Pencarian

Perjodohan Busur Kumala 4

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 4


berlompat naik ke atas wuwungan. Tepat ia tiba di atas ketika
satu bayangan berkelebat lewat. Dilihat dari potongan
tubuhnya, bayangan itu tidak miripnya seorang pria. Bayangan
itu pergi ke ujung timur penginapan itu di mana ada sebuah
kamar-ialah kamarnya Ciong Tian dan Bu Teng Kiu.
Tanpa sangsi lagi tetapi dengan berhati-hati, Kim Sie Ie
menguntit. Orang itu mengintai di jendela, mengawasi ke dalam.
Mendadak ia mengasih dengar suara perlahan. Rupanya ia
heran mendapatkan kamar itu kosong dari penghuni-nya.
Menggunai ketikanya yang baik, tengah orang heran itu
Kim Sie le lompat untuk menotok ke arah iga, setelah mana ia
memutar tubuh orang sambil ia membentak: "Siapa kau" Kau
mau cari siapa?"
Orang itu melengak.
Kim Sie le mengasih lihat tusuk konde kumala.
"Apakah kau yang membawa ini?" ia menanya, perlahan
sekali. Matanya orang itu terbuka lebar, agaknya ia menjadi heran.
Ia tidak menjawab.
Kim Sie Ie menduga orang bukanlah si pembawa tusuk
konde, akan tetapi ia masih menduga orang ada sangkut
pautnya, maka ia bawa tusuk konde itu ke depan mata orang.
"Lekas bicara!" ia membentak. "Atau aku akan tusuk
matamu!" Baru sekarang orang itu mengasih dengar suara kaget.
"Apakah kau murid dari Thiansan Pay?" ia menanya.
"Akulah Kim Sie Ie!" Kim Sie Ie perkenalkan dirinya.
Orang itu kaget tidak terkira. Kim Sie Ie, yang lebih
terkenal dengan julukannya, yaitu Tokciu Hongkay, si
Pengemis Edan Tangan Beracun, sangat terkenal dan dimalui.
Dia dikenal sebagai makhluk aneh atau iblis. Maka ia lantas
bergemetar seluruh tubuhnya.
"Aku bukan mengintai kau, tuan," katanya, suaranya tidak
tegas. "Aku... aku menguntit seorang wanita muda..."
"Wanita macam apakah itu?" Kim Sie Ie tanya.
"Aku tidak... tidak tahu..."
"Bukankah dia si nona Lie dari Thiansan Pay?"
"Bukan, bukan..."
Kembali Kim Sie Ie mengasih lihat tusuk konde di
tangannya. "Kenalkah kau barang ini?" ia tanya.
"Itulah barang yang si wanita curi dari rumah kita..."
Kim Sie Ie heran.
"Curi?" katanya di dalam hati. "Kenapa tusuk konde Lie Kim
Bwee dapat terjatuh ke dalam tangan lain orang" Siapakah
wanita yang dimaksudkan dia ini?" Maka ia menanya pula:
"Bilang, kau bekerja atas titah siapa?"
"Beng... Beng..." menjawab orang itu, suaranya parau, lalu
mendadak dia roboh dibarengi sama jeritannya yang
menyayatkan hati. Dia roboh untuk lantas berhenti bernapas.
Kim Sie le adalah satu ahli melepaskan senjata rahasia,
maka itu ia telah mendengar suara serangannya senjata
rahasia sebelumnya orang tawanannya itu menjerit, akan
tetapi ia cuma bisa membela diri tidak dapat ia menolongi si
orang tawanan, yang mesti menjadi korban. Ia lantas
menduga, penyerang gelap itu mestinya konco orang tawanan
ini, bahwa dia itu menurunkan tangan jahat guna mencegah
kawannya membuka rahasia. Karena ini, tanpa memperdulikan
lagi kamarnya Ciong Tian dan Bu Teng Kiu itu, ia pergi
memburu si pembokong.
Di dalam tempo yang pendek, penyerang gelap itu sudah
pergi jauh, akan tetapi Kim Sie Ie ialah seorang liehay luar
biasa, ia dapat mengejar dengan cepat. Ia berlari-lari dengan
ilmunya "Lioktee hui-teng", atau "Terbang di daratan". Ia baru
mengejar satu rintasan, kupingnya lantas mendengar
bentrokan senjata. Ia segera melekaskan tindakannya. Maka
di sebelah depannya itu ia melihat dua anak muda, dengan
masing-masing bersenjatakan pedang, lagi mengepung
seorang yang mukanya terkerudung tutup, yang bergegaman
sebatang Citeiat pian, atau cambuk dengan tujuh tekukan,
darimana, tiga sudah kena dibabat kutung anak-anak muda
itu, hingga cambuknya yang panjang itu menjadi pendek.
Kedua anak muda itu ialah Ciong Tian dan Bu Teng Kiu.
Girang Kim Sie Ie, karena si penyerang gelap itu kena
dirintangi, akan tetapi di samping itu ia berkuatir mereka nanti
membinasakan orang ini, maka ia mau maju, guna
menangkap orang hidup-hidup. Hanyalah, hampir berbareng
dengan itu, ia mendengar si orang bertopeng itu berseru:
"Kamu salah mengerti! Orang yang mendatangi itu ialah Kim
Sie Ie! Mengapa kau memegat aku?"
Ciong Tian telah mendengar suara orang mendatangi, ia
heran. Bu Teng Kiu sebaliknya sudah lantas berseru: "Benar,
benar, Kim Sie Ie datang!-Baiklah, hari ini tuan kecilmu akan
mengadu jiwa denganmu!" Dia lantas meninggalkan si orang
bertopeng, untuk lompat kepada Kim Sie Ie, dari itu, ketika
yang baik itu digunai lawannya untuk meninggalkan Ciong
Tian, guna membuka langkah seribu...
Kim Sie Ie tertawa.
"Kau hendak mengadu jiwa?" katanya, main-main. "Tidak,
sekarang ini aku tidak sempat melayani kau..."
Belum berhenti suaranya Tok-ciu Hongkay atau dua rupa
benda berkelebatan menyambar ke arahnya, warnanya benda
itu merah tua. Ia mengenali benda itu ialah senjata rahasia
yang dinamakan "Thiansan Sinbong", atau "rumput tajam dari
gunung Thiansan". Senjata rahasia itu sangat liehay, pernah ia
melihat Pbng Keng Thian menggunainya. Tapi dalam tenaga
dalam, Ciong Tian kalah jauh dari Tong Keng Thian, walaupun
demikian, dia telah dapat menggunainya dengan baik, hingga
anginnya mendesir keras Kim Sie Ie tidak berani menyambuti.
Ia berkelit dari yang satu, ia menang-Ikis yang lainnya. Karena
gerakannya ini, Ciong Tian bersama Bu Beng Kiu lantas dapat
mendekatinya, dengan berbareng ia diserang pedang mereka
itu. Dua-dua Ciong Tian dan Bu Teng Kiu belum pernah
melihat Kim Sie le, mereka cuma pernah mendengar
keterangannya Lie Kim Bwee tentang romannya si "pengemis
edan" itu serta senjatanya, maka itu, mereka mengenali
pengemis ini. Satu malam mereka dipermainkan, hati mereka
menjadipanas, sekarang mereka dapat menemuinya, lantas
mereka menyerang hebat. Tadi pun mereka menyerang secara
dahsyat kepada si terang bertopeng, yang mereka sangka Kim
Sie Ie adanya. Sebenarnya mereka bersangsi mendapatkan
erang bersenjatakan citeiat pian, maka itu, dengan datangnya
Kim Sie Ie, yang mereka lantas mengenalinya, mereka
berbalik menyerang hebat pada Tokciu Hongkay, Kalau Ciong
Tian menggunai ilmu pedang Twiehong Kiam dari Thian san
Pay, maka Bu Teng Kiu menggunai ilmu pedang warisan nya
Pekhoat Molie si Iblis Wanita Berambut Putih.
Kim Sie Ie berkelit dari pedangnya Ciong Tian. Ia baru lolos
atau pedangnya Bu Teng Kiu menikam ke arah perutnya.
Itulah tikaman sangat berbahaya. Tapi ia dapat
menghindarinya dengan menyentil ujung pedang itu, hingga
sentilan itu mengasih dengar satu suara nyaring dan
cekalannya si anak muda hampir terlepas.
Gagal serangannya yang pertama itu, Ciong Tian menyusuli
dengan yang kedua. Kali ini ia menggunai satu jurus yang
liehay dari ilmu pedang Thiansan Pay, yang dapat menyerang
berbareng membela diri, hanyalah dia belum berhasil
meyakinkan itu hingga sempurna.
Kim Sie Ie tidak mau melayani sungguh-sungguh, ia
berkelit. "Sayang!..." berseru Bu Teng Kiu, yang melihat serangan
kawannya cuma hampir mengenakan sasarannya. Ciong Tian
sendiri menyesal atas kegagalannya itu.
Bu Teng Kiu lantas merang-sak, untuk menyusuli
serangannya Ciong Tian itu.
Ciong Tian tidak berniat mencelakai tetapi sebab kena
dipermainkan, hatinya menjadi panas, maka ia menyerang
hebat. Ia ingin sekali merobohkan lawan ini.
Kim Sie Ie menjadi kewalahan. Ia ingin mengejar si orang
bertopeng tetapi ia dirintangi ini dua anak muda. Dengan
bertangan kosong, ia tidak dapat meninggalkan kedua lawan
ini. Bu Teng Kiu pun penasaran.
"Jikalau kau tidak segera menggunai senjata, jangan kau
menyesali pedangku!" dia mengancam.
Kim Sie Ie tertawa.
"Jikalau aku menggunai senjata, aku kuatir kamu tidak
dapat melawan!" katanya. "Kamu anak-anak muda yang tidak
tahu diri, seharusnya kamu dirangket, tetapi dengan
memandang muka kouwkouw kamu, hari ini suka aku
memberi ampun. Maka lekaslah kamu pergi!"
Bu Teng Kiu gusar bahwa kouwkouw, atau bibinya, dibawabawa.
"Kau masih mempunyai muka menyebut-nyebut
kouwkouw-ku!" katanya sengit. "Kaulah si kodok buduk yang
berniat menelan daging angsa kahyangan!"
Adalah biasanya Kim Sie Ie tidak senang jikalau orang
memandang enteng kepadanya, dari itu ia mendongkol
mendengar suaranya anak muda ini.
"Baiklah kalau kau memang mengantarkan diri untuk
dihajar!" bentaknya. Tapi justeru ia berseru, pedangnya Ciong
Tian meluncur ke tubuhnya, hampir saja ia kena tertikam.
Itulah tikaman "Menguber angin, mengejar halilintar".
"Nah, lihatlah siapa yang ingin dihajar?" Teng Kiu mengejek
tertawa dingin.
"Benarkah itu?" tanya Kim Sie Ie. Mendadak ia menggunai
tongkat besinya, ia membentur kedua pedang itu, hingga
kedua anak muda itu merasakan telapakan tangannya tergetar
dan nyeri. Syukur mereka masih dikasih ampun, jikalau tidak,
getaran itu akan melukai anggauta dalam dari tubuh mereka.
Bu Teng Kiu kaget sekali, la tidak menyangka, dengan
tenaga dalam dari Thiansan Pay, mereka masih tidak sanggup
bertahan terhadap gempuran Kim Sie Ie itu. Tapi ia tidak
takut. Ia pikir, "Kau toh tidak menang lebih banyak daripada
kami..." Ciong Tian pun berpikir sama seperti kawannya, dari itu
keduanya lantas berkelahi terlebih jauh dengan jalan tidak
sudi mengadu senjata. Mereka menggunai siasat menjauhkan
diri dari bentrokan senjata mereka.
Diam-diam Kim Sie le mengerahkan tenaganya, lalu ia
menantikan saatnya. Kapan saat itu telah tiba-ialah selagi ia
diserang Berbareng dengan kedua pedang " mendadak ia
menyontek! Maka terbanglah pedang Cengkong kiam dari
Ciong Tian! Kim Sie Ie tertawa terbahak. Menyusuli
sontekannya itu, tubuhnya maju, sebelah tangannya diulur
bagaikan kilat berkelebat. Ciong Tian tidak cuma pedangnya
terbang, juga tubuhnya terhuyung mutar, sedang telapakan
tangannya tergetar dan sakit. Dalam keadaan tidak berkuasa
atas dirinya Itu, Kim Sie le melesat ke arahnya, maka tak
dapat ia menyingkir lagi, punggungnya kena dijambak, terus
diayun. Sambil berbuat begitu, Kim Bie Ie kata padanya
perlahan: "Kau, bocah cilik, kau tidak seberapa menyebalkan,
kau dapat bebas dari hukuman rangket! Tapi, hm! -itu bocah
she Bu si kurang ajar, dia mesti dihajar kempolannya!" Ciong
Tian merasa bahwa ia telah dilemparkan, ia menduga ia bakal
terbinasa atas sedikitnya terluka parah, tidak tahunya ketika
tubuhnya melayang, ia tidak melayang cepat, hanya ia
berputar 'perlahan, hingga ia bisa meneruskan jumpalitan dan
turun di tanah dengan berdiri tanpa kurang suatu tepa.
Sekarang ia baru tahu bahwa Kim Sie Ie berbuat baik
terhadapnya. Tentu sekali ia menjadi melengak karenanya. Ia
melengak sebentar, lantas ia menjadi kaget.
Kecuali matanya melihat, kupingnya pun mendengar suara
membeletek. Pedang Bu Teng Kiu kena dirampas secara
gampang oleh Kim Sie Ie, pedang itu terus ditekuk patah.
Teng Kiu kaget, niat ia menyingkir buru-buru, akan tetapi
sudah kasep, tubuhnya lantas kena dicekuk, tubuh itu dibaliki,
maka di lain saat dengan berulang-ulang kempolannya telah
dihajar dengan tongkat. Setelah tiga rangketan, Kim Sie Ie
tertawa, cekalannya dilepaskan, tubuhnya melesat. Ketika
Ciong Tian berlompat maju, dengan niat menolongi kawannya,
si pengemis edan lenyap dalam sekejap!
Bu Teng Kiu berlompat meletik sebagai ikan gabus ketika ia
memperbaiki tubuhnya untuk berdiri tegak, dalam gusarnya, ia
lantas mencaci kalang-kabutan. Ciong Tian mendengar suara
nyaring dari kawan itu, hatinya menjadi lega. Suara nyaring itu
ialah bukti bahwa si kawan tidak kurang suatu apa, hanya dia
melainkan terluka di kulit bekas rangketan.
"Sudahlah, Bu Loojie," kata pemuda she Ciong itu. "Mari
kita berdamai, untuk mencari jalan guna melampiaskan
penasaran kita ini. Bagaimana pikiranmu, kejadian ini harus
diberitahukan kepada guruku atau jangan?"
"Jangan, jangan!" mencegah Bu Teng Kiu. "Gurumu
berpihak pada pengemis gila itu! Lebih baik kita mencari lain
orang guna melawan dia!"
Kim Sie le telah pergi jauh, ia tidak tahu apa yang dipikir
Teng Kiu. Mulanya ia puas, tetapi sesaat kemudian, ia
menyesal. Pikirnya: "Bocah itu memang harus diajar adat,
hanya, karena itu mungkin Kim Bwee nanti menyesalkan aku.
Aku pun keliru sudah mempermainkan Ciong Tian. Tong Siauw
Lan penuju padanya, kalau dia dipasangi dengan Lie Kim
Bwee, sembabat jugalah..."
Setelah memikir begitu, Kim Sie Ie merasa ada apa-apa
yang aneh pada dirinya.
"Biasanya kalau aku melakukan apa-apa, belum pernah aku
menyesal," pikirnya pula. "Kenapa kali ini, setelah mengajar
adat kepada dua bocah itu, aku bolehnya menyesal" Benarkah
tabiatku seperti katanya si nona, bahwa aku telah berubah
tanpa aku mengetahui" Sudahlah, aku telah mengajar adat,
sudah saja, buat apa aku memikirkannya pula! Kalau nanti aku
ketemu Kim Bwee, cukup aku menghaturkan maaf padanya..."
