Pencarian

Sang Penerus 5

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Bagian 5


Ki Prawara, Nyi Prawara dan Kiai Gumrah. Meskipun
Manggada dan Laksana ada juga diantara mereka, tetapi
Darpati seakan-akan tidak banyak menaruh perhatian
kepada mereka. Berbeda dengan Winih. Meskipun Winih
juga lebih banyak diam, namun Darpati setiap kali
berbicara dengan Winih atau tentang Winih.
Kiai Gumrah, Ki Prawara dan Nyi Prawara hanya
tersenyum-senyum saja jika Darpati memuji-muji Winih.
Mungkin tentang sikapnya, mungkin tentang ketabahan
hatinya, juga tentang tanggapannya terhadap Rambatan
dan kawan-kawannya.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Darpatipun
minta diri. Dengan nada tinggi ia berkata "Besok aku
datang lagi mengunjungi Winih. Tetapi untuk sementara
kita tidak akan berjalan-jalan lebih dahulu."
Kiai Gumrahlah yang menjawab "Ya ngger. Nampaknya
ada sesuatu yang harus kita perhitungkan. Agaknya
disekitar padukuhan ini terdapat orang-orang jahat yang
berniat buruk. Bahkan anak-anak muda di padukuhan
inipun telah berniat buruk pula terhadap Winih."
"Kita memang harus berhati-hati Kiai" jawab Darpati.
Lalu katanya kepada Manggada dan Laksana seperti
perintah seorang lurah prajurit "Jaga adikmu baik-baik."
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian keduanyapun mengangguk. Meskipun
dengan segan Manggada menjawab "Aku akan menjaganya."
Darpati tersenyum. Namun kemudian ia berkata kepada
Ki Prawara dan Nyi Prawara "Sudahlah. Aku minta diri.
Mudah-mudahan Winih tidak mengalami sesuatu. Sebaiknya Winih jangan diijinkan keluar halaman rumah
ini tanpa aku. Lingkungan ini memang berbahaya sekali."
Ki Prawaralah yang menjawab sambil mengangguk-
angguk "Ya, ya ngger. Aku akan melarang Winih keluar
halaman. Siapapun yang mengajaknya."
Darpati mengerutkan dahinya. Katanya "Kecuali aku
ynng mengajaknya."
"Tetapi Winih akan mempersulit keadaan angger.
Hampir saja angger mengalami kesulitan karena Winih."
"Bukan aku yang hampir saja mengalami bukan saja
kesulitan, bahkan bencana. Tetapi Manggada dan
Laksana." jawab Darpati.
"Seandainya Manggada dan Laksana telah diselesaikan
oleh kedua orang lawannya, maka kau akan menghadapi
ampat orang sekaligus. Bahkan dengan dua ekor burung
elang." desis Ki Prawara.
Tetapi Darpati tertawa. Katanya "Aku masih akan dapat
menyelamatkan diriku."
"Jadi bagaimana dengan Winih?" bertanya Nyi Prawara.
"Sudah tentu menyelamatkan Winih. Aku akan mampu
menghancurkan keempat orang itu meskipun mereka
bertempur bersama-sama."
"Terima kasih ngger" berkata Ki Prawara "sebagai orang
tua, maka aku selalu dibayangi oleh kecemasan tentang
satu-satunya anakku."
Darpati tertawa. Hampir saja ia mengatakan bahwa Kiai
Gumrah dan sudah tentu Ki Prawara dapat menilai apa
yang dihadapinya karena mereka adalah orang-orang
berilmu tinggi. Terutama Kiai Gumrah sendiri sebagai
dikatakan oleh Ki Windu kusuma sendiri. Untunglah
bahwa ia masih dapat menahan diri untuk tidak
mengatakannya. Ia merasa lebih aman jika Kiai Gumrah
dan tentu juga Ki Prawara yang berilmu tinggi itu, tidak
mengetahui, bahwa sebenarnya ia sudah tahu tentang
kemampuan orang tua itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Darpatipun
sudah meninggalkan rumah Kiai Gumrah. Demikian
Darpati itu hilang dibalik regol, maka Kiai Gumrahpun
berkata "Duduklah Winih. Aku ingin berbicara dengan kau,
kedua orang tuamu dan orang kakakmu, nampaknya
memang ada yang penting kita bicarakan."
Winih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak membantah. Iapun kemudian duduk lagi diamben yang
besar itu bersama ayah dan ibunya serta Manggada dan
Laksana. "Apa yang ingin kakek katakan" wajah Winih sudah
mulai cemberut. Ia tahu bahwa ayahnya akan berbicara
tentang Darpati.
"Winih" berkata kakeknya kemudian "bagaimana
tanggapanmu tentang Darpati?"
"Maksud kakek?" Winih justru bertanya.
"Apakah menurut pendapatmu Darpati itu seorang yang
baik, jujur dan dapat dipercaya?"
"Kakek. Darpati adalah seorang yang berilmu tinggi dan
mempunyai wawasan yang sangat luas. Ia baik dan
bertanggung jawab." jawab Winih.
"Apakah menurut pendapatmu ia melakukannya dengan
jujur ?" desak kakeknya.
Winih termangu-mangu. Nampak kerut yang dalam
didahi-nya. Dengan ragu ia berkata "Aku tidak melihat
bahwa Darpati berpura-pura. Ia telah mempertaruhkan
ilmunya ketika ampat orang itu tiba-tiba saja menyerang."
"Bagaimana sikapnya terhadap seorang gadis?" bertanya
kakeknya pula. "Bukankah sikapnya baik sekali" Seperti yang aku
katakan, ia seorang yang bertanggung-jawab." jawab Winih.
"Bagiku sikapnya justru terlalu baik. Ia bersikap sangat
akrab meskipun kau baru dikenalnya. Sama sekali ia tidak
merasa canggung." Berkata Kiai Gumrah.
"Ya. Ia sama sekali tidak merasa canggung." jawab
Winih. "Dan tidak mempunyai perasaan segan" Ki Prawara
meneruskan. "Ya" jawab Winih.
"Kau benar Winih. Darpati
sama sekali tidak merasa canggung dan segan meskipun kau
baru dikenalnya kemarin. Kau
tahu artinya atas sikapnya itu?"
bertanya Ki Prawara.
Winih mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak segera mengetahui
maksud ayahnya.
Karena itu, maka iapun bertanya "Apakah yang ayah
maksudkan" Aku tidak mengerti."
"Winih" berkata Ki Prawara "menilik sikapnya yang
sama sekali tidak canggung dan segan-segan lagi
terhadapmu yang baru saja dikenalnya, maka menurut
pendapatku, Darpati adalah seorang anak muda yang telah
terbiasa berhubungan dengan perempuan. Mungkin mereka
adalah gadis-gadis remaja, mungkin sudah dewasa, tetapi
mungkin juga perempuan-perempuan yang lebih masak
lagi." "Ayah" Winih benar-benar terkejut.
"Winih. Kau adalah seorang gadis yang baru saja
memasuki usia dewasa. Kau baru menginjak satu masa
pancaroba. Sementara itu, kau belum mengenal liku-liku
kehidupan cukup jauh. Karena itu, jika kau mau mendengar
kata-kata ibu, ayah dan kakek, maka kau jangan bergaul
terlalu rapat dengan Darpati" berkata ibunya kemudian.
Wajah Winih menjadi tegang. Dengan nada berat ia
bertanya "Ibu, ayah dan kakek mencurigainya bahwa ia
tidak jujur?" bertanya Winih.
Nyi Prawara memandang mata Winih yang memancarkan kegelisahan hatinya yang sangat. Namun
dengan nada dalam Nyi Prawara itu menjawab "Ya Winih.
Kami tidak dapat berkata lain, bahwa kami memang
mencurigai Darpati, bahwa ia tidak jujur terhadapmu."
Mata Winih menjadi basah. Katanya "Bagaimana kakek,
ayah dan ibu dapat menganggap bahwa ia tidak jujur, justru
ia sudah menunjukkan jasanya yang besar. Ia menolongku
ketika Rambatan dan kawan-kawannya menggangguku,
sementara kakang Manggada dan Laksana tidak berbuat
apa-apa. Iapun telah menyelamatkan aku ketika aku
diancam untuk dibawa oleh ampat orang yang tidak
dikenal, sementara kakang Manggada dan Laksana berdua
tidak dapat berbuat banyak. Bahkan kakang Manggada dan
Laksana belum tentu akan dapat mempertahankan
nyawanya sendiri."
"Tetapi bukankah Darpati yang mengajakmu ke tempat
yang sepi itu?" bertanya ibunya pula.
"Jadi maksud ibu, Darpati telah menempatkan orang-
orangnyaditempat itu?" desak Winih.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya agak
sendat "Kami belum memastikan bahwa hal itu dilakukannya,
Winih. Tetapi kami mengambil kesimpulan sementara,
bahwa Darpati telah melakukannya. Kami juga menghubungkan kehadiran dua ekor burung elang berkuku
baja itu. Luka Manggada dan Laksana menunjukkan,
bahwa kedua ekor burung elang itu memang sangat
berbahaya. Bekas kuku-kukunya yang mengoyak bukan saja
kulitnya, tetapi juga daging kakak-kakakmu. Sementara itu
Darpati sama sekali tidak diganggu oleh kedua ekor burung
elang itu."
"Tetapi Darpati sudah bertempur melawan dua orang."
jawab Winih. "Apakah kau sempat memperhatikan pertempuran itu?"
bertanya ibunya dengan nada lebih keras.
Winih tertunduk dalam-dalam. Perhatiannya memang
tertarik pada sepasang burung elang yang menyerang
Manggada dan Laksana disamping kedua orang lawannya.
"Sudahlah" berkata Kiai Gumrah "kita memang masih
harus menyeledikinya. Namun yang penting kau ketahui
Winih, bahwa sikap Darpati kepadamu menunjukkan
bahwa ia sudah terbiasa bergaul dengan perempuan jenis
apapun juga. Ketahuilah dan pertimbangkan hal ini baik-
baik." Kata-kata kakeknya itulah yang justru menyentuh
perasaannya yang paling dalam. Winih memang menjadi
sedih mendengarnya. Sebagai gadis yang tumbuh dewasa,
Winih memang jarang bergaul dengan laki-laki. Sebagaimana dengan kawan-kawannya, jika seorang gadis
tumbuh mendekati masa dewasanya, maka pergaulannya
dengan anak-anak muda justru menjadi semakin jauh.
Meskipun demikian, masih nampak pada mata Winih
yang basah, bahwa ia masih belum percaya sepenuhnya
kata-kata kakek, ayah dan ibunya. Baginya Darpati adalah
seorang laki-laki yang memiliki tanggung jawab yang sangat
besar. Tetapi Winih tidak lagi menjawab.
Kiai Gumrahpun kemudian telah meninggalkan ruangan
itu untuk pergi ke kebun. Nyi Prawarapun telah kembali ke
dapur, sementara Ki Prawara pergi ke halaman depan.
Yang tinggal diruang dalam adalah Manggada, Laksana
dan Winih yang masih merenungi persoalan yang
menyangkut Darpati.
Kepada Manggada dan Laksana Winih itu bertanya
"Kakang, jika Darpati sengaja memancing kita kedalam
jebakannya di dekat pancuran itu, apa yang mereka
kehendaki?"
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Manggadapun menjawab "Kami tidak
tahu pasti Winih. Tetapi jika ia berhasil menyelamatkanmu,
maka dimatamu, ia tentu benar-benar menjadi seorang
pahlawan."
Winih memandang
Manggada dengan tajamnya.
Katanya "Apakah ia menjadi sejahat itu?"
Namun Laksana itu justru menjawab "Mungkin lebih
jahat dari itu Winih. Mungkin Darpati benar-benar ingin
membunuh kami berdua, namun-tanpa meninggalkan jejak


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatannya."
"Kenapa ia ingin membunuh kalian berdua?" bertanya
Winih. Agaknya hati Laksana lebih terbuka dari Manggada.
Karena itu, maka jawabnya menirukan pendapat Nyi
Prawara "Mungkin Darpati tahu bahwa kau bukan adikku
dan bukan adik kakang Manggada. Maksudku, bukan adik
kandung atau sepupu atau sama sekali bukan sanak
kadang." "Lalu, kenapa jika demikian?" bertanya Winih.
"Darpati tidak ingin melihat seorang anak muda ada
didekatmu" jawab Laksana.
Wajah Winih menjadi merah. Ternyata ia menjadi
marah mendengar kata-kata Laksana itu. Dengan suara
bergetar ia berkata "Jadi selama ini kau menganggap bahwa
kehadiranku, sikapku dan keakrabanku terhadap kalian itu
kau artikan sebagaimana sikap seorang gadis terhadap
seorang anak muda" Kakang, ternyata kaulah yang tidak
jujur terhadapku. Selama ini aku menganggap kalian
sebagai kakak-kakak kandungku sendiri."
Winihpun segera bangkit berdiri dan hampir saja ia
melangkah pergi. Namun Manggadalah yang kemudian
berkata dengan sabar "Winih. Dengarlah penjelasan kami.
Ternyata kau salah paham."
"Tidak. Aku tidak salah paham. Aku tahu benar apa
yang kalian maksudkan" jawab Winih.
"Tunggu Winih. Seandainya kau tahu benar maksud
kami, kami masih ingin menambah pengertianmu sedikit
saja. Duduklah." berkata Manggada.
Winih memang duduk. Tetapi wajahnya masih saja
nampak gelap. Bukan saja kekecewaannya terhadap sikap
kakek, ayah dan ibunya, tetapi juga sikap Manggada dan
Laksana. "Winih" berkata Manggada "kami tidak sedang
mengatakan sikap batinmu. Aku tahu bahwa kau telah
menganggap kami berdua sebagaimana kakak kandungmu
sendiri. Kami berduapun menganggapmu sebagai adik
kandungku sendiri. Sehingga dengan demikian, maka apa
yang kami lakukan, adalah ungkapan sikap seorang kakak
terhadap adiknya. Tetapi yang kami katakan adalah sikap
batin Darpati. Ia tahu bahwa aku dan Laksana bukan kakak
kandungmu, bukan pula sepupumu dan bahkan bukan
sanak-kadangmu sendiri. Karena itu, maka Darpati
berpendapat, bahwa ada kemungkinan, aku atau Laksana
ingin berdiri menjadi sekat keinginannya untuk mendekatimu. Karena itu, maka baik aku maupun Laksana
harus disingkirkan dengan caranya, a-gar tidak meninggalkan jejak."
"Hati kalianlah yang berbulu. Kalian menuduh Darpati
berbuat jahat. Tetapi bukabkah dihati kalian sendiri tumbuh
niat seperti itu" Kalian ingin menyingkirkan Darpati, jika
tidak merampas nyawanya karena kalian tidak mampu,
juga dengan menghancurkan nama baiknya. Agaknya
kakek, ayah dan ibu mulai terpengaruh oleh tanggapan
kalian terhadap Darpati." sahut Winih.
