinasakan
dia, jikalau aku melayani dia terus-menerus, aku bisa menjadi
roboh sendiri karena letih..."
Tapi, untuk menyingkir, ia tidak dapat jalan. Ia menjadi
bingung juga. Si orang aneh sudah mulai menyerang lagi. Dia sangat
gesit, maka juga ketika dia berlompatan, dia seperti juga
terdiri dari tujuh atau delapan orang! Kecuali tenaga
dalamnya, dalam ilmu silat, dia pun seperti menang daripada
jago she Beng itu. Apa yang aneh, beberapa jurusnya ada
yang mirip dengan jurusnya Sin Thong, hingga mereka berdua
seperti dari satu rumah perguruan...
Biarnya ia heran dan berkuatir, Beng Sin Thong tidak
menjadi jeri atau bingung. Ialah jago, yang sudah
berpengalaman. Maka itu dengan tenang ia mengambil
sikapnya membela diri, kapan ada ketikanya baru ia
menyerang dengan Pekkhong Ciang, pukulan "Udara Kosong".
Atau kalau mereka terpisah dekat, ia menggunai ilmu "Hunkin
Cokut Ciu. Ia terdesak tetapi ia tidak kacau pikirannya dapat ia
dengan baik memecahkan setiap serangan.
Kim Sie Ie menonton, ia mengagumi Beng Sin Thong.
Pikirnya: "Tidak kecewa Sin Thong menjadi jago nomor satu
dalam kalangan sesat. Jikalau aku, belum tentu aku dapat
bertahan sampai seratus jurus melayani ini orang aneh..."
Selagi ia berpikir itu, Kim Sie Ie tiba-tiba ditanya Seng Lam:
"Coba kau bilang, berapa usianya ini orang aneh?"
"Dia tentu belum lewat lima puluh."
Nona itu berdiam, agaknya dia mengasah otak.
"Aneh!" terdengar suaranya perlahan. Nampaknya dia
bingung. Sie Ie menjadi lebih heran. Apa perlunya si nona menanya
usia orang"
Belum sempat Sie le memikir lebih jauh, atau ia sudah
mendengar suara bentrokan. Ia melihat lagi sekali Beng Sin
Thong kena tergempur.
Meski ia kalah pengalaman, si orang aneh tetap lebih
unggul. Dia menang tenaga dalam dan ilmu silatnya, yang luar
biasa seperti asal-usulnya sendiri.
Melihat demikian, lama-lama Beng Sin Thong sukar
melawan lebih jauh...
Lantas Kim Sie Ie berpikir: "Siang Ceng Nio telah
dibinasakan kimmosoan. In Leng Cu diluka-kan parah orang
aneh ini, dia mungkin bakal tidak hidup lebih lama pula, maka
jikalau Beng Sin Thong pun kalah, apa kita bisa bikin terhadap
ini orang aneh yang liehay" Jangan kata buat mencari
kitabnya Kiauw Pak Beng, buat dapat hidup pun sukar..."
Maka itu, meskipun Beng Sin Thong musuh, ingin ia
menolongi. Lantas ia kata pada si nona: "Seng Lam, mari aku
pinjam pedangmu!"
Nona itu dapat menebak hati si pengemis, mulanya ia raguragu,
tapi ia memberikan juga pedangnya, ia cuma memesan:
"Paling baik jikalau kau tidak melukakan dia. Umpama kata
kau tidak ungkulan, lekas kau lari kesini, ke sisiku!" Kembali
terdengar suara keras, kembali Beng Sin Thong kena dihajar
tak perduli dia kebal dan kuat, dia toh merasai kepalanya
pusing dan matanya kabur, hingga kacaulah ilmu silatnya.
Masih si orang aneh tidak mau berhenti, lagi-lagi ia
merangsak, kembali ia menggunai kedua tangannya. Dan ia
berhasil. Sin Thong tidak berniat mengadu tenaga lagi, ia ingin
senantiasa menyingkir, tapi sekarang, setelah ia tersambar,
terpaksa ia mesti bertahan juga. Ia mesti mengadu kekuatan.