Sekarang ia bingung bagaimana harus mencari Nona Lie
itu. Untuk ini perlu ia mencari si orang bertopeng. Tapi orang
bertopeng itu entah telah kabur kemana. Rintangannya Ciong
Tian berdua membuat ia kehilangan orang yang ia kejar itu.
Lalu ia ingat akan kejadian di rumah penginapan, tentang
orang yang dibinasakan secara diam-diam oleh si orang
bertopeng itu, Orang itu baru dapat menyebutkan dua kali
kata-kata "Beng".


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah! Apakah dia bukannya maksudkan Beng Sin Thong?"
pikirnya pula sejenak kemudian. "Ya, tidak salah, tidak salah
lagi! Beng Sin Thong tinggal di lembah sebelah selatan
Thayheng San, di dalam sebuah kampung sunyi. Rumahnya
itu cuma terpisah seratus lie dari sini! Baiklah, benar atau
tidak, aku pergi dulu ke rumah orang she Beng itu!"
Dan ia mengambil putusannya.
Beng Sin Thong itu ada seorang yang luar biasa. "Sin
Thong" itu pun berarti "mengerti segala apa". Nama ini, dari
julukan belaka, lantas berubah menjadi nama benar, hingga
nama benarnya orang telah melupakannya. Telah lama ia
hidup menyendiri, maka selama belasan tahun, sedikit sekali
orang yang mengetahui tentang tempat kediamannya. Kim Sie
Ie ada salah satu dari sedikit orang itu. Ia mengetahuinya
sebab semenjak meninggalkan Coato, Pulau Ular, ia telah
merantau, ia telah mencari orang-orang gagah, untuk
dirobohkan. Ia mendapat tahu tempat tinggalnya Beng Sin
Thong, pernah ia mengunjunginya, tetapi sampai ia
menghilang, belum pernah ia
ertemu orang luar biasa itu. Ketika la mengunjunginya,
Beng Sin Thong kebetulan tidak ada di rumah. Maka sekarang,
ia pikir, umpama kata Lie Kim Bwee tidak ada di Beng
keechung, di rumah Bin Thong itu, ia boleh terus mencari Sin
Thong sendiri untuk menguji kepandaiannya. Perjalanan dari
Sin-an ke kegunungan Thayheng San, yang ada kira-kira
seratus lie, meminta tempo paling sedikitnya satu hari, akan
tetapi bagi Kim Sie Ie, yang Inahir ilmu lari kerasnya, tempo
itu hanya satu jam lebih.
Beng keechung, yang pernahnya di lembah sebelah selatan
Berdiri dari dua puluh bocah rumah lebih, penghuninya semua
ialah sanak atau muridnya Beng Sin Thong sendiri. Rumahnya
Beng Sin Thong adalah yang terbesar dan aneh pula
bentuknya. Karena ia pernah datang, Kim Sie Ie tahu rujilah
orang, dengan begitu ia dapat menuju langsung. Dari tempat
yang tinggi, ia lantas memandang ke arah rumah itu di mana,
segala apa tampak tenang.
Untuk sejenak Tokciu Hong-kay berpikir: baik ia menyatroni
secara diam-diam atau berterus terang" Ia tengah berpikir itu
ketika kupingnya dapat menangkap suara berisik dari
gombolan pepohonan di sampingnya. Baru ia menoleh, htau ia
mendengar bentakan: "Aku mau lihat kemana kau hendak
menyembunyikan diri-Mari, mari! Aku telah dapat cari si budak
perempuan liar!"
Suara nyaring itu disusuli sama tepukan tangan tiga kali,
atas mana terus terlihat datangnya tiga bayangan dari tiga
penjuru di sekitar situ.
Dengan sebat Kim Sie Ie lompat naik ke atas pohon, untuk
dari situ ia memasang mata. Dari suara orang itu ia tahu
bukannya ia sendiri yang dipergoki orang itu. Ia hanya
menduga-duga: "Budak liar siapa yang dia ketemukan"
Mungkinkah dia Lie Kim Bwee?"
Tidak usah lama Kim Sie Ie menduga-duga atau ia lantas
menampak munculnya satu bayangan orang, ialah bayangan
dari seorang wanita, yang potongan tubuhnya mirip dengan
potongan tubuhnya Lie Kim Bwee, baik tingginya maupun
gayanya. Ia pun segera mendengar suaranya wanita itu: "He,
bangsat, lihat pedang!" Suara itu disusuli suara bentroknya
senjata, lalu ketiga bayangan lainnya nampak terpukul
mundur beberapa tindak.
Kim Sie Ie hilang harapan. Suara itu, ia kenali, bukan
suaranya Lie Kim Bwee. Ia pun tidak dapat melihat muka
orang, yang ditutup dengan sehelai sutera hitam. Tapi ia
mengawasi terus, sedang di dalam hatinya ia berkata: "Meski
ia bukannya Lie Kim Bwee, kelihatannya kepandaiannya tidak
kalah. Ah, malam ini sungguh suatu malam yang aneh! Baru
aku menemui pria bertopeng atau sekarang ada lagi seorang
wanita. Adakah mereka berdua dan satu golongan?"
Pertempuran telah berlangsung terus di antara wanita itu dan
ketiga pria. Si nona benar gagah tetapi ketiga lawannya juga
bukan orang sembarang. Sampai dua puluh jurus, mereka
masih seimbang kekuatannya. Lama-lama si nona agaknya
gelisah, ia lantas menyerang dengan hebat. Walaupun
demikian, ia bersikap waspada.
Ketiga pria itu masing-masing bersenjatakan cambuk,
ruyung, dan golok besar, semua mereka berge-gaman berat,
tetapi selagi si nona menggunai kekerasan, mereka tidak sudi
melayani, mereka cuma membela diri. Mereka mengurung
bagaikan tembok besi, hingga sulit si nona merangsak atau
menoblos-kan kurungan mereka itu.
"Apakah kau kira Beng kee-chung dapat dibikin sesukamu"'
kata si pria yang memegang cambuk sambil tertawa dingin.
"Jangan kau harap, andaikata kau memikir, untuk mengangkat
kaki dari sini! Paling benar ialah dengan baik-baik kau turut
kami menemui chungcu kami untuk kau mendengar
keputusannya, mungkin kau akan dibebaskan dari hukuman
mati! Jikalau kau melawan terus, aku kuatir kau nanti
membuang jiwamu secara sia-sia disini!..."
Si nona membungkam, cuma serangannya diperhebat.
Sambil mengawasi terus, Kim Sie le berpikir: "Nona ini
rupanya telah memasuki Beng keechung, maka baik aku minta
keterangan darinya. Melihat permainan pedangnya, asal ia
tidak terburu napsu, di dalam seratus jurus ia bakal merebut
kemenangan. Tapi aku, mana aku dapat menanti demikian
lama" Bagaimana kalau mereka ini memperoleh bantuan dari
pihaknya?"
Kim Sie Ie menjadi tidak sabar-an, si nona melebihkan.
Demikian terlihat nona itu menyerang tambah hebat, sampai
dia seperti tidak memperhatikan lagi pembelaan dirinya.
Lawan yang mencekal ruyung itu melihat si nona bagaikan
kalap, ia menggunai ketikanya. Mendadak ia menyerang,
hingga dengan mengeluarkan suara nyaring, bajunya si nona
kena tersontek hingga robek. Tapi inilah kehendak si nona.
Justeru orang berhasil, justeru ia menikam. Maka pundaknya
musuh itu lantas tertusuk ujung pedang.
Musuh itu kesakitan dan kaget, dengan lantas dia berseru.
Dia tidak lari, bahkan dia menyerang semakin keras. Hanyalah
ketika dilukai, tanpa ingat malu, dia mengasih dengar
seruannya itu, untuk memohon bantuan.
Mereka itu bertiga ada murid-murid kesayangannya Beng
Sin Khong. Mulanya disebabkan tiga mengepung satu, mereka
malu meminta bantuan, sekarang ini lain, terpaksa dia berseru
juga. Dia telah 'melihat, bertiga mereka tidak bisa berbuat
apa-apa terhadap satu musuhnya itu. Akan tetapi dia cuma
dapat menjerit satu kali, lantas dia Bungkam. Karena
mendadak dia merasakan kerongkongannya sakit, tidak dapat
mementang mulut lagi.
Itulah Kim Sie Ie, yang membantu si nona dengan diamdiam,
dengan menimpuk dengan jarum-riya yang liehay. Si
nona sendiri berlaku cerdik dan sebat, ia menghilangi
tikamannya hingga musuhnya itu lantas roboh dengan jiwanya
melayang pergi. "Biarkan mereka ini menjadi mulut-mulut
yang hidup!" Kim Sie Ie berseru sambil melompat turun dari
atas pohon di mana ia menyembunyikan diri. Berbareng
dengan itu ia menyerang pula Bengan dua batang jarumnya
kearah kedua pria itu-jarum yang satu nancap di nadi orang
yang memegang cambuk, jarum yang lain mengenai bawahan
bocah dada dari yang lainnya, hingga senjata mereka itu
lantas terlepas dari tangan masing-masing.
Nona itu rupanya telah mengumbar hawa amarahnya,
walaupun telah ada pemberian ingat dari Kim Sie Ie, ia
menyerang terus seperti tadi, maka di dalam sekejab, dua
musuhnya itu pun roboh binasa.
Kim Sie Ie kaget sekali. Ia tidak menyangka orang demikian
tele-ngas. "Kau siapa?" mendadak si nona tanya, romannya bengis.
"Kenapa kau memintakan keampunan bagi mereka?" Dia
seperti juga tidak tahu bahwa barusan orang telah
memberikan bantuan kepadanya.
"Mungkin kau pernah mendengar namaku!" jawab Kim Sie
Ie tertawa. Ia tidak menjadi gusar. "Aku Kim Sie Ie. Aku..."
Mendengar nama itu, si nona agaknya terperanjat, belum
sempat Kim Sie Ie berbicara terus, tangannya sudah terayun,
lalu dengan satu suara, terlihatlah berhamburannya suatu
benda hitam sebagai kabut. Ia juga kaget, bahkan ia kuatir
kepada senjata rahasia yang beracun, maka ia lompat
berjumpalitan guna menjauhkan diri dari kabut itu, sambil
berlompat, ia menahan napasnya. Ia menjauhkan diri tiga
tombak. Ketika benda hitam itu buyar lenyap, si nona telah
hilang lenyap dari hadapannya. Ia tahu orang berlalu dengan
meminjam kabut itu sebagai tedeng aling, hanya ia tidak
mengerti kenapa orang menyingkir dari ianya.
"Siapakah dia?" Kim Sie Ie berpikir keras. Kembali ia
menghadapi keanehan. "Bukankah dia si pengirim tusuk
konde" Apakah mungkin adik Kim Bwee terjatuh di dalam
Beng keechung ini?"
Walaupun ia berpengalaman, sekarang ia toh heran.
Karena itu ia lantas mengambil putusan: cuma dengan
memasuki terus rumahnya Beng Sin Thong barulah ia akan
berhasil memperoleh keterangan atau mengetahui duduknya
hal yang benar.
Dengan lewatnya sang tempo, rembulan sudah selam di
barat dan bintang-bintang tinggal sisanya. Dengan begitu,
sang langit bukannya bakal menjadi semakin gelap, hanya
sang fajar segera menyingsing. Meski begitu, Kim Sie Ie maju
terus. Ia melihat beberapa rombongan orang mendatangi.
Rupa-rupanya mereka itu datang atas seruan tadi. Melihat
orang-orang itu, ia berpikir:
"Ini berarti bahwa Beng keechung telah tersadar dari
tidurnya. Pasti penjagaan pun diperkeras. Aku mesti masuk di
luar tahu mereka. Apa akal?"
Dengan memasang mata dan telinga, dengan gerakan yang
gesit, Kim Sie Ie bertindak maju. Ia menyingkir setiap kali ia
melihat ada orang mendatangi. Ia tidak mau berlaku
sembrono karena ia merasa pasti orang-orang di rumahnya
Beng Sin Thong pasti bukan sembarang orang. Setibanya di
depan pekarangan, di sana terlihat dua orang ronda. Dengan
berhati-hati, tanpa terlihat, ia mendekati mereka itu.
"Tadi malam ada orang mencuri masuk ke dalam rumah
kita ini, bahkan dialah seorang wanita," terdengar seorang
berkata perlahan, "inilah heran sekali. Sudah belasan tahun
aku melayani suhu, belum pernah terjadi hal yang semacam
itu." "Pula tadi, mendengar suara pertandaan dari atas gunung,
mungkin juga ketiga kakak seperguruan kita itu bukan
lawannya wanita itu," berkata yang lain.
"Dan beberapa hari yang lalu, katanya ada datang seorang
wanita lain, yang telah kena ditawan suhu kita dan ditahan.
Benarkah, itu?"
"Sst!" kata sang kawan, memperingati. "Hati-hati kau
membicarakan urusan ini. Di antara kita berdua tidak ada soal,
tetapi kalau warta ini bocor, bisa-bisa suhu nanti menghendaki
jiwamu..."
Orang yang ditegur itu mengulur lidahnya. Ia agaknya jeri.
"Kalau begitu, tidak apalah jikalau kau tidak suka memberi
keterangan padaku," katanya. "Kalau kau suka, nah, kau
bisikilah!"
Dua orang itu lantas bicara berbisik.
Kim Sie Ie tidak dapat mendengar apa-apa hanya ia melihat
orang yang dibisiki itu mengulur lidah pula, kelihatannya dia
heran dan berkuatir.
Kim Sie Ie berpikir pula: "Jadi disini masih ada satu nona
yang dipenjarakan" Beng Sin Thong berani menawannya,
mengapa mereka ini agaknya jeri" Siapakah nona itu" Ah,
mungkinkah dia Kim Bwee" Apakah mungkin si nona tadi
datang kemari guna menolongi Kim Bwee" Mestinya,
sedikitnya, si nona dan nona yang dipenjarakan itu ada
sangkut pautnya satu dengan lain... Nona bertopeng itu liehay
tetapi dia tidak miripnya orang Thiansan Pay..."
Ia lantas merogoh keluar dua batang jarumnya, untuk
digunakan, maka dua orang yang berbicara kasak-kusuk itu
lantas merasai bawahan tetek mereka, ialah jalan darah
kiebun hiat, seperti digigit semut, atau di lain detik keduanya
menjadi lemas, hingga mereka lantas terjatuh terkulai.
Dari tempat sembunyinya, Kim Sie Ie berlompat keluar,
mengham-pirkan dua orang itu. Ia menekan punggung
seorang, dengan begitu, orang itu lantas merdeka pula. Ia
berkata perlahan tapi berpengaruh: "Jangan menjerit, atau
otot-ototmu bakal putus!"
Ancaman ini, yang nadanya diberikuti emposan tenaga
dalam, membikin orang itu ciut nyalinya. Dia bukannya orang
pandai tetapi sebagai orangnya Beng Sin Thong dia
menginsyafi hal kemahirannya tenaga dalam itu.
"Kau... kau siapa?" tanya dia, matanya mendelong.
"Seorang laki-laki tidak pernah merubah she dan
namanya," sahut Kim Sie Ie. "Demikian juga aku! Akulah Kim
Sie Ie yang pada tujuh tahun yang lalu pernah datang mencari
guru kamu!"
Orang itu kaget bukan main, mukanya menjadi pucat.
"Tok... Tok..." kata dia, atau dia berdiam tiba-tiba.
Kim Sie le tertawa dingin.
"Tidak salah, akulah yang dunia kangouw menyebutnya
Tokciu Hongkay!" jawabnya terus terang. "Sekarang aku
hendak menanya kau! Ada sepatah kata saja omonganmu
tidak benar, aku akan menurunkan tangan jahat, kau bakal
tersiksa hingga mau hidup tidak bisa, mau mati tidak bisa
juga!" Orang itu bergemetar tubuhnya.
"Kau bilangi aku apa she dan namanya si nona yang
ditawan gurumu?" Kim Sie Ie tanya.