"Winih" berkata Manggada yang mulai berkeringat
mengendalikan perasaannya yang bergejolak "kau harus
mencoba mendengarkan kata-kata kami."
Laksanalah yang menjadi hampir tidak sabar. Tetapi
karena ia mengingat bahwa gadis itu adalah cucu Kiai
Gumrah, maka Laksana dengan susah payah masih
mengendalikan dirinya.
"Apa lagi yang harus aku dengar?" bertanya Winih.
"Apapun yang kami lakukan, adalah karena kami
menganggapmu sebagai adik kandung kami sendiri. Kami
tidak mau melihat kau ditelan oleh serigala yang ganas,
namun yang mengenakan bulu domba itu." berkata
Manggada "sekali lagi harus kau sadari, bahwa yang kami
katakan adalah sikap batin Darpati. Bukan sikap hatimu.
Kau harus yakin, bahwa kami tidak dapat menganggapmu
lain daripada adik kandung. Itupun merupakan satu
kehormatan yang tidak ada taranya, karena kami adalah
anak-anak terbuang yang mengembara menyusuri lorong-
lorong sempit, lereng-lereng terjal dan tepi-tepi hutan yang
pepat. Disiang hari kami berpayung matahari dan dimalam
hari kami berkandang langit dan berselimut awan. Dengan
demikian, bagaimana kanii berani memikirkan atau bahkan
berangan-angan jauh melampaui derajat dan martabat kami
sebagai pengembara yang. tidak berharga?"
Winih mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
Iri senyum sambil berkata lembut "Maaf kakang. Tetapi
kakang jangan merajuk seperti itu. Seharusnya sebagai
seorang laki-laki kakang menjadi marah kepadaku."
"Winih" desis Manggada "seandainya aku tidak
menganggapmu sebagai adik kandungku, maka aku tentu
akan marah, karena aku tidak berhak bersikap demikian
terhadapku."
"Aku minta maaf kepada kakang berdua" desis Winih
pula. "Baiklah Winih" berkata Manggada kemudian "aku akan
melupakannya. Tetapi apa yang aku katakan tentang
Darpati sama sekali bukan fitnah. Tetapi benar-benar
muncul dari nurani kami, kakak-kakak kandungmu.
Mudah-mudahan dugaan kami itu tidak benar sehingga
persoalannya tidak akan berekor dengan luka-luka dihatimu
dan dihati ayah, ibu serta kakekmu. Jika kau percaya, tentu
juga dihatiku dan dihati Laksana."
"Aku berterima kasih bahwa kalian tidak menjadi marah
kepadaku kakang." bertaka Winih kemudian.
"Jika kau, mau mendengarkan kata-kata kami, kata-kata
kakek, ayah serta ibumu, maka kami akan menjadi sangat
berbahagia." jawab Manggada,
Winihpun kemudian bangkit berdiri sambil berdesis
"Kakang, aku akan memperhatikan keteranganmu, keterangan ayah, kakek dan ibu. Tetapi kenyataanlah yang
akan membuktikan, apakah anggapan kalian terhadap
Darpati itu benar."
"Tentu saja Winih. Tetapi kesadaranmu jangan datang
terlambat" berkata Manggada.
Winih mengangguk sambil tersenyum. Namun kemudian iapun melangkah kedapur sambil berdesis "Aku
harus membantu ibu."
Demikian Winih hilang dibalik pintu, Laksana tiba-tiba
saja berkata "Apa pula yang kau lakukah" He, Winih
sendiri berkata kepadamu, jangan merajuk. Seharusnya kau
marah. Kenapa justru kau berkata dengan nada cengeng
tentang pengembaraan kita, seolah-olah kita disiang hari
berpayung matahari dan dimalam hari hati kita berkandang
langit berselimut awan."
Manggada tertawa tertahan. Katanya "Tetapi bukankah
hati Winih menjadi luluh" Apa katanya" Ia telah minta
maaf kepada kita berdua. He, Laksana. Seorang gadis yang
sedang mulai menapakkan kakinya kedalam dunia mimpi,
maka ia akan lebih mudah tersentuh oleh kata-kata yang
sedikit merajuk seperti itu."
Laksana mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian
tertawa. Katanya "Pantas Winih menyebut kita tidak jujur.
Ternyata kau memang pandai berpura-pura."
"Tetapi bukankah kita tidak bermaksud buruk?" Laksana
mengangguk. Katanya ."Ya. Kita memang tidak bermaksud
buruk." "Nah, kita sekarang akan turun ke kebun. Kita akan
membantu Kiai Gumrah." ajak Manggada.
Namun Laksana sempat berdesis "Tetapi mata Darpati
tidak kabur."
"Kenapa?" bertanya Manggada.
Laksana tersenyum. Perlahan-lahan ia berdesis "Winih
memang cantik."
"Ah, kau" sahut Manggada "ketika kita menyelamatkan
gadis yang hampir saja menjadi korban keris Panembahan
itu, kau mengatakan bahwa gadis itu cantik sekali.
Kemudian ketika kita membantu menyelamatkan Mas
Rara, kau berkata bahwa Mas Rara adalah gadis yang
sangat cantik. Sekarang kau bertemu dengan Winih, kau
berkata bahwa Winih adalah seorang gadis yang memang
cantik." Laksana tertawa. Hampir saja ia tidak dapat menahan
suara tertawanya. Namun kemudian ia menutup mulutnya
dengan telapak tangannya. Tetapi ia sempat berdesis
"Ketiga-tiganya telah kita pertaruhkan dengan nyawa kita."
"Sudahlah" desis Manggada "kau jangan mengigau
begitu." Laksana tidak menjawab. Tetapi ia masih tersenyum
sambil melangkah mengikuti Manggada yang pergi ke
halaman belakang.
Demikian keduanya berada dipintu butulan, mereka
melihat Kiai Gumrah yang telah berdiri di longkangan
bersama Ki Prawara memandang ke udara.
Tanpa ragu-ragu Manggadapunj menebak "Burung elang
itu lagi, kek?"
"Ya. Kemarilah. Biarlah burung itu melihat bahwa kau
berdua telah selamat sampai dirumah ini."
Manggada dan Laksanapun segera turun ke longkangan.
Mereka melihat sepasang burung elang yang terbang
berputar-putar. Yang seekor tentu bukan elang yang telah
terluka. Sedangkan yang seekor lagi nampaknya juga masih
segar. Tetapi mereka memang tidak dapat membedakan
seekor elang dengan elang yang lain.
Beberapa saat burung elang itu berputar-putar diatas
rumah Kiai Gumrah. Sementara Manggada berdesis hampir
kepada diri sendiri "Apakah ada semacam isyarat buat
Darpati?" Manggada terkejut ketika ia mendengar Ki Prawara
bertanya "Kau yakin ada hubungan antara burung-burung
itu dengan Darpati sehingga dengan demikian kau yakin
bahwa yang telah terjadi itu sengaja dilakukan oleh Darpati
sebagai jebakan?"
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Baru kemudian Manggada menjawab sambil mengangguk
kecil "Kami hanya menduga paman. Tetapi menurut
pendengaran kami atas beberapa pendapat dari paman
sendiri, kakek dan bibi agaknya memang demikian. Namun
Winih akan berpendapat lain."
Ki Prawa ra mengangguk-angguk, Ketika Ki Prawara itu
kemudian menengadahkan wajahnya, maka burung elang
itu sudah terbang menjauh dan kemudian hilang
dikejauhan. "Winih telah membuat kepalaku menjadi pening"
berkata Ki Prawara "aku menyesal membawanya kemari
sehingga ia bertemu dengan Darpati. Bagiku Darpati jauh
lebih berbahaya dari Rambatan, karena kita tahu dengan
pasti, siapakah Rambatan itu dan seberapa tinggi
kemampuannya. Tetapi Darpati bagi kita masih terlalu
asing. Sementara Winih telah langsung tertarik melihat ujud
orang itu. "Tetapi bagi seorang gadis seumur Winih, kita masih
mempunyai kesempatan untuk mengarahkannya. Menurut
pendapatku, sebaiknya kita berterus-terang bahwa kita
menduga bahwa Darpati adalah salah seorang dari antara
mereka yang ingin mengambil pusaka-pusaka itu." berkata
Kiai Gumrah. "Aku juga berpikir demikian ayah. Tetapi apakah Winih
percaya" Apakah ia tidak mengira bahwa itu adalah sekedar
alasan kita untuk mencegahnya berhubungan dengan
Darpati?" "Kita akan mencobanya." berkata Kiai Gumrah.
Ki Prawa ra mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah
ayah. Kita memang harus berbicara dengan terbuka
terhadap gadis itu. Kita berharap bahwa ia akan dapat
mengerti apa yang sebaiknya dilakukan. Kita tidak ingin
Winih menjadi semakin jauh terjerumus kedalam ikatan
batin dengan Darpati."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk saja. Namun katanya
kemudian kepada Manggada dan Laksana "Kalian harus
membantu kami."
" Ya kakek." jawab Manggada dan Laksana.
"Baiklah" jawab Kia i Gumrah "kita harus menjaga agar
persoalan kita tidak menjadi semakin kusut. Sementara Kiai
Windu Kencana tentu sudah membicarakan rencananya
semakin masak. Waktu kita menjadi semakin sempit. Orang
yang kita harapkan dapat memberikan keterangan adalah
Kundala. Tetapi jika benar Darpati adalah salah seorang
diantara mereka, maka Kundala akan semakin sulit
menghubungi kita. Apalagi jika pada suatu saat Darpati ada
disini, sengaja atau tidak sengaja melihat Kundala singgah."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Kita harus
menemukan satu cara untuk menyingkirkan Darpati dari
Winih." Tetapi Ki Prawara dan Kia i Gumrah sepakat untuk
berbicara langsung dengan Winih lebih dahulu.
Menjelang sore hari, maka Manggada dan Laksana telah
melakukan tugasnya sehari-hari. Mereka telah berada di


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banjar untuk membersihkan halaman banjar menggantikan
pekerjaan Kiai Gumrah. Mengisi lampu dan kemudian
menyiapkannya. Jika senja turun, maka mereka tinggal
menyulutnya saja.
Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang
agaknya tergesa-gesa datang menemui mereka.
"Ada apa?" bertanya Manggada.
"Rambatan" desis anak muda itu.
"Kenapa dengan Rambatan?" bertanya Laksana sambil
mengerutkan dahinya.
"Ia mendendammu " jawab anak muda itu.
"Kenapa dendam aku?" bertanya Laksana pula.
"Ketika ia berniat mengajak adikmu singgah dirumah-
nya, maka niatnya itu telah terhalang."
"Tetapi bukan kami yang menghalanginya. Tetapi
Darpati" "Nampaknya ia tidak berani melawan orang itu. Selain
itu ia tidak tahu dimana tinggalnya orang yang telah
memukulinya bersama dengan beberapa orang anak muda
dari pa-dukuhan kami."
Manggada dan Laksana justru mulai mengingat-ingat.
Tetapi yang jelas kedua ekor harimau itu tidak menyerang
Darpati. "Jadi dendamnya ditimpakan kepada kami?" bertanya
Manggada dengan nada tinggi.
"Ya. Bahkan bukan hanya itu. Tetapi Rambatan telah
mengadu kepada Ki Bekel. Meskipun Ki Bekel dan para
bebahu padukuhan ini tidak senang terhadap Rambatan dan
tingkah lakunya, tetapi bahwa anak-anaknya dipukuli oleh
orang lain, Ki Bekel agaknya menjadi marah juga."
"Apakah Rambatan telah mengelabui Ki Bekel dengan
keterangan palsu?" bertanya Manggada.
"Tidak. Ki Bekel sudah mendapat laporan tentang apa
yang terjadi. Ki Bekel memang menjadi marah kepada
Rambatan dan memberinya peringatan. Tetapi disamping
itu, Ki Bekel tidak mau anak padukuhan ini dipukuli oleh
orang lain."
"Bukankah Rambatan berbuat salah" Jika tidak ada
orang lain itu, maka adikku dapat saja mengalami hal yang
buruk." jawab anak muda itu.
"Menurut Ki Bekel, Rambatan harus dilaporkan
kepadanya. Bukan dipukuli dan bahkan dilukai" jawab anak
muda itu. "Terlambat. Jika saat itu, kami harus melapor kepada Ki
Bekel, maka yang tidak diinginkan mungkin sudah terjadi.
Sementara itu memang Rambatan dan kawan-kawannya
yang justru mendahului sehingga timbul perselisihan itu."
berkata Laksana.
"Ya. Aku mengerti. Tetapi berhati-hatilah. Atau pulang
sajalah. Rambatan dan kawan-kawannya kadang-kadang
tidak dapat menahan diri."
berkata anak muda itu.
"Tetapi jika ia berbuat
demikian, maka Darpati akan
marah. Ia dapat berbuat banyak atas Rambatan dan
kawan-kawannya."
jawab Manggada. "Betapapun
tinggi kemampuan orang itu, tetapi
Rambatan dapat menggerakkan banyak anak-
anak muda padukuhan ini.
Senang atau tidak senang,
anak-anak muda itu tidak
berani menolak jika Rambatan minta agar mereka
melakukannya." berkata anak muda itu.
"Jika dasarnya adalah karena mereka takut terhadap
Rambatan dan kawan-kawannya, maka ketakutan yang
lebih besar akan mencegah mereka. Darpati pantas lebih
ditakuti dari Rambatan." jawab Manggada.
"Tetapi orang yang bernama Darpati itu tidak bertemu
setiap hari dengan anak-anak muda di padukuhan ini."
berkata anak muda itu.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian Manggada berdesis "Baiklah. Kami akan
pulang. Pekerjaan kami memang sudah selesai. Tinggal
nanti menyalakan lampu-lampu minyak itu."
Tetapi Laksana itupun bertanya "Jika kami pulang,
apakah Rambatan dan kawan-kawannya tidak akan
menyusul kami?"
"Ada beberapa pertimbangan" berkata anak muda itu
"aku sudah berbicara dengan beberapa orang kawan.
Rambatan agaknya segan datang kerumahmu karena ada
adikmu. Apalagi melakukan kekerasan terhadap kalian
berdua." Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Katanya
"Jika Kia i Gumrah tidak terlalu sibuk, biar Kia i Gumrah
sajalah nanti yang menyalakan lampu di banjar."
Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Dengan nada datar Manggada berkata "Baiklah. Aku akan
berbicara dengan kakek."
Demikianlah, maka Manggada dan Laksana itupun
segera meninggalkan banjar itu, sementara anak muda
itupun telah pergi pula. Anak muda itu berusaha agar
kedatangannya tidak diketahui oleh Rambatan atau kawan-
kawannya yang seakan-akan telah menjadi pengikutnya.