Dengan berkutat, lantas juga Sin Thong bermandikan peluh
dan napasnya memburu.
Juga mukanya si orang aneh tampak biru.
Di matanya Kim Sie Ie, si orang aneh masih dapat bertahan
sedang Sin Thong sudah menghadapi saatnya seumpama kata
telur di ujung tanduk, setiap saat jiwanya terancam maut.
Tak dapat Sin Thong meloloskan tangannya. Ia merasakan
menggetarnya anggauta-anggauta dalam tubuhnya. Ia sampai
menyedot hawa dingin. Ia menginsyafi bahaya yang
mengancam dirinya, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Sungguh aku tidak sangka setelah malang melintang separuh
hidupku, hari ini aku mesti mati kecewa di tangan ini orang
tidak dikenal .."
Selagi Sin Thong berpikir kecewa itu, mendadak si orang
aneh berseru dan tubuhnya dilemparkan, hingga tanpa
berdaya ia mesti roboh di tanah, tak perduli ia telah mencoba
untuk berjumpalitan.
Itulah sebab Kim Sie Ie sudah maju dan ujung pedangnya
mengancam punggung si orang aneh hingga, untuk menolong
diri, dia mesti melepaskan lawan yang dicekalnya, untuk
berkelit. Lantas orang aneh itu membentak: "Kau berjumlah berapa
orang" Kamu boleh maju semua!"
"Loo cianpwe, harap kau jangan gusar," Kim Sie Ie berkata.
"Kami tidak bermaksud jahat terhadap kau. Kami datang
kemari karena mesti berlindung dari badai dan hujan lebat..."
"Tidak perduli apa maksudmu, setelah datang kemari kamu
tak dapat pulang dengan masih hidup!" berkata si orang aneh
bengis. Lantas dia maju, untuk menyerang. Dengan sebelah tangan
dia mengancam pedang, untuk dirampas, dengan tangan yang
lainnya-tangan kiri-ia menghajar ke batok kepala Tokciu
Hongkay! Sie Ie lekas-lekas berkelit dengan gerakan "Ieheng
hoanwie", "Memindahkan wujud, menukar kedudukan",
setelah mana, ia membalas menikam, dengan tipu pedangnya
"Gelombang mendampar tepian", sasarannya ialah nadi si
orang aneh. "Hm!" orang aneh itu bersuara, tangannya dibalik, guna
dipakai membalas menyerang. Dia bukan mundur, dia bahkan
maju dua tindak, tangan kirinya dipakai menyambar lengan
penyerangnya. Itulah serangan yang luar biasa.
Syukur Sie Ie awas dan tabah.
Barusan ia menyerang dengan tipu pedang istimewa
ciptaan Tokliong Cuncia, gurunya. Di waktu disambar, ia
menarik tangannya, untuk diteruskan, guna menyerang pula.
Tapi lawan sangat liehay, kembali dia menyerang, kali ini
pedang kena disentil hingga mental!
Hati Seng Lam berdebaran. Biar bagaimana, ia berkuatir
juga. Beng Sin Thong dapat ketika untuk beristirahat. Dia duduk
bersila, untuk menyalurkan napasnya. Dia mengharap-harap
Kim Sie Ie dapat bertahan sampai dia sudah segar pula.
Dengan dibantu Tokciu Hongkay, dia dapat harapan
mengalahkan si orang aneh. Tidak demikian, dia dan Biat Hoa
Hwesio tentulah bagian mati!
Sejurus dengan sejurus, si orang aneh menyerang Kim Sie
Ie. Ia tidak menghiraukan pedang lawan. Kim Sie Ie memutar
pedangnya, tak suka dia mengalah. Adalah sesudah
bertempur sekian lama, mendadak dia merasakan tubuhnya
dingin, sampai dia menggigil. Karena ini, terpaksa dia mesti
mundur dua tindak.
Beng Sin Thong melihat mundurnya si pengemis, dia
terkejut. Syukur, setelah mundur, Tokciu Hongkay dapat
bertahan. Sie Ie dapat bertahan sekian lama kecuali disebabkan ia
bersenjata pedang juga lantaran si orang aneh sudah
mengeluarkan tenaga terlalu banyak, melawan Beng Sin
Thong, dia telah menghamburkan tenaga dalamnya. Sie Ie
pula tenaga baru dan orangnya cerdik.