"Dengan sebenar-benarnya aku tidak tahu..." menyahut
orang itu dengan suara susah.
"Bukankah dia orang Thiansan Pay?" Kim Sie Ie tanya pula.
"Ini juga aku tidak tahu..."
"Baiklah, kau main tidak tahu saja! Sekarang aku tanya
lagi. Kau tentu mendapat tahu romannya nona itu?"
"Aku... aku belum pernah melihat dia..."
Matanya Kim Sie Ie mendelik.
Orang itu ketakutan.
"Aku... aku mendengar dari kakakku seperguruan yang
tertua..." katanya, "nona itu berumur kurang lebih dua puluh


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun, ilmu pedangnya liehay, mukanya potongan kwaci,
wajahnya cantik sekali..."
Kim Sie Ie pikir. "Siapa lagi dia kalau bukannya Lie Kim
Bwee?" Lantas ia menanya: "Bagaimana kejadiannya maka dia
tertawan disini?"
"Dia datang kemari kira-kira lima atau enam hari yang baru
lalu. Dia datang seorang diri tanpa ada yang ketahui sampai
dia dapat menghampirkan kamar tempat chungcu meyakinkan
ilmu silat. Di sana dia kepergok, lantas dia bertempur sama
toasuko, ialah kakak seperguruan kami yang usianya paling
tua, yang biasa mendampingi chungcu atau guru kami itu.
Toasuko telah kena dilukai. Setelah itu muncullah guru kami
dan si nona lantas kena ditangkap. Hal ini aku baru ketahui
kemarin ketika suko memberitahukan kepadaku. Lantaran
peristiwa itu maka sekarang diadakan penjagaan kuat ini."
"Di mana nona itu di penjarakan?" Kim Sie Ie tanya.
"Juga hal ini aku tidak tahu. Suhu larang membocorkannya
dan suko tidak sudi memberitahukan padaku meskipun kita
bersahabat erat sekali."
"Sekarang di mana adanya gurumu?"
'Di dalam taman di belakang. Suhu tinggal di kamar batu di
sampingnya tiga bocah pohon pek."
"Kau bernama apa?"
Orang itu melengak, agaknya ia berkeberatan, tetapi ia
dideliki. Akhirnya ia menyahut juga: "Aku bernama Kat Tiong."
Perlahan bicaranya.
"Baik. Sekarang mari aku pinjam baju bulumu."
Lantas Kim Sie Ie membebaskan orang yang satunya lagi,
lalu kepada mereka ia kata: "Kamu boleh berdiam terus disini,
meronda seperti biasa, tetapi aku larang kamu bicara! Awas,
atau aku nanti ambil jiwa kamu!"
Habis mengancam, dia menge-robongi dirinya, lantas dia
pergi tanpa mengambil mumat pula kedua orang itu.
Dua orang itu saling mengawasi, mereka berdiam. Benarbenar
mereka tidak berani bertindak apa-apa kecuali
mengharap-harap guru mereka berhasil membekuk dan
membinasakan orang ini, agar rahasia mereka tertutup terus...
Dengan lincah Kim Sie Ie meloncati tembok, ia bagaikan
seekor burung yang enteng tubuhnya dan gesit. Ia berhasil
melewati beberapa orang. Kalau toh ada juga yang
melihatnya, ia dibiarkan, karena mantelnya itu, saban-saban ia
disangka orang sendiri.
Setibanya di dalam taman, tengah ia berjalan, Kim Sie Ie
mendengar bersiurnya tangan baju di belakangnya- Ia
terkesiap. Ia mengerti ada orang liehay di belakangnya itu. Ia
pun segera mendengar teguran: "Eh, Kat Tiong, sekarang
belum tiba saatnya menukar giliran, kenapa kau sudah
kembali" Apakah ada terjadi sesuatu?"
Sambil memutar tubuh, Kim Sie Ie menjawab pertanyaan
itu dengan satu totokan sebelah tangannya ke belakang.
Tepat serangan itu, tanpa bersuara lagi, orang itu jatuh roboh.
Dia sebenarnya murid nomor dua dari Beng Sin Thong, dia
cukup kosen, mungkin dia akan dapat bertahan delapan jurus
melawan penyerangnya, tetapi dia tidak mencurigai Kat Tiong
palsu itu, maka dia roboh sebagai korban.
Kim Sie Ie tertawa dan berkata dengan perlahan pada
orang itu: "Selang satu jam, kau akan merdeka sendiri."
Lantas dia menggusur orang ke dalam gua dari gunung palsu
disitu. Di dalam hatinya ia kata: "Beng Sin Thong berani
menawan dan mengurung adik Kim Bwee, aku mesti membuat
perhitungan dengannya!"
Dengan menuruti petunjuk Kat Tiong, ia tiba di rumah batu
di dekat tiga bocah pohon pek. Ketika ia mendekati, ia lantas
mendengar suara bicara yang keluar dari dalam rumah itu.
Maka, dengan berpikir bahwa baiklah ia mencoba memasang
kuping, ia lantas mencari tempat untuk memernahkan diri
dengan ia dapat mengintai ke dalam rumah. Jendela disitu
berdaun kaca. Di dalam rumah itu ada tiga orang, dua tua dan satu muda.
Dengan lantas ia mengenali satu di antaranya adalah Beng Sin
Thong, si chungcu atau tuan rumah, yang tubuhnya tinggi
besar tetapi punggungnya bungkuk. Ia tidak tahu orang tua
yang kedua, sedang yang muda ia duga ada murid kepalanya
orang she Beng itu.
Pembicaraan ketiga orang itu perlahan akan tetapi Kim Sie
Ie dapat mendengarnya begitu lekas ia memasang kuping
dengan menempelnya di batu. Ia memang mengerti ilmu
"Hoktee tengseng", -"Mendekam di tanah, mendengar suara".
Siapa yang mahir ilmu ini, dia dapat mendengar tindakan kaki
kuda dua tiga lie jauhnya.
"Wanita tadi malam itu mungkin gadisnya Le Hoan San,"
demikian terdengar suaranya Beng Sin
Thong. "Yang tidak jelas ialah murid wanita dari Thiansan
Pay itu ada apa hubungannya dengan dia. Pula tentang itu
tusuk konde kumala, tidak diketahui apakah dia yang
menolongi gadisnya Phang Lim untuk menyampaikannya atau
bukan..." Terkesiap juga hati Kim Sie Ie mendengar itu kata-kata
"gadisnya Phang Lim". Jadi tidak salah lagi, nona yang
tertawan itu ialah Lie Kim Bwee. Maka berpikirlah ia: "Beng Sin
Thong telah mengetahui siapa adanya Kim Bwee dan dia
masih berani menahannya, sungguh besar nyalinya."
"Kau telah melakukan pengejaran, apakah kau berhasil
membekuk pencuri tusuk konde kumala itu?" terdengar Beng
Sin Thong menanya muridnya.
"Tidak," menyahut sang murid. "Sebaliknya, aku bertemu
sama seorang lain."
"Siapakah dia itu?"
"Kim Sie Ie!" menjawab sang murid.
"Ah!" berseru sang guru. "Kembali dia muncul dalam dunia
kangouw! Adakah dia masih hendak mencari aku untuk
mengadakan piebu denganku" Kim Sie Ie itu menyebalkan,
baiknya dia tidak mempunyai hubungan sama Thiansan Pay.
Coba kau tuturkan bagaimana kau menemuinya?"
"Aku telah mengejar sampai di Sin-an. Di sana aku melihat
dua ekor kuda Ferghana. Oleh karena aku mencurigai ada
orang Thiansan Pay di sana, aku pergi mengintai..."
"Habis benarkah dia orang Thiansan Pay?" sang guru
menanya, bernapsu.
"Ya, merekalah dua orang tingkat muda dari Thiansan Pay."
"Ah!" kembali si guru berseru perlahan. "Dapatkah mereka
menerima tusuk konde itu?"
"Tidak. Tusuk konde justeru berada di tangannya Kim Sie
Ie. Cui Kiu kena ditawan Kim Sie le, dia mau dipaksa menutur
tentang tusuk konde itu, untuk mencegah dia membuka
rahasia, terpaksa aku panah dia dengan jarum beracun..."
"Bagus, bagus!" kata guru itu. "Benar Kim Sie Ie tidak ada
hubungannya sama Thiansan Pay akan tetapi kalau dia
mengetahui hal itu, itulah kurang baik. Hanya, kenapa Kim Sie
Ie yang mendapatkan tusuk konde itu serta apa dia mau
menyelidikinya" Inilah aneh!"
"Bukan begitu saja, dia bahkan mengejar aku. Ketika itu
kedua bocah Thiansan Pay itu tidak ada di dalam kamar
mereka, hanya belakangan kita bersomplokan di tengah jalan.
Mereka tengah mengutuk Kim Sie Ie. Ketika mereka melihat
aku, lantas mereka menyangka akulah Kim Sie Ie "'
Lebih jauh murid ini menuturkan pengalamannya sampai
dia lolos sesudah dia menunjuki Kim Sie Ie kepada dua orang
muda itu, Bampai mereka menyerang Kim Sie Ie dan dia
bebas, Beng Sin Thong berpikir, "Kim Sie le membuat garagara
Berhadap murid-murid Thiansan Pay, kejadian itu berarti
keringanan bagi kita," katanya sesaat kemudian, "hanya di
belakang hari, kalau rahasia terbuka dan dia bertindak terus,
begitupun murid-murid Thiansan Pay itu, itulah tidak bagus.
aku lihat kita haruslah berdaya untuk menghadapi Kim Sie le."
Setelah mendengar semua pembicaraan itu, dan sesudah
memadamkannya sekian lama, Kim Sie le mengambil
kesimpulan: "Mungkin sekali ayahnya si nona bertopeng
bermusuhan sama Beng Sin Thong dan Lie Kim Bwee datang
mendahului nona bertopeng itu dan ia kena ditangkap. Hanya
tusuk konde kumala dari Kim Bwee itu, siapakah yang
membawanya pergi" Mungkin tusuk konde itu mau dijadikan
bukti untuk minta bantuan kepada kaum sendiri. Mungkin
dialah si nona bertopeng itu, atau mungkin juga seorang lain.
Bentang ini baiklah aku membiarkannya dulu. Si pembawa
tusuk konde itu rupanya melihat kedua ekor kuda di luar
rumah penginapan, dia menyangka kepada orang-orang
Thiansan Pay, hanya kemudian, nyatanya dia keliru memasuki
kamarku. Sekarang tinggal soalnya: Kenapa Lie Kim Bwee
mendatangi Beng keechung" Kenapa Sin Thong mengurung
Kim Bwee sedang dia telah ketahui asal-usulnya si nona?"
Tengah ia berpikir itu, Kim Sie Ie mendengar satu suara
yang nyaring. "Beng Suheng," demikian suara itu, "tanpa perlunya buat
apa kita mencari urusan dengan pihak Thiansan Pay" Baiklah
kau menghaturkan maaf kepada nona itu dan lantas
memerdekakannya. Dengan begitu kita bisa menyingkir dari
segala kesulitan."
Mendengar itu, hati Kim Sie le ketarik. Inilah soal yang ia
ingin ketahui. Beng Sin Thong tertawa tawar, ia berkata: "Yang Sutee,
kau bicara gampang saja. Jangan bicara dari hal orang dengan
kedudukan sebagai aku tidak dapat menghaturkan maaf
kepada bocah itu, pula andaikata dia dimerdekakan, belum
tentu ibunya mau melepaskan kita. Bukankah ibunya itu
tersohor sebagai seorang wanita telengas" Di samping itu
masih ada tiga keberatan lainnya."
Orang tua yang dipanggil "Yang Sutee" itu-ialah adik
seperguruan she Yang-nampaknya heran.
"Coba kau jelaskan, suheng," dia minta. "Boleh kita
menimbangnya."
"Pertama-tama aku tidak ingin membocorkan tempat
persembunyianku ini," berkata Beng Sin Thong, menjawab
adik seperguruannya itu. "Kau ketahui sendiri, kecuali Le Hoan
San, aku masih mempunyai beberapa musuh lainnya. Yang
kedua ialah aku bercuriga nona she Lie murid Thiansan Pay
ada hubungannya sama si nona gadisnya Le Hoan San,
bahkan mungkin dialah yang sengaja mendahului datang
kemari untuk membuat penyelidikan. Dan yang ketiga, dengan
menawan dia, mungkin bukan bahaya hanyalah rejeki besar
yang bakal datang kepada kita! Haha! Sebenarnya kau harus
dapat menerkanya. Nona itu besar sekali faedahnya untuk
kita!" "Bagaimana itu?" tanya si orang tua, heran. "Aku tidak
mengerti."
"Bagaimana tentang peryakinanmu atas Siulo Im Kang?"
balas tanya Beng Sin Thong. "Kau sudah berhasil sampai di
tingkat ke berapa?"
"Siauwtee bebal, siauwtee kalah jauh dengan kecerdasan
suheng," menyahut orang tua itu, si adik seperguruan she
Yang. "Sekarang aku baru sampai pada tingkat yang ke lima."
Kim Sie Ie mendengar jelas pembicaraan di antara kedua
kakak dan adik seperguruan itu, ia terkejut.
Berkata ia di dalam hatinya: "Semasa hidupnya suhu,
pernah suhu merundingkan tentang ilmu silat pelbagai partai,
di antaranya ada disebut-sebut tentang ini ilmu Siulo Im Kang,
yang katanya telah lenyap lama. Suhu menerangkan bahwa
ilmu itu adalah ilmu yang liehay dalam kalangan kaum sesat,
bahwa asal mulanya datang dari India, kemudian dibikin
sempurna oleh seorang Lhama Agama Putih dari Tibet dan
namanya pun lalu ditetapkan sebagai Siulo Imsat Kang.
Didalam agama Sang Budha ada dikenal sembilan lapis atau
tingkat neraka, menuruti itu, maka ilmu silat Siulo Imsat Kang
ini pun dipecah dalam sembilan tingkat, dan siapa dapat
memahamkan sampai di tingkat ke sembilan itu,
kepandaiannya telah menyampaikan kemahirannya. Itu artinya
dia liehay luar biasa. Kalau dengan ilmu itu orang menghajar
lawannya, si lawan seperti juga dijeblus-kan kedalam neraka
tingkat yang ke sembilan itu, dia jadi tidak bakal hidup pula.
Tentu sekali, itulah perumpamaan belaka tetapi itu
menandaskan liehaynya ilmu itu. Hanya saja, belum pernah
ada yang menyaksikannya. Si pendeta Lhama Putih itu,
katanya, tidak mempunyai murid yang mewariskan ilmu
silatnya itu. Sampai dipertengahan kerajaan Beng, tentang itu
ilmu cuma ada catatannya tetapi tidak pernah terdengar ada
yang mempelajarinya. Maka heran sekarang ternyata Beng Sin
Thong mengerti itu dan telah mempelajarinya sampai
beberapa tingkat."
Selagi Kim Sie Ie masih berpikir itu, kembali ia mendengar
suaranya Beng Sin Thong: "Kau telah mencapai tingkat ke
lima, kau tidak usah berkuatir. Aku telah sampai di tingkat ke
tujuh, telah ada tanda-tandanya ancaman kesesatannya. Aku
merasa, sampai di tingkat ke delapan nanti, apabila aku tidak
sanggup mengendalikannya, aku bisa sesat dan gagal, dan
habis dan sia-sia belaka peryakinanku ini. Maka sekarang aku
memikir untuk mendapatkan pelajaran tenaga dalam yang
sejati guna menindihnya. Mungkin dengan begitu aku bisa
membebaskan diri dari bahaya terjerumus."
"Sekarang aku mengerti, su-heng," kata si orang tua.
"Rupanya kau hendak memaksa si nona itu menuliskan
untukmu rahasianya pelajaran tenaga dalam dari Thiansan Pay
untuk kau meyakinkannya."
Beng Sin Thong tertawa gembira.