Ketika Manggada dan Laksana sampai dirumah Kiai
Gumrah, maka keduanya masih saja ragu-ragu. Apakah
mereka akan mengatakannya apa yang akan dilakukan oleh
Rambatan. Tetapi tiba-tiba saja Laksana berkata "Aku tidak mau
selalu menghindar dari setiap persoalan. Kita tidak akan
dapat terus-menerus bersembunyi, Kakek juga tidak.
Sementara itu Darpati sudah mengetahui bahwa kita bukan
Rambatan."
Manggada mengangguk angguk. Namun tiba-tiba ia
berdesis "Darpati sama sekali tidak merasa heran melihat
kita berkelahi di dekat pancuran itu. Agaknya ia memang
sudah mengetahui bahwa kita memang bukan orang yang
sama sekali tidak berdaya."
"Agaknya memang demikian. Ketika ia melindungi
Winih dari niat Rambatan mengajaknya singgah dirumahnya, ia sengaja mencegah kita berbuat sesuatu, jika
kita berbuat sesuatu, maka kejantanannya akan menyusut
dimata Winih." sahut Laksana.
Manggada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Baiklah. Kita tidak akan menyembunyikan diri
untuk seterusnya. Kita akan pergi ke banjar untuk
menyalakan lampu nanti."
"Kita tidak usah minta pertimbangan kakek. Kita justru
akan mengatakan kepada kakek, bahwa kita tidak
mempunyai kesempatan untuk mengelakkan diri dari
benturan kekerasan." berkata Laksana kemudian.
Manggada mengangguk-angguk. Rasa-rasanya memang
menjemukan untuk terus-menerus berpura-pura.
Karena itu, maka keduanya memang tidak mengatakan
kepada Kiai Gumrah bahwa Rambatan akan mengajak
kawan-kawannya melontarkan dendam dan kemarahannya
kepada mereka berdua.
Tidak seperti yang dikatakan mereka kepada anak muda
itu, maka Manggada dan Laksana justru dengan sengaja
pergi ke banjar lama itu untuk menyalakan lampu minyak.
Mereka sama sekali tidak merasa perlu lagi untuk
menghindar, karena dengan demikian maka persoalan
antara mereka dan Rambatan justru tidak akan segera dapat
diselesaikan. Manggada dan Laksana kemudian sepakat, jika mereka
tidak melarikan diri, maka Rambatan dan kawan-kawannya
tidak akan menakut-nakuti mereka lagi.
Ternyata anak muda yang datang memberitahukan
kepada mereka, bahwa Rambatan dan kawan-kawannya
akan datang itu tidak berbohong. Demikian lampu-lampu
minyak di banjar lama itu menyala, maka di halaman
banjar itu telah menunggu beberapa orang anak muda yang
dipimpin oleh Rambatan.
"Orang-orang yang mencegat Winih di bulak itu" desis
Manggada yang hanya didengar oleh Laksana.
Laksana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Rambatan benar-benar menjadi sakit hati. Agaknya ia
ingin membangkitkan kepercayaan kawan-kawan yang
telah menjadi pengikutnya itu. Jika mereka berhasil
menghajar kami berdua, maka cacat nama Rambatan
karena kekalahannya dari Darpati akan sedikit dipulihkan."
Tetapi Laksana itupun berkata "Tetapi aku tidak mau
dikalahkan. Aku akan berbuat sebagaimana dilakukan oleh
Darpati." Namun ketika keduanya turun dari tangga pendapa
banjar lama, yang berdiri dipaling depan bukan Rambatan,
tetapi seorang yang sebelumnya belum pernah dilihat oleh
Manggada dan Laksana.
"Hati-hati terhadap orang ini" bisik Manggada. Laksana
mengangguk. Tetapi ia justru langsung melangkah
mendapatkan orang itu.
Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan tajamnya ia
memandang Laksana yang kemudian berdiri dihadapannya.
Seakan-akan tidak ada persoalan apapun, Laksana
berkata "Selamat malam, Ki Sanak. Apakah kalian
mempunyai keperluan?"
"Siapa kau?" bertanya orang yang bertubuh kekurus-
kurusan itu. "Aku adalah cucu Kiai Gumrah, yang terbiasa merawat
banjar lama ini. Bukankah Rambatan dan anak-anak muda
padukuhan ini mengetahuinya" Tetapi justru aku yang
bertanya kepada Ki Sanak. Selama aku berada disini, aku
belum pernah bertemu dengan Ki Sanak.
"Persetan dengan kau" jawab orang itu "aku tidak peduli
apakah kau mengenal aku atau tidak. Tetapi dibulak itu
kalian telah menyakiti hatiku, hati kawan-kawanku." jawab
orang itu. "Tetapi apa hubunganmu dengan persoalan yang pernah
terjadi antara Darpati dan Rambatan" Jika Rambatan
mendendam dan datang kepadamu untuk minta bantuanmu, maka sasaran dendamnya seharusnya adalah
Darpati, bukan kami" berkata Laksana.
"Tidak ada dendam dan aku tidak peduli dengan
Darpati. Aku datang membalas sakit hatiku dan sakit hati
kawan-kawanku."
"Ya. Tetapi kenapa kau dan kawan-kawanmu menjadi
sakit hati kepada kami" Jangan berputar-putar. Berkatalah
terus-terang. Rambatan gagal mengganggu adikmu Winih.
Tetapi ia tidak berani membalas dendam kepada Darpati.
Sekarang ia datang kepadaku bersama kawan-kawannya,
bahkan dengan kau yang asing bagi padukuhan ini."
Laksana berkata lantang.
"Persetan semuanya itu. Aku tidak peduli. Apapun sebab
dan alasannya, bahkan seandainya tanpa alasan sekalipun.
Kami ingin memukuli kalian berdua sampai kalian berdua
tidak dapat bangkit berdiri. Itu saja."
Laksana menggeram. Wajahnya menjadi panas. Dengan
geram ia berkata "Kau kira kami akan menyerahkan diri
kami untuk diperlakukan demikian" He, berapa kau diupah
untuk berbuat demikian atasku oleh Rambatan?"
"Setan kau " jawab orang itu dengan suara bergetar oleh
kemarahan yang menghentak dadanya "aku bukan orang
upahan." "Tentu kau orang upahan" jawab Laksana "apapun ujud
upahnya. Mungkin bukan uang. Mungkin kesempatan,
mungkin pujian atau mungkin kau ingin menjadi pahlawan
dan dikagumi kawan-kawanmu."
"Cukup. Kau yang hanya dua orang itu akan berbual
apa, he" Jika kalian mempersulit diri, maka nasib kalian
akan semakin buruk. Lebih buruk lagi jika kami nanti
datang kerumahmu untuk mengambil adikmu itu. Karena
itu, sebaiknya kalian dengar dan lakukan perintah kami."
"Melakukan perintahmu untuk memukuli diri sendiri"
bertanya Laksana.
"Satu pendapat yang bagus" berkata orang yang tinggi
kekurus-kurusan itu.
Manggada dan Laksana termangu-mangu sejenak.
Sambil tersenyum orang itu berkata "Kami ingin melihat
kalian berdua berkelahi. Kalian harus bersungguh-sungguh
sehingga salah seorang diantara kalian tidak dapat bangkit
lagi. Nah. yang menang akan kami maafkan. Yang kalah,
akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi."
Tetapi Laksana tersenyum. Katanya "Bagaimana jika
kalian saja yang berkelahi" Yang menang akan aku
maafkan." Wajah orang itu menjadi merah. Sambil berpaling
kepada Rambatan ia berkata "Rambatan. Aku sependapat


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kau, bahwa kedua-duanya harus mendapat
pelajaran yang setimpal dengan kesombongannya. Mereka
telah berpihak kepada orang yang dengan sengaja
melawanmu. Nah, sekarang kau pantas memberikan
hukuman kepada mereka.
"Jangan menunggu lagi" berkata Rambatan "aku sudah
tidak sabar."
"Marilah" berkata orang yang kekurus-kurusan itu "kita
sebagaimana aku katakan, akan memukuli mereka sampai
mereka tidak dapat bangkit lagi."
Adalah tidak diduga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja
Laksana justru telah meloncat menyerang orang yang
kekurus-kurusan itu. la menganggap bahwa orang itu
adalah orang yang paling diandalkan diantara sekelompok
orang yang dipimpin oleh Rambatan itu.
Serangan yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan orang
yang tinggi agak kekurus-kurusan itu. Karena itu, maka ia
tidak sempat menghindar. Yang dapat dilakukan adalah
berusaha melindungi dadanya yang menjadi sasaran
serangan kaki Laksana dengan tangannya.
Serangan Laksana demikian kerasnya didorong oleh
segenap kekuatannya. Kakinya yang terjulur itu telah
menghantam tangan orang yang kekurus-kurusan yang
bersilang didadanya. Demikian kerasnya serangan itu,
sehingga dorongan kekuatannya yang menghentak pada
tangan yang bersilang itu telah menekan dadanya pula.
Orang itupun telah terdorong beberapa langkah surut.
Bahkan iapun telah kehilangan keseimbangannya, sehingga
terhuyung-huyung menimpa beberapa orang yang berdiri di-
belakangnya. Namun dengan demikian orang itu tidak jatuh terlentang
di halaman banjar itu.
Dengan sigapnya orang itu segera memperbaiki
keseimbangannya yang goyah. Sejenak kemudian ia sudah
berdiri tegak sambil mengumpat. Namun kemudian
mulutnya harus menyeringai menahan sakit. Dadanya
serasa menjadi sesak. Sedangkan tulang-tulang iganya
bagaikan menjadi retak.
"Setan yang licik" geram orang itu.
Tetapi Laksana tidak mau mendengarnya. Iapun dengari
cepat telah menyerang pula.
Rambatan juga terkejut melihat serangan Laksana. Ia
tidak menduga sama sekali, bahwa Laksana itu mampu
bergerak demikian cepatnya. Dengan mendorong kawannya
yang bertubuh kekurus-kurusan itu sehingga kehilangan
keseimbangannya.
Karena itu, maka dengan cepat Rambatan mempersiapkan diri. Ia adalah anak muda yang ditakuti
oleh seisi padu-kuhan itu. Karena itu, maka iapun dapat
bersikap garang pula.
Tetapi Manggada dengan cepat mendapatkannya sambil
berkata "Jangan campuri persoalan mereka."
"Iblis kau. Ternyata kalian tidak tahu diri. Kalian harus
menyadari dengan siapa kalian berhadapan."
"Aku tahu. Aku berhadapan dengan Rambatan" jawab
Manggada. "Dan kau tahu siapa Rambatan itu?" bertanya Rambatan
itu lagi. "Tentu. Kau adalah anak muda yang disegani dipadu-
kuhan ini. Sehingga kau seakan-akan dapat berbuat apa saja
menurut kehendakmu sendiri."
"Nah, jika demikian, kenapa kau berani menentang
aku?" "Karena aku bukan orang padukuhan ini" jawab
Manggada "aku datang kepadukuhah ini hanya sekedar
untuk menengok kakekku. Karena itu, maka aku tidak
terikat oleh keadaan yang berlaku di padukuhan ini. Juga
keseganan anak-anak muda padukuhan ini terhadapmu."
"Kau akan menyesal anak sombong. Apalagi jika mau
tahu, siapakah kawanku itu." geram Rambatan.
"Siapa?" bertanya Manggada.
"Ia datang dari jauh. Ia datang untuk menolongku dari
penghinaan orang seperti yang kau sebut Darpati itu. Dan
apalagi kau berdua. Malam ini kami akan membuat kalian
jera. Besok atau lusa kami akan menghancurkan Darpati."
"Siapakah orang itu?" desak Manggada.
"Kau tidak perlu tahu lebih banyak. Tetapi ia seolah-olah
datang dari langit."
Manggada termangu mangu sejenak. Ia sempat melihat
bagaimana Laksana bertempur melawan orang yang
bertubuh kekurus-kurusan itu.
Rambatan yang juga berpaling kepada kawannya yang
kekurus-kurusan itu, sempat terkejut. Laksana telah
mendesaknya sehingga beberapa kali orang itu berloncatan
surut. Namun Rambatanpun kemudian membentak kawan-
kawannya yang seperti kebingungan menyaksikan pertempuran itu "He, kenapa kau menjadi seperti patung."
Seorang kawannya menjawab "Bukankah orang itu tidak
mau diganggu jika ia sudah mulai bertempur?"
"Persetan. Sekarang, hancurkan yang satu ini." perintah
Rambatan. Kawan-kawan Rambatan itupun segera bergerak.
Namun seperti Laksana, maka Manggadapun tidak mau
terlambat. Dengan cepat ia menyerang seorang yang ingin
menunjukkan keberaniannya, maju terlalu dekat dengan
Manggada. Serangan Manggadapun tidak tanggung-tanggung pula.
Begitu cepat dan langsung kesasaran. Dengan dilandasi
kekuatannya yang besar, maka kakinya yang telah terlatih
itu terjulur langsung menikam arah ulu hati.
Anak muda yang dikenai serangan itu mengaduh.
Tubuhnyapun kemudian terbanting jatuh terguling ditanah.
Namun iapun kemudian telah berguling-guling sambil
memegangi arah ulu hatinya yang bagaikan terkoyak itu.
Rambatan yang marahpun menerkamnya. Rasa-rasanya
ia ingin meremas leher Manggada yang telah melumpuhkannya seorang kawannya.
Tetapi Manggada yang terlatih itu tidak mudah untuk
disentuhnya. Karena itu, maka tangannya sama sekali tidak
mengenai sasaran.
Sementara itu Manggadapun telah berloncatan diantara
beberapa orang lawannya. Kakinya yang terayun mendatar
telah menyambar seorang lagi diantara kawan-kawan
Rambatan. Orang itu masih berusaha menahan ayunan kaki
Manggada dengan tangannya. Tetapi ayunan kaki itu
demikian kerasnya, sehingga tangan orang itu justru
bagaikan dihentakkan dengan sangat kerasnya sehingga
tulangnya serasa menjadi retak.
Orang itu mengaduh tertahan. Iapun meloncat beberapa
langkah surut sambil memegangi sebelah tangannya dengan
tangannya yang lain.
Rambatan memang menjadi semakin marah. Tetapi
Manggadapun tidak ingin bertempur terlalu lama. iapun
segera berloncatan. Kaki dan tangannya menyambar-
nyambar seperti burung sikatan. Kawan-kawan Rambatanpun seakan-akan telah kehilangan kesempatan
melawan. Ketika mereka melawan Darpati, mereka tidak tahu apa yang terjadi atas
diri mereka. Yang mereka
ketahui adalah, bahwa mereka
telah terlempar dan kesakitan.
Namun melawan Manggada
mereka juga tidak mempunyai
kesempatan untuk membalas
serangan-serangan yang datang
beruntun. Bahkan Rambatanpun kemudian menjadi
bingung ketika kedua tangan Manggada telah mengenai
kedua sisi pelipisnya hampir bersamaan.