Oleh karena terdesak itu, Kim Sie Ie sudah memikir
menggunai jarum rahasianya yang beracun. Ia baru memikir,
atau ia ingat pesan Seng Lam tadi. Katanya di dalam hati:
"Rupanya Seng Lam tidak menghendaki aku melukakan dia.
Cumalah, kalau aku tidak menghajar dia, akulah yang bakal
dilukakan... Dengan aku roboh, tentulah Seng Lam turut
bercelaka juga demikianpun Sin Thong dan kawan-kawannya.
.. Bagaimana sekarang?"
Karena berpikir, Sie Ie menjadi kurang gesit. Tiba-tiba ia
terserang hingga ia terkejut. Ia telah mendapatkan ilmu
tenaga dalam dari Tong Siauw Lan, karena itu ia terus dapat
bertahan, tetapi kali ini, hebat hajaran itu. Lantas ia merasai
serangan hawa dingin, yang masuk di dua jalan darah "taysie"
dan "hieji". Tidak ampun lagi, ia menggigil.
Beng Sin Thong melihat itu, dia berteriak: "Saudara yang
baik, kau bertahan terus! Kau tunggu sebentar lagi, dapat aku
membantu kau!"
Kim Sie Ie memusatkan pikirannya, ia bertahan. Tapi ia
berpikir, musuh demikian tangguh, taruh kata ia menyerang
dengan jarum beracunnya, orang tentu tidak bakal kehilangan
jiwanya. Orang aneh itu menyerang terus. Dia mendesak hingga
lawannya mundur terus enam atau tujuh tindak. Repot Kim
Sie Ie, sedang mundurnya itu ke arah Beng Sin Thong. Sampai
disitu, tak dapat ia menahan sabar lagi.
"Fui!" ia berludah, menyemburkan jarum beracunnya.
Seng Lam kaget hingga ia menjerit.
Si orang aneh berkelebat, tubuhnya bagaikan lenyap.
Heran Sie Ie. "Apakah dia ketahui jarumku liehay?" pikirnya. Ia lantas
memutar tubuhnya, guna mencari si musuh. Atau ia menjadi
kaget luar biasa. Ia mendapatkan Le Seng Lam dicekuk orang
aneh itu, yang mengawasi si nona sambil tertawa...
Selagi Sie Ie menyerang dengan senjata rahasianya, Seng
Lam kaget, tetapi ia lantas berlompat maju. Si orang aneh
melihat ia, dia meninggalkan Kim Sie Ie, untuk memapaki,
guna sekalian mencekuknya.
Kim Sie Ie lupa segala apa, ia lompat untuk menyerang.
Si orang aneh sendiri, sembari tertawa, berkata dengan
riang: "Hihi, kiranya seorang nona! Haha, kau baiklah menjadi
aku punya... aku punya..." Tapi belum sempat dia mengatakan
semua, mendadak dia kaget.
Ketika itupun Sie Ie datang dekat kira-kira tiga tombak, ia
mendengar suaranya Seng Lam, yang berkata tak tegas, atas
mana si orang aneh menjerit, dia melepaskan cekalannya,
lantas dia berlompat lari. Dia agaknya likat dan ingin lekas
melenyapkan diri.
Sie Ie heran. Tengah ia memikir, si orang aneh sudah
lenyap di rimba lebat. Ia heran tetapi hatinya lega, segera ia
menghampirkan si nona. Ia tarik tangan orang.
"Dengan apa kau bikin orang aneh itu kabur?" tanyanya,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaget berbareng girang. Seng Lam bersenyum.
"Aku tidak takuti padanya," sahutnya, "maka itu sendirinya
dia mesti takut padaku-Ah, kau terkena Siulo Imsat Kang,
lekas kau rebah, mari aku tolongi!"