"Sedikit pun tidak salah dugaan kau ini!" katanya. "Hanya
sayang gadisnya Phang Lim itu sangat berkepala batu, sudah
tiga hari aku membuatnya kelaparan, dia masih tidak mau
mencatat pelajaran lweekang-nya itu. Meski begitu, aku tahu
bagaimana caranya untuk memaksa dia. Kalau aku berhasil
meyakinkan Siulo Imsat Kang sampai tingkat ke sembilan itu
" haha!-tak usah aku jeri lagi terhadap sekalian musuhku!
Biar suami isteri Tong Siauw Lan yang datang sendiri, belum
tentu aku kalah!"
"Biarpun begitu, suheng, kita harus berhati-hati," kata sang
sutee, yang memperingati.
"Begitu aku berhasil mendapatkan ilmu lweekang Thiansan
Pay, aku akan lantas membinasakan anak perempuan itu,"
berkata Beng Sin Thong, suaranya tetap, "setelah itu kita
pergi menyembunyikan diri pula. Thiansan terpisah jauh
puluhan ribu lie, umpama kata kemudian Tong Siauw Lan dan
Phang Lim dapat mencari aku, ketika itu peryakinanku sudah


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selesai!" Mendengar ini maka mengertilah Kim Sie Ie. Jadi dengan
mengurung Lie Kim Bwee, Beng Sin Thong hendak
mendapatkan ilmu lweekang, ilmu sejati, dari Thiansan Pay,
guna mencegah dia terjerumus dalam kesesatan, agar dia
dapat berhasil meyakinkan Siulo Imsat Kang, guna menjadi
jago. Pantas dia ingin lekas-lekas, supaya pihak Thiansan Pay
tidak mencari padanya. Pastilah dia kuatir sekali tusuk
kondenya Kim Bwee nanti membawa berita kepada pihak
Thiansan Pay itu.
Setelah itu, Beng Sin Thong memanggil seorang muridnya
kepada siapa ia memerintahkan: "Kau bawa ini cambuk
Pekbong pian, kau lihat itu bocah wanita, jikalau tetap dia
tidak mau menulis catatannya, kau hajar dia setiap pagi,
tengah hari dan sore, setiap kalinya sepuluh rangketan.
Setelah dirangket dengan cambukku ini, dia akan merasakan
nyeri luar biasa pada seluruh tubuhnya, sesudah dia kelaparan
sekian lama dan tubuhnya telah lemas lelah, biar tenaga
dalamnya sudah mahir, dia tidak akan bertahan untuk tiga kali
rangketan!"
Sang sutee, adik perguruan, kaget mendengar kata-kata
itu. "Dengan demikian," katanya, "kita jadi pasti membuat
permusuhan dengan Thiansan Pay!"
"Ya!" sahut kakak itu. "Kau harus ingat, menangkap
harimau gampang, melepaskannya sukar. Sampai di batas ini,
jalan lain sudah tidak ada. Muridku, kau pergilah!"
Kim Sie Ie menjadi kaget, gusar dan girang dengan
berbareng. Ia kaget dan gusar untuk ketelengas-annya orang
she Beng itu. Ia girang sebab ia mendapat harapan. Maka
tanpa menyia-nyiakan tempo, ia lantas menguntit murid orang
itu yang membawa Pekbong pian, Cambuk Ular Naga Putih
yang katanya liehay itu.
Murid itu menuju ke depannya sebuah gunung palsu
lainnya, setelah batuk-batuk dua kali, ia memanggil-manggil:
"Liok sutee! Cit sutee!" Itulah panggilan untuk adik
seperguruan yang ke enam dan ke tujuh. Tapi ia tidak
memperoleh jawaban walaupun ia telah mengulanginya. Ia
menjadi heran. Ia lantas mengulur sebelah tangannya,
memegang sebuah batu gunung untuk terus diputar. Segera
batu itu. terbelah dua, merupakan sebuah pintu.
"Kiranya mereka mengurung adik Kim Bwee di dalam
gunung palsu ini!" pikir Kim Sie Ie, yang girang luar biasa. Ia
terus memasang mata. "Kalau tidak ada jahanam ini, mana
bisa aku mencari ini tempat rahasia"
Tepat di itu waktu, dari arah taman terdengar bunyinya
genta nyaring sekali diikuti teriakan-teriakan: "Kim Sie Ie
sudah masuk ke dalam! Masing-masing menjaga tempat
penjagaannya! Jangan bingung! Biar suhu sendiri yang
membekuk dia!"
Muridnya Beng Sin Thong itu kaget, ia segera menoleh,
hingga batal ia bertindak memasuki guanya itu. Justru itu, ia
pun kaget luar biasa. Ia melihat di belakangnya telah berdiri
seorang yang tidak dikenal!
Kim Sie Ie berlaku sebat. Ia tidak menanti orang
mementang bacot atau menggeraki kaki atau tangan. Dengan
tangan kanannya, dengan perakan "Keng Tek toatpian", atau
Keng Tek merampas cambuk", ia menyambar lengannya orang
itu, untuk membarengi menotok dengan tangan kirinya pada
jalan darah "kauw-im hiat". Maka lemaslah orang itu,
cambuknya lantas kena dirampas, sedang tubuhnya, dengan
dupakan susulan, kena dibikin terlempar ke pojokan.
Habis bekerja sebat itu, Kim Sie Ie menoleh ke belakang, la
mendengar suara berisik tetapi tidak melihat orang datang ke
arahnya, la mau menyangka bahwa orang tidak menduga
kepada gua rahasia ini. Tapi ia dapat menerka sebabnya suara
berisik itu. Ketika ia mulai masuk ke Beng keechung ini, ia
telah menotok roboh dua orang ronda. Ia tidak mencelakai, ia
hanya menutup jalan darah mereka itu untuk satu jam,
selewatnya itu, larang akan bebas sendirinya. Disini "ia keliru.
Dua orang itu telah berhasil mewariskan tiga bagian pelajaran
gurunya, dengan mengempos semangat sendiri, mereka
ibebas tak sampai setengah jam, maka mereka lantas
membikin berisik, guna melaporkan pengalamannya itu.
"Biar bagaimana, paling perlu aku menolongi dulu adik Kim
Bwee," demikian Kim Sie le pikir.
Maka dengan memutar cambuk rampasannya ia bertindak
masuk. Ia tidak menemui rintangan hanya mendapatkan
tubuh dua orang, yang rebah tidak berdaya, bukan miripnya
orang masih bernyawa. Ia menjadi heran sekali. Ia mengawasi
tubuhnya dua orang itu, ia menendang. Dua orang itu berdiam
saja. Ia lantas memeriksa. Hasilnya ialah kenyataan kedua
orang itu sudah menjadi mayat.
"Tentulah mereka ini si sutee ke enam dan ke tujuh yang
barusan dipanggil-panggil," pikir Kim Sie Ie. "Entah siapa yang
membinasakannya..."
Di dalam keadaan seperti itu, tidak dapat Kim Sie Ie main
ayal-ayalan. Ia mengawasi ke sebelah dalam. Ia seperti
melihat berkelebatnya satu bayangan kurus. Ia kaget dan
girang dengan berbareng.
"Aku tahu kau datang," ada jawaban dari tempat gelap itu.
Hampir berbareng dengan jawaban itu, Kim Sie Ie
merasakan tangannya tersambar, lalu telapakan tangannya
tercengkeram. Ia pun lantas melihat, si nona bukannya Kim
Bwee hanya si nona bertopeng. Sekarang si nona tidak
mengenakan topeng lagi, sinar matanya tajam. Nona itu
berkata: "Jangan maju mendekati aku, nanti aku menarik
banderinganku hingga tanganmu bakal hancur, hingga
meskipun kau dapat membunuh aku, kau sendiri bakal
bercacad seumur hidup!"
Suara nona itu dingin.
Seumurnya baru kali ini Kim Sie Ie kena dibokong orang,
maka bukan main mendongkolnya. Sebelum ia membilang
apa-apa, si nona sudah menanya padanya: "Bukankah kau
datang kemari untuk menolongi si nona murid Thiansan Pay?"
Kim Sie Ie tidak menjawab hanya ia mengerahkan tenaga
dalamnya, sambil berbuat mana ia kata dengan tertawa:
"Kepandaianmu masih rendah, tidak dapat kau main gila
terhadap aku!" Dan benar-benar, tangannya lantas terlepas
dari cengkeraman. Ia telah menggunai Siokkut kang, yaitu
ilmu meringkaskan tulang.
Si nona tersadar sesudah tangan orang bebas. Ia terkejut.
Tapi hanya sejenak, ia pun kata dengan tertawa:
"Kepandaianku memang masih rendah, tetapi juga kepandaian
kau belum mahir! Kau tahu, kau telah terkena bisa tetapi kau
tidak merasa!"
Kim Sie Ie kaget. Segera ia merasakan sedikit gatal pada
tangannya. Ketika ia mengerahkan pula tenaga dalamnya,
sekarang ia merasa nyeri sekali pada lengannya. Kembali ia
kaget. Nyata si nona tidak mendusta. Pasti bandering si nona
dipakaikan racun dan barusan kulitnya terlukakan. Ia menahan
hawa amarahnya, ia kata dengan dingin: "Sebelum aku mati,
aku akan membinasakan kau dengan cara yang serupa!" ia
memang ahli racun. "Kau percaya atau tidak?"
Pertanyaan ini disusul sama gerakan cepat bagaikan kilat,
maka tahu-tahu tubuhnya telah melesat ke depan si nona,
tangan siapa lantas kena dicekuk dua-duanya. Ia membawa
mukanya ke muka nona itu, ia mengasih lihat roman bengis
sekali. Inilah sifatnya di waktu murka. Dapat ia menyiksa
orang menuruti suara hatinya itu. Ia lebih kejam kepada orang
yang kejam. Nona itu luar biasa. Kalau dia mau berkelit, mungkin dia
dapat. Kalau dia mau melawan, mungkin dia dapat bertahan
untuk beberapa jurus. Tapi sekarang dia diam saja tangannya
dicekal, dia tidak mengerahkan tenaganya. Dia juga tidak
menunjuki roman takut. Sebaliknya, dia bersenyum.
"Kau hendak membinasakan aku?" tanyanya. "Aku percaya
kau mempunyai kepandaian untuk melakukannya. Hanya, aku
pikir, kenapa kita mesti bercelaka berdua-dua" Kau pun belum
menjawab pertanyaanku" Bukankah kau datang kemari untuk
menolongi nona she Lie dari Thiansan Pay itu?"
"Benar," menyahut Kim Sie Ie.
Ia memang sangat memperhatikan kim Bwee. "Mana dia
nona she Lie itu?"
"Jadinya, kau juga hendak menyeterukan Beng Sin Thong?"
si nona tanya pula.
"Lekas bilang, kau bertemu Nona Lie atau tidak?" Kim Sie
Ie tanya. "Buat apa terburu napsu?" kata si nona, ayal-ayalan.
"Taman ini luas, mereka itu tidak bakal lekas-lekas sampai
disini! Tidak nanti mereka menyangka kita berada di dalam ini
gua rahasia! Masih ada lempo kita berbicara sebelumnya Beng
Sin Thong dapat mencari kau."
Kembali Kim Sie Ie panas patinya. Kembali ia
terpengaruhkan orang sedang biasanya ialah yang
mempengaruhi orang lain.
"Kau mau bicara apa?" ia menanya sengit. Untuk Kim
Bwee, ia dapat mengendalikan diri. "Bagus kalau kau ketahui
itu," kata Kim Sie Ie. "Habis kenapa kau pembalas budi
dengan cara bermusuhan ini?"
"Mulanya aku tidak tahu!" kata pula si nona, tertawa.
"Bukankah manusia banyak akalnya dan kau pun dikenal
sebagai hantu" Kita baru bertemu satu dengan lain, cara
.bagaimana kau dapat menghendaki aku lantas mempercayai
kau?" Berdua mereka bicara dengan tubuh mereka berada dekat
sekali, maka Kim Sie le dapat membaui harum tubuhnya si
nona, dengan begitu berkuranglah hawa amarahnya. Bahkan
sejenak kemudian, ia mulai merasa tidak enak hati.
"Sekarang kau telah ketahui aku datang untuk mencari si
nona she Lie berbareng untuk menyateroni juga Beng Sin
Thong, habis kau mau apa?" ia tanya nona itu. "Maksud kita
berdua berlainan kecuali di dalam halnya mencari Beng Sin
Thong," menyahut si nona. "Baiklah, hari ini mari kita bekerja
sama bagaikan kita naik sebuah perahu, kau membantu aku
mencari balas dan aku membantu kau meloloskan diri, untuk
itu kita jangan saling menghaturkan terima kasih! Begitu kau
menerima baik ajakan ini untuk bekerja sama, segera aku
memberikan kau obat pemunah racunku!"
"Tunggu sebentar!" kata Kim Sie Ie. "Bagaimana
sebenarnya dengan si nona she Lie itu" Kenapa aku tidak
melihat dia" Kau sendiri, mengapa kau berada di dalam gua
itu?" Nona itu tertawa.
"Kau begini tergesa-gesa hendak menemui dia?" tanyanya.
"Untuk itu kau harus menanti sedikitnya sampai sebentar
malam!" "Jadi dia tidak ada disini?"
"Sebentar jauh malam jam tiga, kau pergi ke puncak
Kimkee Hong di atas gunung Thayheng San, kau tunggui dia
di bawahnya pohon tua, dia nanti datang mencari kau."
"Bagaimana kau ketahui itu?"
"Karena aku telah menjanjikan dia begitu!"
"Itu artinya kau telah bertemu dengannya! Bagaimana
terjadinya itu?"
"Bukan saja kita telah bertemu, bahkan akulah yang
memerdekakan dia."
"Jadinya kaulah yang membinasakan dua orang menjaga
gua ini?" Nona itu mengangguk.
"Syukur kau telah membikin tidak berdaya beberapa
muridnya Beng Sin Thong di luar dan di dalam pekarangan,
menggunai ketika baik itu, aku nelusup kedalam terus kesini.
Sebenarnya aku mencari nona itu untuk mengajak dia bekerja
sama-sama aku, siapa tahu setibanya aku disini untuk mana
aku mesti membinasakan dulu dua penjaga itu-ternyata dia
tengah kelaparan hingga habis tenaganya, hingga dia tidak
ada gunanya lagi untukku, dari itu aku menyuruh dia
mengangkat kaki. Dia menyangka aku datang untuk
menolongi dia, sangat bersyukur, berulang-ulang dia
menghaturkan terima kasih padaku. Aku menganggap
bersahabat dengan pihak Thiansan Pay tidak ada salahnya,
benar dia sekarang tidak dapat membantu aku, tetapi di
belakang hari mesti ada gunanya. Demikian aku menjanjikan
dia akan sebentar jam tiga bertemu di puncak Thayheng San
itu." "Kau bilang dia tengah kelaparan, tapi kau membiarkannya
dia pergi seorang diri. Ini... ini..."
"Sebenarnya juga mulanya aku tidak berniat melindungi
dia," menyahut si nona jujur, sambil tertawa. "Dengan dia
tetap berdiam disini dan dia tidak dapat menjadi pembantuku,
bukankah dia cuma-cuma akan memecah perhatianku" Tapi,
kau tenangkanlah hatimu. Benar dia tidak dapat segera
mendapat pulang tenaganya, akan tetapi untuk lari cepat atau
berlompatan, dia masih sanggup! Baiklah, sekarang kita sudah
bicara cukup. Mau apa kau sekarang?"
Kim Sie Ie tertawa.
"Aku tidak memikir untuk bekerja denganmu!" sahutnya,
dingin. Jawaban ini mengejutkan si nona, yang menjadi heran.
"Apakah kau tidak mengharap obat pemunah racun?"
tanyanya. "Benarkah kau menghendaki kita berdua bercelaka
bersama" Tidakkah dengan begitu kita jadi membikin senang
itu bangsat tua she Beng?"
"Seumurku, belum pernah aku dipengaruhi lain orang,"
kata Kim Sie le terus terang. "Kau telah membokong aku,
lantas kau menginginkan aku membantu kau! Hm! Hm!
Hatimu terlalu buruk!"