Sementara itu, Laksana masih bertempur melawan orang
yang kekurus-kurusan itu. Ternyata bahwa orang itu juga
memiliki bekal kemampuan yang cukup. Karena itu, maka
Laksana harus mengerahkan
kemampuannya untuk
mengatasinya. Beruntunglah Laksana bahwa ia telah menyerang lebih
dahulu, sehingga setiap kali orang itu harus memegangi
dadanya yang menjadi sakit serta nafasnbya yang sesak,
sehingga bagaimanapun juga dapat mengganggu kemantapannya bertempur.
Namun Laksana telah ditempa selain oleh ayahnya, juga
kesempatannya untuk meningkatkan ilmunya dalam
bimbingan Ki Ajar Pangukan. Karena itu, meskipun
lawannya juga berbekal ilmu, namun Laksana sama sekali
tidak tergetar karenanya. Bahkan semakin lama semakin
nampak bahwa Laksana memiliki kelebihan dari lawannya
itu. Dalam pada itu, Ramnbatan memang mengalami
kesulitan pula menghadapi Manggada. Bersama kawan-
kawannya ia telah menjadi semakin terdesak. Dua orang
kawannya telah menjadi kesakitan. Kemudian Rambatan
telah beberapa kali dikenai oleh serangan-serangan
Manggada. Kemampuannya mulai disengat oleh perasaan
nyeri. Bahkan kemudian bahu-nyapun telah kesakitan pula.
Sedangkan serangan-serangan Manggada semakin lama
justru menjadi semakin cepat.
Meskipun tidak segarang Darpati, namun Manggada
ternyata memang tidak mudah dikuasai oleh Rambatan dan
kawan-kawannya, bahkan seorang lagi telah terlempar dari
perkelahian itu dan terdorong jatuh menimpa sebatang
pohon di halaman banjar lama itu. Sehingga kepalanya
menjadi sangat pening.
Ketika ia mencoba untuk bangkit ternyata halaman
banjar itu rasa-rasanya menjadi berputar. Karena itu, maka
o-rang itupun telah menjatuhkan dirinya dan duduk sambil
menyembunyikan wajahnya dibelakang kedua tangannya.
Namun bumi tempat ia duduk itupun rasa-rasanya masih
saja berputar. Rambatan menjadi semakin marah. Tetapi ia harus
melihat kenyataan. Kawan-kawannya menjadi semakin
berkurang. Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan, yang
diharapkannya akan dapat menyelesaikan persoalan,
ternyata juga mengalami kesulitan melawan Laksana.
Orang yang kekurus-kurusan itu mengumpat sejadi-
jadinya ketika ia terlempar beberapa langkah surut karena
kaki Laksana telah menghantam dada orang itu.
Sambil menggeram orang itu telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Namun Laksanapun telah meningkatkan
ilmunya pula. Ketika orang kekurus-kurusan itu mencoba
untuk menembus pertahanan Laksana dengan serangan
tangannya yang terayun mendatar kearah kening, maka
Laksana sempat merendahkan dirinya. Dengan cepat
tangannya terjulur lurus dengan jari-jari telapak tangannya
yang merapat, keempat jari-jari tangannya itu justru sempat
menyusup dibawah ayunan tangan lawannya langsung
mengenai lambungnya.
Orang itu menyeringai menahan sakit sambil meloncat
surut. Namun kemudian sambil mengerahkan segenap
tenaganya, dengan cepat orang itu melontarkan serangan
kaki yang meluncur mengarah kedada Laksana.
Tetapi Laksana memang lebih mapan. Demikian
serangan itu datang, Laksana dengan cepat menjatuhkan
dirinya. Kedua kakinya sempat terbuka dan bagaikan
menyuruk menjepit kaki lawannya yang satu lagi.
Demikian Laksana memutar tubuhnya, maka lawannya itu
bagaikan dihentakkan jatuh kesamping.
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu tidak menahan
dirinya, karena ia sadar, bahwa hal itu tidak mungkin
dilakukan. Jepitan dan putaran kaki Laksana terlalu kuat
untuk ditahan. Karena itu, maka ia justru menjatuhkan
dirinya dan berusaha untuk berguling beberapa kali sambil
melepaskan jepitan kaki Laksana.
Dengan tangkasnya orang itu melenting berdiri. Namun
ternyata Laksana bergerak lebih cepat. Demikian orang itu
berdiri, maka tangan Laksana telah terjulur menyambar
dagunya. Pukulan itu

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah menghentakkannya
sehingga kepalanya terangkat. Dengan cepat serangan berikutnya
telah menyusul pula. Tangan Laksana telah menghantam
perut lawannya yang kekurus-kurusan itu sesaat kepalanya
terangkat. Pukulan Laksana itu menjadi demikian kerasnya
sehingga orang itu terbungkuk kesakitan.
Tetapi ternyata bahwa orang itu memiliki tubuh yang
liat. Demikian Laksana mengayunkan
sisi telapak tangannya kearah tengkuknya saat ia membungkuk,
ternyata orang itu sempat membentur tubuh Laksana
dengan kepalanya. Demikian kerasnya sehingga keduanya
jatuh berguling.
Namun orang itu luput dari serangan Laksana yang
hampir saja mengakhiri perkelahian itu.
Sejenak kemudian, keduanyapun telah bangkit berdiri
dan bersiap untuk melanjutkan perkelahian, meskipun
orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu masih harus
menyeringai menahan sakit diperutnya.
Laksana yang meskipun tidak sedang kesakitan
termangu-mangu sejenak. Ternyata lawannya memiliki
daya tahan yang luar biasa. Meskipun ia mendapat
kesempatan lebih banyak untuk mengenainya, tetapi
lawannya itu masih dapat bertahan dan melawannya
dengan kekuatannya yang masih saja tidak menyusut.
Karena itu, maka Laksana menjadi lebih berhati-hati.
Orang itu tentu memiliki sesuatu yang dapat dibanggakannya.
Namun dalam pada itu, Rambatan dan kawan-kawannya
menjadi semakin lama semakin tidak berdaya melawan
Manggada. Seorang demi seorang mereka terlempar dari
arena, sehingga disaat terakhir Rambatanpun telah
terdorong beberapa langkah surut. Ia masih sempat
bertahan agar tidak terbanting jatuh, namun serangan
Manggada berikutnya telah menghantam dadanya. Demikian kerasnya sehingga Rambatan tidak lagi mampu
bertahan. Ketika ia terbanting jatuh, ia masih sempat
melihat dedaunan yang menjadi kehitaman di-malam yang
semakin gelap itu berputar. Namun kemudian Rambatan
itu menjadi pingsan.
Ketika Rambatan kemudian kehilangan kesadarannya,
Manggada telah meninggalkannya. Seperti Laksana, maka
Manggadapun berkesimpulan bahwa orang yang bertubuh
kekurus-kurusan itu ternyata memiliki ketahanan tubuh
yang sangat tinggi. Meskipun serangan Laksana semakin
banyak mengenai tubuhnya dan bahkan menyakitinya,
namun beberapa saat kemudian, perasaan sakit itu seakan-
akan telah diatasinya.
Beberapa kali orang itu menahan desah kesakitan.
Beberapa kali ia harus menyeringai jika serangan Laksana
mengenainya. Bahkan orang itu nampaknya selalu terdesak
dan tidak mempunyai kesempatan untuk membalas
serangan-serangan Laksana yang datang beruntun. Tetapi
untuk waktu yang lama Laksana masih saja belum dapat
mengalahkan orang itu.
Ketika kekuatan dan tenaga Laksana sudah terasa mulai
menyusut karena ia harus mengerahkan tenaganya, ternyata
bahwa lawannya itu masih saja tegar dan liat.
Karena itulah, maka Manggada merasa perlu untuk
segera melibatkan diri. Sesuatu yang aneh pada lawannya
itu, membuat Manggada meragukan, apakah Laksana akan
dapat memenangkan pertempuran itu.
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu memang
menjadi gelisah ketika ia melihat Rambatan dan kawan-
kawannya menjadi tidak berdaya sama sekali. Bahkan
Rambatan sendiri telah menjadi pingsan. Ia sudah
menduga, bahwa anak muda yang seorang lagi tentu akan
ikut berkelahi melawannya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka orang itu harus
bertempur melawan Laksana dan Manggada. Dua orang
anak muda yang telah memiliki dasar-dasar kemampuan
olah kanuragan.
Ternyata orang yang kekurus-kurusan itu memang
menjadi semakin sulit. Tetapi semakin lama tubuhnya
seakan-akan menjadi semakin liat. Sekali-sekali orang itu
mengaduh dan menyeringai menahan sakit. Namun
kemudian ia telah bertempur lagi dengan garangnya.
Bahkan sekali-sekali orang itu dengan sengaja telah
membentur serangan Manggada atau Laksana. Meskipun
orang itu terlempar dan terguling, jatuh, namun iapun cepat
bangkit dan bersiap melanjutkan pertempuran. Sesaat ia
masih terdengar mengeluh atau mengurut pinggangnya
yang kesakitan. Namun setelah ia berloncatan lagi, maka
perasaan sakit itu rasa-rasanya telah hilang. Orang yang
kekusus-kurusan itu telah melupakan perasaan sakitnya
yang terdahulu ketika serangan Manggada dan Laksana
yang kemudian mengenainya lagi.
Namun bagaimanapun juga, melawan kedua orang anak
muda yang mempunyai landasan ilmu yang semakin mapan
itupun memang terlalu berat baginya. Betapapun ia
memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi, tetapi
serangan kedua orang anak muda itu menjadi semakin
sering mengenainya.
Seperti Manggada dan Laksana yang menjadi heran
karena lawan mereka yang memiliki daya tahan tubuh yang
sangat tinggi itu, maka orang yang kekurus-kurusan itupun
merasa heran, bahwa tenaga dan kemampuan kedua anak
muda itu juga tidak segera terasa menyusut.
Meskipun sebenarnya Laksana sudah mulai merasa
bahwa kekuatannya tidak lagi sesegar saat ia mulai
bertempur dan bahkan sebenarnya sudah mulai menyusut,
namun ketika Manggada kemudian bertempur bersamanya,
maka Laksana masih dapat menghentakkan tenaganya
sehingga rasa-rasanya kekuatannya masih utuh.
Dengan demikian maka orang yang bertubuh kekurus-
kurusan itu harus menyadari kenyataan yang dihadapinya.
Bagaimanapun juga, agaknya terlalu berat baginya untuk
melawan kedua orang anak muda itu.
Karena itu, maka orang yang bertubuh tinggi kekurus-
kurusan itu tidak ingin memaksa diri melawan kedua orang
anak muda yang sebelumnya disangka tidak akan dapat
melawannya bersama dengan Rambatan dan kawan-
kawannya. Rambatan dan kawan-kawannya diharap dapat
menguasai seorang diantara kedua orang anak muda itu.
Kemudian o-rang yang bertubuh kekurus-kurusan itu akan
menguasai seorang yang lain. Namun ternyata Rambatan
dan kawan-kawannya menjadi tidak berdaya.
Karena itu, maka orang itupun telah mengambil satu
keputusan untuk meninggalkan perkelahian itu. Ia merasa
bahwa ia tidak akan berhasil, sementara itu, persoalannya
justru akan dapat mengembang seandainya kedua orang itu
kemudian dapat menguasainya.
Maka ketika ia kemudian mendapat kesempatan, orang
yang bertubuh kekurus-kurusan
itu telah mempergunakannya sebaik-baiknya.
Dengan cepat orang itupun segera meloncat kedalam
gelap. Ketika itu melenting hinggap diatas dinding halaman
banjar tua itu. Kemudian dengan cepat meluncur seperti
terbang, turun dalam bayangan pepohonan diluar dinding
banjar. Manggada dan Laksana memang mengejarnya. Tetapi
ketika keduanya meloncat turun pula diluar dinding
halaman, mereka seakan-akan telah kehilangan jejak. Orang
yang ber-tubuh kekurus-kurusan itu sudah tidak nampak
lagi. Manggada dan Laksana saling berpandangan sejenak.
Namun kemudian keduanya telah meloncati dinding itu
dan kembali memasuki halaman banjar. Dihalaman itu
masih terbaring Rambatan yang pingsan serta beberapa
orang yang kesakitan.
Ketika Manggada dan Laksana mendekati Rambatan
yang masih terbaring, ternyata ia sudah mulai menyadari
keadaannya. Perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Diba-
wah cahaya lampu minyak dipendapa banjar yang berkere
dipan ditiup angin, Rambatan nampak menahan sakit ditu
buhnya. "Rambatan" Laksana mengguncang tubuh yang mu lai
bergerak itu. Wajah Rambatan justru menjadi pucat, ketika ia melihat
Laksana berdiri disebelahnya.
"Bangun" perintah Laksana "cepat. Aku ingin bicara."
Rambatan memang menjadi ketakutan. Apalagi ketika ia
melihat Manggada yang menatapnya dengan tajamnya.
Bahkan Manggada itupun
kemudian berkata pula "Bangunlah. Kita akan berbicara atau kita harus berkelahi
lagi." "Tidak. Aku tidak ingin berkelahi lagi" jawab Rambatan
yang menjadi ketakutan.
"Bagus" jawab Manggada "jika demikian, marilah. Kita
akan naik kependapa. Kita akan berbicara."
"Apa yang akan kita bicarakan?" bertanya Rambatan.
"Apa saja. Kau harus menjawab pertanyaan- pertanyaanku." jawab Laksana.
"Apa yang akan kau tanyakan?" bertanya Rambatan
pula. "Sekarang ikut naik atau- kita akan berkelahi. Kami
berdua, kau seorang diri, karena kawan-kawanmu masih
kesakitan."
Rambatan sempat memandang berkeliling. Kawan-
kawannya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa.
Meskipun mereka sudah duduk, tetapi mereka rasa-rasanya
sulit untuk bangkit berdiri.
Rambatanpun kemudian duduk pula. Bahkan kemudian
dengan susah payah iapun bangkit berdiri tertatih-tatih.
Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun ia memaksa
diri untuk naik kependapa. Ternyata kedua orang anak
muda itu bukan anak muda kebanyakan sebagaimana anak-
anak muda padukuhan itu.
Ketika mereka sudah duduk dipendapa, maka Manggada
dan Laksana yang duduk disebelah menyebelahnya mulai
mengajukan beberapa pertanyaan.
Dengan suara bergetar Rambatan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan Manggada dan Laksana.
"Aku tidak percaya jika kau belum mengenal orang itu
tadi sebelumnya" geram Laksana.
"Benar. Aku belum mengenalnya" jawab Rambatan.
"Jika ia belum mengenalmu, kenapa ia bersedia
membantumu?" desak Manggada.
"Ia datang kepadaku dan menawarkan bantuannya"
jawab Rambatan. Wajahnya menjadi semakin pucat,
sedangkan keringat dingin membasahi punggungnya.