Seng Lam menggunai pengobatan dengan jarum emas
untuk mengusir racun. Tiga belas batang jarum ditusukkan
kepada tiga belas jalan darah. Setelah itu Sie Ie diminta
mengerahkan tenaga dalamnya, untuk membantu mengusir
racun Siulo Imsat Kang.
Menyaksikan cara pengobatan si nona, Beng Sin Thong
kagum. Ia telah meyakinkan Siulo Imsat Kang tetapi tak tahu
ia cara pengobatan dengan jarum emas itu. Katanya dalam
hatinya: "Pantas itu hari Kim Sie Ie ketolongan, rupanya budak
inilah yang telah menolongi dia. Jikalau aku berhasil
mendapatkan kitab silat rahasia dan berhasil pulang ke
daratan, tak dapat tidak, ia ini mesti disingkirkan!"
Kim Sie Ie pernah mendapat serangan Siulo Imsat Kang,
setelah disembuhkan, ia memperoleh tenaga melawan yang
bertambah-tambah, maka itu kali ini, walaupun ia terluka pula,
hebatnya tak seperti yang semula itu. Tidak lama, Seng Lam
mencabut semua jarumnya, dia kata: "Kali ini, asal kau dapat
beristirahat tiga hari, kau akan sembuh seluruhnya."
Sie Ie mengangguk, kemudian ia melihat kelilingan. Ia
mendapatkan Biat Hoa Hwesio lagi duduk bersila
mengerahkan tenaga dalamnya, di atasan kepala gundulnya
terlihat uap putih mengepul.
"Baik kau tolongi dia juga," katanya pada Seng Lam.
Biat Hoa terserang Siulo Imsat ieang secara tidak langsung,
lukanya tak seberat luka Tokciu Hongkay, dengan bantuan
tenaga dalamnya, ia telah berhasil mengusir pergi tujuh atau
delapan bagian racun, ketika ia menyaksikan Seng Lam
menolong Sie Ie, ia jeri. Yang ditusuk si nona semualah jalan
darah kang dapat membuat orang mati. kikirnya: "Kalau dia
bermaksud buruk, dia dapat menggunai ketika ini
membinasakan aku." Karena ini, Ia berkata: "Tak usah aku
membikin berabe pada Nona Le. Eh, Lao Beng, kau saja yang
membantu aku!"
Seng Lam dapat menduga hati orang, ia tertawa dingin dan
kata: "Kau lebih suka menderita beberapa hari lagi,
terserahlah!" Beng Sin Thong ketahui baik serangan Siulo
Imsat Kang memasuki pelbagai jalan darah yang dapat
membinasakan jiwa orang, meskipun ia tidak mengerti ilmu
pengobatan dengan jarum, ia ketahui baik pengobatannya
Seng Lam tepat, sebenarnya tidak suka ia menolongi Biat Hoa,
tetapi ia berpikir lain: "Kawanku tinggal hwesio ini seorang,
jikalau aku membujuki dia menerima pertolongannya Seng
Lam, andaikata Kim Sie le dan Seng Lam berkhianat, mungkin
dia tidak dapat berontak bersama, ia tentunya sungkan
memusuhkan mereka itu." Karena berpikir begini, ia lantas
membantu pendeta itu. Maka kemudian, setelah Biat Hoa
ketolongan, keduanya letih bukan main.
Ketika itu dari kejauhan terdengar suaranya Kimmosoan.
Mendengar itu, Beng Sin Thong jeri, maka ia berkata: "Jikalau
orang aneh itu datang pula kemari sambil membawa dua ekor
binatang piaraannya itu, tak seorang pun dari kita yang dapat
meloloskan diri..."
Le Seng Lam tertawa.
"Kau jangan kuatir," katanya. "Dia tidak bakal segera
datang pula ke mari. Dia pun lagi repot mengobati dua
binatang piaraannya itu."
Beng Sin Thong mementang kedua matanya.
"Nona Le," ia berkata, "kenapa barusan orang aneh itu
melepaskan kau?" Baru sekarang ia ingat dan
menanyakannya. "Aku mempunyai daya untuk menaklukkan dia," sahut si
nona. "Tentu sekali tidak dapat aku memberitahukan itu
kepadamu!"