"Eh, kata-kata ini tidak seharusnya keluar dari mulutmu!"
kata si nona heran. "Jadi kau pun bicara dari hal kebatinan"
Haha! Aku mengerti, kau sebenarnya jeri untuk Siulo Imsat
Kang dari Beng Sin Thong!..."
"Jangan kau mencoba membangkitkan hawa amarahku,"
kata Kim Sie Ie sabar. "Seumurku aku biasa pergi sendiri dan
bekerja pendiri, aku merdeka, biasa aku malang melintang,
belum pernah orang memaksa aku!"
"Habis, apakah kau berniat membunuh aku?" si nona tanya.
"Dengan mengandal kepada tenaga dalamku, aku masih
bisa bertahan setengah atau satu harian," kata Kim Sie Ie.
"Maka itu sekarang aku tidak mau membunuh kau, aku


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak memberi ketika untuk kau membalas dulu sakit
hatimu. Umpama kata kau terbinasakan Beng Sin Thong,
setelah itu, aku nanti menempur dia. Seandainya kau berhasil
membunuh dia, setelah itu "kru aku membunuhmu! Secara
begini, aku berbuat baik terhadapmu!" Dan ia tertawa,
Mendengar kata-kata orang itu serta suara tertawanya,
gempurlah Ketenangan si nona. Dari sinar matanya pun
tampak bahwa ia mulai berkuatir.
Kim Sie Ie mengawasi dengan tajam. Maka sunyilah gua
itu. "Kau benar-benar manusia sangat sesat!" kata si nona
kemudian, suaranya perlahan.
"Tapi dibandingkan sama kau, aku masih kalah seurat!"
sahut Kim Sie Ie.
Aneh keadaan mereka ini. Mereka pun merasakan itu.
Tanpa disengaja, keduanya lantas sama-sama tertawa.
Baru mereka berhenti tertawa atau di luar gua terdengar
suara berisik: "Sam suko! Sam suko! Oh, ada orang menemui
Sam suko!" Lalu: "Bagus! Bagus! Suhu datang!"
Suara itu csama suara tindakan kaki, yang mendatang.
Menyusul itu terdengar suara nyaring dari Beng Sin Thong:
"Kim Sie Ie! Bukankah kau datang untuk menantang aku
piebu" Kenapa kau bersembunyi saja dan tidak mau keluar"
Secara diam-diam kau mencelakai murid-muridku, apakah itu
caranya seorang laki-laki sejati?"
Suara tindakan kaki makin lama datang makin dekat.
"Baiklah!" berkata si nona. "Kau tidak mau bekerja sama
denganku, biar aku sendiri yang menempur raja iblis itu!
Perkataanmu dapat dipegang atau tidak" Mengapa kau masih
tidak mau melepaskan cekalanmu?"
Kim Sie Ie merasa tidak enak sendirinya, dengan cepat ia
melepaskan cekalannya. Ia memang menawan si nona guna
memaksa dia, buat membalas sakit hati, tapi sekarang setelah
berada berdekatan begitu lama dan berbicara jelas satu pada
lain, ia mendapat kesan lain mengenai nona itu. Pula, sesudah
berdiam lama di dalam gua, matanya menjadi biasa dengan
tempat gelap, hingga ia bisa melihat wajah orang. Muka si
nona bersemu dadu.
Setelah merdeka, nona itu mendadak tertawa.
"Aku tidak mau minta bantuanmu!" katanya. "Nah, ini obat
pemunah bisa aku berikan padamu! Kau boleh beristirahat di
dalam gua ini! Sebentar setelah aku dan Beng Sin Thong
bertempur hingga terbinasa dua-duanya, kau boleh
menggunai ketikamu untuk berlalu dari sini!"
Kim Sie Ie menyambuti obat yang diberikan, ialah dua butir
obat pulung. Tanpa sangsi lagi, ia telan itu. Ia lantas
merasakan hawa masuk ke uluhatinya. Tidak menanti lama,
rasa nyeri di tangannya lantas lenyap.
"Syukur kau tidak menyangka obat yang aku berikan kau
ialah racun!" kata si nona, tertawa.
Kim Sie Ie tidak menjawab, tapi ketika ia melihat si nona
hendak berlompat keluar, ia menyambar tangan orang dan
menariknya. "Bagaimana, eh?" tanya si nona, heran.
"Jangan tergesa-gesa keluar!" berkata Kim Sie Ie, yang
mencegah. "Seorang diri kau bukannya lawan mereka! Mari
kita tetap berdiam di dalam gua ini, kita menantikan mereka.
Setiap seorang masuk kemari, kita bunuh padanya!"
"Eh, itu artinya kau membantu aku!" kata si nona.
"Kenapakah?"
"Tadi itu disebabkan kau memaksa aku," menjawab Kim Sie
Ie. "Sekarang aku suka sendiri. Inilah lain. Sebenarnya,
permusuhanmu dengan Beng Sin Thong permusuhan apa itu?"
"Dia telah membunuh ayahku!" menyahut si nona. "Dia
juga telah mencuri kitab ilmu silat rahasia kami yaitu Siulo
Imsat Kang!"
Kim Sie Ie terkejut.
"Jadi benar di dalam dunia ini masih ada itu macam ilmu
silat?" katanya. "Kau she Le! Bukankah kau puterinya Le Hoan
San?" Sekarang si nona yang merasa heran.
"Cara bagaimana kau dapat mengetahui nama ayahku?" dia
tanya. "Keluarga kami telah hidup menyendiri buat beberapa
turunan, sekalipun orang kangouw tidak nanti mendapat
tahu..." Kim Sie le heran tetapi ia menjawab: "Aku mendengar dari
mulutnya Beng Sin Thong."
Si nona masih mau bicara ketika ia terpotong oleh
pertanyaan nyaring di luar gua: "Kim Sie Ie, kau mau keluar
atau tidak?"
Kim Sie Ie heran. Ia tanya dirinya sendiri: "Mustahilkah dia
ketahui aku berada di dalam gua ini?" Ia belum memikir untuk
menyahuti, ketika kembali ia mendengar suara lain, yang
santar: Siulan yang panjang terdengar dari empat penjuru
taman. Ia heran bukan main. Pikirnya pula: "Kenapa dalam
tempo begini pendek boleh datang begini banyak orang
liehay?" Ia mengenali siulan itu siulan dari tenaga dalam yang
mahir. Lagi sekali terdengar suara riuh, dari murid-muridnya Beng
Sin Thong: "Kim Sie Ie datang! Kim Sie Ie datang! Kim...
Kim..." Dengan sekonyong-konyong suara berisik menjadi sirap.
Itulah sebab tibanya orang atau orang-orang yang bersiul itu,
yang ternyata bukannya Kim Sie Ie!
Kim Sie Ie sendiri turut merasa heran, lantas ia mengintai
keluar. Ia melihat enam orang, kecuali satu, yang lima ia kenal
semuanya. Itulah Siauw Ceng Hong suami isteri serta
Toatbeng Siancu Cia In Cin, si Dewi Perampas Jiwa, isterinya
Thiekoay Sian. Yang dua lagi ialah Ciong Tian bersama Bu
Teng Kiu. Yang tidak dikenal itu, orang yang ke enam, adalah
seorang pengemis yang matanya picak sebelah dan umurnya
kira-kira lima puluh tahun.
Di antara enam orang itu, menurut Kim Sie Ie, adalah
Siauw Ceng Hong suami isteri yang tingkat derajatnya paling
tinggi, akan tetapi Beng Sin Thong justeru berlaku sungkan
terutama terhadap si pengemis picak. Sambil mengangkat
kedua tangannya, dia memberi hormat kepada pengemis itu
seraya terus berkata: "Ek Pangcu, kau telah melakoni
perjalanan ribuan lie, ada pengajaran apakah dari kau
untukku?"Siauw Sianseng, sudah lama kita tidak bertemu!" ia
menambahkan pada Ceng Hong.
Mendengar itu sebutan "Ek Pangcu" dan melihat juga
tongkat besi di tangannya si pengemis, Kim Sie le lantas
mendusin. Ia ingat tongkat itu ialah tongkat yang biasa
dipakai Thiekoay Sian Lu Ceng semasa hidupnya orang she Lu
itu. Itulah hoatehung, atau tongkat suci, dari Kaypang, Partai
Pengemis, di Kanglam.
"Jadi dialah Ek Tiong Bouw atau sutee-nya Lu Ceng,"
pikirnya. "Dia telah menggantikan Lu Ceng menjadi pangcu
dari Kaypang."
Dengan sinar mata tajam pengemis itu mengawasi Beng
Sin Thong si tuan rumah.
"Beng Sin Thong!" katanya, "kau sudah tahu sendiri perlu
apa kau menanya lagi" Mustahilkah kau telah melupai itu
perkara darah dua puluh tahun yang lampau?"
Dengan tawar Beng Sin Thong menyahuti: "Orang gagah
yang terbinasa di tanganku telah tidak terhitung banyaknya!
Maka itu, kau maksudkan perkara yang manakah?"
Pengemis itu nampak gusar, mai.anya jadi bersinar bengis
sekali. "'Aku maksudkan pangcu ke tujuh belas dari Kaypang di
Kanglam!" jawabnya. "Bukankah suheng-ku yang kedua, Ciu
Kie, kau yang membinasakannya?"
"Oh, kiranya itu orang termashur!" kata Beng Sin Thong,
berpura-pura heran. "Tunggu dulu, nanti aku mengingat-ingat,
benar atau tidak aku membunuh dia..."
"Di jaman ini cuma kau yang mengerti ilmu silat Siulo Imsat
Kang!" membentak pangcu itu. "Apakah kau masih hendak
menyangkal?"
Thiekoay Sian Lu Ceng itu bersama-sama Ciu Kie dan Ek
Tiong Bouw adalah tiga saudara satu perguruan, guru mereka
ialah Tayhiap Kam Hong Tie yang di jaman Kaisar Yong Ceng
dari ahala Ceng tersohor sekali namanya untuk bagian Selatan
dan Utara sungai Besar. Kam Hong Tie itu bersahabat kekal
dengan Leng Pek To, pangcu ke enam belas dari Kaypang.
Kebetulan itu waktu Kaypang mengalami kemunduran, Pek To
kuatir ia tidak mendapatkan pengganti yang tepat, maka ia
minta kepada Kam Hong Tie untuk mengijinkan salah satu
muridnya nanti menjadi pangcu Partai Pengemis, untuk
menggantikan dia. Kam Hong Tie setuju, ia menanyakan
pikirannya murid-muridnya. Lu Ceng si murid kepala bangsa
merdeka, ia tidak bersedia. Ek Tiong Bouw masih terlalu
muda. Maka kejadian Ciu Kie yang masuk menjadi anggauta
Kaypang itu, hingga kemudian ia menjadi pangcu yang ke
tujuh belas itu.
Kira dua puluh tahun yang lalu, ketika Ciu Kie beserta dua
anggauta Kaypang berada di propinsi Shoatang, ia telah
terbunuh orang secara menggelap, tubuhnya kedapatan
matang biru dan dingin bagaikan es. Telah dicari
keterangannya tetapi pembunuhan itu tinggal gelap, tidak
ketahuan siapa si pembunuhnya. Karena itu. Lu Ceng lantas
menggantikan menjadi pangcu. la terpaksa menerimanya,
untuk dapat mencari balas untuk adik seperguruannya itu.
Pada tujuh tahun yang lalu, Lu Ceng pergi ke Tibet, ke satu
untuk meluluskan permintaan Moh Coan Seng mencari
Pengcoan Thianlie, dan kedua guna sakit hatinya sutee-nya
itu. Di luar dugaan, selagi berada di dalam Istana Es, ia
terbinasa di tangannya pendeta Nepal (sebagaimana
ceriteranya dalam buku "Pengcoan Thianlie"). Setelah
binasanya Lu Ceng itu, Kaypang mengangkat Ek Tiong Bouw
sebagai ketuanya yang ke sembilan kelas. Penyelidikan masih
terus dilakukan guna mencari pembunuhnya Ciu Kie itu. Kira
tiga tahun yang lalu, Beng Kin Thong telah membunuh satu
prang, mayat siapa kedapatan matang biru dan dingin seperti
mayat Ciu Kie. Mulanya orang tidak tahu siapa si pembunuh.
Tiong Bouw telah minta keterangannya satu pendeta, tiangloo
dari kuil Siauwlim Sie, ia pun menjelaskan keadaan mayat.
Tiang-loo itu menerangkan, itulah akibat-"ya serangan ilmu
silat Siulo Imsat Kang. Penyelidikan dilanjuti sampai beberapa
bulan yang lalu didapat keterangan, kepandaian itu puma
dipunyai Beng Sin Thong Kari Beng keechung. Hanya tidak
diketahui darimana asalnya Beng Bin Thong mendapatkan
ilmu itu. Mendengar penjelasannya Ek Hiong Bouw, diam-diam Beng
Sin Tiong kaget juga, tetapi ia-lah satu jago, bisa ia
menenangkan diri, maka itu ia sengaja tertawa terbahak idan
berkata: "Tidak salah! Tidak salah! Memang ada kejadian itu
dan akulah yang membuatnya, tidak nanti aku mau
menyangkal! Ek Pangcu, habis kau mau apa?" Ketua Kaypang
itu mengangkat tongkat keramatnya. "Kau menghendaki
urusan dibereskan sekarang juga atau kau sudi mengikut aku
ke tempatku rapat Kaypang yang memutuskan perkaramu
ini?" tanyanya bengis.
Itulah aturan kaum kangouw. Kalau satu pembunuh tidak
berdaya, dia menyerah untuk diperiksa rapat musuhnya. Kalau
itu terjadi, dia berhak meminta hadirnya satu atau lebih orang
kangouw kenamaan untuk menyaksikannya, untuk membantu
menimbang dan memberikan keputusan. Kalau urusan mesti
dibereskan lantas, itu artinya disitu juga mereka mesti
bertempur. "Sungguh mulut besar!" Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Aku ini orang macam apa" Mana dapat aku mengikut kau
untuk kamu yang menghukumnya" Aku menghargai kau
sebagai ketua satu partai, aku menghormatimu, aku tidak
menegur kelancanganmu memasuki rumahku ini, maka
bagaimana kau berani bawa lagak jumawa hendak
menghukum aku" Kau tahu kenapa dulu hari itu suheng-mu
terbunuh aku" Itulah sebab kepala besarnya dan terhadap aku
dia tidak sudi mengalah!"
"Bangsat tua she Beng!" berseru Ek Pangcu, yang menjadi
murka sekali. "Kau berhutang jiwa, kau seharusnya dipenggal
batang lehermu, cara bagaimana kau masih menyebut-nyebut
tentang derajat dirimu" Karena kau tidak suka mengikut aku,
baiklah, aku pun mau berlaku murah. Baiklah, disini saja kita
memutuskannya!"
Dengan sepasang matanya, Sin Thong menyapu semua
lawannya. Kembali ia tertawa, dingin nadanya.
"Apakah kamu semua datang untuk membantu Kaypang?"
dia tanya, jumawa. "Kamu bilanglah, kamu hendak bertanding
hanya sampai saling towel saja atau sampai terbinasa tanpa
perkara" Baiklah kamu memikir dulu masak-masak!"
Siauw Ceng Hong mengulap-kan kebutannya dan berkata:
"Sudah lama aku mendengar ilmu silat Siulo Imsat Kang dari
Beng Loo-cianpwee, ilmu mana katanya dapat menyebabkan
orang mati lantas, maka ingin aku mencoba-coba beberapa
potong tulangku yang tua ini untuk mendapat pengajaran!"
"Sabar!" Ciong Tian berseru seraya dia berlompat maju, dia
pun menghunus pedangnya. "Kau telah menangkap dan
mengurung sumoay-ku, di mana kau menahannya" Lekas
keluarkan dulu padanya!"
"Oh, kiranya kau datang untuk lain orang?" kata Beng Sin
Thong tertawa lebar. "Siapakah sumoay-mu itu?"
"Dialah Lie Kim Bwee murid wanita dari Thiansan Pay!"
menjawab si anak muda. "Apakah kau sangka orang tak akan
ketahui kau telah menangkap dan menahan sumoay-ku itu"
Kau harus ketahui tusuk konde dari sumoay-ku itu telah ada
yang membawanya pada pihakku!"