"Kau jangan berbohong" geram Manggada "kau tahu
bahwa aku dapat memilin lehermu" Kawan-kawanmu tidak
akan berani membantumu sementara orang yang kau
anggap akan dapat menyelesaikan dendammu itu sudah
melarikan diri."
Wajah Rambatan menjadi semakin pucat. Dengan suara
yang terbata-bata Rambatan menjawab "Aku tidak
berbohong. Aku berkata sebenarnya."
"Jika demikian, ceriterakan kepadaku, bagaimana terjadi,
bahwa orang itu bersedia membantumu sehingga kau bawa
orang itu kemari." desak Laksana.
Rambatan memang menjadi sangat ragu-ragu. Tetapi
ketika Laksana memegang pergelangan tangannya, maka
Rambatan yang disegani oleh orang-orang sepadukuhan itu
terpaksa berceritera tentang orang yang kekurus-kurusan
itu. "Tanpa aku ketahui asal-usulnya, maka ia datang
kepadaku. Begitu tiba-tiba. Ia menawarkan jasa baiknya jika
aku ingin membalas dendam. Aku sudah mengatakan
kepadanya, bahwa aku mendendam kepada Darpati. Tetapi
orang itu justru menunjuk kalian berdua merupakan bagian
dari sasaran dendamku. Sementara itu, aku tidak akan
dapat mencari dimana Darpati tinggal." berkata Rambatan.
"Apakah orang itu mengenal Darpati" Apakah ia tahu
apa yang telah terjadi di bulak saat kau mencegat Winih"
Apa pula yang diketahuinya tentang kami berdua?"
bertanya Manggada.
"Tidak banyak yang diketahuinya selain bahwa kalian
harus mendapat sedikit peringatan atas tingkah laku
kalian." jawab Rambatan.
"Tingkah laku yang mana?" desak Laksana.
"Orang itu tidak mengatakannya." jawab Rambatan.
"Dan kau lakukan apa yang dikatakannya seperti korban


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dicocok hidung?" bertanya Manggada.
"Bukan maksudku " jawab Rambatan.
"Omong kosong. Kau memang mempunyai kebiasaan
buruk. Kau mempunyai kesenangan berkelahi dan
menyakiti hati orang lain. Menyakiti tubuhnya, tetapi juga
menyakiti hatinya." geram Laksana yang kemudian
mengguncang tubuh Rambatan sambil berkata selanjutnya
"Katakan, siapa nama orang itu?"
Rambatan menjadi semakin ketakutan. Tetapi kemudian
ia memberanikan diri untuk menjawab "Aku tidak tahu."
"Setan kau" Laksana menjadi marah "lalu apa yang kau
ketahui, he" Apakah aku harus mencekikmu?"
"Benar, aku tidak tahu namanya" bukan hanya suara
Rambatan yang bergetar. Tetapi tubuhnya juga mulai
gemetar. "Jadi kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang orang
itu atau demikian pandainya kau berbohong?" bentak
Laksana. "Aku benar-abenar tidak tahu." jawab Rambatan hampir
menangis karena ketakutan.
Laksana yang menahan kemarahannya itu menggeram
"Kau tahu bahwa apa yang kau katakan itu tidak masuk
akal?" "Tetapi sebenarnyalah demikian yang terjadi. Aku dan
kawan-kawanku tidak mengenal orang itu. Ia datang dan
menawarkan diri untuk membantuku. Itu saja." suara
Rambatan menjadi hampir tidak terdengar.
"Dan kau tidak bertanya lebih lanjut?" Laksana mulai
mengguncang tubuh Rambatan dengan memegang bajunya.
Rambatan semakin gemetar dan ketakutan. Justru karena
itu, maka ia tidak mampu lagi berkata sesuatu.
Dalam, papda itu, tiba-tiba saja terdengar suara Kiai
Gumrah yang memasuki regol halaman banjar tua itu.
Sambil bergegas mendekati Manggada dan Laksana ia
bertanya "Ada apa" Ada apa dengan Rambatan?"
Laksana harus melepaskan pegangannya atas baju
Rambatan. Bahkan iapun telah bergeser surut.
"Apa yang terjadi?" bertanya Kiai Gumrah.
"Katakan apa yang terjadi kepada kakek" geram
Laksana. "Apa yang terjadi Rambatan?" bertanya Kiai Gumrah
"aku minta maaf, jika kedua cucuku telah mengganggumu."
"Kek" berkata Laksana "aku tidak ingin terus-menerus
menyembunyikan diri. Dalam keadaan seperti ini aku tidak
dapat berbuat lain kecuali melawan."
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Rambatan telah diminta untuk menceriterakan apa yang
telah terjadi di banjar tua itu.
Dengan singkat Rambatan telah menceriterakan apa
yang telah terjadi. Iapun menceriterakan tentang orang
yang bertubuh kekurus-kurusan yang sebenarnya sama
sekali tidak dikenalnya itu.
"Apakah kita dapat percaya dengan ceritera itu kek?"
bertanya Laksana.
Tetapi Kiai Gumrah mengangguk kecil sambil menjawab
"Aku percaya kepadanya. Ia telah berceritera apa
adanya." Wajah Manggada dan Laksana memang menjadi tegang
sejenak. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kiai
Gumrah justru percaya kepada Rambatan.
Bahkan kemudian Kiai Gumrah itu berkata "Sudahlah
Rambatan. Pulangkan. Ajak kawan-kawanmu. Sebenarnya
kau tidak terlibat dalam persoalan ini."
Rambatan mengangguk-angguk sambil berkata "Terima
kasih Kiai. Terima kasih."
Manggada dan Laksana tidak mengatakan sesuatu.
Mereka memandang Rambatan dengan tajamnya. Sementara itu Kiai Gumrah telah mengulanginya lagi
"Pulanglah. Ajak kawan-kawanmu."
Rambatanpun mulai beringsut. Meskipun-tubuhnya
terasa sakit dipunggung, pinggang, kening dan bahkan
dimana-mana, namun bahwa ia diperkenankan pulang telah
membuat hatinya sedikit lapang.
Namun ketika Rambatan itu mulai menyeret kakinya
turun pendapa banjar tua itu, tiba-tiba saja beberapa orang
telah memasuki halaman banjar itu. Diantara mereka
terdapat Ki Bekel.
Belum lagi berhenti melangkah, Ki Bekel sudah berteriak
"He, apa yang kalian lakukan terhadap anak-anak
padukuhanku?"
Kiai Gumrahpun kemudian melangkah turun pula
diikuti oleh Manggada dan Laksana. Dengan nada rendah
Kiai Gumrah bertanya "Apakah yang
Ki Bekel maksudkan?"
Ki Bekel dan beberapa orang yang datang bersamanya,
diantara mereka adalah bebahu padukuhan itu, telah
berhenti ditengah-tengah halaman. Sekali lagi ia bertanya
"Apa yang kalian lakukan disini?"
"Aku baru saja datang Ki Bekel." jawab Kiai Gumrah.
"Aku bertanya kepada cucu-cucumu itu. Mereka bukan
anak padukuhan ini. Mereka orang asing bagi kami. Tetapi
mereka sudah berani menyakiti anak-anakku. Betapa
nakalnya Rambatan, tetapi ia tetap anakku. Mungkin aku
memang harus mengajarinya untuk berlaku lebih baik.
Tetapi aku tidak senang jika orang lain menyakitinya seperti
itu. Beberapa hari yang lalu, hal yang serupa telah terjadi.
Orang asing telah menyakiti Rambatan. Sekarang cucu-
cucumu Kiai Gumrah."
"Yang terjadi adalah perselisihan diantara anak-anak
muda Ki Bekel." jawab Kiai Gumrah.
"Bukankah kau dapat mengajari cucu-cucumu" Jika ia
datang kepadukuhan ini hanya untuk memamerkan
kemampuannya berkelahi, maka aku tidak akan segan-
segan mengambil tindakan. Bukan hanya terhadap cucu-
cucumu. Tetapi juga terhadapmu. Kau harus ingat, bahwa
kau berada di padukuhan ini karena kami, orang-orang
sepadukuhan ini menaruh belas kasihan kepadamu. Kami
tahu bahwa kau memerlukan pegangan untuk dapat hidup
dan mencukupi kebutuhanmu sehari-hari. Kami sudah
memberikan kesempatan kepadamu untuk dapat hidup
dengan sekedar penghasilan atas tanah yang kami berikan
kepadamu disebelah banjar itu dengan memberimu
pekerjaan sebagai penjaga banjar. Ternyata sekarang kau
telah mensia-siakan kebaikan hati kami dengan membiarkan cucu-cucumu menyakiti anak-anak padukuhan
ini." "Aku mohon maaf Ki Bekel. Aku akan berusaha sebaik-
baiknya untuk mencegah hal seperti ini terjadi." berkata
Kiai Gumrah. "Kali ini aku masih memaafkan cucu-cucumu. Tetapi
lain kali tidak. Jika terjadi lagi hal seperti ini, aku akan
mengusir mereka dari padukuhan ini. Jika perlu, maka kau-
pun akan dapat kami usir dari padukuhan ini." berkata Ki
Bekel. "Aku mengerti Ki Bekel. Aku akan berbuat sebaik-
baiknya agar cucu-cucuku tidak melakukannya lagi."
Ki Bekel itupun kemudian berpaling kepada Rambatan
sambil berkata "Marilah. Ikut aku. Kau dapat pulang
kerumahmu. Demikian pula kawan-kawanmu itu."
Ki Bekel tidak lagi mengatakan kepada Kiai Gumrah.
Iapun kemudian mengajak Rambatan dan kawan-kawannya
pulang. Namun mereka sempat melihat bekas-bekas
perkelahian itu pada Rambatan dan kawan-kawannya yang
masih saja merasa kesakitan.
Demikian Ki Bekel dan orang-orang yang datang
bersamanya itu meninggalkan regol halaman banjar, maka
Manggadapun segera berkata kepada Kiai Gumrah "Kami
mohon maaf kek. Kami tidak ingin menyulitkan kakek."
Kiai Gumrah tersenyum. Katanya "Aku mengerti apa
yang kalian lakukan. Aku melihat semuanya. Karena itu
maka kalian tidak bersalah. Agaknya kalian telah merasa
jemu untuk terus-menerus berpura-pura. Bukan saja kalian,
tetapi ternyata akupun menjadi jemu. Jika tidak ada Kiai
Windu Kusuma serta orang yang disebut Panembahan itu,
maka aku kira aku masih dapat hidup tenang tanpa terusik.
Namun ternyata bahwa telah tiba waktunya, perubahan-
perubahan sikap dan tingkah-laku harus terjadi. Sebenarnyalah bahwa karena itu, maka akupun sudah
menjadi jemu untuk berpura-pura. Apalagi menghadapi
Kiai Windu Kusuma."
Manggada dan Laksana itupun mengangguk-angguk.
Dengan nada datar Laksana bertanya "Apakah sikap Ki
Bekel itu wajar, kek?"
Kiai Gumrah tertawa. Katanya "Tidak. Aku menganggap sikap itu sama sekali tidak wajar."
"Jadi apakah ada hubungannya dengan laki-laki yang
kekurus-kurusan itu?" bertanya Manggada.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Semakin lama persoalan yang terjadi disekeliling kita
memang menjadi semakin rumit. Karena itu, maka kita
harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Jika
selama ini kami selalu berpura-pura, kami anggap bahwa
cara itu adalah cara yang paling baik untuk menyembunyikan beberapa benda pusaka yang agaknya
memang telah mengundang persoalan."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Sementara
Kiai Gumrah berkata selanjutnya "Kehadiran Prawara
adalah salah satu diantara banyak hal yang akan kami
lakukan untuk meninggalkan sikap kepura-puraan ini. Kami
memang sedang menghubungkan persoalan yang kita
hadapi sekarang serta kehadiran Kiai Windu Kusuma
dengan musuh bebuyutan perguruan kami."
Manggada dan Laksana mengangguk-angguk. Ternyata
yang mereka ketahui tentang Kiai Gumrah baru sebagian
kecil saja dari seluruh persoalannya. Tentang pusaka-
pusaka itu. Tentang orang-orang tua pembuat gula kelapa.
Kemudian tentang perguruannya dan musuh bebuyutan
dari perguruannya itu dalam hubungannya dengan Kiai
Windu Kusuma dan orang yang disebut Panembahan itu.
Namun yang juga sangat menarik baginya adalah kehadiran
sepasang harimau yang menurut dugaan Manggada dan
Laksana adalah harimau peliharaan milik Ki Pandi, orang
bongkok yang berilmu sangat tinggi itu.
Namun dalam itu, Kiai Gumrahpun berkata "Tetapi
marilah, kita pulang saja. Kita akan berbicara dirumah
dengan Prawara. Kita dapat mendengar pendapatnya."
Manggada dan Laksanapun kemudian mengikuti Kiai
Gumrah meninggalkan banjar tua itu. Sehingga dengan
demikian maka banjar itu menjadi lengang. Lampu minyak
yang menyala dipendapa dan dibeberapa ruang penting di
banjar itu, masih mengedipkan sinarnya yang kekuning-
kuningan. Dirumah, Kiai Gumrah telah menceriterakan apa yang
terjadi di banjar kepada anak dan menantunya. Ki Prawara
yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh itupun
kemudian berkata "Peristiwa ini justru penting ayah."
"Ya." jawab ayahnya "Nah, siapakah orang yang disebut
kekurus-kurusan oleh Manggada dan Laksana itu?"
"Tentu ada hubungannya dengan Darpati. Demikian
pula tindakan yang telah diambil oleh Ki Bekel yang
sebelumnya tidak banyak berbuat sesuatu terhadap
Rambatan dan bahkan nampaknya ada keseganan untuk
menanganinya. Justru tiba-tiba saja ia berusaha melindunginya dan bersikap memusuhi manggada dan
Laksana, meskipun persoalan itu bermula dari tindakan
Darpati." berkata Kiai Gumrah.
"Tentu ada orang yang mulai menghasut" berkata K
Prawara. Tiba-tiba saja Nyi Prawara menyela "Kesempatan yang
baik untuk berbicara dengan Winih."
Ki Prawara mengangguk-angguk. Katanya "Ya. Kita
akan berbicara dengan Winih."
Nyi Prawaralah yang kemudian bangkit
untuk

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggil Winih. Ketika ia memasuki bilik Winih yang
sempit, maka dilihatnya gadis itu berbaring menengadahkan
wajahnya memandang langit-langit. Lampu minyak yang
redup menerangi bilik kecil itu.
Nyi Prawarapun kemudian duduk dibibir amben.
Dengan nada keibuan ia berkata "Winih. Ayah dan kakek
memanggilmu."
"Aku sudah mengantuk ibu." desis Winih.
"Hanya sebentar saja Winih" berkata ibunya.
"Apakah begitu penting sehingga tidak dapat dibicarakan
esok pagi?" bertanya Winih.