Disenggapi begitu, Sin Thong jengah. Ia malu sendirinya.
Tapi ia heran, ia menyangsikan keterangan nona itu, maka ia
mengawasi orang dengan sorot mata curiga, ingin ia menerka
hati orang. Biarnya ia kosen, berada di pulau ini, yang
terahasia dan berbahaya, ia toh jeri juga.
Untuk sejenak mereka berada dalam kesunyian. Justeru itu
mereka mendengar tangisan yang memilukan hati. Ketika
mereka beipaling ke arah dari mana tangisan itu datang,
mereka melihat Kunlun Sanjin mendatangi seraya memondong
tubuh In Leng Cu. Imam itulah yang menangis sedih itu.
"Tungkul mengobati diriku, aku melupakan In Leng Cu,"
pikir Sie le. Ia lantas lari menghampirkan. Maka ia
mendapatkan orang bermuka sangat pucat, napasnya berjalan
sangat perlahan, sedang tubuhnya mulai dingin. Itulah tanda
bahwa orang sukar untuk ditolong lagi. Meski begitu, ia
meletaki jari tangan di punggung, di jalan darah "tay-ie", ia
paksa menyalurkan tenaga dalamnya, lantas ia menanya:
"Apakah pesanmu?"
Benar-benar In Leng Cu mempunyai napasnya yang
terakhir. Tubuhnya lantas bergerak dan bibirnya terbuka
perlahan-lahan.
Kunlun Sanjin lantas memasang kuping di mulut kawan itu.
Ia mendengar suara orang lemah: "Aku minta... tolong kau
mengurus isteriku dan aku, supaya terkubur bersama... juga...
kau lekaslah pulang, jangan, jangan mengharapi lagi segala
kitab ilmu silat... Ah, Ceng Nio terbinasa karena aku, dan ia
mati secara hebat menyedihkan, aku... aku menyesal
terhadapnya..."
Habis itu maka habis juga napasnya.
Kunlun Sanjin bersama In Leng Cu suami isteri dan Siang
Bok Loo adalah keempat "hantu" atau "kepala iblis" yang
mencari kitab ilmu silatnya Kiauw Pak Beng, dari Tibet mereka
datang bersama, begitulah akhirnya tiga kawannya. Siang Bok
Loo musnah di dalam lahar gunung berapi, Siang Ceng Nio
terbinasa digegares polonya oleh kimmosoan, sekarang In
Leng Cu mati terbanting oleh si orang aneh. Maka tinggal ia
sendirian, bukan main sedihnya si imam. Inilah yang dibilang,
"kelinci mati, rase bersedih".
Lama Kunlun Sanjin menguras air matanya, barulah ia
dapat menahan kesedihan hatinya.
"Mari kita perbaiki perahu kita," berkata Kim Sie Ie.
"Sedikitnya dalam tempo sepuluh hari kita akan berhasil.
Syukur kita masih berjumlah berlima, kalau ada bahaya,
rasanya kita masih dapat menentangnya, asal kita bersatu
hati!" Kunlun Sanjin telah mati daya, ia cuma menyatakan setuju.
Beng Sin Thong sangat berduka.
Bersama-sama Biat Hoa Hwesio, ia belum pulih
kesehatannya. Kalau dalam beberapa hari ini si orang aneh
datang pula, celakalah mereka. Karena itu sebagai seorang
licik, ia lantas berlaku manis pada Kim Sie Ie dan Le Seng
Lam, untuk mengambil hatinya dua orang itu. Seng Lam
bersikap sangat tenang. Orang tidak tahu apa yang si nona
pikir, tetapi karena sikapnya itu, kawan-kawannya turut dapat
melegakan diri.
Bersama-sama mereka turun gunung. Di antara pepohonan
lebat mereka membangun tenda. Beng Sin Thong berkumpul
bersama Biat Hoa Hwesio dan Kunlun Sanjin. Sie le tetap
bersama Seng Lam. Di antara mereka berdua, mereka
memasang alingan di tengah-tengah tendanya.