Diam-diam Beng Sin Thong terkejut juga. Memang tusuk
konde itulah yang ia curigai, yang tak ketahuan bagaimana
dapat dikeluarkan dari rumahnya itu. Ia tidak menduga sama
sekali adalah Toat-beng Siancu Cia In Cin yang membawa
tusuk konde itu ke kamarnya Kim Sie Ie.
Selagi orang-orang Kaypang bekerja keras mencari tempat
sembunyinya Beng Sin Thong, Cia In Cin adalah yang paling
dulu mengetahuinya. Kebetulan di dalam Beng keechung itu
ada anggauta Kaypang yang bekerja sebagai pegawai. Dia
inilah yang mengasih kisikan pada In Cin hal ditangkapnya Lie
Kim Bwee, bahkan dia menyerahkan juga tusuk kondenya
nona itu, untuk disampaikan terlebih jauh pada orang
Thiansan Pay. Ketika Cia In Cin sampai di rumah penginapan,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan Ciong Tian dan Bu Teng Kiu dipancing keluar Kim
Sie Ie. Cia In Cin tahu di antara Kim Sie Ie dan Lie Kim Bwee
ada hubungannya, lantas sengaja ia meletaki tusuk konde itu
di kamar Tokciu Hongkay, setelah itu ia pergi menemui Ciong
Tian dan Teng Kiu, untuk mengasih keterangan, habis mana
mereka lantas bekerja sama. Cia In Cin tidak mau menemui
Kim Sie Ie, ia kebal terhadapnya, meski benar ia pernah
ditolongi. In Cin bertiga pergi menemui rombongannya Ek
Kong Bouw, lantas mereka bersama-lama menyateroni Beng
Sin Thong. b Sin Thong terkesiap hati. Ia tidak berkuatir
terhadap pihak Kaypang, adalah lain mengenai pihak Thiansan
Pay. Ia lantas berpikir. "Baiknya mereka ini hanya orangorang
dari tingkat muda, sudah kepalang, baik aku habiskan
jiwa mereka semua, guna menutup mulut mereka!" Hanyalah
untuk menjaga kehormatan dirinya, tidak dapat ia turun
tangan sendiri.
"Hang Hong, baik-baiklah kau mewakilkan aku melayani
tetamu!" katanya kepada murid kepalanya. "Orang-orang
liehay dari Thiansan pay, diundang pun tidak bakal Batang,
maka kebetulan sekali kedatangan mereka ini, jadi mereka itu
sebisa-bisa mesti diminta berdiam lama disini!"
Kata-kata itu mengandung maksud yang terlebih dalam.
Untuk muridnya itu, itulah pesan atau petunjuk agar si murid
turun tangan tanpa kasihan-kasihan lagi, bahwa Kedua anak
muda dari Thiansan Pay itu tidak dapat dikasih pergi pulang
dengan masih hidup.
Ciong Tian baru pertama kali ini turun gunung, ia tidak
mengerti kata-kata rahasia kaum kangouw, mendengar Sin
Thong demikian manis budi, ia heran hingga ia melengak.
"Kami datang bukan untuk menjadi tetamu!" ia lantas
berkata. "Aku minta sukalah sumoay kami dikasih keluar. Kami
perlu lekas-lekas pulang ke Thiansan. Melihat sikapmu ini,
setelah kami menjelaskan segala sesuatu pada guru kami,
mungkin juga kami dapat memohonkan keampunan
untukmu." Mendengar perkataan itu, Kim Sie Ie di tempatnya
bersembunyi hampir tertawa nyaring, baiknya ia masih dapat
menahan. Beng Sin Thong tidak membilang apa-apa, adalah murid
kepalanya itu yang tertawa lebar terus berkata: "Sumoay-mu
hendak menahan kau sebagai kawannya, maka itu, meski
kamu mau pergi juga tidak bisa!"
Biar bagaimana Ciong Tian toh mendusin juga. Lantas ia
menjadi gusar. Ia mencabut pedangnya terus menikam
kepada orang di depannya itu. Ia menggunai jurus
"Gelombang di Liongbun", salah satu jurus dari Twiehong
Kiamhoat, ilmu pedang Mengejar Angin. Maka berkelebatkelebatlah
pedangnya. Hang Hong menjadi murid kepala dari Beng Sin Thong, ia
baru mewariskan empat bagian kepandaian gurunya, sedang
Siulo Imsat Kang ia baru mendapatkan tingkat nomor dua,
dari itu ia tidak berani melayani dengan tangan kosong, ia
lantas menggunai senjatanya ialah sebuah kipas besi. Ketika ia
menggerak-geraki kipasnya, ia seperti mengipas-ngipas
sinarnya pedang.
Ciong Tian menjadi heran dan penasaran dengan
berbareng. "Disini ada banyak orang tua-tua, kalau aku tidak dapat
merobohkan muridnya Beng Sin Thong, apakah aku tidak
bakal merusak pamornya Thiansan Pay?" demikian ia berpikir.
Lantas tanpa ayal lagi, ia mulai mendesak.
Hang Hong menjadi repot, dia main mundur.
Kim Sie Ie mengawasi, dengan perlahan ia kata pada si
nona: "Beng Sin Thong besar namanya saja! Lihat, murid
kepalanya masih tidak sanggup melayani orang Thiansan Pay
dari tingkat termuda ini. Maka kenapa kau agaknya jeri?"
"Apa?" menjawab si nona.
"Mungkin kau salah melihat. Beranikah kau bertaruh!"
"Bertaruh apakah?"
"Aku bilang murid Thiansan Pay itu bukan tandingannya
Hang Hong," berkata si nona. "Kalau dia kalah, kau mesti
berjanji, andaikata kelak di kemudian hari aku berbuat salah
terhadapmu, kau tidak boleh memarahi aku, dan batasnya
ialah sampai tiga kali. Beranikah kau" Sebaliknya, apabila
murid Thiansan Pay itu yang menang, akupun akan berjanji
padamu, kau boleh berbuat salah padaku, aku tidak akan
marah padamu. Batasnya tiga kali juga."
Kata Kim Sie le di dalam hatinya: "Nona ini benar-benar
berbau sesat, sampai pertaruhannya pun aneh caranya!"
Lantas ia menyahuti. "Baiklah, begini kita bertaruh!"
Keduanya lantas saling mengulur tangan, untuk berjabatan,
selagi berbuat begitu, tiba-tiba si nona tertawa di kuping
orang! Kim Sie Ie heran, ia lantas mengintai pula. Selama mereka
berbicara barusan, pertempuran Ciong Tian dengan Hang
Hong berjalan terus. Sekarang Kim Sie Ie menampak alamat
kurang bagus bagi jagonya.
Penyerangannya Ciong Tian dahsyat pada permulaannya,
bagaikan turunnya hujan deras, lawannya kena terdesak
hingga menjadi repot, tetapi selewatnya rintasan hebat itu,
gerakan selanjutnya mulai kendor. Maka di matanya ahli
terlihatlah bahwa ia kalah tenaga atau kurang latihan, hingga
ia ber-balik mulai terpengaruh lawannya.
Kim Sie Ie heran. Ketika ia memperhatikan Hang Hong, ia
mendapat kenyataan kipas besi murid kepala Beng Sin Thong
itu dapat dimainkan dengan baik. Dirapatkan kipas itu dapat
dipakai menotok jalan darah, dipentang lebar boleh digunakan
sebagai tameng Juga kipas itu bisa dipakai sebagai pedang
Ngoheng kiam. Umumnya kepandaian dua orang itu
berimbang, dari itu heran Ciong Tian seperti kalah angin. Lagi
sekian lama, suasana bagi Ciong Tian makin memburuk. Kipas
besi seperti juga dapat mengarung pedang. Itu artinya murid
Thiansan Pay itu sukar bergerak, dia cuma masih dapat
membela diri. "Jangan-jangan dia pun pernah mempelajari
Siulo Imsat Kang..." kemudian Kim Sie Ie menduga-duga.
"Benar!" menjawab si nona iertawa. "Kalau tidak, tidak
nanti aku berani bertaruh. Hanyalah dia paru belajar sampai di
tempat nomor dua, bedanya masih jauh sekali apabila dia
dibanding sama gurunya."
Kim Sie Ie tetap heran. Sampai sebegitu jauh, ia belum
dapat melihat jurus atan pukulan-pukulan yang istimewa dari
Hang Hong. Itu artinya belum nampak liehaynya Siulo Imsat
Kang itu. Sebenarnya Siulo Imsat Kang Itu adalah ilmu silat yang luar
biasa. di waktu dipakai bertempur, ilmu itu bergerak dengan
wajar tetapi, tahu-tahu sudah dapat mempengaruhi lawan,
sedang penonton yang asing, tidak dapat melihat sesuatu
yang istimewa. Ini sebabnya Kim Sie Ie yang liehay pun kena
dibikin heran karenanya.
Syukur untuk Ciong Tian, Hang Hong baru menyampaikan
tingkat kedua. Tingkat itu tidak dapat dipakai lantas
membinasakan musuh. Meski begitu, murid Thiansan Pay ini
menjadi bingung sekali, karena ia merasa sulit bergerak,
tenaganya menjadi berkurang. Ia tidak bisa menggeraki
tangan dan kakinya seperti hatinya atau pikirannya,
menghendaki. Siauw Ceng Hong heran menyaksikan pertempuran itu, dari
heran ia menjadi berkuatir hingga tak dapat ia menguasai
dirinya lagi, seraya mengebut, ia maju ke depan.
Beng Sin Thong dapat melihat gerak-gerik orang,
mendadak ia tertawa.
"Apakah Siauw Loosu hendak memberi petunjuk pada
muridku?" ia tanya.
"Aku justeru hendak mohon pengajaran dari Beng Loo
cianpwe sendiri," menyahut Ceng Hong. "Kita orang-orang
dewasa maju ke depan, mereka anak-anak boleh pergi
beristirahat!"
Beng Sin Thong mengurut kumisnya. Ia tertawa pula.
"Murid-murid Thiansan Pay meminta orang kepadaku,"
berkata Sin Thong, "dan kamu sendiri, kamu hendak mencari
permusuhan, maka itulah dua orang itu, yang harus dipisah
satu dari lain. Orang tua ada caranya berkelahi sendiri, anakanak
muda ada main-main mereka sendiri pula! Kenapa kita
mesti mengganggu kegembiraan anak-anak muda" Tapi Siauw
Loo-su hendak memberi pengajaran, baiklah! Yang Sutee, kau
mintalah pengajaran dari Siauw Loosu ini!"
Kata-kata Sin Thong yang belakangan ini ditujukan kepada
orang yang ia panggil sutee itu, ialah si orang she Yang, yang
sebenarnya bernama Cek Hu. Dia jarang muncul dalam dunia
kangouw, dari itu sedikit orang yang mengenalnya.
Siauw Ceng Hong tidak berani memandang enteng. Sin
Thong pun menyebut orang itu sebagai sutee, adik
seperguruan. Ia mengibas dengan kebutannya, untuk
memberi hormat "Yang Loosu, silahkan keluarkan senjatamu!" Ia berkata.
Yang Cek Hu mengangkat sebelah tangannya, ia tertawa.
"Aku tidak biasa menggunai senjata," katanya, ramah
tamah. "Siauw Loosu, silahkan!"
Ceng Hong heran berbareng terkejut. Ia heran sebab orang
berani melawan ia dengan tangan kosong. Ia terkejut karena
gerakan tangan orang itu membuatnya merasakan sitiran
angin dingin yang keras. Maka ia lantas melindungi dadanya,
tidak berani ia membuka mulut. Dengan satu gerakan "Hujan
dan angin", ia mulai menyerang.
Kebutan Siauw Ceng Hong itu nampaknya seperti terbikin
dari bulu ekor kuda, hal yang sebenarnya tidak demikian.
Itulah kebutan dari apa yang dinamakan kawat emas hitam,
sifatnya yang lemas tapi kuat. Ketika terkibas, lembaranlembaran
kawat halus itu mengasih dengar suara
mendengungnya. "Sungguh liehay orang pandai dari Cengshia Pay!" memuji
Yang Cek Hu. Ia lantas membuka jeriji tangannya, untuk
mengibas. Sama sekali tidak terdengar suara apa juga.
Kesudahannya itu membikin Ceng Hong heran. Tanpa angin,
kebutannya kena dibikin buyar dan terbang balik!
Dalam heran dan penasaran, Ceng Hong menyerang pula.
Dengan begitu, mereka menjadi bertanding. Sampai lebih dari
sepuluh jurus, jago Cengshia Pay ini tetap heran. Tanpa ia
merasa, ia sekarang terpengaruh tangan kosong lawannya itu,
sedang ia bersenjatakan gegaman yang luar biasa.
Lewat lagi beberapa jurus, mendadak terdengar Yang Cek
Hu tertawa dan berkata: "Siauw Loosu, silahkan beristirahat!"
Kata-kata ini dibarengi sama gerakan kedua tangannya, yang
memainkan jurus-jurus tingkat ke lima dari Siulo Imsat Kang.
Siauw Ceng Hong lagi mengebut dengan kebutannya
tatkala terdengar suara nyaring perlahan saling susul, lantas
kebutannya pada putus dan beterbangan, karena mana ia
lantas lompat berjumpalitan, mukanya pucat pasi. Ek Tiong
Bouw dan Gouw Ciang Sian kaget tidak terkira, tanpa berjanji
lagi, keduanya Berlompat maju.
Juga di saat itu, Ciong Tian sangat terdesak Hang Hong,
hingga Bu Teng Kiu kaget dan berlompat maju seraya
menghunus pedangnya, untuk menolongi kawannya itu.
Menampak sepak terjang orang itu, Beng Sin Thong
tertawa berkakak dan berkata: "Kamulah orang-orang dari
partai silat sejati dan kenamaan, kiranya kamu suka main
keroyok!" "Menghadapi kau, kepala iblis, mana bisa kita memakai
aturan kangouw lagi?" menjawab Ek Tiong Bouw. "Kalau kau
mau memakai aturan itu, bayarlah hutang darahmu!"
Meski ia mengatakan demikian, sebagai ketua Kaypang,
Tiong Bouw masih ingat akan kehormatan dirinya, maka ia
menoleh kepada Ciang Sian untuk berkata: "Enso Siauw,
tolong kau melihat Siauw Toako!"
Baru setelah menutup mulutnya, ia lompat ke arah Sin
Thong. Beng Chungcu tertawa, ia Iberkata pula: "Pangcu, seorang
diri kau bukanlah tandinganku! Karena kau juga tidak
menghendaki memakai lagi aturan kaum kangouw, nah, kamu
majulah berbareng!"
Ketua Partai Pengemis menjadi sangat murka, lantas ia
menyerang dengan tongkat. Ia mengarah pinggang sebagai
sasarannya. Jurusnya pun jurus "Naga sakti keluar dari laut".
Ia kata: "Kau makan dulu tongkatku ini! Kalau kau sanggup,
sebentar baru kita bicara!"
Serangan tongkat ini sangat cepat, akan tetapi lebih cepat
gerakannya Beng Sin Thong, yang tubuhnya sangat gesit.
Mendadak saja ia lenyap dari hadapan ketua kaum pengemis
itu. Tiong Bouw kaget bukan main. Segera ia menarik
tongkatnya, guna menutup diri. Ia lantas merasakan angin
berkesiur. Itulah tubuh besar dari Sin Thong, yang melesat
lewat di atas kepalanya. Ketika ia berpaling cepat sekali, Sin
Thong telah memisahkan diri setombak lebih daripadanya dan
yang berdiri di depannya ialah Yang Cek Hu!
Sin Thong tertawa pula, ia berkata: "Jikalau kamu main
keroyok, aku si orang tua akan melayaninya, tetapi karena kau
maju seorang diri--Hm! hm!--aku tidak mempunyai
kegembiraanku, biarlah sutee-ku ini yang melayanimu!"