Ibunya mengangguk. Katanya "Persoalannya memang
penting. Tetapi ayah dan kakekmu tidak akan berbicara
banyak." "Tentu tentang Darpati" gumam Winih "kenapa ayah
dan kakek meributkan persoalan itu. Curiga dan bahkan
mempunyai prasangka yang sangat buruk, sedangkan orang
itu tidak berbuat apa-apa kecuali menolong aku sampai dua
kali." "Bertanyalah kepada ayah dan kakekmu. Marilah, hari
belum terlalu malam." berkata ibunya.
Winih tidak dapat menolak. Iapun kemudian bangkit
dan membenahi pakaiannya.
Seperti yang direncanakan, maka Kia i Gumrahpun
berkata berterus-terang kepada Winih, tentang kecurigaan
mereka yang semakin tajam terhadap Darpati. Peristiwa
yang terjadi di banjar itu termasuk permainan Darpati
sebagaimana yang terjadi di pancuran sebelumnya.
"Nampaknya Darpati memang ingin menyingkirkan
Manggada dan Laksana."
Winih yang memang sudah menduga tentang apa yang
akan dikatakan kakeknya menundukkan kepalanya. Tetapi
ia masih menyahut "Jika Darpati ingin menyingkirkan
kakang Manggada dan Laksana, karena ia mempunyai
kemampuan untuk melakukannya."
"Belum tentu Winih" jawab kakeknya "Darpati memang
berilmu tinggi. Ilmunya tentu lebih tinggi dari Manggada
dan Laksana. Tetapi jika harus menghadapi mereka berdua,
mungkin Darpati masih harus berpikir ulang. Selebihnya,
jika hal itu dilakukannya sendiri dan kau sempat
mengetahuinya, maka ia tidak akan dapat mengharapkanmu lagi. Meskipun baginya kau hanya salah
satu diantara sekian banyak perempuan yang pernah
singgah dihati iblisnya itu."
"Kakek sudah menghukumnya sebelum dapat membuktikannya." berkata Winih.
"Aku ingin segalanya tidak terlambat. Darpati termasuk
salah seorang diantara mereka yang ingin mendapatkan
pusaka-pusaka itu. Sedangkan ayahmu atau ibumu tentu
mengetahui nilai pusaka-pusaka itu bagi perguruan kami."
Manggada dan Laksana memang agak terkejut mendengar pernyataan itu, sehingga keduanya telah
memperhatikan tanggapan Winih. Namun Winih tidak
terkejut, sehingga Manggada dan Laksana mendapat
kesimpulan bahwa Winih memang sudah mengetahui nilai
dari pusaka-pusaka itu.
Winih tidak menyahut. Tetapi matanya menjadi semakin
redup. Sementara itu, ibunya berkata "Winih. Kami tidak
ingin menyakiti hatimu. Kami hanya ingin menyelamatkan
apa yang masih kita miliki. Kau dan pusaka-pusaka itu."
Winih memandang ibunya sekilas. Namun sambil
menunduk iapun berkata "Kita terlalu mencemaskan
pusaka-pusaka itu. Demikian kita berhati-hati, sehingga kita
menjadi curiga kepada setiap orang yang berhubungan
dengan keluarga kita."
"Bukan begitu Winih. Kita tidak kehilangan penalaran
kita. Jika kita mencurigai Darpati, tentu kita mempunyai
alasan-alasan tertentu. Sebaliknya kau tidak boleh menjadi
silau terhadap ujud lahiriah yang kau hadapi, sehingga kau
kehilangan penalaranmu yang bening."
"Aku sudah cukup dewasa kek. Aku tahu apa yang harus
aku lakukan." jawab Winih.
"Tidak" ayahnyalah yang menyahut "ternyata kau tidak
mampu melihat anak muda yang barangkali di matamu
nampak tampan, baik hati dan bertanggung jawab, tetapi
yang menurut pengamatan kami, ia justru seorang yang
sama sekali tidak menghargai perempuan. Selebihnya, ia
mempunyai maksud yang lebih buruk lagi daripada sekedar
merampas segala milikmu yang paling berharga, karena ia
juga akan merampas pusaka-pusaka itu."
"Itu hanya sebuah prasangka" berkata Winih "kita harus
membuktikannya."
"Tetapi dengar Winih" berkata ayahnya "sejak saat ini, kau tidak boleh lagi pergi keluar halaman rumah ini. Aku
tidak berniat untuk memingitmu sebagaimana gadis-gadis
pingitan. Tetapi kita sedang dalam bahaya. Kita harus
berhati-hati."
Winih memang terkejut. Tetapi ia tidak membantah, ia
sudah menjadi pening sehingga nalarnya tidak lagi dapat
bekerja dengan baik.
Yang terasa kemudian adalah kejengkelan, marah dan
perasaan-perasaan lain yang membuat dadanya menjadi
sakit. "Sudahlah" berkata ayahnya "jika kau akan tidur,
tidurlah. Tetapi jika kau ingin mendengarkan kami
berbincang, duduk sajalah disitu."
Winih tidak menjawab. Tetapi gadis itu segera bangkit
dan tanpa berkata apapun juga ia pergi ke biliknya dan
menjatuhkan dirinya dipembaringannya.
Ibunyalah yang menyusulnya. Masih dengan sikap
seorang- ibu ia berkata "Kami lakukan semuanya itu untuk
kebaikanmu Winih."
Winih tidak menjawab. Tetapi ia telah menyembunyikan
wajah di bantalnya sambil menelungkup.
Lamat-lamat terdengar Winih berdesis "Ayah, kakek dan
ibu tidak adil. Ayah dan kakek menilai kakang Darpati
hanya sekedar mengurai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Sementara itu, uraian yang berdasarkan dugaan-dugaan itu
tidak selalu benar. Tetapi ayah dan kakek dan bahkan ibu
sudah menjatuhkan keputusan untuk menghukum kakang
Darpati." "Sudahlah Winih. Peristiwa yang terjadi beruntun dalam
waktu yang terhitung singkat ini membuat dugaan kami
semakin meyakinkan. Tetapi sudahlah. Sekarang beristirahatlah. Sebaiknya kau memang tidur." berkata
ibunya. Winih tidak menjawab. Sementara itu ibunyapun telah
keluar dari bilik anak gadisnya. Ketika ia melihat
Manggada dan Laksana masih duduk diamben besar
diruang dalam, maka Nyi Prawara itu mendekatinya sambil
berkata "Lihat luka-lukamu."
Manggada dan Laksana telah membuka bajunya.
Ternyata luka Laksana telah mengembun lagi. Darah
setitik-setitik keluar dari lukanya yang sudah diobati oleh
Nyi Prawara. "Marilah, aku ganti obat kalian." berkata Nyi Prawara.
Luka yang sudah hampir dilupakan itu memang mulai
terasa sedikit nyeri. Namun Nyi Prawara segera
mengobatinya. Beberapa saat kemudian, maka Kiai Gumrahpun telah
menyuruh Manggada dan Laksana untuk beristirahat.
Sementara itu bersama Ki Prawara, keduanya justru pergi
keluar Kepada Nyi Prawara suaminya berkata "Aku akan
berada diluar. Udara terasa panas malam ini."
"Berhati-hatilah kakang" pesan Nyi Prawara. Suaminya
tersenyum. Katanya "Dalam keadaan seperti ini, kami
selalu berhati-hati Nyi."
Ketika keduanya telah berada diluar dan menutup pintu
butulan, maka Nyi Prawarapun telah pergi ke bilik Winih.
"Aku temani kau tidur" berkata Nyi Prawara "aku tahu,
bahwa kau tidak mudah untuk tidur malam ini."
Winih memang tidak menjawab. Tetapi iapun beringut
dan memberi tempat kepada ibunya di pembaringannya
yang tidak begitu luas itu.
Diluar, Ki Prawara duduk di bebatur samping rumah,
sedangkan Kiai Gumrah berjalan saja hilir mudik. Seakan-
akan kepada diri sendiri Kiai Gumrah itu berkata "Sudah
larut malam, tetapi orang itu masih belum datang."
"Mungkin malam ini. Tetapi mungkin juga besok
malam, ayah" jawab Ki Prawara.
"Aku harap ia datang, berhasil atau tidak berhasil"
berkata Kiai Gumrah.
Ki Prawa ra tidak menjawab. Sambil bersandar dinding ia
memandangi pepohonan yang menjadi kehitam-hitaman di
gelapnya malam.
Namun keduanyapun telah bergeser dan duduk
diserambi depan rumah Kiai Gumrah.
Jalan didepan rumah Kiai Gumrah itu sudah sepi. Tidak
seorangpun yang lewat di malam yang kelam. Dikejauhan
terdengar suara kentongan yang mengisyaratkan, bahwa
malam sudah sampai kepertengahannya.
"Malam berjalan begitu cepatnya" berkata Kiai Gumrah.
"Ya. Suara kentongan itu." jawab Ki Prawara. Lalu
katanya pula "Kentongan itu memang kentongan yang
bagus. Suaranya seperti bergema."
"Kentongan itulah yang dahulu berada di banjar ini.
Tetapi ketika dipergunakan banjar yang baru, maka
kentongan itupun dipindahkan ke banjar yang baru.
Sedangkan di banjar ini ditaruh kentongan yang lebih kecil.
Tetapi kentongan itu jarang sekali aku tabuh."
"Kenapa?" bertanya Ki Prawara.
"Suaranya kurang baik dan jangkauannya tidak cukup
jauh." jawab Kiai Gumrah.
Ki Prawara mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab lagi. Sementara itu, Kiai Gumrah yang kemudian berjalan
hilir mudik di halaman rumahnya, tiba-tiba berhenti.
Sambil bergeser mendekati Ki Prawara ia berdesis "Ada
orang diluar regol. Aku melihat bayangannya. Mudah-
mudahan orang itulah yang kami tunggu malam ini."
Ki Prawa ra tidak menjawab. Namun kemudian iapun
telah bangkit pula dan bergeser menepi.
Demikianlah, untuk beberapa lama mereka menunggu.
Tetapi tidak seorangpun yang memasuki halaman rumah
itu lewat regol yang memang sedikit terbuka.
Namun Kiai Gumrah itu kemudian berpaling, sebagaimana Ki Prawara yang berkisar dan menghadap
kearah halaman samping rumah Kiai Gumrah itu.
Terdengar suara tertawa perlahan. Seseorang telah
muncul dari bayangan hitam pepohonan.
Kiai Gumrah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku kira Kiai Windu Kusuma atau orang yang disebut
Panembahan itu."
"Bukankah aku berjanji akan datang?" jawab orang itu.
"Kau sudah berada diregol. Kenapa kau bersusah payah
masuk halaman rumahku dengan meloncati dinding,
sementara regol halaman itu sudah terbuka?"
"Bukankah terlalu biasa masuk halaman rumah
seseorang lewat pintu regol yang terbuka?" orang itu justru
bertanya. "Maksudmu?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku ingin menunjukkan bahwa aku dapat melakukan
hal yang tidak biasa " jawab orang itu sambil tertawa.
"Ah, kau. Kelapa kau harus mempersulit diri?" bertanya
Ki Prawara "Bukankah aku orang berilmu tinggi?" orang itu tertawa
semakin keras. "Jangan berteriak-teriak dimalam hari" berkata Kiai
Gumrah "suaramu akan didengar oleh orang-orang yang
sedang tertidur nyenyak."
Orang itu menutup mulutnya. Suara tertawanyapun
segera terhenti. Namun kemudian katanya "Nah, aku
datang untuk memberikan laporan."
"Marilah, duduklah." Kiai Gumrah mempersilahkan
tamunya. "Dimana?" bertanya orang yang baru datang itu yang
juga seorang pedagang gula.
"Disini saja" jawab Kiai Gumrah.
"Kita akan berbicara" desis orang itu.
"Lebih baik disini. Jika ada orang yang mendengarkan,
kita justru dapat melihat. Tetapi jika kita berada didalam,
maka kita tidak tahu apakah diluar ada orang yang
mendengarkan atau tidak." jawab Kiai Gumrah.
Orang itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah
duduk pula diatas amben bambu diserambi rumah Kiai
Gumrah. Sementara itu, malampun menjadi semakin
malam. Namun Ki Prawara justru bangkit untuk menutup pintu
regol dan menyelaraknya dari dalam. Ketika ia sudah
duduk kembali, maka iapun berkata "Ternyata tamu kita


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak memerlukan pintu itu. Karena itu lebih baik ditutup
dan diselarak."
Tamunya tertawa lagi. Tetapi ia tidak menyahut.
Sementara itu, Kiai Gumrah dan Ki Prawara telah
duduk bersama tamunya. Dengan nada rendah Kiai
Gumrah mulai bersungguh-sungguh "Kau berhasil?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia
menjawab "Dapat disebut berhasil, tetapi dapat juga
belum." "Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku telah menemukan rumah tempat burung elang itu
turun. Bahkan ketika aku mengamati hari ini, aku sempat
melihat dua ekor burung itu muncul dari halaman belakang
rumah itu, sehingga aku yakin, bahwa rumah itu adalah
sarang beberapa ekor burung elang yang dapat dikendalikan
itu." jawab tamunya.
"Jika demikian, maka agaknya kau telah berhasil" desis
Kiai Gumrah. "Aku memang berhasil menemukan rumahnya. Tetapi
aku belum dapat mengetahui kegiatan yang dilakukan
didalam rumah itu. Rumah yang berdinding agak tinggi dan
kesannya memang tertutup. Regolnya tidak pernah terbuka.
Jarang sekali ada orang keluar masuk lewat regol halaman.
Jika ada juga orang yang keluar atau masuk, maka
kesannya orang itu bukan orang kebanyakan. Wajah-wajah
mereka nampak mengandung rahasia."
"Apakah orang tua saja yang keluar masuk rumah itu!
Atau orang muda juga?" bertanya Kiai Gumrah.
"Ada yang tua. Tetapi ada juga yang muda" jawab
tamunya. Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Katanya "Tolong,
jika kau masih sempat melihat lagi keadaan rumah itu,
awasi, jika ada orang muda yang keluar atau masuk, ingat-
ingat cirinya. Mungkin orang itu dapat kita kenali."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku
akan mengamati terus. Kebetulan didepan rumah itu,
meskipun agak menyamping, terdapat sebuah warung.
Ketika aku menawarkan gula dengan harga yang lebih
murah dari harga yang sebenarnya, warung itu nampaknya
senang menerimanya. Sambil menyerahkan gula, aku dapat
minum-minum barang sebentar di warung itu."
"Bagus. Tetapi hati-hatilah. Mungkin kaupun diawasi
oleh orang yang tinggal dirumah itu tanpa kau sadari. Jika
kau tertangkap, terbukti atau tidak, maka kau tentu akan
dihancurkannya.