Besoknya Kunlun Sanjin dapat membawa balik mayatnya
Siang Ceng Nio, maka pesan In Leng Cu lantas dipenuhkan,
suami isteri itu dikubur bersama, hingga di dalam rimba itu
tambah satu kuburan lain yang baru.
Menyaksikan kuburan itu, hati mereka berlima menjadi
tawar. Syukur, selama dua hari itu, tak terjadi apa-apa. Juga si
orang asing yang aneh tak nampak, tak terdengar suaranya.
Pula kimmosoan tidak terlihat lagi dan tidak terdengar
raungannya yang menyeramkan.
Selewatnya tiga hari, kesehatannya Kim Sie Ie telah pulih,
sedang Beng Sin Thong sembuh tujuh atau delapan bagian.
Cuma Biat Hoa Hwesio yang masih tetap lemah, hingga ia
belum dapat menggunai seluruh tenaganya, la cuma bisa jalan
atau bergerak seperti biasa.
Pada malam ketiga itu, rebah di dalam tendanya, Kim Sie
Ie berpikir keras. Ia memikirkan pengalamannya itu. Ia
menjadi bergulak-gulik karena ia tidak dapat tidur. Maka itu
telinganya dapat menangkap ketika ada suara berkelisik yang
disusul dengan disingkapnya kelambu alingan.
"Seng Lam, kau mau apa?" ia tanya, terkejut. Itulah si
Nona Le. "Jangan bersuara!" kata si nona di telinga orang. Dia lantas
mendekati dan berbisik. "Lekas turut aku!"
Sie le heran bukan kepalang, tetapi ia tidak diberi
kesempatan, ia lantas ditarik, hingga terpaksa ia mesti
mengikut. Seng Lam mengajak ia itu pergi keluar.
Di tendanya Beng Sin Thong, malam itu giliran Kunlun
Sanjin menjadi si cinteng atau orang ronda. Seng Lam dan Sie
Ie menyingkir dari imam itu, mereka jalan nelusup di antara
rumput tebal. Si imam seperti mendengar suara apa-apa,
matanya celingukan.
Seng Lam cerdik, ia mengasih dengar suara berkukuk dua
kali. Justru seekor burung malam yang terbang naik
bergelapakan, burung mana mengasih dengar dua kali suara
berkukuk serupa.
Kunlun Sanjin terkejut, lantas ia menjatuhkan diri untuk
mendekam. Rupanya dia ketakutan.
"Mari!" Seng Lam berbisik pada kawannya, kepalanya
ditaruh di pundak kawan itu.
Sie Ie menurut, maka bersama-sama mereka nelusup terus,
akan di lain saat mulai berlari-lari keras dengan ilmu ringan
tubuh mereka. Sebentar saja, mereka sudah terpisah jauh belasan tombak.
"Syukur bukan Beng Sin Thong yang menjadi cinteng!" kata
Seng Lam tertawa. "Jikalau tidak, tidak nanti kita dapat lolos
dari telinganya yang liehay!--Kau dengar, tidakkah mirip
suaraku meniru burung malam itu" Tentulah burung itu
mengira kawannya memanggilnya, dia menyahuti lalu terbang
mencari. Sungguh kecil nyalinya Kunlun Sanjin!..."
"Kau sangat cerdik!" memuji Sie Ie, tertawa. "Eh, kemana
sebenarnya kau hendak mengajak aku?"
"Sudah tentu untuk mencari kitab warisannya Kiauw Pak
Beng!" Si pengemis edan heran.
"Bagaimana kau ketahui kitab itu berada di mana?"
"Jangan banyak tanya-tanya. Kau turut saja aku! Dengan
susah payah kita datang kemari, bukankah itu untuk kitab
tersebut" Apakah kita mesti membiarkan Beng Sin Thong yang
mendahului mendapatkannya" Biarnya tidak dapat dicari, aku
mesti cari juga!"
Sie Ie tetap heran. Dengan hati berpikir, ia mengikuti si
nona. Segera juga mereka tiba di kaki gunung.
Seng Lam tetap jalan di depan, dia pandai memilih jalanan.