Bukan melulu mau mengejek yang Beng Sin Thong
membawa sikapnya yang jumawa ini. Ia tahu Kim Sie Ie
bersembunyi di tempatnya itu, disitu juga masih ada beberapa
musuh lainnya, maka guna menjaga Tokciu Hongkay, ia tidak
mau sembarang turun tangan hingga tenaganya nanti habis.
Yang Cek Hu tidak banyak omong, ia juga tidak mau
menanti, lantas ia maju menyerang. Ia sudah melayani Siauw
Ceng Hong tetapi nampaknya ia tetap segar
Dengan terpaksa, Ek Tiong Bouw menempur musuh ini.
Ialah murid kesayangan Kam Hong Tie, pula ia terlebih gagah
daripada Ceng Hong, maka tempo ia diserang tiga kali saling
susul oleh Cek Hu, dengan mengandal tenaga dalamnya,
dapat ia memecahkan serangan berantai itu.
Yang Cek Hu melihat pelbagai serangannya tidak
memberikan hasil, ia mengerti musuh ini tangguh, lantas ia
mengerahkan tenaganya, untuk memperhebat
penyerangannya itu. Dari tingkat ketiga dari ilmu silatnya itu,
Siulo Imsat Kang, ia menambah sampai tingkat keempat dan
kelima. Karena ia baru belajar sampai di tingkat ke lima itu, ia
menjadi telah mengobral kepandaiannya. Ia terpaksa berbuat
begini lantaran dengan tingkat ke empat ia tetap tidak


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperoleh hasil.
Ek Tiong Bouw terkejut. Ia tidak lantas kena dirobohkan
lawan akan tetapi ia merasa tenaga dorongan yang kuat, dan
tubuhnya pun terasakan dingin luar biasa. Ia juga heran
waktu ia mencoba membalas menyerang, musuh nyata lincah
sekali. Lama-lama ia merasakan napasnya tegang dan hatinya
goncang. Dalam penasarannya, Ek Tiong Bouw melakukan
penyerangan hebat sekali, ia membuat tongkatnya seperti
mengurung tubuh Yang Cek Hu. Tongkatnya itu mengeluarkan
suara angin menderu-deru. Selagi ia berlaku keras itu, musuh
tetap bersikap lunak, segala serangan nampaknya dapat
dihalau secara gampang.
Akhirnya murid Kam Hong Tie ini mengertak gigi. Ia insyaf,
tanpa mengeluarkan semua kepandaiannya, tidak nanti ia
berhasil merebut kemenangan. Maka ia lantas menggunai
tenaga dan perhatian sepenuhnya, ia menyerang dengan
Hokmo Thunghoat, yaitu ilmu tongkat Menaklukkan Iblis.
Ilmu silat tongkat ini, mulanya ialah ciptaannya Tokpie
Sinnie, si Bhiksuni Suci Tangan Satu, lalu itu diperbaiki oleh
Liauw In Hwesio, yang menambahkannya hingga jurusnya jadi
terdiri dari seratus delapan jurus dan setiap jurusnya,
hajarannya berat sekali, karena mana, semua jurus itu
memerlukan tenaga dalam dalam jumlah besar. Ada dibilang,
siapa bersilat habis dengan ilmu silat ini, akhirnya dia bisa
dapat sakit, maka itu, kecuali sangat perlu, orang tidak berani
menggunai semua jurus.
Benar juga, serangan selanjutnya dari Ek Tiong Bouw
menjadi liehay luar biasa.
Melayani serangan dahsyat itu, Yang Cek Hu selalu
bertindak di kedudukan Ngoheng Patkwa, ialah delapan
penjuru atau garis, dan kedua tangannya tak henti-hentinya
bergerak menolak. Lawan cepat, dia cepat juga.
Luar biasa adalah Siulo Imsat Kang, lawan makin hebat,
tenaga melawannya pun tambah hebat, lawan tambah
mendesak, dia tambah menolak. Demikian Tiong Bouw
merasakan, selagi ia mendesak, tenaga mendorong musuh
semakin bertambah besar dan kuat.
Dengan lekas habis sudah di jalankan babak pertama dari
Hokmo Thunghoat itu.
Ilmu silat ini terdiri dari tiga babak, atau rintasan, dan
setiapnya terdiri pula dari tiga puluh enam jurus. Sampai
disini, kekuatan kedua pihak masih sama tangguhnya. Mereka
berdua tidak ada yang menang atau kalah.
Dalam penasarannya, Ek Tiong Bouw menyerang terus, ia
melanjuti ilmu silatnya dengan babak babak kedua. Ia telah
mengumpul tenaga sejatinya. Hanya kali ini ia tidak nampak
bertambah garang tetapi tenaganya bertambah banyak.
Kali ini dengan perlahan, nampak Yang Cek Hu main
mundur. Dia agaknya bergerak rada lambat, sedang dari
kepalanya terlihat menghembusnya uap putih.
Di pihak lain, Ciong Tian masih terus melayani musuhnya.
Hanya sekarang ia dibantu Bu Teng Kiu. Dengan perlahan ia
dapat merebut keunggulan.
Kepandaiannya Hang Hong cuma dapat memenangkan
Ciong Tian atau Teng Kiu jikalau mereka bertempur satu
lawan satu, sekarang ia dikerubuti, ia menjadi repot. Teng Kiu
kalah dari Ciong Tian tetapi ia bersilat dengan ilmu silat
pedang warisan Pekhoat Molie, Hantu Wanita Berambut Putih,
maka ia dapat membantu baik sekali kepada kawannya itu.
Dengan kipas besi di tangan kanannya, Hang Hong
melayani Ciong Tian, dengan tangan kirinya yang tidak
bersenjata, ia melawan Teng Kiu, lama-lama ia terdesak juga,
maka ia kaget sekali ketika satu kali Teng Kiu menyerang ia
dengan jurus "Bianglala putih menutupi matahari", percuma ia
berkelit, ujung bajunya terkena juga ujung pedang hingga
sobek dan suaranya memberebet! Hampir ia terlukakan.
Di dalam tempatnya sembunyi, si nona tertawa perlahan.
"Dua mengepung satu, kalau yang dua menang,
kemenangannya itu tidak masuk hitungan," katanya Jenaka.
'"Bagaimana dengan pertaruhan kita, kau tetap menerimanya
atau tidak-kau mengaku kalah atau tidak?"
"Aku telah mengeluarkan kata-kataku, aku tidak menyesal."
menjawab Kim Sie le. "Baiklah, aku akan membiarkan kau
menyerang aku tiga kali, aku tidak bakal marah." Tapi ia
mengintai keluar, terus ia berkata pula: "Sekarang ini Kaypang
dan Thiansan Pay bekerja sama, ketikamu untuk mencari
balas telah tiba, maka aku pikir bolehlah kita jangan berkukuh
pada rencana kita untuk membelai saja gua ini..."
"Biar saja sampai mereka bercelaka dulu dua-duanya,"
berkata si nona, "habis itu baru kita muncul untuk
membereskannya. Tidakkah ini terlebih bagus?"
Kim Sie Ie mengerutkan kening. Hendak ia bicara, ia batal
sendirinya. Ia mengendalikan dirinya.
Si nona seperti dapat menebak hati orang, dia tertawa.
"'Jikalau kita muncul sekarang, Beng Sin Thong masih
belum mengeluarkan tenaganya sedikit jua," ia berkata. "Aku
kuatir dengan begitu, bukan saja kau sukar menolong orang,
bahkan ada kemungkinan kau sendiri nanti terluka-kan..."
"Hm!" Kim Sie Ie bersuara di dalam hatinya. "Aku tidak
percaya Siulo Imsat Kang demikian liehaynya! Beng Sin Thong
boleh melukakan lain orang, tidak nanti dia dapat melukakan
aku!..." Ia kembali melihat keluar.
Pertarungan di antara Yang Cek Hu dan Ek Tiong Bouw
tetap berlangsung, hanya gerak-gerik mereka bertambah ayal.
Demikian terlihat tegas ketika Tiong Bouw menggunai tangan
kirinya, menghajar Cek Hu dengan tongkat besinya, dengan
jurusnya "Gunung Taysan menindih kepala". Perlahan
serangan itu tetapi lawan seperti lelah ketutupan..."
Tiong Bouw tengah bersilat dengan babakan Hokmo
Thung-hoat yang kedua.
Sekonyong-konyong Yang Cek Hu berseru: "Jikalau
bukannya kau yang mampus, akulah yang terbinasa!" Seruan
ini dibarengi gerakan kilat dari kedua tangan, yang dipakai
menyambar tongkat. Terang sekali dia telah mengerahkan
tenaganya, sebab terdengar otot-ototnya, bersuara meretak.
Dia telah berhasil menyambar, maka ketika ia menarik,
tongkatnya menjadi mulai melengkung..."
Cia In Cin dan lainnya menjadi kagum dan heran, mereka
saling memandang dengan mata mendelong.
Yang Cek Hu menarik, Ek Tiong Bouw mempertahankan,
maka dengan begitu, berdua mereka menjadi berkutat. Muka
mereka itu dari merah berubah menjadi pucat, peluh mereka
pun turun mengucur. Dari kepala meresa terlihat
mengkedusnya hawa butih.
Cia In Cin berkuatir hingga ia Berseru: "Celaka!" Ia
berkuatir dua-dua orang itu binasa bersama, kalau itu sampai
terjadi, sayang Ek piong Bouw. Dialah murid terakhir dari Kam
Hong Tie, dia pun ketua Kaypang. Kecewa dia mati menemani
seorang iblis...
Nyonya ini tidak menginsyafi, Kang Cek Hu menjadi nekat
karena terpaksa, untuk membela diri. Cek Hu mempelajari
Siulo Imsat Kang sampai di tingkat ke lima, itu artinya
kepandaiannya hampir berimbang sama kepandaian Ek Tiong
Bouw, sekarang ia cuma kalah seurat, maka kalau sebentar Ek
Tiong Bouw habis menjalankan jurus yang terakhir dari babak
kedua, ia menjadi terancam bahaya. Sudah pasti ia tidak akan
sanggup bertahan terlebih lama pula. Sekarang ia sudah
memberikan perlawanannya yang terakhir, maka itu pun
berarti serangannya yang penghabisan juga, yang
memutuskan. Cia In Cin menghunus pedangnya, ia mau maju, untuk
memisahkan. Melihat sikap nyonya ini, Beng Sin Thong
tertawa terbahak dan berkata: "Bagus betul! Jadi kamu benarbenar
mau main keroyok" Baiklah, aku si orang tua nanti
melayani kamu!-Gouw Bong, pergi kau membantu toasuhengmu,
kau bereskan itu dua bocah dari Thiansan Pay!"
Sebenarnya Sin Thong telah melihat Cek Hu terancam
bahaya tetapi ia masih menghargai dirinya, ia bersabar untuk
tidak membantui atau memisahkan, siapa tahu, Cia In Cin
kalah sabar, dia maju. Inilah kebetulan bagi Sin Thong yang
lalu tidak memperdulikan orang maju untuk membantui atau
memisahkan, bahkan sengaja ia menuduh orang main
keroyok... Demikian, begitu suaranya terdengar begitu
tubuhnya mencelat maju!
Cia In Cin telah bekerja, ujung pedangnya dipakai
menyontek bagian tengah dari tongkat besi yang diperebuti
kedua lawan. Berbareng dengan itu, Ek Tiong Bouw mengerahkan
tenaganya sambil berseru: "Pergilah!" dan tongkatnya itu
bergerak! Menyusul semua itu, terlihat tubuhnya Yang Cek Hu
berlompat berjumpalitan, hingga ia terpisah setombak lebih
daripada lawannya itu.
Ek Tiong Bouw berdiri diam dengan napasnya memburu
keras sekali, atau mendadak ia melihat bayangan hitam
mengancam ke arahnya. Bayangan itu juga membawakan
terjangan angin yang keras, hingga ia menjadi susah
bernapas. Untuk membela diri, ia menggeraki tongkatnya.
Tapi tongkat itu segera tertangkap Beng Sin Thong, ialah
bayangan yang mencelat ke arahnya itu. Ia menjadi kaget,
telapakan tangannya tergetar dan sakit. Mendadak ia menjerit,
memuntahkan darah hidup
Cia ln Cin kaget, ia maju menyerang.
Tiong Bouw tidak roboh, ia berseru keras dan lompat
menerjang. Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Biarlah kamu kenal liehaynya Siulo Imsat Kang!" katanya
nyaring. Lantas ia melemparkan tongkat besi rampasannya itu.
Tiong Bouw tidak berani menyambuti, ia mendak berkelit.
Justru itu, sambarannya Sin Thong tiba pada dadanya. Itu
waktu tiba juga tikamannya In Cin ke punggung jago itu.
Tikaman itu ialah tikaman "Tukang kayu menanyakan
jalanan". Ek Tiong Bouw mengerahkan tenaga kedua tangannya
ketika ia mendorong tubuhnya Beng Sin Thong. Untuk
kagetnya, ia merasa bahwa ia seperti mendorong sasaran
kosong meskipun tangan mereka bentrok. Ia baru mendusin
dan menjadi kaget karenanya, atau kupingnya mendengar
bentakannya Sin Thong: "Naik!" Tanpa merasa tubuhnya
lantas terangkat dan tertarik keras, hingga ia terjeru-nuk ke
depan sampai beberapa tombak. Tanpa berdaya, disitu ia
roboh terbanting, seluruh tubuhnya dirasakan sakit seperti
diiris-iris. Dengan susah payah baru ia dapat berbangkit
bangun Syukur untuknya, Sin Thong mesti berkelit dari
pedang In Cin, kalau tidak, entah apa jadinya dengan dirinya.
Beng Sin Thong menarik Tiong Bouw dengan tangan
kirinya, dengan tangan kanannya ia menyelamatkan diri dari
pedang Cia In Cin, yang ia sambar, untuk ditangkap.
Cia In Cin bergelar Toatbeng Siancu, si Dewi Perampas
Jiwa, maka bisa dimengerti hebatnya pedangnya, akan tetapi
di saat lagi tiga dim pedang akan mengenakan sasarannya,
datanglah perlawanan lawan itu. Ia terkejut. Tangannya Sin
Thong mau mencekal lengannya. Kalau ia kena dipegang,
itulah hebat. Ia dapat menikam terus, mungkin ia berhasil
melukai Sin Thong, tetapi berbareng dengan itu, ia bakal
bercelaka. Maka itu, guna menolong diri, ia lantas berlompat
mundur, batal menyerang.
"Bagus!" Sin Thong memuji. Ia gagal mencekuk lengan
nyonya itu Ketika itu Gouw Ciang San pun telah maju, bersama Cia In
Cin ia menyerang jago she Beng itu.
Sin Thong berani dan liehay, belum serangan tiba, dia
merangsak. Hebat serangannya ini, pelangnya Ciang San kena
di pegang, terus dipatahkan. Terus ia Biendesak ln Cin hingga
orang fcrpaksa mundur. Di lain kalangan, Ciong Tian Ban Bu
Teng Kiu juga menghadapi ancaman bahaya. Di antara muridmuridnya
Beng Sin Thong, dua telah mendapat pelajaran Siulo
Imsat Kang. Ialah Kang Hong sudah sampai di tingkat kedua,
dan Gouw Bong baru mulai mempelajari tingkat pertama.
Meski Begitu, dengan Hang Hong terbantu sutee-nya, si adik
seperguruan, ia menjadi mendapat angin, dari itu, dari
terdesak, ia berbalik dapat merangsak. Mereka sekarang dua
melawan dua. Ciong Tian dan Teng Kiu kalah pengalaman,
dan Teng Kiu sendiri, hatinya kurang mantap. Dengan cepat
mereka jatuh di bawah angin.
Dengan jurus "Kaisar Han Kho Houw membunuh ular",
Teng Kiu menikam Hang Hong, tetapi ketika Hang Hong
menangkis, pedangnya kena dibikin terpental. Berbareng
dengan itu, Gouw Bong menyerang tenggorokannya. Gouw
Bong itu bersenjatakan poankoan pit, ialah alat semacam pena
Tionghoa. Dia kaget hingga dia menjerit! Di saat sangat
tegang itu, mendadak semua orang dibikin Ferkejut oleh satu
suara nyaring, yang disebabkan terlemparnya batu besar yang
tadi dipakai menutupi mulut gua, menyusul mana dari dalam
gua itu berlompat keluar dua orang. Lalu sejumlah muridnya
Sin Thong, dalam kagetnya, berteriak-teriak: "Kim Sie Ie
datang! Kim Sie Ie datang!"