Mereka tentu tidak mempunyai pertimbangan perikemanusiaan."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan
berhati-hati. Aku mempunyai modal yang sangat berarti
bagi tugasku."
"Apa" Ilmumu yang tinggi" Dirumah itu tentu terdapat
banyak orang berilmu tinggi." jawab Kiai Gumrah.
"Bukan ilmu yang tinggi. Tetapi aku telah mempelajari
ilmu yang khusus, bagaimana dapat berlari kencang sekali.
Aku telah belajar secara khusus mengetrapkan tenaga
dalam untuk mendorong gerak kaki jika kita sedang
melarikan diri."
"Ah, kau" desis Kiai Gumrah.
Orang itu tetawa. Ki Prawarapun tertawa pula.
Namun Kiai Gumrahpun kemudian berkata "Jika benar
kita akhirnya mengetahui dengan pasti tempat tinggal
mereka, maka kita bukan sekedar menjadi sasaran. Tetapi
jika perlu kita dapat datang mengunjungi rumah itu."
"Aku sependapat" berkata tamu Kiai Gumrah itu."rasa-
rasanya menjadi muak untuk selalu berjaga-jaga, kapan kita
akan disergap. Sebaiknya kitapun sekali waktu datang
menyergapnya."
"Bagus" sahut orang itu "tetapi kita harus ingat, bahwa benda yang diperebutkan itu ada disini. Jika kita menyerang
mereka, maka ada kemungkinan buruk dapat terjadi dengan
pusaka-pusaka itu. Bahkan anak-anakpun akan mampu
mengambilnya. Justru karena kita pergi kerumah mereka
yang jaraknya cukup jauh. Rumah itu berada di padukuhan
lain." "Bukankah ada diantara kita yang tinggal?" bertanya Kiai
Gumrah. "Seberapa besarnya tenaga kita" tamunya justru ganti
bertanya "jika kita tidak pergi semua ke rumah yang
tertutup itu, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pula
atas kita, karena aku yakin bahwa dirumah ini terdapat
orang-orang berilmu tinggi."
Kiai Gumrah mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Prawara berkata "Ya. Kita dapat mengerti. Karena itu
untuk sementara kau awasi saja rumah ini. Meskipun
demikian dalam waktu singkat kita harus dapat segera
mengambil sikap, karena nampaknya merekapun tidak akan
menunggu terlalu lama lagi."
"Sebelum purnama dibulan depan" berkata Kiai
Gumrah. Tamu Kiai Gumrah itu mengangguk-angguk. Katanya
"Baiklah. Aku akan terus-menerus mengawasinya. Tentu
saja jika keadaan memungkinkan, karena aku tidak mau
mati digebugi oleh orang-orang yang tinggal dirumah yang
tertutup itu."
"He, bukankah kau berilmu tinggi?" bertanya Ki
Prawara. Orang itu tertawa. Jawabnya "Aku memang berilmu
tinggi. Tetapi orang-orang yang tinggal dirumah itu berilmu
lebih tinggi lagi."
Kiai Gumrahpun tertawa. Demikian pula Ki Prawara.
Disela-sela tertawanya Kiai Gumrah berkata "Kau sudah
menyerah sebelum bertempur."
"Bukan begitu, tetapi aku mempunyai perhitungan yang
tajam dan cermat atas persoalan yang Sedang aku hadapi."
jawab orang itu masih sambil tertawa. Kiai Gumrahpun
masih tertawa berkepanjangan pula.
"Duduk sajalah dahulu, biar aku mengambil minuman di
dapur. Meskipun barangkali sudah tidak panas lagi. Tetapi
barangkali kau merasa haus" berkata Ki Prawara.
"Tidak. Tidak usah. Aku akan segera minta diri" sahut
orang itu. Lalu katanya pula "Aku harus menengok rumah
dahulu sebelum besok pagi-pagi aku membawa gula
kewarung yang ada didepan rumah yang tertutup itu. Tetapi
gulaku tinggal sedikit. Sehari kemarin aku tidak sempat
membuat gula."
"Aku masih mempunyai persediaan gula" berkata Kiai
Gumrah. "Terima kasih. Kau tidak pernah dapat membuat gula
yang berwarna jernih. Gulamu terlalu hitam. Sedangkan
kedai itu minta gula yang berwarna jernih."
"Kau belum melihat gulaku yang terakhir" berkata Kiai
Gumrah. "Tentu juga sehitam kulitmu" jawab orang itu sambil
bangkit berdiri dan bergeser. Meskipun demikian ia masih
berkata "Orang yang kulitnya hitam, jika membuat gula
tentu hitam juga."
"Omong kosong" sahut Kiai Gumrah "kau sudah pandai
membual sekarang."
Orang itu tertawa lagi. Katanya "Sudahlah. Aku akan
pulang. Besok aku masih harus mengawasi rumah itu.
Tugas yang sebenarnya tidak aku sukai."
"Kenapa kau menawarkan dirimu untuk melakukannya."
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya "Tidak sejak
mula-mula. Sebenarnya aku ingin menolak tugas ini. Tetapi
ternyata pemilik warung didepan rumah yang tertutup itu
adalah seorang janda dan tidak mempunyai anak pula."
"Setan kau" geram Kiai Gumrah "he, bukankah
rambutmu sudah putih?"
"Kenapa kalau rambutku sudah putih?" orang itu justru
bertanya. "Kau tidak pantas lagi mengintai seorang janda yang
belum mempunyai anak. Jika kau ingin kawin lagi
sepeninggal isterimu yang dipanggil kembali oleh Yang
Maha Agung itu, sebaiknya kau mencari perempuan yang
sebaya dengan umurmu, sehingga jika kau besok atau lusa
juga dipanggilmenghadap-Nya, isterimu tidak akan terlalu
lama menjanda lagi."
"He, kau kira aku yang membutuhkan janda itu?" orang
itu membelalakkan matanya.
"Jadi?" bertanya Ki Prawara.
"Aku sedang mencari jodoh buat adikku yang bungsu.
Isterinya meninggal saat melahirkan. Demikian pula
anaknya." Kiai Gumrah dan Ki Prawara tertawa. Disela-sela
tertawanya, Ki Prawara berkata "Maaf. Kami tidak tahu
bahwa kau mempunyai seorang adik bungsu yang
memerlukan seorang isteri."
Sambil melangkah pergi orang itu masih bergumam
"Kalian selalu berprasangka buruk terhadapku."
"Maaf, kami sudah minta maaf."
"Sudahlah, aku akan pergi." berkata orang itu.
"Apakah kau akan lewat regol halaman?" bertanya Kiai
Gumrah. "Tidak. Aku seorang yang berilmu tinggi. Aku harus
melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan orang lain.
Aku akan meninggalkan rumah ini lewat jalan yang aku
lalui saat aku memasuki halaman rumah ini." jawab orang
itu. "Pergilah" desis Kiai Gumrah.
Orang itupun kemudian melangkah kekegelapan disisi
rumah Kiai Gumrah. Sebagaimana saat ia datang, maka
iapun tidak keluar dari halaman rumah itu lewat regol.
Kiai Gumrah menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
bergumam "Orang itu memang aneh-aneh saja."
Tetapi Ki Prawara menjawab "Siapakah diantara kita
yang tidak aneh-aneh" Ayah sendiri, kawan-kawan ayah
yang sering datang kemari itu dan barangkah aku juga jika
aku berada diantara kawan-kawan ayah."
Kiai Gumrah mengerutkan dahinya. Namun kemudian
iapun tertawa. Katanya "Ya. Tetapi, dengan berbuat yang
aneh-aneh itu, maka kita mendapat kepuasan tersendiri."
Ki Prawara juga tertawa. Namun demikian Kiai
Gumrahpun tertawa berkepanjangan.
Ketika suara tertawa Kiai Gumrah mereda, maka iapun
kemudian berkata "Marilah, kita masuk kedalam. Rasa-
rasanya malam menjadi semakin dingin."
Ki Prawarapun telah bangkit pula. Keduanyapun
kemudian masuk kembali kedalam lewat pintu butulan.
Namun sebelum mereka sempat berbaring diamben
panjang, terdengar pintu butulan itu diketuk orang.
"Siapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku" jawab orang yang mengetuk pintu itu, yang
ternyata adalah tamunya yang baru saja meninggalkan
halaman rumah Kiai Gumrah.
Dengan tergesa-gesa Kiai Gumrah membuka pintu
butulan diikuti oleh Ki Prawara.
"Ada apa lagi?" bertanya Kiai Gumrah.
Wajah orang itu nampak bersungguh-sungguh. Katanya
"Hati-hatilah. Aku melihat sesosok bayangan disudut
halaman rumahmu. Meskipun bayangan itu berada diluar
dinding, tetapi dalam sekejap ia akan dapat berada didalam
dinding." "Apakah bayangan itu melihatmu?" bertanya Kiai
Gumrah. "Mungkin, ketika aku meloncati dinding. Tetapi
bayangan itu justru menghilang. Mungkin sekarang
bayangan itu sedang mengintai aku yang memberitahukan
kehadirannya kepadamu."
"Berhati-hatilah. Atau kau akan bermalam disini?"
bertanya Kiai Gumrah.
"Kenapa" Kau kira aku ketakutan melihat bayangan itu"
Aku justru datang untuk memperingatkanmu. Kaulah yang
harus berhati-hati." berkata orang itu dengan dahi berkerut.
"Ya, ya. Aku akan berhati-hati. Tetapi kau juga harus
berhati-hati." jawab Kiai Gumrah.
Tetapi orang itu menjawab, justru agak keras "Kau tidak
usah merisaukan aku. Bukankah aku berilmu tinggi?"
Kiai Gumrah hanya menarik nafas panjang saja,
sementara tamunya itupun kemudian telah meninggalkannya tanpa berpaling lagi, sehingga sejenak
kemudian, iapun telah hilang dari penglihatan Kiai Gumrah
dan Ki Prawara.
Sejenak kemudian, maka pintu itupun telah tertutup
kembali. Dengan nada dalam Kiai Gumrah berkata
"Ternyata rumah ini selalu diawasi. Jika tidak dengan
burung-burung elang itu, maka mereka telah mengirimkan
orang kemari. Tetapi agaknya orang itu masih berada diluar
dinding." "Tetapi orang itu tidak akan mengganggu kita ayah."
berkata Ki Prawara.
"Ya. Orang itu tentu hanya sekedar mengawasi saja."
desis Kiai Gumrah "sudahlah, beristirahatlah."
Ki Prawa rapun kemudian telah berada diruang tengah.
Ketika ia duduk diamben yang besar, maka iapun
memperhatikan Manggada dan Laksana yang berbaring
dengan mata terpejam. Namun sambil tersenyum ia
berdesis "Tidurlah. Tidak ada apa-apa. Kami hanya
mencari angin diluar."
Manggada dan Laksana membuka matanya. Ternyata Ki
Prawara tahu bahwa mereka memang belum dapat tidur.
Dengan nada rendah Manggada berkata "Ada tamu diluai
paman?" Ki Prawara tersenyum.
"Kau mendengar percakapan kami?" bertanya Ki


Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prawara. "Tidak paman. Tetapi aku mendengar suaranya
tertawanya."
"Sudahlah, tidurlah " desis Ki Prawara kemudian.
Sementara itu Kiai Gumrah masih saja berada di dapur.
Bahkan kemudian iapun berbaring diamben yang ada
didapur. Ia memang sering tidur ditempat itu atau diamben
yang lain diruang dalam.
Namun bukan hanya Manggada dan Laksana saja yang
masih belum tidur. Winih dan ibunyapun ternyata masih
belum tidur juga. Bahkan mereka mendengar pembicaraan
Kiai Gumrah dan tamunya yang datang kembali dimuka
pintu butulan untuk memberitahukan bahwa ada bayangan
diluar dinding halaman rumah Kiai Gumrah.
Malam itu, para penghuni rumah Kiai Gumrah itu tidak
dapat tidur nyenyak. Manggada dan Laksanapun seakan-
akan mempergunakan waktu yang tinggal sedikit itu untuk
tidur bergantian. Kiai Gumrah, bahkan menjelang fajar
baru dapat tidur sekejap ketika Ki Prawara keluar lewat
pintu butulan pergi ke pakiwan.
"Tidurlah ayah" desis Ki Prawara "aku sudah sempat
tidur sekejap."
Kiai Gumrah baru dapat tidur dengan tenang, meskipun
hanya sebentar, karena ia tahu, bahwa Ki Prawara tidak
akan tidur lagi.
Ketika matahari naik, maka Kia i Gumrah sudah berada
di kebun kelapanya. Iapun mulai memanjat batang-batang
kelapa untuk mengganti bumbung-bumbung legennya.
Manggada dan Laksana mengikutinya untuk membantu
membawa bumbung-bumbung legen yang akan dipasang
dan yang baru saja diturunkan.
Sementara itu, yang lain seisi rumah itu telah melakukan
tugas mereka masing-masing pula.
Ketika matahari sepenggalah, maka Kiai Gumrah telah
sibuk diperapian memanasi legen untuk dibuat gula.
Demikian Kiai Gumrah menuang jladren yang sudah
mengental kedalam tempurung kelapa untuk mencetak,
maka terdengar orang mengetuk pintu Jepan sambil
memanggil nama Winih.
"Siapa orang itu?" bertanya Kiai Gumrah yang sudah
menduga bahwa orang itu tentu Darpati.
Manggada yang menjenguk keluar memang melihat
bahwa orang yang datang itu adalah Darpati.
"Apakah Winih sudah mandi?" bertanya Darpati.
Manggada mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu
terdengar aneh. Demikian Manggada muncul, maka yang
ditanyakan adalah, apakah Winih sudah mandi.
"Kenapa?" bertanya Darpati ketika ia melihat Manggada
agak kebingungan.
Ternyata Darpati tidak menunggu Manggada mempersilahkan. Iapun segera melangkahi tlundak pintu,
bahkan seakan-akan telah menyibak jalan menyisihkan
Manggada yang berdiri dipintu dan kemudian duduk
diruang dalam. "He, kau belum menjawab, apakah Winih sudah mandi "
berkata Darpati.
"Kenapa kau tanyakan hal itu?" Manggada justru
bertanya. Darpati tertawa. Katanya "Aku ingin membawa Winih
berjalan-jalan. Aku ingin mengajakmu pula bersama
Laksana." "Kemana?" bertanya Manggada.
"Tentu tidak kepancuran itu lagi." jawab Darpati.
"Biarlah winih nanti yang bertanya kepadaku. Aku akan
menjawab hanya kepada Winih." jawab Darpati.
Manggada menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
bertanya lagi. Katanya "Aku akan menanyakan kepada
Winih, apakah ia sudah mandi atau belum."
Darpati tertawa, ia tahu bahwa pertanyaannya itu
membuat Manggada menjadi kesal. Tetapi juga karena ia
tidak mau menjawab pertanyaan Manggada, kemana ia
akan mengajak Winih.