Dia membiak rumput-rumput tebal, dia berjalan ke kiri dan
kanan, membu-lak-belok tak habisnya. Hingga akhirnya
keduanya berada di antara gombolan rumput yang tinggi dan
tebal. "Si orang aneh tinggal di atas gunung ini, jikalau kita
bertemu dengannya, bagaimana?" Sie Ie tanya.
Seng Lam tertawa.
"Ah, kenapa nyalimu mendadak menjadi kecil?" katanya.
"Baiklah, kalau kau jeri, kau peganglah pedangku ini!"
Sie Ie hendak menampik tetapi si nona berkata pula: "Kau
peganglah! Kalau kau bertemu dengan orang aneh itu,
sedikitnya kau dapat melawan dia sampai lima puluh jurus!
Kemarin ini dia tidak mencelakai aku, umpama kata kita
bertemu pula, aku tidak takut, tak ada bahayanya untukku,
hingga sebenarnya aku tak usah membawa pedang!"
Sie Ie menyambuti pedang itu, meski ia tetap heran.
"Seng Lam, mesti ada sesuatu yang kau sembunyikan dari
aku!" katanya kemudian.
"Jikalau aku memikir mendustai bau, buat apa aku ajakajak
kau?" si nona kata. "Kau jangan kesusu, jangan kau main
duga-duga! Akhirnya aku akan memberikan keterangan
padamu!" Sie Ie membungkam. Tidak lagi ia menanya pula.
Maka mereka berjalan tanpa bersuara.
Setelah jalan sekian lama, Seng Lam berhenti bertindak.
Mereka sekarang berada di bawah sebuah pohon besar.
Itulah pohon yang besar luar biasa. Cabang-cabangnya,
bersama daunnya yang lebat, mirip dengan -sebuah payung
raksasa. Mungkin lebarnya itu beberapa bauw. Batangnya,
yang berdiri tegak juga besar istimewa, beberapa puluh orang
mungkin tak dapat memeluknya. Apa yang heran pula, di
sekitar Itu tidak ada pohon lainnya. Dia tumbuh sendiri saja!
Seng Lam berdiam, ia memperhatikan pohon itu. Lantas ia
mengasih lihat roman heran dan girang. Hingga Sie le pun
menjadi heran, mengherani dia.
Si nona menggapai lantas ia mulai memanjat pohon itu.
Tidak perduli ia heran, Sie Ie mengikuti, cuma di dalam
hatinya ia kata: "Mungkinkah kitab ilmu silat berada di atas
pohon ini?"
Mereka manjat terus, manjat hingga di tempat paling
tinggi. Disini Seng Lam menyingkap cabang-cabang pohon itu,
hingga ia mendapati ujung pohon yang buntu dan celong. Ia
meluncurkan tangannya ke tempat celong itu, untuk menekan,
lantas tangan itu digeser dari kiri ke kanan, beberapa kali.
Mendadak di tempat yang celong itu terbuka sebuah liang
yang besar. Sie le heran meskipun ia tahu itulah gerohongnya batang
pohon. Itu berarti pohon itu tidak ada hatinya.
"Cocok!" berkata Seng Lam. "Akhirnya aku
mendapatkannya!"
Tanpa sangsi lagi, si nona masuk ke dalam liang, yang
merupakan terowongan itu.
Tidak sempat Sie Ie mengatakan sesuatu, ia juga turut
turun. Berdua mereka mesti menggunai "Pekhouw kang", yaitu
ilmu "Cecak melapai", dengan perlahan-lahan mereka turun


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai di dasarnya sekali. Disini, di depan mereka, tampak
sebuah terowongan, yang entah di mana ujung pangkalnya.
Terowongan itu gelap dan sendirinya menyeramkan.
Seng Lam lantas mengeluarkan serenceng mutiara yang ia
bekal. Dengan itu mereka memperoleh cahaya terang hingga
mereka dapat melihat luasnya terowongan itu yang dapat
memuat tubuh mereka.
"Masuklah!" kata Seng Lam. Sie le berdiri tak bergerak.
Sepasang Pedang Iblis 20 Pendekar Cacad Karya Gu Long Kisah Pedang Di Sungai Es 11
^