Ujung poankoan pit Gouw Bong tinggal lagi tiga dim akan
sampai pada kerongkongan Bu Teng Kiu ketika dia terkesiap
mendengar disebutnya nama Kim Sie Ie, dengan sendirinya
tikamannya menjadi tertahan, maka juga Ciong Tian keburu
lompat padanya, untuk menusuk lengannya. Dia kesakitan
hingga senjatanya terlepas, tubuhnya lantas diputar, untuk
kabur. Ciong Tian tidak bekerja sampai disitu. Di dekatnya itu ada
Hang Hong, ia meneruskan menikam musuh itu. Kembali tepat
serangannya ini, pedangnya mengenakan dengkul si orang
she Hang, hingga dia berteriak "Aduh!" dan lantas lari,
nampaknya dia ketakutan bukan main.
Meski ia berhasil melukai dua orang, Ciong Tian toh heran.
Gouw Bong lebih rendah kepandaiannya, pantas kalau dia
kena dikalahkan dan lari, tidak demikian dengan Hang Hong,
yang terlebih liehay daripadanya. Hang Hong sudah
mementang kipasnya, kenapa dia bukan menangkis atau
menyerang hanya dia justeru seperti membiarkan dirinya
ditikam dan habis itu lantas mengangkat langkah seribu
Karena herannya ini, ia tidak berani mengejar.
Bu Teng Kiu ada bagian mati, maka itu karena ketolongan,


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan main leganya hatinya. Ia pun girang menyaksikan
kemenangannya Ciong Tian.
"Paman muda, hebat!" dia memuji pamannya itu. "Dua
serangan kau barusan ada dua jurus dari ilmu pedang
Thiansan, hebat kau menggunakannya!"
Sementara itu, habis jatuhnya batu besar, sunyilah suasana
disitu. Bu Teng Kiu berdiam, dan Ciong Tian berdiam
semenjak tadi. Beng Sin Thong sebaliknya terperanjat akan menyaksikan
Kim Sie Ie muncul dengan tiba-tiba dari dalam gua, diikuti
seorang nona yang ia tidak kenal, sebab si nona bukannya Lie
Kim Bwee. Ia lantas merasa tidak enak hati.
Kim Sie le sudah lantas tertawa terbahak.
"Beng Sin Thong, oh, Beng Sin Thong!" katanya nyaring,
"aku mendengar kabar kau sudah berhasil mempelajari ilmu
Siulo Imsat Kang, maka itu sekarang aku datang untuk mohon
pengajaran dari kau. Ingin aku mendapat kepastian, kau yang
terlebih liehay atau aku!"
Beng Sin Thong menenangkan diri.
"Kau datang justeru di saat aku lagi mempunyai urusan!" ia
berkata. "Dengan begini, kau sebenarnya orang gagah macam
apa?" "Tapi aku hendak bertempur sama kau satu orang, ada
hubungannya apa kita dengan mereka itu?" Kim Sie Ie
membaliki. Inilah jawaban yang diharap-harap Sin Thong. Dia lantas
tertawa lebar. "Baiklah," katanya. "Kata-katanya seorang kuncu sama
dengan dicambuk larinya seekor kuda! Mari kita bertempur
satu lawan satu, untuk memastikan siapa jago siapa betina!
Ingat, tidak dapat kau membokong pula murid-muridku!"
Beng Sin Thong takut betul Kim Sie le nanti mengadu biru,
benar ia telah meyakinkan Siulo Imsat Kang sampai di tingkat
ke tujuh tetapi ia tetap masih jeri untuk jarum beracunnya Kim
Sie le, ia kuatir nanti murid-muridnya roboh berserakan tanpa
berdaya. Ia tahu, adik seperguruannya sendiri saja sulit
menahan serbuannya kaum Kaypang.
Kim Sie le mengetruk tongkatnya, ia tertawa.
"Hari ini aku tidak memikir untuk membuka larangan
pembunuhan besar-besaran!" ia berkata. "Umpama kata aku
niat membuka pantangan, aku tentunya akan mencari lawan
yang setimpal Kau jangan kuatir, tidak usah kau membagi
perhatianmu, kau boleh menjaga jiwamu sendiri saja!"
Beng Sin Thong tertawa lebar.
"Kim Sie Ie, jikalau kau memikir hendak membunuh aku,
kau nanti lihat itulah tidak gampang seperti kau rasa!"
katanya, menantang. 'Yang Sutee, tetamu-tetamu yang
terhormat dari Kaypang, semua aku serahkan pada kau untuk
melayaninya! Baiklah, Kim Sie Ie, kau majulah!"
Kim Sie Ie mengangkat tongkatnya, ia bertindak maju
dengan perlahan. Belum ia sampai kepada lawannya,
kupingnya sudah mendengar suara tertawa yang tajam mari si
nona, yang terus berkata: 'Kim Sie le, kau hendak lebih dulu
menempur dia, aku memberikan ijinku, tetapi ingat, inilah
untuk serintasan ini saja. Jikalau kau berniat membunuh dia,
akulah orang pertama yang melarangnya! Beng Sin Thong,
dengan begini bukankah hatimu akan menjadi 'terlebih tetap
pula?" Tentu sekali Beng Sin Thong dapat menangkap maksudnya
si nona. Nona itu menghendaki Kim Sie le mengalah, untuk
dialah yang nanti menempur dan membinasakan padanya,
untuk dia menuntut balas. Sama sekali ia tidak melihat mata
pada nona itu hanyalah ia heran, setiap kali ia melihat sinar
mata tajam dari si nona, ia bergidik sendirinya.
Melirik kepada nona itu, Sin Thong menduga-duga: "Dia
tentulah anak perempuannya si siluman tua she Le!" Ia justru
menguatirkan, di samping orang-orang Thiansan Pay, ialah
turunan keluarga Le itu, maka ia lantas memikir bagaimana ia
mesti menghadapi musuh wanita ini.
Kim Sie Ie tidak mau mengasih ketika orang berpikir.
"Kenapa kau tidak mau lekas-lekas mengeluarkan
kepandaianmu yang liehay?" kata Tokciu Hong-kay sambil
tertawa dingin. Ia pun mengejek dengan kata-katanya itu
"kepandaian yang liehay", sebab demikianlah arti nama "Sin
Thong" dari Beng Sin Thong.
Beng Sin Thong tidak mau kalah perang dingin itu.
"Jikalau gurumu masih hidup, tentulah aku akan lebih dulu
memberi hormat kepadanya dengan aku menganggap diriku
adalah orang yang bertingkat terlebih muda!" bilangnya.
Itulah penghinaan. Dia seperti mau mengatakan, dia
berderajat lebih tinggi, maka menghadapi Sie Ie, tidak pantas
ia turun tangan terlebih dulu!
Kim Sie Ie menjadi gusar, akan tetapi ia dapat
mengendalikan diri. Sebaliknya daripada kalap atau
mendamprat, ia tertawa terbahak-bahak hingga melengak.
"Baiklah, locianpwee, siauw-pwee akan memperlihatkan
kejelekannya!..." katanya. Ia menyebut locianpwee, orang
tingkat lebih tua, dan membahasakan dirinya siauwpwee,
orang terlebih muda, akan tetapi menyusul kata-katanya itu,
tongkatnya berkelebat menyambar ke pinggang orang!
Itulah jurus "Sinliong lauwhay", atau "Naga sakti mengacau
lautan", salah satu jurus dari ilmu silat tongkat warisan
Tokliong Cuncia. Ilmu silat tongkat itu bernama "Sin-koay
Sippat Ta", artinya: "Delapan Belas Jurus Tongkat Sakti".
Biasanya jurus itu mengarah saling susul kepada ketiga jalan
darah di pinggang dan paha.
Beng Sin Thong telah bersiap sedia, dapat ia melihat
serangan liehay itu. la berlaku sangat sebat. Ia berkelit seraya
tangannya diajukan, dipakai menyambar guna menangkap
tongkat lawannya itu.
"Hebat bangsat tua ini," pikir Kim Sie Ie. Ia terkesiap juga
sedikit. "Dia sebat dan bertenaga besar!"
Ia tidak mau menarik pulang tongkatnya, hanya dengan
menggeser sedikit, ia menyerang terus, menusuk ke depan
musuh. Ia telah menggunai tenaga "hangliong hok-houw",-
"menaklukkan naga, menundukkan harimau". Sembari
menyerang itu ia percaya tidak ada orang yang berani
menangkap tongkatnya kecuali Lu Su Nio menjelma pula.
Beng Sin Thong melihat bahaya yang mengancam itu. Ia
sudah lantas mengasih lihat kelincahannya. Ia tidak berani
menangkap tongkat seperti bermula tadi. Ketika serangan
tiba, tubuhnya bergerak, menyingkir dari tongkat. Untuk itu,
tangannya dipakai menekan tongkat, guna membuat tubuhnya
naik terapung. Adalah setelah bahaya lewat, tangannya terus
diajukan pula, kali ini guna menangkap tongkat, yang tenaga
serangannya sudah berkurang.
Kim Sie Ie heran dan kagum untuk keliehayan lawannya ini.
Tentu sekali ia tidak sudi mengasihkan tongkatnya terpegang
atau terampas musuh. Ia menarik pulang tongkat dengan
lebih dulu diteruskan untuk diputar, setelah mana sebat luar
biasa, ia mengulangi serangannya.
Beng Sin Thong tidak mau berlaku sembrono. Kali ini ia
tidak menangkis atau menekan tongkat, ia cuma berkelit.
Sesudah itu, baru ia maju pula.
Setelah mencoba-coba itu, Kim Sie Ie tidak berani
memandang enteng kepada lawannya ini. Sekarang ia telah
dapat membuktikan liehaynya si lawan. Mau atau tidak, ia
mesti senantiasa mengerahkan tenaganya. Maka dalam
pertempuran selanjutnya, kedua pihak sama-sama menggunai
tenaga besar, sama-sama menunjuki kelincahan mereka.
Mukanya Beng Sin Thong lantas menjadi merah. Sesudah
pertempuran berlang-lung tiga puluh jurus Kim Sie Ie, yang
bertindak sebagai si penyerang, merasakan suatu perubahan
luar biasa. Seharusnya tongkatnya menjadi panas, tetapi ini
sebaliknya, tongkatnya itu terasa dingin, "Mungkinkah ini
disebabkan Ilmunya Siulo Imsat Kang?" Tok-ciu Hongkay
menduga-duga. tongkat itu dingin tetapi dinginnya tidak
tersalurkan ke tubuh. Ia tidak takut tetapi ia waspada, ia mesti
menjaga diri. Ketika itu Yang Cek Hu telah memimpin murid-muridnya
Beng Bin Thong melayani musuh-musuhnya, ialah
rombongannya Cia In Cin, maka itu disitu menjadi 'berisik
sekali. Di pihak Kaypang ada banyak anggautanya yang liehay
akan tetapi itu waktu, mereka menampak perugian. Ek Tiong
Bouw dan Siauw Ceng Hong telah terluka tergempur Siulo
Imsat Kang, tenaga dalam mereka menjadi terganggu, pedang
Gouw Ciang San terpatahkan pedangnya, walaupun benar ia
lelah menggantinya dengan yang "ain, senjata ini kurang
leluasa Dipakainya. Syukur Cia In Cin tidak terluka, maka ialah
mengandalkan pedangnya dengan apa dapat ia melindungi
kawan-kawannya.
Yang Cek Hu memimpin dengan baik sekali, dengan lekas
ia membuat semua murid-muridnya Beng Sin Thong dapat
mengurung musuhnya berikut Ciong Tian dan Bu Teng Kiu.
Begitu seru orang-orang bertempur, adalah si nona she Le
yang sikapnya acuh tak acuh, sambil tangannya mencekal
cambuknya, cambuk Pekbong pian, dengan tubuh disenderkan
pada batu gunung-gunungan, matanya di arahkan pada Beng
Sing Thong dan Kim Si Ie berdua. Cambuk di tangannya itu
ialah cambuknya keluarga Beng, cambuk itu diperantikan
untuk menyiksa Lie Kim Bwee, Kim Sie Ie yang merampas dan
diserahkan kepadanya. Sekarang ada murid-muridnya Beng
Sin Thong yang melihat cambuk itu, beberapa di antaranya
lantas menghampirkan nona ini, untuk merampasnya pulang.
Celaka untuk mereka, belum lagi mereka datang dekat, karena
sikap mereka mengancam, mereka lantas dihajar si nona
hingga mereka roboh memegang tanah. Habis itu barulah
tidak ada yang maju lagi, sebab ternyata si nona kembali
memperhatikan pertempuran Kim Sie Ie " Beng Sin Thong
itu. Tatkala itu, pertempuran Kim Sie Ie dan Beng Sin Thong
sudah sampai pada jurus yang ke seratus lebih. Sering Kim Sie
Ie menyerang, sering tongkatnya tidak ditangkis hanya
dibacok dengan tangan. Disini terjadi hal yang mengherankan
dia. Ialah saban kali tongkatnya kena dibacok, lantas ada
hawa dingin yang tersalurkan dari tongkat pada telapakan
tangannya, sedang tongkatnya itu tetap terasakan dingin.
Lainnya perubahan ialah tenaganya Beng Sin Thong makin
lama makin tambah. Sebaliknya setiap kali ia membacok, Sin
Thong tentu-tentu mengeluarkan napas beberapa kali, seperti
ia telah menjadi letih sekali.
Masih ada perubahan selanjutnya. Tidak lama, atau gerakgeriknya
kedua pihak sama-sama menjadi kendor dengan
perlahan-lahan. Kalau tongkat Kim Sie Ie menusuk atau
menyambar melintang, agaknya dia seperti lagi menggeraki
barang berat seribu kati. Begitu juga dengan Sin Thong, ia
terlihat ayal dan gerakan tangannya kacau...
Dengan perubahan itu, air muka mereka pun turut berubah
menjadi pendiam dan guram...
Dalam keadaan begitu tiba-tiba Beng Sin Thong tertawa
tiga kali, lalu terlihat kulit mukanya yang guram itu berubah
menjadi hitam. Si nona Le melihat perubahan kulit muka itu, ia kaget
hingga ia berseru perlahan.
Kim Sie Ie juga lantas rasakan sesuatu yang tak baik
untuknya, ialah tongkatnya menjadi dingin bagaikan es,
sampai hampir ia tidak dapat memegang terus senjatanya itu.
Karena kagetnya, ia lantas berludah dengan ludahnya yang
kental! Ludah itu tersemburkan hingga terdengar suaranya seperti
suara senjata rahasia.
Beng Sin Thong mengibas dengan tangan bajunya,
berbareng dengan itu tubuhnya mencelat. Tubuh Kim Sie Ie
juga berlompat jumpalitan hingga dua tombak jauhnya,
jatuhnya rebah.
Menyusul itu, Beng Sin Thong dan si Nona Le
memperdengarkan jeritan kecil tetapi tajam.
Kim Si Ie lantas berlompat bangun dengan gerakannya
"Leehie Tateng", atau "Ikan gabus meletik".
Lantas Beng Sin Thong terlihat menolak kaget dengan
kedua tangannya. Sebaliknya si nona, tubuhnya nampak
bagaikan layangan putus lagi melayang turun.
Sie Ie melihat itu, ia maju, niatnya untuk melindungi. Nona
itu, belum lagi kakinya menginjak tanah, sudah memutar
tubuhnya, sebelah tangannya terayun, menerbangkan satu
gumpalan hitam seperti kabut, sedang dari mulutnya keluar
seruan: "Menyingkir! Lekas!"
Kabut itu menjadi besar dalam sejenak, hingga di depan
mata mereka, orang tidak bisa melihat apa-apa. Karena itu,
Kisah Para Pendekar Pulau Es 14 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Bukit Pemakan Manusia 14
^