Sementara itu, ternyata Nyi Prawara mendengar kata-
kata Darpati itu. Karena itu iapun berbisik ditelinga Winih
"Kau ingat pesan ayahmu?"
"Kenapa ibu?" Winih masih bertanya.
Ibunya meletakkan jarinya dibibirnya sambil berdesis
"Ayahmu sudah memberikan alasan-alasannya. Kau harus
mengerti."
Winih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa
ibunya minta agar ia tidak berbicara terlalu keras.
Tetapi bahwa ia tidak boleh keluar dari halaman rumah
kakeknya itu telah membuatnya bersedih. Apalagi Darpati
telah menjemputnya. Baginya Darpati adalah seorang anak
muda yang baik, yang tidak ditemuinya di tempat
tinggalnya. Bahkan telah menunjukkan kesediaannya untuk
menolongnya ketika ia mendapat gangguan diperjalanan
pulang. "Apa yang kau pikirkan Winih" desis ibunya "bukankah
kau mendengar ceritera kakek semalam" Darpati bukan
satu-satunya orang yang dapat menyelamatkanmu.
Seandainya waktu itu Darpati tidak menolongmu,
Manggada dan Laksana tentu akan dapat melakukannya.
Bedanya, Manggada dan Laksana tidak dengan mudah
menunjukkan kemampuannya. Hanya jika perlu, sebagaimana terjadi di pancuran dan semalam di banjar tua
itu. Dalam keadaan yang tidak dapat dihindarinya lagi,
maka keduanya baru mempergunakan kemampuannya.
Berbeda dengan Darpati. Ia dengan sengaja, bahkan ia akan
mencari banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya."
"Bukan ibu, bukan itu sebabnya" berkata Winih. Namun
sekali lagi ibunya menempelkan jari-jarinya, justru dibibir
Winih. Winih terdiam. Namun kemudian ia meneruskan
"Barangkali tidak terpikir olehnya untuk berbuat seperti
itu." "Sudahlah Winih. Turuti saja perintah ayah dan
kakekmu." "Tetapi ibu dapat minta agar ayah tidak berkeras seperti
itu." minta Winih.
Tetapi jawaban ibunya benar-benar membuat Winih
bersedih. Katanya "Winih. Seandainya ayah dan kakekmu
tidak melarangmu, maka akulah yang akan melarangmu."
Winih tidak dapat mendesak lagi. Kadang-kadang ia
memang dapat merubah sikap ayahnya lewat ibunya.
Tetapi jika ibunyalah yang berkeras melarangnya, maka
larangan itu harus ditaatinya.
Sementara itu Manggada telah berdiri dipintu bilik
Winih. Ia memang tidak segera mengetuk pintu lereg yang
sudah sedikit terbuka. Tetapi ia sempat mendengar
pembicaraan Winih dengan ibunya, meskipun hanya lamat-
lamat dan tidak lengkap. Namun Manggada mengerti,
bahwa ibunya, memang melarang Winih untuk pergi,
apalagi bersama Darpati.
Namun kemudian Manggada itupun telah mengetuk
pintu bilik Winih yang memang terasa sempit.
"Marilah" desis ibu Winih perlahan-lahan "kami sudah
mendengar beberapa pertanyaan Darpati. Tolong, jawablah. Winih belum mandi."
"Tidak" potong Winih "aku sendiri yang akan
mengatakannya bahwa aku tidak akan pergi kemanapun
sesuai dengan perintah kakek, ayah, ibu dan barangkali juga
kakang Manggada dan Laksana."
"Aku?" bertanya Manggada.
"Sudahlah" potong Nyi Prawara. Lalu katanya kepada
Winih perlahan-lahan tetapi tegas "Temuilah jika kau
sendiri ingin mengatakan bahwa kau tidak akan pergi
kemana-pun, siapapun yang melarangmu." Ibunya yang
mulai menunjukkan sikap kerasnya.
Winih tidak menjawab. Ia memang bangkit berdiri dan
berjalan keruang depan tanpa membenahi pakaiannya.
Meskipun Winih sudah mandi, tetapi ia tidak berpakaian
dan berhias sebagaimana jika ia akan pergi.
Demikian Winih keluar keruang dalam, maka Darpati-
pun bangkit berdiri sambil berkata "He, kau belum siap?"
"Untuk apa?" bertanya Winih.
"Kita akan berjalan-jalan. Kau tidak usah sendiri. Biarlah
Manggada dan Laksana ikut bersama kita." jawab Darpati.
"Aku tidak siap untuk pergi Darpati " jawab Winih.
"Bukankah kau sudah mandi" Berpakaianlah, aku a-kan
menunggu " berkata Darpati kemudian.
Tetapi Winih menjawab "Aku hari ini tidak akan pergi,
Darpati. Keadaan disekitarku menjadi tidak menentu.
Perkelahian, kekerasan dan kejadian-kejadian
yang membuat aku ketakutan untuk keluar dari halaman rumah
kakek ini." jawab Winih.
"Kenapa kau takut" Kau akan pergi bersama aku dan
Manggada serta Laksana. Apapun yang akan terjadi, maka
kami bertiga tentu akan dapat mengatasinya." berkata
Darpati. "Tidak Darpati. Kakek, ayah dan ibu mencemaskan
keselamatanku. Meskipun aku pergi bersamamu serta
kakang Manggada dan Laksana, namun jika bahayanya
terlalu besar, ada kemungkinan kalian tidak dapat
mengatasi." jawab Winih.
"Aku ingin berbicara dengan kakek dan ayahmu, Winih."
berkata. Darpati kemudian.
"Tentang apa?" bertanya Winih.
"Aku akan memberi penjelasan kepada mereka, agar
mereka tidak dibayangi oleh kecemasan." berkata Darpati.
Winih termangu-mangu sejenak. Agaknya memang lebih
baik jika Darpati itu berbicara dengan kakek dan ayahnya,
agar ia tidak menjadi marah kepadanya. Karena dengan
demikian maka Darpati akan mengetahui, bahwa bukan ia
yang menolak ajakannya.
Karena itu, maka Winihpun kemudian telah mendapatkan kakeknya diruang sebelah.
"Kakek sudah mendengar?" desis Winih perlahan.
"Aku dan ayahmu sudah mendengar" jawab Kiai
Gumrah. "Jika demikian, biar kakek atau ayah sajalah yang
menjawab" minta Winih.
0ooo0dw0ooo0 Karya SH Mintardja
Seri Arya Manggada 3
Sang Penerus Sumber djvu : Ismoyo
Convert, editor & ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://dewi-kz.com/
Buku 5 KIAI Gumrah dan Ki Prawara saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Kiai Gumrah berkata "Baiklah.
Aku akan berbicara dengan angger Darpati."
Bersama Winih maka Kiai Gumrahpun kemudian
menemui Darpati diruang dalam. Demikian Kiai Gumrah
duduk, maka Darpatipun segera berkata "Kiai. Aku akan
mengajak Winih, Manggada dan Laksana untuk berjalan-
jalan. Kiai tidak usah cemas. Kami bertiga akan dapat
melindungi Winih dari ancaman bahaya yang bagaimanapun besarnya.. Karena itu, sebenarnya Kiai tidak
mempunyai alasan untuk melarang Winih keluar hari ini."
"Tetapi bukankah angger sendiri pernah mengatakan,
bahwa sebaiknya Winih tidak usah pergi kemana-mana
lebih dahulu dalam waktu-waktu seperti ini?" sahut Kiai
Gumrah. "Aku memang pernah mengatakannya. Tetapi seingatku,
aku mengatakan bahwa Winih jangan pergi keluar dahulu
tanpa aku. Jika sekarang aku ada, maka aku kira tidak ada
keberatannya Winih berjalan keluar." berkata Darpati.
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun

Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian katanya "Tetapi sebaiknya tidak saja ngger.
Sebaiknya Winih dan juga angger Darpati serta Manggada
dan Laksana tidak usah pergi keluar. Persoalannya ternyata
menjadi semakin rumit. Kemarin, menjelang malam, anak-
anak padukuhan ini telah berkelahi dengan Manggada dan
Laksana." "Tetapi itu bukan persoalan baru Kiai" jawab Dvarpati
"Rambatan memang membenci kami. Maksudku, aku,
Manggada dan Laksana. Nampaknya ia ingin membalas
dendam, justru selagi aku tidak ada. Mereka mengira bahwa
mereka akan dapat mengalahkan Manggada dan Laksana.
Apalagi mereka mendapat bantuan dari seorang yang
dianggapnya berilmu tinggi."
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Darpati dengan tajamnya. Namun Kiai Gumrah kemudian
hanya menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Darpatipun berkata "Nah, Kiai. Serahkan
tanggung-jawab atas Winih kepadaku. Aku akan membawanya pulang dengan selamat."
"Manggada dan Laksana?" bertanya Kiai Gumrah.
Darpati menjadi termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya "Mereka adalah anak-anak muda yang
berilmu. Karena itu, maka mereka akan dapat melindungi
diri mereka sendiri."
Namun jawaban Kiai Gumrah membuat denyut jantung
Darpati semakin cepat berdetak. Orang tua itupun
kemudian menjawab "Maaf ngger! Orang tua ini selalu saja
dibayangi oleh kecemasan: Karena itu, maka sebaiknya
angger tidak membawa Winih keluar hari ini. Aku bahkan
ingin mempersilahkan angger duduk-duduk saja disini. Aku
sedang merebus ketela pohon dengan legen kelapa yang
baru aku turunkan pagi tadi."
"Kiai" Darpati mulai menjadi jengkel "Apakah Kiai tidak
percaya kepadaku?"
"Tentu ngger. Aku percaya kepada angger. Bahwa
angger akan bertanggung jawab Tetapi kita tidak tahu,
seberapa besarnya kekuatan orang yang ingin mengganggu
ketenangan. Mungkin mereka memusuhi kami dan
mencoba untuk menumpahkan permusuhan itu kepada
Winih, Manggada dan Laksana. Atau orang itu memang
memusuhi angger, karena orang itu tidak senang melihat
angger berkawah dengan Winih atau alasan-alasan yang
lain." "Kiai" berkata Darpati "sekali lagi aku minta Kiai tidak mencemaskan keadaan Winih. Aku bertanggung jawab
sepenuhnya. Apalagi Winih sudah dewasa, sehingga ia
seharusnya tidak lagi terlalu dikekang seperti kanak-kanak."
"Itu terbalik ngger" jawab Kiai Gumrah "justru Winih
sudah memasuki usia dewasanya. Gadis-gadis sebaya
Winih memang sudah waktunya untuk dipingit. Ia harus
tinggal saja dirumah sampai saatnya ayah dan ibunya
menemukan jodoh baginya. Nah, ternyata ayah dan ibu
Winih juga sudah membicarakannya dengan aku.
kakeknya, bahwa Winih harus sudah memasuki masa
bahwa ia harus dipingit. Ayah dan ibunya mulai merasa
cemas, bahwa Winih mulai berhubungan dengan laki-laki
yang barangkali tidak sesuai dengan keinginan ayah dan
ibunya." "Kek"
diluar sadarnya Winih telah memotong pembicaraan kakeknya. Namun kata-katanya itupun
bagaikan terputus dikerongkongan sehingga kemudian
Winihpun terdiam, sambil menundukkan kepalanya.
Dalam pada itu, Darpatilah yang menyahut "Kiai,
apakah dengan demikian berarti bahwa ayah dan ibu Winih
menganggap bahwa aku tidak pantas berhubungan dengan
Winih?" "Bukan begitu ngger" jawab Kiai Gumrah "dalam usia
sebagaimana Winih sekarang, maka hubungannya, dengan
setiap laki-laki akan diputuskan. Bukan hanya angger
Darpati." "Itu tidak adil" Darpati hampir berteriak.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gumrah.
"Aku telah berbuat baik atas Winih. Aku sudah
menyelamatkannya dari tangan Rambatan. Kemudian
menyelamatkannya di pancuran. Jika aku tidak berbuat
demikian, maka mungkin Winih sudah disekap dirumah
Rambatan atau dibawa oleh orang-orang liar yang datang
kepancuran itu."
"Tetapi itu bukan satu perbuatan yang berlebihan.
Seandainya angger Darpati tidak ada, maka Manggada dan
Laksana akan dapat melindunginya saat Rambatan ingin
membawa Winih untuk mengambil ayam kerumahnya.
Sementara itu, tanpa angger Daipati maka Winih tidak
akan pergi ke pancuran."
"Kek" sekali lagi Winih ingin memotong kata-kata
kakeknya. Tetapi sekali lagi suaranya terhenti dikerongkongan.
Sementara itu Darpati berkata "Jadi Kiai menganggap
apa yang pernah aku lakukan itu sia-sia?"
"Bukan ngger. Bukan begitu. Apa yang angger lakukan
tidak aku anggap sia-sia. Tetapi aku juga tidak
menanggapinya dengan berlebihan. Apa yang angger
lakukan itu adalah sangat wajar. Setiap laki-laki akan
berbuat seperti apa yang angger lakukan."
Wajah Darpati menjadi merah. Namun kemudian
katanya "Apapun tanggapan Kiai, tetapi sekarang aku
minta Winih dapat pergi bersamaku, bersama Manggada
dan Laksana"
Kiai Gumrah termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba
pertanyaan aneh "Bagaimana jika tanpa Manggada dan
Laksana?" "Tidak" jawab Darpati "tentu tidak akan baik dilihat
orang." Darpati berhenti sejenak, lalu katanya "Dan
bukankah sikap Kiai aneh sekali" Kiai mengatakan bahwa
Winih akan mulai dipingit. Kemudian justru Kiai
menawarkan Winih pergi bersamaku tanpa orang lain?"
"Sudahlah ngger" berkata'Kiai Gumrah "lupakan
keinginan angger mengajak Winih berjalan-jalan hari ini.
Biarlah ia berada dirumah membantu ibunya mencetak
gula. Ia harus belajar bekerja keras sebagaimana seorang
gadis yang lain, anak orang-orang melarat seperti kakek
ini." "Jadi kakek ingin Winih juga menjadi orang melarat
seperti Kiai?" bertanya Darpati.
"Kami bukan pemimpi ngger. Biarlah kami hidup
dengan berjejak diatas bumi kita sendiri. Kami harus
menerima kenyataan ini." jawab Kiai Gumrah.
Darpati benar-benar telah menjadi marah. Dengan
lantang ia berkata "Jika Kiai ingin memisahkan Winih dari
semua laki-laki, kemudian melarangnya pergi bersamaku,
itu tidak adil."
"Kenapa tidak adil" bertanya Kiai Gumrah.
Wajah Darpati menjadi semakin tegang. Namun
kemudian katanya "Kiai. Aku dan Winih memang belum
terlalu lama saling berkenalan. Tetapi aku tahu. bahwa
Suling Emas Dan Naga Siluman 22 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Pendekar Setia 7
^